Masyarakat Minangkabau : Dinamika Internal dan Eksternal By. Erwin 1. Pendahuluan Suku bangsa Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa di Indonesia yang menganut sistem kekerabatan matrilinial, mendiami sebagian besar daerah Propinsi Sumatera Barat, dan merupakan salah satu suku bangsa dengan jumlah penduduk terbesar di Indonesia, setelah suku bangsa Jawa, Sunda, dan Madura (Naim 1984:34-38). Karakteristik yang menonjol dari masyarakat matrilinial Minangkabau adalah; menarik garis keturunan dari pihak perempuan; ada suku, subsuku matrilinial dan kelompok keluarga lebih kecil, yang dipersatukan oleh kepemimpinan askriptif dalam berbagai tingkat pemilikan dan penguasaan tanah komunal. Sensus tahun 1930 menunjukkan jumlah penduduk Sumatera Barat 1.831.225 jiwa, dengan rincian; bertempat tinggal dalam wilayah Propinsi Sumatera Barat berjumlah 1.717.031 orang; diperkirakan sekitar 99.404 orang yang bertempat tinggal di daerah lain di luar Sumatera Barat, dalam wilayah negara Republik Indonesia; sekitar 14.790 orang bertempat tinggal di Malaysia (Volksteling 1930, dalam Kato, 1982 : 112 ). Naim (1984:57) memperkirakan pada tahun 1971 jumlah orang Minangkabau yang bertempat tinggal di dalam Propinsi Sumatera Barat kurang lebih 2.200.000 orang. Data BPS (1973), memperkirakan pada tahun 1971 penduduk Sumatera Barat berjumlah 2.792.222 orang. Pada tahun 1980 berjumlah 3.406.132 orang, jumlah ini meningkat dua kali, dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1930. Data terbaru hasil perhitungan BPS, sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk Propinsi Sumatera Barat 4.220.320 orang; terdiri dari 2.070.600 laki-laki dan 2.149.720 perempuan. Dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,6 persen, penduduk Sumatera Barat pada tahun 2002 berjumlah sekitar 4.375.080 jiwa (BPS, 2002: 42-43). Luas Propinsi Sumatera Barat 42.297,30 km persegi, merupakan daerah yang bergunung-gunung dan perbukitan dengan lembahnya yang curam. Topografi demikian membuat wilayah Sumatera Barat, hanya mempunyai sedikit dataran yang dapat dijadikan areal pertanian, yaitu sekitar 13,9 % jiwa (BPS, 2002: 44). Keadaan ini mengakibatkan berbagai konsekuensi di dalam 1
masyarakat, terutama berhubungan dengan masalah tanah, keluarga dan masalah sosial lainnya. Tingginya laju pertumbuhan penduduk mengakibatkan tekanan penduduk terhadap tanah pusaka (tanah komunal) meningkat sehingga akses anggota keluarga luas matrilinial untuk memperoleh tanah pusaka (tanah komunal) berkurang. Bagi keluarga luas matrilinial yang mempunyai tanah pusaka yang luas, mempunyai banyak peluang untuk memamfaatkan tanah pusaka dan bebas menentukan bagaimana memanfaatan tanah pusaka untuk jangka pendek atau jangka panjang sehingga menguntungkan. Bagi keluarga luas matrilinial yang memiliki sedikit tanah pusaka tapi mempunyai anggota keluarga luas matrilinial yang banyak, eksploitasi jangka pendek dapat mengakibatkan hilangnya sumber daya, dan resiko jatuh miskin menghadang mereka. Kebanyakan keluarga miskin terpaksa melakukan eksploitasi secara berlebihan terhadap tanah yang mereka miliki, karena desakan untuk mempertahankan hidup (BendaBeckmann,2001:23). Perubahan sistem perekonomian pada masyarakat Minangakabau sejak awal abad 20 mengakibatkan terjadinya perubahan sosial budaya yang mendasar dalam masyarakat. Menurut Schrieke (Manan,1995:55) perubahan sosial budaya yang terjadi di Sumatera Barat, akibat pertemuan intensif antara masyarakat prakapitalis Minangkabau dengan masyarakat kapitalis Barat. Pada mulanya sistem pertanian masyarakat Minangkabau bersifat subsistence (usaha pertanian bertujuan untuk memenuhi kebutuhan keluarga), dengan tanaman padi sebagai tanaman utama. Dalam perkembangannya, politik kolonial Belanda memaksa masyarakat menanam tanaman yang dibutuhkan oleh pemerintahan kolonial, seperti : kopi, cengkeh, teh, cassiavera, karet dan tanaman lainnya yang berorientasi pasar. Menurut Abdullah (1992:25-27) politik kolonial Belanda tidak saja memperkenalkan ekonomi uang pada masyarakat Minangkabau, akan tetapi juga memberikan stratifikasi baru pada penghulu, ada penghulu yang mempunyai sertifikat dan ada yang tidak. Seorang penghulu akan memperoleh sertifikat apabila penghulu tersebut mampu mengamankan kebijakan pemerintah kolonial, baik dalam bentuk tanam paksa maupun dalam pengerahan tenaga kerja (kerja rodi). Adanya paksaan menanam tanaman cash crop, memberi pengaruh terhadap sikap dan perilaku ekonomi masyarakat Minangkabau, sebagaimana yang dikemukakan oleh Naim (1984: 84); 2
Revolusi pertanian jelas telah menciptakan sikap baru dalam perilaku ekonomi masyarakat. Perubahan sikap terhadap tanah dan terhadap sistem pemilikan tanah juga timbul karenanya. Secara tradisional tanah dimiliki oleh keluarga garis ibu dan menggadaikan atau penjualan tanah hanya dapat dilakukan dengan syarat-syarat tertentu. Tapi dengan munculnya ekonomi uang dan kebutuhan akan uang kontan mengakibatkan masyarakat harus menggadai atau menjual tanah pusaka. Konsekuensi lebih lanjut dari ekonomi uang adalah perkembangan individualisme yang pesat dengan proses individualisasi dari pemilikan harta kekayaan, dan di atas segalanya itu, rusak bangunan kekeluargaan matrilinial yang selama ini terjalin erat.
Keterlibatan masyarakat Minangkabau dalam perekonomian dunia telah menimbulkan semacam “revolusi dalam semangat“ dan “revolusi agraria“, yang disertai oleh perubahan sosial budaya, antara lain; kepemilikan tanah komunal semakin longgar; individualisme tumbuh dan ikatan kekerabatan dalam keluarga luas matrilinial mengendor; pertentangan yang makin intensif antara kaum tua dengan kaum muda, konservatif dan modern; kewibawaan tradisional melemah dan standar sosial tradisional goyah (Geertz,1976: 130-131). Mentalitas ekonomi yang ditampilkan masyarakat Minangkabau telah berubah dari mentalitas petani ladang ke mentalitas pedagang yang mengejar keuntungan dan terjerat dalam tali temali keuangan. Menurut Geertz, apa yang terjadi pada masyarakat Minangkabau bukan hanya perubahan pola penggunaan tanah atau teknik produksi semata-mata; yang berubah adalah sistem dari segala pranata, praktek, ide-ide yang relevan dan saling berhubungan yang merupakan inti kebudayaan (Geertz, 1976: 132). Perubahan kultural yang terjadi di Sumatra Barat, akibat dari pertemuan intensif antara masyarakat pra-kapitalis Minangkabau dengan masyarakat kapitalis Barat (Schrieke, dalam Manan, 1995: 55-57 ). Keterlibatan masyarakat Minangkabau dalam perekonomian dunia telah menimbulkan semacam “ revolusi dalam semangat “ dan “ revolusi Agraria “. Mentalitas ekonomi telah tampil yang disertai oleh perubahan sosial budaya, antara lain; hak milik tanah semakin longgar; individualisme tumbuh sedangkan ikatan kekerabatan dalam keluarga luas mengendor; pertentangan yang makin intensif antara kaum tua dengan kaum muda, konservatif dan modern; kewibawaan tradisional melemah dan standar sosial tradisional goyah Pertengahan abad ke 20 tradisi merantau yang menjadi salah satu ciri dari suku bangsa Minangkabau berkembang pesat, dan konsepsi rantau bagi masyarakat Minangkabau semakin luas dalam pengertian geografis. Gejala itu disebabkan karena ada faktor 3
pendorong dan penarik, sebagaimana dikemukakan Naim (1984: 95), sebagai berikut; Dengan sarana yang lebih modern dan daya tarik kota-kota di Indonesia, dan didorong oleh faktor dari dalam, mengakibatkan semakin banyak lakilaki Minangkabau merantau. Gejala tersebut, mengakibatkan lebih banyak laki–laki membawa isteri dan anak–anak mereka ke rantau, dan mendorong pembentukan keluarga inti yang hidup lepas dari keluarga marilinealnya. Pada saat itu, mulailah berkembang pola menetap setelah menikah, yang bersifat neolokal, terutama di dearah perkotaan , yang terdiri dari ayah , ibu dan anak–anak.
