SKRIPSI
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN SINGLE PARENT DALAM MERAWAT ANAK DI KELURAHAN DWIKORA KECAMATAN MEDAN HELVETIA TAHUN 2015
Oleh MEILAN RIMMAWATI SINAGA 11 02 078
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015
SKRIPSI
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN SINGLE PARENT DALAM MERAWAT ANAK DI KELURAHAN DWIKORA KECAMATAN MEDAN HELVETIA TAHUN 2015
Skripsi ini diajukan sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep) di Program Studi Ners Fakultas Keperawatan & Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan
Oleh MEILAN RIMMAWATI SINAGA 11 02 078
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN DAN KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA TAHUN 2015
PERNYATAAN
STUDI FENOMENOLOGI PENGALAMAN SINGLE PARENT DALAM MERAWAT ANAK DI KELURAHAN DWIKORA KECAMATAN MEDAN HELVETIA TAHUN 2015
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan orang lain, kecuali yang tertulis yang dicantumkan dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Agustus 2015
Meilan Rimmawati Sinaga
i
DAFTAR RIWAYAT HIDUP A. Identitas Diri 1. Nama
: Meilan Rimmawati Sinaga
2. NIM
: 11 02 078
3. Jenis Kelamin
: Perempuan
4. Tempat/Tgl Lahir
: Medan, 22 Mei 1993
5. Agama
: Kristen Protestan
6. Anak ke
: 3 (tiga) dari 3 (tiga) bersaudara
7. Nama Ayah
: Roubert Sinaga (†)
8. Nama Ibu
: Dumarisma Gurning
9. Alamat Rumah
: Jln. Setia Luhur Gg. Mawar No. 10E, Medan
10. Email
:
[email protected]
11. No. Tlp
: 0831 9778 0282
B. Riwayat Pendidikan 1. Tahun 1999 – 2005
: SD Katolik Mariana, Medan
2. Tahun 2005 – 2008
: SMP St. Thomas 3, Medan
3. Tahun 2008 – 2011
: SMA Budi Murni 1, Medan
4. Tahun 2011 – 2015
: S1 keperawatan di Program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kesehatan kepada peneliti, dan atas berkat rahmat dan karuniaNya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengalaman Single Parent Dalam Merawat Anak di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015”. Penyelesaian skripsi ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ners Fakultas Keperawatan Dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan Tahun 2015.
Selama proses penyusunan skripsi ini, begitu banyak bantuan, nasehat dan bimbingan yang peneliti terima demi kelancaran penelitian skripsi ini. Dengan segala kerendahan hati, pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan terima kasih kepada Bapak/Ibu: 1. Parlindungan Purba, SH, MM, selaku Ketua Yayasan Sari Mutiara Medan. 2. Dr. Ivan Elisabeth Purba, M.Kes, selaku Rektor Universitas Sari Mutiara Indonesia. 3. Irfan Abdilla S.STP, selaku lurah di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia. 4. Ns. Janno Sinaga, M.Kep, Sp.KMB, selaku Dekan Fakultas Keperawatan Dan Kebidanan. 5. Ns. Rinco Siregar, S.Kep, MNS, selaku Ketua Program Studi Ners Fakultas Keperawatan Dan Kebidanan, sekaligus selaku Dosen Penguji I yang telah memberikan kritik dan saran dalam kelengkapan penyusunan skripsi ini. 6. Ns. Bunga Theresia Purba, M.Kep, selaku Ketua Penguji yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini.
iii
7. Ns. Agnes Marbun, S.Kep, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan kritik dan saran dalam kelengkapan penyusunan skripsi ini. 8. Ns. Eva Kartika Hasibuan, S.Kep, selaku Dosen Penguji III yang telah meluangkan waktu serta pikiran untuk memberikan bimbingan, arahan dan saran kepada peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini. 9. Para dosen dan staff di lingkungan Program Studi Ners Fakultas Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan. 10. Teristimewa untuk Orang tua dan keluarga penelitii yang selalu memberikan dukungan doa, tenaga dan materi dalam penyusunan skripsi ini. 11. Teman- teman PSIK jalur A yang telah memberikan dukungan, motivasi dan membantu dalam menyelesaikan skripsi ini. Peneliti menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan, dengan demikian peneliti mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak dalam rangka penyempurnaan skripsi ini.
Medan, Agustus 2015 Peneliti
(Meilan Rimmawati Sinaga)
iv
PROGRAM STUDI NERS FAKULTAS KEPERAWATAN & KEBIDANAN UNIVERSITAS SARI MUTIARA INDONESIA Skripsi, Agustus 2015 Meilan Rimmawati Sinaga Pengalaman Single Parent Dalam Merawat Anak di Kelurahan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan Tahun 2015. xi + 67 hal + 2 tabel + 1 Skema + 8 Lampiran
ABSTRAK Seseorang yang menjadi single parent harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, keuangan, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau depresi yang dialami oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi fokus tujuan penelitian adalah bagaimana pengalaman single parent dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan anaknya. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan studi fenomenologi. Populasi sebanyak 151, sedangkan sampel adalah 4 orang single parent dikarenakan kematian pasangan ≥5 tahun, berada pada kategori usia antara 45-59 tahun, mempunyai anak yang menjadi tanggungan. Teknik pemilihan partisipan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara mendalam. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh temuan 4 tema. Masalah yang dihadapi, ketegangan sosial, dukungan keluarga dan harapan. Kesimpulan yang diperoleh single parent wanita memiliki masalah khusus yang timbul pada keluarga, yaitu kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup. Sementara keluarga single parent father memiliki masalah khusus dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak. Saran dalam penelitian ini adalah diharapkan single parent dapat segera bangkit dari dukanya dan klinis dapat mengetahui bentuk permasalahan mereka. Kata Kunci : Merawat Anak, Pengalaman, Single Parent. Daftar Pustaka : 27 (1987-2014)
v
NURSING COLLAGE FACULTY OF NURSING & MIDWIFERY SARI MUTIARA INDONESIAN UNIVERSITY Scription, August 2015 Meilan Rimmawati Sinaga Phenomenological Study The Experience of Single Parent in Treating The Children At Dwikora Subdistrict Medan Helvetia District in 2015 xi + 67 pages + 2 tables + 1 schemas + 8 enclosures
ABSTRACT Someone who was a single parent must fill the necessary for love, finance, act as a father and mother at the same time, control the anger or depression were experienced by children as well as themselves. Based on above the background, became the focus of this study how the experience a single parent to fill their and their children need. This study used qualitative method with phenomenological study approach. The population were 151 persons, while the sample were 4 persons single parent that lost their spouse ≥5 years, were in the age category between 45-59 years old, has a dependent child, and used selection participant techniques with purposive sampling. Technique of data collection has done by in depth interviews. Based on the results of this study, 4 themes. Problems encountered, social tensions, family support and hopes. The conclusion was single parent women have special problems that arise in the family, namely the difficulty in obtaining enough revenue. While the father single parent families had special problems in terms of providing protection and attention in children. The proposition in this study was expected to single parent may soon rise from her grief and clinical could determine the shape of their problems. Keyword : Single Parent, Experience, Take Care Of The Children. Reference: 29 (1987-2014)
vi
DAFTAR ISI Halaman LEMBAR PENGESAHAN PERNYATAAN ........................................................................................ DAFTAR RIWAYAT HIDUP ................................................................ ABSTRAK ................................................................................................. ABSTRACT ................................................................................................ KATA PENGANTAR ............................................................................... DAFTAR ISI .............................................................................................. DAFTAR TABEL...................................................................................... DAFTAR SKEMA .................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
i ii iii iv v vii ix x xi
BAB I
PENDAHULUAN ..................................................................... A. Latar Belakang..................................................................... B. Perumusan Masalah ............................................................. C. Tujuan Penelitian ................................................................. 1. Tujuan Umum............................................................... 2. Tujuan Khusus .............................................................. D. Manfaat Penelitian ...............................................................
1 1 6 7 7 7 7
BAB II
TINJAUAN TEORITIS ........................................................... A. Keluarga .............................................................................. 1. Pengertian Keluarga ..................................................... 2. Fungsi Keluarga ........................................................... 3. Bentuk Keluarga ........................................................... 4. Peranan Keluarga ......................................................... 5. Bentuk Dukungan Keluarga ......................................... 6. Sumber Dukungan Keluarga ........................................ B. Single Parent ....................................................................... 1. Pengertian Single Parent .............................................. 2. Penyebab Menjadi Single Parent ................................. 3. PeraN Single Parent ..................................................... 4. Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Single Parent 5. Gaya Hidup Keluarga Single Parent ............................ 6. Masalah Yang Dihadapi Single Parent ........................ 7. Dampak Menjadi Single Parent ................................... C. Kerangka Berpikir ...............................................................
9 9 9 10 11 13 15 15 16 16 17 20 21 24 25 29 30
BAB III METODE PENELITIAN......................................................... A. Desain Penelitian ................................................................. B. Populasi dan Sampel............................................................ 1. Populasi ........................................................................ 2. Sampel .......................................................................... C. Lokasi dan Waktu Penelitian ...............................................
32 32 33 33 33 34
vii
1. Lokasi penelitian ........................................................... 2. Waktu penelitian............................................................ Metode Pengumpulan Data ................................................. 1. Wawancara Mendalam .................................................. 2. Alat Pengumpul Data .................................................... 3. Panduan Pertanyaan....................................................... Prosedur Pengumpulan data ................................................ Alat Bantu Pengumpulan data ............................................. Pengolahan dan Analisis Data ............................................. Etika Penelitian .................................................................... Validitas Data ......................................................................
34 34 34 34 35 36 36 38 38 39 41
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian .................................. B. Hasil Penelitian ................................................................... C. Pembahasan ......................................................................... D. Keterbatasan Penelitian .......................................................
43 43 52 65
D.
E. F. G. H. I.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ......................................................................... B. Saran ...................................................................................
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
viii
66 66
DAFTAR TABEL Tabel 4.1
Data demografi Partisipan ...................................................
43
Tabel 4.2
Hasil Analisa Data ...............................................................
43
ix
DAFTAR SKEMA
Skema 2.1
Kerangka Berpikir ....................................................................
x
31
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1.
Surat Izin Memperoleh Data Dasar
Lampiran 2.
Surat Balasan Izin Perolehan Data Dasar
Lampiran 3.
Surat Izin Penelitian
Lampiran 4.
Surat Selesai Penelitian
Lampiran 5.
Lembar Permohonan Menjadi Partisipan
Lampiran 6.
Lembar Persetujuan Menjadi Partisipan
Lampiran 7.
Lembar Pedoman Wawancara
Lampiran 8.
Lembar Catatan Lapangan
Lampiran 9.
Lembar Bimbingan Skripsi
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan sebuah kelompok yang terdiri dan dua orang atau lebih masing – masing mempunyai hubungan kekerabatan yang terdiri dari bapak, ibu, kakak, dan nenek Keluarga sebagai sistem sosial terkecil mempunyai fungsi
dan
tugas
agar
sistem
tersebut
berjalan
seimbang
dan
berkesinambungan. Peranan dan fungsi keluarga sangat luas dan sangat bergantung dari sudut dan orientasi mana akan dilakukan, yaitu diantaranya dari sudut biologi, sudut perkembangan, pendidikan, sosiologi, agama dan ekonomi (Jhonson, 2010).
Seseorang yang menjadi single parent harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, keuangan, berperan sebagai ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau depresi yang dialami oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Kondisi dimana single parent harus mengerjakan semua tugas tersebut secara sendirian dapat memperberat tugas sebagai single parent. Single parent juga memiliki kondisi emosional khusus, seperti kekecewaan dan kesepian karena terpisah atau kehilangan pasangannya (Christiani, 2010).
Menurut (Egelman, 2004) terdapat tiga dampak umum keluarga dengan single parent bagi orangtua yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self. Multitasking yaitu konflik peran yang muncul pada single parent karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan. Solo parenting yaitu kesulitan dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Issues of self yaitu self image pada single parent akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orangtua.
1
Menurut (Glasser & Navarre, 1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu struktur tugas (seperti memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga), struktur komunikasi (bagi anak, orangtua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah di internalisasi oleh orangtua dan sebagai penghubung serta mewakili anak dalam dunia orang dewasa), struktur kekuasaan (dalam setiap situasi, single parent akan dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau menentang si anak) dan struktur afeksi (dalam hal menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional).
Data WHO pada tahun 2010, di AS ada sekitar 14 juta single parent. Sebanyak 83 % adalah single mother dan 17 % adalah single father. Masalah yang banyak dijumpai single parent di AS yang bekerja adalah kurangnya waktu bersama dengan anak. Kemudian beberapa penelitian di Amerika dikatakan bahwa terdapat 25 % anak tinggal dengan single parent. Pada tahun 2003, di Australia terdapat 14 % keluarga dari keseluruhan jumlah keluarga masuk dalam kategori single parent, sedangkan di Inggris pada tahun 2005 terdapat 1,9 juta single parent dan 91 % dari angka tersebut adalah wanita sebagai single parent (U.S. Bureau of Census, 2000 dalam Friedman, 2010).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi biaya kehidupan bagi anak yang hidup dengan single parent yaitu: usia orangtua, tingkat pendidikan dan pekerjaan, pendapatan keluarga (sosioekonomi), dukungan dari keluarga dan teman. Di dunia, single mother berbanding single father adalah 4: 1. Ditambah lagi, hasil dari data sensus pada tahun 2003 menunjukkan bahwa 32 % dari seluruh keluarga yang memiliki anak berusia dibawah 18 tahun tinggal dalam keluarga dengan single parent dimana 26 % tinggal dibawah pengasuhan ibu dan 6 % dibawah pengasuhan ayah (Newman, 2006)
Badan Pusat Statistik ( BPS ) tahun 2013 mencatat jumlah single parent di Indonesia sebanyak 1,76 % dari total rumah tangga dengan sebab perceraian dan sebanyak 5,77 % dengan sebab kematian pasangan. Tahun 2011 BPS juga mencatat 2,49 % single mother dengan sebab perceraian dan 9,59 % dengan sebab kematian pasangan. Pada single father, BPS mencatat sebanyak 1,02 % dengan penyebab perceraian dan dengan penyebab kematian pasangan sebanyak 1,96 %. Seperti yang diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Depag, setiap tahun ada dua juta perkawinan akan tetapi data single parent bertambah menjadi dua kali lipat, yaitu setiap 100 orang yang menikah 10 di antaranya bercerai dan memilih menjadi single parent.
Berdasarkan data dari Pengadilan Agama Medan, pada tahun 2010 jumlah kasus perceraian sebanyak 717; pada tahun 2011 jumlah kasus perceraian sebanyak 693; sedangkan pada tahun 2012 (perhitungan hingga November 2012) terdapat 685 jumlah kasus perceraian. Selanjutnya, melalui data dari Dinas Kependudukan Medan tahun 2012, diperoleh informasi mengenai jumlah janda cerai sebanyak 1,48% dan janda karena kematian suami sebanyak 6,17%, sedangkan jumlah duda cerai sebanyak 0,56 % dan duda karena kematian istri sebanyak 1,01%. Bila data di atas dikumulatifkan maka janda lebih besar yaitu 7,65% dibanding duda yang hanya mencapai 1,57 %. Berdasarkan data tersebut, dapat dikatakan bahwa peran sebagai single parent lebih banyak dipegang oleh wanita.
