Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial Dalam Sistem Ketatanegaraan Bagi Pecapaian Tujuan Perbankan Syariah (The Application of Qard and Its Relation to Social Welfare in Constitutional System to Fulfill the Aim of Shariah Banking) Oleh Faisal1
Abstract This paper describes "the common thread" between the social welfare contained in Pancasila and the 1945 Constitution, with financing qardh on Islamic banking, which qardh is one form of funds in Islamic banks that do not charge costumers to gain profit or reward, so the application of this aqad will bear the socio-economic values derived from the people and for the people. Financing qardh from looking on its function is closely correlated with the social welfare function in the state system contained in Article 33 UUD 1945, reaching welfare together. It can be expressed in terms of banking products including financing qardh on Islamic banking which is applied in the form of bailout funds Haji (Dana Talangan Haji), Micro, Small and Medium Enterprises (UMKM), and other social activities, in order to achieve objectives of Islamic banking. Keywords: applications, qardh, social welfare, the purpose of Islamic banking.
A.
PENDAHULUAN
Undang-undang 1945 telah mengamanatkan bahwa perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan.2 Kemudian, perekonomian diatur berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip keadilan, kebersamaan efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.3 Asas kekeluargaan dan demokrasi ekonomi merupakan cerminan dari 1 2 3
Dosen Hukum Ekonomi Islam, Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh Lhokseumawe. Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Pasal 33 ayat (4) UUD 1945.
132
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) perilaku dan jati diri bangsa yang sudah melekat dan dilaksanakan secara turun temurun sehingga telah mendorong untuk jadikannya sebagai budaya bangsa. Sebagaimana hal yang sama, dinyatakan oleh von Savigny melalui pemikirannya dalam mazhab sejarah, bahwa hukum timbul melalui proses perlahan-lahan sesuai jiwa bangsa atau volkgeist. Dengan demikian, maka budaya bangsa telah menempatkan fungsi perekonomian dan kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dalam menjalankan sistem perekonomian dan kesejahteraan sosial, negara membutuhkan pelaku-pelaku ekonomi sebagai penggerak dan pengatur kegiatan ekonomi. Ada tiga pelaku utama yang menjadi kekuatan sistem perekonomian di Indonesia, yaitu pemerintah dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD), swasta dengan Badan Usaha Milik Swasta (BUMS), dan Koperasi. Ketiga pelaku utama ekonomi tersebut akan menjalankan kegiatan ekonomi berasaskan kekeluargaan atas dasar demokrasi ekonomi, jika pelaku-pelakunya dapat saling berkerja sama, saling mendukung dalam rangka mewujudkan tujuannya, yaitu kesejahteraan rakyat. Perbankan merupakan salah satu sektor di bidang perekonomian yang dijalankan oleh ketiga pelaku utama ekonomi tersebut. Perbankan sebagai lembaga intermediary (intermediary institution) berperan sebagai penghubung antara deficit fund dengan surplus fund. Sebagai deficit fund, bank berperan dalam menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk kredit atau bentuk pembiayaan, dan sebagai surplus fund, bank berperan dalam menerima dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan. Dalam perbankan syariah, salah satu bentuk penyaluran dana kepada masyarakat adalah pembiayaan qarh. Salah satu karakteristik qardh adalah pinjaman yang harus dikembalikan tanpa adanya ujrah atau keuntungan bank syariah. Dengan demikian, penulis tertarik melakukan kajian terkait dengan pembiayaan qardh yang dikaitkan dengan kesejahteraan sosial yang terdapat pada UUD 1945 bagi pencapaian tujuan perbankan syariah, dengan permasalahan adalah bagaimana landasan hukum, pengaturan dan fungsi pembiayaan qardh serta bagaimana aplikasi pembiayaan qardh dan kaitannya dengan kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan bagi pencapaian tujuan perbankan syariah. Permasalahan tersebut akan dikupas dalam pembahasan berikut.
133
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
B.
PEMBAHASAN
1.
Landasan Hukum, Pengaturan dan Fungsi Pembiayaan Qardh pada Perbankan Syariah.
