BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Konsep Pengambilan Keputusan Konsumen Dalam mengkonsumsi suatu produk ataupun service ada tahapan yang dilakukan
oleh konsumen, mengetahui tentang tahapan ini dapat membantu pemasar ataupun perusahaan untuk mengerti perilaku konsumen (Kotler dan Keller, 2009, p207; Hawkins dan Mothersbaugh, 2010, p467; Lovelock dan Wirtz, 2011, p58). Kotler dan Keller (2009, p207) membahas dalam bukunya ada 5 tahapan (Problem
recognition, Information search, Evaluation of alternatives, Purchase decision, postpurchase behavior; gambar 2.1) dalam keputusan pembelian konsumen, dan proses yang serupa juga digunakan Hawkins dan Mothersbaugh (2010, p467) dalam menjelaskan perilaku konsumen dalam menentukan pembelian.
Problem Recognition
Information search
Evaluation of alternative
Purchase decision
Postpurchase behavior
Sumber: Kotler dan Keller, 2009 Gambar 2.1 Five-Stage Model of the Consumer Buying Process
Sedangkan Lovelock dan Wirtz (2011, p59) menyebutkan ada 3 tahapan (Pre-
purchase stage, Service encounter stage, Post-encounter stage; gambar 2.2) dalam mengkonsumsi service. meskipun terdapat perbedaan namun keduanya sama, penelitian ini akan lebih menggunakan teori Lovelock dan Wirtz dikarenakan Lovelock dan Wirtz menggunakan sudut pandang service, sedangkan Kotler dan Keller menggunakan sudut pandang marketing secara umum.
7
8
Pre‐Pu urchase Stage Awarene ess of Need/Need d Arousal
Evaluation of natives altern In nformation Seearch
•Service Attributes •Perceeived Risk •service Expectation
Purchasse decision
Seervice EEncountter Stagge R Request Servic e
Post‐en ncounteer Stagee Evaluation of Servvice
S Sumber: Love elock dan Wirrtz, 2011 Gambaar 2.2 Three-S Stage Model of o Service Con nsumption
kipun kedua proses p menjelaskan tahapan-tahapan yang y dilalui seseorang unttuk Mesk m membuat kep putusan mem mbeli namun sebenarnya s tidak semua konsumen k me elewati tahapa ant tahapan peng gambilan kep putusan yang ada. Contohnya adalah jiika kita kehab bisan pasta gigi g y yang sering kita gunaka an, maka kitta akan lang gsung dari perasaan p me embutuhkan ke k keputusan membeli m tanpa a melalui pe encarian inforrmasi atau mengevaluasi m ain. alternatif la N Namun jika kita k ingin me embeli sebua ah mobil makka semua tah hapan keputu usan pembeliian a akan kita lalu ui. Dapat disimpulkan bah hwa semakin kita membu utuhkan pertim mbangan unttuk
9
membeli suatu produk maka akan semakin kita mengikuti proses tahapan pengambilan keputusan (Kotler dan Keller, 2009, p208). Fenomena tersebut dibahas lebih lengkap oleh Hawkins dan Mothersbaugh (2010, p496) yang menyatakan bahwa ada beberapa tipe pengambilan keputusan. 5 tahapan proses pengambilan keputusan akan berubah sesuai tingkat keterlibatan konsumen (involvement). Hawkins dan Mothersbaugh (2010, p497) lebih lanjut membagi menjadi 3, tipe pengambilan keputusan 1. Nominal decision making Atau biasa disebut habitual decision making adalah proses keputusan yang tidak memerlukan pertimbangan apapun. Contohnya adalah pembelian pasta gigi.
Habitual decision making biasanya lebih menekankan pada ingatan pembeli, maka jika pasta gigi merk A milik konsumen habis maka secara langsung dan tanpa pertimbangan akan merk lain, konsumen akan membeli pasta gigi merk A lagi. 2. Limited decision making Tipe ini hampir sama dengan nominal decision making. Namun yang menjadi perbedaan adalah pembeli tidak mencari berdasarkan kebiasaan, pembeli dapat melihat merk baru dan mencoba. Contohnya adalah, calon pembeli membeli pasta gigi di supermarket, disana dia tidak membeli pasta gigi merk A tapi membeli merk B dengan alasan ingin mencoba dan bosan dengan merk A. Disini karakteristik limited decision making terlihat yaitu, terpengaruh pertimbangan dalam diri (internal : ingatan, kebiasaan, dll) dengan sedikit pengaruh luar (external : bungkus, warna, rasa dari produk B).
10
3. Extended E deci cision making Tipe T ini mengiikuti kelima proses p keputusan dikarenakan dalam tip pe ini konsum men akan a memperrtimbangkan pembelian yang y dilakuka an bahkan hingga h sesud dah membeli, m pem mbeli akan mengevaluasi apakah a pemb belian yang dilakukan d tep pat. Contoh C baran ng untuk tipe e ini adalah pembelian mobil m dan ata au menentukkan te empat liburan n panjang.
Proses Pengamb bilan Keputu usan - Stag ge I - Pre-Pu urchase Stag ge
2 2.2
Pre‐Purchaase Stagge Awareness of A N Need/Need Arousal
Evaluation of alternatives Informattion Search
•Service Attribu utes •Perceived Riskk •service Expectation
Purcchase decision n
Gam mbar 2.3 Pre-P Purchase Stag ge Prepu urchase stag ge dimulai dengan d mun nculnya pera asaan membutuhkan (ne eed a arousal ) dan kemudian mu ulai mencari informasi (info formation seaarch) dan melaakukan evaluasi d dari alternatif (evaluation n of alternativves) yang ad da sebelum akhirnya a mem mbeli atau tid dak m membeli (buy ying decision) (Lovelock dan Wirtz, 201 11, p60). Dalam fase ini pembeli p menccari d dan memperrtimbangkan tentang prod duk atau serrvice dan mu ulai memban ngun ekspekttasi t tentang produ uk atau jasa yang y diinginkkan.