Tradisi merantau berpengaruh terhadap keluarga luas matrilinial Minangkabau dalam menjalankan fungsi sosial ekonominya, dilihat dari aspek material dan im-material, bagi perantau (migran) dan bagi anggota kerabat yang tinggal di Nagari, karena terjadi perubahan lingkaran solidaritas dari keluarga luas matrilinial ke keluarga inti (Naim :1984:95). Kato (1982:171-173), melihat ada pengaruh agama Islam terhadap praktek pewarisan dan struktur pemilikan tanah di Minangkabau. Tanah yang menjadi salah satu unsur pendukung sistem matrilinial Minangkabau dihadapkan kepada pola pewarisan patrilineal dalam agama Islam. Secara tradisional, tanah dan tanaman yang ada di atasnya di kelola secara bersama-sama dipergunakan untuk kesejahteraan seluruh anggota keluarga luas matrilinial. Menurut ketentuan adat, tanah tidak boleh dijual. Tanah dikuasai oleh perempuan, di bawah kontrol mamak saudara laki-laki ibunya. Tanah diwariskan dari generasi ke generasi menurut garis perempuan. Pemanfaatannya dilakukan melalui mekanisme ganggam bauntoak atau mekanisme bergiliran yang didasarkan pada prinsip penguasaan atau pemanfaatan, bukan pemilikan individual. Prinsip pemilikan bersama dari tanah komunal (common property )menjadi elemen perekat dan menyatukan aktivitas sosial ekonomi dalam keluarga luas matrilinial. Politik pemerintah nasional antara lain, undang–undang yang menjadikan ayah sebagai kepala keluarga, undang-undang perpajakan dan persyaratan keluarga penerima bantuan pemerintah dalam berbagai program pembangunan, menempatkan laki-laki dalam arti ayah atau suami pada posisi sentral dalam keluarga. Keadaan itu, memperkuat kedudukan keluarga inti matrilinial dalam masyarakat, dan menjadi kekuatan pendorong terjadinya perubahan peran individu-individu dalam keluarga luas matrilinial dan antara keluarga 4
luas matrilinial isteri dengan keluarga luas matrilinial suami, dalam konteks hubungan sosial ekonomi. Terbukanya lapangan kerja di luar sektor pertanian memungkinkan terjadinya penambahan harta pencaharian pada keluarga inti matrilinial, dan mengakibatkan intensitas relasi sosial ekonomi antara individu dalam keluarga luas matrilinial berkurang, dan relasi sosial ekonomi yang kuat dan maksimal berlangsung dalam keluarga inti matrilinial. Gejala itu mengakibatkan terjadinya penyempitan peran dan tanggung jawab individu dalam keluarga luas matrilinial. Gejala monetisasi mengakibatkan terjadinya perubahan dari sistem pertanian subsistensi ke sistem pertanian berorientasi pasar. Pada masa ini tanah tidak semata-mata mempunyai nilai sosial, akan tetapi nilai ekonomis dari tanah mulai mendapat tempat dalam masyarakat ( Hasan, 1986:15 ). Dalam perkembangannya, muncul produk hukum dan regulasi yang mengatur ekspansi dan konsolidasi kepemilikan dan kontrol negara terhadap sumber daya alam. Tanah milik bersama atau tanah komunal mencakup berbagai hak yang sangat berbeda, seperti; tanah warisan, tanah milik negara, dan hakhak dari unit sosial atau institusi politik yang lebih besar. Sementara aspek individu dalam kepemilikan swasta, diabaikan sama sekali dan aspek komunal terlalu didramatisir. Hal yang tersisa hanyalah karikatur tentang hak milik individu dan komunal. Ada kecendrungan hak individu terhadap harta pusaka akan semakin berkurang, pada saat sebagian besar dari harta pusaka digadaikan atai disewakan. Implikasinya adalah hak individu terhadap harta pusaka, lebih bersifat hak katagoris, sehingga tidak lagi memiliki fungsi sosial, ekonomis dan ekologis ( Benda-Beckmann, 2001:23 ). Evers (1985), menjelaskan bahwa telah terjadi perubahan status pemilikan tanah dan kepemilikan komunal ke pemilikan individual. Faktor penyebab terjadinya perubahan adalah adanya perluasan kota dan pertambahan penduduk. Meningkatnya kepadatan penduduk, mengakibatkan terjadinya perubahan pola tempat tinggal, dari rumah gadang ke rumah-rumah kecil yang didiami oleh keluarga inti. Keluarga inti menjadi penting dan merupakan unit produksi dan unit konsumsi. Keadaan ini memberikan implikasi terhadap pola pemilikan dan penguasaan tanah, dan mengarah pada fragmentasi pemilikan tanah di wilayah perkotaan (Evers,1985:133–156). Benda-Beckmann (1979: 97), menjelaskan permulaan perubahan sosial di Minangkabau, terjadi karena adanya sistem monetisasi, hasil dari kebijakan ekonomi Hindia Belanda, melalui 5
sistem kultivasi kopi dan pengaruh agama Islam. Akibat dari kebijakan tersebut adalah munculnya sistem penguasaan tanah, introduksi sistem pajak, serta dibukanya perdagangan bebas dengan luar negeri. Dengan sistem tersebut para buruh menerima gaji secara langsung dari pekerjaannya, dan mengakibatkan harta pencaharian menjadi penting. Meluasnya gejala monetisasi juga mengakibatkan terjadinya perubahan dari sektor pertanian subsistensi ke pertanian komersial. Keadaan ini, juga mengakibatkan tanah tidak hanya bernilai sosial, akan tetapi juga bernilai ekonomis. Gejala tersebut juga ditandai dengan munculnya para pedagang, adanya kegiatan menjual jasa, munculnya tenaga buruh upahan dalam masyarakat. Kato (1977:49-57) membicarakan sejumlah segi sosial ekonomi dari perubahan dalam struktur keluarga dan status ayah di Minangkabau. Pada masa lampau tingkat perceraian dan tingkat poligami di Minangkabau paling tinggi di seluruh daerah jajahan Hindia Belanda. Namun, sejak awal abad ke 20, baik tingkat perceraian dan tingkat poligami, masih tetap tinggi namun mulai terjadi penurunan. Disamping itu juga menurut Kato hubungan antara ayah dengan anak-anaknya mulai kuat, baik dari segi ekonomi maupun dari segi pengambilan keputusan dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan masa depan anak-anaknya. Pepatah adat yang mengatakan “anak dipangku kemenakan di bimbing “, menurut Kato (1977:50) pada saat sekarang berarti mamak akan membela kemenakanya menurut adat; membimbing kemenakannya dengan memberi nasehat dan mengajarkan adat kepada mereka, sedangkan pada pihak lain hubungan antara ayah dengan anaknya bersifat kasih sayang, ayah menggendong, memangku dan memberi makan anakanaknya. Kato (1977:57) menyebutkan bahwa keluarga inti menjadi semakin penting sebagai kesatuan ekonomi dan tempat tinggal pasangan suami istri. Kecendrungan untuk membangun rumah tangga baru di tanah pusaka istri dibandingkan dengan tinggal bersama dalam keluarga matrilinial ( extended family ) semakin tinggi. Munculnya harta pencaharian berhubungan dengan peningkatan pentingnya keluarga inti ( nuclear familiy ), sebagai kesatuan ekonomi utama. Sewaktu tanah pusaka masih mencukup untuk para anggota keluarga matrilinial yang tinggal di rumah gadang tidak banyak kesempatan bagi urang sumando atau suami untuk memainkan peranan ekonomi terhadap anak dan istrinya. Bersamaan dengan semakin berkurangnya harta pusaka, baik yang diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk, 6
membuka kesempatan kepada urang sumando untuk memberikan sumbangan ekonomi. Khan (1980: 96-98) memperlihatkan pergeseran yang sudah terjadi dalam bidang pewarisan. Di Sungai Puar, pola kediaman bersifat uxorilokal, dimana suami tinggal di lingkungan kaum kerabat istri. Apabila suami belum sanggup membangun rumah bagi istri dan anak-anaknya, maka mereka akan tetap tinggal di rumah orang tua istri. Akan tetapi mereka selalu berusaha untuk membangun rumah baru buat istri dan anaknya. Apabila suami sudah mempunyai uang, ia membangun rumah baru buat anak dan istrinya, dan rumah tersebut diwariskan kepada anak-anaknya yang perempuan, dan akhirnya menjadi harta pusaka. Benda-Beckmann (1979: 231) juga menunjukkan hal sama. Dari sudut harta pusaka tampak ada kecenderungan ke arah bertambahnya harta pencaharian, tetapi harta pencaharian tersebut, hanya terjadi sekali saja, kemudian timbul kecenderungan untuk menjadikan harta pencaharian menjadi harta pusaka ( Benda-Beckmann, 1979:234 ). Dari penelitian Khan (1980:78 ) dan Kato (1977:81), keluarga luas matrilinial menjadi kurang penting sebagai kesatuan sosial ekonomi. Hal ini juga tampak dari kedudukan penghulu sebagai pemimpin suku atau jurai yang sudah sangat diperlemah. Taufik Abdullah (1983 : 159 ) menganggap harta pusaka dan kedudukan penghulu sebagai hal yang bersifat strategis dalam usaha untuk mengerti struktur dan dinamika masyarakat Minangkabau. Jika yang pertama dapat dianggap sebagai basis dari keberlakuan sistem kekeratabatan yang bersifat matrilinial, maka yang kedua adalah personifikasi dari kekuasaan yang menjaga kelangsungan dari sistem tersebut
Proses individualisasi yang sedang terjadi di Minangkabau sebagai sesuatu yang melemahkan ikatan dalam keluarga matrilinial. Taufik Abdullah (1983: 166), memberikan ringkasan dari argumentasi von Benda-Beckmann, sebagai berikut : … proses individualisasi adalah kecendrungan dari ikatan sosial besar kepada ikatan sosial kecil dan desintegrasi yang komplementer dari kelompok sosial yang besar. Dengan begini walaupun terjadi perubahan dalam sikap terhadap harta, pelestarian dari tradisi tetap berlanjut.
Kato (1977) memberikan argumentasi yang menarik untuk memperlihatkan bahwa gejala merantaupun tidak melemahkan sistem 7