Indonesia mempunyai landasan idil, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai landasan konstitusionalnya, dalam melakukan segala bentuk kegiatan haruslah didasarkan pada kedua landasan tersebut. Perekonomian Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 berasaskan pada kekeluargaan dari, oleh dan untuk rakyat di bawah pimpinan dan pengawasan pemerintah, ditujukan untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Perekonomian Indonesia berdasarkan asas kekeluargaan dapat ditemukan pada Pancasila, sila ketiga, yaitu Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia mencerminkan adanya kekeluargaan, kebersamaan, sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi dalam bidang perekonomian. Asas kekeluargaan secara tegas tercantum pada Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Perwujudan kesejahteraan sosial dijalankan oleh tiga pelaku utama ekonomi, yaitu pemerintah, swasta dan koperasi. Perbankan merupakan salah satu sector yang dilakukan oleh ketiga pelaku utama tersebut. Pengaturan perbankan dalam sistem perbankan nasional diatur melalui Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 7 tahun 1997 tentang Perbankan. Pengaturan perbankan nasional yang demikian itu disebut duel banking system, dimana ada dua sistem perbankan dalam satu yurisdiksi nasional, yaitu sistem perbankan berbasis pada prinsip bunga dan berbasis pada prinsip syariah. Beberapa tahun kemudian, perbankan syariah diatur melalui Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Pengaturan yang demikian itu telah berubah sistem perbankan nasional dari duel banking system menjadi single banking system, dimana sistem perbankan yang berbasis pada prinsip bunga dan prinsip syariah diatur melalui undang-undang tersendiri. Prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.4 Prinsip ini mengatur perbankan syariah supaya menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan hukum syariah. Mark Cammack menyatakan “Islamic finance refers to banking, finance, investment, and insurance 4
Pasal 1 butir (12) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
134
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) services that are structured so as to comply with Islamic law”.5 Pemenuhan hukum Islam pada perbankan syariah dibutuhkan persyaratan tertentu yang harus dipenuhi agar menjadi syariah compliant. Syariah compliant menurut Nickolas C. Jensen adalah: “Shari'ah compliance requires one to engage in an exercise to avoid violating the four major prohibitions of Shari'ah. Shari'ah prescribes four major prohibitions that all Islamic finance products or transactions must follow to be deemed Shari'ah-compliant. The four major prohibitions involved are: riba (interest or usury), gharar (uncertainty), maisir (excessive risk or gambling), and haram (investing in products and industries forbidden to Muslims).6 Lebih lanjut, Theodore Karasik dkk, menjelaskan bahwa dalam transaksi pembiayaan (perbankan syariah) agar sesuai dengan syariah compliant, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu, antara lain: “Certain requirements must be met for a financial transaction to be Sharia compliant. These requirements can broadly be placed into three categories: (1) prohibition of interest (riba), (2) prohibition of specific industries and (3) the prohibition of transactions and products with excessive uncertainty (gharar)”.7 Berdasarkan pernyataan tersebut di atas, maka syariah compliant, merupakan rambu-rambu hukum Islam yang harus dipenuhi dalam pembiayaan perbankan syariah. Rambu-rambu tersebut antara lain, pelarangan bunga (riba), pelarangan terhadap industry tertentu, dan pelarangan terhadap transaksi dan produk yang tidak jelas (gharar), dan pelarangan transaksi yang mengarah pada perjudian (maisir). Dengan demikian, penerapan syariah compliant pada perbankan syariah diharapkan sesuai fungsinya sebagai bank berbasis hukum Islam (Islamic law).
5
6
7
Mark Cammack, “Islamic Finance: Prospects and Significance”, (18 Sw. J. Int'l L. 113, Southwestern Journal of International Law, 2011), hlm. 113. Nickolas C. Jensen dalam Shah M. Nizami, “Islamic Finance: The United Kingdom’s Drive to Become the Global Islamic Finance Hub and the United States’ Irrational Indifference to Islamic Finace”, (34 Suffolk Transnat'l L. Rev. 219, Suffolk Transnational Law Review, 2011), hlm. 223. Theodore Karasik, et al, dalam Bilal Khan & Emir Aly Crowne-Mohammed, “The Value of Islamic Banking in the Current Financila Crisis”, (29 Rev. Banking & Fin. L. 441, Review of Banking and Financial Law, 2010), hlm. 449. 135
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah antara lain dalam bentuk mudharabah, musyarakah, murabahah, salam, istishna’, qardh, dan ijarah.8 Qardh adalah salah satu bentuk pembiayaan yang berbasis pada prinsip syariah. Pembiayaan qardh diatur melalui Pasal 1 butir 25 huruf (d) Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, yang dinyatakan bahwa pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh. Selanjutnya, Pembiayaan qardh kemudian diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia tersebut, yang dimaksud pembiayaan qardh tidak berbeda dengan yang terdapat pada Undang-undang Perbankan Syariah yaitu pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh. Selanjutnya, Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 ditindaklanjuti dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbs/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana and Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Pada Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbs/2008 tersebut, mengatur mekanisme dan berbagai persyaratan dalam penyaluran dana kepada nasabah yang berdasarkan pada piutang qardh. Pendegalasian pembiayaan qardh dalam sistem hukum perbankan syariah, tidak terlepas dari adanya Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia Nomor 19/DSN-MUI/IX/2000 tentang qardh, yang telah menfatwakan bahwa pembiayaan qardh adalah produk syar’I (sesuai dengan hukum Islam) yang dapat diterapkan sebagai produk penyaluran dana kepada nasabah pada perbankan syariah. Fatwa inilah yang kemudian dipositifkan melalui Peraturan Bank Indonesia sehingga dapat dijalankan menjadi salah satu produk pembiayaan pada perbankan syariah. Secara umum, makna qardh mirip dengan jual beli (bay’) karena ia merupakan bentuk pengalihan hak milik harta dengan harta,9 dan jenis akad salaf (tukar-menukar
8 9
Pasal 1 butir (25) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Al-Badaa’I, dalam Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), hlm. 373.
