HIBRIDITAS
BUDAYA HIBRIDITAS DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU PASCAKOLONIAL
Asril Muchtar
BUDAYA HIBRIDITAS DALAM MASYARAKAT MINANGKABAU PASCAKOLONIAL Asril Muchtar
I. Pengantar Pasca Perang Dunia ke-2 hanya sedikit sekali bangsa-bangsa di dunia ini yang terbelenggu dalam penjajahan. Sementara yang lain telah merdeka dengan menjadi negara sendiri dan memiliki pemerintahan sendiri. Bangsa Eropa, terutama Spanyol, Portugis, Inggris, dan Perancis merupakan bangsa yang paling banyak melakukan penjajahan di dunia ini. Wilayah Asia lebih banyak dijajah oleh Inggris dan Perancis, kecuali Indonesia yang dijajah oleh Belanda. Secara fisik bangsa-bangsa itu memang telah terlepas dari kolonial/penjajahan. Akan tetapi secara mental tekanan, pengalaman, dan pembauran dengan penjajahan itu masih tertinggal kuat, dan tidak mudah dikikis dalam waktu dekat, karena ia bersifat abstrak dan melekat dengan perilaku serta budaya masyarakat yang terjajah. Kutha Ratna menyebutkan akibat-akibat negatif yang ditimbulkan oleh kolonialisme lebih bersifat sebagai degradasi mentalitas dibandingkan dengan kerusakan material. Akibat-akibat yang dimaksud tidak berhenti secara serta merta setelah kolonisasi berakhir, melainkan terus berlangsung sampai sekarang, bahkan mungkin hingga puluhan atau ratusan tahun (Nyoman Kutha Ratna, 2008:120). Sebaliknya para ahli lain melihat kasus itu sebagai sebuah peninggalan sejarah, khususnya pada budaya, yang tidak perlu dicemaskan, apalagi ‘dibersihkan’ seperti sedia kala, karena ia telah diciptakan menjadi identitas budaya baru. Posisi penjajah dengan bangsa dan daerah jajahan berada pada oposisi biner, yaitu antara: penguasa yang dikuasai, hegemoni dan resistensi, Barat dan Timur, pribumi dengan non-pribumi, kolonialis dengan koloni, ‘majikan’ dengan Asril Muchtar adalah dosen Jurusan Karawitan, saat ini melanjutkan pendidikan S3 di ISI Yogyakarta. Makalah ini disajikan pada seminar Ota Rabu Malam jurusan Karawitan, 22 Oktober 2014.
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
2
‘budak’, bahkan lebih ekstrim dari itu, antara yang beradab (berbudaya tinggi) dengan yang berbudaya rendah. Situasi ini dimanfaatkan secara lebih leluasa oleh penjajah untuk mengeksploitasi budaya dan kekayaan (alam) masyarakat daerah jajahan, sembari menerapkan budaya mereka. Meskipun terjadi hegemoni oleh penjajah terhadap daerah jajahannya, ternyata para penjajah tidak dapat memaksakan budaya mereka seutuhnya, justru mereka terpaksa mengadopsi budaya masyarakat daerah jajahan untuk memudahkan misi mereka. Kondisi saling “menerima” dan “mengambil” budaya kedua belah pihak merupakan “ruang” cikal bakal terjadinya percampuran budaya (hibriditas). Minangkabau yang dijajah Belanda selama sekitar satu setengah abad tak terkecuali juga mengalami situasi di atas. Kontak budaya terjadi melalui lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah kolonial, komunitas tertentu, perdagangan, dan melalui pertukaran daerah jajahan.
Bentuk percampuran
budaya yang terjadi di Minangkabau selama masa kolonial berwujud pada bahasa, pertunjukan
(sandiwara,
toneel),
pertunjukan
budaya/ritual,
musik,
dan
pendidikan. Kontak budaya yang terjadi pada masa kolonial, tidak melulu pada penerimaan secara penuh budaya kolonialis itu, tetapi mengalami koreksi, negosiasi, dan negasi, sehingga ia tidak bisa bersifat murni.
II. Hibriditas sebagai Teori Postkolonial Hibriditas merupakan bagian dari teori-teori postkolonialisme, pada awalnya dikhususkan bagi penelitian negara-negara yang secara langsung pernah menjadi koloni, seperti Indonesia, tetapi dalam perkembangannya yang lebih luas, postkolonialisme dianggap telah berpengaruh secara global. Menurut Said, tahun 1914 Eropa telah menguasai 85% kawasan di bumi ini, baik sebagai dominion, persemakmuran, dan wilayah perlindungan, maupun sebagai tanah jajahan, pendudukan, dan koloni itu sendiri. Pengalaman kolonisasi selama dua setengah abad lebih dianggap bersifat global dan universal sehingga memiliki dampak secara langsung, baik bagi wilayah yang dijajah maupun bagi penjajah. Menurut
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
3
Loomba, sifat global dan universal juga diakibatkan karena orang-orang yang pernah terjajah kemudian menyebar di berbagai belahan dunia (Ratna, 2003). Untuk kasus Indonesia model hubungan yang dimaksudkan jelas sudah sangat luas dan dalam. Dari segi masa penjajahan, jangka waktu tiga setengah abad merupakan masa yang sangat berarti untuk menanamkan berbagai pemahaman yang berkaitan dengan Barat dan Timur. Politik devide et impera, pembodohan dengan cara mengebiri perkembangan sistem pendidikan, proses pemiskinan dengan cara mengeksploitasi sumber-sumber daya alam demi penjajah semata-mata, dan sebagainya merupakan faktor utama mengapa Belanda berhasil menanamkan kekuasaannya sampai tiga setengah abad dan dengan demikian bangsa Indonesia sangat lambat dalam menanggapi akibat-akibat negatif tersebut. Akibat-akibat negatif yang dimaksudkan tidak semata-mata berupa perbedaan antara Barat dan Timur, antara negara penjajah dan negara yang dijajah.
Yang
menjadi
masalah,
sebagaimana
ditunjukkan
oleh
teori
postkolonialisme adalah implikasi yang ditimbulkan oleh narasi besar para penjajah. Barat, misalnya, telah berhasil menanamkan pemahaman bahwa sebagai bangsa Timur, kita memang lemah, inferior, lebih manaruh perhatian pada masalah-masalah spritual, percaya pada takhyul, lebih mengutamakan perasaan, dan sebagainya, dengan konsekuensi logis secara langsung mengakui superioritas Barat. Studi pascakolonialisme yang relatif masih baru menimbulkan kegairahan, kebingungan, dan skeptisme dari berbagai pihak yang mendalaminya. Pendalaman terhadap istilah “pascakolonialisme” menjadi heterogen dan membingungkan sehingga sulit menjelaskan sepenuhnya apa yang tercakup dalam bidang studi ini. Kesulitan ini sebagian akibat sifat interdisipliner studi-studi pascakolonial yang merentang dari analisis literer hingga ke riset atas arsip-arsip pemerintah kolonial, dari kritik atas naskah medis hingga teori ekonomis. Kolonial
berkaitan
erat
dengan
kolonialisme
dan
imprealisme.
