PENGARUH LATIHAN KETERAMPILAN DASAR KOMUNIKASI KONSELING TERHADAP PENGUASAAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PEMBIMBING DI SMA/SMK SE KOTA MAKASSAR
THE INFLUENCE OF TRAINING ON BASIC COMMUNICATION SKILL OF COUNSELING TOWARDS PROFESSIONAL COMPETENCE OF TEACHER COUNSELOR AT SMA/SMK IN MAKASSAR
RAMDANA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2011
PENGARUH LATIHAN KETERAMPILAN DASAR KOMUNIKASI KONSELING TERHADAP PENGUASAAN KOMPETENSI PROFESIONAL GURU PEMBIMBING DI SMA/SMK SE KOTA MAKASSAR Tesis
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Derajat Magister
Program Studi Bimbingan Konseling
Disusun dan Diajukan oleh
RAMDANA
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR 2011
ABSTRAK
RAMDANA. 2011. Pengaruh Latihan Keterampilan Dasar Komunikasi Konseling terhadap Penguasaan Kompetensi Profesional Guru Pembimbing di SMA/SMK se Kota Makassar (Dibimbing oleh Alimuddin Mahmud dan Farida Aryani) Profesionalisasi diri konselor merupakan upaya konselor dalam meningkatkan kompetensi diri. Peningkatan penguasaan kompetensi profesional konselor dibutuhkan untuk membantu konselor dalam memberikan layanan bimbingan konseling secara profesional. Salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru pembimbing yaitu kemampuan konselor dalam menguasai keterampilan dasar komunikasi konseling. Kritikan pada pelaksanaan konseling yang dilakukan oleh konselor, dianggap belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana konselor belum mampu melaksanakan konseling untuk mengatasi masalah siswa secara profesional. Beberapa hal yang terjadi di lapangan misalnya seperti penstrukturan konseling tidak jelas, konseling hanya mengobrol biasa dan hanya bersifat nasihat biasa, konseli tidak siap konseling, konselor kurang mampu mendifinisikan masalah siswa (pada tahap awal), konselor kurang terampil dalam mengaplikasikan tehnik-tehnik konseling. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah gambaran tingkat penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar sebelum diberikan latihan keterampilan dasar komunikasi konseling? (2) Apakah ada pengaruh pemberian latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar? Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk memperoleh gambaran tingkat penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar sebelum dilatih keterampilan dasar komunikasi konseling; (2) Untuk mengetahui pengaruh pemberian latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis eksperimen terhadap 8 subjek penelitian yang merupakan guru pembimbing yang tidak berlatarbelakang bimbingan konseling di SMA/SMK se kota Makassar. Pengumpulan data dengan menggunakan instrument observasi, angket dan wawancara. Analisis data menggunakan analisis presentase dan analisis statistik non parametriks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di SMA/SMK se kota Makassar sebelum diberi perlakuan latihan keterampilan dasar komunikasi konseling berada pada kategori kurang sesuai dan setelah diberikan latihan keterampilan dasar komunikasi konseling berada pada kategori sesuai, (2) ada pengaruh positif latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap penguasaan kompetensi profesional guru pembimbing di SMA/SMK Se Kota Makassar.
ABSTRAK
RAMDANA. 2011. Pengaruh Keterampilan Dasar Komunikasi Konseling Terhadap Kompetensi Profesional Guru Pembimbing di SMA/SMK se Kota Makassar (Dibimbing oleh Alimuddin Mahmud dan Farida Aryani) Profesionalisasi diri konselor merupakan proses konselor dalam berupaya meningkatkan kompetensi diri. Peningkatan kompetensi diri konselor dibutuhkan untuk membantu konselor dalam memberikan layanan bimbingan konseling secara profesional. Salah satu kompetensi profesional yang harus dimiliki guru pembimbing yaitu kemampuan konselor dalam menguasai keterampilan dasar komunikasi konseling. Kritikan pada pelaksanaan konseling yang dilakukan oleh konselor, dianggap belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana konselor belum mampu melaksanakan konseling untuk mengatasi masalah siswa secara profesional. Beberapa hal yang terjadi di lapangan misalnya seperti penstrukturan konseling tidak jelas, konseling hanya mengobrol biasa dan hanya bersifat nasihat biasa, konseli tidak siap konseling, konselor kurang mampu mendifinisikan masalah siswa (pada tahap awal), konselor kurang terampil dalam mengaplikasikan tehniktehnik konseling. Oleh karena itu rumusan masalah dalam penelitian ini adalah (i) Bagaimanakah gambaran tingkat kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar sebelum diberikan latihan keterampilan dasar komunikasi konseling? (ii) Apakah ada pengaruh pemberian latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar? Tujuan penelitian ini adalah (i) Untuk memperoleh gambaran tingkat kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar sebelum dilatih keterampilan dasar komunikasi konseling; (ii) Untuk mengetahui pengaruh pemberian latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap kompetensi profesional guru pembimbing di kota Makassar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif jenis eksperimen terhadap 8 subjek penelitian yang merupakan guru pembimbing yang tidak berlatarbelakang bimbingan konseling di SMA/SMK se kota Makassar. Pengumpulan data dengan menggunakan instrument observasi dan angket. Analisis data menggunakan analisis presentase dan analisis statistik non parametriks. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) kompetensi profesional guru pembimbing di SMA/SMK se kota Makassar sebelum diberi perlakuan pelatihan keterampilan dasar komunikasi konseling berada pada kategori kurang sesuai dan setelah diberikan pelatihan keterampilan dasar komunikasi konseling berada pada kategori sesuai, (2) ada pengaruh positif latihan keterampilan dasar komunikasi konseling terhadap kompetensi profesional guru pembimbing di SMA/SMK Se Kota Makassar.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Persoalan dan keluhan tentang pelayanan yang diberikan konselor sekolah masih banyak dilontarkan, meskipun keberadaannya telah memberikan kontribusi positif bagi pencapaian perkembangan diri siswa melalui intervensi pendidikan di sekolah, dan sebagai salah satu ragam tenaga kependidikan eksistensi konselor semakin terkuatkan. Keluhan atau kritikan tersebut mengarah pada pelaksanaan konseling yang dilakukan oleh konselor, dianggap belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan, dimana konselor belum mampu melaksanakan konseling untuk mengatasi masalah siswa secara profesional. Beberapa hal yang diduga atau ditengarai sebagai penyebab yang menentukan itu adalah rendahnya keterampilan dasar komunikasi konselor. Konselor yang kurang memperlihatkan penguasaan keterampilan dasar komunikasi konseling ini, sangat dirasakan oleh siswa yang telah menerima layanan konseling disekolah bahkan menurut pengakuan konselor itu sendiri. Hajati (2010) menyebutkan banyak konselor di sekolah yang menunjukkan perilaku konselor kurang profesional. Penelitian oleh Asrori (1990) menunjukkan bahwa kinerja petugas bimbingan 40,63% yang termasuk kategori tinggi dan 59,37% termasuk kategori sedang. Konselor dianggap oleh siswa masih belum memiliki kemampuan seperti yang diharapkan dalam aspek keterampilan konseling individual
(dalam Hajati, 2010). Selanjutnya, Nurhisan (1993) dalam penelitiannya menemukan pelaksanaan konseling oleh guru bimbingan dan konseling belum sesuai dengan yang diharapkan, yakni masih kurangnya kemampuan dalam menangani dan menggali masalah yang dihadapi siswa. Penelitian Marjohan (1993), menunjukkan: baru 39,47% guru bimbingan dan konseling yang dapat menerapkan kemampuan profesional konseling dalam kategori tinggi, adapun 60,53% baru mampu menerapkan kemampuan tersebut pada kategori sedang (dalam Hajati, 2010). Penelitian
Puspitasari (2010) menunjukkan bahwa pada aspek upaya
konselor dalam meningkatkan diri dalam berkerja masih dalam kategori sedang. Ini mengindikasikan masih terdapat konselor yang belum profesional dalam berkerja. Kenyataan di lapangan, sebagian besar konselor sekolah mengatakan bahwa keterampilan konseling yang mereka kuasai memang sangat kurang, ini disebabkan oleh karena tidak adanya kompetensi yang mereka miliki berupa pengetahuan dan wawasan yang luas tentang konseling. Beberapa hal yang terjadi di lapangan misalnya seperti penstrukturan konseling tidak jelas, konselor larut dalam konseling, konseling hanya ngobrol biasa dan hanya bersifat nasihat biasa, konseli tidak siap konseling, konselor kurang mampu mendifinisikan masalah siswa (pada tahap awal), konselor kurang terampil dalam mengaplikasikan tehnik-tehnik konseling, dan kebanyakan konselor kurang memahami tahapan-tahapan konseling. Di sekolah, selain guru pembimbing yang berlatarbelakang bimbingan konseling, terdapat pula guru pembimbing yang bukan berlatarbelakang bimbingan konseling yaitu mereka yang dipilih dan diangkat tidak berdasarkan keilmuan atau
latarbelakang pendidikan profesi. Misalnya Guru wali kelas yang juga diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai guru pembimbing
atau seorang guru yang selain
memegang mata pelajaran tertentu, terlibat juga dalam pelayanan bimbingan dan konseling. Para siswa harus ditangani oleh konselor yang memiliki kompetensi profesional dalam bidangnya karena didalam konseling memiliki asas kerahasiaan, asas kesukarelaan, asas keterbukaan, asas kenormatifan, dan sebagainya. Oleh karena itu konselor yang bukan berlatarbelakang bimbingan konseling perlu diperhatikan dan dan dilatih tentang bimbingan konseling sehingga mereka dapat mentaati aturanaturan dalam memberikan pelayanan bimbingan dan konseling yang terdapat dalam kode etik keprofesian sebagai seorang guru pembimbing. Namun tidak sedikit konselor di sekolah yang tidak memenuhi kualifikasi seorang guru bimbingan konseling, misalanya seorang guru yang selain memegang mata pelajaran tertentu, terlibat juga dalam pelayanan bimbingan konseling, yang disebut juga part time teacher and part time counselor. Jadi guru yang seperti ini memiliki tugas rangkap, dimana guru mata pelajaran yang diserahi tugas dan tanggung jawab sebagai guru bimbingan konseling seperti guru agama, guru kewarganegaraan, dan guru-guru lain terutama yang kurang memiliki jam pelajaran dan hal inilah yang terkadang justru menambah masalah karena pemberian layanan bimbingan konseling kepada siswa tidak optimal dan profesional. Dari hasil survei, peneliti memperoleh data bahwa jumlah guru bimbingan konseling yang tidak berlatar belakang sarjana bimbingan konseling di kota Makassar adalah sebanyak 10 orang.
