MASYARAKAT MATRILINIAL MINANGKABAU By. Erwin Masyarakat Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang menganut sistem kekerabatan matrilinial. Keberadaan masyarakat matrilinial Minangkabau menjadi bahan kajian yang menarik, terutama dilihat dari perspektif evolusi dan neo-evolusi. Pada bagian ini akan dibahas; (1) sistem kekerabatan matrilinial di lihat dari perspektif materialisme budaya dengan membahas beberapa masalah teoritis yang melekat di dalam sistem kekerabatan matrilinial; (2) kedudukan tanah komunal dalam hubungannya dengan kekuatan eksternal (negara), karena pada masyarakat matrilinial tanah merupakan unsur pokok untuk menggerakkan sistem matrilinial, dan dominasi hukum negara akan berakibat sistem matrilinial tidak bekerja; (3) tingkatan dalam struktur keluarga matrilinial Minangkabau dan unsur-unsur yang menjadi penopang keberadaan dari keluarga luas matrilinial Minangkabau; (4) pengaruh dari Agama Islam, terutama berkaitan dengan hukum waris tanah yang bersifat perorangan berhadapan dengan hukum waris adat yang bersifat komunal; (5) perubahan sosial budaya pada masyarakat Minangkabau sebagaimana dikemukakan beberapa ahli, disamping itu juga dibahas implikasi dari perubahan struktur pemerintahan Nagari terhadap kelangsungan dari sistem matrilinial Minangkabau. Minangkabau dilihat sebagai daerah kebudayaan yang jauh lebih luas dari daerah administratif Propinsi Sumatera Barat. Tidak semua orang yang tinggal dalam wilayah administratif Propinsi Sumatera Barat merupakan orang Minangkabau, dan sebaliknya tidak semua orang Minangkabau tinggal di Sumatera Barat (Afrida,1997: 49-50, dan Amir, 1999:6). Catatan sejarah dan menurut tambo adat, persebaran orang Minangkabau meliputi daerah Sumatera Barat (kecuali kepulauan Mentawai ), sebagian Jambi, sebagian Riau, Bengkulu dan di propinsi Aceh, daerah Meulabouh; bahkan dalam persebaran selanjutnya cenderung semakin meluas, yaitu
36
mendiami sebagian derah semenanjung Malaysia, di Negeri Sembilan (Kato, 1982: 5 ). Alam bagi orang Minangkabau merupakan sumber penghidupan, sumber pengetahuan dan sumber aspirasi (Kato. 1982:19). Alam merupakan sumber ilmu pengetahuan yang tidak habis-habisnya. Hal ini jelas terlihat dalam ajaran adat yang tertuang dalam pepatah petitihnya, seperti: panakiak pisau siraut, ambil gatah batang lintabung, salodang ambiak ka niru, satitiak jadikan laut, sekapa jadikan gunung, alam takambang jadikan guru (Navis, 1984 59-60). Alam dengan segenab unsurnya senantiasa terdiri dari empat, seperti halnya ada mata hari, ada bulan, ada bintang dan ada bumi, serta ada api, ada air, ada angin dan ada tanah. Semua unsur alam yang berbeda kadar dan perannya akan saling berhubungan. Secara tradisional wilayah (alam) Minangkabau di bagi atas dua bagian, yaitu daerah inti dan daerah rantau. Daerah inti dikenal dengan sebutan luhak nan tigo dan dianggap sebagai tempat pemukiman pertama (asli) orang Minangkabau. Daerah rantau, merupakan daerah yang dibangun kemudian setelah orang Minangkabau semakin banyak, tersebar di luar luhak nan tigo. Daerah yang termasuk luhak nan tigo (tiga luhak ) adalah Luhak Tanah datar, Luhak Agam dan Luhak limapuluh koto. Daerah di luar ketiga luhak tersebut adalah daerah rantau, kecuali Solok dan Sijunjung, yang merupakan perluasan dari luhak Tanah Datar, seperti; Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Pasaman. Sebagian besar suku bangsa Minangkabau menempati wilayah Propinsi Sumatera Barat, yanag secara astronomis terletak antara 0‘ 55’ lintang utara dan 02’ 33’ lintang selatan, serta antara 90’ 10’ sampai dengan 101’ 55’ bujur timur. Luas dataran mencapai 42.297.30 Km2 yang berarti 2,17 % dari keseluruhan daratan Indonesia. Curah hujan cukup tinggi. Data dari beberapa stasiun pengamat menunjukkan bahwa curah hujan dalam setahun berkisar antara 388 mm dan 7.929 mm (Bapeda Sumatera Barat, 1995 : 3).
37
1. Sistem Matrilinial Sistem kekerabatan adalah norma-norma yang mengatur hubungan-hubungan sosial yang terjadi antara seseorang dengan saudara-saudaranya atau keluarganya, baik dari jalur ayah maupun dari jalur ibu (Robin Fox, 1978: 1). Sistem kekerabatan dapat juga diartikan sebagai kerangka interaksi antara individu-individu yang mempunyai hubungan kekerabatan. Yang menjadi titik simpul dari sistem kekerabatan adalah keluarga, apa itu keluarga inti (nuclear family), yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak atau keluarga luas (extended family), yang terdiri dari keluarga inti ditambah dengan kakek, nenek, paman, bibi, para sepupu, kemenakan dan lainnya. Di dalam keluarga terjadi interaksi peran-peran antar para anggotanya dengan status yang berbeda. Sanderson (1993: 37) mengemukakan bahwa ciri sistem kekerabatan adalah (1) aturan tempat tinggal ( residence ); dan (2) aturan keturunan (descent). Aturan tempat tinggal menentukan dimana pasangan suami isteri tinggal sesudah menikah. Aturan keturunan menetapkan jaringan individu-individu yang bertalian secara geneologi, mempertahankan identitas bersama, tampa mempertimbangkan tempat tinggal bersama. Menurut Murdock (1967: 41), patokan garis keturunan mengafiliasikan seorang individu karena kelahirannya, kepada suatu kelompok keluarga, dengan siapa dia merasa dekat dan dari siapa dia dapat mengharapkan bantuan dan perlindungan yang tidak dapat diperolehnya dari orang yang bukan keluarganya. Menurut teori sistem kekerabatan, kebanyakan sistem matrilinial terdapat dalam masyarakat dengan karakteristik sebagai berikut; (1) pertanian subsistensi (horticulture) merupakan sumber ekonomi utama; dan (2) kaum wanita melaksanakan tugas-tugas utama dalam pertanian; (3) produktifitas cukup tinggi yang memungkinkan pemukiman penduduk menetap dalam jumlah besar. Nancy Tanner mencirikan masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat Matrifocal, dalam definisi Tanner (1985:154) setiap sistem kekerabatan yang berpusat pada peranan ibu, bisa disebut dengan matrifocal; bahwa 38
Matrifocality as used here refers to the cultural elaboration and valution, as well as the structural centrality, of mother roles within a kinship system. Dalam arti tersebut matrifocal bisa terdapat di dalam sistem matrilinial dan sistem patrilineal, keturunan di hitung menurut garis ayah atau menurut garis ibu. Dalam visi Tanner, matrifocalitas di Minangkabau kelihatan dari sejumlah ciri struktural dalam sistem matrilinial dan juga dari sejumlah gagasan buadaya ( cultural beliefs ). Secara struktural (1) wanita memainkan peranan penting dalam ekonomi (sebagian besar dari kegiatan pertanian dilaksanakan wanita, banyak wanita terlibat dalam industri kerajinan tangan dan banyak juga yang menjual produk-produk pertanian di pasar); (2) wanita berpartisipasi secara luas dalam pengambilan keputusan (pada tingkat lineage suku pun pendapat perempuan diterima dan dihargai); dan (3) pola kediaman uksorilokal meningkatkan ikatan antara sanak saudara perempuan. Mereka ini merupakan inti struktural dari kaum kerabat Minangkabau. Selain itu, gagasan budaya mengenai ibu juga membuktikan matriokalitas masyarakat Minangkabau bahwa seorang ibu dilihat sebagai kuat, bijaksana dan sebagai pemberi makan kepada anaknya. Ikatan antara ibu dengan anak laki-laki terasa sangat kuat. Alisyahbana (1983: 32), sama dengan Tanner, menyoroti kedudukan wanita Minangkabau sebagai bundo (ibu). Orang Minangkabau, bahkan laki-laki yang berada di rantau akan selalu merasa terikat kepada ibunya dan terhadap harta pusaka keturanan ibunya. Akans akan sulit sekali bagi laki-laki Minangkabau untuk menentang perintah atau keinginan ibunya. Dan begitu sebaliknya, seorang ibu di Minangkabau, biasanya akan memanjakan anak laki-lakinya, biasanya dengan selalu mengirim masakannya kepada anaknya di rantau.
Disamping itu Alisyahbana (1983:22), lebih menekankan pada kedudukan ekonomi wanita Minangkabau yang sang terlindungai oleh sistem pewarisan matrilinial yang ada dalam masyarakatnya, dan pada prinsipnya harta pusaka tidak boleh dijual. Perempuan Minangkabau tidak bergantung kepada suaminya. Hubungan perkawinan berlaku atas pertimbangan 39
keperluan pihak perempuan akan keturunan, sehingga suami sering merupakan orang jemputan atas inisiatif pihak perempuan. Dalam struktur masyarakat yang seperti itu, menurut Alisyahbana (1983:21) akan memberikan keuntungan untuk pertumbuhan pribadi, baik perempuan maupun laki-laki. Perempuan Minangkabau mempunyai kepercayaan atas dirinya karena dia tidak tergantung kepada suaminya. Dalam kehidupannya ia biasa bekerja dan bertanggung jawab atas anak, rumah dan tanah keluarga yang dikuasainya, dia kerjakan dan dia nikmati hasilnya bersama anak-anak. Kepada suami yang dijemputnya di atidak berhutang budi dan bergantung. Dalam perbuatannya dia bebas. Perempuan Minangkabau itu adalah orang yang percaya akan dirinya sendiri, aktif dan penuh inisiatif dalam kehidupan ekonomi, politik, agama, seni dan lain.
