JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008
STANDAR PENENTUAN INFORMASI IKLAN MENYESATKAN Dedi Harianto Abstract: Advertisement is used to relate a business practitioner and the consumers. To the businessman, advertisement is a facility to introduce his product(s), while to the consumers, advertisement is a source of information to choose and/or to buy the product(s) that meets their needs. But in practice, most businessman still treat advertisement only as their media of promotion to increase the selling of their products by ignoring the rights of consumers to know the truth and accurate information found in the advertisement. Misleading advertisement has a potential to inflict loss to the consumers if it is not improved and controlled well. Kata Kunci: Perlindungan konsumen, Informasi, Iklan menyesatkan
Iklan merupakan salah satu sarana pemasaran yang cukup banyak dipergunakan oleh pelaku usaha untuk memperkenalkan aneka produk yang dihasilkannya kepada konsumen serta untuk meningkatkan kesadaran konsumen terhadap aneka produk yang dihasilkan (Leder, 1996). Melalui iklan, pelaku usaha berupaya untuk menginformasikan berbagai hal mengenai produk yang dipasarkannya kepada konsumen, antara lain tentang ketersediaan barang atau jasa yang dibutuhkan masyarakat, kualitas produk, keamanan, harga, tentang berbagai persyaratan dan atau cara memperolehnya, tentang jaminan atau garansi produk, ketersediaan suku cadang, pelayanan purna jual, dan hal-hal lain yang berkenaan dengan itu. (Nasution, 2001). Pentingnya media iklan bagi pelaku usaha dapat tergambar dalam pendapat yang disampaikan oleh David Oughnton dan John Lowry, yang menulis “Advertising is the central symbol of consumer society, advertising plays a central role in making available to consumers information which the producers of the advertised product wishes the consumer to have.” (Oughton, 1997 : 81). Melalui iklan, pelaku usaha seharusnya dapat lebih mendekatkan diri kepada konsumen, dengan menghasilkan beraneka produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan konsumen. Setiap pelaku usaha pasti mengharapkan agar iklannya menimbulkan efek tertentu kepada khalayak/konsumen yang dituju, efek ini menjadi tujuan komunikasi dari suatu iklan. Namun, bukan berarti efek yang diharapkan adalah khalayak/konsumen langsung membeli produk yang mereka iklankan, karena walaupun tugas utamanya membantu menciptakan penjualan, iklan tidak dirancang untuk menciptakan penjualan seketika. Dengan perkataan lain, efek iklan bersifat jangka panjang (Sandage, 1968). Terlebih-lebih dengan adanya beberapa bentuk iklan yang hanya ditujukan untuk meningkatkan keperdulian konsumen terhadap merek-merek tertentu (brand awareness), sehingga merek-merek tersebut seolah-olah melekat dibenak konsumen pada saat akan melakukan pilihan. Pada bentuk iklan seperti ini masalah penjualan bukan merupakan skala prioritas. 41
Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...
