2014 Quarter 2
Other Issues Other Issues
Spotlight Anggota GCF
EN
ES
ID
PT
Dalam edisi ini Spotlight Anggota GCF
Acre, Brasil
Acre, Brasil
Oleh Acre
Pengembangan REDD Sebagai Ketua GCF 2014, Acre (Brasil) akan menjadi tuan rumah Pertemuan Tahunan GCF 2014, tanggal 11-14 Agustus, di ibukota negara bagian tersebut, Rio Branco. Pertemuan Tahunan GCF adalah kesempatan bagi pertukaran informasi dan kemajuan pembangunan rendah emisi GCF dan tujuan-tujuan yang berhubungan dengan REDD. Gubernur Acre, Tiao Viana,
dan pemerintahannya mengundang para pemangku kepentingan untuk bergabung dengan negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF, yang mewakili lebih dari 20% dari hutan tropis dunia dan merupakan para pemimpin di antara yurisdiksi-yurisdiksi yang berupaya menurunkan emisi dari kegiatan penggunaan lahan. Acara ini akan memberikan ruang untuk diskusi kolaboratif tentang opsi-opsi untuk terus memajukan dan memperkuat program pembangunan rendah emisi dan mengidentifikasi peluang-peluang baru untuk menghubungkan program-program ini dengan pasar-pasar yang tengah berkembang dan skema-skema pembayaran atas kinerja lainnya.
Pertemuan Indonesia 11 oleh BP REDD+ Indonesia Ringkasan Studi Universitas Colorado tentang Keadaan Program REDD+ di Chiapas Temuan-Temuan Keanekaragaman Baru di Peru: Sebuah Kontras Positif terhadap Tren Penurunan Keanekaragaman Hayati dan Apa Maknanya bagi COP 20 di Lima, Peru BP REDD+ Indonesia Belajar Cara Memelihara Hutan dari Desa Merabu, Berau Campeche, Meksiko: Mengatasi Tantangan-Tantangan Utama Tata Kelola untuk REDD+
Berita GCF Pertemuan Makan Malam Anggota GCF dari Indonesia
Acre terletak di bagian barat wilayah geopolitik Brasil yang dikenal sebagai Legal Amazon. Acre berbatasan dengan Peru dan Bolivia, serta dua negara bagian Brasil yaitu Amazonas dan Rondônia. Pada sensus tahun 2010, penduduk Acre mencapai 733.559 jiwa (Instituto Brasileiro de Geografia e Estatística (“IBGE”), Estados @, Acre, IBGE.GOV.BR, last accessed July 11, 2014.) 201.280 di antaranya tinggal di daerah pedesaan atau hutan (GCF Task Force: The Governors’ Climate and Forests Task Force, Untitled
Pertemuan Ke-12 Kelompok Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Terbarukan Ikhtisar Forum Internasional tentang Pembayaran untuk Jasa Lingkungan dari Hutan Tropis Perwakilan GCF Berpartisipasi dalam Katoomba XIX dan XX
Brochure on: REDD+ Programs, Acre and the other six Brazilian GCF Member States, Gcftaskforce.org, Apr. 1, 2014, at 4..) Luas daratan negara bagian ini adalah 164, 123 km²
GCF di Forest Asia Summit (Pertemuan Tingkat Tinggi Hutan Asia)
(kurang lebih seluas negara bagian Wisconsin, AS) (IBGE.)
Memperkuat Kapasitas Indonesia untuk Mengembangkan Inventarisasi Karbon Hutan Nasional, Pemetaan dan Sistem Teknis MRV
Ekonomi Acre diujungtombaki oleh sektor jasa, yang mencakup 67% dari PDB-nya (per 2010) (Governo do Estado do Acre, Acre em Números 2013 (2013), at 112.) Berikutnya adalah pertanian dan kehutanan sebesar 19% dari PDB, lalu industri sebesar 14% dari PDB (juga per 2010) (Id.) Pada Mei 2013, peternakan sapi memimpin ekspor Acre, yang mewakili 92% dari seluruh pendapatan ekspor (Climate Focus, Acre, Brazil: Subnational Leader in REDD+, May 2013, at 4.) Pada saat itu, peternakan juga merupakan penyebab terbesar deforestasi Acre, dengan margin yang signifikan (Id.)
GCF Memfasilitasi Roadmap Pan-Afrika Pertama untuk Pembangunan Rendah Emisi di Afrika Purwarupa Jaringan Dukungan GCF Awal yang Berhasil untuk Proyek-Proyek yang Didukung oleh Acara-Acara Mendatang Dana GCF
Acara-Acara Mendatang Hutan Tropis di Acre dan Penurunan Laju Deforestaasi Acre memiliki hutan tropis yang luas, dengan lebih dari 87% hutan aslinya masih dalam keadaan utuh (Instituto Nacional de Pesquisas Espaciais (“INPE”), PRODES: Acre Statistics on Forest Cover as of 2012, INPE.br, last accessed July 14, 2014.) Meskipun di masa lalu laju deforestasinya tinggi, Acre telah berhasil menurunkan laju deforestasinya dan sekarang menjadi pemimpin dalam menciptakan dan melaksanakan program-program ekonomi dan lingkungan yang baru sesuai kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi
dan Degradasi Hutan ("REDD+") dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim ("UNFCCC"). Diperkirakan laju deforestasi Acre turun sebesar 35% dalam tahun 2012-2013 (dari deforestasi sebesar 305 km² pada tahun 2012 menjadi sekitar 199 km² pada tahun 2013) (INPE, Estimativa do PRODES 2013, INPE.br, 2013 or 2014 (exact date unknown), at 3.) Selain itu, ekonomi Acre tumbuh sambil tetap berhasil mengurangi deforestasi. Dari 20032008, PDB riil negara bagian ini meningkat lebih dari 44% sementara deforestasi menurun sekitar 70% (pada kenyataannya, deforestasi turun sebesar 71% dalam tahun 2003-2012) (Ecosystem Marketplace: A Forest Trends Initiative, Millions of Dollars Now Flowing to Indigenous Ecosystem Service Programs in Brazil, May 6, 2014 (last accessed July 14 2014).) Fragmentasi menjadi ciri dari deforestasi di Acre. Hampir 80% deforestasi terjadi di daerahdaerah kecil kurang dari 6 hektar (WWF, Environmental Service Incentives System in the State of Acre, Brazil, 2013, at 25.) Pemerintah Acre menggunakan sebuah sistem satelit Landsat yang efektif untuk memantau tutupan hutan, yaitu Central Geoprocessing and Remote Sensing Unit ("UCEGEO"), dan mendeteksi deforestasi di daerah-daerah kecil seperti itu (Id. at 24-5.) Resolusi minimum UCEGEO adalah 0,54 hektar, yang merupakan fokus yang lebih baik daripada yang dicapai oleh sistem pemantauan nasional ("PRODES"), yang hanya mendeteksi wilayah seluas 6,5 hektar atau lebih (Id. at 24.) Program Acre Melawan Deforestasi dan Degradasi Hutan – Termasuk SISA Acre telah menghindari dari pembangunan berbasis kegiatan merusak hutan yang menghasilkan keuntungan ekonomi jangka pendek. Deforestasi merajalela pada tahun 1970-an dan 1980-an, sebagian besar didorong oleh peternakan sapi berproduktivitas rendah. Dalam beberapa tahun terakhir, Model Acre telah bertransformasi menjadi tata kelola yang dapat mempertahankan hutan dengan sistem berbasis insentif REDD+ (Climate Focus.) Model ini sangat berfokus pada peningkatan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi warga yang tinggal baik di dalam maupun di luar hutan (Id.) Di dalam hutan, metode utama untuk kerja menuju mata pencaharian yang berkelanjutan termasuk meningkatkan nilai ekonomi dari hutan perawan, dan memperkuat perlindungan hutan (Id.) Di luar hutan, program ini berfokus pada peningkatan hasil produksi pertanian dan ternak untuk mengurangi dorongan untuk meluaskan operasi ke daerah-daerah berhutan (Id. (citation omitted).) Di samping itu, Acre mempromosikan industri-industri hijau baru di perkotaan, terutama industri yang memberi nilai tambah bagi hasil hutan yang dihasilkan secara berkelanjutan (Id.) Acre mendapatkan manfaat dari serangkaian kebijakan yang luas termasuk zonasi ekologiekonomi, sertifikasi tanah pedesaan, peningkatan kapasitas produksi pedesaan yang berkelanjutan, dan pajak dan kredit untuk mendukung mata pencaharian pedesaan (Id.) Pada tahun 2001, Acre mengesahkan Kebijakan Hutan Negara, sebuah kerangka hukum pengelolaan hutan secara umum, juga membentuk lembaga-lembaga kehutanan yang relevan (Id. at 5 (citing Lei Nº 1.426 de 27 de Dezembro 2001, Estado do Acre (establishing State Forest Council, State Forest Fund and State System for Natural Protected Areas). Pada tahun 2007, Acre mengesahkan rencana Zonasi Ekonomi dan Ekologi, memandu pemanfaatan hasil hutan non-kayu dan pengelolaan hutan lestari di hutan-hutan (Id. (citing Decree 503/99; Lei Nº 1904/07 -State Program of Ecologic and Economic Zoning).) Rencana ini juga mengatur kegiatan ekonomi di 12% wilayah negara bagian yang sebelumnya terdeforestasi (Id.) Pada tahun 2009, Acre memulai Kebijakan untuk Menilai Aset Lingkungan Hutan, yang mencakup program untuk restorasi hutan, wanatani, dan pertanian berkelanjutan, serta program untuk sertifikasi dan penilaian properti pedesaan yang berkelanjutan serta sistem pengelolaan hutan (Id.) Inti dari program REDD+ Acre adalah Sistem Insentif untuk Jasa Lingkungan (SISA) miliknya. Disahkan pada tahun 2010, SISA adalah salah satu dari mekanisme penerapan REDD+ tingkat yurisdiksi mula-mula dan paling maju di dunia (GCF Task Force.) SISA menetapkan sebuah sistem insentif bagi banyak jasa lingkungan (Climate Focus.) Jasajasa tersebut antara lain jasa-jasa di bidang karbon hutan, sumber daya air, keindahan alam, regulasi perubahan iklim dan konservasi keanekaragaman hayati (Lei Nº 2.308 de 22 de Outubro de 2010, Estado do Acre, at Capítulo I, Art. 1.) ‘Penyedia’ jasa lingkungan didefinisikan sebagai mereka yang secara langsung menyediakan barang-barang atau produk lingkungan untuk konsumsi manusia atau untuk komersialisasi (Climate Focus citing Lei Nº 2.308, at Art. 3.) 'Penerima manfaat' SISA adalah penyedia jasa lingkungan yang
telah berpartisipasi dalam program-program yang dibuat oleh SISA dan telah memenuhi persyaratan (Id. citing Lei Nº 2.308, at Art. 5.) UU ini mengalokasikan keuntungan untuk jasa-jasa tersebut yang dapat ditransaksikan di pasar (GCF Task Force.) Para penerima manfaat mencakup pemilik tanah maupun orangorang yang memiliki hak pengunaan atas suatu sumber daya (seperti masyarakat adat dan masyarakat tradisional yang mungkin tinggal di kawasan cadangan di tanah publik namun memiliki hak penggunaan eksklusif atas sumber daya tanah itu) (Id.) Untuk memastikan akurasi dan popularitas politik dari legislasi tersebut, SISA menjalani dua tahun penelitian dan masukan dari para pakar nasional dan internasional mengenai REDD dalam konteks Acre, dan juga tunduk pada tinjauan para stakeholder (Climate Focus.) Masyarakatmasyarakat adat, rumah tangga kecil, penghuni hutan, dan organisasi masyarakat sipil berpartisipasi dalam tinjauan stakeholder putaran pertama (Id.) Pada putaran kedua, NGO, Dewan Lingkungan Hidup, organisasi gerakan sosial dan perwakilan dari kementerian negara bagian dan federal memberikan kontribusi (Id.) Prioritas utama SISA adalah program Karbon ISA (GCF Task Force.) Program ini sesuai dengan prinsip-prinsip SISA dan memiliki beberapa prinsip-prinsip sendiri yang spesifik (GCF Task Force.) Dalam program ini, tutupan hutan harus terus dipantau (Id.) Pengurangan emisi karbon dioksida dibandingkan dengan baseline yang telah ditetapkan untuk emisi dari deforestasi dan degradasi (Id.) Emisi dilaporkan dan diverifikasi oleh otoritas nasional dan internasional (Id.) Stok karbon hutan harus dipertahankan dan ditingkatkan dengan pengelolaan hutan, konservasi dan restorasi (Id.) Terakhir, pemeliharaan stok karbon dan/atau pengurangan emisi harus dibuat permanen seperti yang ditetapkan oleh ketentuan-ketentuan program (Id.) Acre juga menjadi yurisdiksi terkemuka dalam pengembangan hubungan dengan sistem cap-and-trade California. Platform GCF memfasilitasi Nota Kesepahaman antara Acre, Chiapas, dan California yang ditandatangani pada tahun 2010 untuk meningkatkan kerjasama internasional inovatif yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan dan penyelidikan ilmiah. MOU tersebut membentuk Kelompok Kerja Offset REDD Subnasional (ROW), yang mengembangkan Rekomendasi untuk Melestarikan Hutan Hujan Tropis, Melindungi Masyarakat Lokal dan Mengurangi Emisi GRK Negara Bagian yang menguraikan rekomendasi-rekomendasi penting untuk mendukung mata pencaharian lokal dan mengakui hak-hak masyarakat setempat yang menggantungkan hidupnya pada hutan, termasuk masyarakat adat. Rekomendasi-rekomendasi ini telah terbukti berpengaruh dalam forum-forum internasional besar seperti PBB, menunjukkan dampak signifikan dari anggota GCF. Kesempatan untuk Acre untuk terlibat dalam kolaborasi ini telah membantu negara bagian ini terlibat dalam pengembangan program California sambil meningkatkan visibilitas Acre di antara para pemangku kepentingan internasional lainnya dan memberikan kesempatan bagi Acre untuk berhubungan dengan dan menjalin kontakkontak penting. Untuk informasi lebih lanjut tentang Acre dan program-program serta hutan-hutannya, silakan kunjungi Database GCF dan brosur keanggotaan GCF tentang Acre
Sumber: INPE (INPE, PRODES: Annual Deforestation Rates 1988 to 2013, last accessed July 14, 2014.)
