PERNIKAHAN DINI; PERMASALAHAN, DAMPAK DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF BIMBINGAN KONSELING KELUARGA ISLAMI (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008 - 2010)
SKRIPSI untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam (BPI)
FATKHURI 051111021
FAKULTAS DAKWAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ii
iii
PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan daftar pustaka
Semarang, 15 Desember 2011 Tanda tangan,
FATKHURI NIM: 051111021
iv
MOTTO
!" # (56 :3) $ %& '$ ( ) &* ) &+
, ) &* - . /01, Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur': 32) (Depag RI, 1986: 549).
v
vi
vii
KATA PENGANTAR Assalamu'alaikum Wr. Wb. Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang yang senantiasa telah menganugerahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada penulis dalam rangka menyelesaikan karya skripsi dengan judul “PERNIKAHAN DINI; PERMASALAHAN, DAMPAK DAN SOLUSINYA DALAM PERSPEKTIF BMBINGAN KONSELING KELUARGA ISLAMI (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008 - 2010)". Karya skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) bidang jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam di Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang. Shalawat serta salam semoga selalu terlimpahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti jejak perjuangannya. Dalam penyusunan skripsi ini penulis merasa bersyukur atas bantuan dan dorongan, bimbingan dan pengarahan dari berbagai pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi penulis dengan baik. Oleh karena itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Rektor IAIN Walisongo, yang telah memimpin lembaga tersebut dengan baik 2. Bapak Dr. Muhammad Sulthon, M. Ag. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. 3. Ibu Dra. Hj. Jauharotul Farida, M.Ag selaku Dosen pembimbing I dan Bapak H. Sattar S Ag, M.Pd selaku Dosen pembimbing II yang telah berkenan membimbing dengan keikhlasan dan kebijaksanaannya meluangkan waktu, waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan pengarahan-pengarahan hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini.
viii
5. Kepala perpustakaan IAIN Walisongo Semarang serta pengelola perpustakaan Fakultas Dakwah yang telah memberikan pelayanan kepustakaan dengan baik. 6. Bapak dan Ibu yang tercinta, kakak dan adikku. 7. Teman-temanku mahasiswa IAIN Walisongo Semarang, khususnya kepada mahasiswa Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang. Terutama ditujukan kepada teman-temanku di jurusan Bimbingan Penyuluhan Islam. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan yang ideal dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan bagi para pembaca pada umumnya. Nasrun Minallah Wafathun Qorieb Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
Penulis
ix
x
xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Pernikahan
merupakan
kebutuhan
fitri
setiap
manusia
yang
memberikan banyak hasil yang penting (Amini, 1999: 17). Pernikahan amat penting dalam kehidupan manusia, perseorangan maupun kelompok, dengan jalan pernikahan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang berkehormatan. Pergaulan hidup berumah tangga dibina dalam suasana damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari hasil pernikahan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan (Basyir, 2004: 1). Firman Allah SWT:
% 8 9:; -% <
=> ?;@ # < A B # C D &E " # ) F G
0* B= IH 1> K J L M N O, * P? Q R 3 S? Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Depag RI,1978: 644).
] :-+:8 TU V&( )%& W &X Z Y Y [X# 0B V # \# b&, ,0a,#] IX# :-+:8 TU ,I# ] OV&X# :-+:8 TU ,^Y_F# OY d d U IU# T8 ":T1, V&( )%& W &X Z Y Y MN 1
\%&, OY=( ef3 Q, /
Hadis di atas mengisyaratkan bahwa Nabi Muhammad SAW tidak menyukai seseorang yang berprinsip anti menikah. Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 (Tentang Perkawinan) dinyatakan (Suma, 2004: 203); "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Menurut Thalib (1986: 47) pernikahan ialah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. Sementara Hamid (1978: 1) merumuskan nikah menurut syara ialah akad (ijâb qabûl) antara wali calon istri dan mempelai laki-laki dengan ucapan tertentu dan memenuhi rukun serta syaratnya. Dari berbagai pengertian di atas, meskipun redaksinya berbeda akan tetapi ada pula kesamaannya, karena itu dapat disimpulkan perkawinan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara lakilaki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup
2
berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Tuhan. Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur (Rofiq, 1997: 76-77). Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan karena pernikahan usia dini bagi seorang wanita untuk nikah mengakibatkan tingginya laju kelahiran. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita (Penjelasan umum UU Perkawinan, nomor 4 huruf d) (Rofiq, 1997: 76-77). Oleh karenanya mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya tidak diperkenankan melakukan akad nikahnya manakala umur mereka belum mencapai angka tersebut karena dipandang belum dewasa dan tidak cakap bertindak (ghaira ahliyatil ada) (Kuzari, 1995: 35).
3
Diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan yang definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkan ilmu pengetahuan, memang setiap daerah dan zaman memiliki perbedaan dengan daerah dan zaman yang lain. Di sisi lain, masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar manusia (mu'âmalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihâdiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80). Hal ini sebagaimana diungkapkan Rofiq bahwa masalah penentuan umur dalam undang-undang perkawinan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihâdiah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu, meskipun demikian, apabila dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan kuat (Rofiq, 1997: 77). Pernikahan usia dini menimbulkan permasalahan dan dampak. Permasalahannya: a. Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. b. Pernikahan usia dini ada kecenderungan berakhir pada perceraian c. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat. d. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan.
4
e. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi (Data dari KUA Kec. Bandar Tahun 2008-2010). Bertitik tolak dari permasalahan dan dampak tersebut, problem pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Berbicara problem dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam kehidupan keluarga maka perlu penanggulangan melalui pesan-pesan dakwah. Dengan dakwah dapat diharapkan, kesalahan persepsi dan pandangan para orang tua, remaja dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah itu sendiri adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang (Umary, 1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha
perbaikan
dan
pembangunan
masyarakat,
memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran
dalam
masyarakat.
Dengan
demikian,
dakwah
berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6). Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara
5
bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsurunsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Zahrah (1994: 32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai makna amar ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni mengesakan pada zat sifat-Nya. Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1983: 2). Demikian
pentingnya
dakwah
dalam
mengantisipasi
dan
menanggulangi pernikahan usia dini, karena masih banyak keluarga yang meminggirkan
peranan usia
perkawinan
dalam kehidupan
keluarga.
Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara tujuan perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan dengan realita yang ada di masyarakat yaitu perkawinan justru menimbulkan sejumlah masalah. Urgensi dakwah dengan konsep pernikahan yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana
6
pernikahan yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai pernikahan dapat dikurangi. Memperhatikan keterangan di atas menunjukkan bahwa pernikahan usia dini harus diantisipasi dan penting upaya penerangan untuk menghindari pernikahan usia dini yang menimbulkan sejumlah problem. Problem-problem pernikahan dan keluarga amal banyak sekali, dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Dari sekedar pertengkaran kecil sampai keperceraian dan keruntuhan kehidupan rumah tangga yang menyebabkan timbulnya "broken home". Penyebabnya bisa terjadi dari kesalahan awal pembentukan rumah tangga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pernikahan, bisa juga muncul di saat-saat mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dan pembinaan kehidupan berumah tangga atau berkeluarga itu tidak baik, tidak seperti diharapkan, tidak dilimpahi "mawaddah dan rahmah," tidak menjadi keluarga "sakînah." Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan keluarga, yang kerap kali tidak bisa diatasi sendiri oleh yang terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan adanya bantuan konseling dari orang lain untuk turut serta mengatasinya. Selain itu. kenyataan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga itu selalu saja ada problemnya, menunjukkan pula perlunya ada bimbingan Islami mengenai pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga. Demikian pula masih banyaknya fenomena pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab.
7
Batang menunjukkan perlunya bimbingan Islami mengenai pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga (Data dari Desa Kluwih Kec. Bandar Tahun 2008-2010) Berdasarkan uraian tersebut, penulis memilih tema penelitian dengan judul Pernikahan Dini; Permasalahan, Dampak dan Solusinya dalam Perspektif Bimbingan Konseling Keluarga Islami (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010) 1.2. Perumusan Masalah Dengan
memperhatikan
latar
belakang
sebagaimana
telah
dikemukakan, maka yang menjadi rumusan masalah: 1.2.1. Bagamana praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari segi dakwah? 1.2.2. Bagaimana praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian sebagai berikut: 1.3.1.1. Untuk mengetahui praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari segi dakwah
8
1.3.1.2. Untuk mengetahui praktek pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 ditinjau dari bimbingan dan konseling Islam. 1.3.2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua aspek : 1.3.2.1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan mengembangkan khazanah ilmu pengetahuan, terkait dengan keilmuan Dakwah Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam 1.3.2.2. Secara praktis hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat pembaca secara luas agar dapat membangun keluarga sejahtera dan bahagia. 1.4. Tinjauan Pustaka Penelitian dengan judul: Pernikahan Dini; Permasalahan, Dampak dan Solusinya dalam Perspektif Dakwah (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010) belum banyak dibahas. Beberapa hasil penelitian yang terkait dan ada relevansinya dengan penelitian ini. Hasilhasil penelitian tersebut antara lain adalah: Suwardi Tahun 2004 dalam penelitian yang berjudul: Bimbingan Pernikahan Keluarga Bahagia dan Sejahtera Kepada Pasangan Remaja Pra Nikah (Studi Kasus di BP 4 KUA Kec. Guntur Kab Demak). Fokus penelitian pasangan remaja pra nikah. Adapun metode yang digunakan yaitu metode wawancara, observasi dan studi lapangan. Temuan penelitian tersebut
9
menunjukkan bahwa untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera perlu adanya bimbingan pernikahan kepada pasangan remaja pra nikah.. Kenyataan menunjukkan bahwa cukup banyak keluarga yang mengalami keretakan akibat kurang adanya pengertian antara suami isteri, yang dapat berakibat cukup jauh antara lain terlantarnya anak-anak, putusnya hubungan antara suami isteri, dan bentuk-bentuk yang lain. Untuk menjaga agar hal-hal seperti tersebut tidak berkembang dengan subur, maka dengan bimbingan dan konseling perkawinan diharapkan akan dapat memperkecil ataupun meniadakan hal-hal yang tidak diharapkan dalam kehidupan keluarga, sehingga kebahagiaan dalam keluarga dapat dicapainya. Kesimpulan bahwa untuk membangun keluarga bahagia dan sejahtera maka sangat besar peran dan fungsi BP 4 KUA Kec. Guntur Kab Demak. Sri Hartatik Tahun 2007 dalam skripsi yang berjudul: Metode Bimbingan Penyuluhan Islam dalam Membina Keluarga Sakinah di BP-4 Kua Kecamatan Pedurungan Kota Semarang Tahun 2006 – 2007. Fokus penelitian keluarga sakinah. Menyikapi kondisi dan fenomena di atas maka bila dicermati bahwa krisis dalam rumah tangga bukan hanya terjadi dikalangan orang biasa melainkan juga banyak terjadi pada lapisan atas tidak terkecuali kalangan publik figur atau selebritis. Dari sini mereka sebetulnya sangat memerlukan ada pihak yang dapat menengahi yang bersikap netral tanpa ada unsur vested interest (kepentingan pribadi). Mereka yang dilanda krisis rumah tangga sangat membutuhkan adanya upaya bimbingan dan penyuluhan keluarga. Itulah sebabnya BP-4 Kecamatan Pedurungan kota Semarang telah
10
menempuh berbagai cara untuk membangun keluarga sakinah yang dalam hal ini melakukan dengan metode bimbingan dan penyuluhan Islam. Pelaksanaan metode itu membawa hasil yang menggembirakan, namun di samping itu masih ada pula yang berakhir dengan perceraian, atau kemelut yang lain (Dokumentasi Rekapitulisi KUA BP 4). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Metode yang dipakai dalam pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan adalah metode ceramah; metode diskusi atau tanya jawab; dan metode individual atau perorangan. Dari data yang diperoleh melalui wawancara, maka materi bimbingan dan penyuluhan di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan meliputi: hak dan kewajiban sebagai suami isteri; pemahaman tentang seks; memperhatikan menu makanan; secara sungguh-sungguh melaksanakan hak dan kewajiban. Menurut analisis peneliti bahwa pelaksanaan bimbingan dan penyuluhan Islam di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan sangat tepat yaitu dengan diterapkannya pemberian dan penanaman materi yang menyangkut munakahat, maka jika mereka melaksanakannya dengan penuh kesadaran dan ketulusan maka rumah tangga yang sakinah bisa diraihnya. Metode bimbingan dan penyuluhan Islam di BP-4 KUA Kecamatan Pedurungan meliputi metode ceramah, metode diskusi atau tanya jawab, dan metode individual. Metode-metode tersebut sangat efektif dalam membimbing pasangan suami isteri yang belum, dan sedang kena masalah. Jika dilihat dari metode dakwah, maka metode yang dikembangkan itu tidak berbeda dengan
11
metode yang dipakai dalam dakwah.
Dalam dakwah, ceramah misalnya
adalah suatu teknik atau metode dakwah yang banyak diwarnai oleh ciri karakteristik bicara oleh seorang da’i/mubaligh pada suatu aktivitas dakwah. Ceramah dapat pula bersifat propaganda, kampanye, berpidato (retorika), khutbah, sambutan, mengajar dan sebagainya. Ary Cahyani Tahun 2006 dalam skripsi yang berjudul Analisis Pemikiran Ali Akbar tentang Perawatan Cinta Kasih dalam Keluarga Ditinjau dari Bimbingan dan Konseling Islam. Fokus penelitian bimbingan dan konseling Islam. Metode penelitian ini menggunakan metode dokumentasi. Hasil temuan menunjukkan bahwa untuk mempertahankan rumah tangga, cinta kasih suami istri harus dipelihara, itulah sebabnya Ali Akbar mengembangkan pemikirannya tentang cara merawat cinta kasih suami istri perspektif Islam. Ali Akbar menyadari bahwa pendidikan seks bukan jaminan mutlak dalam melestarikan sebuah rumah tangga, namun dalam kenyataannya, pendidikan seks sangat mempengaruhi kelangsungan rumah tangga. Pendidikan seks di sini harus didasarkan iman, itulah sebabnya pembinaan agama harus diberikan bersama-sama dengan pendidikan seks (Akbar, 1977: 81). Konsep yang ditawarkan Ali Akbar mengandung materi dakwah, karena ia mengajak kepada umat Islam, khususnya suami Istri untuk memahami pendidikan seks yang bernuansa Islam dan memahami ajaran Islam. Oleh karena itu konsep Ali Akbar tentang merawat cinta kasih suami istri merupakan materi dakwah, sebab di dalamnya mengandung ajakan atau
12
menyeru kepada umat Islam agar melihat dan berpedoman kepada al-Qur'an dan hadis. Dengan beberapa hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya perbedaan dengan penelitian yang akan penulis lakukan. 1.5.Metodologi Penelitian 1.5.1 Jenis dan Pendekatan Penelitian 1.5.1.1 Jenis Penelitian Sesuai rumusan masalah yang ada, maka jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yaitu suatu metode
penelitian
yang
digunakan
untuk
berupaya
memecahkan atau menjawab permasalahan yang sedang dihadapi ditempuh dengan langkah-langkah pengumpulan, klasiflkasi dan analisis atau pengolahan data, membuat kesimpulan dan laporan dengan tujuan utama untuk membuat penggambaran tentang sesuatu keadaan secara obyektif dari suatu deskriptif (Ali, 1995 : 120). 1.5.1.2 Pendekatan Penelitian Berkaitan
dengan
judul
yang
diangkat,
maka
diperlukan pendekatan dalam melakukan penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologi Islam dan bimbingan dan konseling keluarga Islam. 1.5.1.3 Definisi Konseptual Untuk dapat memperjelas penelitian ini, maka penulis
13
mendefinisikan judul secara konseptual sebagai berikut: yang dimaksud pernikahan dini yaitu sebuah ikatan suami istri yang dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia muda di bawah usia yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 1.5.2 Data dan Sumber Data Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis menggunakan sumber data lapangan dan kepustakaan yang digunakan untuk memperoleh data teoritis yang dibahas. Untuk itu sebagai jenis datanya sebagai berikut: a. Sumber Data Primer yaitu data yang langsung yang segera diperoleh dari sumber data oleh penyelidik untuk tujuan yang khusus itu (Surahmad, 989: 134). Data yang dimaksud adalah hasil wawancara, observasi dan dokumen dari KUA dan dari Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang b. Data Sekunder yaitu data yang telah lebih dahulu dikumpulkan oleh orang diluar diri penyelidik sendiri, walaupun yang dikumpulkan itu sesungguhnya adalah data yang asli (Surahmad, 2008: 135). Dengan demikian sebagai data sekunder yaitu buku-buku lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
14
1.5.3. Populasi dan Sampel 1.5.3.1. Populasi Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian yang akan diteliti (Arikunto, 2002: 109). Dalam hal ini populasinya adalah seluruh keluarga dari pernikahan dini Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang yang berjumlah 20 keluarga (diketahui berdasarkan pra penelitian). Macam atau varian pernikahan dini yang terjadi di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang yaitu (pernikahan antara pria dini dengan wanita yang cukup umur, pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita dini, pernikahan antara pria dini dengan wanita dini). 1.5.3.2.Sampel Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang akan diteliti (Arikunto, 2002: 109). Meskipun demikian, penelitian ini tidak menggunakan sampel karena populasinya berjumlah sedikit. Dengan perkataan lain bahwa seluruh keluarga dari pernikahan dini Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang hanya berjumlah 20 keluarga (diketahui berdasarkan pra penelitian dari tahun 2008 - 2010). Karena jumlahnya sedikit maka penelitian ini menggunakan populasi terbatas. 1.5.4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan dalam penelitan ini adalah field research atau penelitian lapangan. Metode ini penulis
15
gunakan untuk mendapatkan data tentang pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 yang meliputi: permasalahan, dampak dan solusinya. Untuk memperoleh data dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: 1. Observasi Metode Observasi yaitu metode pengumpulan data yang dilakukan dengan jalan mengadakan pengamatan dan pencatatan secara sistematis fenomena-fenomena yang diselidiki (Hadi, 1986: 70). Metode ini digunakan untuk meneliti dan mengobservasi secara langsung gejala-gejala yang ada kaitannya dengan pokok masalah yang ditemukan di lapangan untuk memperoleh keterangan tentang Pernikahan Dini, Permasalahan, Dampak dan Solusinya dalam Perspektif Dakwah (Studi Kasus di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010) 2. Wawancara Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang yang berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993 : 104). Dalam hal ini penulis melakukan wawancara secara langsung kepada pasangan pernikahan dini, KUA, tokoh masyarakat dan Kepala Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang.
16
3. Dokumentasi Dokumentasi
yaitu
cara
pengumpulan
data
melalui
peninggalan tertulis (dokumen) yang berupa arsip-arsip yang ada hubungannya dengan penelitian ini (Hadi, 1973 : 133). Metode dokumentasi ini digunakan untuk memperoleh data yang ada kaitannya dengan pernikahan dini, permasalahan dan dampaknya. 1.5.5. Teknik Analisis Data Analisis data
adalah
proses
mengatur
urutan
data,
mengorganisasikannya dalam suatu pola, dan satuan uraian dasar setelah data terkumpul kemudian di kelompokkan dalam satuan kategori serta di analisis secara kualitatif (Moleong, 1993 : 103) Adapun metode yang digunakan adalah metode analisis kualitatif dan deskriptif analisis dengan tujuan melukiskan secara sistematik fakta, karakteristik dan bidang-bidang
tertentu
secara
faktual
serta
cermat
dengan
menggambarkan keadaan atau status fenomena (Arikunto, 1998 : 245). 1.6. Sistematika Penulisan Penulisan ini menggunakan sistematika sebagai berikut: Bab kesatu pendahuluan, memuat: latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab kedua berisi pernikahan dini, bimbingan dan konseling pernikahan islami yang meliputi pernikahan dini (pengertian pernikahan dini, dasar-dasar pernikahan, syarat dan rukun pernikahan) bimbingan dan konseling
17
pernikahan dan keluarga islami (pengertian bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga Islami, tujuan bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga islami, azas bimbingan dan konseling pernikahan dan keluarga Islami. Bab ketiga berisi gambaran umum pernikahan dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar Kabupaten Batang yang meliputi sekilas letak geografis Desa Kluwih Kecamatan Bandar, deskripsi pernikahan dini, permasalahan dan dampak di Desa Kluwih Kecamatan Bandar. Bab keempat berisi analisis pernikahan dini permasalahan dan dampaknya yang meliputi permasalahan dan dampak pernikahan dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar, solusi terhadap permasalahan dan dampak pernikahan dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar. Bab kelima merupakan penutup yang berisi: kesimpulan; saran-saran dan penutup yang dianggap penting.
18
BAB II PERNIKAHAN DINI, BIMBINGAN KONSELING DAN KELUARGA ISLAMI
2.1 Pernikahan Dini dan Keluarga Islami 2.1.1 Pengertian Pernikahan Menurut Hawari (2006: 58) pernikahan adalah suatu ikatan antara pria dan wanita sebagai suami isteri berdasarkan hukum (UU), hukum agama atau adat istiadat yang berlaku. Yunus (1990: 1) menegaskan, pernikahan ialah akad antara calon suami istri untuk memenuhi hajat jenisnya menurut yang diatur oleh syariat. Menurut Daradjat (1995: 38), perkawinan adalah suatu aqad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketenteraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT. Menurut Hamid (1978: 1), yang dinamakan perkawinan menurut syara' ialah akad (ijab qabul) antara wali colon isteri dan mempelai laki-laki dengan ucapan-ucapan tertentu dan memenuhi rukun dan syaratnya. Dari segi pengertian ini maka jika dikatakan: "Si A belum pernah nikah atau belum pernah nikah", artinya bahwa si A belum pernah mengkabulkan untuk dirinya terhadap ijab akad nikah yang memenuhi rukun dan syaratnya. Jika dikatakan: "Anak itu lahir diluar nikah", artinya bahwa anak tersebut dilahirkan oleh seorang wanita yang
19
tidak berada dalam atau terikat oleh ikatan perkawinan berdasarkan akad nikah yang sah menurut hukum. Dalam pasal 1 Bab I Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tanggal 2 Januari 1974 dinyatakan; "Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Effendi, 1977: 76). Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai di sini tegas dinyatakan bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur batin/rohani (Ramulyo, 1999: 2). Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa pernikahan adalah suatu akad yang menyebabkan kebolehan bergaul antara seorang laki-laki dengan seorang wanita dan saling menolong di antara keduanya serta menentukan batas hak dan kewajiban di antara keduanya. 2.1.2 Landasan Pernikahan Pada
dasarnya
pernikahan
merupakan
suatu
hal
yang
diperintahkan dan dianjurkan oleh Syara'. Beberapa firman Allah yang bertalian dengan disyari'atkannya pernikahan ialah: 1) Firman Allah ayat 3 Surah 4 (An-Nisa'):
20
/<C C [ h " , =%" O, "a< A 1" F ]* # =B" E " (5 :/<) p. ..S? i R , "i : F ]* # =B" E " j, k 83 lmn o" Artinya: Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (nikahlah) seorang saja (Q.S.An-Nisa': 3) (Depag RI, 1986: 115). 2) Firman Allah ayat 32 Surah 24 (An-Nur):
!" # (56 :3) $ %& '$ ( ) &* ) &+
, ) &* - . /01, Artinya: Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (bernikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui (Q.S.An-Nuur': 32) (Depag RI, 1986: 549). 3) Firman Allah ayat 21 Surah 30 (Ar-Rum):
9:; -% <
=> ?;@ # < A B# C D &E " # ) F G (6q :I0) 0* B= IH 1> K J L M N O, * P? Q R 3 S? % 8 Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dari dijadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Q.S.Ar-Rum: 21) (Depag RI, 1986: 644). Beberapa
hadis
yang
pernikahan ialah:
21
bertalian
dengan
disyari'atkannya
V&X W T(3 TU :TU – ) s:F W Ot3 r:< 8 ^Y_=%&, S/ ka=( [Yv 0v: ":V&( )%& W ) )Yj, IY8 )%&:, 'a=< w ^0B& R# 0& x Y f# )Yj, .PQy z3 ."/; Artinya: Dari Ibnu Mas'ud ra. dia berkata: "Rasulullah saw. bersabda: "Wahai golongan kaum muda, barangsiapa diantara kamu telah mampu akan beban nikah, maka hendaklah dia menikah, karena sesungguhnya menikah itu lebih dapat memejamkan pandangan mata dan lebih dapat menjaga kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu (menikah), maka hendaklah dia (rajin) berpuasa, karena sesungguhnya puasa itu menjadi penahan nafsu baginya". (HR. Al-Jama'ah) (Asy Syaukani, 1973: 171).
