STRATEGI ADAPTASI KELUARGA INTI MATRILINIAL MENGATASI KETERBATASAN TANAH By. Erwin Sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan setiap orang terhadap tanah juga mengalami peningkatan sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan pada perilaku individu dalam berinteraksi dengan lingkungan. Perubahan perilaku individu terstruktur dan merupakan reaksi adaptif terhadap lingkungan yang cenderung berubah, dan terpetakan dalam pilihan-pilihan pada setiap keluarga inti matrilinial, dalam bentuk: (1) pelaksanaan hukum waris tanah (hukum waris adat atau hukum waris Islam); (2) pola pemilikan tanah (pemilikan komunal atau pemilikan individual); (3) penguasaan tanah (sistem sewa atau bagi hasil); (4) hubungan kerja (sistem tolong menolong atau sistem upah); dan (4) pola pemanfaatan tanah pertanian (monokultur atau multikultur). Menurut Wolf ( 1983:23 ), petani berusaha mencari keseimbangan antara kemampuan dan tuntutan dari luar, agar dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Seringkali masyarakat petani menempuh dua cara yang saling bertentangan, yaitu meningkatkan produksi atau mengurangi konsumsi. Kedua cara tersebut, merupakan pilihan yang tersedia dalam kehidupan petani. Petani berusaha untuk memperbesar produksi melalui jalan meningkatkan kinerja pada lahan yang mereka kelola agar produktivitas meningkat. Apabila mereka memilih untuk menekan konsumsi, hal ini berarti mereka akan membatasi jenis dan jumlah dari barang yang mereka konsumsi, agar dapat menekan biaya hidup keluarga. Pada masyarakat Sungai Tanang, faktor keterbatasan tanah pertanian yang dimiliki keluarga inti matrilinial, telah melahirkan berbagai strategi yang dilakukan masyarakat agar kebutuhan keluarga terpenuhi. Pada bagian ini akan dibahas usaha-usaha apa saja yang dilakukan keluarga inti matrilinial untuk mengatasi keterbatasan tanah pertanian; organisasi produksi, terutama mengenai hubungan kerja, sistem bagi hasil dan sistem sewa dan pola pemanfaatan tanah untuk menghasilkan surplus dalam produksi pertanian. 193
1. Pola Pemanfaatan Tanah Pertanian Pada masyarakat Nagari Sungai Tanang, pola pemanfaatan dapat dibagai atas dua bentuk; lahan pertanian basah dan lahan pertanian kering. Pengertian dari lahan basah adalah areal pertanian yang dapat ditanami dengan tanaman padi sawah. Sedangkan lahan kering adalah areal pertanian yang tidak dapat ditanami padi sawah, dan masyarakat Sungai Tanang, menyebutnya dengan istilah "gurun". Selanjutnya untuk kedua pengertian di atas, akan dipakai istilah lahan basah dan lahan kering 1.1. Lahan Basah Lahan basah dengan segala sifatnya, berbeda dengan dengan lahan kering. Perbedaan tidak saja berhubungan ekosistemnya, tetapi juga terkait dengan proses pengolahan, tenaga kerja yang terlibat, pola tanam, jenis tanaman yang di tanam dan sejumlah perbedaan lainnya. Lahan basah di Nagari Sungai Tanang, terletak pada dataran-dataran rendah di sekitar lembah, atau setidak-tidaknya di daerah yang landai di lereng perbukitan. Sumber air dan saluran irigasi, merupakan tuntutan yang paling mendasar dari lahan basah atau ekosistem sawah, daerah sekitar lembah sangat ideal untuk ekosistem sawah. Di Nagari Sungai Tanang, dataran rendah di sekitar lembah jumlahnya sangat terbatas. Anak sungai yang mengalir dari gunung Singgalang jumlahnya terbatas, sehingga tidak dapat mengairi daerah di sepanjang aliran anak sungai. Kondisi ini sedikit menyulitkan bagi masyarakat untuk menjadikan daerah disekitar aliran anak sungai untuk dijadikan sebagai lahan basah. Di Nagari Sungai Tanang ketersediaan air untuk mengairi areal pertanian basah dapat di kelompokkan atas dua bentuk, yaitu (1) lahan pertanian basah dengan ketersediaan air terbatas; (2) lahan pertanian basah dengan ketersediaan air cukup. Lahan pertanian basah yang terdapat di Jorong Salimparik dan Jorong Pandam Gadang, termasuk ke dalam katagori lahan pertanian basah 194
dengan ketersediaan air terbatas. Sedangkan lahan basah yang terdapat di Jorong Sungai Tanang Gadang dan Sungai Tanang Ketek, termasuk ke dalam kategori dengan ketersediaan air cukup. Dengan sistem pengairan yang masih tradisional, di Jorong Padam gadang terdapat satu sumber air, yang digunakan untuk mengairi areal pertanian di enam tempat. Distribusi air diatur sedemikian rupa, dengan pembagian pada setiap tempat atau areal selama tiga bulan. Konsekuensinya, pada setiap lahan atau areal, hanya dapat ditanami padi satu kali dalam 18 bulan. Sedangkan di Jorong Salimparik, terdapat dua buah sumber air yang masing-masing digunakan untuk mengairi areal pertanian di empat tempat. Distribusi air pada setiap tempat, selama empat bulan. Konsekuensinya areal pertanian basah di Jorong Salimparik hanya dapat ditanami tanaman padi 1 kali dalam 16 bulan. Berbeda dengan lahan pertanian basah yang terdapat di Jorong Sungai Tanang gadang dan Jorong Sungai Tanang kecil, sistem pengairannya relatif sudah lebih baik dibandingkan dengana di Jorong Salimparik dan Jorong Pandam Gadang. Disamping sistem pengairan yang sudah baik, areal pertanian yang terdapat di kedua jorong tersebut, ketersediaan air termasuk dalam katagori cukup, sehingga setiap saat atau setiap waktu dapat ditanami dengan tanaman padi. Sejak awal atau sawah pertama kali dibuat (ditaruko), syarat utama yang diperhatikan oleh masyarakat adalah sumber air yang dapat mengairinya, dan pada masa lampau lahan pertanian basah dapat secara terus menerus ditanami padi oleh masyarakat, terutama di Jorong Sungai Tanang gadang dan Jorong Sungai Tanang kecil. Sedangkan di Jorong Salimparik dan Pandam gadang, pada saat pembagian air pada lahan basah di tempat lain, maka masyarakat akan menanam palawija dan sayur mayur di lahan mereka. Sejak tahun 1980, saat mana pasar Padang Luar mengalami perkembangan pesat dan menjadi pusat perdagangan sayur mayur dan palawija di Sumatera Barat. Pemasaran sayur dan pala wija, oleh para pedagang tidak saja di jual di pasarpasar Nagari di Sumatera Barat, akan tetapi juga di bawa oleh 195
para pedagang antar propinsi, seperti ke Pekanbaru, Jambi, bengkulu dan Palembang. Kedaab itu, secara lansung telah mempengaruhi tata guna lahan dan pola tanam pada masyarakat Nagari Sungai Tanang, terutama pada lahan basah yang ketersediaan airnya termasuk katagori cukup. Pengaruh perkembangan Pasar Padang luar, besar sekali manfaatnya bagi masyarakat Sungai Tanang. Sejak tahun 1980 tanaman padi tidak lagi menjadi tanaman pokok masyarakat Jorong Sungai Tanang gadang dan Sungai Tanang kecil. Menurut petani, menanam tanaman padi lebih ditujukan untuk mengembalikan kesuburan tanah. Pola tanam masyarakat mulai berubah, kalau selama ini pola tanam yang dipakai adalah padi-palawija-padi, sekarang menjadi terbalik dengan pola tanam yang dipakai adalah palawija-padipalawija. Berbeda dengan lahan pertanian basah yang terdapat di Jorong Pandam Gadang dan Jorong Salimparik, sejak tahun 1980 an, justru memperkuat pola tanam yang dibiasakan oleh masyarakat, dan masyarakat semakin intensif dalam pengolahan lahan. Pola tanam lama adalah padi-palawija-bera, sedangkan pola tanam baru adalah padi-palawija -palawija. Pada pola tanam lama, lahan pertanian bera selama kurang lebih 3 bulan, sejak tahun 1980 tidak lagi dikenal masa bera. Keberanian dan pilihan yang diambil oleh masyarakat Sungai Tanang, untuk menjadikan tanaman padi sebagai tanaman sela dan bertujuan untuk menyuburkan tanah, merupakan keputusan yang di dasarkan pada pengalaman bertahun-tahun, dan sangat erat sekali kaitannya dengan sempitnya areal pertanian dan sistem pengairan yang masih sangat tradisional. Menanam tanaman sayur mayur dan palawija merupakan suatu bentuk respons petani di Sungai Tanang, dalam usaha menyeimbangkan kemampuan dengan tantangan dunia luar. Suatu hal yang rasional, dan tidak saja berlaku pada masyarakat petani, selama kebutuhan keluarga belum terpenuhi, maka seluruh anggota keluarga akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Pada tahun 1990, lahan pertanian basah yang pada awalnya ketersediaan airnya cukup, di Jorong Sungai Tanang Besar, sehingga setiap saat dapat ditanami tanaman padi, maka sejak 196
tahun 1990 tidak lagi demikian halnya. Adanya kondisi tersebut, menurut salah seorang informan disebabkan karena sebagian besar air yang semula digunakan oleh masyarakat untuk mengairi areal pertanian, airnya dibawa oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), untuk di konsumsi oleh masyarakat di Kota Bukittinggi. Konsekuensinya, sejumlah lahan basah, yang arealnya saat peneliti di lapangan diperkirakan kurang lebih 10 hektar, berubah menjadi lahan kering, masyarakat menyebutnya dengan "gurun". Menurut informasi yang diperoleh dilapangan, menanm tanaman padi bertujuan untuk mengembalikan kesuburan tanah, walau lahan tersebut telah diberi banyak perlakuan, pemupukan, pemberian peptisida dan pembaratasan hama yang baik, akan tetapi hasil tetap tidak memuaskan. Pengalaman dari bapak rajo Malano, sejak tahun 1990 sampai sekarang hasil lahan semakin menurun, pada hal biaya produksi menjadi semakin besar. Hal yang sama juga dirasakan oleh masyarakat di Jorong Salimparik dan Jorong Pandam Gadang. Akan tetapi lebih disebabkan karena ketersediaan air tanah atau debit air tanah yang semakin berkurang atau kecil. Berkurangnya ketersediaan air tanah atau kecilnya debit air tanah, menurut informasi yang diperoleh dilapangan tidak saja disebabkan oleh lamanya musim kemarau pada tahun -tahun terakhir ini, akan tetapi lebih disebabkan karena areal perladangan atau luas lahan garapan di gurun semakin luas, seorang informan mengatakan. Pada masa lampau, musim kemarau juga panjang, akan tetapi air tanah tidak berkurang, dan kami tetap dapat mengolah lahan untuk menanam tanaman padi sepanjang tahun. Tidak seperti sekarang, baru beberapa bulan musim panas, lahan pertanian basah lansung menjadi gurun. Ketersediaan air dilahan basah tidak saja berpengaruh terhadap jenis komodity yang ditanam oleh petani akan tetapi juga berpengaruh terhadap biaya produksi. Di lahan basah yang ketersediaan airnya termasuk dalam katagori cukup biaya produksi dapat dikatakan rendah, dibandingkan dengan biaya produksi pada lahan pertanian kering. Pada lahan basah, dengan ketersediaan air yang termasuk dalam katagori terbatas, biaya produksi sedang. 197
Biaya produksi menjadi rendah pada lahan basah, ketersediaan air katagori cukup menjadi rendah, karena jumlah tenaga kerja yang diperlukan untuk menggarap lahan yang luasnya sama dengan lahan basah yang ketersediaan airnya termasuk dalam katagori terbatas, berbanding 1 : 2. Artinya untuk luas lahan pertanian yang sama. diperlukan tenaga satu orang untuk mengerjakannya di lahan basah katagori cukup, sedangkan untuk lahan basah katagori terbatas diperlukan dua orang tenaga. Disamping itu juga dari informasi yang diperoleh dilapangan, jumlah pupuk dan peptisida yang diperlukan juga berbeda, antara katagori ketersedian air cukup dengan katagori lahan dengan ketersediaan air terbatas. Jumlah pupuk dan peptisida yang diperlukan, untuk lahan basah katagori ketersediaan aiar terbatas jauh lebih banyak dibandingkan dengan lahan dengan katagori ketersediaan air cukup. Dalam hubungannya dengan jenis komoditi yang ditanam terlihat ada beberapa jenis komoditi yang tidak dapat tumbuh dengan baik, pada lahan basah katagori ketersediaan air terbatas. Tanaman yang dibiasakan dan dapat tumbuh dengan baik pada lahan basah, katagori terbatas adalah sebagai berikut: 1. Tomat 2. Buncis 3. Arcis 4. Kacang tanah 5. Cabe Merah 6. Sayur manis 7. Kacang panjang 8. Bawang perei. Sedangkan pada lahan basah, katagori ketersediaan air cukup, hampir semua jenis tanaman yang dapat tumbuh dengan baik pada lahan pertanian, katagori ketersediaan air terbatas. Tanaman yang biasa ditanam oleh masyarakat adalah sebagai berikut : 1. saledri 2. kentang 3. bawang merah 4. wortel 5. tomat 6. bawang perei 7. buncis 8. arcis 9. cabe merah 10. kacang panjang 11. sayur manis 12. kacang tanah. Dilihat dari segi jenis tanaman yang biasa ditanam oleh masyarakat di Nagari Sungai Tanang, terlihat ada 4 (empat) jenis tanaman yang tidak dapat tumbuh dengan baik pada lahan basah, katagori ketersediaan air terbatas, seperti Saledri, wortel, kentang dan Bawang merah. Menurut informasi yang diperoleh di lapangan, keempat jenis tanaman tersebut adalah tanaman dengan harga jual yang tinggi, walaupun fluktuasi harga berlaku untuk semua jenis tanaman. Salah seorang informan (pemuka masyarakat), mengatakan : 198
Hasil dari tanaman kentang, bawang merah, saledri dan wortelkalau harga jual lagi baik, biasanya pendapatan masyarakat meningkat dan hasil dari tanaman tersebut digunakan oleh masyarakat untuk biaya pendidikan anak-anak, biaya perkawinan dan untuk memperbaiki rumah. Dan ada sebagian keluarga dapat membeli tanah pertanian dari hasil tanaman tersebut.