Pengembangan REDD
Pertemuan Indonesia 11 oleh BP REDD+ Indonesia Oleh Jasmine Puteri, Kemitraan, Koordinator Negara Indonesia Pertemuan Indonesia 11 diselenggarakan oleh BP REDD+ Indonesia pada tanggal 2-3 April 2014 di Jakarta. Pertemuan ini dihadiri oleh 11 provinsi percontohan REDD+ dan 29 perwakilan berbagai instansi, termasuk dinas gubernur dan bupati, PBB, NGO Internasional, NGO, dan masyarakat adat. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkenalkan dan secara komprehensif memutakhirkan informasi tentang kegiatan-kegiatan Badan REDD+ Indonesia, untuk melakukan konsultasi dan konsolidasi dengan 11 provinsi REDD+ dan untuk mempersiapkan pelaksanaan program REDD+ di tiap provinsi. Ini adalah pertemuan pertama yang pernah diadakan dan dihadiri oleh 11 provinsi REDD+. Awal tahun 2014, BP REDD+ Indonesia menandatangani empat MOU dengan empat pemerintah provinsi dan 20 kabupaten. Tindakan ini mengawali pelaksanaan program REDD+ baru di Indonesia. Untuk melaksanakan program-program ini, kegiatan BP REDD+ Indonesia didasarkan pada lima kondisi penting (lihat Gambar 1) dan 10 aksi imperatif ("5P +10I"). Ke-10 aksi imperatif BP REDD+ Indonesia tersebut adalah: (1) pemantauan moratorium pemberian izin baru; (2) tata kelola perizinan; (3) fasilitasi penegakan hukum; (4) pemetaan tanah adat dan peningkatan kapasitas masyarakat adat; (5) pengelolaan kebakaran hutan dan lahan gambut berbasis masyarakat; (6) program desa Hijau; (7) program sekolah desa Hijau; (8) resolusi konflik; (9) fasilitasi RTRW final; dan (10) pengembangan program strategis untuk membantu dan mengembangkan taman nasional dan hutan lindung. Tema dari pertemuan tersebut termasuk kelembagaan, pendanaan, REL/MRV, moratorium dan hukum, program strategis dan pengembangan mereka, pengaman (safeguards), keterlibatan multi-stakeholder dan isu-isu registri. Pada hari pertama, diskusi difokuskan pada operasi strategis dan rencana kerja BP REDD+ Indonesia, fasilitasi tata kelola legal hutan dan lahan gambut melalui program-program dan perencanaan imperatif, dan mekanisme pendanaan program. Pada hari kedua, peserta dibagi menjadi empat kelompok diskusi dan membahas: Masalah-masalah kelembagaan: institusi, perencanaan dan pendanaan melalui Dana untuk REDD+ di Indonesia/FREDDI, MRV/REL Hukum dan Moratorium Program Strategis: 5P +10 I, pengembangan program sub-nasional Transparansi dan keterlibatan multi-stakeholder: pengaman (safeguards), registri, komunikasi, kampanye dan multi-stakeholder Ke-11 provinsi percontohan dalam program REDD+ Indonesia adalah Aceh, Riau, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Papua dan Papua Barat. Sebuah presentasi yang menguraikan strategi untuk melangkah ke depan tersedia di sini.
Peta ke-11 provinsi percontohan REDD+ Indonesia dan kemajuan mereka dengan lima prasyarat untuk pelaksanaan REDD+ di tingkat provinsi. Semua enam anggota GCF dari Indonesia (Aceh, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Papua, Kalimantan Barat, dan Papua Barat) telah terpilih sebagai provinsi percontohan dalam program ini. Sumber: Statistik Kehutanan 2011
Ringkasan Studi Universitas Colorado tentang Keadaan Program REDD+ di Chiapas Oleh Ekaterina Alexandrova, Lesly Tulia Aldana Marquez, Jesse Michael Festa, dan Maria del Pilar Jacobo Enciso, Alexander Weber Setelah upaya-upaya internasional untuk memerangi deforestasi dan degradasi hutan, Meksiko dan negara bagian anggota GCF Chiapas tengah dalam proses mengembangkan strategi-strategi mereka untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Departemen Perubahan Iklim dan Ekonomi Lingkungan di Kementerian Lingkungan Hidup dan Sejarah Alam di Chiapas telah ditugaskan untuk mengembangkan visi REDD+ dan, selanjutnya, strategi REDD+ untuk negara bagian tersebut . Tujuannya adalah untuk membangun sebuah program REDD+ tingkat yurisdiksi, yang akan memantau dan mengurangi deforestasi di seluruh negara bagian tersebut. Baru-baru ini, sebuah tim beranggotakan empat mahasiswa dari Conservation Leadership Master's Program Universitas Colorado, Ekaterina Alexandrova, Lesly Tulia Aldana Marquez, Jesse Michael Festa, dan Maria del Pilar Jacobo Enciso, melakukan penelitian, yang berupaya menjawab beberapa prioritas untuk desain strategi REDD+ Chiapas, termasuk fungsi dan kapasitas lembaga-lembaga yang terlibat dalam REDD + di Chiapas, proses pengembangan dan penerapan sistem pengamanan untuk REDD+ di seluruh negara bagian, jaminan pengarasutamaan gender dalam REDD+, dan kemungkinan Chiapas untuk menerima pembayaran atas offset karbon dari California di masa depan. Para mahasiswa ini menghabiskan dua semester di Colorado mempelajari dasar-dasar teknis dan ilmiah dan komponen-komponen manusia dari konservasi, kemudian tinggal di Chiapas selama dua semester, di mana mereka belajar di El Colegio de la Frontera Sur (ECOSUR) dan menyelesaikan tesis penelitian kelompok terapan mereka. Tujuan dari proyek ini adalah untuk memperkuat Strategi Chiapas untuk REDD+ melalui analisis terhadap lembaga-lembaga yang ada saat ini dan kebutuhan pengembangan kapasitas dan tanggung jawab lembaga-lembaga yang diperlukan untuk memenuhi fungsi strategi REDD+ negara bagian, kerangka konseptual dan pedoman untuk mengembangkan sebuah sistem pengaman, ketidakadilan dan kesenjangan gender dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk memastikan penanganan masalah-masalah ini, dan potensi untuk menghubungkannya dengan pasar regulasi California sebagai salah satu opsi pendanaan di masa depan. Para mahasiswa ini mengumpulkan data melalui kajian literatur, wawancara semi-terstruktur dengan para pemangku kepentingan terkait, dan observasi partisipan dari kelompok-kelompok yang terlibat dengan perencanaan REDD+ di Chiapas. Mereka memberikan rekomendasi-rekomendasi berdasarkan data yang dianalisis kepada Pronatura Sur dan Departemen Perubahan Iklim dan Ekonomi Lingkungan
Ringkasan Eksekutif dari "PrioritasPrioritas untuk Rancangan Strategi REDD+ Negara Bagian di Chiapas: Diagnosis Persepsi Internal dan Eksternal"
Chiapas.
Pengamatan terhadap Kelompok-Kelompok Kerja Para mahasiswa ini menemukan bahwa mayoritas integrasi kelembagaan di Chiapas diperoleh melalui kelompok-kelompok kerja dan bahwa mereka adalah pengaturan terbaik untuk komunikasi. Pengamatan terhadap tiga kelompok kerja menyoroti bidang-bidang untuk perbaikan. Para mahasiswa ini mencatat beberapa kelemahan karena kurangnya pengelolaan waktu dan pengakuan bagi peserta, peraturan keikutsertaan yang tidak jelas, rendahnya tingkat konsensus dan kesepakatan, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat sipil, dan ketidakpastian tentang masa depan. Para mahasiswa ini menawarkan beberapa rekomendasi yang cerdik tentang bagaimana memperbaiki masalah-masalah yang mungkin timbul ini. Misalnya, mereka menyatakan bahwa kelompok kerja sangat penting untuk proses sosial kebijakan publik dan mengambil langkah-langkah preventif untuk memastikan bahwa kelompok-kelompok ini memiliki kemampuan yang memadai di lingkup internal masing-masing lembaga dapat mengurangi kebingungan. Selain itu, para mahasiswa ini merekomendasikan 23 fungsi kelembagaan untuk REDD+ dan menyarankan lembaga-lembaga mana yang mungkin dapat memenuhi fungsi-fungsi ini di Chiapas.
