STATUS ZAKAT PROFESI WANITA TUNA SUSILA DITINJAU DARI HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang)
SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam
Oleh: Nur Salim NIM: 21109013 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2013
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO NASEHATI DIRI SENDIRI TERLEBIH DAHULU, SEBELUM MENASEHATI ORANG LAIN.
PERSEMBAHAN Sembah dan sujudku senantiasa hanya kepada Allah SWT, tuhan maha kaya dan maha pemberi nikmat yang tak terhingga, dengan iradah-Mu sehingga aku mampu berkarya. Ayahanda (Sumarlan) serta Ibunda (Surtini), dua insan mulia yang dengan cinta dan kasihnya aku mempunyai semangat dan harapan untuk menggapai asa, cita, dan harapan. Adikku tersayang (Muslimiftakhul Huda) yang mulai tumbuh remaja serta adikku (Rafa Rusdan Al-Fauzi) yang sedang mulai tumbuh 2 tahun, yang selalu menghibur dan mengisi hari-hariku di istana yang penuh cinta, kasih dan sayang yang membuat damainya suasana hati. Untuk kekasihku yang selalu menantikanku dengan setia, serta seluruh pejuang seperjuangan kelas AHS’O9, terutama Faris, Fahmi, Haris dan Ugi’ yang sering bercanda bersama, Sapek, Mbahe, Wawan, dan Adi yang setia menemani di PS’an, serta semua pihak yang tidak mungkin aku bisa sebut satu persatu.
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb Alhamdulillah, puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada Allah SWT. Karena dengan taufiq, hidayah, serta inayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Syari’ah di STAIN Salatiga. Shalawat serta salam penulis senantiasa haturkan kepada beliau nabiullah Muhammad SAW, yang membawa manusia menuju zaman pencerahan yang diridhoi Allah SWT. Selanjutnya tujuan dari skripsi ini untuk mengetahui seluk beluk tentang zakat profesi dan relevansinya dengan kondisi kekinian masyarakat muslim Indonesia. Seperti diketahui bahwa zakat profesi merupakan wacana baru setelah era Nabi, yang kiranya tepat sekali dijadikan salah satu sumber zakat yang wajib dizakati, karena memang sifat harta profesi sendiri selalu berkembang. Skripsi ini tersusun berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, melalui skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Dr. Imam Sutomo, M.Ag. Selaku Ketua STAIN Salatiga 2. Bapak Mubasirun, M.Ag. Selaku Ketua Jurusan Syari’ah 3. Bapak Ilyya Muhsin, S.H.I., M.Si. Selaku Ketua Program Studi Ahwal al – Syakhsiyyah 4. Bapak H. M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktunya semata-mata untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyusun hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Bapak dan Ibu dosen STAIN Salatiga, khususnya dosen jurusan syari’ah yang telah mencurahkan ilmunya selama penulis belajar di STAIN Salatiga.
6. Bapak kepala Kecamatan Bandungan, Ibu kepada Kelurahan Duren, Bapak kepala Dusun Jetak beserta Istri yang telah membantu dalam pencarian data. 7. Ayah, Ibu, serta Adik-adikku yang tercinta dan tersayang, yang selalu mendo’akan dan memotivasi dengan tulus dan ikhlas. 8. Segenap teman-temanku seperjuangan AHS’09, yang telah menciptakan suasana yang kondusif dan nyaman di kelas. Terima kasih kepada semua pihak atas bantuannya, penulis hanya bisa mendo’akan semoga Allah SWT membalas amal baik semua pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Selanjutnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu, kritik dan saran yang konstruktif senantiasa penulis harapkan. Akhirnya penulis berharap, semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi siapa saja yang membaca terutama bagi Civitas Akademika STAIN Salatiga. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Penulis,
Nur Salim
ABSTRAK Nursalim. 2013. Status Zakat Profesi Wanita Tuna Susila Ditinjau Dari Hukum Islam (Studi Kasus di Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang). Skripsi. Jurusan Syari’ah. Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: H.M. Yusuf Khummaini, S.H.I., M.H. Kata Kunci: Zakat Profesi. Zakat profesi merupakan bentuk zakat baru yang muncul setelah era Nabi, zakat profesi setelah diketahui hukumnya, karena di zaman sekarang telah banyak ulama yang membahasnya, karena memang zakat profesi merupakan zakat yang banyak ditemui di zaman sekarang. Zakat profesi juga diatur dalam Undangundang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat. Penulis juga menyimpulkan bagaimana pemahaman para WTS dalam pembayaran zakat, apa motivasi mereka untuk mengeluarkan zakat profesi, bagaimana pola pembayarannya, dan bagaimana status zakat profesi WTS bila ditinjau dari hukum Islam. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan pendekatan kualitatif. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan tujuan menggambarkan bagaimana pelaksanaan pembayaran zakat profesi yang dilakukan oleh sebagian WTS di Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan. Pendapatan perekonomian masyarakat di zaman modern seperti saat ini lebih banyak pada sektor jasa, dan yang penting memenuhi nishab. Peran pemerintah, BAZNAS/LAZ diharapkan bisa menjadi sumber pengetahuan, wadah, atau sarana yang dapat memberi pengetahuan tentang zakat, dan dapat dipercaya oleh masyarakat dengan jalan lebih aktif dengan mengelola zakat serta meyakinkan masyarakat yang untuk membayar zakat. Memberi pengertian yang jelas mengenai profesi dan harta yang wajib untuk dikeluarkan zakatnya, terutama pada kalangan WTS yang pengetahuan tentang agamanya sangat kurang.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN KELULUSAN ................................................ iii HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ................................. iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................................. v KATA PENGANTAR ....................................................................................... vi HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................. ix DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... x BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Fokus Penelitian .......................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 6 D. Kegunaan Penelitian ................................................................... 7 E.
Penegasan Istilah ....................................................................... 7
F.
Metode Penelitian ...................................................................... 10 1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ............................................. 10 2. Kehadiran Peneliti ................................................................... 10
3. Lokasi Penelitian .................................................................. 10 4. Sumber Data ......................................................................... 11 a. Data Primer ..................................................................... 11 b. Data Sekunder ................................................................ 12 5. Prosedur Pengumpulan Data ................................................ 12 a. Metode Interview ........................................................... 12 b. Observasi ........................................................................ 13 c. Metode Dokumentasi ..................................................... 13 6. Analisis Data ........................................................................ 14 7. Pengecekan Keabsahan Data ............................................... 14 8. Tahap-tahap Penelitian ......................................................... 15 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15 BAB II: KAJIAN PUSTAKA A. Zakat Profesi Dalam Tinjauan Fikih ....................................... 18 1. Pengertian Zakat Profesi .................................................... 18 2. Tujuan, Fungsi, Dan Hikmah Zakat Profesi ....................... 22 3. Waktu Pengeluaran Zakat Profesi ...................................... 24 4. Sasaran Zakat Profesi ......................................................... 27 B. Zakat Profesi Dalam Tinjauan Perundang-undangan ............. 33 BAB III :
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN A. Gambaran Umum Kondisi Dusun Jetak ................................ 37
B. Pemahaman Tentang Zakat Profesi Masyarakat Muslim WTS di Dusun Jetak .............................................................................. 38 C. Motivasi Pembayaran Zakat Profesi ......................................... 43 D. Pola Pembayaran Zakat Profesi ................................................ 45 E. Status Zakat Profesi Wanita Tuna Susila Ditinjau Dari Hukum Islam .......................................................................................... 47 BAB IV: PEMBAHASAN A. Analisis Pemahaman Tentang Zakat Profesi .............................. 58 B. Analisis Pembayaran Zakat Profesi ............................................ 60 C. Analisis Pola Pembayaran Zakat Profesi .................................... 62 D. Analisis Status Zakat Profesi Wanita Tuna Susila Ditinjau Dari Hukum Islam .............................................................................. 67 BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................................. 77 B. Saran ............................................................................................ 78 C. Penutup ........................................................................................ 80 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
1. Tabel 3. 1 Data Pemahaman Zakat Profesi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Tugas Pembimbing Lampiran 2. Surat Izin Penelitian Lampiran 3. SKK Lampiran 4. Daftar Pendapatan dan Pengeluaran WTS Lampiran 5. Daftar Panduan Wawancara Lampiran 6. Daftar Identitas Narasumber Lampiran 7. Daftar Riwayat Hidup
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang masalah Agama Islam berpedoman pada Al-Qur’an dan Al-Hadis, namun selain itu Islam juga mengenal enam rukun iman dan lima rukun Islam. Zakat merupakan salah satu rukun Islam, selain merupakan wujud kebaktian terhadap Allah, zakat juga merupakan salah satu aplikasi amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan, dengan wujud menyisihkan sejumlah harta dari milik perorangan atau badan hukum untuk diberikan kepada yang berhak sesuai dengan syarat-syarat tertentu, yang berfungsi untuk mensucikan harta serta jiwa pribadi para wajib zakat. Zakat pada dasarnya mengandung dua aspek, yaitu kebaktian terhadap Allah dan kebaktian terhadap masyarakat. Aspek kebaktian kepada Allah, bahwa menunaikan zakat itu bukan memberi upeti material kepada-NYA, melainkan menunjukkan ketakwaan dengan melaksanakan perintah-Nya. Aspek kebaktian terhadap masyarakat mengandung segi sosial dan ekonomi. Segi sosial bertujuan untuk kemaslahatan pribadi-pribadi dan kemaslahatan umum, sedangkan segi ekonomi ialah, harta-harta itu harus berputar dikalangan masyarakat dan bahwa zakat itu merupakan daya dorong untuk perputaran harta benda tersebut dan menjadi salah satu sumber dana baitul mal.
Fenomena
yang
terjadi
dalam
masyarakat
di
dunia
perekonomian modern saat ini semakin kecil keterlibatan langsung dari sumber daya manusia dalam sektor produksi dan semakin membesarnya pendapatan dari sektor jasa. Karena itu, gaji, upah, dan bonus menjadi suatu pendapatan manusia di zaman modern seperti sekarang ini, dan bernilai jauh melampaui dari nishab. Pendapatan profesi adalah sebuah hasil dari kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang. Contoh dari pendapatan kerja profesi adalah: gaji, upah, intensif, atau nama lainnya disesuaikan dengan jenis profesi yang dikerjakan, baik itu pekerjaan yang mengandalkan kemampuan otak atau kemampuan fisik lainnya, dan bahkan dua-duanya. Menurut Yusuf al-Qaradhawi (1991:487), “di antara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukannya sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsistek, ahli hukum, penjahit, pelukis, mungkin juga da’i atau mubaligh, dan lain sebagainya. Yang dilakukan bersama-sama, misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan menggunakan sistem upah atau gaji”.
Sementara itu Wahbah al-Zuhaili (1997:1948) secara khusus mengemukakan, “kegiatan penghasilan atau pendapatan yang diterima seseorang melalui usaha sendiri (wirausaha) seperti dokter, insinyur, ahli hukum, penjahit, dan lain sebagainya. Dan juga yang terkait dengan pemerintah (pegawai negeri) atau pegawai swasta yang mendapatkan gaji atau upah dalam waktu yang relatif tetap, seperti sebulan sekali. Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan ayat-ayat yang bersifat umum, misalnya at-Taubah:103, al-Baqarah:267, dan juga firman-Nya dalam adz-Dzariyaat:19,
y7 s?4qn=|¹ ¨b Î) (öN Îgø‹n=tæ Èe@ |¹ ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öN èd ãÎdgsÜ è? Zps%y‰ |¹ öN ÏlÎ;ºuqøBr& ô` ÏB õ‹ è{ ÇÊÉÌÈ íO ŠÎ=tæ ì ‹ÏJ y™ ª! $#ur 3öN çl°;Ö` s3 y™ Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Nä3 s9 $oYô_ t÷z r&!$£J ÏBur óO çFö;|¡ Ÿ2
$tB ÏM »t6ÍhŠsÛ ` ÏB (#qà)ÏÿRr&(#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$#$yg•ƒr'¯»tƒ
b r& Hw Î) ÏmƒÉ‹ Ï{ $t«Î/ NçGó¡ s9ur tb qà)ÏÿYè? çm÷ZÏB y] ŠÎ7y‚ ø9$# (#qßJ £J u‹s? Ÿw ur (ÇÚ ö‘F{ $# z` ÏiB ÇËÏÐÈ î‰ ŠÏJ ym ;ÓÍ_xî ©! $#¨b r&(#þqßJ n=ôã $#ur 4Ïm‹Ïù (#qàÒ ÏJ øóè? Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak
mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267)
ÇÊÒÈ ÏQ rãós pRùQ$#ur È@ ͬ!$¡ =Ïj9 A, ym öN ÎgÏ9ºuqøBr&þ’Îûur Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (QS. Adz-Dzariyaat: 19) Sayyid Quthub (wafat 1965M) dalam tafsirnya Fi Zhilalil Qur’an ketika menafsirkan firman Allah dalam surah al-Baqarah ayat 267 menyatakan, bahwa ayat ini mencakup seluruh hasil usaha manusia yang baik dan halal dan mencakup pula seluruh yang dikeluarkan Allah SWT dalam dan atas bumi, seperti hasil-hasil pertanian, maupun hasil pertambangan seperti minyak. Karena itu ayat ini mencakup semua harta, baik yang terdapat di zaman Rasulullah saw, maupun di zaman sesudahnya. Semuanya wajib dikeluarkan zakatnya dengan ketentuan dan kadar sebagaimana diterangkan dalam sunah Rasulullah saw, baik yang sudah diketahui secara langsung, maupun yang di-qiyas-kan kepadanya. Al-Qurthubi (wafat 671 H) dalam tafsir al-Jaami’ li ahkaam Al-Qur’an menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata-kata hakkun ma’lum (hak yang pasti) pada adz-Dzariyaat 19 adalah zakat yang diwajibkan, artinya semua harta yang dimiliki dan semua penghasilan yang didapatkan, jika telah memenuhi persyaratan
kewajiban zakat, maka harus dikeluarkan zakatnya. (Hafidhuddin, 2004:94) Sementara itu, para peserta Muktamar Internasional pertama tentang zakat di Kuwait (29 Rajab 1404 H bertepatan dengan tanggal 30 April 1986 M) telah sepakat tentang wajibnya zakat profesi apabila telah mencapai nishab, meskipun mereka berbeda pendapat dalam cara mengeluarkannya. Dalam pasal 4 ayat 2 huruf (h) Undang-undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, dikemukakan bahwa harta yang dikenai zakat adalah: a. Emas, perak, dan uang; b. Perdagangan dan perusahaan; c. Hasil pertanian, hasil perkebunan, dan hasil perikanan; d. Hasil pertambangan; e. Hasil peternakan; f. Hasil pendapatan dan jasa; dan g. Rikaz. (Hafidhuddin, 2004:95) Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis berpendapat bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun yang terkait dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan, apabila penghasilan dan pendapatannya mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Kewajiban zakat sudah banyak dilakukan oleh sebagian besar umat muslim yang berpenghasilan lebih, ada yang disalurkan langsung kepada penerima zakat, ada pula yang disalurkan melalui Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) maupun Lembaga Amil Zakat (LAZ). Apabila zakat profesi yang dilaksanakan bersumber dari pekerjaan atau
harta yang halal itu sangat mulia, tapi apabila zakat profesi tersebut berasal dari pekerjaan atau sumber harta yang haram, bagaimanakan jadinya. Atas
pertimbangan
itulah
peneliti
berusaha
untuk
mengungkapkan fakta yang terjadi dilingkungan tempat wanita tuna susila (WTS) di Dusun Jetak, Kelurahan Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang yang telah mengeluarkan zakat, baik zakat fithrah maupun zakat profesi. B. Fokus Penelitian 1.