V&( )%& W V&X W T(3 Y 3 " :TU {VU |# 8 i:( ~3 z3) "%=E] ) N# 9Y=Y= :} 8 Qo & (&< Artinya: Dari Sa’ad bin Abu Waqqash, dia berkata: “Rasulullah saw. pernah melarang Utsman bin mazh'un membujang. Dan kalau sekiranya Rasulullah saw. mengizinkan, niscaya kami akan mengebiri". (HR. Al Bukhari dan Muslim) (Asy Syaukani, 1973: 171).
,] :&U
;Y_F 9 :Y 8 TU :TU ; 8 i%:( (~ Y 3 i# z3 )./< 0o# PY zd E V , ^Y_F :TU Artinya:
Dari Sa'id bin Jubair, dia berkata: "Ibnu Abbas pernah bertanya kepadaku: "Apakah kamu telah menikah?". Aku menjawab: "Belum". Ibnu Abbas berkata: "Menikahlah, karena sesungguhnya sebaik-baiknya ummat ini adalah yang paling banyak kaum wanitanya". (HR. Ahmad dan AlBukhari) (Asy Syaukani, 1973: 171).
22
V&( )%& W V&X Z Y Y V # " :S0 < S=U - &" : ; M & U C m ? ( 3 &" ( 3 # i 1) :S=U #0U ,"9Y=Y= .(); 8 ~ Y d0= z3) .(5 :i0) (P? 3C N ?;@ # Artinya: dari Qatadah dari Al Hasan dari Samurah: "Sesungguhnya Nabi saw. melarang membujang. Selanjutnya Qatadah membaca (ayat): "Dan sesungguhnya kami telah mengutus beberapa orang Rasul sebelum kamu dan kami berikan kepada mereka beberapa istri dan keturunan". (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah) (Asy Syaukani, 1973: 171). Menurut At Tirmidzi, hadis Samurah tersebut adalah hadis Hasan yang gharib (aneh). Al Asy'ats bin Abdul Mulk meriwayatkan hadis ini dari Hasan dari Sa'ad bin Hisyam dari Aisyah dan ia dari Nabi saw. Dikatakan bahwa kedua hadis tersebut adalah shahih. Hadis senada diketengahkan oleh Ad Darimi dalam Musnad Al Firdaus dari Ibnu Umar, dia mengatakan: "Rasulullah saw. bersabda: "Berhajilah nanti kamu akan kaya. Bepergianlah nanti kamu akan sehat. Dan menikahlah nanti kamu akan banyak. Sesungguhnya aku akan dapat membanggakan kamu dihadapan umat-umat lain". Dalam isnad hadis tersebut terdapat nama Muhammad bin Al Hants dari Muhammad bin Abdurrahman Al Bailamni, keduanya adalah perawi yang sama-sama lemah. Hadis senada juga diketengahkan oleh Al Baihaqi dari Abu Umamah dengan redaksi: "Menikahlah kamu, karena sesungguhnya aku akan membanggakan kalian dihadapan ummat-ummat lain. Dan janganlah kalian seperti para pendeta kaum Nasrani". Namun dalam
23
sanadnya terdapat nama-nama Muhammad bin Tsabit, seorang perawi yang lemah. Hadis senada lagi diriwayatkan oleh Daraquthni dalam Al Mu'talaf dari Harmalah bin Nu'man dengan redaksi: "Wanita yang produktif anak itu lebih disukai oleh Allah ketimbang wanita cantik namun tidak beranak. Sesungguhnya aku akan membanggakan kalian di hadapan ummat-ummat lain pada hari kiamat kelak". Namun menurut Al Hafizh Ibnu Hajar, sanad hadis ini lemah. 2.1.3 Syarat dan Rukun Pernikahan Syarat dan rukun nikah sebagai berikut: sebagaimana diketahui bahwa menurut UU No 1/1974 Tentang Pernikahan Bab: 1 pasal 2 ayat 1 dinyatakan, bahwa pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya (Sosroatmodjo dan A.Wasit Aulawi, 1975: 80) Bagi ummat Islam, pernikahan itu sah apabila dilakukan menurut Hukum Pernikahan Islam, suatu akad pernikahan dipandang sah apabila telah memenuhi segala rukun dan syaratnya sehingga keadaan akad itu diakui oleh Hukum Syara'. Rukun akad pernikahan ada lima, yaitu: 1. Calon suami, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam b. Jelas ia laki-laki c. Tertentu orangnya
24
d. Tidak sedang berihram haji/umrah e. Tidak mempunyai isteri empat, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak raj'iy f. Tidak mempunyai isteri yang haram dimadu dengan mempelai perempuan, termasuk isteri yang masih dalam menjalani iddah thalak raj'iy g. Tidak dipaksa h. Bukan mahram calon isteri 2. Calon Isteri, syarat-syaratnya: a. Beragama Islam, atau Ahli Kitab b. Jelas ia perempuan c. Tertentu orangnya d. Tidak sedang berihram haji/umrah e. Belum pernah disumpah li'an oleh calon suami f. Tidak bersuami, atau tidak sedang menjalani iddah .dari lelaki lain g. Telah memberi idzin atau menunjukkan kerelaan kepada wali untuk menikahkannya h. Bukan mahram calon suami (Abidin dan Aminuddin, 1999: 64). 3. Wali. Syarat-syaratnya: a. Beragama Islam jika calon isteri beragama Islam. b. Jelas ia laki-laki. c. Sudah baligh (telah dewasa).
25
d. Berakal (tidak gila). e. Tidak sedang berihram haji/umrah. f. Tidak mahjur bissafah (dicabut hak kewajibannya). g. Tidak dipaksa. h. Tidak rusak fikirannya sebab terlalu tua atau sebab lainnya. i.
Tidak fasiq.
4. Dua orang saksi laki-laki. Syarat-syaratnya: a. Beragama Islam. b. Jelas ia laki-laki. c. Sudah baligh (telah dewasa). d. Berakal (tidak gila) e. Dapat menjaga harga diri (bermuru’ah) f.
Tidak fasiq.
g. Tidak pelupa. h. Melihat (tidak buta atau tuna netra). i.
Mendengar (tidak tuli atau tuna rungu).
j.
Dapat berbicara (tidak bisu atau tuna wicara).
k. Tidak ditentukan menjadi wali nikah. l. Memahami arti kalimat dalam ijab qabul (Hamid, 1978: 24-28). 5. Ijab dan Qabul. Ijab akad pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh wali nikah atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerimakan nikah calon suami atau wakilnya".
26
Syarat-syarat ijab akad nikah ialah: a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari "nikah" atau "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya nikahkan Fulanah, atau saya nikahkan Fulanah, atau saya perjodohkan Fulanah" b. Diucapkan oleh wali atau wakilnya. c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya satu bulan, satu tahun dan sebagainya. d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak diucapkan. e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya: "Kalau anakku. Fatimah telah lulus sarjana muda maka saya menikahkan Fatimah dengan engkau Ali dengan masnikah seribu rupiah". f. Ijab harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang berakad maupun saksi-saksinya. Ijab tidak boleh dengan bisik-bisik sehingga tidak terdengar oleh orang lain. Qabul akad pernikahan ialah: "Serangkaian kata yang diucapkan oleh calon suami atau wakilnya dalam akad nikah, untuk menerima nikah yang disampaikan oleh wali nikah atau wakilnya (Abidin dan Aminuddin, 1999: 65). Syarat-syarat Qabul akad nikah ialah: a. Dengan kata-kata tertentu dan tegas, yaitu diambil dari kata "nikah" atau "tazwij" atau terjemahannya, misalnya: "Saya terima nikahnya Fulanah". b. Diucapkan oleh calon suami atau wakilnya. c. Tidak dibatasi dengan waktu tertentu, misalnya "Saya terima nikah si Fulanah untuk masa satu bulan" dan sebagainya. d. Tidak dengan kata-kata sindiran, termasuk sindiran ialah tulisan yang tidak diucapkan (Hamid, 1978: 24-25). e. Tidak digantungkan dengan sesuatu hal, misalnya "Kalau saya telah diangkat menjadi pegawai negeri maka saya terima nikahnya si Fulanah". f. Beruntun dengan ijab, artinya Qabul diucapkan segera setelah ijab diucapkan, tidak boleh mendahuluinya, atau berjarak waktu, atau diselingi perbuatan lain sehingga dipandang terpisah dari ijab. g. Diucapkan dalam satu majelis dengan ijab ( h. Sesuai dengan ijab, artinya tidak bertentangan dengan ijab. i. Qabul harus didengar oleh pihak-pihak yang bersangkutan, baik yang berakad maupun saksi-saksinya. Qabul tidak boleh dengan bisik-bisik sehingga tidak didengar oleh orang lain (Hamid, 1978: 24-25).
27
Contoh ijab qabul akad pernikahan 1). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki meng-qabulkan. a. Ijab: “Ya Ali, ankahtuka Fatimata binti bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (nikahkan) Fatimah anak perempuanku dengan engkau dengan masnikah seribu rupiah secara tunai". b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bil mahril madzkurihalan". Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan saudara dengan saya dengan masnikah tersebut secara tunai"(Hakim, 2000: 59). 2). Wali mewakilkan ijabnya dan mempelai laki-laki meng-qabulkan. a. Ijab: "Ya Ali, ankahtuka Fathimata binta Muhammadin muwakili bimahri alfi rubiyatinhalan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Ali, aku nikahkan (nikahkan) Fatimah anak perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya dengan engkau dengan masnikah seribu rupiah secara tunai". b. Qabul: "Qabiltu nikahaha bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah anak perempuan Muhammad dengan saya dengan masnikah seribu rupiah secara tunai". 3). Wali mengijabkan dan mempelai laki-laki mewakilkan kabulnya. a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binti Aliyyin muwakkilaka bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan (nikahkan) Fathimah anak perempuan saya dengan Ali yang telah mewakilkan kepadamu dengan masnikah seribu rupiah secara tunai". b. Qabul: "Qabiltu nikahaha li Aliyyin muwakkili bimahri alfi rubiyatin halan", Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya Fatimah dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan masnikah seribu rupiah secara tunai" (Abidin dan Aminuddin, 1999: 66) 4). Wali mewakilkan Ijabnya dan mempelai laki-laki mewakilkan Qabulnya a. Ijab: "Ya Umar, Ankahtu Fathimata binta Muhammadin muwakkilii, Aliyyan muwakkilaka bimahri alfi Rubiyyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Hai Umar, Aku nikahkan
28
(nikahkan) Fathimah anak perempuan Muhammad yang telah mewakilkan kepada saya, dengan Ali yang telah mewakilkan kepada engkau dengan masnikah seribu rupiah secara tunai". b. Qabul: "Qabiltu Nikahaha lahu bimahri alfi rubiyatin halan". Dalam bahasa Indonesia: "Saya terima nikahnya (Fathimah anak perempuan Muhammad) dengan Ali yang telah mewakilkan kepada saya dengan masnikah seribu rupiah secara tunai" (Kuzari, 2000: 40). 2.1.4 Bentuk-Bentuk Pernikahan Di atas telah dijelaskan rukun dan syarat nikah yang keduanya harus dipenuhi dalam suatu pernikahan. Bila salah satu rukun dari rukun-rukun nikah itu tidak terpenuhi, maka nikahnya dinyatakan tidak sah. Bila yang tidak terpenuhi itu adalah salah satu syarat dari syarat yang terdapat pada rukun itu, maka nikahnya termasuk nikah yang fasid (rusak) dan dengan sendiri hukumnya haram atau terlarang. Di antara bentuk-bentuk pernikahan yang terdapat dalam berbagai literatur sebagai berikut: a. Nikah Mut'ah Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, nikah mut'ah disebut juga dengan nikah sementara atau nikah terputus oleh karena laki-laki yang menikahi wanita itu untuk sehari atau seminggu atau sebulan saja (Nur, 1993: 40). Nikah mut'ah atau nikah muwaqqat atau nikah munqathi adalah nikah untuk jangka waktu tertentu. Lamanya bergantung pada pemufakatan antara laki-laki dan wanita yang akan melaksanakannya, bisa sehari, seminggu, sebulan, dan seterusnya. Para ulama menyepakati keharaman nikah mi pada masa sekarang.
29
Kata mut'ah berasal dari kata mata'a yang berarti bersenang-senang. Perbedaannya dengan pernikahan biasa, selain adanya pembatasan waktu adalah: a. Tidak saling mewarisi, kecuali kalau disyaratkan b. Lafaz ijab yang berbeda. c. Tidak ada talak, sebab sehabis kontrak, pernikahan itu putus d. Tidak ada nafkah 'iddah (Hakim, 2000: 31). Ide tentang mut'ah ini kemungkinan besar ditimbulkan oleh hal-hal yang insidentil, yang terjadi pada suatu ketika saja, seperti perjalanan jauh. Di wilayah Arab, jarak antara satu dan lain tempat berjauhan, terhalang sahara yang panas dan gersang, dan bila ditempuh melalui perjalanan darat dengan berjalan kaki atau naik unta, membutuhkan waktu berminggu-minggu bahkan berbulanbulan, belum lagi kalau terjadi halangan. Berdasarkan
pertimbangan
keadaan,
pada
awalnya
Rasulullah SAW. memberikan kelonggaran dengan memberikan dispensasi melakukan mut'ah kepada pemuda Islam yang pergi ke medan perang untuk membela agama. Di tempat itu mereka jauh dari istrinya. Jauhnya jarak dan sulitnya medan dan kendala transportasi menyebabkan perjalanan memakan waktu lama. Oleh karena itu, mereka diberi dispensasi untuk melakukan nikah sesaat. Setelah selesai tugas negara, mereka tidak lagi diperbolehkan melakukan hal tersebut (Hakim, 2000: 32).
30
b. Nikah Tahlil Secara etimologi tahlil berarti menghalalkan sesuatu yang hukumnya adalah haram. Kalau dikaitkan kepada nikah akan berarti perbuatan yang menyebabkan seseorang yang semula haram melangsungkan nikah menjadi boleh atau halal. Orang yang dapat menyebabkan halalnya orang lain melakukan nikah itu disebut muhallil, sedangkan orang yang telah halal melakukan nikah disebabkan oleh nikah yang dilakukan muhallil dinamai muhallallah (Syarifuddin, 2004: 103). Nikah tahlil dengan demikian adalah nikah yang dilakukan untuk menghalalkan orang yang telah melakukan talak tiga untuk segera kembali kepada istrinya dengan nikah baru. Bila seseorang telah menceraikan istrinya sampai tiga kali, baik dalam satu masa atau berbeda masa, si suami tidak boleh lagi kawin dengan bekas istrinya itu kecuali bila istrinya itu telah menikah dengan laki-laki lain, kemudian bercerai dan habis pula iddahnya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230:
(65 :S01) z 0 % f ?; @ F =R i : 8 ) 9 F m, -1*&h j, Artinya: Kemudian jika suami menalaknya (setelah talak yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya kecuali bila dia telah kawin dengan suami lain. (QS. al-Baqarah: 230) (Depag RI, 1993: 56). Yang dimaksud dengan menikah dengan laki-laki lain dalam ayat tersebut bukan hanya sekadar melakukan akad nikah, tetapi
31
lebih jauh telah melakukan hubungan kelamin sebagaimana layaknya kehidupan suami istri pada umumnya. Suami kedua yang telah mengawini perempuan itu secara biasa dan kemudian menceraikannya dengan cara biasa sehingga suami pertama boleh kawin dengan mantan istrinya itu sebenarnya dapat disebut muhallil. Namun tidak diperkatakan dalam hal ini, karena nikahnya telah berlaku secara alamiah dan secara hukum (Nur, 1993: 43 – 44). Suami yang telah menalak istrinya tiga kali itu sering ingin kembali lagi kepada bekas istrinya itu. Kalau ditunggu cara yang biasa menurut ketentuan nikah yaitu mantan istri kawin dengan suami kedua dan hidup secara layaknya suami istri, kemudian karena suatu hal yang tidak dapat dihindarkan suami yang kedua itu menceraikan istrinya dan habis pula iddahnya, mungkin menunggu waktu yang lama. Untuk mempercepat maksudnya itu ia mencari seorang laki-laki yang akan mengawini bekas istrinya itu secara pura-pura, biasanya dengan suatu syarat bahwa setelah berlangsung akad nikah segera diceraikan sebelum sempat digaulinya. Ini berarti kawin
akal-akalan
untuk
cepat
menghentikan
suatu
yang
diharamkan. Atau sengaja melakukan nikah secara akal-akalan untuk mempercepat berlangsungnya nikah suami pertama dengan mantan istrinya. Nikah akal-akalan seperti inilah yang, disebut nikah tahlil dalam arti sebenarnya. Suami kedua disebut muhallil dan
32
suami pertama yang merekayasa nikah kedua disebut muhallallah (Abidin dan Aminuddin, 1999: 21). Nikah tahlil biasanya dalam bentuk persyaratan yang dilakukan sebelum akad atau syarat itu disebutkan dalam ucapan akad, seperti: "Saya kawinkan engkau kepadanya sampai batas waktu engkau menggaulinya"; atau "Saya kawinkan engkau dengan syarat setelah engkau menghalalkannya tidak ada lagi nikah sesudah itu"; atau "saya kawinkan engkau kepadanya dengan ketentuan setelah engkau halalkan segera menalaknya". Dalam bentuk ini nikah tahlil nikah dengan akad bersyarat. Nikah tahlil ini tidak menyalahi rukun yang telah ditetapkan; namun karena niat orang yang mengawini itu tidak ikhlas dan tidak untuk maksud sebenarnya, nikah ini dilarang oleh Nabi dan pelakunya baik lakilaki yang menyuruh kawin (muhallallah) atau laki-laki yang menjadi penghalal itu (muhallil) dilaknat. c. Nikah Syighar Secara etimologi, dalam Kamus al-Munawwir, syigar adalah nikah tukar menukar anak perempuan tanpa mahar (ر ُ َِ ّ ( ) اAlMunawwir, 1997: 727). Sedangkan dalam Kamus Arab Indonesia, syigar (ر ُ َِ ّ ) اberarti kawin-mengawinkan kepada perempuan tanpa mas kawin (Yunus, 1973: 199). Menurut Ahmad asySyarbashi, asal kata syighar di dalam bahasa Arab berarti "anjing mengangkat sebelah kakinya untuk kencing". Kata ini juga berarti
33
"kosong dan tidak berpenghuni". Sebagai contoh, kata-kata baladun syaghirun, yang berarti negeri yang jauh dan tidak berpenghuni. Islam menyebut kata di atas (syighar) untuk menunjukkan satu bentuk nikah yang diharamkan dan tidak layak untuk dilakukan (asy-Syarbashi, 1997: 248). Ada riwayat yang sahih bahwa Rasulullah saw melarang nikah syigar, artinya pernikahan model Jahiliyah. Sebagai contoh seorang laki-laki berkata kepada lelaki lain, nikahkan aku dengan puterimu atau siapapun wanita yang ada dalam perwalianmu, dan aku akan menikahkan kamu dengan putriku atau siapapun wanita yang ada dalam perwalianku, tanpa ada mas kawannya (al-Jauziyyah, 2004: 387). Secara terminologi, dalam kitab sahih Bukhari dijumpai rumusan kata syigar sebagai berikut: Sabda Rasulullah saw.:
W Ot3 0Q 8 ', M E# ( 8 W A i nYiR
" # 3.Yv 3.Yv V&( ) %& W V&X W T(3 V # ) z3) iX Q- %8 \ % )= 8 0EL" );Y_ " # & )= 8 9;Y0 ^Y_ (3 Artinya:
Telah mengabarkan kepada Kami dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi' dari Ibnu Umar ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. melarang nikah syigar. Nikah syigar itu ialah seseorang mengawinkan anak perempuannya dengan syarat orang lain (yang mengawini anaknya tadi) juga mengawinkan anak perempuannya dengannya, di mana antara keduanya tidak terdapat maskawin (mahar) (HR. al-Bukhari) (Bukhari, 1410 H/1990 M: 260).
34
Pengertian nikah syigar dalam hadis di atas tidak jauh berbeda dengan rumusan Ibnu Rusyd yang menyatakan bahwa nikah syigar ialah apabila seorang lelaki mengawinkan orang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan orang lelaki lain bersyaratkan bahwa lelaki lain ini juga mengawinkan orang perempuan yang di bawah kekuasaannya dengan lelaki pertama tanpa ada maskawin pada kedua nikah tersebut. Maskawinnya hanya alat vital perempuan tersebut menjadi imbalan bagi alat kelamin perempuan lainnya (Rusyd, 1989: 43). Definisi ini sama juga dengan Sayyid Sabiq bahwa yang dimaksud nikah syigar adalah seorang wali menikahkan puterinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki tadi menikahkan puterinya dengan tanpa bayar mahar (Sabiq, 1970: 130). Islam hanya menggunakan istilah nikah syigar untuk bentuk pernikahan yang tercela ini. Pernikahan ini disebut nikah syigar karena tidak disertai mahar. Dengan begitu, pernikahan ini serupa dengan sebuah negeri yang kosong dari penguasa dan bangunanbangunan. Ada yang mengatakan bahwa Islam menamakan pernikahan itu sebagai pernikahan syighar karena buruknya, dan serupa dengan buruknya anjing ketika mengangkat sebelah kakinya untuk kencing. Pernikahan jenis ini banyak dikenal pada masa jahiliyyah sebelum datangnya agama Islam. Ketika Islam datang, Rasulullah saw mengharamkan pernikahan jenis ini.
35
Seandainya ada seorang laki-laki yang mengatakan kepada laki-laki lainnya, "Nikahkanlah aku dengan anak perempuanmu atau dengan saudara perempuanmu, maka sebagai gantinya engkau akan aku nikahkan dengan anak perempuanku atau dengan saudara perempuanku," dan pernikahan itu dilangsungkan tanpa mahar yang diberikan kepada masing-masing perempuan tersebut, maka pernikahan tersebut batal. Dalam pandangan mayoritas fukaha, akad pernikahan itu sama sekali tidak terlaksana. Di dalam pernikahan syigar, wanita tersebut tidak harus anak perempuan atau saudara perempuan saja. Imam Nawawi sebagaimana dikutip Ahmad asySyarbashi mengatakan bahwa para fukaha telah sepakat bahwa selain anak perempuan sendiri, maka anak perempuan dari saudara laki-laki atau anak perempuan dari saudara perempuan atau wanitawanita yang lain, juga mempunyai hukum yang sama dengan anak perempuan atau saudara perempuan sendiri, pada pengharaman nikah syigar (asy-Syarbashi, 1997: 248).