Kolonialisme berasal dari bahasa Latin: coloni, yang berarti pertanian atau pemukiman. Pada masa awalnya hal ini dikaitkan dengan orang-orang Romawi Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
4
yang bermukim di negri-negri dengan tetap mempertahankan kewarganegaraan mereka. Kata kolonialisme kemudian diartikan sebagai penaklukan dan penguasaan atas tanah dan harta penduduk asli oleh penduduk pendatang. Dalam membentuk pemukiman baru terjadi hubungan yang kompleks dan traumatik dalam sejarah antara penduduk lama dan penduduk pendatang. Imperialisme berarti kekuasaan tertinggi dan unggul. Imperial sebagai sesuatu yang mengacu pada kemaharajaan, dan imperialisme sebagai pemerintahan seorang kaisar, raja, terutama yang despotik (zalim) dan semena-mena; perbuatan yang memajukan kepentingan kemaharajaan. Salah satu istilah yang paling banyak digunakan dan paling diperdebatkan dalam teori postkolonial adalah hibriditas. Secara umum, hibriditas mengacu pada penciptaan baru bentuk transkultural dalam zona kontak yang dihasilkan oleh penjajahan. Menurut Robert Young hibrid secara teknis adalah persilangan antara dua spesies yang berbeda (Young:1995:10). Kata hibriditas berasal dan dikembangkan dari botani. Sebagaimana digunakan dalam hortikultura, istilah ini mengacu pada persilangan dari dua spesies dengan mencangkok atau penyerbukan silang untuk membentuk spesies ketiga, 'hybrid'. Hibridisasi memiliki banyak bentuk: linguistik, budaya, politik, ras, dll. Pada abad ke-19 dan akhir abad ke-20 hibriditas menjadi issu pokok perbincangan pada bidang budaya (Young, 1995:5-6). Melihat pada kondisi kontak budaya yang berlangsung lama, sehingga mengalihkan fokus pembicaraan hibriditas pada budaya. Sebagaimana Leela Gandhi dan Ania Loomba menjelaskan bahwa hibriditas budaya terjadi pada masa kolonial; antara penjajah dan yang terjajah mengalami kontak budaya, sehingga budaya dari keduanya mengalami percampuran (Gandhi, 2006; Loomba, 2003:90). Ketika hibriditas menjadi issu pokok dalam perbincangan budaya, maka hibriditas berarti pencampuran atau pertemuan budaya yang kemudian melahirkan bentuk-bentuk identitas budaya baru. Terjadinya hibriditas dalam budaya dinyatakan oleh Homi K. Bhabha (1994), bahwa akibat dari kolonial antara penjajah dan terjajah masing-masingnya tidak bisa mempresentasikankan budaya Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
5
atau bahasa mereka secara murni, karena saling tergantung, sehingga melahirkan budaya hibriditas. Identitas budaya selalu berada dalam wilayah kontradiksi dan ambivalensi atau “ruang ketiga,” sehingga klaim terhadap sebuah hirarki “kemurnian” budaya menjadi tidak dapat dipertahankan lagi (Bhabha, 1994:3738).
III. Bentuk Hibridisasi pada Budaya Minangkabau Proses terjadinya percampuran budaya itu juga bisa terjadi karena diaspora yang dilakukan oleh suatu etnik atau melalui penjajahan. Kelompok etnis Sipahi (Sepooy), beragama Islam Syi’ah yang berasal dari India, berperan sebagai tentara Inggris, kemudian membawa tradisi Tabut (tabot, tabuik) ke Sumatra—Bengkulu dan Pariaman. Tabot di Bengkulu menjadi tradisi masyarakat Kota Bengkulu setelah mengalami berbagai penyesuaian dengan budaya lokal. Kedatangan Tabuik ke Pariaman pada awalnya mengalami benturan dengan kebudayaan lokal (Minangkabau) dan keyakinan Sunni yang dianut oleh orang-orang Pariaman. Dalam proses berjalannya waktu pertemuan budaya itu berubah menjadi percampuran budaya antara Syi’ah, Sunni, dan Minangkabau. Hibridisasi terwujud setelah terjadi ‘negosiasi’ dengan mengurangi beberapa bagian ritual Syi’ah dan disesuaikan dengan ajaran Sunni dan adat Minangkabau, sehingga muncul bentuk pertunjukan Tabuik yang baru. Jadi, Tabuik yang ada sekarang merupakan bentuk Tabuik yang ambivalensi. Dari bentuk dan sumber awalnya serta tujuan ritualnya dikoreksi oleh masyarakat Pariaman, kemudian dibuat dengan gagasan baru yang bertolak dari kompromi bersama, sehingga bentuk (artefak dan struktur), visualisasi pertunjukan, dan tujuannya pun berubah dan tidak pernah kembali seperti sedia kala. Menurut Bhabha, selain bersifat ambivalensi (keragu-raguan), ia
juga
menjelaskan konsep mimikri (peniruan), meniru bukan berarti mengekor, karena dalam meniru sering terkandung unsur mengejek (mockery). Meniru adalah tindakan mengagumi sekaligus juga melawan (Budiawan, 2004:xii). Berbagai Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
6
budaya produk Barat yang ditiru oleh masyarakat Timur, tetapi kemudian dihadirkan dalam bentuk yang berbeda dari aslinya atau bentuk baru, sebagai bentuk “tandingan”, bahkan bentuk “ejekan.” Ritual Tabuik pada awalnya sebenarnya termasuk ritual yang dikagumi moleh masyarakat Pariaman, tetapi cara, bentuk pertunjukan, dan muatan ritual (dari lamentasi/kesedihan ke gembira/pesta) serta tempat-tempat ritus pelaksanaannya, mereka tiru dan ubah, sehingga terkesan ada unsur mokri (ejekan). Contoh lain adalah toneel yang dikenal sebagai drama Belanda yang dipentaskan di gedung-gedung pertunjukan khusus, kemudian oleh orang-orang Minangkabau dipelajari dan ditiru dengan membuat pertunjukan sejenis yang disebut sandiwara. Sandiwara tidak lagi menggunakan bahasa Belanda, tetapi bahasa Melayu-Minangkabau dan dipentaskan di pasar-pasar, sekolah-sekolah, dan di ruang yang disulap menjadi pentas pertunjukan sandiwara. Pelaku sandiwara, sebenarnya mengagumi toneel sehingga mereka mau mempelajari dan menirunya, tetapi cara pertunjukan yang mereka lakukan dengan tidak menggunakan gedung pertunjukan dan bahasa Belanda, ini merupakan bentuk pelecehan dan ejekan terhadap toneel. Para penonton Belanda akan datang dengan pakaian rapi dan resmi untuk menonton toneel, tetapi terbalik dengan sandiwara yang ditonton oleh masyarakat banyak tanpa menghiraukan penampilan mereka. Hibriditas di bidang musik di Minangkabau dapat pula lihat pada beberapa ansambel musik yang ada sekarang, baik telah hidup dalam waktu yang lama hingga telah menjadi tradisi dalam masyarakat, dan yang sedang mengalami proses hibridisasi.
