PENGARUH PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE DEMONSTRASI DAN DISKUSI DITINJAU DARI MOTIVASI BELAJAR IPA TERHADAP KEMAMPUAN KOGNITIF SISWA DI SMP TAHUN AJARAN 2008/2009
Skripsi
Oleh : Widya Ariyani K 2305022
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Seorang guru harus mampu menyampaikan bahan ajar secara efektif, efisien dan tepat pada sasaran. Di samping menguasai bahan ajar, guru juga harus mengetahui kurikulum. Kurikulum yang berlaku saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan. Selain itu, karakteristik materi yang diajarkan pun harus menjadi perhatian guru dalam memilih metode pembelajaran yang paling tepat untuk menyampaikan bahan ajar sesuai dengan kondisi yang diinginkan siswa. Dewasa ini, masih banyak dijumpai guru sering menggunakan metode ceramah dalam mengajar. Hal ini seperti yang diungkapkan Kurniati (2008: 301) : Berawal dari masih banyaknya ditemui proses pembelajaran secara konvensional (ceramah) dimana guru menyajikan pelajaran yang bertopang pada konsep yang abstrak dan sulit diterima siswa secara utuh dan mendalam, sehingga pemahaman siswa hanya terbatas pada konsep yang terajarkan dan lebih banyak sebagai sesuatu yang diingat dan tidak terapresiasi secara mendalam, serta kurang mampu mengkomunikasikan. Pada umumnya selama ini yang terjadi siswa tidak terlibat aktif di dalam proses belajar mengajar (PBM), sebagian besar waktu berlangsung PBM didominasi oleh guru dengan siswa yang bersifat pasif. Kondisi seperti ini dapat mengakibatkan suasana pembelajaran kurang interaktif, siswa secara pasif menunggu interaksi dari guru tentang apa-apa yang harus dipelajari, apa yang harus dilakukan, sehingga pada masyarakat umum muncul anggapan bahwa guru selalu benar. Metode ceramah memang tidak salah diterapkan dalam proses pembelajaran. Namun, penggunaannya juga harus disesuaikan dengan karakteristik materi agar tepat pada sasaran. Dalam metode ceramah, guru mentransfer pengetahuan secara utuh kepada siswa sedangkan siswa hanya mencatat apa yang diterangkan oleh guru. Pembelajaran berlangsung satu arah dimana siswa hanya berperan sebagai obyek pendidikan, mereka hanya mendengar, mencatat, dan menghafal. Bila ditinjau dari hakikat IPA khususnya fisika yaitu produk, proses, dan sikap ilmiah, maka metode ini kurang tepat pada proses dan sikap ilmiah.
Guru dapat menggunakan metode-metode pembelajaran yang bervariasi agar membuat siswa tertarik mengikuti pelajaran dan lebih mudah memahami materi yang diajarkan. Namun, metode ceramah yang diterapkan dalam pembelajaran IPA khususnya fisika oleh guru di sekolah mengakibatkan suasana pembelajaran kurang interaktif sehingga membuat siswa bersikap pasif di dalam kelas. Guru hanya sekedar menyampaikan informasi sedangkan siswa menerima informasi yang disampaikan guru apa adanya. Akibatnya, metode ini dirasa membosankan sehingga kurang dapat mengaktifkan siswa dalam belajar. Kebosanan siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan guru dapat menimbulkan motivasi belajarnya menurun. Metode pembelajaran guru merupakan salah satu bentuk motivasi ekstrinsik yang diberikan kepada siswa. Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal dari luar siswa. Pemberian motivasi ekstrinsik dalam kegiatan belajar mengajar sangatlah penting. Sebab keadaan siswa itu berubah-ubah dan terdapat komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar yang terkadang kurang menarik, sehingga diperlukan motivasi ekstrinsik bagi siswa. Motivasi belajar rendah menyebabkan hasil belajar siswa menjadi tidak optimal. Menurut Sardiman A.M. (1990:84), “Hasil belajar akan menjadi optimal, kalau ada motivasi”. Hasil belajar yang tidak optimal dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Motivasi belajar hanya merupakan salah satu faktor dari dalam (faktor intern) yang mempengaruhi keberhasilan belajar siswa. Selain faktor intern, keberhasilan dalam kegiatan belajar mengajar juga dipengaruhi oleh faktor ekstern. Faktor ekstern adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekitar, baik dari keluarga, masyarakat bahkan dapat berasal dari kegiatan belajar mengajar itu sendiri. Memberikan motivasi pada seorang siswa sangatlah diperlukan agar subjek belajar merasa ada kebutuhan dan ingin melakukan kegiatan belajar demi terwujudnya tujuan belajar. Proses belajar harus dikelola dengan baik sehingga terjadi pembelajaran yang bermakna (meaningfull learning) dan bukan sekedar pembelajaran yang hafalan (rate learning). Dalam proses belajar ini dibutuhkan suatu pendekatan. Pendekatan pembelajaran antara lain pendekatan konsep, deduktif, induktif, konstruktivisme, Quantum Learning, dan ketrampilan proses. Namun, tidak semua pendekatan pembelajaran dapat membuat pembelajaran bermakna. Suatu model pendekatan
pembelajaran yang dapat digunakan agar tejadi pembelajaran bermakna adalah yang dikenal sebagai pendekatan konstruktivisme. Dalam pendekatan ini anak didik dipandang sebagai individu yang telah memiliki struktur kognitif tertentu yang telah terbentuk melalui pengalaman sebelumnya (prior experience). Seperti yang diungkapkan oleh von Glaserfeld (1989) yang dikutip Paul Suparno (1997:66-67), “Seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran lembaran kertas putih kosong atau tabularasa.” Seorang siswa sudah membawa pengetahuan awal dan pengetahuan yang mereka punyai adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Esensi dari teori konstruktivisme adalah bahwa siswa harus menemukan dan mentransformasikan suatu informasi kompleks ke situasi lain, sehingga belajar dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran memberikan pengaruh yang besar bagi siswa. Melalui pendekatan konstruktivisme, siswa mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dalam situasi dan pengalaman yang baru melalui struktur kognitif tertentu yang telah terbentuk sebelumnya. Hal ini seperti yang dituangkan oleh Hewson & Hewson, Scott, Strike and Posner yang dikutip oleh M. Gail Jones
Laura
Brader-Araje
dalam
American
Communication
Journal
(http://www.acjournal.org/holding/vol15/iss3/special/jones.htm), “Research has also shown that students do not always replace preconceptions with new conception. Instead, there is evidence that students may hold original intuitive views simultaneously with newly constructed formal science concepts.” Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa siswa tidak selalu mengganti konsep yang ia miliki sebelumnya dengan konsep yang baru. Terdapat bukti bahwa siswa menggunakan konsep aslinya bersamaan dengan dibangunnya konsep pengetahuan yang baru. Berkaitan dengan penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam penelitian ini, sebelumnya juga pernah dilakukan penelitian yang serupa. Pada tahun 2006, Rohmi Isna Fuadati melakukan penelitian tentang pengaruh pembelajaran fisika dengan pendekatan konstruktivisme terhadap kemampuan kognitif siswa ditinjau dari penguasaan materi prerequisite pada pokok bahasan uasaha di SMP tahun ajaran 2005/2006. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa :
(1) Ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara pembelajaran fisika dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen dan metode demonstrasi terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan usaha, siswa yang diberi pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode eksperimen mempunyai kemampuan kognitif yang lebih baik daripada melalui metode demonstrasi; (2) ada perbedaan pengaruh yang signifikan antara kemampuan penguasaan materi prerequisite tinggi dan kemampuan penguasaan materi prerequisite rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan usaha, siswa yang mempunyai kemampuan kemampuan materi prerequisite kategori tinggi mempunyai kemampuan kognitif yang lebih baik dibandingkan dengan siswa yang mempunyai kemampuan penguasaan materi prerequisite kategori rendah; (3) Tidak ada interaksi pengaruh antara pendekatan konstruktivisme melalui metode mengajar dan kemampuan penguasaan materi prerequisite terhadap kemampuan kognitif siswa pada pokok bahasan usaha. (Rohmi Isna Fuadati, 2006:v-vi) Banyak metode pembelajaran yang dapat diterapkan diantaranya adalah metode ceramah, tanya jawab, diskusi, demonstrasi dan eksperimen. Metode pembelajaran yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode demonstrasi dan metode diskusi. Metode demonstrasi dan metode diskusi dipilih dalam penelitian ini karena kedua metode ini dirasa tepat digunakan dalam pembelajaran yang
menggunakan pendekatan
konstruktivisme. Melalui kedua metode ini, pembelajaran diarahkan agar siswa membangun sendiri suatu konsep/ pengetahuan baru dan bukan hanya sekedar menerima pengetahuan itu dari guru. Metode demonstrasi merupakan metode pembelajaran dengan cara guru mengkombinasikan penjelasan lisan dengan suatu perbuatan dan dengan menggunakan suatu alat. Sedangkan metode diskusi merupakan metode pembelajaran dengan cara siswa dibuat beberapa kelompok untuk mendiskusikan sebuah masalah yang diajukan oleh guru. Masing-masing anggota dalam kelompok tersebut saling tukar menukar informasi untuk mendapatkan pemecahannya. Tentunya dalam penerapan kedua metode tersebut tidak keluar dari konteks pendekatan konstruktivisme dengan cara siswa sendiri yang membangun konsep pengetahuan dalam diri mereka. Metode demonstrasi dan diskusi yang diterapkan dalam pembelajaran memiliki beberapa kelemahan. Kelemahan Metode Demonstrasi : 1) Dibutuhkan sarana lain selain papan tulis. 2) Waktu yang dibutuhkan relatif lebih panjang 3) Tidak dapat dikenakan untuk jumlah siswa yang cukup besar
4) Dibutuhkan kemampuan guru dalam menangani alat, ketidakmampuan guru dalam menangani alat tersebut akan menambah kebingungan bagi anak didik.