Merancang Sistem Pengaman Hasil penting lainnya dari proyek ini adalah usulan untuk merancang sebuah sistem pengaman fungsional. Pengaman sosial dan lingkungan (SES) adalah mekanisme yang dirancang untuk memaksimalkan manfaat dan menghindari risiko yang berkaitan dengan program dan proyek. Dengan rekomendasi untuk rancangan konseptual dari sebuah sistem pengaman (lihat diagram 1), para mahasiswa ini menunjukkan bahwa sistem tersebut bukanlah sebuah aspek yang berdiri sendiri dari REDD+, tetapi tertanam ke dalam semua fungsi intinya. Selain itu, studi ini menyarankan sebuah proses selangkah demi selangkah panorama untuk merancang sebuah sistem pengaman REDD+. Langkah pertama adalah identifikasi prinsip-prinsip yang sesuai dengan konteks lokal, yang akan mencakup komponenkomponen substantif yang berkaitan dengan lingkungan, komponen-komponen substantif yang berkaitan dengan masalah sosial, dan komponen-komponen prosedural yang berkaitan dengan tata kelola. Para mahasiswa ini menyatakan bahwa kerangka hukum yang kuat harus mendukung prinsip-prinsip ini. Setiap tindakan REDD+ yang diusulkan harus dinilai untuk potensi risiko dan manfaatnya bagi prinsip-prinsip ini dalam rangka untuk memasukkan peraturan, kebijakan, dan prosedur yang sesuai ke dalam fungsi inti REDD+. Selain itu, indikator kepatuhan skala negara bagian dan tautan informasi ke sistem nasional akan memastikan adanya konsistensi baik pada tingkat nasional maupun tingkat negara bagian.
Diagram 1: Interpretasi visual dari Proses Pengaman dalam Sebuah Sistem REDD+
Pencantuman Perspektif Gender Penelitian ini memungkinkan penunjukkan kebutuhan yang jelas dan mendesak untuk mengarusutamakan perspektif gender ke dalam Visi REDD+ dan Strategi REDD+ Negara
Bagian. Analisis terhadap Ukuran Pemberdayaan Gender (GEM) menunjukkan bahwa Chiapas adalah negara bagian dengan nilai pemberdayaan perempuan terendah di negara ini. Mengutip studi yang menyimpulkan bahwa penggabungan perspektif gender akan meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan keberlanjutan REDD+, para mahasiswa ini merekomendasikan pendekatan-pendekatan untuk mengarusutamakan perspektif gender. Mereka berpendapat bahwa memasukkan perspektif gender dalam REDD+ akan mendapatkan pengetahuan dan keterampilan perempuan sebagai pengguna utama dari hutan, memastikan pembagian keuntungan yang adil, dan menjamin adanya konsistensi termasuk pertimbangan hak asasi manusia dalam inisiatif-inisiatif pembangunan berkelanjutan. Studi tersebut menekankan perlunya standarisasi pengetahuan dasar tentang gender dan menunjukkan bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah dengan meningkatkan pemahaman dan kepekaan akan perspektif gender melalui standarisasi pengetahuan dasar tentang gender, memikirkan kembali dan mendesain ulang partisipasi perempuan dan makna "partisipasi penuh dan efektif," dan dengan mengarusutamakan gender dalam REDD+ dengan mengembangkan kebijakan-kebijakan.
Hubungan dengan Pasar ‘Cap and Trade’ California Terakhir, para mahasiswa ini menganalisis kemungkinan bahwa Chiapas mungkin dapat berhubungan dengan pasar cap-and-trade California melalui offset berbasis sektor REDD+. Chiapas berada dalam posisi yang unik dibandingkan dengan anggota-anggota GCF lainnya, karena adanya potensi mitra cap-and-trade. Pada tahun 2010, gubernur Chiapas, Acre, dan California menandatangani Nota Kesepahaman (MOU) yang menciptakan kerangka untuk menghubungkan offset cap-and-trade dari penghasil karbon terbesar California dengan pelestarian hutan tropis di Chiapas dan Acre. Para mahasiswa ini secara khusus meneliti bagaimana Chiapas mengembangkan strategi REDD+-nya, mengingat hubungan Chiapas dengan California. Mereka melaporkan bahwa California merasa bimbang untuk terlibat dengan Chiapas karena kebingungan terkait dengan komunikasi yang lemah dari Chiapas dan volatilitas oposisi sosial baik di Chiapas maupun di California. Meskipun demikian, mereka menyimpulkan bahwa jika Chiapas menghasilkan strategi REDD+ yang kuat, pasar yang disediakan oleh California dapat bertindak sebagai bukti konsep untuk perjanjian cap-and-trade lainnya di antara beberapa negara bagian. Untuk informasi lebih lanjut tentang studi dan rekomendasi-rekomendasi spesifik ini, silakan lihat Thesis dari Penelitian ini (Bahasa Inggris atau Bahasa Spanyol) dan Ringkasan Penelitian.
Temuan-Temuan Keanekaragaman Baru di Peru: Sebuah Kontras Positif terhadap Tren Penurunan Keanekaragaman Hayati dan Apa Maknanya bagi COP 20 di Lima, Peru Oleh Lauren Cooper, Nature Services Peru Sebuah survei baru, yang dipublikasikan awal tahun 2014 oleh pakar biologi UC Berkeley, SIU-Carbondale, dan Universitas Illinois Wesleyan membawa hal positifi yang amat dibutuhkan dalam berita keanekaragaman hayati global. Meskipun angka spesies dan keanekaragaman hayati menurun tajam di seluruh dunia,Taman Nasional Manu di Peru selatan telah melampaui rekornya sendiri untuk keanekaragaman spesies. Taman Nasional tersebut terus memegang gelar sebagai hotspot keanekaragaman hayati terkaya di dunia untuk reptil dan amfibi. Terletak di negara bagian Madre de Dios di Peru selatan, Taman Nasional Manu sudah menjadi tempat wisata terkenal di dunia untuk "wisatawan hijau" – khususnya pengamat burung, ilmuwan, dan konservasionis. Cocha Cashu Biological Station telah memantau spesies dan mempromosikan penelitian dan konservasi di sini selama lebih dari empat dekade. Taman nasional ini dibentuk berdasarkan Supreme Decree pada tanggal 29 Mei 1973 oleh Pemerintah Peru, dan dimasukkan ke dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO pada tahun 1987. Kawasan hutan lindung seluas hampir 1,5 juta ini memiliki berbagai ekosistem, termasuk
hutan hujan dataran rendah lembab Amazon, hutan kabut pegunungan, dan padang rumput Andes. Terletak di sebelah timur kota Cuzco, di bawah lereng curam pegunungan Andes, taman nasional ini sebagian besar tetap tak tersentuh oleh pembangunan modern dan merupakan simbol dari hutan belantara perawan. Survei baru ini menemukan lebih dari 1.000 spesies burung (mencakup sekitar 10 persen dari jenis burung dunia), lebih dari 1.200 spesies kupu-kupu, lebih dari 200 mamalia, dan kini 287 reptil dan hewan amfibi.
Apa implikasi yang lebih besar? Keanekaragaman hayati memberikan kontribusi untuk jasa ekosistem seperti sirkulasi air, penyaringan udara, stabilisasi iklim mikro dan makro, serta produk-produk yang bermanfaat bagi manusia seperti kayu, air bersih, dan obat-obatan. Bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan, ini juga berarti kebutuhan mata pencaharian pokok seperti makanan, spiritualitas, dan bahan untuk bangunan serta pakaian. Ekosistem berfungsi karena adanya hubungan yang kompleks antara tanaman, hewan, serangga, jamur, dan hewan amfibi. Sains dan media telah menggaungkan gagasan kerugian akibat kepunahan – bahwa hal itu sedang terjadi, yang belum pernah terjadi sebelumnya di zaman kita (dalam kepunahan besar terakhir bumi kehilangan 90% dari keanekaragaman hayati dan dinosaurus), dan memiliki dampak yang serius bagi manusia. Hari ini kita tengah menghadapi krisis keanekaragaman hayati global yang baru sekarang dipahami. Sebuah buku baru yang ditulis oleh Elizabeth Kolbert, Without Trace (Tanpa Jejak), semakin banyak mendapatkan perhatian.,, Kolbert menunjukkan bahwa 20 sampai 50 persen dari semua spesies yang hidup di bumi bisa musnah dalam abad ini. Sebagai mungkin ancaman paling langsung untuk kehidupan di Bumi, hal ini dapat membingungkan dengan semua perhatian akan perubahan iklim. Penting untuk diketahui bahwa masalah tersebut tidak berdiri sendiri, tetapi sebaliknya sangat saling terkait. Bagaimana musnahnya keanekaragaman hayati akan berinteraksi dengan perubahan iklim mungkin merupakan prospek paling menakutkan yang pernah dihadapi manusia. Bagaimana hal ini terjadi? Dari perusakan habitat sampai polusi air, pemindahan spesies invasif sampai penggunaan pestisida, ekstraksi sumber daya alam sampai perubahan iklim akibat kegiatan manusia, apa yang kita kerjakan sekarang berdampak pada hampir setiap sudut bumi. Para ilmuwan telah menentukan bahwa habitat tengah dihancurkan dan diubah sedemikian cepat sehingga kepunahan terjadi pada laju yang jauh lebih cepat daripada perkembangan alami spesies.
Kaitan dengan Perubahan Iklim? Perubahan iklim memperparah hilangnya keanekaragaman hayati. Di luar kerusakan fisik dari ekosistem untuk pembangunan jalan dan masyarakat (untuk mengakomodasi ledakan populasi), perubahan iklim membawa dampak dan konsekuensi yang sangat tidak pasti untuk konservasi dan keanekaragaman hayati. Perubahan iklim dapat menyebabkan pergerakan spesies “secara tak terduga atau agresif" sementara hama dan spesies non-lokal menciptakan tantangan-tantangan tambahan terhadap kapasitas resiliensi untuk melawan invasi. Misalnya, artikel tersebut menyebutkan bahwa jamur chytrid (chytrid fungus) telah menyebabkan penurunan populasi katak di Manu, yang bisa semakin buruk dalam iklim yang hangat. Kekeringan dan bahaya kebakaran menciptakan perubahan pada iklim fisik, yang dapat menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Bahkan di hutan tropis basah, resiliensi ekosistem bisa dikalahkan jika kebakaran hutan terjadi terlalu sering atau terjadi di daerah yang luas. Namun, penelitian telah mendapati bahwa ekosistem yang tidak terganggu dan kaya dengan keanekaragaman hayati bisa pulih lebih cepat dari gangguan-gangguan seperti penebangan, badai, pergeseran spesies, atau kebakaran. Oleh karena itu, hanya dengan menjaga kesehatan hutan dan keanekaragaman hayati, seperti di Taman Nasional Manu, hutan lebih mampu dan dapat beradaptasi lebih baik untuk mengatasi gangguan apapun. Temuan-temuan ini memiliki implikasi penting dan meyakinkan bagi konservasi dan pengelolaan lanskap, menunjukkan bahwa perlindungan jangka panjang dan konservasi memberikan manfaat tak tertandingi bagi keanekaragaman hayati dan konektivitas. Hal ini terutama penting ketika melihat laju hilangnya keanekaragaman hayati; begitu spesies-
spesies ini hilang, kita tidak akan mendapatkan mereka kembali.
Rudolf von May membicarakan keanekaragaman reptil dan amfibi di Taman Nasional Manu, Peru dalam video Tracking Biodiversity in a Global Hotspot (Melacak Keanekaragaman Hayati di Salah Satu Hotspot Global). Video oleh Phil Ebiner dan Roxanne Makasdjian. Foto dan footage video oleh Alessandro Catenazzi, SIU-Carbondale, dan Rudolf von May, UC Berkeley.
