No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007 No. 1/Th. II/November 2006 - Februari 2007
ISI Tajuk Fokus Liputan khusus Workshop Wawancara I Wawancara II Rak Buku Kolom Aktivitas
hal.1 hal.1 hal.2 hal.4 hal.5 hal.6 hal.6 hal.7 hal.8
FOKUS
Akankah Aceh Sekokoh Seulawah?
TAJUK Propinsi dan beberapa kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam telah berhasil menggelar pemilihan kepala daerah langsung (pilkada). Banyak petinggi ex-GAM yang sukses meraih kursi eksekutif dalam hajatan tersebut. Akibatnya muncul kekhawatiran, NAD akan lepas dari Republik Indonesia. Kekhawatiran lainnya, formalisasi syariat Islam di Serambi Mekkah itu akan menghambat proses demokratisasi. Ternyata para pemimpin eksekutif Aceh yang baru lebih memokuskan programnya pada pembangunan daerah. Syariat Islam pun menjadi inspirasi untuk proses demokrasi di Aceh. Perdamaian yang langgeng juga turut menentukan nasib Aceh selanjutnya. Dalam Nawala edisi IV ini the WAHID Institute mengulas tentang Pilkada di beberapa daerah di NAD, terutama pilkada propinsi yang berhasil memilih sepasang calon yang dulunya adalah ’musuh’ Jakarta. Mereka yaitu Irwandi Yusuf (GAM) dan Muhammad Nazar (SIRA). Untuk Nawala ini, the WAHID Institute tak sekedar melakukan riset. Kami bekerjsama dengan aktivis pro demokrasi di NAD menggelar workshop di Banda Aceh agar Pilkada Aceh berlangsung damai, juga seterusnya. Selamat membaca. Kritik dan Saran: Jl. Taman Amir Hamzah No 8 Jakarta 10320, Indonesia Phone: +62 21-3928233, 3145671|Fax: +62 21-3928250 Email:
[email protected] Website: www.wahidinstitute.org
Pesawat RI-001 Seulawah tetap kokoh di Lapangan Blang Padang Banda Aceh. (Foto Gamal F)
P
esawat terbang jenis Dakota DC-3 dengan dua baling-baling itu tetap berdiri kokoh di atas tonggaknya di salah satu sudut lapang Blang Padang, Banda Aceh. Dua sayapnya membentang bagai menyeru perdamaian nan langgeng. Tsunami yang meluluhlantakkan Banda Aceh dan lima kota kabupaten di Nangroe Aceh Darussalam, dengan korban sedikitnya 200 ribu jiwa pada Desember 2004, seolah tak ingin melucuti monumen itu. Pesawat hasil kriya Douglas Aircraft Company itu adalah pembelian rakyat Aceh pada 1948 untuk membantu mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pesawat itu diberi nama Seulawah yang artinya gunung emas, karena dibeli dari hasil pengumpulan emas rakyat Aceh. Sebab itulah pesawat pertama yang dimiliki Indonesia itu, menyandang nomor RI-001. Seulawah adalah hikayat tentang perjuangan, persatuan, dan partisipasi rakyat Aceh tanpa pamrih menuju kemakmuran. Sejak pelaksanaan Pilkada NAD tanggal 11 Desember 2006, Aceh seperti bayi suci yang lahir kembali. Pilkada dapat dimaknai sebagai realisasi dari otonomi khusus dan pelaksanaan perdamaian.
Aceh tak lagi identik dengan kekerasan, penindasan, dan dominasi militer. Aceh adalah simbol kemandirian dan perdamaian. Meskipun GAM di Aceh telah berperang melawan pemerintah RI selama puluhan tahun, tetapi ia berakhir di meja perundingan. Hasilnya, persetujuan damai untuk tetap bersatu dengan otonomi bagi rakyat Aceh untuk mengelola pemerintahan dan sumberdaya alam.
****
Melalui MoU Helsinki (15/08/05), GAM dan pemerintah RI mencapai kata sepakat; tidak ada lagi konfrontasi antar keduanya. Apalagi setelah Pilkada Gubernur NAD di bulan Desember 2006. Aceh aman dan damai dalam pilkada pertamanya. Semua pihak bersyukur termasuk si pemenang; Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar (IRNA) yang dulu berseberangan dengan pemerintah RI. IRNA adalah sang kuda hitam. Jakarta terperangah atas kemenangan pasangan yang diusung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Sentral Informasi Referendum Aceh (SIRA) ini. Beberapa pihak bahkan ketar-ketir. Mereka menuntut satu hal; GAM harus dibubarkan (baca: Saat Rakyat Aceh Harus Me-
Redaktur Ahli: Yenny Zannuba Wahid, Ahmad Suaedy | Sidang Redaksi: Rumadi, Gamal Ferdhi, Nurul Huda Maarif, Subhi Azhari Redaktur Pelaksana: Nurun Nisa | Desain: Widhi Cahya
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007 milih). Bahkan dari survey nasional Lingkaran Survey Indonesia (LSI) periode Juli-Agustus 2006, didapati sebanyak 81,2 persen dari responden menuntut hal serupa. GAM harus bubar karena ide-idenya yang separatis. “Kami bangsa Acheh Sumatra, telah melaksanakan hak-hak kami untuk menentukan nasib sendiri, dan melaksanakan tugas kami untuk melindungi hak suci kami atas tanah pusaka peninggalan nenek moyang, dengan ini menyatakan diri kami dan negeri kami bebas dan merdeka dari penguasaan dan penjajahan regime asing Jawa di Jakarta, “ tulis Tengku Hasan Muhammad Di Tiro, pendiri GAM, mendeklarasikan kemerdekaan Aceh pada tanggal 4 Desember 1976. Padahal petinggi GAM pernah berujar akan membubarkan organisasi ini pasca MoU Helsinki. “GAM akan membubarkan diri dan berjuang lewat jalur politik,” jelas Menteri Luar Negeri GAM Zaini Abdullah (28/4/06). Namun beberapa bulan kemudian GAM menjilat ludahnya kembali. Perdana Menteri GAM Malik Mahmud menanggapi sinis surat Ketua Aceh Monitoring Mission (AMM) Pieter Feith yang berisi permintaan pembubaran GAM. “Itu out of proportion dan premature,” sergah Malik (28/10/06).
