STIGMA DAN DISKRIMINASI KLIEN TUBERKULOSIS (Stigma and Discrimination of TB Client) Paula Krisanty, Mamah Sumartini, Wartonah, Jurusan Keperawatan Poltekkes Kemenkes Jakarta III Email:
[email protected]
ABSTRAK Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab utama kematian. Kondisi ini menempatkan klien TB menjadi terstigma dan terdiskriminasi. Walaupun telah banyak dilakukan penelitian untuk mengkaji sejauh mana terjadinya diskriminasi, tetapi sedikit sekali penelitian yang mengungkapkan secara jelas pendekatan mendalam penyebab stigma dan diskriminasi pada klien TB. Penelitian ini merupakan suatu studi kualitatif yang menggunakan pendekatan naratif dan bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang penyebab diskriminasi pada klien TB. Pengumpulan data dilakukan di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Jakarta Timur. In-depth interview dilakukan pada 4 klien TB, 4 orang anggota keluarga klien TB, dan 4 orang anggota masyarakat. Proses wawancara dan analisa data mengikuti pendekatan grounded theory. Hasil penelitian menunjukkan dari ketiga tipe diskriminasi didapatkan bahwa diskriminasi langsung dalam hal ini diskriminasi diri adalah tipe yang paling banyak ditemukan dirasakan oleh klien TB, terutama pada saat-saat awal pengobatan dari pengobatan delapan (8) bulan yang direncanakan. Mereka menyatakan mereka mengisolasi diri mereka sendiri dari keluarga dan teman, lebih dikarenakan untuk menghindari menularkan penyakit TB kepada keluarga dan teman mereka. Alasan lain adalah untuk menghindari gossip dan kemungkinan diskriminasi. Kata kunci: stigma, diskriminasi, kualitatif, grounded theory
ABSTRACT Tuberculosis (TB) is a leading cause adult death in the world. This condition placed TB client were stigmatized and discriminated. Even though there are many researchers have been done for exploring how far the discrimination happened, but only a few researches have been done with using in-depth approach to explore the causes of stigma and discrimination of TB client. This research was a qualitative research with using narrative approach and has a goal to obtain the description of cause of discrimination of TB client. Data collection was performed at Community Health Centre (Puskesmas) of Jatinegara, East Jakarta. In-depth interviews were performed with four TB clients, four family members of TB clients, and four community members. The interview process and data analysis have been followed the grounded theory approach. The result showed that from three form of discriminations, the direct discrimination particularly self-discrimination was the type which all the participants who were TB clients in this research performed, particularly in the initial treatments of eight months treatments. The participants stated that they isolated themselves from family and friends partly to avoid infecting them. Another reason participants isolated themselves from friends were avoiding gossip and potential discrimination. Key words: stigma, discrimination, qualitative, grounded theory
103
104
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111
kemampuan mereka untuk mencari uang,
PENDAHULUAN Tuberkulosis (TB) adalah salah satu penyebab kematian usia dewasa di dunia, membunuh
1,7
prosedur
diagnostik
dan
pengobatan yang mahal. TB ditularkan melalui droplet (Rieder,
tahunnya. Secara global, 14,6 milyar orang
2005). Oleh karena itu pendekatan yang
mengidap penyakit TB aktif; setiap tahun
paling efektif untuk mengontrol TB adalah
8,9 milyar orang menjadi penderita TB
memutuskan rantai penularan dengan cara
aktif (WHO, 2006), penyakit TB sangat
menetapkan diagnosa dan pengobatan
signifikan
segera klien TB. Walaupun pengobatan
tahun
orang
karena
setiap
di
milyar
dan
1993
WHO
mencanangkan TB sebagai darurat global.
mempunyai dampak infeksius menjadi
Tuberkulosis (TB) merupakan salah
tidak infeksius dalam waktu dua minggu
satu penyakit penyebab kematian usia
setelah pengobatan (Rieder, 2005), akan
dewasa di dunia. Secara global, 14,6
tetapi TB tidak akan sembuh sampai
milyar orang mengidap penyakit TB aktif,
selesainya
setiap tahun 8,9 milyar orang menjadi
waktu 6–8 bulan yang membutuhkan
penderita TB aktif, dan membunuh 1,7
kunjungan
teratur
ke
milyar orang setiap tahunnya. (WHO,
kesehatan.