matrilinial Minangkabau. Merantau memberi kemungkinan bagi tersalurnya berbagai konflik, tampa secara langsung mempersoalkan dasar dari sistem kekerabatan. Disamping itu merantau menyebabkan kaharusan seseorang untuk makin memperjelas identitas dirinya dalam berhadapan dengan orang lain. Kato (1977), beranggapan akan ada ketegangan intelektual dalam diri para perantau, yaitu keinginan untuk selalu berusaha memasukkan hal-hal yang baru di Minangkabau, akan tetapi disisi lain ada hasrat yang selalu ingin memberlakukan nilainilai lama yang pernah dan masih di hayati oleh para perantau. Implementasi dari Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979, merupakan salah satu bentuk penyeragaman sistem pemerintahan terendah di Indonesia. Di Sumatera Barat, ditandai dengan terbaginya Nagari menjadi beberapa buah desa. Undang-Undang. No. 5 tahun 1979 dan keputusan Mendagri No. 27 tahun 1984, telah memperkuat posisi pemimpin formal dalam hal ini kepala desa sebagai figur sentral dan sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat. Peran pemimpin informal; penghulu, cerdik pandai dan ulama yang duduk dalam Lembaga Kerapatan Adat Nagari berkurang, dan hukum adat mulai ditinggalkan. Salah satu tugas dari Lembaga Kerapatan Adat Nagari adalah mengelola kekayaan Nagari, seperti; Pasar, Mesjid, lapangan, hutan dan sumber daya alam lainnya, sebagaimana yang dimaksud dalam Perda No. 13 tahun 1983, tidak dapat dijalankan dan berbenturan dengan ketentuan dalam UU. Nomor 5 tahun 1979 tentang tugas dan kewenangan pemerintah desa. Keadaan ini mengakibatkan kekayaan Nagari tidak terkelola secara baik (Erwin, 1994: 126). Tarik menarik kepentingan antara pemerintah kota atau kabupaten dengan pemerintah Nagari dalam pengelolaan air, memperlihatkan ketidak-berpihakan dan inkonsistensi pemerintah dalam memberdayakan masyarakat petani. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999, tentang pemerintahan daerah, disikapi oleh pemerintah Propinsi Sumatera Barat, dengan mengembalikan peran dan fungsi Nagari sebagai unit pemerintah terendah, bertujuan memperkuat kelembagaan adat yang mempunyai otoritas dalam pengelolaan sumber daya alam yang ada di Nagari, untuk kesejahteraan anak Nagari. Dalam prakteknya, pemerintahan kabupaten belum sepenuhnya mau menyerahkan kewenangan tersebut kepada pemerintahan Nagari. Beberapa fenomena sosial terjadi pada masyarakat Minangkabau selama dua dasawarsa terakhir, memperlihatkan sistem keluarga luas matrilinial tidak bekerja atau fungsi sosial ekonomi keluarga luas matrilinial pada tingkat paruik tidak berjalan. Kehadiran 8
panti jompo di Sumatera Barat sejak tahun 1980, menunjukkan beralihnya tanggung jawab penyantunan orang lanjut usia dari institusi tradisional (keluarga luas matrilinial), ke institusi sosial modern (panti jompo) yang dikelola Departemen Sosial (Kanwil Depsos Sumbar, 1985). Sejalan dengan itu, merebaknya kasus Marasmus (gizi buruk) yang melanda anak usia di bawah lima tahun di Sumatera Barat, pada tahun 1999 berjumlah sekitar 10.000 orang, 26 orang diantaranya meninggal dunia (Kanwil Kesehatan Sumbar, 2000). Kedua gejala itu, menunjukkan ada tendensi kuat tidak bekerjanya sistem keluarga luas matrilinial pada masyarakat Minangkabau dan salah satu indikasi melemahnya fungsi keluarga luas matrilinial.; akses individu terhadap tanah milik bersama berkurang; dan melemahnya hubungan sosial ekonomi dalam keluarga luas matrilinial. Dalam sistem nilai budaya Minangkabau setiap individu tersubordinasi sebagai bagian dari keluarga luas matrilinial, dan berkewajiban memberikan perlindungan terhadap seluruh anggota keluarga luas matrilinial. Peningkatan jumlah penduduk telah mengakibatkan penguasaan tanah dalam keluarga inti matrilinial berkurang, dan keluarga inti matrilinial mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Terbagi-baginya penguasaan tanah pusaka pada keluarga inti matrilinial mengakibatkan peran mamak dalam pengelolaan atau mendistribusikan tanah pusaka yang didasarkan pada kebutuhan dari keluarga inti matrilinial menjadi berkurang. Tanah komunal (tanah pusaka), sebagai common property pada dasarnya merupakan titik simpul untuk menyatukan hubungan sosial ekonomi dan hubungan emosional antar individu dalam keluarga luas matrilinial akan mengalami perubahan bersamaan dengan berubahnya struktur pemilikan tanah dalam masyarakat. Perubahan struktur pemilikan tanah akan mengakibatkan solidaritas sosial dan hubungan sosial ekonomi antar individu bergeser dari keluarga luas matrilinial ke keluarga inti matrilinial. Tulisan dalam buku ini membahas; (1) Perubahan fungsi sosial ekonomi dari keluarga luas matrilinial ke keluarga inti matrilinial sebagai akibat dari perubahan struktur pemilikan tanah ; (2) Akses apa saja yang dimiliki oleh keluarga inti matrilinial terhadap sumber daya produktif yang dimiliki keluarga luas matrilinial dan usaha-usaha apa saja yang dilakukan keluarga inti matrilinial untuk mengatasi keterbatasan tanah pertanian dalam memenuhi kebutuhan keluarga inti matrilinial. (3) Disamping itu juga akan dibahas sejauh mana keberadaan tanah komunal ikut berpengaruh terhadap 9
kelangsungan dari sistem kekerabatan matrilinial dan hal apa saja yang masih menjadi pengikat seorang individu dalam keluarga luas matrilinialnya. 2. Kerangka Pemikiran Kebudayaan berfungsi sebagai mekanisme yang memaksa, mengarahkan dan sebagai alat bagi individu untuk beradaptasi dengan lingkungan. Setiap manusia cenderung bertindak mengikuti pola kebudayaan yang ada dalam masyarakat, dengan kebudayaan yang dimilikinya, setiap manusia menata kehidupannya, menyusun strukturstrukturnya dan menentukan pengalokasian sumber-sumber daya yang ada menurut jenis dan sifatnya (Suparlan,1986:110-116). Pada dasarnya, kebudayaan bertujuan untuk menata kehidupan masyarakat, agar lebih baik, lebih teratur, dan lebih terarah. Suatu kebudayaan dengan semua pranatanya dapat saja berubah, bahkan selalu berubah secara dinamis karena tidak ada kebudayaan yang sifatnya statis dan tertutup. Perubahan kebudayaan dapat terjadi karena adanya faktor dari dalam dan dari luar kebudayaan itu sendiri. Dalam arti para pendukungnya merasa bahwa beberapa pranata kebudayaannya harus diubah, disesuaikan dengan perkembangan objektif yang terdapat dalam kehidupan sosialnya (Keesing, 1989:74-76). Radcliffe-Brown (dalam Koentjaraningrat, 1987: 180-183) menganggap struktur sosial sebagai jaringan hubungan antara personperson yang seolah-olah diam dalam ruang dan waktu. Struktur sosial akan mengalami perubahan, namun perubahan tidak akan pernah terjadi apabila masyarakat sebagai kesatuan fungsional tetap memelihara sistem tersebut. Kondisi ideal dari struktur sosial, sebagaimana yang dikemukakan oleh A.R. Radcliff-Brown (dalam Pritchard, 1986 : 69) akan terdiri dari individu-individu yang dihubungkan oleh hubungan sosial secara teratur sehingga terbentuk struktur. Radcliffe- Brown menegaskan kelanjutan dari struktur sosial itu dipertahankan oleh proses kehidupan sosial. Kehidupan sosial suatu komunitas berlaku bila struktur tersebut mempunyai fungsi. Pengertian normatif dari struktur sosial menimbulkan kesan bahwa struktur sosial adalah semacam elemen atau wadah dimana suatu masyarakat terhubungkan secara fisik dan psikis dalam bentuk interaksi-interaksi sosial yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat. Pritchard (1986:72-73), mengemukakan dalam kehidupan sosial harus ada keseragaman dan ketepatan; dalam setiap 10
masyarakat harus ada peraturan, kalau tidak sudah pasti para anggotanya tidak akan dapat menjalankan kehidupan bersama. Sebuah analogi yang dikemukakan oleh Victor Turner(Keesing 1989:75) dalam menjelaskan pertalian antara sistem budaya dengan dengan sistem sosial sebagai suatu hal yang saling berhubungan dan saling mempengaruhi antara keduanya: Suatu perumpamaan bagi saya mengibaratkan struktur budaya Mukanda, seperti lembaran musik, dan para pelakunya seperti pemain musik. Saya menganalisis saling ketergantungan yang dinamik dari lembaran musik dan pemain orkestra, agar memperoleh pemahaman tentang proses-proses sosial mengenai masyarakat dan struktur sosial.
Secara teoritis menurut Sairin (1992:35-45), perubahan kebudayaan berkaitan dengan perubahan pola kebutuhan masyarakat pendukung kebudayaan itu, yaitu kebutuhan biologis, sosiologis dan psikologis. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa kebudayaan selalu berubah mengiringi perubahan yang terjadi pada kebutuhan masyarakat, baik yang disebabkan oleh penetrasi kebudayaan lain ke dalam budaya itu sendiri atau karena terjadinya orientasi baru dari kalangan internal masyarakat pendukung kebudayaan itu sendiri Sairin (1992:33-36) menjelaskan terjadinya perubahan kebudayaan pada masyarakat Minangkabau, dengan melakukan analisis terhadap rubrik kontak jodoh di harian kompas, untuk menjelaskan perubahan pola hubungan mamak dengan kemenakan. Dalam konteks itu, mamak tidak lagi menjalankan kewajiban secara adat untuk mencarikan jodoh bagi kemenakan perempuan, pada hal jodoh kemenakan perempuan merupakan tanggung jawab mamak sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “gadiah gadang indak balaki “ (wanita yang sudah pantas bersuami, tapi belum bersuami). Marvin Harris (1968), Rappaport (1967), dalam Keesing (1989: 183-190), melihat kebudayaan sebagai sistem adaptasional, dengan asumsi sebagai berikut: 1) Kebudayaan adalah sistem dari pola perilaku yang disalurkan secara sosial dan berguna untuk menghubungkan masyarakat manusia dengan lingkungan ekologis mereka. 2) Perubahan kebudayaan pada dasarnya merupakan proses adaptasi dalam kaitannya dengan proses perubahan ekologis. 11
3) Teknologi, kegiatan-kegiatan ekonomi dan organisasi sosial berhubungan langsung dengan proses produksi, dan merupakan unsur-unsur kebudayaan yang paling adaptif, baik disebabkan oleh faktor eksternal maupun disebabkan oleh faktor internal. 4) Komponen ideasional dari sistem kultural dapat memberikan pengaruh kepada perilaku individu dalam mencari nafkah dan dalam memelihara ekosistem, akan tetapi tidak menentukan. Keempat asumsi itu dapat digunakan untuk memahami perubahan sistem mata pencaharian dalam masyarakat Sungai Tanang, sebagai reaksi adaptif terhadap keterbatasan tanah yang dimiliki oleh setiap keluarga inti matrilinial. Keterbatasan atau besar kecilnya tanah pusaka yang dimiliki keluarga luas matrilinial mempengaruhi keluarga luas matrilinial dalam menjalankan fungsi sosial ekonominya, dan beperngaruh terhadap solidaritas sosial dalam keluarga luas matrilinial. Peningkatan jumlah penduduk, mengakibatkan pemilikan tanah dalam keluarga inti matrilinial berkurang, dan keluarga inti matrilinial mengalami kesulitan memenuhi kebutuhan hidup mereka. Untuk itu keluarga inti matrilinial melakukan berbagai usaha untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, kondisi itu berpengaruh terhadap pranatapranata sosial budaya masyarakat Minangkabau, seperti; struktur pemilikan tanah, pola pemanfaatan lahan, hubungan kerja di tanah pertanian. Pendekatan materialisme budaya melihat adaptasi ekologi dan ekonomi memainkan peran penting dalam pembentukan struktur sosial-budaya, disamping faktor ideologi, sistem nilai dan normanorma yang ada dalam masyarakat. Pendekatan materialisme budaya dalam antropologi, merupakan pendekatan yang didasarkan pada anggapan bahwa kondisi material merupakan faktor yang menentukan kehidupan umat manusia. Kebuadayaan ditempatkan sebagai suatu sistem yang bersifat adaptasional (Samedi, 1994: 17-25). Kebudayaan di lihat sebagai sesuatu yang nyata dan faktor ekologis menjadi faktor yang menentukan kebudayaan suatu masyarakat. Gagasan determinasi infra-struktur, sistem produksi, juga dikemukakan oleh Lewis Henry Morgan. L.H. Morgan (dalam Harris, 1968:228-229), meyakini peran penting infra-struktur dalam proses evolusi kebudayaan. Dalam pandangan Morgan, tekhnologi subsitensi merupakan faktor utama yang menggerakkan evolusi 12