Bahkan Malik berkilah, GAM telah mengorbankan aspirasi untuk merdeka. Dia merasa tuntutan membubarkan GAM adalah tidak adil, sementara kemerdekaan mereka sudah dikorbankan. Selain itu, pembubaran GAM tidak secara literal dicantumkan dalam MoU Helsinki. Sementara pendirian partai lokal sudah ditegaskan dalam nota kesepahaman tersebut. Kalau partai lokal (yang eksplisit) belum diwujudkan, mengapa GAM (yang implisit) harus ditiadakan? Ungkapan-ungkapan petinggi GAM di atas cukup mengkhawatirkan. Ditambah lagi posisi Irwandi Yusuf, Gubernur NAD terpilih, yang strategis dalam institusi GAM. Ia adalah ahli propaganda dan juru runding sekaligus perwakilan GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA). Permasalahan lainya yang agak menganggu hubungan Propinsi NAD dengan daerah lain di Indonesia adalah penerapan Syariat Islam (SI). Propinsi ini dianggap memiliki hukum sendiri yang terlepas dari Indonesia. Kini beberapa institusi yang mengurus keberlangsungan SI seperti Mahkamah Syari’ah (MS), Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU), Dinas Syari’at Islam,Wilayatul Hisbah (WH), dan Dewan Syari’ah telah dilegalkan.
Tiga institusi pertama semakin kuat posisinya karena termaktub dalam UU No. 11 Th. 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Dalam pasal 128 UU itu disebutkan tentang MS, MPU dalam pasal 138, danWH disahkan di pasal 244. Namun di tingkatan praktis, positivisasi SI kurang taji. “Ada perbedaan perlakuan WH jika pelaku yang nyerempet-nyerempet maksiat itu aparat atau TNI,” kata Armiyadi aktivis Rabithah Taliban Aceh NAD. Dia pun mencontohkan, di sekitar Lapangan Blang Padang masih tampak pasangan yang bermesraan hingga larut malam. “Laki-lakinya biasanya anggota (TNI, red.),” kata Armi. Hasil polling Yayasan Cinta Madani Aceh (YIMC) Aceh pun membuktikan. Dari 354 masyarakat di Banda Aceh dan Aceh Besar yang diwawancarai YIMC, sebanyak 49,43 persen berpendapat bahwa pelaksanaan Qanun SI baru menyentuh masayarakat kecil saja. ”Dua puluh koma sembilan puluh delapan persen responden berpendapat sebaliknya dan 29,60 % ragu-ragu dalam memberikan jawaban,” jelas Roy Vahlevi Mahfud, Direktur Eksekutif YICM (7/01/07). Komnas Perempuan bahkan mengungkapkan bahwa selama tahun 2005 tercatat
LIPUTAN KHUSUS
Saat Rakyat Aceh Harus Memilih
S
alah seorang mantan anggota GAM Ibrahim mengatakan belum memutuskan siapa kandidat gubernur yang akan dipilihnya dalam Pilkada Aceh pada 11 Desember 2006. “Saya diberi tahu kawan, calon GAM hanya Irwandi. Sudah ada arahan pimpinan, tetapi saya belum memutuskan.” Irwandi-Nazar (IRNA) pastinya tenang mendengar ini. Jika anggota GAM yang cukup lumayan itu diorganisir, maka separuh jalan kemenangan pun terbuka lebar.
Irwandi Yusuf- M Nazar saat Kampanye pilkada. (foto Gamal)
Ini ditambah dengan loyalitas dari hampir semua calon wali kota GAM yang cenderung mendukung pasangan IRNA. Jumlahnya 16 pasang. Hanya di Pidie, calon bupati dari GAM yang nyata menyokong pasangan Humam-Hasbi dari PPP. Tokoh GAM sendiri memberikan garansi. “Kami akan melakukan pengawalan dan pemantauan dalam proses pemungutan suara untuk mengantisipasi adanya kecurangan” ujar Amni Ahmad Marzuki, juru bicara GAM di Komisi Peralihan Aceh (KPA) dan mantan juru runding GAM itu. Upaya ini dilakukan bahkan dalam pilkada putaran kedua. Kesolidan GAM ini berbuah manis. IRNA menang di 16 dari 21 daerah pemilihan. Di lima kabupaten, IRNA menjadi juara, yaitu Kab. Sabang, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, dan Aceh Jaya—di mana cabup-cawabup GAM juga menang. Di tiga kabupaten lainnya yaitu Aceh Besar, Aceh Selatan dan Aceh Tamiang, IRNA melenggang mendahului para pesaingnya. Maklum, daerah ini pernah menjadi basis GAM. Daerah-daerah tersebut satu simpul dengan Aceh Barat, Nagan Raya, dan Bireuen. Hebatnya, GAM yang tak punya calon di Kab. Simuleu, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara, tapi IRNA tetap tak tertahankan. Begitupun daerah Aceh Barat Daya (Abdya) dan Langsa di mana GAM tidak dominan. Pihak GAM senang bukan kepalang. Partai independen, kendaraan politik mereka, menggungguli partai-partai ‘konvensional’. Sebaliknya, elite politik di Jakarta ketar-ketir menghadapi ke-
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007 46 kasus pelanggaran syariat. Tujuh puluh persennya (32 kasus), perempuan menjadi terdakwa dan terhukum. Ini artinya secara de facto, perempuan adalah sasaran utama dalam praktik penerapan syariat Islam di NAD. Belum lagi soal perebutan ‘lahan’ antara polisi syari’at dan polisi (nasional), seperti dikutip laporan International Crisis Group medio 2006. Dengan dua kecenderungan ini, kemana pendulum politik Aceh akan bergerak?