2 2.2.1
Need d Arousal Menu urut Lovelockk dan Wirtz (2011, ( p60) perasaan me embutuhkan (need aroussal)
m muncul karen na: 1. Hal secara tidak sa adar (unconsc scious minds) h mengarah ke k hal-hal yan ng tertanam dalam d diri nam mun tidak dissadari (identittas Lebih diri dan aspirasi ad dalah salah sa atu contoh).
11
2. Kondisi fisik (physical conditions) Contohnya jika merasa lapar maka kita akan mencari makanan.
3. Sumber dari luar (external source) Sumber dari luar yang dimaksud adalah stimulus dari luar. Contohnya jika kita melihat iklan dan kemudian ingin mencoba apa yang diiklankan.
Kotler dan Keller (2009, p208) menyatakan bahwa adanya internal stimulus dan
external stimulus yang menyebabkan terjadinya keinginan. Dengan adanya keinginan dari dalam diri (cth: lapar) dan dipertemukan dengan stimulus dari luar (cth: iklan restoran) maka terbentuklah tahapan pertama dari proses pengambilan keputusan. Pada saat perasaan membutuhkan disadari maka orang akan menjadi termotivasi untuk mencari informasi (Kotler dan Keller, 2009, p201-202; Lovelock dan Wirtz, 2011, p60). Lebih lanjut Hawkins dan Motherbaughs (2010, p501) menjelaskan lebih mendalam melalui bagan bagaimana munculnya need arousal/problem recognition
12
Sumber: Hawkins and Mothersbaughs, 2010, p501 Gambar 2.4 Process of Problem Recognition
Dalam gambar terlihat bahwa jika desired consumer lifestyle dan desired state sudah terpenuhi atau sudah sesuai keadaan sebenarnya maka tidak ada problem recognition atau bisa dikatakan konsumen telah puas, yang dimaksud adalah jika apa yang diinginkan (desired consumer lifestyle) dari konsumen sudah sesuai dengan keadaan sebenarnya (actual
state) dan keadaan sekarang (actual state) sudah sesuai dengan keadaan yang diinginkan (desired state) maka tidak ada permasalahan yang harus dipecahkan atau dalam arti tidak ada kebutuhan yang harus dipenuhi karena telah terpenuhi, tapi jika ada perbedaan antara
desired consumer lifestyle dan actual state atau current situation dengan desired state maka
13
akan mengarah pada problem recogntition. Yang dimaksud adalah jika apa yang diharapkan belum terpenuhi di keadaan sebenarnya maka konsumen akan berusaha untuk memenuhi hal tersebut. Bisa dikatakan tujuan utama konsumen adalah untuk membuat desired lifestyle dan desired state supaya menjadi actual state ataupun current state.
2.2.2
Infomation Search Pada saat kebutuhan telah diketahui maka akan konsumen akan termotivasi untuk
mencari informasi. Sumber informasi terbagi dalam 4 grup (Kotler dan Keller, 2009, p208): 1. Personal ( keluarga, teman, tetangga, kenalan) 2. Komersial (iklan, web, penjual, label keterangan, dll) 3. Publik (media masa, badan survey) 4. Eksperiental (pengalaman) Lebih lanjut Hawkins dan Motherbaughs (2010, p518) menyatakan pencarian informasi secara garis besar ada 2, yaitu internal dan eksternal. Internal berasal dari dalam diri (ingatan ataupun pengalaman), eksternal adalah informasi yang didapat dari luar diri (teman, iklan, dll) Setelah mendapat informasi yang dibutuhkan biasanya seseorang akan juga menemukan alternatif-alternatif produk atau jasa yang dicari, oleh sebab itu maka akan terjadi evaluasi terhadap alternatif yang tersedia (Lovelock dan Wirtz, 2011, p61). Promosi yang disebutkan pada riset ini mengacu pada informasi eksternal yang didapat oleh para calon pembeli. Yaitu poin 1-3 dari 4 group sumber informasi dari Kotler dan Keller (2009, p208) hal ini dikarenakan seluruh informasi tersebut yang akan menjadi bagian pembentukan ekspektasi service yang diharapkan, dan tentu saja meskipun jika promosi tersebut tidak dilakukan oleh perusahaan secara langsung yang dalam arti (official statement) dari perusahaan tetapi calon pembeli mendengar dari orang atau sales yang memberikan janji mengatasnamakan perusahaan / produk. Contohnya adalah jika secara resmi perusahaan
14
tidak menjanjikan A dalam produk mereka, tetapi dari sales dan atau dari teman yang menggunakan produk menyatakan mereka mendapat fitur A setelah membeli produk. Maka secara tidak langsung dan meskipun perusahaan tidak menjanjikannya, calon pembeli tersebut sudah mendapat informasi yang menyatakan adanya fitur A. Oleh karenanya promosi yang disebutkan dalam riset ini akan menyertakan keseluruhan poin eksternal karena hal-hal tersebut ikut membangun ekspektasi service yang diharapkan calon pembeli.
2.2.3
Evaluation of Alternatives Dalam mengevaluasi seseorang akan melakukan perbandingan, namun tidak semua
produk bisa dibandingkan dengan mudah, ada produk yang bisa kita lihat karakteristiknya secara langsung, ada juga yang tidak. Selain itu proses pengevaluasian sebenernya mengikuti atribut dari apa yang dicari oleh calon pembeli. Misalkan calon pembeli tersebut ingin berlibur maka atribut harga, kenyamanan, kesenangan, dan hal-hal yang terkait dengan berlibur adalah hal-hal yang menjadi concern utama dalam mengevaluasi alternatif (Kotler dan Keller, 2009, p209). Selain itu ada faktor lain
yaitu bagaimana keadaan saat proses pengambilan
keputusan ini dibuat, apakah terburu-buru atau tidak terlalu penting, hal-hal situasi tersebut mempengaruhi proses pengambilan keputusan dan akan mempengaruhi bagaimana calon pembeli mengevaluasi alternatif yang ada. Contoh: jika calon pembeli dalam kondisi waktu yang singkat atau penting maka kemungkinan calon pembeli tersebut tidak lagi melakukan evaluasi alternatif melainkan langsung membeli barang sesuai pengetahuan yang dia miliki tanpa melakukan eksternal search, namun jika memiliki waktu yang banyak, calon pembeli mungkin akan melihat alternatif produk yang ada, yang kemungkinan lebih sesuai dengan kebutuhannya (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010, p550).