2.1.5 Pernikahan Dini dan Keharmonisan Keluarga Kata "pernikahan dini" berasal dari dua kata yaitu "pernikahan" dan "dini". Kata "nikah" menurut bahasa sama dengan kata kata, zawaj. Dalam Kamus al-Munawwir, kata nikah disebut dengan an-nikah ( )ا ح dan az-ziwaj/az-zawj atau az-zijah ( ا- ا واج-) ا واج. Secara harfiah, an-nikh berarti al-wath'u () ا طء, adh-dhammu ( ) اdan al-
36
jam'u ( ) ا. Al-wath'u berasal dari kata wathi'a - yatha'u - wath'an
و-! - وartinya berjalan di atas, melalui, memijak, menginjak, memasuki, menaiki, menggauli dan bersetubuh atau bersenggama (AlMunawwir, 1997: 1461). Adh-dhammu, yang terambil dari akar kata dhamma - yadhummu – dhamman ( ﺽ- - )ﺽsecara harfiah berarti
mengumpulkan,
menggabungkan,
memegang,
menyandarkan,
menggenggam, merangkul,
menyatukan,
memeluk
dan
menjumlahkan. Juga berarti bersikap lunak dan ramah (Suma, 2004: 42) Sedangkan al-jam'u yang berasal dari akar kata jama’a - yajma'u - jam'an ( $ ﺝ- - ) ﺝberarti: mengumpulkan, menghimpun, menyatukan, menggabungkan, menjumlahkan dan menyusun. Itulah sebabnya mengapa bersetubuh atau bersenggama dalam istilah fiqih disebut dengan al-jima' mengingat persetubuhan secara langsung mengisyaratkan semua aktivitas yang terkandung dalam makna-makna harfiah dari kata al-jam'u (Suma, 2004: 43). Sebutan lain buat pernikahan ialah az-zawaj/az-ziwaj dan azzijah. Terambil dari akar kata zaja-yazuju-zaujan ( زوﺝ- وج-) زاج yang secara harfiah berarti: menghasut, menaburkan benih perselisihan dan mengadu domba. Namun yang dimaksud dengan az-zawaj/az-ziwaj di sini ialah at-tazwij yang mulanya terambil dari kata zawwajayuzawwiju- tazwijan ( &و- وّج- )زوّجdalam bentuk timbangan "fa'ala-yufa'ilu- taf'ilan"(*+$)& -'ّ$) -'ّ$( ) yang secara harfiah berarti
37
menikahkan, mencampuri, menemani, mempergauli, menyertai dan memperistri (Suma, 2004: 43). Adapun pernikahan dini itu adalah sebuah ikatan suami istri yang dilakukan pada saat kedua calon suami dan istri masih usia muda yaitu pria belum mencapai umur 19 tahun dan wanita belum mencapai umur 16 tahun (Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1). Dalam konteksnya dengan keharmonisan keluarga, bahwa rumah tangga lahir karena terjadinya perkawinan. Setiap orang yang berumah tangga termasuk rumah tangga dari pernikahan dini tentulah berharap dapat membangun rumah tangga yang harmonis yaitu keluarga sakinah. Yunasril Ali (2002: 200) menyatakan keluarga sakinah dalam perspektif al-Qur'an dan hadis adalah keluarga yang memiliki mahabbah, mawaddah, rahmah, dan amanah. Menurut M. Quraish Shihab (2006: 136) kata sakinah terambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna "ketenangan" atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya bermuara pada makna sebagaimana telah diterangkan sebelumnya. Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak bahkan boleh jadi mengalami kegioncangan di luar rumah. Menurut M. Quraish Shihab (2006: 141) keluarga sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia harus
38
diperjuangkan, dan yang pertama lagi utama, adalah menyiapkan kalbu. Sakinah/ketenangan demikian juga mawadddah dan rahmat bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk aktivitas. Memang,
al-Qur'an
menegaskan
bahwa
tujuan
disyariatkannya
pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan rahmat." Pendapat M. Quraish Shihab tersebut, menunjukkan bahwa keluarga sakinah memiliki indikator sebagai berikut: pertama, setia dengan pasangan hidup; kedua, menepati janji; ketiga, dapat memelihara nama baik; saling pengertian; keempat berpegang teguh pada agama. Pernikahan sebagai perbuatan hukum antara suami dan isteri, bukan saja bermakna untuk merealisasikan ibadah kepada-Nya, tetapi sekaligus menimbulkan akibat hukum keperdataan di antara keduanya. Namun demikian karena tujuan perkawinan yang begitu mulia, yaitu membina keluarga bahagia, kekal, abadi berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa maka perlu diatur hak dan kewajiban suami dan istri masingmasing. Apabila hak dan kewajiban masing-masing suami dan isteri terpenuhi, maka dambaan suami isteri dalam bahtera rumah tangganya akan dapat terwujud, didasari rasa cinta dan kasih sayang (Rofiq, 2000: 181). Suami dan istri adalah sama-sama bertanggung jawab atas segala sesuatu dalam hidup bersama. Kebahagiaan bagi salah satu dari
39
keduanya adalah juga kebahagiaan bagi yang lain, dan kesusahan bagi salah satunya adalah pula kesusahan bagi yang lain. Hendaknya kerjasama antara keduanya dibangun di atas dasar cinta kasih yang tulus. Mereka berdua bagaikan satu jiwa di dalam dua tubuh. Masingmasing mereka berusaha untuk membuat kehidupan yang lain menjadi indah dan mencintainya sampai pada taraf ia merasakan bahagia apabila yang lain merasa bahagia, merasa gembira apabila ia berhasil mendatangkan kegembiraan bagi yang lainnya. Inilah dasar kehidupan suami isteri yang berhasil dan bahagia dan juga dasar dari keluarga yang intim yang juga merupakan suasana di mana putera-puteri dapat dibina dengan budi pekerti yang mulia (al-‘Arusy, 1994: 160). Antara suami isteri dalam membina rumah tangganya agar terjalin cinta yang lestari, maka antara keduannya itu perlu menerapkan sistem keseimbangan peranan, maksudnya peranannya sebagai suami dan peranan sebagai isteri di samping juga menjalankan perananperanan lain sebagai tugas hidup sehari-hari (Rasyid, 1989: 75). Dengan berpijak dari keterangan tersebut, jika suami isteri menerapkan aturan sebagaimana telah diterangkan, maka bukan tidak mungkin dapat terbentuknya keluarga sakinah, setidak-tidaknya bisa mendekati ke arah itu.. Keluarga sakinah adalah keluarga yang penuh dengan kecintaan dan rahmat Allah. Tidak ada satupun pasangan suami isteri yang tidak mendambakan keluarganya bahagia. Namun, tidak sedikit pasangan
40
yang menemui kegagalan dalam perkawinan atau rumah tangganya, karena diterpa oleh ujian dan cobaan yang silih berganti. Padahal adanya keluarga bahagia atau keluarga berantakan sangat tergantung pada pasangan itu sendiri. Mereka mampu untuk membangun rumah tangga yang penuh cinta kasih dan kemesraan atau tidak. Untuk itu, keduanya harus mempunyai landasan yang kuat dalam hal ini pemahaman terhadap ajaran Islam. 2.1.6 Pernikahan Dini dalam Pandangan Islam Masalah penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa', 4:9:
- % & ",E ?,:t P? 3C N - B &" E " 0 F d*
%" ( :/<) ?i i( ]? U "1%" ) &V 1=%&" , Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. an-Nisa’: 9). Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan berbagai pihak, rendahnya usia kawin,
41
lebih banyak menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan pernikahan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga. Banyak kasus menunjukkan, seperti di wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena akibat kawin dalam usia muda. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah (Djatnika, 1991: 251). Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal pernikahan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita undang-undang tetap memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan: "Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita". Dalam hal ini Undang-undang Pernikahan tidak konsisten, Di satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu)
42
tahun harus mendapat izin kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 (1) menyebutkan pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, 12 jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. a. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tandatanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan
ditentukan
dengan
umur.
Disamakannya
masa
kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya kewajiban. b. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan "ketentuan dewasa menurut syarak ialah mimpi", karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umum antara 15 sampai 18 tahun masih diharapkan
43
datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun (Yanggo dan Anshari, 1996: 83). c. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. Namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun (Yanggo dan Anshari, 1996: 83).. d. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya seseorang memasuki hidup berumah tangga harus diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan (Yanggo dan Anshari, 1996: 83). e. Marc Hendry Frank mengatakan bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25 sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan. f. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan beragama pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun (Yanggo dan Anshari, 1996: 83-84).
44
2.2 Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami 2.2.1 Pengertian Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami Pengertian harfiyah “bimbingan” adalah menunjukkan, memberi jalan, atau menuntun” orang lain ke arah tujuan yang bermanfaat bagi hidupnya di masa kini dan masa mendatang. Istilah “bimbingan” merupakan terjemahan dari kata bahasa Inggris “guidance” yang berasal dari kata kerja ”to guide” yang berarti “menunjukkan” (Arifin, 1994: 1). Secara etimologis, istilah konseling berasal dari bahasa latin yaitu “consilium” yang berarti “dengan” atau “bersama” yang dirangkai dengan “menerima” atau “memahami”. Sedangkan dalam bahasa AngloSaxon,
istilah
konseling
berasal
dari
“sellan”
yang
berarti
“menyerahkan” atau “menyampaikan” (Prayitno dan Amti, 2004: 99) Menurut Walgito (1989: 4), “Bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang diberikan kepada individu atau sekumpulan individu dalam menghadapi atau mengatasi kesulitan-kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya” Dengan memperhatikan rumusan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa bimbingan dan konseling merupakan pemberian bantuan yang diberikan kepada individu guna mengatasi berbagai kesukaran di dalam kehidupannya, agar individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya. Dalam tulisan ini, bimbingan dan konseling yang di maksud adalah yang Islami, maka ada baiknya kata Islam diberi arti lebih
45
dahulu. Menurut etimologi, Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari asal kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memeliharakan dalam keadaan selamat sentosa, dan berarti juga menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat. Kata aslama itulah menjadi pokok kata Islam mengandung segala arti yang terkandung dalam arti pokoknya, sebab itu orang yang melakukan aslama atau masuk Islam dinamakan muslim (Razak, 1986: 56). Dengan demikian, kata "Islam" biasanya diterjemahkan dengan “penyerahan diri”, penyerahan diri kepada Tuhan atau bahkan kepasrahan (Arkoun, 1996: 17). Secara terminologi sebagaimana dirumuskan oleh Harun Nasution, Islam adalah agama yang ajaran-ajarannya diwahyukan Tuhan kepada masyarakat manusia melalui Nabi Muhammad SAW sebagai Rasul (Nasution, 1985: 24). Maulana Muhammad Ali (1990: 4) dalam bukunya The Religion of Islam menegaskan: "Islam has a two-fold significance: a simple profession of faith — a declaration that "there is no god but Allah and Muhammad is His Messenger" (Kalimah) and a complete submission to the Divine will which is only attainable through spiritual perfection". (Islam mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah yang ini hanya dapat dicapai melalui penyempurnaan rohani). Bertitik tolak dari uraian tersebut, bimbingan Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sedang konseling Islam
46
adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali akan eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah sehingga dapat mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 5). Berdasarkan uraian tersebut, maka bimbingan pernikahan dan keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan pernikahan dan kehidupan berumah tangganya bisa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 70). Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya
sebagai
makhluk
Allah
yang
seharusnya
dalam
menjalankan pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Faqih, 2001: 83). 2.2.2 Tujuan Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami Secara garis besar atau secara umum tujuan bimbingan dan konseling Islam itu dapat dirumuskan sebagai membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan, hal ini sudah diketahui dari pengertian atau definisinya. Individu yang dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling,
47
baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Dalam perjalanan hidupnya, karena berbagai faktor, manusia bisa seperti yang tidak dikehendaki yaitu tidak menjadi manusia seutuhnya. Dengan kata lain yang bersangkutan berhadapan dengan masalah atau problem, yaitu menghadapi adanya kesenjangan antara seharusnya (ideal) dengan yang senyatanya. Orang yang menghadapi masalah, lebih-lebih jika berat, maka yang bersangkutan tidak merasa bahagia. Bimbingan dan konseling Islam berusaha membantu individu agar bisa hidup bahagia, bukan saja di dunia, melainkan juga di akhirat. Karena itu, tujuan akhir bimbingan dan konseling Islam adalah kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bimbingan dan Konseling Islam berusaha membantu mencegah jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu
48
memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan
fungsi
konseling
sebagai
bagian
sekaligus
teknik
bimbingan.( Musnamar, 1992: 33-34). Berdasarkan rumusan pengertian konseling pernikahan dan keluarga Islami, dapat diketahui bahwa tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami di bidang ini adalah untuk: 1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan pernikahan, antara lain dengan jalan: a. Membantu individu memahami hakikat pernikahan menurut Islam; b. membantu individu memahami tujuan pernikahan menurut Islam; c. membantu individu memahami persyaratan-persyaratan pernikahan menurut Islam; d. membantu individu memahami kesiapan dirinya untuk menjalankan pernikahan. e. membantu individu melaksanakan pernikahan sesuai dengan ketentuan (syariat) Islam (faqih, 2001: 83-84). 2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangganya, antara lain dengan: a. Membantu individu memahami hakikat kehidupan berkeluarga (berumah tangga) menurut Islam; b. membantu individu memahami tujuan hidup berkeluarga menurut Islam;
49
c. membantu individu memahami cara-cara membina kehidupan berkeluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menurut ajaran Islam; d. membantu individu memahami melaksanakan pembinaan kehidupan berumah tangga sesuai dengan ajaran Islam. 3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga, antara lain dengan jalan: a. Membantu individu memahami problem yang dihadapinya; b. membantu individu memahami kondisi dirinya dan keluarga serta lingkungannya; c. membantu individu memahami dan menghayati cara-cara mengatasi masalah pernikahan dan rumah tangga menurut ajaran Islam; d. membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan masalah yang dihadapinya sesuai dengan ajaran Islam. 4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih baik, yakni dengan cara: a. memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan kehidupan berumah tangga yang semula pernah terkena problem dan telah teratasi agar tidak menjadi permasalahan kembali;
50
b. mengembangkan situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga menjadi lebih baik (sakinah, mawaddah, dan rahmah) (Musnamar, 1992: 71-72). 2.2.3 Azas Bimbingan dan Konseling Keluarga Islami Asas-asas bimbingan dan penyuluhan keluarga Islam adalah landasan yang dijadikan pegangan atau pedoman dalam melaksanakan bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam. Seperti halnya asas bimbingan dan penyuluhan Islam yang umum, asas bimbingan dan penyuluhan pernikahan & keluarga Islam juga bersumber pada Al-Qur'an dan hadis. Pada prinsipnya, semua asas bimbingan dan penyuluhan Islam yang umum berlaku untuk bimbingan dan penyuluhan bidang ini, akan tetapi untuk lebih mengkhususkan, asas-asas bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Asas kebahagiaan dunia dan akhirat Bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam, seperti halnya bimbingan dan penyuluhan Islam umum, ditujukan pada upaya membantu individu mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dalam hal ini kebahagiaan di dunia harus dijadikan sebagai sarana mencapai kebahagiaan akhirat, seperti difirmankan Allah sebagai berikut:
3 [ d U P? < R S 0 E O, P? < R % i O, FG 83 (6q :S01) 51
Artinya: Ya Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dan siksa api neraka. (Q.S. Al-Baqarah, 2:201).
d&*> 0$ % E S 0 E 3 i& $ - e $ : ]* % i S % " (56 :I:) &1 : F m,# 1= Artinya: Dan tidaklah kehidupan di dunia ini selain dari mainmain dan senda gurau belaka. Dan sesungguhnya kehidupan di kampung akhirat itu lebih baik bagi orangorang yang bertakwa, maka tidakkah kamu memahaminya? (Q.S.Al-An'am:6:32). Kebahagiaan dunia dan akhirat yang ingin dicapai itu bukan hanya untuk seseorang anggota keluarga, melainkan untuk semua anggota keluarga, seperti tercermin dari kata "kami" ("n") dalam do'a "rabbana atina..." dan bukan aku seorang diri (Aunur Rahim, 2001: 85-86) 2. Asas sakinah, mawaddah dan rahmah Pernikahan dan pembentukan serta pembinaan keluarga Islam dimaksudkan untuk mencapai keadaan keluarga atau rumah tangga yang "sakinah, mawaddah wa rahmah," keluarga yang tenteram, penuh kasih dan sayang. Dengan demikian bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam berusaha membantu individu untuk menciptakan kehidupan pernikahan dan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah tersebut (Musnamar, 1992: 73)
52
-% <
=> ?;@ # < A B # C D &E " # ) F G (6q :I0) P? Q R 3 S? % 8 9:; Artinya: Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadlkanNya di antaranyan rasa kasih dan sayang. (Q.S.Ar-Rum,30:21). 3. Asas komunikasi dan musyawarah Ketentuan keluarga yang didasari rasa kasih dan sayang akan tercapai manakala dalam keluarga itu senantiasa ada komunikasi dan musyawarah. Dengan memperbanyak komunikasi segala isi hati dan pikiran akan bisa dipahami oleh semua pihak, tidak ada hal-hal yang mengganjal
dan
tersembunyi.
Bimbingan
dan
penyuluhan
pernikahan dan keluarga Islam, di samping dilakukan dengan komunikasi dan musyawarah yang dilandasi rasa saling hormat menghormati dan disinari rasa kasih dan sayang, sehingga komunikasi itu akan dilakukan dengan lemah lembut
e &" 1" %&f ?}V , - ) &V C PJ Q R 3 Q, O, 3 - 0 B . =( - , M R "+B] TG) &> =Q " e ) &V * ) &V & 9" * =, _ Nj, 0 (q : 0Q Artinya: Maka disebabkan rahmat Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan din dan. sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
53
bermusyawarahlah dengan mereka dalam unison itu kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepadaNya. (Q.S. Ali Imran: 159).
(5 :3v) - % 8 3 0 # Artinya:
... sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka. (2.5. Asy-Syura, 42 : 38).
Bukan hanya dalam rangka mencegah munculnya problem, dalam upaya memecahkan masalah pernikahan dan kehidupan keluarga pun asas komunikasi dan musyawarah itu penting dijalankan, bahkan kalau perlu ada pihak ketiga yang dipercaya oleh semua pihak untuk menjadi juru damai di antara mereka.
C ?QR ) & # C ?QR "o: 8 , Q- % 8 1 =B" E " ?Q%& ) &V * Q- % 8 ) &V D ,> ?Rm X i 0 -& # (5 :/<) ?E Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim (juru damai) dari keluarga laki-laki dan seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Q.S. An-Nisa,4:35). 4. Asas Sabar dan Tawakkal Setiap orang menginginkan kebahagiaan dengan apa yang dilakukannya, termasuk dalam menjalankan pernikahan dan hidup Bimbingan dan Penyuluhan Pernikahan dan Keluarga Islam! berumah tangga. Namun demikian, tidak selamanya segala usaha
54
ikhtiar manusia itu hasilnya sesuai dengan apa yang diinginkan. Agar supaya kebahagiaan itu sekecil apapun tetap bisa dinikmati, dalam kondisi apapun, maka orang harus senantiasa bersabar dan bertawakkal (berserah din) kepada Allah, seperti tersebut dalam firman Allah berikut. Dengan kata lain, bimbingan dan penyuluhan pernikahan dan keluarga Islam membantu individu pertama-tama untuk bersikap sabar dan tawakkal dalam menghadapi masalahmasalah pernikahan dan kehidupan berumah tangga, sebab dengan bersabar dan bertawakkal akan diperoleh kejernihan dan pikiran, tidak tergesa-gesa terburu nafsu mengambil keputusan, dan dengan demikian akan terambil keputusan akhir yang lebih baik.
? % "0 " F # <: , Q= 0 j, 0: Q "8 0 (q :/<) ?o ?0 %E ) %, ) &V 9:
Artinya: Dan bergaullah dengan mereka (isteri-isteri kamu) secara patut (ma'ruf). Kemudian bila kamu. tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang ban-yak. (Q.S. An-Nisa, 4:19).
G d* * {6} 0H <
E OB <j" * {q} 0
: " :0:) 0 8 X F DC "8 X F K &Q (5rq Artinya: Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehatmenasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat-
55
menasehati supaya menetapi kesabaran. (Q. S. Al-Asr, 103 : 1-3). Sabar dan tawakkal berlaku bagi klien (agar dalam menghadapi problem bersikap sabar dan tawakkal), maupun bagi pembimbing/konselor pernikahan dan keluarga Islam itu sendiri (dalam memberikan bantuan kepada kliennya). 5. Asas Manfaat (maslahat) Telah
disebutkan
bahwa
perjalanan
pernikahan
dan
kehidupan berkeluarga ini tidaklah senantiasa mulus seperti yang diharapkan, kerapkali dijumpai batu sandungan dan kerikil-kerikil tajam yang menjadikan perjalanan kehidupan berumah tangga itu berantakan. Islam banyak memberikan alternatif pemecahan masalah terhadap berbagai problem pernikahan dan keluarga, misalnya dengan membuka pintu poligami dan perceraian. Dengan bersabar dan bertawakkal dulu terlebih dahulu, diharapkan pintu pemecahan masalah pernikahan dan rumah tangga maupun yang diambil nantinya oleh seorang, selalu berkiblatkan pada mencari manfaat maslahat yang sebesar-besarnya, baik bagi individu anggota keluarga, bagi keluarga secara keseluruhan, dan bagi masyarakat secara umum, termasuk bagi kehidupan kemanusiaan.
$ £ o# # 0H N K 9" Q : (q6 :/<) ?1 Q&"} ] P " &E i M !, Artinya: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
56
keduanya mengadakan perdamaian yang sebesarbesarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka). (Q. S. An-Nisa, 4:128).
57
BAB III GAMBARAN UMUM PERNIKAHAN DINI DI DESA KLUWIH KECAMATAN BANDAR KABUPATEN BATANG
3.1
Sekilas Letak Geografis Desa Kluwih Kecamatan Bandar Desa Kluwih adalah termasuk salah satu di antara desa-desa yang berada di wilayah kecamatan Bandar yang letaknya kurang lebih 19 kilo meter dari Ibukota Kabupaten Batang. Adapun batas-batas Desa Kluwih yaitu: a. Sebelah utara dibatasi desa Manggis b. Sebelah selatan dibatasi desa Toso c. Sebelah barat dibatasi desa Wonokerto d. Sebelah timur dibatasi desa Pretek Luas tanah Desa Kluwih ialah 1.438,820 ha. Kondisi tanahnya cukup subur untuk bercocok tanam, beternak, dan termasuk daerah dataran rendah yang mempunyai dua musim yaitu kemarau dan penghujan, sehingga cocok untuk tanaman baik padi maupun lainnya. Irigasi non teknis seluas 170.000 ha. Ada juga yang memakai saluran air (irigasi setengah tekhnis) seluas 92.666 ha, sedangkan tegalan atau perkebunan seluas 287.928 ha, termasuk di dalamnya sungai, jalan kuburan, saluran dan lain-lain (Data dari buku Monografi Desa Kluwih).