1) 2) 3) 4)
(Rini Budiharti, 1998 : 35) Kelemahan metode diskusi : Diskusi hanya berlangsung dengan baik bila para siswa memiliki latar belakang kemampuan yang sama. Memerlukan waktu banyak. Sangat tergantung pada kemampuan siswa untuk berpartisipasi. Memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari guru untuk mengontrol ataupun mengarahkan keberhasilan pelaksanaan diskusi. (Margono, 1998:32) Pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran menjadikan guru berperan
sebagai mediator dan fasilitator yang membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya untuk membentuk pengetahuan baru. Banyak materi fisika di kelas VIII SMP yang tepat disampaikan dengan pendekatan konstruktivisme, misalnya pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Namun, metode ceramah yang diterapkan guru membuat siswa hanya menerima pengetahuan dalam bentuk hafalan sehingga kurang dapat menerapkan konsep ini dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini seperti yang diungkapkan Sanjaya (2008: 291), “Salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan dewasa ini adalah masalah lemahnya proses pembelajaran. Proses pembelajaran di kelas hanya diarahkan kepada kemampuan anak untuk menghafal informasi tanpa dituntut untuk menghubungkannya dengan kehidupan sehari-hari”. Padahal peristiwa yang berkaitan dengan pemantulan cahaya banyak dijumpai dalam kehidupan sehari-hari dan sesungguhnya dalam struktur kognitif siswa telah ada pengetahuan tentang konsep tersebut. Dari uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis melakukan penelitian tentang pendekatan pembelajaran yang berjudul “PENGARUH PENDEKATAN KONSTRUKTIVISME MELALUI METODE DEMONSTRASI DAN DISKUSI DITINJAU
DARI
MOTIVASI
BELAJAR
IPA
TERHADAP
KEMAMPUAN
KOGNITIF SISWA DI SMP TAHUN AJARAN 2008/2009”.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka terdapat masalah-masalah yang muncul, antara lain :
1. Metode ceramah yang diterapkan guru kurang tepat pada proses dan sikap ilmiah. Selain itu, metode ini dirasa membosankan sehingga kurang dapat mengaktifkan siswa. 2. Kebosanan siswa terhadap metode pembelajaran yang diterapkan guru menimbulkan motivasi belajarnya menurun. 3. Hasil belajar yang tidak optimal dapat disebabkan oleh berbagai faktor, yaitu faktor dari dalam (intern) dan faktor dari luar (ekstern). 4. Terdapat beberapa macam pendekatan pembelajaran diantaranya yaitu Pendekatan Konsep, Deduktif, Induktif, Konstrukstivisme, Quantum Learning dan Ketrampilan Proses. Namun, tidak semua pendekatan pembelajaran dapat membuat pembelajaran bermakna. 5. Siswa menerima pengetahuan dalam bentuk hafalan sehingga kurang dapat menerapkan konsep dalam kehidupan sehari-hari.
C. Pembatasan Masalah Mengingat permasalahan yang muncul masih cukup luas, maka studi penelitian ini dibatasi pada : 1. Pendekatan pembelajaran pada penelitian ini adalah pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi. 2. Tinjauan masalah yang digunakan adalah motivasi belajar siswa dengan kategori tinggi dan rendah. 3. Kemampuan kognitif dibatasi pada pencapaian keberhasilan akademik yaitu penguasaan materi melalui ulangan. 4. Materi yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada sub konsep Pemantulan Cahaya untuk kelas VIII semester II.
D. Perumusan Masalah Dari pembatasan masalah di atas, maka dapat dirumuskan permasalahanpermasalahan sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya? 2. Apakah ada pengaruh antara motivasi belajar siswa kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya? 3. Apakah ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya?
E. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. 2. Mengetahui ada atau tidak adanya pengaruh antara motivasi belajar siswa kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya . 3. Mengetahui ada atau tidak adanya interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
F. Kegunaan Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk : 1. Kegunaan Teoritis a. Bahan masukan bagi guru dan calon guru dalam pemilihan pendekatan pembelajaran serta metode pembelajaran yang lebih efektif dan efisien dalam meningkatkan kemampuan kognitif siswa. b. Bahan masukan bagi guru dan calon guru agar memperhatikan motivasi siswa dalam belajar untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa. 2. Kegunaan Praktis :
Untuk meningkatkan kemampuan kognitif siswa dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi, khususnya dalam pembelajaran IPA pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
BAB II KAJIAN TEORI, KERANGKA BERPIKIR DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori 1. Hakikat Proses Belajar dan Mengajar a. Hakikat Belajar 1) Pengertian Belajar Belajar merupakan kegiatan yang paling pokok dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah. Hampir semua ahli telah mencoba merumuskan dan membuat tafsirannya tentang “belajar”. Belajar menurut Slameto (2003:2), “Belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Menurut Good dan Brophy yang dikutip oleh Ngalim Purwanto (2007:85), “Learning is the development of new associations as a result of experience”. Dari definisi tersebut, belajar merupakan suatu proses yang terjadi secara internal di dalam diri individu dalam usahanya memperoleh hubungan-hubungan baru (new associations). Menurut
Winkel
(2007:59)
dalam
bukunya
“Psikologi
Pengajaran”
menyebutkan, “Belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi
aktif
dengan
lingkungan,
yang
menghasilkan
perubahan-perubahan
pengetahuan-pemahaman, ketrampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas”. Menurut Oemar Hamalik (2008:36), “Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman. (learning is defined as modification or strengthening of behavior through experiencing)”. Menurut definisi ini, belajar merupakan suatu proses, kegiatan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan tetapi mengalami. Hasil belajar bukan suatu penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Menurut Sumadi Suryobroto, ada 3 ciri yang khas pada aktivitas manusia, sehingga aktivitas tersebut disebut sebagai kegiatan belajar, yakni :
