INDONESIA GCF TRAINING PROGRAM 2015 Penguatan Kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk Masyarakat di Dalam dan Sekitar Kawasan Hutan (Penguatan Kelembagaan Pengelolaan Hutan di Tingkat Tapak)
BANDA ACEH, 26-29 AGUSTUS 2015
Didukung Oleh: Program Pelatihan GCF yang didanai oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD).
Dilaksanakan Oleh: Governors’ Climate and Forests (GCF) Task Force Yayasan Penelitian Inovasi Bumi (INOBU)
Kontak Sekretariat GCF Amelia Chizwala Peterson, J.D., LL.M Peneliti Senior (GCF Training & Network Lead) INOBU Silvia Irawan, Guntur C. Prabowo, & Bernadinus Steni Sugiarto
Pengantar Anggota GCF Indonesia telah menyelenggarakan beberapa kali pelatihan. Seri pelatihan tersebut merupakan usulan anggota berdasarkan kebutuhan yang disepakati tiap-tiap anggota. Dalam pelatihan bulan November 2014 di Balikpapan, anggota GCF mendalami tema kelembagaan perubahan iklim di daerah. Tema tersebut diangkat karena perubahan iklim sudah berkembang di berbagai daerah namun secara kelembagaan belum cukup kuat untuk menopang perkembangan tersebut. Pengalaman Kalimantan Timur mengembangkan Dewan Daerah Perubahan Iklim merupakan pelajaran menarik bagi daerah lain mengenai bagaimana perubahan iklim bisa menjadi isu mainstream dan didukung oleh kelembagaan yang fleksibel serta difasilitasi oleh Pemerintah Provinsi. Dalam pelatihan itu pula, peserta membahas perkembangan kelembagaan KPH yang bisa menjadi peluang untuk menerapkan komitmen pengurangan deforestasi di tingkat nasional maupun sub-nasional. Pelatihan di Balikpapan juga menyepakati Aceh sebagai tempat pelatihan berikut. Dinamika diskusi di Balikpapan yang menyoroti KPH sebagai salah satu kelembagaan strategis dalam pengelolaan hutan ke depan dilihat peserta pelatihan sebagai peluang untuk membumikan isu pembangunan rendah emisi dalam sektor kehutanan di daerah. Isu ini direspons oleh Aceh dengan mengusulkan tema pelatihan berikutnya tahun 2015 adalah KPH. Aceh sendiri bersedia sebagai tuan rumah karena telah menunjukan perkembangan yang signifikan dalam pembangunan sektor kehutanan berbasis KPH Daerah Aliran Sungai. Sehingga secara internal mereka mempunyai kapasitas substantif untuk sharing pengalaman pengembangan tujuh KPH. Karakter pelatihan yang dikembangkan anggota GCF Indonesia mempunyai tekanan pada sharing pengalaman. Peserta yang umumnya adalah birokrat lapangan yang melaksanakan kebijakan mempunyai kekuatan pada pengalaman mengembangkan dan menerapkan kebijakan dalam yurisdiksi maupun lingkup kewenangannya masing-masing. Progres kebijakan dan implementasi pembangunan rendah emisi di suatu daerah menjadi pelajaran bagi daerah lain baik untuk mengembangkan kebijakan serupa atau menciptakan kondisi yang diperlukan untuk membuat progres bisa terjadi. Karena itu, sharing pengalaman pengembangan KPH Aceh juga menjadi salah satu kekuatan utama pelatihan ini.
Konteks KPH Pembentukan KPH merupakan mandat UU No 41/1999 dan menjadi bagian penting dalam perencanaan kehutanan. Perencanaan kehutanan meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana kehutanan. Wilayah pengelolaan hutan adalah kesatuan pengelolaan hutan terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya, yang dapat dikelola secara efisien dan lestari, antara lain kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL), kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK), kesatuan pengelolaan hutan kemasyarakatan (KPHKM), kesatuan
pengelolaan hutan adat (KPHA), dan kesatuan pengelolaan daerah aliran sungai (KPDAS) (pasal 17 UU Kehutanan). Kementerian Kehutanan lebih lanjut menegaskan bahwa seluruh kawasan hutan di Indonesia akan terbagi habis dalam wilayah KPH (Kementerian Kehutanan, 2011). Karena itu, KPH menjadi regim pengelolaan yang sangat penting dan strategis dalam pengurusan hutan ke depan. Implementasi KPH dalam UU 41/1999 diatur lebih rinci dalam PP No. 06 Tahun 2007, yang mengatur bahwa satu unit pengelola KPH memiliki tugas dan tanggung jawab sebagai berikut: 1. menyelenggarakan pengelolaan kawasan hutan, yang meliputi penyusunan rencana pengelolaan hutan, penggunaan kawasan hutan, pelaksanaan tata batas hutan, rehabilitasi hutan dan reklamasi, perlindungan hutan dan konservasi; 2. menjabarkan kebijakan kehutanan nasional, provinsi, dan kabupaten/kota untuk diimplementasikan melalui rencana-rencana pengelolaan kawasan hutan dan sekitarnya; 3. melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayah masing-masing KPH, termasuk perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan serta pengendalian; 4. membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan pengelolaan hutan; 5. meningkatkan akses masyarakat untuk mengelola hutan melalui pengembangan skema kehutanan sosial berdasarkan kearifan/karakteristik lokal; dan 6. menyelesaikan konflik tenurial dengan mengembangkan skema kolaboratif atau kemitraan dalam pengelolaan hutan. Tugas dan tanggung jawab ini menunjukan bahwa KPH akan berperan dalam menyelesaikan tata batas kawasan hutan sehingga bisa mengurai secara perlahan persoalan tenure yang telah menjadi salah satu masalah klasik dan fundamental dalam pengaturan kawasan hutan. Hal ini sejalan dengan tugas KPH sebagai institusi yang menyelesaikan konflik tenurial pada tingkat tapak. Peran lainnya adalah KPH akan aktif mengembangkan unit bisnis yang mendorongnya untuk bekerja sama aktif dengan sektor swasta sembari meningkatkan peran serta masyarakat adat dan lokal secara inklusif dalam pembangunan kehutanan. Peran yang akan dijalankan KPH sejalan dengan visi dan misi yang didorong oleh GCF pada tingkat global. Karena itu, KPH menjadi kelembagaan yang memiliki peluang untuk mencapai target-target yang disepakati negara/provinsi anggota GCF. Di samping itu, peran strategis KPH dapat dilihat dari peningkatan alokasi budget dari tahun ke tahun. Pada 2010, KPH mendapat alokasi 10.57 milyar. Tahun 2014 angka itu naik menjadi 94,97 milyar rupiah. Hingga kini, terdapat 120 KPH contoh yang ditetapkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan1. KPH contoh ini masih diasuh oleh Pemerintah Pusat sampai saatnya bisa mandiri untuk mengelola kawasannya sendiri.
1
Kementerian Kehutanan, 2014, Regulasi dan Pembiayaan KPH, Disampaikan pada Semiloka NKB 12 K/L KPK Jakarta, 12 November 2014, Direktur Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Kemen LHK. http://acch.kpk.go.id/documents/10157/1817970/Regulasi+dan+Pembiayaan+KPH.pdf
Dalam UU Pemerintahan Daerah yang baru (UU No 23/2014), kewenangan atas KPH ditarik dari Kabupaten/Kota ke Provinsi. Akibatnya, enam tugas dan tanggung jawab yang disebutkan di atas akan beralih menjadi peran Provinsi. Di samping itu, Provinsi akan mempunyai kewenangan strategis dalam usulan pertimbangan teknis atas penetapan status dan fungsi kawasan hutan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan juga kewenangan memberikan beberapa jenis izin atas pemanfaatan kawasan hutan maupun hasil hutan. UU yang baru ini hampir tidak memberikan kewenangan apapun atas hutan bagi Kabupaten/Kota. Sehingga secara kelembagaan peran Pemerintah Provinsi sangat strategis atas pengelolaan kawasan hutan di daerah. Hal ini tentu sangat terkait dengan pendekatan GCF yang fokus pada yurisdiksi di tingkat Provinsi. Konteks KPH yang demikian itulah yang menjadi alasan pentingnya melakukan sharing dan sekaligus pendalaman mengenai KPH untuk mencapai pembangunan rendah emisi yang menjadi tujuan GCF dan juga upaya global mengatasi perubahan iklim.
Tujuan Pelatihan Tujuan pelatihan adalah untuk meningkatkan kapasitas dinas/instansi kehutanan provinsi dalam melakukan perencanaan, pengelolaan, dan juga pemantauan terkait dengan KPH. Karena itu, fokus pelatihan ini mencakup: 1) Mengulas peraturan yang sudah ada terkait dengan KPH untuk memahami tantangan dan peluang guna mempercepat pembentukan dan berjalannya KPH 2) Masalah teknis – inventarisasi hutan, teknologi yang digunakan dalam proses pemantauan, serta pemanfaatan hutan dan lainnya. 3) Model Bisnis dalam pelaksanaan KPH – rencana keuangan untuk membiayai KPH dan membantu pembangunan sosio-ekonomi masyarakat sekitar 4) Resolusi konflik – strategi untuk menyelesaikan konflik dengan masyarakat yang tinggal di sekitar dan di dalam kawasan hutan.
