KETAHANAN SOSIAL MASYARAKAT SEBAGAI GARDA PENGGERAK PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL; Studi Kasus di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan SOCIAL RESILIENCE AS MOVER OF SOCIAL WELFARE DEVELOPMENT; Study in Tanjung Pasir District of Pemulutan, Ogan Ilir, South Of Sumatera. Ahmad Suhendi1
Abstrak Pembangunan kesejahteraan sosialselama ini selalu melibatkan instansi terkait termasuk komponen masyarakat di level grassroot. Salah satu komponen masyarakat yang ikut dalam mewarnainya di level grassroot adalah Kelompok Kerja Ketahanan Sosial (Pokja Tansosmas) Sriwijaya sebagai “garda penggerak pembangunan kesejahteraan sosial” di Desa Tanjung Pasir di Kabupaten Ogan Ilir. Pokja Tansosmas Sriwijaya telah membuktikan kiprahnya di Desa Tanjung Pasir dalam meningkatkan kepedulian sosial dan lingkungan hidup. Salah satu bentuk perlindungan sosial yang telah diwujudkan yaitu membangun rumah layak huni bagi keluarga Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.Hasil penelitian menunjukkan, bahwa secara umum keberadaan pokja tansosmas tersebuttelah dirasakan manfaatnya, terutama dalam meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap permasalahan sosial yang ada di lingkungannya; dapat menggali potensi dan sumber kesejahteraan sosial yang digunakan dalam penanganan permasalahan sosial yang ada; dan dapat meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam menggerakkan pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungan desa tersebut. Kata Kunci : Kelompok Ketahanan Sosial, Garda Penggerak, Pembangunan Kesejahteraan Sosial.
Abstract Social welfare development commited to involving the relevant agencies of society in an grassroot component including always. One of the component of the people who’s come in animate in an grassroot is the sriwijaya working group of social resilience; as a mover of social welfare development at Tanjung Pasir Village in District of Ogan Ilir. The Sriwijaya working group of social resiliencehave proved to gainof Tanjung Pasir Village in raising and social careand environment. One of the social carethat have been realized to building the livable house for the Families of the Persons with Social Problem. of social resilience and, mainly to improve the social concern people’s to solve the social problems; exploring the potential and sources of social welfare; and to increasing the social resilience for improve the social welfare development. Keywords:Group of social resilience, guard mover, social welfare development.
1.
Peneliti Muda Puslitbang Kessos Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Kementerian Sosial RI alumnus Strata Satu STKS Bandung dan Pascasarjana Universitas Indonesia Jakarta.
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
221
PENDAHULUAN Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial (Puslitbang Kessos) sebagai unit penunjang berada di bawah Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial di lingkungan Kementerian Sosial RI, turut ambil bagian dalam pembangunan kesejahteraan sosial melalui berbagai penelitian atau pengkajian di berbagai lokasi di Indonesia. Undang Undang RI No. 11 Tahun 2009 pada Pasal 4 diamanatkan, bahwa negara bertanggung jawab atas penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Pasal 5 ayat 1 dinyatakan, penyelenggaraan kesejahteraan sosial ditujukan atau masyarakat. Lebih lanjut Pasal 12 ayat 1 point “b” (pemberdayaan sosial dimaksudkan atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Berkaitan dengan itu, salah satu kegiatan yang dilakukan adalah dalam bentuk ”Penelitian Pengembangan Desa Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata Sosial”. Secara empiris, pelaksanaan model ini sangat membantu memecahkan berbagai masalah sosial di lapangan. Untuk itu diperlukan adanya kader yang merupakan keterwakilan berbagai pranata sosial lokal yang tergabung kedalam kelompok kerja ketahanan sosial masyarakat (pokja tansosmas) untuk memfasilitasi peningkatan ketahanan sosial masyarakat dan sekaligus sebagai penggerak pembangunan kesejahteraan sosial. Secara konseptual ketahanan sosial adalah suatu kemampuan komunitas dalam mengatasi resiko akibat perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Upaya tersebut mengacu pada Keputusan Menteri Sosial 2010 model ini telah diimplementasikan di 18 provinsi berkaitan dengan pengembangan desa berketahanan sosial terhadap komunitas
222
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
dan mengatasinya. Pada lokasi penelitian sudah terbentuk 52 pokja dan 208 sub pokja yang melakukan kegiatan keempat dimensi. Secara umum berdasarkan kesimpulan hasil penelitian yang telah dilakukan (Suhendi, dkk., 2007-2009, serta Jayaputra, dkk., 2010) dikatakatan, bahwa : 1) Masing-masing provinsi atau lokasi penelitian mempunyai penekanan prioritas masalah yang berbedabeda dalam mengatasi masalah lokalnya. Hal ini dapat dilihat dari rumusan rencana aksi yang mereka susun bersama secara partisipatif berdasarkan kearifan lokal. Karakteristik wilayah dan sumber daya manusia lokal turut berpengaruh terhadap hasil pemberdayaan pranata sosial yang telah dilakukan tim pusat dan daerah; dan 2) Pada tataran komunitas, adanya hasil yang maksimal dimana komunitas menyadari pentingnya partisipasi dalam proses pemberdayaannya. Partisipasi di tingkat akar rumput (grassroot) menumbuhkan peningkatan pemahaman (kognitif), rasa (afeksi), maupun ketrampilan (konatif) mereka dalam memetakan, merumuskan rencana aksi yang dilakukan. Selama ini kemampuan tersebut tidak pernah mereka rasakan sebelumnya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh: 1) deskripsi kondisi ketahanan sosial masyarakat setempat dilihat dari empat dimensi ketahanan sosial masyarakat (sebagai look); 2) deskripsi rancangan bentuk kegiatan yang dapat dilakukan pokja tansosmas (sebagai think); dan 3) deskripsi implementasi upaya yang dilakukan oleh pokja tansosmas (sebagai act). Jenis penelitian ini merupakan penelitian tindakan (action research), yakni suatu penelitian yang ditujukan untuk kegunaan praktis dalam kehidupan nyata yang ditujukan untuk memperbaiki praktek-praktek yang ada. Metode penelitian tindakan adalah suatu penelitian yang dikembangkan bersama-sama
2012
antara peneliti dan penentu kebijakan (decition maker) tentang variabel-variabel yang dapat dimanipulasi dan dapat segera digunakan untuk menentukan kebijakan pembangunan. Tujuan utama dari penelitian tindakan untuk secara operasional, sehingga dapat digunakan ketika kebijakan dilaksanakan. Disebutkan juga penelitian tindakan partisipan, gagasan sentralnya bahwa orang yang akan melakukan tindakan harus terlihat dalam proses penelitian dari awal (Komaruddin, 1984; M. Nazir, 1988; dan Suwarsih, 2007). Demikian juga pendapat Reason and Bradbury (2000), yang menyatakan bahwa penelitian tindakan adalah proses partisipasi, demokrasi yang berkenaan dengan pengembangan pengetahuan praktis untuk mencapai tujuan-tujuan mulia manusia, berlandaskan pandangan dunia partisipatori yang muncul pada momentum historis sekarang ini. Ia berusaha memadukan tindakan dengan pihak-pihak lain untuk menemukan solusi praktis terhadap persoalan yang menyesakkan dan lebih umum lagi demi pengembangan individu-individu bersama komunitasnya. Pendekatan penelitian ini melalui pendekatan kualitatif yang digunakan untuk memahami subjek penelitian terutama keterwakilan dari pranata sosial yang mempunyai keunikan dan memposisikan anggota sebagai subjek penelitian serta sebagai pelaksana utama dalam keseluruhan proses kegiatan. Tahapan penelitian mengacu kepada Principles of Community-Based Action Research (Stringer; 2009), yang digambarkan sebagai berikut:
Gambar: Spiral Tahapan Community-Based Action Research