Peningkatan pendapatan petani di Nagari Sungai Tanang, agak memuaskan atau hasilnya dapat dijadikan modal untuk memperbaiki rumah atau membeli ternak, apabila petani menanam tanaman tersebut, disamping cabe merah. Kalau hasil panen dari komodity baik, dan harga pasar juga baik, maka pada waktu itulah masyarakat dapat memperbaiki rumah, membeli ternak atau menebus gadai. Untuk tanaman kentang misalnya : dengan bibit kentang 300 Kg, harga bibit 1 Kg Rp 1300,-, total Rp 390.000,-, ditambah dengan pupuk dan peptisida Rp 100.000,- dan tenaga kerja sekitar Rp 200.000,-, total modal yang dikeluarkan sebanyak Rp 690.000,- kalau hasil panen baik, diperoleh hasil kurang lebih 1800 Kg dengan perbandingan 1 Kg bibit, hasil 6 Kg. Dengan mematok harga jual untuk 1 kg kentang sebesar Rp 1000,- ( harga normal ), maka di peroleh hasil sebesar Rp 1.800.000,- Dari hasil tanaman kentang dengan umur kentang lima sampai dengan enam bulan, akan didperoleh keuntungan sebesar Rp 1.100.000,- Kalau panen gagal, baik disebabkan oleh faktor hama atau karena faktor cuaca, maka hasil yang diperoleh sangat sedikit. Menurut informasi yang diperoleh dilapangan, kadang-kadang bibit saja tidak kembali. Resiko kegagalan panen, dapat saja terjadi setiap waktu, sedangkan modal yang diperlukan sangat besar. Kegagalan panen yang modal produksinya besar, seringkali menyebabkan petani tergantung pada orang-orang tertentu atau terpaksa menyewakan tanahnya kepada orang lain untuk menutupi biaya produksi, terutama berkaitan dengan bibit, pupuk dan peptisida. Begitu besarnya resiko yang harus diterima oleh petani, untuk menanam tanaman yang mempunyai prospek ekonomi yang baik atau keuntungan yang tinggi, membuat tidak semua petani mau menanam tanaman yang modal produksinya tinggi. hanya
199
petani-petani tertentu saja yang menanam tanaman yang biaya produksinya tinggi. Harga sayur mayur atau palawija yang dijual oleh petani kepada pedagang, fluktuasi harga sangat cepat dan tinggi sekali. Pengamatan di Pasar Padang Luar, Fluktuasi harga sangat tinggi dan tidak dapat diperkirakan oleh petani. Papan harga komoditi pertanian yang ada di pasar, baru ditulis pada sore hari, tidak merupakan harga jual yang dapat dipedomani oleh petani. Maksudnya adalah, pada waktu pagi sekitar jam 9.00, harga cabe Rp 8.000, perkilogram, akan tetapi sekitar jam 12.00, dapat saja naik menjadi Rp 10.000, per-kilogram, dan sekitar jam 15.00 wib turun menjadi Rp 3000 perkilogram. Atau sebaliknya pada pagi hari harganya murah, siang, mulai mahal dan pada sore hari harganya paling tinggi. Dengan dasar itu, masyarakat Sungai Tanang, menyebut hasil pertanian atau dagangan mereka dengan sebutan barang yang tidak bersuku. Maksud, bersuku adalah, komodity yang harganya sangat labil. Menurut seorang pemuka masyarakat, pada saat sekarang generasi muda tidak mau bekerja sebagai petani. Apa yang dikemukakan pemuka masyarakat tidak sepenuhnya dapat diterima, kata seorang informan (generasi muda), ada sejumlah faktor yang menyebabkan kenapa generasi muda tidak mau bekerja sebagai petani, (1) lahan pertanian sempit; (2) harga jual hasil pertanian berfluktuasi; (3) dan semakin baiknya tingkat pendidikan. Ketiga faktor itu yang mendorong generasi muda untuk mencari pekerjaan di luar sektor pertanian.
1.2. Lahan Kering Luas lahan pertanian kering (gurun) di Nagari Sungai Tanang 284 hektar, arealnya terletak di lereng-lereng perbukitan yang jaraknya cukup jauh dari pusat Nagari . Bintungan nama tempat yang termasuk ke dalam Jorong Salimparik secara administratif, dan di daerah tersebut tidak mempunyai lahan pertanian basah untuk ditanami tanaman padi. Mata pencaharian utama dari masyarakatnya sampai tahun 1980 an adalah menanam tebu dan mengolah tebu menjadi gula tebu 200
yang disebut dengan saka. Sejak tahun 1980 an sampai sekarang sebagian dari tanaman tebu diganti dengan tanaman sayur mayur dan palawija. Hanya pada areal-areal tertentu saja, yang masih ditanami tanaman tebut. Alasan masyarakat kenapa mengganti tanaman tebu dengan tanaman palawija, disebabkan karena harga gula yang terus menerus turun. Biasanya di lahan kering, disamping tanaman tebu, masyarakat menanam tanaman sebagai berikut, di luar tanaman tebu: (1) Cabe merah (2) Kentang (3) Buncis (4) Sayur manis (5) Tomat. Di lahan kering masyarakat juga mulai menanam tanaman keras, seperti cassiavera dan jeruk. Terjadinya perubahan atau penggantian tanaman di lahan pertanian kering, dari tanaman tebu ke tanaman palawija dan sayur mayur serta ke tanaman keras seperti Cassiavera dan jeruk, disebabkan oleh dua faktor : pertama, semakin langkanya lahan pertanian yang dapat diolah oleh masyarakat, karena tingginya tingkat pertumbuhan penduduk. Kedua, semakin berkurangnya tingkat kesuburan tanah, yang disebabkan karena penduduk tidak mengistirahatkan lahan pertanian. Di Nagari Sungai Tanang, pola ekspansi yang dilakukan masyarakat sebagai respons terhadap keterbatasan lahan pertanian, adalah; (1) melakukan ekspansi ke Nagari tetangga (sistem sewa dan bagi hasil); (2) melakukan ekspansi di dalam Nagari dengan menggarap tanah negara, walau tingkat produktifitasnya rendah. Tanah negara berada di ketinggian 730 m diatas permukaan laut. Bagi petani yang mempunyai modal yang cukup dan berani mengambil resiko akan menyewa lahan pertanian basah dengan harga sewa yang cukup mahal. Akan tetapi bagi petani yang tidak punya modal dan tidak berani menanggung resiko, ada kecenderungan mereka melakukan ekspansi pada lahan kering yang terdapat di dalam Nagari, pada kemiringan 45 derajat. Petani yang melakukan ekspansi ke lahan kering pada kemiringan 45 derajat, sebagian besar dilakukan oleh petani yang baru menikah, biasanya di lahan kering milik dari kerabat istri atau milik dari kerabat suami, tetapi ada juga dengan jalan menyewa. Di lahan kering tersebut, biasanya mereka tanam adalah tanaman cabe keriting, terong, buncis dan sayur manis. 201
Setelah melakukan penanaman dua kali, lahan kering harus diistirahatkan, untuk mengembalikan kesuburan tanah. Apabila telah terkumpul modal untuk berusaha sendiri, barulah mereka menggarap lahan yang lebih baik kondisinya. Pengalaman salah seorang informan, sebut saja namanya Firman : Firman menikah pada tahun 1991, enam tahun lalu, dan mempunyai dua orang anak, menurut penuturan firman: Pada tahun pertama dan kedua perkawinan saya, saya ikut bekerja di lahan pertanian orang tua istri saya, yang lahan pertaniannya tidak begitu luas di Jorong Sungai Tanang gadang. Pada tahun ketiga perkawinan, setelah punya 1 anak, saya meminta kepada orang tua istri saya untuk menggarap lahan pertanian milik dari orang tua perempuan saya. Mengingat keluarga istri saya lahan pertanian yang dimilikinya kecil (terbatas). Lahan pertanian kering milik ibu saya, merupakan harta pusaka, dan tidak lagi diolah oleh orang tua saya. Tanaman tebu yang ada di lahan pertanian, pengolahannya diserahkan kepada orang lain dengan sistem bagi hasil. Karena saya membutuhkan, orang tua saya menyerahkannya kepada saya untuk mengelola lahan pertanian tersebut. Saya olah lahan pertanian itu, sebagian dari tanaman tebu yang sudah tua saya bongkar dan di ganti dengan tanaman cabe merah dan sayur manis. Alhamdullilah, hasilnya baik, saya memperoleh keuntungan. Keuntungan dari tanaman cabe, saya gunakan untuk membeli seekor anak sapi, yang sebagian dananya juga dibantu oleh orang tua istri saya
Hasil dari pengolahan lahan kering, milik dari orang tua firman hasilnya tidak ia gunakan sendiri, sebagian dari hasilnya, walau tidak ditetapkan sebagaimana sistem bagi hasil dengan orang lain, bagian orang tuanya tetap diberikan oleh firman, disamping membantu biaya pendidikan atau biaya sekolah bagi adik-adiknya. 2. Hubungan Kerja di Lahan Pertanian Pada masyarakat Nagari Sungai Tanang tidak terlihat adanya pembagian kerja atau spesialisasi kerja yang rumit. Pola pembagian kerja secara tradisional yang didasarkan pada jenis kelamin terlihat mewarnai aktifitas kerja produktif dalam masyarakat, akan tetapi pembagian kerja tersebut tidak dilakukan secara tajam. Hubungan kerja dalam usaha tani di 202
Nagari Sungai Tanang menunjukkan pola hubungan yang relatif kompleks. Secara teoritis ada kecendrungan pemilik lahan yang luas atau cukup luas akan mempekerjakan tenaga buruh dalam pengolahan lahan, kecendrungan yang seperti itu tidak begitu tepat kalau di bawakan pada masyarakat Sungai Tanang. Pada masyarakat Sungai Tanang faktor ketersediaan air akan sangat menentukan pola hubungan kerja di lahan pertanian, sebagaimana terlihat perbedaan yang significant antara pengerjaan lahan pertanian dengan ketersediaan air cukup dibandingkan dengan lahan kering. Dalam aktifitas pertanian, apa itu pekerjaan yang dilakukan di lahan kering atau di lahan basah, yang dapat ditanami sayur mayur dan tanaman padi, akan terlihat baik lakilaki maupun perempuan melakukan pekerjaan yang sama. Menurut informasi yang diperoleh dilapangan, hanya untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, apa itu di lahan kering atau lahan basah laki-laki yang melakukan. Hal ini tidak berarti perempuan tidak dapat untuk melakukan pekerjaan tersebut. Pekerjaan-pekerjaan, di lahan kering atau di lahan basah, tenaga wanita juga diperlukan, sebagaimana yang dikemukakan oleh salah seorang informan. Untuk pekerjaan di gurun memang ada pekerjaanpekerjaan tertentu yang tidak bisa dilakukan oleh wanita, terutama pada saat membuka areal perladangan. Membuka areal perladangan di gurun memerlukan tenaga laki-laki, karena pekerjaan tersebut memerlukan tenaga yang banyak dan orangnya harus kuat. Terutama untuk membersihkan semak belukar. Lahan pertanian di gurun, setelah beberapa kali digarap, harus diistirahatkan (bera) selama enam s/d sembilan bulan, untuk mengembalikan kesuburan tanahnya. Untuk pekerjaan selanjutnya sudah dapat dilakukan oleh perempuan. Akan tetapi menurut informan di Nagari Sungai Tanang, masyarakat juga tidak membiasakan perempuan untuk mengerjakan pekerjaan mengolah tanah pada tahap awal, seperti: mencangkul dan menggemburkan tanah, akan tetapi kalau tidak lagi tenaga lakilaki dalam keluarga, maka wanita dapat juga melakukannya. 203
Apabila tanah sudah digemburkan, maka yang lebih banyak bekerja di lahan kering adalah wanita, sedangkan lakilaki hanya membantu saja sifatnya. Untuk pekerjaan-pekerjaan di ladang, biasanya wanita dalam arti ibu rumah tangga, dibantu oleh anak laki-laki dan wanita. Dari temuan data di lapangan tidak terdapat perbedaan yang begitu tajam antara pekerjaanpekerjaan yang dapat dilakukan oleh anak laki-laki dan oleh anak wanita. Kalau boleh itu disebeut sebagai perbedaan, menurut informan besarnya tenaga yang diperlukan untuk mengerjakan pekerjaan tersebut juga berpengaruh. Dalam kaitannya dengan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh anak laki-laki dan anak wanita, seorang informan menuturkan: Biasanya anak laki-laki di minta untuk melakukan pekerjaanpekerjaan yang menggunakan cangkul dan parang. Apa itu untuk menggemburkan tanah, membuat persemaian, menggali lobang tanaman,, menebang pohon dan mengambil kayu uantuk dijadikan sebagai penyanggah tanaman, serta membawa hasil panen dari ladang ke rumah . Anak-anak wanita akan mengerjakan pekerjaanpekerjaan yang relatif tidak memerlukan tenaga, akan tetapi memerlukan ketekunan, seperti : menanam , menyemai, menyiang dan memetik hasil tanaman, sekaligus juga untuk memisahmisahkan hasil. Seringkali anak wanita di bawa ke pasar untuk membantu dalam berjualan.