Sekali
teridentifikasi
2006). Kejadian penyakit TB sangat
penderita
mengalami
signifikan di tahun 1993, sehingga WHO
diskriminasi
mencanangkan TB sebagai darurat global.
menyebabkan penundaan diagnosis dan
Kejadian TB sangat berhubungan dengan
kemiskinan,
walaupun
semua
pengobatan
seluruh
akibat
pengobatan
pusat
layanan
stigma
penyakit
sehingga
dalam
TB, dan
tersebut,
menyebabkan
terganggunya waktu kontrol penyakit TB.
status dalam masyarakat dapat mengidap
Stigma didefinisikan oleh Williams J.
penyakit ini. Masyarakat miskin memiliki
(2011), sebagai suatu ”atribut yang sangat
risiko
mendeskriditkan” dan seseorang yang
terbesar,
karena
kemungkinan
kontak dengan penderita lain (karena
terstigma
kepadatan penghuni di rumah, di tempat
mengalami pembedaan perlakuan yang
kerja, perjalanan, dan sosial), dan karena
tidak diinginkan. Menurut pandangan
sistem imun mereka lemah oleh sebab
Goffman, stigma umumnya diakibatkan
nutrisi yang kurang (Smith, 2004). Akibat
dari perubahan tubuh, tidak jelasnya
utama TB pada kaum marginal yang
karakter individu, atau anggota suatu
berpendapatan
dapat
kelompok yang tidak disukai oleh orang
mendorong mereka menjadi lebih miskin
lain. Stigma seringkali mencegah orang
lagi, karena penyakit ini menurunkan
untuk mencari perawatan pada layanan
sosial
kurang
adalah
seseorang
yang
105
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis
kesehatan. Bahkan ketika klien datang
stigma dan diskriminasi klien TB yang
untuk pengobatan, tidak adanya dukungan
berdomisili di Jakarta.
sosial dari keluarga mereka atau anggota masyarakat, akan menurunkan kepatuhan pengobatan TB. Isolasi sosial, pengalaman ditolak, malu dan merasa bersalah karena mengidap TB dapat menyebabkan stres psikosomatik, kesepian dan rasa tidak
Diskriminasi
terjadi
dalam
dua
bentuk, yaitu diskriminasi langsung dan diskriminasi tidak langsung. Diskriminasi langsung
terjadi
ketika
seseorang
diperlakukan kurang baik, disebabkan karena penyakit mereka, dimana orang lain akan diperlakukan sama. Diskriminasi tidak langsung terjadi ketika persyaratan atau kondisi ditetapkan, walaupun ini berlaku sama bagi semua orang, sepertinya mempertimbangkan saja.
pada
sebagian
Berdasarkan
persepsi
stigma oleh orang lain atau oleh orang yang terstigma itu sendiri yang mendorong
Tanpa pengetahuan tentang penyebab stigma dan diskriminasi pada klien TB, akan sangat sulit mencari strategi untuk mengurangi terjadinya diskriminasi. Oleh itu
dibutuhkan
investigasi
mendalam penyebab diskriminasi melalui perspektif Berdasarkan penelitian
menggunakan pendekatan fenomenologi dengan penyajian dalam bentuk naratif. Penelitian bertujuan untuk mendapatkan
klien
dan
pada klien TB. Penelitian dilakukan di salah satu Puskesmas Kecamatan, Jakarta Timur pada bulan April s/d Oktober 2012. Berkaitan dengan desain penelitian yang dilakukan, maka sangatlah penting bagi peneliti untuk melakukan seleksi purposif pada partisipan (research partners). Peneliti wawancara, pertanyaan
menggunakan dengan
petunjuk
menggunakan
terbuka-tertutup
dan
tidak
terstruktur. Dalam proses wawancara tetap menggunakan topik utama, tetapi lebih fleksibel kepada topik-topik yang relevan. Kelompok target partisipan untuk penelitian ini adalah klien TB, dan
terjadinya diskriminasi.
karena
Jenis penelitian ini adalah kualitatif,
gambaran tentang penyebab diskriminasi
berdaya.
penderita
METODE
keluarganya.
