ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 DEMOKRASI HIBRIDITAS Ardhie Raditya Dosen Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Surabaya
ABSTRACT The study of democracy is currently a central issue in Indonesian society. Democracy is often regarded as the ideal system of government. Creating a democratic system is not easy. Many things must be addressed such as economic stability, social values and cultural. The third thing that can actually be a threat and enemy of democracy when they can not be addressed and the maximum dikokohkan. However, what happened exactly overlap. Enemy of democracy often becomes a complete course of democracy in this country. Ironically, it is left without any controlled and improved. Finnally, democracy hybridity is happened. Keywords: Democracy, true value and enemy democracy, elite role, Hibridity A. Pendahuluan Ibarat mantra sakti mandraguna, demokrasi kini menjadi sebuah topik yang kerap didengung-dengungkan masyarakat luas, baik masyarakat internasional pada umumnya ataupun masyarakat tanah air (nasional) pada khususnya. Bukan tanpa alasan memang. Penyebabnya adalah adanya suatu bukti yang menguatkan bahwa dengan beroperasinya sistem demokrasi, ternyata bisa menciptakan kehidupan masyarakat dalam negara sedikit, sekali lagi sedikit lebih baik, dibandingkan dengan sistem politik yang tidak demokratis (otoriter, oligarkhi, dllnya). (Dahl, dalam Diamond, 2003:3; Putra, dalam Arif, dkk, 2006; Huntington, dalam Nurtjahjo, 2006:2) Hal itu, dapat diungkap berdasarkan apa yang pernah dicontohkan Amartya Sein, bahwa dengan sistem politik (pemerintahan) yang demokratis di India, angka kemiskinan di sana menjadi sedikit terkurangi, tidak membludak. (Kleden, 2004) Sebab, bagi Sein, kemiskinan itu bukan berarti tidak memiliki sesuatu, tapi tidak bisa melakukan sesuatu. Karena itu, dengan diberlakukannya sistem demokrasi kapabilitas masyarakat, terutama kapabilitas
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
kaum miskin dapat diaktualisasikan secara maksimal. Sehingga, kemiskinan yang menimpanya diperhatikan dan didengarkan negara, serta kemudian dapat dicarikan jalan keluar pemecah kemiskinan pada akhirnya. (Prasetyo, 2005:13). Tidak hanya itu. Banyaknya kemajuan skill masyarakat suatu negara terhadap t ekhnologi, persaingan dan pertumbuhan ekonomi, terekontruksinya interaksi sosial yang baik, serta iklim politik yang kondusif seperti adanya proses mengemukakan pendapat, berorganisasi, berkelompok, dllnya, dalam masyarakat luas juga tak bisa dilepaskan dari efek diberlakukannya suatu sistem politik yang demokratis. (Sparinga, dalam Arif, dkk, 2006; Baechler, 2001) Di Jepang, Taiwan, Pakistan, Amerika, dan beberapa negara ero pa adalah co ntohnya. (Budiman, 1997:53; Baechler, 2001) Meskipun, demokrasi it u telah menjadi sebuah mantra sakral, bak ayat kitab suci yang apabila dilecehkan akan menimbulkan sebuah dosa dan siksa dunia, toh pada tataran praksisnya, demokrasi tersebut betapa sulitnya dilakukan. Kesulitan melaksanakan sistem demokrasi ini banyak 29
Jurnal Sosiologi DILEMA diakui para pakar, kalangan akademisi, sejumlah po litisi bahkan termasuk masyarakat awam itu sendiri. (Baechler, 2001; Prasetyo, 2005; Diamond, 2003; Hertz, 2005; Tomagola, 2006). Kesulitan itu tampaknya disebabkan oleh beberapa hal. Seperti, masih minimnya budaya demokrasi, belum makmurnya ekonomi, terkikisnya etika politik para elite, terbatasnya ruang publik, kuatnya campur tangan kalangan militer, intervensi dan intimidasi kekuatan asing, lemahnya peran kelas menengah hingga belum terinternalisasinya nilai-nilai demokrasi dalam tubuh masyarakat, dllnya. Karenanya, tak heran jika kemudian terlont ar adagium bahwa demokrasi hanyalah sebat as retorika saja tanpa menginjakkan kakinya secara sempurnya di muka bumi ini. B. Defenisi Dan Esensi Demokrasi Jika itu sebuah mantra dan retorika yang sedang gandrung dibicarakan banyak orang di belahan bumi saat ini, maka sebetulnya apakah demokrasi itu ?. Demokrasi berasal dari Yunani (yang notabene lokus awal sejarah demokrasi berdiri). Yakni, demos yang berarti ‘rakyat’ dan kratein yang berarti ‘memerintah’ atau pemerintahan. Jikalau dimaknai secara bebas, maka demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat. Atau dalam istilah Abraham Linchon, demokrasi merupakan goverment of the people, by people, for people. Yaitu, pemerintahan rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Dalam konteks Indonesia, demokrasi itu mengandung pengertian suatu sistem pemerintahan dari rakyat, dimana segenap rakyat itu pun turut berpartisipasi didalamnya melalui wakil-wakilnya. Atau demokrasi itu bisa berarti sebagai pandangan hidup yang mengutamakan hak, kewajiban dan keadilan bagi seluruh rakyat sebagai warga suatu bangsa. (Wahjono dalam Mulyana, 2005:10). Menurut Tomagola (2006:203), demokrasi merupakan 30