15
2.2.3.1 Service Attributes Lovelock dan Wirtz (2011, p61) membagi 3 kategori utama: 1. Search attributes
Search attributes adalah tangible characteristic dari produk, mencakup warna, bau, bentuk, tekstur, dll. Bahkan konsumen dapat mencoba barang tersebut dulu. Contohnya adalah baju, perkakas rumah tangga, mobil, dll. 2. Experience attributes Adalah yang tidak dapat dievaluasi sebelum melakukan pembelian, konsumen harus merasakan dulu (experience) baru kemudian dapat menilai. Contohnya adalah restoran, kita tidak dapat benar-benar menilai sampai kita berada di restoran tersebut dan melakukan pemesanan. Disini kita baru merasakan pelayanan, menu, suasana, dan kemudian rasa makanan. 3. Credence attributes Adalah atribut yang sulit dievaluasi oleh konsumen, bahkan setelah dirasakan (experience) oleh konsumen. Disini konsumen dituntut untuk percaya sampai pada tahapan tertentu. Contohnya adalah di sebuah restoran, kebersihan dapur, alat masak, hingga bahan makanan yang sehat semua itu tidak diketahui oleh konsumen secara langsung namun diberitakan oleh restoran tersebut, dan sampai akhir service konsumen hanya percaya.
Secara umum dapat dikatakan semua produk (barang ataupun jasa) akan berada pada ’mudah untuk dievaluasi’ hingga ’sulit untuk dievaluasi’ namun kita tidak dapat menyatakan misalkan: produk A dikategorikan sebagai produk yang sulit untuk dievaluasi dan produk B dikategorikan sebagai produk yang mudah untuk dievaluasi, hal ini tidak dapat dilakukan karena adanya karakteristik konsumen. Konsumen yang berpengalaman dan konsumen yang baru pertama kali mencoba produk akan menilai secara berbeda. Semakin sulit konsumen
16
dalam mengevaluasi produk maka semakin besar perceived risk yang ditanggung dalam keputusan konsumen.
2.2.3.2 Perceived Risk Saat mengevaluasi konsumen akan mencoba memperkirakan apa saja yang didapat jika membeli produk tersebut (persepsi) semakin sulit mengevaluasi maka semakin besar resiko dari produk tersebut karena konsumen tidak dapat memperkirakan bagaimana produk tersebut akan berperforma (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010, p536; Lovelock dan Wirtz, 2011, p63). Oleh karena hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa konsumen menanggung resiko dalam setiap keputusan pembeliannya, resiko sendiri bisa tinggi ataupun rendah tergantung bagaimana evaluasi ataupun pengetahuan dari konsumen terhadap produk. Produk yang dibeli dengan pengetahuan yang minim akan membuat konsumen mananggung resiko yang besar karena bisa saja produk tersebut jauh dari apa yang diharapkan oleh konsumen. Dalam bukunya Lovelock dan Wirtz (2011, p63) menyebutkan beberapa tipe resiko dalam membeli dan menggunakan service. 1. Resiko fungsional (tidak puas terhadap hasil performa produk) Cth: apakah sabun ini akan menghilangkan noda pada baju saya? 2. Resiko keuangan (kehilangan uang atau biaya tak terduga) Cth: apakah saya akan mengalami kerugian jika membeli saham A? 3. Resiko sementara (membuang waktu dan keterlambatan) Cth: apakah saya harus antri untuk melihat konser tersebut? 4. Resiko fisik (terluka atau kerusakan pada barang pribadi) Cth: apakah isi paket yang saya kirim tidak rusak saat terkirim? 5. Resiko psikologis (ketakutan pribadi dan emosi) Cth: bagaimana saya percaya bahwa pesawat ini tidak akan jatuh?
17
6. Resiko sosial (bagaimana orang lain akan bereaksi dan melihat) Cth: bagaimana yang teman saya pikirkan jika melihat saya membeli mobil bekas? 7. Resiko sensoral (pengaruh terhadap 5 indera kita) Cth: apakah makanan ini enak? Apakah ranjang ini nyaman?
2.2.3.3 Service Expectations Ekspektasi service atau produk dibangun selama masa pencarian
dan proses
membuat keputusan, dan hampir keseluruhannya terbentuk oleh pencarian informasi dan evaluasi dari atribut produk. Jika tidak ada pengalaman sebelumnya mengenai produk tersebut konsumen biasanya akan membuat ekspektasi berdasarkan dari word-of-mouth, berita, atau pemasaran dari perusahaan. Ekspektasi bisa juga berdasarkan situasi contohnya, pada saat musim liburan, maka ekspektasi konsumen penerbangan adalah tidak ada harga murah sedangkan pada masa kerja maka ekspektasinya adalah harga tiket pesawat lebih murah. Selain itu ekspektasi bisa juga berubah-ubah atau dirubah oleh perusahaan, misalnya dengan menggunakan iklan, trend sosial, ataupun kemudahan akses informasi. Ekspektasi konsumen terdiri dari beberapa komponen: (Lovelock dan Wirtz, 2011, p64-67) 1. Service yang diharapkan (desired service). Tingkat service yang diimpikan konsumen. 2. Service normal (adequate service).
Service minimum yang dapat diterima konsumen tanpa merasa tidak puas. 3. Service yang diprediksi (predicted service). Tingkat service yang diprediksi atau diharapkan oleh konsumen, biasanya karena janji-janji dari pihak penyedia, word-of-mouth, pengalaman sebelumnya.