Kebutuhan konsumen akan informasi produk ini sangat penting artinya terutama dalam Tahap Pra-transaksi Konsumen (Sudaryatmo, 1999), karena dengan ketersediaan informasi tersebut konsumen dapat lebih berhati-hati mempergunakan sumber dana yang tersedia untuk membeli produk yang sesuai dengan kebutuhannya. Apabila konsumen memperoleh informasi yang salah, maka akan berakibat konsumen akan salah pula dalam menjatuhkan pilihan sehingga dapat menimbulkan kerugian. Selain itu, dapat pula merusak citra pelaku usaha dalam jangka panjang, serta menghilangkan kepercayaan dan loyalitas konsumen terhadap produk yang dihasilkan pelaku usaha. Namun, realitas yang terjadi di masyarakat tidak selamanya berjalan sebagaimana yang diharapkan. Masih kerap kali ditemukan tindakan pelaku usaha yang menyampaikan informasi menyesatkan melalui iklan, misalnya dengan membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai harga, kegunaan, tanggungan, jaminan, bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dan sebagainya. Kondisi tersebut dapat dilihat dari gugatan class action yang diajukan oleh Drs. Janizal. Dkk vs. PT. Kentanik Super Internasional, pengembang Perumahan Taman Narogong Indah yang tidak konsisten dengan brosur yang telah diterbitkannya, di mana dalam bosur tersebut pengembang mencantumkan fasilitas pemancingan dan rekreasi di lokasi perumahan, tetapi ternyata di atas lokasi di mana akan dibangun fasilitas kolam pancing belakangan di bangun rumah-rumah baru yang akan dijual kepada konsumen perumahan tahap berikutnya. Kasus ini telah terdapat Putusan Mahkamah Agung No. 3138/K/Pdt/1994, yang pada intinya tidak memperkenankan para pengembang (developer), para pelaku usaha pada umumnya untuk mempromosikan produk secara berlebihan melalui brosur-brosur yang diedarkannya kepada konsumen, serta membuat terobosan baru dari segi hukum menyangkut pemberitaan kekecewaan konsumen atas promosi yang berlebihan dari pengembang, karena pemberitaan seperti ini bukanlah dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum. Perumpamaan lain dapat dikutip pengaduan 2 (dua) orang konsumen jasa penerbangan di harian Kompas on line dan Republika yang terbit melalui media internet, pada pokoknya mereka mempertanyakan kebenaran isi iklan perusahaan jasa penerbangan PT AWAIR Airlines pada berbagai media cetak nasional dengan memberikan tarif penerbangan murah Jakarta – Singapura hanya Rp. 99.000,- (sembilan puluh sembilan ribu rupiah) sekali perjalanan untuk keberangkatan bulan Januari dan Februari. Kedua konsumen sangat tertarik dengan promosi iklan tersebut serta telah melakukan booking ticket untuk penerbangan bulan Januari dan Februari. Tetapi pada saat konsumen akan melakukan perjalanan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan dalam tiket, mereka dikejutkan dengan adanya pembatalan penerbangan secara sepihak oleh PT AWAIR Airlines. Melalui salah seorang staf AWAIR, serta layanan call centre, konsumen memperoleh informasi bahwa penyebab pembatalan jadwal penerbangan karena perusahaan penerbangan AWAIR tidak diberikan izin untuk mendarat di bandara Changi, Singapura, pada tanggal 15 Januari 2005. Walaupun dalam penjelasannya PT AWAIR Airlines bersedia memberikan kompensasi kepada konsumen, tetapi konsumen tetap merasa dirugikan atas kebohongan yang dilakukan AWAIR, serta sangat menyesalkan mengapa AWAIR telah mempromosikan jadwal penerbangan yang sama sekali belum memperoleh kepastian mengenai izin mendarat (http://www.kompas.com/kompascetak/0503/07/opini/1601377.htm). Praktek bisnis tidak sehat (unfair trade parctice) yang dilakukan pelaku usaha dengan mempergunakan iklan akan berpotensi dapat menimbulkan kerugian kepada konsumen. Kerap kali ditemukan konsumen yang merasa tidak puas terhadap produk yang telah dipilih dan dibelinya karena terdapat perbedaan kondisi, harga, fasilitas, mutu sebagaimana dilihatnya melalui iklan dengan kenyataan yang sebenarnya, bahkan dalam beberapa kasus tertentu janji-janji yang disampaikan melalui iklan tidak terbukti sama sekali. Oleh karena itu, kepada 42
