Sekretariat Negara Republik Indonesia
Soekarno-Hatta, dari “Dwitunggal� ke “Dwitanggal� Rabu, 28 Maret 2007
Rildo Ananda Anwar Sekretaris Menteri Sekretaris Negara RI
Soekarno-Hatta, dari “Dwitunggalâ€Â? ke “Dwitanggalâ€Â?; Telaah atas Peran Mohammad Hatta sebagai Presiden RI PertamaÂÂ
Pendahuluan Secara konstitusional, peran dan kedudukan Wakil Presiden dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, baik sebelum maupun sesudah amandemen UUD 1945, belum mendapatkan kejelasan. Setidaknya ada tiga hal yang menyebabkan tidak jelasnya peran dan kedudukan Wakil Presiden.
Pertama, kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai Pembantu Presiden, sebagaimana diatur di dalam UUD 1945 Pasal 4 ayat (2). Sebagai “Pembantu Presiden�, kedudukan Wakil Presiden menjadi setara dengan menteri yang juga sama-sama sebagai Pembantu Presiden. Wakil Presiden hanya merupakan the second man (orang kedua);
Kedua, Wakil Presiden tidak bertanggung jawab kepada Presiden, sebagaimana layaknya status menteri sebagai Pembantu Presiden yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden; dan
Ketiga, dalam tradisi dan praktik ketatanegaraan, belum pernah ada Wakil Presiden yang menyampaikan pertanggung jawaban kepada MPR atau kepada rakyat. Pertanggung jawaban selalu dibebankan kepada Presiden. Karena itu, posisi Wakil Presiden sebagai “Pembantu Presiden�, menjadi kurang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Hal itu disebabkan oleh beberapa alasan:
Pertama, dalam sistem pemerintahan di Indonesia sejak tahun 1945 hingga sekarang, jabatan Wakil Presiden tidak mempunyai wewenang apa-apa. Fungsinya hanya menggantikan Presiden;
Kedua, dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan di Indonesia, Negara Republik Indonesia pernah tidak memiliki Wakil Presiden. Pada masa pemerintahan Soekarno (1956-1967), Presiden berjalan sendiri menjalankan roda pemerintahan, tanpa didampingi oleh Wakil Presiden. Mohammad Hatta yang diangkat sebagai Wakil Presiden pada tanggal 18 Agustus 1945, mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 1 Desember 1956. Sejak Mohammad Hatta mengundurkan diri, jabatan Wakil Presiden tidak pernah diisi. Demikian pula, pada masa awal pemerintahan Soeharto (1967-1973). Presiden Soeharto diangkat oleh MPRS sebagai Pejabat Presiden, tanpa ada pengangkatan Pejabat Wakil Presiden. Pada waktu Sidang Istimewa tanggal 7-12 Maret 1967 yang mengeluarkan Ketetapan MPRS Nomor; XXXIII/MPRS/1967 mengenai pencabutan kekuasaan pemerintahan Soekarno sekaligus menetapkan Jenderal Soeharto sebagai Presiden, posisi Wakil Presiden tidak disinggung. Indonesia baru kembali memiliki Wakil Presiden, setelah diangkatnya Sri Sultan Hamengkubuwono IX pada tanggal 25 Maret 1973. Pada kenyataannya, meskipun tanpa Wakil Presiden, pemerintahan dapat berjalan;
Ketiga, hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada setiap masa mempunyai karakter yang berbeda-beda.
Tulisan ini, akan mencoba menelaah peran Wakil Presiden RI pertama, Drs. Mohammad Hatta. Bagaimanakah sesungguhnya peran Mohammad Hatta selama menjabat sebagai Wakil Presiden? Apakah selama masa jabatannya, Wakil Presiden tidak memiliki kewenangan apapun. Atau sebaliknya, dari beberapa kebijakan politik yang diambil oleh Mohammad Hatta, justru pada masa awal pemerintahan RI, Wakil Presiden memiliki peran yang cukup penting.