18
4. Zona toleransi (zone of tolerance). Konsumen juga mengetahui bahwa tidak selamanya mendapat service yang baik, oleh karena itu ada zona toleransi yang dimiliki konsumen, jika service telah berada dibawah zona maka akan mengakibatkan ketidakpuasan dari konsumen.
2.2.4
Purchase Decision Fase ini adalah hasil dari seluruh fase diatas sebelumnya, kesadaran atas kebutuhan,
pencarian informasi dan juga evaluasi setelah menggabungkan semua itu maka konsumen akan membuat keputusan pembelian, keputusan pembelian disini adalah penentuan pilihan jatuh kepada produk atau service yang mana. Bagi pembelian yang biasa atau berulang (misalkan membeli sabun mandi) proses keputusannya akan sangat mudah dan sebaliknya bagi pembelian yang membutuhkan pemikiran (misalkan membeli mobil) maka proses keputusan akan semakin panjang. Keputusan juga akan mempertimbangkan kekurangan dan kelebihan, kebanyakan yang dipertimbangkan adalah harga dimana jika harga lebih murah dan performa tidak terlalu berbeda maka akan dipilih harga yang murah (Lovelock dan Wirtz, 2011, p67). Tidak hanya mengenai produk saja yang dipilih, tempat dimana barang atau jasa yang diinginkan juga menjadi salah satu keputusan selain membeli barnag atau jasa tertentu (Hawkins dan Mothersbaugh, 2010, p582). Perbedaan antara Lovelock dan Kotler terdapat pada fase purchase decision dimana
perceived risk oleh Kotler ditaruh dalam fase purchase decision menurut Kotler dan Keller (2009, p213) dengan adanya perceived risk maka calon pembeli akan memikirkan ulang tentang keputusan pembelian mereka. Perceived risk sendiri oleh Kotler dan Keller disebut sebagai intervening factor dalam purchase decision.
19
2 2.3
Proses Pengamb bilan Keputu usan - Stag ge II - Servicce Encounte er Stage
Seervice EEncountter Stagge R Request Servic ce
Gambar 2.5 Service Enccounter Stagee
hase adalah service s encou uter stage, fase f ini dima ana Fase kedua setelah preprucha k konsumen mulai m merasakkan secara la angsung bag gaimana prod duk dan servvice itu beke erja s secara sesun ngguhnya. Di fase inilah permintaan akan produkk, hingga pen nggunaan akkan p produk dirasa akan konsume en (Lovelock dan Wirtz, 2011, 2 p67). Se ebagai contohnya seseora ang b berniat membeli sebuah kulkas k dan sudah melaku ukan semua kegiatan k pre--purchase staage s sehingga men njatuhkan piliihan pada mo odel dan merk kulkas A. Toko T yang dip pilih adalah to oko k khusus menjjual kulkas. Untuk menccapai toko te ersebut digu unakan mobil. Fase servvice
e encounter dim mulai dari kita a datang ke ke k toko khusus kulkas terse ebut. Dari bag gaimana kond disi p parkiran hing gga pelayanan n petugas da an sistem parrkir, kemudian bagaimana a karyawan dari d t toko tersebutt membantu kita menemu ukan lokasi kulkas k tersebu ut hingga terrjadi pertukarran i informasi tambahan darri penjual dan d pembeliian, kemudia an pembelia an terjadi dan d p pengiriman, hingga akhirrnya kulkas tersebut t dapa at dinikmati di rumah. Semua S kejadiian p panjang terse ebut adalah dimana d pembe eli merasakan n service. Evalu uasi biasanya a terjadi pad da saat servi vice diberikan n, bisa dikata akan dari aw wal b bersinggunga an dengan se ervice maka konsumen k akkan mengevaluasi apakah kualitas servvice s sudah menca apai ekspekta asi atau tidakk. Sebagai contoh calon pembeli p kulkas tadi berharrap k karyawan pen njual kulkas akan a membantu dalam masalah m pemb bayaran dengan memberikkan b beberapa alte ernatif pemba ayaran. Namu un ternyata to oko tersebut hanya menerrima tunai ya ang m membuat calo on pembeli te ersebut haruss mengambil uang u dahulu di ATM yang membuat callon p pembeli sedikit tidak nya aman. Dari penggalan p cerrita diatas da apat dilihat bahwa b sebelu um
20
melakukan pembelian, calon pembeli tersebut sudah mendapat persepsi negative bahkan sebelum pembeli mencoba produk untuk mengetahui apakah produk tersebut bekerja dengan baik dan sesuai ekspektasi atau tidak. Dalam setiap pembelian pembeli tidak hanya bersinggungan hanya dengan produk tersebut, tapi juga dengan pelayanan yang ada. Bahkan untuk pembelian melalui internet dan barang yang bukan merupakan benda fisik (contoh sebuah program) service yang diberikan adalah berupa kemudahan mendapatkan program tersebut melalui internet. Oleh karena itu tidak ada produk yang benar-benar bebas dari service. Lovelock dan Wirtz (2011, p69) dalam bukunya menyatakan beberapa tipe
contact dalam service antara pembeli dan penyedia.
Sumber: Lovelock dan Wirtz, 2011, p69 Gambar 2.6 Levels of Customer Contact with Service Organizations
Tipe contact antara pembeli dan penyedia service terbagi oleh bagaimana jenis usaha yang dijalankan perusahaan. Tipe usaha yang bersinggungan langsung dengan pembeli (restoran,
21
p pangkas ramb but, dll) adala ah tipe high contact c servicce. Karakterisstik tipe high contact c adalah p penyedia jasa a dan pembeli atau penggu una bersinggu ungan langsu ung atau berte emu langsung g s selama proses penyediaan n service. Sedangkan low contact c adalah h sebaliknya hampir h bisa d dikatakan pem mbeli dan pen nyedia jasa ha ampir tidak bertemu. b Sep perti yang terlihat dalam g gambar bank k dimasukkan dalam katego ori yang berbeda-beda, ba ank tradisional yang b bersinggunga an langsung dengan d nasab bah (person-to to-person) ten ntu saja tingka at interaksi b berbeda deng gan internet banking b yang mengedepan nkan service secara s fisik da an bukan p personel.