Mengaitkan Ini Semua: COP20 di Lima, Peru Kebetulan, Konferensi Para Pihak (COP) Kerangka PBB untuk Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC) 2014 diselenggarakan di Lima, Peru. COP adalah sebuah pertemuan internasional tahunan yang membawa para negosiator tingkat nasional untuk duduk bersama mencari solusi untuk perubahan iklim. Fokus pertemuan mencakup Mitigasi emisi (mengurangi CO2 dari pembakaran bahan bakar fosil dan perusakan simpanan karbon alam seperti hutan) dan Adaptasi (menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim yang terjadi saat ini dan di masa depan). Meskipun COP telah dikritik sebagai respon yang lambat dan kurang serius, COP adalah satu-satunya rencana komunikasi formal yang ada pada saat ini dan tetap menjadi salah satu platform penting untuk membahas isu-isu ini dan berupaya mencari solusi. Meskipun merayakan COP ke-20, dari dirinya sendiri, adalah sesuatu yang simbolis, tekanan tambahan untuk memenuhi target yang ditetapkan dalam Durban Platform for Enhanced Action akan mendominasi pertemuan ini. Platform ini, yang disusun di Afrika Selatan pada tahun 2012, sepakat untuk berkomitmen terhadap perjanjian internasional baru yang berkekuatan hukum untuk mengurangi emisi gas rumah kaca pada tahun 2015. Rencana ini akan dilaksanakan pada tahun 2020. Rencana ini sendiri adalah sebuah tugas besar, dan para pemimpin di Lima sedang bersiap untuk mencapai target ini. Sementara COP ke-20 ini tentunya penting dalam kaitannya dengan perubahan iklim global yang semakin cepat, COP ini juga merupakan kesempatan bagi masalah-masalah hutan, jasa ekosistem, dan keanekaragaman hayati untuk dibawa secara penuh ke dalam perundingan. Sebagai salah satu negara berhutan tropis utama di dunia, kepemimpinan Peru harus kuat dan konsisten dalam sikap bahwa negara-negara yang kaya akan hutan harus diberi insentif yang cukup besar, mekanisme yang aktif, dan dukungan kelembagaan untuk melaksanakan konservasi biologi dan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi (REDD+).
Memanfaatkan REDD Sepenuhnya COP tahun lalu di Warsawa, Polandia membuat beberapa kemajuan dalam menyusun pendanaan, transparansi, dan pemantauan mekanisme REDD+. Meskipun masih ada yang perlu dilakukan, dukungan yang terus berlanjut memberi proyek-proyek REDD+, baik yang ada maupun yang tengah dikembangkan, kepercayaan diri untuk mencapai kemajuan. Namun, spesifik pada pengaman, pendanaan lebih lanjut, dan kemungkinan dari sebuah pasar kepatuhan masih tetap belum ada kejelasan. Para pihak masih mencari cara-cara yang efektif untuk menerapkan konservasi dan REDD+ sambil terus mempertahankan standar penghormatan tertinggi bagi masyarakat yang hidup dan bergantung pada hutan. Karbon hutan telah bertahun-tahun dimasukkan dalam berbagai pendekatan penilaian
karbon dan pasar karbon. Pembayaran atas jasa ekosistem (PES) termasuk keanekaragaman hayati juga terus bermunculan. Dekade terakhir telah menunjukkan keberhasilan dalam mengembangkan komponen-komponen pasar yang efektif untuk kredit karbon dan REDD+, validasi, transparansi, dan dalam pengembangan pengaman yang memadai. Meskipun masih banyak yang harus dipelajari, dan REDD harus terus bersifat fleksibel dan terbuka untuk belajar praktik-praktik terbaik, banyaknya jumlah proyek berkualitas tinggi menuntut mekanisme ini untuk mulai berfungsi dengan kuat baik untuk mengurangi emisi maupun untuk melindungi keanekaragaman hayati, Upaya-upaya untuk menilai ekosistem (termasuk karbon, jasa, dan keanekaragaman hayati) memiliki peran penting dalam menyeimbangkan kebutuhan global untuk mitigasi karbon dan konservasi keanekaragaman hayati. Sebuah prinsip utama dari negosiasi adalah menciptakan mekanisme-mekanisme baru untuk menilai barang-barang seperti karbon dan jasa ekosistem yang berada di luar model ekonomi tradisional. Ini akan menjadi penting untuk mendukung proyek-proyek yang ada saat ini dan yang sedang berkembang sementara pemerintah lokal, regional, dan nasional meluncurkan program dan peraturan penilaian ekosistem. Mencapai konsensus lebih lanjut dan pendanaan untuk REDD+ di COP 20 dapat membawa kita menuju sasaran-sasaran iklim dan keanekaragaman hayati.
Keterlibatan Global Dalam menghadapi perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati kita dituntut untuk datang bersama-sama sebagai sebuah komunitas global dengan cara yang tidak pernah diperlukan sebelumnya. Kita harus belajar dari kesalahan-kesalahan yang dibuat di dunia industri, bukan hanya membantu negara-negara berkembang untuk tidak menggunakan teknologi yang kotor dan berbuat lebih baik, tetapi juga untuk menciptakan solusi-solusi untuk mengurangi deforestasi dan melindungi keanekaragaman hayati. *Cetakan awal oleh Ecosystem Marketplace
BP REDD+ Indonesia Belajar Cara Memelihara Hutan dari Desa Merabu, Berau Oleh Program Karbon Hutan Berau Selama dua hari, pada tanggal 12-13 Mei 2014, Kepala BP (Badan Pengelola) REDD+ Indonesia, Heru Prasteyo, didampingi oleh Ketua Tim Operasionalisasi BP REDD+, William Sabandar, melakukan kunjungan ke Kabupaten Berau. Bapak Prasteyo tiba di Tanjung Redeb, ibu kota kabupaten, dan menghadiri acara sambutan makan malam dengan Kelompok Kerja REDD+ Berau di Cantika Swara Resort dan Convention Hotel. Acara ini diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten, yang diwakili oleh Asisten II Sekretaris Daerah, Suparno Kasim. Bapak Prasteyo menyajikan sejarah, tugas dan fungsi BP REDD+ dan menyatakan optimismenya bahwa pelaksanaan REDD+ dan perlindungan kelestarian hutan akan memperoleh dukungan dari pemerintah, sektor swasta, NGO, dan masyarakat lokal. Dia menyinggung keberadaan Kelompok Kerja REDD+Berau yang dibentuk pada tahun 2008, satu tahun setelah COP 13 di Bali. Suparno Kasim menambahkan bahwa pelaksanaan REDD+ di Berau akan mendukung upaya pemerintah kabupaten untuk mengelola sumber-sumber daya alam di kabupaten tersebut, termasuk hutannya, dengan cara yang lebih arif. Ia juga menegaskan bahwa pelestarian hutan dan lingkungan juga dapat dicapai melalui pengembangan ekowisata. Ekowisata lagipula akan membuka lapangan kerja dan menghasilkan pendapatan untuk pemerintah kabupaten. Pada tanggal 13, delegasi BP REDD+ dan para pejabat pemerintah kabupaten melakukan kunjungan ke Desa Merabu di Kecamatan Kelay. Desa yang terpencil ini dapat dicapai lewat perjalanan darat dan air selama 3 jam, dan memiliki keanekaragaman sumber daya alam yang tinggi, termasuk Karst Merabu, yang merupakan bagian dari warisan sejarah di kawasan itu. Karst Merabu mencakup daerah seluas 7.500 Ha dan di dalam gua-gua yang terdapat di sana kita dapat menemukan bekas-bekas tapak tangan yang diyakini masyarakat setempat sebagai tapak tangan leluhur mereka. Bapak Prasetyo menyatakan relevansi
Kepala BP REDD+ Indonesia, Heru Prasetyo (kedua dari kiri, disertai Asisten II, Suparno Kasin (paling kanan) memperlihatkan madu khas Merabu.
Karst Merabu dengan kerja-kerja REDD+, menunjukkan bahwa "REDD+" memiliki "+" di dalamnya, yang berarti bahwa inisiatif ini tidak hanya berupaya untuk mengurangi emisi, tetapi juga untuk melestarikan keanekaragaman hayati dan memperbaiki kondisi hutan. Ia juga mengatakan bahwa melestarikan hutan merupakan salah satu sasaran yang hendak dicapai lembaganya dan bahwa Desa Merabu, secara umum, telah berhasil melakukannya. Sehubungan dengan persiapan untuk program REDD+ di Indonesia, ia mengatakan bahwa harus ada perubahan cara pandang/paradigma dalam menyikapi sumber daya alam Indonesia. Ia juga menyatakan bahwa BP REDD+ akan belajar banyak dari masyarakat Merabu karena mereka adalah 'guru' pelestarian lingkungan. Selanjutnya, BP REDD+ akan mempersiapkan nota kesepahaman untuk menjalin kerjasama terpadu antara pemerintah pusat, provinsi, kabupaten dan desa dalam pelaksanaan program REDD+. Setelah mengadakan pertemuan di balai desa, delegasi BP REDD+ melakukan kunjungan ke salah satu tempat wisata di desa, yaitu Sungai Nyadeng, yang menjadi sumber air bersih bagi desa dan menjadi lokasi fasilitas pembangkit listrik tenaga air (mikro hidro). Namun, saat ini pembangkit tenaga listrik tersebut belum beroperasi karena kerusakan pada bangunannya. Kunjungan diakhiri dengan penandaan cap telapak tangan pada tugu kesepakatan kampung dan pemberian kenang-kenangan dari merabu berupa Madu khas Merabu. Sumber: karbonhutanberau.org
Campeche, Meksiko: Mengatasi Tantangan-Tantangan Utama Tata Kelola untuk REDD+ Oleh Editor, forestsclimatechange.org Wawancara dengan Evelia Rivera Arriaga, Menteri Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Negara Bagian Campeche, yang juga delegasi untuk GCF ini diterjemahkan dari bahasa Spanyol. Lea la entrevista en español aquí.
Apa saja ke-3 tantangan utama tata kelola untuk REDD+ di negara bagian Anda? Evelia Rivera Arriaga Pertama, perlu untuk memberdayakan masyarakat, ejidos [lahan komunal yang digunakan untuk pertanian] dan pemilik tanah dalam isuisu yang berkaitan dengan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+). Juga perlu untuk menetapkan kriteria untuk tindakan, pelaksanaan, umpan balik dan partisipasi masyarakat sehingga mereka menerima manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan dari REDD+. Adalah penting untuk memulai dengan peningkatan kapasitas dan persetujuan bebas, didahulukan dan diinformasikan, untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam proses-proses ini: dengan cara itu, mereka akan mampu menjadikan tindakan dan proyek-proyek REDD+ di wilayah setempat benarbenar milik mereka. Hanya jika ini terjadi, pengaman sosial dan lingkungan serta hukum dan ekonomi akan dihormati. Tantangan utama lainnya terhadap tata kelola untuk REDD + di negara bagian Campeche adalah harmonisasi kebijakan publik dan upaya-upaya kolaboratif mengenai REDD+. Penting untuk dicatat bahwa upaya-upaya untuk mengurangi deforestasi dan degradasi harus melibatkan semua sektor, tidak hanya sektor lingkungan. Itulah sebabnya mengapa sangat penting agar subsidi-subsidi yang dibuat untuk mendorong produktivitas di sektor pedesaan memiliki fokus pada keberlanjutan. Kami percaya bahwa sangat penting untuk mengarahkan upaya-upaya semua pihak, dalam rangka mewujudkan sinergi dan memanfaatkan sumber-sumber daya yang tersedia secara efisien. Terakhir, tantangan besar lainnya pastilah berkaitan dengan memberikan pendekatan pembangunan rendah karbon untuk semua proses pengelolaan wilayah, administrasi dan perencanaan. Paradigma pembangunan pedesaan dan perkotaan saat ini belum tentu mempromosikan keberlanjutan sumber daya alam dan bahan baku. Akibatnya, upaya-upaya yang terisolasi
untuk mempromosikan pembangunan rendah karbon telah, dalam beberapa kasus, menjadi penghalang. Kurangnya kelengkapan upaya untuk memberikan kelestarian lingkungan pada tindakan pemerintah telah menjadi penghalang dalam transisi menuju paradigma baru. Jika kita ingin hasil jangka panjang, perlu untuk menyelaraskan visi dan strategi untuk REDD+.