3.1. Talempong Kreasi/Talempong Goyang Talempong kreasi terdiri dari satu set talempong melodi,
satu set
talempong pengiring rendah, satu set talempong pengiring tinggi, satu set canang pengiring rendah, satu set canang pengiring tinggi. Nada-nada canang berada satu oktaf di bawah nada-nada talempong (Hanefi, dkk., 2004:67). Nada-nada talempong dan canang tersebut ditala dengan nada diatonis. Talempong dan Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
7
canang pengiring berfungsi sebagai pengakord. Untuk melengkapi orkestrasinya, ditambah pula dengan alat tiup bansi, sarunai, dan saluang serta gendang. Gagasan munculnya talempong kreasi sekitar tahun 1968 yang diprakarsai oleh Akhyar Adam (alm), Yusaf Rahman (alm), Murad Sutan Saidi, dan Irsyad Adam. Para seniman ini pernah menjadi staf pengajar ASKI Padangpanjang. (Hanefi, dkk., 2004:68). Laras yang dipakai adalah diatonis mayor (umumnya pada tangga nada C). Pada awalnya difungsikan sebagai musik instrumentalia lagu-lagu yang berasal dari dendang tradisi Minang dan sebagai musik pengiring tari-tari kreasi, seperti tari Rantak, tari Cewang, tari Bagurau, tari Piring (versi Syofyani dan Hoerijah Adam), tari Panen, dan beberapa tari kreasi lainnya. Orkestrasi talempong ini kemudian lebih dikenal dengan nama talempong kreasi. Dengan
fungsi
ganda
tersebut,
talempong
kreasi
mengalami
perkembangan yang cukup pesat, baik dari segi wilayah penyebarannya maupun dari segi kreativitas garap musiknya. Wilayah penyebarannya mencapai kota-kota besar seperti, Jakarta, Medan, Bandung, dan beberapa kota di propinsi Riau, bahkan ke Malaysia. Sementara dari segi penggarapan musiknya, terjadi hibridisasi dengan berbagai alat dan konsep musik di nusantara dan musik barat. Penyebarannya talempong kreasi tidak hanya dalam wilayah Sumatra Barat. Pada pertengahan tahun 1980-an, talempong kreasi juga merambah ke kota Medan. Di kota ini talempong kreasi dikembangkan pada sanggar tari Minang Tigo Sapilin pimpinan Abu Bakar Siddik, sedangkan yang menjadi penggerak musiknya dimotori oleh Hajizar ketika ia masih kuliah di jurusan Etnomusikologi USU Medan. Pengembangan ini kemudian dilanjutkan oleh Wimbrayardi dan Hanefi yang juga sedang menjadi mahasiswa etnomusikologi USU Medan. Menurut Hanefi, sanggar ini pernah menjadi salah satu sanggar tari favorit di Medan dengan musik tari talempong kreasi-nya. Bahkan dalam pesta perkawinan, selain sebagai musik tari, talempong kreasi telah difungsikan pula untuk mengiringi berbagai nyanyian pop daerah dan Indonesia (Hanefi, wawancara 20 Mei 2005 di Padangpanjang).
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
8
Selain Medan, talempong kreasi kemudian menyeberang ke Jakarta sekitar pertengahan 1980-an. Berbagai sanggar tari yang ‘berbendera’ Minang sudah dapat dipastikan mereka akan memiliki satu set talempong kreasi sebagai identitas budaya Minang. Sebut saja dari sanggar Sangrina Bunda pimpinan Ely Kasim, Metro Minang, Ninis Grup, Ayub Grup, dan lain-lain. Bedanya mereka tidak hanya membawakan tari-tari Minang, tetapi juga berbagai tarian nusantara. Talempong kreasi yang ada di Jakarta juga telah mengalami perluasan nada-nada kromatik, sehingga selain untuk mengiringi tarian juga dimanfaatkan untuk mengiringi berbagai nyanyian. Frekuensi pertunjukan tari Minang dengan iringan talempong kreasi, terbilang sangat padat di Jakarta, terutama pada hari Jumat, Sabtu, dan Minggu. Di Malaysia terutama di negara bagian Negri Sembilan yang penduduknya mayoritas imigran Minangkabau, di sekolah-sekolah menengah atas, talempong kreasi telah menjadi mata pelajaran kesenian dan ekstra kurikuler mereka. Begitu juga di perkumpulan pemuda Muara Sungai Duyung Melaka, talempong kreasi sudah menjadi menu utama dalam kegiatan kesenian mereka sejak tahun 1995. Bahkan mereka sudah berani mangatakan, bahwa talempong kreasi yang mereka mainkan itu adalah “miliknya.” Mereka mampu memainkan berbagai lagu-lagu rakyat di Malaysia dan Indonesia, seperti lagu O Inani Keke, Angin Mamiri dan bukan lagu-lagu dari Sumatra Barat saja. Dalam perkembangan selanjutnya, sesuai dengan keperluan lagu yang dibawakan, nada-nada talempong itu mulai pula ditambah dengan beberapa nada kromatik akhirnya jumlah talempong untuk melodi bisa berkisar antara 20-24 buah. Begitu pula dengan talempong yang difungsikan sebagai akord, bisa pula ditambah dengan beberapa buah talempong sebagai nada kromatiknya. Dengan penalaan seperti ini, talempong kreasi telah mampu memainkan berbagai lagu dalam tangga nada mayor dan minor Barat. Susunan nada talempong seolah-olah meniru susunan nada pada keyboard. Perluasan nada ini dipelopori oleh almarhum Yusaf Rahman. Berbagai kreasi melodi dan aransemen lagu-lagu muncul dari tangannya. Salah satu yang Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
9
cukup kreatif dan dinamis sering menjadi orientasi garap orkestrasi talempong adalah karya musik tari Piring. Yang sering juga disebut oleh seniman-seniman tari Minang dengan tari Piring Syofyani. Musik garapan Yusaf Rahman ini menjadi komposisi panutan dan andalan oleh berbagai sanggar tari di Sumatra Barat dan Jakarta. Kelebihan garapan talempong kreasi Yusaf Rahman dan penampilannya yang memikat, berkat kepiawaian “Tuen” Islamidar sebagai pemegang melodi dengan teknik triller-nya yang membuat nada-nada talempong yang dimainkannya terasa rapat dan melodi menjadi “hidup” dan variatif. Islamidar memiliki keunikan tersendiri dalam bermain talempong. Ia tidak menyusun nada-nada talempong secara berurutan, suara rendah ke tinggi dari kiri ke kanan, tetapi berselang-seling tinggi rendah nada itu dari kiri ke kanan, sehingga membuat ia lebih luwes memainkan melodi talempong. Dengan ketersediaan nada yang relatif sudah lengkap itu, maka talempong kreasi membuka peluang tidak hanya untuk mengiringi tari dan memainkan musik-musik instrumentalia lagu-lagu dan dendang-dendang Minang saja, tetapi oleh kalangan senimannya telah pula dimanfaatkan untuk mengiringi berbagai lagu-lagu pop, mulai dari pop “Minang-tradisi” (lagu-lagu yang berasal dari dendang tradisi Minang yang biasa diiringi dengan saluang yang tidak diatonis, kemudian digarap menjadi musik pop), pop “Minang-standard”, dangdut-minang, dangdut, zapin, zapin-ndut, dan pop Indonesia. Bahkan lagu pop Barat pun mampu mereka mainkan. Selain itu, untuk memperkaya orkestrasinya, beberapa instrumen juga diimbuhkan dalam musik ini. Misalnya, gendang dua (berfungsi sebagai pembawa ritme atau irama tabla), tamburin, set drum, keyboard, gitar bass, akordeon, djembe, sedangkan alat tiup bansi dan sarunai tetap dihadirkan sebagai representasi musik Minang. Lagu-lagu yang dimainkan oleh grup talempong goyang akan selalu mengalami perkembangan dengan menambah lagu-lagu baru yang muncul dari khazanah musik pop Minang dan musik Indonesia, terutama lagu-lagu yang beraliran dangdut. Bahkan ada kecendrungan lagu yang dimainkan bergantung kepada penyanyi yang terlibat dalam pertunjukannya. Jika ada penyanyi yang Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