136
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) uang).10 Secara bahasa, qardh berarti al-qath’, yaitu harta yang diberikan kepada orang yang meminjam (debitur). Secara istilah, menurut hanafiyah qardh adalah harta yang memiliki kesepadanan yang anda berikan untuk anda tagih kembali, atau dengan kata lain, suatu transaksi yang dimaksudhkan untuk memberikan harta yang memiliki kesepadanan kepada orang lain untuk dikembalikan yang sepadan dengan itu.11 Dengan demikian, pendefinisian qardh yang terdapat pada hukum positif, fiqh, maupun pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pembiayan qardh adalah salah satu bentuk perjanjian pemberian pinjaman dengan sejumlah dana kepada nasabah yang membutuhkan dan nasabah wajib mengembalikan sejumlah pinjaman tersebut tanpa melebihi dari jumlah nominal pinjaman tersebut. Pembiayaan qardh atau qardh hasan disebut juga pembiayaan kebajikan (Benevolent Financing). Berdasarkan definisi qardh tersebut di atas, dapat ditarik “benang merah” antara fungsi sosial yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945, dengan definisi qardh itu sendiri, yaitu qardh merupakan salah satu bentuk penyaluran dana pada bank syariah dengan tidak memungut keuntungan atau imbalan, sehingga penerapan aqad ini hanya semata-mata berfungsi sosial dengan berasaskan kekeluargaan. Penerapan dengan perpaduan fungsi sosial dan asas kekeluargaan dalam pembiayaan perbankan syariah (pembiayaan Islam) akan melahirkan nilai-nilai sosioekonomi yang berasal dari masyarakat. Sebagaimana dinyatakan oleh Walid S. Hegazy, “Contemporary Islamic finance originated as a grassroots movement led by popular initiatives aimed at implementing Islamic socio-economic values”.12 Dalam pembiayaan qardh, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk memberikan pinjaman kepada nasabah berdasarkan kesepakatan.13 Kesepakatan tersebut harus dilandasi oleh kerelaan kedua belah tanpa ada paksaan, sehingga akan menjadi komitmen bersama untuk menjalankannya. Oleh karena itu, nasabah sepatutnya mengetahui karakter maupun produk yang diberikan kepadanya. Namun demikian, tanpa dimintakan oleh nasabah, bank syariah berkewajiban untuk 10 11 12
13
Al-Mughni & al-Muwaafaqaat dalam Wahbah Az-Zuhaili, I b I d.. Wahbah Az-Zuhaili, I b I d.., hlm. 374. Walid S. Hegazy, “Contemporary Islamic Finance: from Socio-economic Idealism to Pure Legalism”, (7 Chi. J. Int'l L. 581, Chicago Journal of International Law, 2007), hlm. 601. Lihat huruf (a), bagian III.8, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 10/14/DPbs/2008 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana and Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (selanjutnya disingkat SEBI No. 10/14/DPbs/2008). 137
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
menjelaskan mengenai karakteristik, produk, hak dan kewajiban nasabah, transparansi informasi produk bank syariah dan penggunaan data pribadi nasabah, sebagaimana yang telah dipersyaratkan di dalam ketentuan pembiayaan qardh.14 Hal ini dimaksudkan untuk memberikan pengetahuan kepada nasabah, supaya nasabah mengerti dan memahaminya, sehingga tidak ada dalih, dan, atau ketidakpahaman terhadap produk pembiayaan qardh tersebut menjadi alasan pembenar untuk melakukan wanprestasi. Dalam pemberian pinjaman berdasarkan pembiayaan qardh, bank syariah harus terlebih dahulu menganalisis atas rencana pembiayaan kepada nasabah berupa analisa karakter (character)15. Analisa karakter adalah penerapan indikator-indikator yang dijadikan ukuran dalam penilaian kelayakan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan aspek watak (karakter) nasabah, antara lain: umur/usia, riwayat pendidikan, dan pengalaman.16 Selain itu, secara umum penilaian pemberian pembiayaan dilakukan analisa terhadap prinsip 5 C, yaitu 1). Character atau watak calon nasabah; 2). Capital atau modal (calon) nasabah; 3). Capacity atau kemampuan (calon) nasabah; 4). Condition of economic atau kondisi ekonomi (calon) nasabah; 5). Collateral atau agunan (calon) nasabah.17 Dengan demikian, analisa karakter nasabah yang dilakukan oleh bank syariah dalam pemberian pembiayaan qardh merupakan salah satu bentuk penerapan prinsip kahati-hatian (prudential principle) supaya terhindar dari risiko pembiayaan, sehingga bank syariah dianggap perlu untuk mengetahui karakter nasabahnya. Sudah menjadi karakter pembiayaan qardh bahwa padanya melekat fungsi kesejahteraan sosial, dimana pemberian dana yang dilandasi dengan aqad qardh tidak boleh mencari keuntungan dibaliknya. Dengan kata lain, bank syariah dilarang dengan alasan apapun untuk meminta pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal yang sesuai akad.18 Pengembalian pinjaman melebihi dari jumlah nominal
14 15 16
17
18
Lihat huruf (b), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. Lihat huruf (c), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. Lihat pada http://belajarkredit.blogspot.com/2009/10/analisa-kredit-aspek-karakter-kredit. html, diakses tanggal 12 Januari 2013. Penjelasan selanjutnya terkait 5 C dapat dilihat pada Mia Septiana Zaeni, “Penerapan Prinsip Kahati-hatian dalam Pemberian Pembiayaan Murabahah pada Bank Muamalat Indonesia Cabang Yogyakarta”, dalam Abdul Ghofur Anshori, Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2008), hlm. 168. Lihat huruf (d), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008.