Berdasarkan spiral tahapan CommunityBased Action Research di atas dapat diuraikan sebagai berikut : 1) Look; Tahap ini peneliti harus mampu mengumpulkan data dan fakta sebagai bahan awal memahami kondisi sebenarnya sebelum proses action dilakukan. Dari data dan fakta tersebut, akan digambarkan hubungan, korelasi dan sebab akibat dari variabel yang satu dengan variabel yang lainnya. Berdasarkan hal itu, maka dibuat batasan tentang masalah, potensi, dan kesiapan masyarakat dalam berpartisipasi menguatkan sistem ketahanan sosial masyarakat. 2) Think; dilakukan eksplorasi terhadap data dan fakta yang ada serta menemukan hipotesis hubungan antar variabel. Hipotesis yang dikemukakan akan dijadikan dasar untuk menginterpretasikan dan menjelaskan sesuatu hubungan dalam teori. Dan 3) Act; Pada kegiatan ini, menggunakan pendekatan partisipasi, dimana ada keterlibatan dari komunitas yang merupakan wakil dari pranata sosial yang peduli terhadap peningkatan ketahanan sosial masyarakat. Pengambilan sampel dilakukan secara bertujuan (purposive sampling) terhadap informan. Dalam hal ini perwakilan beberapa unsur pranata sosial yang terdapat di lokus penelitian. Teknik pengumpulan data yang
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
223
digunakan yaitu wawancara, pengamatan (observasi), studi dokumentasi, dan diskusi kelompok terarah. Lokus penelitian di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir di Provinsi Sumatera Selatan. Alasan pemilihan lokus, yaitu untuk mendukung kontrak kinerja Kemensos RI dalam pembangunan kesejahteraan sosial di 50 kabupaten tertinggal. Selain itu atas permintaan dinas sosial setempat untuk mengimplementasikan model pengembangan desa berketahanan sosial. Berdasarkan data dan informasi yang diperoleh kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif serta disajikan secara deskriptif. Tinjauan pustaka diambil dari beberapa konsep yang relevan dengan topik penelitian, antara lain : 1. Konsep Daerah Tertinggal Menurut Saifullah (Bappenas, 2006), daerah tertinggal adalah sebagai daerah kabupaten yang masyarakat serta wilayahnya relatif kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain dalam skala nasional. Lebih lengkapnya diamanatkan Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal, Bappenas (2006), yang menyatakan bahwa suatu daerah dikategorikan tertinggal, karena: karena letaknya yang jauh di pedalaman, dan pulau-pulau terpencil atau karena faktor geomorfologis lainnya sehingga sulit dijangkau oleh jaringan, baik transportasi maupun media komunikasi; (b) dari sisi sumber daya alam, tidak memiliki potensi, atau memiliki sumber daya alam besar namun lingkungan sekitarnya merupakan daerah yang dilindungi atau tidak dapat dieksploitasi, dan daerah tertinggal akibat eksploitasi sumber daya alam yang berlebihan; (c) dari sisi sumber daya manusia, umumnya
224
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
masyarakat di daerah tertinggal, tingkat pendidikan, pengetahuan, dan keterampilannya relatif rendah serta kelembagaan adat yang belum berkembang; (d) keterbatasan prasarana dan sarana komunikasi, transportasi, air bersih, irigasi, kesehatan, pendidikan, dan pelayanan lainnya yang menyebabkan kesulitan untuk melakukan aktivitas ekonomi dan sosial; (e) seringnya (suatu daerah) mengalami bencana terganggunya kegiatan pembangunan sosial dan ekonomi; dan (f) suatu daerah menjadi tertinggal, disebabkan oleh beberapa kebijakan yang tidak tepat, seperti: kurang memihak pada pembangunan daerah tertinggal, kesalahan pendekatan dan prioritas pembangunan, serta tidak dilibatkannya kelembagaan masyarakat adat dalam perencanaan dan pembangunan. Selain itu dikatakan, bahwa pembangunan daerah tertinggal perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik masing-masing daerah, setidaknya dapat dilakukan melalui strategi: (a) pengembangan ekonomi lokal, yang diarahkan untuk mengembangkan ekonomi daerah tertinggal dengan didasarkan pada pendayagunaan potensi sumber daya lokal (sumber daya manusia, sumber daya yang dimiliki masing-masing daerah, oleh pemerintah dan masyarakat, melalui pemerintah daerah maupun kelompok-kelompok kelembagaan berbasis masyarakat yang ada; (b) pemberdayaan masyarakat, yang diarahkan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agar berperan aktif dalam kegiatan sosial, budaya, ekonomi, dan politik; (c) perluasan kesempatan, strategi ini diarahkan untuk membuka keterisolasian daerah tertinggal agar mempunyai keterkaitan dengan daerah maju; (d) peningkatan kapasitas, strategi ini diarahkan untuk meningkatkan kapasitas kelembagaan dan sumber daya manusia pemerintah dan
2012
masyarakat di daerah tertinggal; dan (e) peningkatan mitigasi dan rehabilitasi, strategi ini diarahkan untuk mengurangi resiko dan memulihkan dampak kerusakan yang serta berbagai aspek dalam wilayah perbatasan. Dalam konteks penelitian ini, daerah tertinggal dimaksud adalah sebagai suatu daerah dimana masyarakatnya hidup dalam keterbatasan dari sisi kebutuhan dasar, yakni: sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, transportasi, partisipasi dalam masyarakat, informasi, dan tabungan. Desa Tanjung Pasir merupakan bagian daerah tertinggal yang memang pada kenyataannya memenuhi beberapa karakteristik di atas. 2. Pranata Sosial Pranata sosial menurut Koentjaraningrat (1996) adalah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitasaktivitas untuk memenuhi kompleks kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Pranata sosial menunjuk pada unsur-unsur yang mengatur perikelakuan para anggota masyarakat. Istilah lainnya yakni lembaga kemasyarakatan, karena pengertian lembaga lebih menunjuk pada sesuatu bentuk dan sekaligus juga mengandung pengertianpengertian yang abstrak perihal adanya normanorma dan peraturan-peraturan tertentu yang menjadi ciri dari pada lembaga tersebut. Sementara itu Soekanto (1983), mengatakan lembaga (institution) merupakan: 1) Cara berprilaku yang telah distandardisasikan; 2) Kompleks kegiatan-kegiatan kooperatif; dan 3) Norma-norma dari tingkatan yang berkisar pada kebutuhan pokok manusia. Lebih lanjut Soekanto (1990) mengatakan, bahwa suatu lembaga kemasyarakatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokok dari manusia pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi yaitu: 1) Memberikan pedoman pada
anggota-anggota masyarakat, bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap didalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat yang terutama menyangkut kebutuhan-kebutuhan yang bersangkutan; 2) Menjaga keutuhan dari masyarakat yang bersangkutan; dan 3) Memberikan pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari pada masyarakat terhadap tingkah laku anggota-anggotanya. Sistem pola-pola resmi yang dianut suatu masyarakat untuk berinteraksi dalam sosiologi dan antropologi disebut pranata (institution). Dalam bahasa sehari-hari istilah institution (pranata) sering dikacaukan dengan institute (lembaga). Pranata adalah sistem norma atau aturan-aturan yang menyangkut suatu aktivitas masyarakat yang bersifat khusus, sedangkan lembaga adalah badan atau organisasi yang melaksanakannya. Istilah yang lebih jelas, perkumpulan sebagai organisasi buatan bersifat organisasi formal (formal organization) dan kelompok primer bersifat organisasi informal (informal organization) sebagai organisasi adat (Koentjaraningrat, 1996). Organisasi ada dua macam yaitu: 1) Organisasi yang sengaja dibentuk, lengkap dengan aturan-aturannya serta sistem norma yang mengikat para anggotanya; dan 2) Organisasi yang terbentuk karena adanya ikatan alamiah dan keturunan, yang mengikat para warganya dengan adatistiadat serta sistem norma yang telah tumbuh sejak dulu kala. Pranata sosial dilaksanakan oleh masyarakat dan lembaga yang melaksanakan aturan-aturan atau norma-norma. Masyarakat yang akan melaksanakannya terdiri dari tokoh masyarakat dan masyarakat itu sendiri. Kelompok ini yang paling mengetahui tentang aturan-aturan adat yang harus dilaksanakan bersama masyarakat. Berkaitan dengan adat, tentunya mereka mengetahui pelanggaran dan sanksi hukum adat bagi pelanggarnya. Untuk itu
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
225