Pekerjaan di lahan basah, untuk tanaman padi ada sedikit pembagian kerja antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan untuk tanaman sayur mayur dan palawija, sama dengan di lahan kering. Pekerjaan di lahan basah untuk tanaman padi, terlihat ada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memang tidak dapat dilakukan oleh wanita, sedangkan bagi laki-laki semua bentuk pekerjaan dapat dilakukannya. Temuan lapangan, menunjukkan pekerjaan membajak di sawah merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh laki-laki, wanita tidak dapat melakukannya. Untuk pekerjaan mencangkul di sawah, masyarakat membiasakan laki-laki yang melakukannya, akan tetapi pekerjaan tersebut sering juga dilakukan oleh wanita. Pekerjaan menanam padi, menyiang dan maangin (membersihkan tanaman padi dari rumput di selingkar akar dan membersihkan gabah dari daun-daun padi yang tercampur), pekerjaan ini 204
dibiasakan oleh masyarakat wanita yang melakukan, akan tetapi laki-laki juga dapat melakukannya. Bantuan tenaga dari anak-anak, baik anak laki-laki maupun anak wanita sangat diharapkan sekali. Anak laki-laki akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan oleh ayahnya, sedangkan anak wanita akan melakukan pekerjaanpekerjaan yang biasa dilakukan oleh ibunya. Dari 28 keluarga yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini, sudah melibatkan anak-anaknya untuk bekerja di sawah atau di ladang pada umur delapan tahun, sedangkan untuk anak wanita pada umur 10 dan 11 tahun. Alasan informan adanya perbedaan usia antara anak laki-laki dan wanita, disebabkan karena pada usia 7 sampai dengan 10 tahun anak wanita sudah terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga, seperti mencuci piring, membersihkan rumah , memasak dan menjaga adik-adik. Di samping itu juga, untuk pekerjaan di sawah dan digurun, dari 28 kepala keluarga yang dijadikan sebagai informan, sebagian besar informan mengatakan bahwa pekerjaan tersebut dilakukan secara bersama-sama, suami istri dan anak-anak, sebagaimana terlihat pada tabel berikut :
205
Tabel 12. Sistem Pengolahan Lahan No
Individu yang terlibat
Frekuensi
Persentase
1
Suami dan Istri
6
21,4
2
Suami Istri dan anak
8
28,6
3
Suami Istri, anak, suami dari anak+kongsi
11
39,2
4
Suami Istri, anak, suami dari anak dan buruh tani
3
10,7
Jumlah
28
100
N= 28
Di samping anak-anak, juga banyak ditemui ibu-ibu dan bapak-bapak yang telah lanjut usia terlibat dalam mengerjakan pekerjaan di lahan pertanian. Ibu-ibu atau perempuan lanjut usia persentasenya jauh lebih tinggi di bandingkan dengan laki-laki lanjut usia, hal ini terlihat pada tabel berikut : Tabel 13. Keterlibatan Orang Lanjut Usia di Lahan Pertanian Usia
Laki-laki
Wanita
Jumlah orang
60-65
4
11
15
66-70
3
7
10
Jumlah
7
18
25
N = 28 Dalam keluarga yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian, tidak semua keluarga yang masih mempunyai orang 206
tua lanjut usia. Ada keluarga yang orang tua lanjut usianya masih lengkap, akan tetapi ada keluarga yang tidak mempunyai orang lanjut usia. Alasan yang diberikan oleh para orang lanjut usia, kenapa masih saja ikut ambil bagian dalam pekerjaanpekerjaan di lahan pertanian, alasan dari para orang tua lanjut usia sebagian besar mengatakan bahwa tuntutan itu sebenarnya datang dari diri mereka sendiri. Seorang ibu yang telah berusia 64 tahun, berpendapat, kalau saya tidak ikut bekerja di sawah atau di ladang, maka badan saya terasa sakit. Jadi bekerja di sawah atau di ladang, sebenarnya itu merupakan obat bagi saya, untuk tetap sehat dan tidak merepotkan anak-anak dan cucu. Namun, kalau diperhatikan, di samping faktor itu, tampaknya faktor kecukupan ekonomi dalam keluarga juga ikut berpengaruh terhadap keterlibatan orang tua lanjut usia masih bekerja di sektor pertanian. Seorang ibu, sebut saja namanya Halimah, usia 66 tahun, status janda, punya anak tiga orang dan telah bekerja. seorang anak pergi merantau ke Pekanbaru, yang dua orang tinggal di kampung bersama ibu Halimah. Namun, pada usia beliau sudah usia lanjut, masih saja mengolah lahan, mulai dari awal sampai menjual hasil panennya ke pasar Padang Luar. Hanya untuk pekerjaan mengolah lahan saja, ibu Halimah memintakan bantuan dari anak atau dia mengupahkan, akan tetapi untuk pekerjaan lain, semuanya sudah dikerjakan sendiri oleh ibu Halimah. Alasan ibu Halimah bekerja, karena beliau ingin memperoleh uang dari hasil kerja beliau sendiri, dan tidak memberatkan anak dan menantu. Disamping itu juga menurut ibu Halimah ekonomi keluarga dari anak saya tidak begitu baik. Sehingga, sering juga untuk membiayai dapur anak-anak meminta uang dari saya , kata Ibu Halimah. Dominannya keterlibatan anggota keluarga dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan di lahan pertanian, dan terbatasnya pihak luar yang terlibat, tampaknya punya korelasi dengan luas lahan yang dikuasai atau dimiliki oleh masingmasing keluarga. Pemilikan dan penguasaan lahan pada setiap keluarga relatif kecil, sebagaimana yang terlihat pada tabel luas 207
pemilikan dan penguasaan lahan. Dalam hubungannya dengan penggunaan tenaga pihak luar, dalam hal ini buruh tani, menurut informasi yang diperoleh di lapangan terdapat perbedaan upah yang diterima oleh buruh tani laki-laki dengan buruh tani perempuan. Buruh tani laki akan menerima upah Rp 10.000,dalam satu hari, sedangkan buruh tani wanita akan menerima upah Rp 7.500,- satu hari. Adanya perbedaan upah antara buruh tani laki dengan buruh tani wanita, dilihat dari segi curahan waktu, terlihat jam kerja buruh tani wanita lebih banyak dibandingkan dengan jam kerja buruh tani laki-laki. Dalam satu hari buruh tani laki-laki bekerja selama tujuh jam, mulai dari jam 9.00 sampai dengan 16.00 wib, dengan satu jam istirahat. Sedangkan jam kerja wanita dalam satu hari delapan jam, mulai dari jam 8.00 sampai dengan 16.00, juga dengan satu jam istirahat. Saat ditanyakan kepada informan, kenapa ada perbedaan upah antara buruh tani laki-laki dengan buruh tani wanita. Informan berpendapat, karena buruh tani laki-laki, pekerjaannya memerlukan tenaga yang banyak, sedangkan wanita tidak. Disamping itu juga menurut informan, buruh tani laki-laki lebih bertanggung jawab dalam pemenuhan ekonomi keluarga, dibandingkan dengan wanita. Dalam kaitannya dengan jam kerja, salah seorang buruh tani laki-laki mengatakan, masalah jam kerja sangat tergantung sekali kepada hubungan antara buruh tani dengan pemilik sawah, yang jelas menurut informan, kita pekerja jangan malas. Walaupun kita masuk jam 9.00, akan tetapi kalau kita bekerja serius, hasil dari pekerjaan kita, dapat melebihi pekerja yang masuk jam 8.00. Disamping itu menurut informan, pemilik sawah juga jangan terlalu rewel, atau suka memerintah. Kalau ini sama dijaga, hasil dari pekerjaan biasanya akan baik. Namun, informan juga mengatakan, bagi buruh tani, seharusnya memperlihatkan kerja yang baik, karena kita dibayar oleh pemilik sawah atau ladang. Dan kalau hasil kerja kita baik dan memuaskan pemilik sawah atau ladang, untuk selanjutnya tenaga kita akan dipergunakannya lagi. Sisi lain yang menarik adalah para buruh tani selalu menjaga hubungan dengan pemilik sawah. 208
Disamping itu pada masyarakat Sungai Tanang, hubungan kerja yang dilakukan oleh masyarakat didasarkan pada prinsip tolong menolong. Dalam sistem perekonomian masyarakat di pedesaan ditemui berbagai bentuk kegiatan saling membantu atau tolong menolong. Sebagaimana yang terdapat pada masyarakat di pedesaan Jawa misalnya, gotong royong merupakan contoh yang sangat terkenal. Prinsip resiprositas merupakan sebuah prinsip moral yang mendasari kegiatankegiatan sosial dalam banyak masyarakat petani di Asia Tenggara, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan tetangga dan lingkungan komunitas. Di Philipina pola persekutuan antara perseorangan pada umumnya ditafsirkan dalam rangka resiprositas, adanya keyakinan setiap jasa yang diterima oleh seseorang, maka jasa yang ia terima , diminta atau tanpa diminta ia harus membalas, dan rasa malu atau rasa berhutang budi merupakan daya penggeraknya. Menurut Scoot (1981) saling tolong menolong dalam masyarakat petani berakar pada prinsip saling membutuhkan. Di Nagari Sungai Tanang tolong menolong dalam bekerja di sawah atau di ladang sampai tahun 80 an masih sering dilakukan oleh masyarakat. Namun sejak tahun 1980 an, tolong menolong di lahan pertanian mulai menghilang. Menurut salah seorang informan, anggota Kerapatan Adat Nagari , menuturkan sebagai berikut: Pada masa lampau kegiatan tolong menolong dalam pengerjaana sawah dan di ladang menjadi keharusan. Sulit sekali bagi satu keluarga untuk menyelesaikan pekerjaan di sawah atau di ladang, kalau hanya mengandalkan anggota keluarga saja. Bekerja di sawah atau di ladang, pada waktu-waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu membutuhkan banyak tenaga, sehingga bantuan dari tetangga atau petani lainnya yang yang letak sawahnya berdekatan mutlak diperlukan. Namun sejak tahun 1980 an sampai sekarang, kegiatan tolong menolong tidak lagi dilakukan. Sebagai gantinya sekarang ada kelompok yang saling bekerja sama baik di lahan pertanian anggota kelompok maupun kelompok tadi menjual tenaga mereka kepada petani yang tidak menjadi anggota kelompok.
