SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK TERHADAP MUTU YOGHURT
Oleh : UMUL MA’RIFAH F24104091
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK TERHADAP MUTU YOGHURT
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : UMUL MA’RIFAH F24104091
2008 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
Umul Ma’rifah. F24104091. Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt. Dibawah Bimbingan : Betty Sri Laksmi Jenie dan Siti Nurjanah, 2008.
RINGKASAN Pati modifikasi ikat silang adalah pati yang dimodifikasi secara kimia yang mengandung sejumlah pati resisten (Resistant starch) yang dikenal dengan RS tipe IV. Resistant starch (RS) telah diteliti mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus dan dapat difermentasi oleh bakteri probiotik. Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi, tetapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia. Fermentasi RS oleh bakteri dalam usus menghasilkan SCFA (short chain fatty acids) yang diketahui berfungsi mencegah kanker kolon. RS dalam penelitian ini diperoleh dari pati singkong yang dimodifikasi melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia 0.02% (v/b) POCl3. Jenis minuman fugsional yang akhir-akhir ini cukup diminati adalah minuman probiotik (yoghurt). Salah satu upaya peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan kultur campuran bakteri asam laktat (BAL) yang merupakan kandidat probiotik dan dengan menambahkan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung RS tipe IV sebagai sumber prebiotik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik (sinbiotik) mampu meningkatkan pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM), (2) pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis mutu yoghurt terpilih. BAL yang digunakan dalam penelitian ini adalah Streptococcus thermophilus, Lactobacillus bulgaricus, dan sebagai kandidat probiotik digunakan Lactobacillus plantarum sa28k yang diisolasi dari asinan kubis. Sebanyak 5% (v/v) kultur tunggal BAL Streptococcus thermophilus (St), Lactobacillus bulgaricus (Lb), Lactobacillus plantarum sa28k (Lp ) yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) menunjukkan hasil sebagai berikut: jumlah BAL yang disuspensikan dalam larutan pati singkong modifikasi sebelum diinkubasi berturut turut adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah diinkubasi selama 20 jam jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml, jumlah L. bulgaricus menjadi 5.7 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum menjadi 4.65 x 104 CFU/ml. Hasil tersebut belum menunjukkan adanya pertumbuhan yang signifikan terutama untuk S. thermophilus dan L. plantarum. Hal ini diduga karena BAL akan mencerna PSM lebih lambat sehingga dalam waktu 20 jam belum terlihat pertumbuhannya. Kombinasi BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah sebagai berikut: (1) S. thermophilus : L. bulgaricus (2) S. thermophilus : L. plantarum, (3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum, dan (4) L. plantarum. Hasilnya menunjukkan, kombinasi BAL mempengaruhi nilai pH, viskositas, serta tingkat penerimaan panelis terhadap mutu yoghurt yang dihasilkan. Kombinasi ketiga BAL yaitu
S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum menghasilkan yoghurt dengan karakteristik yang mempunyai tingkat penerimaan lebih baik daripada kombinasi BAL yang lain. Susu skim ditambahkan dalam beberapa konsentrasi yaitu 5%, 7.5%, dan 10% (b/v), sedangkan PSM ditambahkan pada konsentrasi 2.5% dan 5% (b/v). Semakin tinggi konsentrasi susu skim dan PSM yang ditambahkan menghasilkan yoghurt dengan nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas yang semakin tinggi. Konsentrasi susu skim terpilih yaitu 5% (b/v) dan konsentrasi PSM terpilih yaitu 2.5% (b/v). Kombinasi ini menghasilkan yoghurt dengan karakteristik penampakan, bau, rasa, konsistensi, mutu kimia dan mutu mikrobiologi yang sesuai dengan standar mutu yoghurt SNI-2981-1992.
RIWAYAT HIDUP
Penulis bernama Umul Ma’rifah. Penulis dilahirkan pada tanggal 14 november 1985 di Madiun. Penulis adalah anak bungsu dari lima bersaudara pasangan bapak Djaenuri dan Ibu Sringatun. Pendidikan yang telah ditempuh oleh penulis antara lain SDN Sewulan 03 (1992-1998), SLTPN I Dagangan (19982001), SMAN I Geger (2001-2004). Penulis diterima sebagai mahasiswa Institut pertanian Bogor pada Fakultas Teknlogi Pertanian pada tahun 2004. Penulis diterima pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru). Selama kuliah penulis aktif berorganisasi yaitu sebagai staf Departemen Sosmas Himitepa, bendahara departemen Pengabdian Masyarakat (KAMMI Komsat IPB), staf media Komunikasi LSO Pusat studi Politik dan Kebijakan (KAMMI Daerah Bogor), Sekretaris Departemen Humas (KAMMI Daerah Bogor), dan Kadeputi Kajian dan Advokasi BKM KAMMI Derah bogor. Penulis juga aktif di berbagai kepanitiaan seperti ketua pelaksana pelatihan Jurnalisme Profetik Center (JPC), Lepas Landas Sarjana FATETA, penyambutan mahasiswa baru (Salam ISC), dan Seminar Nasional Pangan Halal. Penulis juga aktif sebagai asisten mata kuliah Pendidikan Agama Islam. Sebagai syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian, penulis menyusun skripsi dengan judul ” Pengaruh Penambahan Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang Dan Bakteri Asam Laktat Kandidat Probiotik Terhadap Mutu Yoghurt” di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS dan Siti Nurjanah, STP, MSi.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN PENGARUH PENAMBAHAN PATI SINGKONG MODIFIKASI IKAT SILANG DAN BAKTERI ASAM LAKTAT KANDIDAT PROBIOTIK TERHADAP MUTU YOGHURT
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada jurusan Ilmu Dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh : UMUL MA’RIFAH F24104091
Dilahirkan pada tanggal 14 November 1985 Di Madiun, Jawa Timur Tanggal Lulus: September 2008
Menyutujui, Bogor, September 2008
Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS
Siti Nurjanah, STP, MSi
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Alloh Rabb semesta alam yang telah memberikan kenikmatan iman, limpahan rahmat serta hidayat, sehingga penulis bisa menikmati pendidikan di IPB, menyelesaikan penelitian, dan penyusunan skripsi. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana teknologi pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada: 1. Ibu, Bapak, dan Bunda Hermin atas do’a yang tak henti-hentinya, kasih sayang yang diberikan selama ini, serta kesabaran yang begitu besar dalam menunggu penulis lulus. Hanya sebatas ini yang baru bisa ananda berikan. 2. Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, M.S., selaku dosen akademik atas bimbingan, pengarahan, motivasi, bantuan, dan kesabaran yang telah diberikan kepada penulis selama menempuh pendidikan, mengerjakan penelitian, dan menulis skripsi di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. 3. Siti Nurjanah, S. TP., M.Si., sebagai dosen pembimbing II atas bimbingan, pengarahan, kesabaran, dan bantuan yang diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi. 4. Dian Herawati, S. TP., atas kesediaannya menjadi dosen penguji dan masukanmasukan yang telah diberikan. 5. Progam Hibah Kompetisi B Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “ Pengembangan Produk Pangan Kaya Serat Dan Sumber Prebiotik Dari Resistant Starch Umbi-umbian ” yang diketuai ole Prof. Dr. Ir. Betty Sri Laksmi Jenie, MS., atas dana penelitian yang diberikan. 6. Kakak-kakakku (Mbak Hied, Mbak Mur, Mbak Mun, Mas Toha), kakak-kakak ipar (pak Ulis, Mas Din, pak Yit, Mb Ana) dan keponakan-keponakanku, atas motivasi dan do’anya selama ini. Do’akan aku sanggup memenuhi harapanharapan kalian. 7. Soulmate dan saudara tercintaku (Yana dan Citra), teman sharingku (Rita, Risma, RJ crew) bersaudara dengan kalian adalah anugerah. Terima kasih banyak atas bantuan dan kebersamaan yang indah selama ini.
8. Murabbiyah-murrabiyahku, terima kasih atas ilmu, bimbingan, dan suntikan semangatnya. 9. Teman-teman BPH KAMMI Daerah Bogor 2006 - 2008 (Herma, Jepri, Budi, Dindin, Jamal, Defa, Imam, Adyos, Mbak I’in, Citra, Phyto), bisa berjuang bersama kalian adalah kenikmatan dari Alloh. Satu yang harus kita ingat : BERGERAK TUNTASKAN PERUBAHAN! Semoga Alloh meridloi apa yang selama ini kita lakukan. 10. Teman-teman BKM (Mbak Rini, Noni, Anis, Anna, Honi, Erika), teman-teman BKM KAMMI Pusat (Ka Uwie Makasar dan Mbak Mutia), teman-teman KAMMI komsat (IPB, AKA, UIKA, UNIDA, La Roiba, UNPAK), teman-teman Etos 41, 42, 43, 44 terima kasih atas do’a dan dukungan selama ini. 11. Anak-anak Griya Salma (Frita, Tria, mbak Nurban, Ria, Mbak Sarmah, Mbak Nurul) atas keceriaan yang diberikan, teman-teman EURO, teman-teman SALAM ISC 2006, FA 41, teman-teman Kurma, bersaudara dengan kalian adalah anugerah terindah dalam dakwah. 12. Temenku yang tersayang (Nona, Novi, Risma, Memed, sofia), teman sebimbingan (Fina) , Ety, Tommy, Arief Fadli, Aris, Sisi, Riska terima kasih atas bantuan yang diberikan selama penelitian. 13. Teman-teman praktikum golongan C dan teman-teman ITP 41, terima kasih atas kebersamaannya. 14. Bu Mar, Pak Sidik, Pak Mul, Mas Edi, Pak Sobirin, Pak Wahid, Pak Yahya, Pak Rojak, Bu Rub, Bu Antin, dan Bapak-Bapak petugas PITP, terima kasih atas 15. semua bantuannya dan semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu.
Penulis sadar bahwa skripsi ini masih begitu banyak kekurangan, harapannya semoga apa yang telah dituangkan penulis dalam skripsi bisa bermanfaat bagi pihak yang membutuhkan.
Bogor, September 2008. Umul Ma’rifah
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .....................................................................................
i
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii DAFTAR TABEL............................................................................................ vi DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... viii I. PENDAHULUAN ........................................................................................ 1 A. LATAR BELAKANG.............................................................................. 1 B. TUJUAN .................................................................................................. 3 C. MANFAAT .............................................................................................. 3 II. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................. 4 A. Singkong (Manihot esculenta Crantz)..................................................... 4 B. Pati Singkong (Tapioka)........................................................................... 5 C. Pati Modifikasi ......................................................................................... 7 D. Susu Fermentasi ....................................................................................... 10 E. Susu Skim ................................................................................................. 13 F. Prebiotik................................................................................................... 14 G. Proiotik ..................................................................................................... 15 H. BAKTERI ASAM LAKTAT ................................................................... 17 1. Lactobacillus plantarum sa28k ........................................................... 22 2. Lactobacillus bulgaricus..................................................................... 24 3. Streptococcus thermophilus ................................................................ 25 III. BAHAN DAN METODE .......................................................................... 27 A. BAHAN DAN ALAT ............................................................................. 27 1. Bahan................................................................................................... 27 2. Alat ..................................................................................................... 27 B. METODE PENELITIAN........................................................................ 27 1.Pembuatan RS Tipe IV Pati Singkong (Juliana, 2007)........................ 28 2. Pengamatan viabilitas BAL Dalam Media RS IV............................... 28 3. Pembuatan Kultur Starter.................................................................... 29
4. Pembuatan Yoghurt............................................................................. 29 4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL ............................................ 31 4.2. Pemilihan Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV .................... 31 C. METODE ANALISIS............................................................................. 32 1. Uji Organoleptik ................................................................................. 32 2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989) ................................... 32 3. Analisis Sifat Kimia ............................................................................ 32 3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995).................................................. 32 3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992)............ 33 3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989) ...................... 33 3.4. Kadar abu (AOAC, 1995) ......................................................... 34 3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995) ........................... 34 3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995) ..................... 35 4. Analisis Mikrobiologi ......................................................................... 35 4.1. Total Bakteri Asam Laktat (Harrigan, 1998) ............................. 35 4.2. Total kapang - khamir (Fardiaz, 1987) ...................................... 36 4.3. Uji Koliform............................................................................... 37 4.4. Uji Salmonella............................................................................ 37 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 39 A. Penumbuhan BAL pada Larutan 2.5% RS Tipe IV ................................ 39 B. Pembuatan Yoghurt................................................................................. 41 C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat ........................ 42 1. Derajat Keasaman (pH)............................................................... 43 2. Viskositas .................................................................................... 44 3. Uji Organoleptik.......................................................................... 46 3.1. Warna ......................................................................................... 47 3.2. Aroma......................................................................................... 47 3.3. Rasa ............................................................................................ 49 3.4. Mouthfeel.................................................................................... 50 4. Kombinasi BAL Terpilih .................................................................... 51 D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan RS tipe IV ................................... 52 1. Viskositas ............................................................................................ 52
2. Total Asam Tertitrasi (TAT)............................................................... 54 3. Derajat Keasaman (pH)....................................................................... 56 4. Pengaruh Kombinasi BAL dan RS tipe IV terhadap jumalah BAL ... 59 E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik................................................................ 61 1. Keadaan Secara Umum ....................................................................... 62 2. Mutu Kimia ......................................................................................... 62 2.1. Nilai pH...................................................................................... 62 2.2. Total Padatan Terlarut................................................................ 63 2.3. Total Asam Tertitrasi ................................................................. 64 2.4. Kadar Abu .................................................................................. 64 2.5. Kadar Lemak ............................................................................. 64 2.6. Kadar Protein ............................................................................. 65 3. Mutu Mikrobiologi.............................................................................. 65 3.1. Total Bakteri Asam Laktat ......................................................... 65 3.2. Total Kapang-Khamir ................................................................ 65 3.3. Uji koliform, E. coli, dan Salmonella ........................................ 66 4. Mutu Organoleptik .............................................................................. 67 4.1. Aroma......................................................................................... 67 4.2. Rasa ............................................................................................ 67 4.3. Tekstur (mouthfeel) .................................................................... 67 4.4. Warna ......................................................................................... 67 4.5. Kekentalan.................................................................................. 68 V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................... 69 A. KESIMPULAN ..................................................................................... 69 B. SARAN ................................................................................................. 70 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 71 LAMPIRAN..................................................................................................... 78
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992 ............. 12 Tabel 2. Formulasi Yoghurt ............................................................................. 32 Tabel 3. Hasil analisis yoghur.......................................................................... 62
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Singkong (ubi kayu) ....................................................................... 5 Gambar 2. Reaksi Modifikasi Pati Dengan Menggunakan POCl 3.............................. 9 Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)............................. 18 Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997) ............................ 19 Gambar 5. L. Plantarum .................................................................................. 24 Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus ................................................................ 25 Gambar 7. Streptococcus thermophilus ........................................................... 26 Gambar 8. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt ................................................. 30 Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% RS tipe IV ............................... 39 Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL....................................... 42 Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL .................................................................................... 43 Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL ..................................................................................... 45 Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan kombinasi kultur BAL ................................................................... 47 Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai viskositas yoghurt ......................................................................... 53 Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap total asam tertitrasi (TAT)............................................................. 54 Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai pH yoghurt ............................................................................. 57 Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap total BAL yoghurt .......................................................................... 60 Gambar 18. Yoghurt Terpilih........................................................................... 63
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Diagram Alir Pembuatan Yoghurt Sinbiotik ............................... 77 Lampiran 2. Viabilitas BAL............................................................................. 78 Lampiran 3. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) RS tipe IV.................... 79 Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH yoghurt ........................................................................................ 80 Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas yoghurt ........................................................................................ 81 Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna yoghurt ........................................................................................ 82 Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma yoghurt ....................................................................................... 83 Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa yoghurt ....................................................................................... 84 Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel yoghurt ........................................................................................ 85 Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap kekentalan yoghurt ...................................................................... 86 Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV viskositas formulasi yoghurt sinbiotik......................................................... 87 Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai total asam tertitrasi (TAT).................................................. 88 Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan RS tipe IV terhadap nilai pH........................................................................................ 89 Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi RS tipe IV terhadap jumlah BAL yoghurt sinbiotik ................................................... 90 Lampiran 15. Total Kapang-Khamir yoghurt sinbiotik terbaik ....................... 91 Lampiran 16. Total Koliform, E. coli, dan Salmonella.................................... 92
I.
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Kesadaran konsumen bahwa pangan yang dikonsumsi mempengaruhi kesehatan cenderung meningkat, sehingga membuat konsumen lebih selektif dalam memilih produk pangan yang akan dikonsumsi. Perubahan gaya hidup, pola makan, dan kondisi kesehatan dapat merubah stabilitas ekosistem flora usus. Upaya untuk memperbaiki kondisi ini dapat dilakukan dengan cara pengaturan (manajemen) flora usus dengan cara meningkatkan proporsi bakteri baik (probiotik) untuk menekan bakteri patogen. Produk pangan fungsional yang akhir-akhir ini cukup diminati adalah minuman probiotik terutama yang berasal dari susu fermentasi yaitu yoghurt. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sifat fungsional yoghurt sangat penting untuk meningkatkan kualitas kesehatan konsumen. Salah satu upaya peningkatan sifat fungsional yoghurt adalah dengan menambahkan bakteri asam laktat (BAL) selain S. thermophilus dan L. bulgaricus karena menurut Yuguchi et al., (1992), kedua bakteri tersebut tidak dapat tumbuh pada usus manusia, dan hanya dapat bertahan hidup sampai pada usus kecil dan kolon selama 3 jam setelah yoghurt dikonsumsi. Oleh karena itu, BAL yang ditambahkan adalah BAL yang harus mampu bertahan dalam saluran pencernaan sehingga memberikan efek kesehatan setelah dikonsumsi. Salah satu jenis BAL yang akan ditambahkan dalam penelitian ini yang mampu mencapai saluran pencernaan dalam keadaan hidup dan lengkap adalah L. plantarum yang diisolasi dari asinan kubis (sauerkraut) yaitu L. plantarum sa28k. Kusumawati et al., (2003), melaporkan bahwa dari uji in vitro dan uji in vivo pada tikus percobaan menunjukkan bahwa bakteri tersebut berpotensi sebagai probiotik yang mampu bertahan hidup dalam pencernaan. Selain itu, L. plantarum sa28k mampu menghambat pertumbuhan B. cereus, S. aureus, S. typhimurium, dan E. coli yang merupakan bakteri patogen. Kelebihan lain yang dimiliki L. plantarum sa28k menurut Kusumawati et al. (2003), merupakan galur yang menunjukkan aktivitas asimilasi kolesterol. Pati yang dimodifikasi (pati modifikasi) baik secara fisik maupun kimia diketahui mengandung sejumlah pati yang bersifat resisten terhadap enzim pencernaan yang dikenal dengan resistant starch (RS). Oleh karena itu, RS dapat
berfungsi sebagai prebiotik. Modifikasi pati terutama pati tapioka dengan menggunakan reagen kimia telah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara, seperti asilasi tapioka dan pragelatinisasinya dengan asam stearat untuk enkapsulasi flavor ( Varavit et al., 2001), cross link dengan POCl3 (Khatijah, 2003), asilasi tapioka dengan asam propionat dicampur dengan poliester poliuretan untuk dijadikan film (Santayonan dan Woothikanokkhan, 2003), dan hidrolisisis dengan HCl untuk memperoleh tingkat kristalin yang tinggi (Atichokudomcai et al., 2001). Penelitian tentang pati modifikasi melalui ikat silang (cross linking) untuk menghasilkan RS tipe IV juga telah banyak dilakukan antara lain modifikasi dengan 0.2% (v/b) POCl3 pati singkong, suweg, dan ubi jalar oleh Juliana (2007), penelitian serupa dilakukan Anggraini (2007) terhadap pati ganyong, kentang dan pati kimpul, dan Woo et al. (1999) membuat RS tipe IV dari berbagai pati dengan menggunakan berbagai konsentrasi POCl3. Menurut Singh et al. (2006), pati yang dimodifikasi mealalui ikat silang (cross linking) mempunyai karakteristik viskositas yang stabil terhadap suhu tinggi, pengadukan, dan kondisi asam. Oleh karena itu, umumnya ditambahkan untuk memperbaiki viskositas, tekstur, dan kestabilan dalam produk-produk susu. Juliana (2007) melaporkan, modifikasi pati singkong yang dibuat dengan metode ikat silang (cross linking) dengan reagen POCl3 setelah diinokulasi dengan L. plantarum sa28k dapat menghasilkan asam asetat yang merupakan SCFA (short chain fatty acids). SCFA menurut beberapa hasil penelitian diketahui dengan mekanisme sedemikian rupa berfungsi mencegah kanker kolon. Berbagai hasil penelitian modifikasi pati secara kimia untuk menghasilkan kandungan RS tipe IV, mempunyai potensi untuk dilakukan penelitian lebih lanjut terutama aplikasinya dalam produk pangan salah satunya pada produk yang mengandung probiotik. Oleh karena itu, pada penelitian ini digunakan pati singkong modifikasi yang dibuat melalui metode cross linking yang akan ditambahkan pada yoghurt untuk diamati pengaruhnya terhadap mutu yoghurt.
