STATISTIK DEMOGRAFI Diaphania indica (SAUNDERS) (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE) PADA TANAMAN MENTIMUN
ITA FITRIYANA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Statistik Demografi Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Crambidae) pada Tanaman Mentimun adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2015
Ita Fitriyana NIM A351120031
RINGKASAN ITA FITRIYANA. Statistik Demografi Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Crambidae) pada Tanaman Mentimun. Dibimbing oleh DAMAYANTI BUCHORI, ALI NURMANSYAH dan ROSICHON UBAIDILLAH. Pengetahuan mengenai aspek-aspek demografi merupakan salah satu langkah awal dalam mempelajari perkembangan suatu populasi serangga. Dalam hal ini, neraca kehidupan adalah faktor utama yang dapat digunakan untuk memahami demografi suatu populasi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui neraca kehidupan Diaphania indica (Saunders) di lapangan dan di laboratorium. Informasi ini dapat digunakan sebagai input dalam merancang dan mengambil keputusan yang tepat dalam mengendalikan hama tersebut. Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi pertanaman mentimun, yaitu di Desa Cihideung Udik dan Desa Benteng, Kecamatan Ciampea dan Desa Cangkurawok, Kecamatan Dramaga, dan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB. Pengamatan siklus hidup D. indica dilakukan dengan mengamati setiap tahap perkembangan hidup yang meliputi waktu yang diperlukan dan ukuran tubuh pada setiap stadia. Penelitian neraca kehidupan dilakukan dengan mencatat mortalitas individu D. indica dan keperidian setiap individu imago per hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di laboratorium tidak berbeda nyata dengan di ketiga lokasi lapangan, yaitu 25.68 hari (laboratorium) dibandingkan dengan 23.23 – 27.63 hari (lapangan). Lama stadia larva, pupa, dan imago jantan dan betina juga tidak berbeda nyata antara di laboratorium dan lapangan. Rata-rata lama hidup larva, pupa, imago jantan, dan imago betina di laboratorium adalah 13.52, 7.33, 8.56, dan 10.6 hari, sedangkan di lapangan adalah 14.25 – 17.64, 7.07 – 7.59, 7.00 – 8.64, dan 11.00 – 11.23 hari. Rata-rata laju reproduksi kotor di laboratorium sebesar 262.4 telur per imago betina sedangkan di lapangan sebesar 202.6 – 277.7 telur per imago betina. Rata-rata laju reproduksi bersih di laboratorium sebesar 51.6 telur per imago betina dan di lapangan sebesar 43.9 – 54.2 telur per imago betina. Laju pertambahan intrinsik di laboratorium dan lapangan tidak berbeda nyata yaitu sekitar 0.12 – 0.14. Rata-rata waktu generasi di laboratorium 31.3 hari sementara di lapangan 28.9 – 32.8 hari. Rata-rata waktu yang diperlukan untuk populasi menjadi dua kali lipat di laboratorium 5.5 hari sedangkan di lapangan 5.1 – 6.0 hari. Beberapa musuh alami yang menyerang D. indica adalah parasitoid Ichneumonidae (Tricholobus sp., Xanthopimpla sp.), parasitoid Braconidae (Apanteles taragamae), dan predator Coccinelidae. Kematian D. indica tertinggi disebabkan oleh A. t aragamae (27.50%). Kata kunci : hama mentimun, neraca kehidupan, siklus hidup
SUMMARY ITA FITRIYANA. Demographic Statistic of Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Crambidae) a Minor Pest of Cucumber Plant. Supervised by DAMAYANTI BUCHORI, ALI NURMANSYAH and ROSICHON UBAIDILLAH. Knowledge about aspects of demography is one of the first steps in studying the development of an insect population. In this respect, life table is a key factor that can be used to understand the demography of a given population. This research was conducted to determineand the life table of Diaphania indica (Saunders) in the field and in the laboratorium. The information gained can be used to determine theappropriate pest management strategies of D. indica. This research was conducted in three field locations, i.e. Cihideung Udik village and Benteng village in Ciampea district, and Cangkurawok village in Dramaga district. The laboratory population was reared in the Biological Control Laboratory, Department of Plant Protection, Faculty of Agriculture, IPB. The life cycle of D. indica was studied by observing the parameters of developmental stages i.e. length of days from each developmental stages, larval head width and body length. The study of life table was conducted by calculating daily mortality of immature phase and fecundity of D. indica female adult. The results showed that the average life cycle of D. indica on cucumber plants in the laboratory is not significantly different from the third location in the field, which is 25.68 days (laboratory) compared to 23.23 - 27.63 days (the field). Stage of larva, pupa, and imago male and female also not significantly different between the laboratory and the field. The average length of stage larva, pupa, imago males and females in the laboratory were 13.52, 7.33, 8.56, and 10.6 days, while in the field were 14.25 - 17.64, 7.07 to 7.59, 7.00 – 8.64, and 11.00 to 11.23 days. The average gross rate of reproduction in the laboratory of 262.4 eggs per female imago while in the field 202.6 - 277.7 eggs per female imago. The average net reproductive rate in the laboratory of 51.6 eggs per female imago and in the field 43.9 - 54.2 eggs per female imago. Intrinsic rate of increase in the laboratory and the field not significantly different were 0.12 to 0.14. The average generation time in the laboratory of 31.3 days while in the field 28.9 - 32.8 days. The average doubling time in the laboratory of 5.5 days in the field while the 5.1 - 6.0 days. In the field, the mortality factors of D.indica are the parasitoids as well as predators and entomopathogen. The highest mortality was due to parasitoid Ichneumonidae (Tricholobus sp., Xanthopimpla sp.), Braconidae parasitoid (Apanteles taragamae), and the Coccinelidae predator. The highest mortality of D. indica was caused by A. taragamae (27.50%). Keywords : cucumber pest, life table, life cycle
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STATISTIK DEMOGRAFI Diaphania indica (SAUNDERS) (LEPIDOPTERA: CRAMBIDAE) PADA TANAMAN MENTIMUN
ITA FITRIYANA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Entomologi
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Nina Maryana, MSi
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala limpahan karunia-Nya sehingga karya tulis ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian telah mulai dilaksanakan oleh penulis sejak bulan Oktober 2013, dengan mengambil judul statistik demografi Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) pada pertanaman mentimun. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada : 1 Ibu Prof. Dr. Ir. Damayanti Buchori, M.Sc, Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si, dan Bapak Prof. Drs. Rosichon Ubaidillah, B.Sc., M.Phill., PhD selaku pembimbing serta Bapak Dr. Ir Pudjianto, M.Si dan Ibu Dr Ir Nina Maryana, M.Si selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, pelajaran, dan motivasi kepada penulis selama penelitian dan penulisan tesis. 2 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas Beasiswa Unggulan tahun 2012-2014 dan Hibah Kompetensi tahun 2013 yang telah membantu mendanai penelitian ini 3 FAO (Food and Agriculture Organization) melalui proyek kerjasama IPBFAO, Pollinator assessment in Indonesia tahun 2013 4 Pusat Penelitian LIPI Bogor atas bantuan identifikasi serangga. 5 Ayahanda H. Zainuddin Yunus, Ibunda Hj. Nurhayati, Kakanda Reni Emiliya, S.Kep, Kakanda Brigpol Budi Nuryanto, Kakanda Susilawati S.Kh., MM, Kakanda Habib Ryan Pratama, S.E serta Adinda Rahmad Gunawan atas segala limpahan kasih sayang dan doa disetiap sujudnya. 6 Bapak Dr. Akhmad Rizali, SP.,M.Si, Ibu Adha Sari, SP, rekan-rekan mahasiwa pasca sarjana Entomologi IPB 2012, dan rekan-rekan mahasiswa Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman IPB, ibu Evawaty Sri Ulina, Mba Ratna Rubiana, Mba Anik Larasati, Sumeinika, Rizky Nazaretta, Susilawati, M. Badrus, Ihsan, Laila, Cici, Arfi, Azru, Lena, Novi, Amanda Mawan atas segala bantuan dan masukannya. 7 Sahabat-sahabat tersayang Siti Juariyah, Tri Dian Oktiana, Mba Nita, Aby Hapsari atas segala semangat dan nasihatnya kepada penulis Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi kita semua.
Bogor,
November 2015
Ita Fitriyana
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 2 2
2 TINJAUAN PUSTAKA Potensi Diaphania indica sebagai Hama Tanaman di Indonesia Neraca Kehidupan
3 3 4
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Pelaksanaan Penelitian Analisis Data
6 6 6 9
4 HASIL Penentuan Stadia Instar Larva D. indica Faktor yang Memengaruhi Perkembangan D. indica Neraca Kehidupan D. indica Biologi dan Siklus Hidup D. indica Masa Praoviposisi, Oviposisi dan Keperidian D. indica Nisbah Kelamin
10 10 10 13 15 19 20
5 PEMBAHASAN
21
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
26 26 26
DAFTAR PUSTAKA
27
LAMPIRAN
30
RIWAYAT HIDUP
44
DAFTAR TABEL 1 Sintasan D. indica pada masing-masing stadia di lapangan dan di laboratorium 2 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada Lokasi Cihideung Udik 3 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada Lokasi Benteng 4 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada Lokasi Cangkurawok 5 Persentase hiperparasitoid pada tiga lokasi 6 Parameter demografi D. indica 7 Lama stadia D. indica pada tiga lokasi pertanaman mentimun dan laboratorium 8 Persentase nisbah kelamin D. indica pada empat lokasi
11 11 12 12 12 14 16 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8
Distribusi frekuensi lebar kepala D. indica Kurva sintasan D. indica pada empat lokasi Kurva keperidian D. indica pada empat lokasi Telur D. indica di bawah permukaan daun Larva D. indica Instar I (A), dan Instar II (B) Larva D. indica Instar III (A), dan Instar IV (B) Larva Instar V D. indica yang akan memasuki periode prapupa Pupa D. indica, jantan (kiri) dan betina (kanan) (A), ujung abdomen pupa jantan (B), ujung abdomen pupa betina (C) 9 Imago D. indica betina (kiri) dan jantan (kanan) 10 Siklus hidup D. indica betina
10 13 13 15 15 17 17 18 19 19
DAFTAR LAMPIRAN 1 Musuh alami D. indica pada tanaman mentimun yang ditemukan di lahan Cihideung Udik, Benteng dan Cangkurawok 2 Hiperparasitoid A. taragamae yang ditemukan di lahan Cihideung Udik, Benteng dan Cangkurawok 3 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Laboratorium 4 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Cihideung Udik 5 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Benteng 6 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Cangkurawok
31 31 32 35 38 41