Dalam masyarakat Minangkabau, laki-laki memegang kekuasaan dalam semua kelembagaan tradisional dalam masyarakat, sedangkan perempuan memperoleh hak sebagai pemilik dari harta benda dan anak-anak dalam keluarga matrilinialnya masing-masing. Menurut Navis ( 1985: 5 ) dengan kompoisisi kewenangan yang terbagi antara laki-laki dan perempuan, di dapatlah keseimbangan status, dengan demikian ambisi laki-laki untuk menuruti kehendak nalurinya ingin berkuasa dan memiliki dan diredam. Terhadap semua peredaman itu, laki-laki memperoleh kompensasi berupa penghormatan, baik dilingkungan keluarga matrilinialnya, maupun di lingkungan keluarga matrilinial istrinya. Prindiville (1980: 11), membicarakan gagasan-gagasan budaya (cultural images), yang terdapat di Minangkabau mengenai laki-laki dan perempuan dalam konteks beberapa peranan kunci (key roles) tertentu. Peranan-peranan yang dianalsis Prindiville adalah peranan ibu (bundo), dan untuk lakilaki (mamak), serta inmarried males, yaitu laki-laki yang sudah kawin dan tinggal bersama keluarga istri mereka (urang sumando). Menurut Prindiville di Minangkabau ibu dilihat sebagai sosok yang bijaksana, kuat, bertanggung jawab, bersifat halus dan dapat dipercaya sehingga memberikan stabilitas dalam masyarakat. Pelestarian atau matrilineage (paruik, jurai dan
40
suku ) tergantung kepada wanita. Perempuan merupakan pusat struktural dalam arti sosial maupun pusat kediaman keluarga matrilinialnya. Perempuan juga memegang peranan penting dalam pembentukan dan pelestarian ikatan-ikatan antara kaumnya sendiri dengan kaum matrilinial lainnya. Hal itu tampak pada peranan perempuan dalam prosedur mengurus hubungan perkawinan buat anak-anaknya, dan hubungan seorang ibu dengan menantunya dan keluarga menantunya (affinal kin). Disamping itu Prindiville ingin menunjukkan persamaan antara peranan mamak dengan peranan ibu dalam keluarga. Baik mamak maupun ibu memegang kedudukan sentral dalam struktur kekeluargaan. Perbedaan terletak pada perempuan yang merupakan pusat dalam arti kediaman, sedangkan kedudukan mamak di rumah ibunya, maupun di rumah istrinya bersifat marginal atau periperhal. Kedudukan laki-laki sebagai suami bersifat marginal, baik dalam arti struktural maupun dalam arti kediaman. Menurut Prindiville (1980:14), tidak ada rumah bagi laki-laki Minangkabau, dalam pandangan budaya Minangkabau laki-laki diibaratkan “ bak pipik jantan indak basarang, pauni suduik rumah urang”. (Ibarat burung tidak mempunyai sangkar, tinggal di sudut-sudut rumah orang ). Peranan orang sumando (suami atau ayah) di Minangkabau menimbulkan dua macam ketegangan; (1) dalam diri individu itu sendiri antara peranan mamak dengan peranan urang sumando; dan (2) antara urang sumando dengan mertua ( orang tua istri ). Disamping itu juga, laki-laki juga mengalami tuntutan yang bertentangan dengan dalam peranannya sebagai mamak dan sebagai urang sumando, antara perhatian yang harus diberikan kepada kemenakannya menurut adat, atau kepada anak-anaknya menurut ajaran Islam. Prindiville berkesimpulan, bahwa kontras analitis antara laki-laki dan perempuan Minangkabau adalah peranan wanita dari gagasan-gagasan budaya mengenai perempuan bersifat tunggal, sedangkan peranan laki-laki dalam gagasan-gagasan budaya bersifat dualistis. Suami isteri yang telah membangun keluarga inti, terutama mereka yang tinggal jauh dari keluarga matrilinial, 41
akan mengalami pola hidup yang berbeda. Lepas dari kontrol keluarga matrilinial, laki-laki dapat berkuasa penuh terhadap anak dan isterinya, dan akan kehilangan kemenakannya. Selanjutnya laki-laki mengalami tuntutan yang bertentangan dalam perannya sebagai mamak dan sebagai urang sumando, antara perhatian yang harus diberi kepada kemenakannya menurut adat dan kepada anak-anaknya menurut ajaran Islam. Dilihat dari perspektif adat, seorang anak dalam masyarakat Minangkabau, mamaknya yang bertanggung jawab dan berkuasa atas dia. Ikatan dengan ayahnya terutama bersifat biologis : hubungan sosial antara si anak dengan ayahnya tidak begitu kuat. Adanya dualisme nilai dan norma (ajaran adat dan ajaran agama Islam) terhadap peranan yang diharapkan kepada seorang laki-laki di Minangkabau, tidak selamanya dapat dijalankan dengan baik. Dalam konteks itu, hubungan yang harmonis antara sesama anggota keluarga dapat dipertahankan sepanjang individu-inidividu memainkan peran sebagaimana diharapkan (role of expectations). Pengertian keluarga pada masyarakat matrilinial Minangkabau ada berapa tingkat, yaitu; mulai dari paruik, jurai dan samande (Naim, 1979; dan Anwar, 1967). M. Radjab (1969) memberikan pengertian lain untuk jenjang tingkat garis keturunan yang mengidentikkan keluarga dengan rumah gadang. Rumah gadang merupakan tempat tinggal dari sebuah paruik, terdiri dari lima atau enam generasi di dalamnya. Untuk kelompok yang lebih besar dari paruik disebut jurai, sedangkan untuk kelompok yang lebih kecil dari paruik disebut samande ( Radjab, 1969: 15-30). Perbedaan konsepsi mengenai keluarga antara Naim (1979) dan Anwar (1967), dengan Radjab (1969), terletak pada konsepsi keluarga dalam arti luas dan dalam arti menengah. Sedangkan dalam arti kecil, mereka sama-sama menggunakan istilah samande ( satu ibu ). Dalam penelitian ini, konsep keluarga yang digunakan adalah pada tingkat samande atau keluarga inti, dalam kaitannya dengan keluarga luas matrilinial pada tahap paruik. Secara tradisional, pada masyarakat yang menarik garis keturunan secara sepihak (unilateral), peranan keluarga inti relatif kecil, bila di bandingkan dengan keluarga luas. Namun, 42
dalam perkembangannya, proses modernisasi yang berlangsung dalam masyarakat, telah mengakibatkan peranan keluarga inti menjadi penting. Keluarga inti merupakan suatu unit kekerabatan yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah, sedangkan dalam keluarga luas (exetended family) tidak hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak, akan tetapi ada sejumlah anggota kerabat lainnya. Pada masyarakat perdesaan sebenarnya sistem perlindungan sosial telah mengakar dalam mekanisme jaringan kekerabatan, ketetanggaan, pertemanan dan patron-clien. Sistem kekerabatan merupakan sumber jaminan sosial yang penting dalam masyarakat, terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan, mencari pekerjaan sakit, lanjut usia, anak-anak yang ditinggal orang tua, menderita cacat bahkan meninggal dunia. Dalam agama Islam misalnya, ada norma-norma yang mewajibkan umatnya untuk melindungi, meringankan beban, dan membantu orang-orang miskin, cacat, yatim piatu, orang tua, orang sakit dan lain sebagainya. Zakat harta dan zakat fitrah, menjadi kewajiban bagi umat Islam dan merupakan salah satu rukun Islam. Selain itu dikenal pula apa yang disebut dengan sedeqah dan infak. Walaupun aktivitas sosial dan keagamaan bisa merupakan sumber dari jaminan sosial pada masyarakat pedesaan, yang didasarkan pada hubungan yang bersifat timbal balik. Hal ini berarti bahwa barang dan jasa yang mereka terima pada akhirnya harus dikembalikan dengan berbagai cara. Menguatnya peranan ayah akan mempengaruhi fungsi dan tanggung jawab seorang ibu terhadap anak-anaknya. Mungkin sejumlah keputusan sehari-hari yang dulu diambil ibu, sekarang diambil ayah sebagai kepala keluarga. Ada kemungkinan juga bahwa rasa afektif seorang anak yang dalam struktur keluarga lama, hampir seluruhnya terserah kepada ibunya, sekarang akan terbagi antara ibu dan ayahnya. Kato (1987: 83), beranggapan bahwa hubungan antara ayah dengan anaknya berdasarkan kasih sayang. Perempuan bergantung pada suaminya, dari segi material ataupun dari segi emosional. Dalam keluarga inti suami berfungsi sebagai kepala keluarga dan dia berkuasa atas isterinya, hubungannya bersifat hierarkis. 43
Hubungan relatif egaliter antara perempuan dengan laki-laki dalam keluarga matrilinial, meskipun laki-laki sebagai pemimpin keluarga, hubungan antara laki-laki dengan saudara perempuan bersifat akrab; bahkan, menurut Navis, saudaranya perempuan yang tertua akan menjadi “ibu pengganti” apabila ibunya sendiri sudah tidak ada lagi. Nagari merupakan suatu komunitas dengan pemerintahan sendiri yang otonom, merupakan organisasi sosial politik tertinggi, tidak terdapat kaitan struktural formal antara satu Nagari dengan Nagari lainnya di Minangkabau. Otonomi Nagari terletak pada perangkat pemerintahannya, seperti undang-undang yang disebut dengan adat salingka Nagari, mempunyai lembaga pemerintahan dan aparatur pemerintahan yang tergabung dalam Lembaga Kerapatan Adat Nagari. Lembaga Kerapatan Adat Nagari, sebagai lembaga pemerintahan tradisional masyarakat Minangkabau, beranggotakan para penghulu, ditambah dengan cerdik pandai dan alim ulama, yang dikenal dengan istilah Tungku Tigo Sajarangan, Tali nan Tigo Sapilin, artinya ketiga unsur yang duduk dalam lembaga Kerapatan Adat Nagari merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, agar supaya pemerintahan Nagari dapat berjalan dengan efektif. Semua persoalan Nagari diurus secara bersama-sama oleh warga masyarakat Nagari, yang dipimpin oleh penghulu, ditambah dengan alim ulama dan cerdik pandai, yang terorgaanisir dalam lembaga Kerapatan Adat Nagari. Biasanya salah seorang di antara mereka yang menjadi anggota Kerapatan Adat Nagari, diangkat menjadi pucuk pimpinan atau wali Nagari , biasanya (Primus Interpares ). Dengan demikian sebagai suatu organisasi sosial dan politik tertinggi, Nagari dapatlah disebut sebagai republik-republik kecil, sampai kemudian datang sistem pemerintahan kolonial Belanda (Naim, 1991: 11). Dalam sistem pemerintahan yang demikian, pola kepemimpinannya demokratis, dengan berpijak pada sistem musyawarah dan mufakat. Pemimpin hanyalah orang yang di dahulukan selangkan dan ditinggikan seranting. Hubungan antara pemimpin dengan masyarakat tidak bersifat superordinat dan sub-ordinat. Dengan demikian hubungan antara 44