209
Disamping itu, menurut informan pada masa lampau sawah atau ladang yang akan dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi Penghulu, Tungganai, Manti, Dubalang dan Malin, dikerjakan secara bersama-sama oleh anggota suku atau oleh seluruh anggota dari keluarga luas matrilinial Penghulu, Tungganai, Manti, Dubalang dan Malin dan oleh seluruh anggota keluarga luas istri Penghulu, Tungganai, Manti, Dubalang dan Malin. Dengan demikian kegiatan tolong menolong tetap terpelihara dalam kehidupan bermasyarakat. Namun, sejak tahun 1980 an sampai sekarang kegiatan-kegiatan seperti itu sudah mulai ditinggalkan. Anggota keluarga luas matrilinial, tidak lagi merasa perlu membantu mamakmamaknya dalam pengerjaan sawah dan ladang. Pada umumnya wanita dalam arti ibu rumah tangga di Nagari Sungai Tanang akan membantu suami pada waktu luang, dengan berbagai kegiatan untuk dapat membantu menambah penghasilan rumah tangga. Di Nagari Sungai Tanang ditemui banyak sekali wanita dalam arti ibu rumah tangga yang melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan, untuk membantu ekonomi rumah tangga. Artinya, keterlibatan istri dalam kegiatan yang mendatangkan pendapatan hampir sama dengan suami. Wanita dalam arti ibu rumah tangga, disamping mengerjakan tugas-tugas rutin sehari-hari yang dilakukan wanita ibu rumah tangga, juga akan melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan. Dengan memahami tingkat pendidikan wanita dalam dua generasi, dalam hal ini wanita dalam arti ibu rumah tangga dan dalam arti anak, nampaknya tidak terlihat perubahan tingkat pendidikan yang berarti dalam dua generasi tersebut. Tidak terjadi perubahan tingkat pendidikan, sekaligus juga tidak membuat adanya perubahan pekerjaan yang dilakukan oleh wanita. Kondisi ini sekaligus juga tidak merubah persepsi wanita terhadap jenis pekerjaan yang dapat dilakukan wanita, terbatas pada pekerjaan dengan tingkat produktifitas yang dikatagorikan rendah oleh masyarakat. Perubahan pekerjaan wanita untuk pekerjaan yang mendatangkan pendapatan, disebabkan karena suaminya berubah pekerjaan dari petani ke pedagang. Disamping itu ada 210
juga informan yang beralih pekerjaan, kalau selama ini bekerja sebagai petani dan pedagang, sekarang ia hanya bekerja sebagai pedagang, hal ini disebabkan karena lahan pertanian yang selama ini mereka garap, diambil kembali oleh pemilik lahan. Dengan menjadikan tingkat pendidikan wanita sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap jenis pekerjaan yang dilakukan oleh wanita, maka untuk generasi kedua pekerjaan yang dilakukan wanita juga tidak banyak mengalami perubahan. Wanita tetap mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh generasi pertama, yang tidak memerlukan keahlian khusus, seperti; petani, pedagang dan untuk wanita yang belum menikah mulai terbuka lapangan kerja baru sebagai pembantu rumah tangga di perkotaan. Bekerja sebagai pembantu rumah tangga di perkotaan memang merupakan sesuatu baru dalam masyarakat Nagari Sungai Tanang. Barangkali sektor ini dapat disebut sebagai sektor alternatif untuk menyerap tenaga kerja wanita yang tidak terdidik dan secara ekonomi benar-benar kekurangan. Menurut informan pekerjaan, sebagai pembantu rumah tangga tidak begitu diharapkan, akan tetapi karena tidak ada pekerjaan lain terpaksa pekerjaan tersebut di lakukan. Untuk sebagian wanita yang telah bersuami, lapangan pekerjaan di sektor pertanian terasa semakin sempit, dikarenakan lahan pertanian yang jumlahnya terbatas, sementara jumlah tenaga kerja terus meningkat. Kalau pada masa lampau ada banyak diantara mereka yang bekerja sebagai petani dan pedagang, akan tetapi sekarang hanya bekerja sebagai pedagang saja. Hal ini bukan semata-mata disebabkan karena lahan pertanian mereka diambil kembali oleh pemilik tanah, akan tetapi juga disebabkan karena jumlah tenaga kerja yang sudah berlebih dan tidak sebanding lagi dengan luas lahan, sehingga mereka harus berkonsentrasi bekerja di luar sektor pertanian, seperti sebagai pedagang. Kegiatan yang dilakukan oleh istri atau ibu rumah tangga mencakup kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam dan di luar rumah tangga. Sebagai ibu rumah tangga, mereka melakukan pekerjaan rumah tangga sebagai bagian dari proses reproduksi, walau tidak secara langsung mendatangkan pendapatan. Adapun bentuk-bentuk kegiatan yang dilakukan 211
oleh masing-masing wanita dalam arti ibu rumah tangga, dapat saja berbeda antara satu keluarga dengan keluarga lainnya. Sejumlah kegiatan yang dilakukan oleh wanita dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : memasak, menghidangkan makanan, mengambil air, mencuci alat rumah tangga, mencuci pakaian, mengurus anak-anak, termasuk di dalamnya memandikan, dan memberi makan anak-anak, mengurus dan melayani suami, membersihkan rumah, menyapu bagian dalam rumah dan pekarangan, mengambil dan membelah kayu serta menyiapkan atau membeli bahan-bahan untuk dikonsumsi oleh anggota rumah tangga. Kegiatan itu merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh wanita, dan dapat pula pekerjaan tersebut dilakukan oleh anakanak dalam keluarga. Dengan demikian, wanita dalam arti ibu rumah tangga, hanya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tertentu saja, yang tidak dapat digantikan oleh anak-anak mereka, baik oleh anak laki-laki maupun oleh anak perempuan. Dari informasi yang diperoleh di lapangan, sebagai besar dari informan kurang lebih 88 %, mengandalkan bantuan dari anakanak mereka untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tersebut, hanya sekitar 12 % dari para informan yang tidak begitu mengharapkan bantuan dari anak-anak mereka, membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga. Adapun yang menjadi alasan dari para informan adalah, untuk tidak melibatkan anak-anak mereka pada pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan rumah tangga adalah karena mereka punya cukup waktu untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut. Hal ini disebabkan oleh status sosial ekonomi dari keluarga yang relatif baik, biasanya karena pekerjaan suaminya memberikan pendapatan yang cukup, sehingga wanita dalam arti ibu rumah tangga tidak merasa perlu bekerja yang mendatangkan pendapatan. Akan tetapi, menurut para informan, mereka tetap mengajak anak-anak mereka untuk ikut terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan tersebut. Tujuannya adalah untuk memberikan semacam pelajaran pada anak-anak, agar kelak anak-anak mereka dapat juga melakukan pekerjaan-pekerjaan itu, terutama bagi anak-anak perempuan.
212
Sebagian besar informan, merasa keterlibatan anak-anak sangat mereka harapkan sekali, karena memang mereka dituntut untuk bekerja mencari nafkah (bekerja pada pekerjaan yang mendatangkan pendapatan). Keterlibatan dari anak-anak mereka sudah dimulai sejak dini, kurang lebih pada waktu anak-anak berumur tujuh tahun, baik untuk anak laki-laki, maupun untuk anak perempuan. Menurut para informan, dengan melibatkan anak-anak dalam pekerjaan rumah tangga, telah memberikan keluwesan pada wanita dalam arti ibu rumah tangga untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan, Para wanita ibu rumah tangga akan mendistribusikan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga, kepada anak-anak menurut jenis kelamin. Biasanya anak lakilaki akan diberi tugas untuk mengambil air, mencari kayu api dan membersihkan pekarangan rumah, sedangkan untuk anak wanita akan diberi tugas, seperti; memasak, memandikan adikadiknya dan memberikan makan, membersihkan peralatan dapur dan peralatan rumah tangga lainnya, serta membersih bagian dalam rumah, mencuci pakaian. Seorang informan, sebut saja namanya Ita, mengatakan bahwa; sebagai ibu rumahg tangga yang diharapkan untuk bekerja pada pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan, untuk membantu ekonomi rumah tangga, memang sangat berharap sekali pada anak-anak untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan dalam rumah tangga dengan baik, karena mereka sudah harus pergi di pagi hari dan baru pulang kerumah pada sore hari., serta tidak jarang pula mereka harus pulang pada malam hari. Akan tetapi walaupun begitu menurut informan, memasak makanan untuk makan pagi tetap mereka usahakan untuk melakukannya. Hal ini, bukan saja disebabkan untuk kepentingan mereka sendiri yang memerlukan makan sebelum berangkat kerja, akan tetapi yang lebih penting dari pada itu adalah untuk menanamkan rasa tanggung jawab mereka sebagai ibu rumah tangga pada anak-anaknya. Jadi semacam pemberian pelajaran dan untuk menumbuhkan kesadaran pada anak-anak akan tanggung jawab. Dari data yang terjaring di lapangan ada kaitan antara ; (1) keterlibatan anak-anak untuk pekerjaanpekerjaan yang berhubungan dengan pekerjaan rumah tangga, 213
dengan jam kerja wanita pada pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan; (2) ada korelasi antara jumlah anak dengan jumlah jam kerja ibu rumah tangga pada pekerjaanpekerjaan yang mendatangkan pendapatan. Semakin banyak jumlah anak, maka semakin banyak waktu yang harus dialokasikan oleh ibu rumah tangga untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan. Pada tabel berikut akan diperlihatkan bentuk keterlibatan anak-anak dan wanita dalam arti ibu rumah tangga pada sejumlah kegiatan dalam rumah tangga.