Bagaimana konsep zakat profesi dalam Fikih dan Undang-undang?
2.
Bagaimanakah pandangan wanita tuna susila di Dusun Jetak tentang zakat profesi?
3.
Apakah motivasi
wanita tuna susila
di Dusun Jetak untuk
mengeluarkan zakat profesi? 4.
Bagaimana status zakat profesi wanita tuna susila bila ditinjau dari hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai setelah penelitian ini selesai adalah: 1.
Memahami konsep zakat profesi dalam hukum Islam dan Undangundang yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
2.
Penulis dapat menggali informasi mengenai pandangan wanita tuna susila muslim dalam membayar zakat profesi.
3.
Penulis dapat menggali informasi tentang bagaimana motivasi wanita tuna susila di Dusun Jetak dalam membayar zakat profesi.
4.
Penulis dapat mengetahui bagaimana status zakat profesi wanita tuna susila ditinjau dari hukum Islam.
D. Kegunaan Penelitian a. Secara teoritis 1. Penelitian ini bermanfaat untuk memperkaya wacana keilmuan, khususnya dalam bidang hukum Islam dan juga menambah bahan pustaka bagi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. 2. Memberikan informasi tentang wacana zakat profesi pada umumnya dan status zakat profesi bagi wanita tuna susila pada khususnya. b. Secara praktis 1. Digunakan untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar sarjana pada program studi Ahwal al-Syakhsiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. E. enegasan Istilah 1. Zakat Kata zakat menurut bahasa berarti barokah, tumbuh berkembang, suci, bersih, baik, dan terpuji. (Qardawi, 1988:34)
Sementara itu zakat menurut syara’ berarti kadar harta tertentu, yang diberikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat. (Rasjid, 1994: 192). Selain itu menurut Muhammad Daud Ali, zakat ialah : salah satu rukun Islam dan merupakan kewajiban umat Islam dalam rangka pelaksanaan dua kalimat syahadad. (Ali, 1988: 31). Dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dijelaskan: “Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”. 2. Zakat Profesi Zakat Profesi adalah zakat yang diberikan oleh setiap orang Islam, yang menyangkut imbalan profesi yang diterima, seperti gaji dan honorarium. (Alwi, 2007:1297). Secara umum zakat profesi sendiri adalah sebuah hasil dari sebuah kerja menguras otak dan keringat yang dilakukan oleh setiap orang, dan dapat berupa semua pemasukan dari hasil kerja dan usaha. Bentuknya bisa berupa gaji, upah, honor, persen, dan sebagainya. 3. Wanita Tuna Susila Menurut Soedjono D. adalah sebagai berikut: “Wanita Tuna Susila atau wanita pelacur adalah wanita yang menjual tubuhnya untuk memuaskan seksual laki-laki siapapun yang mengiginkannya, dimana wanita tersebut menerima sejumlah uang atau barang (umumnya dengan uang dari laki-laki pemakainya)”.
(http://research.amikom.ac.id/index.php/STI/ar cle/view/6979).
Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), pelacur memiliki arti wanita tuna susila. Wanita yang menjual dirinya. Menurut Juknis Depsos RI Wanita Tuna Susila (WTS) adalah: “Seorang wanita yang melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang diluar perkawinan yang sah dengan memperoleh imbalan uang, materi atau jasa”. Pelacuran dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan menyerahkan diri kepada umum untuk dapat melakukan perbuatan seksual dengan mendapatkan upah. Pelacuran lebih disebabkan oleh tidak masaknya jiwa seseorang atau pola kepribadiannya yang tidak seimbang. (http://kotakjin.blogspot.com/2012/01/korelasi-antara-polarehabilitasi.html) Secara
umum
wanita
tuna
susila
(WTS)
dapat
didefinisikan: wanita yang melakukan hubungan seks dengan lawan jenisnya secara berulang-ulang dan bergantian di luar perkawinan yang sah dengan mendapat imbalan uang, materi, dan/atau jasa.
F. Metode Penelitian 1. Pendekatan dan jenis Penelitian Pendekatan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, yaitu melakukan pembahasan terhadap kenyataan atau data yang ada dalam praktek, untuk selanjutnya dihubungkan dengan pendekatan secara langsung terhadap masyarakat Dusun Jetak yang berprofesi sebagai wanita tuna susila, jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif,
sebab bertujuan untuk melakukan atau memberi gambaran pelaksanaan pembayaran zakat profesi yang ada dalam masyarakat Dusun Jetak. 2. Kehadiran Peneliti Penelitian dan pengumpulan data-data di Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang, dimulai pada tanggal 16 Juni 2013 sampai dengan selesainya penelitian yang disertai dengan kegiatan akhir berupa penyusunan skripsi. Peneliti bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data, yang mana penulis langsung datang dan mewawancarai masyarakat yang berprofesi sebagai wanita tuna susila. 3. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada masyarakat muslim yang berprofesi sebagai wanita tuna susila yang berada di Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Adapun alasan pemilihan tempat adalah berkaitan dengan upaya peningkatan dan pemahaman pengetahuan mengenai Hukum Islam khususnya mengenai zakat secara benar sangatlah penting. Oleh karena itu, sumbangan ilmu pengetahuan mengenai zakat dari para ulama dan pemerintah daerah setempat perlu terus dikembangkan, sehingga pengetahuan keagamaan khususnya mengenai zakat dimasyarakat akan meningkat
4. Sumber Data Data merupakan suatu fakta atau keterangan dari obyek yang diteliti. Menurut Lofland (1984:47) dalam Moleong, (2007: 157) sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah katakata, tindakan selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen lain (sumber data tertulis, foto, dll). Sumber data dibagi menjadi dua yaitu: a. Data Primer Merupakan sebuah keterangan atau fakta yang secara langsung diperoleh melalui penelitian lapangan. Dalam hal ini adalah data yang didapatkan dari hasil wawancara peneliti dengan masyarakat Dusun Jetak yang berprofesi sebagai wanita tuna susila. b. Data Sekunder Merupakan keterangan-keterangan yang mendukung data primer, data sekunder adalah data-data yang diperoleh dengan cara penelitian kepustakaan melalui literatur maupun peneliti langsung ke lapangan untuk melakukan observasi. 5. Prosedur Pengumpulan Data a. Metode wawancara mendalam (depth interview)
Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan (Moloeng, 2004:186). Wawancara dilakukan kepada 10 (sepuluh) wanita tuna susila (WTS) muslim di Dusun Jetak. Metode wawancara dilakukan dengan tanya jawab secara lisan mengenai masalahmasalah yang ada, dengan berpedoman pada daftar pertanyaan sebagai rujukan yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode wawancara ini penulis gunakan untuk mengetahui adakah wanita tuna susila yang melaksanakan pembayaran zakat profesi dan bagaimana prosedur pembayaran zakat profesi tersebut. b. Metode Dokumentasi Metode dokumentasi adalah metode pengumpulan data dengan cara membaca dan mengutip dokumen-dokumen yang ada, berkaitan dan relevan. Dalam melaksanakan metode ini, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, peraturan rapat, catatan harian, agenda kegiatan, rincian anggaran, dan sebagainya. (Arikunto, 1989: 131). Metode ini digunakan untuk memperoleh data, sejarah, dan seluk beluk
yang terkait dengan kegiatan WTS di Dusun Jetak. Disini peneliti menggunakan dokumen dengan cara mengumpulkan data dengan mencatat data-data yang sudah ada. Dokumen tersebut berupa identitas diri dari para wanita tuna susila yang ada di Dusun Jetak. c. Metode Observasi Metode Observasi adalah metode pengumpulan data dengan jalan pengamatan dan pencatatan secara langsung dengan
sistematis
terhadap
fenomena-fenomena
yang
diselidiki. Sedangkan teknik observasi yang akan digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah terjun langsung kelapangan yang hendak diteliti. Metode observasi ini merupakan upaya memperoleh data dengan melihat atau mengamati obyek yang diteliti serta melakukan pencatatan terhadap kejadian yang penulis ketahui pada masyarakat WTS muslim di Dusun Jetak. d. Analisis Data Dalam penelitian, setelah data terkumpul, langkah selanjutnya adalah mengadakan analisis data, data mentah yang terkumpul tidak akan ada gunanya jika tidak dianalisis. Analisis data merupakan hal yang penting dalam metode ilmiah, karena dengan analisis data tersebut dapat diberi arti
dan makna yang berguna untuk menyelesaikan masalah penelitian. Dalam analisis ini penulis menggunakan analisis kualitatif yang mendiskripsikan dari tingkat kesadaran dan motivasi masyarakat yang berprofesi sebagai WTS untuk mengeluarkan zakat yang ada di Dusun Jetak.
e. Pengecekan Keabsahan Data Untuk mengetahui apakah data yang telah dikumpulkan dalam penelitian memiliki tingkat kebenaran atau tidak, maka dilakukan pengecekan data yang disebut dengan validitas data. Untuk menjamin validitas data akan dilakukan triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. (Moleong, 2006: 330). Validitas data akan membuktikan apakah data yang diperoleh sesuai dengan apa yang ada dilapangan atau tidak. Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan dikontrol oleh data yang sama dari sumber yang berbeda. Pengecekan
keabsahan
data
dilakukan
karena
dikhawatirkan masih adanya kesalahan atau kekeliruan yang terlewati oleh penulis, dengan cara menulis kembali hasil wawancara setelah selasai melakukan wawancara secara
langsung, ataupun mewawancarai ulang dari salah satu subyek penelitian untuk menambah data yang kurang bila diperlukan. f. Tahap-Tahap penelitian Langkah yang diambil peneliti untuk memulai suatu penelitian adalah dengan menentukan atau memilih topik penelitian, pengkajian buku-buku yang berkaitan dengan zakat dan buku lain yang berhubungan dengan Wanita Tuna Susila (WTS), pencarian informasi, menentukan lokasi yang akan diteliti, pencarian sumber-sumber dan prosedur pengumpulan data, serta menganalisis data yang ada. c. Sitematika Penulisan Untuk
memudahkan
dalam
pembahasan
dan
pemahaman yang lebih lanjut dan jelas dalam membaca penelitian
ini,
maka
disusunlah
sistematika
penulisan
penelitian, adapun sistematika penulisannya sebagai berikut: 1. Bab I pendahuluan; Bab ini berisi Latar Belakang Masalah, Fokus Penelitian, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitian, Penegasan Istilah, Metode Penelitian yang berisi tentang Pendekatan dan Jenis Penelitian, Kehadiran Peneliti, Lokasi Penelitian, Sumber Data, Prosedur Pengumpulan Data, Analisis Data, Pengecekan Keabsahan Data, Tahap-tahap Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
2. Bab II Kajian Pustaka; Bab ini berisi pembahasan tentang: menjelaskan tentang: Zakat profesi dalam tinjauan fiqh yang meliputi; Pengertian zakat profesi, tujuan, fungsi dan hikmah zakat profesi, waktu pengeluaran zakat profesi, sasaran zakat profesi, dan pembahasan zakat profesi dalam tinjauan perundang-undangan. 3. Bab III Paparan Data dan Temuan Penelitian; Bab ini membahas tentang: gambaran umum dari kondisi sosial keagamaan
masyarakat
Kecamatan
Bandungan,
Dusun
Jetak,
Kabupaten
Desa
Semarang
Duren, yang
meliputi: Sejarah dan lokasi Dusun Jetak, jumlah penduduk Dusun Jetak, potret kehidupan beragama, serta pemahaman tentang zakat profesi Wanita Tuna Susila (WTS) di Dusun Jetak, motivasi pembayaran zakat profesi, pola pembayaran zakat profesi, dan status hukum zakat profesi wanita tuna susila ditinjau dari hukum Islam . 4. Bab IV Pembahasan; Berisi tentang analisis pemahaman tentang zakat profesi, analisis motivasi pembayaran zakat profesi, analisis pola pembayaran zakat profesi, dan analisis status hukum zakat profesi wanita tuna susila ditinjau dari hukum Islam.
5. Bab V: Bab ini merupakan bab penutup atau bab akhir dari penyusunan skripsi yang penulis susun. Dalam bab ini penulis mengemukakan kesimpulan dari seluruh hasil penelitian, saran-saran ataupun rekomendasi dalam rangka meningkatkan pengetahuan bagi masyarakat.
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Zakat Profesi dalam Tinjauan Fiqh 1. Pengertian Zakat Profesi Definisi Profesi, Profesi berasal dari bahasa latin “Proffesio” yang mempunyai dua definisi yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam definisi yang lebih luas menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.