Output yang Diharapkan Adanya peningkatan pemahaman peserta mengenai perencanaan, pengelolaan, dan juga pemantauan KPH. Pemahaman tersebut antara lain berkaitan dengan peraturan terkait KPH, proses teknis inventarisasi hutan, teknologi yang digunakan dalam proses pemantauan, serta pemanfaatan hutan dan lainnya, pengembangan model bisnis dan resolusi konflik
Format Pelatihan KPH merupakan hasil dari suatu diskusi akademik yang panjang berdasarkan penelitian dan perbandingan atas pengelolaan kawasan hutan dari masa ke masa. Karena itu, di belakang konsep KPH terdapat banyak pakar yang telah terlibat baik dalam rancang bangun konsep maupun peraturan KPH. Di bidang ini, beberapa pakar terkemuka yang telah menjadi
rujukan di berbagai forum lainnya menjadi narasumber utama dalam pelatihan ini. Selain itu, pengambil kebijakan terkait KPH di tiga instansi utama yang menentukan perjalanan KPH dari waktu ke waktu yakni Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga hadir. Karena itu, format pelatihan ini adalah ceramah, diskusi pendalaman dan elaborasi contoh-contoh yang diangkat dari pengalaman masing-masing provinsi kemudian mendapatkan tanggapan dari narasumber. Diharapkan akumulasi dari proses ini akan menghasilkan pengetahuan yang lebih solid bagi peserta. Format ini kami kemas dalam tiga hari yang dimulai dari konsep hingga praktek KPH. Di dalamnya terdapat proses saling sharing antara Provinsi sekaligus tanggapan dari narasumber. Hari pertama peserta diingatkan kembali mengenai konsep KPH, sejarahnya, model-model pengelolaan, kelembagaannya dan peraturan-peraturan utama yang mendukung pelaksanaanya. Selain itu, diketengahkan pula konsep model bisnis dalam KPH dan prinsipprinsip serta cara menerapkannya. Narasumber yang mengisi materi-materi ini adalah pakar yang tidak hanya paham tetapi juga terlibat dalam pengembangan KPH baik di tingkat nasional maupun di daerah. Peserta juga diberikan kesempatan yang memadai untuk menyampaikan komentar mereka berdasarkan pengalaman menerapkan KPH. Isuisu perubahan peraturan yang sedang berlangsung dan berimplikasi pada KPH juga turut dibahas. Sebagian besar narasumber dan beberapa peserta terlibat dalam perumusan dan pembahasan peraturan-peraturan tersebut. Sehingga ajang pelatihan ini menjadi kesempatan untuk saling share mengenai konsep yang tepat untuk KPH yang dituangkan dalam aturan-aturan yang baru tersebut. Hari Kedua dirancang untuk menunjukan kepada peserta pilihan metode pemantauan KPH dan merancang model-model yang tepat dalam penyelesaian konflik. Substansinya lebih pada teknis dan tahapan metode sehingga mengundang peserta untuk melihat kemungkinan menggunakan metode-metode tersebut dalam menerapkan KPH. Narasumber merupakan pakar yang mempunyai pengalaman yang panjang dan dalam terhadap isu-isu yang mereka kemukakan. Hari Ketiga merupakan field trip yang dirancang oleh tuan rumah ke salah satu kawasan lindung dimana KPH sudah ditetapkan. Hal ini menjadi kesempatan bagi peserta untuk melihat bagaimana Aceh telah mengembangkan kawasan hutannya menjadi KPH sekaligus promosi model bisnis yang terkait dengan kawasan tersebut.
Peserta dan Penyelenggara Peserta adalah pegawai Dinas Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup dari enam Provinsi, Dinas Perkebunan yang sangat erat kaitannya dengan kawasan hutan, Task Force Pembangunan Rendah Emisi, dan perwakilan dari pengelola KPH. Tuan rumah pelatihan ini adalah Dinas Kehutanan Provinsi Aceh.
Hari Pertama Pembukaan oleh Gubernur Aceh yang Diwakili oleh Kepala Dinas Kehutanan Aceh Kepala Dinas Kehutanan Aceh menyampaikan beberapa gambaran umum mengenai pengelolaan KPH berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS) di Aceh. Menurut Kepala Dinas, Aceh merupakan provinsi dengan tutupan hutan paling baik di Sumatera yakni sebesar 58.9 %. Berdasarkan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan KEPMENLHK Nomor: SK.103/MenLHK-II/2015, luas kawasan hutan dan perairan Aceh sebesar 3.557.928 Ha (62%) atau 58,96% dari luas daratan. Komposisinya adalah hutan konservasi seluas 1.058.144 Ha, Hutan Lindung: 1.788.266 Ha, Hutan Produksi: 711.519 Ha, Hutan Produksi Terbatas: 141.771 Ha, Hutan Produksi Tetap: 554.339 Ha, dan Hutan Produksi Konversi : 15.409 Ha.
Penyampaian Materi Pembuka dari Pak Husaini Syamaun, Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Aceh
Perencanaan kehutanan sudah berusaha mengakomodasi beberapa persoalan kehutanan yang umum terjadi di berbagai daerah. Misalnya, untuk penyelesaian tenurial telah disepakati solusinya yakni perubahan dari kawasan menjadi bukan kawasan hutan sebesar ± 80.256 ha. Namun pada saat yang sama Aceh tetap berusaha mempertahankan tutupan hutan dengan mengubah bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan sebesar ± 26.241 ha. Deforestasi di Aceh dipicu sebagian besar oleh kegiatan budidaya yakni sebesar 68 %. KPH di Aceh sudah terbentuk berdasarkan Peraturan Gubernur No 20/2013 dengan wilayah kerja berbasis DAS. Pengelolaan KPH berbasis DAS dilakukan karena kawasan hutan merupakan kesatuan ekosistem, satu rencana, dan dengan satu sistem pengelolaan. Selain itu, DAS memungkinkan pengelolaan kawasan hutan dilakukan dengan melibatkan para pemangku kepentingan, terkoordinasi, menyeluruh dan berkelanjutan (Tidak Sektoral). Selain itu, pengelolaan kawasan hutan dg berbasis DAS lebih adaptif terhadap kondisi spesifik dan perubahan kondisi yang dinamis sesuai dengan karakteristik DAS. Saat ini sudah ditetapkan tujuh wilayah KPH (tabel 1.1).
Tabel 1.1: KPH Provinsi Aceh berbasis DAS KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN
WILAYAH KELOLA DAS
KPH wilayah I
Kelompok DAS: *Kr. Aceh, Kr. Baroo, Kr. Sabee, Kr. Teunom, Alue Setui dan Alue Raya (berkedudukan di Aceh Besar);
KPH wilayah II
Kelompok DAS: Kr. Meureudu, Kr. Peusangan dan Kr. Pase (berkedudukan di Bener Meriah); Kelompok DAS: Kr. Jambo Aye, Kr.Peureulak dan Kr. Tamiang (berkedudukan di Aceh Timur); Kelompok DAS: Kr. Woyla, Kr. Merbou dan Lae Lasikin (berkedudukan di Aceh Barat/Nagan Raya); Kelompok DAS: Kr. Tripa dan Kr. Kuala Batee (berkedudukan di Gayo Lues); Kelompok DAS: Kr. Kluet, Kr. Singkil/Lawe Alas dan Kepulauan Banyak (berkedudukan di Subulussalam); Kelompok hutan Seulawah Agam dan Seulawah Inong.