Tabel 14. Jam Kerja Rata-Rata Ibu Rumah Tangga No Jam kerja rata-rata dalam 1 Frekunesi hari 1 10 jam 7 2 8 jam 8 3 6 jam 5 4 4 jam 6 5 0 jam 2 Jumlah 28 N= 28
Prosentase 25 28,57 17,85 21,42 7,14 100
Pada tabel 14 terlihat gambaran jam kerja rata-rata ibu rumah tangga pada pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan. Dengan memahmi jumlah anak dan komposisi umur dari anak-anak, terlihat ada korelasi antara jumlah anak dan komposisi umur dari anak-anak terhadap jam kerja produktif dari ibu rumah tangga, untuk dapat melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan. Dengan memahami jam kerja rata-rata dalam satu hari dari ibu rumah tangga untuk pekerjaan-pekerjaan yang mendatangkan pendapatan, tidak terlihat ada indikasi atau hubungan antara jam kerja rata-rata dalam satu hari dengan besarnya tingkat pendapatan ibu rumah tangga yang bekerja rata-rata antara enam jam sampai dengan 10 jam dalam satu hari. Dengan menelusuri variabel-variabel yang diduga berpengaruh terhadap pendapatan 214
yang diperoleh ibu rumah tangga, seperti; bentuk pemilikan tanah, jenis komoditi yang di tanam dan ketiga modal. Nampaknya ketiga variabel tersebut sangat berpengaruh terhadap tingkat pendapatan para ibu rumah tangga. Untuk wanita ibu rumah tangga yang bekerja sebagai sebagai petani dan pedagang, dimana lahan pertaniannya adalah milik sendiri, mempunyai pendapatan lebih besar dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang menggarap lahan pertanian orang lain dengan sistem sewa atau bagi hasil, karena harus mengeluarkan bagian untuk pemilik tanah. Sistem bagi hasil atau sistem sewa mekanismenya sangat bervariasi. Kedua, jenis tanaman yang ditanam, bagi ibu rumah tangga yang menanam tanaman kentang dan cabe akan mempunyai pendapatan lebih besar dibandingkan dengan ibu rumah tangga yang menanam tomat dan sayur-sayuran. Sedangkan variabel modal mempunyai korelasi dengan jenis tanaman yang ditanam, seperti untuk tanaman cabe dan kentang, akan memerlukan biaya yang besar, baik untuk pembelian bibit maupun untuk biaya pemeliharaan. Di samping itu ibu rumah tangga yang mempunyai modal dapat membeli hasil pertanian dari petani lain, sehingga dagangan yang di bawa ke pasar menjadi semakin bervariasi. Ada perbedaan pendapatan yang cukup berarti antara ibu rumah tangga yang bekerja sebagai petani dengan ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pedagang. Dengan membandingkan jam kerja rata-rata dalam satu hari, terlihat pendapatan ibu rumah tangga yang bekerja sebagai pedagang mempunyai pendapatan antara Rp 25.000,- sampai dengan Rp 30.000,-per/hari, sedangkan ibu rumah tangga yang bekerja sebagai petani mempunyai pendapatan antara Rp 7.500,- sampai dengan Rp 15.000,-per/hari. 3. Sistem Bagi Hasil dan Sistem Sewa Sistem bagi hasil merupakan salah satu bentuk cara yang telah melembaga pada masyarakat Sungai Tanang, bagi keluarga yang mempunyai lahan pertanian terbatas atau tidak mempunyai lahan pertanian, untuk memperoleh tanah garapan. Prinsip dasar dari sistem bagi hasil adalah pemilik sawah menyerahkan hak 215
pengolahan sawahnya pada orang lain untuk diolah dan hasilnya nanti dibagi sesuai dengan perjanjian. Bagi petani penggarap mengolah tanah orang lain dengan sistem bagi hasil, prinsipnya hampir sama dengan ia memperoleh upah dari pekerjaan yang dia lakukan. Alasan petani pemilik kenapa menyerahkan tanah kepada petani penggarap. Lebih disebabkan karena petani pemilik, pada umumnya memiliki lahan pertanian yang luas, disamping itu juga disebabkan karena mereka tidak lagi bekerja sebagai petani. Salah seorang informan menyebutkan, sistem bagi hasil ini sebenarnya menguntungkan petani penggarap, karena semua biaya produksi di luar tenaga akan ditanggung berdua oleh petani pemilik. Bagi petani di Nagari Sungai Tanang petani penggarap itu disebut dengan orang yang menyaduoi sawah orang lain. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh orang yang menyaduoi, sebagian besar dari informan menyebutkan karena mereka tidak lagi memiliki lahan pertanian atau mereka sedikit memiliki lahan pertanian. Alasan lain yang dikemukakan oleh informan adalah karena mereka pada tahun-tahun tertentu ingin memperoleh pendapatan lebih karena mereka akan melangsungkan perkawinan dari anak-anak mereka, dan ada juga sebagian kecil dari informan menyebutkan hasil panen dari sawah yang mereka garap akan digunakan untuk membiayai pendidikan dari anak-anak mereka di masa datang. Di Nagari Sungai Tanang, jumlah petani pemilik yang memberikan sawahnya kepada orang lain untuk digarap jumlahnya sangat kecil hanya dua keluarga dan kedua keluarga tersebut tidak tinggal di Nagari , satu orang tinggal di Padang bekerja sebagai pedagang, dan satu orang lagi bekerja sebagai dokter di Kota Bukittinggi. Jumlah petani penggarap pada masyarakat Sungai Tanang cukup banyak, sehingga sebagian besar dari mereka mencari lahan garapan ke Nagari tetangga seperti Nagari Padang luar dan Nagari Cingkaring. Di Nagari tetangga seperti Padang Luar dan Cingkaring, sebagian besar dari masyarakat bekerja sebagai pedagang dan berada di rantau, sehingga banyak sekali sawah-sawah mereka yang diserahkan kepada petani penggarap baik yang berasal dari Nagari Sungai 216
Tanang, maupun kepada petani penggarap yang di Nagari Nagari tersebut. Menurut Wali Nagari Padang Luar dan Wali Nagari Cingkaring, banyak sawah yang diserahkan kepada petani penggarap karena banyak warga masyarakatnya yang merantau atau bekerja sebagai pedagang dan pengusaha. Ada kecendrungan pelepasan hak atas tanah, tanah yang semula merupakan tanah komunal di jual kepada siapa saja yang mau membeli, tidak harus kepada saudara atau kepada orang seNagari, banyak terjadi di kedua keNagarian tersebut. Kedua wali Nagari mulai merasa khawatir, kalau kecendrungan itu berlanjut terus, bisa-bisa yang tinggal di Nagari sebagian besar adalah orang yang berasal dari Nagari lain yang telah membeli tanah di Nagari Padang Luar dan Cingkaring. Di Nagari Padang Luar, hampir 30 % dari penduduknya Nagari merupakan orang luar yang berasal dari Nagari yang terdapat di Sumatera Barat, dan sebagian dari mereka bekerja sebagai pedagang dan pegawai negeri. Kepada siapa sawah diberikan untuk diolah ditentukan oleh faktor hubungan sosial dengan keluarga pemilik, dapat dibedakan atas tiga tingkat hubungan sosial; (1) kepada keluarga dekat dalam keluarga luas matrilinial; (2) kepada keluarga yang berdekatan tinggal atau bertetangga; (3) kepada keluarga lain yang tidak punya hubungan seperti yang pertama dan kedua. Prioritas diberikan kepada keluarga dekat dalam keluarga luas matrilinial dan kepada keluarga yang berdekatan tempat tinggal atau tetangga, baru yang terakhir kepada keluarga lain yang ada di Nagari. Hubungan antara keluarga petani penggarap dengan dengan petani pemilik dalam sistem bagi hasil dapat dikatakan akrab dan lebih dekat. Untuk petani penggarap yang tidak punya hubungan saudara, hubungannya akan bersifat vertikal, sedangkan untuk petani penggarap yang berasal dari saudara dekat dalam keluar luas matrilinial, pola hubungan yang terjadi tetap bersifat horizontal. Untuk yang tidak berasal dari keluarga dekat dalam keluarga luas matrilinial, petani penggarap biasanya sering datang ke rumah petani pemilik untuk menginformasikan kondisi dari sawah, dan untuk meminta membeli barang-barang kebutuhan seperti; pupuk dan peptisida. Seringkali juga petani 217
penggarap datang kerumah petani pemilik untuk membantu dalam bentuk tenaga pada saat-saat petani pemilik membutuhkan, seperti dalam penyelenggaraan upacara perkawinan atau upacara selingkar hidup yang dilakukan oleh petani pemilik. Dari pihak petani pemilik, seringkali juga memberi bantuan kepada petani penggarap biasanya dalam bentuk uang atau beras pada saat-saat tertentu dimana petani penggarap sangat membutuhkan. Ada beberapa kasus yang ditemui, biaya pendidikan dari anak petani penggarap ditanggung oleh petani pemilik. Kalau dilihat bentuk hubungan yang terbangun antara petani pemilik dengan petani penggarap dalam bentuk hubungan patron klien. Pola hubungan yang terjadi antara petani pemilik dengan petani penggarap berbeda dengan pola hubungan antara petani pemilik dengan petani penyewa. Menurut Scoot (1981) hubungan patron klien mempunyai ciri-ciri khusus yang berbeda dengan hubungan sosial lainnya. Perbedaannya terletak pada beberapa hal; (1) interaksi tatap muka diantara pelaku yang bersangkutan; (2) adanya pertukaran benda dan jasa yang relatif tetap berlangsung diantara para pelaku; (3) adanya ketidaksamaan dan ketidakseimbangan dalam pertukaran barang dan jasa; dan (4) ketidakseimbangan tersebut menghasilkan katagori patron dan klien yang memperlihatkan ketergantungan dan ikatan yang meluas antara patron dan kliennya. Hubungan antara petani pemilik dengan petani penggarap dapat disebut dengan hubungan yang bersifat vertikal, yang biasanya disebabkan karena petani pemilik akan mempunyai kedudukan sosial ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan petani penggarap. Kalau dipahami hakekat dari pola hubungan antara petani pemilik dengan petani penggarap yang bersifat patron klien, nampaknya kurang tepat apa yang dikemukakan oleh Scoot (1981) tentang adanya ketidakseimbangan pertukaran benda dan jasa diantara mereka. Hal ini disebabkan karena hubungan tersebut adalah hubungan yang terbentuk karena diantara kedua belah pihak saling membutuhkan. Bagi petani penggarap dapat memberikan bantuan tenaga kepada petani pemilik dan petani pemilik dapat 218
memberikan bantuan dalam bentuk uang atau beras atau barang kebutuhan hidup lainnya kepada petani penggarap. Pada masyarakat Sungai Tanang, sistem sewa tanah merupakan gejala baru yang berkembang dalam masyarakat. Sejak tahun 1980, semakin pentingnya peranan Pasar Padang Luar sebagai sentral distribusi sayur mayur dan palawija di Sumatera Barat, Riau dan Jambi, secara langsung berpengaruh terhadap pola penguasaan tanah dalam masyarakat. Sistem sewa tanah yang terjadi dalam masyarakat, di dorong oleh kebutuhan petani dan pedagang sayur mayur dan palawija, untuk memperoleh uang tunai dalam waktu cepat, dan tidak beresiko, berbeda dengan sistem pagang gadai yang sangat beresiko, seringkali pihak yang menggadaikan tanah tidak mampu menebus tanah yang telah digadaikannya. Sedangkan dalam sistem sewa tanah, pihak yang menyewakan tanahnya akan memperoleh sejumlah uang darti pihak penyewa, dan uang yang diterima tidak perlu dikembalikan, karena merupakan harga sewa. Sesuai dengan perjanjian, jangka waktu menyewakan tanah, biasanya selama satu tahun tanaman. Harga sewa tanah pertanian di Sungai Tanang sangat bervariasi, dan sangat tergantung kepada kesuburan tanah. Menurut masyarakat, kesuburan tanah sangat ditentukan sekali oleh ketersediaan air dari areal pertanian tersebut. Faktor ketersediaan air disamping memberikan pengaruh pada kesuburan tanah, juga berpengaruh terhadap harga lahan pertanian, baik dalam arti sewa maupun dalam arti jual. Ketersediaan air juga berpengaruh pada lamanya waktu sewa. Pola sewa lebih ditentukan oleh konsep satu tahun panen yang disepakati oleh masyarakat Sungai tanang. Pada lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air cukup, maka lama masa sewa adalah satu tahun dalam arti 12 bulan. Sedangkan untuk lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air terbatas, lama masa sewa adalah 1 tahun, dalam arti 16 bulan dan 18 bulan. Besarnya sewa, untuk lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air cukup dibandingkan dengan lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air terbatas, dua berbanding satu. Kalau harga sewa untuk luas lahan yang sama Rp 200.000,Untuk katagori keterseidaan air cukup, maka harga sewa lahan 219
pertanian basah untuk katagori ketersediaan air terbatas Rp 100.000,- Selama melakukan pengamatan dilapangan, terlihat ada kecendrungan masyarakat untuk menyewa lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air cukup, walau harga sewanya mahal. Menurut salah seorang informan, kenapa mereka lebih senang menyewa lahan lahan pertanian, yang harga sewanya mahal, lebih disebabkan karena rendahnya biaya produksi dan hasil yang diperoleh cukup baik. rendahnya biaya produksi, terutama berkaitan dengan tenaga kerja dalam pengolahan lahan pertanian. Menurut salah seorang informan, pada lahan pertanian basah, katagori ketersediaan air cukup, pengolahan lahan lebih mudah, wanita dan anak-anak dalam mengerjakannya, sedangkan untuk katagori lahan pertanian ketersediaan air terbatas, pada saat pengolahan awal tenaga laki-laki sangat diperlukan. Mengingat terbatasnya lahan pertanian basah katagori ketersediaan air cukup di Sungai tanang, terlihat ada kecendrungan dari sebagian besar petani untuk menyewa lahan pertanian basah di desa tetangga. Ada beberapa keluarga yang ditemui di Nagari Sungai Tanang, yang menyewa lahan pertanian di desa tetangga, tepatnya di Nagari Padang Luar dan Nagari Cingkaring. Satu keluarga yang di temui mampu menyewa lahan pertanian di Nagari Cingkaring sebesar Rp 300.000,- selama satu tahun dalam arti 12 bulan. Saat ditanyakan kepada informan, mengingat besarnya sewa yang harus dibayarkan, sementara hasil dari lahan belum jelas. Informan mengatakan, tidak menjadi masalah harga sewa sebesar itu, karena memang hasilnya juga baik. Pengalaman menunjukkan, sudah tiga tahun menyewa lahan pertanian tersebut, kami tetap saja memperoleh keuntungan yang cukup besar. Namun ada juga diantara mereka yang mengalami kerugian, karena tanaman mereka di serang hama, sehingga gagal panen. Dengan berkembangnya Pasar Padang Luar sebagai sentral perdagangan sayur dan palawija di Sumatra Barat, secara tidak langsung juga telah menimbulkan pembagian keuntungan yang tidak merata, dan dampak-dampak sosial ekonomi lainnya pada masyarakat Sungai Tanang, seperti 220
munculnya gejala stratifikasi sosial baru dalam masyarakat, karena yang lebih diuntungkan adalah petani kaya, karena : 1) Petani kaya lebih mampu memperbaiki nasibnya berdasarkan aset tanah dan modal yang dimiliki dibandingkan dengan petani kecil. 2) Petani kaya dapat menanggung resiko gagal panen yang diakibatkan oleh faktor-faktor yang tidak dikuasai oleh petani. 3) Pemilik tanah lebih menyukai sistem sewa menyewa dengan pembayaran dimuka sebelum tanah mulai digarap oleh penyewa. Hal ini disebabkan karena pemilik tanah ingin mendapat kepastian tentang pembayarannya, dengan demikian yang tidak ikut menanggung resiko apabila panen gagal. Pada masyarakat Sungai Tanang, disamping sistem sewa dengan pembayaran dimuka, juga ditemui sistem sewa dengan pembayaran setelah panen. Namun, sistem sewa dengan pembayaran di belakang jarang dilakukan oleh masyarakat. Dalam perkembangannya, terlihat akses petani kecil dan buruh tani terhadap tanah tampak semakin menurun. Hubunganhubungan kelembagaan tradisional, seperti sistem bagi hasil cenderung tergeser oleh pola hubungan yang rasional, seperti sistem sewa dengan pembayaran di depan. Harga sewa lahan pertanian yang paling rendah adalah untuk lahan pertanian kering. Dari 28 keluarga yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian, pada saat penelitian dilakukan ada sekitar delapan keluarga yang sedang menyewa lahan pertanian. Besarnya harga sewa bervariasi, mulai dari Rp 50.000,- sampai dengan Rp 300.000,- Informasi yang diperoleh dari keluarga pemilik lahan yang menyewakan, yang menjadi alasan kenapa menyewakan lahan pertanian, yang menjadi alasan kenapa menyewakan lahan, sebagian besar dari informan menyebutkan bahwa alasan menyewakan lahan adalah untuk memperoleh uang tunai yang digunakan untuk pemenuhan kebutuhan keluarga. Saat dilacak terus, sangat susah sekali diperoleh informasi berkaitan dengan kebutuhan keluarga dalam 221
arti yang bagaimana. Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh informan, (1) dengan menyewakan tanah pertanian, resiko akan kehilangan lahan dapat diatasi. (2) kegagalan panen tidak berpengaruh terhadap pemilik tanah, karena sewa sudah dibayar di depan. Kalau dianalisa lebih jauh berkembangnya sistem sewa pada masyarakat Sungai Tanang, juga erat kaitannya dengan dengan sistem penguasaan lahan pertanian yang berasal dari harta pusaka, dimana menggunakan mekanisme bergiliran. Pada kasus ibu Eti bersaudara, dan masing-masing telah mempunyai beberapa orang cucu. Prinsip bergiliran dalam pemanfaatan harta pusaka baru sampai pada generasi ibu Eti, belum sampai ke anak ibu Eti. Di lahan pertanian tersebut, masing-masing akan mendapat giliran pemanfaatan selama satu panen. Lama giliran baru sampai ke ibu Eti adalah setelah tiga (3) tahun. Masa menunggu giliran yang cukup panjang. Salah seorang saudara ibu Eti, tinggal di Nagari Padang Luar, dan tidak mengolah lahan pertanian pada saat gilirannya tiba, dengan alasan jauh. Saudara ibu Eti, menyewakan lahan pertanian tersebut kepada orang lain, dan kadang-kadang ibu Eti yang menyewa.