bangunan politik yang memberi ruang kontrol rakyat terhadap kebijakan suatu pemerintah, guna menunjang dan memenuhi hak atas kesejahteraan hidupnya. Robert A. Dahl, memiliki istilah Poliarkhi dalam menyebut demokrasi. Yakni, sebuah sistem politik yang di sana ada suatu bentuk oposisi yang disalurkan lewat pemilu yang teratur, bebas dan adil serta munculnya partisipasi masyarakat unt uk memilih dan berko mpet isi memperebutkan jabatan-jabatan politik. Serta didukung adanya kebebasan sipil, agar oposisi dan partisipasi itu betul-betul bermakna. (Diamond, 2003:8). Yang tak kalah menariknya mengenai makna demokrasi itu sendiri, datang dari Thomas Hobbes (dalam Siahaan, 1986:89). Hobbes melihat bahwa manusia merupakan mahluk yang berada dalam kondisi bellum omnium contra omnes; perang antara sesama manusia. Ini disebabkan tiga faktor utama. Yakni, persaingan antar sesamanya demi memuaskan nafsuya; ketakutan akan kekalahan/didominasi manusia lainnya; kerinduan mendapatkan pujian, sanjungan dan superioritas. Karena kondisi alamiah inilah, maka sesama manusia itu kemudian melakukan kontrak sosial demi menjaga dan memelihara ketertiban diantara mereka. Sehingga, pengekplo itasian dan pendominansian dapat ditekan seminimal mungkin. Hal ini kemudian tercipta negara, yang berfungsi sebagai pengatur dan penengah jalannya kehidupan masyarakatmanusia. Karenya kekuasaan itu awalnya dari masyarakat, maka sistem pemerintahan yang dijalankan tersebut hendaknya tetap memperhatikan kepentingan masyarakat pula. Dari sinilah muncul sebuah makna demokrasi yang berart i suatu sist em pemerintahan negara yang menjungjung adagium vox populi vox dei; suara rakyat adalah suara tuhan. Dengan demikian, jika di dalam sistem demokrasi terdapat suatu hal yang ternyata tidak memperhatikan kepentingan rakyat, maka dapat dianggap
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 menyimpang dari ajaran ‘tuhan’; menodai demokrasi dan nurani rakyat. Terakhir, perlu pula diakomodasikan pendapat Rita Abrahamsen, (2004:113) yang merujuk pada pemikiran Linz, Lipset dan Diamond, bahwa demokrasi itu adalah sebuah sistem politik yang memiliki tiga syarat utama: 1. Persaingan yang luas dan berarti diantara individu dan kelompok organisasi (khususnya partai politik) dalam meraih posisi efektif dalam pemerintahan secara reguler sehingga meniadakan penggunaan kekuatan fisik 2. Tingkat partisipasi politik terbuka, yang sangat tinggi dalam pemilihan pemimpin dan pengambil kebijakan, setidaknya melalui pemilu yang adil dan reguler, sehingga tidak ada kelompok sosial yang tersisihkan 3. Tingkat kebebasan politik dan sipil yang diartikulasikan dalam kebebasan berekspresi, kebebasan pers, kebebasan membent uk dan bergabung dalam organisasi, sehingga cukup unt uk menjamin integritas dan partisipasi politik. Berdasarkan dari berbagai pandangan tokoh di atas mengenai definisi demokrasi, terlihat jelas bahwa demokrasi itu bukanlah suatu hal, barang, benda, alat, reorika, (atau apapun istilahnya) yang dapat dipermainkan secara sembarangan dan serampangan. Bisa kualat, terkena musibah atau malapetaka. Karena, di situ mengandung kekuatan yang tak kalah hebat nya dengan kekuatan supranatural. Apa kekuatan yang dikandung demokrasi jika melihat dari maknamaknanya di atas ? Atau secara sederhanyanya, apakah kekuatan yang dimiliki demokrasi itu dibandingkan dengan sistem politik lainnya ? Menurut Diamond, 2003, (bandingkan dengan Diamond dalam Pontoh, 2003:7-9), kekuatan yang dikandung demokrasi tersebut adalah;
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
1.
Adanya kekuatan kontrol terhadap negara, keputusan-keputusan dan alokasi sumber daya dilakukan secara faktual/teoritik oleh para pejabat publik yang terpilih. Serta, dapat menjaga kekuasaan militer. 2. Kekuasaan eksekutif dibatasi secara konstitusional (semisal, legislatif dan yudikatif/peradilan, dllnya) 3. Memberi peluang setiap partai untuk memerintah, dan mengakui hak kelompok (termasuk hak ikut pemilu), jikalau mereka yang t unduk pada konstitusi. 4. Tidak mengekang kebebasan para kelompok minoritas etnik, agama, kultural untuk mengungkapkan kepentingannya dalam proses politik 5. Warga memiliki perkumpulan/ gerakan independen di luar partai atau pemilu 6. Pemerintah perlu menyediakan sumber informasi alternatif, artinya sumber informasi yang terbebas dari tunggangan-tunggangan politik 7. Pemerintah patut mendukung kebebasan beragama, berdiskusi, berpendapat, berdemontrasi/berpetisi dari masyarakat/warganya 8. Kadulatan rakyat setara dihadapan hukum 9. Dapat menjaga agar rule of law tidak diskriminatif dalam prosesnya 10. Dapat menjaga rule of law supaya dapat melindungi warganya dari aksi teror, kekerasan, diskriminasi yang dilakukan negara. Sedangkan, Robert A. Dahl (2001) mengatakan bahwa ada 10 (sepuluh) kekuatan yang dikandung demokrasi, yakni; 1. Demokrasi menolong at au mencegah timbulnya pemerintahan yang kejam dan picik 2. Demokrasi menjamin hak asasi warga negaranya
31
Jurnal Sosiologi DILEMA 3.