Duncan Stephen, 2002 mengungkapkan, pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin single parent adalah masalah anak. Anak akan merasa dirugikan dengan hilangnya salah satu orang yang berarti dalam hidupnya. Hasil riset menunjukkan bahwa anak di keluarga yang hanya memiliki single parent, rata-rata cenderung kurang mampu mengerjakan sesuatu dengan baik dibandingkan anak yang berasal dari keluarga yang orang tuanya utuh. Sedangkan, (Stephen Atlas, 2002) menuliskan, jika keluarga dengan single parent memiliki kemauan untuk bekerja membangun
kekuatan yang dimilikinya, itu bisa membantu mereka untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
Menanggung beban sebagai orang tua tunggal merupakan suatu masalah baru yang dihadapi oleh orang tua tunggal perempuan. Masalah utama yang dihadapi oleh orang tua tunggal perempuan terutama yang miskin yaitu mengenai masalah anak dan ekonomi. Masalah yang berkaitan dengan anak yang tengah dihadapi oleh orang tua tunggal perempuan yaitu tentang mendidik, mengasuh dan merawat anak. Sedangkan masalah ekonomi yang dihadapi oleh orang tua tunggal perempuan miskin karena berada pada golongan ekonomi menengah ke bawah dan mereka telah mengalami kemerosotan kondisi ekonomi ketika suami sakit dan setelah meninggal. Hal tersebut menjadikan orang tua tunggal perempuan miskin mengalami masalah ekonomi dan harus bekerja seorang diri untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Masalah lainnya yang dihadapi informan adalah perasaan kesepian karena sudah tidak ada teman hidup yang biasa diajak berbagai pendapat dan pikiran ( Muthoharoh S., 2012)
Ibu sebagai kepala keluarga dalam hal mendidik anak-anak akan berusaha sebaik mungkin memberikan perhatian dan memberikan nasehat agar berjalan di jalan yang benar serta tidak merasa kekurangan kasih sayang karena hanya adanya ibu sebagai orang tua tunggal. Anak-anakpun dengan bimbingan dan kasih sayang serta sikap terbuka dalam keluarga menjadi lebih mengerti akan keadaan ibu, sehingga anak-anak dapat menjadi pribadi yang dewasa dan mandiri tanpa bergantung kepada ayah. Kehidupan keluarga berkaitan erat dengan masalah ekonomi yang berkaitan dengan masalah finansial keluarga mengenai pemenuhan kebutuhan hidup keluarga sehingga ibu sebagai kepala keluarga menjadi tulang punggung keluarga dan menjadi tumpuan nafkah keluarga. Apabila dahulu hanya suami/ayah yang bekerja sekarang ibu harus bekerja atau mengusahakan segala cara demi terpenuhinya kebutuhan keluarga, apabila sebelum menjadi orang tua tunggal ibu dan ayah sama-sama
bekerja maka ekonomi tidak akan terasa begitu sulit dalam hal pemenuhan kebutuhan keluarga (Musrayani U.M., dkk, 2010)
Single parent dalam perjuangan menghidupi keluarga memiliki hambatan anak nakal yang tidak nurut sama orang tua, sehingga single parent tersebut harus bersabar dalam mendidiknya. Status janda yang menjadi hambatan bagi single parent apabila keluar rumah sendirian. Masalah ekonomi yang sering terjadi pada single parent yang hanya bekerja sendirian untuk menghidupi keluarganya (Layliyah, 2013)
Secara keseluruhan 37,6% single parent di Jorong Kandang Harimau Kenagarian Sijunjung yang cerai hidup mengalami masalah, sedangkan 25,3% yang cerai mati mengalami masalah. Jika dirataratakan, baik single parent yang disebabkan oleh perceraian maupun kematian, 27,5% mengalami masalah. Masalah yang paling banyak bagi single parent cerai hidup adalah masalah pada kehidupan berkeluarga yaitu hubungan dengan keluarga besar pihak suami yaitu sebesar 65,71%. Pada single parent cerai mati, masalah yang paling banyak muncul adalah masalah dalam kehidupan pribadi terkait aspek kondisi jasmani dan kesehatan sebesar 51.51%. jika dilihat secara umum masalah yang banyak dirasakan baik cerai hidup maupun cerai mati adalah pada kehidupan karir atau pekerjaan (Mailany & Sano, 2013)
Berdasarkan survey awal yang telah dilakukan peneliti di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia dari lingkungan I – XII tahun 2013 dari 5.481 KK terdapat data single parent sebanyak 151 KK disebabkan kematian pasangan dan sebanyak 19 KK disebabkan perceraian, 82% single mother dan 18% single father, dilakukan wawancara pada 4 orang single parent didapatkan kesimpulan adanya kekhawatiran single parent sesudah tidak ada lagi partner hidup untuk berdiskusi dalam menjalani hidup ini, terutama mengenai kelanjutan hidup anak. Single parent yang pertama mengatakan ia cukup kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari anak dikarenakan ia adalah
seorang lelaki yang tidak terbiasa mengurusi urusan rumah tangga. Yang kedua mengatakan memiliki beban yang lebih dari berbagai aspek dibandingkan saat masih memiliki pasangan dalam merawat anak. Yang ketiga mengatakan ia kebingungan dalam mengambil keputusan dikarenakan anaknya juga kurang mampu diajak berdiskusi. Yang keempat mengatakan ia harus melakukan pekerjaan seorang pria dan wanita sebagai orangtua seekaligus, letih tapi demi anak ia akan berjuang. Tetapi keempat single parent tersebut mengaku bahwa anaknya menjadi lebih mandiri dan penurut dari sebelumnya. Tetapi walaupun demikian single parent tersebut merasa semakin perlu mengantisipasi sedini mungkin agar anaknya tidak mengalami gangguan menjadi tertutup, ditambah lagi dukungan keluarga sudah semakin berkurang, terutama dari keluarga pihak pasangan single parent tersebut.
Berdasarkan temuan tersebut, untuk mengungkap dinamika kehidupan single parent (orang tua tunggal), khususnya tentang bagaimana dukungan sosial yang mereka terima sehingga bisa berjuang untuk kelangsungan hidup dan tangguh dalam menjalani hidup tanpa kehadiran pasangan dalam merawat anak. Selain itu penulis melihat minimnya refrensi dan data penunjang mengenai studi yang berkaitan dengan single parent, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Studi Fenomenologi Pengalaman Single parent Dalam Merawat Anak Di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015.”
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas didapat rumusan masalah bagaimana kehidupan ayah atau ibu dalam merawat anak setelah ia menjadi single parent, untuk menjawab rumusan masalah tersebut maka peneliti tertarik ingin melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana pengalaman single parent dalam merawat anak di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015?
C. Tujuan Penelitian 1.
Tujuan Umum Mendapatkan gambaran pengalaman single parent dalam merawat anaknya di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015.
2.
Tujuan Khusus a.
Mengkaji pandangan diri mengenai keadaan keluarga setelah menjadi single parent
b.
Mengetahui bagaimana keluarga menyelesaikan konflik yang muncul setelah terjadinya perubahan dari keluarga dengan orangtua utuh menjadi keluarga dengan single parent
c.
Mengetahui sumber dukungan yang didapat keluarga dengan statusnya single parent.
d.
Menganalisis hambatan – hambatan yang dialami single parent dalam merawat anak.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memperoleh hasil dan memberi manfaat antara lain: 1.
Bagi Keperawatan Keluarga Memperoleh gambaran dan informasi mengenai kehidupan keluarga dengan single parent dan dapat digunakan sebagai informasi awal untuk melaksanakan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan keperawatan keluarga single parent.
2.
Bagi Single parent Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi dan penjelasan bagaimana psikologi perkembangan keluarga, terutama keluarga dengan status single parent, demi kelangsungan kehidupan keluarga tersebut kedepannya dan tidak melemahkan diri untuk berjuang agar tetap bisa bertahan hidup.
3.
Bagi Lurah Dwikora Hasil penelitian ini dapat lebih memberi pemahaman kondisi-kondisi dari berbagai aspek single parent terutama dalam merawat anaknya. Sehingga Lurah diharapkan dapat mengajak masyarakat dengan mulai megalakkan penyuluhan untuk memperhatikan keberadaan keluarga dengan status single parent.
4.
Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitan ini dapat dijadikan sebagai sumber informasi dan data dasar atau data tambahan terkait dengan penelitian yang berhubungan dengan penelitian single parent dalam merawat anak mereka.
BAB II TINJAUAN TEORITIS A. Keluarga 1. Pengertian Keluarga Keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan ( WHO, 2010). Keluarga sebagai sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan, didalamnya hidup bersama pasangan suami – istri secara sah karena pernikahan, mereka hidup bersama sehidup semati, ringan sama dijinjing berat sama dipikul, selalu rukun dan damai dengan suatu tekad dan cita–cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir dan batin (Djamarah, 2014)
Pengertian keluarga dapat ditinjau dari dimensi hubungan darah dan hubungan sosial. Karena dalam dimensi hubungan darah dalam satu kesatuan yang diikat oleh hubungan sedarah satu sama lainnya. Keluarga adalah kelompok primer yang paling penting dalam masyarakat. Sedangkan dalam dimensi hubungan sosial, keluarga merupakan suatu kesatuan yang diikat oleh adanya saling berhubungan atau interaksi dan saling mempengaruhi antara satu dengan lainnya, walaupun diantara mereka
tidak terdapat hubungan darah (Moh. Shcochib, 2002 dalam
Djamarah, 2014 ).
Menurut (Soelaeman, 2006 dalam Djamarah, 2014) secara psikologis, keluarga adalah sekumpulan orang yang hidup bersama dalam tempat tinggal bersama dan masing – masing anggota merasakan adanya pertautan batin sehingga terjadi saling mempengaruhi, saling memperhatikan dan saling menyerahkan diri. Sedangkan dalam pengertian pedagogis, keluarga adalah suatu persekutuan hidup yang dijalin oleh kasih sayang antara pasangan dua jenis manusia yang dikukuhkan dalam pernikahan, yang bermaksud untuk saling menyempurnakan diri.
9
10
Pada dasarnya keluarga itu adalah sebuah komunitas dalam “satu atap”. Kesadaran untuk hidup bersama dalam satu atap sebagai suami – istri dan saling interaksi dan berpotensi memiliki anak akhirnya membentuk komunitas baru yang disebut keluarga. Karenanya keluarga dapat diberi batasan sebagai sebuah group yang terbentuk dari perhubungan laki–laki dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk menciptakan dan membesarkan anak–anak. Jadi, keluarga dalam bentuk murni merupakan satu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri dan anak–anak yang belum dewasa. Satuan ini mempunyai sifat–sifat tertentu yang sama, dimana saja dalam satuan masyarakat manusia (Hartono dan Arnicum, 1993 dalam Djamarah, 2014 )
2.
Fungsi Keluarga Menurut (Friedman, 2002) secara umum fungsi keluarga adalah sebagai berikut: a.
Fungsi Afektif, adalah fungsi keluarga yang utama untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga berhubungan
dengan
orang.
Fungsi
afektif
berguna
untuk
pemenuhan psikososial. b.
Fungsi Sosialisasi, adalah fungsi mengembangkan dan tempat melatih anak untuk kehidupan sosial sebelum meninggalkan rumah untuk berhubungan dengan orang lain diluar rumah.
c.
Fungsi Reproduksi, adalah fungsi mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
d.
Fungsi Ekonomi, yaitu keluarga berfungsi untuk memenuhi kebutuhan
keluarga
mengembangkan
secara
ekonomi,
dan
kemampuan
individu
dalam
tempat
untuk
meningkatkan
penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. e.
Fungsi Perawatan/Pemeliharaan Kesehatan, yaitu fungsi untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.
11
Menurut (Efendy, 1998 dalam Dion Y. & Betan Y, 2013) terdapat tiga fungsi pokok keluarga terhadap anggota keluarganya, adalah : a. Asih Yaitu memberikan kasih sayang, perhatian, rasa aman, kehangatan kepada anggota keluarga sehingga memungkinkan mereka tumbuh dan berkembang sesuai usia dan kebutuhannya.
b. Asuh Yaitu menuju kebutuhan pemeliharaan dan keperawatan anak agar kesehatannya selalu terpelihara, sehinggadiharapkan menjadi anakanak baik fisik, mental, sosial dan spiritual.
c. Asah Yaitu memenuhi kebutuhan pendidikan anak, sehingga siap menjadi manusia dewasa yang mandiri dalam mempersiapkan masa depannya.
3.
Bentuk Keluarga Bentuk keluarga menurut (Potter & Perry, 2005) terdiri dari : a.
Keluarga Inti Merupakan keluarga yang terdiri dari suami, istri dan mungkin satu atau lebih anak. Kelahiran anak mempengaruhi waktu keluarga dan sumber ekonomi. Ketidakhadiran anak memungkinkan suami dan istri mencari konseling dan pelayanan kesehatan.
b.
Keluarga Besar Keluarga ini termasuk kerabat (bibi, paman, kakek, nenek dan sepupu), selain keluarga inti. Makin dekat anggota keluarga pada keluarga besar, makin mempunyai pengaruh pada pelayanan kesehatan. Keluarga inti memberikan berbagai macam dukungan berdasarkan kebutuhan anggota keluarga terhadap pelayanan kesehatan.
12
c. Keluarga dengan Single parent Keluarga ini terbentuk karena salah satu orang tua meninggalkan keluarga inti karena kematian, perceraian, pengabaian atau pada saat seseorang yang belum menikah memutuskan untuk memiliki atau mengadopsi anak. Situasi perpisahan berdampak pada keluarga, hal ini merupakan akibat yang paling umum dari perceraian pada saat ini. Pengurangan sumber finansial dan emosi mempengaruhi kesehatan keluarga dengan single parent
d. Keluarga Campuran Keluarga ini dibentuk pada saat orang tua membawa anak–anak yang tidak memiliki hubungan dari hubungan yang sebelumnya ke dalam hubungan yang baru, bergabung dalam situasi kehidupan. Situasi kehidupan alami yang sebelumnya dan rata–rata adaptasi terhadap perubahan mempengaruhi kesehatan. Tekanan dari bentuk pola keluarga yang baru dapat mempengaruhi kesehatan mental anggota keluarganya.
Bentuk keluarga menurut (Suprajitno, 2004) pembagian bentuk keluarga bergantung pada konteks keilmuan dan orang, yang mengelompokkan menjadi dua, yaitu : a.
Keluarga Inti (nuclear family) adalah keluarga yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak yang diperoleh dari keturunannya atau adopsi.
b.
Keluarga Besar (Extended family) adalah keluarga inti ditambah dengan anggota keluarga lain yang masih mempunyai hubungan darah (kakek, nenek, paman dan bibi )
13
4.