a) Aktivitas yang menghasilkan perubahan tingkah laku pada diri pelajar (individu yang belajar) (Behavioral Conges) baik aktual maupun potensial. b) Perubahan itu pada pokoknya didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu yang relatif lama. c) Perubahan itu terjadi karena usaha. (Gino dkk, 1998 :15). Dari beberapa pendapat di atas, belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan melalui interaksi dengan lingkungan dan menghasilkan perubahan tingkah laku yaitu dengan didapatkannya kemampuan yang baru. 2) Faktor-faktor yang mempengaruhi proses belajar Ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses belajar yang dirangkum dari Slameto (2003: 54-72) sebagai berikut: a) Faktor Intern Di dalam membicarakan faktor intern ini, akan dibahas menjadi tiga faktor, yaitu faktor : faktor jasmaniah, faktor psikologis dan faktor kelelahan. (1) Faktor Jasmaniah, meliputi faktor kesehatan dan cacat tubuh. (2) Faktor Psikologis, meliputi inteligensi, perhatian, minat, bakat, motif, kematangan, kesiapan. (3) Faktor Kelelahan, meliputi kelelahan jasmani dan kelelahan rohani. b) Faktor Ekstern Faktor ekstern yang berpengaruh terhadap belajar, dapatlah dikelompokkan menjadi tiga faktor, yaitu: faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. (1) Faktor keluarga,meliputi: cara orang tua mendidik, relasi antar anggota keluarga, suasana rumah, keadaan ekonomi keluarga, pengertian orang tua dan latar belakang kebudayaan. (2) Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, relasi guru dengan siswa, relasi siswa dengan siswa, disiplin sekolah, alat pelajaran, waktu sekolah, standar pelajaran di atas ukuran, keadaan gedung, metode belajar, dan tugas rumah. (3) Faktor masyarakat, meliputi: kegiatan siswa dalam masyarakat, mass media, teman bergaul dan bentuk kehidupan masyarakat. 3) Teori Belajar Ada beberapa macam teori belajar yang dikemukakan oleh para ahli, antara lain :
a) Teori Belajar menurut Piaget Teori pengetahuan Piaget merupakan teori adaptasi kognitif. Setiap organisme selalu
beradaptasi
dengan
lingkungannya
untuk
dapat
mempertahankan
dan
mengembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Dengan adanya
tantangan, pengalaman, gejala baru dan pengetahuan yang telah dimiliki, seseorang diharapkan untuk dapat mengembangkannya menjadi pengalaman-pengalaman baru. Proses asimilasi dan akomodasi terhadap suatu konsep diatur oleh keseimbangan dalam pikiran manusia (equilibrium). Semua pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan atau tindakan seseorang. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Bagi Piaget, “Belajar adalah merupakan proses perubahan konsep. Dalam proses tersebut, si pelajar setiap kali membangun konsep baru melalui asimilasi dan akomodasi skema mereka. Oleh sebab itu, belajar merupakan proses yang terus menerus, tidak berkesudahan”. (Paul Suparno, 1997:35). Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktivisme yang diterapkan melalui metode demonstrasi dan diskusi. Sebagai contoh adalah pembelajaran untuk mendapatkan konsep tentang hukum pemantulan cahaya. Melalui kejadian/fakta yang ditunjukkan dalam metode demonstrasi, siswa dapat melihat secara langsung adanya sinar datang, sinar pantul dan garis normal. Melalui pengalaman dan pengetahuan yang siswa miliki sebelumnya, mereka dapat saling tukar menukar gagasan/ informasi dalam kegiatan diskusi. Dengan adanya tantangan, pengalaman, gejala baru dan pengetahuan yang telah dimiliki, siswa diharapkan untuk dapat mengembangkannya menjadi pengalaman-pengalaman baru. Dari kegiatan pembelajaran tersebut, siswa mulai menyesuaikan konsep baru yang mereka dapatkan dengan cara mengubah konsep lamanya (akomodasi) atau dengan menambah konsep lama, tetapi tetap mempertahankan konsep lamanya tersebut (asimilasi). Selama proses asimilasi dan akomodasi, terjadi adanya pembentukan konsep pada diri siswa yang membutuhkan proses penyeimbangan (equilibrium). Jika proses ini berhasil dengan baik maka terbentuklah konsep baru pada siswa. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa pendekatan konstruktivisme yang diterapkan sangat dekat dengan teori belajar menurut Piaget. Keduanya sama-sama menekankan bahwa dalam proses belajar, pengetahuan itu dibentuk/ dibangun sendiri oleh siswa. b) Teori Belajar menurut Posner Teori Belajar menurut Posner disebut sebagai teori perubahan konsep. Menurut Posner dkk. (1982) yang dikutip Paul Suparno (1997:50) menyatakan :
Dalam proses belajar ada proses perubahan konsep yang mirip dengan yang ada dalam filsafat sains tersebut. Tahap pertama perubahan konsep disebut asimilasi dan tahap kedua disebut akomodasi. Dengan asimilasi siswa menggunakan konsepkonsep yang telah mereka punyai untuk berhadapan dengan fenomena yang baru. Dengan akomodasi siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru yang mereka hadapi. Dalam membentuk konsep tentang bayang-bayang misalnya, akan terjadi perubahan konsep pada diri siswa. Kebanyakan siswa berfikir bahwa bayangan itu sama dengan bayang-bayang. Namun, dengan penyajian fakta/kejadian tentang terbentuknya bayangan oleh cermin dan bayang-bayang oleh benda buram/ benda gelap melalui kegiatan demonstrasi atau dengan adanya diskusi untuk saling tukar menukar gagasan/ informasi, siswa mulai merubah konsep mereka sebelumnya. Mereka mulai dapat membedakan antara bayangan dan bayang-bayang itu sendiri. Teori perubahan konsep cukup banyak senada dengan teori konstruktivis. Keduanya sama-sama memberikan pengertian bahwa dalam proses pengetahuan seseorang mengalami perubahan konsep. Konstruktivisme yang menekankan bahwa pengetahuan dibentuk oleh siswa yang sedang belajar, dan teori perubahan konsep yang menjelaskan bahwa siswa mengalami perubahan konsep terus-menerus, sangat berperan dalam menjelaskan mengapa seorang siswa dapat salah mengerti dalam menangkap suatu konsep yang ia pelajari. Konstruktivisme membantu untuk mengerti bagaimana siswa membentuk pengetahuan yang tidak tepat, sedangkan teori perubahan konsep mendorong pendidik agar menciptakan suasana dan keadaan yang memungkinkan perubahan konsep pada siswa agar pemahaman mereka lebih tepat.
c) Teori Belajar menurut Ausubel Menurut Ausubel, Novak, dan Hanesian (1978) yang dirangkum Paul Suparno (1997:53-54), ada dua jenis belajar yaitu : (1) Belajar bermakna (meaningful learning) : suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang
sedang
belajar.