pengendalian sosial diperlukan sebagai upaya untuk menjaga keteraturan dan keseimbangan dalam masyarakat. Biasanya orang yang melakukan penyimpangan akan diberi sanksi berupa denda atau hukuman adat. Pemberian sanksi atau hukuman tersebut tergantung bentuk dan jenis pelanggaran yang dilakukan. Ada juga yang melarikan diri atau keluar dari kelompok masyarakatnya (Koentjaraningrat, 1996). Dilihat pembentukan pranata sosial terdiri dari tiga yaitu tradisional, masyarakat, dan pemerintah. Pertama pranata sosial yang dibentuk secara tradisional yakni pranata sosial dalam masyarakat yang sudah ada sejak lama dan sifatnya turun temurun. Sering tidak diketahui asal usulnya dan tidak diketahui siapa pendirinya, sehingga masyarakat hanya tahu melaksanakan aturan dan norma yang sudah ada. Misalnya: gotong royong dalam masyarakat Jawa, royong dalam masyarakat Dayak, alang tulung dalam masyarakat Gayo, dalihan na tolu dalam masyarakat Batak, atau pela gandong dalam masyarakat Ambon. Kedua pranata sosial bentukan masyarakat yakni pranata sosial yang dibentuk sesuai dengan keperluan masyarakat. Pembentukannya ada yang tidak diketahui, karena sejak dahulu sudah ada dan yang diketahui secara pasti karena terbentuk secara jelas. Misalnya: banjar dalam masyarakat Bali, nagari dalam masyarakat Minangkabau, dan desa dalam masyarakat Jawa. Jenis yang disebutkan merupakan pranata politik dalam masing-masing masyarakatnya. Mempunyai sistem kepemimpinan yang ditandai dengan adanya pimpinan dan pengurusnya yang dapat diketahui lima sampai sepuluh tahun terakhir. Ada juga pembentukan yang diketahui maksudnya dibentuk berdasarkan kebutuhan masyarakat. Misalnya: perkumpulan pengajian, yasinan, remaja masjid, dan remaja gereja. Pranata sosial yang tersebut merupakan pranata agama. Diketahui tentang sejarah atau
226
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
latar belakang berdirinya perkumpulan, tokoh yang mendirikan, dan pengurusnya. Ketiga panata sosial bentukan pemerintah yakni dibentuk instansi pemerintah dengan tujuan melaksanakan tugas dan kegiatan instansi masing-masing. Pembentukannya berdasarkan tiga keperluan yaitu sosial, ekonomi, dan politik. Keperluan sosial misalnya: Kementerian Sosial membentuk Karang Taruna, Kelompok Usaha Bersama (KUBE); Kementerian Kesehatan membentuk Puskesmas; dan Kementerian Dalam Negeri membentuk PKK. Pranata ekonomi misalnya: Kementerian Kelautan dan Perikanan membentuk Tempat Pelelangan Ikan (TPI), dan Kementerian Perindustrian membentuk Kelompok Perajin Sandal-Sepatu. Pranata politik tingkat nasional dan daerah misalnya: semua partai politik, KNPI, dan AMPI. Terkait lembaga lokal terdiri dari: Pertama, kelembagaan berdasarkan berdirinya dibagi lagi menjadi dua yaitu lembaga sosial lokal yang tumbuh secara tradisional di masyarakat; dan lembaga sosial lokal yang tumbuh dan atau difasilitasi pemerintah, baik yang bergerak di bidang keagamaan, kemasyarakatan, kesehatan, pendidikan, kepemudaan, kewanitaan, dan lainlain. Kedua, terdiri dari nilai dan norma yaitu aturan-aturan lokal, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang difungsikan sebagai penuntun perilaku sosial pada masyarakat setempat. Kesamaan sistem budaya tercermin sebagai tingkah laku dari peranan sosial masing-masing, sehingga setiap orang mengacu pada nilai-nilai dan norma yang sama. Norma sebagai konsep yang menata tindakan manusia dalam membawa peran sosial dalam rangka sistem budaya. Dapat dikatakan masyarakat yang bersangkutan memiliki keteraturan yang dijadikan pedoman kehidupan bermasyarakat. Pedoman memiliki sejumlah aturan yang memungkinkan setiap orang berprilaku sesuai dengan aturan yang
2012
bersifat resmi. Agar pranata sosial yang terdapat di desa dapat berperan dan berfungsi sesuai dengan harapan masyarakat, maka dilakukan pemberdayaan. Sebagaimana pranata sosial yang tergabung dalam Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir, merupakan hasil dari suatu proses pemberdayaan. 3. Pemberdayaan Lowe mengatakan, bahwa pemberdayaan sebagai proses akibat dari mana individu memiliki otonomi, motivasi, dan ketrampilan yang diperlukan untuk melaksanakan pekerjaan mereka dalam suatu cara yang memberikan mereka rasa kepemilikan dan kepenuhan bilamana mencapai tujuan bersama organisasi. Budaya penting bagi pemberdayaan individu, karena proses pemberdayaan sering menuntut suatu pemutusan tradisi dan perubahan dalam budaya. Proses pemberdayaan menuntut adanya perubahan budaya (Sumaryadi, 2005). Sedangkan Mikkelsen (Sumaryadi, 2005) mengatakan, pemberdayaan adalah model pembangunan alternatif yang dirumuskan masyarakat dan organisasi setempat. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pemberdayaan mengandung makna: 1) Masyarakat harus memperoleh proyek pembangunan yang mereka tentukan sendiri; 2) Masyarakat memiliki kemampuan dan hak untuk menyatakan pikiran serta kehendaknya; 3) Tujuan pembangunan antara kelompok masyarakat diredam melalui pola demokrasi; 4) Pembangunan menjadi positif bila ada partisipasi masyarakat; dan 5) Pemberdayaan masyarakat merupakan hak mutlak untuk mendapat partisipasinya, karena pemerintah tidak akan mengeluarkan biaya untuk pembangunan kesejahteraan sosial yang ditetapkan masyarakat, kecuali masyarakat itu sendiri memiliki kemampuan untuk memaksa pemerintahnya. Rowldan (2003) dalam Sumarjadi (2005) mengatakan, pemberdayaan
adalah proses dimana individu, atau kelompok dalam kondisi tidak berdaya (powerless) menjadi sadar dan tahu (having knowledge) akan dinamika kekuasaan yang bekerja dalam konteks kehidupan mereka, membangun ketrampilan dan kapasitas untuk memperoleh kontrol kehidupannya, menjalankan kontrol tanpa menggangu hak-hak orang lain, dan mendukung upaya pemberdayaan individu dan kelompok lain dalam masyarakat (Anonim, 2008). Sumodiningrat (1997), mengartikulasikan pemberdayaan kedalam tiga aspek yaitu : 1) Menciptakan iklim atau kondisi yang memungkinkan potensi masyarakat setempat berkembang; 2) Memperkuat potensi atau energi dan modal sosial yang dimiliki masyarakat agar mereka mampu meningkatkan mutu kehidupan ke arah yang lebih baik; dan 3) Melindungi, mencegah kekuatan atau tingkat kehidupan masyarakat yang sudah lemah agar tidak menjadi semakin lemah. Sedangkan Checkoway (1995) mengatakan, pemberdayaan dapat dipandang sebagai proses bertingkat yang melibatkan individu, komunitas, dan organisasi. Keterlibatan individu berkaitan dalam pengambilan keputusan, sedangkan komunitas berhubungan dengan dampak keterlibatan. Sementara itu, organisasi adalah struktur yang mengakomodasi dan sekaligus memfasilitasi kegiatan aksi bersama berbasis komunitas. Kemudian dalam praktek pekerjaan sosial dengan memandang klien sebagai mitra kolaborasi, sebagai orang yang memiliki segala aset dan potensinya. Pekerjaan sosial memberi informasi untuk kepentingan klien dalam mencapai tujuan. Bagi klien kerjasama kolaborasi merupakan aktualisasi pemberdayaan (Adimihardja dan Hikmat, 2004). Proses pendekatan yang dilakukan pekerja sosial melalui pemberdayaan masyarakat secara umum dilakukan melalui 12 cara yaitu:
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
227
1) Mempersiapkan kerjasama; 2) Menjalin relasi kemitraan; 3) Mengartikulasi tantangan-
yang ditetapkan; 6) Mengeksplorasi sistemsistem sumber; 7) Menganalisis kapasitas sumber; 8) Menyusun kerangka pemecahan masalah; 9) Mengoptimalkan pemanfaatan sumber; 10) Memperluas kesempatankesempatan; 11) Mengakui keberhasilan; dan 12) Mengintegrasikan kemajuan-kemajuan yang dicapai. Masyarakat memiliki potensi dan kekuatan yang dijadikan penggerak dengan cara mendayagunakan sumber-sumber. Shardlow melihat, bahwa berbagai pengertian yang ada mengenai pemberdayaan pada intinya membahas bagaimana individu, kelompok ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Menurut Ilmu Kesejahteraan Sosial dinamakan self determination, intinya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitan dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi, sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya. Suatu aksi komunitas mempunyai gema tersendiri yang berpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan ataupun kebijakan yang ada perlu dipertimbangkan untuk membantu masyarakat atau komunitas. Dorongan ini dapat muncul ketika seorang yang baru dan diinginkan oleh komunitas. Community worker dan anggota komunitas dalam hal ini menempatkan komunitas secara utuh sebagai sentrum dari motif yang dikembangkan menjadi kepuasan dalam mencapai tujuan komunitas secara total (Adi, 2008).