hal
tersebut,
dilakukan
untuk
mengkaji
penyebab
merupakan
klien
yang
berobat
di
Puskesmas dengan kriteria: 1) Status pernikahan: Lajang atau menikah, 2) Usia remaja dan dewasa (17 tahun sampai 35 tahun), 3) Pendidikan minimal lulus SMP, 4) Menjalani pengobatan dengan DOT minimal satu bulan. Sedangkan pada pelaksanaannya jumlah partisipan yang diperoleh
sampai
dengan
akhir
pengumpulan data yaitu empat (4) pasien
106
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111
TB, empat (4) anggota keluarga, dan “Dampak sosialnya adalah dia dijauhin
empat (4) anggota masyarakat.
oleh rekan, teman atau masyarakat terus HASIL DAN PEMBAHASAN
dikucilkan karena mereka pada takut
Keberadaan dan Penyebab Stigma Diri
dengan penyakit itu sendiri , takut tertular
(Self-Stigma) dan Diskriminasi
seperti itu… Seandainya saya mendapat
Keyakinan klien adalah penyebab
TB, yang saya lakukan mungkin, saya
utama diskriminasi diri. Klien TB secara
akan koreksi diri saya kenapa kok saya
umum mengisolasi diri mereka sendiri dari
bisa terjangkit penyakit itu, pertama. Yang
keluarga dan teman-teman, dan khususnya
kedua mungkin saya akan mengurung
dari anak-anak, karena ketakutan untuk
diri…” (M3)
menularkan penyakit. Pasien TB mengisolasi dirinya sendiri “Minder aja sih... Habis yang lain ya
dari keluarga dan teman, tidak hanya
ibarat gaya hidupnya ngerokok ngga kena,
karena ketakutan akan menginfeksi yang
tapi saya gaya hidupnya baik, sehat, kok
lainnya, tetapi juga karena ketakutan akan
malah kena...” (P1)
diskriminasi.
”Saya sakit aja lemas banget, jadi saya
“Suami saya kalo dirumah gak mau
gak mau kalo anak saya kena tular saya,
keluar-keluar… tetangga sih tahunya dia
nanti bisa jadi apa?....” (P2)
sakit paru.. Tapi kami juga sampe pindah rumah, soalnya tetangga pas depan suka
“Saya
kasihan
juga
sih,
N
jadi
menderita… soalnya sendok sama piring dipisah, jadi dia langsung bilang tuh: Ini punya N, ini punya N, jangan dipake, ntar ketularan… jadi dia marah sekali Bu kalo gelasnya misalnya dipake sama orang lain…jadi dia yang marah: penyakit TB
gosipin: itu sakit paru kan nular, saya kan punya bayi… trus bilang ke kakak saya yang punya rumah: kok mau sih terima orang ngontrak sakit paru kan bahaya… jadi karena diomongin terus begitu suami saya jadi males tinggal situ, jadi kita pindah…” (K3)
tuh nular loh” (K4) “Nggak pernah mau keluar rumah kecuali “Kalo suami saya keras jadinya ke anak
kalo ke sekolah, katanya gak enak karena
saya: jangan deket Bapak! Jangan tidur
harus pake masker, malu kali… temen-
sama Bapak! Jadi dia gak mau kalo
temennya juga gak ada yang kerumah…”
anaknya deket-deket Bu…” (K3)
(K4)
107
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis
“Saya gak mau bilang kalo saya sakit TB,
Ditemukan juga oleh peneliti bukti kecil
abisan majikan saya bilang nanti saya
bahwa
nularin ke anaknya, makanya saya bilang
melakukan diskriminasi terhadap klien TB.
aja saya cuma sakit paru aja, abis saya
Akan tetapi, sebaliknya, klien menyatakan
kan kerjanya pembantu dirumahnya, nanti
bahwa teman-teman mereka memberikan
gimana?...”(P3)
dukungan dan perhatian.