Bagi masyarakat yang memiliki tingkat kebahagian dan taraf hidup tinggi. Pada umumnya menempuh pendidikan tinggi dan memilki profesi yang sesuai dengan keinginan atau setidaknya memiliki usaha yang lebih baik daripada orang yang tingkat kebahagiaan dan taraf hidup yang rendah. Bagi mereka yang memiliki tingkat kebahagiaan dan taraf hidup yang rendah, demi untuk memperbaiki status sosial yang mereka miliki, mereka rela melakukan pekerjaan atau profesi yang dilarang oleh agama. Adapun ciri-ciri atau indikator sebuah profesi bagi mereka yang memiliki taraf hidup dan tingkat kebahagiaan tinggi, sebagai berikut:
· Memiliki pengetahuan khusus. · Adanya kaidah dan standar moral yang tinggi. · Mengabdi kepada kepentingan orang banyak. · Memiliki izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. · Dihuni oleh orang yang professional.
Selain pendapat diatas, ada pendapat lain yang lebih lengkap mengenai ciri-ciri atau indikator sebuah profesi, yaitu: 1. Menggunakan waktu penuh untuk menjalankan pekerjaannya. 2. Terikat oleh suatu panggilan hidup, dengan, memperlakukan pekerjaannya dengan seperangkat norma kepatuhan dan perilaku. 3. Dilakukan atas dasar pengetahuan dan kecakapan/keahlian yang khusus dipelajari dalam jangka waktu yang panjang.
4. Ada lembaga pendidikan khusus yang menghasilkan pelakunya dengan program dan jenjang pendidikan yang baku serta memiliki standar akademik yang memadai dan yang bertanggung jawab tentang pengembangan ilmu pengetahuan yang melandasi profesi itu. 5. Ada standar unjuk kerja yang baku dan jelas. 6. Punya derajat otonomi yang tinggi. 7. Selalu menambah pengetahuan jabatan agar terus tumbuh dalam jabatan. 8. Mengutamakan layanan sosial dan pengabdian masyarakat. 9. Memiliki kode etik jabatan. 10.
Ada
organisasi
mempertahankan
yang
mewadahi
para
dan
memperjuangkan
pelakunnya
untuk
eksistensi
dan
kesejahteraannya. 11. Ada sistem imbalan terhadap jasa layanannya yang adil dan baku. 12. Ada pengakuan masyarakat terhadap pekerjaan itu sebagai suatu profesi. (h p://www.slideshare.net/hericahyono16/konsep-dan-ciri-suatu-profesi17985453)
Pengetahuan yang berkembang dari dahulu di masyarakat kita mengenai zakat ialah beras yang dikeluarkan seseorang pada akhir Ramadhan sebesar 2,5 kg (zakat fithrah), padahal dalam AlQur’an dan Hadis terdapat banyak sekali pengaturan harta yang wajib
untuk dikeluarkan zakatnya. Zakat profesi (penghasilan) adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi (pekerjaan) seseorang, baik dokter, arsitek, pengacara, notaris, da’i, karyawan, guru, tukang kayu, dan lain-lain. (Anshori, 2006:86)
Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu, hingga dibentuknya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat oleh pemerintah. Dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (2) Zakat adalah: “Harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”. Hasil dari pendapatan dan jasa atau sering disebut dengan zakat profesi merupakan salah satu harta yang dikenai zakat, sesuai dengan pasal 4 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan “Zakat Mal meliputi (pendapatan dan jasa)”. Zakat adalah satu-satunya rukun Islam yang berkaitan langsung dengan persoalan materi, meskipun benar bahwa haji juga bersentuhan dengan soal materi, tetapi haji hanya sebatas pada pribadi individu saja. Dengan membayar zakat merupakan salah satu langkah nyata untuk mengentaskan kemiskinan. Baik dalam undang-undang yang ditetapkan pemerintah ataupun dalam memahami dalil-dalil agama mengenai zakat, dasar zakat profesi merupakan pengalihan
kekayaan (materi) yang dimiliki kalangan orang yang mendapat gaji untuk kemudian didistribusikan pada fakir miskin yang membutuhkan, dengan tujuan suatu keadilan dan pemerataan. Zakat merupakan bentuk taqorrub (pendekatan diri) kepada Allah, yang merupakan sarana penting untuk membersihkan jiwa manusia dari sifat-sifat tercela seperti kikir, rakus, dan egois. Sebagaimana
zakat
juga
dapat
memberikan
solusi
untuk
menanggulangi masalah krisis ekonomi yang menimpa umat manusia, karena penulis berpendapat seorang petani saja diwajibkan membayar zakatnya, maka para dokter, pengusaha, pengacara, hakim, dan berbagai profesi lain lebih utama untuk membayar zakat profesinya, karena selain kerjanya lebih ringan, gajinya dalam beberapa bulan sudah melebihi nishab. 2. Tujuan, Fungsi, dan Hikmah Zakat Profesi Dasar hukum wajib zakat disebutkan baik dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadis, yang diantaranya sebagai berikut:
y7 s?4qn=|¹ ¨b Î) (öN Îgø‹n=tæ Èe@ |¹ ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öN èd ãÎdgsÜ è? Zps%y‰ |¹ öN ÏlÎ;ºuqøBr& ô` ÏB õ‹ è{ ÇÊÉÌÈ íO ŠÎ=tæ ì ‹ÏJ y™ ª! $#ur 3öN çl°;Ö` s3 y™ Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103)
Guna menjelaskan tujuan, fungsi, dan hikmah zakat profesi seperti yang disyaratkan dalam surat at-Taubah ayat 103 diatas, secara teologis kewajiban zakat diberlakukan untuk membersihkan harta dari berbagai syubhad dan sekaligus membersihkan jiwa pemiliknya dari berbagai kotoran rohani. Dan secara sosial menunjukkan rasa solidaritas dan kepedulian orang-orang kaya kepada orang-orang miskin sehingga terjalin persaudaraan yang kokoh di masyarakat yang saling menolong dan saling menyayangi. (http://tanbihun.com/fikih/bashul-masail/zakat-profesi/) Fungsi dan Hikmah Zakat Profesi, antara lain: a. Zakat menjaga dan memelihara harta dari incaran mata dan tangan para pendosa dan pencuri. b. Zakat merupakan pertolongan bagi orang-orang fakir dan orangorang yang sangat memerlukan bantuan. Zakat bisa mendorong mereka untuk bekerja dengan semangat –ketika mereka mampu melakukannya- dan bisa mendorong mereka untuk meraih kehidupan yang layak. c. Zakat menyucikan jiwa dari penyakit kikir dan bakhil. Ia juga melatih seorang mukmin untuk bersifat pemberi dan dermawan. d. Zakat diwajibkan sebagai ungkapan syukur atas nikmat harta yang telah dititipkan kepada seseorang. (Zuhayly, 1995:86-88)
3. Waktu Pengeluaran Zakat Profesi Untuk menentukan waktu pengeluaran zakat profesi baik itu berupa gaji, upah, penghasilan atau sejenisnya, Yusuf Qardhawi menyarankan untuk menangguhkan pengeluaran zakat kekayaannya yang lain yang sudah jatuh tempo zakatnya, bila dia tidak khawatir penghasilannya itu akan terbelanjakan olehnya sebelum jatuh tempo. Alasannya, agar tidak terjadi pewajiban pembayaran dua kali pada keseluruhan kekayaan dalam satu tahun. Namun menurut Yusuf Qardhawi, keterangan-keterangan tentang tidak wajib pajak atas harta penghasilan (profesi) sebelum melewati masa satu tahun, tidak cukup kuat sehingga menimbulkan perbedaan pendapat yang tajam diantara para ulama’. Siapa yang mengusahakan sesuatu harta, yakni yang diperhitungkan tahunnya, sedangkan ia tidak mempunyai harta yang lain, kemudian mencapai satu nishab, kemudian dengan hasil usaha itu mencapai satu nishab, dimulailah penghitungan tahun zakat dari saat itu nanti bila cukup masa satu tahun, wajiblah ia mengeluarkan zakat. Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah: 267
Nä3 s9 $oYô_ t÷z r&!$£J ÏBur óO çFö;|¡ Ÿ2
$tB ÏM »t6ÍhŠsÛ ` ÏB (#qà)ÏÿRr&(#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$#$yg•ƒr'¯»tƒ
b r& Hw Î) ÏmƒÉ‹ Ï{ $t«Î/ NçGó¡ s9ur tb qà)ÏÿYè? çm÷ZÏB y] ŠÎ7y‚ ø9$# (#qßJ £J u‹s? Ÿw ur (ÇÚ ö‘F{ $# z` ÏiB ÇËÏÐÈ î‰ ŠÏJ ym ;ÓÍ_xî ©! $#¨b r&(#þqßJ n=ôã $#ur 4Ïm‹Ïù (#qàÒ ÏJ øóè?
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah: 267) Ayat tersebut diturunkan sebagai perintah dari Allah bagi manusia yang beriman untuk mengeluarkan zakat dari hasil manusia yang
baik-baik.
Karena
seorang
muslim
dianjurkan
untuk
menyegerakan dalam membayar zakat , tidak diperkenankan menundanunda dalam pelaksanaan kewajiban tersebut. Dari kata “kasabtum” berarti semua hasil kerjamu, baik berupa kerja sendiri maupun kerja dari mengambil upah, karena Islam menganggap semua penghasilan dan upah kerja yang telah mencapai nishab itu wajib dizakati, yaitu para petani, peternak, dan pedagang yang aturan zakatnya sudah ada sejak dulu pada masa nabi, sampai berkembangnya zaman modern hingga munculnya penghasilan dari gaji/upah dari pekerjaan-pekerjaan orang modern yang penghasilannya mencapai nishab, atau bahkan lebih dari nishab. Zakat penghasilan yang telah mencapai nishab dikeluarkan setiap kali menerima/gajian, diqiyaskan dengan waktu pengeluaran zakat tanaman setiap kali panen. Sebagaimana Allah SWT berfirman:
tí ö‘¨“9$#ur Ÿ@ ÷‚ ¨Z9$#ur ;M »x© râ÷êtB uŽöxî ur ;M »x© rá÷è¨B ;M »¨Yy_ r't± Sr&ü“ Ï%©!$#uqèd ur * (#qè=à2
47mÎ7»t± tFãB uŽöxî ur $\kÈ:»t± tFãB šc
$¨B”9$#ur šc
qçG÷ƒ¨“9$#ur ¼ã&é#à2 é&$¸ÿÎ=tFøƒèC
= Ïtä† Ÿw ¼çm¯RÎ)4(#þqèùÎŽô£ è@Ÿw ur (¾ÍnÏŠ$|Á ym uQ öqtƒ¼çm¤)ym (#qè?#uäur tyJ øOr&!#sŒÎ)ÿ¾ÍnÌyJ rO ` ÏB ÇÊÍÊÈ šú
üÏùÎŽô£ ßJ ø9$#
Artinya: “Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon korma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa (bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). makanlah dari buahnya (yang bermacam-macam itu) bila Dia berbuah, dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin); dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan”. (QS: Al-An’Am: 141) Zakat profesi itu bisa dilaksanakan setahun sekali atau sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali. Yang jelas, bila ditotal setahun besar zakat yang dikeluarkan harus sama. Namun zakat tersebut wajib dikeluarkan, jika penghasilannya seandainya ditotal setahun setelah dikurangi kebutuhannya selama setahun melebihi nishab, dengan ketentuan nishab setara dengan 85 gram emas 24 karat, dan kadarnya sebesar 2,5% . jika tidak mencapai nishab, tidak wajib untuk dizakati. (Hafidhuddin, 2002:94) Semua penghasilan melalui kegiatan profesional tersebut, apabila telah mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. Hal ini berdasarkan nash-nash yang bersifat umum, misalnya firman Allah
dalam Surat At-taubah:103, Surat Al-baqarah:267. Dan juga firman Allah dalam Surat Adz-dzariyaat
ÇÊÒÈ ÏQ rãós pRùQ$#ur È@ ͬ!$¡ =Ïj9 A, ym öN ÎgÏ9ºuqøBr&þ’Îûur Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (QS: Adz-Azariyaat:19) 4. Sasaran Zakat Profesi Pekerjaan yang menghasilkan uang ada dua macam, pertama adalah pekerjaan yang dikerjakan sendiri tanpa tergantung pada orang lain, berkat ketrampilan tangan maupun otak. Penghasilan yang diperolaeh dengan cara ini merupakan penghasialan profesional, seperti penghasilan seorang dokter, insinyur, advokad, seniman, pengrajin, penjahit, dan lain-lain. Kedua, pekerjaan yang dikerjakan seseorang buat pihak lain, baik pemerintah, perusahaan, maupun perorangan dengan memperoleh upah, gaji, atau honorarium. Berdasarkan uraian diatas, bahwa setiap keahlian dan pekerjaan apapun yang halal, baik yang dilakukan sendiri maupun terikat dengan pihak lain, seperti seorang pegawai atau karyawan apabila penghasilannya mencapai nishab, maka wajib dikeluarkan zakatnya. (Suyitno, dkk, 2005:32) Pekerjaan dibidang pertanian, peternakan, dan perdagangan aturan zakatnya sudah ada sejak zaman dahulu, terdapat dalam kitab-
kitab fiqh terdahulu, itu karena pekerjaan-pekerjaan tersebut sudah ada sejak dulu. Sementara pekerjaan profesional di kantor-kantor, baik swasta atau negeri, pabrik-pabrik, tidak terdapat dalam kitab-kitab terdahulu. Kemungkinan para ustadz atau kyai yang diikuti oleh masyarakat itu masih merujuk pada kitab-kitab terdahulu. Karena jelas tidak akan ditemukan pendapat yang mengatur soal zakat profesi. Ulama’-ulama yang hidup di zaman dahulu, yang menyusun kitab-kitab fiqh itu, belum mengenal mekanisme-mekanisme bisnis yang banyak ditemukan di zaman modern seperti saat ini. Secara singkat, lapangan pekerjaan waktu itu masih sebatas yang kasar-kasar, turun ke lapangan langsung, berdagang dipasar, pergi kesawah dan ladang. Padahal kini zaman sudah modern, praktek bisnis sudah berkembang pesat, para pekerja “berkerah putih” penghasilannya bisa dipastikan lebih besar daripada mereka yang hanya mengandalkan ladang dan sawah, atau yang harus berjaga seharian di toko. Khalifah Abu Bakar Ash-Shidiq bertekat memerangi orangorang yang sholat namun tidak mengeluarkan zakat, ketegasan sikap ini menunjukkan bahwa perbuatan meninggalkan zakat adalah suatu kedurhakaan dan apabila dibiarkan, maka akan memunculkan berbagai kedurhakaan dan kemaksiatan lain. (Hafidhuddin, 2002:2) Disamping itu, adanya pendapat dari sahabat dan para ulama’ fiqh yang mengatakan bahwa penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya
apabila telah mencapai nishab, tetapi menurut ketentuan wajib zakat atau penghasilan itu bila masih tersisa diakhir tahun dan cukup nishab. Tetapi apabila harus ditetapkan nishabnya untuk setiap kali upah, gaji, atau pendapatan yang diterimanya, berarti sama saja membebaskan kebanyakan profesi yang menerima gaji beberapa kali pembayaran dan jarang sekali cukup nishab dari kewajiban zakat. Sedangkan bila seluruh gaji itu dari satu waktu dikumpulkan akan cukup nishab bahkan akan mencapai beberapa nishab, begitu juga halnya kebanyakan para pegawai dan para pekerja. Menurut Yusuf Qardhawi, atas dasar ini dapat dikatakan bahwa satu tahun merupakan satu kesatuan menurut pandangan pembuat syari’at, begitu pula dengan pandangan ahli perpajakan modern. Oleh karena itulah ketentuan setahun diberlakukan dalam zakat. Faktanya adalah para pemerintah mengatur gaji pegawainya berdasarkan ukuran tahun, meskipun dibayarkan per bulan karena kebutuhan pegawai yang mendesak. Berdasarkan itulah zakat penghasilan bersih seorang pegawai dan golongan profesi dapat diambil dari dalam setahun penuh, jika pendapatan bersih setahun itu mencapai satu nishab. Semoga pendapat-pendapat sebagian ulama’ fikih yang menegaskan bahwa harta penghasilan wajib zakat dan cara mengeluarkan zakatnya seperti yang diterangkan mereka, dapat membantu dalam menetapkan kebijaksanaan wajib zakat atas penghasilan berbagai profesi.
Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan zakat atas harta benda yang mencapai nishab dan bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pemiliknya. Hal ini untuk menetapkan siapa yang termasuk golongan orang kaya yang wajib zakat. Zakat hanya dibebankan pada orang-orang kaya tersebut. Kriteria orang kaya yang wajib zakat atas hartanya disebabkan telah memenuhi persyaratan lebih dari cukup juga sejalan dengan firman Allah SWT. Surat Al-Baqarah ayat 219:
ßì Ïÿ»oYtBur ׎Î7Ÿ2
ÖN øOÎ) !$yJ ÎgŠÏù ö@ è% (ÎŽÅ£ ÷yJ ø9$#ur ÌôJ y‚ ø9$# ÇÆ
tã y7 tRqè=t«ó¡ o„ *
È@ è% tb qà)ÏÿZム#sŒ$tB štRqè=t«ó¡ o„ur 3$yJ ÎgÏèøÿ¯R ` ÏB çŽt9ò2 r& !$yJ ßgßJ øOÎ)ur Ĩ $¨Z=Ï9 ÇËÊÒÈ tb rã©3 xÿtFs? öN à6 ¯=yès9 ÏM »tƒFy $#ãN ä3 s9 ª! $#ßûÎiüt7ムšÏ9ºx‹ x. 3uqøÿyèø9$# Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya". dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: " yang lebih dari keperluan." Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir”, (QS. AlBaqarah:219) Berdasarkan keterangan diatas, penghasilan yang mencapai nishab seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar bagi berbagai profesi wajib dikenakan zakat. Sehingga pada akhirnya, dengan adanya batasan nishab tersebut memungkinkan membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji kecil (belum mencapai nishab) dari
kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya pada orangorang yang berpenghasilan tinggi (mencapai bahkan melebihi nishab). Oleh karenanya akan tercapai rasa keadilan dan kesamaan hak antar sesama, serta terpenuhinya tujuan syar’i dari zakat, yaitu kesejahtaraan bagi orang yang tidak mampu (miskin). Lain halnya dengan Yusuf Qardhawi, yang juga termasuk dalam ulama’ kontemporer dan seorang ahli fikih kontekstual. Yusuf Qardhawi berpendapat dengan argumentasi bahwa orang yang memperoleh gaji dan pendapatan dalam bentuk uang, maka yang paling baik adalah menetapkan nishab gaji itu berdasarkan nishab uang. Oleh karenanya, berdasarkan pendapat Yusuf Qardhawi tersebut nishab dan prosentase zakat profesi adalah disamakan dengan zakat uang, emas, dan perak senilai 85 gram dan kadarnya 25%. Zakat merupakan sendi pokok ajaran Islam yang menyangkut sosial ekonomi dalam rangka mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur, yang merata materiil dan spiritual. Dengan melihat kesenjangan sosial ekonomi masyarakat sekarang ini, rasanya ada salah satu indikator yang menunjukkan bahwa zakat masih belum difungsikan untuk meraih tujuan sosial ekonomi zakat yang sebagaimana dicita-citakan oleh syara’, hal ini disebabkan antara lain oleh faktor-faktor yang menghambat kepada seorang muslim ketika ingin menunaikan zakat, salah satunya adalah kurangnya kesadaran dari masyarakat untuk mengeluarkan zakat ketika sudah dipenuhi
syarat dan rukunnya ataukurangnya pemahaman pengetahuan tentang zakat profesi. Pelaksanaan fiqh adalah wajib dan mendesak karena seorang mujtahid pada dasarnya harus melaksanakan apa yang dicapai melalui ijtihadnya, yaitu dalam kaitannya dengan hukum Allah SWT bagi dirinya, adapun yang bukan mujtahid, pelaksanaannya hendaknya berdasarkan fatwa seorang mujtahid karena baginya tidak ada jalan lain untuk mengetahui hukum syari’ah selain mengikuti fatwa tersebut. (Zuhayly, 1995:29) Untuk itu wajib hukumnya bagi setiap muslim untuk mengetahui ilmu Allah, apalagi ilmu yang berhubungan dengan ibadah yang ditetapkan, seperti sholat, puasa, dan zakat. Maka dari itu, perlu adanya pengetahuan dan pemahaman yang berkaitan dengan ibadah tersebutagar bisa berjalan sesuai dengan syari’at Allah SWT. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa diantara hal yang sangat penting untuk mendapatkan perhatian kaum muslimin saat ini adalah penghasilan atau pendapatan yang diusahakan melalui keahliannya, baik keahlian yang dilakukannya sendiri maupun secara bersama-sama. Yang dilakukan sendiri, misalnya profesi dokter, arsistek, ahli hukum, penjahit, pelukis, mungkin juga da’i atau mubaligh, dan lain sebagainya. Yang dilakukan bersama-sama, misalnya pegawai (pemerintah maupun swasta) dengan menggunakan
sistem upah atau gaji. Penghasilan atau pendapatan semacam ini dalam fikih dikatakan sebagai al-maal al-mustafaad. (Didin Hafidhuddin, 2002:93)
B. Zakat Profesi dalam Tinjauan Perundang-undangan Di dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 mengenai pengelolaan zakat, disebutkan bahwa salah satu harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah hasil pendapatan dan jasa. Memang benar zakat atas penghasilan (profesi) tidak banyak dikenal di zaman Rasulullah, karena saat itu kaum muslimin lebih banyak berprofesi sebagai petani, peternak, atau pedagang, sehingga penghasilan berbagai profesi baru di zaman sekarang tidak banyak dibahas oleh ulama zaman dahulu. Namun bukan berarti tidak ada riwayat khusus tentang zakat profesi yang pernah diterapkan terhadap gaji atau penghasilan seseorang. Contoh, di zaman Umar bin Abdul Aziz yang memberi upah kepada Abu Ubaid atas pekerjaannya dimana upah yang diterima memenuhi nishab
zakat,
sehingga diambil zakat atas upah yang diterimanya. Dengan telah diundangkannya Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, terlihat dengan jelas bahwa: a. Penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu, dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
b. Zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan rakyat yang kurang mampu. Pemerintah pertama kali mengatur kaitan antara zakat yang dibayarkan oleh orang pribadi dan badan yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam dengan pajak penghasilan yang dibayarkan kepada negara yang merupakan kewajiban kenegaraan dari setiap warga negara dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dan dan Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000, yang sebelumnya tidak pernah diatur. Dengan demikian zakat profesi dalam hal ini mempunyai kekuatan hukum, tinggal pribadi masyarakat sendiri yang bagaimana pemenuhan kewajiban zakat profesinya dapat terlaksana. Dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999, pasal 11 ayat (2) yang kemudian direvisi oleh DPR dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011, pasal 4 ayat (2), tentang pengelolaan zakat dikemukakan tentang harta yang dikenai zakat, yaitu: a. Emas, perak, dan logam mulia lainnya; b. Uang dan surat berharga lainnya; c. Perniagaan; d. Pertanian, perkebunan, dan kehutanan; e. Peternakan dan perikanan;
f. Pertambangan; g. Perindustrian; h. Pendapatan dan jasa; dan i. Rikaz Dalam penjelasan terkait dengan pasal tersebut terutama dalam huruf h, dinyatakan bahwa sudah cukup jelas. Tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai pendapatan dan jasa, apakah itu bersumber dari harta halal atau haram, itu berarti segala macam pendapatan dan jasa wajib dikenakan zakat. Sementara dalam Undang-undang pajak Nomor 17 Tahun 2000 dalam pasal 9 ayat (1), dikemukakan bahwa untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan; (g) harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan dan warisan sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b, kecuali zakat atas penghasilan nyata-nyata dibayarkan wajib zakat, orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau wajib zakat badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk agama Islam kepada Badan Amil Zakat Naasional (BAZNAS) atau Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk dan disahkan oleh pemerintah. Penulis menyimpulkan adanya keterkaitan antara Undang-undang zakat dan pajak yang dibuat oleh pemerintah, terutama dari pajak
penghasilan begitu juga peran BAZNAS/LAZ dalam kinerjanya sebagai amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah diharapkan meningkatkan fungsinya sebagai badan amil yang profesional, amanah dan dapat dipercaya untuk bisa meyakinkan masyarakat, memiliki program kerja yang jelas dan terencana, sehingga mampu mengelola zakat dengan baik. Zakat adalah kewajiban seorang umat muslim yang memiliki harta dalam jumlah tertentu sesuai dengan perintah Allah. Selain memiliki kewajiban zakat, seorang muslim juga merupakan seorang warga negara, ia juga memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Jadi, seorang muslim memiliki kewajiban ganda, untuk membayar zakat dan pajak. Oleh karena itu, untuk meringankan beban tersebut, dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pasal 22, berbunyi: “zakat yang dibayarkan oleh muzaki kepada BAZNAS atau LAZ dikurangkan dari penghasilan kena pajak”. Dimaksudkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak. Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak.
BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN
A. Gambaran Umum Kondisi Masyarakat Dusun Jetak, Desa Duren, Kecamatan Bandungan Dusun Jetak merupakan satu wilayah yang berada di bawah Pemerintah Kelurahan Duren, Kecamatan Bandungan, Kabupaten Semarang. Wilayah Dusun Jetak terdiri dari 5 RT, yaitu: RT 1, RT 2 (Jetak Lor), RT 3 (Nglempong), RT 4, dan RT 5 (Jetak Dukuh). Dusun Jetak terdiri dari 293 kepala keluarga, dimana penduduknya berjumlah 1023 jiwa. Penduduk Dusun Jetak mayoritas beragama Islam, adapun pekerjaan atau profesinya mayoritas sebagai petani dan karyawan. Dusun Jetak beriklim tropis dan berhawa sejuk. Dusun Jetak berada dekat dengan pusat keramaian di Kecamatan Bandungan, karena berbatasan dengan berbagai tempat hiburan, seperti: tempat karaoke, perhotelan, panti pijat, maupun panti mandi uap. Sebelah barat Dusun Jetak berbatasan dengan Dusun Junggul, Kelurahan Bandungan, sebelah utara berbatasan dengan Dusun Legowo, Kelurahan Duren, sebelah timur berbatasan dengan Dusun Legok Sari, Kelurahan Duren, dan sebelah selatan berbatasan dengan Dusun Ngunut, Kelurahan Bandungan. (sumber: buku catatan data dan kegiatan warga kelompok PKK RW II, Dusun Jetak, Desa Duren)
B. Pemahaman Tentang Zakat Profesi Masyarakat Muslim WTS di Dusun Jetak Agama Islam tidak mewajibkan zakat atas seluruh harta benda, sedikit atau banyak, tetapi mewajibkan atas harta benda yang telah mencapai nishab dan bersih dari hutang, serta lebih dari kebutuhan pokok pemiliknya, jadi pembayaran zakat profesi tinggal pribadi masyarakat sendiri yang bagaimana pemenuhan kewajibannya dapat terlaksana. Pembayaran zakat profesi yang dilakukan oleh masyarakat muslim akan tidak menjadi masalah, karena itu sebagai wujud melaksanakan perintah dari Allah, namun apabila itu dilaksaksanakan oleh wanita tuna susila, apakah akan menjadi masalah, karena mereka juga muslim dan memiliki kewajiban untuk menjalankan perintah agama, melaksanakan rukun Islam, membersihkan harta, ataupun untuk sosial tolong-menolong antar sesama. Terlepas dari itu semua, penulis beranggapan bahwa sebagian dari para wanita tuna susila di Dusun Jetak yang membayarkan zakatnya, tidak semua mengerti tentang dasar hukum, syarat wajib, maupun penghitungan dalam penentuan zakat yang mereka keluarkan. Jadi, yang penulis ketahui dari penelitian yang penulis lakukan pada sebagian WTS Dusun Jetak, sebagian besar dari para WTS itu tidak mengerti atau tidak begitu merujuk pada perhitungan zakat yang benar, yang mereka lakukan hanyalah memenuhi kewajiban mereka untuk membayarkan zakat dari pekerjaan atau profesinya, bahkan tanpa mempertimbangkan harta apa dan dari mana dia memperoleh harta tersebut.