58
TABEL I TABEL DEMOGRAFI DESA KLUWIH
RW Umur
1
2
3
Jumlah KK
671
591
490
Jumlah
2.681
2.361
Laki - laki
1.342
Perempuan
1.339
4
185
5
327
6
458
7
Jumlah
156
2.878
1.967 740
1.308 1.832 617
11506
1.198
979
390
664
906
303
5.782
1.163
988
350
644
926
314
5.724
Penduduk
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih
TABEL II PENDUDUK DESA KLUWIH MENURUT KELOMPOK UMUR TAHUN 2011 RW Umur
1
2
3
4
5
6
7
Total
0 < 1 Tahun
56
48
36
20
29
31
19
239
1 < 5 Tahun
166
126
118
84
102
105
91
792
5 < 14 Tahun
362
290
259
172
194
204
182
1.663
14 < 20 Tahun
541
420
370
194
279
339
257
2,400
20 < 30 Tahun
401
312
296
140
216
258
186
1.809
30 < 45 Tahun
540
420
370
194
279
339
257
2.339
59
< 60 Tahun
401
312
296
139
280
337
259
1.809
> 60 Tahun
104
85
77
385
49
60
34
447
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih Sedangkan Desa Kluwih ditinjau dari segi mata pencaharian adalah terdiri dari berbagai macam pekerjaan terinci dalam tabel di bawah ini:
TABEL III DATA MATA PENCAHARIAN PENDUDUK DESA KLUWIH Mata Pencaharian
No 1
Jumlah
Pertanian 5.482
Petani sendiri Buruh tani
701
2
Buruh swasta
490
3
Industri kecil/rumah tangga
320
4
Bangunan dan kontruksi
26
5
Perdagangan
501
6
Angkutan dan jasa
368
7
Pegawai negeri
25
8
Peternak
60
9
Para medis
5
10
montir
6
11
Lain-lain
8
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih Tabel tersebut di atas memperlihatkan komposisi mata pencaharian penduduk Desa Kluwih pada tahun 2011, lapangan pekerjaan petani
60
dominan dibandingkan dengan tenaga lapangan pekerjaan lainnya. Hal ini disebabkan karena tanah pertanian berupa tanah sawah sehingga cocok sekali untuk lahan pertanian. 1. Kehidupan Keagamaan dan Sosial Budaya a. Ditinjau dari Aspek Ekonomi Penduduk Desa Kluwih berdasarkan hasil registrasi penduduk tahun 2011 berjumlah 11.507 jiwa, dengan kepadatan 6.196 jiwa/km, mayoritas masyarakatnya beragama Islam (11.486 jiwa), serta memiliki beraneka ragam pekerjaan. Mayoritas wanita Desa Kluwih memiliki pendapatan tambahan dengan cara menjual beras, pedagang jamu, membuat kue, dan batik pakaian. Pembuatan batik pakaian ini dilakukan secara kolektif, sementara pemesannya adalah pengusaha swasta. Wanita yang tergabung dalam industri rakyat ini, bekerja dibawah perantara dan dibayar dengan cara borongan dengan rata-rata upah yang diberikan adalah Rp. 12.500,00 untuk sehari bekerja selama 7-8 jam. Adapun kaum laki-laki memiliki pendapatan tambahan tunai diperoleh diluar sektor pertanian, meliputi : sektor bangunan dan kontruksi, sopir, ojek dan lain sebagainya, dengan rata-rata penghasilan Rp. 17.500,00/hari. Dengan demikian bahwa kaum wanita Desa Kluwih Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, tidak-hanya melakukan pekerjaan sebagai ibu rumah tangga akan tetapi juga melakukan pekerjaan diluar rumah, dan ada juga yang melakukan pekerjaan sampai pergi keluar desa.
61
b. Ditinjau dari Aspek Agama Dalam bidang agama masyarakat Desa Kluwih adalah mayoritas beragama Islam. Hal itu dapat dilihat pada catatan buku monografi Desa Kluwih yang merupakan data jumlah penduduk pemeluk agama, yaitu sebagai berikut: TABEL IV PENDUDUK MENURUT AGAMA DI DESA KLUWIH No
Agama
Jumlah
1
Islam
11.486
2
Katholik
4
3
Kristen Protestan
17
4
Budha
-
5
Hindu
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih
Selanjutnya untuk menampung kegiatan bagi para penganut agama dan kepercayaan di Desa Kluwih tersedia 23 sarana tempat peribadatan. Rinciannya dapat dilihat pada tabel berikut: TABEL V BANYAKNYA TEMPAT IBADAH DI DESA KLUWIH 2011 No
Nama Tempat Ibadah
Jumlah
1
Masjid
7
2
Mushalla
43
3
Gereja
-
62
4
Wihara
-
5
Pura
Jumlah
50
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih Jumlah tempat peribadatan tersebut setiap tahun mengalami perubahan, yaitu semakin banyak masjid dan mushalla. c. Ditinjau dari Aspek Pendidikan Penduduk Desa Kluwih ditinjau dari segi pendidikannya terdiri dari beberapa tingkat, sebagaimana dalam tabel berikut ini:
TABEL VI DATA PENDIDIKAN PENDUDUK DESA KLUWIH TAHUN 2011 No
Jenis Pendidikan
Jumlah
1.
Belum Sekolah
329
2.
Tidak Tamat Sd
3.014
3.
SD
7.484
4.
SLTP
7484
5.
SLTA
152
6.
Perguruan Tinggi
32
Data Dari buku Monografi Desa Kluwih Dari tabel tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Desa Kluwih, apabila ditinjau dari pendidikannya, maka terlihat bahwa jumlah yang tamat SD lebih besar yaitu 5.508 dibandingkan dengan yang lainnya. Hal ini perlu mendapatkan perhatian dan dapat
63
digunakan sebagai acuan lebih meningkatkan taraf pendidikan masyarakat Desa Kluwih. d. Ditinjau dari aspek Sosial Budaya (Adat Istiadat) Desa Kluwih termasuk desa di daerah pelosok, dan mayoritas mata pencaharian penduduknya adalah petani dan peternak, memiliki jarak tempuh yang relatif jauh dari pusat pemerintahan. Namun kondisi desa ini ditunjang dengan sarana dan prasarana kegiatan masyarakat pedesaan pada umumnya, dan memiliki kehidupan sosial budaya yang sangat kental. Hal ini yang membedakan antara kondisi sosial masyarakat desa dengan masyarakat kota pada umumnya, yang terkenal dengan individualistik dan hedonis yang merupakan corak terhadap
masyarakat
kota
(Hasil
Wawancara
dengan
Bapak
Sudaryanto, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 9-6-2011). Di Desa Kluwih, masalah budaya, hubungan antar masyarakat satu sama lainnya boleh dikatakan turun temurun dari tradisi kebiasaan nenek moyang kita. Di desa ini kita saling tepo selero (tenggang rasa) dengan sesamanya ega lepas dari rasa persaudaraan. kepentingan ya nomor dua (Hasil Wawancara dengan Bapak Dato, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 106-2011). Keberhasilan dalam melestarikan dan penerapan nilai-nilai sosial budaya tersebut karena adanya usaha-usaha masyarakat untuk
64
tetap menjaga persatuan dan persaudaraan melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang secara langsung maupun tidak langsung mengharuskan
masyarakat
yang
terlibat
untuk
terus
saling
berhubungan dan berinteraksi dalam bentuk persaudaraan. Kegiatankegiatan kemasyarakatan itu dapat dibedakan secara kelompok umur dan tujuannya antara lain adalah sebagai berikut: a. Perkumpulan secara arisan kelompok bapak-bapak yang diadakan setiap RT. Dalam perkumpulan ini sangat sering dibahas tentang segala yang bersangkutan dengan kehidupan dan kebutuhan masyarakat ditingkat RT untuk kemudian dicari solusi secara bersama-sama. b. Perkumpulan Ibu-ibu PKK secara rutin, kelompok ibu-ibu yang terdiri
dari arisan RT dan perkumpulan arisan dasawisma.
Perkumpulan dan arisan ibu-ibu dilaksanakan ditingkat RT, memiliki fungsi dan manfaat seperti pada perkumpulan arisan bapak-bapak. Perkumpulan arisan dasawisma dan ibu-ibu PKK diadakan di tingkat RW. Perkumpulan PKK memiliki fungsi untuk meningkatkan kemampuan dan peran serta yang positif bagi ibuibu dalam keluarga. Sedangkan arisan dasawisma merupakan arisan kelompok yang lebih cenderung berorientasi pada nilai ekonomi, meskipun di dalamnya juga terdapat nilai-nilai sosial budaya juga.
65
c. Perkumpulan remaja yang ada disetiap RT/RW, dan kelurahan. Perkumpulan remaja atau lebih dikenal dengan nama lain Karang Taruna merupakan pertemuan yang dibentuk dan diadakan bagi kalangan remaja dengan tujuan antara lain : (1). Untuk menjaga persatuan dan memupuk rasa persatuan antar remaja. (2). Sebagai sarana pelatihan remaja untuk mengeluarkan pendapat serta terbiasa untuk memecahkan masalah dengan jalan musyawarah. (3). Sarana pelatihan berorganisasi dan hidup bermasyarakat bagi remaja. (4). Sebagai sarana transformasi segala informasi dari pemerintah kelurahan yang perlu diketahui oleh para remaja di Desa Kluwih kecamatan Bandar Kabupaten Batang. (5). Sebagai sarana untuk mengembangkan minat dan bakat para remaja yang nantinya akan bermanfaat bagi remaja pada usia selanjutnya sebagai penerus keberlangsungan kehidupan bermasyarakat di Desa Kluwih (Hasil Wawancara dengan Bapak Dasro Kepala Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011 di Balai Desa Kluwih). Sedangkan kegiatan-kegiatan ritual yang masih membudaya di tengah-tengah masyarakat adalah
66
1) Upacara perkawinan. Sebelum di adakan upacara perkawinan biasanya terlebih dahulu diadakan upacara peminangan (tukar cincin menurut adat jawa), yang sebelumnya didahului dengan permintaan dari utusan calon mempelai laki-laki atau orang tuanya sendiri terhadap calon mempelai perempuan. Kemudian akan dilanjutkan ke jenjang peresmian perkawinan yang diisi dengan kegiatan yang Islami seperti Tahlilan dan Yasinan yang bertujuan untuk keselamatan kedua mempelai, dengan dihadiri oleh seluruh sanak keluarga, tetangga maupun para sesepuh setempat (Hasil Wawancara dengan Bapak Suprat, Selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).. 2) Upacara anak dalam kandungan. Dalam upacara mi meliputi beberapa tahap, di antaranya adalah: acara Anak Dalam Kandungan a). Ngepati, yaitu suatu upacara yang di adakan pada waktu anak dalam kandungan berumur kurang lebih 4 bulan, karena dalam masa 4 bulan ini, menurut kepercayaan umat Islam malaikat mulai meniupkan roh kepada sang janin. b) Mitoni atau Tingkepan, yaitu upacara yang di adakan pada waktu anak dalam kandungan berumur kurang lebih 7 (tujuh) bulan dan upacara ini dilaksanakan pada waktu malam hari, yang dihadiri oleh sanak keluarga, tetangga, para sesepuh serta para tokoh agama guna membaca surat Taubat
67
3) Upacara Kelahiran Anak (Babaran atau Brokohan) Upacara ini dilaksanakan ketika sang anak berusia 7 hari dari hari kelahirannya , yaitu berupa selamatan yang biasa disebut dengan istilah "Brokohan". Upacara ini diisi dengan pembacaan kitab Al Barjanzi. Kemudian jika anak itu laki-laki maka harus menyembelih dua ekor kambing sedangkan untuk anak perempuan hanya satu ekor kambing. 4) Upacara Tudem/anak mulai jalan. Selama anak mulai lahir dan belum bisa berjalan, setiap hari kelahirannya (selapanan, tigalapan, limalapan. tujuhlapan dan sembilanlapan) biasanya diadakan selamatan berupa nasi gungan dan lauk-pauk sekedamya untuk dibagikan kepada tetangga terdekat. Sedangkan ketika sang anak berusia 7 bulan akan diadakan selamatan lebih besar lagi. 5) Upacara Khitanan/Tetakan. Upacara ini diadakan terutama bagi anak laki-laki. Upacara mi biasanya diadakan secara sederhana atau besar-besaran, tergantung pada kemampuan ekonomi keluarga. Namun kalau hanya mempunyai anak tunggal/ontanganting, kepercayaan dari orang jawa adalah anak tersebut harus di "Ruwat" dengan menanggap wayang kulit yang isi ceritanya menceritakan Batara Kala dengan memberi sesaji berupa tumpengan atau panggang daging agar tidak dimakan rembulan. 6) Selamatan menurut Penanggalan (Kalender Jawa). Di antara kalender-kalender umat Islam yang biasanya dilakukan selamatan
68
antara lain: 1 Syura, 10 Syura untuk menghormati Hasan dan Husein cucu Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 Maulud (Robi'ul Awal) untuk merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, tanggal 27 Rajab untuk memperingati Isra' dan Mi'raj Nabi Muhammad SAW, tanggal 29 Ruwah (dugderan), 17 Ramadhan (memperingati Nuzul Qur'an), 21, 23, 24, 27 dan 29 maleman, 1 Syawal (hari raya Idul Fitri), 7 Syawal (katupatan) biasanya diramaikan dengan membuat ketupat dan digunakan untuk selamatan di mushala terdekat, dan dibulan Apit bagi masyarakat mengadakan upacara sedekah bumi, dan kepala desa menanggap gong/wayang
sebagai
syarat
untuk
mengingatkan
warga
masyarakat desa untuk masak-masak. Setelah magrib menyiapkan sebagian untuk selametan di mushala terdekat dan begitu juga dibulan 10 Besar (Hari Raya Idul Qurban), masyarakat yang dianggap mampu dianjurkan untuk berkorban. 7) Upacara Penguburan Jenazah. Salah satu dari upacara penguburan jenazah adalah upacara brobosan, upacara ini dilakukan oleh sanak saudara terdekat yang tujuannya untuk mengikhlaskan kematiannya. Adat kebiasaan di atas merupakan nilai -nilai yang berasal dari leluhur yang telah diimplementasikan dalam tata nilai dan laku perbuatan sekelompok masyarakat tertentu. Akan tetapi dengan
perkembangan
zaman,
nilai
tradisi-tradisi
yang
berkembang kadang-kadang diisi dengan kegiatan yang memiliki
69
nilai-nilai keagamaan (Hasil Wawancara dengan Bapak Suprat, Selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011). 3.2
Permasalahan dan Dampak Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar Pada tiga tahun terakhir (tahun 2007 - 2010) bahwa di Desa Kluwih Kecamatan Bandar yang melakukan pernikahan dini berjumlah dua puluh keluarga. Dengan perkataan lain bahwa seluruh keluarga dari pernikahan dini Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang berjumlah 20 keluarga. Sedangkan yang bercerai pada tiga tahun terakhir dari pernikahan dini berjumlah 12 keluarga. Alasan mereka bercerai di antaranya: penuturan dari Ibu dan Bapak Karyo (perceraian dari pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 4-6-2011). "Bayangkan saja mas, suami saya buruh bangunan, tiga bulan kerja, sebulan nganggur. Kalau sudah nganggur, tidak berusaha cari kerjaan lain, sedangkan saya dan anak perlu makan. Saya udah malu dengan tetangga, hutang di warung udah malu ditagih terus-terusan. Coba mas bayangkan siapa yang kuat ngalami kekurangan duit. Ini tidak sekali dua kali. Kayaknya bisa seumur hidup. Suami saya malas bisanya cuma ngomel, tapi ega bisa cari duit kayak suami-suami orang lain. Paling-paling keluyuran pulang malam, anal istri sengsara ega bertanggung jawab".
Alasan bercerai yang dikemukakan ibu Karyo di atas adalah persoalan kekurangan ekonomi sehingga dihimpit utang dengan warung. Demikian pula ketidak mampuan bapak Karyo memberi uang jajan pada anak-anak me njadi dorong kuat bagi ibu Karyo untuk memilih bercerai.
70
Penuturan Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 5-6-2011): "Ya, biasa kekurangan ekonomi, maka istri saya ngomel terus. Daripada saya tidak kuat, ya lebih baik cerai. Dipertahankan bisa bahaya, ribut tidak habis-habisnya. Ya masalah ekonomi. Saya telah berusaha sekuat tenaga cari duit, tapi keadaannya sulit, mau digimanakan lagi. Saya ega malas, tapi istri ega sabar. Yang dilihat Cuma tetangga. Saya selalu dibanding-bandingkan. Mendingan hidup duda daripada punya istri makan ati." Demikian pula penuturan dari Bapak dan Ibu Sudarno menunjuk alasan bercerai adalah seputar masalah ekonomi. Persoalan ekonomi ini yang menjadi pemicu perceraian. Bapak Sudarno sudah berupaya maksimal untuk menafkahi keluarga. Namun pekerjaan yang sulit dan persaingan yang ketat membuat mereka tidak berdaya hidup dalam kelayakan. Jika
memperhatikan
penuturan
kedua
responden
di
atas
menunjukkan bahwa perceraian disebabkan oleh himpitan faktor ekonomi. Mereka kurang tabah menghadapi masalah ekonomi yang sebetulnya tidak perlu sampai bercerai. Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang cukup umur) (wawancara pada tgl 5-6-2011): "Mertua saya sering ikut campur, ngatur inilah, ngatur itulah. Kalau datang ke rumah, bisa hanya menghina, rumah dikatakan kotor, kurang bersih. Emang mertua saya cerewet. Sebagai istri ya saya ngadu pada suami tentang orang tuanya yang selalu ikut campur, tapi suami tersinggung dan marah, tidak menerima aduan saya. Ikut campur bukan hanya masalah rumah, sampai uang dapur saya dianggap boros ega bisa nyimpan, kurang telaten. Yang lebih menyakitkan sering ngadu pada tetangga sebelah. Ya suami lebih cinta pada orang tuanya, saya sudah menasehati tapi suami ega nerima ya lebih baik cerai".
71
Penuturan Ibu Nuryanto mengisyaratkan bahwa pertengakaran dalam rumah tangga yang berakhir dengan perceraian adalah dipicu oleh masalah interfensi mertua yang berusaha mewarnai rumah tangga Ibu Nuryanto. Sebagaimana diutarakan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur) (wawancara pada tgl 6-6-2011) "Suami saya sering bohong dan yang saya tidak tahan, selingkuh dengan janda. Ya kalau dibilang selingkuhannya biasa-biasa tidak cantik, lebih tua dari saya dan ini saya buktikan dengan mata kepala saya sendiri melihat suami sering boncengan dan datang kerumah janda itu. Untung saja ada tetangga saya yang ngasih tahu, akhirnya ketangkap basah dan sekarang sudah menjadi suami istri". Penuturan kedua responden di atas, menjadi petunjuk bahwa penyebab perceraiannya adalah karena faktor mertua ikut campur dan suami selingkuh. Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur) (wawancara pada tgl 6-6-2011): "Saya tidak menyangka sifat suami tidak sama dengan sifat orang tuanya. Suami saya kalu melihat ada di rumah yang tidak enak, langsung marah, saya udah jawab, suami makin marah. Akhirnya saya coba pisah ranjang dan terakhir saya pulang ke rumah orang tua. Tapi suami saya pintar merayu orang tua saya sehingga saya selalu disalahkan. Pertengkaran hampir tiap hari, dan suami sering mukul kepala saya, sampai akhirnya saya ditendang dan dicekik, kalu tidak ada tetangga mungkin saya udah mati. Dan saya laporkan pada polisi, ya selanjutnya saya urus perceraian".
Demikian penuturan responden di atas, yang pada prinsipnya perceraian dengan menguasakan pada modin dan diteruskan ke pengadilan
72
agama. Adapun rumah tangga yang masih utuh dari pernikahan dini berjumlah 8 keluarga. Mereka hidup harmonis seperti layaknya rumah tangga yang sudah matang dan dewasa. Sebabnya harmonis adalah karena mereka sering mendapat penerangan dari petugas Kantor Urusan agama, demikian pula mereka mengakui sering menghadiri pengajian dan saat itu mendapat nasihat dari kiyai dan para sesepuh. Mereka berusaha mencurahkan masalah yang membelit rumah tangga pada kiyai dan para sesepuh untuk dicarikan jalan keluar pemecahannya. Macam atau varian pernikahan dini yang terjadi di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang yaitu (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang cukup umur, pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita belum cukup umur, pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur). Penuturan Ibu dan Bapak Karyo (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 4-6-2011). Kami berumah tangga baru saja berjalan satu tahun setengah, dan ini anak saya perempuan, yah sangat nakal maklum selalu dimanja oleh bapaknya. Karena dari awal pacaran, bapaknya pengen sekali punya anak perempuan. Al-hamdulillah dikaruniai apa yang diharapkan. Ya kalu dipikir-pikir nikah di umur saya waktu itu baru 15 tahun dan suami saya saat itu baru berumur 16 tahun memang terlalu terburuburu, tapi gimana lagi namanya hidup di kampung jadi omongan. Memang terasa kita belum siap menghadapi masalah kesulitankesulitan yang namanya rumah tangga. Penuturan Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita belum cukup umur) (wawancara pada tgl 5-6-2011) Ya saya menikah pada umur 15 dan bapak ketika itu umur 20. ya, masih seneng main dan sebetulnya belum siap menikah, tapi ya jodoh
73
ya seperti ini. kadang-kadang masih ingin bebas seperti kawan-kawan lainnya. Tapi sekarang sudah terikat perkawinan ya ega enaklah kalau dilihat masyarakat masih seneng main-main. Kadang-kadang ada perasaan ingin seperti sebelum menikah ya ada kebebasan, ega terikat dan tidak banyak aturan. Tapi sekarang kami juga ditegur orang tua kalu masih seperti kanak-kanak. Berdasarkan keterangan dua informan di atas menunjukkan bahwa pernikahan dini pada akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas dengan kehidupan yang sedang dijalani. Ada perasaan penyesalan karena masa-masa bermain hilang begitu saja. Hal itu semua disebabkan masa kecil yang belum habis dan terlewati namun tanpa sadar sudah memasuki kehidupan yang penuh tantangan. Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang cukup umur) (wawancara pada tgl 56-2011) Mungkin juga yah rasa malu dengan omongan tetangga yang sering menanyakan kapan menikah, padahal waktu itu saya baru berumur 18, tua istri, ya namanya di kampung pacaran terlalu lama akan mendapat cemooh. Biasa lah kalu di kampung ya umur seperti kami ini sudah tidak aneh, malah orang tua juga menjodohkan. Padahal kita belum puas dengan masa remaja dan bermain. Sudah menjadi tradisi atau adat menikah pada umur seperti kami ini. Tapi ya kalu istri saya ini sudah cukup umur kira-kira waktu itu sudah berumur 18 tahun. Pernyataan di atas mengisyaratkan bahwa motivasi menikah dini adalah untuk menghindari rasa malu dan cemoohan dari tetangga. Di sini juga tampak ada unsur keterpaksaan karena lingkungan dan tradisi yang sudah mendarah daging. Omongan tetangga inilah yang menggiring muda mudi usia dini melakukan percepatan menikah tanpa mempertimbangkan kondisi kedepan dari sebuah kehidupan rumah tangga.
74
Sebagaimana diutarakan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur) (wawancara pada tgl 6-6-2011) Kadang ya ada bahagia dan ada juga menderitanya, terutama pada saat kekurangan ekonomi, omongan tetangga. Juga kami punya watak sama keras kadang ya terjadi keributan. Kalu dipikir-pikir mungkin karena kami belum siap dan belum matang ya yang terasa lebih banyak menderitanya dari bahagianya. Sering ribut, cekcok masalah sepele, ya juga mudah terhasut omongan tetangga. Ini salah satu pihak kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan mudah percaya tanpa diselediki lebih dahulu.
Menjalani kehidupan rumah tangga tidak mudah, sesekali masalah dan perbedaan paham menjadi pemicu konflik. Manakala usia masing-masing belum matang maka sangat sulit menyikapi persoalan secara arif dan bijaksana. Latar belakang kehidupan dua manusia yang berbeda tidak mudah menyatukan persepsi, dibutuhkan komitmen dan sikap saling mengalah serta mencari persamaan ditengah perbedaan. Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur) (wawancara pada tgl 6-6-2011) Ya, kalau sakit itu kan biasa apalagi namanya juga bayi. Balita itu memang mudah terserang penyakit. Makanan kotor saja bisa sakit, pakaian kotor pun bisa kulitnya merah-merah. Tapi ya memang anak saya sering sakit. Kami juga tidak tahu apa ada pengaruh dari perkawinan umur kami. Tapi rasanya umur ega ada pengaruh, mungkin karena bayi.