Penelitian ini
merupakan penelitian pendahuluan dari upaya penerapan konsep sinbiotik / eubiotik (penggabungan probiotik dan prebiotik) dalam produk yoghurt. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberadaan prebiotik dan probiotik mampu meningkatkan pertumbuhan BAL dalam usus manusia yang menguntungkan bagi kesehatan.
B. TUJUAN Penelitian ini bertujuan untuk : 1.
Mengetahui pengaruh penggunaan kombinasi BAL terhadap mutu yoghurt.
2.
Mengetahui pengaruh penggunaan susu skim pada berbagai tingkat konsentrasi terhadap mutu yoghurt.
3.
Mengetahui pengaruh penambahan pati singkong modifikasi ikat silang pada berbagai konsentrasi terhadap mutu yoghurt.
4.
Mengetahui mutu kimia dan mikrobiologi serta tingkat penerimaan panelis terhadap yoghurt yang telah ditambah L. plantarum sa28k dan pati singkong modifikasi ikat silang.
C. MANFAAT Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah penelitian awal yang memberikan referensi
proses
pembuatan
dan
mutu
yoghurt
dengan
menggunakan
L. plantarum sa28k sebagai BAL kandidat probiotik yang diisolasi dari asinan kubis dan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang yang mengandung resistant starch tipe IV, sehingga lebih lanjut diharapkan dapat diterapkan konsep yoghurt sinbiotik.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Singkong (Manihot esculenta Crantz) Singkong atau ketela pohon atau ubi kayu (Manihot esculenta Crantz) merupakan tanaman dari famili Euphorbiaceae dan merupakan tanaman tahunan di negara tropis maupun subtropis. Singkong berasal dari Brazil, kemudian menyebar hampir ke seluruh dunia, antara lain : Afrika, madagaskar, India, dan China (Prihatman, 2000). Ciri-ciri tanaman singkong mudah diamati yakni batangnya berkayu, beruas, dan berbuku-buku. Menurut Hilllocks et al., (2002), Umbi tanaman singkong yang terbentuk merupakan akar yang berubah bentuk dan fungsinya sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan. Tanaman singkong berbentuk pohon dengan tinggi 0.9-4.6 m. Tanaman ini dapat tumbuh baik di daerah dengan ketinggian 10-1500 m di atas permukaan laut dan memiliki curah hujan antara 1500-2500 mm/tahun. Suhu udara minimal bagi pertumbuhan tanaman singkong adalah 10oC. Suhu di bawah 10oC akan menghambat pertumbuhan tanaman, tanaman menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang yang kurang sempurna. Kelembaban udara yang optimal untuk pertumbuhan tanaman singkong adalah antara 60-65% (Prihatman, 2000). Umbi sngkong rata-rata bergaris tengah 2-3 cm dan panjang 50-80 cm, tergantung dari jenis singkong yang ditanam. Daging umbinya berwarna putih dan kekuning-kuningan. Umbi akar singkong mengandung glukosa, rasanya sedikit manis, namun ada pula yang pahit tergantung pada kandungan glukosida yang dapat membentuk asam sianida (Anonim, 2006). Di Indonesia, ketela pohon menjadi makanan bahan pangan pokok setelah beras dan jagung. Singkong paling besar dimanfaatkan sebagai bahan dasar pada industri makanan dengan diolah menjadi pati singkong (tapioka). Berdasarkan laporan Depatemen Perindustrian Indonesia tahun 1999, terdapat 155 buah produsen pati singkong yang tersebar diseluruh wilawah Nusantara. Salah satu upaya meningkatkan penggunaannya dalam industri pangan, tapioka dimodifikasi secara kimia menjadi resistant starch (RS) tipe IV. Juliana (2007) melaporkan daya cerna pati singkong modifikasi ikat silang (RS tipe IV) cukup rendah yaitu 21.20% dan
memiliki kadar serat pangan sebesar 8.72%. Gambar singkong dapa dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Singkong (Prihatman, 2000) B. Pati Singkong (Tapioka) Pati adalah polisakarida yang dibentuk dari sejumlah molekul glukosa dengan ikatan α-glikosidik. Oleh karena itu, pati dapat disebut sebagai karbohidrat kompleks (Brithish Nutrition Foundation, 2005). Pati terdapat di berbagai bagian tanaman, seperti biji (padi-padian), akar dan umbi (singkong dan kentang), dan pada batang (sagu) (Kulp, 1975). Pati merupakan salah satu bentuk utama dari karbohidrat dalam makanan. Bentuk pati digunakan untuk menyimpan glukosa dalam proses metabolisme. Pati terdiri dari dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas. Fraksi terlarut disebut amilosa dan fraksi yang tidak terlarut disebut amilopektin (Winarno, 1992). Amilosa tersusun dari molekul D-glukopiranosa berikatan
α-(1,4) dalam
struktur rantai lurus. Molekul amilosa lengkap dapat terdiri dari beberapa sampai 3000 unit D-glukopiranosa. Amilopektin terdiri dari molekul berikatan
D-glukosa yang
α-(1,4) dan juga mengandung ikatan silang α-(1,6). Ikatan ini
menyebabkan penampilan molekul amilopektin bercabang-cabang biasanya 24 -30 unit D-glukopiranosa berada di titik percabangan amilopektin (Wilbrahan dan Matta, 1992). Kandungan pati dalam singkong menurut Winarno (1992) adalah 34.6%. Juliana (2007) melaporkan rendemen pati singkong (tapioka) adalah 11.79% dengan kadar air 6.15% dari berat kering. Pati tapioka merupakan granula berwarna putih
dengan ukuran diameter yang bervariasi dari 4 -35μm dan rata-rata 20μm. Granula ini berbentuk mangkuk (cup) dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya (Swinkels, 1985). Granula pati tidak larut dalam air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood dan Munro, 1979). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi dan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Meyer (1982) menyatakan bahwa pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30% dari berat semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak larut dalam air dingin tapi berbentuk suspensi. Dengan makin naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka pengembangan granula semakin besar. Pengembangan tersebut disebabkan karena molekul-molekul amilosa dan amilopektin secara fisiknya hanya dipertahankan oleh ikatan hidrogen yang lemah. Atom hidrogen dari gugus hidroksil akan tertarik pada muatan negatif atom oksigen dari gugus hidroksil yang lain. Dengan makin naiknya suhu suspensi, maka ikatan hidrogen tersebut makin melemah. Di lain pihak molekul air memiliki energi kinetik yang lebih tinggi sehingga mudah berpenetrasi ke dalam granula, tetapi ikatan hidrogen antar molekul air juga semakin melemah. Akhirnya jika suhu suspensi mulai menurun maka air akan terikat secara simultan dalam sistem amilosa-amilopktin sehingga menghasilkan ukuran granula yang semakin besar. Jika suhu suspensi masih tetap naik, maka granula akan pecah sehingga molekul-molekul pati akan keluar terlepas dari granula masuk dalam sistem larutan. Pati alami biasanya mengandung amilopektin lebih banyak daripada amilosa. Butiran pati mengandung amilosa berkisar antara 15-30%, sedangkan amilopektin berkisar antara 70-85%. Perbandingan antara amilosa dan amailopektin akan berpengaruh terhadap sifat kelarutan dan derajat glatinisasi pati (Jane dan Chen, 1992). Juliana (2007) melaporkan kelarutan pati singkong dalam air adalah 4.2% b/b dan suhu gelatinisasi 84o C. Dalam tubuh manusia, pati dicerna dengan bantuan enzim amilase. Enzim ini biasanya terdapat pada saliva (air liur) dan pankreas. Amilase akan menghidrolisis pati menjadi maltosa. Proses pencernaaan pati oleh enzim amilase dipengaruhi oleh ukuran partikel. Semakin kecil ukuran partikel, luas permukaan semakin besar
sehingga pati lebih cepat dicerna daripada pati yang ukuran granulanya lebih besar (Tharanathan dan Mahandevama, 2003).
C. Pati Modifikasi Ikat Silang Pati modifikasi didefinisikan oleh Munarso (2004) sebagai pati yang diberi perlakuan sedemikan rupa baik secara fisik maupun kimia sehingga mempunyai sifat reologi dan fungsional yang berbeda dari pati aslinya. Pati yang dimodifikasi menghasilkan granula atau bagian pati yang bersifat tahan (resisten) terhadap enzim pencernaan yang dikenal dengan istilah pati resisten ( Resistant starch). Resistant starch (RS) didefinisikan sebagai sejumlah pati dan produk degradasi pati yang tidak diserap di usus kecil individu yang sehat. Resistant starch (RS) telah diteliti mempunyai fungsi prebiotik karena RS tidak dapat dicerna di usus halus sehingga dapat difermentasi oleh bakteri probiotik (Shimoni, 2003). Efek prebiotik tidak hanya terbatas pada RS yang secara alami memiliki kandungan amilosa yang tinggi tapi juga dimiliki oleh pati yang dimodifikasi secara kimia (Brown et al., 1998). RS dibedakan menjadi RS tipe I, tipe II, tipe III, dan tipe IV. Sajilata et al., (2006) menjelaskan definisi masing-masing tipe RS tersebut sebagai berikut: (1) RS tipe I adalah pati yang bersifat resistant karena secara fisik tidak dapat diakses oleh enzim pencernaan karena terpeangkap di antara dinding-dinding sel tanaman. RS tipe ini misalnya terdapat pada biji-bijian dan kacang-kacangan yang tidak tergiling sempurna (2) RS tipe II adalah pati yang secara alami terdapat dalam bentuk granula pati yang resistant terhadap enzim pencernaan. RS tipe II terdapat pada kentang, nanas, dan pisang mentah. (3) RS tipe III adalah RS yang terbentuk karena proses retrogradasi. (4) RS tipe IV adalah RS yang mempunyai ikatan lain selain α -(1,4) dan α- (1,6). Pembentukan RS tipe IV dilakukan dengan penambahan reagen kimia. Menurut Sajilata et al. (2006), resistant starch (RS) tipe IV adalah pati yang dimodifikasi melalui ikat silang (cross linking) dengan menggunakan reagen kimia, terdapat pada produk pangan yang menggunakan pati termodifikasi. Semua pati yang dimodifikasi dengan perlakuan kimia mengandung RS yang termasuk jenis RS tipe IV. RS tipe ini bersifat resisten terhadap enzim amilase
akibat pembentukan ikatan silang dengan penambahan senyawa kimia. Reagen seperti sodium trimetafosfat (STMP), monosodium fosfat (SOP), sodium tripolifosfat (STTP), epiklorohidrin (EPI), fosforus oksiklorida (POCl 3), ataupun campuran dari asam asetat anhidrida dan asam dikarboksilat seperti asam adipat, dan vinil klorida digunakan untuk membuat pati cross linking (Wattanchant et al., 2003). Tingkat efisiensi proses modifikasi kimia tergantung pada tipe reagen, ukuran dan stuktur granula pati alami (Huber dan Bemiller, 2001). Dalam hal ini juga termasuk struktur permukaan dari granula pati yaitu permukaan luar dan dalam, tergantung pada pori-pori dan adanya saluran-saluran pada granula tersebut. Bemiller (1997) menjelaskan bahwa saluran-saluran yang terbuka pada granula eksterior menyediakan permukaan lebih luas yang dapat diakses oleh reagen, dan menyediakan akses yang lebih mudah bagi reagen menuju granula interior. Namun, selain melalui saluran yang terdapat pada granula, reagen juga berdifusi masuk ke matrik granula melalui permukaan eksternal. Juliana (2007) melaporkan pati singkong yang dimodifikasi ikat silang dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 4.28%. Pati singkong modifikasi ikat silang tersebut dibandingkan dengan pati alaminya, memiliki derajat putih paling tinggi yaitu 110%, densitas kamba terendah yaitu 0.63 g/ml, sedangkan densitas padatnya 0.84 g/ml. Kadar amilosa pati singkong modifikasi ikat silang sebesar 29.42%, tidak berbeda nyata dibandingkan pati alami (27.32%). Aktivitas air dari pati alami singkong dan pati singkong modifikasi ikat silang berturut-turut sebesar 4.20, dan 4.25%. Pati singkong modifikasi ikat silang memiliki suhu awal gelatinisasi 67.5oC, suhu puncak gelatinisasi yang sama dengan pati alami singkong, yaitu 84 oC, dan viskositas maksimumnya adalah 1.550 BU. Kandungan gula pereduksi pati singkong modifikasi adalah 0.16% b/b. Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Juliana (2007) dengan mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati singkong modifikasi, diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah CFU/ml, L. casei 1.4 x 107 CFU/ml, dan
L. plantarum 1 x 108
B. Bifidum 2.5 x 107 CFU/ml. Selain itu,
dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat ( dietary fiber) sebanyak 8.72% (b/v).
Anggraini (2007) melaporkan pembutan pati kimpul yang dimodifikasi dengan 0.02% POCl3 memiliki kadar RS 5.1424%. Pati kimpul modifikasi ikat silang dibandingkan pati alami memiliki derajat putih paling tinggi yaitu 100.85%, densitas kamba yaitu 0.637 g/ml, sedangkan densitas padatnya 0.838 g/ml. Kadar amilosa pati kimpul modifikasi ikat silang sebesar 31.435%, tidak berbeda nyata dibandingkan pati alami (30.859%). Aktivitas air dari pati alami kimpul dan pati kimpul modifikasi ikat silang berturut-turut sebesar 0.384, 0.367, dan 0.358. Pati kimpul modifikasi ikat silang memiliki suhu awal gelatinisasi
75 oC, suhu puncak gelatinisasi yang sama
dengan pati alami kimpul, yaitu 90oC, dan viskositas maksimumnya adalah 200 BU. Kandungan gula pereduksi pati kimpul modifikasi ikat silang adalah 0.17% b/b. Berdasarkan uji in vitro yang dilakukan oleh Anggraini (2007) dengan mensuspensikan 5% (b/v) BAL pada larutan pati kimpul modifikasi ikat silang, diperoleh hasil setelah diinkubasi selama 24 jam jumlah L. plantarum 1.2 x 108 CFU/ml, L. casei 1.7 x 107 CFU/ml, dan B. Bifidum 8.9 x 106 CFU/ml. Selain itu, dari hasil analisis SCFA ( Short Chain Fatty Acid) diperoleh hasil asam asetat yang dihasilkan sebanyak 0.04% (b/v) dan kadar serat (dietary fiber) sebanyak 7.53% (b/v). Berikut adalah reaksi kimia yang terjadi dalam pembuatan pati modifikasi ikat silang dengan menggunakan reagen POCl3.
Gambar 2. Reaksi modifikasi kimia pati dengan menggunakan POCl3 (Singh et al., 2006)
D. Susu Fermentasi Susu fermentasi didefinisikan oleh Oberman (1985) yang disitasi oleh Selamat (1992) sebagai hasil fermentasi susu segar atau susu skim atau susu konsentrat yang telah dsipasteurisasi maupun disterilisasi dengan menggunakan kultur mikroba tertentu, dimana mikroba tersebut dipertahankan hidup sampai pada saat dijual ke konsumen dan diharapkan tidak mengandung mikroba patogen.
Beberapa contoh susu fermentasi antara lain : yughurt, yakult, kefir, koumis, susu bulgaricus, susu acidophilus, dll. Tzanetaki
dan
Tzanetakis
(1999)
dalam
Robinson
et
al.
(1999)
mengklasifikasikan susu fermentasi berdasarkan kultur starter yang digunakan yaitu: (1) fermentasi laktat oleh bakteri mesofilik dan termofilik, (2) fermentasi oleh bakteri intestinal, (3) fermentasi laktat oleh khamir, dan (3) fermentasi laktat oleh kapang. Kosikowski (1977) mengklasifikasikan susu fermentasi menjadi 4 tipe, yaitu (1) berasam rendah, contohnya susu krim dan susu mentega; (2) berasam sedang, contohnya susu acidophilus dan yoghurt; (3) berasam tinggi, contohnya susu bulgaricus; (4) mengandung asam dan alkohol, contohnya kefir dan koumiss. Beberapa manfaat minuman dari susu fermentasi menurut Yughuci et al. (1992) antara lain : (1) nilai pH yang rendah dalam usus, akibat aktivitas bakteri asam laktat membantu absoprsi mineral terutama kalsium, (2) menghambat pertumbuhan bakteri patogen dalam usus, (3) membantu penderita lactose intolerance karena bakteri asam laktat memfermentasi laktosa yang ada dalam susu dan dapat meningkatkan sekresi enzim laktase di dalam saluran pencernaan. Salah satu jenis susu fermentasi yang paling populer adalah yoghurt. Yoghurt merupakan hasil fermentasi susu dengan menggunakan bakteri asam laktat sebagai starternya. Fermentasi didifinisikan oleh Hariyadi et al. (2001) sebagai suatu proses yang memanfaatkan aktivitas metabolisme mikroba untuk menghasilkan senyawa antara, produk akhir, metabolit sekunder maupun biomassa. Proses fermentasi juga dapat memperbaiki sifat fungsional produk seperti tekstur, penampakan, dan flavor (Lin, 1991). Menurut SNI 01.2981-1992, yoghurt adalah produk yang diperoleh dari susu dipasteurisasi, kemudian difermentasi, dengan bakteri tertentu sampai diperoleh keasaman, bau, dan rasa yang khas, dengan atau penambahan bahan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Yuguchi et al. (1992), yoghurt adalah produk koagulasi susu yang dihasilkan melalui proses fermentasi bakteri asam laktat S. thermophilus dan L. bulgaricus dengan atau tanpa penambahan bahan lain yang diizinkan. Sebagai akibat dari kedua starter tersebut dimungkinkan terjadinya degradasi laktosa dan produksi asam asam laktat yang berakibat penurunan pH dan terbentuknya gumpalan yoghurt. Degradasi laktosa menjadi glukosa dan galaktosa
dengan sendirinya menurunkan potensi terjadinya intoleransi laktosa. Pada saat yang bersamaan, produksi asam laktat mampu menghambat pertumbuhan patogen penyebab berbagai penyakit terkait pangan. Syarat mutu yoghurt menurut SNI dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. Syarat mutu yoghurt sesuai persyaratan SNI 01-2981-1992 Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Keadaan: 1. Penampakan
Cairan kental sampai semi padat
2. Bau
Normal/khas
3. Rasa
Asam/khas
4. Konsistensi
Homogen
Lemak (% b/b)
Maks. 3.8
Protein (N x 6.37) (%
Min 3.5
b/b) Abu
Maks. 1.0
Jumlah asam (dihitung
0.5-2.0
sebagai laktat) (%b/b) Cemaran mikroba 1. Bakteri coliform
APM/g
Maks. 10
2. Eschericia coli
APM/g
<3
3. Salmonella
Negatif/ 100g
Sumber: SNI 01-2981-1992
Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi oleh kultur yoghurt menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai berikut: (1) Kultur starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara berangsur-angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat /sitrat kasein (3) Sejumlah kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau
sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada pH4.6-4.7. (4) interaksi antara α-La/ β-Lg dengan ĸ-kasein (diikat oleh jembatan SH dan –SS) sebagian melindungi misel kasein untuk melawan ketidakstabilan dan menghasilkan jaringan sel atau matriks dari struktur regular yang terperangkap di dalamnya. Ini semua merupakan unsur pokok dari dasar pencampuran termasuk fase cair. Sejalan dengan perkembangan teknologi pembuatannya, yoghurt tidak hanya terbuat dari susu sapi segar. Akan tetapi yoghurt telah banyak dibuat dari produkproduk olahan susu seperti susu skim.