228
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
Pendapat lain pengertian pengembangan masyarakat (community development) menurut Lee (1970) dalam Adi (2008) mengatakan, sebagai suatu proses, metode, program atau gerakan. Sebagai suatu proses adalah suatu proses tindakan dimana warga atau anggota suatu masyarakat mengorganisasikan dirinya untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan, merumuskan kebutuhan dan permasalahan mereka, membuat rencana individu dan kelompok untuk memenuhi kebutuhan dan mengatasi permasalahan serta melaksanankanya dengan semaksimal mungkin menggunakan sumber mereka sendiri dengan bantuan pemerintah atau hukum pemerintah. Pengembangan masyarakat sebagai metode adalah sebagai alat untuk mencapai tujuan atau suatu cara kerja untuk mencapai tujuan. Pengembangan masyarakat sebagai program atau gerakan dirancang untuk mendorong kehidupan yang lebih baik bagi seluruh komunitas dengan peran serta aktif dan bila mungkin inisiatif dari komunitas. Tetapi inisiatif ini tidak secara spontan, didorong dengan teknikteknik stimulasi agar diperoleh tanggapan yang merangsang suatu gerakan. Menurut Payne (Adi, 2008), suatu proses pemberdayaan (empowermant) pada intinya ditujukan guna membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya. Secara sederhana pemberdayaan pranata sosial adalah suatu kegiatan sistematis, terencana untuk meningkatkan dan mengembangkan lembaga, nilai, norma, serta jaringan sosial dalam suatu komunitas, sehingga mampu melindungi anggotanya yang rentan,
2012
meningkatkan partisipasi social masyarakat, memelihara kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial. 4. Komunitas Masyarakat setempat atau komuniti (community) merupakan kelompok sebagai bagian masyarakat yang didasarkan pada perasaan yang sama, sepenanggungan, dan saling memerlukan, serta bertempat tinggal di suatu wilayah tempat kediaman tertentu. Istilah community dapat diterjemahkan sebagai masyarakat setempat, istilah mana menunjuk pada warga-warga sebuah desa, kota, suku, atau suatu bangsa. Kriteria utama adalah adanya social relation antara anggotaanggota suatu kelompok. Masyarakat setempat yang mempunyai tempat tinggal yang tetap dan permanen, biasanya mempunyai ikatan solidaritas yang kuat sebagai pengaruh kesatuan tempat tinggalnya. Disamping itu harus ada suatu perasaan di antara anggota-anggotanya. Perasaan demikian pada hakekatnya yang dinamakan community sentiment unsurunsurnya seperasaan, sepenanggungan, dan saling memerlukan (Soekanto, 1990). Senada dengan itu Koentjaraningrat (1996) mengatakan, bahwa komunitas adalah suatu kesatuan hidup manusia yang menempati suatu wilayah yang nyata dan berinteraksi secara terus menerus atau kontinyu sesuai dengan sistem adat istiadat dan terikat oleh suatu rasa identitas komunitas. Konsep masyarakat dan komunitas memang tumpang tindih. Tetapi masyarakat adalah istilah umum bagi suatu kesatuan hidup manusia karena sifatnya lebih luas, bersifat mantap, dan terikat oleh satuan adat istiadat serta identitas bersama. Komunitas bersifat khusus karena adanya ikatan lokasi dan kesadaran wilayah. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, maka terdapat ciri-ciri komunitas yaitu: (1)
Kesatuan wilayah; (2) Kesatuan adat istiadat; (3) Rasa identitas bersama; dan (4) Loyalitas terhadap komunitas. Dengan demikian dapat disimpulkan secara singkat, bahwa masyarakat setempat adalah suatu wilayah kehidupan sosial yang ditandai oleh suatu derajat hubungan sosial tertentu. Dasar-dasar dari masyarakat setempat adalah lokalitas dan perasaan semasyarakat setempat. Sedangkan keberadaan komunitas lebih memungkinkan dalam pelaksanaan kegiatan, karena setiap anggotanya akan lebih tergerak untuk melakukannya secara berpartisipasi demi mencapai tujuan bersama. Dengan adanya kesadaran komunitas yang tinggi dalam melakukan berbagai aktivitas yang positif, maka akan terbangun ketahanan sosial masyarakat setempat. 5. Ketahanan Sosial Masyarakat Ketahanan sosial (social resilience) merupakan bagian dari ketahanan nasional, individu sebagai anggota suatu lembaga atau komunitas dalam mengembangkan hubungan sosial, sehingga dapat mempertahankan koeksistensinya dalam kehidupan bermasyarakat ini, maka kedudukan, fungsi, dan peranan ketahanan sosial menjadi sangat penting dan tidak terpisahkan dengan sistem ketahanan lainnya dalam mewujudkan ketahanan tersebut, maka terkandung tiga kata kunci yaitu (1) Lembaga dan komunitas adalah kelompok terkecil dari sistem masyarakat; (2) Hubungan sosial adalah interaksi antar warga komunitas dalam menjalankan aktivitas sosial di lingkungan dimana mereka berada; dan (3) Koeksistensi adalah hidup saling menguntungkan untuk mencapai tujuan bersama dalam konteks intra dan antar komunitas. Secara sederhana, ketahanan sosial suatu komunitas sering dikaitkan dengan kemampuannya dalam
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
229
mengatasi resiko akibat perubahan sosial, ekonomi, dan politik yang mengelilinginya. Suatu komuniti memiliki ketahanan sosial bila: Pertama, mampu melindungi secara efektif anggotanya termasuk individu dan keluarga yang rentan dari gelombang perubahan sosial yang mempengaruhinya. Kedua, mampu melakukan investasi sosial dalam jaringan sosial yang menguntungkan. Ketiga, mampu mengembangkan mekanisme yang efektif karena itu tinggi rendahnya ketahanan sosial suatu komuniti akan ditentukan oleh efektif tidaknya mereka melindungi anggotanya, menanamkan investasi sosial dalam jaringan (Nuryana, 2002). Sejalan dengan itu, dalam Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia dimensi sebagai indikator suatu masyarakat berketahanan sosial, yaitu: (1) perlindungan sosial bagi kelompok rentan, miskin, dan penyandang masalah sosial lainnya; (2) partisipasi masyarakat dalam organisasi sosial atau tindak kekerasan; dan (4) pemeliharaan kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa ketahanan sosial masyarakat merupakan suatu kondisi komunitas atau masyarakat yang memiliki kemampuan dalam memberikan perlindungan kepada warganya yang menyandang masalah sosial; memiliki partisipasi masyarakat dalam organisasi sosial; memiliki kemampuan kekerasan; dan memiliki kemampuan memelihara kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya sosial. Komunitas atau masyarakat dalam hal ini bisa saja dalam tingkat desa, kelurahan, dan atau
230
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
yang lebih luas lagi. Sebagaimana penelitian yang dilakukan dalam model desa berketahanan sosial, sasarannya adalah komunitas desa atau kelurahan. Hal itu diperkuat oleh pernyataan Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial periode 2006-2012 (Marjuki: 2008), “hingga kini, cukup banyak program-program Litbang Kesos yang berhasil dilakukan. Salah satunya adalah Model Desa Berketahanan Sosial melalui Pemberdayaan Pranata Sosial. Desa Purwodadi di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah adalah desa eks transmigrasi dari Jawa. Desa itu mampu menggerakkan masyarakat melalui pranata sosial dan berhasil memetakan berbagai kebutuhannya, bahkan mampu menggalang dana untuk melaksanakan program yang telah dirancang untuk kesejahteraan anggota masyarakatnya. Meski sebagai unit penunjang, Badiklit Kesos telah mampu berada di Garda Depan Pembangunan Kesejahteraan Sosial”. Istilah “garda” dalam hal ini bisa diartikan sebagai barisan depan, perintis, 09-2012). Berdasarkan pengertian itu, maka tidaklah berlebihan jika Pokja Tansosmas Sriwijaya dikatakan sebagai “Garga Penggerak Pembangunan Kesejahteraan Sosial di Desa Tanjung Pasir Kecamatan Pemulutan Kabupaten Ogan Ilir Provinsi Sumatera Selatan”. HASIL DAN PEMBAHASAN Desa Tanjung Pasir Kecamatan Pemulutan merupakan salah satu desa di Kabupaten Ogan Ilir. Kabupaten Ogan Ilir merupakan kabupaten pemekaran dari Kabupaten Ogan Kemering Ilir di Provinsi Sumatera Selatan yang terbentuk pada tahun 2003. Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2007 terdiri dari 16 kecamatan, 14 kelurahan, dan 227 desa. Penduduk Kabupaten Ogan Ilir tahun 2009 berjumlah 384.663 jiwa. Secara absolut penduduk tersebut terus bertambah dari