Demokrasi menjamin kebebasan pribadi seluas-luasnya bagi para warga negaranya 4. Demokrasi dapat membantu orangorang untuk melindungi kepentingan pokok mereka 5. Demokrasi memberikan kesempatan sebesar-besarnya bagi orang-orang untuk menggunakan kebebasan menentukan nasibnya sendiri, yaitu untuk hidup di bawah hukum yang mereka pilih sendiri 6. Demokrasi dapat memberikan kesempatan yang sebesar-besarnya guna menjalankan tanggung jawab moral 7. Demokrasi membantu perkembangan manusia yang lebih total 8. Demokrasi membantu perkembangan kesetaraan politik 9. Demokrasi dapat menekan atau mencegah adanya tindak kekerasan; tindak pelanggaran HAM 10. Demokrasi dapat membantu sebuah negara untuk lebih makmur Namun, menurut Henry Mayo (dalam Budiardjo,1983), terdapat 5 (lima) kekuatan yang tersimpan dalam demokrasi, yaitu; 1. Menyelesaikan perselisihan dengan damai dan secara kelembagaan 2. Menjamin terselenggaranya perubahan sosial yang damai dalam masyarakat 3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur 4. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman, keberagaman 5. Menjamin tegaknya keadilan sosial C. Elitisme Dan Realisme Demokrasi Ironisnya, kekuatan demokrasi itu terkadang hanya diidentifikasikan dalam proses pemilu yang multipartai semata. (Abrahamsen, 2004). Padahal, esensi demokrasi beserta kekuatan yang dikandungnya ternyata tidaklah sesimple/ sesederhana itu. Banyak faktor-faktor ‘diluar sana’ yang secara realistis harus
32
dilakukan, dipertimbangkan, dipikirkan, diperhatikan serta diperjuangkan dalam sistem pemerintahan yang demokratis. Sehingga, demokrasi itu berjalan menuju kearah yang lebih esensial, substansial dan manusiawi. Tapi, di sinilah kerap muncul perdebatan yang sengit guna mengukur sendi-sendi dan esensi demokrasi itu. Perdebatan itu menurut Abrahamsen (2004:114-124) diklasifikan menjadi penganut teori elitisme demokrasi dan realisme demokrasi. Dalam t eori elitisme demokrasi (minimalis demokrasi), dengan tokoh utamanya Weber dan Schumpet er mengatakan bahwa ukuran demokratis suatu negara dapat dilihat dari pelaksanaan pemilunya yang tanpa memperhatikan partisipasi warganya, apatisme. Menurut teo ri ini, semakin sedikit part isipasi masyarakat dalam pemilu, maka semakin sehatlah demokrasi. (Lipset dalam Abrahamsen, 2004:115) Sebab, dalam era modern ini, masyarakat kurang begitu memperhatikan dan tidak peduli lagi pada politik. Karenanya, banyaknya masyarakat yang apatis dalam pemilihan adalah sesuatu yang tak perlu lagi disesalkan, bukanlah suatu hal yang buruk. Justru, semakin banyak masyarakat yang terlibat dalam suatu pemilu akan memungkinkan muncullnya ektrimisme, ketegangan, perselisihan dan penurunan konsesnsus bersama, dan pada akhirnya akan mengarah pada sistem yang to talitarisme. Munculnya sist em totalitarisme di di era 1950 dan 1960-an, pada negara blo k timur karena bergandengannya antara partisipasi yang penuh dengan fasisme. (Abrahamsen, 2004:116). Bahkan, pada umumnya para pemilih ternyata belum memiliki pendidikan politik secara maksimal, ditambah lagi mereka yang tergolong kelas buruh atau kelas sosial bawah lainnya, cenderung berbudaya otoriter. Sehingga, kondisi ini dikhawatirkan akan mendudukkan merekamereka yang juga berwatak otoriter.
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 Berbeda, dengan yang apa diungkapkan teori elitisme demokrasi di atas. Menurut, pandangan teori realisme demokrasi dengan tokoh utamanya JJ. Rousseau, Stuart Mills, justru mengabaikan partisipasi masyarakat dalam proses pemilihan adalah hal yang fatal. Sebab, dengan tiadanya partisipasi dapat menjerumuskan mereka yang terpilih ke dalam sistem pemerintahan yang tak lagi memperhatikan kesejahteraan, keadilan dan tanggung jawan moral sebagai pemerintah. (Mills dalam Abrahamsen, 2004:120). Terlebih lagi, demokrasi bagi teori ini bukanlah semata-mata berurusan dengan dimensi politik dan negara saja. Demokrasi adalah sebuah kekuasaan yang hadir dalam set iap lini kehidupan masyarakat. Karenanya, untuk mengakomodasi kekuasaan itu menjadi menyebar secara adil dan merata dalam sistem demokrasi, sehingga kehidupan masyarakat diperhatikan dengan baik, diperlukan partisipasi politik dari akar rumput. Apatisme dalam politik, khususnya dalam proses pemilihan menurut teori ini adalah hal yang mengandung cacat politik. Sebab, apatisme bukanlah berada dalam ruang hampa. Apatisme muncul karena adanya struktur sosial, ekonomi-politik yang bermasalah, tidak beres. (Abrahamen, 2004:120). Itulah sebabnya, mengapa pandangan t eori elitisme demokrasi cenderung dianggap hanya lebih memperhatikan kesetaraan hukum dan hakhak formal saja, namun meremehkan tataran yang bisa menjadi ruang bagi terwujudnya hak-hak tersebut. Namun, diantara perdebatan kedua teori di atas, perlu juga dimasukkan perspektif idealis. Sebab, tak bisa dipungkiri bahwa sistem demokrasi itu bernilai esensial jikalau masyarakatnya memiliki ideologis yang demokratis. Tanpa didukung eksistensi ide-ide, keyakinan, serta kepercayaan yang penuh dalam masyarakat, maka demokrasi hanya akan berjalan terseok-seo k,
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
mengalami kemandekan. (Diamond, 2003). Melalui ideologi inilah masyarakat secara rasional akan mempert imbangkan, memutuskan dan menilai apakah sistem demokrasi yang ada itu menjadi layak untuk dijalankan, didukung ataukah ditolak. Dalam sistem politik demokratis, rakyat diasumsikan memiliki kekuatan yang sama atau lebih kuat dari negara atau pemerintah. (Budiman, 1997:39) Karena adanya kekuatan rakyat itulah, maka pemerintah harus tunduk kepada kepentingan rakyat banyak. Ideologi yang hendaknya muncul adalah negara haruslah menjamin kesejahteraan umum, stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi yang diperuntukkan bagi rakyatnya, dan mengeliminasi tindakan yang dapat menyengsarakan rakyat itu sendiri. Serta, pemerintah dengan lapang dada menerima kritikan, jika ternyata dia tidak melaksanakan tanggung jawabnya sebagai pelayan rakyat dengan baik. Dari berkembangnya ideologi seperti inilah, maka rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat baik itu dalam proses pemilu ataupun pasca pemilu tak perlu dikhawatirkan eksistensinya. Sebaliknya, jika ternyata ideologi demokratis ini belum berkembang dalam kehidupan masyarakat, maka jangan heran apabila muncul apatisme dari masyarakat luas, baik ketika pemilu ataupun pasca pemilu. Ideologi ini bisa berkembang dengan baik apabila ada peran kelembagaan, baik kelembagaan sosial, kultural, politik dan ekonomis. D. Faktor Pendukung Demokrasi Apa faktor yang mendukung terealisasikannya mantra demokrasi menjadi praksis yang sejati_meskipun kesejatian demokrasi hanya akan melahirkan oligarkhi demokrasi ? Menurut Arief Budiman (1997), ada tiga (3) faktor yang mendukung terealisasikannya demokrasi ke arah sejati. Yakni, faktor ekonomi, sosial dan budaya.