kebudayaan dari kondisi sederhana ke tingkat yang lebih kompleks. Melalui bagan evolusi unilinear Morgan meyakini bahwa sistem produksi yang membuat tipe masyarakat yang satu berbeda dengan tipe masyarakat yang lain. Menurut Keesing kebanyakan sistem matrilinial terdapat dalam masyarakat dengan karakteristik sebagai berikut; (1) pertanian subsistensi (horticulture) merupakan sumber ekonomi utama; dan (2) kaum wanita melaksanakan tugas-tugas utama dalam pertanian dan unit kemasyarakatan yang utama adalah keluarga luas, baik dalam produksi dan konsumsi; (3) pengelompokkan yang didasarkan pada keturunan dalam penguasaan tanah bersama, dan produktivitas cukup tinggi sehingga memungkinkan penduduk menetap dalam jumlah besar (1989:226-229). Ketiga ciri itu, tersebut masih dapat ditemui di beberapa Nagari di Minangkabau, seperti Nagari di Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan Kabupaten Pasaman. Sedangkan untuk Nagari di Kabupaten Agam dan Kabupaten Tanah Datar, ciri yang ketiga sudah semakin berkurang, karena Nagari tidak terlalu luas dan topografi miring dan bergelombang, berada di kaki Gunung Singgalang dan Gunung Merapi. Fungsi sosial ekonomi dari keluarga luas matrilinial Minangkabau berhubungan erat dengan: (1) keberadaan tanah pusaka sebagai sumber ekonomi bagi anggota keluarga luas matrilinial; (2) keberadaan rumah gadang sebagai tempat tinggal anggota keluarga luas matrilinial dan peranan mamak dalam pengelolaan tanah; (3) aktualisasi dari ajaran adat. Ketiga unsur ini memegang peranan penting untuk menggerakkan keluarga luas matrilinial dalam menjalankan fungsi sosial ekonominya. Tanah pusaka berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup seluruh anggota keluarga luas matrilinial, melalui pemberian hak penguasaan atas tanah pusaka sedangkan rumah gadang berfungsi untuk menyatukan unit-unit produksi dalam keluarga samande, sehingga hubungan sosial ekonomi antara keluarga samande menjadi kuat. Mamak sesuai dengan ketentuan adat melaksanakan peran distribusi dan redistribusi tanah pusaka secara berkelanjutan. Sistem produksi suatu masyarakat merupakan cara bagaimana masyarakat menghadapi dan mengubah lingkungan fisik mereka, lingkungan alam hanya meletakkan batas-batas bagi organisasi ekonomi suatu masyarakat. Sistem ekonomi suatu masyarakat dilihat dalam kaitannya dengan sistem kekerabatan, yang mengatur proses produksi dan distribusi, dalam hal ini keluarga luas matrilinial merupakan suatu korporasi, seluruh anggota keluarga luas matrilinial 13
menjadi anggotanya. Hanya wanita yang berhak mewariskan harta dan hasil usaha kepada anak-anaknya. Perubahan teknologi pertanian (introduksi bajak atau sistem irigasi yang luas) dan proses industrialisasi merupakan gejala yang secara mendasar mempengaruhi struktur keluarga. Smelser melihat perbedaan antara kehidupan masyarakat kota dengan kehidupan masyarakat pedesaan. Menurut Smelser, kehidupan tradisional akan hancur karena desakan dan pengaruh kehidupan perkotaan. Bergeser dan hilangnya sebagian fungsi keluarga sebagai konsekuensi dari gejala urbanisasi (Smelser, dlm Suwarsono, 1990:13-15). Dengan demikian, perubahan sosial ekonomi yang terjadi dalam masyarakat secara langsung akan mengakibatkan terjadinya perubahan struktur dan fungsi keluarga. Durkheim (dalam Jhonsons, 1986), menggambarkan masyarakat tradisional bersifat intim, langgeng, hubungan bersifat informal, kohesi sosial kuat dan pembagian kerja rendah, sedangkan pada masyarakat modern ciri-ciri tersebut berlaku sebaliknya. Perubahan sistem perekonomian dari ekonomi subsistensi ke ekonomi yang berorientasi pasar dan ekonomi uang, mengakibatkan peranan wanita sebagai produsen makanan berkurang, peranan ekonomi laki-laki meningkat. Apabila laki-laki berhasil memperoleh harta pribadi, harta itu kemudian diwariskan kepada anak-anaknya tidak kepada kemenakannya. Suami tidak lagi diposisikan untuk memberikan keturunan kepada isteri dan kaum matrilinial isterinya, melainkan juga sebagai ayah yang bertanggungjawab terhadap terhadap anak-anak dan istrinya, hal ini akan berpengaruh terhadap kelangsungan dari sistem matrilinial Minangkabau. Menurut Keesing (1976: 254 ); Masyarakat matrilinial akan mengalami ketegangan internal (intern strains) dan kemungkinan terjadinya konflik dalam keluarga luas matrilinial sangat besar, berkaitan dengan masalah kepemimpinan. Berbeda dengan sistem patrilineal kepemimpinan politik ataupun pelestarian kaum kerabat dijalankan melalui laki-laki. Dalam sistem matrilinial kaum kerabat menghadapi masalah struktural. Ikatan seorang wanita dengan suaminya kemungkinan bertentangan dengan ikatan wanita itu dengan saudara lakilaki, dan wanita dengan suaminya, karena saudara laki-lakinya yang bertanggung jawab terhadap anak-anaknya. Jadi untuk menjamin pelestarian dan kepemimpinan dalam kaum matrilinialnya, wanita harus memberi prioritas terhadap ikatan dengan saudara laki-laki dibandingkan dengan suami. Dalam keadaan demikian, konflik merupakan ciri struktural dari sistem matrilinial, perkawinan hampir selalu bersifat rapuh, dan tingkat perceraian dalam masyarakat matrilinial biasanya tinggi.
14
Ketegangan internal dalam keluarga luas matrilinial tidak saja disebabkan karena masalah pelestarian dan kepemimpinan dalam keluarga luas matrilinial, akan tetapi juga berkaitan dengan aktualisasi ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, karena masyarakat matrilinial Minangkabau beragama Islam dan agama Islam menjadi identitas diri orang Minangkabau. Menurut Harris (1980: 47), pendekatan materialisme bersifat evolusionistik dan melihat kebudayaan sebagai produk proses evolusi, proses perubahan kompleksitas struktural dari kondisi yang sederhana menuju kondisi yang kian kompleks. Manusia dalam pandangan Harris (1968: 231) adalah makhluk yang rasional, yang sadar akan perhitungan untung rugi. Manusia menjaga agar mode reproduksinya, sepadan dengan mode produksinya; produksi anak sebanding dengan kemampuan menyakap energi dari alam. Hubungan antara kedua faktor ini menggerakkan manusia untuk memajukan teknologi subsistensinya. Perubahan pola pemanfaatan lahan pada masyarakat Sungai Tanang, dari tanaman padi ke tanaman palawija dan sayur mayur sejak akhir tahun 1980, disamping karena berkembangnya pasar Padang Luar sebagai pusat perdagangan dan distribusi sayur mayur dan palawija di Sumatera Barat, juga disebabkan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk. Pendekatan materialisme budaya yang dirumuskan oleh Steward (dalam Samedi, 1994: 21-25) sebagai proses adaptasi masyarakat manusia terhadap lingkungannya. Steward memberikan perhatian pada unsur-unsur kebudayaan yang secara empirik memiliki hubungan dekat dengan aktifitas pemanfaatan lingkungan. Steward menawarkan tiga langkah dalam menjelaskan pengaruh teknoekonomi terhadap kebudayaan, yaitu ; (1) Mempelajari kondisi lingkungan dan kondisi teknologi yang dipakai untuk mengeksploitasinya; (2) Mempelajari pola perilaku yang muncul dalam aktifitas penyakapan energi dari lingkungan; (3) Mempelajari pengaruh pola perilaku terhadap aspek-aspek kebudayaan yang lain. Sedangkan Harris (1980:119) menempatkan mode-produksi dan mode-reproduksi ke dalam peran tersebut, dengan asumsi sebagai berikut ;
15
Seperti halnya makhluk hidup lainnya manusia terlibat dalam proses penyakapan energi agar ia mampu menyalurkan energi, sebab tanpa energi mustahil manusia dapat hidup; kemampuan manusia untuk memproduksi keturunan jauh lebih besar dari pada kemampuannya untuk menyakap energi, untuk memelihara dan menghidupi keturunannya tersebut.
Dalam teori Marx terdapat dua tipe aktivitas manusia, yakni produksi dan reproduksi. Reproduksi adalah suatu aspek dari produksi, karena dapat menggantikan alat-alat produksi dan memelihara ideologi supra-struktur, hubungan-hubungan sosial, pendidikan dan budaya. Dalam kaitan dengan hal itu, Marx memberikan argumentasi bahwa kemampuan kerja reproduksi meliputi pemeliharaan rumah, memasak dan memberikan perlindungan terhadap seluruh anggota keluarga. Perspektif Marx (Harris, 1968: 230), banyak digunakan dalam memahami kondisi tenaga kerja dan lingkungannya, karena antara produksi dan reproduksi merupakan dua komponen yang mendasar dalam produktivitas kerja manusia. Produksi sosial manusia memerlukan reproduksi tenaga kerja dan sarana produksi. Piranti-piranti harus diperbarui, benih disimpan untuk ditanam kembali, tanah digarap sesudah masa bertanam atau pemupukan. Anak-anak dilahirkan dan dirawat, unit –unit produksi yang baru dibentuk Apa yang nampak sebagai surplus dari segi pandangan produksi yang mendesak, dalam kenyataannya diperlukan untuk reproduksi sosial. Sistem produksi suatu masyarakat meruapakan cara bagaimana masyarakat menghadapi dan mengubah lingkungan fisik mereka. Untuk itu titik perhatian bergeser dari ekosistem dalam konteks biologi kepada sistem perekonomian dalam konteks sosial. Konsep reproduksi dilihat sebagai suatu perubahan yang bersifat dinamis dan berhubungan dengan pelestarian sistem sosial, atau dengan terjadinya perubahan penguasaan asset atau sumber daya kepada generasi berikutnya. Reproduksi dalam sistem sosial dalam beberapa generasi akan digunakan untuk memahami bagaimana suatu keluarga dapat menghasilkan surplus, melebihi ukuran kebutuhan subsistem untuk mempertahankan sistem. Produksi sosial manusia memerlukan reproduksi tenaga kerja dan sarana produksi. Piranti-piranti harus diperbaharui, benih disimpan untuk ditanam kembali, tanah digarap sesudah masa bera (istirahat), ditanam, kemudian dilakukan pemupukan. Anak-anak dilahirkan dan dirawat, dan unit-unit produksi yang baru dibentuk. Apa yang tampak sebagai surplus dari segi pandangan produksi, dalam kenyataannya diperlukan guna reproduksi sosial (Keesing, 1989: 187).