“Yang saya lakukan mungkin, saya akan
“ada juga teman saya... Alhamdullilah
koreksi diri saya kenapa kok saya bisa
semua pada mendukung, gak menjauhi
terjangkit penyakit itu, pertama. Yang
walaupun saya sakit „Paru‟...” (P2)
kedua mungkin saya akan mengurung
“...kalo saya gak ada di luar, paling
diri… Mungkin karena saya malu, saya akan komunikasi dengan siapa, saat saya
kenyataannya
teman
dapat
dipanggil sama teman saya disuruh main, atau disuruh apa. Mereka tahu kalo saya
komunikasi paling gak, saat saya batuk
sakit „Paru‟”, tapi mereka bilang itu mah
atau saya ngeluarkan dahak orang yang
gak bakalan menular, gitu Bu....”(P3)
saya ajak komunikasi pasti tertular dengan secara tidak langsung” (M3)
“ teman-teman saya sih biasa saja, khan saya bagian produksi, kerjanya diluar
Keberadaan dan Penyebab Stigma dan
lapangan,
Diskriminasi oleh Keluarga dan Teman.
dipakai
Peneliti menemukan bukti kecil adanya diskriminasi dalam keluarga. “Keluarga saya ga ada yang tahu saya TBC, Bu... Abis saya punya Asma, jadi
karena untuk
masker
safety,
ya
rata-rata semuanya
seragam make, jadi saya make masker, biasa aja tuh tanggepan yang lain....”(P4) Peneliti juga menemukan sedikit bukti diskriminasi oleh tetangga.
mereka tahunya ya Asma saya kumat...
“… tetangga sih tahunya dia sakit paru..
Kalaupun pake masker, saya bilangnya
Tapi kami juga sampe pindah rumah,
kayak orang kerja di konpeksi aja gitu...”
soalnya tetangga pas depan suka gosipin:
(P3)
itu sakit paru kan nular, saya kan punya
“Keluarga besarnya isteri saya tahunya dia sakit paru, semua pada tahu, adeknya juga tahu,... tapi biasa aja... gak terlalu ditakutin, biasa aja....” (K1)
bayi… trus bilang ke kakak saya yang punya rumah: kok mau sih terima orang ngontrak sakit paru kan bahaya…
108
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111
jadi karena diomongin terus begitu suami
“TBC itu penyakit menular, itukan batuk-
saya jadi males tinggal situ, jadi kita
batuk disertai dengan bercak darah atau
pindah…” (K3)
yang seperti itu sih yang saya tau...” (M4)
Keberadaan dan Penyebab Stigma dan Diskriminasi oleh Institusi
institusi
menyatakan
kantor
mereka
atau
tidak
mengalami
diskriminasi oleh pimpinan mereka. Akan tetapi, mereka lebih memilih untuk tidak menceritakan keadaan yang sesungguhnya parunya
adalah
terus
kebanyakan
TB)
mampu untuk biaya berobat…” (M3)
pabrik,
diskriminasi dan tidak takut diperlakukan
(sakit
sembuh-sembuh,
biasanya mati orang itu, karena tidak
Partisipan yang merupakan pegawai dari suatu
”Batuk yang berkepanjangan yang tidak
kepada
pimpinan mereka.
“Biasanya sih pertamanya orangnya dari batuk, terus lemas, terus lama-kelamaan bisa
jadi
TBC
begitu,
karena
gak
diobatin...” (M1) “Iya
itukan
dari
bakteri,
itu
kan
menyerang paru-paru, kalau paru-paru diserang kaya batuk gitu, kalau batuknya
“Boss saya sih malah membantu, memberi
parah itu bisa keluar darah dari batuknya
semangat berobat terus, malah dibantuin
itu…” (M2)
biaya juga” (P1) Sekalipun
pasien
dan
anggota
“Boss saya taulah saya sakit „Paru‟,
keluarga
kan… biasa ijin tiap ngambil obat dan
mereka bahwa anggota masyarakat tidak
kontrol saya ijin. Trus katanya „Gak apa-
melakukan diskriminasi melawan mereka,
apa, terusin aja berobat, biar kerja disini
tetapi dua anggota masyarakat
gak terganggu” (P3)
diwawancara menyatakan fakta bahwa
Keberadaan dan Penyebab Stigma dan Diskriminasi dalam Masyarakat
mereka
mengungkapkan
melakukan
keyakinan
diskriminasi
yang
atau
mengetahui adanya diskriminasi.