33
Jurnal Sosiologi DILEMA Pertama, faktor ekonomi. Dalam pandangan Friedman (Budiman, 1997; Prasetyo, 2005) demokrasi akan terealisasi secara baik jika didukung dengan liberalisasi ekonomi atau pengembangan lembagalembaga ekonomi. Sebagaimana dikatakannya; “ bentuk organisasi ekonomi yang memberikan kebebasan ekonomi secara langsung, yakni kapitalisme kompetitif, juga mengembangkan kebebasan politik, karena ... dengan cara ini kekuatan yang satu bisa mengimbangi kekuatan yang lain “. (dalam Budiman, 1997:41)
Bahkan, Fukuyama dan Constan (dalam Abrahamsen, 2004:124) mengungkapkan hal senada, bahwa kebebasan modern atas perdagangan bebas adalah yang secara politik paling sejalan dengan sistem demokratis. Meski tidak ada yang lebih jelas tentang dogma bahwa kapitalisme dan demokrasi memang memiliki sejumlah persamaan, akan tetapi hubungaan diantara keduanya bisa terungkap secara implisit, tidak terangterangan. Lebih dari itu, ekonomi pasar juga dapat bert indak sebagai pengawas kekuasaan pemerintah, sehingga ia dapat menghilangkan kekuasaan mutlak negara (Abrahamsen, 2004:125). Przeworski (dalam Pontoh, 2005) dalan hasil surveynya mengatakan bahwa demokrasi akan berjalan dengan baik dan tahan lama, jika pendapatan perkapita suatu negara mencapai US$ 1.000. Jika pendapatan perkapita suatu negara tidak mencapai US$ 1.000, maka diprediksikan sistem demokrasinya hanya bertahan 8,5 tahun. Sistem demokrasi akan bertahan 16 tahun, jika pendapatan perkapita suatu negara mencapai US$ 1.000-US$ 2.000. Bertahan 33 tahun, jika perkapitanya mencapai US$ 2.000-US$ 4.000, dan bertahan selama 100 tahun jikalau perkapitanya mencapai US$ 4.000- US$ 6.000.
34
Namun, Cardoso membantah bahwa ada hubungan antara ekonomi dengan sistem demokrasi. Menurutnya, perlu dibedakan terlebih dahulu antara negara dengan rejim. Rejim, katanya adalah berbagai aturan formal yang menghubungkan lembagalembaga politik, serta bentuk hubungan warga dengan pemerintahnya. Sedangkan, negara adalah ‘pakta dominasi’ dari kelas borjuis terhadap kelas-kelas yang ada dibawahnya. (Budiman, 1997:43). Itu art inya, bahwa dalam sebuah negara kapitalis belum berarti memunculkan sistme demokratis. Di Amerika latin, seperti Venezuela dan Brasil bisa memiliki rejim yang beragam, padahal negaranya bersifat kapitalistik. Bahkan, Thorbon mengatakan antara hukum akomulasi modal dengan hukum demokrasi itu berbeda. (Budiman, 1997). Akumulasi modal lebih mengacu pada kepemilikan modal-modal sosial oleh segelintir orang. Artinya, tidak setiap orang memiliki kepabilitas dan kapasitas guna mendapatkan modal sosial, seperti uang, harta dan kekuasaan. Sedangkan, dalam demokrasi setiap orang memiliki hak yang sama, yakni satu orang satu suara tak peduli mereka miskin atau kaya. Kedua, faktor sosial. Faktor sosial ini merupakan kombinasi dan interaksi dari kekuatan-kekuatan sosial yang ada dalam suatu masyarakat, yang kemudian berpengaruh bagi terbentuknya sebuah rejim politik tertentu. Therbon mengungkapkan bahwa faktor sosial itu adalah mobiliasasi rakyat jelata, adanya kekuatan kelas menengah di pedesaan dan perkotaan yang berkombinasi dengan kelas buruh, serta adanya perpecahan dalam kelompok kelas penguasa. Faktor sosial inilah yang menjadi bagian dari munculnya sistem demokrasi. (Budiman, 1997:48). Sedangkan, Diamond (2003) menjelaskan bahwa demo krasi akan berlangsung dengan baik dan menjadi konsolidatif jika dipengaruhi norma dan prilaku. Norma dan prilaku ini harus
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 bergerak pada tiga tingkatan. Yaitu, tingkat elite, organisasi dan massa. Untuk lebih detailnya dapat dilihat penjelasan dibawah ini; Elite => pemimpin politik, kultur, bisnis, sosial memiliki norma dan kepercayaan percaya bahwa demokrasi sebagai sist em pemerintahan yang baik. Kepercayaan ini bisa dituangkan dalam bentuk tulisan, gerakan, opini, ideologi, dllnya. Prilaku Elite => termanifestasi dalam bentuk saling menghargai hak antara satu dengan yang lainnya, perebutan kekuasaan secara damai, menekan kekerasan, mematuhi hukum dan konstitusi, tidak menggunakan militer demi kepentingan politiknya. Organisasi => semua partai, para kelompok kepent ingan, gerakan sosial, mendukung demokrasi, mematuhi aturan hukum dan mendukung lembaga ko nstitusional. Baik diwujudkan dalam bentuk tulisan, gerakan, ideologi, deklarasinya, dllnya. Prilaku Organisasi => termanifestasi dalam bentuk tidak adanya gerakan antidemokrasi, tidak menggunakan aksi kekerasan dalam mencapai tujuan, menghindari prilaku curang, bersandar pada konstitusional dalam mengejar kepentingannya. Massa => lebih dari 70% masyarakat percaya jika demokrasi adalah sistem pemerintahan yang terbaik dan paling cocok untuk diterapkan di negaranya. Kurang dari 15% publik yang mendukung sistem pemerintahan otoriter. Prilaku Massa => masyarakat tidak mendukung gerakan anti-demokrasi, menghindari kecurangan dalam politik, menghindari metode illegal dan inkonstitusional dalam mengejar kepentingannya, tidak
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