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 konsumen yang mengalami kerugian akibat menerima informasi menyesatkan melalui iklan dapat menuntut pertanggungjawaban pelaku usaha yang terlibat dalam kegiatan periklanan tersebut (Miru, Yodo, 2004). Melihat masih maraknya iklan-iklan yang memuat informasi menyesatkan konsumen, maka menjadi hal yang cukup menarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai apa yang dimaksudkan dengan iklan menyesatkan serta ukuran untuk menentukan apakah informasi iklan tersebut dapat digolongkan menyesatkan atau tidak. PENGERTIAN IKLAN MENYESATKAN Sebagai bagian dari praktek bisnis tidak sehat, iklan menyesatkan tidak terdapat perumusannya dalam peraturan perundang-undangan berbagai negara, termasuk di Amerika Serikat, Australia, maupun di New Zealand. Sehingga sulit untuk memperoleh kejelasan mengenai apa yang dimaksud dengan iklan menyesatkan (Lysonski, 1992). Demikian pula FTC, sebagai salah satu badan pengawasan periklanan di Amerika Serikat, tidak memberikan pengertian dengan tegas mengenai iklan menyesatkan. Hanya dalam The FTC’s Deception Policy Statement dijelaskan bahwa (www. FTC.Gov): “An Ad is deceptive if it contains a statement – or omits information – that: 1. is likely to mislead consumers acting reasonably under the circumstances; and 2. is “material” – that is important to a consumer’s decision to buy or use the product”. Merujuk panduan FTC tersebut dapat diterangkan bahwa suatu iklan mengandung misrepresentation jika penyataan eksplisit atau implisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam suatu praktek, klaim, representasi, atau kepercayaan yang reasonable tidak dipaparkan (omission) (Hamblin dan Wright, 1998), sehingga konsumen rasional memperoleh kesimpulan yang salah atau menyesatkan (Terence A. Shimp, Selain itu, fakta penting tersebut bersifat “material” karena penting untuk dijadikan panduan bagi konsumen untuk memutuskan apakah akan membeli atau mempergunakan produk yang diiklankan. Pada Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) dalam The Control of Misleading Advertisements Regulation 1988 SI 1988/915 (Sallie Spilsbury, 1998), dinyatakan: “ An advertisements is misleading if it in any way deceives or is likely to deceive those to whom it reaches or is addressed and if, by reason of its deceptive nature, its likely to affect their economic behaviour or, for those reasons, injures or is likely to injure a competitor of the person whose interests the advertisement seeks to promote”. Dalam pengertian iklan menyesatkan pada MEE tersebut, terangkum 2 (dua) pihak yang akan merasakan dampak iklan menyesatkan tersebut, yaitu konsumen sebagai sasaran utama pembuatan iklan, dan pelaku usaha lain sebagai kompetitor dari produk yang diiklankan yang akan mengalami kerugian. Dalam jangka panjang konsumen akan kehilangan seluruh kepercayaannya terhadap setiap pesan iklan yang disampaikan pelaku usaha, walaupun sebenarnya pesan iklan tersebut disampaikan dengan jujur. Seperti halnya Amerika Serikat, New Zealand, maupun Australia, Undang-undang Perlindungan Konsumen (UUPK) di Indonesia–pun tidak merumuskan dengan tegas pengertian iklan menyesatkan, namun dalam Pasal 10 Bab IV Perbuatan yang Dilarang Bagi Pelaku Usaha, meneegaskan: “Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan. Mempromosikan, mengiklankan atau membuat penyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: Harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; Kegunaan suatu barang dan/atau jasa; Kondisi, tanggungan, jaminan, hak 43
Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...
atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; Tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; Bahaya penggunaan barang dan/atau jasa”. Tampaknya, apa yang dirumuskan dalam Pasal 10 UUPK tersebut berkaitan dengan adanya “fakta material” dalam suatu iklan, di mana pernyataan menyesatkan mengenai harga, kegunaan, kondisi, tanggungan, jaminan, tawaran potongan harga, hadiah, maupun bahaya penggunaan barang dan/atau jasa dapat mempengaruhi konsumen dalam memilih atau membeli produk yang diiklankan. Menurut Milton Handler, Iklan Menyesatkan (False Advertising) adalah “jika representasi tentang fakta dalam iklan adalah salah, yang diharapkan untuk membujuk pembelian barang yang diiklankan, dan bujukan pembelian tersebut merugikan pembeli, serta dibuat atas dasar tindakan kecurangan atau penipuan (Handler, 1972 : 475). Dalam praktek bisnis kerap akan timbul pernyataan palsu yang tidak sesuai dengan kondisi produk yang sebenarnya, yang menyesatkan (Mislead Statement) atas suatu produk yang dijual atau iklan yang membohongi konsumen dengan cara mengungkapkan hal-hal yang tidak benar (False statement), serta mempergunakan opini subyektif yang berlebihan tanpa didukung fakta (Puffery). STANDAR PENENTUAN INFORMASI IKLAN MENYESATKAN Pada dasarnya standar kriteria periklanan di Indonesia sedikit banyaknya telah disesuaikan dengan standar kriteria yang berlaku di negara-negara maju, misalnya di Amerika Serikat, yaitu dengan telah mempergunakan unsur-unsur fakta material sebagaimana tertuang dalam Pasal 10 UUPK serta konsumen rasional sebagaimana terdapat dalam Pasal 17 Ayat (1) huruf a dan b UUPK. Tetapi keberadaan fakta material dan konsumen rasional tersebut belum cukup jelas diatur dalam ketentuan perlindungan konsumen di Indonesia sehingga pada prakteknya belum secara tegas dijadikan sebagai dasar penentuan iklan menyesatkan. Sedikitnya kasus-kasus periklanan yang sampai ke pengadilan, maupun keterbatasan peran serta hakim yang hanya bertindak “sebagai corong undang-undang” dalam proses beracara di pengadilan, juga menjadi penyebab standar kriteria iklan tersebut belum dapat diterapkan secara maksimal dalam menangani kasus-kasus periklanan serta perkembangannya berjalan dengan lambat. Mencermati kelemahan-kelemahan dalam pengaturan kegiatan periklanan dan praktek pengawasan informasi iklan, maka dipandang perlu untuk memberikan penegasan mengenai keberadaan fakta material dan konsumen rasional sebagai standar penentuan iklan menyesatkan di Indonesia dengan membandingkannya dengan standar penentuan informasi iklan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan baik di tingkat federal maupun negara bagian, serta dalam kode etik periklanan di Amerika Serikat, standar penentuan informasi iklan juga telah ditetapkan Federal Trade Commission (FTC) maupun pengadilan dalam menangani berbagai kasus periklanan: Adanya Penyesatan Informasi (Misleading) Untuk menentukan adanya misrepresentation dalam suatu iklan maka akan dilihat apakah dalam iklan tersebut terdapat pernyataan yang secara eksplisit atau implisit bertolak belakang dengan fakta, atau jika informasi penting untuk mencegah terjadinya misleading dalam suatu praktek, klaim, representasi, atau kepercayaan yang reasonable tidak dipaparkan (omission), sedangkan dalam EPI dijelaskan bahwa praktek pemberian informasi yang menyesatkan dapat berupa memberikan keterangan yang tidak benar, mengelabui dan memberikan janji yang berlebihan.
44
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Penjelasan yang hampir bersamaan dapat ditemukan dalam kasus Myzel v. Fields (386 F.2d 718, 734 C.A. Minn (1967)), di mana pengadilan menetapkan batasan misrepresentation dan Ommission yang menyebabkan suatu pernyataan yang menyesatkan, yaitu apabila pernyataan fakta materil yang diungkapkan adalah salah atau tidak lengkap dan pihak yang melakukannya mempunyai maksud untuk melakukan penipuan. Di samping itu, pihak yang mengajukan pengungkapan mengenai terdapatnya pernyataan iklan yang salah (misrepresentation) harus pula menunjukkan bagian yang