Langkah apa yang perlu diambil untuk mengatasi hambatan-hambatan ini? Untuk mengatasi hambatan-hambatan ini, telah dilakukan kerja-kerja untuk mempromosikan berbagai ruang dan forum: pembentukan Komisi Antar-Negara Bagian tentang Perubahan Iklim (CICC) Negara Bagian Campeche, agenda kopi hutan dari Komite Perencanaan Pembangunan Negara Bagian Campeche (COPLADECAM), Dewan Penasihat Teknis (TAC) REDD+ untuk negara bagian Champeche, yang dihubungkan dengan Dewan Kota untuk Pembangunan Pedesaan Berkelanjutan (COMUNDERS) dari kotamadya-kotamadya REDD+ di negara bagian ini. Ruang-ruang ini telah mempromosikan inklusi dan partisipasi masyarakat, masyarakat sipil, akademisi dan perwakilan lembaga-lembaga sosial. Saya kira penting untuk membangun kemitraan di antara para aktor lokal untuk mengembangkan aksi dan proyek-proyek yang ditujukan untuk meningkatkan kondisi kehidupan masyarakat. Dalam hal ini, maka akan tepat jika melakukan proyek percontohan di berbagai kotamadya di Campeche yang menjadi kunci di sektor kehutanan, makanan dan lingkungan. Saat ini, ada berbagai inisiatif kemitraan, seperti: proyek Aksi Dini di kotamadya Hopelchén bekerja sama dengan Dewan Kota, Pronatura Peninsula Yucatán, pemerintah negara bagian dan ejidos Bolonchén Rejon, Chun-Ek dan Francisco J. Mujica; Proyek Sistem Multilayer Wanatani bekerja sama dengan pemerintah negara bagian dan Bank HSBC; Proyek Pemulihan Tanah melalui "Concurrent Funds" (sebuah skema pembayaran atas jasa lingkungan - PES) bersama-sama dengan Pemerintah Negara Bagian dan Komisi Kehutanan Nasional. Upaya-upaya tambahan datang dari beberapa kotamadya, seperti dalam kasus Calakmul di mana berbagai NGO berpartisipasi dalam proyek-proyek komersialisasi arang vegetatif, kehutanan, PES dan produksi budidaya lebah, serta dari institusi-institusi akademik, pemerintah federal dan pemerintah negara bagian. Perlu dilakukan kerja untuk menghubungkan dengan lembaga kerjasama internasional, serta badan-badan dan lembaga federal, untuk mempromosikan visi baru tata kelola hutan, yang mendukung mata pencaharian masyarakat dan menawarkan untuk mereka manfaat ekonomi dan alternatif-alternatif ekonomi untuk kerja-kerja dan upaya-upaya konservasi mereka untuk mengurangi deforestasi. Campeche adalah bagian dari Kelompok Kerja Satuan Tugas Hutan dan Iklim Gubernur (Satgas GCF) untuk mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan REDD+. Aktor-aktor lain yang berpartisipasi di wilayah ini antara lain Badan Kerjasama Teknis Jerman, Program Pembangunan PBB (UNDP), Bank Dunia, kemitraan Meksiko-REDD+. Kami percaya bahwa langkah-langkah di bawah ini perlu dilakukan: Secara multilateral menghubungkan pemain-pemain kunci dari sektor swasta, lembaga pemerintah dan masyarakat sipil, dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat; mempromosikan kemitraan publik-swasta. Mengembangkan dan menerapkan adaptasi dan mitigasi, dengan perspektif yurisdiksi, dan yang mempertimbangkan kepentingan kunci untuk memperkuat kemampuan teknis dari perwakilan pemerintah serta aktor-aktor negara yang lainnya. Menetapkan dasar untuk mempromosikan pengembangan ekonomi hijau yang berdasarkan penggunaan sumber daya alam dan pemberdayaan masyarakat. Menciptakan dan memperkuat ruang-ruang untuk komunikasi dan umpan balik dari para pengguna dan pemilik tanah, yang memperhitungkan masyarakat adat, tua dan muda, perempuan dan anak-anak, antara lain, sehingga tercipta peluang-peluang pembangunan untuk seluruh kelompok sosial.
Hutan hujan Campeche menutupi 80% luas wilayahnya.
Terakhir, juga perlu untuk membangun program aksi untuk mempromosikan alternatifalternatif ekonomi bagi masyarakat, komunitas dan penduduk, sambil mempromosikan mekanisme REDD+ dan inisiatif-inisiatif yang berkaitan dengan perubahan iklim. Dalam hal
Cap resmi Campeche.
ini, penting untuk mempromosikan dan melaksanakan proyek-proyek yang mengembangkan energi alternatif, teknologi hijau, pengelolaan air dan erosi pantai terpadu di masyarakat yang memiliki hutan, dll, dalam rangka untuk bergerak menuju pendekatan terkoordinasi untuk mengelola tata kelola hutan.
Peran apa yang perlu dimainkan penelitian untuk mengatasi tantangan-tantangan ini? Institusi-institusi akademik, bergandengan tangan dengan lembaga-lembaga publik, harus mendorong penelitian karena sangat penting untuk mengatasi tantangan-tantangan ini. Secara khusus, hal ini penting karena melalui itu keahlian yang diperlukan dipromosikan untuk membangun kerangka kerja yang cocok untuk memandu kebijakan publik tentang perubahan iklim. Saya kira penting untuk mengarahkan penelitian dan diagnosis ke arah topik-topik yang menjadi perhatian mendesak bagi negara bagian secara keseluruhan, sehingga hasilnya akan diterjemahkan ke dalam tindakan dan program yang dapat mengembangkan kemitraan antara lembaga-lembaga akademis dan lembaga-lembaga pemerintah. Dalam hal ini, juga merupakan prioritas untuk mempromosikan pertukaran informasi antar akademisi, organisasi-organisasi swasta, lembaga-lembaga publik dan organisasi masyarakat sipil untuk, antara lain, menyatukan upaya untuk mengatasi tantangantantangan besar yang kita hadapi sebagai sebuah negara bagian. Terakhir, saya percaya bahwa para peneliti harus berpartisipasi dalam harmonisasi kebijakan publik; masukan dari para pakar di lapangan sangat penting untuk menciptakan sebuah kerangka kerja strategis yang dapat merespon tantangan-tantangan ini sekaligus memberdayakan masyarakat dan mengarahkan sumber-sumber daya ke kegiatankegiatan yang menghasilkan hasil jangka panjang. Sumber: forestsclimatechange.org
Berita GCF Pertemuan Makan Malam Anggota GCF dari Indonesia 2 April Oleh Jasmine Puteri, Kemitraan, Koordinator Negara untuk Indonesia Pada tanggal 2 April, Kemitraan, organisasi yang menjadi koordinator negara GCF untuk Indonesia, menyelenggarakan pertemuan makan malam untuk para anggota Satgas GCF yang hadir pada pertemuan Indonesia 11 (lihat cerita di atas). Pertemuan tersebut dihadiri oleh staf Sekretariat GCF dan anggota satgas dari tiga dari keenam wilayah Indonesia yang menjadi anggota GCF (Papua, Aceh dan Kalimantan Barat). Pertemuan tersebut bertujuan untuk mengenalkan anggota Sekretariat GCF yang baru, untuk berbagi informasi terkini tentang kemajuan masing-masing provinsi, untuk mengkoordinasikan kegiatan
Bawah dari kiri ke kanan: Hasbi Berliani (Tim Teknis), Sita Supomo (Koordinator Nasional GCF), Gusti Hardiansyah (Anggota Satgas GCF dari Kalimantan Barat), Yunidar (Administrasi dan Keuangan), Jasmine P. Puteri (Komunikasi dan Penghubung)
nasional GCF di Indonesia, dan untuk membahas pertemuan mendatang di Catalonia dan Acre. Mereka yang hadir juga membahas, antara lain, isu-isu lain yang muncul, prioritasprioritas GCF tahun 2014, serta strategi-strategi untuk mengimplementasikannya.
Pertemuan Ke-12 Kelompok Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Terbarukan 2-3 April Oleh Daniel Coronel, CIAM, Tim Koordinator Negara untuk Peru dan Alexander Weber, Satgas GCF Di Lima pada tanggal 2-3 April 2014 Kelompok Kerja Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Terbarukan dari Dewan Antardaerah Amazon (CIAM) menyelenggarakan Pertemuan Ke-12-nya. CIAM terdiri dari wilayah anggota GCF dari Loreto, Ucayali, San Martín dan Madre de Dios, serta wilayah pengamat GCF, Amazonas. Dalam pertemuan kerja ini dilakukan berbagai kegiatan dengan tujuan umum untuk meningkatkan pengelolaan daerah-daerah yang membentuk CIAM. Kegiatan pertama adalah presentasi tentang kemajuan Satgas GCF. Topik pertama yang dicakup dalam presentasi ini adalah gambaran untuk pertemuan Catalonia yang diusulkan, yang direncanakan untuk tahun 2015. Kehadiran lima pemerintah daerah pada pertemuan ini akan memberi mereka kesempatan untuk mendapatkan dana untuk program-program REDD+ mereka. Hal ini disebabkan kehadiran tidak hanya sektor swasta pada pertemuan Catalonia, tapi penambahan lima negara bagian Jerman yang telah menunjukkan minat mereka dalam membangun kemitraan cap-and-trade dengan negara-negara bagian Peru tersebut. Juga diusulkan agar negara-negara bagian Peru ikut serta dalam kunjungan ke negara bagian Acre di Brasil, di mana mereka akan belajar tentang alat-alat teknis yang dikembangkan oleh Earth Innovation Institute (EII), Amazon Environmental Research Institute (IPAM), dan Woods Hole Research Center dan bagaimana alat-alat ini telah membuat sistem-sistem MRV tersedia untuk para pemerintah daerah. Kedua perjalanan ini menawarkan kesempatan belajar yang nyata dan kemungkinan untuk membangun hubungan-hubungan yang penting yang dapat memajukan program-program REDD+ Peru. Acara penting lainnya dalam pertemuan tersebut adalah Presentasi proposal awal Peru untuk Strategi Perubahan Iklim dan Hutan Nasional. Dipresentasikan saat itu proposal dari Program Konservasi Hutan dan Perubahan Iklim Nasional (PNCBCC) dari Kementerian Lingkungan Hidup (MINAM), dan di akhir presentasi diminta umpan balik dari peserta sehingga keprihatinan para Pemerintah Daerah bisa disuarakan. Masalah terbesar tampaknya adalah kebutuhan untuk penyelarasan kegiatan-kegiatan berbagai departemen dari MINAM dan Kementerian Pertanian dan Irigasi (MINAGRI) di dalam masing-masing wilayah. Begitu keprihatinan ini dapat diatasi, proposal tersebut akan terlihat solid. Secara keseluruhan, pertemuan ke-12 dari CIAM tersebut berhasil dengan baik dengan kesempatan-kesempatan untuk memajukan pengetahuan dan kemungkinan-kemungkinan mendatang dari mitra-mitra cap-and-trade menunjukkan masa depan yang cerah. Laporan lengkap tentang acara ini tersedia di sini.