mengggunakan aksi kekerasan dalam mencapai tujuannya. Disamping itu, tersedianya ruang publik yang maksimal juga menjadi bagian dari fakto r so sial ini. Ruang publik merupakan wadah bertemunya kepentingan masyarakat dengan pemerintahnya. Di sini pula terjadi pertarungan ideologis dan hegemonik antar kepentingan berbagai kelompok sosial yang ada. Namun, pertarurangan ini pada akhirnya dapat diartikulasikan sebagai upaya bersama dalam mencapai suatu kesepakatan guna menentukan arah sistem politik yang ada. Dari sinilah pula terekonstruksi sebuah jalan ke arah pembentukan masyarakat sipil (civil society) yang baik dan demokratis, sehingga hal ini pula dapat berpengaruh terhadap terciptanya suatu iklim po litik yang demokratis pula. (Pilliang, dalam Wibowo, Takwin, dkk, 2005). Masih terkait faktor sosial. Adanya suatu dominasi, yang biasanya menjadi tema penting strukturalisme-konflik, sangat mungkin turut berperan dalam menciptakan sistem demokrasi. Sebagaimana pandangan strukturaliasme konflik, ketaraturan dan equilibrium dapat terbangun dengan baik, apabila ada dominasi dan otoritas dari pihak struktural, yang biasanya dalam pandangan Dahrendorf ini dikenal dengan teori ICAs (Imperatively Coordinative Assoatif). (Rahman & Yuswadi, 2001). Sist em demokrasi merupakan suatu sistem politik yang berasakan kedamaian. (Ghali, dalam Diamond, 2003). Karena itu, demi menciptakan demokrasi, sistem kehidupan sosial yang damai, maka suatu dominasi struktural barangkali perlu diaplikasikan. Dominasi ini bisa datang dari dalam ataupun dari luar negara itu sendiri. Yang tak kalah pentingnya adalah adanya peran masyarakat madani (civil society) yang merupakan mediasi dari aspirasi berbagai kepentingan masyarakat dan mengontrol negara serta pasar (market). Disamping itu, masyarakat sipil ini turut 35
Jurnal Sosiologi DILEMA berpengaruh dalam merealisasikan demokrasi dengan berperan sebagai; ‘basis pembatas kekuasaan negara’. Ini setidaknya dapat dilakukan bilamana ada arus informasi, atau adanya peran media massa yang transparansi; melengkapi peran partai dalam merangsang partisipasi politik dari warga. Setidaknya melalui sistem sosialisasi dan pembangunan budaya demokrasi; mensukseskan pendidikan demokrasi yang telah dikembangkan dalam berbagai lembaga pendidikan; membangun saluran demokrasi di luar partai untuk mengartikulasikan dan menampung berbagai kepentingan masyarakat; mediasi konflik yang bersifat pluralistik; merekrut calom pemimpin; menyatukan rakyat demi menuntut kesejahteraannya terhadap negara. (Diamond, 2003). Arbi Sanit (dalam Siswant a, 2006:108), pernah menegaskan bahwa menegakkan demokrasi perlu juga adanya peran serta partai politik. Partai politik ini berfungsi sebagai wadah berkompetisi bagi masyarakat dalam dua aspek utama, yakni proses kekuasaan dan legitimasi. Dalam proses kekuasaan, rakyat berkompetisi melalui partai politik untuk menentukan penguasa, merancang kebijakan publik, menerapkan kebijaksanaan serta mengawasi hasilnya. Sedangkan, dalam proses legitimasi, rakyat memanfaatkan partai guna memberikan keabsahan kepada penguasa dan melaksanakan keputusan yang dibuatnya. Dari sinilah kemandirian partai politik diperlukan, demi memuluskan lahirnya sistem demokrasi. Ketiga, fakto r budaya. Fakt or budaya di sini merupakan semua faktor yang ada hubungannya dengan ide-ide, nilai-nilai yang dihayati masyarakat dalam alam pikir dan kehidupannya. Nilai at au ide ini kemudian mempengaruhi tingkah laku masyarakat. Nilai dan ide ini bisa datang dari adanya habitus (kebiasaan) dan ranah (lingkungan) dalam masyarakat yang bersangkutan. Baik sifatnya historis, masa 36
lalu ataupun kontemporer, kekinian. Guna mengulas lebih jauh faktor ini, dapat kita merujuk pada pandangan Mattulada. Menurutnya, ada t iga kelompok kebudayaan dalam masyarakat. Yakni, kelompok penguasa yang memperoleh kekuasaannya melalui kekuataan adikodrati, kelompok pengabdi penguasa yang memegang jabatan, dan kelompok rakyat jelata yang biasanya ikut perintah atasan saja. (Budiman, 1997) Perkembangan budaya masyarakat ini pun, tak lepas dari pengaruh kolonial. (Sutrisno & Putranto, 2004a) Berdasarkan teori kebudayaan ini, dapat disarikan bahwa terciptanya suatu sistem pemerintahan ditentukan oleh sejauh mana kebudayaan yang ada dalam masyarakat itu berkembang berdasarkan klasifikasi kelompok kebudayaannya. Di Indonesia misalnya, sebagian besar masyarakat kita mengalami kolonialisasi yang kemudian terekont ruksi budaya ‘ndoro’. Budaya ‘ndoro’ ini begitu menjungjung titah tuannya, dan tak perlu mempertanyakan apa yang diperbuatnya, karena hal itu adalah benar. (Raditya, 2006a) Dari adanya budaya inilah yang tanpa disadari munculnya sist em polit ik totaliterian Soeharto, selama 32 tahun. Munculnya, sistem demokrasi pun tak lepas dari adanya penyebaran nilai-nilai budaya demokrasi oleh para pemimpin kita. Dengan demikian, dapat diartikan bahwa sistem politik tertentu, baik itu demokrasi ataupun bukan demokrasi dipengaruhi nilai-nilai budaya masyarakat yang bersangkutan. (Mattulada dalam Budiman, 1997). Akan tetapi, konsep budaya tidaklah sesederhana itu. Menurut, Althusser (dalam Sutrisno & Putranto, 2005b) ideologi pun merupakan bagian yang tak terpisahkan dari konteks kebudayaan. Ideologi menurut Althusser (dalam McLelland, 2005:56) adalah elemen fundamental dan sebagai atmosfer yang tidak bisa dipisahkan dari nafas serta hidup masyarakat di sepanjang sejarahnya, yang kemudian tanpa disadari
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 hal itu akan membentuk individu atau anggota kelompok masyarakat. Artinya, bahwa ideologi merupakan suatu sosialisasi dan internalisasi dari masyarakat sehingga ia menjadi jalan hidupnya, way of life. Karena ideologi ini berurusan dengan pelembagaan alam pikir, maka tentunya ada lembaga kebudayaan tertentu yang turut berperan di dalamnya, yakni lembaga pendidikan, keagamaan, politik, hukum, media massa, dllnya. Berdasarkan, teori Althusser ini, maka dapat dikatakan bahwa sistem politik suatu negara, khususnya sistem demokrasi tak lepas dari adanya pengaruh ideologi yang dikembangkan dan direproduksi melalui lembaga-lembaga kebudayaan. E. Ancaman/Musuh Demokrasi Meskipun begitu hebat dan megahnya sistem demokrasi, sehingga menjadi mantra ajaib dan melebur menjadi sesuatu hal yang sakral dalam kehidupan sosial, harus diakui juga jikalau demokrasi tak lepas dari suatu ancaman dan virus-virus yang berujung pada kematian. Di negara demokrasi yang notabene mapan sekalipun, seperti Belgia, AS, Prancis, Jepang, dllnya, tak lepas dari ancaman virus mematikan tersebut. Yakni, ko rupsi, favoritisme, sinisme, akses kekuasaan politik yang tidak merata, apatisme, rendahnya massa terlibat dalam pemilu. Itulah sebabnya, Linz mengatakan bahwa demokrasi politik tidak selalu menjamin adanya masyarakat yang demokratis, yakni suatu masyarakat yang memiliki kesetaraan peluang diberbagai lini kehidupan. (dalam Diamond, 2003:19). Gejala-gejala yang dapat diidentifikasi dari adanya ancaman bagi demokrasi itu adalah adanya pelanggaran HAM, pembredelan pers/sarana informasi massa, lemahnya rule of law, masukknya kekuatan militer di kancah politik, pengadilan telah mengalami proses diskriminatif (tebangpilih), terjadinya kekerasan dari pihak negara, para pemilih dimobilisasi oleh ikatan