10
suka membawakan dendang-dendang dari dendang saluang, maka akan bertambah jumlah repertoarnya. Musik ini sangat fleksibel dalam membawakan berbagai jenis lagu. Para musisi talempong goyang yang mayoritas dari kalangan akademisi ini, ternyata membawa simpati tersendiri di masyarakat. Meskipun cita rasa musik mereka tergolong masih ringan dan belum mungkin disandingkan dengan grupgrup band dengan berbagai peralatan elektronik dan perangkat sound system yang membahana, tetapi ia telah banyak mencuri perhatian masyarakat, terutama kalangan orang tua, tokoh masyarakat. Secara perlahan-lahan sebagian anak muda juga telah mulai menyukai talempong goyang, karena talempong goyang juga bisa memainkan berbagai jenis lagu yang bisa mewakili selera mereka. Berbeda dengan di Jakarta, di kalangan seniman (musisi talempong) dan penikmat musik talempong kreasi justru nama talempong goyang tidak muncul ke permukaan, bahkan mereka nyaris tidak mengenal dan tidak mau memberikan nama tersebut. Walaupun sebenarnya kreasi yang mereka lakukan dengan talempong, persis sama dengan yang dilakukan oleh seniman-seniman talempong goyang di Sumatra Barat. Di Jakarta sendiri, grup atau sanggar seni yang “berbendera Minang” cukup banyak. Mereka pada umumnya menyuguhkan paket musik talempong kreasi (goyang), baik sebagai iringan tari maupun sebagai musik instrumentalia dan mengiringi bermacam-macam lagu, plus tari-tarian, dan pelaminan Minang. Talempong goyang selalu melakukan hibridisasi terhadap alat musik yang digunakan yang berdampak pada orkestrasi musiknya. Grup talempong goyang dari Padangpanjang dengan personalnya dosen, mahasiswa, dan alumni STSI/ISI Padangpanjang misalnya, menyertakan seperangkat gendang sunda. Penonjolan gendang sunda pada waktu-waktu tertentu mampu membawa decak kagum penonton. Bahkan, kadang-kadang juga dihadirkan saxophone. Perluasan musikal dalam bentuk hibridisasi tetap dilakukan. Melihat kilas balik upaya yang dilakukan oleh para penggagas talempong kreasi di atas, kita dapat melacak cikal bakal hibridisasi yang mereka lakukan. Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
11
Sumatra Barat (Minangkabau) pada era awal abad ke-20 mengalami kondisi apresiasi baru dengan musik diatonis. Kita tidak bisa melupakan peran INS Kayu Tanam yang menerapkan pendidikan musik Barat untuk pelajaran musik di sekolah tersebut. Inspirasi memasukkan musik Barat diawali dari pasca perjalanan Engku Sjafe’i ke Belanda dan beberapa negara Eropa untuk belajar, dan khususnya mempelajari kurikulum pendidikan diterapkan di Eropa. Salah satunya adalah pelajaran musik Barat. Para alumni INS ini menyebarkan pengetahuan dan keterampilan musik Barat-nya di berbagai instansi, sekolah, dan di masyarakat. Di antara penggagas talempong kreasi di atas, ada yang sekolah di INS. Modal musikal dan keterampilan musik Barat mereka lebih mendominasi daripada modal kemampuan bermain musik tradisi, bahkan nyaris belum terjamah. Hibridasasi mereka
lakukan
dengan
mengambil
beberapa
lagu/dendang
kemudian
diaransemen dengan cara/pola musik Barat. Talempong dan canang ditala dengan nada diatonis, menurut kebutuhan instrumen meloadi dan iringannya. Selain peran INS dan para alumninya, yang tak kalah penting pula mengawali apresiasi budaya Barat (Belanda) termasuk musik diatonis adalah Kweek School Bukittinggi. Sekolah ini kemudian dikenal dengan nama Sekolah Raja. Sekolah Raja merupakan sekolah negri yang didirikan oleh Belanda pada pertengahan abad ke-19 untuk memajukan masyarakat Minangkabau. Para alumni Sekolah Raja menyebar ke berbagai pelosok Sumatra dan sebagian Kalimantan. Proses apresiasi terhadap budaya Barat dan musik Barat sudah mulai terjadi pada ini. Jika tidak ada pengalaman atau apresiasi musik Barat dari Sekolah Raja dan INS beserta para alumninya yang telah menyebarkan ke masyarakat, hibridisasi antara musik Barat dengan musik tradisi (talempong) sulit diwujudkan. Ketika elaborasi hibridisasi dilakukan oleh kreator dari ASKI/STSI/ISI Padangpanjang dan para alumninya, maka musik talempong kreasi menjadi berkembang. Para kreator itu telah mengalami apresiasi musik Barat dengan berbagai ragam jenis orkestrasi dan instrumen. 3.1.1. Dilema Perkembangan Talempong Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
12
Pada tahun 2003 – 2004, Jennifer Anne Fraser (Jenni) melakukan penelitian pada musik tradisi dan paket etnis dari musik Minangkabau di Sumatra Barat dan di Jakarta untuk disertasinya. Ia memilih ansambel talempong sebagai studi kasus dalam penelitiannya. Selain musik tradisi talempong, Fraser juga memfokuskan penelitian pada modifikasi talempong menjadi talempong kreasi1 [orkestrasi menggunakan nada-nada diatonis] yang berubah ke bentuk sajian, etika, dan estetika kosmopolitan. Menurut Jenni, modifikasi ini terjadi terkait dengan program pemerintah pusat, khususnya setelah tahun 1965, yaitu upaya penyeragaman budaya
nasional
dalam
bingkai
keanekaragaman
budaya
(multicultural) Indonesia yang berbeda-beda. Berkaitan dengan itu, salah satu momentum terpenting yang ia lacak adalah, pendirian perguruan tinggi seni [ASKI] (Akademi Seni Karawitan Indonesia) dan [SMKI] (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di Sumatra Barat, yang dijadikan sebagai sarana pemunculan kebudayaan Minangkabau setelah pemberontakan [PRRI], sebagai identitas daerah di luar dominasi Jawa. Perguruan tinggi seni dan sekolah menengah seni dijadikan sebagai lembaga pelestarian dan pengembangan kesenian Minangkabau. Pendekatan melalui pendidikan seni memiliki kontribusi pada modifikasi estetika. Orang-orang yang menjadi pelaku penyebaran produk seni baru itu terdiri atas: para alumni (perguruan tinggi seni dan sekolah menengah seni) yang menjadi guru, seniman penyaji, komposer, koreografer, pimpinan sanggar, pamong budaya di tingkat daerah, provinsi, Jakarta, dan daerah lain di Nusantara. Modifikasi musik Minangkabau ke bentuk etika dan estetika kosmopolitan oleh lembaga pendidikan kesenian, telah mendorong terciptanya gaya musik baru kemasan etnisitas, komersialisasi, dan profesionalisasi. Komersialisasi seni telah mendorong munculnya pengusaha budaya yang menjual kemasan etnisitas musik Minangkabau. Selanjutnya, modifikasi talempong kreasi pada sisi lain berkembang menjadi peluang bisnis, seiring dengan digalakkannya program 1
Jennifer Anne Fraser memilih kata talempong kreasi untuk keperluan penelitian disertasinya.