pemimpin dengan masyarakat dandi antara warga masyarakat sendiri, ditandai dengan semangat kebersamaan yang tinggi. Dengan prinsip yang seperti itu, pembangunan Nagari dirasakan sebagai tugas dan tanggung jawab bersama, dan bukan tugas para pemimpin saja (Hasbi, 1971:5). Kepemimpinan dari pemimpin hanya akan diikuti oleh masyarakat Nagari, sepanjang itu berjalan benar. Benar dalam pengertian alur dan patut, menurut adat yang bersandi syarak dan syarak bersandi kitabbullah. Artinya, azas kepemimpinannya disamping berpijak pada ajaran Adat, juga berpijak pada ajaran Islam. Secara tradisional, kepemimpinan dalam masyarakat Nagari di Minangkabau berjalan dengan mengedepankan aspirasi dan kebutuhan dari seluruh masyarakat Nagari. Praktek kepemimpinan dalam sistem pemerintahan Nagari, ditandai oleh semangat kebersamaan melalui lembaga musyawarah dan mufakat, di dalam lembaga Kerapatan Adat Nagari. Dengan begitu kegiatan-kegiatan atau gerakan komunitas akan terjadi melalui interaksi yang positif antara pemimpin dengan masyarakat. Pola kepemimpinan Nagari tersebut diatas relatif bertahan hingga diberlakukannya Undang-Undang No. 5 tahun 1979 tentang sistem pemerintahan desa. Kendati kemudian dalam perjalanannya terjadi perubahan-perubahan kelembagaan, baik intra maupun supra Nagari. Sistem kolonial Belanda yang pertama kali masuk, boleh dikatakan membiarkan otonomi dan otoritas kepemimpinan yang ada dalam Nagari. Kendati pemerintah kolonial Belanda menciptakan struktur supraNagari, berupa laras, asisten demang, demang, countrouleur, dan seterusnya. Sampai berakhirnya kekuasaan kolonial Belanda sampai tahun 1942, pemerintahan Belanda tetap membiarkan urusan Nagari tetap diatur oleh wali Nagari, bersama-sama dengan cerdik pandai dan alim ulama dalam lembaga Kerapatan Adat Nagari. Kepentingan dari pemerintahan kolonial Belanda terhadap Nagari dan struktur supra-Nagari adalah sepanjang berhubungan dengan pajak dan rodi, serta menjaga agar kekacauan tidak terjadi dalam masyarakat. Pada masa kemerdekaan kedudukan Nagari sebagai salah satu 45
volksgemeenschappen, atau kesatuan masyarakat yang otonom dalam wilayah Negara Republik Indonesia, dijamin oleh konstitusi. Dan dalam penjelasan pasal 18 Undang-Undang dasar 1945, disebutkan bahwa Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan semua bentuk desa yang ada di wilayahnya, termasuk juga Nagari di Minangkabau. Disebutkan pula, bahwa segala peraturan mengenai daerah, akan memperhatikan asal usul dari daerah-daerah itu. Pada masa setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan Nagari ditandai dengan berubah-rubahnya struktur kelembagaan, dan prosedurprosedur yang ada di dalamnya. Pada periode 1945 sampai dengan 1950, dimunculkan lembaga Dewan Perwakilan Nagari (DPN ) dan Dewan Harian Nagari ( DHN ), disamping Wali Nagari sebagai pucuk pimpinan. Periode 1950 sampai dengan 1958, diperkenalkan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari ( DPRN ), untuk menggantikan Dewan Perwakilan Nagari (DPN) dan Dewan Harian Nagari ( DHN ). Sementara wali Nagari digantikan dengan wali tepatan. Wali tepatan dianggkat dan diberhentikan oleh Gubernur. Pada periode ini kedudukan Nagari sebagai suatu komunitas dengan pemerintahan sendiri yang otonom dan demokratis terasa di lucuti. Dengan dasar itu, pada periode 1958 sampai dengan 1968, dibentuk pula kelembagaan baru, yang terdiri dari Kepala Nagari ( KN ), Badan Musyawarah Nagari (BMN), dan Badan Musyawarah Gabungan ( BMG ). Semangat demokratis diletakkan di kedua badan, dimana keanggotaan dari kedua badan terdiri dari golongan adat dan golongan agama, ditambah dengan golongan lain, seperti dari golongan-golongan partai yang ada dalam masyarakat. Namun, akibat ramainya pertarungan politis pada periode ini, maka kepemimpinan Nagari tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya (Hasbi, 1971:5-8). Permulaan Orde Baru, pada tahun 1968, Gubernur Sumatera Barat mengeluarkan surat keputusan yang mengatur bahwa pemerintahan Nagari adalah Wali Nagari, yang melaksanakan kekuasaan atau eksekutif, dan Dewan Perwakilan Rakyat Nagari ( DPRN ), sebagai legislatif, yang dipilih secara langsung, bebas dan rahasia. Periode ini disebut dengan periode 1968 sampai dengan tahun 1974. Dengan beberapa kali 46
melakukan evaluasi terhadap lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Nagari, maka Gubernur Sumatera Barat merasa perlu melaksanakan proyek Nagari percontohan. Pada tahun 1974, melalui surat keputusan Gubernur Sumatera Barat (nomor 156 tahun 1974) diperkenalkan lembaga Kerapatan Adat Nagari, sebagai institusi pendamping Wali Nagari, dan berhak menerima pertanggungjawaban Wali Nagari, mengenai urusan rumah tangga Nagari. Sistem pemerintahan seperti ini terus bertahan sampai diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, yang menyeragamkan bentuk seluruh pemerintahan terendah di Indonesia, dengan menjadikan desa sebagai unit pemerintahan terendah dalam negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan segala konsekuensi dan implikasinya. Implementasi dari Undang-Undang No. 5 tahun 1979 pada masyarakat Minangkabau, telah mengakibatkan solidaritas sosial dalam masyarakat berkurang dan sulitnya untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Hal ini disebabkan karena terpecahnya Nagari menjadi beberapa buah desa. Periode 1980 sampai dengan tahun 2000, periode pemerintahan desa, Nagari yang pada mulanya berjumlah 543 buah, terpecah-pecah menjadi 3236 buah desa. Artinya, satu Nagari berubah menjadi beberapa buah desa, dan setiap desa merupakan unit administratif yang otonom. Periode ini, dianggap sebagai periode yang paling merugikan masyarakat Nagari dan menghancurkan kelembagaan berbasis pada komunitas Nagari. Periode selanjutnya adalah periode 2001 sampai sekarang, desadesa digabung dan kembali ke pemerintahan Nagari. Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam yang ada di Nagari, dalam waktu yang panjang masyarakat Nagari Sungai Tanang tidak mendapatkan kompensasi dari PDAM. Sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, dengan mengembalikan Nagari sebagai unit pemerintah terendah. Bertujuan untuk memperkuat kelembagaan adat yang mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di Nagari, dan dipergunakan untuk kesejahteraan anak Nagari, dan masyarakat Sungai Tanang telah memperoleh apa yang menjadi hak mereka dari Perusahaan Air Minum Daerah Bukittinggi. 47
Perubahan sosial budaya yang terjadi pada masyarakat Minangkabau, telah mempengaruhi unsur-unsur yang menjadi pendukung dari sistem kekerabatan matrilinial dalam menjalankan fungsinya. Rumah gadang sebagai salah satu unsur dalam sistem matrilinial tidak berfungsi. Hal ini disebabkan karena harta pusaka sudah terbagi-bagi penguasaannya dalam keluarga inti matrilinial, yang ditandai dengan berkurangnya jumlah rumah gadang. Kahn 1975 (dalam Sairin, 2002:154155) dalam studinya mengenai pengrajin logam di Sumatera Barat membahas berdasarkan satu tesis bahwa mode produksi di kalangan petani berubah-rubah sesuai dengan kondisi lingkungan sosial yang lebih besar, bervariasi mengikuti a particular set of historical conditions; bervariasi mengikuti interaksi dengan mode produksi lain yang peredarannya lebih dominan. Tanam paksa yang dintrodusir oleh pemerintah kolonial Belanda pada akhir abad ke 19 telah mendatangkan perubahan tata ekonomi yang mendasar pada masyarakat Sumatera Barat. Tanah dan tenaga kerja yang semula merupakan milik keluarga dan tidak pernah dijual, pada akhir kebijakan tanam paksa telah tampil sebagai komoditi yang laku di pasar. Artinya pada saat itu, terdapat orang-orang yang menjual tanah keluarga dan menemukan dirinya sebagai orang yang hanya memiliki tenaga, untuk dijual agar mereka memperoleh penghasilan. Menurut catatan Schrieke, pada sekitar tahun 1920 di Sumatera Barat mulai muncul gejala kaum buruh dan juga kenaikan harga makanan pokok beras. Buruh tenaga kerja upahan inilah yang merupakan salah satu prasyarat kondisional munculnya mode produksi petty commodity, seperti pandai besi. Menurut Kahn 1975 (dalam Sairin, 2002:155) kalau tenaga kerja upahan tidak ada, maka usaha pandai besi dan pengrajin logam tidak berproduksi. Munculnya mode produksi industri kecil, tapi tidak disertai dengan munculnya organisasi produksi yang baru. Organisasi produksi yang dipakai tetap organisasi produksi keluarga, hal ini menurut Kahn disebabkan oleh dua faktor; pertama, tertutupnya kesempatan bagi para pengelola (Nangkodoh) untuk memperbesar usaha mereka sebagai akibat dari spesialisasi produksi yang sangat kecil dibandingkan dengan permintaan pasar; kedua, rendahnya harga 48