75
Wawancara dengan Ibu dan Bapak Arifin (pernikahan antara pria belum cukup umur dengan wanita yang sama-sama belum cukup umur) (wawancara pada tgl 7-6-2011) Mungkin saja pernikahan usia dini ada pengaruh terhadap jumlah kependudukan. Perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukkan. Tetapi kami tidak setuju pernikahan usia dini bisa menimbulkan peledakan penduduk. Toh ada alat kontrasepsi. Peneliti dapat mengambil kesimpulan berdasarkan hasil wawancara dengan para pasangan suami istri yang telah melangsungkan pernikahan dini bahwa pernikahan dini menimbulkan menimbulkan permasalahan dan dampak. 3.3
Solusi terhadap Permasalahan dan Dampak Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar 3.3.1. Preventif Untuk kekacauan
menghindari serta
pernikahan
menciptakan
dini
kerukunan,
dan
menghindari
kedamaian
dan
kesejahteraan abadi, maka kantor urusan agama membuat langkahlangkah preventif yaitu dengan memberikan nasihat dan penerangan kepada para pria dan wanita yang belum pernah menikah, beberapa orang janda yang gagal dalam membina rumah tangga dan pria wanita yang melakukan pernikahan dini. Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang menuturkan; Pembinaan dan nasihat kepada kaum pria dan wanita yang masih sendirian dan ada juga beberapa orang janda. Untuk para janda ini umumnya mereka yang gagal dalam membina rumah tangga (Hasil Wawancara dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA
76
Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 13-6-2011). Adapun waktunya 3 bulan sekali, dan masyarakat menyadari bahwa masih banyak rumah tangga yang berakhir dengan perceraian. Padahal tujuan berumah tangga adalah untuk memperoleh kebahagiaan sebagai hasil rumah tangga yang harmonis. Keterangan ini sebagaimana diutarakan Ibu Ika (wawancara tgl 46-2011) menyatakan: Ya, saya melihat ada tetangga dan kawan dekat saya yang tidak bahagia dalam mengayuh bahtera rumah tangga. Setiap hari sering cekcok tengkar mulut. Saya melihat sendiri dan mendengar mereka ribut karena satu sama lain mengabaikan kewajiban masing-masing. Mereka saling menuntut hak. Dari sini saya merasa perlu tahu bagaimana sih berumah tangga yang islami itu. Keterangan tersebut sejalan dengan penuturan Ibu Ratihningsih (wawancara tgl tgl 4-6-2011) menyatakan: Saya kira penerangan dari KUA, Kiayi dan para sesepuh sangat bermanfaat, sehingga kami tahu tentang cara membangun rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Saya kira semua orang bertujuan yang sama. Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang menuturkan: Penerangan dan nasihat didasarkan atas pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama Islam secara benar dan baik. Oleh karena itu, pembinaan mengenai ekonomi dan kesehatan keluarga pada dasarnya adalah faktor yang tidak dapat dihindari dalam mencegah terjadinya perceraian. Akan tetapi, penerangan dan nasihat memang belum dapat menghasilkan keluarga yang sesuai dengan harapan umat Islam secara keseluruhan, di sana-sini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki (wawancara dilakukan tgl. 13-6-2011).
77
Lebih lanjut Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang mengatakan: Materi yang kita sampaikan pada masyarakat yang paling utama adalah (1) hak dan kewajiban suami istri; (2) pemahaman tentang seks; (3) memperhatikan menu makanan; (4) secara sungguhsungguh melaksanakan hak dan kewajiban (Hasil Wawancara dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang (wawancara dilakukan tgl. 13-6-2011). Pasangan ideal dari kata keluarga adalah bahagia, sehingga idiomnya menjadi keluarga bahagia. Maknanya, tujuan dari setiap orang yang membina rumah tangga adalah mencari kebahagiaan hidup. Hampir seluruh budaya bangsa menempatkan kehidupan keluarga sebagai ukuran kebahagiaan yang sebenarnya. Meski seseorang gagal karirnya di luar rumah, tetapi sukses membangun keluarga yang kokoh dan sejahtera, maka tetaplah ia dipandang sebagai orang yang sukses dan berbahagia. Orang yang sukses di luar rumah, tetapi keluarganya berantakan, maka ia tidak disebut orang yang beruntung, karena betapapun sukses diraih, tetapi kegagalan dalam rumah tangganya akan tercermin di wajahnya, tercermin pula pada pola hidupnya yang tidak bahagia. Karena itulah sangat diperlukan pembinaan, nasihat dan penerangan (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 10-6-2011). Hidup berkeluarga memang merupakan fitrah sosial manusia. Secara psikologis, kehidupan berkeluarga, baik bagi suami, isteri, anakanak, cucu-cicit atau bahkan mertua merupakan pelabuhan perasaan; ketenteraman, kerinduan, keharuan, semangat dan pengorbanan, semuanya berlabuh di lembaga yang bernama keluarga. Secara alamiah, ikatan
78
kekeluargaan memiliki nilai kesucian, oleh karena itu bukan hanya di masyarakat tradisional kesetiaan keluarga dipandang mulia, pada masyarakat liberalpun, kesetiaan keluarga masih menjadi nilai keindahan, meski persemayaman keindahan itu di alam bawah sadar. Dibalik budaya "pergaulan bebas" yang dinikmati masyarakat liberal, tetap saja diakui di alam bawah sadarnya "kebenaran" nilai kesetiaan dalam hidup berkeluarga. Menikah tidak terlalu sulit, tetapi membangun keluarga bahagia bukan sesuatu yang mudah. Pekerjaan membangun, pertama harus didahului dengan adanya gambar yang merupakan konsep dan bangunan yang diinginkan. Gambar bangunan (maket) bisa didiskusikan dan diubah sesuai dengan konsep fikiran yang akan dituangkan dalam wujud bangunan itu. Demikian juga membangun keluarga bahagia, terlebih dahulu orang harus memiliki konsep tentang keluarga bahagia (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011). Banyak kriteria yang disusun orang untuk menggambarkan sebuah keluarga yang bahagia, bergantung ketinggian budaya masing-masing orang, misalnya paling rendah orang mengukur kebahagiaan keluarga dengan tercukupinya sandang, pangan dan papan. Bagi orang yang pendidikannya tinggi atau tingkat sosialnya tinggi, maka konsep sandang bukan sekedar pakaian penutup badan, tetapi juga simbol dari suatu makna. Demikian juga pangan bukan sekedar kenyang atau standar gizi, tetapi ada "selera" non gizi yang menjadi konsepnya. Demikian seterusnya tempat tinggal (papan), kendaraan, perabotan bahkan hiasan, kesemuanya itu bagi orang tertentu mempunyai kandungan makna budaya. Secara
79
sosiologis psikologis, kehadiran anak dalam keluarga juga dipandang sebagai parameter kebahagiaan. Rumah tangga juga demikian, ada konsepnya, isteri bukan sekedar perempuan pasangan tempat tidur dan ibu yang melahirkan anak, suami bukan sekedar lelaki, tetapi ada konsep aktualisasi diri yang berdimensi horizontal dan vertikal. Orang bisa saja menunaikan hajat seksualnya di jalanan, dengan siapa saja, tetapi itu tidak identik dengan kebahagiaan. Hubungan seksual dengan pelacur atau perselingkuhan mungkin bisa memuaskan syahwat dan hawa nafsunya, tetapi tidak pernah melahirkan rasa ketenteraman, ketenangan dan kemantapan psikologis. Berdasarkan hal
itu
nasihat
dan
penerangan
diharapkan
dapat
membangun
keharmonisan keluarga (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Batang Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011). Dalam penuturannya, Ibu Fatonah menyatakan: Memang rumah tangga sekarang 'banyak tantangannya, ya kita harus kuat menghadapinya (wawancara tgl 5-6-2011). Dalam penuturannya Ibu Anisah menyatakan: Ya, kalau saya pikir-pikir problem paling berat membangun keluarga harmonis di tengah masyarakat modern adalah dalam menghadapi penyakit 'manusia modern" yaitu ingin serba instan. Padahal rumah tangga itu harus dibina secara bertahap (wawancara tgl 5-6-2011). Ada tiga lingkaran lingkungan yang membentuk karakter manusia; keluarga, sekolah dan masyarakat. Meski ketiganya saling mempengaruhi,
80
tetapi pendidikan keluarga paling dominan pengaruhnya. Jika suatu rumah tangga berhasil membangun keluarga sakinah, maka peran sekolah dan masyarakat menjadi pelengkap. Jika tidak maka sekolah kurang efektif, dan lingkungan sosial akan sangat dominan dalam mewarnai keluarga. Pada masyarakat modem, pengaruh lingkungan sangat kuat, karena ia bukan saja berada di luar rumah, tetapi menyelusup ke dalam setiap rumah tangga, sehingga menimbulkan penyakit tersendiri, yakni penyakit manusia modern. Menurut Bapak Karta selaku sesepuh menjelaskan: Ya, saya sangat mendukung kemauan anak saya menghadiri pengajian dan penerangan nasihat dari semua pihak. Ya harapan saya tidak terlalu muluk asalkan nanti dalam kehidupan rumah tangga bisa saling pengertian, rukun, damai. Ega sering cekcok. Yang udah-udah kalau saya lihat kenyataan di masa masyarakat banyak pengantin' yang tidak memahami hak dan kewajibannya (wawancara tgl 6-6-2011). M. Hafid Haris selaku pemuda menuturkan: Menurut saya nasihat dan penerangan dari sesepuh, pemerintah dan ustadz sangat baik manfaatnya, terlebih sebagai bekal dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Jadi tahu tentang aturan selaku suami istri karena saya kan belum pernah menikah dan belum pernah mendapat ilmu tentang rumah tangga (wawancara tgl 7-6-2011). 3.3.2. Kuratif Dasar sebuah keluarga dalam Islam adalah ikatan darah dan perkawinan. Perkawinan merupakan kebutuhan fitri setiap manusia yang memberikan banyak hasil yang penting di antaranya untuk membentuk
81
sebuah keluarga. Perkawinan ditujukan untuk selama hidup dan kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang bersangkutan. Dalam kenyataannya terkadang perkawinan tidak mampu dipertahankan dan berakhir dengan perceraian dalam hal ini suami menjatuhkan talak. Islam mengajarkan jika terjadi perpecahan antara suami-istri sehingga timbul permusuhan yang dikhawatirkan mengakibatkan pisah dan hancurnya rumah tangga, maka hendaknya diadakan hakam (wasit) untuk memeriksa perkaranya dan hendaklah hakam ini berusaha mengadakan perdamaian guna kelanggengan kehidupan rumah tangga dan hilangnya perselisihan (Hasil Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 10-6-2011). Islam melarang perceraian yang bisa merobohkan sendi-sendi keluarga dan menyebarkan aib-aibnya, melemahkan kesatuan umat dan membuat perasaan mendendam serta mengkoyak-koyak tabir kehormatan. Itulah sebabnya jika antara suami isteri terdapat pertentangan pendapat dan pertengkaran yang memuncak sehingga kedua belah pihak tidak mungkin dapat mengatasinya dan tidak mungkin pula mendamaikannya sendiri, maka dapat diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak isteri. Kasus krisis rumah tangga yang memuncak ini dalam istilah fiqh disebut syiqaq (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).
82
Syiqaq
mengandung
arti
pertengkaran,
kata
ini
biasanya
dihubungkan kepada suami istri sehingga berarti pertengkaran yang terjadi antara suami istri yang tidak dapat diselesaikan sendiri oleh keduanya. Syiqaq ini timbul bila suami atau istri atau keduanya tidak melaksanakan kewajiban yang mesti dipikulnya. Bila terjadi konflik keluarga seperti ini, Allah SWT.,
memberi petunjuk untuk menyelesaikannya (Hasil
Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011). Yang dimaksud dengan hakam adalah seorang bijak yang dapat menjadi penengah dalam menghadapi konflik keluarga tersebut. Apabila terdapat perbedaan watak yang amat sukar dipertemukan, masing-masing bertahan dan tidak ada yang bersedia mengalah sama sekali, titik temu benar-benar jarang diperoleh sehingga kehidupan dalam rumah tangga ada saja gangguan ketenteramannya dan ketegangan tidak kunjung reda. Ada pula yang disebabkan hanya satu pihak, pihak suami misalnya seorang pria tidak bertanggung jawab sebagai pelindung, bertindak semena-mena hanya mau menang sendiri yang melekat di dalam pikirannya sehingga perlu dinasihati tetapi nasihat orang tidak didengar. Suasana rumah tangga demikian tentu menekan istri, dan sampai batas tertentu beban tekanan itu tidak kuat lagi ditanggung pihak istri. Atau sebaliknya, penyebab syiqaq justru datang dari pihak istri yang nusyuz (durhaka) yang sekalipun diupayakan perbaikannya melalui tahapan yang diajarkan al-Qur'an yaitu diberi nasihat, tidak berhasil lalu dipisahkan
83
tempat tidur, tidak berhasil lagi dipukul sebagai pengajaran tidak berhasil juga (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-62011). Fungsi atau tugas kedua hakam ini adalah menyelidiki dan mencari hakikat permasalahan yang menimbulkan krisis itu, mencari sebab musabab yang menimbulkan persengketaan, kemudian berusaha sedapat mungkin mendamaikan kembali kedua suami isteri itu. Apabila masalah ini tidak mungkin untuk didamaikan, maka kedua hakam berhak mengambil inisiatif untuk menceraikannya. Atas prakarsa kedua hakam ini mereka mengajukan permasalahannya kepada hakim dan hakim memutuskan dan menetapkan perceraian tersebut. Perceraian dengan kasus syiqaq ini bersifat ba'in, artinya suami istri tersebut hanya dapat kembali melalui akad nikah yang baru (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011). Penunjukan hakam dari kedua belah pihak ini diharapkan dapat mengadakan
perdamaian
dan
perbaikan
untuk
menyelesaikan
persengketaan di antara dua belah pihak suami dan istri. Apabila karena sesuatu hal, hakam yang ditunjuk tidak dapat melaksanakan tugasnya, dicoba lagi dengan menunjuk hakam lainnya, Dalam hal ini, di Indonesia dikenal sebuah Badan Penasihat Perkawinan dan Penyelesaian Perceraian (BP4) yang tugas dan fungsinya menjalankan tugas hakam (arbitrator)
84
untuk mendamaikan suami-istri yang bersengketa, atau dalam hal-hal tertentu memberi nasihat calon suami istri yang merencanakan perkawinan. (Hasil Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, wawancara dilakukan tgl. 12-6-2011).
85
BAB IV PERNIKAHAN DINI: PERMASALAHAN DAN DAMPAKNYA
4.1 Analisis Dakwah terhadap Praktek Pernikahan Dini Berdasarkan
hasil
penelitian
dan
keterangan/pengakuan
para
responden bahwa pada intinya pernikahan dini akhirnya menimbulkan perasaan tidak puas dengan kehidupan yang sedang dijalani. Ada perasaan penyesalan karena masa-masa bermain hilang begitu saja. Hal itu semua disebabkan masa kecil yang belum habis dan terlewati namun tanpa sadar sudah memasuki kehidupan yang penuh tantangan. Alasan bercerai yang dikemukakan para responden adalah persoalan kekurangan ekonomi sehingga dihimpit utang dengan warung. Demikian pula ketidak mampuan suami memberi uang jajan pada anak-anak menjadi dorong kuat bagi istri untuk memilih bercerai. Persoalan ekonomi ini yang menjadi pemicu perceraian. Suami sudah berupaya maksimal untuk menafkahi keluarga. Namun pekerjaan yang sulit dan persaingan yang ketat membuat mereka tidak berdaya hidup dalam kelayakan. Jika memperhatikan penuturan para responden menunjukkan bahwa perceraian disebabkan oleh himpitan faktor ekonomi. Mereka kurang tabah menghadapi masalah ekonomi yang sebetulnya tidak perlu sampai bercerai. Selain itu, penyebab perceraian adalah dipicu oleh masuknya campur tangan mertua dan suami selingkuh.
86
Motivasi menikah dini adalah untuk menghindari rasa malu dan cemoohan dari tetangga. Di sini juga tampak ada unsur keterpaksaan karena lingkungan dan tradisi yang sudah mendarah daging. Omongan tetangga inilah yang menggiring muda mudi usia dini melakukan percepatan menikah tanpa mempertimbangkan kondisi kedepan dari sebuah kehidupan rumah tangga. Adapun rumah tangga yang masih utuh dari pernikahan dini, mereka hidup harmonis seperti layaknya rumah tangga yang sudah matang dan dewasa. Sebabnya harmonis adalah karena mereka sering mendapat penerangan dari petugas Kantor Urusan agama, demikian pula mereka mengakui sering menghadiri pengajian dan saat itu mendapat nasihat dari kiyai dan para sesepuh. Mereka berusaha mencurahkan masalah yang membelit rumah tangga pada kiyai dan para sesepuh untuk dicarikan jalan keluar pemecahannya. Menjalani kehidupan rumah tangga tidak mudah, sesekali masalah dan perbedaan paham menjadi pemicu konflik. Manakala usia masing-masing belum matang maka sangat sulit menyikapi persoalan secara arif dan bijaksana. Latar belakang kehidupan dua manusia yang berbeda tidak mudah menyatukan persepsi, dibutuhkan komitmen dan sikap saling mengalah serta mencari persamaan ditengah perbedaan. Dari sini menjadi isyarat bagi seorang da'i untuk menyikapi dan mencermati materi dakwah yang hendak disampaikan, apakah sesuai dengan kebutuhan mad'u dan apakah relevan dengan sejumlah masalah yang dihadapi mad'u. Pengembangan materi dakwah tidak melulu hanya seputar hubungan
87
vertikal antara manusia dengan Tuhan, namun masalah yang menyangkut aspek sosiologis menyangkut fenomena sosial, khususnya masalah pernikahan dini yang membelit desa Kluwih menjadi tantangan sekaligus masalah yang harus dipecahkan. Dakwah yang mengandung pesan dan mengajak mad'u ke jalan yang benar, sangat berhubungan dengan praktek pernikahan dini di desa Kluwih. Menjadi tugas seorang da'i untuk menjelaskan dan mendeskripsikan sejumlah dampak pernikahan dini. Bagi yang sudah terlanjur menikah maka seorang da'i memiliki peran untuk menerangkan tentang hak dan kewajiban suami istri dengan sejumlah masalah dan riak gelombang kehidupan rumah tangga. Mad'u diberi pesan-pesan tentang bagaimana masyarakat tersebut mengatasi konflik rumah tangga secara arif dan bijaksana. Sejalan dengan keterangan di atas bahwa untuk menghentikan setidaknya mengurangi frekuensi pernikahan dini, maka seorang da'i sangar berperan memberi solusi terhadap praktek pernikahan dini di desa Kluwih. Pernikahan
dini
menimbulkan
permasalahan
dan
dampak.
Permasalahannya: a. Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. Dampaknya yaitu pernikahan hanya membawa penderitaan. b. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dampaknya yaitu anak rentang dengan penyakit.
88
c. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju pertumbuhan penduduk sangat cepat.
Dampak Nikah Usia Dini
Dampak terhadap Tujuan Nikah
Dampak terhadap kualitas keturunan
Dampak terhadap Kependudukan
1. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Tujuan Pernikahan Pernikahan dapat diibaratkan sebagai kontrak yang suci dan merupakan tiang utama pembentukan suatu keluarga yang baik. Begitu pentingnya lembaga ini, maka ada sejumlah aturan dan tindakan untuk mengokohkan rumah tangga yang dibentuk itu. Sebagian dari tindakan itu wajib diusahakan sejak pra pernikahan, sebagian lagi ada yang mesti dijaga sejak selesainya akad nikah guna memudahkan jalan bagi suami isteri untuk membina rumah tangga, sedangkan tindakan lain yang mesti diusahakan ialah tatkala adanya gangguan dan goncangan terhadap rumah tangga itu (Rofiq, 1997: 76). Persoalan kehidupan rumah tangga pra pernikahan, misalnya berupa pertanyaan: apakah kita akan dapat mewujudkan rumah tangga yang bahagia? Barangkali semua orang akan mengatakan bahwa masalah pernikahan bukanlah persoalan yang enteng, dan tidak semua orang dapat mengarunginya dengan sukses. Orang yang sudah dewasa, fisik dan
89
mental, belum tentu bisa membina dan mendirikan rumah tangga secara sempurna, apalagi orang muda yang belum dewasa (Rofiq, 1997: 76).. Secara rasional dapat disimpulkan bahwa masalah kedewasaan merupakan persoalan penting yang mempunyai pengaruh tidak kecil terhadap keberhasilan rumah tangga. Memang, pada dasarnya Islam tidak pernah mensyaratkan sahnya suatu pernikahan karena kedewasaan pihakpihak yang akan menikah. Artinya, suatu pernikahan tetap menjadi sah apabila rukun dan syaratnya terpenuhi, tanpa mengharuskan usia kedewasaan calon suami isteri. Tidak adanya persyaratan kedewasaan suami isteri itu merupakan kemudahan yang diberikan oleh agama, karena ada segi-segi positif lain yang ingin dituju. Akan tetapi, karena persoalan pernikahan bukanlah hal yang sederhana, maka agama mensyaratkan adanya beberapa rukun dan syarat guna menumbuhkan rasa tanggung jawab(Amini, 1999: 17). Apabila didasarkan kepada ilmu jiwa, maka tampak sekali tidak sempurnanya suatu tanggung jawab untuk membina rumah tangga bila hanya mengandalkan rasa cinta semata-mata. Cinta memang merupakan modal untuk membina rumah tangga, namun cinta yang baik bukan hanya sekadar cinta emosi, tetapi cinta yang diikuti oleh rasa tanggung jawab untuk mengembangkan diri, yaitu diri pribadi dikembangluaskan kepada diri yang lain sehingga pasangan hidupnya dipandang sebagai bagian dari dirinya sendiri. Hal itu hanya bisa terwujud dalam diri orang yang memiliki kedewasaan (Amini, 1999: 17).
90
Persoalan lain yang sangat perlu diperhatikan ialah kehidupan rumah tangga setelah akad nikah. Rasanya cukup sulit untuk mewujudkan suatu kehidupan rumah tangga yang baik tanpa dibarengi oleh kedewasaan bertindak dari suami isteri. Tanpa kedewasaan, persoalan hidup berumah tangga tidak jarang malah membangkitkan emosi yang sulit dikendalikan. Masalah nafkah, misalnya, baik untuk isteri maupun anak-anak, bisa terabaikan bila tidak didasari oleh kesadaran yang tinggi. Betapa sulitnya pembinaan dan pendidikan anak-anak tanpa didasari oleh kematangan suami isteri. Lebih jauh lagi, dapat dibayangkan betapa sulitnya kehidupan suami isteri yang belum dewasa itu bila rumah tangga mereka digoncang oleh perbedaan pendapat (Hamid, 1978: 1). Disebabkan belum adanya kematangan suami isteri, aturan-aturan agama yang memberikan pedoman untuk mengatasi perbedaan pendapat dalam rumah tangga sering dikalahkan oleh emosi yang tidak terkontrol. Oleh karena itu, bubarnya kehidupan rumah tangga melalui perceraian sangat mudah menggoda suami isteri yang tidak mampu mengendalikan emosi serta yang tidak mempunyai pandangan jauh kedepan. Pendek kata, tujuan dan hikmah pernikahan sangat sulit terwujud apabila para pengayuh bahtera kehidupan rumah tangga itu belum memiliki kedewasaan. Dengan demikian, maka kedewasaan merupakan salah satu faktor yang turut menentukan berhasil atau tidaknya suatu rumah tangga(Hamid, 1978: 1).