Sulitnya mencari subyek penelitian yang mengeluarkan zakat, sehingga penulis hanya dapat mewawancarai 10 WTS, dan dari 10 WTS tersebut, hanya 3 orang yang mengeluarkan zakat profesi, dari 10 responden yang ada, semuanya merupakan para WTS yang difokuskan oleh peneliti dalam penelitian pengeluaran zakat profesi. Sebelum penulis paparkan lebih jauh lagi dapat dilihat dalam tabel :
Tabel 3.1 Data Pemahaman Zakat Profesi No.
1.
2.
3.
4.
5.
Aspek
Pengertian Zakat Profesi
Hukum Zakat Profesi
Kualitas Pemahaman Paham
4 orang
Kurang Paham
2 orang
Tidak Paham
4 orang
Wajib
3 orang
Tidak Tahu
5 orang
Tidak Wajib
2 orang
Paham
2 orang
Dasar Hukum Zakat Kurang Paham Profesi Tidak paham
Syarat Wajib Zakat
Waktu Pembayaran
Jumlah
1 orang 7 orang
Paham
3 orang
Kurang Paham
1 orang
Tidak Paham
6 orang
Setiap Tahun Sekali
2 orang
Setiap Bulan Sekali
1 orang
Tidak Tahu
7 orang
Dari tabel diatas penulis akan menjelaskan lebih rinci dari data para WTS yang ada di Dusun Jetak, yang diambil dari 10 orang responden, dimulai dari pemahaman zakat profesi, kewajiban zakat profesi, dasar hukum zakat profesi, syarat wajib zakat profesi, dan pemahaman waktu pembayaran zakat profesi. Dari pemahaman WTS muslim di Dusun Jetak tentang pembayaran zakat profesi, 4 orang responden (40%) dari mereka mengaku paham dengan pengertian zakat profesi, ada yang mengatakan zakat profesi itu adalah diambil dari upah pekerjaan yang lebih dari kebutuhan sehari-hari, ada yang mengetahui pengertian zakat profesi dari salah satu tukang pijit yang biasa memijit dia dan penjual kelapa muda yang sering dijadikan tempat curhat bahkan guru spiritualnya, ada pula yang mengetahui pengertian zakat profesi lewat media elektronik, dengan menjelaskan kalau dari gaji yang responden terima itu ada wajib zakat sebesar 2,5%. Dari 10 responden yang ada, hanya 3 orang yang mengatakan bahwa zakat profesi itu wajib dikeluarkan zakatnya, dengan berbagai alasan baik itu pelaksanaan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim maupun berbagai alasan sosial keagamaan ataupun kondisi keuangan yang dianggap telah lebih dari kebutuhan sehari-hari para responden. Dari pemahaman mereka tentang dasar hukum zakat profesi, 3 orang responden mengaku mengetahui dasar hukum zakat
profesi ada yang melalui guru spiritual, buku, maupun media elektronik yang ada, seperti televisi maupun internet. Pemahaman syarat wajib zakat wanita tuna susila yang ada di Dusun Jetak 2 orang dari 10 responden mengaku paham tentang syarat wajib pengeluaran zakat profesi, ada yang mengatakan bila harta itu milik sendiri dan lebih dari kebutuhan sehari-hari maka wajib zakat, ada pula yang mengatakan karena milik sendiri, merasa lebih dari cukup, dan mencapai satu tahun maka wajib mengeluarkan zakat sebesar 2,5%. Waktu pembayaran zakat profesi WTS di Dusun Jetak dari 10 responden hanya 2 orang yang membayar setahun sekali, mereka yang membayar setahun sekali sudah merupakan ritual tahunan, adapun pengeluaran zakat yang mereka keluarkan secara langsung, baik kepada pengemis atau anak-anak yatim piatu. Biasanya mereka mengeluarkan zakat profesi tersebut pada bulan ramadhan, karena menurut mereka di bulan ramadhan selain bulan yang penuh ampunan bagi umat Islam juga bertepatan dengan kewajiban membayar fitrah, jadi selain berharap mendapat ampunan atas segala dosa mereka, mereka juga berharap dapat membersihkan raga dan juga harta mereka, yang menurut merekapun itu bukan harta yang berkah. Sementara 1 orang responden membayar sebulan sekali, sementara 7 responden lainnya memilih tidak membayar zakat, ada salah satu responden yang mengatakan bahwa harta yang kotor mau dibersihkan dengan jalan seperti apapun akan tetap kotor, jadi dia memilih untuk tidak membayar zakat, baik zakat fithrah, zakat mal, maupun zakat
atas profesinya, dia akan melaksanakan semua kewajibannya suatu saat nanti apabila dia benar-benar bertaubat. C. Motivasi Pembayaran Zakat Profesi Dari 10 responden yang ada, dimana kesemuannya adalah wanita tuna susila, hanya ada 3 orang responden yang melaksanakan atau mengeluarkan zakat atas profesinya. Selebihnya beranggapan bahwa harta kotor mau dibersihkan seperti apapun akan tetap kotor. mereka yang beranggapan demikian akan mengeluarkan zakat kelak apabila sudah benar-benar bersih atau taubat. Sementara mereka yang membayarkan atau mengeluarkan zakat atas profesinya semata-mata ingin tetap melaksanakan kewajiban kepada sang pencipta tanpa mempedulikan profesi mereka. mereka hanya berharap zakat dan niat baik yang mereka lakukan dapat menjadi salah satu sarana mereka menuju taubat. Dari 10 responden yang ada, penulis memperoleh 3 nama yang mengeluarkan zakat, baik itu zakat fitrah maupun zakat atas profesinya, oleh karena itu penulis melakukan pendekatan yang lebih mendalam kepada 3 orang responden tersebut, adapun 3 orang responden tersebut atas nama Surip alias Rita (alamat asli Sonorejo, Blora), Cucun (alamat asli Kutawaringin), dan yang terakhir Wulan Eliana (alamat asli Gajahmekar, Kutawaringin). Dari ketiganya diperoleh pernyataan yang hampir
sama,
mereka
mengeluarkan
zakat
karena
ingin
tetap
melaksanakan kewajiban mereka sebagai umat Islam, selain itu mereka
juga menjadikan kebiasaan zakat tersebut sebagai sarana untuk membersihkan harta mereka yang diperoleh bukan dari jalan halal, dan juga sebagai sarana menuju taubat. Wulan berpendapat bahwa “Zakat adalah ibadah yang mencakup segala aspek, selain untuk menunjukkan kepatuhan kepada agama, membersihkan raga dan harta benda, zakat juga mencakup ibadah sosial kepada sesama”. Mereka sadar bahwa sumber harta yang mereka peroleh adalah harta yang tidak semestinya, namun mereka hanya berharap ketulusan niat merekan dapat menjadi amal yang baik untuk mereka, karena yang menentukan halal haram, diterima atau tidaknya amal seorang hamba hanyalah Allah semata. Mereka para WTS yang mengeluarkan zakat dengan berbagai alasan atau motivasi, baik itu karena solidaritas sosial mereka yang tinggi, niat baik untuk membantu sesama, ataupun semata-mata untuk menunjukkan kepatuhan mereka pada Agama dan sang pencipta. Sejauh yang penulis ketahui,
para responden
yang
melaksanakan atau
mengeluarkan zakat, mereka belum tahu atau belum bisa membedakan antara zakat dengan amal sedekah, karena mereka tidak banyak yang bisa memahami harta lebih yang mereka keluarkan untuk zakat profesi itu seberapa banyak, yang mereka tahu hanyalah zakat atas diri dan hartanya atau menyisihkan sebagian dari hartanya untuk orang lain yang lebih membutuhkan, membersihkan harta yang mereka miliki, dan sebagai sarana terpenuhinya kewajiban kepada agama untuk membayar zakat, serta sebagai amal ibadah seorang muslim yang baik kepada agamanya.
Dari ketiga WTS yang yang mengeluarkan zakat dan penulis wawancarai lebih dalam, kemudian lebih lanjut penulis tanya tentang perbedaan antara zakat dengan pajak. Mereka semua menjawab berbeda antara zakat dengan pajak, ada yang mengatakan zakat itu kewajiban terhadap agama, dan pajak sendiri adalah kewajiban terhadap negara atau pemerintah. Surip mengatakan bahwa “Zakat itu untuk membantu orangorang yang tidak mampu atau berhak menerima, zakat lebih pada hak pribadi
masing-masing,
sebagai
tanggung
jawab
sosial
dalam
mengeluarkan zakat, sementara pajak ada kaitannya dengan negara yang mana pajak itu sendiri digunakan untuk pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jembatan, jalan raya, atau fasilitas-fasilitas lainnya”. D. Pola Pembayaran Zakat Profesi Pola pembayaran zakat profesi yang dilaksanakan atau dikeluarkan oleh WTS di Dusun Jetak adalah secara langsung memberikannya kepada yang berhak menerimanya, daripada melaui BAZNAS/LAZ, atau membayarkan kepada yayasan lainnya. Mereka rata-rata lebih mantap hatinya dengan cara menyalurkan zakat profesinya secara langsung, selain dengan alasan mereka lebih tahu bahwa disekitar mereka masih banyak yang kekurangan atau membutuhkan. Terkadang mereka juga khawatir seandainya BAZNAS/LAZ mengetahui profesi mereka kemudian niat baik mereka untuk zakat justru ditolak. Adapun sasaran penerima zakat mereka adalah lingkungan sekitar yang membutuhkan, biasanya mereka datang
langsung ketempat orang-orang yang membutuhkan, yayasan yatim piatu, atau para pengemis terutama yang mengalami kecacatan. Sementara itu, untuk teknik penentuan nishab dari para WTS di Dusun Jetak yang membayarkan zakat profesinya dengan tidak dihitung, bisa lebih dari 2,5%, mereka pada umumnya berpenghasilan minimal Rp 3.000.000,- per bulan, adapun rinciannya uang 3 juta tersebut adalah hanya gaji sebagai pemandu karaoke, sementara untuk pelayanan yang lain berkisar antara Rp 150.000 sampai Rp 300.000 per jam, sementara zakat profesi yang mereka keluarkan biasanya lebih dari 2,5%. Apabila upah atau gaji para WTS itu per bulan sebesar 3 juta rupiah, dan penghitungan zakat profesi secara kotor atau tanpa dikurangi kebutuhan sehari-hari maka wajib zakatnya Rp 75.000 per bulan atau Rp 900.000 per tahun, sementara mereka yang mengeluarkan zakat profesinya tiap tahun tidak kurang dari RP 1.000.000 dan yang sebulan sekali tidak kurang dari Rp 100.000,- itu berarti mereka mengeluarkan zakat profesi lebih dari batas minimal wajib zakat. Pola pembayaran yang dilakukan oleh ketiga responden tersebut adalah membayarkan sendiri atau secara langsung kepada yang berhak atau membutuhkan, jadi teknik penentuan nishabnya pun mereka juga menghitung sendiri, bahkan terkesan tidak menggunakan penghitungan tapi menggunakan nilai kelayakan atas harta yang menurut mereka sudah lebih dari sekedar cukup. Dari zakat profesi yang mereka keluarkan, mereka ada yang hanya mengandalkan upah dari pekerjaan mereka,
adapula yang dicampur dengan kerjaan sambilan mereka, seperti hasil dari kerja disalon. E. Status Hukum Zakat Profesi Wanita Tuna Susila Ditinjau Dari Hukum Islam Allah telah menjamin rezeki bagi segenap hamba-Nya, dan memerintahkan kepada mereka agar berusaha untuk meraih rezekinya disertai kepercayaan yang kokoh bahwasanya Allah telah menentukan kadar rezekinya semenjak ia tumbuh dan berkembang. Dalam Agama Islam, rezeki merupakan satu bentuk nikmat dan anugrah dari Allah, sehingga manusia berkewajiban untuk bersyukur kepada Allah yang telah mengkaruniakannya, agar rezeki tersebut senantiasa bertambah dan berkembang, selaras dengan firman-Nya,
’Î1#x‹ tã ¨b Î) ÷LänöxÿŸ2
ûÈõs9ur (öN ä3 ¯Ry‰ ƒÎ—V{ óO è?öx6 x© ûÈõs9 öN ä3 š/u‘ šc
©Œr's? øŒÎ)ur
ÇÐÈ Ó‰ ƒÏ‰ t± s9 Artinya: “Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS. Ibrahim: 7). Dalam kehidupan manusia selalu ada dua sisi kehidupan, ada hitam ada putih, ada baik ada buruk, ada taat ada pula yang ingkar, oleh karena itu Allah juga menciptakan adanya surga dan neraka. Bagi mereka yang tumbuh dari keluarga yang bahagia, ekonomi yang serba kecukupan,
pendidikan yang tinggi, mereka dapat dengan bebas memilih pekerjaan yang mereka inginkan. Namun apabila sebaliknya, dengan berbagai macam cara mereka ingin merubah kondisi ekonomi, mencari hakikat kebahagiian, tidak sedikit dari mereka yang menempuh jalan yang tidak benar, seperti menjadi WTS/pelacur, germo, perdagangan yang dilarang, dan lain sebagainya. Lebih jelasnya penulis berusaha untuk memaparkan berbagai profesi atau pekerjaan yang dilarang oleh Allah SWT dalam ajaran Islam.