mana dari pernyataan iklan tersebut yang mengandung kesalahan dengan disertai bukti-bukti yang kuat, seperti keterangan ahli atau hasil test. Misalnya dalam kasus Coca Cola Co. v. Tropicana Prod. Inc. (690 F.2d 312, 318 (2d Cir. 1982), terdapat kalimat “It’s pure pasteurized juice as it comes from the orange”. Kalimat dalam iklan ini mengandung pernyataan yang salah, karena kesegaran jus jeruk yang dihasilkan dari proses pasteurisasi tentu mempunyai kualitas yang berbeda dengan kesegaran jus jeruk yang dihasilkan dari buah jeruk segar. Hal ini sebagai dampak dari dilaksanakannya proses pengawetan dengan metode pemanasan hingga temperatur tertentu. Dalam praktek di pengadilan Amerika Serikat, bentuk penyesatan informasi iklan juga dapat terjadi pada iklan-iklan yang sebenarnya memuat informasi yang benar tetapi informasi tersebut dapat menimbulkan persepsi yang salah atau menyesatkan konsumen (Brian H. Cole, 2000). Dalam kasus Johnson & Johnson “Merck Consumer Pharm. Co. v. Smithkline Beecham Corp. (960 F.2d 294, 297 (2d Cir. 1992), bermula pada saat Smithkline Beecham Corp. telah mempromosikan produk “antacid” dengan kelebihannya tidak mengandung alumunium dalam komposisi produknya, sedangkan produk kompetitor pada umumnya mengandung alumunium. Walaupun informasi tersebut pada dasarnya benar, tetapi kompetitor mengkhawatirkan dampak informasi tersebut dapat menimbulkan persepsi yang salah kepada konsumen, di mana keberadaan alumunium dalam komposisi produk dapat dianggap sebagai bahan berbahaya. Dalam pengertian luas, konsumen dikatakan tertipu oleh klaim atau kampanye iklan apabila: (a) Impresi atau kesan yang diberikan dalam klaim atau kampanye iklan tersebut adalah salah, atau dengan kata lain timbul claim fact discrepancy- ketidaksesuaian antara klaim dengan fakta; (b) Klaim atau kampanye iklan yang salah tersebut dipercaya oleh konsumen”. Hal penting yang perlu diingat adalah klaim yang salah tersebut bukan berarti bersifat menipu dengan sendirinya, tetapi konsumen perlu percaya terlebih dahulu kepada sebuah klaim, baru kemudian dapat tertipu olehnya. Sebuah klaim yang salah tidak akan membahayakan konsumen kecuali jika dipercaya, dan sebuah klaim yang benar dapat membahayakan jika menimbulkan kepercayaan yang salah. Fakta Material Selain terdapatnya unsur penyesatan (misleading), untuk menentukan standar informasi iklan yang menyesatkan juga didasarkan adanya fakta material yang dapat mempengaruhi konsumen dalam memutuskan untuk melakukan pembelian. Menurut Mary L. Azcuenaga bahwa “The FTC Act requires not only that advertising claims be truthful, but also they not mislead reasonable consumers about material and objective aspects of the product or service to which they relate.”(Azcuenaga, 1995 : 5). Iklan tidak hanya harus memuat informasi secara jujur, juga harus tidak menyesatkan konsumen rasional mengenai materi dan tujuan barang dan atau jasa. Apabila fakta material tersebut dikaitkan dengan informasi yang dibutuhkan oleh konsumen, maka fakta material tersebut harus memuat keterangan yang dapat mempengaruhi keputusan konsumen dalam memilih atau membeli suatu produk. Hal ini dapat disimpulkan dari pengertian fakta material yang dianut oleh Federal Trade Commision di Amerika Serikat dalam kasus Exposition Press Inc. v. FTC. 293 F.2d 869 (2d Cir. 1961), berpendapat “Material 45
Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...