16
Perubahan struktur kepemilikan tanah pada masyarakat Minangkabau telah mengakibatkan prinsip redistribusi tanah dalam keluarga luas matrilinial tidak berjalan. Redistribusi, merupakan suatu bentuk kerja sama antar individu-individu dalam keluarga luas matrilinial dalam memanfaatkan tanah pusaka milik keluarga luas matrilinial. Redistribusi merupakan konsep penting dalam Antropologi, merupakan bentuk kerja sama antar individu dalam suatu masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya yang dimiliki secara bersama. redistribusi mempunyai dimensi sosial, ekonomi, politik, berbeda dengan resiprositas. Dalam resiprositas hubungan sosial yang terjadi adalah hubungan antar individu ( Sahlin, 1976 dan Cook, 1973 dalam Sairin dkk, 2002: 40-73)
Redistribusi tanah pusaka dilakukan oleh mamak, pemegang otoritas dalam pengelolaan tanah pusaka untuk kesejahteraan seluruh anggota keluarga luas matrilinial. Dalam redistribusi tanah pusaka, hubungan yang terjadi adalah hubungan antar keluarga inti matrilinial dengan tanah pusaka yang dikuasai, sebagai bagian dari keluarga luas matrilinial. Setiap keluarga inti matrilinial yang memperoleh hak memanfaatkan harta pusaka tidak bisa mengatakan harta pusaka yang dikuasainya sebagai milik dari keluarga inti matrilinial, melainkan status kepemilikan tanah tetap pada keluarga luas matrilinial. Fungsi redistribusi tanah pusaka dalam keluarga luas matrilinial adalah untuk menginteggrasikan keluarga-keluarga inti matrilinial dalam keluarga luas matrilinial. Melalui aktivitas redistribusi anggota-anggota keluarga luas matrilinial menjadi merasa terikat, berbuat baik terhadap keluarga luas matrilinial sehingga terwujud solidaritas dalam keluarga luas matrilinial. Godelier (Keesing, 1989: 185-186) menolak determinisme ekonomi dari Marx, yang melihat pranata politik, keagamaan sebagai cerminan dari sistem perekonomian. Menurut Godelier, apabila terdapat perbedaan antara infra- struktur dengan struktur masyarakat, maka perbedaan itu harus dilihat atas dasar fungsi. Jika hubungan kekerabatan berfungsi untuk mengatur produksi dan distribusi, maka kedua unsur itu merupakan unsur-unsur dari sistem ekonomi. Nilainilai yang mengatur hubungan kekerabatan berfungsi sebagai bagian dari supra-struktur suatu sistem sosial.. Dengan demikian mempertahankan hubungan sosial dalam struktur keluarga luas matrilinial bertujuan untuk memelihara keberadaan dari sistem kekerabatan matrilinial. 17
Sahlins berpendapat (Keesing, 1989:204) interaksi manusia dengan alam tidak terjadi begitu saja, akan tetapi manusia mengahadapi alam melalui sistem makna budaya, tidak hanya dari aspek fisik. Sepintas terlihat, orang Trobriand yang menyelam di teluk untuk memperoleh kulit kerang, tetapi aktivitas itu harus dilihat dalam konteks kedudukan kulit kerang sebagai benda yang digunakan untuk membuat kalung yang berfungsi dalam kehidupan masyarakat Trobriand dalam sistem Kula. Artinya harta pusaka, tanah dan rumah gadang merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sistem keluarga luas pada masyarakat matrilinial Minangkabau. Menurut adat, tidak ada perbedaan mendasar antara harta pusaka dengan harta pencaharian. Harta pencaharian pada tahap selanjutnya akan menjadi harta pusaka. Menurut hukum Islam ada perbedaan antara harta pusaka dengan harta pencaharian. Hukum Islam, tidak mengatur pewarisan harta pusaka, yang diatur adalah pewarisan harta pencaharian yang menurut adat disebut dengan harta pusaka rendah dan kemenakan tidak termasuk ahli warisnya. Adanya perbedaan itu telah menimbulkan persolaan berkaitan dengan masalah pewarisan tanah pada masyarakat Minangkabau. Pada tahun 1952 hasil keputusan bersama para ninik mamak, alim ulama dan cerdik pandai, diperkuat oleh rumusan seminar Hukum Adat Minangkabau tahun 1968, disepakati sistem pewarisan dari harta pusaka dan harta pencaharian. Harta pusaka tunduk pada ketentuan hukum adat, sedangkan harta pencaharian tunduk pada ketentuan hukum Islam (HAMKA,1963: 37-39;dan Syarifuddin, 1984: 172-181). Pada tahun 1915 Hukum Agraria diterapkan di Sumatera Barat, dengan ketentuan semua tanah yang berada di pantai Barat Sumatera berada di bawah kekuasaan negara. Kedua bentuk hukum agraria yang ada, memihak pemerintah kolonial, dan melemahkan hak masyarakat Minangkabau akan tanah (Graves, 1981: 34-42). Muncul produk hukum dan regulasi yang mengatur ekspansi dan konsolidasi kepemilikan dan kontrol negara terhadap sumber daya alam, pada akhirnya akan berpengaruh terhadap kelangsungan dari sistem matrilinial Minangkabau. Ada kecenderungan kepemilikan individu akan meningkat dan kepemilikan komunal semakin berkurang, pada saat sebagian besar dari harta pusaka telah digadaikan, dijual atau disewakan. Implikasinya adalah hak individu terhadap harta pusaka, lebih bersifat hak katagoris, dan tidak lagi memiliki fungsi sosial ekonomis terhadap anggota keluarga luas matrilinial. Pergeseran struktur dan fungsi keluarga pada sistem kekerabatan matrilinial, tidak hanya disebabkan karena perubahan 18
pada infra-struktur sebagaimana yang dikemukakan oleh Harris (1980: 117), akan tetapi juga disebabkan karena aktualisasi dari ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Struktur dan fungsi keluarga luas matrilinial Minangkabau, berhubungan erat dengan: (1) keberadaan tanah pusaka dan jumlah anggota keluarga luas matrilinial; (2) keberadaan rumah gadang sebagai tempat tinggal anggota keluarga luas matrilinial dan konsep pemilikan tanah sehingga akan mempengaruhi peranan mamak dalam pengelolaan tanah pusaka; (3) aktualisasi dari ajaran adat dan ajaran dalam agama Islam, dalam konteks norma adat sebagai manifestasi dari struktur dan infra-stratur , sedangkan agama Islam sebagai sumber nilai tertinggi dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Hubungan Antara Tiga Unsur dalam Struktur Keluarga Matrilinial Minangkabau Supra struktur Norma adat
Agama Islam
Struktur Struktur keluarga Struktur pemilikan tanah
Infra Struktur Harta pusaka Jumlah penduduk
Dalam kenyataannya proses adaptasi yang dilakukan oleh keluarga inti matrilinial terhadap lingkungan alam yang cenderung berubah sejalan dengan proses perubahan status kepemilikan tanah, dan secara substantif telah mempengaruhi hubungan sosial ekonomi antara keluarga inti matrilinial dalam keluarga luas matrilinial, termasuk di dalamnya pergeseran peran dan status individu dalam keluarga luas matrilinial. Kondisi tersebut tidak mengakibatkan terjadinya perubahan garis keturunan pada masyarakat Minangkabau, garis keturunan tetap di hitung menurut garis perempuan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Minangkabau menempatkan dua sistem 19
nilai yang relatif berbeda, sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam beberapa hal, nilai-nilai dalam ajaran Islam ikut berperan memperkuat arah perubahan pada tatanan struktur masyarakat. Adaptasi merupakan usaha manusia atau makhluk hidup untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan tertentu mendayagunakan sumberdaya untuk menanggulangi atau menghadapi masalah yang mendesak (Adimihardja,1993:11). Di samping itu menurut Bennett (1976, dlm Adimihardja, 1993:10), proses adaptasi manusia dengan lingkungan alam, mengandung pengertian; Saling hubungan antara manusia dengan lingkungan alam, dimana manusia mengembangkan tingkah laku yang sesuai dengan lingkungan itu, merupakan kemampuan manusia untuk membangun citra dalam suatu dunia fisik dimana hal itu merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari realitas empiris.
Perubahan jenis tanaman, dari tanaman padi sebagai tanaman utama di lahan pertanian basah ke tanaman sayur mayur dan palawija pada tahun 1980 an, merupakan bentuk adaptasi yang dilakukan masyarakat untuk mengatasi keterbatasan tanah pertanian dan sekaligus merupakan respons terhadap kelangkaan air untuk pengairan sawah, sehingga tanaman padi tidak bisa diusahakan setiap tahun. Dengan berkembangnya pasar Padang Luar pada sebagai pusat pemasaran sayur mayur di Sumatera Barat pada tahun 1990 an, masyarakat Sungai Tanang mulai melakukan diversifikasi tanaman di lahan kering, yang sebelumnya hanya ditanami tanaman tebu, maka sejak tahun 1990 an di lahan kering juga ditanami tanaman kentang, cabe keriting dan tanaman palawija lainnya. Dilihat dari perspektif adat, mamak bertanggung jawab dan berkuasa terhadap saudara perempuan dan kemenakannya, sedangkan menurut ajaran Islam ayah yang bertanggung jawab terhadap anak dan istri. Perubahan sosial ekonomi yang berlangsung dalam masyarakat mendorong masyarakat untuk memilih dan mengamalkan ajaran Islam, dimana laki-laki dalam arti ayah bertanggung jawab terhadap anak dan istri, dibandingkan terhadap saudara perempuan dan kemenakan. Masyarakat Minangkabau menempatkan ajaran Adat dan ajaran Islam berjalan secara paralel dalam kehidupan bermasyarakat. Masyarakat berusaha menjelaskan realitas sosial yang berubah dengan menggunakan perspektif adat atau perspektif Islam. Kalau masalah itu berhubungan dengan masalah adat atau ketentuan adat 20
yang dilanggar, maka perspektif Islam yang digunakan, sebaliknya kalau masalah itu berhubungan dengan ajaran Islam ada ketentuan-ketentuan Islam yang dilanggar, maka perspektif yang dipakai oleh masyarakat. Menurut Evers (1985:144), kecendrungan pada masyarakat Minangkabau;
atau atau adat ada
Dunia sosial masyarakat Minangkabau diterjemahkan dalam ketentuanketentuan adat, dan kenyataan-kenyataan yang berlawanan dirubah agar sesuai dengan fakta-fakta adat. Inkonsistensi menyolok sering disebabkan karena adanya variasi adat secara regional sebagaimana diungkapkan dalam pepatah “ Adat Salingka Nagari “ ketentuan adat berlaku dalam satu Nagari.