****
Otonomi khusus Aceh nampaknya akan menuju pragmatisme politik.Walaupun, latar belakang Gubernur Irwandi Yusuf terbiasa mengkampanyekan pemisahan Aceh dari RI, sementara Wagub M. Nazar dari SIRA memfasilitasi pilihan itu. ”Namun dalam soal ideologi keduanya termasuk sekuler,” jelas Indra J. Piliang dalam Otonomi Paham Separatis’ di Majalah Tempo (18/12/06). Maksud sekuler di sini yaitu tidak adanya keberpihakan kepada penegakan SI secara jelas. Dalam situs resminya, SIRA tidak pernah menyinggung soal SI. Begitupun GAM. Pernyataan Acheh-Sumatra Merdeka atau yang lebih familiar sebagai Deklarasi GAM tidak pernah menyebut SI secara definitif.
Hanya ada satu kalimat saja tentang Islam. “…semuanya sebagai Wali Negara dan Panglima Tertinggi yang silih berganti dari negara Islam Acheh Sumatra,” demikian bunyi paragraf kelima deklarasi GAM tersebut. Tetapi yang dimaksud bukanlah Aceh dengan formalisasi SI seperti saat ini. ”Konteksnya adalah untuk membedakan diri dengan Indonesia yang majemuk dalam hal agama,” jelas pengamat politik asal Aceh Teuku Kemal Fasya kepada Nurun Nisa dari the WAHID Institute, Selasa (6/02/07). Tgk. Amni Ahmad Marzuki yang pernah menjadi juru runding GAM menyampaikan hal senada. Menurut Amni, SI sudah menyatu dengan budaya masyarakat Aceh. “Jadi GAM tidak tertarik dengan issu seputar formalisasi SI,” tegas Tgk. Amni seperti ditulis Marzuki Wahid dan Nurrohman dalam artikel berjudul Dimensi Fundamentalisme dalam Politik Formalisasi Syari’at Islam; Kasus Nanggroe Aceh Darussalam di Jurnal Tashwirul Afkar, Edisi XIII, 2003. Selain itu, sejak kesepakatan damai Helsinki 15 Agustus 2005 para petinggi GAM mengaku telah meninggalkan cita-cita merdeka. “Seluruh ketakutan Jakarta terhadap kami, telah kami tanggalkan,” kata mantan
nyataan itu. Irwandi Yusuf, misalnya, disangsikan komitmennya terhadap NKRI. “Belum dilantik saja, sudah minta revisi UU dan mendorong parpol lokal,” cetus Sekjen PDIP Pramono Anung di kantor DPD PDIP DKI Jakarta (16/12/2006). Ia memang tidak menampik kemenangan tersebut.“Tapi saya tidak membayangkan kalau mereka dominan dalam eksekutif,” ujarnya. Nada lebih keras datang dari Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) Muladi, yang juga salah satu pengurus Partai Golkar. “Irwandi harus membubarkan GAM, yang selama ini bercita-cita memerdekakan Aceh jika sudah jadi gubernur,” tegasnya kepada wartawan di Istana Negara (13/12/06). Kalau tidak mau, dia menambahkan, “Komitmen Irwandi terhadap negara kesatuan Republik Indonesia diragukan.” Penilaian ini masih dini untuk diungkapkan. Apa sebab? IRNA yang didukung GAM tidak sepenuhnya solid seperti dibayangkan. Jangankan memerdekakan Aceh, mempersatukan GAM saja sulit. IRNA adalah pasangan yang lahir dari GAM yang rapuh. Mereka sebelumnya tak bisa bersepakat untuk memilih figur yang akan digolkan sebagai gubernur. Kelompok generasi tua yang dimotori anggota GAM senior menggandeng Humam Hamid-Hasbi Abdullah (H2O). Hasbi Abdullah adalah adik dari Zaini Abdullah, Menteri Luar Negeri GAM yang bermukim di Swedia. Humam
juru bicara GAM Munawar Liza Zain. Merdeka, baginya, tak ada lagi dalam agenda GAM. “Senjata telah kami potong dan tentara telah kami bubarkan,” tambah Munawar kepada Radio Nederland Wereldomroep (28/12/06). Pasangan Gubernur Irwandi dan Wakil Gubernur Muhamad Nazar pun diperkirakan hanya akan memfokuskan pemerintahan Aceh pada soal-soal krusial. “Di antaranya, perbaikan ekonomi, pembentukan clean government yang bebas dan transparan,” terang Teuku Kemal Fasya yang juga sebagai Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA). Pemerintahan yang peduli lingkungan dan HAM juga akan menjadi agenda politik IRNA. “Ini demi menjaga kepercayaan internasional,” kata Kemal Fasya. Maklum, keberadaan GAM selama ini antara lain berkat dukungan dunia internasional. Bahkan peneliti dari International Crisis Group (ICG) Sidney Jones meyakinkan, “Saya yakin Irwandi akan pragmatis.”