Peranan Keluarga Peran keluarga menurut (Friedman, 1998) adalah sebagai berikut : a. Motivator Keluarga sebagai penggerak tingkah laku atau dukungan ke arah suatu tujuan dengan didasari adanya suatu kebutuhan anggota keluarga yang sakit sangat membutuhkan dukungan dari keluarga.
b. Edukator Dalam hal ini dapat diartikan sebagai upaya keluarga dalam memberikan pendidikan kepada anggota keluarga yang sakit.
c. Fasilitator Sarana yang dibutuhkan keluarga yang sakit dalam memenuhi kebutuhan untuk mencapai keberhasilan pelaksanaan program tersebut. Oleh karena itu, diharapkan keluarga selalu menyiapkan diri untuk membawa anggota keluarga yang sakit untuk memfasilitasi penderita DM yang dihadapi penderita dengan memberikan nutrisi yang disenangi penderita tetapi sesuai dengan diet penderita. Keluarga mempunyai sarana peran utama dalam pemeliharaan kesehatan seluruh anggota keluarga dan bukan individu sendiri mengusahakan tercapainya tingkat kesehatan yang diinginkan
Menurut ( Djamarah, 2014), peranan masing–masing anggota keluarga adalah: a. Ayah Di Indonesia, seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat kepemimpinan yang mantap. Sesuai ajaran tradisional (jiwa), maka seorang pemimpin harus dapat memberi teladan yang baik (ing ngarso sung tulodo), memberikan semangat sehingga pengikutnya kreatif (ing madyo mangunkarso), dan membimbing (tut wuri handayani). Sebagai seorang pemimpin
14
didalam rumah tangga, seorang ayah harus mengerti dan serta memahami kepentingan keluarga yang dipimpinnya
b. Ibu Peranan ibu pada masa anak – anak besar sekali. Sejak dilahirkan peran ibu tampak nyata, sehingga dapat dikatakan bahwa pada awal proses sosialisasi, seorang ibu memiliki peranan yang besar sekali, bahkan lebih besar dari peran ayah. Peranan seorang ibu dalam membantu proses sosialisasi tersebut, mengantar anak ke dalam sistem kehidupan sosial yang berstruktur. Anak diperkenalkan dengan kehidupan kelompok yang saling berhubungan dalam jalinan interaksi sosial (Soerjono Soekanto, 1992 dalam Djamarah 2014 ).
c.
Anak Dengan hadirnya anak–anaknya dalam keluarga berarti komunitas dalam keluarga bertambah. Disini interaksi semakin meluas. Semula hubungan antara suami–istri, kemudian meluas hubungan antara anak–anak. Misalnya masalah pelajaran, bermain, rekreasi, dan sebagainya.
Setiap anggota memiliki peran masing–masing, antara lain adalah : ayah sebagai pemimpin keluarga mempunyai peran sebagai peran sebagai pencari nafkah, pendidik, pengayom/pelindung, pemberi rasa aman bagi setiap anggota keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosisal tertentu; Ibu sebagai pengurus rumah tangga, pengasuh dan pendidik anak–anak, pelindung keluarga dan juga pencari nafkah tambahan keluarga dan juga sebagai anggota masyarakat kelompok sosial tertentu; Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan perkembangan fisik, mental, sosial dan spiritual (Setiadi, 2008 ).
15
5.
Bentuk Dukungan Keluarga Keluarga memainkan suatu peran bersifat mendukung selama masa penyembuhan dan pemulihan. Apabila dukungan semacam ini tidak ada, maka keberhasilan penyembuhan atau pemulihan (rehabilitasi) sangat berkurang (Friedman, 1998). Menurut (Caplan, 1976 dalam Friedman, 1998) menjelaskan bahwa keluarga memiliki beberapa bentuk dukungan yaitu : a.
Dukungan informasional Keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor dan desiminator (penyebar) informasi tentang dunia.
b.
Dukungan penilaian Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik, membimbing dan membenahi pemecahan masalah dan sebagai sumber dan validator identitas anggota
c.
Dukungan instrumental Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkrit.
d.
Dukungan emosional Keluarga sebagai sebuah tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi.
6.
Sumber Dukungan Keluarga Menurut Friedman (1998), dukungan sosial keluarga mengacu kepada dukungan-dukungan sosial yang dipandang oleh anggota keluarga sebagai suatu yang dapat diakses atau diadakan untuk keluarga. a.
Dukungan sosial dapat berupa dukungan sosial keluarga internal, seperti dukungan dari suami/istri, atau dukungan dari saudara kandung.
16
b.
Dukungan sosial keluarga eksternal adalah dukungan dari luar keluarga.
B. Single parent 1. Pengertian Single parent Menurut Perlmutter & Hall (1995), mengartikan single parent sebagai orang tua yang tanpa partner (pasangan) secara kontiniu membesarkan anaknya oleh diri mereka sendiri. Lasswell (1987), mengatakan bahwa single parent muncul karena kematian pasangan dan putusnya ikatan perkawinan dalam keluarga, yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku dalam suatu negara (Wolf, 2005). Kemudian ditambahkan oleh Duval & Miller (1995), single parent adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak tanpa kehadiran, dukungan atau tanggung jawab pasangannya. Keluarga dengan single parent muncul karena kematian salah satu pasangan dan pasangan yang ditinggalkan tersebut tidak menikah lagi, sebahagian besar single parent adalah akibat perceraian dalam keluarga (Papalia, 1998).
Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering dijumpai keluarga dimana salah satu orang tuanya tidak ada lagi. Keadaan ini menimbulkan apa yang disebut dengan keluarga dengan single parent. Single parent (orangtua tunggal) adalah orang tua yang telah menduda atau mensingle parent baik bapak atau ibu, mengasumsikan tanggung jawab untuk memelihara anak-anak setelah kematian pasangannya, perceraian atau kelahiran anak diluar nikah (Hurlock, 2010). “A single parent family consist of one parent with dependent children living in the same household” (Hamner & Turner, 1990). Sementara itu, (Sager, dkk 1980 dalam Duvall & Miller, 1985) menyatakan bahwa
17
orang single parent adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya.
Tipe keluarga dengan single parent (single parent), merupakan salah satu tipe keluarga yang dikelompokkan secara modern. Single parent berarti orang tua sebagai akibat perceraian atau kematian pasangannya dan anak – anaknya dapat tinggal dirumah atau diluar rumah (Setiadi, 2008). Keluarga dengan single parent bisa dipimpin oleh wanita karena kehilangan suaminya atau dipimpin oleh pria karena kehilangan istrinya. Kenyataannya banyak keluarga dengan single parent dengan orang tua dipimpin oleh wanita (Foster, Mabel & Jo, 1989).
Varian tradisional keluarga dengan single parent adalah bentuk keluarga dimana kepala keluarga adalah single parent atau duda, diceraikan, ditinggal pergi atau berpisah. Varian non-tradisional dari bentuk keluarga dengan orangtua tunggal adalah sebuah keluarga dimana kepala secara praktis selalu ibu atau ayah yang belum pernah menikah (Friedman, 1998).
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa orang-tua tunggal adalah seorang pria ataupun wanita yang pernah menikah atau tidak menikah, yang secara sendirian bertanggung jawab membesarkan anaknya tanpa didampingi oleh pasangannya.
2.
Penyebab Menjadi Single parent Papalia (1998) telah menjelaskan pengertian keluarga dengan single parent, ada dua hal yang umum menjadi penyebab keluarga dengan single parent, yaitu perceraian dan meninggalnya pasangan. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai dua penyebab tersebut.
18
a. Perceraian Perceraian adalah kulminasi dari penyesuaian perkawinan yang buruk dan terjadi bila antara suami dan istri sudah tidak mampu lagi mencari cara penyelesaian yang dapat memuaskan kedua belah pihak (Hurlock, 1999). Stinson (1991) menjelaskan bahwa, perceraian sebagai gangguan hubungan pernikahan yang dialami oleh orang tua sehingga dapat mempengaruhi hubungan yang terjadi antara anak dan orang tua. Perceraian dapat meningkatkan stres dan menyebabkan berkurangnya waktu, energi dan dukungan emosional yang diberi antara pasangan
Brehm (2002), mendefinisikan perceraian sebagai berakhirnya sebuah hubungan pernikahan yang sebenarnya belum saatnya untuk berakhir. Perceraian sering diartikan sebagai sesuatu hal yang dapat menyebabkan kehancuran. Akibat yang ditimbulkan tidak hanya mempengaruhi kehidupan pasangan yang memutuskan untuk bercerai tetapi juga dialami oleh anak. Argyle & Henderso (1995), mengatakan
bahwa
perceraian
diartikan
dengan
terputusnya
perjanjian pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan.
Gangguan pernikahan yang dialami terjadi secara keseluruhan pada pernikahan yang formal, menyebabkan terputusnya ikatan emosi, seks dan ekonomi. Sebagai akibat yang ditimbulkan adalah perpisahan yang bersifat menetap. Sehingga dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
perceraian adalah terputusnya
perjanjian
pernikahan yang resmi oleh kedua pasangan, dan sebagai akibat dari perpisahan tersebut dapat mempengaruhi kehidupan pasangan maupun anak
19
b. Meninggalnya Pasangan Meninggalnya pasangan merupakan masa yang penuh dengan tekanan dalam pengalaman hidup individu, dan terjadi pada wanita di masa tengah kehidupan dan masa tua. Sebagian besar wanita yang telah melewati usia 65 tahun akan menghadapi masa-masa mensingle parent (Fileds & Casper, 2001). Selanjutnya, House, Landis, dkk (1996) menjelaskan bahwa pentingnya dukungan sosial dan kelekatan bagi kesehatan fisik dan mental. Selain itu dikatakan bahwa, kematian pasangan dapat membuat berubahnya perilaku kesehatan seseorang (Umberson, 1992). Kemudian Kraaij, dkk (2002) mengatakan bahwa, kematian pasangan berhubungan dengan semakin tingginya simptom-simptom depresi yang dirasakan pada individu dewasa tua. Masa setelah kematian pasangan dapat dialami secara berbeda bergantung pada keadaan sosio-historis.
Modernisasi masyarakat di Amerika Serikat berakibat pada kehidupan single parent yang mandiri, lepas dari kontrol keluarga patriarkal dan mampu untuk mempertahankan diri secara ekonomi melalui uang pensiun dan jaminan sosial. Masa mensingle parent dapat pula dialami dalam berbagai cara yang berbeda (O’Bryant, 1990 dalam Santrock, 1995).
Beberapa wanita ada yang pasif, menerima perubahan yang disebabkan kematian suaminya, yang lain memperoleh kemampuankemampuan pribadi dan barangkali tetap berkembang di masa mensingle parentnya. Beberapa orang masih tinggal dalam tradisi di sekelilingnya, yang lain lebih suka mencari sumber baru dan peranan sosial yang baru. Terkadang inisiatif untuk mengatasi masa kesendiriannya datang dari diri sendiri, pada saat lain datang dari dukungan sosial.
20
3.
Peran Single Parent Dalam keluarga, setiap anggota keluarga tersebut tentunya memiliki peranan masing–masing, terutama peran penting ayah dan ibu sebagai orangtua. Menurut (Soekanto, 1990), seorang ayah dianggap sebagai kepala keluarga yang diharapkan mempunyai sifat-sifat kepemimpinan yang mantap. Peran ibu hampir tidak dapat digantikan oleh orang lain dalam panggung kehidupan sehari-hari, sebab ibu merupakan mata rantai pertama yang menghubungkan anak dengan kehidupan dunia (Cause, 1994). Menurut Kartono (1992), tugas ibu adalah mendidik anaknya, sebab disamping pemeliharaan fisik, seorang ibu harus melibatkan diri dalam menjamin kesejahteraan psikis anak, agar anak tersebut dapat mengadakan adaptasi terhadap lingkungan sosialnya.
Seorang yang menjadi single parent harus memenuhi kebutuhan akan kasih sayang dan juga keuangan, beberapa peran ayah dan ibu sekaligus, serta mengendalikan kemarahan atau depresi yang dialami oleh anaknya maupun dirinya sendiri. Orang tua yang demikian mengalami masalah terkucil secara sosial dari kelompok orang tua yang masih lengkap (berpasangan). Semuanya itu memperberat tugas sebagai single parent, tetapi membuatnya menjadi mandiri (Heins & Seiden, 1987). Kejiwaan seorang ibu dan reaksis perilaku untuk situasi ini sebagai single parent adalah menjadi ibu yang kritis untuk meningkatkan fungsi dan menyeimbangkan semua bagian dalam keluarga.
Beberapa ibu sebagai single parent mengalami penurunan pendapatan, status sosial, aktivitas sosial, mengalami isolasi sosial dan meragukan dirinya sendiri (Johnson, 1986). Pria yang menjadi single parent sangat tidak terbiasa dengan pekerjaan rumah tangga. Namun berkat kehadiran peralatan rumah tangga yang modern, mereka dapat bekerja lebih cepat untuk mengerjakan dengan lebih cepat untuk mengerjakan mengerjakan tugas – tugas yang biasa dilakukan wanita (Heins & Seiden, 1987). Dalam
21
urusan rumah tangga single parent, perasaan anak berubah dan mereka lebih memiliki rasa tanggung jawab dan kemampuan untuk membuat keputusan. “Keluarga itu juga berubah” (Heins & Seiden, 1987).
Yang bantuan finansial yang diberikan kepada keluarga single parent dengan anak–anak yang belum mandiri dan perkembangan yang luar biasa dalam jumlah dan proporsi kelahiran yang dialamioleh ibu – ibu yang tidak menikah (Glick, 1989 dalam Friedman, 1998). Membuat tinjauan terhadap penelitian pada keluarga–keluarga dengan single parent tidak bersifat homogen. Mereka sangat berbeda dalam kaitan sumber–sumber, kesempatan dan keterbatasan. Setiap jenis keluarga memiliki masalah dan kekuatan sendiri. Yang amat penting bagi keberhasilan dari setiap tipe keluarga tersebut adalah intergrasinya ke dalam sistem pendukung psikososial aktip (Mendes, 1980 dalam Friedman, 1998).
Goldenberg dan Goldenberg (2002) dan Mendes (1998) dalam Friedman (2002), menyebutkan dalam tinjauan penelitiannya terhadap keluarga single parent, menekankan fakta bahwa keluarga dengan orang tua tunggal tidak homogen. Pada kenyataannya, keluarga single parent amat beragam dalam hal sumber daya, kesempatan dan keterbatasan.
4.
Perbedaan Keluarga Utuh dan Keluarga Single parent Glasser dan Navarre (1999) melihat adanya perbedaan antara keluarga utuh dan keluarga single parent dalam beberapa hal, yaitu: a.
Struktur tugas Berbagai tugas utama dalam keluarga merupakan tanggung jawab orang tua. Memenuhi kebutuhan fisik, emosi dan sosial dari seluruh anggota keluarga adalah pekerjaan bagi kedua orang tua. Jika tugas tersebut harus dilakukan oleh satu orang tua, maka orang tersebut harus cukup matang, competen dan memiliki cukup waktu untuk melakukan tugasnya. Walau demikian tetap sulit bagi satu orang tua
22
untuk dapat mengambil alih semua tugas dua orang tua dalam jangka waktu yang panjang.
Dukungan kekuatan, pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga merupakan tugas-tugas konkrit yang harus dilakukan oleh orang tua. Jika harus dilakukan oleh satu orang tua saja, maka ada berbagai keterbatasan yang dimilikinya, yaitu keterbatasan waktu dan tenaga serta keterbatasan sosial, dimana tugas-tugas yang bersifat pria atau wanita harus dilakukan oleh orang tua dari jenis kelamin yang berlawanan. Dengan kata lain single parent menjalankan peran ganda, baik sebagai ibu maupun sebagai ayah.
b. Struktur Komunikasi Bagi anak, orang tua berperan sebagai saluran komunikasi dengan dunia orang dewasa dalam dua cara, yaitu: 1) Sebagai pembawa nilai-nilai budaya yang sebelumnya telah diinternalisasi oleh orang tua. 2) Sebagai penghubung dan mewakili anak dalam dunia orang dewasa.
