SKRIPSI
PENGARUH OPINI PUBLIK TERHADAP PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA
OLEH : ANDY PUTRA KUSUMA B 111 09 506
BAGIAN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
HALAMAN JUDUL
PENGARUH OPINI PUBLIK TERHADAP PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA
OLEH : ANDY PUTRA KUSUMA B 111 09 506
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Tugas Akhir dalam Rangka Penyelesaian Studi Sarjana dalam Bagian Hukum Masyarakat dan Pembangunan Program Studi Ilmu Hukum
BAGIAN HUKUM MASYARAKAT DAN PEMBANGUNAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013
i
ii
iii
PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI Diterangkan bahwa Skripsi mahasiswa : Nama
: Andy Putra Kusuma
Nomor Pokok
: B 111 09 506
Program
: Ilmu Hukum
Bagian
: Hukum Masyarakat dan Pembangunan
Judul
: “Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana”.
Menenuhi syarat untuk diajukan dalam ujian skripsi sebagai tugas akhir Program Studi.
Makassar, 05 Agustus 2013 A.n Dekan Wakil Dekan Bidang Akademik,
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H., M.H. NIP. 19630419 198903 1 00
iv
ABSTRAK
ANDY PUTRA KUSUMA (B11109506), Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana dibimbing oleh Musakkir sebagai pembimbing I dan Wiwie Heryani sebagai pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana dan Untuk mengetahui upaya dan sikap penegak hukum dalam mengakomodasi opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana Penelitian ini dilakukan di kota Makassar, dengan memilih tempat penelitian Polrestabes Makassar, Kejaksaan Negeri Makassar dan Pengadilan Negeri Makassar, Bertujuan untuk mendapatkan data primer dan data sekunder. Data diperoleh dengan menggunakan teknik pengumpulan data melalui wawancara, kuisioner dan dokumen. Berdasarkan analisis terhadap data dan fakta tersebut, maka penulis berkesimpulan antara lain: 1) Bentuk opini publik terhadap proses penegakan hukum di kota Makassar terbagi atas dua kategori yaitu: opini publik langsung dan opini publik tidak langsung, adapun pengaruh positifnya terdapat pada tataran kecermatan dan kehati-hatian dalam memahami fakta hukum dan nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat dan juga sangat memotivasi penegak hukum dalam menyelesaikan perkara dengan cepat. Pengaruh negatifnya beberapa bentuk penyaluran opini yang diberikan oleh masyarakat terkadang menghambat proses penegakan karena memberikan tekanan terhadap hal-hal yang membantu dalam penuntasan suatu proses penegakan, seperti penekanan secara psikologis terhadap saksi, korban bahkan pelaku. 2) Sebagai upaya dalam mengakomodir opini publik yang timbul Kejaksaan Agung dengan Intruksi Jaksa Agung No. INS-004/J.A/3/1994 telah menggolongkan perkara pidana menjadi dua yakni perkara biasa dan perkara penting. Dalam beberapa undang-undang pidana di luar KUHP juga dicantumkan bentukbentuk peran serta masyarakat yang di dalamnya diatur secara jelas hakhak masyarakat dalam membantu dan memberikan opini terhadap penegakan hukum. Instansi penegak hukum juga memfungsikan Divisi Humas sebagai penerima Opini namun dalam pelaksanaanya penegak hukum masih kurang maksimal dalam merespon opini publik yang ada sehingga menimbulkan aksi-aksi demonstrasi yang dapat merugikan masyarakat dan negara. Abstrak: Pengaruh, Opini Publik, Proses Penegakan Hukum
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah Penulis panjatkan pada Allah SWT atas rahmat dan karuniaNya yang telah memberikan kekuatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana” serta kesabaran dan kesehatan yang merupakan persyaratan untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar. Berbagai
hambatan
dan
kesulitan
penulis
hadapi
selama
penyusunan skripsi ini. Namun berkat bantuan, semangat, dorongan, bimbingan, dan kerjasama dari berbagai pihak sehingga hambatan, kesulitan tersebut dapat teratasi untuk itu perkenankanlah Penulis mengucapkan terimakasih. Terlebih kepada Kedua orangtuaku, Andi Iqbal AT dan Wahyuning Nugroho Yekti yang telah melahirkan, mengasuh, membimbing, memberikan kasih sayang serta perhatian dan membiayai Penulis sampai selesai. Dan untuk saudaraku Putri Devani Kusuma Sari, Dhita Ashary Kusuma dan Aldino Kusuma Nugroho yang selama ini telah membantu penulis baik dengan memberi semangat dan materi yang sangat membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi. Ucapan terima kasih diajukan kepada : 1. Bapak Prof. Dr. dr. Idrus Paturusi, selaku Rektor Universitas Hasanuddin Makassar;
vi
2. Bapak Prof. Dr. Aswanto SH,. MS,. DFM. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar; 3. Bapak Prof. Dr. Musakkir, S.H.,M.H. dan Dr. Wiwie Heryani, S.H.,M.H. selaku Pembimbing I dan Pembimbing II; 4. Prof. Dr. Farida Pattitingi SH., MH,. Selaku Penasihat Akademik atas segala bimbingannya dan perhatiannya yang telah diberikan kepada penulis; 5. Dan kepada Umy Umairah Nisar, S.H. atas pengertiannya dalam penggunaan
waktu
penulis
yang
begitu
banyak
dalam
menyelesaikan penulisan skripsi 6. Untuk
Teman-teman
Hasanuddin
Kelas
Hidayatullah
E
Fakultas
Saifuddin,
Hukum S.H.,
Universitas
Muh.
Fadil
Paramajeng, S.H. , Suhaeni Rosa, S.H., Zaldi Jastikadinata, S.H, Andi Nur Alamsyah, S.H., Iin Fatimah, S.H.,M.H. Yusida Wahyu Rezki, S.H., Fihara Fitriany, S.H., Cindy Astriyd Alifka, S.H., Hartono Tasir Irwanto, S.H., Tisa, S.H., Suryani Risqi Amaliyah , S.H., Kurniadi Saranga, S.H., Alfryanti Alimuddin, S.H.,M.H, Sartono Nur Said, S.H., Ilham, S.H., Hardianto Maspul, S.H., Moh Alikhan, S.H. , ismail, S.H., Andi Dedy Herfiawan, S.H., Aldiwin Yunus, S.H., Vita Zulfitri Haya, S.H., Harni Eka Putri, S.H., dan lain-lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu terima kasih atas kebersamaannya selama ini, terima kasih atas tawanya, terima kasih atas supportnya, karena kalian penulis
vii
mendapatkan pengalaman yang sangat berarti dan berharga selama penulis menempuh studi di fakultas hukum universitas hasanuddin, tetaplah menjadi “Aneh” teman-teman. 7. Teman KKN Gelombang 85 Univesitas Hasanuddin di Kacamatan Banggae Timur khususnya Posko Tande Timur Krisna, Rian, Irzam, Rahma, dan Indah. 8. Seluruh staf akademik yang telah membantu kelancaran akademik penulis 9. Seluruh dosen fakultas hukum universitas hasanuddin khususnya dosen bagian hukummasyarakat dan pembangunan Dan seluruh pihak yang telah membantu hingga terselesaikannya skripsi ini, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Makassar, 23 Agustus 2013
Penulis
viii
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ………………………………………………..….………
i
HALAMAN PERSETUJUAN MENEMPUH UJIAN SKRIPSI ……..……... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….....………..…..…….. iii ABSTRAK ……………………………………………………………….…….. iv KATA PENGANTAR ………………………………………………….……… v DAFTAR ISI ………………………………………………..…...................... vi BAB I PENDAHULUAN ………………………………………….….………
1
A.
Latar Belakang Masalah ….…………………………….…........... 1
B.
Rumusan Masalah ………………………..…..………………….... 8
C.
Tujuan Penelitian ………………………………..……………......... 8
D.
Kegunaan Penelitian …………………………….………...…........ 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………...………………………..…..….... 10 A.
Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum ………………...……….... 10
B.
Opini Publik ……………………………………………….….…..... 16 1.
Pengertian Opini Publik…………………………...……..……. 16
2.
Proses Pembentukan Opini Publik …………….......…...……
17 3.
Kekuatan Opini Publik ………………………….…….…...….. 21
4.
Pengaruh Media Massa, Jejaring Sosial, dan Televisi
ix
terhadap Opini Publik ...........……………...….………...…… 23 Penegakan Hukum ………..……...……..………………….……. 28
C. 1.
Pengertian Penegakan Hukum ………………...………..….. 30
2.
Penegakan Hukum Objektif …………………..…..……...…… 33
3.
Aparatur Penegak Hukum …………………..…...………..…. 35
4.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum…..… 38
5.
Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum ……………………………...…………………………… 51
6.
Peran Etika Profesi Hukum dalam Proses Penegakan Hukum …………………………………………………….…..... 54
BAB III METODE PENELITIAN ...…………………...………….....……… 58 A.
Lokasi Penelitian …………………………..…………………...…. 58
B.
Populasi dan Sampel ..………………………………………..….. 58 1.
Populasi …………………...………………….…….....…….…. 58
2.
Sampel ……………………...…………………………....…….. 58 Jenis dan Sumber Data ……………………………………..……. 59
C. 1.
Jenis Data ………………………..……………..……...………. 59
2.
Sumber Data ..………………………...………...………..…… 59
D.
Teknik Pengumpulan Data .………………..……..……..…...….. 60
E.
Analisis Data…………………………………..……...…..……..…. 60
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………….…..…….… 62
x
A.
Bentuk dan Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan hukum Pidana ………………………………………………….….. 62 1.
Bentuk-Bentuk Penyaluran Opini Publik terhadap Penegak Hukum di Kota Makassar……….....…….………….……….… 62
2.
Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana ………………………...………………...………..…….. 64
B.
Upaya dan Sikap Penegak hukum dalam Mengakomodir opini Publik
……………………………………………………….….……
68 1.
Upaya dan Sikap Penegak hukum dalam Mengakomodir opini Publik ……………………………………………….…………… 69
2.
Profesionalisme Penegak Hukum Dalam Melaksanakan Proses Penegakan
Hukum Pidana ……....……..………… 74
BAB V PENUTUP ………………………………………….……....………… 78 A.
Kesimpulan ………………………..…………….………………… 78
B.
Saran ……………………………...………………………..……… 80
DAFTAR PUSTAKA …………...……………...…………….……...……….. 81 LAMPIRAN
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Norma hukum merupakan salah satu dari norma-norma yang mengatur masyarakat selain norma agama, norma kesusilaan dan norma adat istiadat. Dalam fungsinya sebagai perlindungan kepentingan manusia, hukum mempunyai tujuan menciptakan tatanan masyarakat yang tertib, menciptakan ketertiban dan keseimbangan karena dengan tercapainya ketertiban di dalam masyarakat diharapkan kepentingan manusia akan terlindungi (Sudikno Mertokusumo, 1996:64). Hukum pidana mengatur hubungan antara para individu dengan masyarakatnya sebagai masyarakat, hukum pidana dijalankan untuk kepentingan masyarakatnya dan juga dijalankan dalam hal kepentingan masyarakat itu benar-benar memerlukannya (E Utrecht, 1987:57-58). Negara selaku penguasa berhak menjatuhkan sanksi pidana dan merupakan satu-satunya subyek hukum yang menpunyai hak untuk memidana (ius puniendi) dengan alasan sebagai berikut
(E Utrecht,
1987:178):
1
a.
Tugas
Negara
adalah
melindungi
barang-barang
hukum
(rechsgoederen) secara menggunakan alat-alat sesuai (gepaste middelen). b.
Alat-alat
yang sesuai ini secara sengaja mengacam atau
menjatuhkan penderitaan, dan penderitaan itu cukup keras memaksa yang bersangkutan bertindak layak dan menghindarkan yang bersangkutan melakukan perbuatan yang tidak layak. Kewenangan Negara untuk memberikan sanksi pidana kemudian didelegasikan kepada para penegak hukum yang bekerja untuk melakukan penegakan hukum dalam suatu sistem peradilan pidana. Para penegak hukum ini bekerja dalam koridor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini penting karna sangat erat kaitannya untuk terciptanya kewibawaan hukum dan pencapaian tujuan hukum. Proses penegakan hukum sebagai upaya untuk menjabarkan norma, ide, nilai yang abstrak menjadi sesuatu yang riil dan nyata, memang tidak dapat terlepas dari peran serta masyarakat. Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencari kedamaian di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2008:45). Proses penegakan hukum adalah suatu sistem dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan serta lembaga pemasyarakatan sebagai sub-sub sistem yang dikenal
2
sebagai sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) (Mardjono Reksodiputro, 2007:97). Meskipun demikian, penegakan hukum itu bukanlah sesuatu yang berjalan dan berdiri sendiri, tetapi penegakan hukum di Indonesia mempunyai
hubungan
timbal
balik
yang
sangat
erat
dengan
masyarakatnya. Proses penegakan hukum pidana dianggap berhasil apabila sebagian besar dari laporan dan keluhan masyarakat bahwa mereka telah menjadi korban dari suatu tindak pidana, dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku tindak pidana ke muka sidang pengadilan dan dijatuhi pidana, sehingga masyarakat merasa puas bahwa keadilan telah ditegakkan (Mardjono Reksodiputro, 2007:140). Peradilan
Pidana
sebagai
suatu
sistem
menurut
Romli
Atmasasmita dalam bukunya Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan abolisionisme (1996:17), dapat ditinjau melalui tiga pendekatan
yakni
pendekatan
normatif,
administrasi
dan
sosial.