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Populasi didefinisikan sebagai kumpulan individu suatu spesies organisme yang sama, hidup dalam suatu tempat dan waktu tertentu (Odum 1971). Populasi mempelajari pengaruh satu individu terhadap individu yang lain dalam populasi tersebut. Di alam pertumbuhan populasi bersifat fluktuatif, artinya pertumbuhan populasi itu berubah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan populasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor bertaut kepadatan seperti natalitas (kelahiran), mortalitas (kematian), emigrasi serta faktor tidak bertaut kepadatan seperti faktor lingkungan, suhu, dan siklus hidup (Odum 1971). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa perkembangan populasi serangga dipengaruhi oleh beberapa hal, seperti suhu, kandungan nutrisi, dan keberadaan cendawan endofit (Michael 1995). Pada suhu tinggi aktivitas serangga akan menjadi lebih cepat dan efisien, tetapi lama hidup serangga akan berkurang (Mavi dan Tupper 2004). Siklus hidup Bemisia tabaci semakin singkat seiring dengan meningkatnya suhu, tetapi pada suhu di atas 30°C waktu yang diperlukan serangga untuk menyelesaikan siklus hidupnya pada umumnya akan lebih lama karena kemampuan bertahan hidupnya menurun drastis (Subagyo dan Hidayat 2014). Kandungan nutrisi yang berbeda pada inang yang berbeda juga menyebabkan Spodoptera litura lebih cepat berkembang pada inang kedelai dibandingkan dengan inang Amaranthus sp. dan Borreria sp., hal ini dikarenakan kandungan protein yang lebih banyak pada kedelai dibandingkan dua inang lainnya (Esa 1990). Mawan et al. (2015), menyatakan bahwa inokulasi cendawan endofit Nigrospora sp di dalam jaringan tanaman padi memberikan pengaruh negatif terhadap beberapa parameter biologi wereng batang cokelat yaitu lama stadia nimfa, siklus hidup jantan dan betina, umur betina saat meletakkan telur pertama kali, periode praoviposisi, periode oviposisi serta menunda umur betina saat meletakkan telur pertama kali, dan menyebabkan penurunan kesintasan telur. Pertanaman mentimun merupakan salah satu contoh agroekosistem. Produksi mentimun Indonesia masih sangat rendah. Di tahun 2012 produksi mentimun di Indonesia hanya berkisar 5.1 ton/ha (BPS 2012) padahal potensinya dapat mencapai 20 ton/ha terutama jika menanam varietas hibrida (Asikin 2004). Rendahnya produksi mentimun dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu kondisi cuaca dan iklim yang sulit untuk diprediksi, serangan hama dan penyakit. Di Indonesia hama penting pada tanaman mentimun secara umum adalah kumbang daun Aulacophora sp. dan kutu daun Aphis gossypii. Seiring perkembangan waktu status hama mengalami pergeseran. Salah satu hama yang berpotensi menimbulkan kerusakan pada tanaman mentimun adalah hama ulat daun Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Crambidae). MacLeod (2005) menyatakan bahwa D. indica merupakan salah satu hama pada pertanaman mentimun di Asia dan Afrika. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa di Cina hama ini mengalami empat generasi per tahun, dimana imago dewasanya tidak ditemukan pada awal bulan Juli dan akhir November, dan kelimpahan tertingginya pada bulan Agustus-September. Hal serupa juga terjadi di Korea dimana imagonya muncul pertama kali bulan Juli dan berakhir di bulan
2 September. Berbeda dengan Cina dan Korea, di India keberadaan D. indica selalu ada di setiap bulan dengan populasi tertinggi pada bulan April sampai September dan terendah pada bulan November dan Februari (Peter dan David 1991). Di Iran perkembangan D. indica dari telur hingga imago menurun seiring dengan kenaikan suhu, dengan mortalitas tertinggi pada suhu 35ºC (Hosseinzade et al. 2014). Asikin (2004) melaporkan hama ini juga ditemukan menyerang mentimun di Indonesia, meskipun sampai saat ini belum dilaporkan sebagai hama utama. Larva D. indica memakan daun, batang muda yang lunak dan menggerek buah. Kerusakan yang paling merugikan adalah jika larva menyerang buah mentimun. Pada buah yang terserang ditemukan lubang pada permukaan buah, menyebabkan buah menjadi cepat busuk sehingga tidak layak untuk dikonsumsi dan dijual (CABI 2005). Pada tahun 2002/2003 telah terjadi ledakan hama D. indica pada tanaman paria dengan tingkat kerusakan dapat mencapai 80-100% (Asikin 2004). Berdasarkan hasil dari beberapa penelitian yang dilakukan D. indica merupakan hama dengan daerah persebaran yang luas, yang berpotensi menjadi hama utama pada tanaman mentimun. Dalam upaya pengendalian hama D. indica dibutuhkan informasi dasar seperti informasi biologi dan neraca kehidupan dari serangga tersebut. Pengetahuan mengenai berbagai aspek biologi yang diperlukan antara lain meliputi perilaku, siklus hidup, perkembangan, dan reproduksi (DeBach 1973). Statistik demografi suatu hama dapat digunakan untuk menentukan faktor kritis populasi hama (Jones dan Sasaki 2001) serta untuk memahami pengaruh faktor–faktor eksternal terhadap agen pengendali biologi (Legaspi 2004), selain itu pemahaman statistik demografi hama sangat penting untuk memprediksi perkembangan populasi hama dan pengembangan strategi pengendalian hama tersebut (Tsai dan Liu 2000). Neraca kehidupan merupakan riwayat perkembangan kohort yang bersifat dinamis (Tarumingkeng 1992). Carey (2001) mengungkapkan bahwa neraca kehidupan yang dirancang dengan baik dapat meningkatkan pemahaman mengenai proses-proses yang terjadi di dalam suatu populasi yang dapat digunakan untuk memprediksi struktur populasi dan pengaruh interaksi antar spesies terhadap populasi tersebut. Masih terbatasnya literatur mengenai biologi dan statistik demografi dari D. indica menjadikan penelitian ini perlu dilakukan untuk menunjang keberhasilan dalam pengendalian hama ulat daun D. indica
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari biologi dan mengetahui statistik demografi serta faktor-faktor yang memengaruhi kematian D. indica di lapangan.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang biologi D. indica yang dapat digunakan sebagai masukan dalam merancang dan mengambil keputusan yang tepat dalam mengendalikan serangan hama tersebut di lapangan.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA
Potensi D. indica sebagai Hama Tanaman di Indonesia Hama didefinisikan sebagai segala organisme yang mengurangi ketersediaan, kualitas, atau nilai sumber daya yang dimiliki manusia (Flint dan Van Den Bosch 1981). D. indica dilaporkan menyerang tanaman dari famili Cucurbitaceae, Leguminaceae dan Malvaceae. Hasil penelitian yang dilakukan MacLeod (2005) inang D. indica diantaranya buncis (Phaseolus spp.), kacang panjang (Vigna unguiculata), mentimun (Cucumis sativus), melon (Cucumis melo), labu (Cucurbita moschata) and semangka (Citrullus lanatus). Di Indonesia D. indica dilaporkan menyerang tanaman mentimun dan pernah terjadi ledakan hama meskipun sampai saat ini belum dilaporkan sebagai hama utama (Asikin 2004). Larva D. indica memakan daun, batang muda yang lunak dan menggerek buah. Kerusakan yang paling merugikan adalah jika larva menyerang buah mentimun. Pada buah yang terserang ditemukan lubang pada permukaan buah, menyebabkan buah menjadi cepat busuk sehingga tidak layak untuk dikonsumsi dan dijual (CABI 2005). D. indica merupakan hama yang biasa hidup di daerah tropis atau sub tropis. Di Jepang mortalitas tertinggi D. indica adalah pada suhu 30oC (Kinjo dan Arakaki 2002), sedangkan di India mortalitas tertingginya pada suhu 40oC (Peter dan David 1992). Perbedaan hasil ini disebabkan karena adanya faktor lain yang juga memengaruhi perkembangan D. indica seperti ras, jenis inang, dan kondisi laboratorium (Hosseinzade et al. 2014). D. indica merupakan serangga dengan tipe metamorfosis sempurna yakni telur – larva – pupa – imago. Telur berwarna putih krem dan berukuran 1-2 mm. Masa inkubasi telur berlangsung satu sampai tujuh hari hingga menetas. Larva berwarna hijau gelap dengan dua garis putih sepanjang tubuh (Brown 2003). Larva memakan daun, batang lunak dan buah. Larva hidup sekitar tiga minggu sampai menjadi pupa. Ganehiarachchi (1997) menyatakan bahwa larva D. indica mengalami pergantian instar sebanyak lima kali, dengan ukuran lebar kepala masing-masing dari instar I sampai instar V secara berturut-turut adalah 0.24, 0.35, 0.58, 0.87 dan 1.58 mm. Hal senada juga dilaporkan Barma dan Jha (2014) bahwa D. indica mengalami lima instar, dimana penentuan instar dilakukan dengan pengukuran lebar kepala. Periode pupa 14 hari sebelum imago dewasa muncul dengan panjang pupa 10-15 mm dan biasanya ditemukan di dalam tanah, di bawah buah atau di gulungan daun. Imago dewasa memiliki lebar sayap sekitar 20-25 mm. Sayap berwarna putih dengan pita berwarna coklat gelap di sepanjang pinggiran. Imago dewasa hidup selama satu sampai dua minggu dan dalam kurun waktu ini betina dapat bertelur 115 telur pada bagian bawah daun tanaman inang. Imago dewasa biasanya aktif di malam hari. Durasi setiap tahap perkembangan dapat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan kualitas tanaman inang
4 Neraca Kehidupan Demografi adalah analisis kuantitatif karakteristik suatu populasi, terutama hubungannya dengan pola pertumbuhan populasi, hubungan ketahanan, dan pergerakan populasi (Bellows et al. 1992). Hal ini sangat erat hubungannya dengan dinamika populasi namun penekanannya agak berbeda, demografi lebih memusatkan pada pola perkembangan, kelahiran, kematian, dan pergerakan, sementara itu sebab dan akibat dari fenomena ini dipelajari dalam dinamika populasi. Aspek demografi suatu populasi terdapat dalam neraca kehidupan. Neraca kehidupan merupakan teknik menghitung angka kelahiran dan kematian suatu populasi. Neraca tersebut adalah ringkasan pernyataan tentang kehidupan individu populasi atau kelompok. Dari data yang dihasilkan dapat dihitung berapa lama harapan hidup yang masih tersisa dari suatu individu (Price 1984). Ada dua tipe dari neraca kehidupan yaitu yang bersifat spesifik umur (age specific) atau tabel kehidupan horizontal, serta yang bersifat spesifik waktu (time spesific) atau tabel kehidupan vertikal. Neraca kehidupan yang bersifat spesifik waktu menganalisis data yang diambil pada suatu kejadian tunggal, ketika diasumsikan bahwa semua generasinya sudah saling lingkup dengan sempurna oleh karena itu kelas umur secara simultan sama. Neraca kehidupan yang bersifat spesifik umur mencakup penghitungan yang berulang terhadap suatu kelompok (kohort) tunggal yang terdiri dari individu yang sama umumya sepanjang waktu. Tabel ini sering digunakan dalam entomologi (Bellows et al. 1992). Selanjutnya Tarumingkeng (1992) menyatakan bahwa untuk mengembangkan model-model perkembangan populasi yang lebih realistik yaitu berdasarkan keadaan populasi yang sebenarnya diamati perkembangan populasi dengan mengumpulkan data kerapatan populasi atau jumlah individu (N) dalam populasi untuk waktu (t) tertentu, yang akan mencakup berbagai umur yang dibagi dalam selang tertentu. Tarumingkeng (1992) lebih lanjut menjelaskan bahwa neraca kehidupan merupakan riwayat perkembangan kohort yang bersifat dinamis mulai umur nol sampai umur dimana semua individu dalam populasi mati. Neraca kehidupan juga dikenal sebagai tabel kehidupan horizontal yang diamati selang satu generasi, yang lebih sesuai digunakan untuk spesies yang berumur pendek dan perkembangan hidupnya dapat diamati di laboratorium. Berdasarkan data persebaran dan inangnya potensi D. indica menjadi hama utama termasuk dalam kategori menengah, kerugian terbesar apabila larva menyerang tanaman pada saat awal pembentukan buah, dimana buah yang terserang akan menjadi berlubang dan busuk. Morgan dan Midmore (2002) melaporkan D. indica menjadi masalah umum di Australia . Bellows et al. (1992) lebih jauh menambahkan bahwa untuk mengkonstruksi suatu neraca kehidupan yang horizontal, jumlah total dari individu-individu awal dari masing-masing stadia selama kehidupan dari seluruh generasi harus ditentukan. Jumlah ini berbeda dari kepadatan populasi pada setiap stadium, yang disebabkan oleh masuknya individu-individu ke dalam suatu stadia terjadi pada periode tertentu dan selama itu telah ada beberapa individu yang hilang karena mati atau telah memasuki stadia
5 berikutnya. Jumlah-jumlah yang memasuki suatu stadia dapat diukur secara langsung selama waktu masuknya individu-individu ke masing-masing stadia atau diestimasi dari data kepadatan populasi dari masing-masing stadia selama waktu tertentu. Mortalitas riil adalah rasio dari jumlah individu-individu yang mati di dalam suatu stadia (dx) terhadap jumlah yang pada awalnya memasuki stadia pertama (lx). Mortalitas riil dapat digunakan untuk membandingkan peranan dari faktor-faktor di dalam generasi, serta faktor-faktor yang beraksi secara berurutan, yang tidak bersamaan (Southwood dan Henderson 2000). Laju intrinsik dari peningkatan populasi yang terjadi secara alami dimana efek dari kepadatan populasi yang meningkat tidak perlu dipertimbangkan (Birch 1948). Bellows et al. (1992) menyatakan bahwa estimasi mengenai fekunditas memberikan kemungkinan untuk mengkonstruksi neraca kehidupan yang lengkap, sehingga laju reproduksi bersih (Ro) dan laju pertambahan intrinsik (r) dapat dihitung. Parameter-parameter seperti itu mengintegrasikan berbagai efek dari mortalitas yang terjadi dan fertilitas ke dalam suatu nilai tunggal. Nilai Ro yang kurang dari satu, serta nilai rm, yang kurang dari nol mengindikasikan populasi yang menurun, sedangkan nilai Ro yang lebih besar dari satu dan nilai rm, yang lebih besar dari nol menunjukkan populasi yang meningkat.