Berdasarkan asumsi bahwa perbedaan jenis kelamin mempengaruhi cara pandang seseorang tentang dunia, maka seorang anak akan mengalami gangguan dalam saluran komunikasinya jika hanya ada satu orang tua. Tipe dan kualitas pengalaman orang tua cenderung diatur menurut jenis kelaminnya. Dalam keluarga dengan dua orang tua bukan hanya anak yang memperoleh pengalaman yang lebih bervariasi, tetapi orang tua melalui pasangannya dapat mengetahui tipe pengalaman dari lawan jenisnya.
23
c.
Struktur Kekuasaan Orang tua punya tanggung jawab penuh dalam keluarga. Oleh karena itu, kehidupan keluarga dengan satu orang tua, dalam setiap situasi ini akan
dihadapkan pada pilihan untuk bekerjasama atau
menentang si anak. Dengan kondisi yang demikian, anak akan melihat otoritas sebagai pribadi daripada kesepakatan bersama. Jika single parent tersebut tidak punya pengalaman untuk mengambil keputusan secara demokratis, maka akan mempersulit hubungan dengan anaknya.
Pengambilan keputusan menjadi tanggung jawab orang tua dari dua jenis kelamin, baik ayah maupun ibu dalam keluarga utuh. Sedangkan dalam keluarga single parent figur otoritas atau pemegang kekuasaan dipegang oleh satu jenis kelamin saja, sehingga bagi anak tiap keputusan yang diambil diidentifikasikan dengan jenis kelamin tersebut.
d.
Struktur Afeksi Kebutuhan emosional
bagi
anggota
keluarganya
merupakan
tanggung jawab orang tua untuk memenuhinya. Orang tua harus memiliki kasih sayang dan rasa aman yang diperlukan anak untuk mempertahankan stabilitas emosionalnya dalam keadaan yang menekan (stres) dan dapat menghilangkan perasaan-perasaan negatif yang ada dalam diri anak. Struktur keluarga merupakan elemen penting dalam menyediakan dan mengatur kebutuhan emosional. Pada keluarga dengan single parent, terjadi perubahan dalam struktur keluarga yang justru dapat menimbulkan tekanan dan membatasi penyelesaian masalah.
Berdasarkan berbagai struktur dalam keluarga tersebut, terlihat bahwa keluarga dengan single parent memiliki keterbatasan dan kekurangan bila
24
dibandingkan dengan keluarga dengan dua orang tua, sehingga tidak jarang menimbulkan berbagai kesulitan.
5.
Gaya Hidup Keluarga Single parent (Mendes, 1998 dalam Friedman, 2002) mengidentifikasi lima gaya hidup yang sering terjadi pada single parent, yaitu: a. Gaya hidup kepemimpinan tunggal Pada gaya hidup tipe ini single parent ( orang tua tunggal ) adalah satu– satunya orang tua yang secara aktual terlibat dalam kehidupan dan pengasuhan anak–anaknya. Dalam beberapa kasus, single parent berusaha untuk memenuhi peran baik sebagai ayah maupun ibu dan mudah sekali terpajan stres, keletihan, dan kelebihan peran. Dalam keluarga lain, pimpinan tunggal ini menangani apa yang dapat mereka lakukan, tanpa menyebabkan stres yang tak semestinya dan kemudian mengkoordinasikan alokasi beberapa fungsi lainnya dengan cara menyerahkan fungsi–fungsi tersebut kepada individu yang kompeten di dalam maupun di luar lingkup keluarga.
b. Auxiliary parent (orang tua bantu) Dalam gaya hidup ini, orang tua yang memegang hal pengasuhan anak berbagi tanggung jawab pengasuhan atau lebih dengan orang tua bantu, biasanya ayah dari satu anak atau lebih.
c.
Pengganti yang tidak memiliki hubungan kekerabatan. Dalam gaya hidup ini, orang tua yang memegang hak pengasuhan anak berbagi satu fungsi pengasuhan atau lebih dengan seseorang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga, seperti pembantu rumah tangga yang menginap dan “orang yang seperti seorang ibu” bagi anak – anaknya.
25
d. Pengganti yang memiliki hubungan kekerabatan. Dalam kondisi ini, individu pengganti adalah kerabat yang memiliki hubungan darah atau sah secara hukum yang mengemban peran sebagai orang tua. Individu ini sering kali adalah nenek/kakek, tetapi dapat juga bibi, paman, sepupu, atau saudara kandung anak – anak tersebut. Terdapat peningkatan jumlah nenek yang mengasuh cucu dari anak mereka yang masih remaja, terutama keluarga Afrika, Amerika (Kalil, Spencer, Spleker & Gilchrist, 1998 dalam Friedman, 2002).
e. Titular parent (orang tua hanya sebutan) Orang tua hanya sebutan tinggal dengan anak – anak, tetapi untuk maksud dan tujuan tertentu melepaskan peran sebagai orang tua. Ibu yang masih berusia remaja atau pecandu alkohol, pecandu obat – obatan terlarang, atau mengalami gangguan jiwa sering kali menjadi orang tua sebutan saja. Dalam kasus seperti ini, dapat saja anak berperan sebagai orang tua atau orangtua dari titular parent yang mengurusi pengasuhan anak dan tanggung jawab rumah tangga (Kalil, Spencer, Spleker & Gilchrist, 1998 dalam Friedman, 2002).
6. Masalah Yang Dihadapi Single parent Setiap keluarga memang tidak akan lepas dari berbagai masalah yang harus dihadapi, namun orang-tua tunggal memiliki masalah yang khusus. Weiss (dalam Leslie & Korman, 1995) mengidentifikasikan adanya tiga sumber ketegangan pada orang-tua tunggal, yaitu: a.
Tanggung jawab yang berlebihan Dalam keluarga dengan dua orang-tua, pengambilan keputusan merupakan tanggung jawab bersama. Suami dan istri membicarakan dan merencanakan segala sesuatunya secara bersama-sama. Pada orang tua tunggal bertanggung jawab sendiri untuk mengambil
26
keputusan, merencanakan serta memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya. b.
Tugas yang berlebihan Mereka harus mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh dua orang. Mereka harus bekerja untuk memperoleh penghasilan, mengurus rumah, dan memperhatikan semua kebutuhan anak-anaknya. Menghadapi semua tugas tersebut setiap hari membuat mereka lelah dan jarang memiliki waktu untuk mereka sendiri.
c.
Emosi yang berlebihan Single parent harus mengatasi sendiri kebutuhan emosi anaknya. Hal ini disebabkan waktu mereka habis untuk bekerja, mengurus rumah dan keluarga, sulit untuk memenuhi kebutuhan emosi dan keinginan mereka sendiri.
Menurut (Duncan, 2007), pangkal masalah yang sering dihadapi keluarga yang hanya dipimpin oleh orang-tua tunggal adalah masalah anak. Tugas utama orang tua memang membesarkan anak, jadi tugas tersebut kini harus ditanggung sendiri oleh wanita/pria yang berperan sebagai single parent. Perlmutter dan Hall (1995) menyatakan bahwa dalam keluarga orang tua tunggal, satu orang tua bertanggung jawab untuk menghadapi semua tugas yang biasanya dilakukan oleh dua orang tua. Orang tua tunggal harus bertanggung jawab penuh untuk mengurus rumah, mengatur keuangan, merawat anak, dan memenuhi kebutuhan emosi anak.
Kematian pasangan khususnya yang terjadi bukan hanya akan menimbulkan perasaan duka cita tetapi juga menimbulkan perubahanperubahan yang membutuhkan penyesuaian. Perubahan-perubahan tersebut
menimbulkan
permasalahan
seperti
masalah
ekonomi,
27
pengasuhan anak, keluarga, sosial, pekerjaan, praktis dan seksual (Hurlock, 1991). Menurut Hurlock (1991), terdapat beberapa masalah-masalah umum pada single parent, yaitu: a.
Masalah Ekonomi Akibat inflasi yang terus meningkat, apa yang diterima single parent secara turun temurun jauh kurang memadai untuk memenuhi kebutuhan mereka. Walaupun seorang single parent memulai untuk bekerja pada usia madya, biasanya ia tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasanya dilakukan.
b.
Masalah Keluarga Apabila masih mempunyai anak yang tinggal serumah, maka seorang single parent harus memainkan peran ganda sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan. Selain itu single parent juga sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya semasa hidup.
c.
Masalah Tempat tinggal Dimana seorang single parent akan tinggal biasanya bergantung pada dua kondisi. Pertama, status ekonominya, dan kedua adalah apakah ia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama
d.
Masalah sosial Kehidupan sosial orang-orang yang berusia dewasa awal sama dengan orang yang berusia dewasa, yaitu berorientasi pada pasangan, seorang single parent segera akan menemukan dirinya
28
bahwa tidak ada tempat baginya apabila ia diantara pasangan yang menikah.
e. Masalah Praktis Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang single parent, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya.
f. Masalah Seksual Akibat keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, single parent yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam bertahun tahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustasi dan tidak terpakai. Menurut Bell (1991), secara sosial maupun psikologis, peran single parent wanita lebih menyulitkan dibandingkan pria, hal ini disebabkan oleh: 1) Perkawinan biasanya dianggap lebih penting bagi wanita daripada pria, sehingga akhir dari suatu perkawinan dirasakan oleh wanita sebagai akhir dari peran dasarnya sebagai istri. 2) Single parent wanita kurang memiliki keberanian, baik secara pribadi maupun secara sosial untuk menikah kembali, sehingga mereka cenderung untuk tidak menikah lagi. 3) Single parent janda lebih mengalami kesulitan keuangan daripada duda. 4) Wanita secara sosial kurang agresif, dan mereka lebih membatasi kehidupan sosialnya dibandingkan pria. 5) Lebih banyak single parent janda dibandingkan duda, sehingga kesempatan untuk mengubah status pernikahan kembali lebih sulit bagi single parent janda daripada duda.
29
Selain itu, masalah usia juga berpengaruh terhadap penyesuaian diri single parent terhadap perubahan hidupnya menjadi orang-tua tunggal. Karena kurangnya persiapan menjadi single parent, kebutuhan untuk mengurus anak yang masih kecil serta masalahmasalah praktis lainnya, maka single parent yang usianya lebih muda biasanya lebih sulit untuk menyesuaikan diri daripada single parent yang usianya lebih tua (Blau, dalam Aiken, 1994).
Masalah lain yang muncul pada single parent adalah mengenai stigma masyarakat. Mereka cenderung diasingkan secara sosial oleh masyarakat karena dianggap dapat mengancam kehidupan rumah tangga orang lain (Rando, 1994). Jadi berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah-masalah yang dihadapi oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal adalah masalah ekonomi atau keuangan, masalah keluarga, masalah tempat tinggal, masalah sosial, masalah praktis, dan masalah seksual.
7. Dampak Menjadi Single parent Ada tiga dampak umum menjadi single parent yaitu: multitasking, solo parenting dan issues of self (Egelman, 2004). a.
Multitasking Yaitu konflik peran yang muncul pada single parent karena banyaknya peran yang harus mereka lakukan dalam waktu yang bersamaan.
b.
Solo parenting Yaitu kesulitan orang tua single parent dalam menghadapi perilaku anak karena mereka sudah tidak memiliki pasangan sebagai teman berbagi dalam menyelesaikan masalah keluarga, terutama dalam mengurus anak. Hal yang sangat diharapkan dari orang tua saat ini adalah bahwa semua orang tua harus “perfect”, sehingga tentunya hal ini menjadi sesuatu yang sulit bagi orang tua baik yang single
30
parent dibanding bagi keluarga yang utuh. Mereka harus mampu memberikan dukungan finansial, emosi dan intelektual yang dibutuhkan anak untuk menciptakan emosional yang sehat dan kesuksesan finansial kelak ketika anak menjadi dewasa.
c.
Issues of self Yaitu self image yang dimiliki oleh orang tua single parent yang akan berpengaruh terhadap kualitasnya sebagai orang tua. Issues of self, merupakan keadaan dimana single parent akan mengalami stress dan kebutuhan pribadinya yang luas tidak dapat dipenuhi. Single
parent
berharap
dapat
melanjutkan
pendidikannya,
pekerjaannya dan mempunyai kehidupan sosial yang baik. Namun, hal ini akan menjadi sulit karena mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk memenuhi semua kebutuhannya tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua yang positif berhubungan dengan orang tua yang memiliki self image yang positif. Jika orang dewasa tidak memiliki kesempatan untuk bertumbuh dan mengembangkan pengalaman yang positif pada dirinya, maka kualitasnya sebagai orang tua akan berkurang.
31
C. Kerangka Berpikir Skema 2.1 Kerangka Berpikir Keluarga dengan orangtua tunggal (Single parent Mother): disebabkan kematian pasangannya
Tanggung jawab yang berlebihan
Tugas yang berlebihan
Masalah 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Ekonomi Keluarga Tempat Tinggal Sosial Praktis Seksual
Perawatan Anak
Sumber : Hurlock 1991 dan Egelman (2004)
Emosi yang berlebihan
BAB III METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian Penelitian yang mengambil judul “Pengalaman Single Parent dalam Merawat Anak” dilaksanakan di Kelurahan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia Kota Medan. Lokasi tersebut dipilih dengan pertimbangan karena peneliti melihat fenomena ibu sebagai kepala keluarga yang berjuang untuk keluarganya merupakan suatu fenomena sosial yang perlu dikaji lebih dalam. Sedangkan pertimbangan lain yaitu dari 12 Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Medan Helvetia, di Kelurahan tersebut yang menjadi Ibu sebagai kepala keluarga, memiliki variasi pekerjaan, pendapatan dan yang paling penting memiliki jumlah terbesar Ibu sebagai kepala keluarga di banding laki-laki. Partisipan dalam penelitian ini adalah sumber yang dapat memberikan informasi yaitu: Ibu sebagai kepala keluarga.
Dalam penelitian ini, peneliti mengetahui bagaimana pengalaman single parent dalam merawat anak. Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah Desain fenomenologi dengan pendekatan kualitatif. Moleong (1996) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif berakar pada latar ilmiah sebagai keutuhan, mengandalkan manusia sebagai alat penelitian.
Sifat Dari
penelitian dan penjelajahan terbuka berakhir dilakukan dalam jumlah relatif kelompok kecil yang diwawancarai secara mendalam, sehingga data yang diperoleh
lebih
holistik.
Sedangkan
studi
fenomenologi
menurut
Polkinghorne (1989, dalam Cresswell, 2011) menyatakan bahwa studi fenomenologi menggambarkan tentang pengalaman hidup individu tentang suatu fenomena atau penggalian pengalaman manusia.
32
33
B. Populasi dan Sampel 1. Populasi Partisipan yang dipilih berfungsi untuk mendapatkan informasi yang maksimum, bukan untuk digeneralisasikan (Sugiyono,2013). Jumlah populasi partisipan pada penelitian fenomenologi ini adalah 170 KK dengan status single parent yang masih merawat anak. Dimana dari 170 KK, terdapat 151 KK single parent dikarenakan kematian pasangan.
2. Sampel Partisipan dalam penelitian ini adalah sumber yang dapat memberikan informasi yaitu single parent, jumlah partisipan sebanyak 4 KK, peneliti menggunakan teknik pengumpulan purposive sampling. Menurut (Burhan Bungin, 2008) teknik purposive sampling yaitu teknik mendapat sampel dengan memilih partisipan kunci yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data, serta lebih tepatnya ini dilakukan secara sengaja. Dengan karakteristik partisipan sebagai berikut:
1.