Pendekatan sosial memandang keempat sub sistem dalam sistem peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan) merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem
sosial
sehingga
masyarakat
secara
keseluruhan
ikut
bertanggungjawab atas keberhasilan atau kegagalan dari keempat sub sistem tersebut dalam menjalankan tugasnya. Sistem yang dipergunakan disini adalah sistem sosial.
3
Pendekatan sosial dalam sistem peradilan pidana tersebut sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Mardjono Reksodiputro. Proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana diakui oleh Mardjono Reksodiputro
(2007:100)
dipengaruhi
oleh
masyarakat
dan
tidak
selamanya bersifat rasional. Hal ini disebabkan karena melibatkan emosi pihak-pihak terlibat dalam proses tersebut. Keberhasilan penyelesaian perkara pidana melalui proses penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana tidak terlepas dari partisipasi atau bantuan masyarakat, mulai dari pemberian laporan, kesaksian dan akhirnya bantuan dalam menerima kembali eks-narapidana. Disini terlihat peranan masyarakat yang cukup besar dalam proses penegakan hukum, karena tanpa partisipasi masyarakat maka akan banyak tindak pidana yang tidak terungkap oleh para penegak hukum yang akhirnya akan berpengaruh juga dalam berjalannya sistem peradilan pidana. Tidak dapat dipungkiri, masyarakat Indonesia saat ini dihadapkan dengan kenyataan-kenyataan dan masalah-masalah sosial termasuk di dalamnya
perkembangan
teknologi
informasi
yang
menimbulkan
perubahan pola pikir di dalam masyarakat. Perubahan tersebut ternyata juga berpengaruh dalam proses penegakan hukum. Masyarakat tidak hanya berperan serta dalam hal pemberian laporan, kesaksian dan penerimaan kembali eks-narapidana, namun lebih dari itu masyarakat menjadi lebih kritis. Partisipasi dan dukungan masyarakat dalam proses penegakan hukum semakin nyata saat rasa keadilan di dalam masyarakat
4
terusik ditambah dengan menurunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap para penegak hukum dalam menangani perkara pidana. Penegakan hukum yang seharusnya memberikan rasa keadilan, menimbulkan rasa jera dan memberikan jaminan kepastian hukum bagi masyarakat pencari keadilan ternyata hanya digunakan sebagai alat bagi penegak hukum untuk menegakkan undang-undang semata-mata dengan mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat, ditambah dengan para penegak
hukum
saat
ini
yang
seakan-akan
penanganan perkara pidana orang atau
mengistimewakan
kalangan tertentu
yang
seharusnya tidak boleh terjadi karena semua orang sama dimata hukum (equality before the law). Oleh karena itu akhirnya masyarakat tidak lagi mempercayai proses penegakan hukum yang dilakukan oleh para penegak hukum. Akibatnya, masyarakat mencari tempat lain untuk mewujudkan keadilan melalui media massa, media elektronik maupun jejaring sosial di dalam dunia maya atau internet sehingga terbentuklah opini publik. Partisipasi masyarakat dalam bentuk opini publik diantaranya dapat terlihat dalam penanganan perkara tindak pidana pencemaran nama baik atas nama Prita Mulyasari maupun perkara H.M. Pujiono Cahyo W alias Syeh Puji yang melakukan pernikahan dengan Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun. Dukungan yang muncul dari berbagai kalangan masyarakat, mulai dari tokoh masyarakat, organisasi masyarakat hingga masyarakat luas, terwujud melalui demonstrasi di instansi para penegak 5
hukum yang terkait dengan proses penegakan hukumnya (kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan), blog internet, maupun melalui jejaring sosial di dunia maya (facebook dan twitter). Dukungan masyarakat tersebut mampu membentuk opini publik di dalam masyarakat bahwa Prita Mulyasari dalam proses penanganan perkaranya telah diperlakukan secara tidak adil oleh para penegak hukum, baik oleh penyidik, penuntut umum maupun oleh hakim. Sedangkan dalam perkara H.M. Pujiono Cahyo W alias Syeh Puji berkembang opini publik yang menyalahkan perbuatan H.M. Pujiono Cahyo W alias Syeh Puji yang menikahi Lutfiana Ulfa, seorang anak dibawah umur dan menghendaki agar H.M. Pujiono Cahyo W alias Syeh Puji diproses secara hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya dan dijatuhi pidana. Opini publik yang terbentuk di dalam masyarakat tersebut, nampaknya telah mempengaruhi proses penegakan hukum yang dialami oleh Prita Mulyasari dan H.M. Pujiono Cahyo W alias Syeh Puji. Masalah penegakan hukum bukan masalah yang sederhana, tidak hanya karena kompleksitas sistem hukum itu sendiri, tetapi juga karena rumitnya jalinan hubungan sistem hukum dengan sistem sosial, politik, ekonomi dan budaya di dalam masyarakat. Penegakan hukum pada dasarnya merupakan variabel yang mempunyai korelasi dengan faktorfaktor lainnya, khususnya faktor manusia yang menjalankan penegakan hukum maupun masyarakat sebagai pencari keadilan.
6
Peraturan perundang-undangan di Indonesia sebenarnya telah membuka peluang keikutsertaan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum tersebut telah diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan diantaranya terdapat dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Selain itu Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana sebagai bentuk kodifikasi hukum pidana yang akan datang juga membuka peluang pengaturan keikutsertaan masyarakat dalam proses penegakan hukum. Namun dalam pelaksanaannya, meskipun para penegak hukum baik penuntut umum maupun hakim sudah berusaha melaksanakan tugas sebaik-baiknya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya masing-masing sesuai dengan undang-undang, masyarakat masih melihat adanya ketidakadilan yang mengakibatkan ketidakpercayaan terhadap hukum dan keadilan. Akhirnya masyarakat ikut berperan serta secara aktif dalam menegakkan keadilan, lebih besar dari apa yang telah ditentukan di dalam undang-undang, melalui pembentukan opini publik demi terwujudnya keadilan yang dirasa tepat oleh masyarakat. Hukum hidup di dalam masyarakat karena hukum dibuat untuk dilaksanakan di dalam masyarakat sebagai tempat bekerjanya hukum itu 7
sendiri. Atas dasar pemikiran inilah penulis menganggap bahwa masyarakat perlu memberikan partisipasi yang lebih besar lagi dalam melaporkan dan mengawasi proses penegakan hukum. Hal ini pula yang melatarbelakangi penulis untuk memilih judul skripsi ini : Pengaruh Opini Publik Terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis uraikan di atas, maka dapat ditarik beberapa masalah yang menarik untuk dikaji, yaitu: 1. Bagaimanakah bentuk dan pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana? 2. Bagaimanakah upaya penegak hukum dalam mengakomodasi opini publik terhadap suatu proses penegakan hukum pidana?
C. Tujuan Penulisan Sebagaimana lazimnya setiap penulisan karya ilmiah tentunya mempunyai beberapa tujuan. Adapun tujuan-tujuan tersebut adalah: 1. Untuk mengetahui bentuk dan pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana. 2. Untuk mengetahui bagaimana upaya penegakan hukum dalam menanggapi opini publik.
8
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan penelitian dalam penulisan ini antara lain: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran dalam memahami kajian tentang pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi atau referensi bagi kalangan akademis dan calon peneliti yang akan melakukan penelitian lanjutan terhadap pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana. 3. Hasil penelitian ini sebagai bahan informasi atau masukan bagi masyarakat dan aparatur penegak hukum dalam mengawasi dan menjalankan tugasnya.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Karakteristik Kajian Sosiologi Hukum Kajian sosiologi hukum adalah suatu kajian yang objeknya fenomena hukum, tetapi menggunakan optik ilmu sosial dan teori-teori sosiologi sehingga sering disalahtafsirkan bukan hanya oleh kalangan nonhukum, melainkan juga dari kalangan hukum sendiri (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:5). Pendekatan yang digunakan dalam sosiologi hukum berbeda dengan pendekatan yang digunakan oleh ilmu hukum lainnya, jadi, meskipun objeknya sama yaitu ilmu hukum, namun karena sudut pandang pendekatan yang digunakan berbeda sehingga berbeda pula penglihatan kita terhadap objek tersebut. Adapun karakteristik kajian sosiologi hukum menurut Satjipto Rahardjo (1986: 310-311), yaitu: 1. Sosiologi hukum adalah ilmu yang mempelajari fenomena hukum yang bertujuan untuk memberikan penjelasan terhadap praktik-praktik hukum. Sosiologi hukum menjelaskan mengapa dan bagaimana praktik-praktik hukum itu terjadi, sebabsebabnya, faktor-faktor yang berpengaruh, latar belakang dan sebagainya. 2. Sosiologi
hukum
(empirical validity)
senantiasa
menguji
kesahihan
empiris
dari suatu peraturan atau pernyataan 10
hukum. Bagaimana kenyataannya peraturan itu, apakah sesuai dengan bunyi atau teks dari peraturan itu. 3. Sosiologi hukum tidak melakukan penilaian terhadap hukum. Tingkah laku yang menaati hukum dan yang menyimpang dari hukum sama-sama merupakan objek pengamatan yang setaraf. Sosiologi hukum tidak menilai antara satu dengan yang lain, perhatian yang utama dari sosiologi hukum hanyalah pada memberikan penjelasan atau gambaran terhadap objek yang dipelajarinya. Pendekatan moral terhadap hukum menegaskan bahwa hukum adalah berdasarkan pada kepercayaan tentang karakter alami manusia (the nature of human being) dan kepercayaan tentang apa yang benar dan apa yang tidak benar. Perhatian terhadap hukum berfokus bahwa hukum harus mengekspresikan suatu moralitas umum (a common morality) yang berdasarkan pada suatu konsensus tentang kesalahan atau kebenaran secara moral. Pendekatan ilmu hukum berpandangan bahwa hukum seharusnya otonom.
Selanjutnya
keabsahan
dari
sebuah
pendekatan
hukum
seharusnya berdasarkan pada kapasitasnya untuk membangkitkan suatu sistem hukum yang saling berkaitan secara logis (kohern) yang dapat diterapkan baik terhadap tindakan-tindakan individual ataupun terhadap kasus-kasus, yang dapat menimbulkan hal yang bermakna ganda. Baik pada pendekatan moral terhadap hukum maupun pendekatan ilmu hukum
11
terhadap hukum, keduanya mempunyai kaitan dengan bagaimana normanorma hukum membuat tindakan-tindakan bermakna dan tertib. pendekatan
ini meskipun
memiliki
perbedaan
meskipun
Kedua keduanya
memfokuskan secara besar pada kandungan dan makna hukumnya. Selanjutnya secara garis besar objek utama kajian sosiologi hukum sebagaimana dikemukakan oleh Achmad Ali dan Wiwie Heryani (2012:1324) sebagai berikut : a. mengkaji hukum dalam wujudnya menurut istilah Donald Black sebagai Government Social Control. Dalam kaitan ini, sosiologi hukum mengkaji hukum sebagai perangkat kaidah khusus yang berlaku serta dibutuhkan guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini hukum dipandang sebagai dasar
rujukan
yang
digunakan
oleh
pemerintah
disaat
pemerintah melakukan pengendalian terhadap perilaku warga masyarakatnya,
yang bertujuan agar keteraturannyadapat
terwujud. Oleh karena itulah, sosiologi hukum mengkaji hukum dalam kaitannya dengan pengendalian sosial dan sanksi eksternal (yaitu, sanksi yang dipaksakan pemerintah melalui alat Negara); b. Lebih lanjut, persoalan pengendalian sosial tersebut, oleh sosiologi hukum dikaji dalam kaitannya dengan sosialisasi, yaitu proses yang berusaha membentuk warga masyarakat sebagai makhluk sosial yang menyadari eksistensi sebagai kaidah sosial
12
yang ada dalam masyarakatnya, mencakup kaidah hukum, kaidah moral, agama, dan kaidah sosial lainnya, dan dengan kesadaran tersebut diharapkan warga masyarakat menaatinya. Berkaitan dengan itu, maka tampaklah bahwa sosiologi cenderung memandang sosialisasi sebagai suatu proses yang mendahului dan menjadi prakondisi, sehingga memungkinkan pengendalian sosial dilaksanakan secara efektif; c. Obyek utama sosiologi hukum lainnya adalah stratifikasi. Perlu diketahui di sini bahwa stratifikasi yang menjadi obyek yang bahasan sosiologi hukum bukanlah stratifikasi hukum, misalnya seperti konsep Hans Kelsen dengan grundnorm teorinya, melainkan stratifikasi yang dapat ditemukan dalam suatu sistem kemasyarakatan. Dalam hal ini dibahas bagaimana dampak adanya stratifikasi sosial terhadap hukum dan pelaksanaan hukum; d. Obyek utama dari kajian sosiologi hukum adalah pembahasan tentang perubahan, dalam hal ini mencakup perubahan hukum dan perubahan masyarakat serta hubungan timbal balik di antara keduanya. Salah satu persepsi penting dalam kajian sosiologi hukum adalah bahwa perubahan yang terjadi dalam masayarakat dapat direkayasa, dalam
arti direncanakan
terlebih
dahulu
oleh
pemerintah
dengan
menggunakan perangkat hukum sebagai alatnya. Dalam kaitan inilah lahir
13
konsep law as tool of social engineering alias hukum sebagai alat untuk mengubah secara sadar masyarakat, atau yang istilah kerennya, hukum sebagai alat rekayasa sosial (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:24). Oleh karena dalam rangka upaya penggunaan hukum sebagai alat rekayasa sosial diupayakan pengoptimalan efektivitas hukum, maka mau tak mau pembicaraan tentang efektivitas hukum pun menjadi salah satu topic pembahasan sosiologi hukum. Jadi, fungsi hukum itu bias pasif, yaitu hanya mempertahankan status quo sebagai alat a tool social control; sebaliknya hukum pun dapat berfungsi sebagai a tool of social engineering tadi (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:24). Pendekatan sosiologis juga mengenai hubungan hukum dengan moral dan logika internal hukum. Fokus utama pendekatan sosiologi hukum menurut Gerald Turke (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:2526) adalah: 1. Pengaruh Hukum terhadap perilaku sosial; 2. Pada
kepercayaan-kepercayaan
yang
dianut
oleh
masyarakat dalam “the social world” mereka; 3. Pada organisasi sosial dan perkembangan sosial serta pranata hukum; 4. Tentang bagaimana hukum itu dibuat; 5. Tentang kondisi-kondisi sosial yang menimbulkan hukum.