2 2.4
Proses Pengamb bilan Keputu usan - Stag ge III - Postt-Encounter Stage
Post‐encounter Stagee Evaaluation of Seervice Gamb bar 2.7 Post-eencounter Staage
Fase ketiga adalah post-encou unter stage, di d fase ini konsumen mela akukan evaluasi d dan kompara asi dengan ekkspektasi yan ng telah terbentuk dari fa ase-fase sebe elumnya. Dala am f fase ketiga in nilah konsum men melakuka an berbagai hal, h seperti melakukan m pe embelian ulan ng, m merasa puas atau tidak puas, p melakukkan word-of--mouth, keluh han, dll (Love elock dan Wirrtz, 2 2011, p59). beli akan merrasakan disso onance, jika apa yang diharapkan berbeeda Pada fase ini pemb d apa yang dari g didapat. Tapi dissonance e tidak hanya datang dari ekspektasi yaang tidak sesu uai t tapi juga terjjadi oleh pengaruh luar, misalkan m jika kita akhirnya a memilih pro ovider seluler A, t tapi setelah mendengar ada provide er seluler
B maka ada a kemungkina an bahwa kita k
m mengganti provider p jika setelah evaluasi ternyata a provider B lebih baik. Bisa dikatakkan
22
dissonance adalah suatu keadaan yang akan membuat pembeli mempertanyakan kembali keputusan mereka membeli barang (Hawkins dan Mothersbough, 2010, p623). Yang membuat terjadi dissonance
seperti yang telah disebutkan diatas, diantaranya adalah
perbedaan harapan dan produk/service aktual atau informasi baru yang akan menjadi pertimbangan baru. Intinya adalah hal-hal yang membuat terjadi keraguan atas pembelian adalah dissonance (Hawkins dan Mothersbough, 2010, p623). Oleh sebab itu tugas pemasar tidak hanya sampai pada barang terjual tapi bagaimana membuat pembeli percaya bahwa mereka telah memilih barang atau service yang tepat (Kotler dan Keller, 2009, p213). Pada fase ini akan terjadi banyak hal pada pembeli. Kepuasan akan pembelian adalah salah satunya. Jika barang atau jasa berada dibawah ekspektasi maka pembeli akan kecewa, tapi jika sesuai ekspektasi maka pembeli akan puas, dan jika melebihi ekspektasi maka pembeli akan sangat senang. Semua hal tersebut mempengaruhi perilaku konsumen (Kotler dan Keller, 2009, p213). Jika mereka kecewa, mereka bisa melakukan keluhan baik kepada perusahaan atau tidak kepada perusahaan tapi mengeluh kepada teman atau keluarga atau bahkan tidak mengeluh sama sekali tapi tidak akan pernah menggunakan barang atau jasa yang sama. Dan jika konsumen puas, mereka juga bisa menceritakan kepada keluarga atau memberikan apresiasi kepada perusahaan berupa surat yang menyatakan kepuasan atau hal lainnya.
23
Sumber: Hawkins and Mothersbaugh, 2010, p622 Gambar 2.8 Postpurchase Consumer Behavior
Dapat dilihat dari bagan diatas apa saja yang terjadi dalam post-encounter stage. Dapat dilihat bahwa jika terjadi dissonance setelah pembelian maka action yang selanjutnya terjadi adalah apakah barang atau jasa tersebut tidak digunakan atau tetap digunakan. Dan setelah digunakan maka dapat dilihat bahwa setelah evaluasi akan terjadi complaint
behavior.
24
2.5
Konsep Perilaku Keluhan (Complaint Behavior ) Setelah proses panjang untuk menentukan pembelian, maka pembeli akan
menikmati produk atau service yang dibelinya. Namun jika performa barang tidak sesuai yang diharapkan akan terjadi ketidakpuasan dan sebaliknya, jika sesuai yang diharapkan atau lebih dari yang diharapkan maka konsumen akan menjadi puas. Membuat konsumen puas adalah tujuan utama setiap penjual. Namun sebaik apapun persiapan dan strategi tentu tidak terlepas dari kesalahan karena tidak ada yang sempurna dan konsumen yang mengharapkan service atau produk yang baik tetapi mendapat tidak seperti apa yang diharapkan akan mengeluh. Karena itu keluhan adalah faktor penting sebagai masukan untuk perbaikan bagi perusahaan. Tidak banyak riset mengenai perilaku keluhan, khususnya pada orang yang tidak mengeluh. Keluhan dibagi menjadi 2: orang yang melakukan keluhan (complaining
customers) dan orang yang tidak melakukan keluhan (non-complaining customers) (Kau dan Loh, 2006; Phau dan Baird, 2008). Dan dari yang melakukan keluhan ada yang puas dengan
service recovery yang diberikan (satisfied complainants) dan yang tidak puas (dissatisfied complainants). Sedangkan dari yang tidak melakukan keluhan ada yang puas (ordinary satisfied customers) dan konsumen yang tidak puas tapi tidak melakukan keluhan (dissatisfied non-complainants). Pengertian tidak mengeluh disini bukan berarti tidak melakukan keluhan tapi tidak mengeluh kepada perusahaan, sehingga perusahaan tidak mengetahui tentang apa yang dirasakan konsumen tersebut. Lovelock dan Wirtz (2011, p373) menyatakan dalam bagan, pola perilaku konsumen yang tidak puas.