Sosok dan Pemikiran Mohammad Hatta Mohammad Hatta dilahirkan di Bukittinggi, pada tanggal 12 Agustus 1902. Ayahnya, Haji Mohammad Djamil, seorang http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
guru mursyid, sebuah persaudaraan sufi atau tarekat di Sumatera Barat, yang meninggal dunia ketika Hatta berusia delapan bulan. Ibunya Siti Saleha. Menurut Hamka, nama pribadi Mohammad Hatta berasal dari Muhammad ‘Ata yang diambil dari nama lengkap seorang tokoh muslim, yaitu (Ahmad Ibn) Muhammad (Ibn ‘Abd al-Karim ibn) ‘ I ‘Ilah al-Sakandari, pengarang kitab Al-Hikam (berbagai ajaran kearifan) (lihat Nurcholis Madjid, dalam “Bung Hatta: Dari Demokrasi Minangkabau ke Demokrasi Indonesia�, Jurnal Reformasi Ekonomi Vol.3.No.1, Januari-Juni 2002).
Sejak kecil, Mohammad Hatta bersekolah di sekolah Belanda. Hatta menyelesaikan pendidikan dasarnya di Europese Lagere School (ELS) di Bukittinggi tahun 1916. Kemudian menyelesaikan Meer Uitgebreid Lagere School (MULO) di Padang pada tahun 1919. Pada tahun 1921, ia menyelesaikan Handel Middlebare School (Sekolah Menengah Dagang), di Jakarta. Usai menamatkan sekolah dagang, kemudian melanjutkan kuliah pada Sekolah Tinggi Ekonomi di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam, Belanda.
Aktivitas organisasinya, dimulai sebagai Bendahara Jong Sumatranen Bond, di Padang (1916-1919) dan menduduki jabatan yang sama ketika ia tinggal di Jakarta (1920-1921). Ketika menetap di Belanda sebagai mahasiswa,  Mohammad Hatta menjadi anggota Indische Vereniging (Perkumpulan Hindia) suatu perkumpulan sosial yang lima tahun kemudian menjadi organisasi politik bernama Indonesische Vereniging (Perhimpunan Indonesia). Pada tanggal 17 Januari 1926, Hatta terpilih menjadi ketua Perhimpunan Indonesia. Pada kesempatan itu, ia menyampaikan pidato inaugurasi yang berjudul; Economische Wereldbouw en Machtstgenstellingen (Struktur Ekonomi Dunia dan Pertentangan Kekuasaan). Melalui organisasi ini, Mohammad Hatta giat memperkenalkan cita-cita kemerdekaan di negeri Belanda dan mengemukakannya di berbagai negara di Eropa, termasuk Belgia, Perancis, dan Jerman.
Pada tahun 1926, dengan tujuan memperkenalkan nama “Indonesia�, Hatta memimpin delegasi ke Kongres Demokrasi Internasional untuk Perdamaian Dunia di Bierville, Prancis. Demikian pula pada tanggal 10-15 Februari 1927, Hatta menjadi wakil delegasi Indonesia dalam Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Kolonial, suatu Kongres Internasional yang diadakan di Brussel. Sebagai pemikir, Mohammad Hatta dikenal sebagai tokoh yang pertama kali memperkenalkan nama “Indonesia� dalam tulisan yang diterbitkan oleh “De Socialist� pada bulan Desember 1928.
Semasa kuliah, selain mengikuti mata kuliah ekonomi yang menjadi pilihannya, Hatta juga sering mengikuti mata kuliah tambahan yang diajarkan oleh Profesor Oppebheim tentang Ilmu Tata Negara (Lihat Emil Salim, 1980:622-623, Manusia Bung Hatta dalam Meutia Farida Swasono (ed). Bung Hatta: Pribadinya dalam Kenangan; dan Mohammad Hatta Memoir (1982:112-113). Pemikirannya tentang Indonesia, senada dengan pemikiran J. R. Logan dalam karya tulisnya The Etnology of Indian Archipelago, dalam Journal of the Indian Archipelago and Estern Asia, terbitan 1950.
Latar belakang pengetahuannya yang luas dan mendalam tentang perekonomian, serta pemahamannya tentang seluk beluk soal-soal ketatanegaraan yang cukup mumpuni itulah, yang mempengaruhi peranan Mohammad Hatta, baik dalam proses penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, dalam penyusunan Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, maupun dalam penyusunan Undang-Undang Dasar Sementara tahun 1950.