E. Susu Skim Susu skim merupakan sumber protein yang baik, namun memiliki kandungan energi yang rendah karena hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu. Pada susu skim kering terkandung lebih dari 50% laktosa (Winarno, 1992). Menurut Helferich dan Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim mengandung lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim. Bylund (1995) menjelaskan bahwa pada dasarnya proses pengolahan susu skim melalui proses evaporasi dan spray drying, meliputi tahapan sebagai berikut: susu segar ditampung dalam suatu tangki, kemudian disaring untuk menghilangkan kotoran yang ada dalam susu. Bagian lemak (cream) dari susu diambil sebagian atau seluruhnya dengan cara dipisahkan dengan alat separator sentrifugal. Susu yang sudah bebas lemak tersebut dipasteurisasi untuk membunuh organisme atau bakteri dengan cara pemanasan yang dilakukan pada suhu kurang atau mendekati 100oC. Setelah itu dilakukan evaporasi yang merupakan proses penguapan air susu untuk menaikkan kandungan total zat padatnya lalu didinginkan dan pada tahap berikutnya dilakukan pengeringan untuk pembentukan susu menjadi bentuk bubuk hingga total zat padatnya mencapai 98% dengan alat pengering spray dryer. Setelah pengeringan kemudian diayak dan dikemas. Menurut Kuntarso (2007), penggunaan susu skim sebagai bahan utama pembuatan low-fat yogurt mengakibatkan penurunan cita rasa creamy, bila dibandingkan dengan yogurt yang dibuat dengan menggunakan susu full cream ataupun susu segar. Selain itu, ada beberpa kendala yang dialami dalam pembuatan
yogurt dengan menggunakan susu skim sebagai bahan utama, antara lain : (1) pengadukan dan pencampuran susu skim yang kurang homogen akan mengakibatkan tekstur yoghurt yang dihasilkan kurang baik, dan timbul after taste sandiness yang cukup kuat, serta (2) kualitas susu bubuk skim yang beragam, sehingga kualitas yogurt yang dihasilkan cukup beragam. Susu skim sebagai susu rendah lemak, rendah kolesterol, rendah kalori dan tinggi protein ini dapat dikonsumsi oleh orang yang menginginkan nilai kalori rendah di dalam makanannya, karena susu bubuk skim hanya mengandung 55% dari seluruh energi susu (Buckle et al., 1987).
F. Prebiotik Prebiotik didefinisikan sebagai ingredien yang tidak dapat dicerna yang menghasilkan pengaruh menguntungkan terhadap inang dengan cara menstimulir secara selektif pertumbuhan satu atau lebih sejumlah mikroba tertentu pada saluran pencernaan sehingga dapat meningkatkan kesehatan inang. Suatu ingredien pangan dapat diklasifikasikan sebagai prebiotik bila memenuhi persyaratan berikut; Pertama, tidak terhidrolisis atau terserap pada saluran pencernaan bagian atas; Kedua, secara selektif dapat menstimulir pertumbuhan bakteri yang menguntungkan pada kolon; dan ketiga, dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen, sehingga secara sistemik dapat meningkatkan kesehatan (Ardiansyah, 2007). Prebiotik dalam nutrisi merupakan substansi makanan yang mempromosi pertumbuhan beberapa bakteri usus yang menguntungkan bagi kesehatan. Bakteri tersebut dikenal sebagai probiotik ( Arief, 2007). Efek utama prebiotik adalah menstimulasi secara selektif pertumbuhan bifidobacteria dan lactobacilli dalam usus sehingga meningkatkan daya tahan tubuh terhadap mikroorganisme patogen. Menurut Arief (2007), penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa prebiotik tidak dicerna oleh enzim, tetapi difermentasi oleh bakteri anaerob dalam usus besar. Belum pernah dilaporkan penemuan prebiotik karbohidrat dalam feses. Melalui fermentasi dalam usus besar, karbohidrat prebiotik menghasilkan asam lemak rantai pendek (short chain fatty acid/ SCFA), menstimulasi pertumbuhan berbagai bakteri termasuk lactobacilli dan bifidobacteria, dan dapat menghasilkan gas. Fortifikasi menggunakan bifidobacteria/lactobacilli usus dengan prebiotik dapat
memperbaiki efek perlindungan usus besar terhadap berbagai mikroorganisme patogen dalam usus . Bakteri asam laktat usus tersebut mempunyai mekanisme potensial untuk menurunkan infeksi usus, yaitu melalui 1) hasil sisa metabolisme yang dieksresi oleh mikroba tersebut dapat menurunkan pH usus sehingga mengganggu potensi patogenik mikroorganisme. Selanjutnya, lactobacilli dan bifidobacteria dapat meneksresi antibiotik alamiah yang mempunyai spektrum kerja luas. 2) mekanisme lainnya termasuk perbaikan stimulasi imunitas, kompetisi terhadap nutrien, dan menghambat situs adhesi patogen dalam usus. Banyak mikroorganisme patogen seperti Escherichia coli tipe 1, Salmonellae dan Campylobacter menggunakan situs reseptor oligosakarida dalam usus. Selanjutnya, bakteri tersebut dapat menyebabkan gastroenteritis melalui invasi kuman dan pembentukan toksin. Dalam hal tersebut, konsep prebiotik adalah menstimulasi situs reseptor tersebut dalam usus, sehingga patogen tidak berkaitan dengan reseptor. Efek kombinasi prebiotik terhadap flora bakteri asam laktat dapat menjurus pada intervensi dietetik yang diasup oleh seseorang dalam hal mencegah diare.
G. Probiotik Probiotik adalah preparat atau produk yang mengandung mikroorganisme hidup dalam jumlah cukup dan tertentu yang dapat menjaga mikroflora usus inang sehingga mampu memberikan efek kesehatan bagi inang (Schrezenmeier & De Vrese 2001). Sementara Ardiansyah (2007) menjelaskan definisi umum probiotik atau dikenal dengan mikroorganisme “baik” adalah preparat yang terdiri dari mikroba hidup yang dimasukkan ke dalam tubuh manusia atau hewan secara oral. Mikroba hidup itu diharapkan mampu memberikan pengaruh positif terhadap kesehatan manusia atau hewan dengan cara memperbaiki sifat-sifat yang dimiliki mikroba alami yang tinggal di dalam tubuh manusia atau hewan tersebut. Syarat-syarat probiotik yang baik adalah probiotik harus tetap dalam keadaan hidup, daya untuk bertahan hidup ketika melalui saluran pencernaan dan manfaat kesehatan yang dapat dibuktikan keberadaannya. Hasil penelitian menunjukkan jumlah bakteri baik yang cukup dalam tubuh mengembangkan sistem imun sehingga meningkatkan kemampuan tubuh melawan penyakit (Gibson & Roberfroid 1995). Ada beberapa manfaat probiotik dalam tubuh.
Pertama, adalah mencegah terjadinya kanker yaitu dengan menghilangkan bahan prokarsinogen (bahan penyebab kanker) dari tubuh dan mengaktifkan sistem kekebalan tubuh. Kedua, dapat menghasilkan bahan aktif anti tumor. Ketiga, memproduksi berbagai vitamin thiamin (B1), riboflavin (B2), piridoksin (B6), asam folat, sianokobalamin (B12) yang mudah diserap ke dalam tubuh. Keempat, kemampuannya memproduksi asam laktat dan asam asetat di usus dapat menekan pertumbuhan bakteri E. coli dan Clostridium perfringens penyebab radang usus dan menekan bakteri patogen lainnya, serta mengurangi penyerapan amonia dan amina. Kelima, berperan dalam penurunan kadar kolesterol, dimana bifidobakteria menghasilkan niasin yang memberi kontribusi terhadap penurunan kolesterol tersebut (Ardiansyah, 2007). Menurut Tzanetaki dan Tzanetakis (1999), beberapa kriteria yang harus dimilki oleh bakteri probiotik adalah : (a) berasal dari manusia, (b) tahan terhadap asam lambung, (c) tahan terhadap garam (d) bersifat antagonis terhadap bakteri patogen dan karsinogenik (e) memproduksi senyawa-senyawa anti bakteria, (f) mempunyai sifat penempelan pada usus manusia, (g) berkolonisasi dalam saluran usus manusia, (h) tumbuh dengan baik secara in vitro, (i) aman dalam makanan dan pada penggunaan klinis, serta (j) telah divalidasi secara klinis dan didokumentasi efeknya terhadap kesehatan. Sedangkan menurut Kullen dan Klaenhammer (1999), karakteristik yang harus dipenuhi oleh galur probiotik antara lain: (1) dapat diidentifikasikan secara taksonomi dengan tepat, (2) merupakan mikroflora normal usus, (3) tidak beracun dan bukan patogen, (4) stabil secara genetik, (5) dapat bertahan hidup, berkembang biak, dan bermetabolisme di dalam usus, (6) mampu menempel pada sel epitel usus dan mempunyai potensi untuk mengkolonisasi, (7) stabil terhadap kondisi yang diinginkan saat persiapan kultur, penyimpanan, dan proses, (8) viabilitas tinggi yaitu 106 – 108 CFU/ml, (9) memproduksi senyawa anti mikroba termasuk bakteriosin, hidrogen peroksida, dan asam organik, (10) bersifat antagonis terhadap bakteri patogen dan karsinogenik, (11) mampu berkompetisi dengan mikroflora usus, (12) tahan terhadap asam lambung, (13) bersifat penstimulasi sistem imun, terbukti memiliki catatan medis yang menguntungkan bagi kesehatan, (16) bila diproduksi mampu untuk ditumbuhkan, disembuhkan,
dipekatkan, dikeringkan, disimpan, dan didistribusikan, (17) ketika difermentasi dapat diterima secara organoleptik atau memberikan kualitas yang diinginkan. BAL yang mencapai saluran pencernaan manusia dalam keadaan hidup dan lengkap adalah Bifidobacteria ( B. bividum, B. infantis, B. breve, B. adulescentis, B. longum), beberapa spesies Lactobacillus (L. acidophilus, L. salivarus, L. fermentum, L.casei, L. plantarum, L. brevis, L. buchneri), dan beberapa Enterococci (Yuguchi, et al,. 1992).
H. Bakteri Asam Laktat Bakteri asam laktat (BAL) telah lama digunakan dalam industri makanan dan minuman fermentasi seperti industri susu, daging, sayuran, dan roti.
Menurut
Starmer (1980), bakteri asam laktat adalah bakteri gram positif yang berbentuk batang atau kokus, tidak membentuk spora, dan ada yang berbentuk rantai tunggal. Spesies bakteri yang berbentuk kokus adalah genus Streptococcus sp. dan Pediococcus sp., bersifat paling toleran terhadap pH dibanding dengan yang berbentuk batang. Secara umum bakteri asam laktat mempunyai toleransi terhadap konsentrasi asam tinggi. Menurut Hadi dan Fardiaz (1990), bakteri asam laktat termasuk golongan osmotoleran yang mempunayi Aw minimal 0.95 untuk pertumbuhannya, tetapi beberapa bakteri asam laktat mampu bertahan pada
Aw
0.93.Umumnya bakteri asam laktat mepunyai karakteristik gram positif, katalase negatif, tidak membentuk spora, dan non-pigmented mesophil (Rees, 2007). Rees (1997) menjelaskan bakteri asam laktat dibagi menjadi tiga grup yaitu: (1)
Grup I, homofermentatif obligat yaitu BAL yang mampu mengubah heksosa menjadi asam laktat melalui jalur Embden-Meyerhof tetapi tidak bisa memfermentasi pentosa dan glukonat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat homofermentatif dapat dilihat Gambar 3.
(2)
Grup II, heterofermentatif
fakultatif. BAL ini umumnya memfermentasi
heksosa secara homofermentatif menjadi asam laktat. Akan tetapi pada kondisi tertentu fermentasi terjadi seacara heterofermentatif dengan menghasilkan karbon dioksida, etanol atau asam asetat. Produksi asam asetat terjadi di bawah kondisi dimana NAD+ dapat diregenerasi tanpa pembentukan etanol.
(3)
Grup III, heterofermentatif obligat. BAL jenis ini memfermentasi heksosa menjadi asam laktat, karbon dioksida dan etanhol (atau asam asetat dengan keberadaan akseptor elektron). Pentosa akan diubah menjadi asam laktat dan asam asetat. Jalur fermentasi bakteri asam laktat heterofermentatif dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 3. Jalur fermentasi homofermentatif (Rees, 1997)
Gambar 4. Jalur fermentasi heterofermentatif (Rees, 1997) Bakteri asam laktat terutama berperan dalam menghasilkan beberapa produk makanan. Asam laktat yang terbentuk selama proses fermentasi memiliki
beberapa keuntungan fisiologis, seperti meningkatkan penggunaan kalsium, fosfor dan zat besi, merangsang sekresi dan cairan lambung, serta sebagai sumber energi dalam proses respirasi. Disamping itu, asam laktat dalam bentuk tidak terdisosiasi mempunyai efek bakteriostatik (kadang-kadang bakterisidal) terhadap mikroba pembusuk. Mikroba yang paling sensitif adalah mikroba pembentuk spora dan koliform (Oberman, 1985 di dalam Cahyono, 1996). Cita rasa dan mutu minuman susu fermentasi berkaitan erat dengan proses fermentasi oleh starter yang digunakan. Kultur starter yang digunakan dalam pembuatan
minuman
sinbiotik
ini
adalah
starter
yogurt
yaitu
S. thermophilus dan L. bulgaricus. Selain itu, juga digunakan L. plantarum sa 28k sebagai BAL probiotik. S. thermophilus dan L. bulgaricus akan menghasilkan interaksi yang saling menguntungkan karena bakteri yang satu akan mensintesa dan membebaskan senyawa yang dibutuhkan untuk menstimulir pertumbuhan bakteri yang lain. Selama fermentasi yoghurt, kultur starter mempunyai dua peranan penting, yaitu sebagai pembentuk asam sehingga menimbulkan rasa dan aroma yang khas serta pembentuk komponen cita rasa seperti karbonil, aldehid, aseton, asetoin, dan diasetil. S. thermophilus berperan dalam pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak tajam, sedangkan L. bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor khas serta tajam jika diinokulasikan pada susu (Jay, 1997). Tahap awal inkubasi, S. thermophilus tumbuh cepat dan mendominasi proses awal fermentasi dimana terjadi penurunan potensial oksidasi-reduksi sistem (Vedamuthu, 1982 yang dikutip oleh Wood, 1988). L. bulgaricus tumbuh agak lambat pada masa ini namun aktifitas proteolitiknya yang lemah mulai meningkat seiring tercukupinya jumlah peptida dan asam amino yang dibutuhkan untuk merangsang pasangannya. L. bulgaricus merangsang S. thermophilus dengan melepaskan valin, glisin, leusin, isoleusin dan histidin ke dalam medium pertumbuhan. Sebaliknya, S. thermophilus menurunkan pH dan mensintesa asam format yang diperlukan oleh L. bulgaricus (Tamime dan Robinson, 1989). S. thermophilus menghidrolisis laktosa susu menjadi glukosa dan galaktosa oleh enzim β-galaktosidase (Reed, 1982) serta menghasilkan asam laktat, asam asetat, asetaldehid, diasetil dan asam format. Saat pH turun di bawah 5.5,
pertumbuhan S. thermophilus terhambat sehingga pertumbuhan L. bulgaricus terbantu (Vedamuthu di dalam Wood, 1988). Oksigen yang tidak tersedia di dalam sistem
dan
ketersediaan
asam
format
merangsang
pertumbuhan
L. bulgaricus. Lactobacilli mendominasi proses fermentasi pada pH di bawah 4.2 dan menghasilkan asam laktat dan asetaldehid (Vedamuthu di dalam Wood, 1988).
1. Lactobacillus plantarum sa28k L.plantarum sa28k adalah salah satu bakteri asam laktat yang berasal dari makanan fermentasi Indonesia, yang diisolasi dari asinan kubis atau sauerkraut. Sauerkraut adalah suatu produk hasil fermentasi kubis. Menurut Solihati (1995), mayoritas BAL yang dapat diisolasi dari sauerkraut adalah
L. plantarum.
Menurut Robinson (1981), L. plantarum juga dapat diisolasi dari proses pematangan keju dan dari produk-produk susu. Bakteri ini akan membentuk koloni berwarna putih atau kuning jika tumbuh pada media padat. Isolat BAL ini mempunyai senyawa anti bakteri yaitu hidrogen peroksida dan asam laktat. Aktivitas anti bakteri tertinggi terutama terhadap Pseudomonas fluorescens dan Alcaligense sp. L. plantarum membelah (mengganda) setiap 2 jam (Reichelt, 2007). L. plantarum sa28k telah terbukti bersifat probiotik. Kusumawati et al., (2003) melaporkan bakteri ini telah diuji kemampuannya sebagai probiotik. Pengujian sifat probiotik yang telah dilakukan diantaranya uji ketahanan terhadap pH rendah, ketahanan terhadap garam empedu, aktivitas antagonistik terhadap patogen, pengujian asimilasi kolesterol dan uji klinis secara invivo ke dalam tubuh tikus. Reichelt
(2007)
menjelaskan,
Lactobacillus
plantarum
bersifat
menguntungkan. Bakteri ini mampu mengubah gula menjadi asam laktat. Jumlah asam laktat yang dihasilkan sebanding dengan jumlah bakterinya. Lactobacillus plantarum tidak menghasilkan senyawa kimia berbahaya dan tidak merusak atau mengurangi nilai gizi. Lactobacillus plantarum tergolong bakteri gram positif , non motil, berbentuk batang. Menurut Stamer (1980), bakteri ini bersifat homofermentatif dan masih dapat tumbuh pada pH 3.0-4.6. Sedangkan menurut Rees (1997),
Lactobacillus plantarum termasuk heterofermentatif fakultatif, memfermentasi secara homofermentatif heksosa menjadi asam laktat, dan pada kondisi tertentu dapat bersifat heterofermentatif dengan menghasilkan asam laktat, karbon dioksida, ethanol dan asam asetat. Robinson (1981) menambahkan, L. plantarum pada umumnya tidak bisa tumbuh pada suhu 45oC dan membutuhkan beberapa vitamin untuk pertumbuhannya, bersifat katalase negatif, tidak berspora, dapat memfermentasi amigladin, selobiosa, laktosa, manitol, salisin, dan sukrosa. Fermentasi glukosa oleh bakteri ini menghasilkan produk DL asam laktat tanpa gas. Protein antagonik (bakteriosin) yang diproduksi adalah laktolin, plantarisin S dan T (Diaz et al., 1993) serta plantarisin A dan B (Ray dan Daeschel, 1994). Pembentukan asam yang cepat dalam jumlah yang tinggi oleh aktivitas starter L. plantarum baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan bakteri asam laktat lain diketahui dapat menyebabkan bakteri perusak dan bakteri patogen pada produk fermentasi sayuran terhambat pertumbuhannya atau bahkan tidak dapat bertahan hidup (Fardiaz, 1989). Hasil fermentasi L.plantarum di media RS yang disuspensikan di air menunjukkan bahwa fermentasi tersebut menghasilkan asam asetat sebesar 0.004%, sedangkan keberadaan asam butirat ataupun propionat tidak terdeteksi di dalam
sampel
(Juliana,
2007).
Jumlah
Lactobacillus
plantarum
yang
ditumbuhkan pada larutan RS tipe IV yang disuspensikan dalam air adalah 1.0x108 CFU/ml. Bentuk morfologi L. plantarum dapat dilihat pada gambar 4.