25
Complaain to the Serviice Frim Take Some Form off Public Action
Comp plain to a Third Party Take Leegal Action to Seek Redress
Service Encounter is Unsatisfacttory
Defecct (switch pro ovider) Take Some Form of Private Action Negativve Word of Mouth Taake No Action
Any One or Combination C o of These Respon T nses Is Possib ble
S Sumber: Love elock dan Wirrtz, 2011, p37 73 Gambar 2..9 Customer Response R cate tegories to Ser ervice Failuress
B Bagan ini menjelaskan m k kemungkinan-kemungkinan n apa saja yang dilakukkan oleh ora ang s sebagai respo on terhadap ketidakpuasa an dari suatu u service. Le ebih jauh lagi dampak
d dari
k keluhan adala ah berkurang gnya brand lo oyalty, konsum men tidak lag gi datang ke toko, tidak la agi a ada keinginan membeli kembali, k berkkurangnya rettensi karyawa an, negative word-of-mou uth d dan bahkan sampai meng ggunakan jalur legal (Pha au dan Sari, 2004; Kau dan d Loh, 200 06; V Voorhees, Bra ady dan Horo owitz, 2006; Blodgett dan n Li, 2007; Ph hau dan Baird d, 2008; Ashley d Varki, 20 dan 009; Gruber, Szmigin S dan Voss, V 2009). Implikasi lain nnya berkaita an dengan bia aya y yaitu bahwa biaya untuk mendapatka an konsumen n baru adalah h lima atau enam kali lip pat d dibandingkan n mempertaha ankan konsum men. (Blodge ett dan Li, 20 007; Phau da an Baird, 200 08; G Gruber, Szmigin dan Vosss, 2009). Dan n menurut Morgan (2007,, p5) setiap konsumen k ya ang
26
k kecewa akan n menceritaka an pada 11 orang o temannya dan setiap temannya a tersebut akkan b bercerita kep pada 5 orang g lagi. yang jika ditotal berarti b ada 67 6 orang yan ng berpendap pat b bahwa perusa ahaan yang bersangkutan b adalah burukk. Lebih h lanjut LeBoeuf (2010, p191) men nyatakan ada a 3 manfaatt keluhan ba agi p perusahaan yaitu: y 1. Keluhan K memp perlihatkan bidang-bidang yang membu utuhkan perbaikan. 2. Keluhan K merupakan kesem mpatan kedua bagi anda untuk memberrikan pelayan nan dan d kepuasan kepada konssumen yang kecewa. k 3. Keluhan K meru upakan suatu peluang luar biasa untuk u mempe erkuat loyalittas konsumen. k
2 2.6
Com mplaining Cus ustomer Complain n to the Servicee Frim Take Some Form of P Public Action
Service Encounter is Unsatisfactory
S Sumber: Love elock dan Wirrtz, 2011, p37 73 Gamb bar 2.10 Custo omer Responsse categoriess to Service Faailures for Com mpaliner
S Seperti yang g telah dise ebutkan diata as, complain ning customeer adalah konsumen k ya ang m melakukan ke eluhan langsu ung ke perusa ahaan sehing gga perusahaa an mengetah hui akan adan nya
27
keluhan dan tidak melalui pihak ketiga. Sebagai contoh: perusahaan mengetahui keluhan konsumen setelah konsumen tersebut melayangkan keluhan melalui surat kabar. Dampak bagi perusahaan adalah keluhan tersebut dibaca oleh masyarakat dan akan menjadi negative
word-of-mouth. Oleh karena itu kategori konsumen yang melakukan keluhan adalah konsumen yang secara langsung melayangkan keluhan ke perusahaan. Ada beberapa aspek yang membuat konsumen melakukan keluhan diantaranya adalah aspek budaya (culture), demografi dan juga profil psikografi, perilaku terhadap bisnis (attitudes towards businesses), atribut produk dan atribut menyalahkan (attributes of blame) (demographic and
psychographic profile) (Phau dan Sari, 2004; Phau dan Baird, 2008) Selain dari aspek-aspek diatas ada faktor lain yaitu tujuan dari melakukan keluhan. Menurut Lovelock dan Wirtz (2011, p373-374) ada 4 tujuan mengapa konsumen melakukan keluhan: 1. Untuk mendapatkan ganti rugi atau kompensasi (obtain restitution or
compensation) 2. Untuk melepaskan kemarahan mereka (vent their anger) 3. Untuk membantu meningkatkan pelayanan (help to improve the service) 4. Alasan altruistis/ mementingkan orang lain (for altruistic reasons)
Selain dari kedua aspek diatas, ada tipe-tipe orang yang mengeluh (complainers) yang dijelaskan oleh Bailey dan Leland (2008, p35-37) yang masih berkorelasi dengan Lovelock 1. The go for the throaters Tipe ini sama dengan poin kedua pada tujuan keluhan Lovelock dimana konsumen melepaskan kemarahan dan kekecewaa mereka kepada perusahaan
28
2. The T quiet as the t mousers Tipe T ini menya atakan bahwa a complainers rs menyatakan n bahwa semuanya baik-baik saja s tapi gera ak-gerik mere eka menyatakkan mereka kurang k puas, tipe ini adallah tiipe konsumen n yang malu untuk u menyattakan perasaa an mereka 3. The T high rolleer Tipe T ini ada alah konsum men yang be erani menge eluarkan bia aya besar ta api mengharapkan m n pelayanan yang y sempurn na 4. The T whiners Tipe T konsume en ini adalah h tipe konsum men yang suka mengeluh h, mereka akkan mengeluhkan m berbagai hal.. 5. The T tricksters Tipe T ini adala ah tipe konsu umen yang mengeluh m untuk melakuka an kecuranga an, seperti s untuk mendapatkan n barang baru u atau ganti rugi.