here refers to a fact which influences some consumer action or decision usually (but not necessarily) the purchase decision.” Pengertian tersebut di atas, dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk menilai apakah suatu iklan yang ditayangkan pelaku usaha dapat dikategorikan menyesatkan atau tidak, dengan mengukur materialitas informasi yang terdapat dalam iklan berkenaan dengan keputusan konsumen dalam melakukan pembelian, dalam hal ini konsumen rasional (Keaty, Johns, Henkem, 2002). Sebagai contoh pembuktian fakta material dapat dilihat dalam kasus Nat’l Basketball Ass’n vs. Motorola. Inc. F.3d 841, 855 (2d Cir. 1997), di mana telah diajukan gugatan oleh the National Basketball Association terhadap Motorolla yang telah mempergunakan pernyataan/klaim berlebihan dalam mengiklankan layanan pager Sportstrax dengan memuat informasi perkembangan hasil-hasil pertandingan basketball terbaru langsung dari arena pertandingan, “straight from each arena”. Tetapi kenyataannya informasi yang disampaikan melalui layanan pager tersebut dikumpulkan dari stasiun-stasiun radio maupun televisi. Kemudian pengadilan memutuskan bahwa pernyataan/klaim iklan pager Motorolla tidak bersifat material karena konsumen tidak memperdulikan apakah informasi pertandingan basketball tersebut diliput secara langsung di arena atau merupakan infomasi yang dikumpulkan melalui stasiun radio maupun televisi. Fakta Tersebut Mempengaruhi Konsumen Rasional Dengan memperhatikan dampak yang dapat ditimbulkan iklan terhadap konsumen, maka FTC telah melibatkan konsumen sebagai kriteria guna menentukan keberadaan iklan menyesatkan. FTC akan melihat pengaruh informasi yang terdapat dalam iklan terhadap interpretasi atau keputusan konsumen rasional dalam memilih dan atau membeli suatu produk yang diiklankan. Adapun konsumen rasional dapat diartikan sebagai “konsumen yang dalam memilih atau membeli barang dan/atau jasa yang dibutuhkan, benar-benar didasarkan atas pertimbangan yang matang berdasarkan informasi yang diterimanya melalui iklan.” (Keaty,. Johns, Henkem, 2002). Kriteria ini perlu dipertimbangkan karena iklan dibuat untuk ditujukan kepada khalayak sasaran tertentu, berdasarkan tingkat pendidikan, kapasitas intelektual, kerangka pemikiran, dan sebagainya. Misalnya jika sebuah perusahaan memasarkan obat untuk penyakit mematikan, maka iklan obat tersebut akan dievaluasi dengan melihat bagaimana efeknya terhadap anggota suatu kelompok tertentu, yang menderita penyakit mematikan tersebut. Konsumen dengan penyakit tersebut tentunya akan terpengaruh dengan klaim-klaim penyembuhan yang dibesar-besarkan (Spilsbury, 1998). Demikian pula iklan suatu produk otomotif yang menawarkan berbagai fitur keselamatan dan keamanan dalam berkendara dari segala bahaya kecelakaan di jalan raya. Evaluasi akan dilakukan dengan melihat efek iklan produk otomotif tersebut dengan pilihan konsumen dalam melakukan pembelian produk otomotif. Salah satu kasus yang pernah ditangani oleh The Fair Trading Commission guna melindungi konsumen rasional dari pernyataan atau klaim berlebihan yang memungkinkan terjadinya penyesatan, adalah the Jay Norris Case, 91 F.T.C.751, n.20 (1978). Dalam kasus ini The Fair Trading Commission telah menuduh sebuah perusahaan elektronik telah melanggar ketentuan Section 37 of the Fair Competition Act dengan mempergunakan kalimat “electronic miracle” untuk mempromosikan antena televisi hasil produksinya. Perusahaan elektronik tersebut membantah tuduhan itu dengan menyatakan bahwa keterangan yang diberikannya hanya sedikit berlebihan. The Fair Trading Commission tidak sependapat dengan argumen yang diajukan oleh perusahaan elektronik tersebut, dan menyatakan: “the use of electronic miracle in the context 46
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 of (the defendant’s) grossly exaggerated claims would lead consumers to give added credence to the overall suggestion that this device is superior to other types of antennae.” Pentingnya kedudukan konsumen rasional sebagai salah satu unsur untuk membuktikan adanya penyesatan dalam iklan juga dipergunakan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam kasus FTC v. Colgate-Palmolive Co (380 U.S. 374 (1965), yang berpendapat “The misrepresentation on any fact so long as it materially induces a purchaser’s decicion to buy is a deception prohibited.” Pembenaran terhadap Klaim-Klaim Iklan Bentuk-bentuk pelanggaran iklan dengan