Gambar 5. L. plantarum (www.bacferm.com.au, 2007)
2. Lactobacillus bulgaricus Lactobacillus bulgaricus adalah salah satu jenis bakteri yang digunakan dalam memproduksi yoghurt yang diidentifikasi pertama kali pada tahun 1905. Bakteri ini mampu memecah laktosa yang terdapat dalam susu dan diubah menjadi asam laktat. Selama proses fermentasi susu, L. bulgaricus menghasilkan asetaldehid yang memberi aroma khas pada yogurt (Anonim, 2006). Lactobacillus bulgaricus bersifat proteolitik yang mampu memecah protein sehingga mudah dicerna dan diserap (Trenev, 2004 ). Lactobacillus bulgaricus merupakan bakteri asam laktat yang berbentuk batang, koloninya berbentuk pasangan, dan rantai sel-selnya bersifat homofermentatif. Bakteri ini termasuk bakteri gram positif, lebih tahan terhadap asam dibanding Streptococcus dan Pediococcus. Oleh karena itu, lebih banyak terdapat pada tahapan terakhir dari tahapan fermentasi tipe asam laktat (Buckle et al., 1987). Menrut Surono (2004), L. bulgaricus bersifat anerob, katalase negatif, tidak berbentuk spora, dan suhu optimal pertumbuhannya adalah 40-45 oC. Lactobacillus bulgaricus tumbuh optimum pada pH 5.5-5.8 (Hutkins dan Nannen, 1993) dan terhenti pada pH 3.5-3.8 (Jay, 1978). Menurut Yuguchi et al., (1992), Laktobabacillus bulgaricus tidak termasuk probiotik, karena tidak dapat bertahan hidup melalui saluran pencernaan manusia. Pada pembuatan yoghurt, L. bulgaricus berperan dalam penurunan pH sampai sekitar 4.0. Selain itu, bakteri ini juga berkontribusi terhadap flavour yoghurt melalui produksi asama laktat, asetaldehid, asam asetat, dan diasetil. Bentuk morfologi L. bulgaricus dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Lactobacillus bulgaricus (www.onlynature.co.uk, 2007)
3. Streptococcus thermophilus Streptococcus thermophilus merupakan bakteri asam laktat berbentuk kokus dengan koloni berantai yang bersifat homofermentatif. Bakteri ini bersifat gram positif, katalase negatif, anaerob fakultatif, dapat mereduksi litmus milk, tidak toleran terhadap konsentrasi garam lebih dari 6.5%, tidak berspora, bersifat termodurik, dan menyukai suasana mendekati netral degan pH optimal untuk pertumbuhannya adalah 6.5 (Halferich dan Westhoff, 1980). Menurut Pederson yang diacu oleh Rumin (1992), suhu optimum pertumbuhan S. thermophilus adalah 37 oC dan tumbuh sangat cepat sampai pH 6.5 dan berhenti pada pH 4.2-4.4. Berdasarkan hasil penelitian Mital dan Steinkraus yang diacu oleh Silvia (2002), Streptococcus thermophilus dapat tumbuh baik pada kedelai dan menghasilkan flavor yang paling baik. Suhu optimal pertumbuhan Streptococcus thermophilus menurut Chaitow dan Trenev (1990) adalah 3745 oC. Menurut Tamime dan Deeth (1980), Streptococcus thermophilus bersifat homofermentatif yaitu memfermentasi laktosa, sukrosa, glukosa, fruktosa, dan pereduksi utamanya adalah L(+) asam laktat. Menurut Robinson (1999), Streptococcus thermophilus memproduksi 0.6-0.8 L(+) asam laktat. Streptococcus thermophilus dapat mengubah lebih dari 85% glukosa atau heksosa lainnya menjadia asam laktat. Menurut Nakazawa
et al.
(1992), Streptococcus thermophilus tidak dapat tumbuh di usus manusia. Oleh karena itu, Streptococcus thermophilus tidak digolongkan dalam bakteri probiotik. Bentuk morfologi S. thermophilus dapat dilihat pada gambar 7.
Gambar 7. Streptococcus thermophilus ( jspatel.myweb.uga.edu, 2007)
III.
BAHAN DAN METODE
A. BAHAN DAN ALAT 1. Bahan Bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan yoghurt adalah pati singkong (tapioka) yang digunakan adalah pati singkong merk SPM, bakteri asam laktat yang digunakan adalah Lactobacillus bulgaricus dan Streptococcus thermophilus yang diperoleh dari Laboratorium Mikrobiologi Departemen ITP, dan sebagai BAL kandidat probiotik digunakan Lactobacillus palantarum sa28k. Bahan kimia yang digunakan adalah POCl 3, HCL, NaOH 5%, susu skim bubuk, glukosa, akuades, dan larutan pengencer BPB (Butterfield Phosphat Buffer Dillution). Media yang digunakan adalah MRSB (de Man Rogosa Sharp Broth), MRSA (de Man Rogosa Sharp Agar), BGLBB, EMBA, SCB, dan TSIA.
2. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah pH meter, oven vacum, environmental orbital shaker, penyaring vacum, blender, neraca, alat-alat gelas, bunsen, kertas saring, aluminium foil, pipet, mikro pipet, kapas, dan inkubator 37 oC.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap meliputi: Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap yaitu : (1) pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang, (2) pembuatan yoghurt dengan penambahan pati singkong modifikasi ikat silang dan BAL kandidat probiotik, serta (3) analisis yoghurt terpilih.
1. Pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang (Modifikasi Woo at al., 1997 dan Munarso et al., 2004) Pati singkong modifikasi (PSM) dibuat dengan metode ikat silang (cross linking) sehingga mengandung RS tipe IV. Pembuatan pati singkong modifikasi ikat silang tersebut adalah sebagai berikut: sebanyak 100 gram pati dilarutkan dalam 150 ml aquades, pH diatur sampai 10.5 dengan NaOH 5% (b/v s) sambil diaduk dengan kuat. Selanjutnya ditambah dengan POCl3 0.2% dari berat tepung,
diinkubasi pada environmental orbital shaker
(T= 40oC, kecepatan putaran 200
rpm, selama 2 jam). Kemudian pH diatur sampai 5.5 menggunakan HCl dan disaring dengan penyaring vakum. Endapan pati yang diperoleh dicuci dengan air sebanyak 150 ml sebanyak 5 kali. Selanjutnya pati dikeringkan dalam oven vakum (50oC, 24 jam), digiling dan diayak. Pati yang telah diayak sebagai hasil proses ikat silang kimia ini kemudian akan disebut pati singkong modifikasi ikat silang (PSM).
2. Pengamatan viabilitas BAL dalam larutan pati singkong modifikasi Sebelum dilakukan pengamatan viabilitas BAL pada larutan PSM, dihitung viabilitasnya dalam MRSB terlebih dahulu. Sebanyak 1 ose BAL ditumbuhkan dalam 10 ml MRSB kemudian diinkubasi selama 24 jam. Viabilitas BAL dihitung dengan metode plate count. Sebanyak 1 ml BAL dari MRSB dimasukkan dalam 9 ml pengencer. Pengenceran dibuat sampai 10-7. pemupukan dilakukan duplo pada pengenceran 10-5 – 10-8 dengan menggunakan
media
MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam merujuk padda metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam CFU/ml. Pengamatan viabilitas BAL pada larutan pati singkong modifikasi dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: disiapkan PSM steril dan air steril @ 50 ml/sampel. Sebanyak 2,5 ml BAL yang diambil dari pengenceran 10-4
(saat
perhitungan viabilitas BAL dalam MRSB) dipipet dan dimasukkan ke dalam campuran larutan 50 ml air steril + 2,5% (b/v) RS. Larutan pati singkong modifikasi dibuat dengan cara melarutkan pati singkong modifikasi steril ke dalam 50 ml akuades steril dengan pemanasan di atas hot plate pada suhu 80oC. Suhu pemanasan ini disesuaikan dengan suhu yang akan digunakan untuk proses pasteurisasi saat pembuatan yoghurt. Larutan PSM yang telah diinokulasikan dengan BAL ini kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 oC. Setelah inkubasi 20 jam, 1 ml larutan dipipet dan dimasukkan ke dalam larutan pengencer 9 ml dan divorteks untuk memperoleh pengenceran 10-1 . Selanjutnya dibuat pengenceran desimal sampai 10 -3 dengan cara yang sama. Pemupukan dilakukan secara duplo pada pengenceran 100 – 10-4 dengan
menggunakan
media MRSA dalam cawan Petri. Cawan petri selanjutnya
diinkubasi pada suhu 37oC dalam posisi terbalik. Perhitungan koloni dilakukan setelah 48 jam merujuk pada metode BAM FDA (2001) dan dinyatakan dalam CFU/ml.
3. Pembuatan Kultur Starter Starter dipersiapkan dengan menumbuhkan 1% (v/v) kultur murni ke dalam 50ml 10% (b/v) susu skim steril. Setelah itu diinkubasi pada suhu 37 oC selama 20 jam, ini disebut kultur induk. Kultur induk sebanyak 5% (v/v) ditumbuhkan pada susu skim sebanyak 10% (b/v) steril sebanyak 100 ml, selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 jam yang disebut kultur kerja.
4. Pembuatan Yoghurt Susu skim dilarutkan ke dalam akuades kemudian dihomogenisasi dengan homogenizer (11000 rpm/min) selama 1 menit. Selanjutnya ditambahkan glukosa sebanyak 3% (b/v) dan pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan dipasteurisasi pada suhu 80oC selama 30 menit. Larutan yang telah dipasteurisasi didinginkan sampai suhu ± 37oC. Selanjutnya diinokulasikan dengan 5% (v/v) BAL, kemudian diinkubasi pada suhu
37oC selama ± 20 jam. Diagram alir
pembuatan yoghurt dapat dilihat pada gambar 8.
Susu Skim
Dihomogenisasi
Ditambahkan pati singkong modifikasi dan 3% glukosa
Dipasteurisasi 80oC selama 30 menit sambil diaduk
Didinginkan sampai suhu 30-37oC
Diinokulasi dengan 5% BAL
Diinkubasi pada suhu 37oC, 20 jam
Yoghurt
Gambar 8. Diagram alir proses pembuatan yoghut
4.1. Pemilihan Kombinasi Kultur BAL Pada tahap ini Sebanyak 5% (v/v) kultur BAL diinokulasikan dalam yoghurt yang dibuat dari 5% (v/v) yang ditambah 2.5% PSM (b/v) dan 3% glukosa. Kombinasi BAL yang diinokulasikan adalah sebagai berikut : 1) S. thermophilus : L. bulgaricus (1:1) 2) S. thermophilus : L. plantarum sa28k (1:1) 3) S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum sa28k (1:1:1) 4) Lactobacillus plantarum sa28K Percobaan tersebut dilakukan dua kali ulangan. Selanjutnya dilakukan analisis nilai pH, viskositas, serta dilakukan juga uji organoleptik (rasa, aroma, mouthfeel,dan kekentalan) dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih.
4.2 Pemilihan Konsentrasi Pati singkong modifikasi ikat silang (PSM) dan Susu Skim Kombinasi kultur BAL yang terpilih dari tahap 4.1 ditumbuhkan dalam berbagai formulasi yaitu pada konsentrasi PSM 2.5% (b/v) dan 5% (b/v) dan konsentrasi susu skim 5%, 7.5%, dan 10% (b/v). Inkubasi dilakukan pada suhu 37 oC selama 20 jam. Selanjutnya dilakukan analisis pH, viskositas, TAT, dan perhitungan total BAL. Terhadap produk terpilih dari tahap ini kemudian akan dilakukan anlisis lebih lanjut. Formulasi susu skim dan Pati singkong modifikasi dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Formulasi Yoghurt Konsentrasi 5% (b/v) susu skim (B1) 7.5% (b/v) susu skim (B2) 10% (b/v) susu skim (B3)
2.5% (b/v) PSM (A1) A1B1
5% (b/v) PSM (A2) A2B1
A1B2
A2B2
A1B3
A2B3
C. METODE ANALISIS 1. Uji Organoleptik Uji organoleptik pada tahap formulasi dan uji penyimpanan yoghurt terbaik menggunakan uji hedonik. Uji hedonik dilakukan untuk melihat kesukaan panelis terhadap atribut rasa, aroma, konsistensi, dan penerimaan umum yoghurt oleh 25 panelis tidak terlatih. Skala hedonik yang dipakai adalah sebagai berikut: 1 (sangat tidak suka), 2 (tidak suka), 3 (agak tidak suka), 4 (agak suka), 5 (suka), dan 6 (sangat suka).
2. Analisis Sifat Fisik (Apriyantono at al., 1989) Analisis sifat fisik yang dilakukan adalah pengukuran viskositas menggunakan Brookefield Viscometer. Sebanyak 100 ml sampel dimasukkan dalam wadah sampel. Pengukuran viskositas sampel menggunakan nomor spindle yang sesuai. Pengukuran dilakukan dengan kecepatan 30 rpm selama 2 menit sehingga diperoleh pembacaan pada posisi yang stabil. Rotor berputar dan jarum akan bergerak sampai diperoleh nilai viskositas sampel. Pembacaan nilai viskositas ( mPa.s) setelah jarum stabil dan dilakukan dua kali.
3.
Analisis Sifat Kimia 3.1. Pengukuran pH (AOAC, 1995) Sampel sebanyak 20 gram, kemudian dihomogenkan, dibiarkan sekitar 15 menit,. Selanjutnya diukur pHnya dengan pH meter yang telah dikalibrasi dengan buffer pH 4.0 dan pH 7.0. Nilai pH diukur sebanyak 2 kali ulangan.
3.2. Total Padatan Terlarut (Muchtadi dan Sugiyono, 1992) Pengukuran total padatan terlarut sampel dilakukan dengan menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Sebanyak 2 tetes sampel diteteskan pada refraktometer. Total padatan terlarut dinyatakan dalam o
Brix.
3.3. Total Asam Tertitrasi (Apriyantono et al., 1989) Standarisasi NaOH Sebanyak 0.1 gr asam oksalat (BM=126) ditimbang kemudian dimasukkan ke dalam labu Erlenmeyer 250 ml. Selanjutnya dilarutkan dengan 25 ml akuades dan diteteskan 2-3 tetes indikator fenolftalein lalu dititrasi dengan larutan NaOH sampai terbentuk warna merah muda yang bertahan selama 15 detik. Normalitas NaOH dihitung dengan rumus: Normalitas NaOH = g asam oksalat x 2 0.126 x ml NaOH Persiapan Sampel Sampel susu fermentasi sebanyak 10 ml diencerkan menjadi 250 ml di dalam labu takar kemudian diambil sebanyak 50 ml dan ditambahkan 2-3 tetes indikator fenolftalein. Kemudian sampel dititrasi dengan larutan NaOH 0.1 N sampai terjadi perubahan warna menjadi merah muda. Total Asam Tertitrasi (TAT) dinyatakan dalam persen asam laktat. Total Asam Tertitrasi dihitung dengan rumus: TAT (%asam laktat) = V x N x P x BM x 100% B
Keterangan: TAT : TAT (% asam laktat) V
: Jumlah larutan NaOH untuk titrasi (ml)
N
: Normalitas NaOH
P
: Jumlah pengenceran
BM
: Bobot molekul asam laktat (90)
B
: Bobot sampel (mg)
3.4. Kadar abu (AOAC, 1995) cawan porselen dikeringkan dengan tanur pada suhu 500oC selama 1 jam kemudian didinginkan dalam desikator. Cawan ditimbang dalam neraca analitik (a gram). Sekitar 2 gram sampel ditimbang dalam cawan porselen
(w gram). Sampel diarangkan di atas hot plate selama 30-60 menit sampai tidak berasap, kemdian sampel diabukan dalam tanur bersuhu 600oC selama 2 jam dan ditimbang (x gram). Kadar abu dihitung dengan rumus sebagai berikut: Kadar abu (%wb) = x-a x 100 w-a Keterangan : a = bobot cawan kering x = bobot cawan dan abu w = bobot sampel
3.5. Kadar Lemak Meode soxhlet (AOAC, 1995) Labu lemak yang ukurannya sesuai dengan alat eksktraksi soxhlet dikeringkan dalam oven kemudian didinginkan dengan desikator dan ditimbang (a gram). Sebanyak 5 gram (x gram) sampel kering ditimbang pada kertas saring yang sesuai dengan ukuran kemudian ditutup dengan kapas wool yang bebas lemak. Kertas saring yang berisi sampel tersebut dimasukkan dalam alat ekstraksi soxhlet kemudian alat kondensor dipasang di atasnya dan labu lemak di bawahnya. Pelarut dietil eter dituangkan dalam labu lemak secukupnya. Proses refluks dilakukan selama 5 jam sampai pelarut yang turun ke labu lemak berwarna jernih. Labu lemak yang berisi hasil eksktraksi di anaskan dalam oven 105oC. Setelah dieringkan didinginkan dalam desikator, ditimbang labu beserta lemaknaya (b gram). Kadar lemak dihitung dengan rumus: Kadar lemak (%wb) = b-a x 100 x Keterangan: a = bobot labu lemak kering b = bobot labu lemak dan lemak x = bobot sampel
3.6. Kadar Protein Metode Kjehldahl (AOAC, 1995) Sekitar 0.1-0.5 gram sampel ditimbang dan dimasukkan ke dalam labu Kjehldahl. Sebanyak 2 gram campuran selenium atau satu butir Kjeltebs dan 25 ml H2SO4 pekat ditambahkan dalam labu, dididihkan dalam digestion system hingga dingin. Larutan dipindahkan ke dalam labu takar 100 ml. Labu dibilas 2-3 kali dan larutan diencerkan sampai tanda tera. Sebanyak 10 ml NaOH 30% dan 3-5 tetes indikator PP dan dilakukan destilasi selama 10 menit. Destilat ditampung dalam 25 ml asam borat 2% yang telah dicampur dengan 5 tetes indikator kemudian larutan dititrasi dengan HCl 0.02 N. Dibuat juga blanko. Kadar protein ditentukan dengan rumus: Kadar protein (%wb) = (VHCl sampel-Vblanko) x NHC lx 14.007 Bobot sampel Keterangan: FK = Faktor Konversi (6.38)
4. Analisis Mikrobiologi 4.1. Total Bakteri Asam Laktat Merujuk pada penentuan Aerobic Plate Count (BAM FDA, 2001), uji total bakteri asam laktat dilakukan dengan metode agar tuang. Sebanyak 10 ml sampel dipipet ke dalam 90 ml larutan pengencer BPB (Butterfield Phosphat Buffer dillution) sehingga diperoleh tingkat pengenceran 10-1. Selanjutnya dibuat pengenceran sampai 10 -7. Pemupukan dilakukan pada pengenceran 10-5-10-8. Setiap tingkat pengenceran diambil 1 ml sampel kemudian dipipet ke dalam cawan petri steril (duplo). Selanjutnya masingmasing cawan dituangi dengan media MRSA sebanyak 12-15 ml dan diinkubasi pada suhu 37 oC selama 48 jam. Koloni yang tumbuh dihitung sebagai total Lactobacillus. Perhitungan koloni yang tumbuh setelah 48 jam menggunakan metode BAM-FDA (2001). N =
ΣC (n1+ 0.1n2 +...) x d
Keterangan: N
: jumlah mikroba (CFU/ml)
Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (25-250 koloni) n1
: jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2
: jumlah cawan pada pengenceran kedua
d
: tingkat pengenceran pertama yang dihitung
4.2. Total kapang - khamir ( Fardiaz, 1987) Sebanyak 1 ml sampel diencerkan dalam 9 ml larutan pengencer hingga pengenceran 10-3. Pemupukan dilakukan duplo untuk setiap pengenceran dengan cara memipet 1 ml atau 0.1 ml sampel yang telah diencerkan ke dalam cawan petri steril, kemudian ditambahkan 15-20 ml APDA cair steril. Inkubasi dilakukan pada suhu 30oC selama 2-3 hari. Jumlah koloni yang tumbuh dihitung dengan merujuk pada metode BAMFDA (2000). N =
ΣC (n1+ 0.1n2 +...) x d
Keterangan: N
: jumlah mikroba (CFU/ml)
Σ C : jumlah koloni dari semua cawan (15-150 koloni) n1
: jumlah cawan pada pengenceran pertama
n2
: jumlah cawan pada pengenceran kedua
d
: tingkat pengenceran pertama yang dihitung
4. 3. Uji Koliform ( Fardiaz, 1987) Uji koliform dilakukan terlebih dahulu uji penduga dengan menginokulasikan 1 ml sampel pada medium BGLBB digunakan 3 seri tabung dengan tingkat pengenceran 10-0 - 10-3 . Setelah itu semua tabung diinkubasikan pada suhu 37oC selama 2 hari. Dihitung jumlah tabung positif
yang ditandai dengan terbentunkya gas pada tabung durham. Hasil pengamatan dicocokkan dengan tabel MPN 3 seri, dihitung dan dinyatakan dalam MPN koliform penduga/ml tabung. Setelah
uji
penduga
dilakukan
uji
penguat
yaitu
dengan
memilihtabung positif dan diambil 1-2 ose san digoreskan pada cawan EMBA. Cawan diinkubasikan terbalik pada suhu 37oC selama 2 hari. Uji positif ditunjukkan dari adanya koloni berwarna gelap hijau metalik atau koloni warna merah dengan bintik hitan di tengah.