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
klien, daya tarik populis, kharismatik dan personalistik (bukan program partai dan realistik), partai-partai dan kelompok independen terpecah-pecah, gerak masyarakat sipil mulai terbatas. (Diamond, 2003). Hertz (2005) dalam sebuah bukunya The Silent Take Over, mengatakan bahwa mengguritanya kekuatan bisnis di era glo balisasi (bisnis global) ini, secara perlahan akan membunuh demokrasi. Dengan adanya intervensi dan turun tangannya lembaga donor global seperti WTO, perusahaan transnasional (TNC’s, MNC’s) dan world bank, secara pelan tapi menusuk jantung pertahanan, justru meminggirkan peran negara sebagai lembaga yang melayani kepentingan masyarakat, rakyat. Akibatnya, negara kemudian menjadi linglung, tidak sanggup lagi untuk memenuhi tugasnya dalam hal mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial. Pada saat yang bersamaan, negara hanya memiliki dua peran penting ketika intervensi bisnis global telah meracuninya, yakni membangun basis legal-material operasi kapitalisme dan menjadi anjing penjaga jika ada gangguan dari masyarakat, civil society, mahasiswa ataupun kelompok oposisi. Pandangan Hertz, dikuat kan Abrahamsen (2004). Dia mengatakan bahwa neo-liberalisme, dengan penekanannya pada proses persaingan dan prakarsa, tak pelak lagi akan melahirkan elit -elit yang melaksnakan demokrasi eklusioner. Elit-elit yang terpilih, tidak lagi menghiraukan kepentingan dan kesejahteraan sosialekonomi masyarakat. Kondisi ini menurut Demos disebut sebagai membajak demokrasi. Mereka lebih tunduk kepada penyesuaian struktural lembaga donor dan bisnis global. Ketimpangan ini kemudian mencegah kesetaraan politik melalui dua cara. Pertama, mereka yang memiliki lebih banyak sumber daya ekonomi akan memiliki lebih banyak pengaruh dan kekuatan posisi 37
Jurnal Sosiologi DILEMA tawarnya t erhadap para pemegang kekuasaan negara. Kedua, mereka inilah yang dapat menyusun agenda karena memiliki kekuatan ekonomi, pendidikan yang lebih tinggi, penguasaan yang lebih mumpumi atas tekhnik-tekhnik komunikasi, dllnya. Abrahamsen itu pun ingin menegaskan, kendati politik elektoral dan terbukanya ruang kebebasan, pada dasarnya menjadikan kaum miskin bisa menuntut reformasi sosial-ekonomi. Namun, pada prakteknya pemerataan sumber daya dihambat kekuasaan kepentingan ekonomi global. Meskipun, demokrasi t ampak penting dalam mencegah membludaknya angka kemiskinan, justru setiap tahun jutaan orang India mati karena parahnya kekurangan gizi (Dreze dan Sen dalam Abrahamsen, 2004:127) Tomagola, menyebut ancaman terhadap demokrasi itu sebagai musuh demokrasi. Menurutnya, ada tiga pilar musuh demokrasi. (2006:2004-2006). Pertama, militerisme. Militerisme tidak menunjuk pada pribadi-pribadi. Namun, lebih kepada ranah struktutur. Itulah sebabnya, bahaya dari militerisme ini teletak pada tindakan struktur yang otoriter dan penuh aksi-aksi represif dan kekerasan. Kedua, kerajaan bisnis konglo merat. Petinggi negara yang berlatang belakang militer cenderung bekerja sama dengan konglomerat . Ketika sit uasi aman, konglomerat itu dijadikan sapi perahan oleh petinggi negara itu. Tapi, pada saat situasi tidak kondusif, maka konglomerat itu dijadikan sasaran kekerasan. Ketiga, munculnya neototalitarisme atau dalam kontek indonesia itu disebut Soehartois baru. Neo-totalitarisme ini dari fisik luarnya mendukung bahkan melaksanakan prosedur demokrasi. Namun, pelaksanaan itu hanya bertujuan untuk memanipulasi rakyat, guna 1 2
melancarkan gerakan ot orit er dan neoliberalisme ekonomi dengan strategi baru. F. Demokrasi Hibriditas Jika kembali ke awal tulisan ini, dapat direplay di sini bahwa demokrasi adalah sebuah mantra sakti yang begitu sulit diimplementasikan secara sempurna hingga kini. Meski, telah banyak tumbuh suburnya kalangan civil society, sosialisasi demokrasi, kelompok oposisi, terlaksana pemilu secara langsung, bantuan dana pemulusan jalannya demokrasi, ternyata demokrasi itu masih menginjakkan satu kakinya di bumi. Justru di era keterbukaan, kebebasan dan transparansi yang mewarnai kehidupan sosial saat ini yang ada hanyalah proses campur-baur (hibriditasi) antara keaslian dan keauntetikan demokrasi menjadi buram karena meleburnya musuh demokrasi itu sendiri di dalamnya. Ibnu Hasan (dalam Pilliang, 2006:6) menjelaskan bahwa hibridisasi adalah proses penciptaan atau replikasi bentukbentuk mutan lewat perkawinan silang, yang kemudian menghasilkan entitas campuran yang tidak lagi utuh, t etapi masih menyisakan sebagian identitas diri dari duan unsur yang mengalami amalgasi. Hibridisasi juga daat dijelaskan sebagai semacam proses paratisisme yang dialami suatu entitas, yaitu ketika ia dijadikan tempat hidup entitas lain, yang mempengaruhi bahkan menghancurkan identias dirinya sendiri. Hidriditas yang diungkapkan Hasan di atas, persis yang menimpa demokrasi kita saat ini. Pemerintah kita yang notabene terpilih secara demokratis, tenyata tak mampu lagi menolak intervensi lembaga global. Nyaris tidak ada lagi sendi kehidupan publik kini yang tak lepas dari jerat proyek privatisasi. Pengurangan subsidi terhadap rakyat banyak, terus-menerus ‘dirayakan’
Lihat www.icw.com [13 Desember 2006, 13.30 WIB]. Lihat www.kontras.co.id [13 Desember 2006, 13.00 WIB].