4. Organisasi Petani Masyarakat Nagari Sungai Tanang yang sebagian besar bergerak di sektor pertanian, dengan pemilikan dan penguasaan lahan relatif kecil, seringkali mengalami kendala untuk memperoleh uang tunai, baik untuk memperoleh lahan pertanian yang akan digarap dengan sistem sewa maupun untuk memodali usaha pertanian mereka. Cara-cara yang ditempuh oleh warga masyarakat Nagari Sungai Tanang untuk mengatasi masalah tersebut, terlihat bervariasi dan secara umum ditemui ada dua bentuk usaha yang dilakukan oleh masyarakat, yaitu ; (1) mengikuti kelompok atau perkumpulan yang mengandalkan pengumpulan tenaga, baik untuk kepentingan anggota kelompok maupun untuk dijual kepada
222
orang lain yang membutuhkan; (2). mengikuti kelompok atau organisasi yang mengandalkan pengumpulan uang. Pada bagian ini akan dilihat beberapa kelompok yang melakukan aktivitas ekonomis di Nagari Sungai Tanang. Selanjutnya kelompok ini akan disebut organisasi sosial ekonomi. Organisasi sosial ekonomi yang dianalisis merupakan organisasi yang pendiriannya di lakukan oleh penduduk setempat, tanpa campur tangan pihak luar. Organisasi tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan warga masyarakat Sungai Tanang akan uang tunai dan kelangkaan tenaga kerja. Ada tiga macam organisasi yang tumbuh dalam masyarakat Nagari Sungai Tanang, yaitu : (1) organisasi simpan pinjam; (2) kongsi ; dan (3) Julo-Julo. Organisasi simpan pinjam, adalah organisasi yang mengelola simpan pinjam dari anggotanya yang terdaftar, dengan membayar simpanan wajib dan simpanan sukarela, anggotanya laki-laki dan perempuan Kongsi merupakan organisasi yang mempunyai aktivitas untuk menjual jasa, baik melalui kegiatan pengolahan lahan pertanian anggota maupun non-anggota. Kongsi tersebut juga terdiri dari dua macam, kongsi yang anggotanya laki-laki dan kongsi yang anggotanya perempuan (selanjutnya disebut kongsi laki-laki dan kongsi perempuan). Berbeda dengan organisasi simpan pinjam, kongsi dan julojulo di Nagari Sungai Tanang, mengacu kepada organisasi yang melakukan kegiatan pengumpulan uang secara periodik, dan kemudian dibagikan secara periodik dengan beberapa cara kepada anggota-anggotanya. Pembentukan atau pendirian kelompok simpan pinjam, julo-julo dan kongsi berdasarkan inisiatif dari beberapa orang penduduk untuk memenuhi kebutuhannya. Kemudian, para inspirator mengajak orang lain yang mempunyai kebutuhan yang sama untuk bergabung dalam kelompoknya. Para inspirator melakukan pendekatan pribadi untuk merekrut anggota.
223
4.1. Simpan Pinjam Kelompok simpan pinjam, pada awalnya dibentuk oleh beberapa orang warga masyarakat bertujuan untuk memecahkan masalah kesulitan dalam memperoleh uang tunai pada saatsaat tertentu, baik yang berhubungan dengan pengerjaan lahan pertanian maupun untuk memenuhi kebutuhan lain dalam keluarga. Kelompok simpan pinjam yang dimotori Bapak Syafri didirikan pada bulan pebruari 1996. Menurut Bapak Syafri ide pendiriannya sebagai berikut: Pendirian kelompok simpan pinjam, memang didasarkan pada sulitnya bagi masyarakat untuk memperoleh uang tunai. Ide pendiriannya, menurut bapak Syafri, karena koperasi yang didirikan bersama-sama dan diresmikan oleh Kandep Koperasi pada tahun 1995, hanya berumur satu tahun. Bapak Syafri Juga ikut menjadi pengurus koperasi pada waktu itu. Faktor penyebab kegagalan dari koperasi, menurut bapak Syafri; (1) yang menjadi pengurus koperasi tidak semuanya orang yang disenangi oleh masyarakat; (2) kecurigaan anggota terhadap pengurus sangat tinggi, ini tercermin dari malasnya anggota untuk membayarkan simpanan pokok, dan tidak satupun anggota yang mau menyetorkan simpanan sukarela, disebabkan koperasi sudah tidak berjalan lagi, maka bapak Syafri mengambil inisiatif untuk mendirikan kelompok simpan pinjam di dusunnya, tepatnya di jorong Pandam gadang. Pada mula berdirinya kelompok simpan pinjam, jumlah anggota kurang lebih 20 orang, semuanya penduduk Jorong Pandam Gadang. Simpanan wajib yang ditetapkan sebesar Rp 10.000,- dan simpanan sukarela sebesar Rp 5.000,- Pertemuan anggota kelompok simpan pinjam, seminggu sekali dan ditetapkan pada setiap hari Kamis malam, bertempat di Mesjid Pandam Gadang. Pada tahap awal pendidirian kelompok, langsung dibentuk kepengurusan dari kelompok simpan pinjam. Masa kerja pengurus ditetapkan selama 2 tahun. Menurut Bapak Syafri, jumlah anggota terus mengalami peningkatan, dan pada bulan Januari 1997, jumlah anggota
224
seluruhnya sebanyak 56 orang, dan besar pinjaman yang sudah dapat diberikan sebesar Rp 80.000,Pengalaman Bapak Syafri selama menjadi ketua kelompok simpan pinjam, sampai sekarang semua anggota dapat mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah disepakati secara bersama-sama dengan semua anggota. Kalau ada anggota yang terlambat melakukan pembayaran pinjaman, itu biasanya lebih disebabkan karena memang, kondisi dari anggota tersebut sangat tidak memungkinkan bagi mereka untuk membayar pinjaman tepat pada waktunya. Kontrol sesama anggota dijadikan sebagai pola dalam rangka membina dan mengembangkan kelompok simpan pinjam, sehingga kalau ada anggota yang belum membayarkan pinjamannya, maka anggota kelompok memberikan kontrol kepada anggota tersebut. Pengurus pada setiap pertemuan memberikan laporan secara transparan, baik berkaitan dengan siapa yang meminjam dan berapa besar pinjaman dari anggota kelompok. Di samping itu, menurut bapak Syafri penentuan pemberian pinjaman kepada seseorang anggota kelompok dan jumlah atau besarnya pinjaman yang akan diberikan kepada anggota kelompok yang memerlukan pinjaman, yang menentukan tidak pengurus, tapi pertemuan anggota kelompok dan pengurus. Dengan cara yang seperti itu menurut bapak Syafri, kecurigaan anggota kelompok terhadap pengurus menjadi berkurang, dan semua anggota kelompok merasa punya kewajiban untuk mengontrol dan meminta pertanggungjawaban dari anggota yang tidak membayarkan pinjaman pada kelompok. Hal yang menonjol dalam kelompok simpan pinjam seperti pada kelompok kongsi, semangat kekeluargaan sangat kental terlihat. Semua anggota merasa, perkembangan dan kemunduran dari kelompok sangat ditentukan sekali oleh semua anggota kelompok. Kesadaran inilah yang dijadikan sebagai pengikat oleh pengurus untuk berusaha terus agar kelompok simpan pinjam dapat berjalan dengan baik, sehingga besar pinjaman yang diberikan kepada anggota kelompok semakin hari semakin besar jumlahnya. 225
Pengalaman salah seorang anggota kelompok simpan pinjam, yang telah memperoleh pinjaman sebanyak dua kali, sebut saja Ibu Rida. Setelah menjadi anggota kelompok selama tiga bulan, Ibu Rida memerlu-kan uang untuk membeli pupuk dan racuk pembasmi hama. Pada waktu itu, Ibu Rida memerlukan uang sebesar Rp 20.000,- Saat menyampaikan keluhan Ibu Rida pada pertemuan kelompok, dengan mudah Ibu Rida memperoleh pinjaman dari kelompok sebesar Rp 20.000,- Tidak sampai satu bulan, pinjaman yang Rp 20.000,- tersebut, dapat dikembalikan oleh Ibu Rida. Dan pada bulan Januari 1997, Ibu Rida juga memerlukan uang untuk biaya pendidikan anaknya yang sekolah di SMA, sebanyak Rp 60.000,- Karena kelompok yang telah dapat memberikan pinjaman sebesar Rp 80.000,-, maka Ibu Rida ouga memperoleh pinjaman sebesar Rp 80.000,- Pinjaman sebesar Rp 80.000,-, harus dikembalikan oleh Ibu Rida dengan jalan mencicil selama 11 Minggu, dengan besar cicilan perminggu Rp 8000,- Ibu Rida tidak merasa berat untuk mencicil Rp 8.000,- satu minggu. Ibu Rida juga punya pengalaman meminjam uang kepada pedagang di Pasar Padang Luar, pedagang yang biasa membeli hasil produksi pertanian Ibu Rida. Namun, menurut Ibu Rida dengan meminjam uang pada pedagang di Pasar Padang Luar, ibu Rida merasa terikat, karena harus menjual hasil pertaniannya kepada pedagang tersebut. Seringkali harga dipermainkan oleh pedagang tersebut, menurut penuturan Ibu Rida. Dengan dasar itu, Ibu Rida merasa besar sekali manfaatnya ikut da lam kelompok simpan pinjam.