2012
tahun ke tahun, dimana tahun 2007 berjumlah 372.431 jiwa. Dengan luas sekitar 2666,07 km2, maka setiap km2 Kabupaten Ogan Ilir ditempati penduduknya 144 jiwa di tahun 2009. Secara umum penduduk laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Hal ini dilihat dari sex ratio yang mencapai angka diatas 100 yaitu 104,11. Itu berarti, di Kabupaten Ogan Ilir pada tahun 2009 dari 100 jiwa penduduk prempuan terdapat 104 jiwa laki-laki (BPS Kabupaten Ogan Ilir, 2010). Jumlah penduduk Kabupaten Ogan Ilir yang dikategorikan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) terdapat 18 jenis dengan angka mencapai 10.780 jiwa dan 52.899 kepala keluarga (Dinas Sosial Kabupaten Ogan Ilir, 2010). Dari jumlah tersebut, data PMKS yang paling menonjol yaitu Keluarga Fakir Miskin mencapai 44.250 kepala keluarga (KK), diikuti dengan Keluarga Berumah Tidak Layak Huni 5.142 KK, Anak Terlantar 4.978 jiwa, Korban Bencana Alam 3.184 KK, dan Anak Nakal 2.558 jiwa. Walaupun relatif banyak jenis PMKS, namun Potensi Sumber Kesejahteraan Sosial (PSKS) pun sudah ada seperti PSM (80 jiwa), Orsos (9 orsos), Karang Taruna (242 KT), WKSBM (6), Dunia Usaha (20), serta Keperintisan dan Kepahlawanan sebanyak 61 jiwa. Kabupaten Ogan Ilir merupakan satu dari 199 kabupaten yang masuk dalam kategori daerah tertinggal di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan itu pula, maka Desa Tanjung Pasir sebagai lokus penelitian menjadi bagian wilayah daerah tertinggal. Kriteria yang menonjol dari daerah tertinggal yang masih melekat pada Desa Tanjung Pasir antara lain sarana jalan desa yang belum memadai walaupun pada tahun 2010 telah dibangun melalui PNPM, sarana penerangan atau listrik dari pemerintah maupun swasta belum tersedia, dan belum memadainya sarana pendidikan formal. Walaupun demikian ada sebagian kecil
penduduk Desa Tanjung Pasir yang sudah menikmati penerangan listrik dengan perangkat energi sinar matahari (bantuan dari pemerintah ekonominya mampu). Desa Tanjung Pasir termasuk desa yang berada di sekitar Sungai (Daerah Aliran Sungai) Ogan. Sungai Ogan termasuk sarana jalur transportasi yang cukup ramai digunakan setiap harinya, baik untuk jalur transportasi angkutan manusia maupun barang. Dari Sungai Ogan inilah dapat dilalui berbagai arah tujuan transportasi sungai seperti perahu bermotor (ketek istilah setempat), speed boat, sampai perahu bermotor besar (tongkang) bahkan jenis ponton (pengangkut barang tambang) menuju Sungai Musi atau sebaliknya. dengan Desa Pemulutan Ilir di sebelah utara; Desa Sungai Rasau di sebelah selatan; Desa Sungai Rasau dan Pemulutan Ilir di sebelah barat; dan dengan Desa Sungai Ogan di sebelah timur. Desa Tanjung Pasir mempunyai luas wilayah baik berupa perumahan, pekarangan, pertanian, perkebunan, dan hutan seluas 386 Ha. Dengan rincian peruntukkan perumahan
dan hutan desa 20 Ha. Wilayah Desa Tanjung Pasir terdiri dari 3 dusun, dimana setiap dusun terdapat 2 Rukun Tetangga (RT) sehingga secara keseluruhan terdapat 6 RT. Penduduk Desa Tanjung Pasir berjumlah 248 KK atau 814 jiwa. Jika dirata-ratakan jumlah penduduk per km² baru mencapai 2,11 jiwa. Desa Tanjung Pasir walaupun desa baru dari hasil pemekaran dua desa menjadi tiga desa, namun mengenai sarana dan prasarana pendukung sudah disediakan walaupun terbatas. Sarana dan prasarana tersebut seperti Sekolah Dasar Negeri (SDN) berjumlah satu sekolah, Posyandu tiga buah (di 3 dusun), Puskesdes satu unit, dan Masjid tiga unit sesuai dengan jumlah dusun yang ada. Untuk mengakses bank, penduduk Desa
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
231
Tanjung Pasir harus ke desa lain di Kecamatan Pemulutan. Penduduk Desa Tanjung Pasir walaupun termasuk daerah tertinggal, namun dilihat dari etnis atau suku yang mendiaminya boleh dikatakan cukup beragam. Hal itu dapat diketahui berdasarkan data dan informasi mengenai penduduk yang bertempat tinggal di Desa Tanjung Pasir sebagian besar beretnis atau dari suku Melayu (426 jiwa atau 52,33 persen), kemudian keturunan Arab (255 jiwa atau 31,33 persen), dan yang lainnya berasal dari suku Jawa (133 jiwa atau 16,34 persen). Komposisi penduduk Desa Tanjung Pasir dilihat dari usia produktif (15-45 tahun) lebih banyak dari pada usia non-produktif yakni berjumlah 525 jiwa (64,50%) dari seluruh jumlah penduduknya. Kondisi tersebut merupakan asset desa sebagai modal tenaga kerja manusia yang produktif dalam melakukan pembangunan di berbagai bidang kehidupan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Sedangkan dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Desa Tanjung Pasir dapat dikatakan tidak jauh perbedaan antara yang berjenis kelamin laki-laki maupun yang berjenis kelamin perempuan. Namun yang paling menonjol dalam tingkat pendidikan yakni mayoritas lulusan SLTP sebanyak 81 orang, lulusan SLTA 42 orang, dan lulusan SD 28 orang. Dalam hal pendidikan yang menarik justru pada jenis kelamin perempuan yang dapat mencapai tingkatan perguruan tinggi setingkat sarjana yaitu sebanyak 5 orang. Dengan komposisi tersebut merupakan potensi dan sumber daya manusia yang baik untuk dimanfaatkan sebesarbesarnya dalam pembangunan di berbagai bidang kehidupan Desa Tanjung Pasir. Mata pencaharian pokok didominasi oleh penduduk berjenis kelamin laki-laki, yaitu petani sebanyak 231 orang, buruh 132 orang, pedagang 36 orang, dan nelayan 16 orang. Kondisi tersebut sangat dimungkinkan, karena memang secara
232
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
realita sebagian besar wilayah Desa Tanjung Pasir diperuntukkan sebagai daerah persawahan sehingga untuk melakukan pekerjaan di sektor pertanian sangat memungkinkan dan strategis untuk mendukung kebutuhan hidup penduduknya. Namun demikian, sebagaimana kondisi persawahan dan ladang pada umumnya di Pulau Sumatera dengan lahan pasang surut air sungai dan gambut, maka para petani hanya dapat memanen padinya setahun sekali. Dalam melakukan aktivitas di bidang keagamaan agar lebih erat tali silaturahim di antara penganutnya, maka diadakan pengajian yang dilakukan melalui majelis taklim. Di bidang lingkungan hidup, penduduk Desa Tanjung Pasir telah melakukan aktivitas secara turun temurun hampir pada umumnya dilakukan di sepanjang sungai. Berkaitan dengan itu masih terlihat penduduk yang membuang sampah rumah tangga ke sungai, bahkan di sepanjang aliran sungai terlihat onggokan eceng gondok yang mengalir mengikuti kemana arus air sungai mengalir. Padahal sungai di Desa Tanjung Pasir merupakan sarana yang penting karena sangat dibutuhkan sejak dahulu sampai sekarang antara lain sebagai kebutuhan mandi cuci kakus (MCK), dan jalur transportasi setiap harinya. Selain itu terdapat PMKS prioritas yaitu Keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni (32 KK). Namun demikian, dalam kehidupan beragama terutama membangun sarana ibadah, penduduk Desa Tanjung Pasir berbondongbondong menyumbangkan dananya. Selain itu, tradisi saling bantu atau menolong dalam berbagai jenis hajatan masih dilakukan sampai sekarang, seperti ketika ada keluarga yang kena anaknya maka para tetangga atau penduduk lainnya saling membantu membawa barang atau bahan yang diberikan kepada keluarga yang bersangkutan. Sistem sosial budaya yang masih ada di Desa Tanjung Pasir itulah yang dapat dijadikan sebagai potensi dan