38
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009 dengan penuh suka cita oleh pemerintah kita. Impor beras (yang sebetulnya kita kaya akan padi), kenaikan harga BBM, listrik, air dan minyak tanah juga menjadi agenda pemerintahan kita akhir-akhir ini. Gerakan massa yang mengkritisi pemerintahan saat ini, hanya ditanggapi melalui pentungan aparat keamanan. Bahkan, media massa juga kerap menjadi sarana yang efektif guna menanggapi berbagai gerakan massa ataupun untuk memperbaiki citra mereka yang telah buruk dihadapan masyarakatnya. Lihat saja, ketika gerakan massa anti impor beras yang begitu booming di seantero Indonesia, malah media massa kita dengan sergapnya mengalihkan isunya dengan anti tayangan smack down, polygami, hingga hilangnya pesawat Adam Air dan kapal laut Senopati. Kekarasan terhadap perempuan yang masih menyisakan persoalan besar belum mampu ditangani serius oleh mentri urusan wanita karena dia tengah asik membicarakan undang-undang polygami. Di lini hukum, ternyata masih menyisakan pert anyaan besar. Dalam penanganan kasus korupsi misalnya. Untuk tahun 2006 saja, misalnya, berdasarkan catatan semester pertama yang dihimpun Indonesia Corruption Watch, terdapat 76 kasus korupsi dengan 206 orang terdakwa yang diperiksa dan diputus pengadilan di sebagian besar wilayah Indonesia, dari tingkat pertama (pengadilan negeri), banding (pengadilan tinggi), hingga kasasi (Mahkamah Agung). Dari 76 kasus tersebut, terdapat 14 kasus korupsi (18,4 persen) yang divonis bebas oleh pengadilan, sementara sisanya yang 62 kasus divonis bersalah. (Raditya, 2006b) Putusan bebas yang paling menuai kecaman tentu kasus korupsi Bank Mandiri yang melibatkan Direktur Utama Bank Mandiri E.C.W. Neloe, mantan Direktur Risk Management I Wayan Pugeg, dan mantan EVP Coordinator Corporate & Government M. Sholeh Tasripan yang
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
merugikan negara Rp 160 miliar. Oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ketiga terdakwa divonis bebas karena unsur kerugian negara tidak dapat dibuktikan oleh jaksa penuntut umum meskipun jaksa sudah mendakwa dengan 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 12 bulan kurungan. Akibatnya, vonis bebas bagi pemimpin Bank Mandiri tersebut secara otomatis membebaskan para debitor Bank Mandiri (Edyson, Saiful Anwar, dan Diman Ponijan, tiga pengurus PT Cipta Graha Nusantara).1 Kondisi di atas, tentu belum termasuk kasu pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian dan membengkaknya angka kemiskinan. Dalam laporan kontras, 2006, menunjukkan bahwa ada kurang lebih 126 kasus pelanggaran HAM yang dilakukan aparat kepolisian, mulai Juli 2005-Juni 2006.2 Sedangkan, untuk angka kemiskinan, berdasarkan data BPS nasional 2006 menunjukkan bahwa angka kemiskinan di Indonesia meningkat tajam, dari angka 35,10 juta (15,97 %) pada tahun 2005, menjadi 39,05 juta (17, 75 %) pada tahun 2006. Peristiwa yang terjadi di Indonesia kahir-akhir ini sama halnya ketika Presiden Chiluba memipin Zambia di era 90-an. Sebelum Ia menaiki tahta kepresidenan, janji akan memperhatikan kesejahteraan rakyat banyak digembar-gemborkan. Kemiskinan akan dicarikan jalan keluarnya. Kesehatan masyarakat akan diperhatikan dengan sungguh-sungguh nantinya, begitu pula dengan sektor pendidikan, lapangan kerja, keamanan, dllnya. Namun, yang terjadi ketika Chiluba terpilih menjadi presiden Zambia, maka penyesuain struktural terhadap lembaga donor global tak bisa ditampiknya. Alih-alih memperhatikan nasib rakyat, ia malah justru mendukung privatisasi, liberalisasi ekonomi, serta melakukan pengurangan subsidi-subsidi terhadap rakyatnya. Impor gula, tembaga, tembako serta tekhnologi tepat guna pun tak 39
Jurnal Sosiologi DILEMA segan-segan ia lakukan. Padahal, gula, tembako, dan tembaga adalah sumber daya alam yang melimpah dan merupakan lahan hidup masyarakat pada umumnya. (Abrahamsen, 2004) Kembali ke kontek Indonesia. Dari adanya berbagai fakta di atas, dapat dikatakan bahwa memang demokrasi kita saat ini sedang mengalami hibriditas. Dalam sistem demo krat is, pemerint ah yang seharusnya memperhatikan kesejahteraan masyarakat malah memperpuknya dengan berhamba pada kepentingan ekonomiglobal. Ini berarti entitas politik dalam demokrasi telah beramalgasi dengan entitas ekonomi dan globalisasi. Rule of law yang katanya dalam demo krasi menjamin punahnya diskriminasi hukum at au menghukum mereka yang menyengsarakan rakyat dan melanggar aturan hukum, malah tidak terwujud secara sempurna. Itu dit