91
Dari definisi pernikahan menurut pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang pernikahan maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pernikahan menurut undang-undang tersebut adalah bahwa pernikahan bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Ramulyo, 1999: 28). Akad nikah adalah wujud nyata perikatan antara seorang pria yang menjadi suami, dengan seorang wanita yang menjadi istri, dilakukan di depan dua orang saksi paling sedikit dengan menggunakan sigat ijab dan qabul, ijab diucapkan pihak wanita yang dalam pelaksanaannya oleh wali dan qabul diucapkan pihak pria. Dengan demikian menurut mazhab Syafi'i seperti telah disebutkan unsur nikah ada lima yaitu: (1) Calon mempelai lelaki, (2) Calon mempelai perempuan, (3) Wali (4) Dua orang saksi dan (5) ijab qabul. Dengan yang disebutkan dalam Pasal 14 Kompilasi, unsur nikah juga sama ada lima seperti itu (Ramulyo, 1999: 28). Calon mempelai lelaki dan perempuan dalam kebanyakan akad, maka pihak yang melakukan akad itu disyaratkan mempunyai sifat kemampuan bertindak secara hukum yang sempurna yaitu telah dewasa, berakal sehat, dan tidak overmacht (dalam keadaan terpaksa). Demikian juga dalam akad nikah pihak yang melakukan akadnya sebagai unsur pertama dan kedua, mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya harus mempunyai kemampuan bertindak secara hukum yang sempurna. Jadi anak yang belum dapat membedakan yang baik dan buruk atau orang yang menderita sakit ingatan, tidak sah melakukan akad nikah sendiri.
92
Anak yang sudah tamyiz (mampu membedakan yang baik dan buruk) tetapi belum dewasa dipandang tidak sempurna kecakapannya sehingga apabila hendak melakukan akad nikah wajib dengan izin walinya. Adapun mempelai perempuan selamanya dianggap tidak cakap melakukan akad nikah sendiri tetapi dilakukan oleh walinya (Ramulyo, 1999: 28). Pada suatu sisi, Undang-undang Perkawinan telah mengatur kedewasaan dan kecakapannya mempelai lelaki dan mempelai perempuan untuk melakukan akad nikahnya dengan aturan batasan umur memakai angka yang tegas kapan mereka dipandang sudah dewasa sehingga cakap melakukannya. Sisi ini mendasarkan kepada kemaslahatan agar tujuan pernikahan membentuk rumah tangga bahagia bisa dicapai. Sekalipun dalam sejarah di masa Rasulullah SAW., dan Abu Bakar terjadi pernikahan kanak-kanak, tetapi perlu sekali diperhatikan bahwa pada saat itu kemaslahatan agar tujuan pernikahan tercapai dijamin dalam figur wali yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan menciptakan tujuan rumah tangga yang benar (Kuzari, 1995: 35). Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa "pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi
pasal
15
ayat
(1)
didasarkan
kepada
pertimbangan
kemaslahatan keluarga dan rumah tangga pernikahan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Pernikahan, bahwa calon suami isteri harus
93
telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan pernikahan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya pernikahan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur (Kuzari, 1995: 35). 2. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Kualitas Keturunan Akibat pernikahan muda, dapat dilihat pada catatan dibawah ini yaitu sekitar tahun 2008. Menurut penyelidikan para ahli di Indonesia ada kurang lebih 35.000 orang ibu-ibu tiap tahun yang meninggal di waktu melahirkan anak dan tak kurang pula 600.000 anak-anak yang meninggal dunia akibat kurang terpeliharanya kaum ibu dan anak tadi, dan sebagian besar disebabkan orangnya kawin di waktu masih muda dan sampai sekarang angka kematian itu masih tetap tinggi (Dahlan, 2009: 81) Dapatlah digambarkan keadaan rumah tangga yang ditinggalkan jika sang ibu meninggal dunia. Sedang ibu bercita-cita untuk keluarganya, untuk membimbing anaknya, sedang kecintaan suami isteri diliputi oleh bahagia rukun dan damai, tiba-tiba sang isteri meninggalkan semuanya itu kocar-kacirlah rumah tangga, robohlah mahligai cita-cita sang suami dan terbengkalailah keluarga dan anak-anak yang ditinggal (Dahlan, 2009: 81). Kawin di bawah umur, mudah dihinggapi bahaya, anaknya gugur, lemah atau meninggal dan tak jarang pula sang ibu muda itu yang menjadi korban. Gadis yang masih muda penuh cita-cita untuk hari depan, belum pada waktunya dibebani kewajiban-kewajiban berat, dilepas dari asuhan
94
orang tua, diserahi mengurus rumah tangga, bahkan lebih berat lagi, dengan segala anggota tubuh yang masih muda, dengan alat kandungan yang belum cukup matang, ia harus memelihara manusia baru dalam badannya. Maka tidak heran jika karena itu banyak terjadi kekecewaan. Badan yang sedang tumbuh masih membutuhkan perkembanganperkembangan dalam tubuhnya, tidak diberi kesempatan lebih dahulu untuk bersiap-siap, sudah dibebani dengan beban lain yang maha berat (Dahlan, 2009: 81). Mengingat hal-hal tersebut tadi, rasanya cukup jelas bahwa untuk kawin diperlukan umur cukup. Terlalu muda membahayakan, terlalu tuapun menyebabkan luput kegairahan zaman muda. Indonesia menghendaki rakyat kuat sehat, penuh gairah untuk hari depan. Hanya rakyat yang cukup sempurna kepribadiannya, cukup kuat rohani dan jasmaninya dapat memikul tanggung jawab negara, buat keselamatan bangsa dan masyarakatnya. Agama Islam pun tidak menyukai pemeluknya lemah tidak berdaya, tetapi Islam menghendaki muslimin dan muslimat sehat kuat, sempurna lahir batin cakap dan mampu mengabdi kepada Tuhan dan berbakti kepada masyarakat. Rakyat yang kuat sehat dan sempurna lahir batinnya tidak akan diperdapat jika ia dilahirkan dari ibu-ibu lemah. Hanya dari ibu-ibu kuat dan sehat akan lahir rakyat yang sehat kuat pula (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80). Berdasarkan analisis di atas dapat disimpulkan bahwa 1. Pernikahan di bawah umur membahayakan kesehatan ibu dan anak.
95
2. Membahayakan pertumbuhan tubuh yang belum cukup matang untuk memikul akibat-akibat pernikahan, yaitu hamil dan bersalin. 3. Tak kurang pula bahayanya bagi anak-anak yang lahir dari kandungan ibu muda itu (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80). 3. Dampak Pernikahan Usia Dini terhadap Kependudukan Faktor kedewasaan merupakan kondisi yang amat penting, kendatipun tidak termasuk ke dalam rukun dan syarat nikah. Bila diteliti secara seksama, ajaran Islam tidak pernah memberikan batasan yang definitif pada usia berapa seseorang dianggap dewasa. Berdasarkan ilmu pengetahuan, memang setiap daerah dan zaman memiliki kelainan dengan daerah dan zaman yang lain, yang sangat berpengaruh terhadap cepat atau lambatnya usia kedewasaan seseorang (Saleh, 1982: 26). .Di sisi lain, masalah pernikahan merupakan urusan hubungan antar manusia (mu'amalah) yang oleh agama hanya diatur dalam bentuk prinsip-prinsip umum. Tidak adanya ketentuan agama tentang batas usia minimal dan maksimal untuk menikah dapat dianggap sebagai suatu rahmat. Maka, kedewasaan untuk menikah termasuk masalah ijtihadiah, dalam arti kata diberi kesempatan untuk berijtihad pada usia berapa seseorang pantas menikah (Saleh, 1982: 26). Nabi Muhammad SAW melangsungkan akad nikah dengan A'isyah ketika ia baru berusia enam tahun, dan dalam umur sembilan tahun telah digaulinya. Hal ini diakui sendiri oleh A'isyah umm almu'minin dalam hadis:
96
Pv )%8# Iv %"B( nYiR ( 8 iYQ¤ nYiR 8 O -;Y_F V&( ) %& )V& V&X Z Y Y V # - )V& Ot3 :
o '
&E # ( Y ( (3 z3) Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Muhmamad bin Yusuf dari Sufyan dari Hisyam dari bapaknya dari A'isyah ra, bahwa Nabi s.a.w. telah menikahinya ketika ia berusia enam tahun, dan Rasulullah telah menggaulinya ketika dia berusia sembilan tahun dan saya berumah tangga dengannya selama sembilan tahun. (HR. Bukhari) (al-Bukhâry, III, 1410 H/1990 M: 264). Hadis ini hanyalah bersifat khabariyah (kabar) belaka tentang pernikahan Nabi. Di dalamnya tidak dijumpai khithab (pernyataan), baik serupa khithab al-talab yang mesti diikuti atau pun khithab al-tark supaya ditinggalkan. Karena itu, pernyataan usia yang ada dalam hadis di atas tidak dapat disimpulkan sebagai pernyataan batas usia terendah kebolehan melangsungkan pernikahan bagi kaum wanita (Rofiq, 1997: 78). Batas usia untuk menikah bagi kaum pria juga tidak ada ketentuannya. Adanya seruan Nabi kepada kaum pemuda yang mampu melakukan pernikahan supaya menikah bukanlah suatu kemestian pembatasan usia, seperti hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Abdullah bin Mas'ud. Kendati pun, al-syabab, jamak dari syabb, berarti pemuda yang berusia sebelum 30 tahun (Rofiq, 1997: 78). Menurut para ulama, masalah usia dalam pernikahan sangat erat hubungannya dengan kecakapan bertindak. Hal ini tentu dapat dimengerti karena pernikahan merupakan perbuatan hukum yang meminta tanggung
97
jawab dan dibebani kewajiban-kewajiban tertentu. Maka, setiap orang yang akan berumah tangga diminta kemampuannya secara utuh (Rofiq, 1997: 78).. Menurut bahasa Arab, "kemampuan" disebut ahlun yang berarti "layak, pantas". Para ulama selalu mendefinisikan kemampuan itu dengan shalahiyyatuhu liwujud al-huquq al-masyru 'ah lahu wa 'alaih, yaitu kepantasan seseorang untuk menerima hak-hak dan memenuhi kewajibankewajiban yang diberikan syarak (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996: 81). Kepantasan di sini berkaitan dengan ahliyah al-wujud (kemampuan untuk mempunyai dan menanggung hak), sedangkan kepantasan bertindak menyangkut kepantasan seseorang untuk dapat berbuat hukum secara utuh, yang dalam istilah fiqih disebut ahliyah al-ada' (kemampuan untuk melahirkan kewajiban atas dirinya dan hak untuk orang lain). Oleh ulama Ushul Fiqih kecakapan bertindak itu didefinisikan sebagai:
0 )8 i=: ); & ) 9:B 3i )=Y%RmX Artinya: Kepatutan seseorang untuk timbulnya suatu perbuatan (tindakan) dari dirinya menurut cara yang ditetapkan syarak (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996: 82). . Menurut kesepakatan para ulama, yang menjadi dasar kecakapan bertindak adalah akal. Apabila akal seseorang masih kurang, maka ia belum dibebani kewajiban. Sebaliknya, jika akalnya telah sempurna, ia wajib menunaikan beban tugas yang dipikulkan kepadanya. Berdasarkan hal ini, maka kecakapan bertindak ada yang bersifat terbatas (ahliyah al-ada' alnuqshan) dan ada pula yang bersifat sempurna (ahliyah al-ada' al-kamilah).
98
Kalau keterangan dan pembagian ini dihubungkan dengan pernikahan, maka timbul pertanyaan: usia berapakah seseorang dipandang cakap untuk membangun rumah tangga? Sebelum menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu diperhatikan firman Allah dalam surat al-Nisa' ayat 6:
?i 3 - C =<
G " j, ¥ C ".&8 N =R =%" "&=8 (¦ :/<) - # - % ":, , Artinya: Dan ujilah anak-anak yatim itu olehmu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian, jika menurut penilaianmu mereka telah cerdas maka serahkanlah harta bendanya kepada mereka (QS. al-Nisa': 6). Pada dasarnya ayat ini berisi anjuran supaya memperhatikan anak yatim tentang keagamaannya, usaha-usahanya dan kelakuannya sehingga mereka dapat dipercaya. Orang yang telah dapat dipercaya secara sempurna berarti telah dapat diberi tanggungjawab secara penuh, atau dengan kata lain, orang itu telah dewasa. Ketika menafsirkan ayat di atas, Muhammad Rasyid Ridha mengatakan bahwa bulugh al-nikah berarti sampainya seseorang kepada umur untuk menikah, yakni sampai bermimpi. Pada umur ini, katanya, seseorang telah bisa melahirkan anak dan menurunkan keturunan, sehingga tergerak hatinya untuk nikah. Pada umur ini kepadanya telah dibebankan hukumhukum agama, seperti ibadah dan muamalah serta diterapkannya hudud. Karena itu maka rusyd adalah kepantasan seseorang dalam ber-tasharruf serta mendatangkan kebaikan. Hal mi merupakan bukti kesempurnaan akalnya. Menurut ulama Syafi'iyah, rusyd-nya anak kecil ialah apabila telah tampak
99
kebaikan tindakannya dalam soal beragama dan harta benda (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83). Berdasarkan uraian di atas, maka kedewasaan di tentukan dengan "mimpi" dan "rusyd". Akan tetapi umur mimpi dan rusyd kadang-kadang tidak sama dan sukar ditentukan. Seseorang yang telah bermimpi adakalanya belum rusyd dalam tindakannya. Hal ini dapat dibuktikan dalam perbuatan seharihari. Karena itu, kedewasaan pada dasarnya dapat ditentukan dengan umur dan dapat pula dengan tanda-tanda. Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan dikemukakan beberapa pendapat para ahli, sebagai berikut: b
Menentukan kedewasaan anak-anak dengan tanda-tanda ialah dengan datangnya masa haid, kerasnya suara, tumbuhnya bulu ketiak, atau tumbuhnya bulu kasar di sekitar kemaluan.
c
Menentukan kedewasaan dengan umur, terdapat berbagai pendapat, antara lain: a. Ulama Syafi'iyah dan Hanabilah menentukan bahwa masa dewasa itu mulai umur 15 tahun. Walaupun mereka dapat menerima kedewasaan dengan tanda-tanda, seperti di atas, tetapi karena tanda-tanda itu datangnya tidak sama untuk semua orang, maka kedewasaan ditentukan dengan umur. Disamakannya masa kedewasaan untuk pria dan wanita adalah karena kedewasaan itu ditentukan dengan akal. Dengan akallah terjadinya taklif, dan karena akal pulalah adanya hukum (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83).
100
b. Abu Hanifah berpendapat bahwa kedewasaan itu datangnya mulai usia 19 tahun bagi laki-laki dan 17 tahun bagi wanita. Sedangkan Imam Malik menetapkan 18 tahun, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka beralasan dengan "ketentuan dewasa menurut syarak ialah mimpi", karenanya mendasarkan hukum kepada mimpi itu saja. Mimpi tidak diharapkan lagi datangnya bila usia telah 18 tahun. Umum antara 15 sampai 18 tahun masih diharapkan datangnya. Karena itu ditetapkanlah bahwa umur dewasa itu pada usia 18 tahun (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83). c. Yusuf Musa mengatakan bahwa usia dewasa itu setelah seseorang berumur 21 tahun. Hal ini dikarenakan pada zaman modern orang memerlukan persiapan yang matang, sebab mereka masih kurang pengalaman hidup dan masih dalam proses belajar. Namun demikian kepada mereka sudah dapat diberikan beberapa urusan sejak usia 18 tahun (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 84). d. Sarlito Wirawan Sarwono melihat bahwa usia kedewasaan untuk siapnya
seseorang
memasuki
hidup
berumah
tangga
harus
diperpanjang menjadi 20 tahun untuk wanita dan 25 tahun bagi pria. Hal ini diperlukan karena zaman modern menuntut untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari kerusakan, baik dari segi kesehatan maupun tanggungjawab sosial. e. Marc Hendry Frank mengatakan bahwa pernikahan sebaiknya dilakukan antara usia 20 sampai 25 tahun bagi wanita, dan antara 25
101
sampai 30 tahun bagi laki-laki. Tinjauan ini juga berdasarkan atas pertimbangan kesehatan (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 84). f. Para ahli Ilmu Jiwa Agama menilai bahwa kematangan beragama pada seseorang tidak terjadi sebelum usia 25 tahun (Yanggo dan Hafiz Anshari H.Z. (Ed), 1996: 83-84) Perbedaan pendapat yang tidak terlalu tajam di atas menunjukkan bahwa berbagai faktor ikut menentukan cepat atau lambatnya seseorang mencapai usia kedewasaan, terutama kedewasaan untuk berkeluarga. Menurut kondisi Indonesia sekarang, usia yang tepat bagi seseorang untuk nikah ialah sekurang-kurangnya umur 20 tahun bagi perempuan dan 25 tahun bagi pria. Mengapa demikian? Sebab, sebelum usia tersebut calon suami isteri perlu mempersiapkan diri sebaik mungkin, sehingga pada usia itu seseorang telah matang jasmaninya, sempurna akalnya, dan dapat diterima sebagai anggota masyarakat secara utuh. Perlu dicatat, bahwa angka-angka usia di atas tidaklah selalu cocok untuk setiap wilayah di dunia ini. Setiap wilayah dapat saja menentukan usia kedewasaan untuk menikah sesuai dengan masa dan kondisi yang ada. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Ternyata bahwa batas umur yang rendah bagi seorang wanita untuk kawin, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita (Penjelasan umum UU Pernikahan, nomor 4 huruf d).
102
Masalah penentuan umur dalam UU Pernikahan maupun dalam kompilasi, memang bersifat ijtihadiyah, sebagai usaha pembaharuan pemikiran fiqh yang lalu. Namun demikian, apabila dilacak referensi syar'inya mempunyai landasan kuat. Misalnya isyarat Allah dalam surat al-Nisa', 4:9:
- % & ",E ?,:t P? 3C N - B &" E "0 F d*
%" ( :/<) ?i i( ]? U "1%" ) &V 1=%&" , Artinya: Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertaqwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.(QS. an-Nisa’: 9). Ayat tersebut memang bersifat umum, tidak secara langsung menunjukkan bahwa pernikahan yang dilakukan oleh pasangan usia muda di bawah ketentuan yang diatur UU No. 1 Tahun 1974 akan menghasilkan keturunan yang dikhawatirkan kesejahteraannya. Akan tetapi berdasarkan pengamatan
berbagai
pihak,
rendahnya
usia
kawin,
lebih
banyak
menimbulkan hal-hal yang tidak sejalan dengan misi dan tujuan pernikahan, yaitu terwujudnya ketenteraman dalam rumah tangga berdasarkan kasih dan sayang. Tujuan ini tentu akan sulit terwujud, apabila masing-masing mempelai belum masak jiwa dan raganya. Kematangan dan integritas pribadi yang stabil akan sangat berpengaruh di dalam menyelesaikan setiap problem yang muncul dalam menghadapi liku-liku dan badai rumah tangga. Banyak kasus menunjukkan, seperti di wilayah Pengadilan Agama di Jawa Tengah, menunjukkan bahwa banyaknya perceraian cenderung didominasi karena akibat kawin dalam usia muda (Hamid, 1978: 3)
103
. Secara metodologis, langkah penentuan usia kawin didasarkan kepada metode maslahat mursalah (Djatnika, 1991: 251). Namun demikian karena sifatnya yang ijtihady, yang kebenarannya relatif, ketentuan tersebut tidak bersifat kaku. Artinya, apabila karena sesuatu dan lain hal pernikahan dari mereka yang usianya di bawah 21 tahun atau sekurang-kurangnya 19 tahun untuk pria dan 16 tahun untuk wanita undang-undang tetap memberi jalan keluar. Pasal 7 ayat (2) menegaskan: "Dalam hal penyimpangan terhadap ayat (1) pasal ini dapat meminta dispensasi kepada pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita". Dalam hal ini Undang-undang Pernikahan tidak konsisten, Di satu sisi, pasal 6 ayat (2) menegaskan bahwa untuk melangsungkan pernikahan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua, di sisi lain pasal 7 (1) menyebutkan pernikahan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun, dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Bedanya, 12 jika kurang dari 21 tahun, yang diperlukan izin orang tua, dan jika kurang dari 19 tahun, perlu izin pengadilan. Ini dikuatkan pasal 15 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam. Apabila coba dibandingkan dengan batasan umur calon mempelai di beberapa negara muslim, Indonesia secara definitif belum yang tertinggi.
104
Negara Aljazair Bangladesh Mesir Indonesia Irak Jordania Libanon Libya Malaysia Maroko Yaman Utara Pakistan Somalia Yaman Selatan Suriah Tunisia Turki
Laki-Laki
Perempuan 21 21 18 19 18 16 18 18 18 18 15 18 18 18 18 19 17 15 Sumber (Rofik, 2009: 79)
18 18 16 16 18 15 17 16 16 15 15 16 18 16 17 17
Penentuan batas umur, masing-masing negara tentu memiliki pertimbangannya sendiri. Pertimbangan problem kependudukan, seperti diungkapkan dalam penjelasan Undang-undang Pernikahan, turut mempengaruhi perumusan batas umur calon mempelai tersebut. Ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat, sejalan dengan tujuan hukum Islam itu sendiri. Lebih lanjut, Djatnika mengatakan "kesemuanya itu mengandung masalah ijtihadiyah yang diselesaikan dengan ijtihad (ulama Indonesia) dengan menggunakan metode-metode istislah, istihsan, dan al'urf dan lain-lain metode istidlal dengan tujuan jalb al-masalih wadar'al-mafasid (memperoleh kebaikan dan menghindari kerusakan). Masalah kematangan fisik dan jiwa seseorang dalam konsep Islam, tampaknya lebih ditonjolkan pada aspek yang pertama, yaitu fisik. Hal ini
105
dapat dilihat misalnya dalam pembebanan hukum (taklif) bagi seseorang, yang dalam term teknis disebut mukallaf (dianggap mampu menanggung beban hukum). Dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW. mengatakan:
Pv ( !" %08 J QR *B niR =R l J &n &1" ' ,3 TU &*( ) % & )*& *&X OC z3) 91: =R
Q " &=
=R OC 1% =<
(i Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Affan dari Hammad dari Ibrahim dari al-Aswad dari 'Aisyah dari Nabi Saw bersabda: hukum itu tidak bisa dibebankan kepada tiga orang, yaitu: 1). Orang tidur sehingga ia bangun 2). Anak kecil sehingga ia dewasa, dan 3). Orang gila sehingga ia sadar. (HR. Ahmad) (CD program Mausu'ah Hadis alSyarif, 1991-1997, VCR II, Global Islamic Software Company).
Menurut isyarat hadis tersebut, kematangan seseorang dilihat pada gejala kematangan seksualitasnya, yaitu keluar mani bagi laki-laki dan menstruasi (haid) bagi perempuan. Dari segi umur, kematangan ini, masingmasing orang berbeda-beda saat datangnya. Namun demikian, hadis ini setidaknya dapat memberi gambaran, bahwa pada umumnya pada usia 15 tahun (Rofik, 2009: 81). Memperhatikan kedua hadis di atas, dapat diambil pemahaman bahwa batas usia 15 tahun sebagai awal masa kedewasaan bagi anak laki-laki. Karena biasanya pada usia tersebut anak laki-laki telah mengeluarkan air mani melalui mimpinya. Adapun bagi perempuan, 9 (sembilan) tahun — untuk daerah seperti Madinah — telah dianggap memiliki kedewasaan.