KPH wilayah III KPH wilayah IV KPH wilayah V KPH wilayah VI KPH Tahura PMI (Pocut Meurah Intan)
*Kr: Krueng: Sungai KPH menjadi salah satu peluang bagi Aceh untuk mulai meningkatkan pendapatan dari hasil hutan bukan kayu. Per Juli 2015, pendapatan dari HHBK di tingkat Provinsi sudah mencapai 1.2 milyar Rupiah. Sementara dari Kabupaten kurang lebih 320 juta Rupiah. Secara struktural, KPH merupakan bagian dari Dinas Kehutanan di bawah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) yang diisi oleh Kepala KPH golongan IV/a
Panel 1 Pakar 1: Ir. Basah Hernowo, MA (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional): Kebijakan Nasional Terkait KPH Dan Pembiayaan KPH (RPJMN Dan Target-Target) Narasumber ini menyampaikan bahwa KPH merupakan bagian dari program NAWACITA Presiden Joko Widodo. Hal ini telah diterjemahkan lebih lanjut dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019 Buku II khususnya pembangunan bidang pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Disana bidang yang secara khusus terkait KPH adalah (1) peningkatan produksi hasil hutan dan pengembangan jasa lingkungan, dan (2) peningkatan konservasi dan tata kelola hutan serta pengelolaan DAS. Keduanya menargetkan Terkait peningkatan produksi dan jasa lingkungan, RPJMN mengarahkan agar terjadi peningkatan produksi dan produktivitas sumber daya hutan, penerapan prinsip pengelolaan hutan lestari, penerapan prinsip tata kelola hutan yang baik, pemberian jaminan legalitas hasil hutan kayu dan produk kayu, dan meningkatkan keterlibatan masyarakat sebagai mitra usaha. Sasarannya adalah: 1. Mengembangkan 347 unit KPHP
2. Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan alam menjadi 29 juta m3 3. Meningkatnya produksi kayu bulat dari hutan tanaman menjadi 160 juta m3 4. Meningkatnya nilai ekspor produk kayu menjadi USD 32,5 miliar
Pemaparan materi yang disampaikan oleh Pak Basah Hernowo
Strategi untuk mencapai sasaran di atas adalah dengan: 1. Meningkatkan tata kelola kehutanan: pemisahan peran administrator (regulator) dengan pengelola (operator) 2. Deregulasi dan de-bottlenecking peraturan perundang-undangan yang birokratis dan tidak pro investasi 3. Optimalisasi pemanfaatan sumber daya hutan sejak industri hulu hingga industri hilir dengan mengembangkan forest based cluster industry 4. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas industri hulu dan hilir untuk meningkatkan nilai tambah Menurut narasumber, KPH merupakan kesempatan untuk melakukan perubahan fundamental pada cara pandang pengelolaan hutan dari regim perizinan menjadi pengelolaan. Dalam regim pengelolaan, Pemerintah harus mengembangkan KPH dalam prinsip kewirausahaan dengan mengubah setiap peluang pengelolaan kawasan menjadi aset. Wirausaha dalam mengembangkan bisnis baru yang meningkatkan pendapatan nasional dan memberikan perubahan sosial secara positif. Dari pihak KPH sebagai operator, pengelolaan membutuhkan pendanaan, sarana-prasarana, pasar, sumber daya manusia dan material yang bisa dijadikan obyek bisnis. Pendanaan bisa diperoleh dari berbagai sumber baik sumber dalam negeri maupun luar negeri. Pengelola KPH harus mampu menciptakan permintaan agar dana-dana luar negeri bisa masuk. Prinsipnya adalah tata kelola yang baik (good forest governance), menjadikan forest based business sebagai business utama, menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan (HHK, HHBK, Jasling, dsb), revenue diluar forest based business dianggap sebagai bonus/income tambahan, dan memenuhi persyaratan penyandang dana. Sementara material yang bisa dijadikan obyek bisinis antara lain Hasil Hutan Kayu (HHK), Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan Jasa Lingkungan (Jasling). Masing-masing obyek ini harus dikelola dengan menggunakan prinsip pengelolaan hutan secara berkelanjutan.
Sumber daya manusia adalah salah satu aspek yang paling penting. Saat ini SDM KPH masih menjadi bagian dari aparatur negara (PNS) harus dikembangkan berdasarkan kebutuhan selama perkembangan KPH. Seharusnya ke depan karakter SDM KPH bisa mengikuti perkembangan pengelolaan unit bisnis KPH yang perlahan-lahan mandiri (diagram). Pada tahap sekarang ini, KPH masih dalam tahap pionir. Karena itu, kelembagaan KPH sekarang mengikuti karakter lembaga yang masih disapih dan membutuhkan dana APBN. Pada tahap maintaining, KPH sudah bisa mengakses layanan BLU. Unit bisnis pada tahap ini seharusnya sudah bisa mengembalikan dana negara. Pada tahap profesional, KPH sepenuhnya mandiri dengan mengurus bisnisnya sendiri dan menghidupi dirinya sendiri. SDM yang mengisi KPH pun harus profesional mengikuti kebutuhan perkembangannya. BUSINESS EXPANSION BUSINESS Operator KPH juga harus mampu MAINTAINING RELATED membaca pasar. Narasumber HUMAN RESOURCE mengemukakan tujuh kapasitas BUSINESS RELATED PIONEERING HUMAN yang harus dipenuhi operator KPH RESOURCE dalam kaitannya dengan pasar, RELATED yakni kemampuan memahami HUMAN pelanggan (customer), menganalisis RESOURCE kecenderungan pasar, menganalisis pesaing, merumuskan pasar yang kombinasi, menentukan posisi pasar, menghitung biaya pasar, dan akhirnya menjalankan rencana.
Narasumber menyampaikan beberapa contoh konkrit pengelolaan unit bisnis KPH, misalnya skeme tumpang sari, silvo pasture, akomodasi, rekreasi, hasil hutan bukan kayu seperti madu, buah-buahan, obat-obatan, dan sebagainya, energi baru yang terbarukan. Menurut narasumber, berdasarkan analisis pasar maka KPH dalam satu Provinsi seharusnya menyesuaikan masing-masing produk unggulannya agar tidak tumpang tindih sehingga tidak saling menjatuhkan. Tetapi perlu saling mendukung satu sama lain berdasarkan orientasi pasar yang jelas. Pakar 2: Ir. Ali Djajono (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan): Sejarah, Konsep, Model-Model Pengelolaan Dan Perkembangan Implementasi KPH: Perspektif Kebijakan Dan Peran Dinas Kehutanan Provinsi Narasumber ini menyampaikan dua bagian utama presentasi. Pertama, pembelajaran pembangunan KPH sampai dengan 2014. Hal ini antara lain mencaku uraian mandat KLHK dan kebijakan maupun hasil pembangunan KPH periode 2009-2014. Kedua, isu aktual pembangunan KPH yang mencakup konsep kelembagaan KPH, Kelembagaan di KLHK, sumber daya yang dibutuhkan dan juga UU No 23/2014.
Pemaparan KPH yang disampaikan oleh Pak Ali Djajono
Presentasi bagian pertama memberikan gambaran mengenai sejumlah peraturan perundang-undangan yang bersifat umum, khusus dan teknis yang telah dibentuk untuk mendukung pelaksanaan KPH. Yang umum misalnya UU No 41/1999 tentang Kehutanan, PP No 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Yang Khusus adalah PP No. 6 Tahun 2007 jo PP No 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Yang teknis antara lain Permenhut No. P.6/MenhutII/2009 tentang Pembentukan Wilayah KPH dan Permenhut No. P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma Standar Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut KLH mengembangkan delapan program kehutanan melalui Rencana Strategis 2010-2014. Salah satu indikator kinerja utama (IKU) dari pelaksanaan rencana tersebut adalah Wilayah kesatuan pengelolaan hutan (KPH) ditetapkan di setiap provinsi dan beroperasinya 120 KPH (20% wilayah KPH yang telah ditetapkan). Presentasi bagian kedua memberikan gambaran mengenai isu-isu aktual dalam tahapan pengembangan KPH. Pada tahap pembangunan KPH ada tiga langkah utama yang harus dijalani yakni: (1) pembentukan wilayah KPH berupa KPHL dan KPHP dan pembentukan KPHL dan KPHP model. (2) pembentukan kelembagaan yang mencakup organisasi, personil KPH, sarana dan prasarana, dan anggaran, (3) membuat rencana KPH yakni berupa penyusunan tata hutan dan rencana pengelolaan hutan dan rencana strategi bisnis. Tahap berikutnya adalah operasionalisasi KPH yang fokus pada pengelolaan hutan. Di dalamnya terdapat beberapa kegiatan utama yakni: (1) penyelenggaraan pengelolaan hutan, (2) penjabaran kebijakan kehutanan nasional, provinsi dan kabupaten/kota, (3) pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan pada wilayah tertentu, (4) pelaksanaan pemantauan dan penilaian pada wilayah yang telah diberi ijin pemanfaatan hutan, dan (5) pengembangan peluang investasi. KLHK telah melakukan evaluasi atas kinerja 120 KPH model yang indikatornya disusun berdasarkan dua tahapan utama pengembangan KPH yakni tahap pembangunan dan tahap operasionalisasi dan langkah-langkah pengembangannya di atas. Berdasarkan dua kategori tersebut maka hasil evaluasi per Februari 2015 menunjukan kecenderungan perbaikan dari waktu ke waktu (tabel 1.2).