6
3 METODE Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di lapangan dan di laboratorium. Di lapangan, penelitian ini dilakukan pada tiga lokasi pertanaman mentimun, yaitu di Desa Cihideung udik dan Desa Benteng,Kecamatan Ciampea, dan Desa Cangkurawok, Kecamatan Dramaga. Di laboratorium, penelitian dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Penelitian ini dimulai pada bulan Oktober 2013 sampai dengan bulan Juni 2014.
Pelaksanaan Penelitian Budi Daya Tanaman Mentimun Luasan lahan lokasi pengamatan adalah 50 m x 25 m. Budi daya tanaman mentimun terdiri atas beberapa tahapan, yaitu pengolahan tanah, pemberian pupuk kandang, penanaman, pemasangan ajir serta perawatan tanaman. Varietas mentimun yang ditanam yaitu Mutiara Bumi, Alicia F1. Jarak tanaman mentimun yang diterapkan pada lokasi pengamatan adalah 0.6 m x 0.6 m. Benih mentimun ditanam di setiap bedengan dengan lebar 1.0 m – 1.2 m dan tinggi 0.4 m. Pada tiga lahan lokasi penanaman dibedakan oleh ada atau tidaknya aplikasi pestisida. Lahan mentimun di desa Cihideung Udik dan desa Benteng dilakukan aplikasi pestisida sedangkan pada lahan di desa Cangkurawok tidak dilakukan aplikasi pestisida. Adapun pemakaian pestisida ini dilakukan pada minggu keempat atau kelima setelah benih mentimun ditanam. Pemakaian pupuk baik sintetis dan organik dilakukan dengan jumlah yang sama pada tiga lokasi penanaman. Pemeliharaan Massal D. indica Serangga D. indica dikumpulkan dari lahan pertanaman mentimun. Larva atau pupa yang didapat dari lapangan selanjutnya dipelihara di laboratorium untuk dikembangbiakkan. Larva dipelihara dalam wadah plastik berukuran 14 cm x 9 cm x 7 cm. Larva yang telah menjadi pupa kemudian ditempatkan pada wadah plastik berdiameter 3 cm, tinggi 18 cm sampai menjadi imago. Imago dipelihara pada toples plastik (diameter 11 cm, tinggi 11 cm), pada bagian atas toples diletakkan kapas yang telah dibasahi larutan madu 20% yang berfungsi sebagai pakan imago. Imago dipelihara hingga menghasilkan telur dan mati. Telur yang dihasilkan dipindahkan ke dalam tabung plastik berdiameter 9 cm, tinggi 12 cm. Larva yang muncul dipelihara hingga menjadi imago. Pengamatan Siklus Hidup D. indica di Laboratorium Sebanyak 100 telur yang berumur sama dari hasil pemeliharaan sebelumnya diinkubasi hingga menetas. Larva yang muncul kemudian dipelihara dalam tabung plastik yang berisi pakan daun mentimun. Daun diganti setiap hari sampai larva menjadi pupa. Pupa kemudian dipindahkan dalam wadah plastik berdiameter 3 cm, tinggi 18 cm hingga menjadi imago. Imago yang muncul kemudian dipindahkan
7 ke dalam wadah plastik berukuran 14 cm x 9 cm x 7 cm yang di dalamnya terdapat daun mentimun segar sebagai media peletakan telur. Larva difoto setiap hari untuk mengetahui ukuran panjang tubuh dan lebar kepala larva. Penentuan stadia larva dilakukan dengan mempelajari ukuran larva yang diperoleh dari foto yang kemudian diukur menggunakan program TPS DIG version 2 (Bennet dan Hoffmann 1998). Hasil digitasi kemudian dikonversi dengan Microsoft Excel 2010 menjadi ukuran panjang tubuh dan lebar kepala. Ukuran lebar kepala dianalisis dengan distribusi frekuensi untuk penentuan instar larva D. indica. Jumlah larva yang hidup, dan mati diamati dan dicatat perkembangannya setiap hari hingga menjadi imago dan menghasilkan telur. Lama stadia telur, larva, pupa dan imago, panjang dan lebar ukuran pupa, serta jenis kelamin imago yang muncul juga dicatat Pengamatan Siklus Hidup D. indica di Lapangan Untuk mempelajari siklus hidup D. indica di lapangan, sebanyak 80 larva dipilih secara acak pada tanaman mentimun. Larva instar I diberikan tanda dan dilakukan pengamatan setiap hari. Pengamatan dilakukan dengan mencatat masih ada atau tidaknya larva, masih hidup atau sudah mati. Larva yang masih hidup difoto dengan diberikan skala untuk mengetahui perkembangan instar di lapangan. Larva difoto setiap hari untuk mengetahui ukuran panjang tubuh dan lebar kepala larva. Untuk penentuan stadia instar larva digunakan pengukuran lebar kepala yang kemudian di analisis dengan distribusi frekuensi berdasarkan metode yang digunakan Chen dan Seybold (2013). Jumlah larva yang hidup, dan mati diamati dan dicatat perkembangannya setiap hari hingga menjadi imago dan menghasilkan telur. Lama stadia larva, pupa dan imago, panjang dan lebar ukuran pupa, serta jenis kelamin imago yang muncul juga dicatat. Faktor kematian D. indica dihitung menggunakan rumus sebagai berikut :
Persentase hiperparasit dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Pendugaan Instar Larva Jumlah instar larva diduga dengan cara mengukur lebar kepala larva. Setiap hari dilakukan pengukuran pada 240 larva yang diamati di lapangan dan difoto menggunakan kamera digital Casio EX-ZS5 dengan alat ukur penggaris sebagai acuan skala. Hasil foto tersebut ditransfer ke komputer dan gambar hasil pemotretan didigitasi menggunakan program morfometri TPS DIG version 2 (Bennet dan Hoffmann 1998). Digitasi dilakukan terhadap bagian lebar kepala larva yang keberadaannya konsisten. Lebar kepala yang dimaksud adalah jarak antar mata. Hasil digitasi berupa nilai vektor, selanjutnya dengan menggunakan program Microsoft Excel dimasukkan ke dalam persamaan berikut untuk mendapatkan ukuran yang sesungguhnya :
8
Ds (mm) = Dv/Dp dengan Dv adalah jarak vektor (mm), Ds jarak sesungguhnya (mm), Dp jarak perbesaran, serta X1, X2, Y1, dan Y2 menyatakan titik-titik vektor pada sumbu X dan Y. Data ukuran kapsul kepala dianalisis dengan distribusi frekuensi ukuran lebar kepala dan jumlah larva dalam selang kelas tertentu sehingga diperoleh pengelompokan ukuran lebar kepala yang menandakan pergantian instar larva. Pengamatan Kohort D. indica Kohort merupakan kelompok individu yang lahir dalam interval waktu yang hampir sama (Begon et al. 2006). Pengamatan kohort D. indica dilakukan dalam empat tahap yang disesuaikan dengan tahap perkembangan D. indica. Pengamatan Stadia Telur D. indica. Telur D. indica yang digunakan sebagai populasi awal kohort berasal dari investasi telur oleh imago betina hasil perbanyakan. Pengamatan dimulai dengan mempersiapkan 100 telur yang berasal dari lima betina ke dalam toples plastik dan diinkubasi hingga menetas. Telur yang digunakan merupakan telur yang diletakkan pada hari yang sama. Pengamatan dilakukan setiap hari dengan mencatat jumlah larva instar I yang muncul dari toples plastik. Larva instar I yang muncul kemudian dipindahkan dan dipelihara untuk pengamatan lama stadia larva. Data hasil pengamatan stadia telur memberikan perbandingan gambaran distribusi lama stadia telur, jumlah telur yang diletakkan, jumlah telur yang menetas dan persentase penetasan. Pengamatan Stadia Larva D. indica. Larva instar I yang digunakan untuk pengujian ini merupakan larva yang muncul dari 100 telur yang digunakan pada awal pengamatan. Larva yang muncul dimasukkan ke dalam wadah plastik berukuran 14 cm x 9 cm x 7 cm yang berisi pakan daun mentimun. Pengamatan lama stadia larva dilakukan dengan mengamati jumlah larva yang hidup, mati, dan dicatat perkembangannya setiap hari sampai larva menjadi pupa. Pengamatan tahap ini memberikan gambaran lama stadia, distribusi umur instar dan laju kesintasan larva. Pengamatan Stadia Pupa D. indica. Pengamatan lama stadia pupa dilakukan saat pupa terbentuk sampai pupa menjadi imago. Pupa yang terbentuk dimasukkan ke dalam wadah plastik (diameter 3 cm, tinggi 18 cm). Pengamatan ini menghasilkan data lama stadia dan jumlah pupa yang berhasil berkembang menjadi imago. Pengamatan Imago D. indica. Tahap terakhir dari pengamatan kohort adalah pengamatan imago. Imago yang muncul dari pupa pada pengamatan sebelumnya dipelihara dalam wadah plastik yang berisi kapas yang telah dibasahi dengan larutan madu 20% sebagai pakan D. indica dan daun mentimun sebagai media peletakkan telur oleh imago D. indica. Satu ekor imago betina yang muncul kemudian dipaparkan dengan satu ekor imago jantan. Pemaparan dilakukan agar
9 imago jantan dan betina dapat berkopulasi sehingga dapat menghasilkan telur. Pemaparan dilakukan setiap hari sampai seluruh imago mati. Pengamatan ini menghasilkan data berupa siklus dan lama hidup imago jantan dan betina, periode praoviposisi, umur betina saat pertama kali meletakkan telur, periode oviposisi, dan fekunditas.
Analisis Data Data mengenai kemampuan hidup dan kepiridian disusun dalam bentuk tabel neraca kehidupan (life table). Data-data yang dibutuhkan dalam perhitungan tersebut adalah (Begon et al. 2006): 1. x adalah kelas umur kohort (hari), 2. lx adalah peluang hidup setiap individu pada umur x, 3. mx adalah fekunditas per individu pada umur x 4. lxmx adalah banyaknya keturunan yang dilahirkan pada kelas umur x, sedangkan ∑lxmx merupakan keperidian per individu yang lahir dari imago betina yang berhasil hidup sepanjang generasi kohort dan biasa disebut dengan laju reproduksi bersih (R0). Dari data tersebut perhitungan dilanjutkan untuk menghitung parameter demografi yang dihitung meliputi (Birch 1948): 1. Laju produksi kotor (GRR) = 2. Laju produksi bersih (R0) = 3. Laju pertambahan instrinsik (rm) = dengan r awal = (ln R0) / T / 4. Rataan masa generasi (T) = 5. Populasi berlipat ganda (DT) = ln(2)/T Mengingat dalam penelitian hanya digunakan 1 kohort sehingga tidak dapat ditunjukkan nilai ragam dari semua statistik demografi (GRR, R0, rm, T, dan DT) yang diperoleh. Oleh karena itu, dalam penelitian dilakukan pendugaan nilai ragam kelima statistik demografi di atas menggunakan prosedur Jack-knife. Jackknife adalah metode pengambilan contoh ulang (resampling) yang digunakan untuk estimasi bias dan menduga standar deviasi (Efron dan Tibshirani 1993). Prosedur Jack-knife yang dilakukan pada penelitian ini adalah menghitung suatu statistik secara berulang dengan mengeluarkan satu dari sampel (n) sebanyak 50 kali, sehingga dihasilkan 50 sampel terpisah yang masing-masing memiliki ukuran sebesar n-1.
10
4 HASIL Penentuan Stadia Instar Larva D. indica Pendugaan jumlah instar larva D. indica dilakukan melalui pengukuran terhadap lebar kepala yang ditampilkan dalam bentuk kurva distribusi frekuensi dalam selang kelas tertentu sehingga menghasilkan lima puncak yang terpisah (Gambar 1). Hal ini menunjukkan bahwa larva D. indica melewati lima tahapan ganti kulit atau terdiri atas lima instar. Menurut Godin et al. (2002), hasil pengukuran diasumsikan terdistribusi normal dan membentuk puncak-puncak dan setiap puncak mewakili satu instar. Hasil pendugaan ini sejalan dengan penelitian sebelumnya, seperti yang dilaporkan oleh Ganehiarachchi (1997) bahwa larva D. indica terdiri atas lima instar. Berdasarkan hasil pengukuran diperoleh lima instar D. indica dengan ukuran lebar kepala instar I 0.23 – 0.38 mm, instar II 0.39 – 0.58 mm, instar III 0.59 – 0.90 mm, instar IV 0.91 – 1.37 mm, dan instar V 1.38 – 1.49 mm (Gambar 1). Barma dan Jha (2014) juga menyatakan bahwa D. indica terdiri dari lima instar, namun tidak dijelaskan ukuran larva dan metode apa yang digunakan untuk penentuan instar larva.