Selain dikenal sebagai Proklamator, juga pejuang pergerakan dan pemikir yang visioner, Mohammad Hatta dipandang banyak kalangan sebagai peletak konsep keadilan, keterbukaan, dan demokrasi. Pemikiran yang paling monumental adalah pentingnya membangun demokrasi ekonomi kerakyatan, dan menemukan bentuknya yang ideal dalam Koperasi. Hatta kemudian dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia.
Peran Mohammad Hatta Sebagai Wakil Presiden RI Pertama Hubungan Wakil Presiden dengan Presiden pada dasarnya merupakan satu kesatuan yang tergabung dalam lembaga kepresidenan. Sebagai Pembantu Presiden, Wakil Presiden dalam menjalankan tugasnya selalu didasarkan atas sebuah mandat yang dituangkan dalam Keputusan Presiden. Pola hubungan semacam ini tidak mengalihkan kekuasaan kepada penerima mandat. Sewaktu-waktu, mandat dapat ditarik kembali. Berkaitan dengan organisasi negara atau lembaga negara, J.H.A. Logeman (1945:88), dalam Over the Theorie Van een stelligh Staatsrecht, mengemukakan tentang organisasi negara sebagai berikut: “In zijn sociale verchijningsvorm is de staat organisatie, een verband van functies. Met functie is dan bedoeld; een omschreven werkkring in het verband van het geheel. Zij heet, met betrekkig tot de staat, ambt. De staat is ambtenorganisatie. Pernyataan Logeman mengandung arti bahwa dalam bentuk penjelmaan sosialnya, negara itu adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsi-fungsi. Dengan fungsi-fungsi itu, dimaksudkan: suatu lingkungan kerja yang terperinci dalam rangkaian keseluruhan. Dalam hubungannya dengan negara, fungsi itu disebut jabatan. Negara adalah organisasi jabatan. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Dalam sejarah ketatanegaraan di Indonesia, kedudukan Wakil Presiden �meskipun sebagai Pembantu Presiden�telah menjadi pembicaraan penting sejak awal perumusan naskah rancangan UUD 1945. Salah satu materi dalam rancangan Undang-Undang Dasar �yang disampaikan Panitia Perancang UUD pada tanggal 14 Juli 1945 kepada sidang paripurna Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI)�adalah tentang kekuasaan negara, yaitu Presiden dan Wakil Presiden. Dalam rapat-rapat BPUPKI yang berkenaan dengan masalah Wakil Presiden, dibicarakan berbagai hal, antara lain menyangkut jumlah Wakil Presiden dan kedudukan Wakil Presiden. Dalam rancangan Undang-Undang Dasar itu, dinyatakan bahwa “Dalam melakukan kewajibannya, Presiden dibantu oleh satu orang atau dua orang Wakil Presiden�.
Ketentuan ini semula diterima dalam sidang BPUPKI. Namun, dengan pertimbangan efisiensi, maka dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, ketentuan ini mengalami perubahan. Jumlah Wakil Presiden diusulkan hanya satu orang. Dengan demikian, dalam rumusan UUD 1945, Pasal 4 ayat (2) dinyatakan, bahwa “Dalam melaksanakan kewajibannya, Presiden dibantu oleh seorang Wakil Presiden�. Sesuai dengan amanat konstitusi itu, pada tanggal 18 Agustus 1945, untuk pertama kali dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, Drs. Mohammad Hatta terpilih sebagai calon tunggal untuk mengisi jabatan Wakil Presiden.
Sebagai Wakil Presiden, Mohammad Hatta menunjukkan peran yang sangat besar dalam pengambilan keputusan dengan mengeluarkan beberapa produk hukum. Beberapa produk hukum yang pernah dikeluarkan oleh Mohammad Hatta, antara lain Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945 yang menyatakan bahwa Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan eksekutif, yang sehari-hari dilakukan oleh Badan Pekerja KNIP.