Tabel 1.2: Evaluasi KPH internal KLH KLASIFIKASI
FASILITASI TAHUN s.d. 2012 (Unit KPH)
FASILITASI TAHUN 2013 (Unit KPH)
FASILITASI TAHUN 2014 (Unit KPH)
JUMLAH (Unit KPH)
Sangat Baik
35
3
1
39
Baik
18
14
5
37
Cukup Baik
3
9
8
20
Kurang Baik
4
4
16
24
JUMLAH TOTAL
60
30
30
120
Dengan demikian masih terdapat 24 KPH model yang pembangunannya kurang baik sehingga operasionalisasinya pun tidak berjalan maksimal. Jumlah KPH yang perkembangannya sangat baik lebih banyak yakni 39 KPH. Dalam keorganisasian baru KLHK, KPH tetap mendapat prioritas sekaligus dukungan peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMN) 2015-2019. Misalnya disebutkan bahwa target peta penetapan dan kelembagaan KPHL pada 2019 adalah sebanyak 182 unit, KPHP sebanyak 347 unit (tabel 1.3). Menurut narasumber RPJMN memberikan perhatian serius terhadap perkembangan KPH sebagai solusi sistemik terhadap berbagai masalah kehutanan selama ini. Tabel 1.3: Target capaian KPH 2015-2019 Indikator Unit 1 2
s/d 2014
2015 2016 2017 2018 2019
Peta Penetapan dan Kelembagaan KPH KPHL (409 KPHL/ KPHP) KPHP
40
80
120
160
182
80
149
209
269
347
Rencana Pengelolaan KPH (409 KPHL/KPHP)
KPHL
40
80
120
160
182
KPHP
80
149
209
269
347 160 182
3
KPHL yang beroperasi (Satuan KPHL)
40
80
120
4
KPHP yang beroperasi di hutan produksi (Satuan KPHP)
80
149
209 269 347
Target-target baru ini menjadi peluang sekaligus tantangan bagi pengembangan KPH ke depan. Secara organisasi, KPH telah mendapat prioritas penting di KLHK melalui pengarusutamaannya ke dalam empat Ditjen, yakni: Ditjen Planologi, Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem dan Tata Lingkungan, Ditjen Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung dan Ditjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari.
Pakar 3: Ir. Anas Mahmudi (Kepala KPH wilayah III Aceh): Model-Model Rencana Pengelolaan KPH (Lindung, Produksi, Konservasi) Pemberdayaan Masyarakat Dan Penyelesaian Konflik Pembicara menyampaikan pemaparannya berdasarkan pengalaman membangun KPH. KPH wilayah III berbasis pada dua DAS utama yakni : Krueng Peruelak-Tamiang dan Krueng Jambo Aye dengan areal seluas ± 657.176 Ha. Dua DAS ini mencakup 6 wilayah Kabupaten dan 1 wilayah kota. KPH III sudah ditetapkan berdasarkan SK.993/Menhut-II/2013 27 Desember 2013 dan SK 932/Menhut-II/2014 31 Desember 2014. Dari luas ± 657.176 hektar, komposisinya berdasarkan fungsi adalah kawasan hutan lindung seluas kurang lebih 400.200 hektar, kawasan hutan produksi tetap seluas kurang lebih 256.300 hektar dan kawasan hutan produksi konversi 676 hektar. Pengelola KPH sudah mengembangkan dan menerapkan rencana pengelolaan kawasan, rancangan kelembagaan dan pengelolaan usaha KPH. Dalam rencana pengelolaan kawasan, sudah dibikin wilayah kerja dua DAS utama KPH ini yang merupakan gabungan dari beberapa sub-DAS. KPH juga sudah memetakan tutupan lahan hutan yakni Hutan Lahan Kering Sekunder: ± 60 %, Hutan Lahan Kering Primer : ± 25 %, Hutan Mangrove Sekunder : ± 5 %, Tambak dan Lahan Terbuka : ± 2 %), dan Alangalang & belukar: ± 8 %. Di samping itu, sudah teridentifikasi pula peta lahan kritis yakni yang berkategori agak kritis sampai kritis kurang lebih 233.807 ha. Elemen lain yang masuk dalam rencana pengelolaan kawasan adalah peta wilayah BKPH dan sebaran potensi, peta areal perambahan, desain tata hutan, rencana rehabilitasi hutan, dan peta perizinan dalam KPH. KPH juga menjalankan kegiatan pengamanan hutan antara lain operasi illegal logging dan kesepakatan pengembalian lahan dengan masyarakat yang membuka kebun dalam kawasan hutan. Sejak 2010-2011 terdapat 11 warga masyarakat yang menyepakati pengembalian lahan kepada KPH dengan total luas 1.071, 46 ha. Terkait rancangan kelembagaan, KPH III mempersiapkan diri untuk menjadi PPK-BLUD, menyediakan tenaga yang memadai dan sarana prasarana untuk operasionalisasi KPH. Pada tahun 2014, jumlah personel KPH III adalah 65 orang. Pada 2015 meningkat menjadi 74 orang. Sarana dan prasarana merupakan aspek kelembagaan yang paling minim. Kendaraan roda empat hanya satu yang disediakan oleh KLHK. Kendaraan roda dua hanya dua. Fasilitasi ini tentu tidak cukup untuk memantau luas wilayah KPH lebih dari 650.000 ha. Dalam hal pengelolaan usaha KPH, KPH III telah membuat empat skema pemanfaatan hutan yakni: (1) swakelola, (2) kemitraan dengan masyarakat, BUMN/D/S, UMKM, dan koperasi, (3) perizinan dan (4) pemberdayaan masyarakat. Swakelola dan kemitraan akan dikembangkan melalui upaya rehabilitasi, pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan HHK HA, pemanfaatan HHK HT, pemanfaatan HHBK/Jasling, dan pengolahan HHK dan HHBK. Sementara perizinan dikembangkan melalui skema IUPHHK HA, IUPHHK HT, Ijin Pemanfaatan Kawasan Hutan, Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu/Jasa Lingkungan, dan Hutan Tanaman Rakyat (HTR). Sementara pemberdayaan masyarakat akan ditempuh melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, dan Kemitraan.
Diskusi dan Tanya Jawab Sebagian besar pertanyaan maupun komentar dalam diskusi ini diarahkan pada presentasi KLHK karena perubahan struktur KLHK mempengaruhi struktur keorganisasian KPH. Pertama, peserta meminta tanggapan KLHK mengenai rencana pengelolaan usaha KPH yang lebih konkrit. Usulan Bappenas seharusnya bisa menjadi contoh agar masing-masing KPH bisa saling mendukung satu sama lain, minimal dalam satu wilayah yurisdiksi. Di beberapa tempat ada Pemerintah Daerah (Dinas Kehutanan) yang justru menolak KPH karena menganggap kebijakan ini sebagai resentralisasi kehutanan. Misalnya, Kalimantan Barat. Kedua, peserta juga meminta tanggapan KLHK mengenai kasus saling bersaing antara KPH dengan tambang. Misalnya di KPHP Mahakam Kaltim di dalamnya terdapat 90 % potensi gas dan minyak. Selain itu juga ada masyarakat yang mengelola tambak. Bagaimana mengatasi kompetisi nilai ekonominya antara beberapa jenis potensi tambang yang justru berseberangan dengan maksud pengelolaan KPH. Ketiga, meminta narasumber untuk memperjelas kembali isu status kawasan dalam KPH. Apalagi ada perbedaan antara peta dasar kehutanan dengan peta kawasan hutan provinsi (kasus Kaltim). Kemudian memperjelas peran dan tanggung jawab Dinas Kehutanan supaya tidak saling tumpang tindih dengan KPH. Keempat, peserta memberikan komentar bahwa otoritas pengelolaan KPH seharusnya diperjelas. Tidak boleh ada KPH pusat dan KPH daerah. KPH adalah unit pengelolaan yang harus menjadi kesempatan bagi daerah untuk menjalankan kewenangannya atas hutan. Karena itu, semangat pengelolaan KPH harus terefleksi dalam perubahan PP Perencanaan dan PP Pengelolaan. Untuk menjalankan kewenangan, KPH harus didukung oleh sumber daya manusia yang kuat. Kelima, Papua secara khusus menggarisbawahi implikasi dari putusan MK 35 terhadap implementasi KPH. Seharusnya Papua dengan Otsus mempunyai model implementasi tersendiri terhadap KPH. Respons Narasumber Narasumber dari KLHK menyetujui beberapa komentar dan lebih lanjut menanggapi kasus Kalbar yang belum membentuk KPH. Menurut narasumber, Dinas Kehutanan setempat masih berorientasi izin sehingga KPH nampaknya dianggap sebagai gangguan atas orientasi tersebut. Terkait dengan persaingan pemanfaatan di wilayah KPH, menurut narasumber tambak bisa dikembangkan di wilayah KPH tetapi harus tetap mempertahankan prosentase tertentu untuk hutan bakau.