Gambar 1 Distribusi frekuensi lebar kepala D. indica
Faktor yang Memengaruhi Perkembangan D. indica Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan dan keberhasilan hidup D. indica. Dari total larva instar I yang diamati yang berhasil menjadi imago hanya 33.75-35% di lapngan dan 56% di laboratorium (Tabel 1). Penurunan keberhasilan hidup (sintasan) D. indica di lapangan disebabkan oleh beberapa faktor yang menyebabkan kematian D. indica diantaranya virus/bakteri, parasitoid Ichneumonidae (Tricholobus sp., Xanthopimpla sp.), parasitoid Braconidae
11 (Apanteles taragamae), dan predator Coccinelidae. Pada larva instar awal penyebab kematian umumnya disebabkan oleh hilangnya larva, serta virus/bakteri, sedangkan pada larva instar III sampai pupa penyebab kematian umumnya parasitoid. (Tabel 2 – 4). Hasil penelitian juga menemukan adanya parasitoid larva Tricholobus sp yang belum pernah dilaporkan di Indonesia. Di India, parasitoid ini dilaporkan sebagai endoparasitoid dari larva Heliothis viriplaca. Parasitoid ini bersifat soliter, yaitu dari satu individu inang hanya terdapat satu parasiotid yang dapat berkembang secara normal. Selain parasitoid larva, ditemukan juga parasitoid pupa Xanthopimpla sp. Parasitoid Xanthopimpla sp. merupakan parasitoid yang bersifat soliter yang biasa ditemukan pada penggerek batang padi. Predator Coccinellidae juga ditemukan pada penelitian. Coccinellidae sendiri sudah banyak digunakan sebagai agen pengendali hayati yang efektif untuk beberapa hama kutu-kutuan. Pada penelitian ini diasumsikan larva yang hilang sebagai mati. Di laboratorium, kematian serangga ini disebabkan oleh infeksi virus/bakteri. Tabel 1 Sintasan D. indica pada masing-masing stadia di lapangan dan di laboratorium Stadia Laboratorium Telur Telur - Larva Telur - Pupa Telur - Imago Larva Larva instar I - II Larva instar II - III Larva instar III - IV Larva instar IV - V Larva instar V - Pupa Larva - Pupa Larva - Imago Pupa - Imago
Sintasan (%) Cihideung Udik Benteng
Cangkurawok
65.00 61.00 56.00
-
-
-
93.00 84.95 86.08 95.59 93.85 61.00 56.00 91.80
98.75 84.81 83.58 82.14 60.87 35.00 33.75 96.43
86.25 85.51 93.22 60.00 81.82 33.75 33.75 100.00
97.50 89.74 95.71 89.55 50.00 36.25 35.00 93.33
Tabel 2 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada lokasi Cihideung udik Penyebab kematian
Persentase kematian (%) Instar Instar Instar V III - IV IV - V - Pupa 6.25 2.50 0.00
Pupa Imago 0.00
Jumlah
0.00
0.00
13.75
3.75
21.25
0.00
25.00
0.00
1.25
0.00
1.25
Instar I - II 1.25
Instar II - III 10.00
Mati tubuh menghitam (virus/bakteri) Terparasit Braconidae (Apanteles taragamae)
0.00
5.00
7.50
1.25
0.00
0.00
0.00
Terparasit Ichneumonidae (Tricholobus sp.)
0.00
0.00
0.00
Hilang
20.00
12 Terparasit Ichneumonidae (Xanthopimpla sp.)
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.25
1.25
Predator
0.00
0.00
0.00
1.25
0.00
0.00
1.25
Tabel 3 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada lokasi Benteng Persentase kematian (%) Instar Instar Instar Instar II – III III – IV IV – V V – Pupa
Pupa – Imago
Jumlah
0.00
0.00
17.50
3.75
0.00
0.00
20.00
0.00
17.50
5.00
0.00
22.50
0.00
0.00
3.75
2.50
0.00
6.25
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Penyebab kematian
Instar I – II
Hilang
11.25
3.75
0.00
2.50
Mati tubuh menghitam (virus/bakteri)
2.50
8.75
5.00
Terparasit Braconidae (Apanteles taragamae)
0.00
0.00
Terparasit Ichneumonidae (Tricholobus sp.)
0.00
Terparasit Ichneumonidae (Xanthopimpla sp.) Predator
Tabel 4 Distribusi kematian D. indica menurut faktor penyebabnya pada lokasi Cangkurawok Penyebab kematian
Persentase kematian (%) Instar Instar Instar V III - IV IV - V - Pupa 1.25 1.25 0.00
Pupa Imago 0.00
Jumlah
8.75
0.00
27.50
5.00
22.50
0.00
27.50
0.00
1.25
0.00
0.00
1.25
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
Instar I - II 1.25
Instar II - III 2.50
Mati tubuh menghitam (virus/bakteri)
1.25
7.50
2.50
7.50
Terparasit Braconidae (Apanteles taragamae)
0.00
0.00
0.00
Terparasit Ichneumonidae (Tricholobus sp.)
0.00
0.00
Terparasit Ichneumonidae (Xanthopimpla sp.)
0.00
Predator
0.00
Hilang
6.25
Pada penelitian ini juga ditemukan adanya hiperparasitoid oleh parasitoid Aphanogmus manilae (Hymenoptera: Ceraphronidae) dan Stictopisthus sp (Hymenoptera: Ichneumonidae) (Lampiran 2) yang memarasit A. taragamae. Persentase hiperparasitoid ini pada 3 lokasi lapangan dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Persentase hiperparasitoid pada tiga lokasi Lokasi Hiperparasitoid Cihideung Udik Benteng Ichneumonidae 16.00 (12/75) 12.24 (6/49) (Stictopisthus sp) Ceraphronidae 13.20 (7/53) 0.00 (A. manilae)
Cangkurawok 14.92 (10/67) 14.28 (8/56)
13 Neraca Kehidupan D. indica Sintasan atau peluang hidup D. indica diperoleh dari pengamatan harian yang dilakukan dari fase telur hingga menjadi dewasa. Kurva sintasan menggambarkan bahwa peluang hidup D. indica mulai menurun sejak individu berumur antara 4 sampai dengan 7 hari. Terdapat perbedaan peluang hidup antara lapangan dan laboratorium. Di laboratorium peluang hidup D. indica lebih tinggi dibandingkan dengan di tiga lokasi lapangan. Hal ini menggambarkan bahwa tingkat kematian D. indica lebih tinggi di lapangan dibandingkan di laboratorium (Gambar 2). Keperidian adalah jumlah telur yang dihasilkan oleh seekor betina. Peneluran terjadi setelah hari ke 26 atau 3 hari setelah D. indica menjadi imago Dari kurva keperidian terlihat bahwa D. indica lebih cepat bertelur di lapangan dibandingkan di laboratorium. Rataan jumlah telur lebih banyak dihasilkan di laboratorium (50 telur/hari) dibandingkan di lapangan (30 telur/hari) (Gambar 3).
Gambar 2 Kurva sintasan D.indica pada empat lokasi
Gambar 3 Keperidian D. indica pada empat lokasi
14 Tabel 6 Parameter demografi D. indica Lokasi Parameter Laju reproduksi kotor (GRR)
262.35 ± 2.82
Cihideung Udik 202.60 ± 3.51
Laju reproduksi bersih (Ro)
51.55 ± 1.32
43.93 ± 0.94
50.36 ± 1.09
54.22 ± 1.01
Laju pertambahan intrinsik (rm)
0.13 ± 0.00
0.12 ± 0.00
0.13 ± 0.00
0.14 ± 0.00
Lama generasi (T) (hari)
31.28 ± 0.04
32.84 ± 0.09
28.95 ± 0.05
31.08 ± 0.08
5.50 ± 0.01
6.02 ± 0.04
5.12 ± 0.03
5.39 ± 0.02
Doubling time (DT) (hari)
Laboratorium
Benteng
Cangkurawok
213.53 ± 2.32
277.24 ± 2.00
Laju reproduksi kotor (GRR) D. indica di laboratorium berbeda nyata dengan di lapangan. GRR di laboratorium lebih rendah dari GRR di Cangkurawok tetapi lebih tinggi dari GRR di Cihideung Udik dan Benteng. Rata-rata GRR di laboratorium lebih tinggi sekitar 49 – 60 keturunan betina dari Cihideung Udik dan Benteng tetapi lebih rendah sekitar 15 keturunan betina dari Cangkurawok (Tabel 6). Hasil ini memerlihatkan ada variasi yang signifikan pada banyaknya keturunan yang dihasilkan oleh imago betina D. indica baik antar lokasi di lapangan maupun antara lapangan dan laboratorium. Nilai Ro D. indica tertinggi di Cangkurawok dan terendah di Cihideung Udik. Nilai Ro di laboratorium berada di antara nilai Ro di lapangan. Nilai Ro D. indica di laboratorium tidak berbeda nyata dengan di Benteng, tetapi berbeda nyata dengan di Cihideung Udik dan Cangkurawok. Rata-rata Ro di laboratorium lebih tinggi dibandingkan dengan di Cihideung Udik sekitar 5 – 9 keturunan betina/induk tetapi lebih rendah 1 – 5 keturunan betina/induk dari Cangkurawok. Laju pertambahan intrinsik D. indica di laboratorium tidak berbeda nyata dengan Benteng, tetapi berbeda dengan Cihideung Udik dan Cangkurawok. Senada dengan nilai Ro, Nilai rm tertinggi terdapat di Cangkurawok, sedangkan terendah di Cihideung Udik. Nilai T yang semakin kecil menunjukkan semakin cepat suatu organisme untuk berkembang biak. Semakin kecil nilai T maka semakin cepat waktu suatu individu untuk berkembang biak. Doubling time adalah waktu yang dibutuhkan untuk populasi D. indica menjadi berlipat ganda (DT). Nilai DT sebanding dengan nilai T, semakin besar nilai T maka nilai DT pun akan semakin besar, pada lokasi Cihideung Udik nilai T dan DT lebih tinggi dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Hasil penelitian memerlihatkan bahwa rata-rata waktu generasi di laboratorium 31.3 hari sementara di lapangan 28.9 – 32.8 hari. Sedangkan, ratarata waktu yang diperlukan untuk populasi menjadi dua kali lipat di laboratorium 5.5 hari sedangkan di lapangan 5.1 – 6.0 hari. Nilai T dan DT tertinggi di Cihideung Udik dan terendah di Benteng. Di Benteng nilai T lebih cepat 2 – 4 hari dibandingkan dengan di Cihideung Udik (Tabel 6).
15 Biologi dan Siklus Hidup D. indica Telur D. indica diletakkan secara berkelompok di bawah permukaan daun mentimun (Gambar 4). Telur berbentuk bulat pipih dengan rata-rata panjang 0.72 mm dan lebar 0.36 mm. Telur menetas 1 sampai 3 hari setelah diletakkan. Pada hari pertama diletakkan, telur berwarna kuning transparan, kemudian warna telur secara perlahan berubah menjadi kuning pekat yang menandakan telur akan segera menetas.
Gambar 4 Telur D. indica di permukaan daun Tubuh larva instar I berwarna hijau kekuningan dengan kepala berwarna hijau muda (Gambar 5A). Ukuran rata-rata panjang tubuh dan lebar kepalanya adalah masing-masing 3.30 mm dan 0.31 mm. Larva instar I yang baru muncul tidak langsung aktif bergerak tetapi bersembunyi terlebih dahulu di antara tulang daun. Setelah dua hari larva instar I berubah warna menjadi kehijauan dan larva mulai aktif bergerak dan memakan bagian tengah menuju bagian tepi daun. Ratarata lama stadia larva instar ini di laboratorium tidak berbeda nyata dengan di lapangan, yaitu sebesar 3.39 hari dibandingkan dengan 3.96 – 4.81 hari (Tabel 7). Tubuh larva instar II memiliki warna kehijauan yang lebih pekat dibandingkan dengan larva instar I (Gambar 5B). Pada larva instar II mulai muncul garis putih pada bagian dorsal larva. Ukuran rata-rata panjang tubuh larva instar II adalah 5.72 mm dengan rata-rata lebar kepala 0.41 mm. Pada fase ini larva sudah lebih aktif bergerak dibandingkan dengan larva instar I. Lama stadia ini di laboratorium tidak berbeda nyata dengan di lapangan dengan rata-rata sebesar 2.47 hari dibandingkan dengan 2.61 – 3.78 hari (Tabel 7).