2012
sumber dalam mendukung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembangan ketahanan sosial masyarakatnya. Terkait dengan lembaga kemasyarakatan atau pranata sosial yang ada di Desa Tanjung Pasir antara lain PKK, Karang Taruna, Kelompok Tani, Kelompok Arisan, Agama, Tokoh Adat, Paguyuban, Aparat Desa, dan BPD. Keberadaan kelembaan masyarakat ini menjadi potensi dan sumber yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat karena kegiatankegiatan yang dilakukan dapat memfasilitasi dan membantu masyarakat dalam memenuhi kebutuhan kemasyarakatan. Namun tidak semua kelembagaan sosial tersebut dapat berfungsi dengan baik, sehingga diperlukan pembinaan atau pemberdayaan oleh pihak-pihak terkait. Berdasarkan hasil penelitian yang telah diuraikan di atas, maka dapat dijelaskan melalui pembahasan sebagai berikut: 1. Kondisi ketahanan sosial masyarakat Desa Tanjung Pasir dilihat dari empat dimensi ketahanan sosial masyarakat (sebagai look) Ketahanan sosial masyarakat dapat berfungsi bila komunitas dapat melindungi warganya yang rentan, miskin, atau penyandang masalah sosial lainnya; dapat meningkatkan partisipasi warganya dalam aktivitas yang dilakukan organisasi sosial lokal; dapat mencegah dan mengelola memelihara kearifan lokal yang digunakan untuk mengelola sumber daya alam dan sosial. Kenyataan yang ada di Desa Tanjung Pasir, terkait dengan kondisi ketahanan sosial masyarakatnya dapat dikatakan “kurang berfungsi dengan semestinya”. Hal itu diketahui berdasarkan data dan informasi (look) mengenai permasalahan sosialnya. Data dan informasi tersebut digali melalui pengumpulan data melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan
diskusi kelompok terfokus yang melibatkan informan perwakilan pranata sosial yang tergabung dalam Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir. Data dan informasi yang terkait dengan permasalahan sosial pada komunitas tersebut. Setelah itu didiskusikan untuk memilih masalah yang paling mendesak segera ditangani bersama. Berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir, maka prioritas masalahnya yaitu: 1). Terdapatnya keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni sebagai salah satu jenis PMKS; 2). Kurangberfungsinya kelompok tani; 3). Adanya peredaran minuman keras terutama ketika diadakan kenduri atau perhelatan pesta panen, pernikahan, atau sejenisnya yang dapat meresahkan warga dan 4). Nilai kegotongroyongan yang mulai meluntur dalam kehidupan di masyarakat. Terkait dengan permasalahan sosial tersebut, pada mulanya mereka tidak mengetahui itu sebagai suatu masalah. Hal itu disebabkan antara lain karena kekurangpedulian unsur tokoh dan warga masyarakat setempat yang selama ini disibukkan dengan aktivitas rutin yang dijalani dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Ketika sebagian kecil perwakilan pranata sosial mengikuti pemberdayaan pengembangan desa berketahanan sosial, mereka mulai mengerti bahwa di wilayahnya terdapat permasalahan sosial yang cukup bervariasi sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Selain itu yang terkait dengan nilai-nilai kemasyarakat seperti kepedulian terhadap kelompok rentan, miskin, dan PMKS lainnya, kepedulian terhadap lingkungan hidup, gotong royong, dan lainnya juga sudah mulai meluntur. Itu semua pengaruh perkembangan teknologi yang memang dapat diakses melalui media cetak atau
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
233
elektronika dengan mudah walaupun di daerah tertinggal sekalipun. Walaupun demikian dengan dibentuk Pokja Tansosmas Sriwijaya, maka sudah mulai dilakukan upaya untuk mencermati permasalahan sosial yang ada. Dari permasalahan sosial tersebut dijadikan sebagai tantangan dan sekaligus sebagai peluang untuk dicarikan solusi pemecahan yang terbaik.
(1) Kondisi PMKS di lokus memang relatif bervariasi; (2) Selama ini belum ada lembaga lokal yang mempelopori atau menggerakkan dalam menangani PMKS dimaksud secara terencana; (3) Kondisi saat ini terkait dengan kepedulian masyarakat terhadap nilai kegotongroyongan sebagai budaya lokal mulai atau bahkan sudah meluntur, sehingga kepedulian komunitas untuk ikut beraktivitas dalam organisasi
2. Bentuk rancangan kegiatan yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya (sebagai think) Pokja Tansosmas Sriwijaya telah menyusun “bentuk rancangan kegiatan atau rencana aksi” yang dilakukan bersama-sama secara partisipatif. Penyusunan rencana aksi tersebut sebagai perwujudan pelaksanaan proses berpikir (think) pokja tansosmas berdasarkan permasalahan sosial yang ada di desanya. Penyusunan rencana aksi tersebut termasuk dalam proses belajar kelompok, namun ditindaklanjuti dalam bentuk upaya realisasi dalam kegiatan nyata pokja tansosmas bersama mitra kerjanya. Empat bentuk rancangan kegiatan dimaksud yaitu: (1) Sub Kelompok Perlindungan Sosial (Kelompok Pengayoman) menyusun bentuk rencana aksi Renovasi Rumah Tidak Layak Huni; (2) Sub Kelompok Partisipasi Masyarakat (Kelompok Gotong Royong) mengenai Mengaktifkan Kembali Kelompok Tani; (3) Sub Kelompok Pengendalian
pemeliharaan kebersihan lingkungan hidup tidak terpelihara dengan baik. 3. Upaya yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya (sebagai act)
Musyawarah Penanggulangan Minuman Keras (Muspenras); dan (4) Sub Kelompok Kearifan Lokal (Kelompok Sumber Alam) mengenai Aksi Bersama Gotong Royong membersihkan atau memelihara jalan dan lingkungan hidup Desa Tanjung Pasir. Dalam penentuan masalah yang dijadikan prioritas pokja tansosmas tersebut, dilakukan berdasarkan analisis kondisi permasalahan yang terdapat di lokus dan potensi sumber yang tersedia untuk dapat digunakan dalam penanganannya, seperti:
234
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
Berdasarkan bentuk rencana aksi yang disusun dari pemilihan prioritas masalah yang mendesak dengan melihat potensi sumber yang dapat digunakan, maka pokja tansosmas berupaya untuk melakukan aksinya (realisasi rencana aksi) pada komunitas lokal (act). Keempat bentuk rancangan kegiatan yang telah disusun, maka upaya yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya (sebagai act) di lokus penelitian sebagai berikut: Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir sampai dilaksanakan monitoring, evaluasi, dan pentransferan dana bantuan sosial atau stimulan sudah berhasil membentuk kembali kelompok tani yang diwujudkan kedalam enam kelompok tani yang kemudian dibentuk Gabungan Kelompok Petani (Gapoktan) tingkat desa; dan melaksanakan musyawarah penanggulangan minuman keras (Muspenras) yang ditindaklanjuti dengan pembuatan Peraturan Desa (Perdes) pelarangan peredaran minuman keras di lingkungan Desa Tanjung Pasir. Kedua rencana aksi tersebut dapat direalisasikan sesuai dengan jadwal yang telah direncanakan Pokja Tansosmas Sriwijaya. Sementara dua rencana aksi lagi baru dapat diupayakan setelah Hari Raya Idul Fitri 2011 atau pasca panen