138
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) dapat menyebabkan aqad qardh menjadi rusak (fasid), sehingga salah satu pihak dapat membatalkannya. Oleh karena itu, bank syariah dilarang membebankan biaya apapun kecuali biaya administrasi dalam batas kewajaran.19 Pembenaran biaya administrasi tersebut merupakan sesuatu yang wajar dalam suatu kelembagaan atau institusi perbankan. Pemberian pinjaman dana berdasarkan pembiayaan qardh harus dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak antara bank syariah dan nasabah, yang kemudian dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa aqad pembiayaan qardh.20 Dalam aqad pembiayaan tersebut mengatur pengembalian jumlah pembiayaan oleh nasabah pada waktu yang telah disepakati.21 Bank syariah dapat memberikan sanksi sesuai syariah dalam rangka pembinaan nasabah apabila nasabah dinilai mampu tetapi tidak mau mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada waktu yang telah ditentukan.22 Sanksi yang diberikan oleh bank syariah antara lain dapat berupa denda finansial. Dana yang didapat dari denda finansial tersebut tidak dapat digunakan sebagai dana keuntungan bank syariah akan tetapi dapat dipergunakan untuk dana sosial. Berdasarkan penjelasan di atas, pembiayaan qardh dari sisi fungsinya mempunyai korelasi erat dengan fungsi kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan yang terdapat pada pasal 33 UUD 1945, dimana kedua fungsi tersebut adalah mencapai kesejateraan bersama. Hal ini disebut sebagai tujuan hukum yang baik, sebagaimana disampaikan oleh J. Bentham dalam alirannya utilitarianisme. Menurutnya, baik buruknya hukum harus diukur dari buruknya akibat yang dihasilkan oleh pranata hukum itu. Hukum dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan, dan berkurangnya penderitaan, dan sebaliknya hukum dinilai buruk dan hanya memperbesar penderitaan. Aliran utilitarianisme merupakan aliran yang meletakkan dasar-dasar ekonomi bagi pemikiran hukum. Prinsip utama pemikirannya adalah mengenai tujuan dan evaluasi hukum. Tujuan hukum adalah kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi sebagian rakyat terbesar atau seluruh rakyat dan evaluasi hukum dilakukan untuk 19 20 21 22
Lihat huruf (e), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. Lihat huruf (f), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. Lihat huruf (g), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. Lihat huruf (h), bagian III.8, SEBI No. 10/14/DPbs/2008. 139
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
mengukur kualitas dari suatu peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, isi hukum adalah ketentuan tentang pengaturan penciptaan kesejakteraan negara.23 Dengan demikian, tujuan perbankan syariah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat merupakan derivasi dari kesejahteraan sosial yang terdapat pada sistem ketatanegaran yang harus dilaksanakan oleh para palakunya. 2.