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
13
pariwisata di daerah Sumatara Barat dan otonomi daerah yang lebih menekankan pada komersialisasi seni dari yang pernah ada. Misalnya, talempong kreasi dijadikan salah satu paket pertunjukan berbasis etnik sebagai salah satu sajian yang disuguhkan untuk para wisatawan, duta budaya, dan berbagai festival. Fraser melihat bahwa untuk sajian di atas, modifikasi estetika pada talempong kreasi ia sebut dengan “glossy aesthetic” (estetika yang mengkilap).
Sejalan dengan
komersialisasi seni, maka muncul pula profesionalisasi, baik di bidang keterampilan para penyaji, maupun dari aspek jasa pembayarannya. Kendatipun pada satu sisi ada progresif pengembangan, tetapi antara pelestarian dan pengembangan talempong dari tradisi ke talempong kreasi dan talempong goyang, menurut Jenni, merupakan kesalahan dalam mengambil langkah pengembangan; karena mengubah estetika musik Minang (talempong) secara radikal, yakni dari tradisi atau berbasis lokal menjadi kosmopolitan— bersifat internasional. Modifikasi talempong tidak hanya terjadi pada bentuk talempong kreasi saja, tetapi juga dalam bentuk “avant-gande” dan kontemporer. Modifikasi talempong kreasi hanya menarik bagi sebagian besar orang Minangkabau. Sementara modifikasi ke musik kontemporer hanya menarik bagi segmen masyarakat yang sangat terpilih saja, karena banyak orang yang tidak tahu, bahkan belum pernah melihat jenis musik tersebut sebelumnya. Salah satu institusi yang dianggap “bersalah” adalah ASKI (ISI) Padangpanjang yang menjadi penggerak perubahan itu hingga saat ini. Pada
awal
tahun
1980-an
hingga
awal
1990-an
ketika
ASKI
Padangpanjang dipimpin oleh Mardjani Martamin (Direktur), ia mencoba menggali sebanyak mungkin potensi seni tradisi Minangkabau yang belum diangkat untuk dijadikan materi perkuliahan. Diluncurkanlah program magang seni tradisi. Beberapa musik tradisi dipelajari dan diangkat dari masyarakat, misalnya: talempong unggan, gandang oguang, gandang lasuang (ansambel talempong), gandang tasa, rabab pasisia, saluang dendang, berbagai genre seni vokal islami, dan sebagainya. Cara kerja yang dilakukan adalah mengirim sejumlah dosen ke desa-desa belajar dengan seniman tradisi, sambil melakukan Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
14
penelitian yang terkait dengan musik tradisi tersebut. Kemudian, mendatangkan kelompok-kelompok ansambel itu ke kampus, sebagai materi apresiasi bagi dosen dan mahasiswa. Tujuan program ini, adalah untuk memperkaya skill dosen dan mahasiswa di bidang seni tradisi, dan sekaligus juga untuk mengimbangi lajunya perkembangan talempong kreasi, sehingga dominasi talempong kreasi mulai berbagi dengan musik-musik tradisi. Dampak dari program itu bermuara pada karya-karya yang digarap oleh dosen dan mahasiswa yang sangat kuat berbasis tradisi, dengan ‘warna karya’ yang berbeda-beda. Program ini secara tidak langsung berupaya “menjauhkan” dari penggunaan nada-nada dengan skala diatonis dan memperkaya identitas kelokalan Minangkabau. Kelas-kelas praktik musik tradisi pun sudah diwarnai oleh berbagai genre musik tradisi. Berkaitan dengan pengembangan menjadi talempong kreasi, Jenni juga menyadari bahwa tindakan yang dilakukan oleh pemikir kebudayaan di Minangkabau termasuk ASKI adalah sebuah sikap politik kebudayaan. Sumatra Barat yang kalah dalam pemberontakan PRRI tahun 1961, yang mengalami tekanan secara psikis, sehingga diperlukan strategi untuk kembali bisa sejajar dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Jenni mencatat bahwa, modifikasi yang terjadi pada ansambel talempong merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah musik Minangkabau. Perkembangan talempong dari tradisi ke talempong kreasi dan talempong goyang, secara konsepsi dipahami secara berbeda oleh orang Minangkabau di kampung halaman dengan di perantauan. Orang Minang di kampung halaman, dengan jelas membedakan bahwa, talempong pacik dan talempong duduak adalah musik atau talempong tradisi Minang, dan talempong kreasi serta talempong goyang bukan musik tradisi lagi, sedangkan orang Minang di perantauan, terutama di Jakarta, lebih cenderung menyebutkan semua ansambel talempong (tradisi, kreasi, dan talempong goyang) adalah musik tradisi Minang. Pemahaman tentang talempong ternyata juga menimbulkan dilematis.
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
15
Dialektika yang terbangun antara mempertahankan talempong tradisi dengan pengembangan ke sistem diatonis (talempong kreasi dan talempong goyang), sepertinya menemukan sintesis tetap berada pada kedua jalur yang ada— tradisi dan kreasi—masing-masingnya memiliki publik sendiri yang masih eksis hingga sekarang. Talempong tradisi tidak mungkin mati atau dimatikan sepanjang masih ada sandaran upacara dan seni tradisi yang memerlukan kehadirannya. Sebaliknya,
talempong
kreasi
juga
tidak
mungkin
dihambat
laju
perkembangannya, karena ia ‘diperlukan’ untuk konteks-konteks tertentu di masyarakat dalam era sekarang dan mungkin di masa datang. Perjalanan panjang yang ditempuh oleh talempong kreasi dalam upaya mengisi khasanah musik Minang, tidak bisa begitu saja ditiadakan. Lembaga kesenian profit seperti sanggar-sanggar yang bergerak di bidang jasa entertainment, sangat memerlukan talempong kreasi untuk menggerakan “denyut nadi” aktivitasnya. Begitu juga dengan talempong goyang, kehadirannya telah mencuri perhatian selera hiburan sebagian masyarakat Minang. Meskipun talempong kreasi dan talempong goyang cenderung bergerak ke arah estetika kosmopolitan dan mempresentasikan identitas hibriditas, tetapi ia telah memberikan ‘warna’ baru bagi perkembangan musik Minang. 3.2. Katumbak Katumbak adalah sebuah ensambel musik yang berkembang di daerah Pariaman, Sumatra Barat (Minangkabau). Musik telah dimainkan di Pariaman sejak tahun 1960-an. Pada kurun waktu tertentu, katumbak pernah berkembang pesat di berbagai pelosok nagari di Pariaman. Sekitar 1970-an dan 80-an adalah masa puncak kejayaanya sebagai media hiburan dalam berbagai hajatan, khususnya pada pesta perkawinan. Pada masa itu banyak grup katumbak yang muncul, dan mereka memiliki frekuensi pertunjukan yang cukup banyak pula. Katumbak menjadi pilihan media hiburan bagi masyarakat Pariaman, khususnya sebagai sarana hiburan dalam pesta perkawinan. Musik ini tergolong sederhana, mudah dinikmati, berkarakter riang, dan tidak mahal, sehingga banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat kelas bawah, terutama masyarakat pedesaan. Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