Adapun isi Maklumat X itu selengkapnya berbunyi:
Sesudah mendengar pembicaraan oleh Komite Nasional Pusat tentang usul supaya sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat dibentuk, kekuasaannya yang hingga sekarang dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional menurut Pasal IV Aturan Peralihan dari Undang-Undang Dasar hendaknya dikerjakan oleh Komite Nasional Pusat dan supaya pekerjaan Komite Nasional Pusat itu sehari-harinya berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah badan bernama Dewan Pekerja yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat;
Menimbang bahwa di dalam keadaan yang genting ini perlu ada badan yang ikut bertanggung jawab tentang nasib bangsa Indonesia, di sebelah Pemerintah;
Menimbang selanjutnya bahwa usul tadi berdasarkan paham kedaulatan rakyat;
Memutuskan;
Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan Garis-Garis Besar dari pada Haluan Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.
Selain mengeluarkan Maklumat No. X, Mohammad Hatta juga pernah mengeluarkan Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang anjuran kepada rakyat untuk membentuk partai-partai politik, yang isinya berbunyi sebagai berikut:
Berhubung dengan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat kepada Pemerintah, supaya diberikan kesempatan kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi bahwa partai-partai politik itu hendaknya memperkuat perjuangan kita mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang lalu, bahwa: http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. 2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun, sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota Badan-badan Perwakilan Rakyat pada bulan Januari 1946.
Dengan anjuran itu, berdirilah 10 partai politik, yaitu:  1. Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia), yang dipimpin oleh Dr. Soekiman Wirjosandjoyo, berdiri 7 November 1945. 2. PKI (Partai Komunis Indonesia), yang dipimpin oleh Mr. Moch. Yusuf, berdiri 7 November 1945. 3. PBI (Partai Buruh Indonesia), yang dipimpin oleh Njono, berdiri 8 November 1945. 4. Partai Rakyat Jelata, yang dipimpin oleh Sutan Dewanis, berdiri 8 November 1945. 5. Parkindo (Partai Kristen Indonesia), yang dipimpin oleh Ds. Probowinoto, berdiri 10 November 1945. 6. PSI (Partai Sosialis Indonesia), yang dipimpin oleh Mr. Amir Sjarifuddin, berdiri 10 November 1945. 7. PRS (Partai Rakyat Sosialis), yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, berdiri 20 November 1945. PSI dan PRS kemudian bergabung dengan nama Partai Sosialis, yang dipimpin oleh Sutan Syahrir, Amir Sjarifuddin, dan Oei Hwee Goat, pada Desember 1945. 8. PKRI (Partai Katholik Republik Indonesia), yang dipimpin oleh I.J. Kasimo, berdiri 8 Desember 1945. 9. Permai (Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia), yang dipimpin oleh J.B. Assa, berdiri 17 Desember 1945. 10. PNI (Partai Nasional Indonesia), yang dipimpin oleh Sidik Djojosukarto, berdiri 29 Januari 1946. PNI didirikan sebagai hasil penggabungan antara PRI (Partai Rakyat Indonesia), Gerakan Republik Indonesia, dan Serikat Rakyat Indonesia, yang masing-masing telah berdiri antara bulan November dan Desember 1945.
Dari beberapa kebijakan yang diambil oleh Mohammad Hatta, menunjukkan bahwa peranan Mohammad Hatta selaku Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat strategis dan tidak kalah pentingnya dengan peranan Soekarno selaku Presiden. Namun, ketika UUD 1945 diubah dengan UUD RIS 1949 dan negara kesatuan berubah menjadi negara federal pada tanggal 27 Desember 1949, jabatan Wakil Presiden dihapuskan. Undang-undang dasar ini tidak mengenal adanya jabatan Wakil Presiden. Dengan berlakunya UUD RIS 1949, peranan Wakil Presiden sama sekali hilang dari praktik kehidupan kenegaraan. Jabatan Wakil Presiden kembali muncul pada waktu UUD RIS 1949 diubah dengan UUDS 1950, dan negara federal diubah menjadi negara kesatuan pada tanggal 15 Agustus 1950. Kedudukan dan peran Wakil Presiden pada UUDS 1950, tidak memiliki peran yang cukup berarti dalam menentukan penyelenggaraan kenegaraan, karena undang-undang dasar ini menganut sistem pemerintahan parlementer yang mengakibatkan Presiden dan Wakil Presiden hanya berfungsi sebagai lambang negara.