1. Penjahat (pencuri, perampok, perompak, penodong, penjambret, penipu, bajing loncat, penadah, dll)
2. Pedagang barang haram (narkoba, minuman keras, video porno, alat keperluan judi, dan lain-lain)
3. Pedagang curang (yang memanipulasi timbangan, mengakali makanan, tidak menjelaskan cacat, dsb)
4. Pelacur, germo, makelar wts, serta pengusaha hiburan yang mendukung zina dan pornoaksi
5. Orang yang merugikan negara dan rakyat (penjual pasal, koruptor, kolutor, nepotistor, dkk)
6. Spekulan (penimbun komoditi yang dibutuhkan masyarakat, forex, saham, dan sebagainya)
7. Pelaku riba (bank, usaha pemberi kredit, rentenir, lintah darat, meminjamkan uang meminta imbalan, dll)
8. Penegak hukum jahat pembela kejahatan (oknum hakim, jaksa, pengacara, polisi, tni, kpk, pol pp, dll)
9. Media massa yang menampilkan hal-hal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
10. Pengambil harta orang lain tidak sesuai syariat (pajak, bea, cukai, tarif, upeti, uang jago, dll)
11. Orang-orang yang menyebarkan ajaran agama yang salah dan menyesatkan.
Masih ada banyak pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan oleh ajaran agama Islam. Termasuk juga pekerjaan atau profesi yang mendukung kegiatan yang terlarang menurut syariat ajaran agama Islam. Kita pun harus berhati-hati dengan apa yang selama ini kita kerjakan untuk memperoleh penghasilan. Pekerjaan yang haram akan menghasilkan uang haram yang akan berdampak buruk bagi kita dan keluarga, cepat maupun lambat. (h p://www.slideshare.net/hericahyono16/konsep-dan-ciri-suatu-profesi17985453)
Rezeki terbagi menjadi beragam macam, rezeki yang bersifat zhahir (nampak secara kasat mata) seperti, makanan pokok, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan harta. Ada pula rezeki yang bersifat batin (tidak kasat mata) seperti, ketakwaan, keshalihan, akhlak yang mulia, ketentraman, ketenangan, ilmu, dan kesehatan. Dan beragam bentuk nikmat lain yang telah dikaruniakan Allah kepada seluruh hamba-Nya. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan rezeki yang selaras dengan hukum dan azas syari’at Islam dan juga seiring dengan hukum yang telah Allah tetapkan, untuk memenuhi kewajiban sebagai seorang makhluk kepada penciptanya, salah satu ibadah tersebut adalah zakat, sehingga kehidupan seorang muslim akan menjadi mulia dan baik serta dapat meraih kemenangan dalam wujud ridha Allah diakhirat. Di antara bentuk ketentuan yang berlaku adalah berusaha (bekerja) dan bertawakal kepada Allah. Ketika seseorang sedang berusaha untuk mendapatkan rezeki, terkadang mereka melakukan kesalahan dan penyimpangan dari syari’at Allah sehingga rezeki tersebut menempel (cacat atau noda), seperti harta haram dan kotor. Sehingga rezeki tersebut harus dibersihkan agar tidak tersisa melainkan harta yang suci dan bersih, apalagi harta tersebut akan digunakan untuk melaksanakan kewajiban untuk berzakat. Setelah berusaha mengkaji pendapat ahli fikih dalam membatasi makna harta haram, maka saya menyimpulkan bahwa, “Harta yang disebut halal adalah harta yang sumber dan sarana mendapatkannya berasal dari
sesuatu yang halal, atau didapat dari sumber-sumber yang sesuai dengan hukum dan azas syari’ah Islamiyah. Sebaliknya, harta haram adalah harta yang didapatkan dari sumber yang dilarang oleh syari’ah, atau tidak sesuai dengan hukum dan ideologi Islam (asas hukum Islam)”. Terdapat beberapa contoh harta yang didapat dari sumber yang dilarang oleh agama, dimana kita dituntut untuk melepaskan diri darinya. Yang paling nampak diantaranya adalah: Ø Bunga dan hutang bank, obligasi serta bank tabungan. Ø Harta yang didapat dari hasil pelacuran baik yang dihasilkan melalui hubungan langsung atau sebagai perantara ataupun sekedar pengiklan dari pelacuran tersebut. Ø Harta yang didapat dari hasil perjudian baik secara langsung atau perantara atau sekedar pengiklan. Ø Harta yang didapat dari hasil menanam atau membuat atau menjual minuman keras, narkoba dan sejenisnya. Ø Harta yang didapat dari kesaksian palsu atau membuat surat palsu dan sejenisnya. Ø Harta yang didapat dari sogok (suap) dan menyalahgunakan jabatan.
Ø Harta yang didapat dari hasil mengurangi timbangan, curang dan penipuan. Ø Harta yang didapat dari pajak liar ataupun pajak (sah) yang zhalim. Ø Harta yang didapat dari menjual, menanam atau membuat sesuatu yang diharamkan. Ø Harta yang didapatkan dari hasil kerja sama dengan orang-orang yang zhalim. Ø Harta curian atau rampasan. Ø Memakan harta anak yatim secara zhalim. (Syahatah, 2008:52). Di antara syarat harta yang dikeluarkan zakatnya adalah milik sendiri dan statusnya halal, hendaknya harta tersebut merupakan hak milik seutuhnya
orang
yang
menunaikan
zakat,
sehingga
ia
berhak
memindahkan kepemilikannya kepada orang yang berhak mendapatkannya sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat,
öN åkæ5qè=è% Ïpxÿ©9xsßJ ø9$#ur $pköŽn=tæ tû,Î#ÏJ »yèø9$#ur ÈûüÅ3 »|¡ yJ ø9$#ur Ïä!#ts)àÿù=Ï9 àM »s%y‰ ¢Á 9$# $yJ ¯RÎ) * 3«! $#šÆ
ÏiB ZpŸÒ ƒÌsù (È@ ‹Î6¡ 9$# Èûøó$#ur «! $# È@ ‹Î6y™ † Îûur tûüÏBÌ»tóø9$#ur É> $s%Ìh9$#† Îûur ÇÏÉÈ ÒO ‹Å6 ym íO ŠÎ=tæ ª! $#ur
Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak,
orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah: 60) Hal ini sebagaimana zakat dapat menyucikan jiwa, harta dan masyarakat, sesuai dengan firman Allah,
y7 s?4qn=|¹ ¨b Î) (öN Îgø‹n=tæ Èe@ |¹ ur $pkÍ5 NÍkŽÏj.t“è?ur öN èd ãÎdgsÜ è? Zps%y‰ |¹ öN ÏlÎ;ºuqøBr& ô` ÏB õ‹ è{ ÇÊÉÌÈ íO ŠÎ=tæ ì ‹ÏJ y™ ª! $#ur 3öN çl°;Ö` s3 y™ Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS. At-Taubah: 103). Oleh sebab itu, syarat harta yang wajib dizakati adalah halal dan baik, sehingga dengan syarat tersebut dapat menggugurkan dosa-dosa orang yang menunaikannya. Harta yang haram tidak dapat menegaskan kepemilikan seseorang dan tidak termasuk harta halal dan baik, maka harta yang seperti ini tidak wajib untuk dizakati. Persyaratan harta yang wajib dizakati merupakan milik seseorang secara sempurna, harta yang diperoleh secara haram, seperti perampasan, hasil pelacuran, pencurian, pemalsuan, penyuapan, korupsi, kolusi dan sebagainya. Pada hakikatnya, harta seperti itu meskipun telah dicampur dengan harta pemiliknya yang diperoleh secara halal, tetap dianggap sebagai harta miliknya yang sah.
Para ulama menegaskan seandainya harta haram tersebut telah mencapai nishab, ia tetap tidak untuk dikeluarkan zakatnya. Sebab wajibnya ialah mengembalikan harta seperti itu semuanya kepada pemiliknya yang sah, jika hal itu masih dapat diketahui, atau kepada para ahli waris mereka jika mereka sendiri telah meninggal dunia, atau jika mereka tidak diketahui kepada para fakir miskin. Maka wajiblah harta seperti itu disedekahkan semuanya dan tidak cukup hanya dengan sebagiannya saja. (Habsyi, 1999:277) Tidak ada zakat dari harta yang dihasilkan dari usaha yang haram, hai ini berdasarkan beberapa alasan-alasan berikut, 1. Harta
yang
haram
bukanlah
milik
seseorang
yang
memegangnya, dan wajib baginya berlepas diri dari hal itu jika ingin bertaubat dan kembali kepada Allah. 2. Sesungguhnya harta yang haram adalah kotor, dan Allah tidak menerima kecuali yang baik. Allah berfirman,
!$£J ÏBur óO çFö;|¡ Ÿ2
$tB ÏM »t6ÍhŠsÛ ` ÏB (#qà)ÏÿRr& (#þqãZtB#uä tûïÏ%©!$# $yg•ƒr'¯»tƒ
tb qà)ÏÿYè? çm÷ZÏB y] ŠÎ7y‚ ø9$# (#qßJ £J u‹s? Ÿw ur (ÇÚ ö‘F{ $# z` ÏiB Nä3 s9 $oYô_ t÷z r& ;ÓÍ_xî ©! $# ¨b r& (#þqßJ n=ôã $#ur 4Ïm‹Ïù (#qàÒ ÏJ øóè? b r& Hw Î) ÏmƒÉ‹ Ï{ $t«Î/ NçGó¡ s9ur ÇËÏÐÈ î‰ ŠÏJ ym Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-
baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah; 267) Rasulullah bersabda,
ٍﻷَ ﯾَﻘْﺒَﻞُ اﻟﻠﱠﮫُ ﺻَﺪَ ﻗَﺔً ﻣِﻦْ ﻏُﻠُﺆ ل “Allah tidak menerima sedekah dari hasil penghianatan.” (HR. Abu Dawud dan Muslim, dengan sanad shahih) Rasulullah juga bersabda,
ًاِنَ اﻟﻠﱠﮫَ ﻷَ ﯾَﻘْﺒَﻞُ اِﻷﱠ ﻃَﯿﱢﺒﺎ ”Sesungguhnya Allah tidak menerima kecuali yang baik”. (HR. Al-Bukhari dan at-Tirmidzi) 3. Para ahli fikih berkata bahwa tidak ada pengeluaran zakat pada harta yang haram. ü Imam al-Qurthubi memaparkan, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah yang dihasilkan dari harta yang haram, karena harta tersebut hakikatnya bukanlah miliknya, sedangkan ia dilarang untuk mempergunakannya, dan orang yang menyedekahkan harta yang haram tersebut berarti telah mempergunakannya, seandainya harta tersebut dapat diterima, maka dalam keadaan itu ada dua keadaan diperintahkan dan dilarang dari satu sisi dan ini adalah sesuatu yang mustahil”. ü Imam Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, “Jika seseorang tidak memiliki kecuali harta yang haram saja, maka tidak ada kewajiban haji dan zakat baginya, dan baginya tidak ada hukuman kafarat yang berbentuk harta”.
ü Dr. Yusuf al-Qardhawi berkata, ”Sesungguhnya mengeluarkan zakat adalah membersihkan harta dan sebab bertambahnya harta serta mendatangkan barakah, hal ini terdapat pada harta yang halal. Adapun mendermakan harta yang kotor, tidak akan memberikan pengaruh yang baik, tidak dapat membersihkannya dan tidak mendatangkan barakah. (Syahatah, 2008:79-83) Alangkah menggugah apa yang disampaikan oleh sebagian ulama ahli fikih, “Perumpamaan orang membersihkan harta yang haram dengan jalan sedekah seperti halnya orang yang membersihkan sampah kotoran dengan air kencing”. Maka benarlah sabda Rasulullah, yang mana beliau bersumpah, “Demi jiwaku yang berada dalam genggaman-Nya, tidaklah seorang hamba mengais harta yang haram kemudian menyedekahkannya, lalu sedekahnya diterima, dan tidaklah mendapat keberkahan dari harta yang diinfakkan, dan tidaklah ia menyimpan harta itu melainkan harta itu akan menjadi bekal baginya menuju jurang neraka. Sesungguhnya Allah tidak menghapus kejelekan dengan kejelekan, akan tetapi akan menghapus kejelekan dengan kebaikan, sesungguhnya suatu hal yang buruk tidak dapat menghapus yang buruk”. (HR. Ahmad). Walaupun demikian, sekiranya tidak (atau belum) ada kekuasaan yang dapat mengambil kembali harta-harta yang diperoleh secara haram tersebut, seperti yang terjadi dimasa sekarang dipelbagai negara (termasuk Indonesia), maka lebih baik mengambil (atau menerima) zakat dari mereka, untuk disalurkan kepada pihak-pihak yang memerlukan, daripada harta tersebut dinikmati sendiri oleh para pelaku. Meskipun pada hakikatnya apa yang mereka keluarkan atas nama zakat itu tetap tidak
mengubahnya menjadi harta halal, atau menjadi penyuci dan penyubur harta, sebagaimana yang menjadi tujuan zakat. (Habsyi, 1999:278)
BAB IV PEMBAHASAN A. Analisis Pemahaman Tentang Zakat Profesi Telah diuraikan dalam penjelasan sebelumnya bahwa penulis beranggapan kesadaran para WTS untuk membayar zakat sangatlah sedikit, jangankan mereka yang jelas-jelas bekerja atau sumber pendapatannya kurang baik, orang-orang disekitar Bandungan yang berpenghasilan lebih baik atau lebih halal dari mereka pun jarang yang mengeluarkan zakat, terutama zakat atas profesinya. Namun penulis merasa terharu terhadap para WTS yang tetap mengeluarkan zakat atas profesinya meskipun mereka kurang mengerti bahkan cenderung tidak mengerti tentang dasar hukum, syarat wajib, maupun penghitungan dalam penentuan zakat yang mereka keluarkan. Zakat profesi itu bisa dilaksanakan setahun sekali, sebulan sekali, atau beberapa bulan sekali, bahkan kapan saja para muzakki ingin berniat untuk mengeluarkan zakatnya. Meskipun zakat profesi itu sendiri sebenarnya wajib dikeluarkan jika jumlah penghasilannya setelah ditotal setahun dan dikurangi dengan kebutuhan-kebutuhannya selama setahun, ternyata melebihi nishab, barulah wajib zakat. Jika tidak mencapai nishab, maka tidak wajib untuk mengeluarkan zakat atas profesinya. Dari pemahaman dalam penyaluran zakat profesi yang mereka lakukan lebih banyak mereka salurkan sendiri kepada fakir miskin maupun
orang-orang yang mereka anggap berhak menerima zakat tersebut. Jadi penulis beranggapan peran BAZNAS/LAZ sebagai badan yang dibentuk pemerintah diharapkan dapat menjadi wadah atau sarana yang dapat dipercaya oleh masyarakat dengan jalan lebih aktif dengan mengelola zakat, serta meyakinkan masyarakat untuk membayar zakat yang lebih efisien dan merata, belum sesuai dengan harapan. Pemahaman atau pengetahuan para WTS muslim di Dusun Jetak jelaslah sangatlah kurang, jangankan mereka yang berprofesi sebagai WTS, masyarakat yang profesinya lebih baik dari mereka pun belum tentu pengetahuan atau pemahamannya lebih baik dari mereka. Sebenarnya ini belum sesuai dengan ajaran agama Islam, yakni kewajiban belajar, berusaha bekerja ditempat yang baik dan halal, atau berusaha untuk mengetahui suatu hukum Allah yang telah disyaratkan terutama ibadah yang telah diwajibkan-Nya, agar ibadah itu bisa dilaksanakan secara baik dan benar sesuai dengan yang telah disyari’atkan oleh Allah SWT. Penulis menyimpulkan dari pemahaman tentang arti kata zakat secara bahasa, yang mengandung arti suci dan tumbuh, yakni orang yang patuh membayar zakat, hatinya dididik untuk menjadi suci, sedikit demi sedikit hatinya dilatih untuk tidak terbelenggu oleh harta, serta menghilangkan sifat tamak sebagai seorang manusia, dengan memahami bahwa didalam harta seseorang itu terdapat hak orang lain yang harus diberikan yaitu melalui zakat, dari pengeluaran zakat Profesi WTS muslim itu, meskipun mereka menyadari bahwa harta mereka bukan harta yang
baik, mereka hanya berharap harta mereka menjadi suci karena terbebas dari apa yang bukan milik atau haknya. B. Analisis Motivasi Pembayaran Zakat Profesi Telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya tentang motivasi pembayaran zakat yang mereka keluarkan kepada para penerima zakat, tidak hanya suatu penyaluran yang bersifat kewajiban kepada agama saja, melainkan kewajiban kepada agama yang disertai kepedulian sosial dengan maksud saling tolong menolong antar sesama manusia yang saling membutuhkan, mereka hanya berusaha untuk tetap mrnjalankan perintah agama dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah perihal diterima atau tidaknya zakat yang mereka keluarkan. Disini penulis menyimpulkan dari penelitian yang dilakukan terhadap WTS yang ada di Dusun Jetak, Kecamatan Bandungan bahwa dalam pembayaran zakat profesi yang mereka keluarkan, baik itu setiap bulan sekali, maupun setiap tahun sekali, bagi para WTS yang mengeluarkan zakat, mereka sangatlah peduli dengan kewajiban mereka untuk menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk membayar zakat atas profesinya. Mereka mengetahui bahwa harta mereka harta yang kurang baik bahkan sudah dipastikan haram, namun mereka tetap menjalankan kewajiban mereka sebagai umat Islam dengan senantiasa berharap bahwa niat baik mereka dapat diterima oleh sang pencipta.