padi selesai. Kedua rencana aksi dimaksud yaitu renovasi rumah tidak layak huni yang kemudian berdasarkan musyawarah pokja tansosmas dirubah menjadi “pembangunan sebuah rumah baru yang layak huni (lihat lampiran**)”; dan aksi bersama gotong royong membersihkan dan memelihara jalan desa yang belum lama dibangun melalui program PNPM. Berubahanya renovasi menjadi pembangunan sebuah rumah baru, karena rumah yang akan direnovasi tidak memungkinkan dilakukan mengingat kondisi rumahnya yang sangat parah. Mundurnya waktu pelaksanaan kedua bentuk rancangan kegiatan tersebut, disebabkan beberapa kendala antara lain: Belum terpenuhinya bahan bangunan yang digunakan untuk pembangunan rumah layak huni; Belum ditransfernya dana bantuan sosial atau stimulan dari Puslitbang Kessos sebagai pihak penyelenggara; dan Memasuki bulan suci ramadhan dimana seluruh warga masyarakat Desa Tanjung Pasir beragama Islam, sehingga harus mempersiapkan lebih dahulu aktivitas ibadah keagamaan atau dengan kata lain terbenturnya waktu pelaksanaan rencana aksi. Secara keseluruhan pada dasarnya pemberdayaan dari fasilitator kepada perwakilan tokoh masyarakat di Desa Tanjung Pasir yang diwakili unsur pranata sosialnya dapat dikatakan mengenai sasaran. Hal itu diketahui dari berhasilnya tugastugas dapat diselesaikan Pokja Tansosmas PSKS; merancang bentuk kegiatan atau rencana aksi; sampai pada pelaksanaan realisasinya. Penyusunan bentuk rancangan kegiatan dilakukan secara partisipasi dengan mengacu kepada empat dimensi ketahanan sosial masyarakat. Kemudian Pokja Tansosmas Sriwijaya berkomitmen untuk merealisasikan rencana aksi tersebut dengan dukungan kontribusi berbagai bentuk partisipasi seperti dana, barang
(bahan-bahan bangunan untuk membangun rumah layak huni, konsumsi, air minum), tempat pertemuan, tenaga, maupun pikiran. Selain itu, dukungan (support) secara moril diperoleh Pokja Tansosmas Sriwijaya dari rombongan Ketua Penggerak PKK Kabupaten (Isteri Bupati), Asisten III, Kepala Dinas Sosial Kabupaten Ogan Ilir, Camat Pemulutan, sampai Kepala Desa Tanjung Pasir yang hadir langsung ketika pelaksanaan pemberdayaan dilakukan. Itu dapat memicu dan memotivasi pokja tansosmas dan warga untuk mewujudkan ketahanan sosial masyarakat dan sekaligus sebagai garda penggerak pembangunan kesejahteraan sosial di lingkungan Desa Tanjung Pasir. Perwujudan ketahanan sosial masyarakat yang dilakukan komunitas pada dasarnya tidak terlepas dari intervensi yang dilakukan pihak luar seperti pemerintah pusat maupun daerah (Puslitbang Kessos Kementerian Sosial dan Dinas Sosial setempat). Selain itu bantuan stimulan yang diperoleh dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat sesuai pedoman pelaksanaan desa berketahanan sosial bagi pokja tansosmas dalam pengelolaan dana sebagian (50 persen) dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan rencana aksi yang sudah disusun dan rencana aksi selanjutnya. Sebagian lagi (50 persen) untuk usaha ekonomis produktif (UEP) dalam rangka pengembangan dana sebagai modal abadi sekaligus kas pokja tansosmas. UEP yang dilakukan pokja tansosmas dimaksudkan untuk menjaga eksistensi pokja sekaligus dalam rangka menggerakkan pembangunan kesejahteraan sosial di komunitas setempat. Dengan adanya pokja tansosmas, maka aparatur desa dapat bekerjasama untuk pembangunan bidang sosial pada khususnya, dan pembangunan di bidang lain pada umumnya. Selain itu juga dapat memotivasi warga masyarakat untuk berperan
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
235
serta dalam berbagai aktivitas kehidupan di masyarakat. PENUTUP Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir mempunyai penekanan dalam memilih masalah sosial yang dijadikan prioritas penanganannya. Hal ini dapat dilihat dari bentuk rancangan kegiatan atau rencana aksi yang disusun secara partisipatif berdasarkan musyawarah bersama. Karakteristik wilayah dan sumber daya manusia turut mempengaruhi hasil pemberdayaan pranata sosial lokal yang telah dilakukan oleh tim pusat dan daerah. Demikian halnya terhadap tantangan terhadap sistem ketahanan sosial masyarakat juga sangatlah mempengaruhi. Mencermati kondisi tersebut maka dapat dikatakan, bahwa dimensi atau variabel ketahanan sosial masyarakat terutama kearifan lokal dalam mengelola sumber daya alam dan sosial “sebelum dilakukan pemberdayaan terhadap pranata sosial tidak terpelihara dengan baik. Sedangkan upaya untuk menangani permasalahan yang ada juga kurang optimal dilakukan. Oleh karena itu dilihat dari dimensi ini sistem ketahanan sosial masyarakat di lokus kegiatan dapat dikatakan masih rendah”. Namun “setelah dilakukan pemberdayaan terhadap pranata sosial tersebut, maka pada umumnya sudah ada upaya untuk mengatasi permasalahan sosial yang ada”. Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir telah memprioritaskan bentuk rancangan kegiatan mengenai renovasi rumah tidak layak huni yang kemudian dirubah menjadi pembangunan sebuah rumah layak huni bagi keluarga PMKS; mengaktifkan kembali kelompok tani; musyawarah penanganan minuman keras; dan pelaksanaan gotong royong dalam rangka menjaga kebersihan
236
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
lingkungan. Berdasarkan bentuk rancangan kegiatan yang disusun tersebut, maka Pokja Tansosmas Sriwijaya Desa Tanjung Pasir dalam pemilihan masalah yang dijadikan prioritas selain isu lingkungan hidup, rumah tidak layak huni, dan kekurangberfungsinya kelompok tani, juga masalah miras. Upaya yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya bersama tokoh dan warga masyarakat setempat terkait masalah miras adalah membuat aturan desa atau perdes dengan tujuan untuk mengurangi peredaran miras di lingkungan Desa Tanjung Pasir. Selain itu upaya lainnya memfungsikan kembali kelompok tani dengan membentuk enam kelompok tani serta solusi yang disepakati bersama yakni membentuk Gapoktan tingkat Desa Tanjung Pasir. Dua bentuk rencana aksi lainnya dapat diupayakan kemudian, karena berbagai kendala yang dihadapi sesuai dengan yang telah diuraikan di atas. Dari gambaran di atas dapat disimpulkan bahwa sistem ketahanan sosial masyarakat secara keseluruhan (umum) “sebelum” dilakukan pemberdayaan terhadap pranata sosial mengalami “kerentanan” terhadap arus perubahan yang terjadi, baik perubahan sosial, ekonomi, budaya, maupun politik. Kemudian “setelah” dilakukan pemberdayaan terhadap pranata sosial yang tergabung dalam Pokja Tansosmas Sriwijaya, maka sudah mulai mengetahui jenis-jenis PMKS, PSKS, pentingnya peranserta dalam organisasi sosial lokal, pentingnya kerjasama dalam pencegahan kekerasan, serta pentingnya memperhatikan dan melestarikan nilai-nilai kemasyarakat untuk mewujudkan kepedulian dalam pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya sosial. PMKS, PSKS, menyusun bentuk rancangan kegiatan berdasarkan prioritas masalah yang dipilih bersama. Dengan komitmen yang
2012