Belajar
bermakna
terjadi
bila
pelajar
mencoba
menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Ini terjadi melalui belajar konsep, dan perubahan konsep yang telah ada, yang akan
mengakibatkan pertumbuhan dan perubahan struktur konsep yang telah dipunyai si pelajar. (2) Belajar menghafal (rate learning) : suatu proses belajar bila konsep yang cocok dengan fenomena baru itu belum ada dalam struktur kognitif seseorang maka informasi harus dipelajari melalui belajar menghafal. Belajar menghafal ini perlu bila seseorang memperoleh informasi baru dalam dunia pengetahuan yang sama sekali tidak berhubungan dengan apa yang telah ia ketahui. Teori belajar Ausubel dikenal dengan teori belajar bermakna. Teori ini sangat dekat dengan inti pokok konstruktivisme. Keduanya sama-sama menekankan pentingnya pelajar mengasosiasikan pengalaman, fenomena dan fakta-fakta baru ke dalam sistem pengetahuan yang telah dimiliki. Selain itu juga menekankan pentingnya asimilasi pengalaman baru ke dalam konsep atau pengertian yang sudah dipunyai siswa dan mengandaikan bahwa dalam proses belajar itu aktif. Sebagai contoh adalah pembelajaran untuk mendapatkan konsep tentang cermin cekung dan cembung. Melalui kegiatan demonstrasi, siswa dapat melihat kejadian/ fakta secara langsung tentang sifat bayangan yang terjadi pada cermin cekung dan cembung. Melalui kegiatan diskusi, siswa dapat saling tukar menukar gagasan/ informasi tentang hal-hal yang berkaitan dengan cermin cekung dan cembung. Dari pembelajaran tersebut, siswa harus mampu untuk menghubungkan fenomena baru ke dalam struktur pengetahuan mereka. Dengan demikian, siswa dapat lebih memahami tentang jarak benda, jarak bayangan, maupun tentang sifat bayangan. Jadi seorang guru tidak langsung menjelaskan tentang konsep-konsep tersebut pada siswa melainkan siswa sendiri yang membangun konsep tersebut. Konsep tersebut akan lebih tertanam pada diri siswa sehingga pembelajaran ini akan lebih bermakna. d) Teori Belajar menurut Jonassen Teori ini disebut sebagai teori skema. Jonassen mengungkapkan, “Pengetahuan itu disimpan dalam suatu paket informasi, atau skema, yang terdiri dari konstruksi mental gagasan kita. Skema suatu objek, kejadian, atau ide terdiri dari suatu set atribut yang menjelaskan objek tersebut, maka dari itu membantu kita untuk mengenal objek atau kejadian itu”. (Paul Suparno, 1997:54)
Menurut teori skema yang dikutip Paul Suparno (1997:55), “Bagaimana seseorang membentuk skema adalah merupakan proses belajar”. Skema adalah abstraksi mental seseorang yang digunakan untuk mengerti sesuatu hal, menemukan jalan keluar atau memecahkan persoalan. Menurut teori skema, seseorang belajar dengan mengadakan restrukturisasi atas skema yang ada, baik dengan menambah maupun mengganti skema itu. Teori ini mirip dengan teori konstruktivisme Piaget yang menggunakan asimilasi dan akomodasi. Perbedaannya adalah bahwa teori skema tidak menjelaskan proses pengetahuan tetapi lebih bagaimana pengetahuan manusia itu tersimpan dan tersusun. Untuk membentuk konsep tentang perbedaan antara pemantulan teratur dan pemantulan baur, siswa dapat melihat dari fakta/ kejadian seperti pemantulan pada cermin dan pada gelas yang permukaan tidak rata, atau siswa dapat melakukan diskusi untuk memahami tentang jenis-jenis pemantulan ini. Dari kegiatan tersebut, siswa dapat melengkapi dan memperluas skema yang mereka punyai dalam berhadapan dengan pengalaman, persoalan, dan pemikiran yang baru. Jika siswa menghadapi pengalaman baru yang tidak sesuai dengan skemanya, maka mereka akan mengubah skema lamanya. 4) Tujuan Belajar Seorang siswa dikatakan berhasil dalam belajar jika siswa mencapai kriteria tingkat keberhasilan belajar sesuai tujuan belajar. Menurut Sardiman A.M (1990:30) menyatakan, “tujuan belajar itu adalah ingin mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan penanaman sikap mental/ nilai-nilai”. Menurut Bloom tujuan belajar dikelompokkan menjadi tiga yaitu : a) Ranah Kognitif: meliputi pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (aplication), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). b) Ranah Afektif / sikap: meliputi kemampuan menerima (receiving), kemauan menanggapi (responding), berkeyakinan (valuing), penerapan kerja (organization), dan ketelitian (correcterzation by value). c) Ranah Psikomotor: meliputi gerak tubuh (body movement), koordinasi gerak (finaly coordinated movement), komunikasi non verbal (non verbal communication set), perilaku bicara (speech behaviors) .
(Gino dkk, 1998:19) Kriteria tingkat keberhasilan belajar siswa yang digunakan dalam penelitian ini dilihat dari ranah kognitif siswa. Namun karena subyek penelitian adalah siswa SMP, maka ranah kognitif yang digunakan adalah pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehension), penerapan (aplication), dan analisis (analysis). b. Hakikat Mengajar 1) Pengertian Mengajar Menurut Rohman Nata Wijaya yang dikutip oleh Gino, Suwarni, Suripto Hs, Maryanto, dan Sutijan (1998:31-32) memberikan batasan, “Mengajar sebagai upaya guru untuk membangkitkan yang berarti menyebabkan atau mendorong seorang siswa belajar”. Seorang guru harus dapat menimbulkan semangat belajar pada diri siswa melalui penyajian pelajaran yang menarik dengan menggunakan metode dan alat bantu belajar yang disesuaikan dengan materi dan tujuannya, serta memberi penguatan kepada siswa untuk mendorong siswa belajar lebih baik. Menurut Sardiman A.M (1990:46-47), “Mengajar pada dasarnya merupakan suatu usaha untuk menciptakan kondisi atau sistem lingkungan yang mendukung dan memungkinkan untuk berlangsungnya proses belajar”. Sedangkan menurut Gagne, “mengajar adalah suatu usaha untuk membuat siswa belajar, yaitu usaha terjadinya perubahan tingkah laku”. (Gino dkk, 1998: 32). Dari pendapat-pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa mengajar adalah upaya guru dalam menciptakan kondisi yang memungkinkan berlangsungnya proses belajar dan membangkitkan siswa untuk belajar agar terjadi perubahan tingkah laku. 2) Prinsip-prinsip mengajar Ada beberapa prinsip-prinsip mengajar yang dirangkum dari Slameto (2003: 3539) sebagai berikut : a) Perhatian Di dalam mengajar guru harus dapat membangkitkan perhatian anak pada pelajaran yang disampaikan. b) Aktifitas
Dalam mengajar guru perlu menimbulkan aktifitas anak dalam berfikir maupun berbuat. Bila anak menjadi partisipan yang aktif, maka akan memiliki ilmu pengetahuan itu dengan baik, dan dapat mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. c) Apersepsi Setiap guru dalam mengajar perlu menghubungkan pelajaran yang akan diberikan dengan pengetahuan yang telah dimiliki anak, ataupun pengalamannya. Dengan demikian anak akan memperoleh hubungan antara pengetahuan yang telah menjadi milikinya dengan pelajaran yang akan diterimanya. d) Peragaan Waktu guru mengajar di depan kelas, guru harus dapat berusaha menunjukkan benda-benda yang asli. Bila mengalami kesulitan boleh menunjukkan model, gambar, benda tiruan, atau dengan menggunakan media lain seperti radio, TV, dan sebagainnya.
e) Repetisi Penjelasan suatu unit pelajaran perlu diulang-ulang sehingga pengertian itu makin lama semakin lebih jelas dan dapat digunakan untuk memecahkan masalah. f) Korelasi Hubungan antara setiap mata pelajaran perlu diperhatikan, agar dapat memperluas dan memperdalam pengetahuan siswa itu sendiri. g) Konsentrasi Hubungan antara mata pelajaran dapat diperluas yaitu dapat dipusatkan kepada salah satu pusat minat, sehingga anak memperoleh pengetahuan secara luas dan mendalam. h) Sosialisasi Bekerja di dalam kelompok dapat meningkatkan cara berpikir sehingga dapat memecahkan masalah dengan lebih baik dan lancar. i) Individualisasi Guru diharapkan dapat mendalami perbedaan anak secara individu, agar dapat melayani pendidikan yang sesuai dengan perbedaan anak.
j) Evaluasi Evaluasi dapat memberikan motivasi bagi guru maupun murid agar lebih giat belajar dan meningkatkan proses berfikir. Evaluasi dapat menggambarkan kemajuan anak, prestasinya, hasil rata-ratanya, tetapi dapat juga menjadi bahan umpan balik bagi guru.