A
A
A
B
B
Gambar 5 Larva D. indica instar I (A) dan instar II (B)
1 – 4 (56)
1 – 5 (46)
6 - 8 (28)
2 – 4 (68)
1 – 5 (65)
6 – 8 (61)
Larva Instar IV
Larva Instar V
Pupa
23 – 35 (14)
27 - 39 (14)
2 – 4 (14)
5 – 10 (14)
50 – 209 (14)
23 – 32 (29)
26 – 35 (29)
2 – 6 (29)
4 – 10 (29)
37 – 309 (29)
Siklus Hidup Umur pertama meletakkan telur Masa Praoviposisi Masa Oviposisi
2
1
57 – 305 (13)
6 – 10 (13)
2 – 4 (13)
25 - 27 (13)
22 – 24 (13)
8 – 13 (13)
7 – 11 (14)
6 - 8 (27)
1 – 3 (33)
2 – 4 (55)
2 – 4 (59)
2 – 4 (69)
3 - 5 (80)
Benteng
angka dalam tanda kurung adalah ukuran contoh angka yang mengikuti tanda adalah simpangan baku
Kepiridian
7 – 12 (16)
2 – 13 (29)
Lama Hidup
Imago Betina :
Lama Hidup
7 – 11 (11)
2 – 4 (67)
2 – 4 (79)
Larva Instar III
4 – 13 (27)
2 – 5 (79)
1 – 4 (93)
Larva Instar II
Imago Jantan :
3 - 5 (80)
Cihideung Udik
2 - 4 (100)
Laboratorium
Larva Instar I
Stadia
Selang Stadia (hari)1
3.16 ± 0.66 3.39 ± 0.90 2.50 ± 1.48 7.29 ± 0.89
2.70 ± 0.79 2.38 ± 1.27 2.59 ± 0.91 7.33 ± 0.65
93 – 190 (17)
7 – 12 (17)
2 – 3 (17)
21 – 37 (17)
18 – 34 (17)
9 – 12 (17)
5 – 11 (11)
6 – 9 (29)
2 – 5 (60)
2 – 4 (67)
2 – 4 (70)
103.32 ± 67.00
6.50 ± 1.61
3.88 ± 0.83
29.56 ± 2.96
25.68 ± 3.13
10.60 ± 1.83
149.13 ± 30.37
8.13 ± 1.20
3.60 ± 0.73
30.62 ± 2.80
27.63 ± 2.68
11.13 ± 1.45
8.64 ± 1.12
3.78 ± 0.79
2.47 ± 0.68
8.56 ± 2.29
4.81 ± 0.39
3.39 ± 0.72
2 – 5 (80) 1 – 4 (78)
Cihideung Udik
Laboratorium
178.54 ± 66.52
8.38 ± 1.04
2.84 ± 0.89
26.07 ± 0.64
23.23 ± 0.83
11.23 ± 1.30
8.64 ± 1.34
7.59 ± 0.75
2.06 ± 0.49
2.43 ± 0.92
3.05 ± 0.34
2.61 ± 0.77
4.10 ± 0.71
Benteng
Rata-rata ± Galat Stadia (hari)2 Cangkurawok
Tabel 7 Lama stadia D. indica pada 3 lokasi pertanaman mentimun dan laboratorium
138.00 ± 29.01
8.24 ± 1.09
2.70 ± 0.47
29.05 ± 5.08
26.35 ± 5.16
11.00 ± 1.22
7.00 ± 1.67
7.07 ± 0.88
2.13 ± 1.37
4.04 ± 1.53
3.03 ± 0.61
3.04 ± 1.02
3.96 ± 1.07
Cangkurawok
B16 B16
17 Larva instar III dan IV berwarna hijau dengan dua garis berwarna putih di sepanjang tubuh bagian dorsal. dan kepala berwarna hijau (Gambar 6A dan 6B). Larva instar III memiliki panjang 8.11 mm dengan lebar kepala 0.67 mm. Larva instar IV memiliki ukuran rata-rata panjang 10.46 mm dengan rata-rata lebar kepala 0.93 mm. Pada kedua fase ini larva lebih aktif makan daun dan batang lunak. Lama stadia larva instar III dan IV ini juga tidak berbeda nyata antara di laboratorium dan di lapangan. Rata-rata lama stadia larva instar III dan IV di laboratorium berturut-turut adalah 2.70 hari dan 2.38 hari, sedangkan di lapangan adalah 3.03 – 3.16 hari dan 2.43 – 4.04 hari (Tabel 7).
A
B Gambar 6 Larva D.indica instar III (A) dan instar IV (B)
Larva instar V berwarna hijau dengan dua garis putih sepanjang tubuh yang semakin jelas dan kepala berwarna hijau kekuningan. Panjang tubuh dan lebar kepala larva instar V adalah 12.00 mm dan 1.43 mm. Pada fase ini, larva mulai memasuki masa prapupa, yang berlangsung 1 sampai 2 hari. Menjelang masa prapupa tubuh larva berubah warna menjadi lebih pucat. Masa prapupa ditandai dengan menurunnya aktivitas dan kemampuan makan. Larva mulai menyelubungi tubuhnya dengan menjalin benang-benang yang dihasilkan dari mulutnya (Gambar 7). Biasanya larva tersebut melipat daun dan kemudian bersembunyi di dalam lipatan daun tersebut. Saat fase prapupa, larva akan mengalami penyusutan ukuran tubuh sehingga terlihat lebar dan gemuk. Lama stadia larva instar V ini di laboratorium dan di lapangan juga tidak berbeda nyata. Rata-rata lama stadia di laboratorium 2.59 hari dan di lapangan 2.06 – 2.50 hari (Tabel 7).
Gambar 7 Larva Instar V D. indica yang akan memasuki periode prapupa
18 Pupa berwarna coklat mengkilap, dengan tipe pupa D. indica adalah obtekta. Bagian bakal antena, alat mulut, bakal sayap dan bakal tungkai dapat dilihat dengan jelas. Rata-rata panjang 11.26 mm dan lebar tubuh pupa 2.53 mm (Gambar 8A). Perbedaan pupa jantan dan betina dapat dilihat dari karakteristik morfologinya. Pupa jantan memiliki bentuk ujung abdomen kerucut dan memiliki pola warna gelap terang yang jelas antar ruas abdomen, sedangkan pupa betina memiliki bentuk ujung abdomen yang lebih ramping serta pola warna gelap terang antar ruas abdomen yang kurang jelas (Gambar 8B dan 8C). Selain itu, pada pupa betina terdapat celah pada sternum ruas abdomen terakhir. Pupa yang akan menjadi imago ditandai dengan perubahan warna dari coklat menjadi kehitaman dan biasanya terdapat dalam gulungan daun. Stadia pupa di laboratorium berlangsung 7.33 hari dan tidak berbeda nyata dengan di lapangan yaitu 7.07 – 7.59 hari (Tabel 7).antara 6 sampai 12 hari.
B
A A
C B
Gambar 8 Pupa D. indica jantan (kiri) dan betina (kanan) (A), ujung abdomen pupa jantan (B), ujung abdomen pupa betina (C) Imago yang baru terbentuk berwarna putih kekuningan (krem). Sayap berwarna putih dengan pita berwarna coklat gelap di sepanjang pinggiran sayap. Warna sayap antara jantan dan betina hampir sama. Imago jantan dan betina dapat dibedakan melalui morfologi abdomennya. Pada abdomen imago betina terdapat rumbai (bulu-bulu halus) berwarna kuning dengan jumlah yang lebih banyak. dan ukuran abdomen yang lebih besar dibandingkan dengan imago jantan (Gambar 9). Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa panjang larva umumnya berkaitan dengan jenis kelamin dari imago D. indica. Larva D. indica dengan panjang 12.83 – 14.96 mm umumnya menjadi imago betina, sedangkan larva dengan panjang 11.03 – 12.68 mm menjadi imago jantan. Ukuran lebar rentang sayap jantan adalah 12.62 mm dan sayap betina 13.32 mm. Lama stadia imago jantan lebih singkat dari imago betina. Lama stadia imago ini tidak berbeda nyata antara di laboratorium dan di lapangan. Kisaran lama stadia imago jantan adalah 7.00 – 8.64 hari sedangkan imago betina adalah 10.60 – 11.23 hari (Tabel 7). Siklus hidup dalam hal ini merupakan lamanya waktu perkembangan serangga mulai telur hingga serangga tersebut meletakkan telur untuk pertama kalinya. Siklus hidup betina berlangsung dari 18 sampai 34 hari (Gambar 10). Tidak ada perbedaan nyata siklus hidup betina yang dipelihara di laboratorium dengan di lapangan. Rata-rata siklus hidup betina di laboratorium adalah 25.68 hari sementara di lapangan 23.23 – 27.63 hari (Tabel 7).
C
19
Gambar 9 Imago D. indica betina (kiri) dan jantan (kanan) Lama hidup D. indica diukur berdasarkan selang waktu sejak imago pertama kali muncul hingga imago tersebut mati. Lama hidup jantan berkisar antara 4 sampai 13 hari, sedangkan lama hidup betina berkisar antara 2 sampai 13 hari. 10 Laboratorium
9
Cihideung Udik
Jumlah imago betina
8
Benteng 7
Cangkurawok
6 5
4 3
2 1 0 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Siklus hidup betina (Hari)
Gambar 10 Siklus hidup D. indica betina
Masa Praoviposisi, Oviposisi dan Keperidian D. indica Pengamatan terhadap imago betina D. indica memiliki beberapa parameter tambahan di antaranya parameter masa praoviposisi, oviposisi, umur pertama kali meletakkan telur dan kepiridian. Masa praoviposisi betina D. indica berkisar antara 2 sampai 6 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata antara laboratorium dan lapangan baik dalam hal umur pertama meletakkan telur dan jumlah telur yang dihasilkan. Masa praoviposisi, oviposisi, dan umur pertama meletakkan telur terkait dengan lama hidup betina, dalam penelitian ini lama hidup betina dari keempat lokasi tidak menunjukkan adanya perbedaan. Namun, siklus hidup betina serta umur pertama meletakkan telur pada lokasi
20 Benteng lebih cepat dibandingkan dengan lokasi Cihideung Udik, tetapi tidak berbeda nyata dengan lokasi Cangkurawok dan laboratorium (Tabel 7). Mawan (2013) menyatakan bahwa masa praoviposisi dan umur pertama meletakkan telur juga secara tidak langsung memengaruhi keperidian organisme tersebut. Masa praoviposisi yang lama akan menyebabkan tertundanya proses peletakkan telur yang pertama. Umur peletakkan telur pertama pada empat lokasi berkisar antara 26 sampai 39 hari. Telur diletakkan berkelompok di sepanjang permukaan bawah tulang daun. Banyaknya telur dalam satu helai daun dapat mencapai 71 telur/hari. Imago dapat bertelur hingga 12 hari. Selama hidupnya imago betina mampu menghasilkan telur hingga 309 telur.