Dari “Dwitunggal� ke “Dwitanggal� Secara umum, hubungan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden dengan Soekarno sebagai Presiden, sangat dinamis, bahkan kadang-kadang terjadi gejolak. Hatta adalah pengkritik paling tajam sekaligus sahabat hingga akhir hayat Soekarno. Dinamika hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik yang berlaku pada saat itu. Moh. Mahfudz, (1998:373-375) dalam Politik Hukum di Indonesia, secara lebih spesifik menguraikan perkembangan konfigurasi politik Indonesia ketika itu sebagai berikut:
Pertama, setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, terjadi pembalikan arah dalam penampilan konfigurasi politik. Pada periode ini konfigurasi politik menjadi cenderung demokratis dan dapat diidentifikasi sebagai demokrasi liberal. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1959, dimana Presiden Soekarno menghentikannya melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Pada periode ini pernah berlaku tiga konstitusi, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950. Konfigurasi politiknya dapat diberi satu kualifikasi yang sama, yaitu konfigurasi politik yang demokratis. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Indikatornya adalah begitu dominannya partai-partai politik;
Kedua, konfigurasi politik yang demokratis pada periode 1945-1959, mulai ditarik lagi ke arah yang berlawanan menjadi otoriter sejak tanggal 21 Februari 1957, ketika Presiden Soekarno melontarkan konsepnya tentang demokrasi terpimpin. Demokrasi Terpimpin merupakan pembalikan total terhadap sistem demokrasi liberal yang sangat ditentukan oleh partaipartai politik melalui free fight (Yahya Muhaimin, 1991:42, Bisnis dan Politik, Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia 19501980. Jakarta : LP3ES).
Sejak zaman pergerakan nasional, hubungan Soekarno dengan Mohammad Hatta yang seringkali disebut Dwitunggal, terjalin dengan baik. Sejak tahun 1930-an, keduanya telah beberapa kali ditahan dan diasingkan oleh pemerintah kolonial Belanda, karena dianggap berbahaya bagi pemerintahan kolonial. Pada masa pendudukan Jepang, kedua tokoh ini mendapatkan pengakuan sebagai wakil-wakil rakyat Indonesia. Pada saat penyusunan naskah Proklamasi, keduanya terlibat dalam proses penyusunan naskah teks proklamasi kemerdekaan. Pada detik-detik menjelang pembacaan naskah proklamasi, Soekarno menolak desakan para pemuda untuk membacakan teks proklamasi lebih awal karena Mohammad Hatta belum datang. Ketika itu, Bung Karno berkata: “Saya tidak akan membacakan Proklamasi kemerdekaan jika Bung Hatta tidak ada. Jika mas Muwardi tidak mau menunggu Bung Hatta, silahkan baca sendiri�, jawab Bung Karno kepada dr. Muwardi salah satu tokoh pemuda pada waktu itu yang mendesak segera dibacakan teks Proklamasi. Begitu percayanya Soekarno kepada Mohammad Hatta, pada tahun 1949, ia meminta agar Mohammad Hatta selain menjadi Wakil Presiden, sekaligus juga menjadi Perdana Menteri.
Mohammad Hatta selalu menekankan perlunya dasar hukum dan pemerintahan yang bertanggung jawab, karena itu Hatta tidak setuju ketika Presiden Soekarno mengangkat dirinya sendiri sebagai formatur kabinet yang tidak perlu bertanggung jawab, tidak dapat diganggu gugat, serta menggalang kekuatan-kekuatan revolusioner guna membersihkan lawan-lawan politik yang tidak setuju dengan gagasannya.
Konflik ini mencapai puncaknya. Setelah pemilihan umum 1955, Presiden Soekarno mengajukan konsep Demokrasi Terpimpin pada tanggal 21 Februari 1957 di hadapan para pemimpin partai dan tokoh masyarakat di Istana Merdeka. Presiden Soekarno mengemukakan “Konsepsi Presiden�, yang pada pokoknya berisi:
Sistem Demokrasi Parlementer secara Barat, tidak sesuai dengan kepribadian Indonesia, oleh karena itu harus diganti dengan Demokrasi Terpimpin.