Panel 2 Pakar 1: Prof. Dr. Agus Setyarso (Seknas KPH): Penyusunan Rancangan Pembiayaan Dan Model Bisnis: Perkembangan Konsep Dan Implementasi KPH: Tantangan Dan Peluang Untuk Model Bisnis KPH (Perspektif Akademik) Narasumber ini merupakan pakar kehutanan yang sejak awal membangun KPH. Dia memulai sesi ini dengan menampilkan salah satu jenis produk kopi dari KPH wilayah II Aceh yang dijual di pasar seharga Rp. 400.000/kg. Produk ini menegaskan kembali latar belakang pemikiran pembentukan KPH yakni bahwa KPH harus mandiri, tidak lagi bergantung pada APBN dan atau APBD. KPH juga harus meningkatkan pendapatan masyarakat. Karena itu, hanya KPH yang “kaya” yang mampu memenuhi mandat tersebut. Untuk mencapai KPH yang mampu maka KPH harus dikelola oleh profesional, bukan oleh birokrat dan KPH harus berbisnis, meskipun tidak boleh mengutamakan profit/keuntungan. Menurut narasumber, dalam KPH tidak ada yang tidak bisa dijadikan bisnis. Konflik pun bisa dikembangkan menjadi profit jika menjadi kesempatan untuk pihak lain melakukan penelitian. Dana penelitian tersebut bisa dijadikan sumber pendapatan bagi KPH yang digunakan untuk menyelesaikan konflik. Karena itu, pengelola KPH harus dilatih untuk menggunakan beberapa konsep pengelolaan bisnis yang lebih berorientasi profit dan menghindari penggunaan bahasa NGOs maupun administrasi birokrasi. Misalnya, partisipasi atau pelibatan harus diganti menjadi “joint venture” atau “Badan Usaha Bersama”. Untuk menuju manajemen profesional KPH maka diperlukan langkah-langkah, sebgai berikut: 1. Mengamankan pelaksanaan pengelolaan DAS pada wilayah KPH, yang terdiri dari: a. Pemeliharaan kinerja DAS b. Pemulihan fungsi DAS 2. Ekplorasi potensi HHBK, Jasling, dan non-komoditas 3. Eksplorasi potensi pengembangan HHK di areal hutan produksi 4. Mengeksplorasi joint products 5. Mengeksplorasi potensi community venturing 6. Mengamankan rencana strategis usaha ke dalam RPHJP (Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang) KPH 7. Mengoperasikan melalui professionals yang bila perlu bersertifikat Langkah-langkah ini dikembangkan dalam tahapan pengembangan usaha pada KPH. Ada lima tahapan pengembangan usaha yakni: (1) menetapkan KPH sebagai business model spesifik, (2) Penetapan Kelas Perusahaan, (3) Rencana Bisnis untuk Kelas Perusahaan, (4) Business Safeguards, dan (5) Manajemen Investasi untuk Bisnis.
Sesi Penyampaian Materi dari Prof. Dr. Agus Setyarso
RPHJP mempunyai hubungan dengan lima tahapan pengembangan usaha di atas karena RPHJP merupakan dokumen untuk memastikan KPH dikembangkan berdasarkan rencana. RPHJP-KPH disusun untuk menjelaskan bagaimana KPH akan dikelola selama 10 tahun mendatang. RPHJP-KPH seharusnya mempunyai “plus” berupa business model. Jika RPHJP-KPH tidak memuat business model, maka business model harus disusun tersendiri, dengan menggunakan RPHJP-KPH sebagai sumber acuan utama. Berdasarkan tahapan pengembangan usaha di atas, narasumber mengemukakan contohcontoh kasus potensi usaha di KPH. Kasus pertama adalah pengelolaan ikan betutu di KPHL Model Kapuas, Kalimantan Tengah (box 1). KPHL Kapuas ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK. No. 247/Menhut-II/2011. Total luas arealnya adalah 105.372 hektar. Box 1: Potensi Ikan Betutu KPH Kapuas Kelas perusahaannya adalah ikan betutu. Pengelolaan lahan per hektar untuk tahap pertama pada lahan seluas 100 Ha adalah Rp. 50.000.000 per hektar maka total biaya pengelolaan untuk 100 ha adalah Rp. 5 Miliar. Biaya bangunan hatchery (tempat pembenihan, peralatan, dan bangunan lainnya) adalah Rp 1 Miliar. Pengamanan (pagar dan lainnya) sebesar Rp. Rp 1 Miliar. Pakan dan obat-obatan adalah Rp. 1 Miliar. Pengadaan dan perawatan induk bisa mencapai Rp. 500 juta. Overhead (Gaji karyawan dll) sebear Rp 7 Miliar. Karena itu, total biaya adalah Rp. 15,5 Miliar. Dari pengeluaran demikian, penerimaannya bisa mencapai Rp. 200 Milyar/tahun. Angka ini dihitung dari harga Rp 100,000/kg dan 20 ton perhektar per tahun. Pendapatan bersih setelah dikurangi pengeluaran adalah Rp. 150 Miliar. Dari jumlah ini, distribusinya Rp 100 Miliar untuk masyarakat, Rp 20 Miliar untuk PAD, dan Rp 30 Miliar untuk operasi KPH Kasus berikutnya adalah potensi bisnis pinang dari KPHL Sungai Beram Hitam (box 2). KPHL ini berlokasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Provinsi Jambi dan ditetapkan sebagai KPH Model oleh oleh Menteri Kehutanan melalui SK. 787/Menhut-II/2009 Desember 2009. Luas wilayahnya adalah 15.965 ha dan semuanya adalah hutan lindung.
Box 2: Potensi pinang KPH Beram Hitam Kelas perusahaan adalah pinang. Pinang ditanam di areal kerja yang rusak dan berdekatan dengan pemukiman masyarakat lokal. Budidaya pinang dilatihkan kepada kelompok masyarakat. Jarak tanam 3x3 meter. Pinang diharapkan mulai berproduksi pada tahun ke4. Biaya produksi per hektar Rp 25,000,000 (tidak termasuk pembelian lahan). Produksi buah basah 20 ton per tahun – produksi biji kering per hektar per tahun ± 4 ton, mulai tahun ke 4. Harga per kg biji pinang kering adalah Rp 10,000/kg. Penerimaan diperkirakan mencapai Rp 40,000,000. Pendapatan bersih Rp. 35,000,000. ha/tahun mulai tauhn ke 4. Grace period adalah 3 tahun. Pay back period tercapai pada tahun 6. NPV terjadi pada periode 10 tahun yakni Rp 122 juta/ha. B/C ratio 5.88. Dengan luas lahan 1000 ha dan ditanam di bok penyangga maka KPH Bram Hitam bisa meraup pendapatan RP 122 Miliar per tahun, mulai tahun ke-7. Distribusi pendapatan adalah Rp 90 Miliar untuk masyarakat, Rp 12 Miliar untuk PAD, Rp. 20 Miliar untuk biaya operasional KPH. Pakar 2: Justiman Situngkir, SE, MSi, (Bagian Kelembagaan Biro Organisasi Sekertaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri): Organisasi KPH dan UU No 23/2014 Pembicara menguraikan beberapa dasar hukum yang menjadi pijakan dalam penataan kelembagaan perangkat daerah, termasuk KPH. Empat peraturan utama adalah: UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, PP No. 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, Permendagri No.57 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah, dan Permendagri No 56 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Permendagri No 57 Tahun 2007 Berdasarkan UU No 23/2014 maka urusan pemerintahan yang dibagi antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota (urusan Konkuren) seharusnya berjumlah 32 urusan (Urusan wajib: 24 dan urusan pilihan: 8 – kehutanan adalah salah satu urusan pilihan). Namun dalam prakteknya jumlah tersebut akan tetap dibatasi karena kalau semua urusan itu diserahkan maka implikasinya adalah pembebanan yang berlebihan pada APBD. Kalaupun dipaksakan maka urusan tersebut tidak akan diterapkan karena tidak ada sokongan budget. Karena itu, revisi PP 41/2007 akan membatasi urusan yang diserahkan ke daerah. Dalam kaitannya dengan KPH, menurut narasumber berdasarkan UU No 23/2014 di daerah tidak ada lagi kantor tetapi hanya dinas. KPH akan tetap diwadahi dalam revisi PP 41 meskipun UU No 23/2014 tidak menyebut mengenai lembaga teknis di tingkat daerah. Berdasarkan UU Pmerintahan Daerah yang lama, penentuan KPHL/KPHP terdiri dari tipe A dan tipe B. Struktur eselonnya adalah sebagai berikut: Kepala KPHL dan KPHP Provinsi dan Kabupaten/Kota Tipe A adalah jabatan struktural eselon III.a. Kepala Subbagian Tata Usaha dan Kepala Seksi KPHL dan KPHP Provinsi dan Kabupaten/Kota tipe A, adalah jabatan struktural eselon IV.a. Kepala KPHL dan KPHP Provinsi dan Kabupaten/Kota Tipe B adalah jabatan struktural eselon IV.a.
Kepala Subbagian Tata Usaha KPHL dan KPHP Provinsi dan Kabupaten/Kota tipe B adalah jabatan struktural eselon IV.b.