16
Penyelenggaraan pertunjukannya tidak merepotkan, dapat dilakukan di pentas (kecil sederhana), teras rumah, arena, dan di langkan (serambi) rumah. Begitu pula dengan perangkat pendukungnya, tidak harus menggunakan sound system yang baik atau bagus, tetapi cukup dua buah mic dan sebuah loud speaker corong yang bermerek toa, seperti yang biasa digunakan untuk azan di mushala dan masjid. Pada era 1980-an katumbak mengalami perkembangan yang cukup baik, gitar bass elektrik sudah dimainkan untuk memperkuat orkestrasinya. Begitu juga amplifikasi suara sudah menggunakan sound system yang lumayan bagus. Pertunjukannya pun sudah dilakukan di atas pentas. Akan tetapi, memasuki era 1990-an, secara perlahan-lahan musik ini mengalami masa-masa kemunduran yang mengenaskan. Peran katumbak digeser oleh organ tunggal (musik program yang bersifat instant) hingga membuat katumbak
“mati suri”, dan hanya
menyisakan beberapa grup saja sampai saat ini. Nama katumbak merupakan tiruan dari bunyi gendang: tum-bak, tum-bak. Musik ini merupakan sinkretik antara Minang, Melayu, dangdut (Indonesia), dan India. Unsur-unsur musik dari budaya tersebut, yang membentuk karakter lahirnya genre musik katumbak adalah terutama pada jenis lagu dan aransemen musiknya bertempo sedang dan cepat serta berkarakter riang. 3.2.1. Konsep Musik Katumbak terbentuk dari hasil perpaduan beberapa unsur musik dan alat musik yang berasal dari budaya yang berbeda. Unsur musik yang menjadi pembentuk musik katumbak adalah musik Minang, musik dangdut Indonesia, musik Melayu, dan musik India (Hindustan). Unsur musik Minang yang menjadi sumber pembentuknya adalah musik gamat (Melayu-Minang), musik pop Minang, dan musik tradisi Minang yang memiliki karakter riang dan bertempo cepat. Aspek utama yang berasal dari musik Minang adalah lagu-lagu yang dimainkan dalam tangga nada diatonis. Pada musik gamat misalnya, semua lagu-lagunya dinyanyikan dalam tangga nada diatonis. Gamat memiliki jenis lagu bertempo lambat dan bertempo cepat (joget). Semua Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
17
lagu gamat yang bertempo cepat menjadi lagu yang diadopsi oleh katumbak. Di samping itu juga ada beberapa lagu yang bertempo lambat (lagu nasib) diadopsi oleh katumbak. Karakter lagu gamat yang bertempo cepat khususnya, menjadi pembentuk karakter musik katumbak yang bersifat riang dan mudah dicerna. Unsur musik pop Minang yang menjadi pembentuk musik katumbak adalah jenis lagu pop Minang yang bertempo sedang dan cepat yang memiliki karakter riang dan gembira. Sementara lagu-lagu Minang bersifat melankolik hanya terbatas dinyanyikan dalam katumbak. Dari aspek musik Melayu, juga terfokus pada lagu-lagu bertempo sedang dan cepat (rentak mak inang dan joget). Kedua jenis lagu ini, ikut membentuk karakter musik katumbak. Bahkan lagu-lagu Melayu rentak mak inang dan joget itu, menjadi lagu yang selalu dimainkan dalam pertunjukan katumbak. Unsur kedekatan karakter lagu Melayu dengan gamat (joget) sangat mempengaruhi karakter musik katumbak. Sementara musik dangdut dan musik India (irama Hindustan), kedua musik ini pada satu sisi memiliki karakter dan aransemen musik yang sangat mirip. Bahkan tak jarang pula musik dangdut banyak meniru dan mengadaptasi lagu-lagu India. Dari aspek beat atau irama pukulan gendang musik dangdut dan musik India, khususnya pola ritme tabla, sangat banyak mempengaruhi pola-pola ritme gendang pada musik katumbak. Begitu juga dengan lagu-lagu yang dinyanyikan. Banyak sekali lagu dangdut khususnya, dan lagu India yang dijadikan sebagai repertoar pertunjukan katumbak. Dari aspek alat musik, unsur budaya lain seperti (Eropa dan India) turut membangun musik katumbak. Misalnya, harmonium yang berasal dari Eropa pada abad ke-19, kemudian menyebar ke India, Indonesia, dan menjadi instrumen vital dalam ensambel katumbak. Harmonium merupakan instrumen utama sebagai pembawa melodi. Instrumen ini sangat berperan penting dalam setiap penyajian lagu. Misalnya, sebagai pembawa introduksi (introduction) pada setiap lagu, sebagai melodi hantaran (interlude) antara bagian ke bagian teks nyanyian (patun), sebagai penutup lagu (coda), dan sebagai pengiring (akord) lagu. Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
18
Harmonium adalah alat musik keyboard, suaranya berasal dari vibrasi atau getaran lidah tipis (reed) dari metal yang ditiup oleh angin atau udara secara terus menerus dari sepasang pedal yang terdapat di bawahnya (Willi Apel, 1972:371). Teknik menghasilkan bunyi melalui penekanan tuts-tuts yang terdapat pada papan nada (fingerboard), yang memanfaatkan sirkulasi udara dalam satu ruang resonansi. Harmonium adalah alat musik yang memakai sistem dua belas (12) nada dengan tangga nada (scale) diatonis. Harmonium bagi masyarakat Pariaman, merupakan kosa kata yang tidak begitu akrab. Mereka menyebut alat musik ini dengan rabunian atau pupuik rabunian. Pada umumnya seniman katumbak menyadari kalau rabunian yang mereka gunakan berasal dari India. Akan tetapi bagaimana proses datangnya dari India ke Indonesia khususnya ke Pariaman, tidak banyak yang tahu. Meskipun di Indonesia, selain dalam ensambel katumbak, harmonium juga digunakan dalam orkes samrah Melayu (Japi Tambayong, 1992:195). Di kota Pariaman antara 1960-an sampai 1980-an ada satu grup katumbak yang sangat terkenal yang dipimpin oleh Rajab. Ia penduduk setempak keturunan India (Sipahi/keling) yang menggunakan harmonium yang asli. Apakah alat musik itu dibawa oleh para leluhur Rajab ke Pariaman juga tidak ada yang dapat memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Harmonuim pertama sekali diperkenalkan oleh Alexandre Francois Debain dari Perancis 1840, kemudian dipatenkannya tahun 1842. Alat musik ini disebarkan secara luas oleh para kolonial (penjajah) ke Afrika dan India, dan dimainkan pada upacara tradisi lokal. Di India sendiri harmonium dibawa oleh para misionaris pada pertengahan abad ke-19. Sebutan untuk nama alat ini di India antara lain: harmoniam, harmonia, armonia. Bentuk dan ukuran alat musik ini bermacam-macam. Di antaranya ada yang berukuran kecil berbentuk kotak yang mudah dibawa. Harmonium biasanya dimainkan sambil duduk di lantai, satu tangan pemain memainkan tuts-tutsnya untuk melodi, dan tangan yang satu lagi memompa angin untuk memproduksi suara (Stanley Sadie, 1984:131). 3.2.2. Jenis Lagu Yang Dimainkan Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