pasar bagi produk alat-alat kerja buatan pandai logam tradisional serta tidak adanya lowongan kerja disektor lain yang lebih mendatangkan hasil, sehingga membuat tenaga kerja yang terlibat dalam usaha itu harus mau menerima struktur upah yang ada. Penerapan teknologi pertanian, seperti introduksi bajak dan sistem irigasi yang meluas dan proses industrilaisasi secara langsung mempengaruhi struktur dan fungsi keluarga. Produksi subsistence diganti dengan produksi untuk pasar dan ekonomi uang. Peranan wanita sebagai produsen makanan berkurang, sedangkan peranan ekonomi laki-laki akan diperkuat. Apabila laki-laki berhasil memperoleh harta pribadi, harta itu kemudian diwariskan kepada anak-anaknya, dan tidak kepada kemenakannya. Semua faktor tersebut mempengaruhi pola menetap setelah menikah, karena anggota masyarakat semakin kurang terikat kepada ladang sebagai sumber ekonomi, maka keharusan untuk tinggal di tengah keluarga matrilinialnya berkurang. Dengan demikian mempengaruhi pola menetap setelah menikah dari uxorilokal ke pola kediaman yang bersifat neolokal Perkembangan keluarga inti dan penyebaran anggota kaum kerabat matrilinial mengurangi kontrol sosial dalam masyarakat. Menurut Ramakers, laki-laki tidak lagi dianggap sebagai orang yang memberi keturunan kepada isteri dan kaum matrilinial isterinya, melainkan juga sebagai ayah dan suami (Keesing, 1989:233). Keadaan seperti itu mengganggu kestabilan dalam keluarga luas matrilinial dan pada akhirnya keluarga luas matrilinial mengalami kehancuran. Hampir semua persyaratan untuk terjadi perubahan dalam masyarakat matrilinial Minangkabau, menurut teori evolusi sistem matrilinial, sudah terjadi di Minangkabau. Namun, belum ada tanda sistem keturunan matrilinial yang ada akan diganti dengan sistem keturunan lain, seperti sistem patrilineal atau bilateral. Dalam masyarakat Minangkabau keyakinan kepada sistem matrilinial sebagai suatu ideologi yang menjadi ciri khas dari masyarakatnya masih kuat, dan memberikan kebanggaan dalam diri orang Minangkabau, walau dalam prakteknya di beberapa Nagari di Minangkabau sistem matrilinial itu tidak lagi 49
bekerja. Adaptasi ekologi dan ekonomi memainkan peranan penting dalam pembentukan struktur sosial-budaya, disamping faktor ideologi, gagasan, nilai-nilai dan norma-norma dalam suatu masyarakat. Perkembangan keluarga inti dan penyebaran anggota kaum kerabat matrilinial mengurangi kontrol sosial dalam keluarga. Dalam masyarakat yang lebih kompleks terjadi sentralisasi kekuasaan, karena pada umumnya laki-laki mendominasi kehidupan publik, dan laki-laki akan menarik keuntungan dengan adanya sentralisasi kekuasaan dalam kehidupan publik, sehingga kewenangan laki-laki dalam bidang politik lebih kuat dibandingkan dengan wanita. Perubahan mendasar yang terjadi adalah laki-laki lambat laun memperoleh status sebagai suami dan sebagai ayah. Menurut Remakers, yang mendasarkan kesimpulannya atas teori Aberle (1961), pada saat laki-laki bukan hanya dianggap sebagai orang yang memberikan keturunan kepada istri dan keluarga matrilinial istrinya, melainkan juga sebagai ayah dan suami, maka hal itu berarti pengakhiran keturunan keluarga matrilinial (dlm Keesing, 1989:228 ). Secara teoritis pada masyarakat matrilinial, baik laki-laki maupun perempuan sama-sama dibutuhkan untuk kelestarian dan untuk kepemimpinan kaum. Laki-laki dibutuhkan karena berkuasa terhadap anak dari saudara perempuannya, dan juga berperan sebagai pemimpin dalam kaum matrilinialnya. Perempuan dibutuhkan karena memberikan keturunan pada kaum matrilinialnya, dan berkewajiban membesarkan anakanaknya. Supaya keluarga matrilnealnya bertahan, wanita harus mengutamakan keluarga matrilinialnya, dibandingkan dengan keluarga suaminya. Demikian pula laki-laki, apabila laki-laki dibutuhkan untuk memenuhi peran atau kewenangan dalam keluarga sukunya, dia harus mengutamakan kaum matrilinialnya, dan mengabaikan hubungan dengan isterinya. Karena itu, semakin lemah hubungan antara suami isteri, maka semakin besar pula kemungkinan keluarga matrilinialnya dapat bertahan dan menjalankan fungsinya. Menurut Schneider dan Richards (dalam Keesing, 1989:230-231), masyarakat matrilinial akan mengalami masalah-masalah struktural apabila; 50
Ada aturan perkawinan yang bersifat eksogami suku, dan adat menetap sesudah menikah yang bersifat matrilokal atau uksorilokal. Aturan perkawinan yang bersifat eksogami suku dan pola menetap setelah menikah bersifat matrilokal atau uksorilokal, akan mengakibatkan laki-laki akan pergi dan tinggal menetap di lingkungan kaum kerabat isterinya. Konsekuensi dari adanya pola menetap seperti ini akan mengakibatkan laki-laki tersebar dan tidak berada di tengah keluarga matrilinial. Maka dalam keluara matrilneal tersebut akan terdiri dari sejumlah wanita yang bersaudara ditambah dengan suami dan anak-anaknya, ditambah lagi dengan laki-laki yang pada saat itu tidak kawin, biasanya karena sudah duda. Keesing berpendapat; dalam masyarakat yang seperti itu, kedudukan wanita biasanya kuat, terutama dalam hal-hal yang berkaitan dengan lineagenya. Masalah akan tetap ada, apabila semua laki-laki atau sebagian besar laki-laki tinggal jauh dari keluarga matrilinialnya, biasanya masalah tersebut akan dielakan melalui adat perkawinan dengan orang sekampung. Disamping itu ada sejumlah mekanisme sosial dengan tujuan supaya sekurang-kurangnya ada satu orang laki-laki yang berperan dalam kepemimpinan keluarga, tetap tinggal di lingkungan keluarga matrilneal, misalnya: (1) lakilaki tersebut tidak pernah kawin; (2) mencereikan isterinya; atau (3) membawa isteri ke lingkungan keluarganya, jadi pola menetapnya virilokal.
Supaya keluarga matrilnealnya bertahan, wanita harus mengutamakan keluarga matrilinialnya dibandingkan dengan suaminya. Demikian pula laki-laki, apabila laki-laki dibutuhkan untuk memenuhi peran atau kewenangan dalam keluarga matrilinialnya, dia harus mengutamakan kaum matrilinialnya, dan mengabaikan hubungannya dengan isterinya. Semakin lemah hubungan antara suami isteri, maka akan semakin besar pula kemungkinan keluarga matrilinialnya dapat bertahan dan menjalankan fungsinya. Keluarga merupakan sebuah sub-sistem dari masyarakat juga menjadi sistem bagi dirinya sendiri. Sebagai sebuah sistem, keluarga mempunyai sejumlah fungsi yang harus dipenuhi, baik fungsi yang mesti disumbangkan oleh keluarga kepada anggotanya, maupun fungsi yang harus diberikan keluarga kepada masyarakat secara keseluruhan. Dengan melihat masyarakat sebagai sebuah struktur yang terdiri dari keluarga dan institusi sosial lainnya, maka masalah sosial yang ada dalam 51
masyarakat dapat dijelaskan, dengan melihat hubungan antara institusi keluarga dengan institusi lainnya dalam masyarakat (Hunt dan Horton, 1996: 274-275). Keluarga inti mempunyai peranan sebagai berikut : 1) Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi individu-individu yang menjadi anggotanya. 2) Keluarga inti merupakan unit sosial ekonomis yang secara material memenuhi kebutuhan anggotaanggotanya. 3) Keluarga inti menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidahkaidah pergaulan hidup. 4) Keluarga inti merupakan wadah dimana individu mengalami proses sosialisasi awal. Ideologi negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan keluarga cendrung menempatkan keluarga inti sebagai unit sosial terkecil dalam masyarakat dan memegang posisi sentral. Gejala ini terlihat dalam undang-undang no. 1 tahun 1974, tentang perkawinan yang menempatkan suami dan istri pada derajat yang sama, dan suami di posisikan sebagai kepala keluarga. Konsepsi keluarga sejahtera dapat diartikan sebagai keluarga yang para anggota-anggota saling memainkan peran sosial (social role), sejalan dengan tanggung jawab sosialnya. Keluarga sejahtera selanjutnya dapat dikatakan sebagai keluarga yang relatif mampu untuk menjalankan fungsi-fungsinya, baik fungsi afeksi, sosialisasi, biologis, ekonomi, maupun agama, rekreasi serta proteksi keluarga. Keluarga-keluarga yang mampu memainkan fungsinya, berperan sebagai indirect control bagi anggota untuk berlaku konformis dengan lingkungan sesuai dengan posisi keluarga sebagai significant others. Bagi masyarakat Minangkabau, hidup dalam keluarga luas pada dasarnya diikat oleh kesadaran mendapatkan perlindungan dari keluarga luas. Perlindungan yang diberikan kepada setiap individu dalam keluarga, berbentuk lingkaran konsentris yang intinya terletak di bagian dalam lingkaran tersebut. Terhadap anak-anak, tanggung jawab penyantunan berada di tangan orang tua, dan terhadap orang tua lanjut usia, 52
tanggung jawab penyantunan terletak di tangan anak-anak. Jika orang tua tidak memberikan santunan kepada anak, atau jika anak tidak memberikan santunan kepada orang tua, maka tanggung jawab penyantunan akan diambil alih oleh anggota keluarga saparuik. Jika anggota saparuik tidak memberikan santunan akan diambil alih oleh anggota keluarga sajurai, dan begitu seterusnya, menjadi tanggung jawab dari anggota keluarga sasuku. Dengan adanya pola tanggung jawab yang seperti itu terhadap anak-anak dan orang tua lanjut usia, serta terhadap anggota keluarga lain, yang secara ekonomi serba kekurangan, jelas tidak ditemukan anak-anak dan orang tua yang terlantar, serta para anggota keluarga yang mengalami kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan. Keadaan tersebut, dimungkinkan karena adanya prinsip pemilikan kolektif (pemilikan bersama). Kolektivitas menyebabkan setiap individu memiliki hak untuk menikmati hasil-hasil dari pemilikan bersama. Adanya sistem nilai dalam masyarakat, sebagaimana yang dimaksud dalam ajaran adat “ malu nan indak bisa di bagi” (harga diri), serta “ raso jo pareso” (rasa dan periksa) yang tertanam dalam kehidupan bermasyarakat dan menjadi acuan dalam di dalam hubungan keluarga pada tingkat paruik, dalam prakteknya secara tradisional, keterlantaran salah seorang anggota keluarga mengakibatkan malu bersama seluruh anggota keluarga pada tingkat paruik. Hubungan kekerabatan pada masyarakat Minangkabau, dibentuk oleh ikatan emosional, dan terikat secara asosiasional. Kuatnya ikatan dalam keluarga luas dan menguatnya hubungan antar individu dalam keluarga luas disebabkan karena adanya tujuan dan kepentingan bersama, yaitu berupa pemilikan bersama atas tanah dan rumah.