Nisbah Kelamin Pada penelitian ini nisbah kelamin ditampilkan sebagai persentase betina yang ada dalam tiap populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada ke empat lokasi pengamatan, besarnya persentase betina tidak berbeda nyata (Tabel 8). Tabel 8 Persentase betina D. indica pada empat lokasi Lokasi Laboratorium Cihideung Udik Benteng Cangkurawok a
Nisbah Kelamin (%) 51.79a 59.26a 48.15a 60.71a
Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji t)
21 5 PEMBAHASAN
Diaphania indica merupakan serangga yang mengalami metamorfosis sempurna dengan tahapan telur–larva–pupa–imago. Pergantian instar larva untuk serangga tertentu biasanya dapat diamati secara langsung yaitu dengan melihat pergantian kulit atau adanya eksuvia yang ditanggalkan oleh larva. Akan tetapi, pada larva D. indica sangat jarang ditemukan eksuvianya sehingga sulit untuk menentukan pergantian instar larva. Hal tersebut kemungkinan disebabkan larva D. indica memakan kembali eksuvia yang dilepaskannya. Larva dari ordo Lepidoptera diketahui menggerogoti korion yang menyelubunginya sebagai upaya untuk keluar dari telur dan saat pergantian instar, larva akan memakan eksuvianya (Chapman 1998), sedangkan menurut Gullan dan Cranston (2000) saat ganti kulit, epikutikula baru akan disintesis dan kutikula lama dapat dicerna kembali oleh serangga. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitan yang dilakukan Ganehiarachchi (1997) serta Barma dan Jha (2014) yang menyatakan bahwa larva D. indica terdiri atas lima instar. Namun, distribusi ukuran larva yang dihasilkan oleh kedua penelitian tersebut berbeda dengan ukuran lebar kepala larva yang dihasilkan dari penelitan ini. Ukuran lebar kepala larva pada penelitian ini lebih kecil dibandingkan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan Ganehiarachchi (1997) serta Barma dan Jha (2014). Hal ini diduga karena adanya perbedaan lokasi penelitan serta tanaman inang yang digunakan. Tanaman inang yang berbeda akan menghasilkan kandungan nutrisi yang berbeda yang berpengaruh terhadap pertumbuhan serangga. Panizzi dan Slansky (1985), menyatakan bahwa pertumbuhan dan reproduksi serangga sangat dipengaruhi nutrisi yang diperoleh baik pada masa pra dewasa maupun saat serangga dewasa. Hal ini didukung oleh House (1969) yang menyatakan bahwa larva serangga memerlukan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah yang berimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, banyak hal yang memengaruhi perkembangan dan sintasan D. indica. Sintasan di laboratorium lebih tinggi dibandingkan dengan di lapangan. Hal ini dikarenakan pemeliharaan D. indica di laboratorium berada pada kondisi yang optimal yaitu dengan sumber makanan yang tidak terbatas dan kematian terjadi secara alamiah. Meskipun demikian, tingkat kematian di laboratorium juga masih cukup tinggi yakni sebanyak 37%. Kematian di laboratorium disebabkan oleh kontaminasi bakteri atau virus. Hal ini diduga karena adanya investasi patogen di laboratorium. Serangga yang digunakan pada penelitian ini merupakan generasi kedua, dimana pada generasi pertama juga ditemukan kematian yang disebabkan oleh virus/bakteri. Morgan et al. (2001) menjelaskan bahwa neraca kehidupan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu spesies, inang, kondisi iklim tempat penelitian, dan metode perbanyakan serangga (rearing) yang digunakan. Pada penelitian ini diketahui bahwa sintasan D. indica semakin menurun dengan meningkatnya umur. Di lapangan terdapat faktor-faktor mortalitas D. indica yang diduga sebagai penyebab terjaganya populasi D. indica di bawah ambang batas ekonomi. Kematian D. indica disebabkan oleh berbagai macam faktor mortalitas diantaranya kematian akibat musuh alami, dalam hal ini, predator, parasitoid dan
22 virus/bakteri, serta larva menghilang. Larva yang mati dengan tubuh yang menghitam diasumsikan terpapar oleh virus atau bakteri, sedangkan larva yang hilang bisa disebabkan oleh tanaman inang yang hilang, terbawa hujan, atau serangan predator sehingga larva yang hilang juga diasumsikan mati. Dari penelitian yang dilakukan, parasitoid yang sering ditemukan di lapangan adalah A. taragamae. A. taragamae merupakan endoparasitoid larva. Parasitoid ini bersifat gregarius, artinya dari satu larva inang terdapat beberapa parasitoid yang berkembang secara normal menjadi dewasa. Beberapa penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa A. taragamae merupakan parasitoid yang biasa ditemukan menyerang D. indica. A. taragamae tercatat sebagai parasitoid braconidae yang dapat berasosiasi pada berbagai hama tanaman Lepidoptera seperti Spilosoma obliqua Wlk (Lepidoptera: Arctiidae), Eucosoma critica Meyrick (Lepidoptera: Eucososmidae), Mythimma unipunctata Haworth (Lepidoptera: Noctuidae) dan D. indica Saunders (Nixon 1967). Ganehiarachchi (1997) juga melaporkan A. taragamae sebagai parasitoid larva D. indica. Hal ini juga senada dengan penelitian yang dilakukan Lizmah (2015) yang menyatakan bahwa tingkat parasitisasi A. taragamae terhadap D. indica pada tanaman mentimun lebih tinggi (35.04%) dibandingkan A. claviatus dan Elasmus sp. Berdasarkan neraca kehidupan diperoleh informasi mengenai kehidupan D. indica, diantaranya kurva kesintasan dan keperidian. Kurva kesintasan (survivorship) menggambarkan peluang individu D. indica yang hidup pada semua stadia mulai dari telur, larva, pupa, dan imago (lx), dan keperidian dari imago betina per hari (mx). Price (1984) menjelaskan bahwa bentuk kurva kesintasan ini diperlukan untuk dapat membantu memahami strategi reproduksi populasi serangga. Kurva kesintasan D. indica menunjukkan peluang hidup yang rendah pada awal perkembangan diikuti dengan peluang hidup tinggi seiring dengan bertambahnya umur serangga. Menurut Price (1984) terdapat tiga kurva keberhasilan hidup serangga di alam, yaitu tipe I, II, dan III. Kurva tipe I menggambarkan peluang hidup yang tinggi (kematian rendah) pada awal perkembangan organisme kemudian menurun secara perlahan seiring pertambahan umur, tipe II menggambarkan peluang hidup yang konstan, dan tipe III menggambarkan peluang hidup yang lebih rendah pada awal perkembangan organisme kemudian meningkat secara perlahan seiring pertambahan umur. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa kurva perkembangan hidup serangga ini termasuk tipe III yakni jumlah keturunan yang dihasilkan tinggi dengan tingkat keberhasilan hidup yang rendah pada awal perkembangan kemudian meningkat seiring dengan pertumbuhan serangga. Begon dan Montimer (1981) menyatakan bahwa pola hidup seperti ini sering ditemukan pada sebagian besar spesies serangga. Pengamatan parameter demografi penting diamati, karena hasil pengamatan mengenai siklus hidup, lama hidup dan keperidian belum bisa menggambarkan tingkat kesesuaian tanaman inang dengan serangganya (Birch 1948). Nilai GRR dan R0 pada lokasi Cangkurawok lebih tinggi dibandingkan dengan tiga lokasi lainnya. Hal ini diduga karena pada lokasi Cangkurawok tidak dilakukan aplikasi pestisida sehingga kondisi lingkungan di lahan tersebut menjadi lebih optimum untuk perkembangan serangga. Menurut Price (1997) suatu populasi akan bertambah jika memiliki nilai R0 > 1 dan stabil jika R0 = 1. Nilai R0 dan GRR
23 yang lebih tinggi dapat menyebabkan perkembangan populasi D. inidica menjadi lebih cepat. Nilai rm yang tinggi dapat diartikan bahwa individu akan banyak mengalami kematian pada populasi alam. Nilai rm dari empat lokasi (laboratorium, Cihideung Udik, Benteng dan Cangkurawok) secara berturut turut adalah 0.13, 0.12, 0.13 dan 0.14. Nilai rm merupakan konstanta untuk kondisi lingkungan yang konstan. Jika kondisi lingkungan berubah, maka nilai r juga akan berubah. Nilai tersebut menunjukkan laju pertambahan intrinsik dimana dalam keadaan sumber daya yang tidak terbatas dan dihitung dengan asumsi bahwa populasi memiliki jadwal lx dan mx yang tetap serta kematian hanya terjadi oleh faktor fisiologi (Price 1997). Nilai T pada lokasi Benteng lebih besar dibandingkan di laboratorium, Cihideung Udik, dan Cangkurawok. Semakin besar nilai T maka semakin cepat waktu suatu individu untuk berkembang biak. Hal ini juga sejalan dengan nilai DT. Nilai T pada lokasi Benteng yang lebih tinggi memengaruhi nilai DT yang semakin tinggi, serta laju pertambahan intrinsik yang semakin tinggi. Menurut Birch (1948) nilai berlipat ganda yang tinggi pada suatu populasi, dapat menyebabkan penurunan sumber daya lingkungan dan memengaruhi nilai laju pertambahan intrinsik (rm). Nilai rm dan DT berguna untuk menunjukkan pertumbuhan populasi pada kondisi lingkungan pertumbuhan yang konstan dan sumber daya yang tidak terbatas (Price 1997, Southwood dan Henderson 2000). Belum diketahui pasti, apa yang menyebabkan nilai T, DT dan rm pada lokasi Benteng lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya. Namun, pengaruh iklim mikro diduga memengaruhi hal ini. Seperti penelitian yang dilakukan Subagyo dan Hidayat (2014) yang menyatakan bahwa nilai DT pada Bemisia tabaci tinggi pada suhu 29°C, telah memengaruhi penurunan nilai r dari suhu 25°C ke suhu 29°C. Selain itu, menurut Huang et al. (2008), siklus hidup serangga juga akan lebih cepat seiring dengan meningkatnya suhu. Hal lain yang juga dapat mempengaruhi nilai demografi diantaranya kualitas pakan. Dalam kondisi pakan suboptimal (kualitas yang kurang baik), peningkatan konsumsi akan berdampak pada perpanjangan waktu perkembangan berikut penambahan jumlah stadia instar (Chown dan Nicolson 2004). Selain itu menurut Kingsolver (2007), waktu perkembangan yang panjang berdampak pada perpanjangan waktu generasi dan penurunan jumlah generasi per tahun, serta mengurangi laju perkembangan dan sintasan larva. Parameter biologi tambahan lainnya terkait dengan reproduksi serangga adalah masa praoviposisi, masa oviposisi, serta umur pertama imago meletakkan telur. Keberhasilan reproduktif dan kebugaran organisme dipengaruhi oleh masa praoviposisi dan umur betina saat meletakkan telur pertama kali (Stearns 1992). Stearns (1992) menyatakan bahwa keperidian adalah jumlah telur yang diproduksi oleh seekor betina, dimana sernakin tinggi tingkat keperidian organisme maka semakin cepat populasi organisme tersebut berkembang. Masa oviposisi dan kepiridian serangga seringkali dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya adalah kebugaran imago, ketersediaan dan kualitas makanan (Mawan 2013). Keperidian D. indica pada keempat lokasi juga tidak menunjukkan perbedaan nyata meskipun jumlah telur tertinggi yang dihasilkan oleh seekor betina D. indica yang dipelihara di laboratorium yakni sebanyak 309 telur, namun secara statistik kesuluruhan keperidiannya tidak berbeda nyata. Umur pertama
24 meletakkan telur akan mempengaruhi kecepatan perkembangan populasi. Di Cangkurawok umur pertama meletakkan telur lebih cepat dibandingkan dengan lokasi lainnya. Nisbah kelamin dan keperidian menjadi faktor penting dalam mengatur jumlah populasi serangga. Nisbah kelamin adalah perbandingan serangga jantan dan betina dalam suatu populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rasio jenis kelamin dari keempat lokasi penelitian tidak berbeda nyata (t hitung = 5.78, t tabel = 2.35), meskipun di Cangkurawok jumlah betina yang dihasilkan sedikit lebih banyak (60.71%) dibandingkan dengan lokasi lainnya. Jumlah betina yang semakin banyak akan menyebabkan pertambahan populasi serangga tersebut akan semakin besar, dibandingkan dengan jumlah betina yang sedikit. Hal ini karena betina yang semakin banyak akan menghasilkan keturunan yang juga lebih banyak. Namun, perkembangan populasi ini juga dipengaruhi oleh tingkat kematian. Tingkat kematian di Cangkurawok yang juga tinggi menyebabkan perkembangan populasi tidak berbeda dengan lokasi lainnya, meskipun jumlah betina yang dihasilkan lebih tinggi. Price (1997) juga menyatakan bahwa nisbah kelamin pada serangga dipengaruhi oleh kualitas tanaman sebagai sumber nutrisinya. Hal ini juga senada dengan penelitian yg dilakukan Lestari (2013), pemberian pakan buatan yang sesuai pada Spodoptera litura menyebabkan nisbah kelamin S. litura menjadi 1 : 5. Menurut Panizzi dan Slansky (1985), pertumbuhan dan reproduksi serangga sangat dipengaruhi nutrisi yang diperoleh baik pada masa larva maupun saat serangga dewasa. Hal ini didukung oleh House (1969) yang menyatakan bahwa larva serangga memerlukan protein, karbohidrat, lemak, vitamin, mineral, dan air dalam jumlah yang berimbang untuk pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Serangga betina selama hidupnya memerlukan lebih banyak nutrisi dibandingkan dengan serangga jantan, sehingga ketika pakan yang diperlukan serangga tersedia dengan baik maka serangga betina akan cenderung menghasilkan keturunan betina. Jumlah individu betina dalam suatu populasi dapat memengaruhi nilai keperidian, sedangkan jumlah telur yang dihasilkan oleh imago betina dapat memperlihatkan tingkat kesesuaian individu pada tanaman inangnya (Wang dan Tsai 1996). Dari parameter demografi serta biologi yang diamati pada penelitian ini, nilai GRR, R0, rm, umur pertama meletakkan telur serta nisbah kelamin di Cangkurawok lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi lainnya, yang dapat menyebabkan perkembangan D. indica lebih cepat. Namun, dilihat dari faktor kematian yang juga tinggi menyebabkan populasi dan sintasan D. indica tidak berbeda. Hal lainnya juga terjadi di Benteng, dimana nilai T dan DT yang lebih cepat juga dapat meningkatkan perkembangan populasi. Faktor kematian yang juga tinggi menyebabkan perkembangan D. indica di Benteng juga tidak berbeda nyata dengan lokasi lainnya. Hasil tersebut menunjukkan bahwa faktor kematian D. indica merupakan faktor yang sangat memengaruhi perkembangan D. indica di lapangan. Tingkat kematian di lapangan yang mencapai 60%, yang sebagian besar dikarenakan keberadaan parasitoid menandakan bahwa kondisi lingkungan masih stabil. Pada penelitian ini juga ditemukan hiperparasitoid A. manilae dan Stictopisthus sp. Hiperparasitoid A. manilae ini juga belum pernah dilaporkan di Indonesia. Di India A. manilae dilaporkan sebagai hiperparasitoid pada A.