****
Aceh memang sudah saatnya beranjak dari debat memilih berpisah dari NKRI atau formalisme SI. Pembangunan Aceh di segala bidang justru menjadi hal yang paling krusial
Hamid tak kalah pamornya. Ia adik Farhan Hamid, politikus PAN di DPR RI. Ayahnya bahkan ulama kenamaan asal Pidie. Sungguh pa-sangan yang klop. Humam sudah kondang di Aceh sementara Hasbi ‘ningrat’ GAM. Meski nampak ideal, bukan berarti H2O tak punya cacat. Hasbi, bagi sebagian kalangan, mereka dianggap tak patut menerima penghargaan itu. Hasbi bertarung karena nasabnya dengan petinggi GAM, bukan karena dedikasinya kepada GAM. Ketika segenap GAM sedang gigihnya berjuang untuk bertahan dari gempuran TNI, Hasbi justru menghilang. Track record Humam lebih buram. Kala menjabat sebagai Ketua KNPI Aceh, Humam diketahui turut mendukung berlakunya daerah operasi militer (DOM) di Aceh. Humam bersama tujuh pejabat Aceh lainnya, termasuk Gubernur Ibrahim Hasan, menandatangani surat permintaan pengiriman pasukan besar-besaran di Aceh pada 1989. Alhasil GAM arus bawah yang dikomandoi pimpinan GAM wilayah mengusung calon sendiri. Tengku Nashiruddin dipasangkan dengan Muhammad Nazar. Tapi duet ini urung maju karena Nashir undur diri. Dan tampillah Irwandi, wakil GAM di Aceh Monitoring Mission (AMM), menggantikan posisinya. Kini, IRNA sudah duduk di kursi Gubernur dan Wagub. Pihak yang lain boleh meradang. Tetapi, inilah pilihan dan keputusan rakyat Aceh yang tetap harus dihormati. Nurun Nisa, Gamal Ferdhi
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007 sekarang ini, misalnya kesenjangan ekonomi dan kesejahteraan penduduk yang rendah. Seperti dilansir Kompas, Aceh adalah provinsi termiskin keempat sebelum tsunami. Angka kemiskinannya mencapai 28,5 %. Pasca tsunami jumlah ini diperkirakan meningkat hingga 7 %. Sehingga menempatkan Aceh sebagai daerah termiskin kedua di Indonesia setelah Papua. Bukan hanya tsunami, maraknya korupsi juga menjadi biang keladi. Oleh sebab itu rakyat berharap gubernur dan wakilnya yang baru segera mengganyang korupsi. “Saya berharap Irwandi-Nazar membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi,” tutur Direktur Eksekutif Liga Kebudayaan Tikar Pandan Azhari (baca: Tak Masuk Akal Birokrasi Mengatur Moralitas). Tak kalah penting adalah bagaimana mera-
wat perdamaian yang sudah disemai dengan susah payah. Bahkan dengan air mata dan darah. Ini amat dinantikan oleh banyak pihak termasuk kalangan dayah (pesantren). “Bagi pemimpin yang terpilih pada pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” papar Tengku Sadikin dari Rabithah Taliban Aceh (RTA). Yang diurai Sadikin adalah salah satu rekomendasi para peserta workshop yang diselenggarakan theWAHID Institute – RTAFakultas Hukum Muhammadiyah Banda Aceh (baca: Workhop Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Aceh Damai)
Di atas semua itu, yang paling utama adalah keterlibatan seluruh komponen Aceh dalam membangun Aceh pasca pilkada dan konflik. Pemerintah mesti melibatkan rakyat Aceh dalam segala proses menuju masa depan Aceh yang lebih baik. Termasuk dalam soal pembuatan policy, kebijakan. ”Kebijakan formalisasi SI itu tidak melibatkan partisipasi banyak pihak, maka dalam implementasinya menemui banyak penolakan dan kontra,” kata Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia Syarifah Rahmatillah (baca: Formalisasi SI di Aceh Belum Partisipatif). Kebersamaan mutlak dijunjung. Dari situlah tumbuh kekuatan walau dilanda prahara apapun. Layaknya pesawat Seulawah yang tetap kokoh hingga kini, meski diterjang tsunami. Wallahu A’lam. Nurun Nisa, Gamal Ferdhi, Ahmad Suaedy
Workshop
Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Aceh Damai
P
ilkada yang memilih calon gubernur, walikota dan bupati serta wakilwakilnya di seantero Nangroe Aceh Darussalam dipastikan digelar Senin 11 Desember 2006.Tapi kekhawatiran gagalnya pesta demokrasi di Serambi Mekkah itu tetap membayangi. Untuk mengantisipasi persoalan itu, the Wahid Institute segera berkomunikasi dengan jejaringnya di Aceh, yaitu organisasi santri dayah Aceh yang bernama Rabithah Thaliban Aceh (RTA) dan Fakultas Hukum Universitas Muhamamadiyah Banda Aceh. Hasilnya, sebanyak 31 pengasuh dayah (pesantren) se–Kota Banda Aceh dan Aceh Besar menggelar workshop Partisipasi Masyarakat Dalam Pilkada Aceh Damai di Aula Pasca Sarjana IAIN AR-Raniry, Banda Aceh, Kamis (7/12/2006). “Apabila Pilkada di Aceh berhasil dan berlangsung damai, maka Aceh akan dijadikan contoh bagi pelaksanaan Pilkada di daerah lain di Indonesia,” kata Sadikin Sulaiman Ketua Pelaksana workshop itu. Para guru senior dayah, santri dan aktivis Muhammadiyah itu berdiskusi dalam forum yang digelar sehari menjelang masa tenang pilkada itu. Mereka membahas mulai dari sejarah Aceh, politik, pilkada hingga kedamaian yang terus bersemayam di Aceh. “Agar proses itu berhasil, perlu partisipasi masyarakat untuk memantau, sekaligus mensosialisasikan proses pelaksanaan mau-
pun pasca Pilkada NAD agar berlangsung damai,” kata Tgk Sadikin Sulaiman membacakan rekomendasi peserta workshop itu. Para agamawan itu juga bersepakat akan melaporkan setiap pelanggaran-pelanggaran kepada lembaga lain yang melakukan pemantauan pilkada. Pemantauan pilkada oleh masyarakat dan pengasuh dayah ini dimulai dari melihat titik rawan pelaksanaan Pilkada. “Seperti pendaftaran, pencalonan, kampanye, pencoblosan, dan penghitungan suara. Kemudian memantau pihak-pihak yang terlibat dalam pilkada, dan menetukan daerah mana yang rawan terjadinya konflik (kekerasan) hingga pasca pilkada.” Kesepakatan lain yang diambil adalah, membentuk jaringan di antara sesama peserta untuk saling menginformasikan hal-hal yang dapat menodai pilkada damai. Selain itu, mereka juga sepakat bahwa ulama dalam proses pilkada seyogianya berperan sebagai pendidik umat.