dilakukan bersama, maka seluruh rencana aksi yang disusun dapat diimplementasikan dalam kegiatan kemasyarakatan yang pada akhirnya sebagai perwujudan pembangunan kesejahteraan sosial desanya. Peran itulah yang dilakukan Pokja Tansosmas Sriwijaya sebagai “garda penggerak” pembangunan kesejahteraan sosial di Desa Tanjung Pasir Kabupaten Ogan Ilir. Berdasarkan kesimpulan di atas, untuk lebih meningkatkan kepedulian masyarakat dan pihak terkait terhadap pembangunan kesejahteraan sosial sekaligus mengeksiskan pokja tansosmas yang sudah berkiprah, maka direkomendasi sebagai masukan bagi pemerintah daerah (dinas sosial), unit terkait di Kementerian Sosial, dan Puslitbang Kessos sebagaimana diuraikan di bawah ini. Bagi Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial. Adanya respons Pemerintah Daerah melalui Dinas Sosial setempat terhadap model desa berketahanan sosial, maka Dinas Sosial baik di tingkat Provinsi maupun diimplementasikan model tersebut dapat mereplikasikannya di desa atau kelurahan yang terdapat di daerahnya. Terkait dengan itu, maka kerjasama perlu dijalin dalam pelaksanaan model dimaksud terutama dalam fasilitator (pemerintah pusat) untuk mendukung pelaksanaan replikasi di lokus kegiatan. Hal ini dilakukan untuk memperluas jangkauan implementasi model tersebut di daerah-daerah yang dinginkan pemerintah daerah. Kerjasama tersebut dapat dijalin dengan jalan membuat komitmen bersama, dalam hal ini Pemerintah dengan Puslitbang Kessos untuk dituangkan kedalam nota kesepahaman bersama. Dengan sharing yang dilakukan tersebut, diharapkan pelaksanaan pembangunan kesejahteraan sosial
antara Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat dapat dilaksanakan dengan terencana, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, lancar, dan dapat dirasakan manfaatnya oleh komunitas lokal. Bagi Unit Teknis di Kementerian Sosial RI. Keberadaan pokja tansosmas di lokus kegiatan penelitian Puslitbang Kessos, pada dasarnya dapat dijadikan sebagai pembuka jalan (entry point) bagi unit teknis di Kementerian Sosial RI untuk menindaklanjuti dengan berbagai program yang terkait dengan pengentasan kemiskinan. Pada pelaksanaannya, unit teknis dimaksud dapat menjadikan unsur pranata sosial yang tergabung dalam pokja tansosmas tersebut sebagai mitra kerja dalam melaksanakan programnya untuk pembangunan kesejahteraan sosial secara sinergi. Secara operasional di lapangan pelaksanaan program unit teknis terkait di atas dapat dilakukan secara koordinasi dengan dinas sosial setempat, antara lain : a) Ditjen Rehsos. Setelah Pokja Tansosmas mengadakan pendataan terhadap PMKS di daerahnya dan telah diperoleh data tersebut berdasarkan by name by address and by foto yang terkait dengan data penyandang cacat, anak atau remaja terlantar, dan lansia terlantar yang biasanya harus dirujuk ke panti sesuai dengan jenis dan masalah yang disandangnya. Dengan data tersebut, maka Unit Ditjen Rehsos melalui UPT terkait dapat menindaklanjuti sesuai program yang dimilikinya untuk dirujuk kepada calon garapan yang dimaksud; b) Ditjen Dayasos dan Penanggulangan Kemiskinan, melalui hasil pendataan Pokja Tansosmas yang terkait dengan PMKS seperti fakir miskin, keluarga berumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan keluarga muda yang kondisi sosial ekonominya miskin, maka dapat menindaklanjuti sesuai program yang terkait untuk diaplikasikan kepada calon garapan yang dimaksud; dan c) Ditjen
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
237
Perlindungan dan Jamsos. Data PMKS yang ada di Pokja Tansosmas seperti fakir miskin, keluarga berumah tidak layak huni, wanita rawan sosial ekonomi, dan keluarga muda yang kondisi sosial ekonominya miskin, maka dapat ditindaklanjuti Unit Ditjen Perlindungan dan Jamsos melalui Direktorat Bantuan Sosial terkait sesuai program yang dimilikinya untuk diaplikasikan kepada calon garapan.
DAFTAR PUSTAKA
Bagi Puslitbang Kessos. Pelibatan dan keikutsertaaan fasilitator, pendamping, dan peserta dari berbagai unsur pranata sosial lokal secara aktif pada pelaksanaan penelitian pengembangan desa berketahanan sosial sangat diperlukan untuk menentukan seberapa besar keberhasilan yang dicapai nantinya. Oleh karena itu yang harus tetap diperhatikan adalah setiap fasilitator, pendamping, dan peserta yang akan dilibatkan harus betulbetul orang yang mempunyai “komitmen tinggi” dalam mendukung pencapaian tujuan. Selain itu pelaksanaan tahapan kegiatan pada penelitian model ini merupakan suatu sistem yang harus dilakukan sesuai dengan jadwal yang telah disusun dalam rancangannya,
Anonim, (2006). Kepmensos RI Nomor
pengumpulan data, pelaksanaan monitoring, dan evaluasi. Jika salah satu tahapan terlambat dilakukan termasuk bantuan stimulan, maka akan mempengaruhi pelaksanaan realisasi rencana aksi yang sudah disusun bersama. Oleh karena itu perlu dicermati secara seksama, agar tahapan tersebut tidak terlambat dilakukan. ***
Adi, Isbandi Rukminto (2008). Pemikiranpemikiran dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta: LP FEUI. Adimihardja, Kusnaka dan Harry Hikmat. 2004. Participatory Research Appraisal. Pengabdian dan Pemberdayaan Masyarakat. Bandung: Humaniora.
Pemberdayaan Pranata Sosial dalam Mewujudkan Masyarakat Berketahanan Sosial. Jakarta: Pusbangtansosmas, Badiklit Kessos. ..........., (2008). Membangun Konsepsi dan Strategi Ketahanan Sosial Masyarakat (Prosiding Diskusi Pakar). Jakarta: Pusbangtansosmas. ............, (2009). Undang Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ogan Ilir, (2010). Hasil Sensus Penduduk 2010 Data Agregat Kabupaten Ogan Ilir. Bappenas, (2006). Seminar Nasional Percepatan Pembangunan Sosial Ekonomi Daerah Tertinggal. Direktorat Kawasan Khusus dan Daerah Tertinggal.
Komaruddin, (1984). Kamus Riset. Bandung: Angkasa. Kuntjaraningrat, (1996). Pengantar Antropologi (Jilid I). Jakarta: Rineka Cipta. Koran Tempo, (2008). Menilik Garda Depan Pembangunan Kesejahteraan Sosial. Jakarta.
238
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
Madya, Suwarsih, (2007). Teori dan Praktik Penelitian Tindakan (Action Research). Bandung: Alfabeta. Nuryana, Mu’man, (2002). Perspektif Sosial Capital dalam Pengembangan Ketahanan Sosial Sosial Masyarakat. Jakarta: Pusbangtansosmas. Sastropoetro, Santoso, (1988). Partisipasi, Komunikasi, Persuasi dan Disiplin dalam Pembangunan Nasional. Bandung; Alumni. Soekanto, Soeryono, (1983). Kamus Sosiologi. Jakarta; Rajawali Press. ............., (1990). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta; Rajawali Press. Stringer, Ernest T. (1999). Action Research (Second Edition). London, New Delhi; Sage Publications.
Suhendi, Ahmad; Ani Wuryandari; dan Endah Triyati, (2007). Replikasi Model Desa Berketahanan Sosial Melalui Pemberdayaan Pranata Sosial (Di Kabupaten Pulang Pisau Provinsi Kalimantan Tengah, dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi). Jakarta: Pusbangtansosmas. Suhendi, Ahmad dkk. (2008). Pengembangan Desa Berketahanan Sosial Melalui Pemberdayaan Pranata Sosial (Replikasi Model di Empat Provinsi). Jakarta: Pusbangtansosmas. Sumaryadi, I Nyoman, (2005). Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta; Citra Utama. Sumodiningrat, Gunawan, (1997). Mewujudkan Kesejahteraan Bangsa. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Sosiokonsepsia Vol. 17, No. 02
2012
239