14
Selanjutnya karakteristik dan kegunaan sosiologi hukum juga dijelaskan oleh Vilhelm Aubert (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:8), yaitu: “Sosiology of law is here viewed as a branch of general sosiology, just like family sosiology, industrial or medical sosiology. It should not be overlooked, however, that sosiology legitimately may also be viewed as auxiliary of legal studies, an aid in executing the tasks of the legal profession. Sosiological analyses of phenomena which are regulated by law, may aid legislators or even the courts in making decisions. Quite important is the critical function of sociology of law, as an aid in enhancing the legal profession’s awareness of its own function in society. …Sosiology is concerned with values, with the preferences and evaluations that underlie basic structural agrements in a society”. Vilhelm Aubert menyatakan bahwa sosiologi hukum memang merupakan cabang dari sosiologi umum. Sosiologi juga dapat dipandang sebagai suatu alat bantu studi hukum dalam melaksanakan tugas-tugas profesi hukum dengan analisis sosiologisnya tentang fenomena-fenomena hukum. Fungsi kritis dari sosiologi hukum juga sangat membantu meningkatkan kesadaran para penegak hukum dalam menjalankan fungsi-fungsi kemasyarakatannya. Jadi, sosiologi hukum bukanlah sosiologi ditambah hukum. Itulah sebabnya sehingga pakar sosiologi hukum adalah seorang yuris dan bukan seorang sosiolog. Tidak lain karena seorang sosiolog hukum pertama-tama harus mampu membaca, mengenal dan memahami, berbagai fenomena hukum sebagai objek kajiannya. Namun setelah itu, ia tidak menggunakan pendekatan ilmu hukum (dogmatik) untuk mengkaji
15
dan menganalisis fenomena hukum tadi, tetapi ia melepaskan diri ke luar dan menggunakan pendekatan ilmu sosial dari luar (Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012:12).
B. Opini Publik Opini publik merupakan salah satu kekuatan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung, dapat menentukan kehidupan seharihari suatu bangsa. Opini publik juga merupakan suatu penghubung antara kehidupan sosial dan kehidupan politik manusia, juga antara kehidupan sebagai mahluk sosial dan sebagai individu warga negara. Opini publik banyak digunakan oleh media massa maupun kaum politisi dan pemerintah untuk memperoleh dukungan masyarakat terhadap program kerjanya, begitu pula sebaliknya. Masyarakat juga sering kali menggunakan opini publik yang disalurkan melalui aksi ataupun media massa untuk mengawasi serta menuntut keadilan kepada pemerintah. Oleh karena itu, pemahaman akan opini publik menjadi penting bagi banyak pihak yang berkepentingan.
1. Pengertian Opini Publik Istilah opini publik mengacu pada pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh individu atau kelompok. Istilah opini publik sering digunakan untuk menunjuk ke pendapat-pendapat kolektif sejumlah orang (Santoso Sastropoetro, 1990:41). Menurut Helena Olii (2011:21), opini
16
adalah pernyataan tentang sikap mengenai masalah tertentu yang bersifat controversial. Sedangkan, publik adalah sejumlah orang yang mempunyai minat, kepentingan, atau kegemaran yang sama. Publik melakukan interaksi secara tidak langsung melalui alat-alat komunikasi, pembicaraan pribadi yang berantai, desas-desus, surat kabar, radio, televisi dan media sosial. Alat-alat penghubung ini memungkinkan publik mempunyai pengikut yang lebih luas dan lebih besar jumlahnya. Menurut Wiliam Albiq (Santoso Sastropoetro, 1990:42), opini publik adalah jumlah dari pendapat individu-individu yang diperoleh melalui perdebatan dan opini publik merupakan hasil interaksi antar individu dalam suatu publik. Sedangkan menurut Helena Olii (2011:154), opini publik adalah sekumpulan pandangan individu terhadap isu yang sama, yang berhubungan dengan arah opini, pengukuran intensitas, stabilitas, dukungan informasi, dan dukungan sosial.
2. Proses Pembentukan Opini Publik Bernard Hennessy (1990:4-8) dalam buku Pendapat Umum, mengemukakan lima faktor munculnya pendapat umum (opini publik): a. ada issue (presence of an issue). Harus terdapat konsensus yang sesungguhnya, opini publik berkumpul di sekitar issue tertentu. Isu dapat didefinisikan sebagai situasi kontemporer yang mungkin tidak terdapat
kesapakatan,
paling
tidak
ada
unsur
kontroversi
terkandung di dalamnya, dan isu mengandung konflik kontemporer;
17
b. Ciri publik (nature of public). Harus ada kelompok yang dikenal dan berkepentingan dengan persoalan itu; c. Pilihan yang sulit (complex of preferences). Faktor ini mengacu ke totalitas opini para anggota masyarakat tentang suatu isu; d. Pernyataan opini (expression of opinion). Berbagai pernyataan bertumpuk
di
sekitar
isu
tertentu.
Pernyataan
biasanya
disampaikan melalui kata-kata yang diucapkan atau dicetak dan sewaktu-waktu melalui gerak-gerik, kepalan tinju, lambaian tangan, dan tarikan nafas panjang. Doop berbicara mengenai opini publik „internal‟ dan „tersembunyi‟. Apabila publik tidak berkenan dengan isu tertentu, opini „tidak diungkapkan‟, itulah opini publik yang internal. Mengenai opini publik yang tersembunyi, Doop mengemukakan opini ini mengacu ke sikap rakyat mengenai isu tertentu yang tidak menggugah atau mempengaruhi perilakunya (Bernard Hennessy,1990:4-8). e. Jumlah orang yang terlibat (number of person involved). Opini publik mensyaratkan besarnya (size) masyarakat yang menaruh pengertian terhadap isu tertentu. Definisi itu mempertanyakan secara baik sekali berapa jumlah itu dan merangkumnya ke dalam ungkapan „sejumlah orang penting‟. Definisi itu mengesampingkan isu-isu kecil yang terkait dengan pernyataan-pernyataan individu yang tidak begitu penting.
18
Proses pembentukan opini dalam setiap kasus mungkin cepat, lambat, ditangguhkan. George Carslake Thompson, yang dikutip oleh Santoso
Sastropoetro
(1990:106-107),
menyatakan
ketika
publik
menghadapi isu, maka timbul perbedaan opini di antara mereka. Perbedaan opini muncul karena: a. Perbedaan pandangan terhadap fakta; b. Perbedaan perkiraan tentang cara-cara terbaik untuk menghadapi tujuan; dan c. Perbedaan motif untuk mencapai tujuan. Opini publik dapat dikaji dari berbagai segi. Ada empat segi untuk mengkajinya: a. Difusi, yaitu apakah opini yang timbul merupakan suara terbanyak atau hanya suara golongan tertentu; b. Persistence, yaitu berapa lama berkangsungnya isu tertentu; c. Intensitas, yaitu seberapa kuat dampak dari isu tertentu; dan d. Reasonableness, yaitu seberapa kuat alasan kemunculan isu tersebut. Pembentukan opini publik dimulai dari tahap pembicaraan, secara umum terdapat tiga tahap pembicaraan (Helena Olii, 2011:49), yaitu: Tahap I
: Pada tahap ini, masukan masih semrawut. Ada sebagian ilmuwan
menyebutkan sebagai stage of brain storming.
Ferdinad Tonnies
menyebutnya
sebagai
luftartigen
position atau sebagai angin.
19
Tahap II : Pada tahap ini, pembicaraan mulai terarah, mulai membentuk opini yang jelas dan menyatu. Tahap ini oleh sebagian ilmuwan
disebut
sebagai
the
stage
of
consolidation. Ferdinand Tonnies tahap ini menyebutnya fleissigen position. Tahap III : para ilmuwan menyebut tahap ini sebagai the solid stage. Ferdinand Tonnies menyebutnya sebagai festigen position. Setelah
berada
di
tahap
ketiga,
hasil
pembicaraan
tidak
dipertentangkan lagi oleh kelompok atau masyarakat yang hadir dalam pembicaraan. Opini yang telah dinyatakan tidak ditentang lagi, dan itulah yang disebut sebagai opini publik. Contoh-contoh di atas terbukti selaras dengan defenisi Leo Bogart (Helena Olii, 2011:49) yang menyatakan opini publik tidak timbul dari persetujuan, tetapi dari pertentangan pendapat mengenai nilai-nilai. Mereka
yang
menyatakan
„pro‟
dan
„kontra‟
masing-masing
mengemukakan penilaian dan pendapatnya serta mengemukakan fakta, prinsip, harapan, ataupun perasaan. Dengan tidak disadari masyarakat terlibat ke proses pembentukan opini publik.
3. Kekuatan Opini Publik Opini publik atau pendapat publik yang merupakan kesatuan peryataan tentang isu yang bersifat kontrofersial adalah bagian dari
20
penilaian sosial. Karena itu, opini publik memiliki beberapa kekuatan yang perlu diperhatikan (Helena Olii, 2011:52-54) : a. Opini publik dapat menjadi hukuman sosial Opini publik dapat membuat orang atau sekelompok orang malu, merasa dikucilkan, merasa dijauhi dan merasa rendah diri. Contoh: 1. Pak Harto pernah disebut sebagai raja KKN. Tanpa dihukum pun pak harto secara psikologis mendapat tekanan. Buktinya, pada saat akan diadili, Pak Harto selalu sakit. 2. Banyak pejabat tinggi yang tersangkut tuduhan korupsi mengalami rasa malu. Anak-anak dan keluarga besarnya juga terkena imbas dari tuduhan tersebut. Ruang gerak mereka menjadi terbatas. Semua mata memandang mereka dengan sinis setiap mereka hadir dalam sebuah acara. Biasanya, mereka menghindari berada di tengah-tengah orang banyak. 3. Seorang gadis yang melakukan pergaulan bebas dengan pacarnya merasa dikucilkan di lingkungannya. b. Opini publik dapat mendukung keberlangsungan berlakunya norma Contoh norma adalah kesopan-santunan antara yang muda dengan yang lebih tua, antara kalangan masyarakat, serta dalam norma hukum. 1. Perilaku norma dalam keluarga. Banyak anak tidak menghargai orang tuanya atau orang yang lebih tua.
21
2. Perilaku
norma
dalam
masyarakat.
Ketika seseorang
atau
kelompok melakukan hal-hal yang tabu atau kurang lazim dalam lingkungan masyarakat seperti „kumpul kebo‟ dan mabuk-mabukan. 3. Perilaku norma hukum. Kelazimannya, hukum itu ditegakkan sesuai dengan aturan yang ada dan ditegakkan dengan cara tidak melawan hukum yang berlaku. Tetapi banyak oknum penegak hukum yang melakukan kekerasan yang tidak perlu dalam proses penegakannya. Semua tindakan ini terjadi karena tidak ada yang melarang, memperingatkan, atau yang menindaknya sebagai hukuman. Jika dibiarkan, semua tindakan ini dianggap benar dan wajar. Jika opini publik menyatakan semua tindakan ini sebagai hal yang negatif, orang akan terpengaruh dengan opini itu dan berusaha menghindarinya. c. Opini publik dapat mempertahankan eksistensi lembaga dan juga dapat menghancurkan lembaga Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah salah satu lembaga yang melakukan rekonstruksi ulang atas paradigmanya karena pengaruh opini publik. Selama ini, lembaga (yang dahulu bernama ABRI) ini sudah terlalu jauh dibidang politik. Tentara menjadi kurang berkonsentrasi kepada penciptaan keamanan negara. Celakanya, tentara justru melindungi KKN di lembaga lain. Tentara justru membuat masyarakat jadi takut. Ketika reformasi, opini publik terhadap TNI cenderung negatif. Opini publik menuntut agar dwifungsi ABRI di hapus, wakil mereka di MPR
22
dikurang bahkan akhirnya dihapuskan. TNI tidak tinggal diam. TNI menanggapi
opini
publik
itu
dengan
rekonstruksi
ulang
atas
paradigmanya. TNI kembali berkonsentrasi ke pengamanan negara. Opini publik juga menuntut agar Kepolisian independen. Selama ini lembaga Kepolisian merupakan bagian dari TNI. Sebagai tanggapan atas opini publik itu, Kepolisian memisahkan diri dari TNI dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden (http://mediaindonesia.com. Diakses pada tanggal 25-Maret-2013). Dua
contoh
tersebut
menunjukkan
opini
publik
mampu
mempertahankan atau menghancurkan lembaga. d. Opini publik dapat mempertahankan atau menghancurkan kebudayaan Opini publik pernah menyuarakan kekhawatirannya terhadap punahnya sejumlah kesenian yang dianggap sebagai budaya asli Indonesia. Sebagai tanggapan dari opini publik ini RRI Jakarta menyelengarakan lomba keroncong yang diikuti oleh pria dan wanita lalu. Langkah
ini
diikuti
pula
oleh
RRI
dari
berbagai
daerah
(http://mediaindonesia.com. Diakses pada tanggal 25-Maret-2013).