4.4. Uji Salmonella ( Fardiaz, 1987) Pertama kali dilakukam enrichment. Sebanyak 25 ml contoh diinokulasikan dalam media SCB kemudian diinkubasikan pasa suhu 37 oC selama 1 hari. Tahap pendugaan dilakukan dengan mengambil 1 loop kultur dari tahap enrichment digoreskan pada cawan SSA kemudian diinkubasi pada suhu 37oC selama 1-2 hari. Setelah itu diamati. Uji positif ditandai dengan adanya koloni keruh atau bening dan tidak berwarna dengan atau tanpa bintik hitam di tengah. Uji penguat dilakukan dengan mengambil tipikal dari uji penduga dibuat goresan dan tusukan pada agar miring TSI, serta dibuat tusukan pada agar tegak SIM.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Viabilitas BAL dalam Larutan 2.5% (b/v) Pati Singkong Modifikasi Ikat Silang (PSM) BAL
yang
diinokulasikan
dalam
MRSB
adalah
S.
thermophilus,
L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k. Jumlah ketiga jenis BAL yang diumbuhkan dalam MRSB berturut-turut adalah 2.31 x 108 CFU/ml, 1.43 x 109 CFU/ml, dan 9.60 x 109 CFU/ml. Untuk dapat mengamati pertumbuhan BAL, selanjutnya ketiga jenis kultur BAL diencerkan sampai pengenceran 10-4 dan diambil sebanyak 2.5 ml diinokulasikan dalam larutan 2.5 % (b/v) PSM sehingga diperoleh masing-masing jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus, dan L. plantarum sa28k berturut-turut adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. BAL yang telah diinokulasikan tersebut kemudian diinkubasi selama 20 jam pada suhu 37 oC. Jumlah BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM tersebut dapat dilihat pada gambar 9. 4.76
Jumlah BAL (log CFU/ml)
5
4.57
4.67
4.5 3.82
4 3.5
3.31 3.04
3 2.5 2 1.5 1 0.5 0 S. thermophilus
L. bulgaricus
BAL Sebelum Inkubasi
L. plantarum
Setelah Inkubasi
Gambar 9. Viabilitas BAL pada larutan 2.5% (b/v) PSM Setelah diinkubasi jumlah S. thermophilus menjadi 2.04 x 103 CFU/ml, jumlah L. bulgaricus menjadi 5.69 x 104 CFU/ml, dan jumlah L. plantarum sa28k menjadi 4.65 x 104 CFU/ml ( Lampiran 2). Ketiga BAL yang ditumbuhkan dalam
larutan PSM tidak menunjukkan kenaikan jumlah yang tinggi. Naiknya jumlah S. thermophilus dan L. plantarum sa28k tidak mencapai 1 log, sedangkan jumlah L. bulgaricus mengalami kenaikan mencapai 1 log. Dua jenis BAL lain yaitu S. thermophilus dan L. plantarum sa28k diduga memerlukan waktu lebih lama dalam menggunakan SPM untuk substrat pertumbuhan. Dalam penelitian ini pengamatan hanya dilakukan setelah inkubasi selama 20 jam, sehingga pertumbuhan kedua jenis BAL belum terlihat. Ketiga BAL yang diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM menunjukkan kenaikan jumlah meskipun secara statistik tidak signifikan (lampiran 3). Juliana (2007) pernah melakukan penghitungan viabilitas L. plantarum sa28k dalam larutan 2.5 (b/v) PSM. Jumlah L. plantarum yang diinokulasikan sebanyak 2.5 ml yang diambil dari L. plantarum yang diinokulasikan dalam MRSB tanpa pengenceran. Viabilitas L. plantarum tersebut dalam MRSB adalah 2.3 x 109 CFU/ml. Setelah sebanyak 2.5 ml diinokulasikan dalam larutan 2.5 (b/v) PSM pati singkong, diinkubasi selama 37oC selama 24 jam jumlahnya menjadi 1.0 x 108 CFU/ml. Penelitian dengan menggunakan RS yang beramilosa tinggi menunjukkan bahwa granula-granula pati tersebut membentuk pola pelekatan yang khusus pada usus bagian atas, baik pada usus babi maupun pada usus manusia, dan diperkirakan dapat meningkatkan viabilitas dari probiotik dengan cara menyediakan permukaan bagi probiotik untuk melekat (Topping et al., 2001). Sebagai pembanding, selain pada PSM S. thermophilus, L. bulgaricus, dan L. plantarum juga diinokulasikan dalam larutan 5% (b/v) susu skim. Sebelum diinkubasi jumlah S. thermophilus, L. bulgaricus ,dan L. plantarum berturut-turut adalah 1.10 x 103 CFU/ml, 6.80 x 103 CFU/ml, dan 4.57 x 104 CFU/ml. Setelah inkubasi semua BAL mengalami kenaikan jumlah. Jumlah ketiga BAL yang tumbuh dalam susu skim menjadi >2.5 x 106 CFU/ml.
B. Proses Pembuatan Yoghurt Pembuatan yoghurt dilakukan dengan cara melarutkan susu skim dalam air, kemudian dihomogenisasi sebelum ditambah PSM dan glukosa. Tujuan dari homogenisasi ini adalah menyeragamkan partikel susu (globula, lemak, dan misel) dengan menggunakan tekanan. Menurut Arpah et al., (1990), perlakuan homogenisasi akan mereduksi ukuran butiran-butiran lemak sampai 2 mikron. Hal ini
mengurangi kemampuan lemak untuk bergabung dan memisah ke permukaan sebagai krim. Selain itu, proses homogenisasi bertujuan untuk menghasilkan yoghurt dengan tekstur yang lebih halus. Perlakuan homogenisasi terhadap larutan susu skim mempermudah proses pasteurisasi setelah penambahan PSM dan glukosa. Hal ini karena PSM lebih mudah larut pada larutan susu skim yang telah homogen. Pembuatan yoghurt tanpa perlakuan homogenisasi menyebabkan kekentalan yang tidak merata dan tekstur yang kurang lembut. Setelah PSM dan glukosa ditambahkan, selanjutnya dilakukan pasteurisasi. Menurut Nuraida et al., (1994), pasteurisasi dilakukan untuk membunuh mikroba pencemar, menghasilkan faktor-faktor dan kondisi yang menguntungkan untuk perkembangan starter dan menyebabkan denaturasi kasein sehingga memberikan konsistensi lebih baik dan lebih seragam pada produk akhir. Pasteurisasi dilakukan pada suhu 80oC selama 30 menit. Selama pasteurisasi larutan terus diaduk untuk menghindari terjadinya pengendapan PSM. Saat PSM dilarutkan dalam larutan susu skim dengan cara pengadukan, maka terbentuk suspensi. Jika pengadukan dihentikan, PSM yang belum larut akan mengendap kembali. Pada proses pasteurisasi tanpa pengadukan, PSM
yang mengendap akan tergelatinisasi dan membentuk gel di
bawah. Setelah
pasteurisasi,
larutan
akan
meningkat
kekentalannya
akibat
penambahan pati. Saat dipasteurisasi granula pati akan membengkak, kemudian air akan masuk dalam butir-butir pati sehingga meningkatkan viskositas larutan. Setelah pasteurisasi selesai, dilakukan inokulasi 5% (v/v) kultur. Inokulasi dilakukan setelah larutan menjadi dingin dengan suhu kira-kira 30-37oC. Inkubasi dilakukan pada suhu 37oC selama 20 jam.
C. Pengaruh Penggunaan Kombinasi Bakteri Asam Laktat Penggunaan
BAL
dengan
kombinasi
yang
berbeda
diduga
dapat
mempengaruhi karakteristik yoghurt yang dihasilkan. Tahap ini dilakukan dengan perlakuan kombinasi (1) St: Lb, (2) St: Lp, (3) St: Lb: Lp, dan (4) kultur tunggal Lp. Masing-masing sebanyak 5% (v/v) kultur ditumbuhkan dalam 5% (b/v) susu skim, 2.5% (b/v) PSM, dan 3% (b/v) glukosa dan diinkubasi pada suhu 37oC selama 20 jam. Tujuan pada tahap ini adalah mengetahui pengaruh kombinasi kultur terutama
terhadap niliai pH (derajat keasaman) dan viskositas. Selain itu, tahap ini dilakukan untuk memperoleh kombinasi kultur BAL terbaik yang akan digunakan dalam tahap pembuatan produk berikutnya berdasarkan pilihan panelis. Pengamatan yang dilakukan adalah pengukuran nilai pH dengan menggunakan alat pH meter, viskositas dengan menggunakan viskometer Brookefield, serta uji organoleptik dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Gambar
yoghurt dengan
menggunakan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 10.
Gambar 10. Yoghurt dengan kombinasi kultur BAL Keterangan : C1= St:Lb C3= St: Lb:Lp C2 = St: Lp C4 = LP
1. Derajat Keasaman (pH ) Hasil analisis sidik ragam terhadap pengukuran nilai pH yoghurt dengan berbagai kombinasi BAL menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan menunjukkan kombinasi kultur St:Lb sama dengan kultur kombinasi St: Lp dan St:Lb:Lp pada taraf 0.05. Sedangkan sampel dengan kultur tunggal Lp berbeda terhadap ketiga sampel lainnya. Hasil pengukuran pH yoghurt dapat dilihat pada gambar 11 dan hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 4.
5
Nilai pH
4
4.49 3.71
3.66
3.7
St:Lb
St:Lp
St:Lb:Lp
3 2 1 0 Lp
Kombinasi Kultur BAL
Gambar 11. Nilai pH yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL Gambar 11 memperlihatkan nilai pH terendah (3.66) adalah pada perlakuan kombinasi BAL St: Lp. Rendahnya nilai pH sangat berkaitan erat dengan keberadaan S. thermophilus. Menurut Zirnstein dan Hutkins (1999),
S
.thermophilus (St) mampu memfermentasi laktosa dan menurunkan dengan cepat pH produk. Gambar 11 juga menunjukkan penggunaan kultur tunggal
L .
plantarum menghasilkan pH yoghurt yang paling tinggi. Kesimpulan yang dapat diambil dari perbedaan tingkat keasaman (pH) yoghurt dari gambar di atas adalah penggunaan kultur campuran menghasilkan tingkat keasaman yang lebih rendah daripada penggunaan kultur tunggal. Diduga interaksi antar BAL dalam kultur campuran menyebabkan penurunan pH yoghurt lebih cepat daripada kultur tunggal. Hal ini diduga karena jumlah asam laktat yang dihasilkan oleh dua atau tiga jenis BAL lebih banyak daripada jumlah asam yang dihasilkan oleh satu jenis BAL. Yoghurt yang dibuat diharapkan mempunyai pH yang rendah (3.7-3.8) jauh di bawah titik isoelektrik protein susu (4.6). Nilai pH yang rendah akan mencegah kontaminan dan pertumbuhan bakteri patogen selama penyimpanan. Nilai pH yang tinggi hampir mendekati titik isoelektrik pada penggunaan kultur tunggal L. plantarum tidak diharapkan karena pH yang tinggi tidak dapat menggumpalkan sebagian besar misel kasein sehingga tekstur tidak kompak
Kurang kompaknya yoghurt
dengan menggunakan kultur tunggal Lp
diduga karena terjadinya sineresis. Sineresis adalah istilah untuk menunjukkan adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt
(Suryono, 2005). Sineresis
terjadi karena tidak adanya L. bulgaricus. Tanpa adanya L. bulgaricus menurut Suryono (2005), maka pembentukan tekstur yoghurt tidak sempurna sehingga terlihat masih adanya pemisahan cairan dan padatan pada yoghurt.
2. Viskositas Pengukuran viskositas dilakukan dengan menggunakan viscometer Brokefield. Nilai viskositas meggambarkan tingkat kekentalan yang terukur secara objektif. Analisis sidik ragam terhadap hasil pengukuran viskositas yoghurt menunjukkan terdapat perbedaan diantara sampel pada taraf signifikansi 0.05 (p<0.05). Uji lanjut Duncan terhadap viskositas menunjukkan nilai viskositas perlakuan kombinasi kultur St:Lb tidak berbeda dengan perlakuan kombinasi St:Lb:Lp pada taraf signifikansi 0.05. Kedua kombinasi tersebut berbeda dengan kombinasi St:Lp dan berbeda terhadap kombinasi Lp. Kombinasi St:Lp berbeda dengan semua kombinasi yang lain pada taraf signifikansi 0.05. Demikian juga kultur tunggal Lp berbeda dengan kombinasi lain pada taraf signifikansi 0.05. Hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan dapat dilihat pada lampiran 5. Gambar 12 menunjukkan hasil pengukuran viskositas yoghurt.
1000
930
920 840
900 Viskositas (mPas)
800 700 540
600 500 400 300 200 100 0 St : Lb
St : Lp
St: Lb: Lp
Lp
Kultur BAL
Gambar 12. Nilai viskositas yoghurt pada berbagai kombinasi kultur BAL Gambar di atas memperlihatkan penggunaan kultur tunggal Lp memilki viskositas terendah. Hal ini kembali berkaitan dengan nilai pH kultur tunggal Lp yang paling tinggi. Seperti dijelaskan di sebelumnya, nilai pH yang tinnggi tidak cukup untuk menggumpalkan seluruh misel kasein. Hal ini menyebabkan tekstur tidak kompak. Tidak kompaknya tekstur ini menurunkan nilai viskositas yang terukur oleh viskometer. S. thermophilus menurut
Zirnstein dan Hutkins (1999), mampu
memproduksi eksopolisakarida yang meningkatkan mouthfeel, kekentalan, body, dan sifat reologi yang menguntungkan lainnya. Selain itu, penambahan PSM dalam yoghurt akan meningkatkan kekentalan atau viskositas produk. Singh & Singh (2001) menambahkan bahwa PSM sering digunakan untuk memperbaiki viskositas dan tekstur produk susu. Peningkatan kekentalan disebabkan oleh tingginya asam yang terbentuk, karena asam akan menggumpalkan protein dari produk terutama dari susu bubuk skim yang ditambahkan (Fardiaz et al., 1996). Penurunan pH hingga 4.6 atau lebih rendah akan menyebabkan teerjadinya penggumpalan (koagulasi) misel kasein sehingga membentuk gel. Lapisan molekul protein bagian dalam yang bersifat hidrofobik berbalik keluar, sedangkan bagian luar yang bersifat hidrofilik terlipat ke dalam. Pembalikan dan pelipatan ini terjadi bila larutan protein telah
mendekati pH isoelektrik sehingga protein akan menggumpal dan mengendap. Viskositas akan bertambah karena molekul mengembang dan menjadi asimetrik (Winarno, 1992). Viskositas yoghurt yang diinginkan adalah antara 500-2500 mPas, yaitu rentang nilai viskositas yoghurt yang berupa cairan kental sampai semi padat.
3. Uji organoleptik Uji organoleptik pada tahap pemilihan kombinasi BAL ini dilakukan dengan menggunakan 25 panelis tidak terlatih. Tujuan uji organoleptik ini untuk mengetahui tingkat kesukaan panelis terhadap yoghurt yang diberi perlakuan berbagai kombinasi kultur BAL. Parameter yang diujikan antara lain warna, aroma, rasa (keasaman), tekstur (mouthfeel), dan kekentalan. Skala yang digunakan yaitu 1-6 ( 1= sangat tidak suka, 2= tidak suka, 3= agak tidak suka, 4= agak suka, 5=suka, 6=sangat suka) . Hasil uji organoleptik terhadap yoghurt yang dibuat dengan kombinasi kultur BAL dapat dilihat pada gambar 13. 6.00 Skor Kesukaan Panelis
5.50 5.00 4.50
4 .6 54 .6 2 4 .4 6
4 .3 1
4 .3 5
4 .3 1 4
3 .9 2
4.00
3 .79 3 .8 13 .8 5
3 .6 9
3.50
3 .2 3
3 .4 6 3 .3 1
3 .3 8
3 .0 4
3 .0 4
3 .0 8
3.00 2.50 1.9 2
2.00 1.50 1.00 Warna
Aroma St:Lb
Rasa
Mouthfeel
Parameter Sensori
St:Lp
St:Lb:Lp
Kekentalan
Lp
Gambar 13. Skor kesukaan panelis terhadap yoghurt dengan perlakuan kombinasi kultur BAL
3.1. Warna Gambar 13 di atas menunjukkan bahwa pada parameter warna, formulasi yoghurt dengan kultur St:Lp memiliki skor kesukaan panelis tertinggi. Kisaran skor kesukaan panelis terhadap warna adalah ( >4) agak suka sampai suka. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi 0.05 menunjukkan bahwa kesukaan panelis terhadap warna tidak berbeda nyata (p>0.05). Analisisis statistik terhadap warna dapat dilihat pada
lampiran 6.
3.2. Aroma Aroma adalah salah satu parameter mutu yang penting pada produk sejenis minuman fermentasi. Hasil analisis sidik ragam pada taraf signifikansi 0.05 menunjukkan bahwa terdapat perebedaan skor kesukaan panelis terhadap aroma (P < 0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan perlakuan kombinasi St:Lb sama dengan kombinasi perlakuan St:Lp dan St:Lb:Lp, sedangkan skor kesukaan Lp berbeda dengan ketiga sampel lain. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 7. Hasil skor kesukaan panelis terhadap aroma dapat dilihat pada gambar 13. Skor kesukaan terhadap aroma yoghurt kombinasi St:Lb, St:Lp, dan St:Lb:lp adalah antara agak suka sampai suka (>4). Sedangkan skor kesukaan terhadap aroma pada yoghurt dengan kombinasi Lp adalah agak tidak suka sampai agak suka. Karakteristik yoghurt dengan kombinasi St:Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp beraroma asam yang tajam. Hal ini dapat disebabkan karena keberadaan L.bulgaricus (Lb) dan S. thermophilus (St). Jay (1997) menjelaskan bahwa dalam
kombinasi starter (St : Lb), S. thermophilus berperan dalam
pembentukan asam dan menghasilkan flavor yang tidak tajam sedangkan L. bulgaricus lebih bersifat proteolitik dan menghasilkan flavor khas serta tajam jika diinokulasikan pada susu. Sedangkan penggunaan kultur tunggal Lp menghasilkan flavor asam yang kurang disukai panelis. Yoghurt yang dibuat pada penelitian kali ini termasuk dalam kategori natural yoghurt atau plain yoghurt. Natural yoghurt atau plain yoghurt adalah yoghurt yang dibuat tanpa penambahan flavor apapun. Hal ini diduga
mempengaruhi penilaian panelis terhadap aroma yoghurt yang dibuat. Umumnya, yoghurt yang dijual di pasaran diberi tambahan flavor buah untuk meningkatkan penerimaan panelis. Flavor dari plain yoghurt merupakan hasil aktivitas dari starter yang digunakan. Menurut Tamime dan Robinson (1991), terdapat 4 kategori utama senyawa penyokong flavor yoghurt: (1) Asam tidak menguap, yaitu : asam laktat, asam piruvat, dan asam oksalat. (2) Asam yang mudah menguap, yaitu : asam format, asam asetat, dan asam butirat. (3) Senyawa karbonil, yaitu : asetaldehida, aseton, asetoin, dan diasetil. (4) Senyawa dari hasil degradasi laktosa, protein, dan lemak pada proses pemanasan.