Pembiayaan Qardh dan Kaitannya dengan Kesejahteraan Sosial dalam Sistem Ketatanegaraan bagi Pencapaian Tujuan Perbankan Syariah
UUD 1945 merupakan sumber hukum tertinggi yang harus tercermin dalam segala peraturan perundang-undangan dan kebijakan-kebijakan kenegaraan, serta harus ditegakkan sebagaimana mestinya dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan negara.24 Negara menguasai dan mengatur seluruh kehidupan bangsa di berbagai bidang agar tercipta ketertiban, keadilan dan kemakmuran. Salah satu pengaturan negara untuk mewujudkan ketertiban, keadilan dan kemakmuran tersebut adalah pengaturan di bidang perbankan syariah. Pengaturan perbankan syariah melalui Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, telah membuat bank syariah berkedudukan sama dengan bank konvensional. Melalui undang-undang tersebut, perbankan syariah bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.25 Dalam mewujudkan tujuan perbankan syariah tersebut, diperlukan kegiatan usaha penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk pembiayaan. Salah satu bentuk pembiayaan yang mempunyai korelasi erat dengan kesejahteraan sosial yang terdapat dalam sistem ketatanegaraan dengan produk perbankan syariah adalah pembiayaan qardh. Pembiayaan qardh merupakan suatu akad penyaluran dana oleh Bank Syariah atau UUS kepada nasabah sebagai utang piutang dengan ketentuan bahwa nasabah wajib mengembalikan dana tersebut kepada Bank Syariah atau UUS
23
24
25
A. Mukhtie Fadjar, Teori Hukum; Kumpulan Bahan Bacaan dan Diskusi, (Malang, Pascasarjana Universitas Brawijaya, 2001), hlm. 28. Jimly Asshiddiqie, Sistem Ketatanegaraan Pasca Reformasi, lihat, http://www.google.co.id…jimly.com/makalah/namafile/.../SISTEM_KETATANEGARAAN.do c, diakses 15 Januari 2013. Pasal 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
140
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) pada waktu yang telah disepakati.26 Dengan demikian, pembiayaan qardh pada perbankan syariah diaplikasikan dalam bentuk Dana Talangan Haji, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dan Kegiatan Sosial lainnya. Hal ini akan dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut. a. Dana Talangan Haji Implimentasi nilai-nilai ekonomi dan kesejahteraan sosial (values of economic and social welfare) diwujudkan dalam bentuk penerapan (application) asas kekeluargaan dalam praktik perbankan syariah di Indonesia, khususnya dalam pembiayaan qardh. Pembiayaan qardh diberikan kepada nasabah dalam bentuk dana talangan haji. Pemberian dana talangan haji mengedepankan asas kekeluargaan, kebersamaan, dan tolong menolong sehingga bank syariah dapat memberikan dana tersebut untuk membantu nasabah yang kekurangan dana untuk memenuhi kecukupan dana koata haji. Dana talangan tersebut tidak memungut keuntungan bagi bank syariah, melainkan pembebanan biaya administrasi, yang biasanya diserahkan kepada kebijakan masing-masing bank syariah. Konsep implimentasi nilai-nilai ekonomi dan kesejahteraan sosial, sebenarnya tidak hanya dapat diterapkan dalam bentuk pembiayaan qardh pada perbankan syariah di Indonesia, akan tetapi dapat juga diterapkan dalam bentuk pembiayaan lainnya pada lembaga keuangan Islam di negara-negara lain, seperti di Mesir dan Malaysia. Mit Gharm Bank di Mesir dan Tabungan Haji di Malaysia merupakan negara-negara yang telah menerapkan nilai-nilai ekonomi dan kesejahteraan sosial dalam pembiayaan keuangan Islam. Hal ini disimpulkan oleh Walid S. Hegazy dalam Symposium: Islamic Business and Commercial Law, yaitu: “Najjar's Mit Ghamr Bank, and the Malaysian Tabung Haji mutual fund are examples of these initiatives, which presented Islamic finance as an alternative approach to the reform and development of Muslim societies. This approach focused on empowering the low- and middle-income classes and building economically and politically active communities. This was clearly the vision of the Mit Ghamr model, which provided credit access to the rural population of Egypt. The Mit Ghamr Bank adopted other socio-economic objectives such as encouraging saving and entrepreneurial behaviors in the society and building a 26
Bagian Umum, angka (1) Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbs/2012 Perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. 141
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
robust financial market that nurtures mutual trust and cooperation among its members”.27 Dalam praktiknya, dana talangan haji yang diberikan kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan qardh pada perbankan syariah, biasanya terdiri dari dana awal dan dana talangan. Dana awal disiapkan oleh nasabah sendiri sebagai calon jamaah haji, antara lain untuk BPIH, Ujroh Talangan Pertahun, saldo tabungan pembukaan rekening, tabungan awal pelunasan haji dan biaya administrasi bank syariah. Secara teknis rincian dana tersebut diserahkan kepada bank syariah masing-masing, dan dengan kesepakatan kedua belah dengan mengedepankan asas kekeluargaan. Selain itu, dana talangan yang disediakan oleh bank syariah untuk menutupi kekurangan dana haji kepada nasabah sebagai calon jamaah haji. Akumulasi dana ini, yang kemudian dituangkan dalam akad qardh, dimana nasabah mengembalikan sejumlah dana yang diterimanya dalam jangka waktu yang telah ditentukan tanpa adanya tambahan dana selain daripada dana pokok yang diterimanya. Dengan demikian, dana talangan haji yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah berdasarkan pembiayaan qardh, merupakan salah satu bentuk penyaluran dana bank syariah yang bersifat sosial (tanpa keuntungan) untuk membantu dalam mewujudkan kesejahteraan para nasabahnya. Dengan kata lain, pembiayaan ini merupakan bentuk penerapan asas kekeluargaan atas dasar demokrasi ekonomi dengan tujuan kesejahteraan rakyat, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3), UUD 1945. b. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) Peranan Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mendorong dan memajukan perbankan syariah di Indonesia berjalan cukup baik, sehingga Bank Indonesia berhasil memperoleh penghargaan sebagai Bank Sentral dalam Mempromosikan Keuangan Syariah versi Islamic Finance News (IFN). Namun demikian, dorongan tersebut dibutuhkan dukungan dari berbagai pihak, terutama dari pemerintah atau BUMN. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ma'ruf Amin (Ketua DSN MUI), bahwa dalam memajukan bank syariah tidak hanya dilakukan 27
Walid S. Hegazy, “Contemporary Islamic Finance: from Socio-economic Idealism to Pure Legalism”, (7 Chi. J. Int'l L. 581, Chicago Journal of International Law, 2007), hlm. 601.