4.
Pengaruh Media Massa, Jejaring Sosial, dan Televisi terhadap Opini Publik Selama ini kita menyaksikan berkembangnya opini publik karena
peran dari komunikasi massa. Masalah sekecil apapun bisa cepat berkembang menjadi opini publik karena media massa, media sosial, dan
23
televisi. Media-media tersebut saling berebut mengekspos “objek yang dijadikan isu”. Media tersebut menampilkan para pengamat atau pakar yang mempunyai berbagai argumentasi sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka kuasai. Para pengamat atau pakar mengadakan pertemuan untuk membicarakan objek yang sama. Kemudian lahirlah suatu diskusi yang mengarah pada satu pandangan tertentu. Masyarakat yang mengikuti siaran media tersebut secara otomatis mengikuti pandangan yang sama dengan pandangan para pengamat. a. Pengaruh Media Massa terhadap Opini Publik 1. Pengaruh pada Bidang Politik Menurut Bernard Hennessy (1990:206) salah satu yang diperbuat media massa sebenarnya adalah mempengaruhi keputusan politik dengan memberikan atau tidak memberikan publikasi atas isu tertentu kepada para calon dan pembuat kebijakan. Media massa, terutama surat kabar, mempublikasikan isu tertentu tidak hanya melalui pemberitaan, tetapi juga melalui “kolom editorial”. Kolom tersebut dapat membantu sejumlah orang, terutama pembuat kebijakan memahami isu tertentu. Karena mampu mencerminkan arah opini publik, para pembuat kebijakan biasanya mengikuti uraian kolom editorial surat kabar tertentu yang berpengaruh besar di masyarakat. 2. Pengaruh pada Kehidupan Sehari-hari Masyarakat Kebanyakan konsumen media massa tidak menghendaki atau tidak menghargai adanya pemberitaan di bidang politik. Demikian pula,
24
kebanyakan media massa tidak terlalu bersifat politik, mereka hanya pada tingkat tertentu menyiarkan hal-hal yang bermuatan politik. Media massa tersebut cenderung mengikuti keinginan khalayak yang lebih banyak dan yang lebih menguntungkan bagi kehidupan medianya (Helena Olii, 2011:68). Seperti yang kita ketahui, media massa memberikan layanan kepada masyarakat berupa : a) Hiburan; b) Petunjuk dan pemberi arah bagi kehidupan sehari-hari; c) Sebagai sumber informasi dan opini tentang berbagai peristiwa dalam masyarakat. b. Pengaruh Media Sosial dan Televisi terhadap Masyarakat Media sosial dan media elektronik, baik internet maupun televisi, dapat memberikan dampak positif dan negatif terhadap masyarakat. Dampak positif telah dipaparkan pada subbab sebelumnya. Sekarang akan dijelaskan dampak negatifnya. 1. Pengaruh Televisi di Amerika Serikat Pada negara-negara maju seperti amerika, pada sekitar tahun 60an, masyarakat mengeluhkan adanya banyak dampak negatif secara sosial dan politik yang ditimbulkan oleh media elektronik. Mereka beranggapan bahwa industri televisi tidak peduli terhadap pengaruh itu terhadap masyarakat. Mereka menganggap media elektronik gagal mencerminkan budaya amerika, gagal membimbing dan mengangkat
25
masyarakat melalui program yang bernilai, bahkan program siarannya menumbuhkan perilaku anti-sosial pada anak-anak. Penelitian yang intensif di negara itu memusatkan perhatian kepada acara-acara kekerasan di televisi dan perilaku anak-anak. Ada ratusan penelitiian yang menggunakan teknik penelitian eksperimental maupun survei dengan hipotesis bahwa program TV yang berisi kekerasan meningkatkan sifat agresif dan anti-sosial pada anak-anak (Helena Olii, 2011:69-70). Menurut Leo Bogart (Helena Olii, 2011:70), menonton adegan kekerasan melalui film atau televisi cenderung merangsang jiwa anakanak muda begitu kuat untuk bertindak agresif. 2. Pengaruh Televisi di Indonesia Saat ini bermunculan berbagai stasiun televisi di tingkat nasional. Beberapa propinsi juga berlomba-lomba mambangun stasiun televisi untuk
kepentingan
penyiaaran
daerahnya
masing-masing.
Sejak
kehadirannya di Indonesia, pengaruh tayangan siaran televisi terhadap anak-anak dan remaja sulit dibendung bahkan sampai sekarang. Psikolog anak dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Mayke S. Tedjasaputra dalam buku Helena Olii, Opini publik ( 2011:70-71) mengungkapkan, televisi menjadi bagian hidup anak yang tak terpisahkan bagi anak-anak. Televisi ada di semua tempat atau ruangan di rumah. Tidak selamanya televisi berdampak negatif bagi anak.
26
Menurut Mayke, keunggulan media elektronik dibanding media cetak, antara lain stimulus yang lebih intens dan melibatkan beberapa indera, sehingga lebih memukau. Karena itu media elektronik biasa dimanfaatkan untuk program yang dapat merangsang anak lebih kreatif. Hal ini bahkan sering
kali dimanfaatkan beberapa pihak
untuk
menyebarkan berita atau isu kepada masyarakat luas karena lebih efektif dibandingkan dengan media-media lain. 3. Pengaruh Jejaring Sosial terhadap Opini publik Sejalan dengan perkembangan zaman, Perkembangan jejaring sosial di Indonesia saat ini berkembang sangat pesat. Didukung oleh kemajuan teknologi, sarana media sosial yang kita gunakan bervariasi. Cukup hanya dengan menggenggam handphone atau android, kita sudah dapat mengetahui berbagai hal dalam waktu singkat seakan-akan batas ruang dan waktu seperti tidak ada lagi. Masyarakat saat ini masih mempercayai media massa seperti surat kabar, televisi, dan radio sebagai rujukan dalam mencari berita. Namun demikian jejaring sosial juga sekarang ini juga berperan cukup besar dalam membentuk opini publik. Masyarakat Indonesia yang telah menjadi masyarakat multimedia tidak hanya mengandalkan media massa, namun juga internet dan seluler. Keberadaan jejaring sosial yang mampu menyajikan informasi yang banyak dan beragam mampu membuat pandangan masyarakat terhadap suatu peristiwa berubah. Saat informasi yang disajikan tersebut dilakukan
27
secara berulang-ulang, secara tidak langsung logika masyarakat akan terpengaruh dan nantinya akan mempengaruhi opini yang dilontarkan (Helena Olii, 2011:74). Jejaring
sosial
berkembang
dengan
pesat
karena
dengan
menggunakan jejaring sosial telah menjadikan manusia sebagai diri sendiri dengan kecepatan informasi yang bisa diakses dalam hitungan detik, dimanapun juga. Pengaksesan jejaring sosial dengan begitu mudah oleh semua orang menyebabkan proses komunikasi sebagai awal terbentuknya opini publik berkembang dengan cepat. Disini terlihat adanya pergeseran tempat berkembangnya opini publik yang tadinya hanya melalui media massa sekarang juga melalui jejaring sosial. Facebook, twitter dan blog awalnya hanya jejaring sosial biasa yang
marak
digunakan masyarakat
terutama anak
muda
dalam
berkomunikasi saat ini. Akan tetapi, jejaring sosial tersebut telah berkembang menjadi sebuah media untuk menyampaikan aspirasi atau menanggapi suatu isu yang berkembang di dalam masyarakat.
C. Penegakan Hukum Perkembangan kehidupan masyarakat yang begitu cepat sebagai hasil dan proses pelaksanaan pembangunan di segala bidang kehidupan sosial, politik, ekonomi, keamanan dan budaya telah membawa pula dampak negatif berupa peningkatan kualitas dan kuantitas berbagai
28
macam kejahatan yang sangat merugikan dan meresahkan masyarakat (Soejono, 1996:1). Asas penegakan hukum yang cepat, tepat, sederhana dan biaya ringan, hingga saat ini belum sepenuh mencapai sasaran seperti yang diharapkan masyarakat. Sejalan dengan itu pula masih banyak ditemui sikap dan perilaku aparat penegak hukum yang merugikan masyarakat maupun keluarga korban. Harus diakui juga bahwa banyak anggota masyarakat yang masih sering melakukan hal-hal yang bertentangan dengan ketentuan yang berlaku yaitu mempengaruhi apaatur hukum secara negatif yang bertentangan dengan ketentuan yag berlaku pada proses penegakan hukum
yang
bersangkutan
dengan
diri
pribadi,
keluarga
atau
anaknya/kelompoknya (Soejono, 1996:2). Hukum dapat dilihat bentuknya melalui kaidah-kaidah yang dirumuskan secara tegas. Di dalam kaidah hukum tersebut terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan. Manusia sebagai penegak hukum benar-benar menempati kedudukan yang sangat menentukan. Para penegak hukum seharusnya menegakkan hukum sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah diatur. Oleh karena itu maka menjadi relevan untuk membahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Penegakan hukum selalu melibatkan manusia di dalamnya dan melibatkan juga tingkah laku manusia (Satjipto Rahardjo, 2009:7). Proses-
29
proses penegakan hukum dikaitkan pada tingkah laku manusia yang menjalankannya, sehingga aspek tingkah laku sosial dari penegakan hukum tampak jelas.
1. Pengertian Penegakan Hukum Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup (Soerjono Soekanto, 2008:5). Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam hal lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara (Jimly Asshiddiqie, tt:1). Wayne LaFavre di dalam buku soerjono soekanto (2008:7) juga menjelaskan penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Ditinjau dari sudut objeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas,
30
proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak
melakukan sesuatu dengan
mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum (Jimly Asshiddiqie, tt:1). Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa. Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit. Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan „law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan „penegakan hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah „penegakan peraturan’ dalam arti sempit.
31
Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa inggris sendiri dengan dikembangkannya istilah „the rule of law’ versus „the rule of just law’ atau dalam istilah „the rule of law and not of man’ versus „the rule by law’ yang berarti „the rule of man by law‟. Dalam istilah „the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Karena itu digunakan istilah „the rule of just law’. Dalam istilah „the
rule of law and not of man’
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang. Istilah sebaliknya adalah „the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka. Oleh karena itu maka yang dimaksud dengan penegakan hukum itu kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti formil yang sempit maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
32
2. Penegakan Hukum Objektif Seperti yang tertera pada poin diatas, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan mencakup pengertian hukum formal dan hukum materil. Hukum formal hanya bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum materil mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam bermasyarakat. Dalam bahasanya masing-masing, terkadang orang membedakan antara pengertian penegakan hukum dengan pengertian penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pemgertian „law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas, dalam arti hukum materil, disebut dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa inggris juga terkadang dibedakan antara konsepsi „court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan „court of justice’ atau pengadilan keadilan (Jimly Asshiddiqie, tt:2). Istilah-istilah itu dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim cukup menemukan kebenaran formil saja, sedangkan dalam perkara pidana barulah hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materil yang menyangkut nilai-nilai keadilan yang
harus
diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat tugas
33
hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materil untuk mewujudkan keadilan materil. Kewajiban itu berlaku, baik dalam bidang pidana maupun di hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum seharusnya sejalan dengan pengertian penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama (Jimly Asshiddiqie, tt:2). Setiap norma hukum sudah seharusnya mengandung ketentuan tentang hak-hak dan kewajiban-kewajiban para subjek hukum. Normanorma hukum yang bersifat dasar, tentulah berisi rumusan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang juga dasar dan mendasar. Karena itu, secara akademis, sebenarnya, persoalan hak dan kewajiban asasi manusia memang menyangkut konsepsi yang niscaya ada dalam keseimbangan konsep hukum dan keadilan. Dalam setiap hubungan hukum terkandung di dalamnya dimensi hak dan kewajiban secara paralel dan bersilang. Karena itu, secara akademis, hak asasi manusia mestinya diimbangi dengan kewajiban asasi manusia. Akan tetapi, dalam perkembangan sejarah, issue hak asasi manusia itu sendiri terkait erat dengan persoalan ketidakadilan yang timbul dalam kaitannya dengan persoalan kekuasaan. Dalam sejarah, kekuasaan yang
diorganisasikan ke dalam dan melalui organ-organ
negara, seringkali terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan. Karena itu, sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan
34
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia ini bahkan diadopsikan ke dalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran konstitusionalime inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi dan nomokrasi (negara hukum) dalam sejarah, sehingga perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy) (Jimly Asshiddiqie, tt:2-3).