19
Lagu-lagu yang dimainkan dalam pertunjukan katumbak pada umumnya adalah lagu-lagu Minang, lagu dangdut, lagu Melayu, dan lagu berirama Hindustan (India). Lagu Minang dapat pula dikelompokkan atas beberapa kelompok, yaitu: lagu Minang yang khusus dibawakan pada ensambel katumbak (disebut lagu asli), lagu-lagu gamat (genre musik gaya Melayu-Minang), dan lagu populer Minang. Selain itu, katumbak juga dapat memainkan lagu-lagu berirama atau berentak, chalti, joget, cha-cha, cha-cha dut, dan dangdut. Menurut catatan Ikhsan (2004:110-111), katumbak memiliki sendiri lebih 20 judul lagu yang dianggap sebagai lagu asli. Teks atau sair lagu asli lebih banyak meggunakan pantun. Bahkan pantun dianggap media verbal yang sangat mudah berkomunikasi dan akrab dengan penonton. Dari lagu-lagu asli itu, pada dasarnya sudah terjadi hibridisasi dari beberapa lagu tradisi indang piaman2 dan lagu-lagu pop Indonesia, khususnya dari lagu dangdut yang dialihbahasakan ke bahasa Minangkabau. Misalnya, lagu “Sajak Pandangan Partamo”, “Walaupun Tiado”, dan sebagainya, merupakan lagu-lagu yang berasal dari lagu dangdut Indonesia (berbahasa Indonesia). Oleh karena sering dinyanyikan oleh grup-grup katumbak, kemudian lagu-lagu tersebut seolah-seolah sudah menjadi lagu wajib (asli) bagi grup katumbak. Hal ini makin diperkuat pula setelah lagu-lagu itu dinyanyikan dalam bahasa Minangkabau. Lagu-lagu bergaya tradisi indang piaman sangat sulit pula dihindarkan oleh katumbak, karena kedua genre musik ini tumbuh dan berkembang di daerah Pariaman. Antara indang dengan katumbak dalam proses hibridisasi masingmasing saling memberi dan menerima. Misalnya, lagu-lagu tradisi indang yang memiliki irama melodi berkesan riang gembira dan bertempo cepat, biasanya sangat menarik bagi seniman-seniman katumbak untuk dinyanyikan dengan katumbak. Bahkan menjadi lebih hidup dan menarik. Contoh, lagu “Indang 2
Indang piaman atau indang pariaman adalah sebuah genre seni pertunjukan tradisi Minangkabau yang dalam penyajian selalu mengetengahkan sebuah permasalahan atau topik untuk didiskusikan atau dipertanyakan. Satu paket pertunjukannya disajikaan tiga grup indang. Masing-masing grup tampil secara bergantian selama antara 45-60 menit, selama dua malam. Pada awalnya musik ini sebagai media penyiaran agama Islam di Pariaman; Lebih lanjut silahkan baca, Ediwar, Indang Pariaman dari Tradisi Surau ke Seni Pertunjukan Rakyat Minangkabau (Bandung: P4ST Universitas Pendidikan Indonesia, 2007).
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
20
Lubuak Aluang”, pada awalnya merupakan lagu tradisi indang piaman yang berasal dari nagari (desa) Lubuk Aluang. Lagu-lagu gamat yang diadopsi oleh katumbak pada umumnya dipilih lagu-lagu yang berirama melankolis atau disebut juga dengan lagu nasib, seperti: “Sarunai Aceh”, “Mati Dibunuah”, “Kapa Perak”, “Siti Padang”, “Siti Payung”, dan ”Bungo Tanjuang”, karena teks pantun yang disampaikan berisi tentang peruntungan nasib (parasaian). Meskipun lagu-lagu yang bertempo sedang dan cepat, seperti jenis joget: “Bacarai Kasiah”, “Lagu Duo”, “Rambutan Aceh” juga diadopsi. Ini bertujuan untuk mengimbangi corak lagu yang dinyanyikan agar bervariasi. Lagu nasib dinyanyikan untuk mengisi dan mendukung suasana di malam hari. Dalam tradisi pertunjukan gamat pun lagu-lagu nasib tersebut juga sering dinyanyikan pada malam hari. Adapun lagu-lagu pop Minang yang dinyanyikan oleh grup-grup katumbak adalah lagu-lagu yang bertempo sedang dan cepat. Pilihan mereka terhadap lagulagu tersebut didasari pada prinsip untuk memeriahkan suasana, terutama suasana pesta. Lagu yang cocok untuk itu adalah lagu yang bertempo sedang dan cepat. Misalnya: “Malam Bainai”, “Samalam di Koto Gadang”, “Usah Dikana Juo”, dan jenis lagu duet. Walaupun demikian, lagu-lagu yang bertempo lambat dan berirama melankolis juga dinyanyikan. Selain dari lagu-lagu Minang di atas, ada perkembangan terakhir salah satu grup katumbak dari nagari Limau Purut pada pertunjukan tahun 2005 yang lalu, menyanyikan lagu yang bernuansa Islam, yaitu lagu “Racun Dunia”, tetapi menggunakan bahasa Minangkabau. Menurut Udin Cengkong (62 tahun), penyanyi dan pimpinan grupnya mengatakan bahwa, “lagu bernuansa Islam seperti lagu Racun Dunia belum begitu lama dinyanyikan oleh grupnya.” Akan tetapi, kesan yang dimunculkan lagu itu terhadap karakter musik katumbak menjadi khidmat, sehingga katumbak yang dekat dengan dunia hiburan berkarakter riang, ceria, gembira, dan bersifat duniawi menjadi berbeda. Lagu Melayu juga diadopsi oleh seniman katumbak menjadi repertoar lagu mereka. Di antaranya: “Mak Inang Pulau Kampai”, “Hitam-hitam si Buah Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
21
Manggis”, dan “Tanjung Katung” (Ikhsan, 2004:112). Lagu Melayu yang diadopsi adalah lagu yang bertempo cepat (lagu rentak mak inang dan joget). Lagu-lagu Melayu sangat menarik dinyanyikan untuk membangun suasana menjadi meriah dan ketika prosesi (berjalan) mengiringi penganten. Biasanya para penonton akan merespons dengan tepuk tangan, bersorak, dan menari-nari ketika lagu-lagu rentak joget dinyanyikan. Lagu-lagu dangdut yang sering dinyanyikan oleh grup katumbak adalah lagu dangdut yang populer di tahun 1960-an samapi 1980-an. Lagu-lagu dangdut yang dinyanyikan oleh grup-grup katumbak cukup banyak. Sekadar contoh, misalnya: “Boneka dari India”, “Bermain Tali”, “Terajana”, “Hitam Manis”, “Pandangan Pertama”, “Tamasa ke Binaria”, “Janda”, “Magdalena”, “Rindu”, dan lain sebagainya. Lagu dangdut termasuk repertoar lagu yang sering menjadi pilihan untuk dinyanyikan oleh para penyanyi katumbak. Oleh karena lagu dangdut termasuk lagu yang mudah dicerna masyarakat, cepat populer, dan sangat merakyat di Indonesia, termasuk di Pariaman. Bahkan Pariaman pada era tahun 1980-an merupakan salah satu basis musik dangdut yang sangat dinamis di Sumatra Barat. Untuk lagu-lagu yang berirama Hindustan atau lagu India, sebenarnya tidak banyak lagu tersebut yang dapat dinyanyikan dengan baik oleh grup katumbak. Keterbatasan mereka adalah pada pengusaan lirik lagunya. Namun mereka mampu menguasai melodinya dengan baik. Untuk mengatasi masalah tersebut, biasanya para penyanyi tetap menyanyikan lagu India dengan peniruan teks kata yang dikira-kira mirip saja bunyinya dengan kosa kata India, walaupun mereka sendiri tidak begitu yakin dengan apa yang diucapkan. Apalagi teknologi audio dan audio visual pada era 1980-an belum sehebat pada masa sekarang. Kalau pada masa sekarang lagu-lagu India dengan format VCD dan DVD, tayangannya sudah disertakan dengan teks liriknya, sehingga penyanyi dengan mudah membaca dan menghafal teks sambil bernyanyi. 3.2.3. Surutnya Musik Katumbak Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