142
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) oleh Bank Indonesia, namun juga dibutuhkan peranan pemerintah secara keseluruhan, termasuk penempatan dananya (pemerintah atau BUMN) pada perbankan syariah.28 Menurut hemat penulis, penempatan dana pemerintah pada perbankan syariah dinilai cukup baik, karena pemerintah secara ketetanegaraan turut terlibat secara aktif dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Apalagi dana tersebut dapat disalurkan dalam bentuk pembiayaan terhadap kegiatan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang dipadukan antara program pemerintah dengan produk perbankan syariah. Perpaduan program pemerintah dengan produk perbankan syariah terhadap UMKM dilakukan dalam bentuk pembiayaan qardh. Dalam pembiayaan qardh tersebut, masyarakat dapat meminjamkan dana dan memanfaatkannya untuk melakukan kegiatan UMKM, dimana masyarakat akan mengembalikan dana tersebut pada waktu yang telah ditentukan. Pembiayaan berdasarkan qardh pada perbankan syariah bersifat pinjaman dan tidak mengambil keuntungan kecuali biaya yang dibebankan secara administrasi. Sebagaimana dinyatakan oleh Banaga, bahwa “The financial institution may also "charge a small fee to cover its administrative costs."29 Dengan demikian, pembiayaan qardh yang selama ini dipraktikkan dalam perbankan syariah dapat dijadikan sebagai produk yang inovatif (innovative products) yang tidak hanya diperlakukan pada dana Talangan Haji, Gadai Emas, dan Talangan atas Invoice tetapi juga dapat diperluas dalam bentuk perpaduan program pemerintah dengan pembiayaan qardh pada perbankan syariah dalam mewujudkan tujuan perbankan syariah, yaitu menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.30 Kewajiban penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan bank syariah kepada UMKM diatur melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan Oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam A.
29
30
“Masih Belum Ada Dana Pemerintah di Perbankan Syariah?” pada http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/01/14/mgm9sp-masihbelum-ada-dana-pemerintah-di-perbankan-syariah. diakses tanggal, 15 Januari 2013. Banaga et al dalam J. Michael Taylor, “Islamic Banking-The Feasibility of Establishing an Islamic Bank in the United States”, (40 Am. Bus. L.J. 385, American Business Law Journal, 2003), hlm. 399. Pasal 3 Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. 28
143
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah.31 Bank Indonesia telah menetapkan paling rendah 20% (dua puluh persen) yang dihitung berdasarkan rasio Kredit atau Pembiayaan UMKM terhadap total Kredit atau Pembiayaan yang harus dilakukan oleh Bank Umum (Bank Umum Konvensional dan Bank Umum Syariah).32 Namun demikian penetapan rasio tersebut diberlakukan secara bertahap dan bagi bank syariah mulai diterapkan pada tahun 2014.33 Dengan demikian, PBI No. Nomor 14/22/PBI/2012 telah mendorong bank syariah untuk melakukan kegiatan usaha yang lebih luas, yaitu UMKM sehingga diperlukan pengembangan produk (inovasi) sesuai dengan peraturan PBI tersebut. Oleh karena itu, pembiayaan yang berbasis qardh dapat dijadikan sebagai salah satu produk bank syariah untuk penyaluran dana kepada UMKM. Hal ini selaras dengan fungsi qardh dan UMKM dalam mewujudkan tujuan perbankan syariah. c. Kegiatan Sosial Penyaluran dana pada bank syariah berdasarkan pembiayaan qardh, selama ini dilakukan dalam bentuk talangan haji. Menurut hemat penulis, pembiayan qardh sudah seharusnya dilakukan konversi ke arah yang lebih luas dengan demensi sosial. Bank Syariah dan UUS dapat memberikan dana dalam bentuk talangan dalam rangka membantu kegiatan-kegiatan sosial yang sifat dana tersebut adalah pinjaman. Berdasarkan Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, pengaturan menjalankan fungsi sosial masih sebatas dalam bentuk lembaga baitul maal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.34 Selain itu, Bank Syariah dan Usaha Unit Syariah (UUS) dapat menghimpun dana
31
32 33 34
Pasal 2 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan Oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (kemudian disingkat PBI No. Nomor 14/22/PBI/2012). Pasal 2 ayat (2) PBI No. Nomor 14/22/PBI/2012. Pasal 14 PBI No. Nomor 14/22/PBI/2012. Pasal 4 ayat (2) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
144