Berbeda dengan Ibu Tati, yang menjadi anggota kelompok simpan pinjam. sejak awal berdirinya kelompok simpan pinjam, akan tetapi sampai sekarang ibu Tati belum pernah meminjam pada kelompok. Menurut Ibu Tati, saya menjadi anggota kelompok simpan pinjam. lebih disebabkan karena ide pendiri-an kelompok simpan pinjam di Jorong Pandam gadang tersebut, idenya dari saudara laki-laki Ibu Tati. Menurut Ibu Tati, tidak enak rasanya kalau kita tidak ikut kelompok tersebut, karena yang punya ide tersebut adalah saudara laki-lakinya. Saat ditanyakan, apakah ada tekanan dari saudara laki-lakinya. Ibu Tati mengatakan tidak ada tekanan sama sekali dari saudara laki-lakinya. Menurut Ibu Tati saudara laki-lakinya juga tidak meberitahunya sama sekali, Ibu Tati tahu bahwa ada kelompok simpan pinjam di dusunnya dari salah seorang anaknya. 226
4.2. Kongsi Kongsi dibentuk untuk mengatasi kesulitan dalam memperoleh bantuan tenaga untuk mengolah lahan pertanian, terutama lahan pertanian kering (gurun). Lahan pertanian kering (gurun), terutama pada saat pembukaan lahan, memerlukan banyak tenaga, sehingga sulit untuk dikerjakan sendiri, sedangkan untuk mendapatkan bantuan tenaga dari keluarga juga terbatas. Disamping itu para anggota tidak mempunyai cukup uang untuk membayar orang lain dalam pengolahan lahannya. Untuk memecahkan masalah tersebut, beberapa orang petani berinisiatif unutk mendirikan kongsi. Kongsi yang terdapat di Jorong Salimparik dan Bintungan pada mulanya di motori oleh bapak Haji Malin. Setelah kembali dari tanah suci untuk menunaikan ibadah haji pada tahun 1986, Bapak Haji Malin merasakan begitu susahnya masyarakat di Jorong Salimparik untuk memperoleh tenaga, dalam mengerjakan lahan pertanian di gurun. Menurut Bapak Haji Malin, pengerjaan lahan pertanian di gurun ( sebutan untuk lahan pertanian kering ) sangat berbeda dengan pengerjaan lahan pertanian basah (sawah). Lahan pertanian kering (gurun), karena masa beranya lama, bisa satu atau dua tahun, mengakibatkan sehingga rumput dan ilalang tumbuh dengan subur. Keadaan ini sangat menyulitkan bagi petani untuk penggarapan tanah pada tahap awal. Masalah itulah yang dirasakan oleh Haji Malin. Haji Malin, mulai mengajak tetangganya untuk membentuk kelompok kerja dalam mengolah lahan pertanian. Begitu juga untuk kongsi perempuan, juga dimotori oleh Istri Haji Malin. Masyarakat Jorong Salimparik merasakan manfaat kongsi untuk mengolah lahan pertanian dan memanen hasil pertanian mereka. Disamping itu juga, masyarakat di Jorong Salimparik dan Bintungan, merasa lebih baik mengupahkan pengolahan lahannya dan memanen tanamannya kepada kongsi dari pada membayar buruh tani secara individual. Sedangkan untuk penduduk di Jorong Sungai Tanang Besar dan Kecil, masyarakatnya lebih suka untuk membayar upah kepada buruh tani, karena sebagian besar lahan pertanian di kedua 227
Jorong tersebut adalah lahan pertanian basah, yang pengolahannya tidak sesulit di Jorong Salimparik, yang lahan pertanian kering (gurun). Pada tahun awal tahun 1980 di Jorong Salimparik terlihat ada kesulitan bagi petani untuk menjual jasa secara individual. Hal ini kemudian membuat petani yang perlu menjual jasa untuk menambah pendapatan bergabung ke dalam sebuah kongsi atau mendirikan sebuah kongsi baru. Namun, sekarang saat penelitian dilakukan, pemberian upah secara individual, juga telah banyak dilakukan oleh masyarakat di Jorong Salimparik, akan tetapi terdapat perbedaan upah, kalau dibandingkan dengan penduduk di tiga dusun lainnya pada masyarakat Sungai Tanang. Upah buruh tani di Jorong Salimparik, untuk laki-laki Rp 15.000,sedangkan untuk perempuan Rp 10.000,- sedangkan di Jorong Sungai Tanang Besar dan Sungai Tanang Kecil, justru sebaliknya petani lebih mudah untuk menjual tenaga atau jasa secara individual dari pada berkelompok, upah buruh tani untuk laki-laki Rp 20.000,- sedangkan untuk perempuan Rp 15.000,Pada tahun-tahun awal berdirinya kongsi di Jorong Salimparik, jumlah sebanyak delapan orang, untuk kongsi lakilaki dan delapan orang untuk kongsi perempuan. Namun dalam perjalanannya, jumlah anggota dari kedua kongsi tersebut mengalami fluktuasi (peningkatan dan penurunan), pernah menurut bapak Haji malin, anggota kongsi berjumlah 17 orang, tapi itu hanya bertahan delapan bulan, dan banyak diantara mereka yang mengundurkan diri. Sekarang jumlah anggota kongsi tujuh orang. Pengalaman bapak haji Malin, waktu Jumlah anggota kongsi sebanyak 17 orang, keroa kongsi tidak begitu baik, ada banyak yang malas, seringkali juga pada waktu hari kerja dan tempat kerja telah ditentukan, banyak dari angota kongsi yang berhalangan hadir dengan memberi sejumlah alasan. Sekarang dengan jumlah anggota kongsi sebanyak tujuh orang, menurut bapak Haji Malin itu sangat baik, kongsi menjadi kompak dan anggota kongsi tidak ada yang malas, sehingga pekerjaan menjadi cepat selesai.
228
Pengalaman salah seorang anggota kongsi, sebut saja namanya bapak Udin. Bapak Udin, berumur 48 tahun, dan istrinya berumur 45 tahun, telah mempunyai empat orang anak. Satu orang anak pak udin yang perempuan telah menikah, tetapi masih tinggal satu rumah dengan bapak Udin. Bapak Udin ikut dalam kongsi pada tahun 1988, kurang lebih setelah dua tahun kongsi berdiri. Keikutsertaan bapak Udin dalam kongsi, didasarkan pada kebutuhan pak Udin pada akan tenaga dalam pengerjaan ladang di gurun. Menurut Pak Udin, tanaman yang dapat mendatangkan uang dan menguntungkan di lahan pertanian kering adalah tanaman kentang, menurut Pak Udin. Namun, tanaman kentang ini menurut Pak Udin, memerlukan lahan baru. Maksud lahan baru adalah lahan yang sudah lama ditinggalkan atau lahan yang baru di buka sama sekali. Untuk membuka lahan baru, itu Jelas memerlukan tenaga yang banyak. Sebelum ikut kongsi, pak Udin hanya mampu menanam kentang sebanyak 50 sampai dengan 100 Kg. Sejak masuk kongsi pak udin dapat menanam kentang sebanyak 300 sampai dengan 400 Kg. Menurut pak Udin pada tahun 1989, dia menanam kentang 350 Kg bibit, pada saat itu tanaman kentangnya cukup subur sehingga hasilnya cukup baik. Harga di pasaran juga baik, pak Udin mengalami keuntungan yang lumayan dari hasil tanaman kentang. Keuntungan dari menanam tanaman kentang dapat beliau pergunakan, sebagian untuk memperbaiki rumah dan sebagian lagi untuk membeli kerbau yang harganya pada waktu itu Rp 825.000,- Kalau tidak dengan hasil tanaman kentang pada tahun 1989, entah kapan saya dapat memperbaiki rumah dan membeli kerbau. Disamping beliau menjadi anggota kongsi, istri beliau juga menjadi ketua kongsi perempuan.
4.3. Julo-Julo Kelompok Julo-Julo yang ada di Nagari Sungai Tanang, jumlahnya ada delapan kelompok. Ide pendirian kelompok julo-julo, sebagian besar di motori oleh ibu-ibu yang tingkat pendidikannya cukup tinggi, dan oleh ibu-ibu yang bekerja sebagai petani juga bekerja sebagai pedagang, dan ada satu kelompok yang dikelola oleh seorang mahasiswi.
229
Perkumpulan julo-julo, keanggotaannya bervariasi, mulai dari 10 orang sampai 40 orang. Keanggotaan dalam kelompok oulo-oulo bervariasi, lebih disebabkan oleh besar kecilnya julo-julo dalam kelompok tersebut. Panarikan julo-julo yang besar, biasanya anggota sedikit. Ambil contoh, Julo-Julo yang di kelola oleh Ibu Rena, jumlah anggotanya hanya 10 orang, besarnya julo-julo setiap bulan Rp 55.000,- untuk jangka waktu 10 bulan. Jumlah uang yang diterima oleh penerima ; julo-julo setiap bulan Rp 500.000,-, dan setiap bulan anggota Julo-Julo menabung sebesar Rp 5.000,- Uang Rp 5000,- yang ditabung setiap bulan menurut Ibu Rena, akan digunakan sebagai pembayaran pertama untuk tahun berikutnya Setelah, 10 bulan pertama selesai, dan pada waktu itu, anggota hanya membawa uang Rp 5000,- saja. Bagi anggota yang mau meneruskan, sedangkan bagi anggota yang mengundurkan diri, diberikan uangnya sebesar Rp 50,000,-. Jadi menurut Ibu Rena, anggota tidak dirugikan. Keuntungan, dari Ibu Renah sebagai pengelola Julo; (1) ibu Renah memperoleh prioritas pertama menerima; (2) dana anggota dalam bentuk simpanan sebesar Rp 5.000,- perbulan, dapat dipergunakan terlebih dahulu oleh ibu Rena. Menurut Ibu Renah, resiko dalam kelompok julo-julo yang jumlahnya anggotanya kecil biasanya tidak ada, dibandingkan kalau anggota kelompok julo-julo besar atau banyak. Walaupun, julo-julonya termasuk besar bahkan paling besar di Sungai Tanang, namun karena semua anggota sudah dikenali dengan baik, maka tidak ada anggota yang tidak membayar. Hanya, kadang-kadang ada yang terlambat membayar pada waktunya. Pada saat. ada anggota yang terlambat membayar pada waktu penarikan, disinilah ibu Rena berperan untuk menutupinya terlebih dahulu. Sejak Ibu Renah mengelola Julo-Julo besar, anggota kelom-poknya relatif tetap dan tidak pernah melebihi jumlah 10 orang. Angka 10 yang dipatok oleh Ibu renah, pada dasarnya bertujuan; pertama untuk memudahkan mengelola, Kedua, untuk memperlihatkan kepada masyarakat bahwa kelompok julo-julo yang dikelola bergengsi. saat dikonfirmasikan kepada ibu Renah, apa maksud bergengsi, Ibu Renah juga tidak dapat menjelaskannya. 230
Menurut ibu Renah, banyak juga anggota masyarakat yang antri (menunggu giliran) untuk dapat ikut dalam kelompok julojulo ini. Berbeda dengan kelompok Julo yang dikelola oleh Ibu Minah, yang jumlah anggotanya 39 orang. Besarnya julojulo setiap minggu Rp 5000,- Jumlah uang yang diterima oleh anggota penerima julo-Julo setiap pencabutan nomor sebesar Rp 190.000,- sisa Rp 5.000,- uang lelah ibu Minah sebagai pengelola. Besarnya uang yang diambil oleh pengelola juga disepakati bersama dengan anggota kelompok. Sebagai pengelola ibu Minah akan bertanggung jawab, atas kelancaran pembayaran oleh anggota. Ibu Minah justru banyak sekali masalah yang dihadapi. Kendala yang dihadapi oleh Ibu Minah, sebenarnya berkaitan dengan jumlah anggota kelompok. Apabila jumlah anggota kelompok besar, maka masalah yang ada di dalamnya juga besar, apabila ada anggota kelompok yang tidak membayar sesuai dengan ketentuan yang telah disepakati. Salah seorang pemuka masyarakat menyebutkan kehadiran kelompok julo-julo sangat membantu masyarakat dalam mengatasi masalah keuangan, terutama untuk biaya pendidikan anak-anak dan untuk dijadikan modal dalam bekerja. Kendala keterbatasan modal sangat dirasakan oleh masyarakat, apabila mereka menanam tanaman tertentu yang memerlukan modal besar, seperti menanam tanaman kentang dan cabe keriting. Biasanya, apabila petani akan menanam tanaman kentang dan cabe keriting akan memerlukan modal sekitar Rp 1.000.000,- sampai dengan Rp 1.500.000,-. Modal tersebut akan dipergunakan untuk membeli bibit, pupuk, peptisida dan sebagian petani juga menggunakannya untuk biaya pengolahan lahan pertanian. Salah seorang informan mengatakan, menanam tanaman kentang atau cabe keriting karena modalnya besar, sehingga tidak semua petani dapat melakukannya.