Orang Minangkabau menyadari bahwa masyarakat dan kebudayaan akan selalu berubah. Pepatah adat yang berbunyi “ sakali aia gadang, sakali tapian baraliah “, merupakan refleksi dari kesadaran akan perubahan itu. Jumlah penduduk Minangkabau terus bertambah, dan pertambahan penduduk akan mengakibatkan penurunan luas tanah pusaka yang dimiliki oleh keluarga luas matrilinial secara terus menerus, sehingga sampai pada satu keadaan semua tanah pusaka telah terbagi-bagi penguasaannya dalam keluarga inti matrilinial. Perubahan struktur pemilikan tanah, secara langsung telah mengakibatkan terjadinya desintegrasi dalam keluarga luas matrilinial, fungsi yang selama ini dijalankan oleh keluarga luas matrilinial mulai melemah, dan mengakibatkan anggota keluarga luas matrilinial, seperti Lansia, anak Yatim dan Janda kehilangan perlindungan. Hubungan antara mamak dan kemenakan pada dasarnya merupakan hubungan yang saling mengikat yang digerakkan oleh harta pusaka. Mamak berkewajiban untuk mendidik kemenakannya sampai dia jadi orang, dan mamak menjalankan perannya apabila didukung oleh harta pusaka. Kemenakan akan mengikuti dan mematuhi segala nasehat dan arahan yang diberikan oleh mamak, karena segala kebutuhan kemenakan diberikan oleh mamak. Pada saat mamak tidak dapat lagi menjalankan perannya sebagaimana yang dikonsepsikan oleh ajaran adat, maka hubungan mamak kemenakan melemah. Perubahan struktur dan fungsi keluarga dari keluarga luas matrilinial ke keluarga inti matrilinial sebagai akibat berkurangnya harta pusaka, menggeser hubungan mamak kemenakan yang berbasis ajaran adat ke hubungan ayah anak yang di dasarkan pada ajaran Islam. Artinya, aktualisasi ajaran Islam dalam hubungan ayah dengan 21
anak dan suami dengan istri menguat, dapat dilihat sebagai respons dari masyarakat Minangkabau terhadap kelangkaan harta pusaka. Dengan menjadikan ajaran adat dan ajaran Islam sebagai acuan dalam berperilaku, maka seorang laki-laki dewasa dan telah menikah akan mempunyai dua macam peran yang harus dijalankan secara paralel, yaitu sebagai mamak terhadap kemenakannya di rumah ibunya, dan sebagai sumando di rumah istri dan anak-anaknya. Pelaksanaan peran secara paralel oleh seorang laki-laki dewasa terhadap kemenakan dan terhadap anak, apabila didukung oleh harta pusaka untuk menjalankan perannya sebagai mamak dan harta pencaharian untuk mendukup perannya sebagai ayah. Pada saat salah satu unsur pendukung tidak ada, maka pelaksanaan peran secara paralel akan sulit untuk dilakukan. Dalam sebuah rumah gadang, mamak mempunyai tanggung jawab sebagai pelindung dan pemberi kesejahteraan kepada seluruh anggota rumah gadang. Kedudukan suami dalam adat Minangkabau sebagai sumando, artinya dalam keluarga istri, suami adalah seorang pendatang yang tidak mempunyai hak untuk menentukan corak kehidupan rumah tangga istrinya. Dalam prakteknya nilai-nilai tersebut tidak lagi dilakukan, hubungan antara mamak dengan kemenakan melemah, sedangkan hubungan antara ayah dengan anak menjadi kuat. Keadaan itu disebabkan melemahnya peran sosial ekonomi keluarga luas matrilinial terhadap keluarga inti matrilinial. Kecendrungan hidup dalam keluarga inti, yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak meningkat dan peran laki-laki dalam arti mamak berkurang sejalan dengan terjadinya pengurangan harta pusaka yang dimiliki secara bersama dalam keluarga luas matrilinial. Menurut Goode (1985:21), setidaknya ada empat hal yang dapat menyebabkan terjadinya instabilitas dalam keluarga luas, yaitu : 1) Menurunnya fungsi keluarga (reduced family function) 2) Melemahnya orientasi kekerabatan (less kinship orientation). 3) Kurangnya ketergantungan isteri dalam keluarga, hal ini disebabkan karena isteri tidak saja bergerak di sektor domestic (domestic sphere), akan tetapi telah masuk ke sektor public (public sphere). 4) Menurutnya kerja sama ekonomi dalam rumah tangga, baik karena adanya sumber ekonomi alternatif, di luar sumber ekonomi utama keluarga, maupun akibat pecahnya milik komunal atau harta bersama. 22
Keempat faktor itu dapat menjadi penyebab terjadinya perubahan pada struktur dan fungsi keluarga dalam masyarakat, seperti; fungsi sosialisasi, ekonomi, politik dan perlindungan terhadap anggota keluarga. Menurut Navis (1984:62) pada dasarnya orang Minangkabau itu materialistik, bahwa benda menjadi ukuran utama dalam menilai seseorang. Jika milik kolektif berkurang, bisa berakibat tidak bekerjanya sistem keluarga luas secara baik. Hal ini sejalan dengan pernyataan Goode (1985:23), yang melihat adanya hubungan antara kegiatan ekonomi utama dalam keluarga dengan adanya kecendrungan untuk hidup dalam keluarga inti. Keluarga sebagai sebuah sub-sistem dari masyarakat juga menjadi sistem bagi dirinya sendiri. Sebagai sebuah sistem, keluarga mempunyai sejumlah fungsi yang harus dipenuhi, baik fungsi yang mesti disumbangkan oleh keluarga kepada anggotanya, maupun fungsi yang harus diberikan keluarga kepada masyarakat secara keseluruhan. Pada masyarakat Minangkabau, secara tradisional ada beberapa fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga luas matrilinial, seperti; (1) fungsi sosialisasi; (2) fungsi reproduksi; (3) fungsi afeksi; (4) fungsi ekonomis; (5) fungsi perlindungan (6) fungsi penentuan status (Radjab,1969: 25-26). Dalam memahami konsep keluarga sebagai suatu kelompok kekerabatan terdapat dua pengertian yang sering digunakan (Koentjaraningrat, 1990: 49-51); pertama, keluarga diartikan sebagai ikatan kekerabatan yang mengikat hubungan antar individu, didasarkan pada ikatan genealogis (hubungan darah) dan hubungan perkawinan. Kedua, keluarga disamakan dengan dengan rumah tangga, yang berarti disamping ikatan kekerabatan, kesatuan tempat tinggal, kesatuan produksi dan konsumsi dijadikan sebagai ukuran. Semakin erat atau dekat hubungan darah maka semakin besar kemungkinan seseorang dianggap sebagai angota keluarga, meskipun hubungan darah bukan satu-satunya faktor penentu. Hal lain yang juga berpengaruh adalah adanya sistem norma yang mengatur hubungan sosial berkaitan dengan hak dan kewajiban dari individu-individu yang ada dalam keluarga sesuai dengan status yang ditempatinya. Masyarakat dilihat sebagai sebuah struktur yang terdiri dari keluarga dan institusi-institusi sosial lainnya. Masalah sosial yang ada dalam masyarakat dapat dijelaskan, dengan melihat hubungan antara institusi keluarga dengan institusi lainnya dalam masyarakat. Menurut Smelser (1964: 268-284) implikasi dari proses modernisasi pada masyarakat di dunia ketiga terjadi pada lembaga keluarga. Pada masa 23
lalu, keluarga tradisional memiliki struktur yang tidak teratur dan tidak rumit. Di dalam satu rumah tangga tinggal banyak keluarga terdiri dari beberapa generasi., dan jumlahnya besar. Keluarga tidak hanya bertanggung jawab terhadap beban penerusan keturunan (reproduksi) dan emosi bersama (afeksi), melainkan juga bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomis dan distribusi tenaga kerja, pendidikan (sosialisasi), dan perlindungan (perawatan orang lanjut usia dan anak-anak), secara tradisional fungsi-fungsi tersebut akan dilakukan oleh keluarga luas pada tingkat paruik, ditambah dengan fungsi penentuan status dalam kaitannya dengan pewarisan gelar (sako). Dalam masyarakat moderen, institusi keluarga mengalami diferensiasi struktur dan fungsi. Keluarga memiliki struktur yang sederhana, berukuran kecil dan teridiri dari keluarga inti. Keluarga moderen tidak menjalankan semua fungsi yang dijalankan oleh keluarga pada masyarakat tradisional. Setiap lembaga baru yang terbentuk secara khusus menyediakan dan bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas tertentu., dan secara keseluruhan menjalankan fungsi-fungsi tersebut secara baik, dibandingkan ketika dilaksanakan seluruhnya satu institusi keluarga pada masyarakat tradisional. Malinowski (dalam Koentjaraningrat,1987:167-168), menguraikan istilah fungsi untuk menjelaskan konsep kebudayaan sebagai suatu hal yang terintegrasi dengan berbagai elemen, yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya. Hal yang sama dikemukakan oleh Radcliffe Brown, hubungan sosial akan di atur oleh prinsip-prinsip sosial yang disebut dengan struktur sosial, tujuannya untuk mengikat unsur-unsur kebudayaan dalam masyarakat secara keseluruhan. Struktur sosial akan mengalami perubahan, namun perubahan tidak akan terjadi apabila masyarakat sebagai kesatuan fungsional tetap memelihara sistem tersebut.
3. Metode Penelitian Pendekatan kualitatif menurut Moleong (1990: 8-15), lebih berorientasi pada perspektif interaksionisme simbolik, kebudayaan dan etnometodologi. Perspektif kebudayaan melahirkan model etnografi yang bertujuan mendeskripsikan cara berpikir dan cara berperilaku dari suatu komunitas yang menjadi subjek penelitian. Untuk itu, diusahakan masuk ke dalam dunia subjektif pelaku, berada disekitar peristiwa dan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat yang diteliti, untuk memahami dan mengerti apa dan bagaimana suatu 24
peristiwa atau realitas sosial terjadi, kemudian dijelaskan dalam sebagai satu kesatuan yang bersifat holistik. Garna (1999: 32 ), mengacu pada pendapat Abercrombie, yang menyatakan, bahwa tujuan dari penelitian kualitatif adalah berusaha untuk memahami gejala-gejala sosial sedemikian rupa dan tidak memerlukan kuantifikasi, karena gejala-gejala tersebut tidak memungkinkan untuk diukur secara tepat. Menurut Garna (1999:82), model etnografi menuntut peneliti untuk memahami, menghayati, dan mendeskripsikan kehidupan masyarakat, menghayati interaksi dan bagaimana persepsi mereka terhadap kehidupan mereka sendiri. Penelitian ini bersifat deskriptif-eksploratif, bertujuan untuk mengembangkan hipotesis dan mempertajam karakteristik dari gejala yang diteliti, dengan cara mencari hubungan diantara gejala sosial yang ada dalam masyarakat. Tujuannya untuk mendapatkan; (1) gambaran rinci tentang latar belakang, sifat-sifat dan karakteristik dari masyarakat, dalam menjelaskan perubahan struktur kepemilikan tanah dan perubahan fungsi sosial ekonomi dari keluarga luas matrilinial, dengan asumsi perubahan struktur pemilikan tanah akan berpengaruh terhadap fungsi sosial ekonomi keluarga luas matrilinial terhadap anggotanya, terutama anggota keluarga lanjut usia, anak yatim dan janda; (2) gambaran yang mendalam tentang strategi yang dilakukan oleh keluarga inti matrilinial untuk memperoleh surplus dalam produksi pertanian di tanah yang terbatas. Sesuai dengan sasaran penelitian, maka pilihan lokasi penelitian ditetapkan pada sebuah Nagari dalam bentuk studi kasus, yang penduduknya terutama hidup dari hasil pertanian, dan tanah pertanian yang dimiliki atau dikuasai oleh setiap keluarga inti matrilinial relatif kecil. Menurut Vredenbregt (1984:38 ), sifat khas dari studi kasus adalah mampu untuk mempertahankan keutuhan (wholeness) dari objek, artinya data yang dikumpulkan dalam rangka studi kasus akan dipelajari sebagai satu kesatuan yang terintegrasi. Ada beberapa keistimewaan dari studi kasus, yaitu; (1) bersifat luwes dalam menggunakan metode pengumpulan data; (2) keluwesan menjangkau dimensi yang sesungguhnya dari masalah yang diteliti; (3) dapat dilaksanakan secara praktis di dalam banyak lingkungan sosial; (4) menawarkan kesempatan untuk menguji teori. (5) akan dapat menghemat biaya, karena jangkauan atau daerah penelitian yang terbatas dan teknik pengumpulan data yang digunakan (Yin,1982: 16-20).
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif menekankan kepada prosedur penelitian untuk menghasilkan data yang bersifat kualitatif, 25
sehingga diperoleh pemahaman yang mendalam mengenai masyarakat sebagaimana yang dikonsepsikan oleh masyarakat itu sendiri. Menurut Nasution (1998: 52), penelitian kualitatif pada hakekatnya bertujuan untuk mengamati orang atau subjek penelitian secara alamiah di lingkungannya. Peneliti berinteraksi dengan masyarakat dan berusaha untuk memahami dunia empirik masyarakat serta menafsirkan setiap tindakan yang di lakukan anggota masyarakat, sebagaimana mereka mempersepsikan tindakan mereka tersebut.