2 2.7
Non--Complainin ng Customerr
Take Some Form of P Public Action
Complaiin to a Third P Party Take Legaal Action to Seek R Redress
Service Encounter is Unsatisfactory
Defect (sswitch provid der) Take Some Form of P Private Action Negativee Word of Mo outh Takke No Action
S Sumber: Love elock dan Wirrtz, 2011, p37 73 Gambarr 2.11 Custom mer Response categories to o Service Failu ures for Non-C Complainer
29
Non-complaining customers atau konsumen yang tidak mengeluh mempunyai perilaku yang unik. Dalam bagan diatas non-complaining customer berada pada reaksi take
no action sedangkan jika dilihat dari sisi perusahaan maka non-complaining sebenarnya adalah take no action ditambah take private action dan beberapa dari take public action hal ini terjadi karena yang dimaksud non-complaining customer disini adalah konsumen yang tidak melakukan keluhan ke perusahaan tapi dapat melakukan keluhan ke orang terdekat mereka atau tidak melakukan keluhan apapun tapi mengambil tindakan yang biasanya berakhir pada menggunakan layanan perusahaan lain (switching provider). Konsumen yang tidak puas akan menceritakan pengalaman buruknya kepada orang lain lebih banyak daripada konsumen yang puas menceritakan pengalaman baiknya. (Alfansi, 2010, p109) oleh karena itu perusahaan lebih memilih supaya konsumen melakukan keluhan terhadap perusahaan supaya perusahaan mengetahui apa yang salah daripada tidak tahu apa-apa tapi terkena dampak yang besar tanpa sempat memperbaiki kesalahannya. Dalam bukunya (Barlow dan Moller, 2008) menyatakan alasan-alasan konsumen tidak melakukan keluhan: •
Karena karyawan yang mengurus keluhan secara tidak langsung menyatakan supaya konsumen untuk tidak mengeluh.
•
Karena sistem perusahaan yang secara tidak langsung menyatakan supaya konsumen untuk tidak mengeluh
•
Karena konsumen tidak tahu kemana dan bagaimana mereka harus mengeluh
•
Karena perusahaan tidak men-follow up
Alasan-alasan lainnya adalah karena konsumen tidak mau membuang waktu untuk melakukan keluhan, takut melakukan konfrontasi dan merasa tidak akan didengar (Lovelock dan Wirtz, 2011, p 374; Phau dan Sari, 2004; Phau dan Baird, 2008).
30
2.8
Repurchase Salah satu dari efek membeli produk adalah repurchase atau pembelian ulang.
Namun yang menarik adalah hubungannya dengan kepuasan, pembelian ulang dapat meliputi 2 karakteristik yaitu intention dan juga behavior. Dalam riset ini akan lebih mengarah pada intention untuk lebih memudahkan penelitian (Akhter, 2010). Repurchase
intention dan juga repurchase behavior tentu berbeda, sesuai dengan bentuknya keinginan untuk membeli ulang dan juga perilaku pembelian ulang. Dalam risetnya Akhter (2010) juga menyertakan riset yang menyatakan bahwa kepuasan tidak secara langsung berhubungan dengan repurchase, tetapi kepuasan akan mempengaruhi loyalitas dan loyalitas akan mempengaruhi repurchase. Namun ditambahkan lagi bahwa tidak salah bahwa kepuasan konsumen berpengaruh pada pembelian ulang jika dilihat dari riset psikologi dimana
satisfaction mendorong intentions dan intentions mendorong behavior. Semakin banyak pengalaman seseorang terhadap suatu merk atau produk maka akan semakin banyak pembelian ulang yang terjadi terhadap produk yang mendapat evaluasi baik (Chang, Lee, Chien, Huang and Chen, 2010). Pembelian ulang juga tidak dapat dikatakan sebagai loyalitas sampai diteliti lebih dalam. Alfansi (2010, p160) dalam bukunya memberikan bagan tipe-tipe pembelian ulang yang nantinya mengacu pada loyalitas produk.
31
Keterikatan tinggi
Pembelian ulang tinggi
Perilaku
Pembelian ulang rendah
Latent loyalty
Spurious loyalty
No loyalty
Keterikatan rendah
Sikap
True loyalty
Sumber: Alfansi, 2010, p160 Gambar 2.12 Matriks Kesetiaan Konsumen
1. True loyalty Konsumen yang berada di bagian ini adalah konsumen yang memiliki keterikatan tinggi terhadap perusahaan atau penyedia jasa dan juga tingkat pembelian ulang yang tinggi.
2. Latent loyalty Tipe konsumen ini bisa dikatakan yang mempunyai daya beli rendah atau light user tipe ini ditandai dengan konsumen yang mempunyai keterikatan bagus atau positif terhadap perusahaan atau penyedia jasa namun memiliki tingkat pembelian ulang yang rendah
32
3. Spurious loyalty Tipe ini adalah dimana tingkat keterikatan rendah terhadap penyedia jasa atau perusahaan namun memiliki tingkat pembelian ulang tinggi. Disini konsumen sepintas terlihat loyal terhadap perusahaan namun yang sebenarnya adalah konsumen enggan berpindah karena faktor-faktor lain contohnya: faktor jarak, biaya berpindah produk, dll
4. No loyalty Tipe ini adalah dimana tidak adanya keterikatan yang tinggi terhadap perusahaan atau penyedia jasa dan juga tidak adanya tingkat pembelian ulang yang tinggi. Bisa dikatakan perusahaan gagal mengkomunikasikan produk dengan baik atau konsumen salah memilih porduk. Terlepas dari pembahasan kesetiaan (loyalitas) dapat terlihat bahwa tidak selamanya pembelian ulang menandakan bahwa konsumen sudah puas dengan produk yang dibeli mereka adalah bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak jika waktunya tepat, yang dalam artian berpindah merk jika mereka menemukan merk yang lebih baik. Namun meskipun begitu tidak dapat dipungkiri pembelian ulang adalah salah satu indikator dari kepuasan dan juga efek dari pembelian. Hawkins dan Mothersbaugh (2010, p640) juga manambahkan bahwa pelaku pembelian ulang bisa terus membeli meskipun tidak punya keterikatan emosional terhadap produk atau merk. Ditambahkan lagi bahwa konsumen yang tidak