Menurut Widiastuti (2010) bahwa konseling merupakan suatu proses komunikasi antara konseli dengan konselor. Di dalam proses konseling, keterampilan seorang
konselor
dalam
merespon
pernyataan-pernyataan
konseli
dan
mengkomunikasikannya kembali sangat diperlukan. Agar proses komunikasi dimaksud dapat efektif dan efisien, maka konselor seyogyanya memiliki kemampuan dan keterampilan dasar berkomunikasi. Menurut Carkhuff (1983) dalam Abimanyu dan Manrihu (2009 : 56) di dalam komunikasi dengan konseli, konselor harus menggunakan respon-respon yang diklasifikasikan ke dalam berbagai teknik keterampilan dasar komunikasi, seperti (1) tahap pembukaan yaitu membangun rapport, attending, acceptance (penerimaan), mendengarkan, empati, refleksi; (2) tahap eksplorasi masalah yaitu mengajak terbuka, mengikuti pokok pembicaraan, pertanyaan terbuka, konfrontasi, dorongan minimal, menjernihkan (clarifying), memimpin (leading), fokus, diam, mengambil inisiatif, memberi nasehat;
dan kemudian (3) tahap terminasi (pengakhiran) seperti
menyatakan waktu telah habis, menyimpulkan, menanyakan perasaan, memberi tugas dan tindak lanjut, merencanakan pertemuan selanjutnya serta berpisah secara formal. Konselor sebagai tenaga profesional pelaksanaan konseling di sekolah sangat diperlukan keterampilan seorang konselor dalam menangani siswa. Gibson dan Mitchell (1995:150) menyebutkan ada empat keterampilan konseling yang perlu dikuasai oleh seorang konselor yang profesional yaitu (1) keterampilan komunikasi terdiri atas dua yakni keterampilan komunikasi nonverbal dan keterampilan komunikasi verbal. (2) keterampilan diagnostik, keterampilan ini mensyaratkan
konselor terampil dalam mendiagnosa dan memahami klien, memperhatikan klien, dan pengaruh lingkungan yang relefan. Tujuan konseling biasanya untuk membantu perubahan perilaku dan sikap klien. (3) keterampilan memotivasi, tujuan konseling biasanya untuk membantu perubahan perilaku dan sikap klien, oleh itu seorang konselor harus mempunyai keterampilan memotivasi klien, dan (4) keterampilan manajemen, yang termasuk keterampilan manajemen adalah perhatian terhadap lingkungan dan pengaturan fisik, pengaturan waktu, mengatur proses membantu klien bahagia, mengatur kontribusi konselor dalam proses konseling, mengenali dan bekerja dalam keprofesionalan seorang konselor, menentukan poin dan metode mengakhiri konseling, tindak lanjut dan mengevaluasi merupakan tanggung jawab konselor. Dalam proses konseling seorang konselor harus mampu melibatkan konseli secara penuh, supaya konseli bisa terbuka. Dalam hal ini konselor dituntut untuk mampu berkomunikasi secara efektif. Karena keberhasilan konseling sangat ditentukan oleh keefektifan komunikasi di antara partisipan konseling yaitu konselor dengan konseli. Salah satu keterampilan yang diperlukan oleh konselor adalah keterampilan berkomunikasi secara dialogis (verbal), khususnya dengan konseli, komunikasi dialogis pada dasarnya merupakan salah satu bentuk komunikasi interaktif antara satu pihak dengan pihak lain melalui penciptaan suatu situasi dalam upaya mencari informasi yang diperlukan dalam pembuatan keputusan secara tepat. Disamping komunikasi verbal, tidak kalah pentingnya adalah komunikasi non verbal dalam setiap kali melakukan wawancara konseling.