3. 3. Rasa Analisis sidik ragam terhadap rasa yoghurt menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan skor kesukaan panelis terhadap rasa yang diberi perlakuan kombinasi kultur BAL (p<0.05). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan kombinasi BAL St:Lb memperoleh skor kesukaan rasa yang tidak berbeda dengan St:Lp, sedangkan kombinasi kultur tunggal berbeda dengan kombinasi BAL yang lain. Kombinasi BAL St:Lb:Lp lebih disukai dibandingkan perlakuan kombinasi BAL yang lain. Hasil analisis statistik kesukaan terhadap rasa dapat dilihat pada
lampiran 8.
Gambar 13 menunjukkan skor kesukaan rasa tertinggi panelis adalah pada yoghurt dengan kombinasi BAL St:Lb:Lp (3.92). Hal ini berarti kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis. Kisaran kesukaan panelis terhadap formulasi kombinasi BAL ini adalah antara agak tidak suka sampai agak suka. Karakteristik rasa yoghurt kombinasi BAL ini adalah rasa asam segar dan lebih tajam daripada rasa yoghurt yang ada di pasaran. Hal ini disebabkan karena jenis gula yang digunakan adalah glukosa murni dengan jumlah hanya 3%, (b/v) sedangkan gula yang ditambahkan pada yoghurt yang ada di pasaran adalah sukrosa dengan jumlah mencapai 10%(b/v). Jumlah glukosa 3%(b/v) tidak cukup menutupi rasa asam yoghurt. Glukosa yang tersedia akan menjadi nutrisi yang pertama kali digunakan oleh BAL yang akan diubah menjadi asam laktat.
Skor kesukaan rasa panelis terendah adalah pada yoghurt yang ditambah kultur tunggal Lp. Karakteristik rasa produk ini adalah tidak terlalalu asam. Penambahan kultur tunggal Lp dalam pembuatan yoghurt terkadang mengahasilkan rasa pahit dan aroma seperti susu yang belum terfermentasi. Heat dan Reineccius (1986) menjelaskan rasa pahit disebabkan adanya peptida rantai pendek akibat aktivitas enzim proteolitik. Enzim proteolitik ini memecah protein menjadi peptida-peptida yang lebih kecil dan dapat menimbulkan rasa pahit.
3.4. Tekstur (Mouthfeel) Tekstur atau mouthfeel yang dinilai pada yoghurt ini adalah kesan kelembutan tekstur dalam mulut yang dirasakan ketika produk dikonsumsi. Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan tekstur pada taraf signifikansi 0.05 menunjukkan tidak ada perbedaan kesukaan panelis pada kombinasi BAL yoghurt (p>0.05). Hasil analisis statistik skor kesukaan panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat pada lampiran 9. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur adalah antara agak tidak suka sampai agak suka. Hasil skor kesukaan panelis terhadap mouthfeel yoghurt dapat dilihat pada gambar 13.
3.5. Kekentalan Penambahan PSM pada yoghurt akan menambah kekentalan yang dapat diukur secara obyektif menggunakan viskometer. Kekentalan susu yang telah difermentasi juga akan meningkat karena setelah proses fermentasi protein yang terdapat dalam susu yaitu kasein mengalami penggumpalan (koagulasi) dan terdenaturasi. Setelah fermentasi, pH susu tersebut akan mengalami penurunan secara signifikan. Proses terjadinya koagulasi pada yoghurt merupakan hasil dari aktivitas biologi dan fisik pada susu yang telah ditambah dengan kultur yoghurt. Mekanisme koagulasi oleh kultur yoghurt menurut Tamime dan Robinson (1991) adalah sebagai berikut: (1) Kultur starter memanfaatkan laktosa di dalam susu untuk persediaan energi dan menghasilkan asam laktat. (2) Asam laktat yang dihasilkan, secara berangsur-
angsur akan mengawali terjadinya ketidakstabilan misel kasein, atau kompleks protein whey terdenaturasi oleh larutan fosfat / sitrat kasein (3) Sejumlah kasein misel atau masing-masing kelompok kasein misel secara bersama atau sebagian bergabung setelah mencapai titik isoelektrik yaitu pada pH 4.6-4.7. Kasein (protein susu) akan mengendap pada pH 4.6-4.7 ( Tamime dan Robinson, 1991). Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt dengan perlakuan kombinasi BAL dapat dilihat pada gambar 13. Hasil analisis sidik ragam terhadap skor kesukaan kekentalan menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan kesukaan panelis antara kombinasi kultur BAL. Uji lanjut Duncan menunjukkan penambahan kultur St: Lb, St:Lp, dan St:Lb:Lp adalah tidak berbeda (sama), sedangkan penambahan kultur tunggal Lp mempunyai skor kekentalan yang berbeda nyata. Skor kesukaan panelis terhadap viskositas yoghurt dengan perlakuan kultur tunggal Lp paling rendah. Hasil analisis statistik dapat dilihat pada lampiran 10.
4. Kombinasi Kultur BAL Terpilih Pemilihan kombinasi kultur BAL yang akan digunakan pada tahap selanjutnya adalah berdasarkan hasil uji organoleptik dengan menggunakan panelis tidak terlatih yang telah dilakukan. Kombinasi kultur BAL St:Lb:Lp mempunyai skor kesukaan rasa tertinggi dan berbeda nyata (p<0.05) terhadap kombinasi BAL yang lain. Skor kesukaan dari segi aroma dan tekstur kultur campuran BAL tidak berbeda sehingga semua bisa dipilih. Kesukaan panelis terhadap kekentalan dan warna yoghurt dengan kombinasi BAL St:Lb, St:Lp, dan St: Lb:Lp juga tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil yang ditunjukkan pada gambar 13, maka kultur campuran BAL St:Lb:Lp akan dipilih untuk tahap selanjutnya. Hal ini karena rasa yoghurt dengan menggunakan kultur campuran St: Lb: Lp lebih disukai daripada yoghurt dengan menggunakan kombinasi kultur campuran BAL yang lain. Selain itu, rata-rata skor aroma, mouthfeel, dan viskositas kombinasi St:Lb:Lp lebih tinggi diabndingkan dengan kombinasi kultur campuran BAL lain.
Keberadaan S.
thermophilus, dan L. bulgaricus akan memperbaiki
kualitas yoghurt dari segi rasa, aroma, tekstur, dan menghasilkan pH yoghurt yang rendah jauh di bawah titik isoelektrik protein. Sementara keberadaan L. plantarum akan tetap dipertahankan karena BAL ini yang merupakan kandidat probiotik yang akan mampu bertahan dalam pencernaan. Pembuatan minuman yoghurt dengan berbagai kombinasi BAL pernah dilakukan oleh Indriawati (2001). Indriawati (2002) menggunakan BAL antara lain L. plantarum (Lp), L. acidophilus (La), L. bulgaricus (Lb), dan S. thermophilus (St). Kombinasi BAL yang dilakukan oleh Indriawati (2002) adalah
St:Lb,
La:Lp,
St:Lb:La,
St:Lb:Lp,
dan
St:Lb:Lp:La.
Hasilnya
menunjukkan kombinasi St: Lb: Lp lebih disukai oleh panelis dibandingkan dengan kombinasi BAL yang lain.
D. Pengaruh Konsentrasi Susu Skim dan Konsentrasi SPM Setelah diperoleh kombinasi campuran kultur BAL terbaik, selanjutnya dilakukan percobaan pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap mutu yoghurt yang meliputi viskositas, total asam tertitrasi, dan nilai pH. 1. Viskositas Viskositas
formulasi
yoghurt
diukur
untuk
mengetahui
pengaruh
penambahan susu skim dan RS terhadap viskositas produk. Hasil analisis Anova terhadap viskositas menunjukkan pada taraf signifikansi 0.05 terdapat perbedaan yang nyata nilai viskositas antar formulasi.
4000
3600
Viskositas (mPas)
3500 2700
3000 2500
2900 2550
2100
2000 1500 1000
930
500 0 2.5% pati singkong modifikasi 5% Skim (B1)
5% pati singkong modifikasi
Konsentrasi Rs 7.5% Skim (B2)
10% Skim (B3)
Gambar 14. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai viskositas yoghurt Gambar 14 menunjukkan nilai viskositas semakin tinggi seiring dengan meningkatnya konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM. Uji statistik menunjukkan tidak ada interaksi yang signifikan (p>0.05) antara penambahan PSM dan susu skim. Hal ini berarti viskositas yoghurt akan naik seiring dengan peningkatan konsentrasi susu skim dan konsentrasi PSM meskipun digunakan secara terpisah. Semakin tingginya konsentrasi PSM menyebabkan viskositas yoghurt meningkat secara signifikan (p<0.05), demikian juga, semakin tinggi konsentrasi susu skim viskositas yang dihasilkan juga semakin tinggi. Hasil uji statistik dapat dilihat pada lampiran 11. Semakin banyak susu skim maka semakin banyak kasein yang menggumpal karena penurunan pH sehingga produk akan semakin kental. Demikian juga semakin banyak PSM yang ditambahkan maka semakin banyak granula pati yang tergelatinisasi sehingga viskositas juga semakin tinggi. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang sebelumnya di luar granula dan bebas bergerak, kini sudah berada dalam butirbutir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas lagi (Winarno, 1992).
2. Total Asam Tertitrasi (TAT) Total asam tertitrasi pada penelitian ini dinyatakan dalam persentase asam laktat. Asam laktat dapat dijadikan indikator keberhasilan bakteri dalam menggunakan media pertumbuhannya. Asam laktat berperan sebagai antimikroba dalam yoghurt. Jay (1992) menjelaskan efek antimikroba asam laktat disebabkan akibat penurunan pH dan penghambatan metabolisme oleh molekul asam tidak terdisosiasi. Pengukuran TAT yoghurt dengan menggunakan metode titrasi.
2.50
2.3
2.15
2.00 Nilai TAT
2.00
1.67
2.29
1.68
1.50 1.00 0.50 0.00 2.5% pati singkong modifikasi
5% pati singkong modifikasi
Konsentrasi RS 5% Skim (B1) 7.5% Skim (B2) 10% Skim (B3) Gambar 15. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap total asam tertitrasi (TAT) yoghurt = 7.5% susu skim, B3= 10% susu skim) Total asam tertitrasi dihitung dari volume NaOH yang digunakan untuk menetralkan asam yang terdapat dalam sampel yoghurt. Titrasi akan dihentikan jika penambahan larutan peniter pada sampel yang telah ditambah indikator memberikan warna yang konstan, sehingga jika ada asam dengan konsentrasi yang lebih besar pada contoh, maka diperlukan larutan peniter yang lebih banyak (Kusumaningrum, 1996). Larutan peniter yang digunakan dalam penelitian ini adalah NaOH 0.1 N dan indikator yang digunakan adalah fenolftalin (PP). Hasil analisis statistik terhadap total asam tertitrasi yoghurt menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai total asam tertitrasi antar formulasi dan menunjukkan tidak ada interaksi antara penambahan PSM dan penambahan susu
skim. Penambahan konsentrasi PSM tidak mempengaruhi nilai TAT yoghurt (p>0.05), sedangkan meningkatnya konsentrasi susu skim berpengaruh nyata terhadap meningkatnya nilai TAT secara signifikan (p<0.05). Hal ini berarti TAT yoghurt hanya dipengaruhi oleh konsentrasi susu skim atau dengan kata lain asam yang terukur sebagai hasil fermentasi adalah asam yang dihasilkan dari aktivitas BAL menggunakan sumber karbon dari susu skim. Penambahan susu skim diduga akan menambah jumlah laktosa dalam formulasi yang akan diubah menjadi asam laktat oleh bakteri asam laktat. Hasil uji statistik dapat dilihat pada lampiran 12. Menurut Fardiaz dan Jenie (1982), pada pembuatan yoghurt kedelai menggunakan campuran L. bulgaricus dan S. thermophilus, penambahan susu skim sebanyak 0%, 2.5%, 5%, dan 7.5% memberikan pengaruh yang nyata terhadap total asam, dimana semakin besar persentase penambahan susu skim, maka persentase total asam juga semakin tinggi. Hal ini disebabkan penambahan susu skim akan meningkatkan jumlah laktosa yang akan difermentasi menjadi asam laktat oleh starter. Menurut Teja (1990), penambahan jumlah susu skim sebanyak 5%, 6%, dan 7% dalam pembuatan yoghurt kacang merah menunjukkan hasil yang berbeda nyata terhadap nilai total asam. Penambahan susu skim 7% menghasilkan total asam yang lebih besar dibandingkan penambahan susu skim 5%. Hasil serupa dilaporkan oleh Soegiarto (1992), bahwa penambahan konsentrasi susu skim yang semakin tinggi (2%, 4%, 6%, 8%) menghasilkan total asam yang semakin tinggi. Interaksi penambahan susu skim dan PSM yang semakin tinggi secara statistik meningkatkan nilai TAT secara signifikan. Nilai TAT yoghurt yang diinkubasi pada suhu 37oC selama ± 20 jam memberikan nilai TAT yang tinggi. Menurut Tamime dan Robinson (1991) yoghurt yang baik mempunyai nilai TAT 0.9-0.95%, sedangkan menurut SNI 012981-1992 jumlah asam yang dihitung sebagai asam laktat harus mempunyai kisaran antara 0.5-2.0% b/b. Gambar 15 memperlihatkan nilai terendah TAT yoghurt adalah pada formulasi A1B1 dan A2B1 yaitu 1.67% b/b dan 1.68%b/b yang tidak jauh berbeda, sedangkan formulasi yang lain mempunyai TAT yang lebih tinggi dari 2% b/b sehingga tidak memenuhi syarat SNI. Total asam tertitrasi (TAT) menurut SNI maksimal adalah 2% b/b. Total asam tertitrasi yang
terukur dengan menggunakan metode titrasi adalah semua komponen asam baik yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay, 1992).
3. Derajat Keasaman (pH) Nilai pH produk menunjukkan derajat keasaman produk tersebut. Gambar 16 menunjukkan nilai pH yoghurt dengan penggunaan susu skim dan penambahan PSM pada berbagai konsentrasi. Gambar 16 menunjukkan nilai pH yoghurt setelah fermentasi. 4.40
4.28
4.30 4.20 Nilai pH
4.10 4.00 3.86
3.90 3.80
3.70 3.73
3.71
3.76
3.70 3.60 3.50 3.40 2.5%RS Tipe IV (A1) 5% Skim (B1)
5%RS Tipe IV (A2)
Konsentrasi RS 7.5% Skim(B2)
10% Skim (B3)
Gambar 16. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH yoghurt Gambar 16 menunjukkan semakin rendah konsentrasi susu skim semakin tinggi penurunan nilai pH atau semakin tinggi konsentrasi susu skim semakin rendah penurunan nilai pH. Akan tetapi hasil uji statistik menunjukkan terdapat interaksi yang signifikan antara konsentrasi penambahan PSM dengan tingkat konsentrasi susu skim yang digunakan terhadap nilai pH yang terukur pada gambar 16 (p<0.05). Hal ini berarti nilai pH yang terukur oleh pH meter dipengaruhi oleh sistem cairan yang terbentuk dalam yoghurt sebagai akibat penambahan PSM dan susu skim. Penambahan PSM dan susu skim berpengaruh terhadap nilai pH. Semakin tinggi konsentrasi PSM
dan susu skim yang
digunakan, maka nilai pH juga semakin tinggi. Hasil analisis statistik dapat
dilihat pada lampiran 13. Menurut Jay (1992), pada pengukuran derajat keasaman dengan menggunakan pH meter, nilai yang terukur adalah konsentrasi ion H + dan menunjukkan jumlah asam yang terdisosiasi. Hal serupa disampaikan oleh Sadler dan Murphy (2003), bahwa asam yang terukur oleh alat pH meter adalah konsentrasi ion H+ yang terlepas atau terdisosiasi. Sehingga nilai ini tidak mewakili asam yang terdapat pada produk sesungguhnya. Hal ini karena dalam suatu produk mungkin terdiri dari beberapa asam lemah yang tidak bisa terdisosiasi secara sempurna. Oleh karena itu, Sadler dan Murphy (2003) menambahkan pengukuran asam tertitrasi merupakan cara memprediksi jumlah asam yang lebih baik daripada menggunakan nilai pH terutama dalam kaitannya dengan flavor. Fenomena gambar 16 dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) BAL mampu menggunakan laktosa sebagai substrat fermentasi. Laktosa akan diubah menjadi glukosa dan galaktosa. Glukosa dan galaktosa akan diubah lebih lanjut menjadi asam laktat oleh BAL yang bersifat homofermentatif dan menjadi asam laktat, CO2, serta asam asetat oleh BAL heterofermentatif fakultatif dan BAL heterofermentatif obligat. (2) BAL yang digunakan dalam pembuatan yoghurt pada penelitian ini adalah S. thermophilus yang menghasilkan asam format, L. bulgaricus yang menghasilkan asetaldehida dan asam laktat, serta L. plantarum yang menurut Rees (2007) akan menghasilkan asam laktat dan asam asetat. Asam format, asam asetat, dan asam laktat adalah jenis asam lemah (elektrolit lemah) yang tidak terionisasi (terdisosiasi) secara sempurna. (3) Sebagai asam lemah, disosiasi akan lebih mudah jika keberadaan air semakin banyak. Oleh karena itu, hanya dalam keadaan sangat encer saja asam lemah mempunyai α = 1 (Setiawati, 2004).
(4) Peningkatan konsentrasi penambahan PSM dan susu skim
menyebabkan kekentalan semakin meningkat (gambar 14). Kekentalan yang semakin meningkat artinya jumlah air yang dapat digunakan untuk melepaskan H+semakin sedikit (terjadinya disosiasi semakin kecil), sehingga konsentrasi ion H+ yang terukur dengan pH meter semakin sedikit (pH semakin tinggi). Penambahan susu skim akan meningkatkan laktosa yang digunakan oleh bakteri selama fermentasi sehingga asam laktat dan asam asetat yang terbentuk juga akan
semakin meningkat. Oleh karena itu, nilai TAT yang terukur semakin tinggi seiring dengan penambahan konsentrasi susu skim yang digunakan (Gambar 15). Sadler dan Murphy (2003) menjelaskan asam yang terukur dengan titrasi bukan hanya asam yang terdisosiasi namun juga asam yang tidak terdisosiasi. Yoghurt yang dihasilkan dalam penelitian ini memiliki nilai viskositas yang berbanding lurus dengan nilai TAT dan nilai pH. Hasil yang serupa, dilaporkan oleh Setiawan (2006), seiring dengan meningkatnya konsentrasi gula yang ditambahkan dalam pembuatan yoghurt, viskositas semakin meningkat, TAT semakin meningkat, dan pH semakin meningkat. Meningkatnya konsentrasi gula akan meningkatkan viskositas karena gula bersifat mengikat air sehingga air yang bebas yang dapat digunakan untuk melepas ion H+ juga semakin sedikit. Menurut Elisabeth (2003), dari hasil penelitian pengukuran pH dan TAT dilihat fenomena bahwa nilai pH tidak selalu berbanding terbalik dengan TAT. Berdasarkan uji lanjut Duncan, peningkatan nilai pH yang signifikan terjadi pada formulasi yang ditambah 2.5% dan 5% (b/v) PSM dengan menggunakan susu skim sebanyak 10% (b/v) . Sementara nilai pH formulasi yang ditambahkan 2.5% dan 5% (b/v) yang menggunakan susu skim 5% dan 7.5% menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata. Nilai pH formulasi yoghurt terendah adalah formulasi yoghurt yang menggunakan 5% susu skim (B1) yang dikombinasi dengan 2.5% (b/v) PSM (A1). Nilai pH formulasi yoghurt tersebut tidak berbeda nyata dengan yoghurt yang menggunakan 5% (b/v) susu skim (B1) yang dikombinasikan dengan 5% (b/v) PSM (A2).