Single parent usia pertengahan (45 tahun – 59 tahun)
2.
Menjadi single parent karena kematian pasangannya ≥5 tahun.
3.
Tinggal didalam satu rumah bersama minimal satu orang anak yang masih dalam tanggungan.
4.
Memiliki pekerjaan dengan pendapatan menengah kebawah.
5.
Bersedia menjadi partisipan dalam penelitian yang dibuktikan dengan penandatanganan surat pernyataan persetujuan penelitian.
6.
Mampu menceritakan pengalaman dengan baik dan lancar dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik.
Setelah penentuan kriteria, maka peneliti mencari informasi untuk melakukan pencarian partisipan yang memenuhi kriteria ke kantor kelurahan dan sekaligus melakukan pendekatan awal. Dengan teknik pengambilan patisipan yang dilakukan secara terus – menerus sampai data
34
penelitian mencapai titik jenuh atau saturation point (Sarantakos, 1993, dalam Poerwandari, 2005).
C. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian Tempat penelitian di Kelurahan Dwikora, Kecamatan Medan Helvetia. Dikarenakan dari XII Kelurahan ini memiliki angka single parent terbanyak, dimana terdapat pula jumlah single mother yang lebih banyak dari single father. Peneliti dapat melakukan wawancara di rumah partisipan atau di tempat yang telah disetujui bersama antara peneliti dan partisipan.
2. Waktu Penelitian Pada umumnya jangka waktu penelitian kualitatif cukup lama, karena tujuan penelitian kualitatif adalah bersifat penemuan. Bukan sekedar pembuktian hipotesis seperti dalam penelitian kuantitatif.
Namun
demikian, kemungkinan jangka penelitian berlangsung dalam waktu pendek, bila ditemukan sesuatu dan datanya sudah jenuh. Ibarat mencari provokator, mengurai masalah atau memahami makna, kalau semua sudah dapat ditemukan dalam satu minggu, dan telah teruji kredibilitasnya, maka penelitian kualitatif dinyatakan selesai.
D. Metode Pengumpulan Data 1.
Wawancara Mendalam ( Indephth Interview ) Wawancara mendalam merupakan salah satu teknik pengumpulan data secara kualitatif, dimana wawancara dilakukan pada keluarga dengan single parent ( orang tua tunggal ) yang memiliki anak. Menurut Esterberg ( 2012, dalam Sugiyono,2013) wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikonstruksikan makna dalam suatu topik tertentu.
35
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik wawancara tidak terstruktur, dimana partisipan merupakan orang yang paling tahu tentang dirinya dan peneliti belum mengetahui secara pasti data apa yang akan diperoleh. Wawancara tidak terstruktur adalah wawancara yang bebas, dimana peneliti tidak menggunakan pedoman wawancara yang telah tersusun sistematis dan lengkap untuk pengumpulan data. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis–garis besar permasalahan yang akan ditanyakan (Sugiyono, 2013). Dalam wawancara peneliti dapat menggunakan cara “berputar–putar baru menukik” artinya pada awal wawancara, yang dibicarakan adalah hal – hal yang tidak terkait dengan tujuan, dan bila sudah terbuka kesempatan untuk menanyakan sesuatu yang menjadi tujuan, maka segera ditanyakan (Sugiyono, 2013)
2.
Alat Pengumpul Data a.
Lembar pedoman wawancara Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini adalah pedoman wawancara. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis – garis besar permasalahan yang akan ditanyakan, tetapi tetap berdasarkan pada teori–teori yang relevan dengan tujuan penelitian dalam peneliti dengan pertanyaan terbuka, tidak bersifat kaku dan dapat berkembang sesuai proses berlangsungnya tanya jawab selama wawancara, menceritakan
sehingga
partisipan
pengalamannya.
dapat
Peneliti
lebih leluasa mengambil
dalam
pedoman
wawancara dari peneliti terdahulu yang memiliki judul sejenis dengan penelitian Muthoharoh Siti (2012) “Dukungan Sosial pada Orangtua Tunggal Perempuan Miskin”
36
b.
Buku catatan lapangan ( field note ) dan alat tulis Peneliti mencatat pada buku catatan untuk mempermudah mengingat informasi saat pengumpulan data pada wawancara. Pencatatan dilakukan terhadap ekspresi nonverbal partisipan dan suasana lingkungan, tatanan lingkungan, interaksi sosial dan segala aktivitas saat wawancara berlangsung
c.
Alat perekam suara ( Voice recorder ) Alat perekam ini merupakan suatu alat yang berfungsi merekam suara dari partisipan yang akan diteliti. Fungsi dari alat perekam ini adalah
mempermudah
wawancara,
sehingga
peneliti
dalam
memudahkan
membuat
peneliti
transkrip
mempelajari
pengalaman partisipan.
3.
Panduan Pertanyaan Panduan pertanyaan yang digunakan dalam penelitian adalah pertanyaan terbuka, dimana hal ini merupakan hal yang utama dalam riset kualitatif karena memberikan kesempatan pada partisipan untuk menjelaskan sepenuhnya pengalaman keluarga dengan single parent dalam merawat anak. Yang dimaksud pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang jawabannya tidak ditentukan peneliti, partisipan dapat dengan bebas dan leluasa menjawab pertanyaan dari peneliti.
E. Prosedur Pengumpulan Data 1.
Tahap Persiapan a.
Peneliti mengurus izin penelitian dengan mendapat surat pengantar penelitian dari Program Studi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kebidanan Universitas Sari Mutiara Indonesia Medan
b.
Mengajukan surat izin penelitian ke Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia.
37
c.
Setelah mendapat calon partisipan, peneliti dan partisipan berkenalan dan mencoba membina hubungan saling percaya dengan cara berkomunikasi yang baik dan efektif, menjelaskan tujuan, manfaat dan prosedur penelitian. Peneliti juga menjelaskan hak dan peran partisipan dalam penelitian, sehingga peneliti mampu memberikan keyakinan, kepercayaan dan perasaan dilindungi, dengan harapan calon partisipan bersedia berpartisipasi dalam penelitian.
d.
Calon partisipan menandatangani informed consent sebagai bukti persetujuan menjadi partisipan dalam penelitian ini.
e.
Sebelum melakukan wawancara, peneliti telah membuat panduan pertanyaan wawancara. Panduan mendalam menjadi pedoman dalam wawancara yang disusun berdasarkan pada teori – teori yang relevan dengan tujuan penelitian.
f.
Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara mendalam.
2.
Tahap pelaksanaan a.
Fase orientasi Setelah trust telah terbentuk dan terjalin, peneliti masuk pada fase orientasi dengan memperhatikan kondisi umum partisipan. Peneliti berusaha agar berusaha menciptakan kondisi rileks dan terkesan siap dalam setiap wawancara pada waktu dan tempat yang nyaman sesuai keinginan partisipan.Peneliti memberi pengarahan dan pemahaman akan pentingnya informasi yang akan diberikan partisipan. Lama wawancara untuk setiap partisipan sekitar 30 – 40 menit agar partisipan tidak terlalu lelah dan kemudian mempengaruhi jawaban partisipan. Jika belum selesai, peneliti akan mengontrak waktu untuk wawancara selanjutnya.
38
b.
Fase kerja Setelah trust terjalin dan peneliti akrab dengan partisipan, maka fase kerja dapat dimulai dengan menggunakan komunikasi teraupetik dan komunikasi sosial. Keakraban dan trust membuat peneliti dapat menggali informasi secara mendalam mengenai pengalaman keluarga dengan single parent dalam merawat anak.
Dalam proses wawancara peneliti memakai voice recorder (perekam suara) dan memperhatikan serta mencatat respon non verbal, kondisi partisipan, suasana lingkungan partisipan, interaksi sosial dan aktivitas partisipan selama berlangsungnya wawancara.
c.
Fase terminasi Pada fase ini peneliti mengucapkan terima kasih atas kesediaan partisipan, memberi penguatan positif (positive reinforcement) dan membuat kontrak waktu kembali apabila peneliti merasa perlu dan masih ada informasi yang perlu klarifikasi.
F. Alat Bantu Pengumpulan Data Dalam penelian kualitatif instrumen atau alat penelitian adalah peneliti itu sendiri. Peneliti kualitatif sebagai human instrument, berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih partisipan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data, dan membuat kesimpulan atas temuannya (Sugiyono, 2013). Sehingga peneliti diharapkan lebih peka dalam menggali permasalahan yang muncul dan juga peneliti harus dapat bersifat netral.
Menurut Nasution (1988, dalam Sugiyono, 2013) menyatakan dalam penelitian kualitatif tidak ada pilihan lain daripada menjadikan manusia sebagai instrumen penelitian utama. Alasannya adalah bahwa segala sesuatunya belum mempunyai bentuk yang pasti.
39
Sedangkan alat pengumpul data merupakan alat bantu bagi peneliti untuk menghimpun data penelitian. Alat pengumpul data yang digunakan pada penelitian ini merupakan panduan garis besar pertanyaan, buku catatan lapangan, alat tulis dan alat perekam. G. Rencana Pengolahan & Analisa Data Menurut Sugiyono (2010), analisa data terdiri dari dua yaitu analisis sebelum di lapangan dan analisis data di lapangan. Pada analisis data sebelum lapangan analisis dilakukan terhadap data hasil studi pendahuluan (data sekunder) yang digunakan untuk menentukan fokus penelitian. Namun demikian fokus penelitian ini masih bersifat sementara dan akan berkembang setelah peneliti masuk dan selama di lapangan. Analisis data di lapangan yang dipakai adalah Model Miles dan Huberman. Pada model ini analisa data dilakukan pada saat wawancara berlangsung. Pada saat wawancara peneliti sudah melakukan analisa terhadap partisipan. Bila jawaban yang diwawancarai setelah analisa terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melanjutkan analisa lagi sampai tahap tertentu. Adapun tahap-tahap analisis data di lapangan diuraikan sebagai berikut: 1.
Reduksi Data Data yang diperoleh di lapangan jumlahnya cukup banyak, maka perlu dicatat secara rinci dan teliti. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting serta mencari tema dan polanya. Dengan demikian data yang telah direduksi
akan
memberikan
gambaran
yang
lebih
jelas
dan
mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data selanjutnya dan mencarinya bila diperlukan. 2.
Penyajian Data Penyajian data dapat dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan dan hubungan antar kategori. Melalui penyajian data tersebut, maka data
40
terorganisasikan, tersusun dalam pola hubungan sehingga akan semakin mudah dipahami. 3.
Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat dan mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel. Kesimpulan merupakan temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada, dapat berupa deskripsi atau gambaran suatu objek yang sebelumnya masih kurang jelas.
H. Etika Penelitian Menurut Streubert & Carpenter ( 1999, dalam Moleong 2002) agar penelitian ini benar – benar ilmiah dan tidak mendapat masalah mengenai etik maka ada beberapa yang harus dipersiapkan peneliti antara lain: 1.
Lembar Persetujuan (Informed Consent) Peneliti menjelaskan tentang tujuan dilakukannya penelitian tersebut yang
kemudian
menyediakan
lembar
informed
consent
untuk
ditandatangani partisipan 2.
Menghormati Privasi ( Respect for Privacy) Peneliti memberikan kebebasan partisipan memberi informasi serta menghorrmati privasi partisipan.
3.
Kerahasiaan (Confidientiality) Menjaga kerahasiaan tentang informasi dari partisipan dan tidak memaksa partisipan untuk memberikan informasi yang tidak partisipasi kehendaki.
41
4.
Keadilan (Justice) Peneliti
menjamin
semua
partisipan
memberi
informasi
yang
mengemukakan pengalaman secara terbuka. 5.
Keterbukaan (Inclusiveness) Peneliti memberi kesempatan pada partisipan untuk mengemukakan pengalamannya secara terbuka.
6.
Memperhitungankan Manfaat ( Benefit) Hasil penelitian memberi manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat umumnya dan partisipan pada khususnya terkait dengan pentingnya psikologi perkembangan keluarga dengan status single parent.
7.
Kerugian (Disadvantage) Penelitian dapat meminimalkan dampak yang merugikan bagi partisipan disebabkan stres ataupun depresi subjek penelitian.
8.
Anonymous Identitas partisipan tidak diungkapkan dalam laporan penelitian yang peneliti buat.
I.
Validitas Data Menurut Cresswell (1998, dalam Moleong 2002). Pada penelitian kualitatif pengambilan sampelnya secara purposive sampling, maka agar validitas data tetap terjaga perlu dilakukan beberapa strategi untuk uji validitas. Uji validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik triangulasi yang meliputi: 1.
Triangulasi Sumber Triangulasi sumber yaitu dengan cara mengecek data dari sumber yang berbeda, yang dapat dipercaya yaitu keluarga partisipan yang tinggal serumah dengan pasien dan memiliki hubungan dekat dengan pasien. Dalam hal ini peneliti melakukan cross check ulang.
42
2.
Triangulasi Metode Triangulasi dalam pengujian ini diartikan sebagai pengecekan data dari sumber yang sama dengan berbagai cara yang berbeda. Setelah melakukan wawancara peneliti dapat mengecek lagi dengan observasi atau dokumentasi.
3.
Triangulasi Waktu. Data yang dikumpulkan dengan teknik wawancara dipagi hari saat narasumber masih segar belum banyak masalah akan memberikan data yang lebih valid, sehingga lebih kredibel.
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Tempat Penelitian Tabel 4.1 Data Demografi Informan No
Inisial
1 2 3 4
Pa 1 Pa 2 Pa 2 Pa 4
Usia
Jenis Kel
Suku
Pekerjaan
P L L P
Batak Batak Batak Jawa
PNS Wirausaha PNS Wirausaha
53 thn 58 thn 59 thn 46 thn
Pendapatan / bln
± 3,5 jt ± 3jt ± 4,5 jt ± 2,5 jt
Pendidikan Terakhir
D3 S1 S2 SMA
Lama menjadi Single Parent 5 thn 6 thn 6 thn 13 thn
Jumlah tanggungan anak 1 orang 2 orang 2 orang 3 orang
B. Hasil Analisis Data Tabel 4.2 Hasil Analisa Data
a. Ekonomi b. Keluarga 1. Masalah Yang dihadapi
c. Sosial d. Praktis e. Seksual
2.
Ketegan gan Sosial
a. Tanggung jawab berlebih b. Tugas berlebih c. Emosi berlebih a.
3. Dukungan Keluarga
Informasional
b. Penilaian c. Instrumental d. Emosional
4. Harapan
-
Tidak dapat memperoleh pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang biasanya dilakukan. Memainkan peran ganda sebagai ayah dan ibu, serta harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan Menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila ia diantara pasangan yang menikah. Mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh suami Tidak terbiasa lagi menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam bertahun tahun perkawinannya, sekarang merasa frustasi dan tidak terpakai Bertanggung jawab sendiri untuk mengambil keputusan, merencanakan serta memperhatikan keluarganya Bekerja sendiri untuk memperoleh penghasilan, mengurus rumah, dan memperhatikan semua kebutuhan anak-anaknya Mengatasi sendiri kebutuhan emosi anaknya dan sulit untuk memenuhi kebutuhan emosi dan keinginan mereka sendiri. Pengumpul dan penyebar informasi tentang dunia atau lingkungan diluar rumah Membimbing dan membenahi pemecahan masalah Sumber pertolongan praktis dan konkrit Tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan pemulihan serta membantu penguasaan terhadap emosi -
43
44
1.