25 taragamae yang memarasit Opisinia arenosella (Lepidoptera: Crytophasidae), sedangkan Stictopisthus sp. diketahui sebagai hiperparasitoid pada Cotesia marginiventris (Hymenoptera: Braconidae). Hiperparasitoid ini juga diketahui memarasit 12 parasitoid primer dari inang Lepidoptera lainnya. Keberadaan hiperparasitoid di alam dari segi pengendalian hayati merupakan faktor yang menghambat pengendalian hama. Dalam pengendalian hayati, hiperparasitoid dikenal merugikan karena dapat menekan populasi parasitoid (Brodeur dan Rosenheim 2000). Namun hiperparasitoid itu juga dapat bermanfaat ketika ia memarasit spesies hiperparasitoid yang lain atau menjadi parasitoid tersier (Memmott dan Godfray 1997). Hiperparasitoid dalam ekosistem dan rantai makanan memegang peran penting dalam menjaga keseimbangan populasi. Diduga keberadaannya memberikan peran positif dalam memengaruhi perilaku imago parasitoid. Keberadaan hiperparasitoid dapat menyebabkan dapat meningkatkan kinerja atau kemampuan memencar parasitoid sampai dua kali lebih jauh dibandingkan dengan tanpa hiperparasitoid (Irsan 2008) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa D. indica merupakan hama minor pada pertanaman mentimun, karena faktor mortalitas yang ditemukan di lapangan masih mampu mengendalikan populasinya sehingga tidak berkembang menjadi tinggi. Tampak bahwa sebetulnya D. indica merupakan serangga dengan tingkat reproduksi serta parameter demografi yang tinggi sehingga mempunyai potensi menjadi hama primer dan menyebabkan kerusakan yang signifikan dalam jumlah besar pada tanaman ekonomi penting. Hasil penelitian ini menunjukkan betapa pentingnya faktor mortalitas ini dipertahankan di lapangan. Apabila ada penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, maka musuh-musuh alami D. indica bisa hilang dari lapang, dan bila ini terjadi, dengan mudah D. indica akan menjadi hama penting di masa yang akan datang. Keberadaan hiperparasitoid juga dapat menurunkan potensi dari musuh alami sehingga jika hiperparasitoid ini berkembang, maka populasi D. indica dapat cepat berkembang pula. Kesemua faktor dalam kehidupan D. indica ini menunjukkan adanya keterkaitan yang erat antara jejaring makan yang ada di lapang. Harcourt (1969) menyatakan bahwa neraca kehidupan bukanlah nilai akhir dari analisis dinamika populasi, tetapi sekedar penampilan sistematik dari data ketahanan hidup, mortalitas dan fekunditas dalam populasi. Fungsi utama dari data ini adalah untuk memberikan informasi tentang gambaran kemampuan hidup suatu serangga pada kondisi lingkungan tertentu.
26
6 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun secara rata-rata memerlukan waktu 26.58 hari dan lama hidup 8.56 hari. Kurva kesintasan tergolong tipe III. Pada pola ini jumlah keturunan yang dihasilkan tinggi dengan tingkat keberhasilan hidup yang rendah pada awal perkembangan kemudian meningkat seiring dengan pertumbuhan serangga. Faktor kematian D. indica di lapangan antara lain akibat parasitoid Ichneumonidae (Tricholobus sp., Xanthopimpla sp.), parasitoid Braconidae (A. taragamae), dan predator Coccinellidae, dengan faktor kematian tertinggi disebabkan oleh A. taragamae (27.50%). Faktor kematian yang tinggi menyebabkan populasi D. indica menjadi tertekan dan belum menjadi hama utama pada tanaman mentimun. D. indica dapat berpotensi menjadi hama primer dan menyebabkan kerusakan yang signifikan dalam jumlah besar pada tanaman ekonomi penting, apabila tidak dilakukan penanganan secara tepat yang dilaksanakan sesuai waktunya.
Saran Pada penelitian ini ditemukan parasitoid A. taragamae sebagai musuh alami dari D. indica. Namun, penelitian mengenai parasitoid A. taragamae masih terbatas sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai parasitoid tersebut agar dapat dikembangbiakkan dan dimanfaatkan dalam pengendalian D. indica secara hayati.
27
DAFTAR PUSTAKA Asikin S. 2004. Alternatif pengendalian hama serangga sayuran ramah lingkungan di lahan lebak. Laporan tahunan Balittra 2004. Balittra. Banjarbaru. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2012. Produksi sayuran di Indonesia. Jakarta (ID): BPS Barma P, Jha S. 2014. Studies on bio-ecology and voracity of leaf roller (Diaphania indica Saunders, Lepidoptera: Pyralidae) on pointed gourd (Trichosanthes dioica Roxb). Afr. J. Agric. Res. 9(36): 2790-2798. Begon M, Montimer M. 1981. Population Ecology: A Unified Study of Animals and Plants. Massachussetts (US): Sunderland Sinauer Associated. Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology: From Individuals to Ecosystems. 4th ed. Oxford (UK): Blackwell Publishing. Bellows TS, Van Driesche RG, Elkinton JS. 1992. Construction and analisys of field tables in the evolution of natural enemies. Annu. Rev. Entomol. 37: 587-614. Bennet DM, Hoffmann AA. 1998. Effect of size and fluctuating asymmetry on field fitness of parasitoid Trichogramma carverae (Hymenoptera: Trichogrammatidae). J. Anim. Ecol. 67: 580-591. Birch LC. 1948. The intrinsic of rate of natural increase of an insect population. J. Anim. Ecol. 17: 15-26. Brodeur J, Rossenheim. 2000. Host specificity and trophic relationships of hyperparasitoids. In: Hochberg ME, Iver AR, (Eds.), Parasitoid Population Biology. New Jersey (US): Princeton University Press. p 163-183. Brown H. 2003. Common insect pests of curcubits. Agnote. 159: 39-45. [CABI] Centre for Agriculture and Bioscience International. 2005. Corp protection compendium 2005 [CD-ROM]. Wallingford (UK): CAB International. Carey JR. 2001. Insect biodemography. Annu. Rev. Entomol. 46: 79 - 110. Chapman RF. 1998. The Insect Structure and Function 4th ed. Cambridge (UK): University Press. Chen Y, Seybold SJ. 2013. Application of a frequency distribution method for determining instars of the beet armyworm (Lepidoptera: Noctuidae) from widths of cast head capsules. J. Econ. Entomol. 106(2): 800-806. Chown SL, Nicolson SW. 2004. Insect Physiological Ecology: Mechanisms and Patterns. New York (US): Oxford University Press. DeBach P. 1973. The Scope Biological Control. In DeBach P, editor Biological Control of Insect Pest and weeds. London (UK): Chapman and Hall. P. 3-20. Efron B, Tibshirani RJ. 1993. An Introduction To The Bootstrap. London (UK): Chapman and Hall. P. 141-150 Esa A. 1990. Tingkat kesesuaian kedelai dan inang liar sebagai makanan Spodoptera litura Fabricus (Lepidoptera: Noctuidae) dan fluktuasi populasi serangga tersebut di pertanaman kedelai. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Flint, ML, Van Den Bosch R. 1981. Introduction to Integrated Pest Management. New York (US): Plenum Press.
28 Ganehiarachchi GASM. 1997. Aspects of the biology of Diaphania indica (Lepidoptera: Pyralidae). J. Natn. Sci. Coun. Sri Lanka. 25(4):203-209. Godin J, Maltais P, Gaudet S. 2002. Head capsule width as an instar indicator for larvae of the Cranberry fruitworm (Lepidoptera: Pyralidae) in Southeastern New Brunswick. J. Econ. Entomol. 95(6): 1308-1313. Gullan PJ, Cranston PS. 2000. The Insect An Outline of Entomology. 2nd Ed. London (UK): Blackwell Science. House, HL. 1969. Effects of different proportions of nutrients on insects. Entomol. Exp. Appl. 12(5): 651-669. Harcourt DG. 1969. The development and use of life table in the study of natural insect population. Annu. Rev. Entomol. 14: 96-175. Hosseinzade S, Izadi H, Namvar P, Samih MA. 2014. Biology, temperature thresholds, and degree day requirements for development of the cucumber moth Diaphania indica under laboratory conditions. J. Insect. Sci. 14(61): 182-189 Huang Z, Ren S, Musa PD. 2008. Effects of temperature on development, survival, longevity, and fecundity of the Bemisia tabaci Gennadius (Homoptera: Aleyrodidae) predator, Axinoscymnus cardilobus (Coleoptera: Coccinellidae). Biol. Control. 6:209-215. Irsan C. 2008. Studi keberadaan hiperparasitoid dalam mempengaruhi perilaku imago parasitoid pada kutudaun, Aphis gossypii (Hemiptera: Aphididae). J. Entomol. Indones. 5(1): 17-26. Jones VP, Sasaki MA. 2001. Demographic analiysis of delayed mating disruption: a study with Criptophelbia illepida (Lepidoptera: Tortricidae). J. Econ. Entomol. 94(4): 785-792. Kingsolver JG. 2007. Variation in growth and instar number in field and laboratory Manduca sexta. Proc R. Soc. B 274: 977–981 Kinjo K, Arakaki N. 2002. Effect of temperature on development and reproductive characteristics of Diaphania indica (Saunders) (Lepidopetra: Pyralidae). Appl. Entomol. Zool. 37(1): 141-145. Legaspi JC. 2004. Life History of Podisus maculifentris (Heteroptera: Pentatomidae) adult females under different constant temperatures. Environ. Entomol. 33(5):1200-1206. Lestari S. 2013. Tabel hidup Spodoptera litura Fabr. dengan pemberian pakan buatan yang berbeda. J. Sains Veteriner 31(2):12-13. Lizmah SF. 2015. Pengaruh struktur lanskap terhadap keanekaragaman Hymenoptera parasitika pada lahan mentimun. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor MacLeod A. 2005. Pest risk analysis for Diaphania indica. Sand Hutton York (UK): Central Science Laboratory Mavi H, Tupper GJ. 2004. Agrometeorology Principles and Aplications of Climate Studies in Agriculture. New York (US) : Food Products Press. Mawan A. 2013. Pengaruh cendawan endofit terhadap biologi dan statistik demografi wereng batang cokelat. [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Mawan A, Buchori D, Triwidodo H. 2015. Pengaruh cendawan endofit terhadap biologi dan statistik demografi wereng batang cokelat Nilaparvata lugens Stál (Hemiptera: Delphacidae). J. Entomol. Indones. 12(1):11-19
29 Memmott J, Godfray HCJ. 1997. Parasitoid webs In: LaSalle, Gauld (Eds.), Hymenoptera and Biodiversity. Wallingford (UK): CAB International.p 217-234. Michael P. 1995. Ekologi untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium. Jakarta (ID): UI-Press. Morgan D, Walters KFA, Aegerter JN. 2001. Effect of temperature and cultivar on pea aphid Acyrthosiphon pisum (Hemiptera: Aphididae) life history. Bulletin Entomological Research. 91:47-52. Morgan W, Midmore D. 2002. Bitter melon in Australia: A report for the Rural Industries Research and Development Corporation, RIRDC Publication No.02/134. Nixon GEJ. 1967. The Indo Australian species of the ultorgroup of Apanteles Forster (Hymenoptera: Braconidae). Bulletin British Museum Entomology. 21:1-34. Odum EP. 1971. Fundamentals of Ecology 3rd ed. Georgia (US): Saunders College Publishing. Panizzi AR dan Slansky F. 1985. Legume host impact on performance of adult Piezodorus guildinii (Westwood) (Hemiptera: Pentatomidae). Environ. Entomol. 14(1): 237-242 Peter C, David BV. 1991. Population dynamics of the pumpkin caterpillar, Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Pyralidae). Tropical Pest Management, 37(1): 75-79. Peter C, David BV. 1992. Studies on the thermal requirement for development of Diaphania indica (Saunders) (Lepidoptera: Pyralidae). J. Insect Sci. 5(2):172-174. Price PW. 1997. Insect Ecology. 3rd ed. New York (US): John Wiley & Sons. Price PW. 1984. Insect Ecology 2nded. New York (US): John Wiley & Sons. Southwood TRE, Henderson PA. 2000. Ecological Methods. 3th ed. Oxford (UK): Blackwell Science. Stearns SC. 1992. The Evolution of Life Histories. Oxford (UK): Oxford University Press Subagyo VNO, Hidayat P. 2014. Neraca kehidupan kutu kebul Bemisia tabaci (Gennadius) (Hemiptera: Aleyrodidae) pada tanaman Cabai dan gulma Babadotan pada suhu 25oC dan 29oC. J. Entomol. Indones. 11(1): 11-18. Tarumingkeng RC. 1992. Dinamika Pertumbuhan Populasi Serangga. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tsai JH, Liu YH. 2000. Biology of Diaphorina citri (Homoptera: Psilllidae) on four host plant. J. Econ. Entomol. 93(6):1721-1725. Wang K, Tsai JH. 1996. Temperature effect on development and reproduction of Silverleaf whitefly (Homoptera: Aleyrodidae). Ann. Entomol. Soc. Am. 89: 375-384
30
LAMPIRAN
31 Lampiran 1 Musuh alami D. indica pada tanaman mentimun yang ditemukan di lahan Cihideung Udik, Benteng dan Cangkurawok
A. taragamae
Tricholobus sp.