22
Di era tahun 1970-an dan 1980-an musik ini mengalami masa-masa kajayaannya. Beberapa grup yang pernah punya nama itu antara lain: Ara Grup, Ampalu Grup, Kumar Grup, Limpur Jaya Grup, Acha Grup, Rajab Grup, dan lain sebagainya. Namun amat disayangkan grup-grup katumbak yang terdapat di kota Pariaman dan beberapa nagari itu secara perlahan-lahan berguguran dan mati. Hanya ada beberapa grup saja yang masih bertahan hingga saat ini. Matinya grupgrup katumbak disebabkan oleh bergesernya ragam hiburan musik untuk berbagai pesta perkawinan dengan hadirnya orgen tunggal yang menggunakan sound system modern sebagai amplifikasi suaranya. Orgen tunggal lahir dari para pemain band combo yang telah bubar. Orgen tunggal dapat membawakan semua jenis lagu, sehingga mampu mewakili selera musikal siapa saja. Sementara katumbak terbatas hanya membawakan lagu Melayu, Hindustan, gamat, dangdut, dan lagu pop Minang, akibatnya undangan pertunjukan untuk pesta perkawinan berkurang, para pengguna jasa beralih ke orgen tunggal. Selain itu, regenerasi penyanyi dan pemusik juga tidak terjadi pada katumbak. Bahkan sebagian besar penyanyi katumbak justru menyeberang menjadi penyanyi orgen tunggal. Katumbak sebagai musik hibriditas telah menjadi sebuah genre musik masyarakat Pariaman. Musik ini telah menjadi pilihan media hiburan yang sangat merakyat. Era tahun 1970-an hingga 1980-an merupakan masa-masa puncak kejayaannya. Akan tetapi memasuki era 1990-an hingga sekarang mengalami masa-masa kemunduran dan akhirnya menuju pada kepunahan. Di tahun 2008 ini hanya ditemukan sekitar dua sampai tiga grup saja yang tersisa, tetapi itu pun tidak eksis lagi. Pariaman akan kehilangan sebuah genre musik hibrid sebagai media hiburan yang memiliki latar riwayat yang mengagumkan. Jika tidak ditangani dengan cermat dan cepat, maka ia akan menjadi sebuah kenangan masa lalu. Selain katumbak, yang dapat dikelompokkan ke dalam musik hibrid Minangkabau adalah gamad. Gamad merupakan hibridisasi antara musik Barat, Melayu, dan Minangkabau. Saat ini, dapat kita saksikan salah satu musik yang sedang mengalami hibridisasi adalah saluang yang berubah dari saluang klasik ke Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
23
saluang dangdut dan saluang orgen. Namun, karena keterbatasan waktu, maka pada kesempatan ini kasus hibriditas kedua genre musik ini belum bisa dibahas.
IV. Penutup Dari uraian di atas, kasus budaya Minangkabau yang mengalami hibriditas terjadi dalam berbagai cara. Ada budaya hibriditas yang terbentuk karena diaspora yang dilakukan oleh suatu etnik yang menjadi bagian dari kolonialis Inggris. Misalnya, etnis Sipahi yang menjadi tentara Inggris di Bengkulu yang membawa tabuik ke Pariaman. Hibriditas yang terjadi musik talempong kreasi dan katumbak terjadi pada masa pascakolonial, sehingga proses terjadinya tidak mengalami benturan berupa “tawar menawar” dengan budaya Barat (penjajah) secara langsung. Akan tetapi proses latennya telah terjadi dalam kurun waktu yang lama, ketika masyarakat Minangkabau mendapat pengalaman apresiasi baru dengan musik diatonis melalui lembaga pendidikan Sekolah Raja Bukittinggi dan INS Kayutanam dan para alumni kedua sekolah itu. Proses hibridisasi masih terus berlangsung dalam budaya musik dan budaya lainnya di Minangkabau, hingga menemui muara dengan terbentuknya musik atau budaya baru yang hibrid.
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
24
KEPUSTAKAAN Apel, Willi. 1972. Harvard Dictionary of Music. Second Edition. Cambridge, Messachusetts: The Belknap Press of Harvard University Press. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. London dan New York: Routledge. Budiawan. 2010. “Ketika Ambivalensi Menjadi Kata Kunci: Sebuah Pengantar,” dalam Budiawan, ed. Ambivalensi Post-kolonialisme Membedah Musik sampai Agama di Indonesia, Yogyakarta: Jalasutra. Ashcroft, Bill., Gareth Griffiths, dan Helen Tiffin. 2007. Post-colonial Studies: The Key Concepts. London dan New York: Routledge. Fraser, Jennifer Anne. 2007. “Packing Ethnicity: State Institusions, Cultural Entrepreneurs, and the Professionalization of Minangkabau Music Indonesia.” Disertasi, Universitas Illinois, Urbana, Illinois. Gandhi, Leela. 2006. Teori Poskolonial: Upaya Meruntuhkan Hegemoni Barat. Yogyakarta: Qalam. Hanefi, et al. 2004. Talempong Minangkabau: Bahan Ajar Musik dan Tari. Bandung: P4ST UPI. Ikhsan, Nil. 2004. “Musik Katumbak dalam Tradisi Bajapuik di Desa Toboh Lubuk Aluang Padang Pariaman Sumatra Barat”. Tesis S-2 Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Loomba, Ania. 2003. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang Budaya. Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. __________. 2008. Postkolonialisme Indonesia Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Sadie, Stanley. 1984. The New Grove Dictionary of Musical Instruments. London: Macmillan Press Limited. Said, W. Edward. 2010. Orientalisme: Menggugat Hegemoni Barat dan Mendudukan Timur Sebagai Subjek. Terjemahan Achmad Fawaid. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
25
Supanggah, Rahayu. 2002. Bothekan Karawitan I. Jakarta: Ford Foundation dan Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia. Sutrisno, Mudji dan Hendar Putranto. ed. 2004. Hermeneutika Pascakolonial Soal Identitas. Yogyakarta: Kanisius. Tambayong, Japi. ed. 1992. Ensiklopedi Musik. Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka. Young, Robert J.C. 1995. Colonial Desire: Hibridity in theory, culture and race. London dan New York:Routledge.
Dipublis Oleh Ota Rabu Malam adalah ruang diskusi dan pusat kajian seni pertunjukan yang berbasis di Sumatera. OTRM didirikan oleh mahasiswa Seni Karawitan ISI Padangpanjang beserta alumni, bekerja dengan mempresentasikan kembali karya-karya yang pernah ditampilkan, ataupun arsip-arsip dan dokumentasi penelitian, untuk dibahas di ruang publik sebagai pengembangan ilmu pengetahuan. Sejak didirikan pada 30 Oktober 2013 OTRM telah melakukan serangkaian diskusi, kuliah umum, worskshop ataupun bedah setiap minggunya – Rabu Malam.
www.otarabumalam.wordpress.com Ota Rabu Malam | Budaya Hibriditas | Asril Muchtar
26