Menurut Rogers (Blocher, 1974:172) mengemukakan keterampilan dasar yang harus dimiliki seorang konselor adalah (1) congruence yaitu konselor tampil sebagai pribadi yang sebenarnya sebagai konselor yang profesional; (2) unconditional positive regard yaitu konselor memahami dan menerima konseli apa adanya, (3) empathic understanding yaitu memahami apa yang dirasakan oleh konseli; dan (4) trust yaitu kepercayaan konseli terhadap konselor bahwa konselor mampu membantu menyelasaikan masalah konseli dan dapat menjaga kerahasiaan. Keterampilan ini dimiliki oleh konselor maka siswa sebagai pribadi yang membutuhkan bantuan layanan konseling akan datang dengan sukarela dan dengan keterampilan dasar komunikasi konseling yang dikuasai oleh konselor dapat menstimulus anak untuk terbuka mengemukakan masalahnya, tanpa harus dipanggil atau siswa datang ke konselor atas rekomendasi dari guru/wali kelas. Keterampilan dasar komunikasi konseling dalam menciptakan suatu hubungan yang positif dengan siswa adalah dasar untuk membangun suatu lingkungan dan suasana yang kondusif guna mendukung proses pemberian layanan konseling. Hubungan yang positif dibutuhkan sebagai syarat awal untuk bisa mencapai hasil layanan konseling yang maksimal. Menurut Gunawan (2006:321) siswa perlu merasa dimanusiakan dengan menyadari bahwa konselor menghargai mereka apa adanya, seperti konselor menghargai ide, perasaan, pemikiran, nilai hidup, kepribadian, karakter, kekuatan dan kekurangan. Dengan cara menunjukkan komunikasi efektif seperti sikap seorang konselor yang lebih empatik, relasi yang baik, hangat dan penuh penerimaan kepada siswa, maka akan memudahkan siswa untuk lebih memahami
diri, kondisi lingkungan dirinya dan lebih mudah mengambil keputusan dalam hidupnya demi kebaikan dirinya sendiri. Apalagi konselor yang sedang menangani siswa yang sulit mengungkapkan masalahnya, dalam bimbingan konseling lebih mengutamakan pada upaya penyembuhan dengan menggunakan berbagai layanan dan teknik yang ada. Untuk meningkatkan keterbukaan diri siswa melalui bimbingan konseling sama sekali tidak menggunakan bentuk sanksi apa pun, tetapi lebih mengandalkan pada terjadinya kualitas hubungan interpersonal yang saling percaya di antara konselor dan siswa yang bermasalah, sehingga setahap demi setahap siswa tersebut dapat memahami dan menerima diri dan lingkungannya, serta dapat mengarahkan diri guna tercapainya penyesuaian diri yang lebih baik. Dalam sistem Pendidikan Nasional ( UU No.20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 6 ) keberadaan konselor dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan kualifikasi guru, dosen, pamong belajar, tutor, widyaiswara, fasilitator, dan instruktur. Konteks tugas konselor berada dalam kawasan pelayanan yang bertujuan mengembangkan potensi dan memandirikan konseli dalam pengambilan keputusan dan pilihan untuk mewujudkan kehidupan yang produktif, sejahtera, dan peduli kemaslahatan umum. Pelayanan dimaksud adalah pelayanan bimbingan dan konseling. Konselor adalah pengampu pelayanan ahli bimbingan dan konseling, terutama dalam jalur pendidikan formal dan nonformal. Dalam ABKIN (2008:112) Sosok utuh kompetensi konselor mencakup kompetensi akademik dan profesional sebagai satu keutuhan. Kompetensi akademik merupakan landasan ilmiah dari kiat pelaksanaan pelayanan profesional bimbingan
dan konseling. Kompetensi akademik merupakan landasan bagi pengembangan kompetensi profesional, yang meliputi: (1) memahami secara mendalam konseli yang dilayani, (2) menguasai landasan dan kerangka teoretik bimbingan dan konseling, (3) menyelenggarakan pelayanan bimbingan dan konseling yang memandirikan, dan (4) mengembangkan pribadi dan profesionalitas konselor secara berkelanjutan. Tuntutan keprofesionalan konselor tercakup dalam Perment No.27 tahun 2008 tentang standar kualifikasi akademik dan kompetensi konselor yang harus dikuasai meliputi: (1) kompetensi paedagogik, (2) kompetensi kepribadian (3) kompetensi sosial, (4) kompetensi profesional. Seorang
konselor
sudah
selayaknya
untuk
semakin
menggali
dan
meningkatkan kompentensi profesionalnya, dan bukan sekedar menjalani tugasnya hanya dengan apa adanya.