WTS muslim di Dusun Jetak, Kecamatan Bandungan menyalurkan hartanya dalam berzakat. Motivasi mereka mengeluarkan zakat sematamata hanya ingin menjalankan kewajiban kepada Allah SWT, dimana sudah ada hukumnya dalam al-Qur’an, agar kelak mereka bila telah bertaubat sudah terbiasa dengan ibadah wajib yang harus mereka lakukan. Zakat juga merupakan rukun Islam yang ketiga. Sebagai salah satu kewajiban yang harus dilaksanakan, mereka juga berfikir bahwa sebagian dari harta yang mereka miliki terdapat hak untuk fakir miskin yang lebih membutuhkan. Disini penulis mendasarkan pada al-Qur’an dalam surat adzDzariyaat ayat 19 yang berbunyi:
ÇÊÒÈ ÏQ rãós pRùQ$#ur È@ ͬ!$¡ =Ïj9 A, ym öN ÎgÏ9ºuqøBr&þ’Îûur Artinya: “Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian”. (QS. Adz-Azariyaat:19) Dalam ajaran Islam disebutkan bahwa zakatnya rumah adalah menjamu tamu. Ajaran ini bisa dikembangkan misalnya, zakatnya mobil pribadi adalah sesekali mengantarkan tetangga yang membutuhkan tumpangan. Begitulah seterusnya, sehingga pada setiap harta disadari bahwa didalamnya ada hak orang lain. Kelebihan zakat dalam Islam adalah sebuah ibadah individual sakaligus sosial. Karena zakat profesi memotivasi para WTS yang mengeluarkan zakat atas profesinya dalam membangun kesadaran diri
terhadap kewajiban terhadap agama dengan menyisihkan sebagian dari harta mereka untuk orang lain yang lebih membutuhkan, yang mana dalam penyaluran zakat itu sendiri dapat membantu masyarakat lain yang lebih membutuhkan. Karena zakat sendiri merupakan salah satu wujud solidaritas sosial, tradisi tolong menolong sesama muslim dan sesama umat manusia. Jadi, kewajiban zakat
yang mereka lakukan, semata-mata
melaksanakan kewajiban mereka sebagai muslim, dengan berharap agar harta yang mereka dapatkan dari jalan yang salah bisa bersih, atau setidaknya harta yang mereka miliki dapat lebih bermanfaat bagi orangorang yang lebih membutuhkan, dari pada habis tanpa bermanfaat atau habis hanya untuk kesenangan duniawi saja. Selain itu juga merupakan kepedulian sosial dalam hal tolong menolong antar sesama umat manusia. C. Analisis Pola Pembayaran Zakat Profesi Telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya tentang pola pembayaran zakat profesi yang mana para WTS yang mengeluarkan zakat, membayarkan zakat profesinya secara langsung kepada yang berhak atau yang
lebih
membutuhkan
daripada
mereka
dari
pada
melaui
BAZNAS/LAZ. Dengan berbagai alasan, baik itu karena kekhawatiran tidak diterimanya zakat dari mereka, disekitar mereka masih banyak yang lebih membutuhkan, ataupun tidak tahu lokasi atau tempat BAZNAS/LAZ.
Pada persoalan seperti ini, penyerahan zakat terserah kepada muzakki (orang yang mengeluarkan zakat), dalam hal ini aparat pemerintah ataupun BAZNAS/LAZ tidak berhak untuk memaksa, karena membayar zakat adalah suatu kesadaran diri. Para WTS muslim yang mengeluarkan zakat yang juga sebagai muzakki bisa memilih antara menyalurkan sendiri kepada para mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) atau dipercayakan kepada pihak lainnya (BAZNAS/LAZ, atau yayasan lain yang mengurusi zakat) yang bersedia menyalurkannya secara amanah dan profesional. Penulis menyadari bahwa seluruh komponen dalam zakat (baik itu orang yang mengeluarkan zakat, penyalur zakat, maupun penerima zakat) kelak di akhirat akan dimintai pertanggung jawabannya, tentulah masingmasing yang bersangkutan akan memenuhi kewajibannya masing-masing secara profesional. Disamping itu dalam kitab-kitab fikih pelaksanaan zakat sudah dianggap sah bila telah memenuhi rukun atau unsur-unsur dan syaratsyarat yang telah ditentukan dalam hukum Islam. Adapun rukun dalam unsur-unsur yang harus terpenuhi dalam mengeluarkan zakat, unsur-unsur tersebut adalah: 1. Orang yang mengeluarkan zakat (muzakki). 2. Harta yang wajib dizakati. 3. Penerima zakat (mustahiq).
4. Amil. Selain 4 unsur diatas, diperlukan juga syarat-syarat zakat yang lain, yaitu sebagai berikut: 1. Syarat orang yang mengeluarkan zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat adalah orang atau badan usaha yang dimiliki oleh orang muslim yang berkewajiban menunaikan zakat apabila memiliki kelebihan harta yang telah cukup haul dan nisabnya. 2. Syarat harta yang wajib dizakatkan a. Pemilikan yang pasti, halal dan baik. b. Berkembang. c. Melebihi kebutuhan pokok. d. Bersih dari hutang. e. Mencapai nishab (batas minimal wajib zakat). f. Mencapai masa haul (1 tahun). 3. Syarat penerima zakat, meliputi 8 asnaf, yaitu: a. Orang fakir: orang yang amat sengsara hidupnya, tidak mempunyai harta dan tenaga untuk memenuhi kehidupannya.
b. Orang miskin: orang yang tidak cukup penghidupannya dan dalam keadaan kekurangan. c. Amil (pengurus zakat): orang yang diberi tanggung jawab untuk mengumpulkan dan menyalurkan atau membagikan zakat. d. Muallaf: orang yang baru masuk Islam atau orang kafir yang ada harapan masuk Islam, dan Imannya masih lemah. e. Riqab: Budak yang belum merdeka, mencakup orang muslim yang ditawan oleh orang-orang kafir. f. Gharim: orang yang berhutang untuk kepentingan yang bukan maksiat dan tidak sanggup membayarnya. Adapun orang yang berhutang untuk memelihara persatuan umat Islam dibayar hutangnya itu melalui zakat, walaupun ia mampu membayarnya. g. Pada jalan Allah (sabilillah): yaitu untuk keperluan pertahanan Islam dan kaum muslimin. Di antara mufasirin ada yang berpendapat bahwa fisabilillah itu mencakup juga kepentingan-kepentingan umum seperti mendirikan sekolah, rumah sakit, dan lain-lain. h. Orang yang sedang dalam perjalanan yang bukan maksiat, mengalami kesengsaraan dalam perjalanannya. (Anshori, 2006:2529) Kalau melihat unsur-unsur dan syarat-syarat wajib zakat diatas, bahwa pelaksanaan zakat profesi WTS yang ada di Dusun Jetak,
Kecamatan Bandungan kurang memenuhi syarat terutama pada poin syarat harta yang harus dizakati, karena harta yang mereka miliki hanyalah harta yang haram dan tidak baik. Terlepas dari itu semua mereka tetaplah mengeluarkan zakat dengan berharap zakat yang mereka keluarkan akan tetap diterima, karena untuk saat ini hanya harta itulah yang mereka miliki. Mereka membayarkan zakat atas profesinya secara langsung kepada mustahiq zakat atau orang yang mereka anggap lebih membutuhkan, seperti para fakir miskin, atau orang-orang yang kurang mampu yang ada disekitar tempat mereka kos atau tempat mereka tinggal, bahkan terkadang kepada saudara mereka sendiri yang membutuhkan. Tehnik penentuan nishab dalam setiap jumlah pendapatan atau penghasilan seseorang yang telah mencapai nishab, seperti gaji yang tinggi dan honorarium yang besar, serta pembayaran yang besar kepada para golongan profesi, wajib dikenakan zakat, sebab yang tidak mencapai nisab tidak terkena kewajiban tersebut.
Ini dapat
dibenarkan,
karena
membebaskan orang-orang yang mempunyai gaji kecil dari kewajiban zakat dan membatasi kewajiban zakat hanya kepada orang yang berpenghasilan lebih dari kata cukup. Ini lebih mendekati kesamaan dan keadilan sosial. Terlepas dari itu semua penulis memberi apresiasi yang sangat bagus kepada para WTS yang tetap mengeluarkan zakat atas profesinya meskipun hanya harta yang kurang baik yang mereka miliki, mereka hanya menjalankan salah satu kewajiban mereka sebagai umat Islam, masalah
diterima atau tidaknya zakat yang mereka keluarkan, mereka serahkan sepenuhnya kepada Allah semata. Nishab zakat yang mereka keluarkan pun lebih dari 2,5%. D. Analisis Status Hukum Zakat Profesi Wanita Tuna Susila Telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya mengenai status hukum zakat profesi yang dikeluarkan oleh para wanita tuna susila, dimana mereka tetap mengeluarkan zakat atas profesi mereka meskipun mereka menyadari harta yang mereka keluarkan zakatnya adalah harta yang tidak dikenai wajib zakat dan harta yang tidak baik. Harta yang mereka niatkan untuk zakat bukan merupakan zakat profesi, bahkan amal baik merekapun bukan merupakan sedekah atau infak, mereka hanya sekedar mengeluarkan harta secara sia-sia. Dalam hati mereka hanya mencoba untuk tetap menjalankan kewajiban ibadah sebagai umat Islam, meskipun dengan profesi yang mereka miliki sekarang dan menyerahkan sepenuhnya terhadap Allah perihal diterima atau tidaknya ibadah yang mereka kerjakan. Untuk menanggapi itu semua, penulis berusaha mengumpulkan pendapat dari para ahli fikih yang lebih menguasai perihal tersebut. Para ahli fikih berkata bahwa tidak ada pengeluaran zakat pada harta yang haram. ü Imam al-Qurthubi memaparkan, “Sesungguhnya Allah tidak menerima sedekah yang dihasilkan dari harta yang haram, karena harta tersebut hakikatnya bukanlah miliknya, sedangkan
ia dilarang untuk mempergunakannya, dan orang yang menyedekahkan harta yang haram tersebut berarti telah mempergunakannya, seandainya harta tersebut dapat diterima, maka dalam keadaan itu ada dua keadaan diperintahkan dan dilarang dari satu sisi dan ini adalah sesuatu yang mustahil”. ü Imam Abu Hamid al-Ghazali berpendapat, “Jika seseorang tidak memiliki kecuali harta yang haram saja, maka tidak ada kewajiban haji dan zakat baginya, dan baginya tidak ada hukuman kafarat yang berbentuk harta”. ü Dr. Yusuf al-Qardhawi berkata, ”Sesungguhnya mengeluarkan zakat adalah membersihkan harta dan sebab bertambahnya harta serta mendatangkan barakah, hal ini terdapat pada harta yang halal. Adapun mendermakan harta yang kotor, tidak akan memberikan pengaruh yang baik, tidak dapat membersihkannya dan tidak mendatangkan barakah. (Syahatah, 2008:82) Demikian lah pendapat-pendapat dari sebagian ahli fikih yang dapat penulis paparkan, bahkan zakat yang dikeluarkan atas harta yang haram atau zakat yang dikeluarkan oleh wanita tuna susila atas profesinya ada
yang
memperupamakannya
dengan,
“Perumpamaan
orang
membersihkan harta yang haram dengan jalan sedekah seperti halnya orang yang membersihkan sampah kotoran dengan air kencing”. Dari penelitian yang penulis lakukan, penulis menemukan fakta bahwa para WTS belum mengerti banyak perihal zakat yang mereka keluarkan atas profesi mereka, mereka hanya berpendapat bahwa harta yang mereka miliki walau bagaimanapun tetap berstatus haram. Mau mereka simpan, mereka belanjakan, atau mereka pergunakan untuk bersenang-senang seumur hidup pun tidak akan merubah status harta tersebut, sebelum mereka bertaubat, menyucikan harta mereka dan beralih ke profesi yang lebih baik dan halal. Dengan latar belakang pemikiran
tersebut mereka lebih memilih untuk menyisihkan sebagian atau seluruh harta yang mereka miliki untuk menyucikan harta mereka dengan jalan zakat, daripada hanya mereka pergunakan untuk kesenangan duniawi. Biasanya zakat yang menurut mereka suatu sarana untuk membersihkan harta mereka tersebut, mereka laksanakan setiap setahun sekali, tepatnya pada bulan ramadhan. Hal tersebut diatas, menurut hemat penulis dapat disamakan dengan salah satu kaidah fikih, yaitu:
ُﻣَﺎ ﺣُﺮِمَ ا ﺳْﺘﻌْﻤَﺎ ﻟُﮫُ ﺣُﺮِمَ ا ﺗﱢﺨَﺎ ذُه “Sesuatu yang haram digunakan, haram pula disimpan”. Menggunakan wadah/tempat (seperti mangkok, piring, dan sebagainya) yang terbuat dari emas dan perak, hukumnya haram. Karena itu, haram pula menyimpannya. (Bisri, 1977:59) Bila contoh tersebut dikaitkan dengan harta yang diperoleh WTS melalui pekerjaaannya, maka harta yang mereka peroleh dengan jalan yang haram, selain haram menggunakan harta tersebut, haram juga menyimpannya. Betapa hebatnya pemikiran yang mereka miliki, meskipun mereka berprofesi yang banyak dikatakan orang sebagai profesi yang kotor, namun dalam pola fikir yang mereka miliki mereka pun ingin tetap melaksanakan ibadah, dalam hal ini terutama zakat. Yang mereka butuhkan hanyalah perhatian dari orang-orang yang lebih faham perihal agama, bukan sebuah celaan maupun fikiran buruk tentang mereka.