Ikhtisar Forum Internasional tentang Pembayaran untuk Jasa Lingkungan dari Hutan Tropis 7-10 April Oleh Food and Agriculture Organization (FAO) PBB , International Tropical Timber Organization (ITTO) dan National Forestry Financing Fund Tanggal 7-10 April, Forum Internasional tentang Pembayaran untuk Jasa Lingkungan Hutan Tropis yang paling baru diselenggarakan di San Jose, Kosta Rica. Forum tersebut diselenggarakan bersama oleh Food and Agriculture Organization (FAO), International Tropical Timber Organization (ITTO), dan National Forestry Financing Fund (FONAFIFO) Kosta Rika; dan yang bertindak sebagai tuan rumah adalah Kementerian Lingkungan Hidup Kosta Rika. Pertemuan ini mengeksplorasi bagaimana pembayaran untuk jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan tropis bisa mendukung para pemilik hutan dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan dan mengelola hutan secara lestari. Tentu saja, Kosta Rika terpilih menjadi tuan rumah forum karena pengalamannya yang luar biasa dalam
Peserta pertemuan mendapatkan informasi terkini tentang sistem-sistem monitoring dari Rafael Garrafiel, Analis Sistem untuk Menteri Negara Bagian dan Lingkungan Hidup
pembayaran inovatif untuk jasa lingkungan. Pertemuan berjalan dengan baik, karena dihadiri oleh lebih dari 150 orang dari 60 negara, dari kalangan pemerintah, mitra pembangunan regional dan internasional, organisasi masyarakat sipil, sampai sektor swasta. Monica Julissa de los Rios, delegasi anggota GCF dari negara bagian Acre, Brasil berpartisipasi pada acara sebagai panelis pada topik, "Membangun Tata Kelola Kuat dan Penataan Kelembagaan," di mana ia memfokuskan komentarnya pada penataan tata kelola. René Castro, Menteri Lingkungan Hidup, Energi dan Lautan Kosta Rika, juga memberikan sambutan pembukaan. Dalam Forum, FAO dan Gesellschaft für Internationale Zusammenarbeit (GIZ) dari Jerman menghormati Mr Castro karena telah merintis sistem PES di Kosta Rika. Banyak poin-poin penting yang diangkat di forum ini, namun fokus keseluruhan berkisar pada manfaat yang diberikan oleh hutan tropis yang sebagian besar tidak disadari. Hutan tropis menyediakan berbagai jasa lingkungan penting, terutama dengan melindungi daerah tangkapan air, penyerapan karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati. Namun, banyak orang yang mendapatkan banyak manfaat dari jasa lingkungan hutan tropis, seperti penduduk perkotaan, industri besar dan negara-negara maju membayar sedikit atau tidak membayar sama sekali untuk itu, dan mengakibatkan hutan tropis sering diremehkan nilainya dibandingkan dengan penggunaan lahan alternatif, yang menyebabkan degradasi hutan dan deforestasi. Acara ini meneliti fakta bahwa salah satu cara untuk mengatasi masalah ini adalah pembayaran atas jasa lingkungan (PES). PES sangat penting untuk membantu meningkatkan daya saing ekonomi dari pengelolaan hutan lestari (SFM) karena memberikan suatu nilai keuangan untuk manfaat-manfaat hutan yang sebelumnya tidak perjualbelikan. Bahkan, sistem PES telah terbukti berhasil mempertahankan tutupan hutan. Misalnya, di Kosta Rika deforestasi yang menimbulkan kerugian besar telah mengurangi tutupan hutan menjadi 21% dari luas daratan negara tersebut. Pengenalan skema PES pada tahun 1997, di mana pemilik lahan dibayar untuk mempertahankan hutan, memberikan kontribusi terhadap peningkatan hutan sampai luas saat sebesar 52,4% dari luas daratan negara. Kosta Rika menjadi sebagai contoh bagaimana sistem PES dapat mencapai keberhasilan. Acara ini juga menyoroti bahwa, di negara-negara di mana PES merupakan alat kebijakan yang penting bagi pelaksanaan SFM, ada bukti bahwa skema-skema tersebut menghasilkan hasil sosial ekonomi yang signifikan. Misalnya, mereka dapat memberikan "bridge financing " untuk memungkinkan masyarakat mencari kegiatan-kegiatan yang menghasilkan pendapatan lainnya. Skema PES tingkat lokal dapat menjadi bagian dari strategi yang lebih luas untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Namun demikian, ada kekurangan studi yang kuat tentang efektivitas PES dalam mencapai hasil konservasi, meskipun ada bukti tak langsung yang berlimpah. Secara global, nilai PES kecil bila dibandingkan dengan, misalnya, pendapatan yang dihasilkan oleh kayu atau produk pertanian. Skema PES harus cukup luas dan fleksibel untuk mencakup jasa lingkungan yang disediakan oleh rangkaian kesatuan hutan dan pohon-pohon di berbagai bentang alam. Hal ini memerlukan interaksi lintas sektoral dan kerjasama yang jauh lebih banyak daripada yang ada di hampir semua skema PES sampai saat ini. Pada akhirnya, PES harus dipertimbangkan dalam setiap pelaksanaan program yang tujuan keseluruhannya adalah untuk melindungi tutupan hutan. Hasil dari acara tersebut dapat dilihat di sini dan ringkasan penuh dari semua temuan kunci dan rekomendasi dari pertemuan tingkat tinggi tersebut tersedia di sini dalam bahasa Inggris atau Spanyol.
Perwakilan GCF Berpartisipasi dalam Katoomba XIX dan XX 22-23 April Musim semi ini, Katoomba Group mensponsori dua konferensi internasional yang diadakan di Foz do Iguacu, Brasil dan Lima, Peru. Merupakan sebuah proyek dari NGO Forest Trends, Katoomba Grup menyelenggarakan pertemuan global yang membahas kesehatan lingkungan dan pembangunan ekonomi dengan membawa para pemimpin dalam kebijakan lingkungan, ekonomi, kehutanan, sektor swasta, dan masyarakat sipil duduk bersama. The Gordon dan Betty Moore Foundation, salah satu penyumbang utama GCF, menyediakan
Monica Julissa de los Rios, delegate GCF dari negara bagian Acre, Brasil menyapa peserta forum.
dana yang besar untuk kedua pertemuan tersebut. Katoomba XIX, yang diselenggarakan di Foz do Iguacu, Brasil, difokuskan oleh tema "Meningkatkan Rantai Pasokan Komoditi Berkelanjutan." Terletak di pertemuan perbatasan Brasil dengan Argentina dan Paraguay, Foz do Iguaçu memberikan sebuah setting yang sesuai untuk kolaborasi antara produsen-produsen utama ternak dan produk kedelai. Pertemuan tersebut mengidentifikasi metode-metode untuk mengurangi biaya lingkungan di seluruh rantai pasokan kedelai dan ternak sambil tetap menjaga ketahanan pangan dan kelanjutan ekonomi. Peserta konferensi mendiskusikan tantangan-tantangan, praktikpraktik yang berhasil, dan masalah-masalah keuangan pada tiap tingkat rantai pasokan. Mariano Cenamo, Direktur Eksekutif IDESAM dan koordinator GCF untuk Brasil, dan Dan Nepstad, Direktur Eksekutif Earth Inovation Institute (mitra teknis GCF), tampil dalam diskusi panel. Selain itu, Justiano Netto, Menteri Khusus Negara untuk Koordinasi Kotamadya Hijau di Pará (anggota GCF) bergabung dengan debat panel pada topik "Kotamadya Kritis menuju Kotamadya Hijau."
William Boyd (kedua dari kiri), Penasihat Senior GCF, hadir dalam sebuah panel di Katoomba XX. Yang lain dalam foto dari kiri ke kanan adalah: Dande Tavares, Fernando Momiy, Carlos Muñoz Piña, dan Gustavo Suarez de Freitas. Kredit Foto: Autoridad National del Agua, Peru. Digunakan atas izin pemilik.
Katoomba XIX memberikan sebuah pandangan praktis dan holistik dari isu ini dengan melibatkan perspektif pertanian, korporasi, konsumen, dan lingkungan. Katoomba XX membahas topik "Iklim, Hutan, Air, dan Masyarakat: Visi Pembangunan di Amerika Tropis". Pertemuan ini diselenggarakan tanggal 22-23 April di Lima, menjelang Konferensi Para Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa yang akan diselenggarakan di kota tersebut pada bulan Desember. Para pembicara dan diskusi panel berfokus pada menemukan keselarasan antara konservasi dan realitas pembangunan, ketahanan pangan, pengelolaan air, dan pertanian. Afiliasi GCF memberikan kontribusi signifikan untuk Katoomba XX. Javier Ocampo, Presiden Regional San Martin, Peru (anggota GCF), merupakan salah satu pembicara yang membuka konferensi. William Boyd, Penasihat Senior GCF, adalah panelis untuk diskusi, "Menyelaraskan Strategi Subnasional dengan Rantai Pasokan Berkelanjutan dan Kebijakan Nasional." Dan Nepstad serta Mario Wilberto Tapia Valdivia, Direktur Pengembangan Ekonomi di wilayah anggota GCF Madre de Dios, juga menjadi panelis. Pertemuan Katoomba Group ini menyediakan sebuah forum penting untuk diskusi dan berbagi informasi mengenai isu-isu penting bagi GCF informasi lebih lanjut tentang konferensi tersebut serta presentasi-presentasi di dalamnya dapat ditemukan di sini: Katoomba XIX dan Katoomba XX.
GCF di Forest Asia Summit (Pertemuan Tingkat Tinggi Hutan Asia) 6-7 Mei Oleh Luke Pritchard, Manajer Proyek, Dana GCF Pada tanggal 6 dan 7 Mei 2014, lebih dari 2.200 peserta dan 120 pembicara menghadiri Forests Asia Summit yang diselenggarakan oleh Center for International Forestry (CIFOR) dan diselenggarakan bersama oleh Kementerian Kehutanan Republik Indonesia. Acara multi-stakeholder ini membahas tema Landekap Berkelanjutan untuk Pembangunan Hijau di Asia Tenggara, dan mempertemukan sektor swasta, masyarakat sipil, organisasi penelitian, dan pemerintah. Para peserta tingkat tinggi mencakup Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhono, Menteri Lingkungan Hidup Peru dan Presiden COP 20, Manuel Pulgar-Vidal, Kepala BP REDD+ Indonesia, Heru Praseto, Ketua IPCC, Rajendra Pachauri, dan Direktur CIFOR, Jenderal Peter Holmgren. Dalam fokus lanskap konferensi, ada lima topik utama yang diperdebatkan oleh panelis termasuk tata kelola dan kerangka hukum untuk mempromosikan lanskap berkelanjutan, investasi dalam lanskap untuk laba yang hijau, perubahan iklim dan pembangunan rendah emisi di lapangan, lanskap hutan untuk pangan dan keanekaragaman hayati, dan perubahan di masyarakat, lanskap berkelanjutan dan pemerataan pembangunan. Di antara acara-acara yang diselenggarakan saat KTT adalah panel samping yang diselenggarakan oleh the Nature Conservancy, yang bermitra dengan Dana GCF dan anggota GCF Provinsi Kalimantan Timur untuk meningkatkan sistem pemantauan hutan provinsi. Forum diskusi the Nature Conservancy berfokus pada pendekatan-pendekatan yurisdiksi, di mana panelis menganjurkan perlunya menyediakan dukungan finansial kepada penggerak mula-
Para peserta dalam sesi khusus, "Kaum Muda Asia Tenggara," mencakup Luke Pritchard dari Dana GCF.
mula yurisdiksi dan negara-negara menjelaskan negara bagian dan provinsi sebagai tingkat tata kelola di mana "karet bertemu dengan jalan" dalam pembangunan rendah emisi. GCF diwakili di acara tersebut oleh Koordinator Negara GCF Sita Supomo, Presiden Dewan Dana GCF, Mubariq Ahmad, Manajer Program Dana GCF, Luke Pritchard, dan Perwakilan Kalimantan Timur Deddy Hadriyanto. Luke Pritchard memoderasi meja bundar pemuda tentang investasi hijau dan menghadiri pertemuan Kelompok Kerja LED Global Partnership AFOLU setelah acara tersebut. Menurut Pritchard, "KTT ini memberikan kesempatan untuk berhubungan dengan jaringan dukungan yang besar dari GCF di Indonesia dan mengeksplor peluang-peluang untuk membangun kemitraan baru dengan berbagai aktor". Dia juga merasa KTT tersebut memiliki menunjukkan perhatian yang kuat dari sektor swasta, dan menyatakan, "Pihak penyelenggara telah melakukan kerja yang sangat baik mengintegrasikan sektor swasta ke dalam dialog tentang investasi hutan pintar iklim, sesuatu yang tidak selalu terlihat dalam acara-acara seperti ini." Pernyataan hasil yang meringkas seluruh kesimpulan utama dari KTT tersebut dapat di lihat di sini.