2. Pendekatan Pembelajaran a. Pengertian Pendekatan Pembelajaran Membahas masalah pendekatan pembelajaran terutama dalam proses belajar mengajar tidak terlepas dari pengertian pendekatan. “Pendekatan dalam belajar mengajar pada hakikatnya merupakan suatu upaya dalam mengembangkan keaktifan belajar yang dilakukan oleh peserta didik dan guru”. (Tabrani Rusyan A., Atang Kusnidar, & Zainal Arifin, 1989:1). Sedangkan menurut Rini Budiharti (1998:2) dalam bukunya “Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi” dikatakan bahwa : Pendekatan adalah cara umum dalam memandang permasalahan atau obyek kajian, sehingga berdampak ibarat seseorang mengenakan kacamata dengan warna tertentu di dalam memandang alam sekitar, kacamata yang berwarna hijau akan menyebabkan dunia kelihatan kehijau-hijauan, kacamata berwarna coklat membuat dunia kelihatan kecoklat-coklatan dan seterusnya. “Pembelajaran adalah usaha sadar dari guru untuk membuat siswa belajar, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku pada diri siswa yang belajar, dimana perubahan itu dengan didapatkannya kemampuan baru yang berlaku dalam waktu relatif lama dan karena adanya usaha”. (Gino dkk, 1998:32-33). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran adalah suatu cara yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam memandang permasalahan atau obyek kajian untuk mencapai tujuan. b. Pendekatan Konstruktivisme 1) Proses Belajar Konstruktivisme Menurut Hazel and Papert yang dikutip Haris Mudjiman (2008:23), “Belajar adalah membangun pengetahuan”, dan belajar adalah “Knowledge dependent” yaitu
pembelajaran menggunakan pengetahuan yang telah dimiliki untuk membentuk pengetahuan baru. Konstruktivisme menganggap bahwa : 1) Belajar = membentuk makna; 2) Makna diciptakan siswa sendiri; 3) Konstruksi makna dipengaruhi oleh pengetahuan yang telah dimiliki; 4) Konstruksi pengetahuan baru merupakan proses yang terjadi terus menerus; 5) Proses konstruksi pengetahuan baru didahului rasa keingintahuan--curiosity, yang dapat dirangsang dengan penyajian masalah-masalah oleh guru, untuk dibahas oleh siswa. (Haris Mudjiman, 2008 : 27) Pendapat Piaget (1970) tentang pengetahuan yang dikutip oleh Paul Suparno (1997:38) adalah sebagai berikut : Pengetahuan adalah suatu konstruksi (bentukan) dari kegiatan/ tindakan seseorang. Pengetahuan ilmiah itu berevolusi, berubah dari waktu ke waktu. Pemikiran ilmiah adalah sementara, tidak statis, dan merupakan proses. Pemikiran ilmiah juga merupakan proses konstruksi dan reorganisasi yang terus menerus. Bagi konstruktivisme menurut Betterncourt, Shymansky, Watt & Pope yang dikutip Paul Suparno (1997:62), “Kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana pelajar membangun sendiri pengetahuannya. Pelajar mencari arti sendiri dari apa yang mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka”. Dari pendapat-pendapat di atas, proses belajar dengan konstruktivisme adalah proses pembentukan konsep ilmu pengetahuan yang melibatkan keaktifan siswa dengan struktur kognitif tertentu yang telah terbentuk sebelumnya dengan membentuk dan mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dalam situasi dan pengalaman yang baru. 2) Strategi Mengajar Konstruktivisme Bettencourt (1989) yang dikutip Paul Suparno (1997:65) menyatakan pendapatnya tentang mengajar bagi kaum konstruktivis : Mengajar bukanlah kegiatan memindahkan pengetahuan dari guru ke murid, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti berpartisipasi dengan pelajar dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, bersikap kritis, dan mengadakan justifikasi. Jadi, mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Drivers dan Oldham dalam Matthews yang dikutip dari Paul Suparno (1997: 6970) memberikan beberapa ciri mengajar konstruktivis sebagai berikut:
a) Orientasi. Murid diberi kesempatan untuk mengembangkan motivasi dalam mempelajari suatu suatu topik. Murid diberi kesempatan untuk mengadakan observasi terhadap topik yang hendak di pelajari. b) Elicitasi. Murid dibantu untuk mengungkapkan idenya secara jelas dengan berdiskusi, menulis, membuat poster, dan lain-lain. Murid diberi kesempatan untuk mendiskusikan apa yang diobservasikan, dalam wujud tulisan, gambar, ataupun poster. c) Restrukturisasi ide. Dalam hal ini ada tiga hal. (1) Klasifikasi ide yang dikontraskan dengan ide-ide orang lain atau teman lewat diskusi ataupun lewat pengumpulan ide. Berhadapan dengan ide-ide lain, seorang dapat terangsang untuk merekonstruksi gagasannya kalau tidak cocok atau sebaliknya, menjadi lebih yakin bila gagasannya cocok. (2) Membangun ide yang baru. Ini terjadi bila dalam diskusi itu idenya bertentangan dengan ide lain atau idenya tidak dapat menjawb pertanyaanpertanyaan yang diajukan teman-temannya. (3) Mengevaluasi ide barunya dengan eksperimen. Kalau dimungkinkan, ada baiknya bila gagasan yang baru dibentuk itu diuji dengan suatu percobaan atau persoalan yang baru. d) Penggunaan ide dalam banyak situasi. Ide atau pengetahuan yang telah dibentuk oleh siswa perlu diaplikasikan pada bermacam-macam situasi yang dihadapi. Hal ini akan membuat pengetahuan murid lebih lengkap dan bahkan lebih rinci dengan segala macam pengecualinya. e) Review, bagaimana ide itu berubah. Seseorang perlu merevisi gagasannya entah dengan menambahkan suatu keterangan ataupun mungkin dengan mengubahnya menjadi lebih lengkap. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran menimbulkan perubahan konsep pada diri siswa. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Muamer Çalık (2008: 3) berikut : Indeed, knowing the differences between them gives teachers a chance for an excellent teaching process. Even though constructivism places emphasis on taking into account students’ pre-existing knowledge and/or alternative conceptions, teachers may have difficulty knowing how to incorporate them during his/her teaching experience. Tentu saja, mengetahui perbedaan antara perubahan konsep yang terjadi pada siswa dengan guru memberikan kesempatan yang baik untuk suatu proses pengajaran. Sungguhpun, konstruktivisme menekankan pada pengetahuan siswa yang telah ada sebelumnya dan/ atau bermacam-macam konsep, para guru mungkin mendapatkan kesulitan bagaimana cara menggabungkannya pada waktu mengajar. 3. Metode Pembelajaran
Seorang guru dituntut memiliki strategi dalam melaksanakan tugas mengajarnya. Strategi tersebut dimaksudkan agar peserta didik terlibat aktif belajar. Ketepatan penggunaan metode pembelajaran menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan proses belajar mengajar. Wina Sanjaya (2006:145) menyatakan, “Keberhasilan implementasi strategi pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode pembelajaran,
karena
suatu
strategi
pembelajaran
hanya
mungkin
dapat
diimplementasikan melalui penggunaan metode pembelajaran”. Sedangkan Oemar Hamalik (2008:26) menyebutkan ,“Metode adalah cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam upaya mencapai tujuan kurikulum”. Metode pembelajaran yang dapat digunakan dalam proses belajar mengajar ada banyak jenisnya di antaranya metode demonstrasi, metode pemberian tugas, metode eksperimen, metode diskusi kelompok dan metode Discovery– Inquiry. Dalam penelitian ini metode pembelajaran yang digunakan adalah metode demonstrasi dan metode diskusi. a. Metode Demonstrasi Materi pelajaran yang dipelajari oleh siswa akan lebih jelas dan mudah dipahami jika siswa melihat langsung pada benda dan proses yang ditunjukkan oleh guru. Selain itu agar anak-anak tidak bosan dengan materi yang diberikan oleh guru, maka perlu dirangsang ketertarikan siswa terhadap materi pelajaran. Salah satu cara adalah dengan metode demonstrasi. Menurut Wina Sanjaya (2006:150), “Metode demonstrasi adalah metode penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukkan kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekadar tiruan”. Sedangkan Rini Budiharti (1998:33) menyatakan, “Demonstrasi adalah suatu teknik mengajar di mana dikombinasikan penjelasan lisan dengan suatu perbuatan, sering dengan menggunakan suatu alat”. Banyak hal yang harus dilakukan seorang guru dalam melaksanakan metode demonstrasi, diantaranya seperti yang diungkapkan Jerod L. Gross (2005: 5) berikut : An interactive demonstration generally consists of a teacher manipulating (demonstrating) a scientific apparatus and then asking probing questions about what will happen (prediction) or how something might have happened (explanation). The teacher is in charge of conducting the demonstration, developing and asking probing questions, eliciting responses, soliciting further explanations, and helping students reach conclusions on the basis of evidence.
Dalam
sebuah
interaksi
demonstrasi
terdapat
seorang
guru
yang
mendemonstrasikan sebuah pengetahuan dan kemudian menanyakan kepada siswa apa yang akan terjadi (prediksi siswa) atau bagaimana sesuatu terjadi (penjelasan siswa). Guru mengarahkan jalannya demonstrasi, mengembangkan dan menanyakan pertanyaan, mendatangkan tanggapan, pengumpulan keterangan lebih lanjut dan membantu siswa membuat kesimpulan dari fakta yang ada. Tujuan penggunaan metode demonstrasi adalah : 1) Mengajarkan suatu proses atau prosedur yang harus dimiliki peserta didik atau dikuasai peserta didik; 2) Mengkongkritkan informasi atau penjelasan kepada peserta didik; 3) Mengembangkan kemampuan pengamatan pandangan dan penglihatan para peserta didik secara bersama-sama. (Mulyani dan Johar, 2001: 133) Dalam melakukan metode demonstrasi ada beberapa batas-batas kemungkinan, antara lain : 1) Demonstrasi akan merupakan metode yang tidak wajar bila alat yang didemonstrasikan tidak dapat diamati dengan seksama oleh siswa. Misalnya alat itu terlalu kecil, atau penjelasan - penjelasan tidak jelas. 2) Demonstrasi menjadi kurang efektif bila tidak diikuti dengan sebuah aktifitas dimana siswa sendiri dapat ikut bereksperimen dan menjadikan aktivitas itu pengalaman yang berharga. 3) Tidak semua hal dapat didemonstrasikan didalam kelas. Misalnya alat - alat yang sangat besar atau yang berada di tempat lain yang jauh dari kelas. 4) Kadang-kadang bila sesuatu alat dibawa ke dalam kelas kemudian didemonstrasikan, siswa melihat sesuatu yang berlainan dengan proses jika berada dalam situasi sebenarnya. (Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya, 1993 : 55) Keuntungan metode demonstrasi dibandingkan dengan metode yang lain: 1) Demonstrasi memberi gambaran dan pengertian yang lebih jelas daripada hanya dengan keterangan lisan. 2) Demonstrasi menunjukkan dengan jelas langkah-langkah suatu proses atau ketrampilan. 3) Demonstrasi lebih mudah dan lebih efisien daripada membiarkan siswa-siswa melakukan eksperimen. 4) Demonstrasi memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati sesuatu dengan cermat.