2. Kedudukan Tanah Komunal dalam Hukum Agraria
53
Pada masa kolonial, hak-hak pengelolaan tanah di Indonesia mempunyai karakteristik yang bersifat dualistis. Perbedaan dibuat antara tanah yang dikelola di bawah hukum Barat, dan tanah yang di kelola di bawah hukum adat suku-suku bangsa di Indonesia. Menurut Gautama dan Hornick (1972 : 7071) setiap tipe tanah di Indonesia mempunyai statusnya sendiri terlepas dari orang yang mempunyainya. Pada tahun 1870 dengan di keluarkan Undang Undang Agraria bagi masyarakat Jawa dan Madura, dan menurut ketentuan dari undang-undang agraria tersebut, orang-orang non-Indonesia, meskipun di larang memakai tanah yang sudah diolah oleh penduduk Indonesia, pada saat yang sama diizinkan untuk menyewa apa yang disebut dengan ‘lahan tidur’ (waste land) (Benda-Beckmann, 1979). Tujuan dari undang-undang agraria ini adalah (1) memberikan fasilitas bagi pertumbuhan investasi swasta asing dalam sektor pertanian dengan memungkinkan para wiraswasta asing untuk mendapatkan hak tanah yang bisa digadaikan dari pemerintah dalam jangka waktu yang cukup lama sehingga menguntungkan investasi; dan (2) menyewa tanah dari penduduk pribumi (Gautama dan Hornic dalam BendaBeckmann, 1979). Pasal 4 dari undang-undang agraria tersebut memberikan kekuasaan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memberikan tanah erfpacht kepada perusahaan asing selama 75 tahun. Tanah erfpacht adalah tanah yang dikuasai oleh pemerintahan kolonial Belanda yang digunakan sebagai tanah perkebunan dan peternakan. Tanaj erfpacht ini merupakan hak paling kuat dan penuh berada di bawah hukum sipil, dengan kepemilikan penuh pada seseorang atau perusahaan dalam semua bidang. Perbedaannya adalah tanah tersebut harus dikembalikan setelah habis masa kontraknya kepada pemerintah kolonial Belanda. Disamping menguasakan pemberian hak sewa dalam jangka waktu lama pada tanah pemerintah, undang-undang tersebut juga memungkinkan bagi penduduk pribumi untuk menyewakan tanah mereka kepada pengusaha asing (Gautama dan Hornick dalam BendaBeckmann, 1979). Istilah lahan tidur di tetapkan dalam domain declaration, yang merupakan bagian dari Undang Undang Agraria, 54
menyatakan bahwa “ semua tanah yang terbukti tidak diolah dengan hak milik (eigendom) dianggap milik negara dalam hal ini pemerintahan kolonial Belanda (Benda-Beckmann, 1979 : 211). Tujuan deklarasi ini adalah memberikan dasar hukum bagi pemerintah kolonial untuk memberikan hak-hak hukum sipil pada tanah, karena menurut teori hukum kolonial, hanya pemilik saja yang dapat memindahkan hak tanah hukum sipil, seperti erpacht kepada pihak lain (Gautama dan Hornick, 1972:70). Namun demikian arti kepemilikan (eigendom) masih problematis karena ahli hukum mempunyai pendapat yang berbeda mengenai bagaimana menafsirkan property rights pribumi. Untuk sebagaian besar pulau-pulau di luar Jawa dan Madura di keluarkan Undang-Undang Agraria lain setelah tahun 1870. Domain Declaration Sumatra, yang dikeluarkan pada tahun 1874, berbeda dari deklarasi tahun 1870, dalam hal tidak hanya pengakuan hak kepemilikan dalam pengertian Barat bagi orang Indonesia, akan tetapi juga mengakui hak untuk mengklaim kembali terhadap lahan tidur oleh anggota masyarakat Nagari. Perbedaan dibuat antara free domain bahwa pemerintah mempunyai hak milik penuh dan Unfree domain, dimana rakyat Minangkabau mempunyai beberapa jenis hak komunal (Oki, 1977 : 108 dan Benda-Beckmann, 1979). Para administrator kolonial menyembunyikan domain declaration ini kepada publik, karena mereka takut akan perlawanan masyarakat berskala luas (Kahn, 1980: 206). Pada tahun 1873 perang melawan Aceh dimulai, dan menurut Young, ini semakin memperlihatkan ketakutan pemerintah kolonial Belanda terhadap perlawanan geriliya pasukan Islam yang berlangsung di Aceh akan semakin kuat, dan dikhawatirkan perlawanan Islam tersebut akan meluas ke Sumatra Barat (Young, 1994: 44). Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa pemerintah kolonial sangat hati-hati dalam implementasi peraturan tersebut di Sumatra Barat. Alasan lain untuk merahasiakan domain declaration adalah bahwa sampai akhir abad ke 19 pemerintah pantai Barat Sumatra terus mengandalkan pengiriman kopi sebagai sumber utama
55
pendapatannya, meskipun penanaman kopi, yang dilakukan secara paksa (Coffee stelsel ) telah dicabut (Kahn, 1980: 206). Pada tahun 1915 Undang-Undang Agraria lain pada akhirnya diintrodusir di Sumatra Barat (staatsblad no. 98). Undang-Undang ini sedikit berbeda dengan ketentuan yang digariskan pada domain declaration tahun 1874. UndangUndang baru ini, menyatakan bahwa semua tanah di daerah pantai Barat Sumatra menjadi tanah yang dikuasai oleh negara dalam hal ini pemeintah kolonial Belanda. Undang-undang tersebut hanya memberikan perlindungan hak kepada masyarakat Minangkabau secara terbatas. Hak pemilikan seseorang terhadap tanah terbatas pada lahan yang ditanam. Hak milik pada semua tanah yang tidak ditanam, termasuk hak distribusi tanah Nagari untuk anak Nagari, dipegang oleh pemerintah kolonial Belanda (Benda-Beckmann, 1979). Domain declaration bagi Sumatra menjadi perdebatan sengit antara tahun 1911 dan 1915 (Kahn, 1980: 187). Definisi atau istilah lahan tidur menimbulkan masalah bagi penduduk Sumatra Barat, karena dalam kenyataannya, menurut adat semua tanah pada prinsipnya menjadi milik Nagari. Perbedaan pendapat muncul dikalangan ahli adat Belanda mengenai cara bagaimana seharusnya hak anak Nagari diinterpretasikan dan dimasukkan ke dalam hukum agraria. Para ahli seperti Verkerk Pistorius (1871), van Vollenhoven (1919) dan Ballot (1911) ( dalam Kahn, 1980: 175-177), memberikan pandangan bahwa hak milik terhadap semua tanah komunal merupakan basis masyarakat Nagari, dan karenanya domain declaration bertentangan dengan adat, sebaliknya ia menyatakan bahwa hak-hak komunal dari Nagari hanya merupakan hak pengawasan dan bukan kepemilikan. Penafsiran ini melegitimasi implementasi dari domain declaration di daerah Sumatra Barat dan karenanya diadopsi oleh pengambil kebijakan (Kahn, 1980: 71 dan Benda-Beckmann, 1979). Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, hukum baru secara bertahap menggantikan hukum kolonial. Pada tahun 1960, dikeluarkan UUPA (Undang-Undang Pokok Agaria) yang mengatur hak atas tanah dan masih berlaku sampai sekarang. Pasal 5 dari Undang-Undang Pokok Agraria tersebut 56
menyatakan bahwa peraturan agraria yang sekarang berlaku bagi masyarakat Indonesia adalah Hukum Adat. Akan tetapi bukan berarti penguatan kembali hukum adat sebagai hukum dasar mengenai tanah, karena pasal 5 dan pasal 58, menyatakan bahwa hukum adat tidak boleh bertentangan dengan UndangUndang Pokok Agraria. Oleh karena itu, Hukum adat sebagaimana yang dimaksudkan oleh Undang-Undang Pokok Agraria, dengan definisi yang tidak jelas adalah sesuatu yang berbeda dari adat, dan dapat dipahami oleh masyarakat Minangkabau sampai sekarang. Salah satu pembatasan adat yang merugikan adalah bahwa hak tanah komunal Nagari benarbenar di batasi. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “ Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (pasal 33 ayat 3). Kepentingan umum ini seringkali dipakai oleh mereka yang berkuasa untuk melanggar hak-hak tradisional penduduk Nagari. Instalasi air minum untuk penduduk perkotaan dan pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan air sebagai sumber tenaga pembangkit, pada hal sebelumnya air sangat diperlukan untuk irigasi, dibangun tanpa adanya ganti rugi atau kompensasi terhadap masyarakat petani yang secara langsung dirugikan, karena pemanfaatan air tersebut. Bank Dunia (1975 : 16-18), memberikan pengertian mengenai berbagai pola penguasaan dan pemilikan tanah di berbagai masyarakat adat di Indonesia. Ada beberapa pola yang dikemukakan oleh Bank Dunia, dan masyarakat Minangkabau termasuk ke dalam pola atau tipe komunal tradisional, dengan karakteristik sebagai berikut ; 1) Konsentrasi kepemilikan yang rendah, dimana hak kedaulatan berada di tangan komunitas. 2) Pengolahan tanah yang tidak terpusat, dimana hak-hak pemanfaatan berada di tangan anggota kelompok. 3) Kesamarataan sosial ekonomi yang tinggi atau moderat. 4) Produktifitas tenaga kerja yang rendah 5) Intensitas tenaga kerja bersifat menengah 6) Intensitas modal yang rendah 57
7) Produksi untuk subsistensi 8) Struktur jasa dan pelayanan masih terbelakang Kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia, untuk sebagian tidak dapat lagi ditemui pada masyarakat Nagari Sungai Tanang. Hal ini disebabkan karena ke delapan (8) kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia ( 1975: 15), itu dikaitkan dengan berbagai faktor seperti; (1) sistem politik dan situasi politik; (2) struktur ekonomi; (3) sistem sosial ; (4) sistem hukum ; (5) situasi demografis; dan (6) sistem pertanian dari setiap suku bangsa. Dalam konteks masyarakat Minangkabau pada saat sekarang, dalam beberapa aspek telah terjadi perubahan atau pergeseran, terutama berkaitan dengan kebijakan pemerintah, struktur ekonomi, sistem sosial yang telah mengalami perubahan, dan situasi demografis yang juga telah berubah karena terjadinya peningkatan jumlah penduduk, sehingga kriteria-kriteria itu tidak lagi ditemui dalam masyarakat, sebagaimana yang terjadi di Nagari Sungai Tanang. Di Nagari Sungai Tanang, kriterianya adalah sebagai berikut; (1) luas pemilikan tanah yang kecil, dan sebagian besar hak pemilikan berada di tangan individu dalam keluarga inti matrilinial ; (2) pengolahan tanah tidak terpusat, dan hak pemanfaatan tanah komunal berada di tangan anggota kelompok keluarga inti matrilinial; (3) kesamarataan sosial ekonomi yang tinggi atau moderat ; (4) produktifitas tenaga kerja yang rendah; (5) jumlah tenaga kerja yang terserap rendah ; (6) produksi berorientasi pasar. Di beberapa tempat di Nagari Sungai Tanang masih terdapat hutan, namun hutan tersebut merupakan hutan lindung yang dikuasai oleh negara, dan masyarakat Nagari Sungai Tanang dapat menerima ketentuan tersebut dan tidak mengolah tanah di dalam hutan lindung. Kalau dilihat semangat dari UUPA (undang-undang pokok agraria) maka luas tanah adat yang terdapat di Negara Republik Indonesia adalah seluas wilayah Negara Republik Indonesia. Konsep ini berlaku untuk semua suku bangsa yang ada di Indonesia. Menurut Muchtar Naim (1997:4), konsep Barat yang menekankan pada penentuan dan perlindungan hakhak perorangan pada dasarnya bersifat individualistis, 58
materialistis dan kapitalistis, ketiga konsep inilah yang yang menghancurkan konsep hukum adat tanah di Indonesia, yang pada dasarnya bersifat komunalistis dan sosialis, yang bertujuan untuk kesejahteraan semua orang. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yaitu undangundang Nomor 5 tahun 1960, sebagai pengganti dari hukum agraria yang diciptakan oleh pemerintahan kolonial Belanda, sejak tanggal 24 September 1960 mulai diberlakukan. UndangUndang Pokok Agraraia (UUPA) didasarkan pada hukum adat. Hukum Adat hanya dapat dipakai sepanjang ia tidak bertentangan dengan hal-hal sebagai berikut ; 1) Kepentingan nasional atau negara 2) Prinsip-prinsip sosialisme Indonesia 3) Peraturan-peraturan dari Undang-Undang Pokok Agraria 4) Peraturan-peraturan negara yang lain 5) Ketentuan-ketentuan yang berdasarkan hukum agama Kalau dipahami, ketentuan-ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria, sebagian besar mencontoh hukum barat. Undang-Undang tersebut mengakui beberapa hubungan atas tanah yang ditentukan dengan jelas, terutama mengenai hak milik. Hak milik dapat bertahan melalui tiga cara yang berbeda. Adapun ketiga cara tersebut adalah sebagai berikut; 1) Hak-hak yang berada di bawah hukum adat, yang mengakui hak milik di dalam adat, misalnya dalam bentuk tanah yang dibudidayakan, dapat didaftarkan di bawah Undang-Undang Pokok Agraria, jika pemilik tanah itu dapat membuktikan bahwa ia telah memenuhi ketentuan-ketentuan adat. 2) Pemerintah dapat memberikan hak milik kepada warga negara atau korporasi atas tanah negara.