Workshop Pilkada Aceh Damai
Selain upaya-upaya pada proses pra dan pelaksanaan Pilkada, peserta workshop juga mengajukan satu butir yang harus ditindaklanjuti kepala daerah terpilih. “Bagi pemimpin yang terpilih pada Pilkada nanti harus bisa menjalankan dan menjaga kedamaian di Aceh seperti yang sudah dirasakan sebelumnya, tanpa adanya lagi kekerasan dan konflik yang berkepanjangan pasca penanda-tanganan Nota Kesepahaman (MoU Helsinki), sehingga masyarakat dapat hidup aman dan damai di Aceh,” tandas rekomendasi workshop itu. Gamal Ferdhi
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007
WAWANCARA
“Tak Masuk Akal Birokrasi Mengatur Moralitas” Azhari Direktur Eksekutif Liga Kebudayaan Tikar Pandan Liga Kebudayaan Tikar Pandan (LKTP) adalah sebuah komunitas yang didirikan pada akhir tahun 2000 dengan misi membuka kebuntuan kebudayaan dan kebuntuan berpikir di Aceh karena perang dan konflik politik. Menurut Direktur Eksekutif LKTP Azhari, visi lembaga ini adalah pluralisme, demokrasi, peace building lewat gerakan kebudayaan. “Karena jalur kebudayaan terutama lewat gerakan kesenian dapat menjangkau seluruh unsur di dalam masyarakat Aceh,” kata pria yang lahir pada 5 Oktober 1981 ini. Karena kepedulian Azhari terhadap perkembangan kesenian Aceh pasca kesepakatan damai itulah, Nurun Nisa dari the WAHID Institute mewawancarai jebolan Usyiah itu.
Apakah perkembangan kesenian Aceh terhambat pasca formalisasi Syari’at Islam (SI)? Mestinya tidak! Sebab di dalam masyarakat Aceh sendiri, juga wilayahwilayah lain yang pengaruh Islamnya kuat, kesenian kerap berkerjasama dengan ajaran Islam. Katakanlah ketika Islam memakai kesenian sebagai sarana kampanye. Sehingga di dalam kesenian tradisional di Indonesia kemudian kita menemukan cabang-cabang seni yang berbasiskan ajaran keislaman. Namun, ketika syariat dipraktikan secara formal, seperti praktik Syariat Islam di Aceh, saya melihat ditutupnya peluang untuk kerjasama ini. Sebab hal ini memungkinkan sekelompok masyarakat yang mengatasnamakan diri sebagai pembela syariat untuk membubarkan sebuah pertunjukan kesenian. Beberapa kasus pembubaran itu terjadi di Aceh. Tindakan seperti inilah yang kemudian mengukuhkan bahwa kesenian jauh hubungannya dengan Islam. Bagaimana dengan pagelaran seni yang membuka kesempatan bercampurnya laki-laki dan perempuan? Contoh-contoh yang anda sebutkan adalah konsekuensi yang timbul dari penerapan Syariat Islam secara formal dan simbolis, seperti di Aceh. Maksud saya percampuran ini adalah hal yang tak mungkin kita hindari. Terhadap bercampurnya lelaki dan perempuan, bukankah di pasar dan di bus kota sekalipun begitu? Jika demikian maka sediakan pasar, bus kota, dan fasilitas-fasilitas publik yang lain menurut jenis kelamin jika pembauran dianggap sebagai ganjil. Jadi akan ada pasar untuk perempuan,
Formalisasi SI
di
begitu pula akan ada pasar untuk kaum laki-laki. Apa ada masalah dalam pagelaran kesenian di NAD? Memang ada benturan. Misalnya selama ini setiap seniman yang ingin membuat sebuah pertunjukan mereka harus mendapat rekomendasi dari Dinas Syariat Islam untuk diketahui layak atau tidaknya sebuah pertunjukan dilakukan. Mereka menilai ditinjau dari aspek etika dan moralitas agar tak menimbulkan “keruntuhan akhlak” di dalam masyarakat dengan nilai-nilai yang saya yakin Dinas itu sendiri tak paham batasannya. Sebelumnya kelompok kesenian atau seniman harus mendapat izin dari Polsek dan Polres. Jadi berlapis. Bagaimana mensiasatinya? Kadang kita sarankan kepada kelompok kesenian dan seniman: mari kita tinggalkan kota yang penuh aturan dan menurut kami tak masuk akal ini. Kita melakukan pertunjukan-pertunjukan di kampung-kampung saja. Di kampung-kampung kita tak pernah berhadapan dengan peraturan berlapis tersebut. Kita hanya perlu bilang sama orangtua kampung lalu kita tinggal dirikan panggung. Sejauh ini tak ada reaksi negatif dari masyarakat karena pertunjukan kita dianggap meruntuhkan moral mereka.Yang ingin saya katakan adalah bahwa masyarakat sudah cukup mandiri untuk menilai nista atau tidaknya sebuah pertunjukan. Maka tak masuk akal jika birokrasi ingin mengatur pula moralitas masyarakat. Dengan demikian jangan pernah berharap Orang Aceh akan mempunyai kemerdekaan berpikir! Harapan Anda kepada Gubernur dan Wagub baru Propinsi NAD? Kedua orang itu jelas dipilih melalui Pemilu yang paling demokratis di Aceh dengan tingginya partisipasi rakyat pemilih. Mereka meraih suara terbanyak. Dengan demikian rakyat menaruh harapan pada kedua orang itu. Dan kedua orang itu saya yakin mengetahui apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat Aceh. Harapan saya berilah peluang untuk masyarakat Aceh melakukan produksi. Salah satunya mendorong kekuatan ekonomi rakyat, bukan justru memberi peluang untuk munculnya korporasi yang hanya dikuasai oleh segelintir orang. Juga yang tak kalah penting memberikan subsidi yang menentukan untuk kemajuan dunia pendidikan di Aceh sekaligus menata ulang kurikulum pendidikannya. Dan, hampir lupa, membersihkan birokrasi di Pemda Aceh sebagai sarang korupsi.