4.
Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap Jumlah Total BAL Yoghurt terbaik dalam penelitian ini dipilih berdasarkan TAT (total asam tertitrasi). Hal ini karena yoghurt diharapkan memenuhi persyaratan mutu yang dicantumkan dalam standar mutu yoghurt SNI 01-2981-1992. Oleh karena itu, yoghurt yang terpilih untuk tahap selanjutnya adalah formulasi A1B1 dan A2BI yaitu yoghurt yang dibuat dengan menambahkan PSM sebanyak 2.5% (b/v) dan 5% (b/v) serta jumlah susu skim yang digunakan yaitu 5%(b/v).
Formulasi yang terpilih ini selanjutnya dihitung jumlah total BAL nya. Tujuan perhitungan total BAL pada formulasi terpilih ini adalah untuk mengetahui pengaruh konsentrasi PSM terhadap total BAL dalam produk. Sebagai kontrol dan data penguat dibuat juga yoghurt dari 5% (b/v) susu skim yang ditambah 2.5% (b/v) dan 5%
(b/v) PSM dengan penambahan masing-
masing kombinasi BAL St: Lb dan kultur tunggal Lp. Selain itu, juga dilakukan perhitungan BAL pada yoghurt yang dibuat dari 5%(b/v)
susu skim
menggunakan kultur campuran St:Lb:Lp tanpa penambahan PSM. Hasil perhitungan total BAL dapat dilihat pada gambar 17.
Jumlah (log CFU/ml)
8.9
8.82 8.77
8.8 8.7 8.7
8.56
8.6
8.52
8.45
8.5 8.4 8.3 8.2
5% pati singkong modifikasi
2.5% pati singkong modifikasi St:Lb (C1)
BAL (C2) St:Lb:Lp
Lp (C3)
Gambar 17. Pengaruh kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap total BAL yoghurt Jumlah BAL yang tumbuh pada formulasi A1C1, A2C1, A1C2, A2C2, A1C3, A2C3, dan yoghurt kontrol tanpa penambahan PSM bertrut turut adalah 5.0 x 108 CFU/ml; 6.6 x 108 CFU/ml 5.9 x 108 CFU/ml; 2.82 x 108 CFU/ml; 3.65 x 108 CFU/ml; 3.3 x 108 CFU/ml, dan 5.9 x 108 CFU/ml. Hasil analisis statistik menunjukkan jumlah BAL yang terhitung (hasil gambar 17) dipengaruhi oleh kultur yang digunakan dan konsentrasi PSM yang ditambahkan (p<0.05). Uji statitik dapat dilihat pada lampiran 15.
Gambar 17 menunjukkan jumlah BAL tertinggi adalah BAL yang tumbuh dalam formulasi St:Lb:Lp. Jumlah BAL kombinasi St:Lb:Lp dan kultur tunggal Lp yang ditumbuhkan pada yoghurt yang ditambah 5%
(b/v) (A2) PSM
mengalami penurunan jumlah. Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil di atas adalah kombinasi St:Lb, St:Lb:Lp, dan kultur tunggal Lp dapat tumbuh baik pada yoghurt yang ditambahkan PSM (2.5 % dan 5%). Formulasi yang akan dipilih pada tahap selanjutnya adalah yoghurt yang terbuat dari susu skim 5%(b/v) dengan penambahan PSM sebanyak 2.5%(b/v). Yoghurt yang dibuat dengan dengan penambahan 2.5%(b/v) PSM mempunyai penampakan yang tidak jauh berbeda dengan yoghurt yang ditambah 5% (b/v) PSM. Pembuatan yoghurt dengan konsentrasi PSM lebih rendah akan mempermudah proses pembuatan terutama saat pasteurisasi. Selain itu, penggunaan konsentrasi PSM yang lebih rendah akan mengurangi biaya produksi.
E. Analisis Mutu Yoghurt Terbaik Yoghurt yang ditambahkan PSM memiliki karakteristik yoghurt pada umumnya. Oleh karena itu, standar mutu yang digunakan adalah standar mutu yoghurt yang diacu dari SNI 01-2981-1992. Gambar yoghurt terbaik dapat dilihat pada gambar 18. Hasil analisis mutu yoghurt terbaik berdasarkan syarat mutu yang ditetapkan dalam SNI dapat dilihat pada tabel 3.
Tabel 3. Hasil analisis yoghurt berdasarkan persyaratan SNI 01-2981-1992 Kriteria Uji
Satuan
Persyaratan
Hasil analisis yoghurt terbaik Keadaan:
Keadaan:
Cairan kental sampai Cairan semi padat
1. Penampakan
semi padat
(viskositas 30 mPa.s)
2. Bau
Normal/khas
Khas asam
3. Rasa
Asam/khas
Asam tajam
4. Konsistensi
Homogen
Homogen
Lemak (% b/b)
Maks. 3.8
1.19
Protein (N x 6.37) (%
Min 3.5
4.01
Abu (%)
Maks. 1.0
0.22
Jumlah asam (dihitung
0.5-2.0
1.67
b/b)
sebagai laktat) (%b/b) Cemaran mikroba 1. Bakteri koliform
APM/g
Maks. 10
<3
2. Escherichia coli
APM/g
<3
<3
Negatif/ 100g
Negatif/100g
3. Salmonella
Gambar 18. Yoghurt Terpilih
1. Keadaan Secara Umum Karakteristik yoghurt terbaik yang dibuat pada penilitian ini adalah semi padat dengan viskositas 930 mPas., penampakan kompak, dan warna putih susu. Bau yoghurt adalah asam khas dengan rasa asam yang tajam.
2. Sifat Kimia Yoghurt Sifat kimia yohurt yang diukur antara lain nilai pH, total padatan terlarut, total asam tertitrasi, kadar lemak, kadar protein, dan kadar abu. 2.1 . Nilai pH Nilai pH yoghurt adalah 3.7. Nuraida et al., (1994) mengutip penjelasan Marshal (1987) yang menyatakan umumnya yoghurt yang dibuat mempunyai pH antara 3.8 - 4.6. Akan tetapi nilai pH bukan menjadi standar mutu yoghurt. Nilai pH yang rendah jauh di bawah 4.6 (titik isoelektrik protein) akan mencegah kontaminan dan bakteri patogen selama penyimpanan. Nilai pH yoghurt terbaik memiliki pH yang rendah jauh dari titik isoelektrik sehingga memungkinkan aman dari bakteri patogen selama penyimpanan.
2.2. Total Padatan Terlarut Pengukuran
total
padatan
terlarut
sampel
dilakukan
dengan
menggunakan refraktometer Atago N-1E (0-32%). Nilai total padatan terlarut yoghurt terbaik dalam penilitian ini
adalah 6 oBrix. Menurut
Fardiaz (1989), hasil padatan terlarut yang diperoleh dari refraktometer bukan total karbohidrat, melainkan kadar dari molekul-molekul karbohidrat yang mempunyai indeks refraksi seperti gula-gula sederhana. Refraksi ini disebabkan oleh adanya interaksi antara gaya elektrostatik dan gaya elektromagnetik dari atom-atom dalam molekul cairan.
2.3. Total Asam Tertitrasi Total asam tertitrasi yoghurt terbaik dalam penelitian ini adalah 1.67% b/b. jumlah ini cukup tinggi dibanding jumlah asam tertitrasi yoghurt pada umumnya. Akan tetapi jumlah ini masih masuk dalam standar SNI. Total asam tertitrasi yang terukur dengan menggunakan metode titrasi adalah semua komponen asam baik yang terdisosiasi maupun tidak ( Jay, 1992).
3.4. Kadar abu Kadar abu yoghurt adalah 0.22%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI yang menyebutkan jumlah kadar abu maksimal adalah 1.0%.
3.6. Kadar Lemak Kadar lemak diukur dengan metode soxhlet. Dari hasil analisis diperoleh kadar lemak sebesar 1.19%. Nilai ini sesuai dengan standar SNI yaitu jumlah kadar lemak yang terdapat dalam yoghurt adalah maksimal 3.8. Kadar lemak yoghurt ini lebih rendah dari standar yang ditetapkan karena susu yang digunakan adalah susu skim. Menurut Helferich dan Wetshoff (1980) yang dikutip oleh Kuntarso (2007), susu skim mengandung lemak susu kurang dari 0.1% sebagai hasil pemisahan fisik terhadap sebagian besar dari ”whole milk” atau susu full krim.
3.7. Kadar Protein Kadar protein yoghurt adalah 4.01%. Kadar ini juga masih memenuhi syarat kadar protein yang harus terdapat dalam produk sejenis yoghurt. Menurut SNI Sumber SNI-2981-1992, kadar protein minimal adalah 3.5%.
3. Mutu Mikrobiologi Analisis mikrobiologi yang dilakukan antara lain total bakteri asam laktat, cemaran kapang-khamir, dan bakteri patogen untuk mengetahui kesesuaian dengan standar SNI.
3.1. Total Bakteri Asam Laktat Total bakteri asam laktat yoghurt adalah 5.9 x108 CFU/ml. Jumlah ini memenuhi syarat jumlah total BAL yang seharusnya terdapat pada produk yoghurt. Menurut Yuguchi et al., (1992), minuman fermentasi (yoghurt) bermutu baik jika jumlah bakteri asam laktat lebih besar dari 10 6 koloni/ml. Kebanyakan bakteri asam laktat tidak hanya tumbuh lebih lambat pada pH rendah, tetapi mungkin juga mengalami kerusakan dan hilangnya viabilitas jika selnya berada pada kondisi pH rendah. Akan tetapi toleransi relatif dari mikroorganisme terhadap lingkungan asam tergantung dari galur bakteri tersebut ( Susanti et al., 2007).
3.2. Total Kapang-Khamir Kapang dan khamir adalah salah satu cemaran mikrobiologi yang mungkin terdapat dalam minuman fermentasi. Hal ini karena kapang khamir masih dapat tumbuh pada pH rendah. Menurut Fardiaz (1989), khamir menyukai pH 4 -5 dan masih dapat tumbuh pada pH 2.5-8.5. Sedangkan kapang mempunyai pH optimum 5-7 dan masih dapat tumbuh pada pH 38.5. Jumlah kapang khamir dalam produk yoghurt terbaik adalah <1.5 x 101 koloni/ml. Hal ini berarti produk yoghurt yang dibuat bebas dari cemaran kapang dan khamir.
3.3. Uji Koliform, E.coli dan Salmonella Uji koliform dan E. coli pada yoghurt menunjukkan hasil <3 APM/ml. Nilai ini telah sesuai dengan standar SNI. Uji Salmonella pada yoghurt menunjukkan hasil negatif. Nilai pH yang rendah karena tingginya asam laktat yang terkandung dalam yoghurt sehingga dapat menurunkan derajat keasaman. Usdyana (2006) menjelaskan fermentasi susu dapat menghambat pertumbuhan mikroba patogen dan perusak sehingga dapat memperpanjang masa simpan. Bakteri koliform dan
E. coli sering digunakan sebagai
bakteri indikator sanitasi. Tidak terdapatnya bakteri ini dalam produk yang dibuat membuktikan bahwa produk yoghurt dibuat di bawah kondisi yang saniter.
4. Mutu Organoleptik Formulasi Terpilih 4.1. Aroma Aroma suatu bahan pangan disebabkan oleh adanya komponen volatil. Aroma menjadi salah satu faktor penting diterima atau tidaknya suatu produk minuman probiotik. Menurut Oberman (1985), komponenkomponen minor hasil proses metabolik mikroba mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap aroma yoghurt yang diinginkan. Tingkat kesukaan panelis terhadap aroma yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak suka sampai suka (4.35).
4.2. Rasa Rasa didefinisikan oleh Hall (1968) dalam De Man (1997) sebagai perasaan yang dihasilkan oleh sesuatu yang dimasukkan ke mulut kemudian dirasakan oleh indera perasa pada suhu mulut. Rasa bagi beberapa orang menjadi parameter mutu terpenting dalam menerima produk yang bersangkutan. Umumnya produk minuman fermentasi mempunyai rasa asam. Winarno (2002) menjelaskan bahwa rasa asam disebabkan oleh donor proton, yang terintegrasinya tergantung pada ion H+ yang dihasilkan oleh
hidrolisis asam. Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai agak suka (3.92).
4.3. Tekstur dan Mouthfeel Teksur atau mouthfeel adalah kesan di mulut yang dirasakan panelis saat yoghurt dikonsumsi. Tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur atau mouthfeel yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai suka (3.69).
4.4. Warna Warna bersama-sama dengan aroma, rasa, dan tekstur, warna memegang peranan penting dalam penerimaan produk yang bersangkutan. Warna bisa menjadi parameter mutu pertama yang dipertimbangkan oleh konsumen sebelum menilai mutu organoleptik lainnya (DeMan, 1987). Tingkat kesukaan warna panelis terhadap yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak suka sampai suka (4.62).
4.5. Kekentalan Kekentalan yoghurt
dapat diukur dengan alat viskometer. Akan
tetapi untuk menentukan mutu yoghurt yang baik berdasar kekentalan yang diukur dengan viskometer jarang dilakukan. Kesukaan terdapat kekentalan ini sangat subjektif. Tingkat kesukaan kekentalan panelis terhadap yoghurt yang terpilih dalam penelitian ini adalah agak tidak suka sampai suka (3.85).
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Bakteri asam laktat yang digunakan dalam pembuatan yoghurt yaitu S. thermophilus, L. bulgaricus, dan sebagai BAL kandidat probiotik digunakan L. plantarum sa28k. L. bulgaricus, yang diinokulasikan dalam larutan 2.5% (b/v) PSM mampu tumbuh dalam waktu inkubasi 20 jam, sedangkan S. thermophilus, L. plantarum tidak mengalami pertumbuhan dalam waktu inkubasi 20 jam. Penggunaan kultur campuran BAL dan kultur tunggal mempengaruhi nilai pH dan viskositas yang diukur secara objektif. Penggunaan kultur campuran dalam membuat yoghurt menghasilkan pH yang lebih rendah dan viskositas lebih tinggi daripada kultur tunggal. Uji organoleptik dengan menggunakan panelis tidak terlatih menunjukkan kultur campuran S. thermophilus : L. bulgaricus : L. plantarum sa28k memiliki mutu sensori yang lebih disukai daripada kultur campuran S. thermophilus : L. bulgaricus, S. thermophilus : L. plantarum sa28k dan kultur tunggal L. plantarum sa28k. Penambahan konsentrasi PSM mempengaruhi nilai pH secara signifikan pada yoghurt yang dibuat dengan menggunakan konsentrasi susu skim 10% (b/v), tidak mempengaruhi nilai total asam tertitrasi, dan mempengaruhi nilai viskositas yoghurt pada semua tingkat penambahan konsentrasi susu skim. Konsentrasi susu skim berpengaruh pada nilai pH, total asam tertitrasi, dan viskositas. Semakin tinggi konsentrasi susu skim menyebabkan semakin tinggi TAT, semakin tinggi viskositas dan menyebabkan penurunan nilai pH semakin rendah. Kombinasi konsentrasi susu skim dan PSM yang menghasilkan yoghurt dengan nilai TAT yang sesuai dengan SNI adalah yoghurt dengan konsentrasi 5% (b/v) susu skim dan ditambah 2.5% (b/v) PSM. Kombinasi ini menghasilkan yoghurt dengan total BAL 5.9 x 108 CFU/ml. Yoghurt tersebut mempunyai mutu yang sesuai dengan SNI-01-2981-1992 baik secara kimia maupun mikrobiologi. Tingkat kesukaan aroma dan warna yoghurt ini berturut-turut 4.35 dan 4.62 yaitu agak suka sampai suka. Sedangkan tingkat kesukaan terhadap rasa, tekstur, dan kekentalan berturut-turut adalah 3.92, 3.69, dan 3.85 dari skala 6 yaitu agak tidak suka sampai agak suka.
B. SARAN Berdasarkan hasil penelitian, hal-hal yang perlu dilakukan antara lain: 1. Perlu dilakukan penambahan flavor dan penambahan glukosa pada berbagai konsentrasi sehingga aroma dan rasa yoghurt yang ditambahkan 2.5% (b/v) PSM dan L. plantarum sa28k lebih disukai. 2. Perlu dilakukan analisis umur simpan produk untuk mengetahui perubahan sifat kimia, mikrobiologi, dan penerimaan panelis. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan BAL probiotik dalam menggunakan PSM dengan mempertimbangkan lama fermentasi yang optimum. 4. Studi lanjutan tentang kemampuan pertumbuhan BAL dalam PSM selama waktu lebih dari 20 jam.
DAFTAR PUSTAKA
Acquarone, V. M., & Rao, M. A. (2003). Influence of sucrose on the rheology and granule size of cross-linked waxy maize starch dispersions heated at two temperatures. Carbohydate Polymers, 51,451–458. Anggraini, R. W. 2007. Resistant Starch Tipe IV Pati Ganyong ( Canna edulis), Kentang ( Solanum tuberosum), Dan Kimpul ( Xanthosoma violaceum S.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Anonim. 2006. Singkong. www. Wikipedia. Org. [ 6 desember 2007] AOAC., 1995. Official Method of Analysis. 16 th Edition. Association of Official Analytical Chemistry International, Gaithersburg. Apriyantono, A., Fardiaz, D., Puspitasari, N. L., Sedarnawati, Y., dan Budijanto, S. 1989. Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. IPB, Bogor. Ardiansyah.
Arief,
2007. Probiotik dan Prebiotik. http://ardiansyah.multiply.com/journal/item/22. [1 Februari 2008]
Irfan. 2007. Prebiotik & Probiotik, Manfaat bagi Kesehatan?. http://www.pjnhk.go.id/content/view/439/31/. [1 Februari 2008]
Bemiller, J. N. (1997). Starch modification: Challenges and prospects. Starch, 49, 127– 131. [BAM FDA]. 2001. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs Administration. Aeobic Plate Count Chapter 3. Departement of Health and Human Services. [BAM FDA]. 2000. Bacteriological Analitical Manual Online. US Food Drugs Administration. Aeobic Plate Count Chapter 18. Departement of Health and Human Services. British Nutrition Foundation. 1990. Complex Carboydrat in Foods : The Report of The British Nutrition Foundation’s Task Force. Chapman and Hall, London. Bylund. 1995. Dairy Processing Handbook. Publisher Tetra Pack Processing System, Lun Sweeden Cahyono, R. 1996. Pemanfaatn Wortel Untuk produksi Minuman Sehat Pencegah Diare Bervitamin B-12 Melalui Proses Fermentasi Asam Laktat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor
Cummings, J.H., G.T. Macfarlane., H.N. Englyst. 2001. Prebiotic digestion and fermentation. Am. J. Clin. Nutr. 73(2):415S-420S. Diaz, R.J., R.M. Rioz-Sanches, M. Desmun, J.L. Ruiz Dorba dan J.C.Diard. 1993. Plantaricins S and T, two new bacteriocins produced by Lactobacillus palantarum LP C010 isolated from a green olive fermentation. Applied and Environmental Microbiology May 1993: 1416-1426. Elisabeth, D. A. A. 2003. Pembuatan Yoghurt Sinbiotik Dengan Menggunakan Kultur Campuran : Streptocccus thermophilus, Lactobacillus casei starin Shirota, dan Bifidobacterium breve. Skripsi. FakultasTeknologi Pertanian, IPB. Fardiaz, S. 1987. Penuntun Praktek Mikrobiologi Pangan. Lembaga Sumberdaya Informasi (LSI), IPB, Bogor. _________, Jenie, B.S.L. 1982. Pengaruh Penambahan Susu Skim Bubuk dan Komposisi Starter Terhadap Mutu Yoghurt Kedelai. Buletin Penelitian Ilmu dan Teknologi Pangan (1) 4: 231-248. _________. 1989. Mikrobiologi Pangan. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor. _________, R. Cahyono., H. D. Kusumaningrum. 1996. Produksi dan Aktivitas Antibakteri Minuman Sehat Kaya Vitamin B12 Hasil Fermentasi Laktat dari Sari Wortel. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 2 (1) : 25-30. Gibson GR, Roberfroid MB (1995). Dietary modulation of the human colonic microbiotica: introducing the concept of prebiotics. J. of Nutr 125: 14011412 Greenwood, C. T. dan Munro, D. N. 1979. Carbohydrates. Di dalam Effects of Heats on Food stuffts (R.J. priestley, Ed.) applied Science Pub. Ltd. London. Hadi, R. dan S. Fardiaz. 1990. Bakteri Asam Laktat dan Peranannya dalam Pengawetan Makanan. Media Teknologi Pangan Vol. 4(1) : 73-79 Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Foo Microbiology 3 rd Edition. Academic Press, Inc., New York Hariyadi, R. T., N. Anjaya, Suliantari, L. Nuraida, dan B. Satiawiharja. 2001. Penuntun Praktikum Teknologi Fermentasi. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Heat, H. B., dan G. Reneccius. 1986. Flavor Chemistry and Technology. An AVI Book, New York.