Masalah Yang Dihadapi a.
Masalah Ekonomi Selama menjadi orang-tua tunggal, masalah ekonomi menjadi masalah utama yang dihadapi, terutama bagi single parent mother, apalagi dulunya hanya merupakan ibu rumah tangga dan berdiam di rumah mengurus urusan dapur, sekarang harus bisa menjadi tulang punggung keluarga, “Kadang masalah biaya. Memang mungkin masalah biaya, penghasilan dia itu, itu juganya sebenarnya kami bagi – bagi, tapi ada saatnya penghasilan kami itu kurang untuk kebutuhan kami...”(Pa 1) “Gak karu-karuan lah kita, namanya yang biasa cari makan kan suami, tiba-tiba ibu sendiri...”(Pa 4)
Sedangkan bagi single parent father masalah ekonomi bukanlah menjadi masalah yang utama. Hal ini dikarenakan sebagian besar ayah sejak awal menikah memang sudah merupakan sebagai pencari nafkah. Seperti yang diungkapkan Pa 2 dan 3 sebagai single father, bahwa: “dulu sewaktu istri masih ada, kami berdua yang kelola bengkel ini, sekarang saya sendiri. Mudah-mudahan sampai sekarang masih bisa berjalan...”(Pa 2) “Misalnya ada permintaan atau apa kan, masalah kuliah, jadi masih bisa....”(Pa 3)
b. Masalah Keluarga Untuk masalah keluarga, single parent sering mengeluh kalau keluarga mereka, terutama dari pihak mendiang pasangan semakin menjauh karena tidak ada penghubung mereka. Seperti yang dikatakan, bahwa:
45
“Abang saya pun tidak peduli.. Untuk menutupi semuanya serba sendiri, tidak ada teman tukar pikiran...”(Pa 1) “Awalnya rajin, seperti itu dia, ditelpon saya untuk kesana, nanya apa, sehatnya kan..”Cemana kabar? Sehatnya? Cemana bere itu semua?” Udah, itu aja. Karena udah dua kali diusulkan saya menikah. Sekarang jadi sedikit menjauh...”(Pa 2) “dari pihak istri, gimana ya saya bilang yaa, agak merenggang. Kalau dari pihak saya enggak...”(Pa 3) “Udah gitu, tempo dua bulan, mama saya dari suami ibu meninggal, padahal Cuma itu kawan ibu diskusi.. Ada juga memang kawan ibu satu tempat curhat ibu, tapi dia juga udah ninggal, keluarga jauh, gak pernah lagi komunikasi..”(Pa 4)
c. Masalah Sosial Masalah lain yang sering dihadapi single parent adalah adalah masalah sosial. Masalah ini terkait ibu dengan masyarakat dan temantemannya. Masalah ini muncul karena status single parent yang disandangnya. Single parent juga berusaha membatasi pergaulannya dengan teman-temannya untuk menjaga diri dari pandangan negatif orang lain dan rasa minder, terutama pada pasangan yang masih utuh. Seperti yang diungkapkan Partisipan, bahwa: “Merasa diiri itu hina..kan sepertinya, sudah kurang harga, minder, kadang mau pergi kemana-mana pun jadi merasa malu. Kadang
berpikir
apasih
dibilangi
orang
tentang
saya
sekarang?”(Pa 1) “Kalau bertemu, jumpa sama kawan yang berpasangan, yang suami istri, merasa menghindar, minder, karena gak ada pasangan
46
kita lagi, biasa itu, siapapun dia..siapapun dia..Terakhir kitapun jadi mencari teman yang sendiri juga...” (Pa 2) “Ya kita ada rasa, namanya kita kan manusia normal. Ihh enak kalilah orang itu, masih sama suaminya. Sementara aku masih, masih umur berapa ya waktu itu. Umur 33 tahun.” (Pa 4) “Saya kan suka juga bersosial, jadi mereka semua masih peduli, tapi hanya sekedar begitulah Nak. Kalau kami sakit, ya kami-kami aja lah Nak yang saling merawat” (Pa 3)
d. Masalah Praktis Mengenai masalah di dalam mengurus rumah tangga, single parent merasa mengalami perubahan. Dulu ketika pasangannya masih ada ia selalu meminta bantuan kepada suaminya jika menemui kesulitan dalam mengurus rumah tangga, seperti yang diungkapkan, bahwa: “Karena kami sangat dekat dan sangat mesra.. Dulu itu kami kemana-mana sama, apa-apa sama, walau sudah bukan pasangan muda lagi, kami selalu sama, kalau ada acara yang masih bisa kami datangi berdua, kami datang berdua. Sekarang saya sendiri Nak.”(Pa1) “Kebiasaan kita, contohnya yang ambil teh kita, minuman, sarapan kita, ada, terakhir gak ada lagi.. Trus yang kedua, biasanya kalau mau pergi, misalnya ke pesta, mau ambil pakaian, gak ada lagi.. Biasanya langsung digantungnya itu, asal aku bilang aku mau pesta, aku mau gereja, jadi aku gak usah repot lagi, nak.”(Pa 2) “Apalagi yang perempuan, sering terganggu kesehatannya. Sejak lahir memang itu, biasanya memang namborumu yang ngerawat
47
dia, sampai disuapi makan itu. Tapi kalau sekarang ya saya bilanglah gak sanggup lagi Pa 3engurus, harus mandiri, harus sehat-sehatlah. Kitapun berusaha mengisi kegiatan di rumah ini, mencuci, memasak, dan lain sebagainya.” (Pa 3) “Ya maksudnya gini ya, kita cari makan buat anak-anak, itulah yang terberat buat kita ya kan.. Kita punya tantangan buat gimana anak sekolah.. Kan gitu.. Dulu ibu Cuma dirumah, tapi sejak sendiri ya jadi jualan teruslah memang.” (Pa 4)
e. Masalah Kesepian Single parent mother mengungkapkan tidak terpikirkan lagi untuk menikah kembali, walaupun merasakan kesepian. Karena anak-anak merekalah yang ingin mereka perjuangkan. Seperti yang diungkapkan Partisipan 1 & 4 sebagai single mother, bahwa: “Udah gak ada bapak lagi, mau jadi apa, harus maju, harus bisa mandiri. Saya gak ada kepikiran kesana.”(Pa 1) “Gak ada lagilah mandang gitu-gituan, yang penting gimana anak-anak ini bisa sekolah aja sekarang”(Pa 4)
Berbeda halnya dengan single parent father, yang kewalahan menggantikan tugas ibu rumah tangga, merasa ingin mencarikan sosok ibu untuk anak-anaknya. Bagi single parent father, memikirkan untuk menikah lagi adalah sesuatu yang wajar, apalagi kalau mereka menjadi duda diusia yang cukup muda. Seperti yang diungkapkan Partisipan 2 & 3 sebagai single parent father, bahwa: “Terasa itu. Seperti yang saya bilang, kawan duduk disana suami istri contohnya, merasa.. ihh enak kali mereka ya... sedap kali ya.
48
timbulah nanti ituu...pasti nanti timbul rasa saya ingin bersuami istri lagi.”(Pa 2) “misalnya saya mau nikah gitu, yang berumah tangga sana bilang yaudah terserah bapak.. Tapi kalau yang dua ini bilang janganlah dulu pak, kurang apa kami.” (Pa 3)
f. Masalah Seksual Single parent juga mengalami masalah lain yang sering dihadapi pada umumnya yaitu masalah seksual. Hal ini berhubungan dengan perhatian dan keinginan untuk mendapatkan kasih sayang. Seperti yang diungkapkan Partisipan, bahwa: “Kehilangan, sedih, kecarian, ingat kebersamaan, apalagi suami saya orangnya bagaimana ya saya bilang ya, yaa..bisa dibilang kami itu Nak, yaa romantislah”(Pa 1) “kan suami istri yang masih sehat, tentunya butuh bersetubuh. Sedih, minder sendiri. Malam lagi, waktu malam, pas mau tidur, ihh gak ada lagi kawannya.”(Pa 2) “Saya mencari kesibukan.. Menghilangkan kesepian, misalnya pergi gereja, ya cari caralah supaya gimana bisa. Biar gak teringat lagi, bukan bermaksud melupakan.”(Pa 3) “Ya biasa aja, kayak gimana suami-istri.. Kami dulu gak pernah begadoh-gadoh gitu.. Ga pernah.. Makanya anak-anak ibu dulu kalau dulu ada yang nengok orang berantam, orang itu ginii..ngapain orang itu katanya.. Kami ga pernah. Kami kalau misalnya ibu salah, bapak diam.. Kalau ibu yang diam, bapak udah ngerti.. Kami sama-sama ngerti. Tapi sekarang ya gimanalah, ibu sendiri udah.”(Pa 4)
49
2. Ketegangan Sosial a. Tanggung Jawab Berlebih Sejak ditinggal pasangan, single parent mengambil keputusan sendiri, selama ini ia berdiskusi dengan pasangan. Seperti yang diungkapkan, bahwa: “Dua itu lebih baik dalam berpikir daripada seorang diri.. Kalaupun saya berdiskusi dengan anak, apalah yang bisa mereka kasih masukan? Lagian saya sadar, tugas mereka hanya belajar, kalau soal dana sudah jadi kewajiban saya”(Pa 1) “Karena saya ibu rumah tangga, saya kepala rumah tangga juga, kesibukan saya sendiri saya buat..kubuat sendiri..gitu walaupun ada anak, ada mantu, tapi kan tetap aja gak kayak istri saya.” (Pa 2) “Tapi kalau sekarang ya saya bilanglah gak sanggup lagi bapak mengurus, harus mandiri, harus sehat-sehatlah. Kitapun berusaha mengisi kegiatan di rumah ini, mencuci, memasak, dan lain sebagainya” (Pa 3) “Dulu ibu cuma dirumah, tapi sejak sendiri ya jadi jualan teruslah memang.”(Pa 4)
b. Tugas Berlebih Single parent kini bekerja sendiri memperoleh penghasilan dan memperhatikan kebutuhan anak demi kelanjutan dan kelangsungan hidup mereka dan anak-anaknya. Seperti yang dikatakan Partisipan, bahwa: Saya pusing membagi yang ada ini nak, saya terbiasa berdiskusi dengan suami dan terbiasa apa-apa suami saya yang dominan mengambil keputusan.”(Pa 1)
50
“Karena saya ibu rumah tangga, saya kepala rumah tangga juga, kesibukan saya sendiri saya buat. Fisiknya sudah down, katakanlah..sehat badannya, tapi dalamnya sudah gak, karena itulah mikirnya dalam kali.. Sudah gak ada lagi teman tukar pikiran.”(Pa 2) “Dulu kan suami yang cari makan, sekarang kita cari makan sendiri buat anak-anak, itulah yang terberat buat kita ya kan.. Kita punya tantangan buat gimana anak sekolah”(Pa 4) “Sejak lahir memang itu, biasanya memang namborumu yang ngerawat dia, sampai disuapi makan itu. Tapi kalau sekarang ya saya bilanglah gak sanggup lagi bapak mengurus” (Pa 3)
c. Emosi Berlebih Sejak menyandang status single parent,
perasaan menjadi sangat
sensitif dan mudah tersentuh, mudah pula tersinggung apalagi kalau anaknya
tidak mendengar perkataannya
atau
tidak langsung
menurutinya. Baik hal senang, maupun hal sedih menjadi mudah dibawa ke hati. “Keluargapun merasakan saya semakin egois, tapi mereka seperti memahami.. Saya menjadi mudah tersinggung, kalau gak didengarkan.. Jadi keingat suami lagi.”(Pa 1) “Kalau sekarang saya marah, saya kebanyakan diam. Nanti saya masuk kamar, diam aja..”(Pa 4) “Dia mulai berubah Nak, sejak ibunya pergi, kayaknya itu jadi tamparan keras buat dia. Saya jadi terharu.” (Pa 3)
51
“Mereka kalau sama saya sekarang, kayak ada rasa mau nangis, keinget mamanya, mereka jadi gak segan ngerangkul saya.” (Pa 2)
3. Dukungan Keluarga Walau lambat laun keluarga semakin menjauh dan hubungan semakin merenggang, terutama dari pihak pasangan yang meninggal, single Parent merasa mampu untuk kuat karena ia memandang bagaimana kelanjutan hidup anaknya. Ditambah lagi, sejak kepergian pasangannya, anak-anaknya lambat laun memahami keadaan mereka. Seperti yang dikatakan Partisipan,bahwa: “Saya kepala keluarga, saya ibu rumah tangga, sulit sekali Nak. dulu saya terbiasa berbagi dengan suami. Kalau keluarga, seberapa bisalah mereka membantu. Bangkit itu sangat sulit nak, untung anak saya lambat laun mengerti.”(Pa 1) “Awal mulanya mereka rajin menelepon, tapi sekarang sudah tidak lagi. Sejak istri saya tidak ada, kami semua yang dirumah ini semakin mandiri, semuanya serba dikerjakan sendiri.” (Pa 2) “Kalau kami sakit, ya kami-kami aja lah yang saling merawat Nak. Kalau keluarga ya hanya sekedar tanya aja, mengunjungi seadanya. Tetangga pun begitu.” (Pa 3) “Cuma itu kawan ibu diskusi.. Ada juga memang kawan ibu satu tempat curhat ibu, tapi dia juga udah ninggal, keluarga jauh, gak pernah lagi komunikasi” (Pa 4)
a. Harapan Single Parent hanya berharap ia tetap dapat melanjutkan hidup dengan baik dan menyelesaikan pendidikan anaknya. Ia ingin anaknya menjadi orang yang sukses kelak, walau ia harus
52
membanting tulang sedemikian rupa sendirian. Seperti yang dikatakan Partisipan, bahwa: “Kita kan tau, setiap orang sudah ada garis takdirnya dibuat Tuhan, jadi saya merasa saya harus yakin kalau saya memang harus melanjutkan perjuangan saya dengan suami selama ini, anak saya harus sukses dan bisa melanjutkan kuliah sampai wisuda.. Kalau dari sikap, anak saya semakin pengertian dengan keadaan kami” (Pa 1) “Ada yang bilang anak saya sudah jadi pemimpin di kantornya. Mudah-mudahan sampai sekarang. Saya bangga. Sejak istri saya tidak ada, saya suruh anak saya membayarkan uang sekolahnya sendiri, mandiri.” (Pa 2) “Mereka harus belajar mandiri mulai sekarang, Nak. Harapan saya seperti itu.”(Pa 3) “tapi aku bilang biar pahit getir aku kurangkul anakku.. Ibu kayak orang kita batak, gak mau kenal lelah, maksudnya jera gitu, enggak.. Yang penting kita harus kerja, demi anak, demi masa depan anak, orang kita batak kan gitu, jadi itulah ibu tiru.. Kan laki ibu orang kita batak.” (Pa 4)
C. Pembahasan Pembahasan yang dilakukan dirujuk pada teori-teori yang telah dikemukakan dan diuraikan berdasarkan tujuan penelitian, yaitu sebagai berikut: 1. Masalah yang dihadapi Menurut Hurlock (1991) terdapat beberapa masalah-masalah umum pada single parent. Hal ini juga dialami oleh keempat Partisipan. Mereka mengalami berbagai masalah yang berbeda, seperti:
53
a. Masalah ekonomi Single parent mother merasa masalah ekonomi sebagai masalah utama yang harus dihadapi sebagai orang-tua tunggal. Pa 1 dan 4 harus menghidupi anak-anaknya yang masih kuliah karena suami mereka telah meninggal. Kini harus bertindak sebagai tulang punggung keluarga. Pa 4 harus bekerja keras untuk menafkahi anaknya walaupun dengan penghasilan yang pas-pasan, berbeda ketika ia masih bersama dengan suaminya dulu.