Aceh Belum Partisipatif
Syarifah Rahmatillah Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI)
Meski syari’at Islam sudah diimplementasikan di Aceh, tetapi proses formalisasinya belum partisipatif. Berikut wawancara Direktur Eksekutif Mitra Sejati Perempuan Indonesia Banda Aceh Syarifah Rahmatillah dengan Nurun Nisa’ dari the WAHID Institute.
Bagaimana pendapat Anda tentang formalisasi Syari’at Islam (SI) di Aceh? Sebenarnya kalau dilihat latar belakang masyarakat Aceh, Islam dan adat sudah sulit dibedakan. Yang menjadi persoalan ketika SI itu diformalkan, maka kita sampai ke pemahaman Islam yang aplikatif. Kalau bicara Islam yang normatif, semuanya setuju. Tidak ada debat apapun soal
hukum yang diatur dalam Al-Qur’an. Pro kontra, misalnya, ada pada soal partisipasi. Memang ada semacam kekritisan. Ini berasal dari kelompok-kelompok yang hari ini melihat bahwa sebuah perubahan dalam demokrasi, harus melibatkan partisipasi banyak pihak. Jadi itu wajar. Kita yang terlibat di dalam proses transparansi dan partisipasi kebijakan justru melihat, kebijakan formalisasi SI itu tidak melibatkan partisipasi banyak pihak, maka dalam implementasinya menemui banyak penolakan dan kontra. Siapa saja penentu kebijakan di NAD? Di Aceh dengan UU No. 44 Th. 1999 pengambil dan penyusun kebijakan itu tiga; eksekutif, legislatif, dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007
RAK BUKU Sejarah Konflik Aceh: Pelajaran Bagi Penyelesaian Konflik
R
umitnya penyelesaian konflik Aceh pada masa orde baru hingga orde reformasi sebelum akhirnya sepakat diakhiri pada 15 Agustus 2005 di Helsinki oleh pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), tidak dibaca sebagai sekadar kekecewaan rakyat Aceh pada pemerintahan yang berkuasa, atas pola penyelesaian pemerintah kita di masa lalu yang cenderung represif dan otoriter. Ia bisa juga dibaca melalui perspektif sejarah konflik Aceh di masa lalu. Buku Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Kerajaan Aceh Abad ke-19, hasil terjemahan dari disertasi doktoral 40 tahun silam Anthony Reid, ahli sejarah Asia Tenggara, berjudul The Contest for North Sumatra Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898 bisa dijadikan rujukan penting untuk melihat konflik Aceh di masa lalu, sebagai bahan pelajaran untuk memetakan konflik Aceh saat ini demi merumuskan model yang tepat untuk menyelesaikan konflik secara permanen. Disertasi ini, sebetulnya, tidak diarahkan pada klaim atas kemerdekaan Aceh, tetapi murni hasil penelitian sejarah dengan motivasi bernada simpatis terhadap suatu wilayah kecil yang mencoba bertahan hidup dalam lingkungan yang berseteru. Walau begitu, buku ini tetap menjadi satu-satunya catatan arsip studi yang cermat tentang masuknya Aceh ke dalam perpolitikan di Indonesia di kemudian hari. Nuansa persaingan ekonomi dan politis
pada konflik Aceh di masa lalu, misalnya, tampak pada persoalan perebutan Pantai Timur Sumatera (18581865). Pada 1854 Sultan Ismail gundah karena kedatangan sebuah armada Aceh yang mengultimatum semua negeri di Pantai Timur sampai Serdang di selatan agar mengakui kekuasaan Sultan Ibrahim. Karena tidak berdaya, pada 1856 Sultan Ismail berlayar ke Singapura untuk meminta bantuan kepada Gubernur E.A. Blundell, meskipun sia-sia. Ia kemudian membuat perjanjian dengan Adam Wilson, yang bersedia mengirimkan tentara untuk meruntuhkan pengaruh Tengku Putra, ipar sendiri yang ternyata lebih berpengaruh daripada dirinya, dengan imbalan hak-hak istimewa di bidang perdagangan di Siak dan sepertiga dari laba wilayah yang direbut kembali. Tanpa menghiraukan peringatan Blundell, Wilson membawa sebuah pasukan ke Siak pada bulan November dan menempatkan dirinya sendiri sebagai penguasa. Melihat gelagat buruk yang muncul, Tengku Putra dengan cepat meminta bantuan Blundell untuk mengusir Wilson, karena menurutnya, Wilson telah melanggar janji Inggris tahun 1824 yang menyatakan bahwa Inggris tidak akan campur tangan di Sumatera. Sayangnya, Blundell mengaku tidak tahu menahu soal tindak-tanduk Wilson. Akhirnya, Tengku Putra, melalui
Intinya tiga lembaga ini tahu sama tahu. Tekniknya terserah. Prinsipnya adalah legitimasi tiga lembaga itu. Perkembangannya sekarang? Sekarang masyarakat sudah mulai dimasukkan dalam proses pengambilan keputusan melalui lembaga ulama dan lembaga legislatif. Kalau dari eksekutif, mungkin agak sulit. Karena dalam PP No. 10 Th 2004 diatur bahwa partisipasi masyarakat boleh melalui eksekutif, boleh melalui inisiatif anggota dewan. Saya fikir teman-teman di seluruh Indonesia juga sedang memperkuat itu. Bagaimana dengan keterlibatan perempuan? Sudah lebih baik walaupun ini bukan sesuatu yang bisa dinilai hitam-putih. Ini kan proses perubahan. Jangankan partisipasi perempuan, partisipasi orang umum, partisipasi laki-laki selama ini juga dinafikan. Jujur, saya ikut dalam proses perubahan itu. Walaupun kecil, saya melihat sudah lumayan baik. Tidak ada sejarah di Indonesia ini, pembuatan