puas
dapat
melakukan
pembelian
ulang
karena
beberapa
faktor
yang
mempengaruhinya, misalkan tidak ada barang pengganti, kesusahan melakukan exit, besarnya switching cost, belum ada yang barang pengganti, dan lain-lain. Pelaku pembelian ulang juga dapat terus melakukan pembelian meskipun tidak puas dikarenakan menganggap biaya berpindah produk lebih mahal. Namun perusahaan dapat mengusahakan supaya para pembeli ini dapat menjadi pembeli yang berkomitmen kepada produk perusahaan, yaitu dengan strategi-strategi marketing (CRM, dll). Tingkat pembelian ulang juga akan berkurang
33
jika setelah adanya keluhan oleh konsumen dan perusahaan gagal untuk melakukan service
recovery maka akan terjadi penurunan drastis dari pembelian ulang konsumen tersebut (Holloway, Wang and Beatty, 2009)
2.9
Word-of-Mouth Word-of-mouth (WOM)
melibatkan individual membagikan informasi kepada
individual lainnya dalam bentuk verbal, termasuk tatap muka, telepon, dan internet. Konsumen secara umum lebih percaya pada opini orang terdekat mereka (keluarga, teman, kenalan, dll) daripada komunikasi pemasaran (iklan, penjual, brosur, dll) hal ini dikarenakan bahwa opini orang terdekat tidak punya alasan untuk tidak menyatakan perasaan dan opini yang sebenarnya. Oleh sebab itu WOM yang melalui sumber personal (keluarga, teman, kenalan) akan menjadi faktor yang mempengaruhi secara kritikal dalam pengambilan keputusan konsumen (Hawkins dan Mothersbough, 2010, p238-240). Oleh karenanya WOM menjadi penting bagi pemasaran dikarenakan konsumen lebih percaya terhadap WOM dibandingkan dengan iklan yang dibuat oleh perusahaan. Alasan mengapa WOM lebih dipercaya adalah sebagai berikut (Chang, Lee dan Huang, 2010) 1. Opini yang didapat dari WOM berasal dari orang terdekat (keluarga, teman, kerabat, dll) 2. WOM adalah komunikasi 2 arah dan bukan propaganda 1 arah. iklan TV, brosur, spanduk, dll kecuali jika dihadapkan dengan penjual maka media tersebut hanya merupakan komunikasi 1 arah 3. WOM memberikan cerita tentang produk, pengalaman si pemakai tentang produk. Hal ini mengurangi preceived risk yang dikhawatirkan oleh calon pembeli 4. WOM lebih dapat memberikan informasi yang lebih banyak dibanding iklan komunikasi satu arah karena adanya interaksi dan lebih hidup.
34
Tapi sebenarnya WOM bisa dianggap sebagai pedang bermata dua. Di satu sisi jika berkonotasi positif maka akan menjadi berita yang baik bagi perusahaan, tapi jika berkonotasi negative maka akan menghancurkan perusahaan. Negative word-of-mouth adalah suatu dampak dari kekecewaan konsumen yang disebarluaskan. Negative word-of-
mouth akan membuat calon konsumen akhirnya menjauhi perusahaan karena berita buruk yang didengarnya atau telah dirasakan orang lain. Seperti yang telah disebutkan diatas menurut Morgan (2007, p5) setiap konsumen yang kecewa akan menceritakan pada 11 orang temannya dan setiap temannya tersebut akan bercerita kepada 5 orang lagi. yang jika ditotal berarti ada 67 orang yang berpendapat bahwa perusahaan yang bersangkutan adalah buruk. Dampak negative word-of-mouth akan berdampak besar kepada image perusahaan bahkan sebelum konsumen merasakan produk ataupun service dari perusahaan tersebut, dan hal ini sangat merugikan. Hal senada juga ditulis oleh Hawkins dan Mothersbaugh (2010, p637) 54% dari pembeli yang tidak puas tidak akan membeli produk dengan merk tersebut, dan 46% akan memperingatkan teman mereka menganai produk tersebut (jumlah data tidak disebutkan). Terlebih lagi sekarang ini konsumen lebih percaya terhadap WOM dibandingkan dengan moda pemasaran lainnya. Yang menjadi tidak baik untuk perusahaan adalah bahwa WOM bersifat asymmetry yang berarti bahwa lebih banyak orang melakukan WOM jika tidak puas, dan berarti adalah lebih banyak negative WOM disebar daripada positif WOM. Hal ini dikarenaka motivasi yang melatarbelakangi perilaku konsumen. Emosi mendorong orang untuk melakukan sesuatu, yang dalam hal ini emosi karena kekecewaan akan berdampak pada action. Oleh Kau dan Loh (2006) indikator dari negative word-of-mouth adalah apakah konsumen akan merekomendasikan kepada temannya, apakah akan melakukan keluhan kepada kerabat dan bukan kepada perusahaan, apakah ada keinginan untuk menceritakan produk tersebut atau tidak.
35
2.10 Kerangka Pemikiran
Problem Recognition
Pre-Purchase Stages
information search External Search
Internal Search evaluation of alternative Pre-Purchase Stages + Service Encounter Stage
Promosi
keputusan pembelian + pembelian
Post Encounter Stages
evaluasi produk atau jasa
melakukan keluhan tidak puas
tidak melakukan keluhan puas
tidak puas negatif Word of mouth repurchase
36
2.11
Hipotesis
H1: Apakah ada perbedaan reaksi word-of-mouth konsumen yang tidak puas terhadap promosi yang dilakukan perusahaan? H2: Apakah ada perbedaan reaksi repurchase intention konsumen yang tidak puas terhadap promosi yang dilakukan perusahaan? H3: Apakah ada perbedaan reaksi word-of-mouth konsumen non-complainer yang tidak puas terhadap promosi yang dilakukan perusahaan? H4: Apakah ada perbedaan reaksi repurchase intention konsumen non-complainer yang tidak puas terhadap promosi yang dilakukan perusahaan?