3. Aparatur penegak Hukum Aparatur penegak hukum mencakup pengertian mengenai institusi penegak hukum dan aparat (orangnya) penegak hukum. Dalam arti sempit, aparatur penegak hukum yang terlibat dalam proses tegaknya hukum itu, dimulai dari saksi, polisi, penasehat hukum, jaksa, hakim, dan petugas sipir pemasyarakatan. Setiap aparat dan aparatur terkait mencakup pula pihak-pihak yang bersangkutan dengan tugas atau perannya yaitu terkait dengan kegiatan pelaporan atau pengaduan, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pembuktian, penjatuhan vonis dan pemberian sanksi, serta upaya pemasyarakatan kembali (resosialisasi) terpidana (Jimly Asshiddiqie, tt:3).
35
Menurut Ilhami Basri (2011:128-129) penegakan hukum sebagai usaha semua kekuatan bangsa (dan ini sekaligus merupakan ralat bahwa hukum hanya boleh ditegakkan oleh golongan-golongan tertentu saja) antara lain : a. Aparatur negara yang memang ditugaskan dan diarahkan untuk itu seperti polisi, hakim, jaksa, yang dalam dunia hukum disebut secara ideal sebagai the three musketeer atau tiga pendekar hukum, yang mempunyai fungsi penegakan dengan sifat yang berbeda-beda akan tetapi bermuara pada terciptanya hukum yang adil, tertib, dan bermanfaat bagi semua manusia. Polisi sudah menjadi pengatur dan pelaksana penegakan hukum di dalam masyarakat, hakim sebagai pemutus hukum yang adil sedangkan jaksa adalah institusi penuntutan negara bagiu para pelanggar hukum yang diajukan polisi; b. Pengacara yang memiliki fungsi advokasi dan mediasi bagi masyarakat baik yang bekerja secara individual ataupun yang bergabung secara kolektif melalui lembaga-lembaga bantuan hukum, yang menjadi penuntun masyarakat yang awam hukum, agar dalam proses peradilan tetap diperlakukan sebagai manusia yang memiliki kehormatan, hak, dan kewajiban, sehingga putusan hakim akan mengacu pada kebenaran, keadilan yang dilandasi penghormatan manusia atas manusia;
36
c. Para eksekutif yang bertebaran di berbagai lahan pengabdian sejak dari pegawai pemerintah yang memiliki beraneka fungsi dan tugas kewajiban sampai kepada para penyelenggara yang memiliki kekuatan politik (legislatif); d. Masyarakat pengguna jasa hukum yang kadang-kadang secara ironi menjadi masyarakat pencari keadilan. Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, menurut Jimly
Asshiddiqie
(tt:3-4)
terdapat
tiga
elemen
penting
yang
mempengaruhi, yaitu: (i)
institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya;
(ii)
budaya kerja
yang terkait
dengan aparatnya,
termasuk
mengenai kesejahteraan aparatnya; dan (iii)
perangkat
peraturan
yang
mendukung
baik
kinerja
kelembagaannya maupun yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum materilnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara bersamaan, sehingga proses penegakan hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata. 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum Seperti yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo (2003:40):
37
“Hukum itu bukanlah merupakan tujuan, tetapi sarana atau alat untuk mencapai tujuan yang sifatnya non-yuridis dan berkembang karena rangsangan dari luar hukum. Faktorfaktor di luar hukum itulah yang membuat hukum itu dinamis”.
Suatu perubahan sosial yang dikehendaki atau direncanakan, selalu berada di bawah pengandalian serta pengawasan pelopor perubahan tersebut. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau social planning (Soerjono Soekanto, 2006:122). Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktorfaktor
yang
mungkin
mempengaruhinya.
Faktor-faktor
tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau dampak negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut (Soerjono Soekato, 2008:8-9): 1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada undang-undang saja; 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
38
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur dari efektivitas penegakan hukum. 1. Faktor Undang-undang Undang-undang dalam arti materil adalah peraturan tertulis yang berlaku umum dan dibuat oleh penguasa Pusat maupun Daerah yang sah (Soerjono Soekato, 2008:11-13). Dengan demikian, maka undang-undang dalam materil (selanjutnya disebut undang-undang) mencakup: a. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warga negara atau suatu golongan tertentu saja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara; b. Peraturan setempat yang berlaku di suatu tempat atau daerah saja. Mengenai berlakunya undang-undang tersebut, terdapat beberapa asas yang tujuannya adalah agar undang-undang tersebut mempunyai dampak positif. Artinya, supaya undang-undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif. Asas-asas tersebut antara lain : 1) Undang-undang tidak berlaku surut; artinya, undang-undang hanya boleh diterapkan pada peristiwa yang disebut di dalam undangundang
tersebut,
serta
terjadi
setelah
undang-undang
itu
dinyatakan berlaku; 2) Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula;
39
3) Undang-undang yang berlaku khusus menyampingkan undangundang yang bersifat umum, apabila pembuatnya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang menyebutkan peristiwa itu, walaupun bagi peristiwa khusus tersebut
dapat
pula
diperlakukan
undang-undang
yang
menyebutkan peristiwa yang lebih luas maupun yang lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut; 4) Undang-undang yang berlaku belakangan, membatalkan undangundang yang berlaku terdahulu. Artinya, undang-undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada undang-undang baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tersebut, akan tetapi makna atau tujuannya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang lama tersebut; 5) Undang-undang tidak dapat diganggu gugat; 6) Undang-undang
merupakan
suatu
sara
untuk
mencapai
kesejahteraan spiritual dan meteriel bagi masyarakat maupun pribadi, melaui pelestarian ataupun pembaharuan (inovasi). Artinya, supaya pembuat undang-undang tidak sewenang-wenang agar undang-undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu dipenihi beberapa syarat tertentu, yakni antara lain : a. Keterbukaan di dalam proses pembuatan undang-undang;
40
b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul tertentu, melalui cara-cara: 1) Penguasa setempat mengundang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan dibuat; 2) Suatu
departemen
tertentu,
mengandung
organisasi-
organisasi tertentu untuk memberikan masukan bagi suatu rancangan undang-undang yang sedang disusun; 3) Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat; 4) Pembentukan kelompok-kelompok penasihat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli-ahli terkemuka. 2. Faktor Penegak Hukum Dalam sub pembahasan ini, yang dimaksudkan dengan penegak hukum akan dibatasi pada kalangan yang secara langsung berkecimpung dalam bidang penegakan hukum yang tidak hanya mencakup law enforcement, akan tetapi juga peace maintenance. Kiranya sudah dapat diduga kalangan tersebut mencakup mereka yang bertugas di bidangbidang
kehakiman,
kejaksaan,
kepolisian,
kepengacaraan,
dan
permasyarakatan. Secara sosiologis, menurut Soerjono Soekanto (208:19-21) setiap penegak hukum tersebut mempunyai kedudukan (status) dan peranan (role). Kedudukan (sosial) merupakan posisi tertentu di dalam struktur kemasyarakatan, yang mungkin tinggi, sedang-sedang saja atau rendah.
41
Oleh karena itu, seseorang yang mempunyai kedudukan tertentu, lazimnya dinamakan pemegang peranan (role occupant). Suatu hak sebenarnya merupakan wewenang untuk berbuat atau tidak berbuat, sedangkan kewajiban adalah beban atau tugas. Suatu peranan tertentu, dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsur sebagai berikut: 1) Peranan yang ideal (ideal role); 2) Peranan yang seharusnya (expected role); 3) Peranan yang dianggap oleh diri sendiri (perceived role); 4) Peranan yang sebenarnya dilakukan (actual role). Kiranya dapat dipahami, bahwa peranan yang ideal dan yang seharusnya datang dari pihak (atau pihak-pihak) lain, sedangkan peranan yang dianggap oleh diri sendiri serta peranan yang sebenarnya dilakukan berasal dari diri pribadi. Sudah tentu bahwa di dalam kenyataannya, peranan-peranan tadi berfungsi apabila seseorang berhubungan dengan pihak lain (disebut role sector) atau dengan beberapa pihak (role set). Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan wargawarga masyarakat lainnya, lazimnya mempunyai beberapa kedudukan dan peranan sekaligus. Dengan demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul konflik (status conflict dan conflict of roles) kalau di dalam kenyataannya terjadi suatu kesenjangan diantara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan atau peranan aktual, maka terjadi suatu kesenjangan peranan (roledistance). 42
Kerangka sosiologis tersebut, akan diterapkan analisis terhadap penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun demikian, di dalam hal ini ruang lingkupnya hanya dibatasi pada peranan yang seharusnya dan peranan aktual. Menurut LaFavre (Soerjono Soekanto, 2008:21-22) di dalam penegakan hukum diskresi sangat penting, oleh karena: a. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia, b. Adanya
kelambat-lambatan
undangan
dengan
untuk
menyesuaikan
perkembangan-perkembangan
perundangdi
dalam
masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian. c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagai mana yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang. d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus. 3. Faktor Sarana atau Fasilitas Tanpa adanya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkin penegakan hukum akan berlangsung dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain, mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak terpenuhi, maka mustahil penegak hukum akan mencapai tujuannya.
43
Kepastian
dan
kecepatan
penanganan
perkara
senantiasa
tergantung pada masukan sumber daya yang diberikan di dalam programprogram pencegahan
dan pemberantasan
kejahatan.
Peningkatan
teknologi deteksi kriminalitas, umpamanya, mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan kecepatan penanganan perkaraperkara pidana. Cara demikian dianggap lebih tepat, oleh karena (Soerjono Soekanto, 2008:43-44) “The punishment rate depends initially on the detection rate; andfor these criminals who operate on the cost-benefit model (and hence are deterrable), a rising detection rate should mean higher “cost” to them, hence a lower propensity to violate. (where the cost-benefit model is inappropriate, this reasoning would not hold”. Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasilitas mempunyai peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum. Tanpa adanya sarana atau fasilitas tersebut tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya untuk sarana atau fasilitas tersebut. Sebaiknya dianuti jalan pikiran Soerjono Soekanto (2008:44) berikut : “A. Yang tidak ada --- diadakan yang baru betul, B. Yang rusak atau salah --- diperbaiki atau dibetulkan, C. Yang kurang --- ditambahi, D. Yang macet --- dilancarkan, E. Yang mundur atau merosot --- dimajukan atau ditingkatkan”.
4. Faktor masyarakat Penegakan hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai kedamaian di dalam masyarakat (Soerjono Soekanto, 2008:45).
44
Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapatpendapat tertentu
mengenai hukum.
Pertama-tama ada pelbagai
pengertian atau arti yang diberikan dalam hukum, yang variasinya adalah (Soerjono Soekanto, 2008:45-46): 1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan; 2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran mengenai kenyataan; 3. Hukum diartikan sebagai norma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang diharapkan; 4. Hukum diartikan sebagai tata hukum (yakni hukum positif tertulis); 5. Hukum diartikan sebagai petugas atau pejabat; 6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau penguasa; 7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan; 8. Hukum diartikan sebagai perilaku teratur yang unik; 9. Hukum diartikan sebagai jalinan nilai; 10. Hukum diartikan sebagai seni. Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan pada hukum, terdapat kecenderungan yang besar terhadap masyarakat, untuk mengartikan hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan petugas. Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut
45
pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses. Warga masyarakat
pada
umumnya
berharap atau
bahkan
menganggap penegak hukum itu sebagai wujud yang “ideal”, yaitu dapat dengan sigap menyelesaikan segala masalah-masalah yang terjadi di dalam masyarakat, bukan hanya masalah kejahatan ataupun pelanggaran hukum saja, tetapi masalah yang menyangkut dengan etika dalam bermasyarakat seperti membantu orang tua menyeberang jalan yang ramai, melerai suai-isteri yang sedang bertengkar, dan lain-lain. Pengharapan tersebut tertuju pada seluruh aparatur penegak hukum terutama polisi tanpa memperhitungkan apakah penegak hukum tersebut baru saja meraih gelar pendidikannya sebagai penegak hukum atau sudah berpengalaman. Di dalam kehidupan sehari-hari aparatur penegak hukum pasti akan menghadapi bermacam-macam manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di antara mereka itu ada yang dengan sendirinya taat pada hukum, ada yang pura-pura menaatinya, ada yang tidak mengacuhkannya sama sekali dan ada pula yang terangterangan melawannya. Yang dengan sendirinya taat, harus diberi perangsang agar dia tetap taat, sehingga dapat dijadikan keteladanan. Akan tetapi timbul masalah dengan mereka yang pura-pura menaati hukum, oleh karena mencari peluang dimana penegak hukum berada dalam keadaan kurang siaga. Masalah lainnya adalah, bagaimana
46
menangani mereka yang tidak mengacuhkan hukum, ataupun yang secara terang-terangan melanggarnya. Di samping adanya kecenderungan yang kuat dari masyarakat dalam mengartikan hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka
ada
golongan-golongan
tertentu
dalam
masyarakat
yang
mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum positif tertulis. Di dalam suatu penelitian yang diadakan terhadap sejumlah mahasiswa di 27 kota di Indonesia pada tahun 1977-1978 diperoleh hasil bahwa 61.07% dari seluruh responden yang berjumlah 1893 mahasiswa mengartikan hukum sebagai tata hukum (Soerjono Soekanto, 2008:55-56). Anggapananggapan semacam itu sebenarnya juga ada pada kalangan hukum umumnya, yaitu terutama yang menduduki posisi-posisi formal tertentu. Hal itu tampak dari program-program resmi yang diterapkan, misalnya, program penyuluhan hukum (tertulis). Salah satu akibat positifnya adalah, kemungkinan bahwa warga masyarakat mempunyai pengetahuan yang pasti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum (yang kemungkinan besar akan berkelanjutan dengan kemungkinan adanya pemahaman-pemahaman tertentu). Kalau masyarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas penggunaan upaya-upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan mereka dengan aturan yang ada. Hal itu semua dinamakan dengan
47
kompetensi hukum yang tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat (Soerjono Soekanto, 2008:56-57): 1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar atau diganggu; 2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi kepentingan-kepentinyannya; 3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik; 4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan kepentingan-kepentingannya; 5. Mempunyai pengalaman-penghalaman kurang baik di dalam proses interaksi dengan pelbagai unsur kalangan hukum formal. Sebagai salah satu akibat negatif dari pandangan atau anggapan bahwa hukum adalah hukum positif tertulis belaka adalah adanya kecenderungan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian hukum. Dengan adanya kecenderungan untuk lebih menekankan pada kepastian hukum belaka, maka akan muncul anggapan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah tercapainya ketertiban. Lebih mementingkan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum, sehingga timbul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat diatur oleh hukum tertulis. Kecenderungan-kecenderungan yang legistis tersebut akan
48
menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang belum tentu akan berlaku secara sosiologis. 5. Faktor Kebudayaan Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat yang sengaja dibedakan, karena di dalam pembahasannya diketengahkan maslah sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materil. Menurut Lawrence M. Friedman (Soerjono Soekanto, 2008:59-60), sebagai suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup, struktur, subtansi, dan kebudayaan. Struktur mencakup wadah ataupun bentuk dari sistem tersebut yang, umpamanya, mencakup tatanan lembaga-lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Subtansi mencakup isi normanorma
hukum
beserta
perumusannya
maupun
acara
untuk
menegakkannya yang berlaku bagi pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai yang merupakan konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa yang dianggap buruk (sehingga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan. Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum menurut Purnadi Purbacaraka (Soerjono Soekanto, 2008:60), adalah sebagai berikut:
49
1. Nilai ketertiban dan nilai keteteraman; 2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keakhlakan; 3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme. Di dalam keadaan sehari-hari, maka nilai ketertiban biasanya disebut dengan keterikatan atau disiplin, sedangkan nilai ketenteraman merupakan
suatu
kebebasan.