106
Dalam kitab Kasyifah al-Saja dijelaskan: "Tanda-tanda dewasanya (baligh) seseorang itu ada tiga, yaitu sempurnanya umur 15 tahun bagi pria dan wanita, bermimpi (keluar mani) bagi laki-laki dan perempuan pada usia sembilan tahun, dan haid (menstruasi) bagi wanita usia 9 (sembilan) tahun", Ini dapat dikaitkan juga dengan perintah Rasulullah SAW. kepada kaum muslimin agar mendidik anaknya menjalankan shalat pada saat berusia tujuh tahun, dan memukulnya pada usia sepuluh tahun, apabila si anak enggan menjalankan shalat. Adanya konsesi bagi calon mempelai yang kurang dan sembilan belas tahun, atau enam belas tahun bagi wanita, boleh jadi didasarkan kepada nash hadis di atas. Kendatipun kebolehan tersebut harus dilampiri izin dari pejabat untuk itu. Ini menunjukkan bahwa penanaman konsep pembaharuan hukum Islam yang memang bersifat ijtihadi, diperlukan waktu dan usaha terusmenerus. Ini dimaksudkan, pendekatan konsep maslahat mursalah dalam Hukum Islam di Indonesia, memerlukan waktu agar masyarakat sebagai subyek hukum dapat menerimanya dan menjalankannya dengan sukarela tanpa ada unsur pemaksaan. Oleh karena itulah, pentingnya sosiologi hukum dalam upaya mengintrodusir pemahaman hukum, mutlak diperlukan. Disamping itu pemahaman terhadap nash, utamanya yang dilakukan oleh Rasulullah pada saat menikah dengan 'Aisyah, juga perlu dipahami seiring dengan tuntutan situasi dan kondisi waktu itu. Ini penting, karena tuntutan kemaslahatan yang ada waktu itu dibanding dengan sekarang, jelas sudah berbeda. Wa Allah 'alam bi al-sawab.
107
4.2 Analisis Bimbingan dan Konseling Islam terhadap Praktek Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar Praktek Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar memerlukan partisipasi semua pihak, yang dalam hal ini harus dicarikan upaya mengatasinya agar praktek tersebut hilang atau setidaknya makin mengurang secara kuantitatif. Salah satu pihak yang kompeten mengatasi praktek pernikahan dini adalah para konselor. Karena para konselor dapat membantu individu untuk mencegah jangan sampai melakukan pernikahan dini. Demikian pula para konselor dapat membantu individu yang sedang kena masalah menyangkut keretakan atau konfliik rumah tangga yang sedang dialami klien. Bimbingan pernikahan dan keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan pernikahan dan kehidupan berumah tangganya bisa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Musnamar, 1992: 70). Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam menjalankan pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan petunjukNya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat (Faqih, 2001: 83).
108
Tujuan bimbingan dan konseling Islam itu alah membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Bimbingan dan Konseling sifatnya hanya merupakan bantuan. Individu yang dimaksudkan di sini adalah orang yang dibimbing atau diberi konseling, baik orang perorangan maupun kelompok. Mewujudkan diri sebagai manusia seutuhnya berarti mewujudkan diri sesuai dengan hakekatnya sebagai manusia untuk menjadi manusia yang selaras perkembangan unsur dirinya dan pelaksanaan fungsi atau kedudukannya sebagai makhluk Allah (makhluk religius), makhluk individu, makhluk sosial, dan sebagai makhluk berbudaya. Bimbingan dan Konseling Islam berusaha membantu mencegah jangan sampai individu menghadapi atau menemui masalah. Dengan kata lain membantu individu mencegah timbulnya masalah bagi dirinya. Bantuan pencegahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan. Karena berbagai faktor, individu bisa juga terpaksa menghadapi masalah dan kerap kali pula individu tidak mampu memecahkan masalahnya sendiri, maka bimbingan berusaha membantu memecahkan masalah yang dihadapinya itu. Bantuan pemecahan masalah ini merupakan salah satu fungsi bimbingan juga, khususnya merupakan fungsi konseling sebagai bagian sekaligus teknik bimbingan.( Musnamar, 1992: 33-34). Tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami di bidang ini adalah untuk:
109
1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan pernikahan, antara lain dengan jalan: f. Membantu individu memahami hakikat pernikahan menurut Islam; g. membantu individu memahami tujuan pernikahan menurut Islam; h. membantu individu memahami persyaratan-persyaratan pernikahan menurut Islam; i.
membantu individu memahami kesiapan dirinya untuk menjalankan pernikahan.
j.
membantu individu melaksanakan pernikahan sesuai dengan ketentuan (syariat) Islam (faqih, 2001: 83-84).
2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangganya, antara lain dengan: a. Membantu individu memahami hakikat kehidupan berkeluarga (berumah tangga) menurut Islam; b. membantu individu memahami tujuan hidup berkeluarga menurut Islam; c. membantu individu memahami cara-cara membina kehidupan berkeluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah menurut ajaran Islam; d. membantu individu memahami melaksanakan pembinaan kehidupan berumah tangga sesuai dengan ajaran Islam.
110
3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga, antara lain dengan jalan: a. Membantu individu memahami problem yang dihadapinya; b. membantu individu memahami kondisi dirinya dan keluarga serta lingkungannya; c. membantu individu memahami dan menghayati cara-cara mengatasi masalah pernikahan dan rumah tangga menurut ajaran Islam; d. membantu individu menetapkan pilihan upaya pemecahan masalah yang dihadapinya sesuai dengan ajaran Islam. 4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih baik, yakni dengan cara: d. memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan kehidupan berumah tangga yang semula pernah terkena problem dan telah teratasi agar tidak menjadi permasalahan kembali; e. mengembangkan situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga menjadi lebih baik (sakinah, mawaddah, dan rahmah) (Musnamar, 1992: 71-72). Melihat pada tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami, maka menurut analisis peneliti bahwa materi bimbingan dan konsleling setidaknya harus meliputi penerangan tentang (1) hak dan kewajiban suami istri; (2)
111
pemahaman tentang seks; (3) memperhatikan menu makanan; (4) secara sungguh-sungguh melaksanakan hak dan kewajiban. a. Hak dan Kewajiban Suami Istri Dalam rumah tangga Islam, seseorang suami mempunyai hak dan kewajiban terhadap isterinya, demikian pula sebaliknya. Masing-masing pasangan hendaknya senantiasa memperhatikan dan memenuhi setiap kewajibannya terhadap pasangannya sebelum ia mengharapkan haknya secara utuh dari pasangannya. Laksanakanlah kewajiban dengan baik dan penuh tanggung jawab dan akan terasalah manisnya kehidupan dalam keluarga serta akan mendapatkan haknya sebagaimana mestinya. Adapun yang menjadi dasar dari pembicaraan ini ialah firman Allah SWT dalam Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 228:
:S01) P§ ; 3 - % & T ;0C & 0: Q "8 - % & ~d* 9 o" - (66 Artinya: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkat daripada isterinya". (Q.S. AlBaqarah: 228). Seorang wanita atau isteri yang utama telah diterangkan Allah SWT dalam kitab suci Al-Qur'an, misalnya:
(5¨ :/<) e % . &" > K $ },R K $ =U K , Artinya: Sebab itu maka wanita yang shalehah, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri di balik pembelakangan suaminya". (Q.S. An-Nisa: 34)
112
Jelaslah bahwa wanita yang salehah senantiasa mentaati kebijakan dan keputusan yang diambil oleh suaminya, bertaqwa kepada Allah SWT menjaga rahasia suaminya demikian pula rumah tangganya, serta menjaga diri dan kehormatan serta harta benda suaminya bila suaminya tidak ada di rumah. Seorang isteri yang baik juga sangatlah perlu melakukan kewajibannya
sehari-hari
dalam
kehidupan
keluarganya,
seperti
berbelanja, memasak, mendidik dan mengajari ilmu dan akhlak yang baik bagi anak-anaknya, serta dengan ikhlas melayani kebutuhan suaminya. Rumah tangganya dirawat dengan baik, kamar tidur suaminya tidak diizinkan orang lain yang tidak disukai suaminya menidurinya demikian pula tidak diizinkannya seorang pria masuk ke dalam rumahnya di saat suaminya tidak ada di rumah. Tidak terpuji bila seorang isteri meninggalkan rumahnya tanpa sepengetahuan dan seizin suaminya (Basri, 2004: 29). Bila seorang isteri telah memenuhi kewajiban maka dia akan berhak mendapatkan hak-haknya yang diterangkan agama Islam dan suaminya, misalnya: mendapatkan perlakuan yang lemah lembut penuh kasih sayang, pendidikan dan tuntunan dari suami, pakaian dan makanan yang sesuai dengan kemampuan dan keadaan ekonomi suami, perlindungan, dipergauli dengan baik oleh suami, mendapatkan perkataan dan sikap yang baik/terpuji dari suaminya (Basri, 2004: 30).
113
Seorang suami dalam rumah tangga Islami mempunyai kewajiban yang
harus
dilaksanakannya
dengan
sebaik-baiknya,
misalnya:
memberikan nafkah kepada isteri dan anak-anaknya, mendidik dan menuntun isteri dan anak-anaknya agar selalu beriman, beribadah dan bertaqwa
kepada
Allah
SWT
melindungi
keluarganya
dari
bahaya/ancaman dan kesukaran serta keamanan yang akan mengurangi taraf kesejahteraan dan ketentramannya (keluarganya), demikian pula seorang suami tetap bertahan untuk tidak membuka rahasia isteri atau keluarganya kepada orang lain yang tidak bertanggung jawab atau tidak diperlukan. Seorang suami yang baik hendaknya selalu menggauli isterinya dengan cara yang pantas dan memberinya makanan serta pakaian untuk penutup auratnya, serta jangan sekali-kali memukul wajahnya dan menghinanya. Di samping itu seorang suami berkewajiban pula untuk berbuat dan bertindak yang adil dan selalu berusaha guna mewujudkan kepemimpinannya dalam rumah tangga agar dapat berlangsung dengan baik dan teratur (Amini, 1999: 17). Bila seorang suami telah melaksanakan kewajibannya dengan baik, maka wajarlah bila ia mendapatkan haknya dengan sebaik-baiknya dari isteri dan keluarganya, seperti: sikap hormat dan taat serta patuh dari isteri dan anak-anaknya, mendapatkan pelayanan atas kebutuhan fisik dan psikisnya; mendapatkan pemeliharaan isteri atas harta dan nama baik serta kehormatannya dari isterinya; mendapatkan sedekah dari sebagian harta isterinya bila keadaan sulit dihadapinya atau bersabar dalam menghadapi
114
tekanan hidup jika selagi tidak mempunyai sesuatu (harta). Di samping itu perlu pula diingatkan oleh setiap isteri bahwa suaminya berhak atas harta bendanya dan tidak boleh diberikannya kepada orang lain tanpa seizin suaminya (Amini, 1999: 17). Di dalam Islam kewajiban timbal balik antara suami dan isteri pun telah diberikan tuntunan yang sebaik-baiknya, contoh: suami-isteri berkewajiban mendidik anak-anak mereka secara Islam; mereka perlu selalu menjaga kehormatan keluarga; mempercantik dan melindungi isteri dan senantiasa pula mengupayakan sesuatu yang terbaik bagi keluarga. Agar pelaksanaan kewajiban timbal balik tersebut dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya maka kerukunan, kedamaian, saling maafmemaafkan, bantu-membantu dalam kebaikan dan ketaqwaan, lapang dada dan penuh pengertian tentang kewajiban hidup berumah tangga, barangkali telah merupakan hal yang tidak dapat diabaikan oleh mereka berdua (Amini, 1999: 17). b. Pemahaman tentang Seks Kebahagiaan keluarga merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai
oleh
mereka
yang
mendirikan
rumah
tangga.
Untuk
mendapatkannya maka tidak sedikit usaha dan pengorbanan yang ikhlas oleh setiap suami dan isteri serta mereka selalu meningkatkan usaha agar menambah dan melestarikan sesuatu yang telah dimilikinya (Hamid, 1978: 33).
115
Bermacam-macam nilai dan ukuran manusia tentang perasaan bahagia itu sendiri. Ada sementara orang menilai dan memandangnya dari segi material yang dimiliki, ada pula dari segi-segi rohaniah, serta banyak pula yang memandangnya dari segi-segi keduanya secara utuh dan bulat. Namun tidak sedikit pula orang menganggap dan memandang kebahagiaan keluarganya itu sebagai suatu rahasia yang jauh terpendam di dalam diri masing-masing penegak sebuah rumah tangga, yaitu di dalam diri suami dan isteri yang menjadi pendukung dan penegak sebuah rumah tangga (Hamid, 1978: 33).. Taraf kebahagiaan seseorang sangat ditentukan oleh beberapa keadaan dan faktor, seperti: pemilikan harta benda secukup kebutuhan, kemampuan ekonomi guna memenuhi kebutuhan hidup dalam keluarga, kedewasaan diri dalam setiap aspeknya, kesehatan badan dan batin, serta keadaan seksualitas suami-isteri dalam keluarga tersebut. Peranan keutuhan dan keteguhan kepribadian pun tidak kurang pentingnya dalam kehidupan berumah tangga (Hamid, 1978: 33).. Libido adalah naluri seksual yang ada pada setiap manusia. Mulamula timbul karena kemasakannya di waktu remaja atau masa pubertas yang diawali dengan perasaan ketertarikan kepada jenis lawannya. Perasaan seksual pada seseorang sebenarnya adalah ungkapan perasaan cinta terhadap daya tarik kita untuk orang lain. Hasrat itu akan tersalurkan dengan penuh kepuasan dan kebahagiaan jika proses selanjutnya terdapat kerja sama yang sebaik-baiknya antara suami dan isteri yang saling
116
mencintai. Ternyata dalam pengalaman hidup sangat banyak keluhan yang terdengar, bahwa tidak setiap orang (suami-isteri) mampu mengekpresikan dan menyalurkan dorongan naluriah tersebut dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu tidaklah mengherankan jika taraf kebahagiaan dalam kehidupan keluarga terasa ada yang mengganjal atau ada sesuatu yang kurang dan jika tidak mendapatkan pengatasan yang sebaik-baiknya bukan tidak mungkin akan membuahkan akibat yang kurang baik dan yang tidak dikehendaki (Basri, 2004: 36). Agar kebahagiaan hidup dalam keluarga dapat dimiliki dan berkembang dengan subur dan teguh, maka menurut penulis bahwa ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan hal-hal yang rahasia dalam keluarga, yaitu permasalahan seksualitas ini kiranya perlu mendapatkan perhatian yang secukupnya dari masing-masing penegak dan pendukung sebuah rumah tangga, yaitu suami dan isteri. Sebenarnya pengetahuan tersebut telah dipelajari jauh sebelum melangsungkan perkawinan, namun karena berbagai keadaan maka mempelajarinya kembali dengan penuh perhatian selama perkawinan pun tidak ada jeleknya, bahkan akan menambah taraf kebahagiaan hidup dalam keluarga(Basri, 2004: 36). c. Memperhatikan Menu Makanan Ketenangan seorang suami di rumahnya mempunyai berbagai sebab. Yang paling penting daripadanya adalah keteduhan nuansa rumah tangga dan sedikitnya kegaduhan, sehingga ia mudah mendapat tidur nyenyak
yang
dapat
menghilangkan
117
kelelahan
dirinya,
dapat
menjernihkan otaknya dan memperbarui keaktifannya, sehingga ia dapat meneruskan usahanya untuk mencari sumber rezeki dan untuk memenuhi semua kebutuhan rumah tangganya. Seorang suami yang pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan lelah dan ia membutuhkan suasana rileks dan ketenangan. Karena itu, ia wajib mendapatkan semuanya dari sang istri seperti yang ia inginkan. Kehidupan rumah tangga merupakan salah satu tempat yang paling cocok untuk mendapatkan rileks dan ketenangan sebelum ia meneruskan pekerjaannya lagi. Rumah tangga itu merupakan tempat ia berteduh, bernaung, tempat beristirahat dan tidur. Karena itu, seorang istri harus memberi suaminya ketenangan, kedamaian dan tempat yang rileks setelah ia pulang dari kerja dalam keadaan lelah. Janganlah ia menimbulkan kegaduhan dan keramaian ketika sang suami sedang istirahat dan tidur. Masalah ini merupakan masalah yang dimengerti oleh setiap orang, sehingga tidak butuh keterangan panjang lebar (Basri, 2004: 37). Di antara ketenangan dan kedamaian yang dibutuhkan oleh seorang suami adalah menu makanan yang lezat di dalam rumahnya setelah ia pulang dari tempat kerjanya dalam keadaan lelah dan lapar, sehingga ia dapat makan dengan enak dan berselera. Masalah ini merupakan masalah yang paling penting bagi seorang suami. Sebagai istri yang bijaksana dan shalihah hendaknya ia dapat menyelesaikan tugas-tugas rumah tangganya dengan baik. Di antara tugas rumah tangga yang harus ia selesaikan adalah menyiapkan menu makanan
118
yang lezat yang beraneka ragam macamnya dan cara penyajiannya dan tidak terlambat dalam penyajiannya, agar tidak menimbulkan emosi dalam hati suaminya, karena ia sangat lelah dan lapar. Adapun kalau ada suatu pekerjaan lain yang menyibukkan-dirinya, misalnya mengurus anak-anak, maka sebaiknya ia minta bantuan suaminya atau paling tidak minta maaf, karena ia terlambat menyajikan hidangan makanan bagi sang suami. d. Secara Sungguh-Sungguh Melaksanakan Hak dan Kewajiban Rumah tangga lahir karena terjadinya perkawinan dan setiap orang yang berumah tangga tentulah berharap rumah tangganya bahagia dan kekal. Rasulullah Saw bersabda: "Baiti jannati," rumah tanggaku adalah surgaku, dan orang Jawa berkata pula: "Sampai kaken-kaken sampai ninen-ninen, bagaikan mimi dan mintuno." Salah satu di antara asas perkawinan dalam Islam ialah asas lestari, yang dengan asas ini perkawinan yang dilakukan oleh orang Islam haruslah dengan tujuan untuk selamanya, tidak hanya untuk jangka waktu tertentu, misalnya seminggu atau sebulan saja dan lain sebagainya. Kawin Mut'ah, yaitu kawin untuk jangka waktu tertentu dilarang oleh Islam. Dalam Islam memang juga ada cerai, tetapi pintu cerai dibuka sempit sekali oleh Islam karena alasan-alasan darurat. Dalam Islam diakui, cerai adalah sesuatu yang halal, tetapi paling dibenci oleh Allah (Hamid, 1978: 99). Sebuah rumusan yang baik tentang perkawinan, disebutkan dalam Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1974. "Perkawinan ialah ikatan lahir
119
batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa" (Bab I Pasal 1). Rumusan perkawinan yang disebutkan dalam Undang-undang Perkawinan ini, sekaligus memberi arahan, hendaknya perkawinan menghasilkan rumah tangga yang bahagia dan kekal (Hamid, 1978: 99). Tetapi tentu saja, supaya rumah tangga bahagia dan kekal, maka harus dilandasi cinta. Salah satu di antara perwujudan cinta tersebut yaitu dipenuhinya hak masing-masing dari suami dan istri dan dilaksanakannya apa yang menjadi kewajiban, baik oleh suami maupun oleh istri. Tanpa dipenuhinya hak, dan tanpa dihiraukannya kewajiban, maka cinta itu tidak akan bersemi dan membuahkan hasil. Mustahil rumah tangga bisa bahagia dan kekal, kalau suami dan istri masing-masingnya hanya pandai mengatakan cinta tetapi tidak melaksanakan apa yang menjadi yang menjadi hak dan kewajibannya. Cinta tanpa melaksanakan hak dan kewajiban maka pertanda rumah tangga suami istri yang seperti ini bukannya surga yang menyenangkan seperti yang disabdakan oleh Nabi, tetapi neraka dunia yang menyedihkan, yang pada gilirannya tentulah akan berakhir dengan perceraian (Kuzari, 1995: 35). Dalam hidup berumah tangga, masing-masing suami dan istri mempunyai beberapa hak dan beberapa kewajiban. Hak dan kewajiban adalah dua hal yang mempunyai hubungan timbal balik antara yang satu dengan yang lain. Apa yang menjadi kewajiban suami merupakan hak
120
istri, dan sebaliknya apa yang menjadi kewajiban istri merupakan hak suami. Karena itu kalau suami melalaikan kewajibannya, berarti istri tidak memperoleh
haknya,
dan
begitu
pula
jika
istri
mengabaikan
kewajibannya, alamat suami akan gundah gulana karena tidak menikmati apa yang menjadi haknya. Karena itu pula, kebahagiaan suami tergantung dari istri, dan kebahagiaan istri tergantung dari suami. Keduanya tidak saja saling memberi, tetapi juga saling menerima (Kuzari, 1995: 35). Keluarga atau rumah tangga, oleh siapapun dibentuk, pada dasarnya merupakan upaya untuk memperoleh kebahagiaan dan kesejahteraan hidup. Keluarga dibentuk untuk menyalurkan nafsu seksual, karena tanpa tersalurkan orang bisa merasa tidak bahagia. Keluarga dibentuk untuk memadukan rasa kasih dan sayang di antara dua makhluk berlainan jenis, yang berlanjut untuk menyebarkan rasa kasih dan sayang keibuan dan keayahan terhadap seluruh anggota keluarga (anak keturunan). Seluruhnya jelas-jelas bermuara pada keinginan manusia untuk hidup lebih bahagia dan lebih sejahtera (Kuzari, 1995: 36). Apa yang diidam-idamkan, apa yang ideal, apa yang seharusnya, dalam
kenyataan
tidak
senantiasa
berjalan
sebagaimana
mestinya.
Kebahagiaan yang diharapkan dapat diraup dari kehidupan berumah tangga, kerap kali hilang kandas tak berbekas, yang menonjol justru derita dan nestapa (T Yanggo dan Anshari, 1996: 83). Problem-problem pernikahan dan keluarga amat banyak sekali, dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar. Dari sekedar pertengkaran kecil
121
sampai ke perceraian dan keruntuhan kehidupan rumah tangga yang menyebabkan timbulnya "broken home". Penyebabnya bisa terjadi dari kesalahan awal pembentukan rumah tangga, pada masa-masa sebelum dan menjelang pernikahan, bisa juga muncul di saat-saat mengarungi bahtera kehidupan berumah tangga. Dengan kata lain, ada banyak faktor yang menyebabkan pernikahan dan pembinaan kehidupan berumah tangga atau berkeluarga itu tidak baik, tidak seperti diharapkan, tidak dilimpahi "mawaddah wa rahmah," tidak menjadi keluarga "sakinah" (T Yanggo dan Anshari, 1996: 80). Kenyataan akan adanya problem yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan keluarga, yang kerap kali tidak bisa diatasi sendiri oleh yang terlibat dengan masalah tersebut, menunjukkan bahwa diperlukan adanya bantuan konseling dari orang lain untuk turut serta mengatasinya. Selain itu, kenyataan bahwa kehidupan pernikahan dan keluarga itu selalu saja ada problemnya, menunjukkan pula perlunya ada bimbingan Islami mengenai pernikahan dan pembinaan kehidupan berkeluarga (Saleh, 1982: 26). Demikian pula, untuk mencegah jangan sampai adanya pernikahan dini maka perlu dibukanya bimbingan konseling pernikahan dan keluarga Islami. Karena tujuan bimbingan dan konseling keluarga Islami di bidang ini adalah untuk: 1. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan pernikahan, antara lain dengan jalan
122
2. Membantu individu mencegah timbulnya problem-problem yang berkaitan dengan kehidupan berumah tangganya 3. Membantu individu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan pernikahan dan kehidupan berumah tangga 4. Membantu individu memelihara situasi dan kondisi pernikahan dan rumah tangga agar tetap baik dan mengembangkannya agar jauh lebih baik Problem pernikahan usia dini mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Berbicara problem dan penanggulangan pernikahan usia dini dalam kehidupan keluarga maka perlu penanggulangan melalui pesan-pesan dakwah. Dengan dakwah dapat diharapkan, kesalahan persepsi dan pandangan para orang tua, remaja dan masyarakat dapat diluruskan, karena dakwah itu sendiri adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan datang (Umary, 1980: 52). Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi), rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri, bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
123
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsurunsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh karena itu Zahrah (1994: 32) menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali dengan amar ma'ruf dan nahi munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain lagi mengenai makna amar ma'ruf kecuali mengesakan Allah secara sempurna, yakni mengesakan pada zat sifat-Nya. Lebih jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani (teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan cara tertentu (Achmad, 1983: 2). Demikian
pentingnya
dakwah
dalam
mengantisipasi
dan
menanggulangi pernikahan usia dini, karena masih banyak keluarga yang meminggirkan
peranan usia
perkawinan
dalam kehidupan
keluarga.