5) Pada akhir demonstrasi dapat dilakukan diskusi, dimana siswa mendapat kesempatan bertukar pikiran untuk memperbaiki/mempertajam pengertian. Kelemahan Metode Demonstrasi : 5) Dibutuhkan sarana lain selain papan tulis 6) Waktu yang dibutuhkan relatif lebih panjang 7) Tidak dapat dikenakan untuk jumlah siswa yang cukup besar 8) Dibutuhkan kemampuan guru dalam menangani alat, ketidakmampuan guru dalam menangani alat tersebut akan menambah kebingungan bagi anak didik. (Rini Budiharti, 1998 : 33) Dari uraian diatas, diketahui bahwa dengan metode demonstrasi akan dapat memperjelas pengertian konsep kepada siswa. Penggunaan metode demonstrasi di dalam proses belajar mengajar dimaksudkan agar penerimaan siswa terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam ke dalam benak siswa. b. Metode Diskusi Menurut Rini Budiharti (1998:35), “Metode Diskusi adalah salah satu metode belajar mengajar yang dilakukan oleh seorang guru di sekolah”. Pada dasarnya dalam diskusi terjadi proses interaksi antara dua atau lebih individu yang semua berperan aktif untuk
saling tukar menukar pengalaman, informasi dalam memecahkan masalah.
Menurut Roestiyah N.K (2008:5), “Di dalam diskusi ini proses interaksi antara dua orang atau lebih individu yang terlibat, saling tukar menukar pengalaman, informasi, memecahkan masalah, dapat terjadi juga semuanya aktif tidak ada yang pasif sebagai pendengar saja”. Tujuan penggunaan diskusi yang diungkapkan Roestiyah N.K (2008:6-7) adalah sebagai berikut : Pertama : Dengan diskusi siswa didorong menggunakan pengetahuan dan pengalamannya untuk memecahkan masalah, tanpa selalu bergantung pada pendapat orang lain. Mungkin ada perbedaan segi pandangan, sehingga memberi jawaban yang berbeda. Hal itu tidak menjadi soal; asal pendapat itu logis dan mendekati kebenaran. Jadi siswa dilatih berpikir dan memecahkan masalah itu sendiri. Kedua : Siswa mampu menyatakan pendapatnya secara lisan, karena hal itu perlu untuk melatih kehidupan yang demokratis. Dengan demikian siswa melatih diri untuk menyatakan pendapatnya sendiri secara lisan tentang suatu masalah bersama.
Ketiga : Diskusi memberi kemungkinan pada siswa untuk belajar berpartisipasi dalam pembicaraan untuk memecahkan suatu masalah bersama. Menurut Margono (1998:31-32), penggunaan metode diskusi mempunyai beberapa kebaikan dan kelemahan. Kebaikan dan kelemahan itu diungkapkan sebagai berikut : Kebaikan penggunaan metode diskusi : 1) Siswa dapat langsung aktif terlibat dalam proses belajar. 2) Dapat mempertahankan perhatian siswa dan menghindari terjadinya suasana yang monoton. 3) Memungkinkan timbulnya gagasan baru dan pengertian baru sebagai akibat tukar menukar informasi maupun tukar pengalaman. 4) Melatih ketrampilan intelektual seperti mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan yang tepat, menyampaikan argumentasi yang logis, berfikir secara reflektif dan sebagainya. 5) Dapat mengembangkan latihan berkomunikasi antar pribadi dan ketrampilan dalam bekerjasama. 6) Dapat memberikan umpan balik tentang kemajuan belajar siswa. Kelemahan metode diskusi : 5) Diskusi hanya berlangsung dengan baik bila para siswa memiliki latar belakang kemampuan yang sama. 6) Memerlukan waktu banyak. 7) Sangat tergantung pada kemampuan siswa untuk berpartisipasi. 8) Memerlukan perhatian yang sungguh-sungguh dari guru untuk mengontrol ataupun mengarahkan keberhasilan pelaksanaan diskusi. Dari uraian di atas, diketahui bahwa dengan metode diskusi para siswa memiliki kesempatan untuk lebih berpartisipasi dan berinteraksi dalam kelompoknya untuk mengungkapkan gagasan, tukar menukar pengalaman dan informasi dalam memecahkan masalah sehingga suasana lebih dinamis.
4. Motivasi Belajar a. Pengertian Motivasi Belajar Setiap individu memiliki kondisi internal yang turut berperan dalam aktivitas dirinya termasuk dalam belajar. Salah satu dari kondisi internal tersebut adalah motivasi. Menurut Hamzah B. Uno (2007:3), “Istilah motivasi berasal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai kekuatan yang terdapat dalam diri individu, yang menyebabkan individu tersebut bertindak atau berbuat”. Motif ini tidak dapat diamati tetapi dapat
diinterpretasikan dalam tingkah laku yang berupa rangsangan, dorongan, atau pembangkit tenaga munculnya tingkah laku tertentu. Pengertian motivasi juga dikemukakan oleh Mc. Donald yang dikutip oleh Oemar Hamalik (2008:106), “motivasi adalah suatu perubahan energi dalam diri (pribadi) seseorang yang ditandai dengan timbulnya perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan”. Motivasi belajar mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Menurut Hamzah B.Uno (2007:23), “Hakikat motivasi belajar adalah dorongan internal dan eksternal pada siswa-siswa yang sedang belajar untuk mengadakan perubahan tingkah laku, pada umumnya dengan beberapa indikator atau unsur yang mendukung”. Selain itu Sardiman A.M. (1990:84) menyatakan, “Hasil belajar akan menjadi optimal, kalau ada motivasi”. Dari beberapa pendapat di atas dapat dapat ditarik kesimpulan bahwa motivasi belajar adalah kekuatan yang terdapat dalam diri siswa baik yang berasal dari dalam maupun luar siswa yang dapat menimbulkan kegiatan belajar untuk mencapai tujuan belajar. b. Sifat Motivasi Sifat motivasi yang dirangkum dari Oemar Hamalik (2008:112-113) dapat dibedakan menjadi 2 yaitu : 1) Motivasi intrinsik Motivasi intrinsik adalah motivasi yang tercakup dalam situasi belajar yang bersumber dari kebutuhan dan tujuan-tujuan siswa sendiri. 2) Motivasi Ekstrinsik Motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar, seperti : angka, kredit, ijazah, tingkatan, hadiah, medali, pertentangan dan persaingan; yang bersifat negative ialah sarkasme, ejekan (ridicule), dan hukuman. c. Ciri motivasi belajar Menurut Sardiman A. M. (1990:82-83), motivasi yang ada pada diri setiap orang memiliki ciri-ciri sebagai berikut : 1) Tekun menghadapi tugas (dapat bekerja terus menerus dalam waktu yang lama, tidak pernah berhenti sebelum selesai);
2) Ulet menghadapi kesulitan (tidak lekas putus asa). Tidak memerlukan dorongan dari luar untuk berprestasi sebaik mungkin (tidak cepat puas dengan prestasi yang telah dicapainya); 3) Menunjukkan minat terhadap bermacam-macam masalah untuk orang dewasa (misalnya masalah pembangunan agama, politik, ekonomi, keadilan, pemberantasan korupsi, penentangan terhadap setiap tindak criminal, amoral, dan sebagainya); 4) Lebih senang bekerja mandiri; 5) Cepat bosan pada tugas-tugas yang rutin (hal-hal yang bersifat mekanis, berulang-ulang begitu saja, sehingga kurang kreatif); 6) Dapat mempertahankan pendapatnya (kalau sudah yakin akan sesuatu); 7) Tidak mudah melepaskan hal yang diyakini itu; 8) Senang mencari dan memecahkan masalah soal-soal. d. Cara menumbuhkan motivasi belajar Cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar di sekolah yang dirangkum dari Sardiman A.M. (1990:91-94) adalah sebagai berikut : 1) Memberi angka Angka sebagai simbol dari nilai kegiatan belajar siswa. Untuk itu banyak siswa belajar untuk mencapai angka / nilai yang baik. 2) Hadiah Hadiah dapat dikatakan sebagai suatu motivasi, tetapi tidaklah selalu demikian. Karena hadiah untuk suatu pekerjaan, mungkin tidak akan menarik bagi seseorang yang tidak senang dan tidak berbakat untuk pekerjaan tersebut. 3) Saingan/ kompetisi Persaingan baik individu maupun kelompok dapat digunakan sebagai alat motivasi sehingga meningkatkan prestasi belajar siswa. 4) Ego-involvement Menumbuhkan kesadaran kepada siswa agar merasakan pentingnya tugas dan menerimanya sebagai tantangan sehingga bekerja keras dengan mempertaruhkan harga diri, adalah sebagai salah satu bentuk motivasi yang cukup penting.