Ikuti sambutan pembuka Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono, di sini.
Memperkuat Kapasitas Indonesia untuk Mengembangkan Inventarisasi Karbon Hutan Nasional, Pemetaan dan Sistem Teknis MRV 8-13 Mei Oleh Luke Pritchard, Manajer Proyek, Dana GCF Pada tanggal 8 sampai tanggal 13 Mei, staf dari Dana GCF mengunjungi Kalimantan Timur dan melakukan penilaian kinerja dan audit keuangan dari proyek bertajuk, "Penguatan Kapasitas Indonesia untuk Mengembangkan Inventarisasi Karbon Hutan Nasional, Pemetaan dan Sistem Teknis MRV ". Mereka mengunjungi dan mewawancarai para pemangku kepentingan dari tingkat provinsi, kabupaten, dan lembaga pemerintah tingkat nasional, NGO lokal, dan masyarakat setempat selama kunjungan tersebut. Proyek ini, yang dipimpin oleh Michigan State University dan Kalimantan Timur bersama the Nature Conservancy, berkisar pada implementasi peta stok karbon hutan yang ditingkatkan serta Toolbox Pemantauan, Pelaporan dan Verifikasi (MRV) daring (on-line) teknis. Meskipun proyek masih tetap dalam tahap awal implementasi, kemajuan tampak mulai terlihat. Para stakeholder menyatakan minat yang kuat dalam fungsionalitas toolbox MRV, yang dapat mengatur rangkaian-rangkaian data inventarisasi hutan yang besar, mengintegrasikan informasi inventarisasi spasial dan lapangan, skenario model untuk perencanaan penggunaan lahan, dan membuat pengguna protokol keamanan akses pengguna. Aspek-aspek ini semua penting untuk menciptakan sebuah sistem MRV tingkat provinsi yang didorong di tingkat lokal. Selain itu, beberapa stakeholder telah menyatakan minat mereka dalam kemungkinan penggunaan toolbox MRV untuk fungsi-fungsi di luar pemantauan karbon hutan seperti perencanaan tata ruang yang lebih baik. Toolbox MRV adalah sebuah sistem pengelolaan data platform terbuka yang dirancang dengan fleksibilitas untuk dimodifikasi seraya keputusan untuk mengatur dan menstandardisasikan sistem MRV propinsi di Indonesia dikembangkan dan diimplementasikan. Pendekatan yang dilakukan oleh para pendukung proyek ini dimaksudkan untuk mendukung pendekatan yurisdiksi yang didukung oleh BP REDD+ di
Staff dari Michigan State University, the Nature Conservancy, Dewan Perubahan Iklim Provinsi Kalimantan Timur, dan Dana GCF bertemu dengan anggota masyarakat di Long Duhung, Kalimantan Timur
Indonesia dan menunjukkan jalur untuk pengukuran karbon hutan multi-level dan pelaporan yang dapat dikumpulkan di tingkat nasional. Para pendukung ini juga bekerja sama dengan Badan Informasi Geospasial Indonesia untuk memastikan bahwa peta karbon dikembangkan dalam program Satu Peta, yang merupakan inisiatif ambisius Indonesia untuk menyelaraskan dan standarisasi data antar lembaga yang berbeda. Dalam bulan-bulan mendatang para pendukung ini akan terus bekerja dengan para pemangku kepentingan lokal untuk lebih menyesuaikan toolbox MRV, memberikan pelatihan tambahan, dan mengumpulkan data lapangan tambahan dan pengukuran biomassa. Toolbox MRV membuka jalan bagi sistem pemantauan karbon yang lebih mendalam dan akurat untuk diterapkan di Kalimantan Timur, mewakili 'proof-of-concept’ yang bisa direplikasi di provinsi-provinsi dan negara-negara lain di seluruh dunia. Pelajaran yang didapat akan dibagi dengan masyarakat GCF melalui pelatihan dan pertemuan, dan disebarluaskan kepada masyarakat luas melalui Database Pengetahuan GCF.
GCF Memfasilitasi Roadmap Pan-Afrika Pertama untuk Pembangunan Rendah Emisi di Afrika 10-12 Juni Dua puluh lima pembentuk REDD+ dan pembangunan rendah emisi dari kalangan pemerintah dan masyarakat sipil dari delapan negara Afrika dan empat yurisdiksi daerah menyusun sebuah konsep roadmap strategis untuk pengembangan REDD+ dan ekonomi rendah karbon di Afrika pada pertemuan Pan-Afrika GCF pertama, yang diadakan di Addis Ababa dari 10-12 Juni, 2014. Diadakan bekerja sama dengan Horn of Africa Regional Environmental Center & Network, pertemuan ini berfokus pada pemanfaatan keberhasilan GCF dalam memfasilitasi kerjasama regional di Brasil, Indonesia, Meksiko dan Peru, untuk memajukan REDD+ dan pembangunan rendah emisi yurisdiksi di kawasan hutan tropis utama di Afrika Barat, Afrika Tengah, Afrika Timur dan Sub Sahara Afrika. Program Pelatihan GCF (Norad*) dan anggota GCF, Cross River State memberikan dukungan dana untuk proses ini. Negara-negara bagian Nigeria, termasuk Cross River, Ekiti, dan Delta, serta Oromia (Ethiopia), menghadiri acara tersebut dan berbagi pelajaran dari pengalaman-pengalaman subnasional mereka. Hal-hal penting dari pertemuan tersebut termasuk presentasi oleh Republik Demokratik Kongo dan Ghana, yang keduanya belum lama ini berhasil dalam inklusi ke dalam sistem Carbon Fund. Pemerintah Zambia, Madagaskar, Pantai Gading, dan Mozambik juga mendatangkan perwakilan masing-masing. Kelompok ini berkumpul membahas tema: Penguatan Kolaborasi Regional untuk Meningkatkan REDD+ dan Pembangunan Rendah Emisi Yurisdiksi di Afrika. Hasil utama dari pertemuan tersebut adalah pengembangan Roadmap Addis Ababa untuk Pembangunan Rendah Emisi di Afrika, yaitu sebuah visi strategis dan rencana kolaborasi dari pembangunan rendah emisi di antara 10 negara dan yurisdiksi di Afrika, termasuk Kelompok Kerja yang terdiri dari para pakar dari Ghana, Nigeria, Ethiopia dan Republik Demokratik Kongo. Pertemuan tersebut juga bertindak sebagai forum penting untuk berbagi pengetahuan dan pertukaran kompetensi inti dan praktik terbaik di yurisdiksiyurisdiksi Afrika, termasuk pelajaran awal yang didapat dan rekomendasi-rekomendasi untuk program yang sedang bermunculan, termasuk hal-hal penting berikut: Negara bagian Ekiti, Nigeria: sebuah negara pesisir yang kaya minyak yang rentan terhadap kenaikan permukaan air laut, dengan kerangka hukum dan kelembagaan yang cukup canggih untuk REDD+; Republik Demokratik Kongo: salah satu negara bagian Afrika penggerak mula-mula yang menggunakan pendekatan REDD+ yurisdiksi dan dengan penekanan yang besar pada manfaat non-karbon; Ghana: pendekatan REDD+ yang difokuskan pada komoditas, yang diintegrasikan dalam rantai pasokan berkelanjutan untuk tanaman coklat; Zambia: Program yurisdiksi penggerak mula-mula lainnya difokuskan pada pengembangan kapasitas terdesentralisasi untuk MRV; Madagaskar: sebuah negara yang mengadopsi pendekatan Eko-wilayah yang unik untuk pembangunan rendah emisi;
Pantai Gading: program lanjutan REDD+ dengan upaya subnasional yang unik, termasuk program lintas batas dalam karbon coklat dengan Ghana; Negara bagian Oromia, Ethiopia: uji coba pendekatan REDD+ yurisdiksi pertama dari program REDD+ nasional Ethiopia; dan Mozambik: juga tengah menerapkan MRV di wilayah subnasional negara tersebut melalui kemitraan SADC-GIZ. Odigha Odigha, perwakilan GCF untuk Cross River State, Nigeria, membuka pertemuan dengan seruan agar negara-negara bagian Afrika bersatu mengembangkan REDD+ yurisdiksi yang spesifik untuk konteks Afrika. Dr Araya Asfaw, Direktur Eksekutif HoAREC&N, membuka pertemuan. Andre Aquino, Spesialis Pembiayaan Karbon Bank Dunia, memberikan informasi terkini yang diterima dengan baik tentang dua buah pendanaan multi-donor global Bank Dunia, yaitu Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (FCPF) dan Dana BioKarbon (BioCF). Beberapa negara yang hadir adalah negara-negara yang turut serta dalam FCPF atau BioCF. Untuk menutup pertemuan tersebut, para peserta mengunjungi Ensessakotteh – sebuah Pusat Pendidikan, Konservasi dan Penyelamatan Satwa Liar, yang sedang dibangun di pinggiran Addis Ababa oleh Born Free Foundation. Kunjungan ini memfasilitasi apresiasi yang lebih dari konfrontasi antara kaum miskin dan satwa liar di hutan-hutan Ethiopia dan menutup pertemuan dengan visi yang sama untuk memajukan Roadmap Addis Ababa – sebuah visi rendah karbon yang disesuaikan untuk diselaraskan dengan kebutuhan mata pencaharian yang berkelanjutan di benua tersebut. Presentasi dan bahan-bahan dari pertemuan tersebut dapat dilihat di sini. *Program Pelatihan GCF disponsori oleh Prakarsa Hutan & Iklim Norwegia (Norwegian Climate & Forests Initiative/NICFI).
Peserta Pertemuan Pan-Afrika GCF. Dari belakang: Bruno Rajaspera, Moses Kaumba, Dr. Almaz Tadese, Rebecca Smith, Asmeret Kidanemariam, Alima Issufo Taquidir, Yaw Kwakye, Amon Auguste, Paula Panguene, Tracy Johns, John Mason, Guy Bagalwa Kajemba Dari depan: Jean Roger Rakotoarijaona, Ledet Shibeshi, Julia Randimbisoa, Davies Kashole, Felix Akinluyi, Felicia Adun, Amelia Chizwala Peterson, Odigha Odigha, Elmi Nure
Purwarupa Jaringan Dukungan GCF Latar belakang: Fragmentasi dan Solusi Jaringan Dukungan GCF Dengan pertumbuhan GCF yang cepat dari awalnya 10 anggota di tahun 2008 menjadi 22 yurisdiksi di tujuh negara dan mencakup berbagai wilayah ekonomi, sosial dan budaya hanya dalam waktu enam tahun, GCF telah mengidentifikasi perlunya memiliki alat pengelolaan pengetahuan yang akan memberikan struktur yang lebih baik untuk upayaupaya dan program-program REDD+ /pembangunan rendah emisi di yurisdiksi tropis anggota GCF, dalam dunia di mana iklim dan tata kelola hutan tropis tengah mendapatkan dorongan yang lebih besar oleh jaringan terdesentralisasi dan sering kali terfragmentasi
dibandingkan oleh solusi iklim global bergaya top-down. Menggunakan hibah tiga tahun dari Inisiatif Hutan&Iklim Norwegia (NICFI) dari Norad, GCF memulai pengembangan alatweb interaktif (Jaringan Dukungan GCF) yang memetakan jaringan aktor dan sumber daya untuk REDD+ dan pembangunan rendah emisi di 19 yurisdiksi tropis anggota GCF (enam negara bagian di Brazil; enam provinsi di Indonesia, dua negara bagian di Meksiko, empat wilayah di Peru, dan satu negara bagian di Nigeria).