59
3) Sebagian besar hak milik diciptakan melalui konvensi hak-hak milik yang sudah ada sebelum UUPA diberlakukan. Sesuai dengan ketentuan konversi, hak-ahak eigendom sebelumnya, agrarisch eigendom dan hak milik bersama, dapat dengan sendirinya berubah menjadi hak milik, asal si pemegang hak yang lama juga memenuhi syarat untuk menjadi pemegang hak-hak yang baru. Untuk memperoleh kepastian hukum atas tanah yang dikuasai secara tradisional oleh masyarakat adat, maka UUPA pasal 19 diatur tentang pendaftaran tanah di Sumatera Barat. Pendaftaran tanah yang disyaratkan oleh UUPA, pasal 19, telah mengakibatkan kepemilikan tanah komunal bergeser kepemilikan individual atau statusnya berubah menjadi hak milik, tidak lagi tunduk kepada hukum adat, tetapi kepada UUPA. Penggunaan tanah ulayat untuk keperluan pembangunan sebagaimana termuat dalam pasal 18 UUPA yang berbunyi sebagai berikut : Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur oleh undang-undang.
Untuk melaksanakan pasal 18 tersebut dikeluarkan undangundang no. 20 tahun 1961 tentang pencabutan hak atas tanah dan benda-benda di atasnya. Akan tetapi dalam prakteknyan Undang-Undang no. 20 tahun 1961 tidak dipergunakan oleh pemerintah untuk mendapatkan tanah untuk keperluan pembangunan. Akan tetapi pemerintah lebih suka menggunakan Peraturan Menteri Dalam negeri No. 15 tahun 1975 yang memuat ketentuan mengenai tata cara pembebasan tanah. Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri Dalam negeri menyebutkan apa yang dimaksud dengan pembebasan tanah adalah sebagai berikut ;
60
Yang dimaksud dengan pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di antara pemegang hak atau penguasa atas tanah dengan cara memberikan ganti rugi.
Selanjutnya pasal 1 ayat 5 berbunyi sebagai berikut; Tanah-tanah yang dibebaskan dengan mendapatkan ganti rugi dapat berupa : a. tanah-tanah yang telah mempunyai sesuatu hak berdasarkan Undang-undang nomor.5 tahun 1960; b. tanahtanah dari masyarakat hukum adat.Menurut catatan tahun 1971, tanah ulayat yang telah diserahkan untuk keperluan pembangunan di Sumatera Barat 117.810 Ha, dengan rincian sebagai berikut ; a. Kabupaten Pasaman 72.005 ha; b. Kabupaten Sawahlunto Sijunjung 32.605 ha; c. Kabupaten Solok 3.200 ha; d. Kabupaten Pesisir Selatan 10.000 ha. Pada tahun 1991, tanah ulayat yang diserahkan untuk keperluan pembangunan meningkat jumlahnya menjadi 437.659 ha (Thalib, 1979 ). Sejauh ini, pemberlakuan dan pelaksanaan UndangUndang Pokok Agraria, UU. Nomor 5 tahun 1960 dan ketentuan-ketentuan yang terkandung di dalamnya, sejak tahun 1980 an sudah mulai dilaksanakan. Pendaftaraan tanah untuk memperoleh hak pemilikan tanah terutama tanah perumahan, dan sebagian dari tanah pertanian didaftarkan untuk memperoleh status kepemilikan individual. Di lapangan terlihat kecendrungan, masyarakat mendaftarkan tanah mereka pada saat mereka menghadapi masalah, apakah berkaitan dengan batas tanah yang mereka miliki, atau berkaitan dengan sengketa di dalam keluarga luas mastrilineal dan dengan warga masyarakat lainnya ( Sa’danoer, 1971 ) Di antara begitu banyak ketentuan berkaitan dengan penjualan, pengalihan dan penggadaian tanah, sebagaimana dinyatakan dalam Bab 7 ayat 1, UUPA no. 5 tahun 1960, berbunyi, sebagai berikut ; Barang siapa menguasai tanah pertanian dengan hak gadai pada waktu mulai berlakunya peraturan ini sudah berlangsung selama tujuh (7) tahun atau lebih, wajib mengembalikan tanah itu kepada pemiliknya dalam waktu satu bulan setelah tanaman yang ada selesai panen, dengan tidak ada hak pembayaran uang tebusan.
61
Ketentuan yang mengatur penggadaian tanah sebagaimana tersebut di atas, dimana pihak penerima gadai akan mengembalikan tanah secara cuma-cuma setelah masa gadai tujuh tahun tidak dilaksanakan sama sekali oleh masyarakat. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria ini, pengusahapengusaha mempunyai kemungkinan mendapatkan hak guna usaha dan hak memakai tanah negara. Hak ini diberikan untuk jangka waktu tertentu, biasanya 35 tahun. Hak ini juga dapat diperpanjang sampai 25 tahun berikutnya. Terdapat ketetapan khusus dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang dengan sendirinya mengubah hak-hak tanah tertentu, seperti hak sewa jangka panjang yang dimiliki oleh perusahaan besar, menjadi hak guna usaha (Gautama dan Hornick, 1983:84-85). Semua tanah yang pada jaman penjajahan Belanda berada di bawah erfpacht dengan sendirinya berubah menjadi tanah negara setelah kemerdekaan. Dalam adat Minangkabau, perbedaan dibuat antara “ tanah pusako dengan ulayat Nagari “. Tanah pusako diterjemahkan sebagai tanah keturunan yang diwarisi melalui pewaris menurut garis ibu, sedangkan ulayat Nagari adalah tanah komunal yang menjadi milik seluruh anak Nagari. Di Minangkabau tidak ada tanah yang, dengan satu atau lain cara, tidak menjadi milik Nagari. Lahan pertanian, seperti; sawah, ladang (kebun), dan tanah perumahan biasanya merupakan tanah pusako, dan diluar tanah tersebut akan merupakan tanah ulayat suku atau ulayat Nagari. Anak Nagari mempunyai hak untuk mengolah tanah ulayat Nagari, dan setelah ditinggalkan akan menjadi milik Nagari kembali. Sampai sekarang, di beberapa Nagari masih terdapat tanah ulayat Nagari, dan hasilnya digunakan untuk kesjahteraan anak Nagari. Cara penguasaan atau hak atas tanah diatur secara berbeda-beda antara satu Nagari dengan Nagari lainnya. Secara adat penduduk Nagari harus membayar kepada Kerapatan Adat Nagari, apabila menggunakan tanah tersebut, sebagai diungkapkan dalam pepatah, sebagai berikut ;
62
1) Adat bunga tanah, yaitu hasil dari tanah ulayat Nagari yang digarap dan dimamfaatkannya. 2) Adat bunga kayu, yaitu suatu yang harus diserahkan kepada pemangku adat sebagai imbalan dari hasil hutan yang dimamfaatkan. 3) Adat tekuk kayu, yaitu sesuatu yang harus diserahkan sebagai imbalan pemamfaatan tanah untuk berladang. 4) Adat bunga emas, yaitu sesuatu yang harus diserahkan sebagai imbalan dari apa yang di dapat dari hasil tambang. Besarnya imbalan yang diserahkan kepada pemangku adat berbeda pada setiap Nagari di Sumatera Barat, sesuai dengan kesepakatan pemangku adat di setiap Nagari. Adat bunga emas, tidak dapat diterima oleh pemangku adat, karena adanya klaim dari pemerintah terutama usaha galian C. Satu hal yang positif terlihat adanya keinginan dari pemeintah kabupaten untuk mengalokasikan sebagian hasil tambang, yang pada periode sebelumnya dikelola sepenuhnya oleh pemerintah kabupaten kepada pemerintah Nagari. Tanah ulayat Nagari, kurang lebih 20 hektar, terletak di pinggang gunung Singgalang pada ketinggian 720 M dari permukaan laut. Tanah ulayat Nagari berupa hutan yang oleh pemerintah Belanda dijadikan sebagai hutan lindung dan masyarakat tidak boleh menggunakan kawasan itu sebagai tanah garapan. Setiap anak Nagari boleh mengambil manfaat dari hasil hutan, sesuai dengan ketentuan adat, sebagaimana yang dimaksud dalam pepatah adat “adat diisi, limbago dituang“, dengan memberikan imbalan dalam bentuk tertentu sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku dalam Nagari, dan diserahkan kepada pemegang ulayat. Ketentuan ini merupakan mekanisme yang mengatur hak timbal balik antara pemegang ulayat dan pemakai tanah ulayat. Menurut Nasrun (1971 ) hak timbal balik, diatur oleh ajaran adat melalui mekanisme “Adat bunga kayu, yaitu sesuatu yang harus diserahkan sebagai imbalan hasil hutan yang dimanfaatkan”.
63
Kasus pada masyarakat Nagari yang menjadi lokasi penelitian, terlihat dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber air. Kasus pengambilan air oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) di Sungai Tanang, air yang diambil PDAM semula digunakan oleh masyarakat untuk pengairan sawah. Kasus pengambilan air oleh PDAM untuk konsumsi masyarakat kota Bukittinggi sejak tahun 1970, telah mengakibatkan lahan pertanian yang selama ini dapat digunakan oleh masyarakat untuk tanaman padi, sekarang tidak dapat lagi digunakan untuk menanam tanaman padi. Dalam kurun waktu yang cukup panjang, masyarakat Sungai Tanang tidak memperoleh kompensasi apa-apa dari PDAM atau dari pemerintahan kota Bukittinggi. Sejak tahun 1999 sampai sekarang masyarakat Nagari Sungai Tanang sudah memperoleh kompensasinya sebesar Rp 6 000.000,- sampai dengan Rp 7.000.000,- setiap bulan.