Namun UU No 23/2014 sudah membuat perubahan mendasar pada KPH. Kewenangannya ditarik ke Provinsi sehingga struktur eselon KPH juga akan dikembangkan di bawah struktur di tingkat Provinsi. Diskusi dan Tanya Jawab Peserta mengangkat beberapa isu yang sudah mulai dibahas selama sesi pertama terkait kelembagaan KPH. Karena itu, fokus pertanyaan ini banyak diarahkan kepada narasumber dari Kementerian Dalam Negeri. Pertama-tama, peserta mempertanyakan kriteria dan alasan-alasan mengapa KPH dimasukan dalam tipe A dan B. Pertanyaan ini juga sejalan dengan pertanyaan peserta lain yang mempertanyakan salah satu syarat untuk masuk dalam pengelolaan KPH adalah Sarjana Kehutanan. Syarat ini sulit dipenuhi karena tidak semua daerah mempunyai stok Sarjana Kehutanan yang memenuhi syarat-syarat dalam ketentuan. Sebuah komentar sekaligus usulan terkait hal ini disampaikan oleh seorang peserta dengan menggarisbawahi pentingnya peraturan dan penetapan KPH yang responsif terhada konteks lokal. Regulasi perlu mempertimbangkan dinamika KPH di lapangan, ada KPH yang sudah siap dan ada yang belum. Karena itu, tidak boleh diseragamkan. Sebuah usulan lain dari Papua mengutarakan bahwa sebaiknya KPH tidak lagi dipilah menjadi KPHL maupun KPHP karena pada dasarnya KPH tidak boleh dikungkung oleh kelembagaan KLHK yang membagi secara tegas antara kelembagaan produksi, lindung dan konservasi. Dalam kenyataannya sulit memisahkan pengelolaan fungsi-fungsi ini. Ketika sebuah KPH terdiri dari dua fungsi, operator KPH akan berhadapan dengan dua struktur yang kompleks. Selanjutnya bagaimana status kelembagaan KPH saat ini mengingat aturan payungnya telah berubah. Lalu bagaimana dengan status pegawai KPH Kabupaten/Kota kalau Dinas Kehutanannya bubar. Bagaimana organisasi Dinas Kehutanan Provinsi nantinya setelah revisi PP 41. Struktur KPH sampai eselonisasi seharusnya tidak perlu diatur secara detail dalam PP. Kepala KPH seharusnya tidak langsung bertanggung jawab kepada Gubernur tetapi harus ke Dinas Kehutanan dulu agar rentang kendalinya lebih efisien. Gubernurnya akan kerepotan mengurus teknis KPH. Jawaban Narasumber: Menurut Narasumber, revisi PP 41 memang sedang berjalan. Jadi pertanyaan-pertanyaan ini banyak berkaitan dengan norma hukum yang belum final. Sehingga jawabannya masih menunggu PP yang baru. Namun, beberapa hal yang sudah bisa disampaikan dalam proses perumusan PP ini adalah. Pertama, Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota kemungkinan akan bubar. Staf-nya bisa ditarik untuk membantu pengembangan KPH. Mengenai indikator penetapan KPH, Kementerian Dalam Negeri tidak mempunyai mandat untuk menentukan hal itu. Kewenangan tersebut ada pada KLHK. Selanjutnya mengenai eselonisasi dan gelar sarjana kehutanan pasti akan ada penyesuaian setelah perubahan PP 41.
Hari Kedua Hari ini adalah hari Juma’t. Sebagian besar peserta akan menunaikan ibadah Sholat Juma’t. Segera sesudah itu, peserta akan berangkat ke Sabang untuk field trip. Karena itu, kegiatan hari ini hanya setengah hari.
Presentasi Panel Pakar 1: Prof. Dr. Rizaldi Boer (Pengajar di Instititut Pertanian Bogor): Pemantauan KPH: penggunaan teknlogi dan pemantauan deforestasi dan stok karbon berbasis KPH dan yurisdiksi
Suasana Ruang Diskusi saat Prof. Dr. Rizaldi Boer menyampaikan paparannya
Narasumber mengulas beberapa isu penting dalam konsep pemantauan kehutanan. Salah satunya adalah FREL (Forest Reference Emission Level). Menurut narasumber, FREL dan Sistem MRV (Monitoring, Reporting, Verification) atau PEP (Pemantauan Evaluasi dan Pelaporan) sangat terkait satu sama lain. Penetapan FREL dapat menggunakan dua pendekatan. Pertama, secara top down yakin dengan cara menggunakan unit analisis per pulau dan diagregasi menjadi nasional. Kedua, pendekatan ideal secara bottom up yakni aggregasi/penjumlahan semua di FREL yang disusun oleh masing-masing tingkat sub nasional. Pendekata ini memakan waktu, konsistensi data/metodologi, kesiapan melakukan MRV dll. Di tingkat nasional, pendekatan emisis historis menjadi dasar untuk proyeksi emisi kedepan. Hal ini didasarkan pada periode acuan, kondisi spesifik nasional dan tahun dimulainya periode acuan. FREL Nasional meskipun menggunakan pendekatan Top Down yang akan diacu untuk mengukur capaian tingkat nasional dan pelaporannya ke tingkat Internasional, daerah tetap menyiapkan FREL sub nasional dengan mempertimbangkan kondisi wilayah masingmasing dan tetap mengacu pada FREL Nasional. Hasil dialog nasional mengenai FREL menghasilkan beberapa rekomendasi. Pertama-tama proses negoisasi terkait penetapan batas emisi yang diperbolehkan pada tingkat sub-
nasional (sejalan UU No. 23 tahun 2014, pada tingkat propinsi) perlu segera dibangun dengan pertimbangan: Kriteria yang akan digunakan dalam menetapkan kuota (misalnya, luas hutan alam yang masih ada di APL dan HPK) dan perencanaan pembangunan; Informasi historis terkait dengan deforestasi dan degradasi hutan di wilayah tersebut; dan Kedua, perlu menggunakan instrumen yang sudah tersedia, misalnya KLHS, RAD GRK, dll. Selanjutnya, Sistem Pemantauan Hutan Nasional (NFMS-MRV) yang dibangun oleh Badan Planologi-Kemenhut dan BPREDD+ tetap menjadi dasar utama pengembangan sistem pemantauan hutan nasional. Namun kendala utamanya biaya ground check (verifikasi data hasil pemantauan) mahal dan juga masalah akses informasi dan data yang masih sulit. Hasil dialog nasional juga menggarisbawahi pengembangan dan penguatan sistem MRV Nasional yang memerlukan beberapa inisiatif dan kebijakan diantaranya: Membangun mekanisme verifikasi yang kredibel terhadap data aktivitas dan faktor emisi (keterlibatan perguruan tinggi dan lembaga penelitian) Memanfaatkan kelembagaan di tingkat tapak yang sudah dibangun sebagai agen (community based monitoring) yang mungkin dapat berperan sebagai verifikator tingkat lapangan, salah satunya dengan melibatkan pihak swasta. Mengembangkan sistem pemantauan “near real time” terhadap perubahan tutupan hutan melalui kerjasama dengan LAPAN, BIG dan KLHK. Mekanisme atau pengaturan terkait dengan pelaporan atau pengumpulan data dan informasi (data aktivitas maupun faktor emisi) yang dilakukan oleh berbagai pihak ke sistem nasional (Memanfaatkan SIGN yang telah dibangun) Cara membangun sistem MRV merupakan kombinasi antara pendekatan top down dan bottom up (lihat gambar 1). Pendekatan top down dimulai dari seri peta tutupan lahan yang akan ditinjau dari perkembangan deforestasi, perubahan luas hutan dan stok karbon. Deforestasi bisa mengambil skala luas di tingkat globa tetapi juga mengambil petak contoh di tingkat lokal. Konsistensi antara data dari petak contoh ke tingkat nasional dan global merupakan kunci untuk menentukan isu verifikasi. Gambar 1: pembangunan sistem MRV
Pengamatan Global
Deteksi Deforestasi Skala Luas (Global)
Konsistensi dengan data global
Data satelit MODIS/MERIS Resolusi ~ <10-20 ha, hot spot perubahan hutan tahunan (Top-Down)
Pengamatan Nasional/Regional Seri Peta Tutupan hutan
Pengembangan Mekanisme verifikasi
Lokasi petak contoh
Perubahan luas hutan & kerapatan stok karbon
Data satelit LANDSAT/ SPOT Resolusi ~ <0.5-1 ha, peta tutupan dan degradasi hutan (Buttom-Up)
Emisi/Serapan = DA * FE/FS
Pengamatan skala detil/pengamatan in situ Forest inventories Hutan/petak Data Inventarisasi In-situ/plot data-projects contoh pengamatan stok Targeted remote surveys—e.g. karbon, pengukuran faktor Lidar and aerial imagery dan serapan, survei FAO statistics SKPD mana yang akan bertanggung emisi lapangan (komunitas/kelompok), IPCC-GPG / AFOLU jawab, bagaimana sistem foto udara, data statistik pelaporannya, apa kebutuhan infrastuktur dan SDM?