Schuyt
pernah
memperinci
ciri-ciri
ketertiban atau keadaan tertib, sebagai berikut (Soerjono Soekanto, 2008:60-61): “1. Voorspelbaarheid (= dapat diperkirakan); 2. cooperative (= kerja sama); 3. controle van geweld (= pengendalian kekerasan ); 4. concistentie (= kesesuaian); 5. duurzaamheid (= langgeng); 6. stabiliteit (= mantap); 7. hierarchic (= berjenjang); 8. conformiteit (= ketaatan); 9. afwezigheid van conflict (= tanpa perselisihan); 10. uniformiteit (= keseragaman); 11. gemeenscappelikjheid (= kebersamaan); 12. regelmaat (= ajeg); 13. bevel (= suruhan); 14. volgorde (= keberurutan); 15. uiterlijke stijl (= corak lahiriah);
50
16. rangsschikking (= tersusun)”. Keadaan tidak tenteram atau tidak bebas akan terjadi, apabila (Soerjono Soekanto, 2008:61-62): “A… ada hambatan dari pihak lain (= dipaksa), B… tidak ada pilihan lain (= terpaksa --- tanpa klesalahan pihak lain), C… karena kesalahan diri sendiri (= takut; merasa tidak pada tempatnya)”. Pasangan nilai konservatisme dan nilai inovatisme; senantiasa berperan di dalam perkembangan hukum, oleh karena di satu pihak ada yang menyatakan bahwa hukum hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahankan “statusquo”. Di lai pihak juga ada anggapan-anggapan yang kuat pula, bahwa hukum juga dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang baru. Keserasian antara kedua nilai tersebut akan menempatkan hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya, oleh karena (Soerjono Soekanto, 2008:67): “law must be stable and yet it can not stand still. Hence all thinking about law has struggled to reconcile the conflicting demands of the need of stability and of the need of change (pound, 1932)”.
5. Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap Penegakan Hukum Jika kita membahas tentang hukum atau sistem hukum, maka di dalamnya senantiasa terdapat tiga komponen, masingmasing:
51
a) Struktur, yaitu keseluruhan isntitusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya, dan lain lain. b) Subtansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan. c) Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berfikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan tentang hukum (Achmad Ali, 2009:203-204). Achmad Ali sendiri menambahkan dua unsur sistem hukum: a) Profesionalisme, yang merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum. b) Kepemimpinan, juga merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum, utamanya kalangan petinggi hukum. Faktor kepemimpinan sangat erat hubungannya dengan kemampuan pemimpin melakukan komunikasi yang optimal, sehingga dia mampu membangun trust atau kepercayaan. Dalam
52
hal ini, menurut Achmad Ali (2009:204-205), komunikasi hukum dan
sosialisasi
hukum
adalah
sebelemen
dari
elemen
kepemimpinan dalam suatu sistem hukum. Dengan kata lain, komunikasi hukum dan sosialisasi hukum merupakan faktor yang sangat esensial bagi efektivitas hukum. Secara umum dikatakan bahwa melalui komunikasi, seorang pemimpin maupun penegak hukum membangun „trust’ dari masyarakatnya. Dalam kaitannya dengan trust dan hukum, masyarakat dapat dibedakan ke dalam: a) Good trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang baik terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe good trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat jarang terjadi. b) Bad trust society, yaitu masyarakat yang memiliki tingkat kepercayaan yang buruk terhadap hukum dan penegakan hukum di negaranya. Dalam masyarakat yang bertipe bad trust society ini, eigenrichting atau street justice atau tindakan main hakim sendiri, sangat sering terjadi. Kaitan
antara
komunikasi
dan
efektivitas
hukum
dapat
digambarkan singkat sebagai berikut: n Komunikasi hukum
melahirkan
Trust (kepercayan)
mewujudkan
Efektivitas hukum
Gambar 1 : Kaitan antara Komunikasi dan Efektivitas Hukum 53
6.
Peran Etika Profesi Hukum dalam Proses Penegakan Hukum Profesi adalah suatu masyarakat moral yang memiliki cita-cita
bersama (E.Y. Kanter, 2001:67). Mereka yang membentuk suatu profesi disatukan juga karena latar pendidikan yang sama dan sama-sama memiliki keahlian yang tertutup bagi orang lain. Dengan demikian profesi menjadi suatu kelompok yang mempunyai kekuasaan tersendiri dan karena itu mempunyai tanggung jawab khusus. Karena memiliki monopoli atas suatu keahlian tertentu, selalu ada bahaya profesi menutup diri bagi orang dari luar dan menjadi suatu kalangan yang sukar ditembus. Bagi klien yang mempergunakan jasa profesi tertentu keadaan seperti itu dapat mengakibatkan kecurigaan jangan-jangan ia dipermainkan. Disinilah kode etik profesi mengimbangi segi negatif profesi ini. Dengan adanya kode etik, kepercayaan masyarakat akan suatu profesi dapat diperkuat, karena setiap klien mempunyai kepastian bahwa kepentingannya
akan
terjamin.
Kode
etik
ibarat
kompas
yang
menunjukkan arah moral bagi suatu profesi dan sekaligus juga menjamin mutu moral profesi itu di mata masyarakat (E.Y. Kanter, 2001:67). Kode etik profesi juga penting sebagai sarana control sosial. Kode etik memberikan semacam kriteria bagi para calon anggota kelompok profesi dan membantu mempertahankan pandangan anggota lama terhadap prinsip profesional yang telah digariskan. Selain itu kode etik profesi penting untuk mencegah pengawasan ataupun campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh
54
masyarakat. Dalam masyarakat, konflik antara pengaturan oleh hukum dengan keinginan para anggota profesi dapat terjadi sewaktu-waktu. Kode etik digunakan untuk menyelenggarakan dan menetapkan patokanpatokan tertentu bagi kalangan profesional itu sendiri. Yang terakhir, kode etik penting untuk pengembangan patokan kehendak yang lebih tinggi. Kode etik ini pada dasarnya adalah sesuatu perilaku yang sudah dianggap benar serta berdasarkan metode prosedur yang benar pula. Kode etik semacam ini sudah banyak dilakukan oleh para anggota sebuah kelompok profesional, dan ini akan terlaksana lebih lancar serta lebih efektif lagi bila kode etik tersebut dirumuskan sedemikian rupa sehingga dapat mendatangkan rasa puas apa pihakpihak yang bersangkutan. Jadi, kode etik profesi pada dasarnya dimaksudkan untuk sedapat mungkin mencegah kesalahpahaman dan konflik (E.Y. Kanter, 2001:68). Para pemangku profesi hukum bertugas memberi kepastian hukum kepada pencari kebenaran dan keadilan. Mereka memberikan bantunan hukum secara profesional kepada klien berdasarkan hukum, keadilan, dan kebenaran. Mereka menjalankan profesinya dengan itikad baik dan ikhlas. Karena itu, profesi hukum merupakan profesi terhormat dan luhur (officium nobile). Profesional hukum yang mencintai profesinya sebagai tugas mulia akan menjunjung tinggi etika profesi, bahwa lewat profesi hukum ia mau mengabdi pada sesama sebagai idealismenya. Ia dihormati dan
55
dipercayai oleh pencari keadilan bukan semata-mata karena bobot dan kualitas
penguasaan
hukum
yang
dimilikinya
atau
kehandalan
kemampuan intelektual dan ilmu hukumnya, melainkan karena ia juga memiliki integritas diri sebagai pengawal konstitusi, hak asasi manusia, kebenaran dan keadilan sebagai komitmen moral profesinya (E.Y. Kanter, 2001:110-111). Namun, profesi luhur dan terhormat ini sudah lama dicemari oleh pelaku profesi hukum itu sendiri. Selama ini profesional hukum lebih memihak pada kekuasaan dan konglomerat dari pada rasa keadilan masyarakat. Aroma korupsi, kolusi, dan nepotisme sangat kental pada penyelenggaraan pengadilan. Akibatnya, profesi hukum dituduh sebagai salah satu white collar crime (penjahat berdasi) atau educated criminals (penjahat terpelajar) (E.Y. Kanter, 2001:111). Di samping itu, para profesi hukum kurang memiliki kesadaran dan kepedulian sosial. Kondisi ini ditandai dengan adanya gejala orang menghianati keyakinannya tentang kewibawaan hukum. Para pakar hukum menjadi orang-orang sewaan yang dibayar mahal oleh kliennya. Pelayanannya hanya ditujukan pada orang-orang tertentu yang berduit. Atas dasar itu kita membutuhkan profesional hukum yang tidak menggunakan klien dan pencari keadilan sebagai objek kegiatan bisnis, tetapi yang bersedia membantu dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk menjunjung tinggi etika profesi dan menghormati hak-hak orang lain yang membutuhkan rasa keadilan didepan hukum.
56
Akan tetapi bobot dan kualitas penguasaan hukum saja tidak cukup, seorang profesional hukum mesti juga bermoral. Dalam artian ini, diperlukan suatu kode etik bagi pengemban profesi hukum. Kode etik dan penguasaan hukum ini bersifat komplementer, saling mengisi dan menguatkan jati diri para profesi hukum. Kode etik berisikan daftar kewajiban khusus bagi setiap anggota profesi hukum untuk mengatur tingkah lakunya dalam masyarakat dan diharapkan akan dipegang teguh oleh seluruh anggota profesi hukum. Karenanya, mengikat para pelaku profesi hukum agar senantiasa menaati kode etik tersebut (E.Y. Kanter, 2001:113). Kode etik menjadi ukuran moralitas anggota profesi hukum, motivasi tindakan, dan ruang lingkup di mana tindakan itu dilakukan. Intinya kode etik ini bertujuan untuk mencegah terjadinya perilaku tidak bermoral pada kalangan profesi hukum. Dengan demikian, kode etik profesi hukum merupakan self regulation (pengaturan diri) bagi profesional hukum dengan tujuan untuk mencegah terjadinya perilaku yang tidak etis. Kode etik menjadi sarana control sosial dalam pelaksanaan profesi sebagai pelayanan dan pengabdian terhadap masyarakat. Kode etik profesi hukum memuat kewajiban
dan
keharusan
untuk
menjalankan
profesinya
secara
bertanggung jawab atas hasil dan dampak dari perbuatannya dan keharusan untuk tidaak melanggar hak-hak orang lain.
57
BAB III METODE PENELITIAN
A.
Lokasi Penelitian Dalam melakukan penelitian sehubungan dengan objek yang akan
diteliti, penulis memilih lokasi penelitian di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi selatan. Penulis memilih lokasi penelitian tersebut atas pertimbangan, bahwa di Kota Makassar hampir setiap hari terdapat komentar-komentar atau opini-opini seputar penegakan hukum baik secara langsung ataupun melalui media massa dan televisi.
B. 1.
Populasi dan Sampel Populasi Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah Aparat penegak Hukum, Organisasi Masyarakat, dan awak Media Cetak dan Elektronik yang ada di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan.