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) sosial yang berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif).35 Penulis berpendapat, bahwa pengaturan fungsi sosial melalui Undang-undang Perbankan Syariah tersebut sudah selayaknya didorong kearah kegiatan sosial lainnya dalam bentuk produk bank syariah yang didasarkan pada pembiayaan qardh, yang diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Hal ini diperlukan agar terjadi keselarasan dengan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbs/2012 Perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pada Surat Edaran tersebut, salah satu karakteristik produk qardh yang berdiri sendiri adalah pembiayaan bertujuan sosial bukan untuk mendapatkan keuntungan.36 Dengan demikian, bank syariah akan menjadi pioneer dalam mengembangkan kesejahteraan sosial atas dasar demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuannya yaitu kemakmuran rakyat. Berdampingan dengan itu, pembiayaan berdasarkan qardh dapat dijadikan sebagai salah satu alasan pembenar bahwa bank syariah dapat melakukan berbagai produk lainnya yang berlandaskan pada pembiayaan berfungsi sosial atau tidak mengambil keuntungan bank syariah yang tidak terbatas pada produk Talangan Haji, Gadai Emas, dan Talangan atas Invoice yang selama ini dipraktekkan dalam perbankan syariah. Pembiayaan qardh dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penyaluran dana kebajikan (qardh hasan) pada lembaga sosial maupun bantuan kemanusiaan dengan perjanjian akan melunasinya dan biasanya diperlukan agunan. Sebagaimana dinyatakan oleh Pervez dalam J. Michael Taylor: “Qarde hasan financing occurs when the financial institution provides a loan free of charge, typically with the intent to provide financial assistance to ailing institutions or to provide humanitarian assistance to individuals. In exchange, the customer provides an unconditional obligation that the financial institution will be repaid, and often collateral is required”.37 Dengan demikian, penyaluran dana bank syariah berdasarkan pembiayaan qardh dapat dilaksanakan secara maksimal, sehingga akan tercapai tujuan perbankan syariah dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sebagaimana 35 36
37
Pasal 4 ayat (3) Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Bagian Umum, Poin (2a), (1), Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbs/2012 Perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Pervez dalam J. Michael Taylor, I b I d.., hlm. 399. 145
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
diamanatkan dalam ketentuan kesejahteraan sosial yang diatur melalui sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu kemakmuran rakyat. C.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
a. Berdasarkan definisi qardh dapat ditarik “benang merah” antara fungsi sosial yang terdapat pada Pancasila dan UUD 1945, dengan definisi qardh itu sendiri, yaitu qardh merupakan salah satu bentuk penyaluran dana pada bank syariah dengan tidak memungut keuntungan atau imbalan, sehingga penerapan aqad ini hanya semata-mata berfungsi sosial dengan berasaskan kekeluargaan. Penerapan dengan perpaduan fungsi sosial dan asas kekeluargaan dalam pembiayaan perbankan syariah (pembiayaan Islam) akan melahirkan nilai-nilai sosio-ekonomi yang berasal dari masyarakat. Pembiayaan qardh dari sisi fungsinya mempunyai korelasi erat dengan fungsi kesejahteraan sosial dalam sistem ketatanegaraan yang terdapat pada pasal 33 UUD 1945, dimana kedua fungsi tersebut adalah mencapai kesejateraan bersama. b. Pembiayaan qardh pada perbankan syariah diaplikasikan dalam bentuk Dana Talangan Haji, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dan Kegiatan Sosial lainnya. Dana talangan haji yang diberikan oleh bank syariah kepada nasabah berdasarkan pembiayaan qardh, merupakan salah satu bentuk penyaluran dana bank syariah yang bersifat sosial (tanpa keuntungan) untuk membantu dalam mewujudkan kesejahteraan para nasabahnya. Selain itu, perpaduan program pemerintah dengan produk perbankan syariah terhadap UMKM dilakukan dalam bentuk pembiayaan qardh, dianggap tepat karena masyarakat dapat meminjamkan dana dan memanfaatkannya untuk melakukan kegiatan UMKM, dimana masyarakat akan mengembalikan dana tersebut pada waktu yang telah ditentukan. c. Pembiayaan berdasarkan qardh dapat dijadikan sebagai salah satu alasan pembenar bahwa bank syariah dapat melakukan berbagai produk lainnya yang berlandaskan pada pembiayaan berfungsi sosial atau tidak mengambil keuntungan yang tidak terbatas pada produk Talangan Haji, Gadai Emas, dan Talangan atas Invoice yang selama ini dipraktekkan dalam perbankan syariah. Pembiayaan qardh dapat dijadikan sebagai salah satu bentuk penyaluran dana kebajikan (qardh hasan) pada lembaga sosial maupun bantuan kemanusiaan dengan perjanjian akan melunasinya dan biasanya diperlukan agunan.