Kedua partisipan kadang merasa stres dengan masalah ekonomi yang mereka hadapi. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Egelman (2004) yang mengatakan bahwa masalah ekonomi adalah masalah utama yang dialami oleh wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal. Sejalan dengan pendapat tersebut, Troll (dalam Lemme, 1995) menyatakan bahwa banyak wanita yang berperan sebagai orang-tua tunggal mengalami kemiskinan, hal tersebut dapat terjadi karena hilangnya
pendapatan
dari
suami
yang
dulu
mendukung
perekonomian keluarga.
Tapi kini Pa 1 dan Pa 4 dapat mengatasi masalah ekonomi ini dengan baik. Pa 1 merasa terbantu dengan penghasilan tambahan dari tunjangan pensiunan peninggalan suaminya. Selain itu, Pa 1 juga bekerja sebelum menikah dan sesudah menikah pun Pa 1 tetap bekerja sehingga ia sudah terbiasa bekerja dan memiliki penghasilan sendiri, ia tidak terlalu tergantung pada suaminya dalam hal ekonomi. Pa 1 mencoba mandiri secara ekonomi.
Sedangkan masalah yang dihadapi Pa 4 lebih berat dari Pa 1. Pada Pa 4, meskipun sekarang ia hidup pas-pasan, bersedia mengerjakan pekerjaan apapun dari pagi hingga malam demi kelangsungan hidupnya dan ketiga anaknya. Namun ia tidak pernah merepotkan
54
keluarganya dalam hal keuangan, Pa 4 juga berusaha mandiri. Hal ini sesuai dengan pendapat Sucahyani (2006) yang menyatakan bahwa wanita yang berperan sebagai orang tua tunggal harus dapat mandiri secara ekonomi.
Sedangkan Pa 2 dan Pa 3 merasa masalah ekonomi tidak terlalu menjadi beban karena memang dari awal merekalah yang bekerja menjadi tulang punggung keluarga. Hal ini sesuai dengan UU Perkawinan No. 1 tahun 1974 dalam pasal 33 (3) UUP menetapkan bahwa peran suami sebagai kepala keluarga dan pencari nafkah. Menurut Scanzoni dan Scanzoni (dalam Ihromi, 1999: 44), pria diharapkan melakukan peran yang bersifat instrumental yaitu berorientasi pada pekerjaan untuk memperoleh nafkah (task oriented), sedang wanita harus melakukan peran yang bersifat ekspresif, yaitu berorientasi pada emosi manusia serta hubungannya dengan orang lain (people oriented).
Penelitian menunjukan bahwa walaupun dampak memiliki pendidikan yang cukup baik sudah dikontrol, ayah tunggal tetap lebih baik secara ekonomis dalam menopang kehidupan keluarganya daripada ibu tunggal (Zhan dan Pandey dalam DeGenova 2008).
b. Masalah Keluarga Keempat Partisipan memiliki masalah keluarga yang cukup rumit. Terkadang Pa 1 berselisih paham dengan abangnya dalam hal mendidik anak pengambilan keputusan. Pa 2 merasa awalnya keluarga masih mau berkomunikasi dengan dirinya, tetapi lambat laun, karen Pa 2 tidak langsung menyetujui keinginan
keluarga agar Pa 2
menikah kembali, keluargapun menjadi jarang menghubunginya kembali.
55
Sedang Pa 3 merasa keluarga, terutama dari pihak istri menjauh semenjak istri mereka meninggal. Pa 4
sudah lama tidak
berkomunikasi dengan pihak keluarganya. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) yang menyatakan bahwa single parent harus menghadapi berbagai masalah yang timbul dalam keluarga tanpa pasangan, sering mendapat masalah yang berhubungan dengan anggota keluarga pihak suami, khususnya anggota keluarga yang tidak menyenangi menjadi isteri suaminya semasa hidup.
Data Pekka (2004) juga menyebutkan bahwa lebih dari separuh janda yang menjadi kepala keluarga di Indonesia hidup dalam kemiskinan. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh DeGenova (2008) yakni bahwa tekanan finansial adalah masalah umum yang dihadapi orang tua tunggal, dan keluarga dengan orang tua tunggal lebih cenderung hidup dalam kemiskinan dibandingkan dengan orang tua lengkap (ganda).
Kimmel (1980) menyebutkan bahwa orang tua tunggal wanita menghadapi
kesulitan
mendapatkan
pendapatan
yang
cukup,
mendapatkan pekerjaan yang layak, pembayaran biaya untuk anak, dan kebutuhan lainnya. Penelitian menunjukan bahwa walaupun dampak memiliki pendidikan yang cukup baik sudah dikontrol, ayah tunggal tetap lebih baik secara ekonomis dalam menopang kehidupan keluarganya daripada ibu tunggal (Zhan dan Pandey dalam DeGenova 2008).
c.
Masalah Tempat Tinggal Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan ibu berperan sebagai orang tua bagi anak-anaknya. Namun, dalam kehidupan nyata sering dijumpai keluarga dimana salah satu orang tuanya tidak ada lagi. Keadaan ini menimbulkan apa yang disebut
56
dengan keluarga dengan orang tua tunggal (single parent). Hal ini sesuai dengan pendapat Hammer&Turner (1990) menyatakan bahwa “A single parent family consist of one parent with dependent children living in the same household”. (Hamner&Turner, 1990: 190)
Keempat partisipan tidak mengalami masalah dengan tempat tinggalnya. Saat ini keempat partisipan tinggal di rumah mereka masing-masing, yang mereka tempati sejak berumah tangga dengan pasangan. Keempat partisipan menyatakan setelah menjadi single parent, seharusnya mereka tinggal bersama pasangan dan anakanaknya, kini hanya sendiri merawat anak dan sendiri mengambil keputusan.
Hal inilah yang menjadi masalah bagi single parent. Pa 1 yang tinggal hanya berdua dengan anaknya, mengharapkan anaknya dapat mulai mengatur waktu pulang lebih awal. Begitu juga Pa 4, anaknya yang dulu suka keluyuran malam, sering ia hubungi sebelum jam 11 malam. Keadaan ini tidak sesuai dengan pendapat Horlock (1991) yang menyatakan bahwa tempat tinggal menjadi masalah bagi wanita yang telah menjanda. Dimana seorang janda akan tinggal biasanya bergantung pada dua kondisi. Pertama, status ekonominya, dan kedua adalah apakah ia mempunyai seseorang yang bisa diajak tinggal bersama. Hal ini membuat single mother I dan IV semakin mengontrol kepulangan anak sehari-hari agar ia tidak merasa sendiri.
Sementara itu, Sager, dkk (dalam Duvall&Miller, 1985) menyatakan bahwa orang tua tunggal adalah orang tua yang secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya. Sejalan dengan pendapat Sager, dkk, Perlmutter dan Hall (1985) menyatakan bahwa orang tua tunggal adalah: “Parents
57
without
partner
who
continue
to
raise
their
children”
(Perlmutter&Hall, 1992: 362)
Berdasarkan berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa keluarga dengan orang tua tunggal adalah keluarga yang hanya terdiri dari satu orang tua yang dimana mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, tanggung jawab pasangannya dan hidup bersama dengan anak-anaknya dalam satu rumah, dan menginginkan kehadiran anaknya untuk tetap ada dirumah.
d. Masalah Sosial Keempat Partisipan merasa minder dan iri terhadap keluarga utuh. Mereka merasa lebih baik di rumah atau berkumpul bersama sesama single parent. Ada perasaan iri dan takut mendapatkan gunjingan dari tetangga-tetangga mereka. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rando (1994), mengatakan bahwa single parent
rentan mendapat
stigmatisasi dari masyarakat. Mereka cenderung diremehkan, terutama single mother.
Seperti yang dialami Partisipan I, ia berpikiran mengenai apa yang dipikirkan orang mengenai dia. Ini mengakibatkan kehidupan sosial mereka sedikit terisolasi. Misalnya melewati kumpulan orang ketika Partisipan I pulang kerja. Ia mengatakan kalau bisa tidak melewati mereka dan kalau bisa tidak bertemu mereka saja itu lebih baik. Ia merasa tidak nyaman. Seeperti menghadiri suatu undangan juga, ia sering merasa sedih, kadang ia lebih memilih untuk tidak menghadiri undangan tersebut.
Juga seperti yang dialami Partisipan II, ia merasa lebih baik bergaul dengan
sesama
single
parent,
sehingga
dapat
mengurangi
58
keminderannya. Ia merasa tidak ada tempat untuk dirinya diantara mereka yang masih memiliki pasangan. Ia juga merasa, dengan berkumpul diantara mereka yang masih utuh, dapat membuatnya teringat akan istrinya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) yang menyebutkan bahwa seorang single parent segera akan menemukan dirinya bahwa tidak ada tempat baginya apabila diantara pasangan yang telah menikah. Berbeda dengan Partisipan IV, ia tetap menghadiri undangan pernikahan meskipun kadang timbul perasaan ’berbeda’ pada dirinya, namun ia tidak mempedulikan perasannya tersebut.
Tetapi kadang kala bagi sebagian single parent lebih memilih sikap acuh tak acuh, daripada menanggapi semua pendapat dan pemikiran orang sekitar, lebih memilih untuk menyibukkan diri, walaupun keempat Partisipan tetap merasa ada perasaan yang lain, walaupun belum tentu seperti itu. Hal ini sesuai dengan pendapat Rando (1994) yang mengatakan bahwa single parent, terutama janda umumnya terisolasi secara sosial karena statusnya yang sering mendapat stigma negatif di masyarakat.
e.
Masalah Praktis Keempat Partisipan merasakan adanya masalah yang berhubungan dengan urusan rumah tangga karena dulu mereka selalu dibantu oleh pasangan. Kini setelah mereka menjadi single parent, keempat single parent menyatakan ia berusaha untuk mandiri, berdiri sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain, termasuk keluarga, dalam mengurus rumah tangga. Awal mula pembiasaan memang sangat sulit, bagi keempat partisipan.
Partisipan I merasa abangnya tidak peduli dengan dirinya. Partisipan II, III dan IV merasa keluarga semakin menjauh, terutama keluarga
59
dari pihak pasangan. Hal ini sesuai dengan pernyataan
P. Stein
(dalam DeGenova, 2008) yang menyatakan lambat laun terbentuk tipologi pribadi tunggal, mereka mulai menyadari statusnya sebagai pribadi tunggal. Keempat partispan merasa kalau mereka memang harus berdiri sendiri.
Mereka menyadari kalau keluarga merekapun memiliki kehidupan masing-masing dan masalah masing-masing pula. Hal ini membuat keempat partisipan harus berusaha mandiri dan mengandalkan diri sendiri. Sesuai dengan pendapat Hurlock (1991) yang menyebutkan bahwa single parent harus mencoba untuk menjalankan hidup rumah tangga sendirian, setelah terbiasa dibantu oleh pasangan, menjadikan banyak masalah rumah tangga yang harus dihidupi oleh seorang single parent, terkecuali dia mempunyai anak yang dapat membantu mengatasi berbagai masalah tersebut atau memang mempunyai kemampuan untuk mengatasinya.
f.
Masalah Seksual Hurlock (1991) menyatakan bahwa akibat keinginan seksual tidak terpenuhi selama usia ini, janda yang terbiasa menikmati kenikmatan seksual selama hidup dalam bertahun-tahun perkawinannya, sekarang mereka merasa frustrasi dan tidak terpakai. Hal ini sesuai dengan pernyataan single mother I dan IV. Mereka merasa bahwa diri itu tidak berarti tanpa suami, walaupun kini mereka lambat laun mulai terbiasa dan semakin mengerti bahwa hidup harus berlanjut. Bagi mereka, anaklah kini yang harus mereka perjuangkan.
Tidak sedikitpun terlintas dibenak mereka untuk menikah kembali. Tidak mereka pungkiri, bahwa mereka memang masih ingin berhubungan seks, namun keinginan itu dapat ditahan dengan cara mengalihkan perhatian kepada hal lain yang mereka sukai atau
60
melakukan hobi. Hal ini Sesuai dengan pendapat Sucahyani (2006) yang menyatakan bahwa janda harus menyesuaikan diri dalam pemenuhan kebutuhan biologis secara sehat yang tidak menyimpang.
Bagi single parent wanita, tidak ada sama sekali keinginan untuk menikah kembali, karena mereka hanya terfokus pada masa depan dan kelangsungan
anak.
Hal
inilah
yang
menjadi
permasalahan
sesungguhnya bagi single mother, bukan keinginan untuk menikah kembali. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian mengenai intensi menikah kembali pada single mother menunjukkan dari 77 subjek rentang usia 21-85 tahun, 58% ( 45 subjek) memiliki intensi menikah kembali rendah, dan 42% (32 subjek) memiliki intensi menikah kembali tinggi. Hasil penelitinnya adalah behavior belief (42%), normative belief (28%) dan behavior control (48%).
Sementara partisipan II dan III selaku single father, merasa kalau mereka kewalahan akan pengurusan rumah dan anak, dan juga merasa kalau keinginan untuk melakukan hubungan seksual masih ada. Keluarga dengan orang tua tunggal pria memiliki masalah khusus yang timbul hanya dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak, sehingga muncul keinginan untuk menikah kembali (Kimmel, 1980).
g.
Masalah Kesepian Keempat Partisipan mengalami masalah kesepian. Mereka merasa tidak ada lagi tempat baginya untuk berkeluh-kesah, untuk bercerita dan bertukar pikiran jika mereka memiliki masalah. Keempat Partisipan sering merindukan masa kebersamaan saat bersamaHal ini sesuai dengan pendapat Lemme (1995) yang menyebutkan bahwa individu yang kehilangan pasangannya akan mengalami perasaan kesepian.
61
Kimmel (1980) dan Walsh (2003) menyatakan beberapa permasalahan yang sering timbul di dalam keluarga dengan orang tunggal baik wanita maupun pria yakni merasa kesepian, perasaan terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak. Keempat Partisipan keseluruhan merasakan kesepian setelah ditinggal pasangan. Terjebak dengan tanggung jawab mengasuh anak dan mencari sumber pendapatan, kelelahan menanggung tanggung jawab untuk mendukung dan membesarkan anak sendirian, mengatasi hilangnya hubungan dengan partner special, memiliki jam kerja yang lebih panjang, lebih banyak masalah ekonomi yang timbul, menghadapi perubahan hidup yang lebih menekan, dan lebih rentan terkena depresi, kurangnya dukungan sosial dalam melakukan perannya sebagai orang tua, dan memiliki fisik yang rentan terhadap penyakit.
2. Ketegangan Sosial a. Tanggung jawab yang berlebih Weiss (dalam Leslie & Korman, 1995) mengatakan bahwa single parent
bertanggung jawab sendiri untuk mengambil keputusan,
merencanakan serta memperhatikan kebutuhan dan kesejahteraan keluarganya. Hal ini terjadi pada keempat Partisipan, dimmana mereka sendiri yang menentukan dan merencanakan sendiri segala sesuatunya untuk kebutuhan anaknya, misalnya menentukan tempat anaknya bersekolah.