unjukkan, dengan masih terbebasnya para koruptor kelas kakap dari jeratan hukum menjadi buktinya. Berarti, entitas hukum kita telah bermesraan dengan entitas ekonomi dan kekuasaan. Akibatnya, jadilah hukum mut an, hukum yang berhibriditas. Bahkan, demokrasi yang katanya menjamin tidak adanya tindak kekerasan dari negara justru tak pernah terlaksana. Banyak terjadi kekerasan di era demokrasi ini. Baik kekerasan fisik oleh aparat, kekerasan simbo lik melalui hegemoni pejabat melalui media massa, atau kekerasan struktural (tak terlihat) seperti pemangkasan subsidi unt uk rakyat, privatisasi sektor-sektor kehidupan, dllnya. Lagi-lagi, ini memperlihatkan bahwa entitas demokrasi yang autentik telah melakukan ‘persetubuhan’ dengan entitas kekerasn. Hal ini mencerminkan bahwa demokrasi yang tengah hadir di tanah air kita adalah demokrasi hibriditas. Meskipun ini masih bersifat debatable, namun persoalannya adalah sampai kapan demokrasi seperti ini akan berlangsung di bumi pertiwi kita tercinta ? 40
Sangat sulit memang unt uk menjawabnya. Namun, mari sejenak merujuk kembali pandangan Przeworski yang dianggap beberapa kalangan bersifat prediktif-reduksionis. Menurutnya, jika pendapatan perkapita suatu negara tidak mencapai US$ 1.000, maka diprediksikan sistem demokrasinya hanya bertahan 8,5 tahun, bertahan 16 tahun, jika pendapatan perkapitanya mencapai US$ 1.000-US$ 2.000, bertahan selama 33 tahun, jika pendapaan perkapitanya mencapai US$ 2.000-US$ 4.000, serta bertahan selama 100 tahun sistem demokrasi jikalau perkapitanya mencapai US$ 4.000- US$ 6.000 per tahun. Di Indo nesia, t ernyata pendapat an perkapitanya pada tahun 2006 lalu sebesar US$ 830. Bahkan, ada yang memprediksikan bahwa pendapat an perkapita negara ini pada tahun 2011 sekitar US$ 860. Jika bersandar pada pandangan Przeworski, maka diprediksi demokrasi di sini mungkin bisa bertahan di bawah 8,5 tahun. Atau apabila 8,5 tahun itu dihitung mulai sekarang, dan t ernyata hingga mencapai akhir waktunya, perkapita negara ini masih di bawah US$ 1.000, maka diprediksikan demokrasi di sini hanya bisa sampai berjalan hingga proses pemilu satu kali lagi. Pada masa pemerintahan presiden kita yang ke-7. Artinya, pada saat itu diprediksi akan banyak muncul tindakan, sikap dan kebijakan yang tidak lagi bersendikan nilai-nilai demokrasi. Apakah dapat ditegaskan bahwa pada masa itu demokrasi di tanah air ini kehilangan ruhnya ? Bisa jadi ya, bisa jadi tidak. Entahlah. Kita lihat saja perkembangannya nant i. Bukankah demikian kawan-kawan ?
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
ISSN : 0215 - 9635, Vol 21. No. 2 Tahun 2009
DAFTAR PUSTAKA Abrahamsen, Rita, 2004. Sudut Gelap Kemajuan, Jogjakarta: Lafadl Arif, Saiful, dkk, 2006. Demokrasi (seri 1), Malang: Averroes Press Baechler, Jean, 2001. Demokrasi: Sebuah Tinjauan Analitis, Jogjakarta: Kanisius Budiarjo, Miriam, 1983. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Budiman, Arif, 1997. Teori Negara, Jakarta: Gramedia Diamond, Larry, 2003. Developing Democracy, Toward Consolidation, Jogjakarta: IRE Press Hertz, Noreena, 2005. The Silent Take Over, diterjemahkan dalam bahasa indonesia dengan judul bukunya Perampok Negara, Jogjakarta: Alenia Kleden, Ignas, 2004. Negara Dan Masyarakat, Jogjakarta: Jalasutra Mulyana (ed), 2005. Demokrasi Dalam Budaya Lokal, Jogjakarta: Tiara Wacana Mc Lelland, David, 2005. Ideologi Tanpa Akhir, Jogjakarta: Kreasi Wacana Nurtjahjo, Hendra, 2006. Filsafat Demokrasi, Jakarta: PT. Bumi Aksara Piliang, A. Yasraf, 2006. Transpolitika, Jogjakarta: Jalasutra Pontoh, Husain, Coen, 2005. Malapetaka Demokrasi Pasar, Jogjakarta: Resist Book Prasetyo, Eko, 2005. Demokrasi Tidak Untuk Rakyat, Jogjakarta: Resist Book Tomagola, Amal, Tamrin, 2006. Republik Kapling, Jogjakarta: Resist Book Siahaan, M. Hotman, 1986. Pengantar Ke Arah Sejarah Dan Teori Sosiologi, Surabaya: PT. Airlangga Siswanta, 2006. Relasi Kekuasaan, Jogjakarta: Media Wacana Sutrisno, Mudji & Putranto, Hendar (ed), 2004. Hermeneutika Pascakolonial, Jogjakarta: Kanisius _________________ (ed), 2005. Teori-Teori Kebudayaan, Jogjakarta: Kanisius Sudibyo, Takwin, dkk, 2005. Republik Tanpa Ruang Publik, Jogjakarta: IRE Press Raditya, Ardhie, 2006. Menabur Kuasa, Menekuk Wanita, 18 Desember dalam Opini Jawa Pos, Surabaya Raditya, Ardhie, 2006. Lemahnya Anti Body Bangsa Terhadap Korupsi, 20 Desember dalam Opini Fokus, Madura Rahman, Bustami & Yuswadi, Hary, 2001. Sistem Sosial Budaya Indonesia, Jember: Univ. Jember Press
Ardhie Raditys Demokrasi Hibriditas
41