Kebanyakan dari anggota masyarakat yang
“Saya akan bikin surat ke Perusahaan,
diwawancara mengungkapkan bahwa klien
sampai penyakit saya sembuh saya akan
TB sangat mudah diidentifikasi karena
cuti akan ditempat saya karena memang
kelemahan fisik, kurus dan batuk.
ada aturannya di tempat kerja saya untuk malah berhenti kalo ketahuan sakit TB”… (M3)
109
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis
”Kalo rekrut orang yang kerja terutama
seseorang pada suatu bentuk karakteristik
dekat dengan keluarga inti saya, saya
yang tidak diinginkan yang membentuk
pasti suruh foto ronsen, apa benar ya...
stereotype, dalam hal ini stereotype yang
jadi pencegahannya seperti itu. Kalo
ada di masyarakat tentang penyakit TB
orang-orang yang kerja dengan saya
sebelumnya adalah penyakit orang miskin
ketahuan sakit TB, saya suruh cuti dulu,
(low-caste disease).
sanatorium dirawat sampai sembuh, baru
Klien TB juga menyembunyikan fakta
masuk lagi, kalo gak mau seperti itu saya
bahwa mereka menderita TB dari anggota
langsung pecat...” (M4)
masyarakat sekitar mereka tinggal. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa masih ada
Hasil penelitian menunjukkan klien dengan
TB
menyatakan
mereka
mengisolasi diri mereka sendiri dari keluarga dan teman, lebih dikarenakan untuk menghindari menularkan penyakit TB kepada keluarga dan teman mereka.
anggota
selama menjalani awal-awal pengobatan dari pengobatan delapan (8) bulan yang
yang
melakukan
diskriminasi terhadap klien TB sekalipun klien TB sendiri menolak mendapatkan perlakuan diskriminasi. Hal ini terjadi bukan lagi karena stereotype yang ada tetapi
Diskriminasi diri ini terjadi terutama
masyarakat
lebih
kepada
“takut
tertular”.
Sehingga muncul pendapat seperti yang disampaikan oleh salah satu partisipan kami:
direncanakan. Hal ini berarti klien dengan TB takut akan mengalami diskriminasi
”Seandainya saya mendapat TB, yang
langsung, yang menurut Higashi (2011),
saya lakukan mungkin, saya akan koreksi
adalah seseorang diperlakukan tidak adil
diri saya kenapa kok saya bisa terjangkit
dibandingkan dengan orang lain yang
penyakit
dalam
mungkin saya akan mengurung diri…”
situasi
yang
sama,
dan
ini
disebabkan oleh salah satunya adalah
itu,
pertama.
Yang
kedua
(M3)
ketidakmampuan (disabilities). Alasan lain klien TB mengisolasi diri mereka
sendiri
dari
teman-temannya
adalah untuk menghindari gossip dan kemungkinan diskriminasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Jacoby (2005) bahwa stigma juga dideskripsikan sebagai suatu suatu
label
yang
menghubungkan
Peneliti mengidentifikasi penyebab diskriminasi terhadap klien TB oleh anggota mempunyai
masyarakat hubungan
yang
tidak
dengan
klien
(seperti hubungan keluarga atau teman). Penyebab-penyebab
tersebut
adalah
ketakutan akan risiko terinfeksi, adanya
110
JKep. Vol. 1 No. 2 Mei 2014, hlm 103-111
hubungan
antara
TB
dan
penyebab
diskriminasi
ini
akan
membutuhkan
diskriminasi lain, khususnya kemiskinan,
intervensi-intervensi
dan adanya hubungan antara TB dan
dengan konteks lokal dan sistem sosial. Isu
perilaku yang tidak baik, khususnya
kemungkinan
minum alkohol dan merokok.
nampaknya
Sekalipun klien-klien TB secara rutin mendapatkan
penyuluhan
bahwa
TB
yang
risiko
disesuaikan
infeksi
menyebab
di
yang
kalangan
masyarakat luas, dapat diatasi melalui pendidikan kesehatan yang tepat dengan
berhenti menginfeksi setelah dua minggu
lebih
minum
(cultural sensitive) daerah setempat.