3. Struktur Keluarga Luas Matrilinial di Minangkabau Orang Minangkabau terikat oleh satu kesatuan keturunan yang di tarik menurut garis ibu atau garis perempuan. Kesatuan individu atau kelompok atas dasar keturunan itu terdiri dari beberapa tingkatan, mulai suku, jurai, paruik dan samande. Naim ( 1979:33 ), pengelompokkan keluarga, mulai dari suku, paruik, jurai dan samandeh dan Anwar (1968: 61) suku, kaum, jurai dan samandeh. Konsep kaum dalam buku ini digunakan untuk sebutan kelompok keluarga, dimana kesatuan orang sekuturunan terikat oleh harta pusaka (tanah, gelar dan rumah gadang), di Nagari Sungai Tanang kelompok yang seperti itu disebut dengan paruik. Beberapa peneliti menyatakan bahwa sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau adalah Matriarchat (Hamka, 1963: 23; dan Nasroen, 1971: 19), yang berarti kekuasaan dipegang oleh perempuan. Dalam kenyataannya pada masyarakat Minangkabau, yang memegang kekuasaan baik dalam lingkungan keluarga pada level paruik, kaum, suku dan Nagari, di pegang oleh laki-laki yang disebut Tungganai, Andiko dan 64
Penghulu. Pada tingkat paruik atau dalam satu rumah gadang, di kepalai oleh tungganai, pada tingkat kaum atau jurai di kepalai oleh penghulu andiko, pada tingkat suku di kepalai oleh penghulu pucuak. Dalam lingkungan Nagari, kekuasaan berada di tangan empat orang penghulu pucuak untuk kelarasan Koto-Piliang, sedangkan untuk kelarasan Bodi-Caniago dipegang seorang penghulu yang dipilih secara bersama-sama oleh seluruh penghulu dalam Kerapatan Adat Nagari.. Dalam lingkungan alam Minangkabau yang berkuasa adalah Rajo Tigo Selo (Raja Tiga Sila). Dalam dewan mentri, juga dikenal dengan Basa Ampek Balai, dan kesemuanya itu laki-laki. Dengan demikian, sulit mengatakan bahwa masyarakat Minangkabau bersifat Matriarchat. Dalam prakteknya, ada beberapa bentuk kekuasaan yang di pegang oleh perempuan, seperti kekuasaan ke dalam di rumah gadang, dalam mengurus harta pusaka dan dalam setiap upacara perkawinan. Namun, bila diperhatikan kekuasaan yang dipegang oleh perempuan tersebut, pada hakekatnya mempunyai hubungan yang erat dengan perannya dalam menjaga kelangsungan garis keturunan. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilinial, bentuk perkawinan yang sesuai dengan sistem itu adalah dengan mendatangkan laki-laki dari luar lingkungannya atau perkawinan yang bersifat exogami suku. Perkawinan yang seperti itu disebut dengan perkawinan semendo, Suami yang didatangkan itu disebut dengan urang sumando. Si suami tidak lebur ke dalam kelompok istrinya, ia akan tetap menjadi anggota kelompok ibunya. Dalam penentuan batas-batas kekerabatan, garis yang ditarik adalah garis yang berhubungan dengan ibu, dan merasa asing terhadap orang-orang yang berada di luar garis keibuan. Dengan dasar itu, mereka menganggap orang-orang yang ada dalam garis keibuan itu disebut sebagai keluarga. Dalam mencari jodoh, baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan harus didatangkan atau pergi ke lauar kelompok keibuannya. Sesuai dengan bentuk perkawinan semendo secara eksogami suku, maka adat yang berlaku adalah adat menetap setelah menikah bersifat matrilokal atau pola menetap uxorilokal, 65
yaitu suami dengan anak dan istrinya bertempat tinggal di rumah pihak keluarga istri. Beberapa literatur menggambarkan, suami atau urang sumando pulang ke rumah istrinya pada waktu malam, sedangkan pada siang hari ia menghabiskan waktunya di rumah ibunya, bekerja dan berusaha untuk menghidupi kemenakan dan untuk memperbanyak harta pusaka kaumnya (Radjab, 1967; dan Navis, 1984). Oleh karena itu, waktu yang dapat digunakan oleh ayah bersama istri dan anak-anaknya sedikit, mengakibatkan hubungan antara anak dengan ayah dan suami dengan istri renggang. Anak-anak lebih dekat hubungannya dengan mamaknya tidak dengan ayah, ibu lebih erat hubungannya dengan saudara laki-lakinya, dibandingkan dengan suami. Adat yang mengatur dan membatasi seseorang untuk bergaul dalam lingkungan kerabat tertentu sesuai dengan hak dan kewajibannya, dijadikan sebagai dasar perhitungan, pada masyarakat Minangkabau menurut garis keturunan ibu, yang meliputi seluruh anggota kerabat menurut garis ibu. Dengan demikian memungkinkan untuk munculnya bentuk kewarisan yang bersifat unilateral, atau satu garis yaitu menurut garis ibu, dan tidak melalui ayah karena berada di luar lingkungan kerabat ibu. Sejalan dengan itu, beban tanggung jawab berada di pihak anggota kerabat ibu, tidak pada pihak kerabat ayah atau suami. Orang yang berada dalam satu kesatuan suku itu meyakini bahwa mereka berasal dari ibu yang sama, yaitu ibu yang mula-mula datang ke tempat itu untuk membangun kehidupan. Kemudian ibu asal beranak dan bercucu, rumah yang mula-mula dibangun tidak dapat lagi menampung seluruh anggota keluarga. Si cucu yang tidak lagi mendapat tempat di rumah asal, kemudian mendirikan rumah baru disekitar rumah induk, dan begitu perkembangan seterusnya. Dengan demikian, konsepsi suku disamping punya makna genealogis, sekaligus juga teritorial. Walaupun anggota dari satu suku, pada mulanya berasal dari ibu yang sama, akan tetapi karena terus berkembang menjadi meluas, maka kesatuan yang bernama suku memecah menjadi sub-unit yang bersifat lebih kecil dari suku, yaitu Jurai atau kaum dan Paruik. Anggota dari kesatuan yang lebih kecil 66
itu secara sadar mengetahui berasal dari satu rumah gadang, walaupun kemudian sudah memisah tinggal di dalam rumah gadang lain,, yang disebut dengan saparuik. Jadi kesatuan paruik adalah bagian dari Jurai atau kaum. Pada saat rumah gadang masih dijadikan sebagai tempat tinggal bersama, hubungan sosial ekonomi antar individu dalam keluarga saparuik sangat kuat, dan mereka sadar bahwasanya mereka harus saling memberikan perlindungan satu sama lain. Dalam perkembangannya, pada saat penelitian ini dilakukan di keNagarian Sungai Tanang, hanya di temui beberapa buah rumah gadang, dan dari beberapa buah rumah gadang tersebut, juga didiami oleh satu keluarga inti. Dan mereka mulai merasakan ikatan di antara keluarga saparuik mulai melemah, lebih-lebih lagi biladi antara yang satu dengan yang lainnya, jaraknya tiga generasi. Kesatuan yang terkecil dari kesatuan genealogis adalah samande, yaitu satu kesatuan yang mendiami satu buah rumah yang biasanya terdiri dari tiga atau empat generasi dan makan dari satu periuk (satu dapur ). Struktur keluarga luas matrilinial Minangkabau pada tingkat terendah disebut dengan samande. Konsep keluarga samande tidak dapat disamakan dengan konsep keluarga inti. Secara tradisional kelompok keluarga samande bersifat fungsional, dan terintegrasi ke dalam ke kelompok keluarga luas saparuik, karena diikat oleh harta yang dimiliki secara bersama; tanah, rumah dan harta pusaka yang tidak bergerak lainnya. Dalam perkembangannya, sejumlah unsur yang menjadi pengikat tidak lagi dapat dipertahankan, seperti; harta milik bersama dalam bentuk tanah, rumah dan harta pusaka yang tidak bergerak lainnya, sudah semakin berkurang jumlahnya. Dengan demikian akan berpengaruh terhadap intensitas hubungan sosial ekonomi antara keluarga-keluarga samande dalam sebuah paruik. Dari penjelasan tersebut, dapat dikemukakan kelompok keluarga dalam sistem kekerabatan matrilinial Minangkabau, yang menurut Naim (1984 : 21-22) adalah sebagai berikut : 1) Samande, merupakan kesatuan keluarga yang paling kecil atau paling rendah dan mempunyai otoritas domestik tanpa melibatkan harta kaum. 67
2) Paruik, merupakan kesatuan keluarga yang menempati sebuah rumah gadang dan masih jelas hubungan keturunannya, biasanya 7 s/d 8 generasi. Mempunyai otoritas domestik dan publik terhadap harta psuaka yang tidak dapat dilimpahkan. 3) Jurai atau kaum, merupakan kesatuan keluarga, dan merupakan kumpulan dari beberapa buah paruik atau beberapa buah rumah gadang, dan hubungan keturunan sudah mulai agak kabur, dan biasanya di pimpin oleh penghulu andiko, yang mempunyai otoritas publik. 4) Suku, merupakan kesatuan geneologis yang paling besar, yang antara sesama anggota suku sudah sulit untuk mengetahui hubungannya, yang dipimpin oleh penghulu sebagai representasi suku dalam organisasi sosial politik di Nagari, serta basis dari prinsip eksogami. Setiap kesatuan tersebut di kepalai oleh seseorang laki-laki tertua dalam kesatuan tersebut. Bila dalam kesatuan itu terdapat beberapa orang ibu, maka menjadi kepala kesatuan adalah lakilaki tertua dari ibu tertua dalam kesatuan itu. Dalam kesatuan saparuik, akan dipimpin oleh seorang laki-laki yang disebut dengan tungganai atau mamak kepala waris, karena paruik pemegang harta pusaka. Pengertian kaum, lebih merujuk pada kesatuan genealogis yang menguasai harta pusaka bersama. Bila penguasaan harta pusaka bersama pada tingkat saparuik atau rumah gadang, maka saparuik dapat disebut sebagai satu kaum. Organisasi kaum, eksistensi dan kelangsungannya akan sangat ditentukan sekali oleh keberadaan harta pusaka.
68
Struktur Keluarga Luas Matrilinial
1. Samadeh
1
2. Paruik
2
3. Jurai 4. Suku
3 4
1. 2. 3. 4.