Pendugaan Emisi Karbon
Sumber: IFCA (2008)
Saat ini konsep inventarisasi emisi di tingkat nasional dikembangkan berdasarkan konsep SIGN SMART, yakni Sederhana, Mudah, Akurat, Ringkas, Transparan (Gambar 2). Konsep ini membagi peran MRV dalam tiga aktor, yakni pusat data SIGN SMART, Kementerian/Lembaga maupun Daerah dan Publik. Masing-masing aktor ini memiliki peran sendiri untuk mencapai MRV yang SIGN SMART. Gambar 2: SIGN Smart
Konsep SIGN SMART diharapkan mempermudah SKPD terkait di daerah untuk memasukan data-data yang diperlukan dalam inventarisasi emisi. Data-data dari hasil MRV akan menjadi pintu masuk untuk memperbaiki kualitas data-data pembangunan selama ini, terutama karena aspek verifikasi-nya. Salah satu titik kunci dalam konsep ini adalah akurasi. Hal ini membutuhkan konsolidasi data dari semua instansi maupun pemerintah daerah. Untuk membantu akurasi, diperlukan cara-cara yang mudah dan murah. Misalnya, meminta mahasiswa atau dosen Perguruan Tinggi yang sedang melakukan penelitian lapangan terkait emisi untuk turut terlibat dalam memantau emisi lokal. Data-data itu bisa diinput dan membantu mengklarifikasi data-data resmi Pemerintah. MRV harus memberikan koreksi atas upaya-upaya pembangunan rendah emisi dengan cara merancang kegiatan pembangunan yang meminimalkan resiko pelepasan emisi. Dalam hal ini, narasumber memberikan konsep KISS ME Please (Koordinasi, Integrasi, Sinergi, Sinkronisasi, Monitoring dan Evaluasi) di semua sektor. Gambar 3: KISS ME Please
1
Se kto r
1
1 2
2
Se kto r2
2
n 2 r4 to k Se
1
WHAT: Apa program/ al vitas apa yang bisa di KISS?
3
p
o
2
Se kto r
m
l
k
1
1
r5 1 to k Se
2 Se
r kto
?
WHEN: Kapan periode pelaksanaannya WHERE: Dimana lokasi prioritas?
Efek vitas Pelaksanaan Pembangunan rendah karbon
HOW: Bagaimana MONEV/MRV?
WHO: Siapa yang terlibat?
Apa dukungan ilmiah untuk KISS ME? Perlu Kajian Ilmiah dengan dukungan Tool
KISS ME Please terdiri dari lima pertanyaan yang diajukan ke semua sektor yakni pertanyaan apa saja program/aktivitas yang bisa di-KISS. Dimana saja lokasi prioritasnya, kapan periode pelaksanaannya, bagaimana melakukan PEP dan siapa yang terlibat. Menggarisbawahi semuanya itu adalah tersedianya kajian ilmiah (Gambar 3). KISS ME Pelase akan membantu Pemerintah untuk mengidentifikasi program mana saja yang mempunyai resiko emisi tinggi, rendah maupun tidak beresiko bagi deforestasi dan degradasi hutan. Sehingga ke depan, perencanaan kegiatan pembangunan sudah dapat
memperhitungkan potensi emisi dan juga menyiapkan kebijakan preventif untuk mencegah hal tersebut terjadi.
Pakar 2: Asep Yunan Firdaus, SH, MH. (Working Group Tenure) Implementasi KPH dan peluang dan tantangan untuk penyelesaian konflik
Dua Narasumber GCF Training Hari Kedua, Pak Asep Yunan Firdaus dan Pak Prof. Dr. Rizaldi Boer
Narasumber memulai presentasi ini dengan membeberkan alasan mengapa penangangna konflik merupakan keharusan dalam pengelolaan kawasan hutan. Konflik merupakan salah satu persoalan paling serius yang menantang kepastian kawasan hutan, termasuk wilayahwilayah KPH. Dalam laporan Ditjen planologi, konflik kehutanan terjadi di semua fungsi kawasan baik konservasi (102 kasus), hutan produksi yang dibebani izin (319 kasus) dan hutan produksi maupun hutan lindung yang belum dibebani izin (152 kasus). Di samping data ini, terdapat 200 pengaduan konflik yang terkait kawasan hutan. Di Sumatera mayoritas konflik terjadi antara masyarakat dengan perusahaan. Sementara di Kalimantan, konflik terjadi antara perusahaan dengan Pemerintah. (Gambar 4). Gambar 4: Data jumlah konflik/sengketa dalam kawasan hutan
180
160
140
Data sementara sampai dengan Januari 2015 Hutan Konservasi : 102 kasus Hutan Produksi terkait perizinan : 319 kasus Hutan Produksi dan Hutan Lindung non-izin : 152 kasus Jumlah : 573 kasus
Sekretariat Pengaduan:
120
200an Kasus
100
80
60
40
20
0 Sumatera
Jawa
Bali Nusa Tenggara
Kalimantan
Sulawesi
Maluku
Papua
Klaim kawasan hutan
Perambahan kawasan hutan
Masyarakat dengan perusahaan
Antar pemegang izin
Pemerintah dengan pemerintah
Perusahaan dengan pemerintah
Sumber: Ditjen Planologi Kehutanan, Ditjen BUK dan Ditjen PHKA (2015)
Konflik menimbulkan kekerasan, kerugian harta, ketidakpastian status kawasan, ketidakpastian usaha dan ketidakpercayaan antara satu pihak dengan yang lainnya. Karena itu, konflik harus diselesaikan. Untuk itu, narasumber menyampaikan tools yang sudah pernah diujicobakan dalam penyelesaian konflik. Salah satu tool tersebut adalah RATA (Rapid Land Tenure Assessment). Tools tersebut terdiri dari tiga bagian besar yakni Input, tahap dan keluaran (Gambar 5). Gambar 5: tahapan asesmen konflik
Tiga bagian besar ini terdiri terefleksi dalam enam tahap penyelesaian konflik. Tahap pertama adalah identifikasi lokasi konflik yang akan menampilkan wilayah atau medan konflik atas tanah. Tahap kedua adalah analisis eksternal terhadap konflik dengan menggunakan data-data sekunder baik politik, lingkungan, sejarah, dan seterusnya yang akan memberikan gambaran mengenai konflik. Tahap ketiga adalah analisis pemangku kepentingan untuk menemukan siapa saja aktor utama di belakang konflik. Tahap keempat adalah pemetaan lapangan dengan menggunakan berbagai metode seperti wawancara, PRA, diskusi kelompok terperinci, dll. Pada akhirnya akan diperoleh berbagai jenis klaim. Tahap kelima adalah analisis atas kebijakan-kebijakan terkait konflik. Tahap keenam adalah dialog kebijakan yang diharapkan akan menghasilkan pilihan intervensi yang digunakan dalam mekanisme penyelesaian konflik. Tool penyelesaian konflik ini sudah dicoba dalam penyelesaian konflik tenurial di KPH Way Terusan Lampung, daerah Lampung Tengah, Provinsi Lampung, KPH Kapuas Hulu di
Kabupate Kapuas Hulu Kalimantan Barat dan KPH Berau Barat Kabupaten Berau Kalimantan Timur. Penyelesaian konflik di tiga KPH ini melibatkan empat tahapan utama yakni peningkatan kapasitas, asesmen konflik dengan menggunakan tool di atas, skenario penyelesaian konflik, dan terakhir implementasi skenario penyelesaian baik berupa dialog multi-pihak, negosiasi, mediasi maupun penegakan hukum (gambar 6). Gambar 6: alur penyelesaian konflik tenurial
AWARENESS CAPACITY BUILDING
ASESMEN KONFLIK TENURE
SKENARIO PENYELESAIAN
DIALOG MP, NEGOSIASI, MEDIASI, PENEGAKAN HUKUM
Di KPH Way Terusan Lampung penyelesaian konflik terjadi setelah adanya penandatanganan Berita Acara Pengelolaan Kawasan Hutan Produksi Register 47 Way Terusan berbasis masyarakat oleh semua pihak terkait, antara lain Kelompok Tani, KPH, DPRD, Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lampung Tengah. Di KPH Berau Barat, penyelesaian terjadi dengan ditandatanganinya Nota Kesepahaman tentang Penyelesaian Permasalahan Tenurial Kawasan Hutan PT INHUTANI I Unit Labanan Blok 1 dan Blok 2 di Kampung Tumbit Dayak, Gunung Sari, Labanan Makarti dan Batu Rajang. Sementara pada KPH Kapuas Hulu, proses negosiasi masih berjalan dan ada niat positif dari semua pihak untuk duduk bersama. Diskusi dan Tanya Jawab Beberapa komentar sekaligus pertanyaan disampaikan peserta kepada kedua pemateri. Sebagian besar komentar tersebut merupakan refleksi dari pengalaman lapangan peserta. Untuk materi konflik, sebagian besar penyampaian peserta hanya berupa komentar tambahan. Sementara terkait sistem PEP, peserta menyampaikan sejumlah pertanyaan sekaligus klarifikasi. Berkaitan dengan isu deforestasi, perlu ada kejelasan mengenai kriterianya. Dalam kasus di Aceh, ada pihak-pihak yang menilai deforestasi tanpa memahami betul sejarahnya. Dulu ketika konflik bersenjata masih terjadi banyak orang lari ke hutan. Sebagian kebunnya kembali ditumbuhi hutan sekunder. Pasca penyelesaian konflik mereka kembali dan membuka ladang pada hutan sekunder tersebut. Seharusnya kasus sepert ini tidak