Hillocks, R.J., J.M. Thresh, A. Belloti. 2002. Cassava Biology, Production and Utilization. CABI Publishing, New York, USA. Hirsch, J. B., & Kokini, J. L. (2002). Understanding the mechanism of cross-linking agents (POCl3, STMP, and EPI) through swelling behaviour and pasting properties of cross-linked waxy maize starches. Cereal Chemistry, 79, 102– 107. Huber, K. C., & BeMiller, J. N. (2001). Location of sites of reaction within starch granules. Cereal Chemistry, 78, 173–180. Jay, JM. 1992. Modern Food Microbiology. )4 th Ed.). van Nonstrand Reinhold. New York. Juliana, Ribka. 2007. Resistant Starch Tipe III Dan Tipe IV Pati Singkong (Manihot esculanta Crantz), Suweg (Amorphopallus campanulatus), Dan Ubi Jalar (Ipomea batatas L.) Sebagai Prebiotik. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Kulp, K. 1975. Carbohydrase. Di dalam Geral Reed. Enzymes in Food Processing. Academic Press., New York. Kuntarso, Andal. 2007. Pengembangan Teknologi Pembuatan Low-Fat Fruitty BioYogurt (Lo-Bio-F). Skripsi. Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Kusumaningrum, H.D., Meira A., dan Asep S. 1996. Peningkatan Kadar Vitamin B12 dalam Yoghurt Ubu Jalar dan Kacang Merah Melalui Kombinasi Starter Yoghurt dengan Propionibacterium freudenreichii. J. Ilmu dan Teknologi Pangan 1(1) : 34-39. Mardipana, R. B. 2004. Pengaruh Konsentrasi 3-Chloro-2-Hydroxy Propyl Trymethil Ammonium Chloride (CHPTMA) Dan Suhu Pada Pembuatan Pati Berkation Dengan Menggunakan Pati Singkong (Manihot utilissima). Meyer, L. G. 1982. Food Chemistry. The AVI Publishing Company inc., Westport, Connecticut. Muchtadi, T. R. dan Sugiyono. 1992. Penuntun Praktikum Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Fakultas Teknologi Prtanian, IPB, Bogor Munarso, S. J., D. Muchtadi, D. Fardiaz, R. Syarief. 2004. Perubahan Sifat fisiko Kimia dan Fungsional Tepung Beras Akibat Proses Modifikasi Ikat Silang. J. Penelitian Pasca Panen 1 (1): 22-28 Nuraida, L., D.R. Adawiyah., Subarna, dan S. T. Soekarto. 1994. Pembuatan dan Pengawetan Laru untuk Pembuatan Yoghurt. Fateta, IPB.
Oberman, H. 1985. Fermented Milks. Di dalam B.J.B. Wood (ed). Microbiology of Fermented Foods. Elsevier Appl. Sci. Pub. Ltd., London. Prihatman, Kemal. 2000. Ketela Pohon/Singkong (Manihot utilissima Pohl). Deputi Menegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Jakarta Ray, B. dan Daeschel. 1994. Bacteriocins of starter culture bacteria. Di dalam: Natural Antimicrobial System and Food Preservation. Dillon, V. M. dan R.G. Board (ed). Biddles Ltd., Guildford. Rees, T. J. 1997. Review: The Development of a Novel Antifungal Silage Inoculant. Cranfield University Biotechnology Centre, UK. www.brighton73.freeserve.co.uk. [ 20 februari 2008] Reichelt, J.L. 2007. The Impact of Technical Excellence in Microbiology on the results obtained with Silage Inoculants and Bacterial Biopesticides. Bacterial Fermentation Pty Ltd. www.bacferm.com [5 April 2008] Robinson, R. K. 1999. Yoghurt. Di dalam Robinson, R. K., C. A. Batt, dan P. D. Patel (eds.). 1999. Encyclopedia of Food Microbiology. Academic Press. London. _____________. 1981. Dairy Microbiology. Vol I, Appl. Science. Publ., London. Sadler, G. D., dan Murphy, P. A. pH and Titratable Acidity di dalam Food Analysis Third Edition. Suzane Nielsen (Ed.) Purdue University, West Lafayette, Indiana. Sajilata MG, Singhal RS. 2005. Specialty starches for snack foods. Carbohydrat Polymer, 59, 131–51. Saminen, S., M.A. Deighton., Y. Benno., S.L. Gorbach. 1998. Lactic Acid Bacteria in Health and Disease. Di dalam Salminen dan A. von Wright (eds.). Lactic Acid Bacteria, Microbiology and Fungtional Aspect, 2nd, Revised and Expnaded. Marcell Dekker, Inc., New York Saputera, V.H.A. 2004. Pembuatan Soyghurt Sinbiotik dengan Menggunakan Kultur Campuran Lactobacillus bilgaricus, L. casei galur Shirota dan Bifidobacterium bifidum. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. IPB, Bogor. Schrezenmeier J, De Vrese M (2001). Probiotics, prebiotics and synbiotics – approaching a definition. Am J Clin Nutr 73 (Suppl) 361s-364s Setiawan, Irwan. 2006. Kajian Pengembangan Minuman Yoghurt Di PT. FITS MANDIRI. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor.
Setiawati, Tuti. 2004. Kimia Dasar I. Departemen Kimia Fakultas Matematika dan IPA, IPB. Shi, X., & BeMiller, J. N. (2000). Effect of sulfate and citrate salts on derivatization of amylose and amylopectin during hydroxypropylation of corn starch. Carbohydrate Polymers, 43, 333–336. Silalahi, Jansen., dan Netty Hutagalung. 2002.Komponen–Komponen Bioaktif Dalam Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan. http://www.tempo.co.id/medika/arsip/062002/pus-3.htm . [20 Februari 2008] Singh, J., & Singh, N. (2001). Studies on the morphological, thermal and rheological properties of starch from some Indian potato cultivars. Food Chemistry, 75, 67–77. _______., L. Kaur, O.J. McCarthy. 2006. Factors influencing the physico-chemical, morphological, thermal and rheological properties of some chemically modified starches for food applications. Review. Food Chemistry, 81, 219231 Soekarto, T. S. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Industri Pangan dan Hasil Pertanian. Batara Aksara, Jakarta. Solihati, A. 1995. Isolasi dan Seleksi Bakteri Asam Laktat yang Bersifat Antimikroba dari Sauerkraut. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Stamer, J. R. 1980. The lactic acid bacteria; Microbes of diversity. Food Technology 33 (1) : 60-65. Soegiarto, Lani. 1992. Pengaruh Pra Pengolahan, Penambahan Susu Skim, Dan Pestabil Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Tanah. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB. Surono, I. 2004. Probiotik, Susu Fermentasi, dan Kesehatan. Jakarta: Tri Cipta Karya. Suryono., A. Sudono., M. Sudarwanto., dan A. Apriyantono. 2005. Studi pengaruh penggunaan Bifidobacteria terhadap flavor yoghurt. J. Teknologi dan Industri Pangan 1(16): 62-70 Susanti, I., R. W. Kusumaningtyas., dan F. Illaningtyas. 2007. Uji Sifat Probiotik Bakteri Asam Laktat Sebagai Kandidat Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan 2 (18) : 89-95.
Swinkels, J.J.M. 1985. Sourch of Starch, its Chemistry and Physics. Di dalam G.M.A. Van Beynum and J. A. Roels. 1985. Strach Convention Technology. Marcel Dekker, Inc, New York. Tamime & Robinson.1991.Yoghurt Science and Technology.woodhead Publishing Limited.Cambridge. Teja, Maryanto. 1990. Pengaruh Pengupasan, Penambahan Susu Skim, Dan Gelatin Terhadap Mutu Yoghurt Kacang Merah (Phaseolus vulgaris L.) Skripsi. FATETA, IPB. Tharanathan, R.N. dan S. Mahandevama. 2003. Grain Legumes A Boon to Human Nutrition. Trends in Food Science and Technology. 14 (12): 507-518 Thompson, Donald B. 2007. Resistant Starch. Di dalam Costas G.B dan Marta S. I (eds.) Functinal Food Carbohydrat. CRC Press, New York. Tjokroadikoesoemo, P. S. 1985. HFS dan Industri Kayu Lainnya. Gramedia. Jakarta. Topping, D.L. dan P. M. Clifton. 2001. Short Chain Fatty Acids and Human Colonic Function: Roles of Resistant Starch and Nonstarch Polysacharides. Physiological Reviews. 3 (81), pp.103-64. Usdyana, N.F. 2006. Studi Kelayakan Pendirian Industri Yoghurt. Tesis. Teknologi Industri Pertanian, IPB. Wattanchant, S., Muhammad, K., Hashim, D., & Rahman, R. A. (2003). Effect of crosslinking reagents and hydroxypropylation levels on dual-modified sago starch properties. Food Chemistry, 80,463–471. Wilbrahan, A. C. dan Michael S. Matta. 1992. Terjemahan. Pengantar Kimia Organik dan Hayati. Penerbit ITB, Bandung. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia pustaka umum. Jakarta. Woo, K. S., & Seib, P. A. (1997). Cross-linking of wheat starch and hydroxypropylated wheat starch in alkaline slurry with sodium trimetaphosphate. Carbohydrate Polymers, 33, 263–271. Yuguchi, H., T. Goto dan S. Okonogi. 1992. Feremented milk, Lactic Drinks and Intestinal Mikroflora. Di dalam Nakazawa, Y. Dan A. Hosono (eds.) Function of Fermented Milk: Chalage for The Health Science. Elsevier Applied Science, New York. ________________________________. 1992. The Nutritional and Physiological value of Fermented Milk and Lactic Drinks. Di dalam: Funtion of Fermented Milk. Y. Nakazawa dan A. Hasono (Eds.), Elsevier, England, p. 217-245.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Viabilitas BAL
BAL
S. thermophilus
L. bulgaricus
L. plantarum
Jumlah Koloni Pada Tingkat
Jumlah BAL
Pengenceran
CFU/ml
10-5
10-6
10-7
10-8
TBUD
241
22
6
TBUD
213
31
6
TBUD
TBUD
121
21
TBUD
TBUD
151
30
TBUD
TBUD
TBUD
97
TBUD
TBUD
TBUD
95
2.31 x 108 1.4 x 109 9.6 x 109
Lampiran 2. Viabilitas BAL dalam larutan 2.5% (b/v) PSM
Jumlah BAL
Awal
Jumlah Koloni Setelah Inkubasi 100
10-1
10-2
10-3
Jumlah BAL
10-4
(CFU/ml) S. thermophilus
L. bulgaricus
L. plantarum
1.1 x 103 6.6 x 103 4.57 x 104
Akhir (CFU/ml)
TBUD
205
20
6
-
TBUD
183
32
4
-
TBUD
TBUD
365
61
-
TBUD
TBUD
391
52
-
TBUD
TBUD
304
46
-
TBUD
TBUD
300
47
-
2.04 x 103 5.70 x 104 4.65 x 104
Lampiran 3. Analisis statistik viabilitas BAL dalam pada larutan 2.5% (b/v) PSM
Paired T- tes for sebelum – sesudah Perlakuan Mean Sebelum Inkubasi 3,81000 Setelah Inkubasi 4,24667 Difference -0,436667 Hasil : P-Value = 0.231 (P>0.05)
StDev 0,76505 0,81242 0,444110
SE Mean 0,44170 0,46905 0,256407
Lampiran 4. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap pH yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: pH Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 244.292a 1.928 .018 .009 244.302
df 7 3 3 9 16
Mean Square 34.899 .643 .006 .001
F 33570.090 618.042 5.697
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets pH Duncan
a,b
Subset Sampel St:Lp St:Lb:Lp St:Lb Lp Sig.
N 4 4 4 4
1 3.6675 3.7025 3.7050 .150
2
4.4925 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .001. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .000 .018
Lampiran 5. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap viskositas yoghurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Viskositas Source Model Sampel Ulangan Error Total
Type III Sum of Squares 10836500.0a 401100.000 2500.000 2700.000 10839200.0
df
Mean Square 1548071.429 133700.000 833.333 300.000
7 3 3 9 16
F 5160.238 445.667 2.778
Sig. .000 .000 .103
a. R Squared = 1.000 (Adjusted R Squared = 1.000)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Viskositas Duncan
a,b
Sampel Lp St:Lp St:Lb St:Lb:Lp Sig.
N
Subset 2
1 4 4 4 4
840.00
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 300.000. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = .05.
3
540.00
1.000
920.00 930.00 .435
Lampiran 6. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap warna yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Type III Sum Source of Squares Model 2147.702 a Panelis 30.740 Sampel 1.952 Error 23.298 Total 2171.000
df 29 25 3 75 104
Mean Square 74.059 1.230 .651 .311
F 238.406 3.958 2.095
Sig. .000 .000 .108
a. R Squared = .989 (Adjusted R Squared = .985)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Skor Duncan
a,b
Subset Sampel St:Lb Lp St:Lb:Lp St:Lp Sig.
N
1 26 26 26 26
2 4.31 4.46 4.62 .063
4.46 4.62 4.65 .246
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .311. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 7. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap aroma yoghurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 1667.000a 37.385 29.000 69.000 1736.000
df 29 25 3 75 104
Mean Square 57.483 1.495 9.667 .920
F 62.481 1.625 10.507
a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Skor Duncan
a,b
Subset Sampel Lp St:Lp St:Lb St:Lb:Lp Sig.
N
1 26 26 26 26
2 3.04
1.000
4.00 4.31 4.35 .225
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .920. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .056 .000
Lampiran 8. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap rasa yoghurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 1102.654a 37.115 56.154 45.346 1148.000
df 29 25 3 75 104
Mean Square 38.023 1.485 18.718 .605
F 62.887 2.455 30.958
a. R Squared = .960 (Adjusted R Squared = .945)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets
Skor Duncan
a,b
Sampel Lp St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Sig.
N
Subset 2
1 26 26 26 26
3
1.92 3.23 3.38 1.000
.478
3.92 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .605. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b. Alpha = .05.
Sig. .000 .002 .000
Lampiran 9. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap mouthfeel yoghurt
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Corrected Model Intercept Panelis Sampel Error Total Corrected Total
Type III Sum of Squares 49.500a 1184.625 43.625 5.875 58.875 1293.000 108.375
df 28 1 25 3 75 104 103
Mean Square 1.768 1184.625 1.745 1.958 .785
F 2.252 1509.076 2.223 2.495
a. R Squared = .457 (Adjusted R Squared = .254)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Skor Duncan
a,b
Subset Sampel Lp St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Sig.
N
1 26 26 26 26
2 3.04 3.31 3.46 .108
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .785. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b. Alpha = .05.
3.31 3.46 3.69 .144
Sig. .003 .000 .004 .066
Lampiran 10. Analisis statistik pengaruh kombinasi BAL terhadap skor kesukaan kekentalan yoghurt Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: Skor Source Model Panelis Sampel Error Total
Type III Sum of Squares 1429.954a 49.060 10.642 44.296 1474.250
df 29 25 3 75 104
Mean Square 49.309 1.962 3.547 .591
F 83.488 3.323 6.006
Sig. .000 .000 .001
a. R Squared = .970 (Adjusted R Squared = .958)
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Skor Duncan
a,b
Subset Sampel Lp St:Lb St:Lp St:Lb:Lp Sig.
N
1 26 26 26 26
2 3.08
1.000
3.79 3.81 3.85 .801
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .591. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 26.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 11. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap viskositas formulasi yoghurt
Analysis of Variance for Viskositas (α= 0.05) Source F
P
PSM
17.57
0.006
Susu skim
6.50
0.031
PSM*susu skim
0.57
0.591
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Viskositas Duncan
a,b
Subset Sampel A1B1 A1B2 A2B1 A1B3 A2B2 A2B3 Sig.
N 4 4 4 4 4 4
1 930.00
2
3
5
6
2100.00 2550.00 2700.00 2900.00 1.000
1.000
1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = 6222.222. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = .05.
4
1.000
1.000
3600.00 1.000
Lampiran 12. Pengaruh konsentrasi susu skim dan PSM terhadap nilai total asam tertitrasi (TAT)
Analysis of Variance for TAT (α= 0.05) Source
F
P
PSM
0.57
0.4602
Susu skim
32.83
0.0001
PSM*susu skim
0.85
0.4447
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets TAT Duncan Sampel A1B1 A2B1 A1B2 A2B2 A2B3 A1B3 Sig.
a,b
N 4 4 4 4 4 4
1 1.6725 1.6775
Subset 2
2.0050 2.1450
.957
.146
3
2.1450 2.2875 2.3125 .101
Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .017. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 4.000. b. Alpha = .05.
Lampiran 13. Pengaruh formulasi susu skim dan PSM terhadap nilai pH
Analysis of Variance for pH (α= 0.05) Source
F
P
PSM
65.46
0.000
Susu skim
163.07
0.000
PSM*susu skim
51.43
0.000
Post Hoc Tests Homogeneous Subsets Duncan
ab
Sample
Subset
N 1
A2B1
2
3.70000
A1BI
2
3.70500
A1B2
3
3.73000
A1B3
2
3.7600
A1B3
2
A2B3
2
3
3.87000 4.2800
Lampiran 14. Pengaruh Kombinasi BAL dan Konsentrasi PSM terhadap jumlah BAL yoghurt
Jumlah Koloni
Formulasi
A1C1
A2C1
A1C2
A2C2
A1C3
A2C3
Kontrol
Jumlah BAL
Log BAL
10-5
10-6
10-7
10-8
(CFU/ml)
(CFU/ml)
TBUD
301
57
9
5.00 x 108
8.70
TBUD TBUD
43
3
TBUD TBUD
79
9
6.60 x 108
8.82
TBUD TBUD
53
11
TBUD TBUD
45
2
5.90 x 108
8.77
TBUD
340
73
3
TBUD
267
42
5
2.82 x 108
8.45
TBUD
249
48
3
TBUD TBUD
30
11
3.65 x 108
8.56
TBUD TBUD
43
11
TBUD TBUD
34
8
3.30 x 108
8.52
TBUD TBUD
32
3
TBUD TBUD
53
11
5.90 x 108
8.77
TBUD TBUD
65
9
Lampiran 15. Uji statistik pengaruh kombinasi kultur BAL dan pari singkong modifikasi terhadap total BAL
Analysis of Variance for pH (α= 0.05) Source
F
P
1377.00
0.000
Kombinasi kultur
95.47
0.000
PSM*susu skim
0.18
0.842
PSM
Lampiran 16. Total Kapang-Khamir yoghurt terbaik
Ulangan
Jumlah Koloni
Jumlah BAL
10-1
10-2
10-3
10-4
(CFU/ml)
1a
-
-
-
-
<1.5 x 101
b
-
-
-
-
2a
-
-
-
-
b
-
-
-
-
<1.5 x 101
Lampiran 17. Total Koliform, E. Coli, dan Salmonella
Analisis
Koliform
E. coli
Salmonella (/100g)
Tingkat Pengenceran
Konfirmasi Jumlah Salmonella
101
102
103
104
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
---
Negatif
---
---
---
---
Negatif
EMBA
APM/g SCB BSA <3
+
-
-
-
<3
Negatif