Kenyataan menunjukkan bahwa masih terdapat kesenjangan antara tujuan perkawinan yang seharusnya membawa kebahagiaan dengan realita yang ada di masyarakat yaitu perkawinan justru menimbulkan sejumlah masalah.
124
Urgensi dakwah dengan konsep pernikahan yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mad'u tentang bagaimana pernikahan yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai pernikahan dapat dikurangi.
125
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Faktor-faktor yang menimbulkan pernikahan dini di Desa Kluwih Kec. Bandar Kab. Batang Tahun 2008-2010 antara lain pertama, untuk menghindari hubungan diluar nikah; kedua, menghindari cemooh dan fitnah dari tetangga; ketiga, sudah menjadi tradisi; keempat, khawatir disebut perawan tua. Pernikahan dini menimbulkan permasalahan dan dampak. Permasalahannya: pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. Dampaknya yaitu pernikahan hanya membawa penderitaan. Pernikahan usia dini ada kecenderungan berakhir pada perceraian. Dampaknya yaitu persaudaraan menjadi pecah dan anak-anak menanggung beban psikologis. Pernikahan usia dini sulit mendapat keturunan yang baik dan sehat. Dampaknya yaitu anak rentang dengan penyakit. Pernikahan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Dampaknya: ternyata bahwa batas umur yang rendah
bagi
seorang
wanita
untuk
kawin,
mengakibatkan
laju
pertumbuhan penduduk sangat cepat. 2. Praktek Pernikahan Dini di Desa Kluwih Kecamatan Bandar memerlukan partisipasi semua pihak, yang dalam hal ini harus dicarikan upaya mengatasinya agar praktek tersebut hilang atau setidaknya makin
126
mengurang secara kuantitatif. Salah satu pihak yang kompeten mengatasi praktek pernikahan dini adalah para konselor. Karena para konselor dapat membantu
individu
untuk
mencegah
jangan
sampai
melakukan
pernikahan dini. Demikian pula para konselor dapat membantu individu yang sedang kena masalah menyangkut keretakan atau konfliik rumah tangga yang sedang dialami klien. Bimbingan pernikahan dan keluarga Islam adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar dalam menjalankan pernikahan dan kehidupan berumah tangganya bisa selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Sedangkan konseling pernikahan dan keluarga Islami adalah proses pemberian bantuan terhadap individu agar menyadari kembali eksistensinya sebagai makhluk Allah yang seharusnya dalam menjalankan pernikahan dan hidup berumah tangga selaras dengan ketentuan dan petunjuk-Nya, sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat B. Saran-Saran Untuk mendapatkan penjelasan lebih dalam tentang pernikahan dini; permasalahan, dampak dan solusinya dalam perspektif dakwah, maka penelitian lebih lanjut bagi para peneliti lainnya merupakan suatu keharusan. Karena itu hendaknya peluang dan kesempatan diberi lebih luas lagi bagi para peneliti lainnya.
127
C. Penutup Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah Swt yang dengan karunia dan rahmatnya telah mendorong penulis hingga dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata sempurna. Namun demikian tiada gading yang tak retak dan tiada usaha besar akan berhasil tanpa diawali dari yang kecil. Tiada untaian kata yang patut dikatakan melainkan hanya secercah ungkapan: mencipta yang tak sempurna jauh lebih baik dari pada kemandulan yang sempurna. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman.
128
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abidin, Slamet dan Aminuddin, 1999, Fiqih Munakahat, Jilid I, Bandung: CV Pustaka Setia. Achmad, Amrullah, 1983, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, Yogyakarta: Primaduta Adz-Dzaky, M. Hamdani Bakran, 2002, Konseling dan Psikoterapi Islam, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru Ahmad Warson Al-Munawwir. 1997. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Yogyakarta: Pustaka Progressif. Ahmad, Abu dan Ahmad Rohani, 1991, Bimbingan dan Konseling di Sekolah, Jakarta: Rineka Cipta Akbar, Ali. 1977. Merawat Cinta Kasih. Jakarta: Pustaka Antara. Ali, Maulana Muhammad, 1990, The Religion of Islam, USA: The Ahmadiyya Anjuman Ishaat Islam Lahore. Ali, Muhammad. 1995. Penelitian Pendidikan Prosedur Dan Strategi. Bandung: Angkasa. Al-Jazirî, Abdurrrahmân, 1972, Kitab al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba’ah, Juz II, Beirut: Dâr al-Fikr Al-Rahwi, 1315 H, Syarh al-Manar wa Khawasyih min 'Ilm al-Ushul, Mesir: Dar al-Sa'adah, Amini, Ibrahim, 1999, Principles of Marriage Family Ethics, Terj. Alwiyah Abdurrahman, "Bimbingan Islam Untuk Kehidupan Suami Istri", Bandung: al-Bayan Arifin, M. 1977. Psikologi Dakwah. Jakarta: Bulan Bintang. -------., 1994, Pedoman Pelaksanaan Bimbingan dan Penyuluhan Agama, Jakarta: PT Golden Terayon Press Arkoun, Mohammad, 1996. Rethinking Islam, Yogyakarta: LPMI bekerjasama dengan Pustaka Pelajar. Audah, Abdul Qadir, 1964, Al-Tasyri al-Jina'i al-Islamiy, Juz I, Kairo: Dar alUrubah.
129
Basyir, Ahmad Azhar, 2004, Hukum Pernikahan Islam, Yogyakarta: UII Press, Bukhâry, Imam, 1410 H/1990 M, Sahîh al-Bukharî, Juz. III, Beirut: Dâr al-Fikr. Dahlan, Aisjah. 2009, Membina Rumah Tangga Bahagia dan Peranan Agama dalam Rumah Tangga, Jakarta: Jamunu Daradjat, Zakiah, 1995, Ilmu Fiqh, jilid 2, Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta,. Djatnika, Rachmat, 1991, Sosialisasi Hukum Islam, dalam Abdurrahman Wahid, (et.al.), Kontroversi Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung: Rosda Karya. Faqh, Aunur Rahim, 2001, Bimbingan dan Konseling dalam Islam, UII Press Gunarsa, Ny.Singgih D., 1986, Psikologi Keluarga, Jakarta: BPK Gunung Mulia, Hadi, Sutrisno. 1987. Metodologi Research I. Yogyakarta: Fak. Psikologi UGM. Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani Hakim, Rahmat, 2000, Hukum Pernikahan Islam, Bandung: Pustaka Setia. Hamid, Zahry, 1978, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UndangUndang Perkawinan di Indonesia, Yogyakarta: Bina Cipta. Hasjmy, A., 1994, Dustur Dakwah Menurut Al-Quran, Jakarta: Bulan bintang Hawari, Dadang, 2006, Marriage Counseling (Konsultasi Perkawinan), Jakarta: Fakultas Kedokteran UI. Hilman
Hadikusuma, 1990. Hukum Perkawinan Indonesia, Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung: Penerbit Manjar Maju
Kuzari, Achmad, 1995, Nikah Sebagai Perikatan, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada Lusikooy, W., 1983, Bimbingan dan Penyuluhan di Perguruan Tinggi, Jakarta: PT Gunung Agung Mappiare, Andi, AT, 1996, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Jakarta: PT Raja Gravindo Persada. Moelong, Lexy J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
130
Muhammad Asy Syaukani, 1973, Nail al–Autar, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia, Juz IV Munsyi, Abdul Kadir, 1981, Metode Diskusi Dalam Da’wah, Surabaya: al-Ikhlas Musnamar, Thohari, (eds), 1992, Dasar-Dasar Konseptual Bimbingan Bimbingan dan Konseling Islami, Yogyakarta: UII Press. Natawidjaja, Rochman. 1972. Bimbingan Pendidikan Pembangunan. Semarang: IKIP Semarang.
dalam
Sekolah
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Strategi Dan Mrtode Dakwah Prof KH. Saifudin Zuhri, Rasail, Semarang. Prayitno dan Erman Anti, 1999, Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta: Renika Cipta Rais, Amien. 1999. Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan Ramayulis. 1990. Pendidikan Islam dalam Rumah Tangga, Jakarta: Kalam Mulia. Ramulyo, Moh. Idris, 2002, Hukum Perkawinan Islam, Suatu Analisis dari Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta: Bumi Aksara, Ridha, Muhammad Rasyid, 1325 H, Tafsir al-Manar, Juz IV, Mesir: al-Manar. Rofiq, Ahmad, 1977, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada Saekan dan Erniati Effendi, 1977, Sejarah Penyusunan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Surabaya: Arkola, Saleh, K. Wancik, 1982. Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, Sanusi, Salahuddin. 1964. Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam. Semarang: CV.Ramadhani. Shiddieqy, TM.Hasbi ash, 2001, Koleksi Hadits-Hadits Hukum, Semarang: PT.Pustaka Rizki Putra, jilid 8 --------, 2003, Mutiara Hadits, jilid 5, Semarang; PT.Pustaka Rizki Putra Singarimbun dan Efendi S, 1989. Metode Penelitian Survey, Jakarta: LP3S. Soekanto, Soerjono, 2004. Sosiologi Keluarga tentang Hal Ikhwal Keluarga, Remaja dan Anak, Rineka Cipta, Jakarta
131
Suharsimi, Arikunto. 1998. Prosedur Penelitian (Suatu Pendekatan Praktek), Jakarta : Rineka Cipta Suhendi, Hendi dan Ramdani Wahyu. 2001. Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Bandung: Pustaka Setia. Sukardi, Dewa Ketut, 1983, Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah, Jakarta: Usaha Nasional Sulthon, Muhammad, 2003, Desain Ilmu dakwah, Kajian Epistimologis dan Aksiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Ontologis,
Suma, Muhammad Amin, 2004, Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, Surachmad, Winarno, 1995. Pengantar Penelitian Ilmiah; Dasar-Dasar Metode dan Teknik, Bandung: Tarsito Rimbuan. Syarifuddin, Amir, 2004, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media Syaukani, Imam. tth, Nail al–Autar, Juz IV, Beirut: Daar al-Qutub al-Arabia. Syu’aib ibn Ali ibn Sinan ibn Bahr, tth, Sunan an-Nasa’i, Juz VI, Mesir: Tijariyah Kubra. Thalib, Sayuti, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Jakarta: UI Press, Cet. 5. Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani. Walgito, Bimo. 1998. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah, Yogyakarta: Andi Offset. Ya’qub, Hamzah, 1973, Publisistik Islam Seni dan Teknik Da’wah, Bandung: CV. Diponegoro Yanggo, Huzaimah T dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996, Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Kedua, Jakarta: PT Pustaka Firdaus, Yanggo, Huzaimah T dan Hafiz Anshari H.Z. (ed), 1996. Problematika Hukum Islam Kontemporer, Buku Kedua, Jakarta: PT Pustaka Firdaus. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, 1986, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI Yunus, Mahmud, 1990, Hukum Perkawinan dalam Islam, Jakarta: PT Hidakarya Agung, Cet. 12. Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya
132
DATA DAN WAWANCARA Buku Monografi Desa Kluwih Wawancara Bapak dan Ibu Sudarno (pernikahan antara pria cukup umur dengan wanita dini) Wawancara dengan Bapak Bambang Subroto Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, Wawancara dengan Bapak dan Ibu Nuryanto (pernikahan antara pria dini dengan wanita yang cukup umur) Wawancara dengan Bapak Dasro Kepala Desa Kluwih. Wawancara dengan Bapak Dato, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih. Wawancara dengan Bapak Kartan (Selaku orang tua peserta Suscatin) Wawancara dengan Bapak Munazirin Wakil Kepala KUA Kecamatan Bandar Kabupaten Batang, Wawancara dengan Bapak Sudaryanto, selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih. Wawancara dengan Bapak Suprat, Selaku tokoh masyarakat Desa Kluwih Wawancara dengan Bapak Tafsir pejabat KUA (Staf Administrasi) Kecamatan Bandar Kabupaten Batang. Wawancara dengan Ibu Anisah (Selaku peserta Suscatin) Wawancara dengan Ibu dan Bapak Arifin (pernikahan antara pria dini dengan wanita dini) Wawancara dengan Ibu dan Bapak Karyo (pernikahan antara pria dini dengan wanita dini) tgl 4-6-2011. Wawancara dengan Ibu dan Bapak Romadhon (pernikahan antara pria dini dengan wanita dini) Wawancara dengan Ibu dan Bapak Wariman (pernikahan antara pria dini dengan wanita dini) Wawancara dengan Ibu Fatonah (Selaku peserta Suscatin).
133
Wawancara dengan Ibu Ika (Selaku peserta Suscatin) Wawancara dengan Ibu Ratihningsih (Selaku peserta Suscatin) Wawancara dengan M. Hafid Haris (Selaku peserta Suscatin )
134
PANDUAN WAWANCARA WAWANCARA DENGAN PARA PASANGAN SUAMI ISTRI YANG TELAH MELANGSUNcGKAN PERKAWINAN PADA USIA MUDA DESA KLUWIH KEC. BANDAR KAB. BATANG.
1. Sudah berapa lama ibu dan bapak berumah tangga? Kami berumah baru saja berjalan satu tahun setengah, dan ini anak saya perempuan, yah sangat nakal maklum selalu dimanja oleh bapaknya. Karena dari awal pacaran, bapaknya pengen sekali punya anak perempuan. Al-hamdulillah dikaruniai apa yang diharapkan. Ya kalu dipikir-pikir nikah di umur saya waktu itu baru 15 tahun dan suami saya saat itu baru berumur 16 tahun memang untuk saya pribadi terlalu terburu-buru, tapi gimana lagi namanya hidup di kampung jadi omongan. Memang terasa kita belum siap menghadapi masalah kesulitan-kesulitan yang namanya rumah tangga. 2. Pada umur berapa ibu dan bapak menikah? Ya saya menikah pada umur 15 dan bapak ketika itu umur 20. ya, masih seneng main dan sebetulnya belum siap menikah, tapi ya jodoh ya seperti ini. kadang-kadang masih ingin bebas seperti kawan-kawan lainnya. Tapi sekarang sudah terikat perkawinan ya ega enaklah kalu dilihat masyarakat masih seneng main-main. Kadang-kadang ada perasaan ingin seperti sebelum menikah ya ada kebebasan, ega terikat dan tidak banyak aturan. Tapi sekarang kami juga ditegur orang tua kalu masih seperti kanakkanak.
135
3. Apa yang melatbelakangi ibu dan bapak menikah dalam usia yang sangat muda? Mungkin juga yah rasa malu dengan omongan tetangga yang sering menanyakan kapan menikah, padahal waktu itu saya baru berumur 18, tua istri, ya namanya di kampung pacaran terlalu lama akan mendapat cemooh. Biasa lah kalu di kampung ya umur seperti kami ini sudah tidak aneh, malah orang tua juga menjodohkan. Padahal kita belum puas dengan masa remaja dan bermain. Sudah menjadi tradisi atau adat menikah pada umur seperti kami ini. Tapi ya kalu istri saya ini sudah cukup umur kira-kira waktu itu sudah berumur 18 tahun 4. Apakah ibu bahagia dengan pernikahan ini? Kadang ya ada bahagia dan ada juga menderitanya, terutama pada saat kekurangan ekonomi, omongan tetangga. Juga kami punya watak sama keras kadang ya terjadi keributan. Kalu dipikir-pikir mungkin karena kami belum siap dan belum matang ya yang terasa lebih banyak menderitanya dari bahagianya. Sering ribut, cekcok masalah sepele, ya juga mudah terhasut omongan tetangga. Ini salah satu pihak kadang tidak bisa mengendalikan emosi dan mudah percaya tanpa diselediki lebih dahulu. 5. Apakah anak ibu sehat atau sering sakit? Ya, kalau sakit itu kan biasa apalagi namanya juga bayi. Balita itu memang mudah terserang penyakit. Makanan kotor saja bisa sakit, pakaian kotor pun bisa kulitnya merah-merah. Tapi ya memang anak saya sering sakit.
136
Kami juga tidak tahu apa ada pengaruh dari perkawinan umur kami. Tapi rasanya umur ega ada pengaruh, mungkin karena bayi. 6. Menurut bapak/ibu, apakah ada dampak pernikahan usia dini terhadap kependudukan? Mungkin saja pernikahan usia dini ada pengaruh terhadap jumlah kependudukan.
Perkawinan
mempunyai
hubungan
dengan
masalah
kependudukkan. Tetapi kami tidak setuju pernikahan usia dini bisa menimbulkan peledakan penduduk. Toh ada alat kontrasepsi.
137
PEDOMAN WAWANCARA WAWANCARA DENGAN TOKOH MASYARAKAT DESA KLUWIH KEC. BANDAR KAB. BATANG.
1. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap tujuan pernikahan? Dampak pernikahan usia dini terhadap tujuan pernikahan. Pernikahan usia dini ada kecenderungan sangat sulit mewujudkan tujuan perkawinan secara baik. Pasal 7 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ayat (1) menyatakan bahwa "perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun". Ketentuan batas umur ini, seperti disebutkan dalam Kompilasi pasal 15 ayat (1) didasarkan kepada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan. Ini sejalan dengan prinsip yang diletakkan UU Perkawinan, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami isteri yang masih di bawah umur. 2. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap kualitas keturunan? Dampak pernikahan usia dini terhadap kualitas keturunan. Kawin di bawah umur, mudah dihinggapi bahaya, anaknya gugur, lemah atau meninggal dan tak jarang pula sang ibu muda itu yang menjadi korban. Gadis yang masih muda penuh cita-cita untuk hari depan, belum pada waktunya
138
dibebani kewajiban-kewajiban berat, dilepas dari asuhan orang tua, diserahi mengurus rumah tangga, bahkan lebih berat lagi, dengan segala anggota tubuh yang masih muda, dengan alat kandungan yang belum cukup matang, ia harus memelihara manusia baru dalam badannya. Maka tidak heran jika karena itu banyak terjadi kekecewaan. Badan yang sedang tumbuh masih membutuhkan perkembangan-perkembangan dalam tubuhnya, tidak diberi kesempatan lebih dahulu untuk bersiap-siap, sudah dibebani dengan beban lain yang maha berat. 3. Bagaimana dampak pernikahan usia dini terhadap kependudukan? Dampak pernikahan usia dini terhadap kependudukan bahwa perkawinan mempunyai hubungan dengan masalah kependudukkan. Ternyata bahwa pernikahan usia dini bagi seorang wanita untuk nikah, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi. Berhubung dengan itu, maka undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin baik bagi pria maupun wanita (Penjelasan umum UU Perkawinan, nomor 4 huruf d) (Rofiq, 1997: 76-77). Oleh karenanya mempelai lelaki dan mempelai perempuan, keduanya tidak diperkenankan melakukan akad nikahnya manakala umur mereka belum mencapai angka tersebut karena dipandang belum dewasa dan tidak cakap bertindak.
139
PEDOMAN WAWANCARA DENGAN KUA DESA KLUWIH KEC. BANDAR KAB. BATANG.
1. Bagaimana peserta Kursus Calon Pengantin (Suscatin)? Program kursus calon pengantin (Suscatin), pesertanya sebagian besar para pria dan wanita yang belum pernah menikah dan beberapa orang janda yang gagal dalam membina rumah tangga. Pembinaan kursus calon pengantin (suscatin) memiliki peserta yaitu kaum pria dan wanita yang masih sendirian dan ada juga beberapa orang janda. Untuk para janda ini umumnya mereka yang gagal dalam membina rumah tangga. 2. Bagaimana materi program suscatin? Materi program kursus calon pengantin (suscatin) yang bertujuan untuk membentuk keharmonisan keluarga, maka gerakan keharmonisan keluarga dapat dibedakan menjadi tiga: pertama, pendidikan agama. Materi pendidikan agama dalam lingkungan keluarga lingkungan masyarakat, dan lingkungan pendidikan (formal, nonformal, dan informal). Secara umum, materi pendidikan agama dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan pendidikan adalah: a. Pembinaan perkawinan dan keluarga b. Menyambut kelahiran anak: adzan, pemberian nama yang baik, menyukur rambut, dan khitanan. c. Tanggungjawab orang tua dalam pendidikan agama. d. Aspek-aspek pendidikan agama dalam keluarga.
140
e. Pembentukan kepribadian. f. Akhlak mulia. g. Tuntunan mengenai ibadah (bersuci, shalat dan shalat berjamaah, puasa, dan baca tulis Quran). 3. Apakah dasar suscatin itu? Pembinaan kursus calon pengantin (suscatin) didasarkan atas pemahaman dan pelaksanaan ajaran agama Islam secara benar dan baik. Oleh karena itu, pembinaan mengenai ekonomi dan kesehatan keluarga pada dasarnya adalah faktor yang tidak dapat dihindari dalam kursus calon pengantin (suscatin). Akan tetapi, kursus calon pengantin (suscatin) memang belum dapat menghasilkan keluarga yang sesuai dengan harapan umat Islam secara keseluruhan, di sana-sini masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Materi praktik kursus calon pengantin (suscatin) yang paling utama adalah (1) hak dan kewajiban suami istri; (2) pemahaman tentang seks; (3) memperhatikan menu makanan; (4) secara sungguh-sungguh melaksanakan hak dan kewajiban. 4. Apakah tujuan dari Program kursus calon pengantin (suscatin)? Program
kursus
calon
pengantin
(suscatin)
bertujuan
untuk
membentuk keharmonisan keluarga. Program gerakan keharmonisan keluarga mencakup delapan bidang garapan:
141
a. Pendidikan agama dalam keluarga. Program ini dilakukan oleh orang tua (bapak dan ibu) dengan tujuan untuk menanamkan nilai-nilai keimanan dan ketakwaan dan akhlak mulia dalam lingkungan keluarga. b. Pendidikan agama di masyarakat; program mi dilaksanakan melalui peningkatan bimbingan keagamaan di masyarakat melalui kelompok keluarga sakinah, kelompok pengajian, kelompok majelis taklim, kelompok dzikir, dan kelompok keagamaan lainnya. c. Peningkatan pendidikan agama melalui pendidikan formal; program ini dilaksanakan melalui upaya peningkatan pendidikan formal di lembaga pendidikan agama, pendidikan umum, pendidikan kejuruan dari pendidikan pra sekolah sampai perguruan tinggi. d. Pemberdayaan ekonomi umat; program ini dilaksanakan melalui kegiatan pemberdayaan ekonomi kerakyatan, seperti ekonomi masjid, kelompok usaha produksi keluarga sakinah, koperasi majelis taklim, dan pemberdayaan ekonomi keluarga lainnya. e. Pembinaan gizi keluarga; program ini dilaksanakan dengan cara memberikan
motivasi
dan
bimbingan
kepada
keluarga:
melalui
pendekatan agama agar masyarakat meningkatkan gizi yang baik. f. Pembinaan kesehatan keluarga; program ini dilaksanakan dengan cara memberikan motivasi dan bimbingan agar masyarakat memperhatikan kesehatan ibu, bayi, anak balita dan lingkungannya.
142
g. Sanitasi lingkungan; program ini dilaksanakan dengan cara memberikan motivasi dan bimbingan agar,; masyarakat menyediakan air bersih, jamban, dan sanitasi lingkungan. Keluarga Sakinah. h. Penanggulangan penyakit menular seksual; program ini dilaksanakan dengan cara memberikan motivasi dan bimbingan agar masyarakat mengatasi penyakit menular dengan menghindari pergaulan bebas (berganti-ganti pasangan), bukan penggunaan kondom sebagai jalan keluar.
143
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Fatkhuri
Tempat tanggal lahir
: Batang, 19 April 1985
Pendidikan
: SDN 1 Kluwih Bandar Batang MTS Assyairiyah Plumbon Limpung Batang MAN 3 Kota Pekalongan IAIN Walisongo Semarang
Alamat Lengkap
: Kluwih Rt. 08 Rw. 01 Bandar Batang
144