diperhitungkan sebagai deforestasi karena memang secara historis tanah tersebut adalah kepunyaan masyarakat yang membuka ladang. Selain itu, konflik yang terjadi di berbagai tempat dipicu oleh kebijakan pusat. RTRW tidak selesai karena berbenturan dengan beberapa kebijakan. Penyelesaian beberapa konflik lapangan juga tidak hanya menggunakan tahapan formal seperti yang sudah disampaikan narasumber. Mekanisme lokal juga bisa diberdayakan bahkan seringkali lebih efektif dalam menangani konflik. Sehingga kalau di tingkat lokal sudah tuntas, Pemerintah Pusat seharusnya tidak perlu lagi melakukan intervensi. Seharusnya Pemerintah Pusat fokus pada upaya mengubah kebijakan yang selama ini justru menjadi pemicu konflik di daerah. Pembagian urusan kewenangan pusat-daerah juga jadi pemicu utama konflik di lapangan. Karena itu, perlu penyelesaian secara sistematik lewat kebijakan yang jelas membagi kewenangan pusat-daerah. Terkait data, perlu diperjelas protokol yang memastikan otoritas pemegang data ada pada siapa. Transfer pengetahuan dari pusat ke daerah pun harus terjadi sehingga daerah bisa bekerja efektif tanpa harus menunggu perintah dan arahan. Selain itu, perlu dipilah secara tepat sumber emisi dominan berdasarkan karakter lokal. Informasi sumber emisi utama akan menentukan strategi daerah mengatasi emisi. Misalnya di Kalimantan Tengah sumber emisi utama adalah berbasis lahan tapi justru usulan HPK-nya meningkat menjadi 2.5 juta ha. Untuk sistem MRV, daerah pada dasarnya sudah siap. Hanya FREL dari Jakarta yang harusnya sudah ada sehingga daerah bisa menggunakan itu sebagai rujukan. Kebijakan FREL juga tidak terlalu jelas. Pernah ada SK Menteri yang menetapkan FREL. Namun kebijakan tersebut belum diterapkan tapi sudah diganti. Saat ini banyak metodologi yang dikembangkan tapi minim aplikasi. Padahal 2020 semakin dekat. Disana kita akan diuji apakah mencapai komitmen pertama untuk angka 26 %. Beberapa di antara metode tersebut sudah diterapkan. Tapi akibat koordinasi yang minim, hasil yang sudah dicapai dengan susah payah diubah kembali karena ada data baru. Hal ini terjadi dalam kasus RADGRK Aceh. Seringkali format aplikasi dari Jakarta juga terlalu maju dibandingkan dengan kesiapan daerah yang masih minim. Format SMART misalnya sudah keluar dengan data terkini sementara di daerah data 2015 belum keluar. Laporan 2015 masih mengambil data 2014. Peserta dari Papua secara khusus menggarisbawahi kekhususan Papua yang belum banyak membangun. Sehingga perhitungan terhadap Papua seharusnya tidak mengacu pada deforestasi tapi stok karbon. Perlu penggunaan metodologi yang tepat untuk merespons hal ini. Respons Narasumber Mengenai otoritas pengelola data, narasumber melihat sulitnya konsolidasi data karena data tersebar di berbagai pihak. Di KPH, sulit meminta data dari pelaku usaha karena wewenang lembaga yang meminta data tidak cukup. KPH tanpa regulasi yang jelas
memang sulit berjalan dengan efektif apalagi untuk mengantisipasi isu data. Moto KPH seharusnya tidak hanya “No KPH, No Budget” tapi juga “No Regulation No Budget”. Mengenai Papua yang dianggap jadi “cuci piring” provinsi lain, memang tergantung kriteria dari aktivitas yang hendak dimasukan dalam MRV. Hasil akhirnya pasti tidak sama antara daerah dengan tingkat pembangunan dan tekanan terhadap hutan tinggi dibandingkan dengan daerah yang tekanannya rendah. Berkenaan dengan FREL nasional. Saat ini, data yang paling siap adalah deforestasi dan degradasi hutan. Tiga komponen REDD+ lainnya belum cukup kuat untuk menjadi data MRV yang dirujuk secara nasional. Kalau dipaksakan di-submit ke UNFCCC, Indonesia bisa jadi “bulan-bulanan”. Untuk deforestasi, angkanya yang diperoleh saat ini adalah 0.9 juta ha dari tahun 1990-2012. Emisi rata-rata 0.6 Giga ton. Angka ini sudah bisa ditarik ke masing-masing Pulau untuk didiskusikan, berapa luas yang masih bisa dideforestasi. Angka 2006-2012 juga menunjukan peluang untuk land swap. Disana nampak bahwa hanya 40 % wilayah terdeforestasi yang sudah dimanfaatkan secara aktif. Sebagian besarnya berada dalam kawasan hutan.
Hari Ketiga Field Trip: Mengunjungi KPH Tahura Pocut Meurah Intan dan menginap di Sabang Pocut Meurah adalah KPH Taman Hutan Raya dan merupakan salah satu dari 7 KPH yang ditetapkan berbasis DAS di Aceh. Salah satu unit bisnis yang dikembangkan di KPH ini adalah rumah pohon seperti gambar berikut ini.
Selain itu, KPH ini juga merupakan tempat wisata yang cukup dikenal untuk bawah laut dan juga kilometer nol yang mengundang pengunjung dari seluruh Indonesia. Potensi-potensi ini sudah dikembangkan dan menghasilkan pemasukan yang signifikan bagi masyarakat lokal. Peserta dari daerah lain diharapkan bisa mendapat inspirasi dari pengelolaan KPH ini.
Lampiran 1: Agenda Hari Pertama, 26 Agustus 2015 Jadwal 9.00-11.00
11.0012.30
12.3013.30 13.3014.30
Kegiatan Kata Sambutan Pembukaan: Pemerintah Provinsi Aceh (Kepala Dinas Kehutanan) Pengelolaan KPH: Sejarah, konsep, model-model pengelolaan dan perkembangan implementasi KPH: Perspektif kebijakan
Narasumber
Ali Djajono (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Kebijakan nasional terkait KPH dan pembiayaan KPH (RPJMN dan target-target)
Ir. Basah Hernowo, MA (Bappenas)
Model-model rencana pengelolaan KPH (Lindung, Produksi, Konservasi) pemberdayaan masyarakat dan penyelesaian konflik Diskusi: Tanya Jawab dan Diskusi dan pemecahan kasus KPH sharing dari masing-masing Provinsi Makan Siang
Ir. Anas Mahmudi (KPH Aceh)
Penyusunan rancangan pembiayaan dan Model Bisnis: Perkembangan konsep dan implementasi KPH: tantangan dan peluang untuk model bisnis KPH (perspektif akademik)
Prof. Dr. Agus Setyarso (Seknas KPH)
Organisasi KPH dan UU No 23/2014
Justiman Situngkir, SE, MSi, (Bagian Kelembagaan Biro
Moderator
Bernadinus Steni
Dedek Hadi
Organisasi Sekertaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri ) 14.3014.45 14.4516.15 16.1517.00
Coffee Break Diskusi kelembagaan KPH dan pengalaman menyiapkan model bisnis Ulasan Pelatihan Hari Pertama
Hari Kedua, 28 Agustus 2015 Jadwal 08.0009.00 9.0010.00
10.0011.30
Kegiatan Penanaman pohon di halaman belakang Kantor Dinas Kehutanan Aceh Pemantauan KPH: penggunaan teknlogi dan pemantauan deforestasi dan stok karbon berbasis KPH dan yurisdiksi
Narasumber
Prof. Dr. Rizaldi Boer (IPB)
Implementasi KPH dan peluang dan tantangan untuk penyelesaian konflik – modelmodel dari pengalaman yang pernah ada)
Asep Yunan Firdaus SH, MH. (Working Group Tenure/Kelompok Kerja Tenurial)
Diskusi: Tanya Jawab Pengawasan dan evaluasi kinerja implementasi KPH: Sharing pengalaman masing-masing Provinsi
Masing-masing Provinsi
11.30Shalat Jumat dan Makan Siang 14.00 Persiapan Field Trip ke Pocut Meurah Intan
Moderator Dinas Kehutanan Provinsi Aceh Bernadinus Steni