2. Sampel Penarikan sample dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik sampling purposing, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu. Pengambilan unsur sampel atas dasar
58
tujuan tertentu sehingga memenuhi keinginan dan kepentingan peneliti terhadap Aparat Hukum seperti: a. Polisi; b. Jaksa; c. Hakim. Dan terhadap Masyarakat seperti: a. Pengguna jejaring (Facebook, Twitter, Blog, dll); b. Wartawan / media Cetak dan Elektronik; c. Organisasi Masyarakat.
C. 1.
Jenis dan Sumber Data Jenis data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a) Data primer, adalah data yang diperoleh melalui penelitian lapangan dengan pihak – pihak yang terkait sehubungan dengan penelitian ini, b) Data sekunder,
adalah data yang diperoleh melalui studi
kepustakaan, yaitu dengan menelaah literatur, artikel, kode etik profesi, serta peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2.
Sumber data Sumber data dalam penelitian ini adalah:
59
a) Penelitian pustaka (library research), yaitu menelaah berbagai buku kepustakaan, Koran dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan objek penelitian, b) Penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan
mengamati
secara
sistematis
terhadap
fenomena-
fenomena yang diselidiki.
D.
Teknik Pengumpulan Data Adapun tehnik pengumpulan data yang dilakukan adalah: a. Wawancara, yaitu Tanya-jawab secara langsung yang dianggap dapat memberikan keterangan yang diperlukan dalam pembahasan objek penelitian, b. Penyebaran kuesioner daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis. c. Dokumen, yaitu tehnik pengumpulan data dengan cara mencatat dokumen-dokumen yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji.
E.
Analisis Data Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama
proses penelitian baik itu data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menjelaskan, menguraikan, dan menggambarkan sesuai dengan permasalahan yang
60
erat kaitannya dengan penelitian ini pada laporan akhir penelitian dalam bentuk tugas akhir atau skripsi.
61
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.
Bentuk dan Pengaruh opini Publik terhadap Proses Penegakan hukum Pidana. Di dalam sistem demokrasi, masyarakat berhak bahkan wajib
berpolitik untuk menentukan arah suatu negara, membuat undang-undang dan mengawasi pelaksanaan kekuasaan suatu negara. Hukum itu dibentuk sesuai dengan hasil proses politik di dalam masyarakat. Peran serta masyarakat dalam proses pembuatan hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan memang sangat diharapkan agar hukum yang dibuat sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang ada di dalam masyarakat, karna kembali lagi, hukum itu dibuat untuk dilaksanakan di dalam masyarakat. Oleh karena itu peran serta masyarakat baik secara langsung ataupun dalam tataran opini itu sangat dibutuhkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan hukum agar dapat menjadi lebih efektif. 1.
Bentuk-Bentuk Penyaluran Opini Publik terhadap Penegak Hukum di Kota Makassar. Opini publik mengacu pada pendapat-pendapat yang dikeluarkan
oleh individu atau kelompok (Santoso Sastropoetro, 1990:41). Sedangkan menurut Helena Olii (2011:154), opini publik adalah sekumpulan pandangan individu terhadap isu yang sama, yang berhubungan dengan
62
arah opini, pengukuran intensitas, stabilitas, dukungan informasi, dan dukungan sosial. Adapun bentuk-bentuk penyaluran opini publik terhadap proses penegakan hukum di kota Makassar berdasarkan hasil penelitian penulis terbagi atas dua kategori : a. Opini Publik Langsung Opini publik yang penyalurannya bersentuhan langsung dengan instansi penegak hukum, seperti demonstrasi, talk show, bersurat kepada instansi penegak hukum dan penyampaian secara langsung kepada instansi penegak hukum. Kategori opini ini biasanya mendapat respon yang lebih cepat dari aparat penegak hukum karena pemberian opininya langsung terhadap aparat penegak hukum dan pemberi opini yang merupakan masyarakat pencari keadilan juga menuntut respon langsung dari aparat. Saat ini acara talk show sedang menjadi trend di berbagai stasiun televisi,
masing-masing
menghadirkan aparat hukum dan
pemerintahan, pakar hukum, politisi, sampai mahasiswa untuk membahas suatu isu-isu yang menarik perhatian publik. Output dari talk show ini tentunya dapat menjadi bantuan pemikiran dalam menangani suatu masalah tersebut, bahkan tidak sedikit aparat hukum maupun pemerintah yang mengakui dan berterima kasih secara live dalam acara talk show tersebut, salah satunya pada acara Indonesia Lawyers Club.
63
b. Opini Publik Tidak Langsung Opini publik yang penyalurannya melalui suatu media perantara, seperti jejaring sosial, surat kabar, pemberitaan televisi dan spandukspanduk
aspirasi/pernyataan.
Kategori
opini
seperti
ini
biasanya
mendapatkan respon yang bertahap, mulai dari pengkorfimasian opini, penampungan opini-opini, sampai pada penindakan jika opini yang masuk dinyatakan membantu proses penegakan hukum yang ada, akan tetapi pemberian opini tidak langsung khususnya melalui media televisi dapat memberikan pengaruh yang lebih luas, baik terhadap masyarakat maupun terhadap aparat penegak hukum (hasil wawancara dengan Kompol Anwar, 14 Agustus 2013). 2.
Pengaruh Opini Publik terhadap Proses Penegakan Hukum Pidana. Proses penegakan hukum menurut Soerjono Soekanto (2008:5)
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu faktor hukumnya sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan. Pengaturan secara limitatif mengenai bentuk peran serta masyarakat dalam proses penegakan hukum di dalam peraturan perundang-undangan menunjukkan faktor masyarakat dimana hukum tersebut diberlakukan dan faktor penegak hukum, khususnya yang menyangkut
integritas
moral
para
penegak
hukum
yang
terlibat
didalamnya mengambil peranan yang cukup besar terhadap berhasilnya proses penegakan hukum.
64
Adapun pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana di kota Makassar adalah : a. Pengaruh terhadap proses penegakan hukum di kepolisian Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Komisaris Polisi Anwar. H selaku wakil kepala Satuan Reserse kriminal di Polrestabes Makassar (tanggal 14 Agustus 2013), beliau menyatakan bahwa opini publik sangat berpengaruh pada proses penegakan hukum di kepolisian. pengaruh yang didapatkan ada dua, pengaruh positif dan pengaruh negatif. Pengaruh positifnya, sorotan opini publik pada kepolisian bisa menjadi bahan koreksi dalam proses penegakan hukum ketika terdapat suatu proses yang kurang maksimal atau tidak sesuai dengan undangundang yang ada, sorotan masyarakat juga tentunya sangat memotivasi aparat hukum khususnya di kepolisian dalam menyelesaikan perkara dengan cepat. Pengaruh negatifnya, beberapa bentuk penyaluran opini yang diberikan oleh masyarakat terkadang malah menghambat proses penegakan karena memberikan tekanan terhadap hal-hal yang membantu dalam penuntasan suatu proses penegakan, seperti aksi demonstrasi anarkis dan penekanan-penekanan secara psikologis terhadap saksi, korban dan pelaku. b. Pengaruh terhadap proses penegakan hukum di kejaksaan Pengaruh opini publik pada penegakan hukum di kejaksaan disangkal oleh Syahrul Juaksha, menurutnya kinerja kejaksaan tidak
65
dapat diintervensi oleh pihak manapun, adapun di dalam proses penuntutan jaksa hanya melihat fakta hukum yang ada, bukan siapa dan bagaimana tanggapan masyarakat terhadap kasusnya (hasil wawancara dengan kasi intelijen kejaksaan negeri Makassar, 16 Agustus 2013). Pernyataan di atas tidak sesuai dengan pendapat Laode hakim yang menyatakan bahwa jika terdapat suatu kasus yang mengundang sorotan opini publik, terkadang jaksa mendapat intruksi khusus dari kepala kejaksaan agar lebih cermat dan berhati-hati dalam memahami fakta-fakta hukum
yang
ada
karena
kejaksaan
agung
sendiripun
sudah
mengantisipasi kemunculan opini publik dengan menggolongkan perkara pidana menjadi dua, yaitu perkara pidana biasa dan perkara pidana penting (hasil wawancara dengan Jaksa Laode Hakim, 16 Agustus 2013). Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : INS-004/J.A/3/1994 tanggal 9 Maret 1994 tentang Pengendalian Perkara Penting Tindak Pidana Umum, yang dimaksud dengan perkara penting adalah perkara tindak pidana umum yang memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) Perkara yang pelaku kejahatan atau korban kejahatan adalah tokoh masyarakat,
pejabat
teras
pemerintah
pusat/daerah
atau
seseorang yang menarik perhatian media massa/ masyarakat luas atau seseorang yang mendapat perhatian dari negara sahabat.
66
2) Perkara yang menggunakan modus operandi atau sarana canggih, yang mendapat perhatian media massa, dunia akademik dan forensik. 3) Perkara yang menimbulkan korban jiwa dalam jumlah besar/ yang dilakukan secara sadis/ merusak bangunan atau proyek vital. 4) Perkara kejahatan terhadap keamanan negara atau ketertiban umum yang berdampak luas / meresahkan masyarakat. 5) Perkara
yang
dalam
penanganannya
diduga
telah
terjadi
penyimpangan/ penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh para penegak hukum. 6) Perkara tertentu yang karena sesuatu hal mendapat perhatian khusus dari pimpinan. Berdasarkan kriteria tersebut diatas, dalam hal pelaku atau korban tindak pidana menarik perhatian masyarakat luas ataupun media massa maka jaksa penuntut umum dalam menangani perkara pidana harus memperhatikan gejolak-gejolak yang muncul di masyarakat (hasil wawancara dengan jaksa Laode Hakim, 16 Agustus 2013). c. Pengaruh terhadap proses penegakan hukum di pengadilan Opini
publik
terhadap
proses
penegakan
hukum
sangat
memberikan pengaruh yang besar bahwa penting dalam melaksanakan penegakan hukum khususnya di pengadilan. Menurut Makmur opini publik sangat membantu hakim dan aparat penegak hukum lainnya untuk benar-
67
benar mengetahui nilai-nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat, akan tetapi kita harus pandai dalam melihat mana opini yang bertujuan menegakkan keadilan dan mana yang ditunggangi oleh kepentingan pribadi (hasil wawancara dengan Hakim Makmur, 17 Agustus 2013). Pengaruh yang diberikan oleh opini publik bisa saja tidak diberikan langsung kepada aparat penegak hukum tetapi juga kepada semua orang yang terlibat dalam suatu perkara yang sedang disorot tersebut seperti saksi dan masyarakat lainnya sehingga kembali berpengaruh terhadap kelancaran proses penegakan hukum, baik secara negatif maupun positif (hasil wawancara dengan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Makassar, 17 Agustus 2013). Pengaruh opini publik di pengadilan pada dasarnya sama halnya pada tingkat kepolisian dan kejaksaan, opini publik tidak berpengaruh pada pengambilan keputusan akan tetapi lebih berkesan sebagai gerakan moral dan kemanusiaan yang patut dipertimbangkan, fakta-fakta hukum dan undang-undang tetap menjadi landasan utama dalam menindaki dan memutuskan suatu perkara. B.
Upaya dan Sikap Penegak Hukum Dalam Mengakomodir Opini Publik. Kepastian hukum yang nyata dalam peraturan perundang-
undangan dilaksanakan oleh para penegak hukum baik polisi sebagai penyidik, jaksa sebagai penuntut umum maupun hakim sebagai
68
pengambil putusan akhir. Karena dalam proses penegakan hukum para penegak hukum lebih mengutamakan nilai kepastian dan kegunaan hukum maka nilai keadilan diabaikan sehingga muncul perdebatan yang terjadi antara nilai kepastian, kegunaan dan keadilan di dalam hukum. Pengabaian nilai keadilan oleh para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya untuk menegakkan hukum akhirnya disuarakan masyarakat baik melalui
diskusi-diskusi,
demonstrasi
massa
maupun
melalui
penggalangan opini publik. Sebagai upaya dalam mengakomodir opiniopini yang diberikan oleh masyarakat, pemerintah dan aparat penegak hukum membentuk suatu langkah-langkah baik yang dituangkan langsung di dalam undang-undang ataupun pada tataran instansi penegak hukum. 1.
Upaya dan Sikap Penegak Hukum Dalam Mengakomodir Opini Publik Dalam
menanggapi
opini-opini
publik
yang
diberikan
oleh
masyarakat, instansi penegak hukum di kota Makassar mulai dari kepolisian, kejaksaan sampai pada pengadilan memfungsikan Bidang Humas sebagai media penerima opini-opini publik yang masuk ke dalam instansinya masing-masing. Selanjutnya opini-opini yang masuk akan dilaporkan kepada ketua atau kepala instansi yang kemudian memberikan instruksi kepada bagian yang berkenaan dengan opini tersebut untuk segera ditindak lanjuti jika opini tersebut dianggap positif dan dapat membantu proses penegakan hukum.