-
Untuk pelaksanaan Demokrasi Terpimpin perlu dibentuk suatu kabinet gotong royong yang angotanya terdiri dari semua partai dan organisasi berdasarkan perimbangan kekuatan yang ada dalam masyarakat. Konsepsi Presiden ini, mengetengahkan pula perlunya pembentukan “Kabinet Kaki Empat� yang mengandung arti bahwa keempat parta besar, yakni PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama (NU), dan Partai Komunis Indonesia (PKI), turut serta di dalamnya untuk menciptakan kegotongroyongan nasional.
Pembentukan Dewan Nasional yang terdiri dari golongan-golongan fungsional dalam masyarakat. Dewan Nasional ini, tugas utamanya adalah memberi nasihat kepada Kabinet, baik diminta maupun tidak diminta.
Dengan konsep yang diajukan Soekarno itu, Hatta menganggap Bung Karno sudah mulai meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai pejuang demokrasi, ia tidak dapat menerima perilaku Bung Karno. Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas semua itu, dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami demokrasi yang benar. Jelas, bagi Bung Hatta, ini adalah sebuah contradictio in terminis. Di satu sisi http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
ingin mewujudkan demokrasi, sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan, teguran, dan peringatan terhadap Soekarno, sahabat seperjuangannya, telah dilakukan. Tetapi Soekarno tidak berubah sikap. Sebaliknya, Hatta pun tidak menyesuaikan dirinya dengan pandangan sikap dan pendapat Soekarno (lihat Ensiklopedi Tokoh Indonesia; www.tokohindonesia.com).
Mohammad Hatta telah mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden, sebelum Soekarno menyampaikan konsep Demokrasi Terpimpin secara resmi. Pada tanggal 1 Desember 1956, Mohammad Hatta mengirimkan surat pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden kepada DPR hasil Pemilihan Umum 1955. Pada tanggal 5 Februari 1957 berdasarkan Keputusan Presiden No. 13 Tahun 1957, Presiden Soekarno memberhentikan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Namun, pengunduran diri Mohammad Hatta dari posisi Wakil Presiden tidak mengakibatkan hubungan pribadi keduanya menjadi putus. Bung Karno dan Bung Hatta tetap menjaga persahabatan yang telah mereka jalin sejak lama.
Pengunduran diri ini lebih disebabkan oleh karena perbedaan pendapat dengan Presiden. Pengunduran diri Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden, tidak diikuti dengan gejolak politik. Juga tidak ada tekanan-tekanan dari pihak luar. Perbedaan pendapat antara Mohammad Hatta dengan Soekarno, lebih kepada visi dan pendekatan Mohammad Hatta yang berbeda dengan Soekarno dalam mengelola Negara. Perbedaan itu, sesungguhnya telah terjadi sejak awal. Namun, perbedaan itu makin memuncak pada pertengahan tahun 1950-an. Soekarno menganggap revolusi belum selesai, sementara Hatta menganggap sudah selesai sehingga pembangunan ekonomi harus diprioritaskan (Adnan Buyung Nasution, Refleksi Pemikiran Hatta Tentang Hukum dan HAM, Jakarta: CIDES, 20 Juni 2002).
Meskipun telah mengundurkan diri, banyak orang yang menghendaki agar Bung Hatta aktif kembali. Di dalam Musyawarah Nasional tanggal 10 September 1957, dibahas “Masalah Dwitunggal Soekarno-Hatta�. Demikian pula di DPR, beberapa anggota DPR mengajukan mosi mengenai “Pemulihan Kerjasama Dwitunggal SoekarnoHatta�. DPR kemudian menerima mosi mengenai Pembentukan Panitia Ad Hoc untuk mencari “bentuk kerjasama Soekarno-Hatta�. Panitia itu dibentuk pada tanggal 29 November 1957 dan dikenal sebagai “Panitia Sembilan�, yang diketuai oleh Ahem Erningpraja. Namun, Panitia Sembilan ini dibubarkan pada Bulan Maret 1958 tanpa menghasilkan sesuatu yang nyata (Sekretariat Negara RI, 1981: 30 Tahun Indonesia Merdeka, 1950-1964).