cara menonjolkan klaim-klaim produk tanpa disertai pembuktian kongkrit, merupakan salah satu bentuk penyesatan informasi yang cukup banyak ditemukan di berbagai media cetak maupun elektronik. Melalui penonjolan klaimklaim produk tersebut, pelaku usaha berusaha menginformasikan keunggulan, kemanjuran dan manfaat yang akan diperoleh konsumen serta kadangkala memperbandingkannya dengan produk lain milik kompetitor. Beberapa klaim produk yang ditemukan cenderung bersifat subyektif, misalnya “lebih putih, terbaik, menjadikan masakan lebih enak, mencuci lebih bersih, dan sebagainya”. Klaim–klaim seperti ini cenderung melebih-lebihkan kemampuan produk (puffery) dari kemampuan sebenarnya. Apabila melihat dampak dari klaim iklan berlebihan (puffery) tersebut terhadap konsumen, maka bentuk iklan seperti ini tidak akan berdampak menyesatkan konsumen rasional, karena unsur klaim berlebihan tersebut nyata terlihat oleh konsumen. Walaupun demikian, pengadilan di Amerika Serikat tetap melarang tayangan iklan yang mengandung unsur klaim berlebihan tersebut, seperti dipraktekkan dalam kasus Pizza Hut, Inc. v. Papa John’s International, Inc.(No.00-10071) di mana pengadilan melarang Papa John’s meneruskan tayangan iklan pizzanya yang memuat slogan dagang “Better Ingredients, Better Pizza”. Bentuk pengawasan berkaitan dengan penggunaan klaim-klaim iklan diberikan oleh pengadilan di Amerika Serikat, yaitu untuk mengukur kebenaran klaim-klaim iklan yang disampaikan pelaku usaha melalui iklan perbandingan (comparative advertising). Berkaitan dengan hal itu pengadilan mempergunakan 3 (tiga) kriteria: (a) Serangkaian percobaan yang dilakukan untuk membuktikan kemampuan produk yang diperbandingkan, harus memperhatikan kondisi sebenarnya pada saat konsumen mempergunakan produk yang bersangkutan. (b) Untuk menghindarkan terjadinya bias terhadap hasil percobaan, the Lanham Act mensyaratkan agar pihak yang melakukan serangkaian percobaan tersebut adalah pihak yang netral, tidak mempunyai kaitan sama sekali dengan produk yang diuji coba, serta tidak mengetahui identitas objek percobaan, produsen penghasil produk, bahkan pihak yang menjadi sponsor percobaan tersebut. (c) Metoda statistik yang dipergunakan harus dapat menunjukkan perbedaaan aktual dari performa setiap produk yang diuji coba, sehingga dapat terlihat perbedaannya secara nyata”. Keterlibatan pengadilan dalam menguji kebenaran klaim-klaim iklan berdasarkan ketentuan Pasal 43 (a) The Lanham Act, dapat diajukan oleh para kompetitor yang merasa dirugikan maupun pihak-pihak lain yang berkepentingan, tetapi tidak dapat diajukan oleh konsumen, karena bagi konsumen dapat mengajukan gugatan berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen di masing-masing negara bagian. Sebagai contoh bagaimana pengadilan di Amerika Serikat berperan dalam mengontrol kebenaran klaim-klaim iklan, dapat dilihat dalam kasus S.C Johnson & Son, Inc. v. Clorox Co. (930 F.Supp.753, 904-05 (E.D.N.Y. 1996). Pengadilan di Eastern District of New York telah menolak argumen pembelaan tergugat berdasarkan ketentuan The Lanham Act, berkenaan pembuktian klaim tergugat mengenai kemampuan alat perangkap kecoa. Penolakan pengadilan
47
Dedi Harianto: Standar Penentuan Informasi...
sehubungan ketidakmampuan tergugat memberikan pembuktian kebenaran klaim tersebut dikaitkan dengan kondisi penggunaan produk sebenarnya di masyarakat. Terdapat setidaknya 3 (tiga) hal yang menunjukkan kegagalan pembelaan tergugat, yaitu: pertama, pengujian pengendalian serangga dilakukan dengan melibatkan tenaga ahli untuk menentukan seberapa banyak campuran produk yang diperlukan untuk menangani kecoak dalam jumlah tertentu, sedangkan realitanya konsumen tidak mempunyai keahlian tersebut agar dapat diperoleh hasil yang maksimal. Kedua, pengadilan telah menemukan kelebihan penggunaan produk selama pengujian yang tidak sesuai dengan petunjuk penggunaan produk sebagaimana