Untuk menanggapi persoalan diatas penulis berusaha untuk memaparkan pendapat para ulama tentang cara melepaskan diri dari harta haram. Para ahli fikih sepakat tentang pentingnya melepaskan diri dari harta yang haram. Namun, mereka berbeda pendapat tentang cara dan sarana yang dipakai sesuai dengan situasi dan kondisi. Dalam hal ini Syahatah (2008:53) mengutip pendapat Imam alQurthubi, bahwa “Para ulama kami berpendapat, bahwa cara untuk melepaskan diri dari lilitan harta haram, jika harta tersebut berasal dari riba, hendaknya ia mengembalikan harta tersebut kepada orang yang menjadi korban ribanya dan diwajibkan baginya untuk mencari orang tersebut. Jika (tidak mampu lagi menemukannya), maka harta tersebut boleh disedekahkan dan diniatkan untuk pemilik harta tersebut. Begitu juga halnya dengan harta yang didapat dengan jalan yang zhalim, apabila ia tidak mengetahui berapa jumlah harta yang halal dan haram, maka wajib baginya untuk mengira-ngira jumlah yang harus dikembalikan sampai tidak ditemukan lagi keraguan akan kehalalan harta yang ditinggalkan, kemudian jumlah yang telah disisihkan tadi dikembalikan lagi kepada mereka yang pernah dizhalimi atau diribai tadi, atau disedekahkan jika tidak dapat menemukan pemilik sah harta tersebut. Sementara dalam buku yang sama Syahatah (2008:55) mengutip Pendapat Syafi’iyyah: di dalam kitab al-Mantsur fi al-Qawa’id karya azZakarsyi disebutkan,”Dalam bertaubat, disyaratkan untuk mengembalikan apa-apa yang telah dizhalimi. Jika berbentuk harta, maka wajib baginya
untuk mengembalikannya, baik dengan cara kontan maupun hutang, selama ia masih mampu untuk melakukannya. Apabila pemilik barang tersebut tidak berada ditempat, maka apabila telah mendapatinya wajib baginya menunaikannya sesegera mungkin. Jika pemiliknya meninggal, maka dikembalikan kepada ahli warisnya atau kepada hakim. Jika tidak mendapati hakim maka hendaknya ia menyedekahkannya kepada fakir miskin. Dari paparan diatas penulis dapat menyimpulkan, apabila benarbenar berniat untuk menjalankan ibadah, alangkah indahnya ibadah tersebut disertai dengan hal-hal yang baik terlebih dahulu, seperti dalam hal zakat profesi diatas, apabila memang ingin menjalankan atau mengeluarkan zakat atas profesinya, alangkah baiknya bila ia bertaubat yang benar-benar taubat, membersihkan seluruh hartanya, karena sudah dapat dipastikan bahwa harta yang mereka miliki hampir 100% haram, lalu mencari profesi yang halal dan baik terlebih dahulu.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Zakat profesi dalam Islam pada hakikatnya adalah zakat yang dikeluarkan dari hasil profesi (pekerjaan) seseorang, baik dokter, dosen, hakim, advokad, jurnalis, karyawan, dan profesi baik serta halal lainnya. Baik gajinya dibayar oleh pemerintah maupun swasta, dan telah cukup nisabnya untuk dibagikan kepada para mustahiq zakat. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat dalam Bab I tentang ketentuan umum pasal 1 ayat (2) Zakat adalah: “Harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan usaha untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan syariat Islam”. Dalam pasal 4 ayat 2 huruf (h) UU Nomor 23 Tahun 2011 dijelaskan bahwa, “Zakat mal meliputi pendapatan dan jasa”. 2. Pemahaman dari 10 wanita tuna susila muslim, hanya 30% yang mengeluarkan zakat. Pada umumnya mereka tidak paham dengan pengertian zakat profesi, hanya sedikit saja yang mengerti atau pernah mendengar istilah zakat profesi. Mereka mengeluarkan amal ibadah atas harta yang telah mencapai nishab tersebut dengan istilah zakat, adapula yang beranggapan sebagai sedekah atas harta mereka.
3. Dari data yang diperoleh, penulis dapat menyimpulkan bahwa motivasi mendasar dari para wanita tuna susila yang mengeluarkan zakat, mereka hanya ingin tetap patuh atau menjalankan kewajiban sebagai umat Islam kepada Allah SWT, meskipun dengan profesi mereka saat ini, selain itu mereka berharap bahwa zakat yang mereka keluarkan, dapat membersihkan harta yang mereka miliki. Mereka menyerahkan perihal diterima atau tidaknya amal mereka sepenuhnya hanya kepada Allah. Dalam prinsip mereka yang mengeluarkan zakat, lebih baik tetap mengeluarkan zakat meski dengan sumber pendapatan yang haram, daripada menghabiskan uang tersebut untuk bersenang-senang. 4. Dari berbagai pendapat sebagian dari ulama atau ahli fikih yang penulis dapatkan, hampir semua memberi pernyataan bahwa harta yang haram atau harta yang diperoleh dari pekerjaan yang haram, maka tidak diwajibkan zakat atas harta tersebut, bahkan ada perumpamaan orang yang membersihkan harta yang haram dengan jalan sedekah seperti halnya orang yang membersihkan sampah kotoran dengan air kencing. Zakat yang mereka keluarkan atas profesi mereka bukan termasuk zakat profesi, bahkan bukan merupakan sedekah maupun infaq. B. Saran-Saran Sebagai tindak lanjut dari kesimpulan yang disampaikan diatas, penulis dapat memberi saran-saran sebagai berikut:
1. Terbentuknya Badan Amil Zakat Nasional baik ditingkat pusat maupun daerah dan Lembaga Amil Zakat yang diprakarsai oleh UndangUndang Nomor 23 Tahun 2011 tentang pengelolaan zakat, yang lahirnya dilatarbelakangi oleh kenyataan sosiologis, bahwa masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam namun belum ada peraturan negara yang tertulis mengatur persoalan zakat, jadi fungsi BAZNAS/ LAZ atau yayasan maupun orang yang lebih mengerti agama terutama zakat sebaiknya bisa memberi pengertian dan membimbing para WTS untuk memahami lebih dalam mengenai zakat, terutama perihal syaratsyarat harta yang wajib zakat dan juga perihal hukum zakat dari harta yang kurang baik atau haram. 2. Fungsi lembaga-lembaga zakat yang sudah ada, hendaknya lebih dioptimalkan,
ilmu
pengetahuaan
tentang
zakat,
menejemen
pengelolaan, dan pendistribusian zakatnya dibenahi, agar mendapat kepercayaan dari masyarakat dan berfungsi semestinya, sehingga orang lebih memahami perihal wajib zakat atau tidak dan potensi zakat yang begitu besar dapat dimanfaatkan dengan baik sehingga tingkat kesejahteraan masyarakat bisa ditingkatkan melalui harta zakat. 3. Para WTS yang memang ingin menjalankan kewajiban sebagai orang Islam, dalam hal ini terutama zakat, agar amal ibadahnya tidak terbuang percuma,
lebih
baik
segera
taubat
yang
benar-benar
taubat,
membersihkan harta yang haram, dan mencari pekerjaan yang jauh lebih baik dan halal, bila mereka benar-benar ingin taubat pasti ada
jalan dan kemudahan dari Allah SWT. Dengan demikian bukan hanya amalnya yang tidak terbuang percuma, hidupnya pun akan lebih berkah. 4. Pemerintah melalui lembaga-lembaga keagamaan dan sosial alangkah baiknya jangan hanya memandang sebelah mata para Wanita Tuna Susila, apalagi memandang rendah atau bahkan jijik. Mereka membutuhkan perhatian dan jaminan untuk hidup yang layak, karena dari data yang penulis peroleh tidak ada dari mereka yang dengan ikhlas terjun kedunia gelap seperti itu, mereka selalu berusaha untuk menjadi lebih baik. C. Penutup Dengan mengucap puji syukur kepada Allah SWT, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Walaupun penulis dengan sepenuh hati menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangan didalamnya, baik isi maupun tulisan. Itu semua karena keterbatasan kemampuan penulis sendiri. Penulis berharap kritik dan saran yang membangun dari para sidang pembaca, yang mungkin punya sedikit apresiasi terhadap skripsi ini. Semoga apa yang ada di dalam skripsi ini bermanfaat bagi penulis sendiri pada khususnya, dan bagi para pembaca pada umumnya. Tak ada gading yang tak retak, tak ada manusia yang sempurna. Hanya Allah pemilik kesempurnaan dan kebenaran yang mutlak, manusia berencana dan Allah jua-lah yang berkehendak. Wallahu a’lam bi shawab
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi. 1997. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta. Moloeng, Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1984. Pedoman Zakat. Jakarta: Bulan Bintang. Al-Zuhayly, Wahbah. Zakat Kajian Berbagai Mazhab. Terjemahan oleh Agus Efendi dan Bahruddin Fannany. 1995. Bandung: Rosdakarya Offset. Hafidhuddin, Didin. 2002. Zakat Dalam Perekonomian Modern. Jakarta: Gema Insani. Syahatah, Husain. Kaya Tanpa Dosa. Terjemahan oleh Imam Ghazali Maskur dan Abdul Qohhar. 2008. Klaten: Wafa Press. Al-Habsyi, Muhammad Bagir. 1999. Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, AsSunnah, dan Pendapat Para Ulama. Bandung: Penerbit Mizan Anggota IKAPI. Qardhawi, Yusuf. Hukum Zakat. Terjemahan oleh Salman Harun, Didin Hafidhuddin, dan Hasanuddin. 1988. Bandung: Litera Antar Nusa. Qardhawi, Yusuf. Halal Haram. Terjemahan oleh Wahid Ahmadi, Jasiman, Khozin Abu Faqih, dan Kamal Fauzi. 2000. Solo: Era Intermedia. Alwi, Hasan. 2007. Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai pustaka. Anshori, Abdul Ghafur. 2006. Hukum Dan Pemberdayaan Zakat. Yogyakarta: Pilar Media (Anggota IKAPI). Suyitno, Junaidi Heri, dan Abdushomad M. Adib. 2005. Anatomi Fiqh Zakat. Lembaga Kajian Hukum Islam (LKHI) Fakultas Syari’ah IAIN Raden Fatah Palembang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bisri, Moh. Adip. 1977. Terjemah Al-Faraidul Bahiyyah. Kudus: Menara Kudus. Mufraini, M. Arif. 2006. Akutansi dan Manajemen Zakat Mengomunikasikan Kesadaran dan Membangun Jaringan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Al-Buny, Djamal’uddin Ahmad. 1983. Problematik Harta dan Zakat. Surabaya: Bina Ilmu.
Pernomo, Sjekhul Hadi. 1993. Pemerintah Indonesia Sebagai Pengelola Zakat. Jakarta: Pustaka Firdaus. h p://research.amikom.ac.id/index.php/STI/ar cle/view/6979
http://kotakjin.blogspot.com/2012/01/korelasi-antara-pola-rehabilitasi.html h p://www.slideshare.net/hericahyono16/konsep-dan-ciri-suatu-profesi-17985453
http://tanbihun.com/fikih/bashul-masail/zakat-profesi/ h p://www.slideshare.net/hericahyono16/konsep-dan-ciri-suatu-profesi-17985453
DAFTAR RIWAYAT HIDUP 1. Nama
: Nur Salim
2. Tempat/Tanggal Lahir
: Kab. Semarang/27 Oktober 1990
3. Jenis Kelamin
: Laki-laki
4. Warga Negara
: Indonesia
5. Agama
: Islam
6. Alamat
: Legok Sari RT 3, RW III, Duren, Bandungan, Kab. Semarang
7. Riwayat Pendidikan
: TK Dharma Wanita Duren, Lulus 1997 SD Negeri Duren 2, Lulus 2003 SMP Negeri 1 Ambarawa, Lulus 2006 SMA Negeri 1 Ambarawa, Lulus 2009
8. Pengalaman Organisasi
: Divisi Eksternal Senat Mahasiswa STAIN Salatiga Biro Akademik HMJ Syari’ah STAIN Salatiga
Demikian daftar riwayat hidup ini dibuat dengan sebenar-benarnya. Salatiga, 22 Agustus 2013 Penulis, Nur Salim 21109013