Sejarah Konflik Aceh: Pelajaran Bagi Penyelesaian Konflik Judul
Asal Mula Konflik Aceh: Dari Perebutan Pantai Timur Sumatera hingga Akhir Abad ke-19 Judul asli The Contest for North Sumatra Acheh, the Netherlands and Britain 1858-1898 Penulis Anthony Reid Penerjemah Masri Maris Penerbit Yayasan Obor Indonesia (YOI) Tahun Terbit 2005 Tebal xviii+372 hlm
Raja Muda dari Riau, meminta bantuan Residen Belanda yang juga berkedudukan di Singapura. Dan, rupanya, Sultan Ismail yang kecewa dengan Wilson juga meminta bantuan kepada Belanda. Belanda sepakat menyelesaikan persoalan di Siak, terutama Pantai Timur Sumatera, dengan permintaan imbalan yang lumayan beresiko: Siak dan Pantai Timur di bawah kekuasaan Belanda. Konflik Aceh dulu dan sekarang tidak berbeda.Yang membedakan hanya soal waktu dan pelakunya. Kalau dulu, pelakunya melibatkan kekuatan-kekuatan asing, saat ini justru pelakunya adalah kekuatankekuatan politik dalam negeri sendiri. Beruntung, konflik saat ini telah berakhir. Rakyat Aceh telah memulai hidup baru dan berusaha melupakan konflik di masa lalu. Tetapi, Aceh tetaplah Aceh yang dilahirkan oleh sejarah masa lalu. Jika pemerintah saat ini tidak jeli memperhatikan ini, bisa jadi konflik meletup kembali.(*)
Fajar Kurnianto, Alumni Pesantren Darus-Sunnah, Ciputat
undang-undang yang melibatkan partisipasi masyarakat seperti Undang-Undang Pemerintahan Aceh. Itu menunjukkan, sebenarnya pintu perubahan di Aceh sudah mulai terbuka. Maka kita jalani, kita isi, dan yang paling penting kita pahami betul-betul.
Syarifah Rahmatillah Lahir di Banda Aceh, 6 Desember 1971, Syarifah Rahmatillah adalah sarjana hukum lulusan Universitas Syiah Kuala. Selain menjadi Direktur Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MISPI), perempuan dengan dua anak ini juga anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) NAD 2003-2008 dan pernah bergabung dalam tim dialog GAM-RI tahun 2000. Saat ini ia sedang memangku amanat sebagai staf Ahli Gubernur (sejak 2005),Tim Advokasi RUU PA, dewan pengurus Flower Aceh (2004-2009), dan pegawai pada Badan Pertanahan Nasional.
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007
KOLOM
Masa Depan Aceh Pasca-Pilkada Teuku Kemal Fasya
“Normal men do not know that everything is possible in politic.” David Rousset
K
alimat di atas merupakan pilihan Hannah Arendt untuk pembukaan karya magnum opus-nya, The Origins of Totalitarianism. Buku itu seperti sketsa ilmiah pengalamannya sebagai Yahudi yang terusir akibat politik pembersihan etnik yang dilakukan rejim Hitler.Tulisan ini hanya mengaluri konsep analisis serba kemungkinan politik Arendt untuk melihat realitas masa depan Aceh pasca-Pilkada. Kemenangan Irwandi Yusuf – Muhammad Nazar yang maju melalui jalur independen cukup siginifikan (38, 20%) dibandingkan pasangan lainnya yang diusung partai politik nasional, seperti PPP (Humam Hamid - Hasbi Abdullah (16, 62%)) dan Golkar-PDIP-Partai Demokrat (Malik Raden - Fuad Zakaria (13, 97%)). Hal ini menunjukkan adanya keinginan besar dari pemilih terhadap perubahan strategi politik di Aceh dibandingkan era politik birokratisme masa lalu. Kemenangan ini juga menjadi sinyal berhentinya politik hanya sebagai simulacra elite yang bergonjang-ganjing antara diplomasi, konsesi, dan kompromi. Masyarakat menginginkan sesuatu yang nyata dan pasti, yang menghablur kepentingan mereka. Meskipun demikian, pemerintahan baru bukanlah jelmaan Julius Kaisar. Ada banyak hambatan sana sini. Hal pertama yang paling menggelegak adalah bagaimana pemerintahan baru ini mempersiapkan visi sekaligus pranata politik fundamental untuk memperbaiki Aceh yang telah lantak oleh korupsi, konflik kekerasan, dan tsunami. Era pemerintahan Irwandi-Nazar memang berada di titik optimum ketidak-kepercayaan, seperti soal pemerintahan bersih (clean government), rekonstruksi pasca-tsunami, dan pemulihan sosial-budaya pasca-konflik belum lagi berhasil dilaksanakan dengan sigap oleh pemerintahan sebelumnya. Bukan cerita baru bahwa ketidakpuasan dan kefrustasian masyarakat korban (social discontent) mulai muncul ketika pemerintahan era transisi Azwar Abubakar dilanjutkan Mustafa Abubakar tidak mampu menangguk tanggung jawab untuk bekerja cepat dan tepat di masa penuh luka dan prahara itu. Hal kedua yang menjadi problem adalah bagaimana menyinergikan misi politik dengan legislatif sebagai counterpart dalam mempersiapkan agenda-agenda pembaharuan dan kebijakan. Sebagai pasangan yang muncul dari jalur independen, jelas mereka belum memiliki kaki di DPRD yang bisa mengongsikan kepentingan sekaligus juru penerang awal atas kebijakan yang akan diambil. Masa depan kinerja mereka bisa sangat tak menentu, karena meskipun era partai politik lokal seperti akan terbuka lebar dengan pemberlakuan UU No. 11/2006 (UU Pemerintahan Aceh), namun realisasinya baru terlihat melalui