tercantum dalam label. Ketiga, selama pengujian tergugat telah mempergunakan perangkap tambahan, sementara dalam label penggunaan perangkap tambahan tersebut tidak pernah disarankan kepada konsumen. KESIMPULAN Maraknya penayangan informasi iklan menyesatkan tidak dapat dilepaskan dari semakin ketatnya persaingan di antara para pelaku usaha guna menarik perhatian konsumen, sehingga informasi yang diberikan melalui media iklan cenderung berlebihan, menyesatkan dan menipu konsumen. Upaya penyesatan informasi melalui media iklan dapat menyangkut informasi mengenai harga, kualitas, kegunaan suatu barang, layanan purna jual, jaminan/garansi suatu barang atau jasa dan sebagainya. Serta dengan memuat informasi secara keliru, salah, maupun tidak tepat (deceptive) mengenai barang dan/atau jasa, memberikan gambaran secara tidak lengkap (ommission) mengenai informasi barang dan/atau jasa, atau dengan memberikan informasi yang berlebihan (puffery)mengenai kualitas, sifat, kegunaan, kemampuan barang dan/atau jasa. Terdapat beberapa kriteria yang dapat dipergunakan sebagai standar penentuan terdapatnya informasi iklan menyesatkan, yaitu adanya Penyesatan Informasi (Misleading), fakta material, konsumen rasional, dan pembenaran terhadap klaim-klaim iklan. Keseluruhan kriteria tersebut sangat membantu pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dengan dunia periklanan untuk mengawasi berbagai tayangan iklan yang terdapat di media cetak maupun media elektronik, sehingga potensi kerugian yang kemungkinan dialami oleh konsumen dapat dihindarkan. DAFTAR PUSTAKA “Advertising Practices, Frequently Asked Question, Answer for Small Business”, Federal Trade Commission, www.FTC.Gov. Azcuenaga, Mary L. 1995. Advertising Regulation and The Free Market. Makalah yang disajikan dalam International Congrees of Advertising and Free Market, “Freedom: XXI Century; The Century of The Consumer”. di Lima, Peru. Cole, Brian H. 2000. “Franchisor v. Franchisor and The Lanham Act: False Advertising and Infringement of Trademarks, Service Marks and Trade Dress”. Kertas kerja yang disajikan pada The American Bar Association Forum on Franchising Conference. di New Orleans, Lousiana. Hamblin, C. and Wright, F.B. 1988. Introduction to Commercial Law. Sweet and Maxwell. London. Handler, Milton. 1972, Business Tort, Case and Materials. Foundation Press. New York. Keaty, Anne, Johns, Roger J, Henke, Lucy L.2002. “Can Internet Service Providers and Other Secondary Parties be Held Liable for Deceptive Online Advetising”, The Bussines Lawyer, Vol. 58. 48
JURNAL EQUALITY, Vol. 13 No. 1 Februari 2008 Leder, Malcolm, dan Shears, Peter. 1996. Frame Works Consumer Law. Fourth Edition. Pitman Publishing. London. Lysonski, Steven, dan Duffy, Michael F. 1992. “The New Zealand Fair Trading Act of 1986: Deceptive Advertising”, The Journal of Consumer Affair, Vol. 26. Madison. Miru, Ahmadi, dan Yodo, Sutarman. 2004. Hukum Perlindungan Konsumen, PT Raja Grafindo. Jakarta. Nasution, A.Z. 2001. Hukum Perlindungan Konsumen (Suatu Pengantar). Diadit Media. Yogyakarta. Oughton, David, dan Lowry, Jhon. 1997. The Text Book on Consumer Law. Black Stone Press Limited. London. Sandage, Barbanand. 1968. Reading in Advertising and Promotion Strategy. Richard D Irwin Inc. USA. Sudaryatmo. 1999. Hukum dan Advokasi Konsumen. Citra Aditya Bakti. Bandung. Shimp, Terence A. 2003. Periklanan Promosi dan Aspek Tambahan Komunikasi Pemasaran Terpadu. Edisi ke 5. Diterjemahkan oleh Revyani Sjahrial, Dyah Anikasi. Erlangga, Jakarta. Spilsbury, Sallie. 1998. Guide to Advertising and Sales Promotion Law. Cavendish Publishing Limited. London. “Siapa “Raja” Konsumen atau Produsen, Kumpulan Rubrik Advokasi Konsumen Harian Kompas. 2000. Harian Kompas berkerjasama dengan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Jakarta. Janizal Dkk. v. PT. Kentanik Super Internasional, Putusan Mahkamah Agung 3138/K/Pdt/1994.
49
No.