Beberapa pertanyaan pokok yang diajukan ketika memulai penelitian ini adalah sebagai berikut; 1. Apakah perubahan struktur pemilikan tanah dalam keluarga luas matrilinial dapat mengakibatkan desintegrasi dan instabilitas dalam keluarga luas matrilinial, sehingga menjadi pembuka jalan ke arah penguatan keluarga inti. Apakah keluarga luas matrilinial, tergantung sepenuhnya pada tanah pusaka untuk dapat menjalankan fungsi sosial ekonominya dan apa implikasinya terhadap pemeliharaan orang lanjut usia, anak yatim dan janda, yang selama ini dilindungi oleh keluarga luas matrilinial ? 2. Bagaimana proses perubahan struktur pemilikan tanah, faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya dan sampai sejauh mana akses dari anggota keluarga luas matrilinial terhadap sumber daya produktif yang dimiliki keluarga luas matrilinial. Apakah pemilikan tanah terkonsentrasi pada sebagian kecil penduduk ? 3. Usaha-usaha apa saja yang dilakukan keluarga inti matrilinial untuk mengatasi keterbatasan tanah pertanian; organisasi produksi, terutama mengenai hubungan kerja, sistem bagi dan sistem sewa dan pola pemanfaatan tanah untuk menghasilkan surplus dalam produksi pertanian. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pada tahap awal dilakukan berbagai pendekatan dengan masyarakat, agar masyarakat dapat menerima kehadiran saya dan memposisikan saya sebagai bagian dari anggota masyarakat itu sendiri. Dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat, berbagai kegiatan sehari-hari yang biasa dilakukan masyarakat saya ikuti, seperti; shalat berjama’ah di Mesjid, dan sehabis sholat Magrib berkumpul dengan bapak-bapak dan pemuda di warung kopi. Datang ke lahan pertanian masyarakat 26
dan membantu mereka dalam memanen hasil pertanian mereka. Seringkali juga kenderaan yang dibawa kelapangan digunakan untuk membantu ibu-ibu yang akan memasarkan hasil pertanian mereka ke pasar Padang Luar yang berjarak empat Km dari Nagari Sungai Tanang, pada saat sarana angkutan yang biasa digunakan masyarakat tidak ada. Dengan melakukan pendekatan seperti itu, alhamdulillah terbina hubungan baik dengan masyarakat, sehingga masyarakat yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini mau bekerja sama; menyediakan waktu dan memberikan informasi berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka. Kadang-kadang juga ditemukan kesulitan dalam proses pengumpulan data, karena beberapa informan menganggap apa yang terjadi di dalam kehidupan mereka, tidak banyak berbeda dengan apa yang juga dialami oleh penulis sebagai orang Minang. Kesulitan itu, dapat di atasi dengan mengatakan kepada informan, bahwa ada perbedaan kondisi di Nagari yang menjadi lokasi penelitian dengan Nagari peneliti; di lokasi penelitiaan, tanah tidak luas dan sawah jarang ditanami tanaman padi, sementara di daerah penulis, tanahnya luas dan sawah hanya ditanami tanaman padi. Ada berapa alasan, kenapa pendekatan kualitatif digunakan dalam penelitian ini; (1) masalah yang diteliti berkaitan dengan pemahaman gejala-gejala sosial budaya yang ada dalam masyarakat dan sangat terkait sekali dengan kondisi lingkungan di mana masyarakat itu ada; (2) karakteristik lingkungan yang berbeda akan melahirkan perbedaan strategi yang dilakukan individu dan keluarga dalam mencukupi kebutuhan hidup keluarga. Dengan demikian homogenitas budaya etnisitas akan terpengaruh oleh kondisi lingkungan, sebagaimana dalam ungkapan budaya Minangkabau, Lain padang lain belalang, Lain lubuk lain ikannya, dan dalam konsepsi adat diungkapkan melalui pepatah yang berbunyi adaik salingka Nagari, pusako salingka suku. Perubahan dalam masyarakat merupakan suatu proses yang tidak pernah berhenti dan terjadi secara gradual, untuk dapat memahami perubahan yang terjadi di masyarakat, maka pranatapranata yang ada dalam masyarakat dilihat secara holistik, dan informasi digali sebanyak mungkin berhubungan dengan pranatapranata yang ada di masyarakat, dilihat dalam konteks hubungan sebab akibat dan pengaruhnya terhadap komunitas. Pemahaman terhadap gejala-gejala sosial yang muncul sangat diperlukan untuk kemudian di analisis. 27
Untuk meminimalisasi bias dalam pengumpulan data dan analisis data dilakukan proses Triangulasi. Triangulasi dilakukan dengan menggunakan cross ceck, baik terhadap sumber data, teknik pengumpulan data dan data. Sumber data di cek dengan menggunakan atau mengevaluasi informan yang diambil melalui teknik snow ball. Kebenaran data di cek dengan membandingkan data yang telah diperoleh dari seorang informan dengan informan lainnya. Teknik wawancara dikombinasikan dengan dengan teknik pengamatan serta dokumentasi yang tersedia, untuk mengecek kebenaran data yang telah dikemukakan oleh informan. Sejumlah teknik dalam penelitian kualitatif digunakan dalam proses pengumpulan data. Observasi partisipasi digunakan untuk mengetahui berbagai aktivitas dan bentuk-bentuk hubungan sosial ekonomi yang terjadi di dalam keluarga inti matrilinial dan antara satu keluarga inti matrilinial dengan keluarga inti matrilinial lainnya dalam keluarga luas matrilinial, dan antara keluarga luas matrilinial istri dengan keluarga luas matrilinial suami; pola pemanfaatan tanah dan luas pemilikan tanah serta kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasil yang ada di masyarakat. Teknik observasi partisipasi dilakukan dengan mengikuti kegiatan masyarakat, sejauh tidak mengganggu kegiatan yang dilakukan masyarakat. Menarik pemahaman sementara dari fenomena-fenomena yang diamati, melibatkan diri dalam kegiatan masyarakat yang diteliti, bertujuan untuk dapat memahami berbagai makna yang ada di balik kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat. Setiap pelaksanaan kegiatan Observasi partisipasi juga dilakukan pencatatan berkaitan dengan:(1) Setting tempat kejadian berlangsung; (2) Individu yang terlibat; (3) Rekonstruksi dialog; dan (4) Kejadian khusus. Wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara, untuk mengetahui masalahmasalah yang dihadapi oleh individu dan keluarga serta cara-cara yang biasa dilakukan untuk mengatasi berbagai kesulitan dalam pemenuhan kebutuhan pangan, papan, kesehatan dan pendidikan anak. Pada dasarnya semua anggota masyarakat, laki-laki atau perempuan yang telah menikah dapat dijadikan sebagai informan dalam penelitian. Pengalaman dilapangan menunjukkan bahwa tidak semua laki-laki dan perempuan yang telah menikah, bersedia untuk diwawancarai, terutama untuk informan perempuan. Untuk mengatasi masalah itu dilakukan pendekatan-pendekatan, sehingga anggota masyarakat yang diharapkan menjadi informan bersedia untuk diwawancarai. Masalah lain yang juga dihadapi, pada saat laki-laki 28
dan perempuan yang telah menikah ditemui secara bersamaan, seringkali diskusi lebih didominasi oleh laki-laki atau suami, sehingga hal-hal yang berkaitan dengan apa yang dilakukan perempuan tampaknya tidak begitu dapat diperoleh informasinya. Informan penelitian ini adalah para pemimpin formal dan informal, serta sejumlah anggota masyarakat yang ada di Nagari. Katagori pemimpin formal adalah wali Nagari dan perangkat pemerintahan Nagari. Pemimpin informal adalah ninik mamak (tungganai, andiko dan penghulu pucuak), alim ulama dan cadiak pandai, yang menjadi anggota Kerapatan Adat Nagari. Informan dari kedua jenis kepemimpinan itu, didapatkan berdasarkan posisi yang didudukinya, dan dengan menggunakan teknik nor-random sampling, secara porposive dan snow ball. Menurut Guba ( dalam Moleong, 2001:131-132 ), pengambilan sampel secara porposive akan memiliki ciri-ciri sebagai berikut : (1) Sampel tidak ditentukan terlebih dahulu. (2) Pemilihan sampel secara berurutan melalui teknik bola salju. (3) Sampel berkelanjutan, pada awalnya setiap sampel mempunyai kegunaan yang sama, namun semakin banyak informasi yang masuk akan semakin dapat digunakan untuk mengembangkan hipotesis kerja. (4) Pemilihan sampel berakhir, apabila sudah terjadi pengulangan informasi.