Xanthopimpla sp. Lampiran 2 Hiperparasitoid yang ditemukan di lahan Cihideung Udik, Benteng dan Cangkurawok
Stictopisthus sp.
A. Manilae
32 Lampiran 3 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di laboratorium Individu ke
Telur
Instar 1
Instar 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 3 4 2 4 4 3 2 4 3 4 2 4 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 4 3 4 2 3 4
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 1 3 3 2 3 3 2 4 2 2 3 3 2 2 3 3 3 2 2 3 2 4 3 2
Lama Stadia (hari) Larva Instar Instar Instar 3 4 5 4 3 3 3 3 2 2 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3 2
3 4 4 4 4 4 4 4 4 3 3 4 3 3 3 2 3 4 3 4 3 2 2 4 3 2 4 3
2 2 2 2 2 3 3 4 1 2 2 2 2 4 4 3 3 1 2 1 4 2 2 3 2 4 1 1
Imago Pupa 6 7 8 8 8 8 6 8 8 8 7 7 7 7 7 8 6 8 7 7 7 7 7
Jantan
Betina
10 5 5 12 9 12 8 8 4 8 -
11 9 13 8 13 9 9 10 7
33
Lampiran 3 (lanjutan) Individu ke
Telur
Instar 1
Instar 2
42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
4 4 3 3 3 4 3 3 4 2 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 2 4 3 2 3 3 3 4 3 4 3 3 3 3 3 4 3 4 3 3 4
2 2 3 3 3 2 3 3 3 3 2 2 3 2 2 2 3 2 3 4 3 3 3 2 3 2 1 1 3 3 1 3 2 3 3 2
Lama Stadia (hari) Larva Instar Instar Instar 3 4 5
3 2 2 2 3 2 3 3 3 3 2 3 3 2 4 3 3 3 3 3 3 2 2 2 3 3 3 3 3 2
3 2 2 2 2 3 3 3 3 3 2 2 3 3 3 2 4 4 2 2 2 2 2 2 2 2
3 2 2 2 3 4 2 2 2 4 2 2 5 3 4 2 2 2 4 4 3 2 2 2 4 3
Imago Pupa
8 7 7 7 8 8 8 7 7 7 7 6 8 6 8 7 7 7 8 8 8 8 7 6 8 8
Jantan
Betina
10 7 9 10 11 8 10 8 11 12 9 -
12 11 2 2 2 2 2 10 9 11 8 9 13 12
34 Lampiran 3 (lanjutan)
Individu ke
83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 N Rataan Selang STDEV Galat
Telur
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 100 3.00 3 0.00 0.00
Instar 1 4 2 4 2 2 2 3 4 2 3 3 4 4 4 4 3 3 4
Instar 2 2 1 2 4 3 3 3 2 4 3 3 2 2 2 2 3 3 2
Lama Stadia (hari) Larva Instar Instar Instar 3 4 5 2 3 2 4 3 3 3 3 2 2 3 2 2 3 2 3 3 2 3 3 2 3 2 2 2 2 3 2 3 3 2 3 3 2 2 3 2 2 3 2 3
100 3.79 2- 4 0.72 0.07
93 2.47 1–4 0.68 0.07
79 2.70 2- 4 0.58 0.05
68 2.76 2-4 0.79 0.08
66 2.59 1-5 0.91 0.09
Imago Pupa
Jantan
Betina
7 8 7 7 8 7 8 7 8 7 7 8
13 10 9 7 9 12
13 11 12 11 8 13 -
61 7.33 6-8 0.65 0.07
27 8.56 4 - 13 2.29 0.23
29 10.60 2 - 13 1.83 0.35
35 Lampiran 4 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Cihideung Udik Individu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Lama Stadia (hari) Larva Instar 1 Instar 2 Instar 3
4 5 4 5 5 3 5 5 3 4 5 5 4 5 5 5 5 4 4 3 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
5 3 5 3 4 4 4 4 4 4 3 2 4 4 4 3 5 5 4 4 4 4 4 3 4 4 4 3 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3
Instar 4
Instar 5
3 4 4 4 4 3 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 4 3 4 3 3 4 4 4 4 4 3 4 4
1 1 1 3 3 2 2 1 1 2 2 1 1 1 2 1 2 1 1 5 2 5 5 3
Pupa
8 8 8 8 8 8 8 7 7
Imago Jantan Betina
9 8 9 11
11 12 12 12 11 -
36 Lampiran 4 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
38
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 4 5 5 5 5 4 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5
3 3 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 3 4 5 4 5 3 4 4 4 5 3 2 4 5 4 4 4 4 4 4 2 3 4 2 3
2 4 3 3 3 3 3 3 3 4 3 4 4 3 3 4 4 3 3 3 3 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 4 2 4
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 1 4 1 1 1 3 4 3 3 4 4 1 3 3 -
3 2 3 1 4 3 5 2 3 3 2 5 5 1 5 3 2 3 2 5 -
7 7 8 6 7 7 7 6 6 7 7 7 8 7 7 7 7 -
Jantan
Betina
8 9 7 10 8 8 8 -
12 11 12 12 11 7 12 8 12 -
37 Lampiran 4 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
75 76 77 78 79 80 N Rataan Selang STDEV Galat
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
5 4 5 4 4 4 80 4.81 3-5 0.39 0.04
4 5 3 4 3 3 79 3.78 2–5 0.78 0.09
3 3 4 4 67 3.16 2–4 0.66 0.07
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
2 3 4 56 3.39 1–4 0.91 0.10
2 2 46 2.50 1–5 1.47 0.16
8 8 28 7.29 6–8 0.90 0.10
Jantan
Betina
11 8.64 7 – 11 1.12 0.13
12 11 16 11.13 7 - 12 1.50 0.17
38 Lampiran 5 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Benteng Individu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Instar 1 Instar 2
4 4 5 3 3 3 3 5 4 5 3 5 4 4 3 3 4 4 5 4 5 4 5 5 5 4 4 4 5 5 5 4 4 4 4 4 4
3 4 2 3 3 3 3 2 3 2 2 3 3 4 4 3 3 2 2 2 3 3 3 3 4 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Lama Stadia (hari) Larva Instar 3 Instar 4 Instar 5
4 3 3 3 3 4 3 3 4 4 3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
3 4 3 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 3 3 3 2 2 2 2 4
2 2 2 2 2 3 2 2 1 2
Pupa
7 8 8 7 8 8 7 6
Imago Jantan Betina
8 9 7 -
10 11 8 13 12 -
39 Lampiran 5 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
38
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
4 4 4 4 3 5 4 5 4 4 5 5 4 4 5 3 4 3 3 5 5 4 4 5 4 4 4 4 3 3 3 3 4 4 5 3 5
2 2 2 2 3 3 3 2 3 2 2 4 2 4 2 2 3 3 2 3 3 2 3 3 3 4 3 3 3 3
3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
3 2 4 4 2 2 2 3 3 2 4 3 4 2 3 3 2 3 3 4 2 2 2 4 2
2 3 2 2 3 1 1 2 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 2 -
7 6 8 7 7 8 6 8 8 8 8 8 8 8 8 8 -
Jantan
Betina
11 9 7 8 9 7 10 8 11 9 -
13 11 11 11 11 12 -
40 Lampiran 5 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
75 76 77 78 79 80 n Rataan Selang STDEV Galat
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
5 4 4 4 5 5 80 4.11 3-5 0.71 0.08
3 3 3 2 69 2.61 2–4 0.77 0.07
3 3 3 3 59 3.05 2–4 0.34 0.04
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
2 3 2 3 55 2.43 2–4 0.91 0.08
2 2 2 2 33 2.06 1–3 0.50 0.06
8 8 8 27 7.59 6–8 0.74 0.08
Jantan
Betina
8 14 8.64 7 – 11 1.34 0.15
11 12 13 11.23 8 - 13 1.30 0.15
41 Lampiran 6 Siklus hidup D. indica pada tanaman mentimun di Cangkurawok Individu ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Lama Stadia (hari) Larva Instar 1 Instar 2 Instar 3
3 5 2 5 5 3 4 4 2 3 4 3 4 3 3 3 4 4 3 4 3 2 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3
4 3 2 2 1 3 2 3 2 2 2 2 2 2 3 1 2 1 2 2 1 2 2 3 3 2 2 2 3 3 2 2 3 2 4
3 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Instar 4
Instar 5
2 4 3 3 2 3 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 4 4 3 4 3 3 3 3 3
2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 5 3 2 2 2 2 2
Pupa
6 6 6 6 7 8 7 7 7
Imago Jantan Betina
6 7 8 6 -
12 11 10 11 11
42 Lampiran 6 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
38
39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
3 3 3 3 4 4 5 3 3 3 3 3 3 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 5 4 5 5 5 5 5 5 5 5
4 4 2 2 3 3 4 3 3 3 3 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 1 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 4 4 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 2 3
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
4 4 4 2 4 4 4 4 3 4 4 4 4 3 3 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 3 4 3 4 4 4 2 4 4
3 2 2 2 3 2 2 2 2 2 3 4 2 3 5 2 2 2 3 5 5 3 2 2 2 5 3 3 5 3 3 3
7 7 8 8 7 7 7 7 9 6 8 7 7 6 6 7 8 8 -
Jantan
Betina
11 6 6 8 6 -
9 11 11 11 11 11 11 10 12 11 11 10 -
43 Lampiran 6 (lanjutan) Lama Stadia (hari) Individu ke
75 76 77 78 79 80 n Rataan Selang STDEV Galat
Instar 1
Instar 2
Larva Instar 3
5 5 4 5 5 3 80 3.96 2-5 1.07 0.11
4 4 3 4 4 4 78 3.04 1–4 1.02 0.11
3 3 2 3 3 2 70 3.03 2–4 0.61 0.05
Imago Instar 4
Instar 5
Pupa
4 4 4 4 67 4.04 2–4 1.53 0.07
3 4 3 60 2.13 2–5 1.37 0.11
8 8 29 7.07 6–9 0.88 0.09
Jantan
Betina
8 5 11 7.00 5 – 11 1.67 0.19
17 11.00 9 - 12 1.22 0.08
44
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 02 Februari 1988 di Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan. Penulis merupakan putri ketiga dari 4 bersaudara pasangan H. Zainuddin Yunus dan Hj. Nurhayati. Penulis merupakan lulusan SMAN 1 Kalianda pada tahun 2005. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan strata-1 (S1) di Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian, Universitas Lampung dan lulus pada tahun 2009. Penulis melanjutkan pendidikan magister sains di Program Studi Entomologi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor melalui program Beasiswa Unggulan DIKTI tahun 2012 sebagai calon dosen.