pemilu 2009. Inilah masa tunggu bagi pemerintahan baru ini untuk terus melakukan terobosan sekaligus seni akrobatik dalam berdiplomasi dan berpolitik (art of politic). Karena jika sampai keliru langkah, pasangan muda ini dapat terjerambab pada sikap oportunistik atau involutisme, sehingga harapan akan perubahan seperti menunggu Godot yang tidak pernah muncul. Tantangan ketiga yang tak sabar ditunggu khalayak adalah bagaimana mengompromikan kekuasan eksekutif dengan sisa-sisa rejim lalu yang masih bercokol di pemerintahan. Era pemerintahan “orang partai” dan “birokrat” memang telah selesai, namun birokrasi, seperti dikatakan Weber, memiliki rasionalitas sendiri yang tidak mudah lekang. Rasionalisme pemerintahan lalu yang dianggap lebih mengabdi kepada kepentingan birokrasi dibandingkan kepada komitmen sosial dan penuntasan derita masih harus diuji dan diperbaiki. Tantangan ini akan dilihat pada sejauh mana pemerintahan Irwandi-Nazar akan mampu membersihkan birokrasinya dari orang-orang lama yang lamban dan korup, sekaligus mempertahankan yang bersih dan profesional. Misteri keempat yang mungkin menggoda adalah bagaimana pemerintahan baru melihat keberadaan Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) sebagai lembaga super yang bertindak pada proses pemulihan ekonomi-sosial-budaya pasca-tsunami. Eksistensi BRR dilihat bukan saja karena besarnya anggaran yang dimilikinya (dari donor internasional), tapi juga kompetensinya mengambil-alih tugas eksekutif. Imajinasi awal pembentukan BRR adalah karena adanya fakta pemerintahan Aceh yang lumpuh dan lemah ketika tsunami menghantam Aceh di 2004. Namun, ketika pemerintahan legitimated telah terbentuk, apakah dualisme pemerintahan ini perlu dipertahankan? Apalagi kritikan yang terus menderu atas kegagalan BRR melakukan percepatan pembangunan dan kebijakan populis yang membahagiakan masyarakat. Keempat masalah ini akan memberikan gambaran bahwa pemerintahan baru belum perlu diberi puja-puji berlebihan. Ada banyak tantangan yang membebat. Belum lagi meredam keinginan dan menyeleksi aktivis GAM dan SIRA sebagai true believers dan mesin politik dalam Pilkada lalu untuk masuk di jajaran pemerintahan. Ada kualifikasi kompetensi dan golongan/kepangkatan yang sangat perlu dipertimbangkan, sehingga pemerintahan kali ini tidak dinilai sebagai kekuatan aji mumpung yang hanya akan mengulang sejarah luka. Seperti kutipan Arendt di awal tulisan, dalam politik segalanya terlihat mungkin, entah menyalip di tikungan berbahaya ataukah berhenti di terminal sejahtera. * Teuku Kemal Fasya, Ketua Komunitas Peradaban Aceh (KPA)
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007
Aktivitas
1
68
2
7 7
89
9
3
10 4
5
Info Foto 1. Workshop “Monitoring dan Advokasi Kebijakan Diskriminatif dalam Konteks Pilkada (Tahun II)” dengan jaringan-jaringan the WAHID Institute (TWI) di daerah di Wisma Syahida, 22-25/11/2006. 2. Berbagi pengalaman dengan para Imam dan aktivis perempuan dari Bangladesh tentang penanganan perdagangan anak-anak dan perempuan, 26/11/2006. 3. Workshop “Partisipasi Masyarakat dalam Pilkada Aceh Damai” kerja sama TWI-Rabithah Thaliban Aceh-Fak Hukum Universitas Muhammadiyah di Banda Aceh, 17/12/2006. 4. Musyawarah pembentukan Tim Advokasi RKUHP bersama para aktivis LSM, 20/12/2006. 5. Bedah Buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita karya Gus Dur kerja sama TWI dengan Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas (BEMU) UIN Jakarta di Ciputat, 27/12/2006.
6. Live-in 25 pendeta di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya pimpinan KH. Ilyas Ruhiat sebagai kelas penutup kursus Islam dan Pluralisme angkatan ke-2 kerja sama TWI-Crisis Center Gereja Kristen Indonesia (CCGKI), 02/01/2007. 7. FGD “Peran Masyarakat Sipil dalam Mewujudkan Pilkada yang Berkualitas di Jepara” kerja sama TWI dan Laboratorium Dakwah Shalahuddin (LABDA) Yogyakarta, 31/01/2007. 8. Workshop Penyusunan Kursus Islam dan Pluralisme kerja sama TWI dengan CC-GKI, 1/02/2007. 9. Sharing pengalaman mengelola micro credit antara Koordinator Forum Bangun Aceh (FBA) Azwar Hasan dengan Direktur TWI,Yenny Wahid dan para staf, 5/02/2007. 10. Direktur TWI Yenny Wahid menyampaikan bantuan untuk korban banjir di Kampung Cabang Empat, Desa Hurip Jaya, Bekasi, 8/02/2007.
No. 4/Th. I/Desember - Maret 2007