146
Aplikasi Pembiayaan Qardh dan Kaitannya Dengan Kesejahteraan Sosial… (Faisal) d. Dengan demikian, pembiayaan qardh pada perbankan syariah dapat diaplikasikan dalam bentuk Dana Talangan Haji, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dan Kegiatan Sosial lainnya, yang merupakan bentuk penerapan asas kekeluargaan atas dasar demokrasi ekonomi, sebagaimana yang telah dirumuskan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Pasal 33 ayat (1), (2) dan (3), UUD 1945, bagi pencapaian tujuan perbankan syariah, yaitu kesejahteraan rakyat. 2.
Saran
a. Pengaturan fungsi sosial melalui Undang-undang Perbankan Syariah sudah selayaknya didorong kearah kegiatan sosial lainnya dalam bentuk produk bank syariah yang didasarkan pada pembiayaan qardh, yang diatur melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI). Hal ini diperlukan agar karakteristik produk qardh yang bertujuan sosial bukan untuk mendapatkan keuntungan lebih maksimal, sehingga bank syariah akan menjadi pioneer dalam mengembangkan kesejahteraan sosial atas dasar demokrasi ekonomi untuk mencapai tujuannya. b. Pemerintah selayaknya menempatkan dananya pada perbankan syariah dalam rangka mendorong pertumbuhan dan pencapaian tujuan perbankan syariah, kemudian secara bersama mewujudkan program dalam bentuk kesejahteraan sosial, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
DAFTAR PUSTAKA Anshori, Abdul Ghofur, 2008. Kapita Selekta Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta: UII Press. Az-Zuhaili, Wahbah, 2011. Fiqh Islam wa Adillatuhu, Jakarta: Gema Insani. Cammack, Mark , 2011. “Islamic Finance: Prospects and Significance”, 18 Sw. J. Int'l L. 113, Southwestern Journal of International Law. Fadjar, A. Mukhtie, 2001. Teori Hukum; Kumpulan Bahan Bacaan dan Diskusi, Malang: Pascasarjana Universitas Brawijaya.
147
Jurnal Nanggroë, Volume 2, Nomor 1, April 2013
ISSN 2302-6219
Hegazy, Walid S, 2007. “Contemporary Islamic Finance: from Socio-economic Idealism to Pure Legalism”, 7 Chi. J. Int'l L. 581, Chicago Journal of International Law. Khan, Bilal & Emir Aly Crowne-Mohammed, 2010. “The Value of Islamic Banking in the Current Financial Crisis”, 29 Rev. Banking & Fin. L. 441, Review of Banking and Financial Law. Nizami, Shah M, 2011. “Islamic Finance: The United Kingdom’s Drive to Become the Global Islamic Finance Hub and the United States’ Irrational Indifference to Islamic Finace”, 34 Suffolk Transnat'l L. Rev. 219, Suffolk Transnational Law Review, Taylor, J. Michael, 2003. “Islamic Banking-The Feasibility of Establishing an Islamic Bank in the United States”, 40 Am. Bus. L.J. 385, American Business Law Journal. http://belajarkredit.blogspot.com/2009/10/analisa-kredit-aspek-karakter-kredit.html http://www.google.co.id…jimly.com/makalah/namafile/.../SISTEM_KETATANEGARAA N.doc. http://www.republika.co.id/berita/ekonomi/syariah-ekonomi/13/01/14/mgm9sp-masihbelum-ada-dana-pemerintah-di-perbankan-syariah. Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan Oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah. Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 14/7/DPbs/2012 Perihal Produk Qardh Beragun Emas Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah. Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS/2008 perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah. 148
Harmonisasi Karakter Mengikat Perjanjian Antara Causa Dalam Civil Law dan Consideration Dalam Common Law Dalam Pengembangan Sistim Hukum Perjanjian Perdagangan Indonesia (Harmonization of Contract Binding Character between Causa in Civil Law and Consideration in Common Law in Developing Legal System of Indonesia Trade Contract) Oleh Fatahillah1 Abstract Economic globalization is heading for legal globalization, which influence states in the world to consider common analytical frameworks and have an effect on global convergence in legal harmonization. Main principle that practiced by legal system heading for certainty of law. Globalization brings two legal systems, common law and civil law, into harmonization in economic transnational relations. Process of harmonization should consider national character, the process of harmonization in fact should consider national character, national independent, and bring the better future for the nation. Harmonization, basically is not contradicted to the basic legal principle in Indonesia. Keywords: Harmonization, Binding Character, Contract, Causa, Consideration, Civil Law, Common Law, Legal System, Trade A.
PENDAHULUAN
1.
Latar belakang
Ahli hukum Paul Scolten berpendapat bahwa meskipun pada azasnya hukum positif masing-masing Negara berbeda sesuai dengan waktu dan tempatnya diberlakukan, akan tetapi diantara hukum positif tersebut terkandung azas yang sama, yang disebutnya sebagai asas yang berlaku secara universal, yang tidak tergantung pada waktu dan tempat, salah satunya asas penilaian baik dan buruk, dimana hampir semua Negara mempunyai rasa yang sama dalam menilai apa yang baik dan apa 1
Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh
149