Pada sisi lain, Mohammad Hatta adalah Wakil Presiden yang mampu menjadi satu kesatuan dengan Presiden Soekarno, sehingga seringkali disebut “Dwitunggal�. Pelaksanaan konsep Dwitunggal Soekarno-Hatta telah menempatkan kedudukan dan fungsi Wakil Presiden menjadi sama dengan Presiden, padahal menurut UUD 1945 kedudukan Wakil Presiden adalah sebagai “Pembantu Presiden� serta dapat menggantikan Presiden jika Presiden berhalangan. Fenomena ini menjadi semakin jelas apabila diperhatikan praktik ketatanegaraan yang berlangsung antara tahun 1945 sampai tahun 1956. Pada masa ini, Wakil Presiden banyak melakukan tindakan mengumumkan/ mengeluarkan peraturan perundang-undangan antara lain, Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945; Maklumat Pemerintah tanggal 17 Oktober 1945 tentang Permakluman Perang; Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik; dan Undang-undang Nomor 16 Tahun 1946 tentang Keadaan Bahaya.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 dan UU Nomor 7 Tahun 1949 tentang Penunjukkan Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia, Indonesia menganut sistem parlementer. Jika keadaan ini dihubungkan dengan persoalan Presiden berhalangan serta pengisian jabatannya untuk sementara oleh Wakil Presiden, maka tindakan yang dilakukan oleh Wakil Presiden di bidang ketatanegaraan dapat ditafsirkan sebagai suatu pengisian jabatan Presiden untuk sementara oleh Wakil Presiden. Dari sudut konsep “Dwitunggal�, maka tindakan Wakil Presiden merupakan perwujudan dari konsep itu.
Pada saat berlaku UUD RIS 1949 itu pula, Mohammad  Hatta sebagai Wakil Presiden, diangkat menjadi Perdana Menteri. Pada tanggal 17 Desember 1949, bertempat di bangsal Sitihinggil Keraton Yogyakarta, ketika Ir. Soekarno dilantik sebagai Presiden Republik Indonesia Serikat, Drs. Mohammad Hatta, Wakil Presiden, juga diangkat sebagai Perdana Menteri Republik Indonesia Serikat. Hatta kemudian membentuk kabinet. Kabinet dan Perdana Menteri Hatta, baru dilantik pada tanggal 20 Desember 1949. Kedudukan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden sekaligus sebagai Perdana Menteri, secara konstitusional memiliki kontradiktif. Karena Wakil Presiden adalah pembantu Presiden, sementara Perdana Menteri merupakan pemegang kekuasaan eksekutif yang menjalankan roda pemerintahan seharihari. Dengan adanya preseden ini dimana Wakil Presiden pada saat-saat tertentu dapat menjadi pemegang kekuasaan pemerintahan, menunjukkan bahwa Wakil Presiden sebenarnya bukanlah sekedar simbol dalam lembaga kepresidenan, akan tetapi justru menjadi “pemain utama� dalam lembaga kepresidenan.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Penutup Ketika Drs. Mohammad Hatta meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 14 Maret 1980, jutaan rakyat Indonesia menangisi kepergiannya. Hatta, adalah Sang Proklamator. Tanpa Mohammad Hatta, Soekarno tidak mau membacakan teks Proklamasi. Jika Hatta tidak datang tepat pada waktunya, mungkinkah Indonesia akan merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945? Hatta juga adalah founding fathers. Ia adalah Bapak Bangsa, yang “membidani� lahirnya Negara Republik Indonesia. Pada saat awal berdirinya Negara Republik Indonesia, Mohammad Hatta juga berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar politik, hukum, dan ketatanegaraan. Demikian pula ia meletakkan dasar-dasar ekonomi kerakyatan berbasis koperasi. Selama menjabat sebagai Wakil Presiden, ia telah banyak berbuat. Wakil Presiden tidak semata-mata mewakili Presiden ketika Presiden berhalangan, tetapi juga berperan dalam pengambilan kebijakan strategis. Adanya perbedaan faham yang tak terpecahkan dengan Presiden, Hatta memilih mengundurkan diri. “Dwitunggal� berakhir dengan “Dwitanggal�.
“Tuhan, terlalu cepat semua. Kau panggil satu-satunya yang tersisa, Proklamator tercinta. Jujur, lugu, dan bijaksana. Mengerti apa yang terlintas dalam jiwa, rakyat Indonesia�.
Demikian lirik lagu Iwan Fals, mengiringi kepergiannya.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 11 January, 2017, 11:27