5) Memberi ulangan Para siswa akan menjadi giat belajar jika mengetahui akan ada ulangan. Oleh karena itu ulangan juga merupakan sarana motivasi.
6) Mengetahui hasil Dengan mengetahui hasil pekerjaan, apalagi jika terjadi kemajuan, akan mendorong siswa untuk lebih giat belajar. 7) Pujian Pujian adalah bentuk reinforcement yang positif dan sekaligus merupakan motivasi yang baik. 8) Hukuman Hukuman adalah bentuk reinforcement yang negative tetapi bila diberikan secara tepat dan bijak bias menjadi alat motivasi. 9) Hasrat untuk belajar Hasrat untuk belajar berarti pada diri anak didik itu memang ada motivasi untuk belajar, sehingga sudah barang tentu hasilnya baik. 10) Minat Motivasi muncul karena adanya kebutuhan, begitu juga minat sehingga minat merupakan alat motivasi yang pokok. Proses belajar akan lancar jika disertai dengan minat. 11) Tujuan yang diakui Rumusan tujuan yang diakui dan diterima baik oleh siswa adalah alat motivasi yang sangat penting. Sebab dengan memahami tujuan yang harus dicapai, karena dirasa sangat berguna dan menguntungkan, maka akan timbul gairah untuk belajar. e. Peran Motivasi dalam Belajar dan Pembelajaran Peranan penting motivasi dalam belajar dan pembelajaran seperti yang diungkapkan Hamzah B. Uno (2007: 27-28) adalah sebagai berikut: 1) Memberi penguatan belajar Motivasi dapat berperan dalam penguatan belajar apabil seorang anak yang belajar dihadapkan pada suatu masalah yang memerlukan pemecahan, dan hanya dapat dipecahkan berkat bantuan hal-hal yang pernah dilaluinya. 2) Memperjelas tujuan belajar Seorang anak akan tertarik belajar sesuatu jika yang dipelajari itu sedikitnya sudah dapat diketahui atau dinikmati manfaatnya bagi anak. Hal ini membuat anak mengetahui makna dari belajar.
3) Menentukan ketekunan belajar Seorang anak yang telah termotivasi untuk belajar sesuatu, akan berusaha mempelajarinya dengan baik dan tekun, dengan harapan memperoleh nilai yang baik. Hal ini tampak bahwa motivasi belajar menyebabkan anak tekun dalam belajar.
5. Kemampuan Kognitif Bloom secara garis besar mengklasifikasikan hasil belajar menjadi tiga ranah, yakni ranah kognitif, afektif dan psikomotoris. Ranah kognitif berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek, yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sistesis dan evaluasi. Kedua aspek pertama disebut kognitif tingkat rendah dan keempat aspek berikutnya termasuk kognitif tingkat tinggi. Ranah afektif berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek, yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, peilaian, organisasi, dan internalisasi. Ranah Psikomotoris berkenaan dengan hasil belajar ketrampilan dan kemampuan bertindak. (Nana Sudjana, 2008:22-23). Kemampuan/ranah kognitif menjadi salah satu sasaran evaluasi hasil belajar. Cara penalaran atau kognitif seseorang terhadap suatu objek selalu berbeda–beda dengan orang lain. Artinya objek penalaran yang sama mungkin akan mendapat penalaran yang berbeda dari dua orang atau lebih. Jadi, karena berbeda dalam penalaran, berbeda pula dalam kepribadian, maka terjadilah perbedaan individu. Menurut Bloom, ranah kognitif (cognitive domain) secara garis besar meliputi kategori
pengetahuan
(knowledge),
pemahaman
(comprehension),
penerapan
(application), analisis (analysis), sintesis (synthesis), dan evaluasi (evaluation). Adapun penjelasan dari masing-masing kategori tersebut adalah sebagai berikut :
a. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan merupakan kategori yang mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah dipelajari dan disimpan dalam ingatan. Hal-hal itu dapat meliputi fakta, kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. b. Pemahaman (Comprehension) Pemahaman
merupakan
kategori
yamg
menangkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari.
mencakup
kemampuan
untuk
c. Penerapan (Application) Penerapan merupakan kategori yang mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus/problem yang konkret dan baru. d. Analisis (Analysis) Analisis merupakan kategori yang mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan kedalam bagian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya dapat dipahami dengan baik. e. Sintesis (Synthesis) Sintesis merupakan kategori yang mencakup kemampuan untuk membentuk suatu kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain, sehingga terciptakan suatu bentuk baru. f. Evaluasi (Evaluation) Evaluasi merupakan kategori yang mencakup kemampuan untuk membentuk suatu
pendapat
mengenai
sesuatu
atau
beberapa
hal,
bersama
dengan
pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu. (Winkel, 2008:274-276) Kategori–kategori tersebut disusun secara hirarkis, sehingga menjadi taraf–taraf yang menjadi semakin bersifat kompleks, mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir. Untuk pembelajaran ditingkat SMP, jenjang kognitif yang ditekankan adalah pada jenjang pengetahuan, pemahaman, penerapan, dan analisis.
6. Pembelajaran IPA a. Hakikat IPA IPA adalah sekumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematis tentang gejala alam dan perkembangannya. IPA tidak hanya ditunjukkan oleh fakta-fakta tapi juga timbulnya metode ilmiah dan sikap ilmiah. Maka dapat dikatakan bahwa IPA meliputi 3 hal, yaitu: 1) Produk IPA Produk IPA yaitu berupa fakta, konsep dan prinsip, hukum dan teori. 2) Proses IPA
Proses IPA atau metode ilmiah adalah cara kerja yang dilakukan untuk memperoleh hasil-hasil IPA atau produk-produk IPA. 3) Nilai dan sikap ilmiah Nilai dan sikap ilmiah adalah sebuah tingkah laku yang diperlukan selama melakukan proses IPA, sehingga diperoleh proses hasil IPA. (Margono, 1998: 21) b. Pembelajaran IPA di SMP Mata pelajaran
IPA di SMP mencakup kajian tentang biologi dan fisika.