obat
rutin,
diskriminasi
diri
memperhatikan
peka
budaya
terhadap TB tetap tinggi terjadi selama periode
awal
dari
delapan
bulan
SIMPULAN Kata
pengobatan. Penyuluhan kesehatan yang lebih baik atau konseling kesehatan yang efektif dapat membantu untuk mengatasi ketakutan-ketakutan ini: sejalan dengan peningkatan multi-drug resistant (MDR) TB, dan extremely drug resistant (XDR) TB,
kemungkinan
ketakutan-ketakutan
klien TB menjadi lebih terjustifikasi. Dalam kasus penderita TB yang tidak menjalani pengobatan atau yang baru-baru saja
mengikuti
peneliti
yakin
menyampaikan berdasarkan
program sangatlah bahwa
suatu
pengobatan, baik isolasi
ketakutan
untuk diri akan
menularkan penyakit adalah pendekatan pragmatis
untuk menurunkan transmisi
klien
TB
untuk
menyembunyikan TB mereka dari anggota masyarakat nampaknya juga terjustifikasi, terlihat dari adanya anggota masyarakat yang menyatakan bahwa benar mereka melakukan
diskriminasi.
dan
diskriminasi
seringkali rancu dalam penggunaannya. Hal
tersebut
dapat
menyebabkan
kebingungan dalam melakukan intervensi. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa stigma dan bentuk-bentuk diskriminasi yang ada mempunyai dampak ganda pada kontrol TB. Pertama, perhatian terhadap seseorang
yang
teridentifikasi
TB
membuat seseorang dengan batuk dalam jangka
waktu
penghalang
yang
untuk
lama
mencari
menjadi pelayanan
kesehatan. Kedua, perhatian akan stigma dan diskriminasi pada klien TB menjadi penghalang untuk menjalani pengobatan jangka panjang karena klien TB takut akan menjadi seseorang yang teridentifikasi
TB dan bentuk diskriminasi diri. Keputusan
stigma
Penyebab
sebagai pengidap TB, yang pada akhirnya memnambah
serius
gejala
dan
meningkatkan transmisi penyakit. Diskriminasi diri (self-discrimination) adalah tipe yang paling banyak ditemukan pada semua klien TB dalam penelitian ini.
Paula Krisanty. Stigma Dan Diskriminasi Klien Dengan Tuberkulosis
Sejak
diskriminasi
dan
hubungannya
dengan stigma sangatlah spesifik-konteks, hanya
dengan
melanjutkan
penelitian
dalam setting yang lebih spesifik dimana kita dapat meningkatkan intervensi dan lebih mendapatkan isu-isu penting terkait dengan hal diatas. Oleh karena itu kita
111
DAFTAR RUJUKAN Creswell, J. W. 2003. Research design: Qualitative, quantitative and mixed methods approaches (2nd ed.). London : Sage. Elliott, J. 2005. Using narratives in social research: Qualitative and quantitative approaches, London : Sage.
harus lebih memfokuskan diri pada isu diskriminasi diri yang nyatanya masih banyak
ditemukan
pada
awal-awal
penelitian
terhadap
pengobatan TB. Implikasi
pelayanan kesehatan berkaitan dengan pentingnya
sosialisasi
dan
pelatihan
kepada petugas kesehatan agar mampu memberikan penyuluhan kesehatan TB yang lebih efektif dan mengena secara peka budaya (cultural sensitive). Selain itu, pentingnya membuat perencanaan program
terkait
dengan
penelitian,
perkembangan dan implementasi kontrol penyakit menekankan diskriminasi.
menular
dengan
lebih
pada
pemahaman
akan
Higashi, T. 2011. The Prohibition of Discrimination and Three Types of Discrimination Identified in the Convention on the Rights of Persons with Disabilities. Rieder, H. L. 2005. Epidemiological basis of tuberculosis control. Paris : IUATLD. Smith, I. 2004. What is the health, social and economic burden of tuberculosis? In Toman's tuberculosis case detection, treatment and monitoring: questions and answers. (2nd ed.). Geneva : WHO. Williams, J., Gonzales-Medina, D., & Quan, L. 2011. Social stigma and infectious disease. Applied Technologies and Innovations, 4, 5870. World Health Organization. 2006. Global Tuberculosis Control: surveillance, planning, financing. WHO report 2006, Geneva : WHO. World Health Organization . 2012. Global Tuberculosis Report 2012. Geneva : WHO.