69
Ketua/Kepala
Diterima
Tidak Diterima Bagian yang bersangkutan Humas
Opini Publik
Gambar 2 : Alur Penerimaan Opini Publik pada instansi Penegak Hukum Adapun untuk opini publik tidak langsung, seperti pemberitaan media massa dan jejaring sosial termasuk twitter dan facebook diawasi dan diterima oleh Staf IT Humas yang kemudian dikonfirmasi langsung kepada pemberi opini, baik media penyalur maupun masyarakat pemberi opini. Pihak kepolisian juga telah membentuk Binmas (Bina Masyarakat) yang di tempatkan di berbagai daerah dalam tiap kota agar dapat menjangkau opini-opini masyarakat lebih jauh. Walaupun mempersiapkan
pada
tataran
langkah-langkah
aparatur dalam
penegak
hukum
mengakomodir
telah
opini-opini
masyarakat yang ada, akan tetapi berdasarkan hasil penelitian yang penulis dapatkan terdapat bebarapa kendala yang diperoleh masyarakat dalam menyampaikan opininya. Berikut ini adalah tabel kendala-kendala masyarakat dalam menyalurkan opininya:
70
Masalah-masalah dalam penyaluran opini pada instansi penegak hukum Kendala
Responden
Kurangnya respon aparat
17
Tidak adanya tindak lanjut
14
Tidak mengetahui prosedur penyaluran opini Tidak ada kendala
7 12
Jumlah Responden
50 Responden
Gambar 3: Kendala penyaluran opini pada instansi penegak hukum. Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa aparat hukum kurang merespon opini-opini yang diberikan oleh masyarakat, oleh karena itu masyarakat pencari keadilan yang memberikan opini-opini secara prosedural, seperti bersurat atau menyampaikan langsung instansi penegak hukum terkait mengambil langkah demonstrasi dan penyebaran berita ke media massa sebagai next level dari upaya penyampaian opininya.
Adapun
masalah
lain
adalah
kurangnya
pengetahuan
masyarakat pemberi opini akan adanya divisi Humas dan Binmas yang berfungsi untuk menerima dan memproses opini-opini yang ada. Hal ini terjadi dikarenakan kurangnya sosialisasi aparat penegak hukum akan prosedur penerimaan opini pada instansinya masing-masing. Sebagian masyarakat juga tidak mengetahui hak-hak mereka dalam berpartisipasi terhadap proses penegakan hukum baik secara langsung maupun dalam tataran pemberian opini, padahal sebenarnya masyarakat memiliki ruang
71
yang sangat luas dalam berpartisipasi terhadap proses penegakan hukum (hasil wawancara dengan Hakim Makmur, 17 Agustus 2013). Sebagai upaya dan sikap penegak hukum dalam melibatkankan masyarakat dalam proses penegakan hukum, beberapa undang-undang pidana di luar KUHP dicantumkan bentuk-bentuk peran serta masyarakat seperti di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diubah dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UndangUndang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Pasal 41 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 140, TLN No. 3874) sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (LN No. 134, TLN No. 4150) menyatakan dengan tegas bahwa masyarakat dapat berperan serta dan membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Bentuk peran serta masyarakat sesuai Pasal 41 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 140, TLN No. 3874) sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (LN No. 134, TLN No. 4150) dapat diwujudkan sebagai berikut :
72
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi; b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsi kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggung jawab kepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi; d. hak
untuk
memperoleh
jawaban
atas
pertanyaan
tentang
laporannya yang diberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari; e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal : 1) melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b, dan c; 2) diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan di siding pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; 3) Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hak dan tanggung jawab dalam upaya mencegah dan pemberantasan tindak pidana korupsi;
73
4) Hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asas
atau ketentuan
yang
diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosial lainnya; 5) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Selain itu, berdasarkan Pasal 42 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (LN No. 140, TLN No. 3874) sebagaimana diubah dan ditambah dengan UU No. 20 Tahun 2001 (LN No. 134, TLN No. 4150), pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat yang telah berjasa membantu upaya pencegahan, pemberantasan atau pengungkapan tindak pidana korupsi. Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam tindak pidana korupsi harus disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baik berupa piagam maupun premi, yang pengaturannya diatur dalam Peraturan Pemerintah. 2.
Profesionalisme Penegak Hukum Dalam Melaksanakan Proses Penegakan Hukum Pidana Dalam
proses
penegakan
hukum
terlihat
adanya
gejala/
kecenderungan para penegak hukum terutama jaksa sebagai penuntut
74
umum berpikir hukum yang parsial dan hanya melihat undang-undang atau ketentuan pidana dengan „kacamata kuda‟, memisahkan antara norma undang-undang dengan asas-asas, padahal hukum yang baik seharusnya menawarkan sesuatu yang lebih daripada hanya sekedar keadilan prosedural. Hakim sebagai figur sentral dalam proses penegakan hukum pidana selalu dituntut untuk mengasah kepekaan nurani, memelihara kecerdasan moral dan meningkatkan profesionalisme dalam menegakan hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hakim harus berperilaku adil, jujur, arif
dan
bijaksana,
bersikap
mandiri
dan
berintegritas
tinggi
(KMA/104A/XII/2006). Diskresi yudisial yang dimiliki oleh seorang hakim seharusnya memang memungkinkan majelis hakim mengutamakan kecenderungan politik ataupun merespon keinginan publik (Mardjono Reksodiputro, 2007:5). Namun hal ini tidak berarti bahwa majelis hakim harus memaksakan penafsiran atas aturan dan fakta untuk memenuhi tuntutan masyarakat yang disampaikan baik melalui opini publik maupun demonstrasi-demonstrasi di pengadilan. Hakim bisa saja menerima dan mempertimbangkan opini publik yang disampaikan oleh masyarakat mengenai suatu kasus pidana namun seharusnya hal ini tidak mengurangi independensi hakim dalam memeriksa dan memutus perkara.
75
Dalam sistem peradilan pidana,
proses penegakan hukum
bermuara pada proses persidangan yang akhirnya menghasilkan putusan hakim. Otoritas memutus perkara ada pada hakim sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dijamin kemerdekaannya oleh UndangUndang Dasar Tahun 1945. Kebebasan hakim dalam memutus perkara dijamin oleh konstitusi kita. Pasal 24, Pasal 24A dan Pasal 24 C Undang Undang
Dasar
1945
menegaskan
bahwa
kekuasaan
kehakiman
merupakan kekuasaan yang bebas dan merdeka. Kekuasaan kehakiman sebagai struktur harus dibedakan dengan kekuasaan kehakiman sebagai fungsi. Jimly Asshiddiqie mengatakan secara structural lembaga penegak hukum seperti polisi sebagai penyidik dan jaksa sebagai penuntut umum merupakan bagian dari kekuasaan pemerintahan namun dipandang dari segi fungsi yakni fungsi penyidikan, fungsi penuntutan, fungsi pembelaan, fungsi penghakiman dan fungsi pemasyarakatan
semuanya
terkait
dengan
pengertian
kekuasaan
kehakiman dan harus dipandang sebagai satu kesatuan proses yang bersifat
terpadu
dan
terintegrasi
(Jimly
Asshiddiqie,
2010:8-9).
Dihubungkan dengan Pasal 24, 24 A dan 24 C UUD 1945, ini berarti kepolisian dan kejaksaan secara struktural merupakan bagian dari pemerintahan tetapi secara fungsional sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman bersifat independen, bebas dan merdeka. Sekalipun hakim berada di bawah naungan Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung menjalankan fungsi pembinaan dan pengawasan 76
terhadap peradilan di bawahnya, Mahkamah Agung tetap “tidak boleh mempengaruhi
kebebasan
hakim”
dalam
memutus
perkara
yang
ditanganinya. Meskipun hakim mempunyai kebebasan dan independen dalam mengambil suatu putusan, hakim dalam menjatuhkan pemidanaan terhadap terdakwa berdasarkan Pasal 55 Rancangan Kitab UndangUndang Hukum Pidana harus mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut: a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dapat berkembang menjadi opini publik. Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan dan pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban merupakan hal-hal yang patut dipertimbangkan oleh hakim dalam menjatuhkan pemidanaan, namun pertimbangan hakim mengenai pandangan masyarakat (opini 77
publik) terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa ini menurut beberapa hakim yang menangani perkara yang menarik perhatian masyarakat seyogyanya tidak mempengaruhi hakim dalam mengambil keputusan.
78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah memaparkan secara menyeluruh pembahasan mengenai pengaruh opini publik terhadap proses penegakan hukum pidana, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Bentuk-bentuk penyaluran opini publik terhadap proses penegakan hukum di kota Makassar berdasarkan hasil penelitian penulis terbagi atas dua kategori yaitu opini publik langsung dan opini publik tidak langsung. Ada dua pengaruh yang diberikan oleh opini publik terhadap proses penegakan hukum, yaitu pengaruh positif yang membuat aparatur penegak hukum lebih cermat dan berhati-hati dalam memahami fakta-fakta hukum dan nilai keadilan yang hidup di dalam masyarakat juga memotivasi penegak hukum agar lebih cepat dalam menyelesaikan perkara, akan tetapi tidak mempengaruhi pengambilan keputusan oleh Hakim tetapi lebih berkesan sebagai gerakan moral dan kemanusiaan yang patut dipertimbangkan. Pengaruh negatifnya beberapa bentuk penyaluran opini yang diberikan oleh masyarakat terkadang menghambat proses penegakan karena memberikan tekanan terhadap hal-hal yang membantu dalam penuntasan suatu
79
proses penegakan, seperti penekanan secara psikologis terhadap saksi, korban bahkan pelaku. 2. Sebagai upaya dalam mengakomodir opini publik yang timbul Kejaksaan Agung dengan Intruksi Jaksa Agung Nomor
INS-
004/J.A/3/1994 telah menggolongkan perkara pidana menjadi dua yakni perkara biasa dan perkara penting. Juga sebagai upaya dalam melibatkan partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun dalam tataran opini beberapa undang-undang pidana di luar KUHP dicantumkan bentuk-bentuk peran serta masyarakat seperti di dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diubah dalam UndangUndang Nomor 20 tahun 2001, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UndangUndang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi dan Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang di dalamnya diatur secara jelas hak-hak masyarakat dalam membantu dan memberikan opini terhadap penegakan hukum. Instansi penegak hukum juga memfungsikan Divisi Humas sebagai penerima Opini yang selanjutnya dilaporkan kepada ketua/kepala instansi kemudian diarahkan kepada bagian yang terkait untuk diproses mulai dari pengkonfirmasian opini sampai pada penindakan,
80
akan tetapi dalam pelaksaannya aparat penegak hukum masih kurang merespon
opini-opini
yang
masuk
sehingga
mengakibatkan
masyarakat mencari jalan lain seperti demonstrasi dan penyebaran berita melalui media massa dan elektronik agar mendapat respon dari penegak hukum. B. Saran Berdasarkan kesimpulan di atas, penulis memberikan saran yakni : 1. Agar kiranya para aparatur penegak hukum jauh lebih cermat dan berhati-hati dalam memahami fakta hukum dan nilai keadilan walaupun tanpa dipengaruhi oleh opini publik dan juga sebaiknya aparat penegak hukum tidak hanya mengutamakan penegakan hukum yang berfokus pada keadilan prosedural saja tetapi juga keadilan sosial. 2. Sebaiknya aparat penegak hukum membentuk suatu Divisi khusus untuk mengakomodir opini-opini publik yang ada, baik opini langsung maupun tidak langsung agar dapat lebih memahami nilai keadilan dan fakta hukum dalam suatu perkara agar aparat penegak hukum dapat cepat merespon opini-opini publik yang ada guna mencegah aksi para masyarakat pencari keadilan yang dapat merugikan masyarakat dan negara.
81
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali dan Wiwie Heryani. 2012. Menjelajahi kajian Empiris Terhadap Hukum. Edisi Pertama. Jakarta. Kencana Prenada Group. E Utrecht. 1987. Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I. Pustaka Tintamas: Surabaya. E.Y Kanter. 2001. Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan SosioReligius. Storia Grafika: Jakarta. Helena Olii. 2011. Opini Publik, Edisi Kedua. Indeks. Jakarta. Hennessy, Bernard. 1990. Pendapat Umum. Edisi keempat. (terjemahan). Erlangga: Jakarta. Jimly
Asshiddiqie. 2010. Penegakan Hukum dalam Sistem Ketatanegaraan. Institute for Legal & Constitutional Government: Jakarta.
---------------. Tanpa http://jimly.com.
Tahun. Penegakan Hukum. Makalah. Diunduh pada tanggal 27 maret 2013.
Mardjono Reksodiputro. 2007. Pembaharuan Hukum Pidana, kumpulan karangan Buku Keempat. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas I ndonesia. 2007:Jakarta. ---------------. 2007. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Kumpulan Karangan Buku Kelima. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia: Jakarta. Romli
Atmasasmita. 1996. Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Putra A. Barden: Jakarta.
Santoso Sastropoetro. 1990. Pendapat Publik, Pendapat Umum dan Pendapat Khalayak. dalam Komunikasi Sosial. Remaja Rosdakarya: Bandung. Satjipto Rahardjo. 1986. Hukum dan Masyarakat. Angkasa:Bandung.
82
---------------. 2009. Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Publishing. Yogyakarta.
Genta
Soejono. 1996. Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Rineka Cipta. Jakarta. Soerjono Soekanto. RajaGrafindo
2006. Pokok-Pokok Persada: Jakarta.
Sosiologi
---------------. 2008. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hukum. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta.
Hukum.
PT
Penegakan
Sudikno Mertokusumo. 1996. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Liberty. Yogyakarta. ---------------. 2003. Yogyakarta.
Mengenal
Hukum
(Suatu
Pengantar).
Liberty.
Indonesia. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor. 31 Tahun 1999 (LN No. 140, TLN No. 3874) sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor. 20 Tahun 2001 (LN No. 134, TLN No. 4150). Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim “Sejarah rekonstruksi ulang TNI dan Kepolisian”.
. diakses pada tanggal 25-maret-2013.
83