Tujuan Jaringan dukungan Tujuan utama dari Jaringan dukungan adalah: Untuk menyediakan struktur dan integrasi ke jaringan para pelaku yang menangani masalah tata kelola iklim, yang terdesentralisasi dan terfragmentasi, khususnya dalam upaya untuk mengurangi deforestasi dan meningkatkan penggunaan lahan di daerah tropis; Untuk menyediakan alat-alat untuk mengidentifikasi pelaku-pelaku kunci (pakar dan sumber daya) berdasarkan wilayah dan daerah isu untuk memecahkan masalah-masalah khusus; Untuk membantu GCF dalam mengidentifikasi wilayah-wilayah isu kunci yang perlu peningkatan dan mengatasinya (misalnya, jaringan pengaman (safeguards) terkonsentrasi di satu yurisdiksi bisa dikerahkan untuk membantu perancangan dan pelaksanaan di yurisdiksi yang kekurangan keahlian dalam hal pengaman); Untuk memberikan dasar bagi upaya-upaya terfokus untuk membangun dan meningkatkan hubungan yang sangat fundamental untuk membangun program-program yurisdiksi.
Konsep dan Purwarupa Pada tahun pertama proyek, GCF bekerja dengan anggota, stakeholder, pakar analisis jaringan, dan pengembang untuk mengembangkan konsep tersebut. Proses konseptualisasi berkulminasi pada peluncuran sebuah purwarupa yang didasarkan pada jaringan organisasi/aktor yang bekerja pada bidang REDD+ dan pembangunan rendah emisi di Amazonas, Brazil pada Pertemuan Tahunan GCF di Peru pada bulan Oktober 2013.
Visualisasi purwarupa Jaringan dukungan yang didasarkan pada negara bagian Amazonas. Alat yang interaktif ini tengah dalam proses pengembangan, mengintegrasikan masukan tentang desain dan fungsionalitas yang diterima dari anggota dan stakeholder GCF.
Tinjauan atas Purwarupa Purwarupa Jaringan dukungan menjalani proses tinjauan yang ketat dan menerima umpan balik pada awal 2014, dan GCF terus menyesuaikan alat ini agar dapat secara akurat memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang diungkapkan oleh anggota GCF dan mitra masyarakat sipil, serta kalangan pemangku kepentingan yang lebih luas (termasuk mitra masyarakat sipil, investor swasta, upaya jaringan solusi global lainnya).
Peluncuran Jaringan dukungan GCF Versi 1 Versi 1 akan diluncurkan pada bulan Agustus 2014 pada Pertemuan Tahunan GCF di Rio Branco, Brasil. Versi awal ini akan memetakan sistem rumit organisasi-organisasi yang membuat jaringan dukungan lapangan untuk REDD+ yurisdiksi di setiap yurisdiksi tropis GCF. Antarmuka / pengalaman pengguna akan menyerupai desain grafis dari purwarupa Amazonas dan mencakup fitur-fitur interaktif seperti pemilihan node untuk informasi dasar, perbandingan organisasi yang ditampilkan bersisian (side-by-side), pemilihan organisasi berdasarkan keahlian, pengelompokan berdasarkan keahlian, penyaringan, informasi dasar organisasi dan kontak, di samping menunjukkan hubungan/link antar organisasi. Organisasi akan dikelompokkan berdasarkan jenis (pemerintah {negara bagian maupun nasional}, swasta, akademisi, masyarakat sipil/NGO, dan penyandang dana). Alat ini memungkinkan pengguna untuk memilih organisasi berdasarkan keahlian REDD+/pembangunan rendah emisi. Versi pertama ini dari alat mencakup bidang-bidang keahlian utama berikut: • Hukum dan Kebijakan • Pengaman • Pembiayaan • Penghitungan Karbon dan MRV
Masa Depan Jika pendanaan memungkinkan, versi berikutnya dari Jaringan dukungan GCF akan memperluas perangkat alat-alat yang tersedia pada jaringan untuk mencakup pakar REDD+ dan pembangunan rendah emisi. Ini akan memperkenalkan fitur self-add (menambahkan sendiri) dengan pengawasan administratif untuk memungkinkan para aktor untuk mengidentifikasi diri sendiri pada jaringan, menangkap gambaran yang lebih akurat dari perubahan-perubahan hubungan yang terjadi secara alami dalam jaringan REDD+ dan mencerminkan lanskap regional dan internasional yang berubah dengan cepat. Terakhir, Jaringan ini akan mencakup wilayah-wilayah topik dan keahlian yang lebih maju seperti Penelusuran Kinerja REDD+ (REDD+ Performance Tracking), Audit dan Registri + (karena mereka menjadi relevan dengan program-program yurisdiksi dalam GCF).
Awal yang Berhasil untuk Proyek-Proyek yang Didukung oleh Acara-Acara Mendatang Dana GCF Oleh Luke Pritchard, Manajer Proyek, Dana GCF Dibentuk pada tahun 2013 dengan dana hibah dari Departemen Luar Negeri AS, Dana GCF mendukung kegiatan di negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF terkait dengan pengurangan emisi dari deforestasi, peningkatan kapasitas, dan promosi pembangunan wilayah pedesaan rendah emisi. Proyek yang dibiayai oleh permintaan pengajuan proposal pertama Dana GCF mulai berjalan dalam kuartal pertama tahun ini di Meksiko, Nigeria, Peru, Brasil, dan Indonesia. Secara total, Dana GCF memberikan lebih dari UD$850.000 untuk meningkatkan kapasitas yang berkaitan dengan penilaian karbon hutan di negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF. Setiap proyek mempertemukan lembaga pemerintah subnasional, NGO, pakar teknis, dan masyarakat sipil. Selama kuartal pertama, proyek difokuskan pada konsultasi, pelatihan, dan acara-acara penjangkauan yang dimaksudkan untuk membiasakan para pemangku kepentingan dengan inisiatif-inisiatif ini. Hal-hal penting awal dari beberapa dari proyekproyek ini akan menyusul; daftar lengkapnya tersedia di http://www.gcffund.org/ourprojects/. Setelah proses konsultasi dan perencanaan yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan, Kalimantan Timur, Indonesia, mensponsori pelatihan selama tiga hari mengenai sistem MRV pada tanggal 5-7 Mei. Seminar ini difokuskan pada pelaksanaan dan penyempurnaan sebuah "toolbox MRV ", yaitu sebuah sistem pengelolaan data yang mengintegrasikan data spasial dan data inventarisasi hutan untuk membantu daerah mengukur dan melacak emisi karbon dan laju deforestasi. Toolbox ini akan terus dimodifikasi untuk meningkatkan kegunaannya di Kalimantan Timur, dan pelatihan lebih lanjut akan diadakan untuk membawa toolbox ini ke dalam praktik dengan data lapangan baru dan sebuah peta karbon hutan yang lebih baik.
Para peserta mendapatkan manfaat dari pelatihan yang didukung oleh Dana GCF tentang Pengukuran Karbon Hutan untuk REDD+ di Kalimantan Timur, Indonesia.
Perwakilan dari Dana GCF juga mengunjungi Kalimantan Timur pada tanggal 8-14 Mei untuk bertemu dengan para pemangku kepentingan, termasuk dewan provinsi perubahan iklim, Kementerian Kehutanan, NGO dan tokoh masyarakat setempat, BP REDD+, dan Badan Informasi Geospasial Indonesia. Kunjungan lapangan ini mengevaluasi proyek, "Penguatan Kapasitas Indonesia untuk Mengembangkan Inventarisasi Karbon Hutan Nasional, Pemetaan dan Sistem Teknis MRV," baik dari perspektif kinerja maupun keuangan. Pada tanggal 8 Mei, Tocantins, Brasil, menyelenggarakan sebuah lokakarya bagi para peternak sapi dan pemangku kepentingan kunci lainnya yang terlibat dalam perencanaan penggunaan lahan. Acara yang diselenggarakan bersama Instituto Ecológica ini berupaya menginformasikan kepada masyarakat-masyarakat ini tentang REDD+ dan proyek reboisasi dan membuat daftar para peternak sapi untuk mengumpulkan data tambahan. Lokakarya ini dibagi menjadi dua sesi. Selama sesi pertama, para pakar menyajikan kepada para peternak sapi dan stakeholder lainnya informasi tentang manfaat lingkungan, hukum, dan ekonomi dari REDD+. Produsen daging sapi juga memasukkan informasi tentang praktik-praktik penggunaan lahan mereka ke registri digital yang akan membantu untuk menganalisis lebih lanjut tentang dampak yang mungkin ditimbulkan dari REDD+. Tahap kedua lokakarya menampilkan diskusi tentang kebijakan iklim di Tocantins, dengan penekanan pada strategi untuk pengembangan kebijakan dan reformasi terkait untuk mendukung upaya-upaya yurisdiksi untuk mengurangi emisi dari deforestasi. Proyek ini akan menghasilkan tiga laporan untuk lembaga lingkungan hidup negara bagian yang menganalisis hasil-hasil dari berbagai kebijakan REDD+, memberikan rekomendasi untuk pengintegrasian REDD+ dengan undang-undang kepemilikan (estate law), dan mengevaluasi praktik-praktik terbaik untuk lokakarya-lokakarya serupa di masa mendatang. Di tempat lain, Brasil dan Peru telah melakukan pelatihan-pelatihan yang akan mengembangkan dan meningkatkan sistem pemantauan hutan pan-Amazonian dengan mengerahkan dan meningkatkan platform pelacakan karbon hutan yang disebut CCal, yang dikembangkan oleh Amazon Environmental Research Institute (IPAM), yang bekerja sama dengan Wood Hole Research Center dan Earth Innovation Institute pada proyek ini. Di Meksiko, lembaga kehutanan dan perubahan iklim tingkat negara bagian tengah bekerja sama dengan Komisi Kehutanan Nasional (CONAFOR) dan para pakar teknis untuk mengembangkan persamaan alometrik dan melatih masyarakat lokal tentang pengumpulan data inventarisasi hutan. Proyek ini bermaksud untuk meningkatkan akurasi inventarisasi hutan nasional Meksiko dan meningkatkan keselarasan antara upaya negara bagian dan pemerintah pusat untuk mengukur dan memantau karbon hutan. Selain itu, Dana GCF mendukung sebuah penilaian intensif atas kesenjangan REDD+ yurisdiksi di seluruh yurisdiksi hutan tropis anggota GCF dengan fokus pada pengukuran, pelaporan dan verifikasi. Para pemimpin di tingkat subnasional dan nasional telah menyelesaikan kuesioner yang memberikan informasi berharga tentang kapasitas MRV saat ini dan status desain REDD+ yurisdiksi. Informasi ini akan memungkinkan masingmasing yurisdiksi untuk membuat roadmap yang akan mengatasi kesenjangankesenjangan dalam kemampuan pemantauan hutan sekaligus meningkatkan keselarasan antara subnasional dan nasional. Meskipun Dana GCF baru mulai beroperasi pada tahun 2013, proyek-proyeknya sudah mulai meningkatkan kapasitas di negara-negara bagian anggota di Peru, Nigeria, Meksiko, dan Brasil dengan menghubungkan para anggota dengan pakar kehutanan terkemuka dari seluruh dunia. Seluruh proyek saat ini dijadwalkan selesai pada akhir 2014. Dana GCF terus mencari donor tambahan untuk memungkinkan dukungan berkepanjangan bagi inisiatif keberlanjutan baru di negara-negara bagian dan provinsi-provinsi anggota GCF.
Acara-Acara Mendatang UNFCCC COP-20 1-12 Desember, Lima, Peru
Hubungi Sekretariat GCF untuk menerima newsletter GCF.