Melalui teknik ini, untuk pemimpin formal peneliti memulainya dari wali Nagari, dan dari wali Nagari peneliti meminta wali Nagari untuk merekomendasikan tiga orang perangkat Nagari untuk di wawancarai, dengan kriteri sebagai berikut; (1) Informan mempunyai pengetahuan yang luas, berkaitan dengan masalah yang diteliti; (2) Informan dapat menyediakan waktu, sehingga wawancara dapat dilakukan; dan (3) Informan, bukan orang yang baru pulang dari rantau. Untuk memimpin informal, peneliti memulainya dari ketua kerapatan adat Nagari.Dari ketua kerapatan adat Nagari, peneliti memintanya untuk merekomendasikan tiga orang, dari setiap suku yang ada di keNagarian Sungai Tanang, dengan kriteria sebagai berikut, yaitu ; (1) Informan, merupakan salah seorang pemangku adat (ninik mamak, alim ulama, atau cerdik pandai, manti, atau bundo kandung ); (2) Informan, mempunyai pengetahuan yang luas, berkaitan dengan masalah yang diteliti; (3) Informan dapat menyediakan waktu, sehingga wawancara dapat dilakukan; dan (4) Informan, bukan orang yang baru pulang dari rantau. Dengan menggunakan teknik ini, untuk pemimpin formal di dapatkan sebanyak empat orang, sedangkan untuk pemimpin informal 29
diperoleh sebanyak 24 orang. Dari 24 orang informan dari pemimpin informal, delapan orang diantaranya adalah penghulu, tiga orang alim ulama, tiga orang manti (panglima), lima orang cerdik pandai, dan lima orang bundo kanduang, yang masing-masing mewakili suku yang ada di Nagari Sungai Tanang. Disamping pemimpin informal, wawancara juga dilakukan dengan para anggota masyarakat, mereka yang dijadikan sebagai informan didapatkan secara kebetulan, pada setiap jorong sebanyak tujuh keluarga inti matrilinial, sehingga seluruhnya berjumlah sebanyak 28 keluarga samande. Ada dua jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian, yaitu; data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang dikumpulkan dari para informan atau pelaku. Untuk data primer, teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah teknik observasi partisipasi, wawancara bebas, wawancara mendalam (In-depth interview) dan metode genealogi, (Spradley, terjemahan, 1997; dan Vredenberg, 1984). Wawancara dengan para pemimpin formal dan informal, dipandu dengan pedoman wawancara, dan dilakukan dalam beberapa kali kunjungan ke rumah informan. Observasi partisipasi atau pengamatan langsung, dilakukan dengan mengamati langsung dan turut serta dalam setiap interaksi sosial yang terjadi di dalam masyarakat, sesuai dengan fokus penelitian. Menurut Garna (1999: 61) dalam melaksanakan teknik observasi partisipasi terhadap situasi sosial, peneliti menempatkan diri dalam aktifitas tersebut sesuai dengan situasi yang berlangsung, dan mengamati aktivitas dari orang-orang atau aspek fisik yang ada di dalamnya. Data sekunder, berupa data penduduk, potensi Nagari dan kabupaten, kebijakan pemerintah, konflik tanah dan penyelesaian konflik, dikumpulkan dari instansi pemerintah, seperti ; Kantor Pemberdayaan masyarakat Nagari, BPS Kabupaten, Kantor camat, Kantor wali Nagari, Kantor Badan Pertanahan dan agraria, serta berbagai pihak lainnya, kepustakaan dan dokumen. Pengambilan data sekunder, dilakukan sejak pengurusan izin penelitian, mulai dari Pemerintah kabupaten, kecamatan dan Nagari. Pelaksanaan wawancara dengan para informan, baik informan kunci, maupun informan biasa dilakukan secara pribadi, tidak dilakukan di depan orang ramai, seperti di warung kopi, atau di tempat-tempat umum lainnya. Untuk informan kunci, beberapa kali dilakukan secara bersama-sama, dan itu atas kesepakatan dengan semua informan. Sebagian besar wawancara di lakukan di rumah 30
informan, dengan jalan memberi tahu terlebih dahulu. Pengalaman pada waktu melakukan wawancara dengan para informan, tampak bahwa keterlibatan perempuan dalam memberikan jawaban sangat rendah, penjelasan atau jawaban itu lebih di dominasi oleh laki-laki atau suami. Dengan adanya keadaan tersebut, peneliti berusaha menggunakan seorang tenaga perempuan dalam pengumpulan data berhubungan dengan informan perempuan. Sebelum tenaga pengumpul data bekerja di lapangan, terlebih dahulu peneliti memberikan penjelasan kepada tenaga pengumpul data, dalam kaitannya dengan informasi apa saja yang diperlukan dan bagaimana proses pengumpulan data yang baik, sehingga informasi yang peneliti peroleh tidak merupakan rekayasa dari tenaga pengumpul data. Dalam proses pengumpulan data, tenaga pengumpulan data dibekali dengan daftar pertanyaan. Pada beberapa kali wawancara, di awal penelitian mempergunakan tape-recorder untuk merekam wawancara, untuk beberapa informan timbul kesan bahwasanya, informan menjadi tidak rileks dan kaku dalam menjawab pertanyaan atau memberi keterangan. Untuk selanjutnya, dengan informan-informan tersebut, peneliti memutuskan untuk tidak lagi menggunakan tape-recorder, tetapi langsung mencatat hasil wawancara. Dalam melakukan wawancara, peneliti memegang peranan penting, agar wawancara dapat berlangsung dengan lancar. Peneliti berusaha untuk menggali informasi sebanyak mungkin dari informan, dengan jalan ( Natzir, 1985: 241-243 ) ; (1) Peneliti berusaha membuat informan merasa bahwa dengan keterangan atau informasi yang mereka berikan, memberikan kepuasan tersendiri bagi informan; (2) Peneliti berusaha untuk menghilangkan adanya perbedaan antara peneliti dengan informan dengan menempatkan diri sebaik mungkin, dan memposisikan diri sebagai orang yang belajar dengan informan. Untuk tercapainya tujuan tersebut, peneliti membuka diri dan menjelaskan kepada informan; (1) menjelaskan kegunaan serta tujuan dari penelitian; (2) menjelaskan kenapa informan dipilih untuk diwawancarai; (3) menjelaskan institusi tempat peneliti bekerja dan tempat peneliti melanjutkan pendidikan; dan (4) menjelaskan bahwa hasil wawancara tersebut merupakan suatu hal yang bersifat rahasia. Dalam proses pengumpulan data berkaitan dengan bentukbentuk hubungan sosial ekonomi yang terjadi dalam keluarga luas matrilinial antara keluarga inti matrilinial, seringkali para informan menyebutkan pada saat sekarang bahwa kehidupan itu sangat individualis dan moderen. Namun, pada saat peneliti menanyakan 31
lebih lanjut apa yang dimaksud dengan individualis dan moderen, para informan sulit menjelaskan. Dengan memberikan contoh, apakah memang sudah tidak ada lagi tolong menolong atau saling memberi dan menerima bantuan, baik dalam bentuk tenaga ataupun dalam bentuk bantuan uang dengan anggota keluarga inti matrilinial lainnya dalam satu paruik. Sebagian besar dari informan menjawab dapat bantuan, tapi tidak terus menerus atau kadangkala saja. Sebagian besar dari para informan membayangkan kehidupan masyarakat pada masa lampau sangat ideal, bahwa bantuan tenaga dan bantuan uang yang diperoleh individu dalam keluarga luas matrilinial pada tahap paruik, berlangsung sedemikian rupa. Kesannya adalah setiap anggota keluarga luas matrilinial akan memberikan bantuan secara spontan dan langsung. Genealogical method ( Koentjaraningrat, 1977 ) atau metode genealogi digunakan dalam rangka mengumpulkan informasi berkaitan dengan individu-individu yang menjadi anggota dalam sebuah paruik, dan bagaimana bentuk hubungan yang terjadi di dalamnya. Di samping itu juga digunakan untuk melihat kedekatan hubungan antara individu dengan pihak kerabat, baik dalam bentuk hubungan induk bako anak pisang, hubungan suku sako, hubungan andan pasumandan, dan hubungan mamak kemenakan. Dalam pendekatan kualitatif, analisis data dilakukan secara simultan dengan proses pengumpulan data (on going analysis). Kegiatan analisis data dan penafsiran data dalam penelitian kualitatif merupakan suatu hal yang tidak dapat dipisahkan, dimulai dari awal pengumpulan data. Menurut Spradley (1997:42), analisis data pada intinya adalah penelaahan data dalam rangka mencari pola (patterns), sebab itu data kualitatif yang dikumpulkan di analisis dengan menggunakan penjelasan kualitatif. Analisis data dan penafsiran data merupakan suatu kegiatan yang dilakukan secara simultan, untuk dapat menjelaskan realitas sosial dalam masyarakat. Pada tahap awal dilakukan analisis terhadap data sekunder yang diperoleh dari beberapa instansi di kabupaten dan kecamatan, seperti; luas wilayah, jumlah penduduk menurut umur dan jenis kelamin, mata pencaharian, tingkat pendidikan dan sejumlah data lainnya, tujuannya untuk mendapatkan gambaran umum mengenai Nagari. Data yang diperoleh dari beberapa instansi tidak semuanya sama, terutama data mengenai penduduk, pendidikan dan mata pencaharian, untuk itu dilakukan pengecekan kepada pemerintahan Nagari, namun di pemerintahan 32
Nagari juga belum tersedia data, karena pemerintahan Nagari baru berjalan beberapa tahun. Untuk mengatasi masalah itu dilakukan pendekatan dengan petugas Biro Pusat Statistik di kecamatan (mantri cacah) karena BPS sedang melakukan beberapa survei sehingga diperoleh data terbaru. Baru kemudian semua data sekunder yang tersedia dianalisis dan untuk beberapa hal diperkuat oleh data primer sehingga gambaran umum mengenai Nagari Sungai Tanang dapat diperoleh. Penyajian data sekunder disusun sedemikian rupa sesuai dengan katagori-katagori, sehingga memperlihatkan satu kesatuan yang utuh, dan disajikan dalam bentuk uraian dan pada tabel. Analisis data primer dilakukan mengikuti prosedur antara lain, reduksi data, penyajian data dan menarik kesimpulan berdasarkan reduksi dan penyajian data yang telah dilakukan sebelumnya. Temuan data primer dianalisis melalui pendekatan emik pada tahap awal reduksi data dan penyajian data sesuai dengan fokus penelitian. Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian dan abstraksi data yang diperoleh di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama kegiatan penelitian lapangan dilakukan. Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis data untuk penajaman, pengelompokkan data, sehingga dari data dapat ditarik kesimpulan sementara. Dalam kaitannya dengan bentuk keluarga misalnya, data mengenai jumlah anggota keluarga, tidak saja di lihat dalam kaitannya dengan tempat tinggal, akan tetapi juga dilihat dalam kaitannya dengannya dengan unit produksi dan konsumsi serta hubungan sosial ekonomi yang berlangsung di dalamnya. Data mengenai luas pemilikan dan penguasaan tanah dalam satu keluarga inti matrilinial, di klarifikasi atas tanah yang berasal dari harta pusaka dan tanah yang berasal dari harta pencaharian. Sejalan dengan itu juga dilakukan pembedaan antara konsep pemilikan dan penguasaan dari setiap tanah yang dikelola oleh setiap keluarga inti matrilinial. Data primer yang diperoleh dari 28 keluarga inti matrilinial yang dijadikan sebagai informan, dianalisis dan disajikan melalui tabel frekuensi untuk melihat kecendrungannya, seperti data; tipe keluarga, umur anggota keluarga, tingkat pendidikan, pekerjaan suami istri, status pemilikan tanah, sistem pengolahan lahan pertanian, hak waris dari harta pencaharian dan sejumlah data lainnya. Semua data-data yang ditampilkan dalam tabel frekuensi, telah dilakukan pengecekan melalui teknik triangulasi. Setiap informasi yang diperoleh, baik informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam (in-dept interview), wawancara bebas dan informasi yang diperoleh melalui observasi partisipasi. Analisis 33
etik dilakukan dalam rangka penafsiran atau verifikasi data, dengan menggunakan kerangka pemikiran atau landasan teoritik yang dipakai dalam penelitian. Verifikasi data, merupakan kegiatan tahap akhir bertujuan untuk merumuskan kesimpulan penelitian dan untuk penyusunan hipotesis. Proses Analisis Data Penyajian Informasi Pengumpulan Informasi Kesimpulan
Catatan Lapangan Penelitian ini dilakukan di salah satu Nagari di Kabupaten Agam. Terletak sekitar 100 Km ke arah utara Kota Padang, Ibukota Propinsi Sumatera Barat. Ada beberapa pertimbangan, sehingga Nagari ini dijadikan sebagai lokasi penelitian: (1) Nagari ini merupakan salah satu Nagari yang menjadi daerah inti (heartland) Minangkabau dengan luas wilayah, kurang lebih 421 Ha, dengan rincian: (a) 81 hektar tanah perumahan dan perkampungan; (b) 36 hektar lahan pertanian basah ( sawah ) ; (c) 284 hektar lahan pertanian kering ( gurun ) ; dan (d) 20 hektar hutan negara ; (2) Di Nagari ini, sistem pemilikan dan penguasaan tanah, mekanismenya sangat beragam; dan (3) Mata pencaharian utama dari masyarakatnya adalah bertani, luas tanah pertanian yang dimiliki setiap kepala keluarga ratarata 0,0605 hektar untuk lahan pertanian basah dan lahan pertanian kering sekitar 0,477 hektar.
34