231
SISTEM MATRILINEAL MINANGKABAU : DARI KOMUNALISTIK KE INDIVIDUALISTIK Sistem matrilineal dijadikan sebagai ideologi oleh masyarakat Minangkabau dan orang Minangkabau memiliki kebanggaan dengan ideologi tersebut. Dalam prakteknya banyak orang Minangkabau tidak lagi menjalankan kewajiban kulturalnya sebagai orang Minangkabau. Tanah komunal yang menjadi instrumen utama menopang ideologi sistem matrilineal di gerogoti dari berbagai arah, beberapa keluarga tidak lagi memiliki tanah komunal, pada hal tanah komunal menjadi pusat orientasi dan sarana untuk menghidupkan sentimen kolektif dalam keluarga luas matrilineal dan dalam kehidupan bernagari. Sekaligus juga tanah komunal menjadi katup penyelamat bagi individu dan keluarga pada saat mengalami kesusahan. Fragmentasi pemilikan tanah yang disebabkan oleh tekanan demografis sudah sangat mengkawatirkan pada masyarakat Nagari Sungai Tanang. Kecilnya kepemilikan tanah pada setiap keluarga pada masyarakat Sungai Tanang menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan, disamping kelangkaan modal. Tanah komunal sebagai mekanisme jaminan sosial dalam masyarakat tidak berfungsi, sehingga tingkat kohesifitas dalam keluarga luas matrilineal melemah dan berimplikasi terhadap keluarga-keluarga miskin dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Ideologi komunalistik menjadi kenangan digantikan oleh ideologi individualistik. Data yang dikemukakan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Barat, dimana 30,9 % balita menderita kekurangan Gizi menjadi indikasi tidak bekerjanya mekanisme jaminan sosial yang berbasis tanah komunal pada masyarakat pedesaan Minangkabau. Adaptasi ekologi dan perubahan sistem ekonomi memainkan peranan penting dalam pembentukan struktur sosialbudaya suatu masyarakat sehingga di beberapa nagari sistem matrilinial tidak lagi bekerja. Perubahan sistem mata pencaharian mengakibatkan terjadinya perubahan struktur keluarga dan berimplikasi terhadap hancurnya bangunan masyarakat matrilineal, sebagaimana yang terjadi pada 232
masyarakat Ndembu, Bemba dan Ashtani (Clammer, 2003: 135142). Perubahan sistem mata pencaharian dalam masyarakat Ndembu, Bemba dan Ashanti, mengakibatkan common property dalam hal ini tanah yang semula merupakan unit usaha bersama, terbagi kepemilikannya dalam keluarga-keluarga inti. Ketegangan dan konflik internal sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Ndembu, Bemba dan Ashanti juga terjadi pada masyarakat nagari Sungai Tanang. Faktor utama juga disebabkan berkurang atau tanah komunal tidak lagi dimiliki oleh keluarga luas matrilineal. Munculnya keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak menggantikan keluarga luas matrilinial di nagari Sungai Tanang, merupakan konsekuensi dari perubahan pola: 1) berkurang atau hilagnya tanah komunal. 2) tempat tinggal. 3) kerja sama ekonomi. 4) tanggungjawab hukum dan sosialisasi dalam keluarga. Beberapa kasus pada masyarakat matrilinial, seperti pada masyarakat Tongga, kunci perubahan terletak pada pengenalan sistem pertanian dari sistem pertanian subsistensi ke sistem pertanian yang berorientasi pasar (cash crop). Dalam sistem pertanian yang seperti itu memungkinkan terjadinya akumulasi penghasilan yang jauh di atas kebutuhan subsistensi. Keadaan tersebut dapat menimbulkan ketegangan-ketegangan internal dalam hubungan perkawinan antara suami dengan istri dan antara istri dengan saudara laki-lakinya. Secara teoritis pada masyarakat matrilinial, baik laki-laki maupun perempuan samasama dibutuhkan untuk kelestarian dan untuk kepemimpinan kaum. Laki-laki dibutuhkan karena berkuasa terhadap anak dari saudara perempuannya, dan berperan sebagai pemimpin dalam kaum matrilinialnya. Perempuan dibutuhkan karena memberikan keturunan dan berkewajiban membesarkan anakanaknya. Penerapan teknologi pertanian, seperti introduksi bajak, sistem irigasi dan proses industrilaisasi secara langsung mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga. Produksi subsistence diganti dengan produksi untuk pasar dan ekonomi uang. Peranan wanita sebagai produsen makanan berkurang, sedangkan peranan ekonomi laki-laki akan diperkuat. Apabila laki-laki berhasil memperoleh harta pribadi, harta itu kemudian 233
diwariskan kepada anak-anaknya, dan tidak kepada kemenakannya. Semua faktor tersebut mempengaruhi pola menetap setelah menikah, karena anggota masyarakat kurang terikat kepada ladang sebagai sumber ekonomi, maka keharusan untuk tinggal di tengah keluarga matrilinialnya berkurang. Dengan demikian mempengaruhi pola menetap setelah menikah dari uxorilokal ke pola kediaman yang bersifat neolokal Perkembangan keluarga inti dan penyebaran anggota kaum kerabat matrilinial mengurangi kontrol sosial dalam masyarakat. Menurut Ramakers, laki-laki tidak lagi dianggap sebagai orang yang memberi keturunan kepada isteri dan kaum matrilinial isterinya, melainkan juga sebagai ayah dan suami (Keesing, 1989:233). Keadaan seperti itu mengganggu kestabilan dalam keluarga luas matrilinial dan pada akhirnya keluarga luas matrilinial mengalami kehancuran. Pada masyarakat Sungai Tanang, hubungan istri dengan suami menguat, sedangkan hubunga istri dengan saudara lakilakinya melemah. Karakteristik ekologis dan besaran penguasaan dan pemilikan tanah dalam masyarakat Nagari Sungai Tanang mempengaruhi pilihan masyarakat. Apakah mengikuti norma-norma adat atau norma dalam ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam prakteknya masyarakat Nagari Sungai Tanang memilih ajaran Islam, perbedaan antara apa yang seharusnya dilakukan sebagai tuntutan kultural (ajaran adat) dengan apa yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari pada masyarakat Nagari Sungai Tanang, dijelaskan oleh masyarakat dengan mempergunakan perspektif Islam. Fungsi mamak, tungganai dan penghulu di tingkat keluarga luas matrilineal, digantikan ayah dalam keluarga inti. Solidaritas sosial dalam keluarga luas matrilineal melemah dan terjadi penguatan solidaritas sosial yang didasarkan pada kedekatan tempat tinggal dan kesamaan pekerjaan. Perubahan sistem perekonomian dari sistem pertanian subsistensi ke sistem pertanian yang berorientasi pasar pada masyarakat Sungai Tanang, dipercepat karena berkembangnya pasar Padang Luar sebagai sentra pemasaran horticultura di Sumatera Barat. Keadaan itu, pada satu sisi telah mengakibatkan terbukanya lapangan kerja di luar sektor pertanian dan 234
terjadinya perbedaan penghasilan antara keluarga-keluarga inti matrilinial sehingga memberikan implikasi terhadap sistem pewarisan dan pola menetap dalam masyarakat. Laki-laki dalam posisi sebagai mamak tidak lagi memberikan kontribusi ekonomi terhadap keluarga luas matrilinialnya, dan semua penghasilannya diberikan kepada istri dan anak-anaknya. Di sisi lain dengan berubahnya sistem perekonomian dan terbukanya lapangan kerja di luar sektor pertanian, pada satu sisi telah menyelamatkan keluarga-keluarga inti matrilinial terhindar dari krisis subsistensi dengan menata organisasi produksi untuk memperoleh surplus di tanah pertanian yang relatif kecil. Ikatan seorang wanita dengan suaminya kemungkinan bertentangan dengan ikatan wanita itu dengan saudara laki-laki, dan wanita dengan suaminya, karena saudara laki-lakinya yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Untuk menjamin pelestarian dan kepemimpinan dalam kaum matrilinialnya, wanita harus memberi prioritas terhadap ikatan dengan saudara laki-laki dibandingkan dengan suami. Ketegangan internal dalam keluarga luas matrilinial tidak saja disebabkan karena masalah pelestarian dan kepemimpinan dalam keluarga luas matrilinial, akan tetapi juga berkaitan dengan aktualisasi ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, karena masyarakat matrilinial Minangkabau beragama Islam dan agama Islam menjadi identitas diri orang Minangkabau. Hampir semua persyaratan untuk terjadi perubahan dalam masyarakat matrilinial Minangkabau, menurut teori evolusi sistem matrilinial, sudah terjadi di Minangkabau. Namun, belum ada tanda sistem keturunan matrilinial yang ada akan diganti dengan sistem keturunan lain, seperti sistem patrilineal atau bilateral. Keberadaan common property dalam bentuk tanah pada masyarakat matrilinial tetap menjadi instrumen pokok untuk memelihara solidaritas sosial dalam keluarga luas matrilinial Minangkabau. Mengingat mata pencaharian utama masyarakat di bidang pertanian. Tanah komunal dapat dijadikan dasar pembentukan unit usaha bersama dalam masyarakat matrilineal Minangkabau, yang bentuk usaha bersama dapat saja disesuaikan dengan sumber daya yang dimiliki oleh setiap keluarga luas matrilineal. Produksi kopra pada suku Truk 235
misalnya, tetap dimiliki oleh keluarga luas matrilineal, dikelola secara bersama dan digunakan untuk memenuhi kebutuhan seluruh anggota keluarga luas matrilinial. Dengan demikian, usaha untuk mempertahankan atau menumbuhkan asset produktif milik bersama dalam keluarga luas matrilineal Minangkabau menjadi keharusan agar tingkat kohesifitas dalam keluarga luas matrilineal terpelihara. Menurut Wolf (1983: 2), pada masa lampau petani tidak melakukan usaha tani dalam arti ekonomis, mereka hanya mengelola suatu rumah tangga dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau kebutuhan pokok. Masyarakat petani akan menghentikan usaha produktif di lahan, apabila kebutuhan minimun dari keluarga sudah terjamin. Tujuannya adalah untuk mempertahankan keseimbangan antara kemampuan sumber daya yang tersedia dan tuntutan dari luar. Berbeda dengan apa yang ditemukan pada masyarakat Sungai Tanang, dimana usaha tani yang dilakukan masyarakat betul-betul memepertimbangkan nilai ekonomis dari usaha tani yang dilakukan sebagai akibat dari besaran penguasaan dan pemilikan lahan pertanian berperan dan melahirkan bentuk dan strategi yang berbeda dalam masyarakat. Perbedaannya terletak pada pengelolaan lahan secara terus menerus dan keputusankeputusan yang diambil masyarakat Sungai Tanang berkaitan dengan jenis komoditi yang ditanam di lahan pertanian ditentukan sekali oleh mekanisme pasar. Pilihan-pilihan yang dilakukan oleh masyarakat Sungai Tanam terhadap tanaman padi atau tanaman sayur-mayur dan palawija yang ditanam di lahan pertanian merupakan strategi penyelamatan dan wujud dari kerentanan masyarakat, saat dihadapkan pada kecilnya penguasaan dan pemilikan lahan pertanian. Menjadikan tanaman padi sebagai tanaman sela untuk menyuburkan tanah agar tanaman horticultura tumbuh dengan baik, merupakan keputusan yang di dasarkan pada pengalaman bertahun-tahun masyarakat Sungai Tanang. Dan sangat erat sekali kaitannya dengan sempitnya areal pertanian yang mereka miliki dan sistem pengairan yang masih tradisional. Menanam tanaman lain, selain tanaman padi, merupakan suatu bentuk adaptasi masyarakat di Sungai Tanang, dalam usaha 236
menyeimbangkan antara kemampuan dengan tantangan dunia luar. Suatu hal yang rasional, selama kebutuhan keluarga belum terpenuhi, maka seluruh anggota keluarga akan bekerja untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Terbatasnya lahan pertanian yang dimiliki oleh setiap keluarga inti matrilinial dalam masyarakat, telah menjadi faktor pendorong masyarakat untuk melakukan berbagai adaptasi untuk memenuhi kebutuhan anggota keluarga inti matrilinial. Perubahan jenis tanaman sekaligus juga diikuti dengan intensifikasi pemanfaatan lahan yang bertujuan untuk dapat mengoptimalkan hasil tanah pertanian yang terbatas, agar dapat memenuhi kebutuhan keluarga yang jumlahnya terus meningkat. Pada saat sekarang, sistem sewa tanah merupakan salah satu cara untuk memperoleh akses terhadap tanah, munculnya sistem sewa, lebih disebabkan karena kebutuhan masyarakat akan tanah meningkat, dan petani kecil dan buruh tani yang tidak mempunyai modal akan mengalami kesulitan untuk memperoleh tanah. Mekanisme tradisional, seperti sistem bagi hasil cenderung tergeser oleh pola hubungan yang rasional, seperti sistem sewa. Dengan berkurangnya akses anggota keluarga terhadap penguasaan, pemanfaatan dan pemilikan harta pusaka dan menguatnya sistem sewa secara langsung akan akan mempercepat penambahan keluarga miskin dalam masyarakat Sungai Tanang. Hal ini disebabkan karena jaring pengaman sosial tidak lagi tersedia dalam masyarakat. Pola hubungan kerja dalam bidang pertanian, dalam beberapa hal memperlihatkan para petani terikat secara sosial ekonomi; kelangkaan tanah dan modal, membuat mereka saling membutuhkan. Kesamaan dalam kegiatan ekonomi pertanian mengikat mereka secara emosional dan melahirkan kebersamaan dalam berbagai wadah yang mereka bangun secara bersamasama. Tolong menolong dalam pengerjaan lahan pertanian yang pada masa lampau dilakukan secara spontan yang didasari hubungan kekerabatan mulai melemah, digantikan dengan hubungan ketetanggaan dan kesamaan pekerjaan.
237