Ibu (mande) Tungganai Penghulu Andiko Penghulu
Unit pokok dalam struktur sosial masyarakat Minangkabau adalah suku. Konsepsi suku bisa berarti genealogis dan teritorial. Suku-suku tersebut akan berafiliasi kepada dua kelarasan yang relatif berbeda karakternya, yaitu kelarasan Koto Piliang dan kelarasan Bodi Caniago. Kelarasan Koto Piliang bersifat aristokrasi dihubungan dengan tokoh lagendaris Datuk Ketumanggungan, sedangkan kelarasan Bodi Caniago lebih demokratis, dikaitkan dengan tokoh lagendaris Datuk Parpatih Nan Sabatang (Navis, 1984:39 ; dan Radjab, 1969:41). Struktur masyarakat Minangkabau yang berlandaskan pada sistem kekerabatan matrilinial, terlihat dalam: (1) menarik garis keturunan menurut garis ibu (perempuan ); (2) pola tempat tinggal setelah menikah yang bersifat matrilokal atau uksorilokal; (3) pola perkawinan yang bersifat eksogami suku; (4) pola pemilikan tanah bersifat komunal. Interaksi dari empat hal tersebut terlihat pada pola hubungan antara laki-laki dan perempuan, dengan rumah gadang ( rumah tempat tinggal keluarga luas matrilokal ) dijadikan sebagai simbol dan pusat orientasi dari seluruh anggota keluarga luas matrilinial. Dalam masyarakat Minangkabau, tanggung jawab sosial seorang indidividu akan terikat oleh adat yang mengatur hubungan sosial di dalam masyarakat, pola hubungan kerabat mamak-kemenakan, hubungan kerabat suku- sako hubungan kerabat induk bako anak pisang, hubungan kerabat sumando– pasumandan. Hubungan ini bersifat timbal balik seperti di 69
tuangkan dalam pepatah adat “ anak dipangku kemenakan dibimbing, orang kampung dipatenggangkan “. Dalam perkembangannya, adat Minangkabau mengalami perubahan, terutama sejak masuknya Agama Islam ke Minangakabau. Sebelum kedatangan agama Islam, orang Minangkabau mengatakan adatnya sebagai adat “adat bersendi alur dengan patut “. Setelah kedatangan agama Islam terjadi penyempurnaan, sehingga sebutan adat berubah menjadi “ adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah “. Di dalam adat Minangkabau dikenal kaidah yang berbunyi “ syarak mengato, adat memakai, artinya apa-apa yang dijelaskan di dalam agama, dipakaikan di dalam adat. Dalam bidang perkawinan misalnya, masyarakat Minangkabau mengetahui dengan siapa mereka boleh kawin, mereka tidak boleh mengawini orang atau seseorang yang termasuk ke dalam kelompok kerabat ibunya. Kalau itu dilaksanakan berati mereka telah melakukan suatu perkawinan sumbang. Perkawinan seperti ini di larang oleh adat. Hal ini disebabkan karena mengawini seseorang yang termasuk ke dalam kelompok kerabat ibunya berarti dia mengawini anggota keluarga mereka sendiri. Sebaliknya seseorang bebas memilih anggota keluarga dari kelompok kerabat bapak untuk dijadikan sebagai suami atau istri, kecuali saudara kandung dari bapak atau ibu dari bapaknya ke atas, yang dianggap sebagai saudara atau ibunya sendiri. Perkawinan pada masyarakat Minangkabau merupakan urusan dan tanggung jawab keluarga luas matrilinial. Ibu dan mamak memainkan peranan penting dalam semua persoalan, mulai dari mencarikan jodoh sampai kepada seluruh masalah yang terjadi akibat dari perkawinan itu sendiri. Biasanya masalah pinang meminang di prakarsai pihak perempuan (Navis, 1984 ).Beberapa ahli berpendapat mengenai pola menetap setelah menikah pada masyarakat Minangkabau (Naim, 1984: 21), yaitu ;
70
natolocal residence, oleh karena suami dan istri tetap tinggal dan mempunyai domisili yang sah di dalam kelompok tempat tinggal kelahiran dan keturunannya masing-masing. N.W. Thomas (1906) menyebutnya dengan matrilocal residence, dan Firth (1936) menyebutnya dengan sebutan duolocal residence, oleh karena suami hanya pada malam hari mengunjungi istrinya dan tidak benar-benar hidup bersama istri dan anak-anaknya.
Terminologi yang tepat untuk menjelaskan pola menetap setelah menikah pada masyarakat Minangkabau adalah bersifat uxoriolkal, yang berarti seorang laki-laki akan ikut tinggal bersama istrinya. Di dalam rumah tersebut akan terdiri dari sejumlah perempuan bersaudara dengan suami dan anakanaknya. Rumah seperti itu akan dikepalai oleh seorang perempuan yang disebut dengan mandeh (ibu). Laki-laki atau suami yang tinggal di rumah istrinya disebut dengan urang sumando. Hukum kewarisan dalam Islam menjalankan dua asas, yaitu; asas bilateral dan asas individual. Asas kewarisan bilateral berarti jalur pewarisan baik garis ke atas maupun garis ke bawah berlaku menurut garis keturunan laki-laki dan garis keturunan perempuan. Hal ini berarti ayah dan ibu dapat menjadi pewaris bagi anak-anaknya. Di lain pihak anak laki-laki dan anak perempuan sama-sama berhak menjadi ahli waris harta peninggalan orang tuanya. Asas individual dimana harta warisan diwarisi secara terbagi-bagi dan dimiliki secara perorangan dikalangan ahli waris yang berhak. Setiap ahli waris berhak atas bagian tertentu dari kelompok harta warisan. Jika harta warisan dapat dibagi secara pisik maka langsung diadakan pembagian, seandainya harta warisan tidak dapat dibagi langsung, maka harganya diperhitungkan ( Syarifuddin, 1984: 79-80 ). Ketentuan dalam hukum Islam menekankan adanya perbedaan antara harta pencaharian dan harta pusaka, serta mengatur warisan dan penyelesaian kedua jenis harta kekayaan apabila ada masalah di dalam masyarakat. Harta pusaka selalu dimiliki menurut hak-hak kepemilikan komunal. Menurut ketentuan adat, harta pencaharian akan berubah menjadi harta pusaka rendah, dan apabila harta pusaka tersebut diwariskan maka status harta pusaka rendah akan berubah menjadi harta 71
pusaka tinggi, oleh karena itu ajaran Adat tidak membedakan antara harta pencaharian dengan harta pusaka rendah. Dengan demikian ada perbedaan yang mendasar antara ketentuanketentuan dalam hukum waris Islam dengan hukum waris adat berkaitan dengan harta pencaharian. Menurut adat, tidak ada perbedaan yang mendasar antara harta pusaka dengan harta pencaharian. Harta pencaharian pada tahap selanjutnya akan menjadi harta pusaka. Akan tetapi menurut hukum Islam ada perbedaan antara harta pusaka dengan harta pencaharian. Hukum Islam, tidak mengatur pewarisan harta pusaka dan yang diatur oleh hukum Islam adalah pewarisan harta pencaharian yang menurut adat disebut dengan harta pusaka rendah dan kemenakan tidak termasuk ahli warisnya. Dengan adanya perbedaan tersebut telah menimbulkan persolaan berkaitan dengan masalah pewarisan pada masyarakat Minangkabau. Sejak tahun 1952 hasil keputusan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai, yang diperkuat oleh rumusan seminar Hukum Adat Minangkabau tahun 1968, mulai ada perbedaan sistem pewarisan harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka tunduk pada ketentuan hukum adat, sedangkan harta pencaharian tunduk pada ketentuan hukum Islam (HAMKA,1963: 37-39;dan Syarifuddin, 1984: 172-181). Menurut ketentuan adat, ahli waris dari harta pusaka adalah pihak kemenakan, sedangkan anak-anak bukanlah ahli warisnya. Sebaliknya dalam hukum Islam menetapkan anakanak adalah ahli waris yang berhak, sedangkan kemenakan berada dalam urutan terakhir, apabila tidak ada lagi kerabat dekat. Menurut ketentuan adat pewarisan harta pusaka bukanlah berarti peralihan hak dari pewaris kepada ahli waris, akan tetapi lebih kepada peralihan peran dalam pengelolaan atau pengurusan dari harta pusaka. Harta pusaka dalam bentuk rumah dan tanah. Rumah dan tanah akan dikuasai perempuan dan dijadikan sebagai tempat tinggal, sedangkan tanah dimanfaatkan oleh para perempuan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Pengawasan penggunaan tanah dan rumah dilakukan oleh mamak, apabila mamak meninggal, maka peran pengawasan tanah akan beralih kepada kemenakan laki-laki. Apabila 72
perempuan meninggal maka pemanfaatan akan beralih kepada kemenakan perempuan. Penerusan peran dalam sistem kewarisan adat hampir sama dengan penggantian pengurus yayasan yang mengelola suatu bentuk harta. Apabila pengurus meninggal tidak membawa pengaruh terhadap apa-apa terhadap status harta. Keadaan itu berbeda dengan bentuk pewarisan dalam hukum Islam. Dalam hukum Islam pewarisan berarti peralihan hak milik dari yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup. Menurut ketentuan adat seseorang yang sedang memegang dan mengusahakan harta pusaka, kedudukannya adalah sebagai peminjam dari harta milik keluarga luas matrilinialnya. Sebagai orang yang meminjam ia tidak berhak dan tidak dapat bertindak mengalihkan hak atas harta pusaka yang dipinjamnya, dengan menjual, menggadai atau melakukan tindakan hukum lainnya. Apabila ia meninggal maka harta pusaka yang dipinjamnya harus dikembalikan lagi ke keluarga luas matrilinial, untuk diberikan lagi hak penguasaan kepada anggota keluarga luas matrilinial yang membutuhkannya. Mamak yang berperan sebagai pengawas atau pengurus dari harta pusaka juga tidak berhak atau tidak dapat bertindak mengalihkan hak atas harta pusaka yang diawasinya. Apabila ia meninggal, harta pusaka yang diawasi oleh mamak tidak dapat diberikan kepada anak-anaknya, tapi kepada kemenakannya. Menurut Syarifuddin ( 1984: 307) pewarisan harta pencaharian dalam lingkungan adat Minangkabau sudah mengalami perubahan; Harta pencaharian seorang ayah telah diwarisi oleh anak-anaknya, dan ayah sudah berkedudukan sebagai pewaris bagi anak-anaknya. Kedudukan ayah dan ibu sebagai pewaris bagi anak-anaknya sebagaimana berlaku di luar pengadilan, juga berlaku di pengadilan, baik pengadilan negeri maupun pengadilan agama. Putusan pengadilan Negeri Bukittinggi No. Perd.7/1973 atas harta pencaharian seorang ayah yang diwarisi oleh anak-anaknya, dan penetapan Pengadilan Agama Padang Panjang No.35/1973 yang menetapkan hak Mariana anak kandung dari A.Manan Dt. Mudo atas harta pencaharian ayahnya, di samping istri-istri A. Manan Dt. Mudo. 73
Dari putusan pengadilan negeri dan pengadilan agama sebagaimana yang dikemukakan oleh Syarifuddin (1984), memperlihatkan bahwa asas kewarisan bilateral sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum Islam telah dijalankan pada masyarakat Minangkabau. Pelaksanaan asas individual dalam hukum Islam masyarakat Minangkabau, dilakukan melalui dua cara, yaitu; pertama pembagian sesuai dengan perincian dalam hukum Faraid. Kedua, pembagian yang didasarkan pada musyawarah bersama seluruh yang berhak atas dasar keperluan masing dan kerelaan dari semua yang berhak menerima Syarifuddin ( 1984: 309-311). Dengan demikian, dapat dikatakan pelaksanaan asas individual dalam hukum Islam terhadap harta pencaharian di Nagari Sungai Tanang, belum sepenuhnya dilaksanakan oleh masyarakat Minangkabau.
74