Partisipan I hanya mendapat bantuan dari adik iparnya jikalau ia mengalami kebuntuan dalam mengambil keputusan. Tetapi partisipan yang lain merasa kalau mereka memang harus mengambil keputusan sendiri. Mereka merasa lebih baik mengandalkan diri sendiri dan tidak bergantung dengan orang lain. Mereka menyadari kalau keluarga mereka pun memiliki kehidupan sendiri dan masalah masing-masing. Ditambah lagi memang mereka merasa keluarga semakin menjauh.
62
b. Tugas yang berlebih Bagi single parent kini mereka harus mengambil alih semua pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh dua orang. Mereka harus bekerja untuk memperoleh penghasilan mengurus rumah, dan memperhatikan semua kebutuhan anak-anaknya. Hal ini sesuai dengan pendapat Weiss (dalam Leslie & Korman, 1995). Bahwa mereka akan menghadapi tugas tersebut setiap hari membuat mereka lelah dan jarang memiliki waktu untuk mereka sendiri.
Kasus yang dialami Partisipan I, saat dulu ia masih bersama pasangan, ia yang dulunya sangat manja dengan suaminya dan sangat mengandalkan suaminya, kini harus berusaha mandiri dan berdiri sendiri. Partisipan II dan III merasa dulunya dalam hal pengurusan rumah tangga, mereka serahkan pada pasangan, dulunya tugas mereka hanya bekerja mencari nafkah, kini mereka harus melakukan semuanya sendiri, mencari nafkah, mengurus rumah, mengurus anak.
c. Emosi yang berlebih Single parent harus mengatasi sendiri kebutuhan emosinya dan anaknya. Hal ini disebabkan waktu mereka habis untuk bekerja, mengurus rumah dan keluarga, sulit untuk memenuhi kebutuhan emosi dan keinginan mereka sendiri (Weiss, dalam Leslie & Korman, 1995). Keempat Partisipan menyadari kalau waktu mereka tidak seperti dulu.
Partisipan I dan IV merasa kalau mereka mudah tersinggung semenjak menyandang status janda. Kalau anaknya tidak langsung menuruti keinginan mereka, mereka akan tersinggung dan bahkan bisa menangis, kadang menjadi teringat pada suami. Tetapi walaupun demikian, keempat partisipan selalu mengusahakan waktu mereka tetap ada dalam pengurusan anak.
63
Mereka mernyadari kalau waktu mereka sudah semakin berkurang. Kewalahan karena harus berperan ganda. Mereka mencari nafkah, mengurus anak dan mengurus pekerjaan rumah tangga. Kasus yang dialami keempat pastisipan ini sesuai dengan pendapat Weiss ( dalam Leslie & Korman, 1995) yang menyebutkan bahwa single parent sering mengalami tanggung jawab dan tugas yang berlebihan sehingga mempengaruhi emosi mereka.
3. Dukungan keluarga Kondisi keluarga keempat partisipan dapat dikatakan sebagai keluarga dengan orang tua tunggal (single parent). Karena struktur keluarga keempat subjek saat ini hanya terdiri dari satu orang tua yang hidup bersama anak-anaknya dalam satu rumah (Hammer&Turner, 1990) dan mereka secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya (Sager, dkk (dalam Duvall&Miller, 1985).
Keempat single parent merasa kalau keluarga terutama keluarga dari pihak pasangan semakin menjauh dikarenakan tidak ada lagi penghubung ke keluarga. Partisipan I merasa abangnya tidak peduli sama sekali dengan dirinya, hanya adik iparnya yang peduli pada dirinya. Partisipan II merasa awalnya keluarga mendekatkan diri, lambat laun menjauh karena Partisipan II tidak mengindahkan saran keluarga untuk menikah kembali. Partisipan III merasa keluarga semakin menjauh, ia merasa mungkin karena tidak ada lagi istrinya yang menjadi penghubung ke keluarga. Partisipan IV mengatakan komunikasi pada keluarga semakin jarang, hal ini mungkin karena rumah keluarganya yang berjauhan. Dulu setelah menjadi single parent, Partisipan IV dulunya berdiskusi dengan ibu mertuanya, tapi kini ibu mertuaya pun telah meninggal dunia.
64
Hal diatas ini sesuai dengan pendapat Parkes dan Sanders (dalam Corr, 2003) yang menyatakan bahwa dukungan dari orang lain, khususnya keluarga dapat membantu single parent dalam mengatasi perasaan sedih dan duka citanya. Tetapi hal tersebut tidak didapatkan keempat partisipan dari keluarga mereka. Sehingga mereka selalu berusaha mandiri dan mengandalkan diri sendiri.
4. Harapan Keempat single parent merasa kalau inti dari kelanjutan hidup adalah anak. Menggapai masa depan anak merupakan tujuan setiap orangtua. Harapan keempat partisipan adalah anak mereka bisa menjadi orang yang sukses dan membanggakan. Tidak peduli sesulit apa yang harus mereka lalui. Karena bagi keempat Partisipan, tidak ada lagi yang menjadi penyemangat untuk bangkit selain anak mereka.
Partisipan I mengatakan semoga anaknya dapat menyelesaikan kuliahnya dengan baik. Ia merasa anaknya malas sekali, sehingga tugasnya kini, selain mencari nafkah, mengurus rumah, dan adalah membantu menyemangati anaknya agar anaknya tidak terlarut dalam kesedihan dan menjadi berpacu untuk menggapai masa depan. Bagi Patisipan I, anaklah yang membuat dia mau bangkit dari kesedihan dan segera mengatasi kesedihan yang berlarut.
Partisipan II juga merasa demikian. Anak-anaknya lah yang ingin ia rangkul. Hal inilah yang kemudian menjadi penyebab hubungannya dengan anak semakin baik dan semakin hangat. Sesibuk apapun yang dirasa Partisipan II, ia merasa ia dan anaknya menyempatkan untuk berkumpul. Ia berharap ke depannya mereka semakin bangkit dan semakin dekat lagi.
65
Sedangkan partisipan III yang merasa kesulitan dalam pengurusan anak, merasa kalau ia sangat membutuhkan sosok ibu rumah tangga. Ia yang dulunya hanya mencari nafkah, kini harus mengerjakan pekerjaan rumah juga. Ia kesulitan dalam memasak, mencuci dan melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Ia hanya berharap anaknya dapat mandiri dan berdiri sendiri. Agar bebannya sedikit berkurang. Ia juga berharap anaknya semakin mengerti kondisi mereka saat ini
Menurut Bastaman (1996), mengenali dan memahami diri sendiri sangat bermanfaat untuk mengembangkan segi-segi positif dan mengurangi segisegi negatif masing-masing pribadi, baik yang potensial maupun yang sudah aktual. Hal inilah yang membuat keempat partisipan dapat bangkit dari duka. Mereka sesegera mungkin fokus untuk masa depan anak, secara sendirian membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran, dukungan, dan tanggung jawab pasangannya (Sager, dkk (dalam Duvall&Miller, 1985)
D. Keterbatasan Penelitian Adapun keterbatasan dalam penelitian ini adalah waktu yang cukup singkat sehingga pengalaman partisipan kurang tereksplor, selain itu kedalaman & kemampuan menggali fenomena yang dimiliki peneliti masih kurang. Selain itu penelitian ini hanya mendapat partisipan dengan rentang usia yang cukup dekat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan penelitian mengenai “Studi Fenomenologi: Pengalaman Single Parent dalam Merawat Anak di Kelurahan Dwikora Kecamatan Medan Helvetia Tahun 2015”, maka diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Masalah khusus yang timbul pada keluarga dengan orang tua tunggal wanita adalah kesulitan mendapatkan pendapatan yang cukup, kesulitan mendapat pekerjaan yang layak, kesulitan membayar biaya untuk anak, kesulitan menutupi kebutuhan lainnya. Sementara pada keluarga dengan orang tua tunggal pria (single parent father) masalah khusus yang timbul adalah dalam hal memberikan perlindungan dan perhatian pada anak. 2. Dukungan sosial dari keluarga yang dialami oleh keempat partisipan minim. Keluarga tidak memiliki andil yang cukup besar untuk membantu keempat partisipan. Dukungan sosial terbesar bagi keempat partisipan penelitian ini adalah anaknya. 3. Keempat partisipan sama-sama mengungkapkan bahwa mereka berharap anak mereka dapat meneruskan sekolah sampai selesai dan berhasil karena anak merupakan makna hidup utama bagi mereka.
B. Saran a. Bagi Keperawatan keluarga Bagi keperawatan keluarga agar dapat mengetahui reaksi-reaksi duka cita pada orang yang kehilangan pasangannya, bentuk-bentuk permasalahan yang mereka hadapi serta penghayatan hidup pada wanita yang berperan sebagai single parent sehingga klinisi dapat memberikan alternatif solusi pemecahan
masalah
kepada
single
parent
yang
datang
untuk
berkonsultasi, selain itu juga dapat membantu memberi pemahaman bagi keluarga dari single parent agar dapat membantu mereka dalam mengatasi
66
67
masalahnya dengan cara memberikan dukungan sosial, seperti dukungan emosional, dukungan harga diri, dan sebagainya.
b. Bagi Single Parent Single parent yang telah ditinggalkan pasangannya karena kematian agar tidak terlalu hanyut dalam kedukaan karena hal tersebut hanya akan mengakibatkan penyakit-penyakit fisik maupun mental. Selain itu wanita yang berperan sebagai single parent diharapkan memiliki sisi religiusitas yang baik untuk dapat menerima kenyataan dengan kehidupan tanpa pasangan sehingga dapat ’keluar’ dari hidup yang tidak bermakna dan bangkit dari kesedihannya dan semakin berfokus pada anak.
c. Bagi Lurah Dwikora Agar menghilangkan stigmatisasi terhadap status janda/duda yang telah kehilangan pasangannya karena stigma tersebut akan membuat mereka merasa terisolasi secara sosial.
d. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini hanya mendapat partisipan dengan rentang usia yang cukup dekat. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti mendapatkan partisipan dengan rentang usia yang cukup jauh, yaitu ≤ 20 tahun, antara 21-29 tahun, dan ≥30 tahun untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas mengenai permasalahan dan pengalaman pada yang berperan sebagai single parent.
DAFTAR PUSTAKA DeGenova, M. K. (2008). Intimate Relationships, Marriages & Families 7th ed. NY : McGrawHill. Djamarah, B.S (2014). Pola Komunikasi Orangtua dan Anak dalam Keluarga. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta. Duncan. Sulitnya Menjadi Orang-tua Tunggal. (2007) [Online]. http://www.gayahidupsehatonline.com/mod.php?mod=publisher&op=view article&cid=5&artid=186. [Online] Tanggal akses 31 Agustus 2007 Duvall, E.M & Brent. C.M. (1995). Marriage and Family Development. (6th Ed). New York: Harper & Row, Publisher Dion, Y. & Betan Y. (2013). Asuhan Keperawatan Keluarga Konsep dan Praktik. Yogyakarta: Nuha Medika, Egelman, W. (2004). Understanding Families. Critical Thinking and Analysis. USA: Iona College. Foster, L.R.R, Hunsberger, M.M. & Anderson, J.T.J (1989). Family-centered Nursing Care of Childreen. United States of America: W.B. Saunders Company. Friedman (1998). Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC. Friedman (2010). Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC. Glasser, P., & Navarre, E. (1999). Structural Problems of the One Parent Family. Dalam Gladys K Phelan (ed) Family Relationship. Minesota Burgess Publishing Company Hamner, Tommie, & Pauline H. Turner. (1990). Parenting in Contemporary Society (2nd edition). New Jersey: Prentice Hall Hapsari, S. Rini. (1999). Coping dan Dukungan Sosial Orang Tua Tunggal dalam Pengasuhan Anak (Studi Kualitatif pada 5 Orang Tua Tunggal Wanita Disebabkan Oleh Kematian Suami). Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia Heeeins, M & Seiden, M.A. (1987). Child Care Parent Care. New York: Doubleday & Company, Inc. Horton dan Hunt (1984) dalam buku
Kamato, Sunarto. 2004. Pengantar
Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI.
Hurlock, E.B. (1991). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi kelima. Jakarta: Erlangga. Kartono, K. (1992). Psikologi Wanita Mengenal Wanita sebagai Ibu dan Nenek. Bandung: Mandar Maju. Kimmel, Douglas C. (1980). Adulhood and Aging. 2nd Edition. Canada: John Wiley&Sons, Inc. Moleong, L.J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Cetakan ke enam belas. Bandung: PT. Rosdakarya Offset. Papalia, D. (1998). Human Development. (8th Ed). New York: Mc Graw Hill. Pekka., et.al, (2004). Sex, Age, Economic Single Mother. Finlandia. Art Weinstein. Perlmutter, M. & Hall, Elizabeth. (1985). Adult Development and Aging. New York: John Wiley&Sons, Inc. Potter dan Perry. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses dan Praktik. Jakarta: EGC Prof.R. Subekti, SH. dan R. Tjitrosudibio.(1999). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Jakarta, PT. Pradnya Paramita. Setiadi. (2010). Konsep dan Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu Sugiyono. (2013). Metodelogi Penelitian Kualitatif Kuantitatif dan R&B. Bandung: Alfabeta. Walsh, Froma. (2003). Normal Family Processes 3rd ed: Growing Diversity and Complexity. NY : Guilford Press. Zakiah, I. Diah. (2007). Self Management Pada Orang Tua Tunggal Wanita dalam Pengasuhan Anak. Depok: Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia (http://www.pekka.or.id/media/kompas/Republika_19Juli2004.doc) Diunduh tanggal 20 Mei 2010, pukul 15.00 wib Zhan & Pandey S. (2004). Economic being of Single Mother and Single Father. J.Soc & Soc. Welfare, Inc.
PEDOMAN WAWANCARA DI LOKASI TERHADAP SUBYEK (KEY PARTICIPANT) A. Identitas Partisipan 1. Inisial
:
2. Usia
:
3. Pekerjaan
:
4. Suku
:
5. Hari/tgl Wawancara
:
6. Jumlah Anak Yang Menjadi Tanggungan : 7. Lama Menjadi Single Parent
B. Pedoman Wawancara 1. Bagaimana perasaan Bapak/ibu setelah ditinggal pasangan? 2. Bagaimana Bapak/ibu memandang diri Bapak/ibu sewaktu masih bersama pasangan? 3. Bagaimana Bapak/ibu memandang diri Bapak/ibu sendiri setelah ditinggal pasangan? 4. Bagaimana dukungan dari keluarga yang ibu terima dan rasakan setelah kepergian pasangan? 5. Bagaimana kalau misalnya pendapat Bapak/ibu tidak didengarkan keluarga? 6. Bagaimana perasaan Bapak/ibu ketika pendapat Bapak/ibu tidak didengarkan anak? 7. Bagaimana Bapak/Ibu mencukupi kebutuhan Bapak/Ibu dan anak setelah ditinggalkan pasangan? 8. Bagaimana sikap keluarga dalam menanggapi bila Bapak/Ibu atau anak sakit? 9. Bagaimana perubahan anak yang Bapak/ibu rasakan setelah mereka ditinggal pasangan Bapak/Ibu? 10. Bagaimana sikap keluarga almarhum pasangan Bapak/Ibu setelah pasangan Bapak/Ibu meninggal? 11. Bagaimana perasaan Bapak/Ibu dalam menghadapi masalah dalam kehidupan setelah menjadi single parent? 12. Bagaimana hubungan Bapak/Ibu dengan lingkungan sekitar?