Menurut Permendiknas No 22 (2006:377) menyatakan bahwa : Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) berkaitan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa fakta-fakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja tetapi juga merupakan suatu proses penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi peserta didik untuk mempelajari diri sendiri dan alam sekitar, serta prospek pengembangan lebih lanjut dalam menerapkannya di dalam kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada pemberian pengalaman langsung untuk mengembangkan kompetensi agar menjelajahi dan memahami alam sekitar secara ilmiah. Mata pelajaran IPA merupakan perluasan dan pendalaman IPA di SD serta sebagai dasar untuk mempelajari perilaku benda dan energi serta keterkaitan antara konsep dan penerapannya dalam kehidupan nyata. Bahan kajian IPA untuk SMP/MTs meliputi aspek-aspek sebagai berikut : 1) Makhluk Hidup dan Proses Kehidupan 2) Materi dan Sifatnya 3) Energi dan Perubahannya 4) Bumi dan Alam Semesta Penelitian tentang pembelajaran IPA pada sub konsep Pemantulan Cahaya dengan pendekatan konstruktivisme ini dilakukan pada tingkat SMP karena peneliti ingin melatih siswa-siswa SMP untuk membangun sendiri suatu pengetahuan/ konsep dalam diri mereka. Siswa SMP sebelumnya telah mendapatkan pengetahuan tentang IPA di tingkat Sekolah Dasar sehingga dapat digunakan sebagai pengetahuan awal. Untuk memecahkan suatu masalah, siswa SMP dilatih untuk mengkonstruksi konsep IPA pada sub konsep Pemantulan Cahaya dengan berkomunikasi melalui proses diskusi atau
dengan melakukan pengamatan terhadap suatu kejadian/fakta agar dapat memahami konsep-konsep Fisika dan keterkaitannya dalam kehidupan sehari-hari.
7. Materi Pemantulan Cahaya a. Perambatan Cahaya Cahaya sebagai gelombang elektromagnetik yang dapat merambat dalam ruang hampa udara dengan kecepatan rambat cahaya 3 x 108 m/s. Karena itu cahaya dapat merambat baik melalui medium ataupun tanpa medium (vakum). Cahaya sebagai gelombang merambat lurus ke segala arah. Peristiwa sehari-hari yang menunjukkan adanya cahaya merambat lurus antara lain : 1) Berkas cahaya matahari yang menembus masuk ruangan gelap melalui celah yang sempit merambat secara lurus. 2) Berkas cahaya matahari yang masuk melalui sela-sela pohon di hutan mengarah lurus. Cahaya dipancarkan oleh sumber cahaya. Sumber cahaya adalah benda yang memancarkan cahaya sendiri seperti matahari, bintang, api, dan filamen bohlam. Sedangkan benda-benda yang tidak memancarkan cahaya sendiri melainkan hanya memantulkan cahaya yang mengenainya seperti batu, dinding, manusia dan bulan termasuk bukan sumber cahaya. Benda dibedakan menjadi tiga macam yaitu : 1) benda tak tembus cahaya/benda gelap, yaitu benda yang sama sekali tidak meneruskan cahaya yang mengenainya, misalnya batu, papan kayu, dan buku; 2) benda tembus cahaya/benda bening (transparan), yaitu benda yang meneruskan sebagian besar cahaya yang mengenainya, misalnya air, udara, dan kaca bening; 3) benda buram, yaitu benda yang meneruskan sebagian cahaya yang mengenainya, misalnya kaca, susu, dan kertas tipis. Bukti lain dari cahaya merambat lurus adalah terbentuknya bayang-bayang. Bayang-bayang terbentuk karena cahaya merambat lurus mengenai benda tak tembus cahaya (benda gelap) dan benda buram. Cahaya tersebut dapat berasal dari sumber cahaya berukuran kecil atau besar. Bila cahaya berasal dari sumber cahaya yang kecil, maka bayang-bayang yang terbentuk hanyalah bayang-bayang inti/gelap yang disebut umbra. Tetapi, bila cahaya berasal dari sumber cahaya yang cukup besar, maka bayang-
bayang yang terbentuk adalah bayang-bayang inti/ gelap (umbra) dan bayang-bayang kabur (penumbra).
Gambar 2.1 Terjadinya umbra dan penumbra b. Pemantulan Cahaya 1) Hukum Pemantulan Cahaya Suatu benda dapat dilihat karena benda itu memancarkan atau memantulkan cahaya kemudian cahaya itu masuk ke mata. Benda-benda yang dapat memancarkan cahaya sendiri contohnya matahari, bintang, filamen bohlam, dan api sedangkan bendabenda yang tidak memancarkan cahaya sendiri tetapi hanya memantulkan cahaya yang mengenainya contohnya adalah batu, tembok, manusia, dan bulan. Apabila cahaya mengenai dinding penghalang yang mengkilap maka arah rambat cahaya akan dipantulkan. Pemantulan cahaya selalu mengikuti Hukum Pemantulan Cahaya yang berbunyi : a) Sinar datang, garis normal, dan sinar pantul terletak dalam satu bidang datar. b) Besarnya sudut datang sama dengan sudut pantul.
A
B Gambar 2.2 Pemantulan Cahaya
Keterangan : A : sinar datang
i : sudut datang
N : garis normal
B : sinar pantul
r : sudut pantul
2) Jenis-jenis Pemantulan Cahaya Pemantulan dibagi menjadi dua, yaitu : a) Pemantulan teratur atau reguler, yaitu pemantulan yang terjadi jika berkas-berkas sinar sejajar jatuh pada permukaan yang rata (halus) sehingga akan dipantulkan teratur menjadi berkas-berkas sinar sejajar pula. Contohnya pada permukaan cermin datar dan air yang tenang.
Gambar 2.3 Pemantulan Teratur Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan adanya pemantulan teratur adalah : (1) pemantulan pada permukaan cermin datar yang menyebabkan terbentuknya bayangan benda; (2) pemantulan pada permukaan air kolam yang tenang akibat sinar matahari di siang hari. b) Pemantulan baur atau difus, yaitu pemantulan yang terjadi jika berkas-berkas sinar sejajar jatuh pada permukaan yang tidak rata (kasar) sehingga akan dipantulkan tidak teratur menjadi berkas-berkas sinar yang tidak sejajar. Contohnya permukaan kertas, dinding, dan tanah.
Gambar 2.4 Pemantulan Baur
Peristiwa dalam kehidupan sehari-hari yang menunjukkan adanya pemantulan baur adalah : (1) ruang kelas menjadi terang walaupun tidak terkena sinar matahari secara langsung karena adanya pemantulan baur dari benda-benda di sekitarnya; (2) pada siang hari tempat-tempat di bawah pohon terasa teduh dan tidak gelap meskipun tidak terkena sinar matahari secara langsung. 3) Pemantulan Cermin Datar Cermin datar adalah sebuah cermin yang bidang pemantulnya memiliki permukaan berbentuk datar. Cermin datar dapat membentuk bayangan maya/semu. Bayangan maya/semu adalah bayangan yang terjadi karena pertemuan perpanjangan sinar-sinar pantul. Artinya berkas-berkas sinar sebenarnya tidak melewati bayangan, sehingga bayangan tersebut tidak akan muncul pada kertas atau film yang diletakkan di lokasi bayangan. Sifat-sifat bayangan pada cermin datar adalah maya/semu, tegak, dan jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin. Karena jarak benda ke cermin sama dengan jarak bayangan ke cermin, maka bentuk dan tinggi bayangan sama dengan bentuk dan tinggi benda. Pembentukan bayangan pada cermin datar dilukiskan sebagai berikut :
Gambar 2.5 Pembentukan Bayangan oleh Cermin Datar Keterangan : AB, AB’, DE dan DE’ adalah sinar-sinar datang.
BF, B’F, EF dan E’F adalah sinar-sinar pantul. CB, CB’, GE dan GE’ adalah perpanjangan sinar pantul. Benda AD berada di depan cermin datar. Berkas cahaya yang sejajar yaitu AB, AB’, DE dan DE’ datang mengenai cermin. Menurut hukum pemantulan cahaya, cahaya dari titik A yang datang ke cermin datar di titik B dan B’ dipantulkan ke pengamat F. Dengan cara yang sama, cahaya dari titik D yang datang menuju cermin datar di titik E dan E’ dipantulkan ke pengamat F. Pertemuan perpanjangan sinar pantul CB, CB’, GE dan GE’ menghasilkan bayangan CG. Bayangan yang terjadi bersifat maya karena terbentuk dari titik potong perpanjangan sinar-sinar pantul. Jika dua buah cermin datar membentuk sudut tertentu sebesar α, maka jumlah bayangan yang terbentuk dirumuskan sebagai berikut : n=
360° -1 α
Keterangan : n : jumlah bayangan α : sudut antara dua buah cermin datar
Gambar 2.6 Dua Buah Cermin Datar yang Saling Membentuk Sudut Keterangan gambar : A dan B
: dua buah cermin datar yang membentuk sudut 600
C
: benda
A1 dan A2
: Bayangan cermin A dan dapat berfungsi sebagai cermin
B1 dan B2
: Bayangan cermin B dan dapat berfungsi sebagai cermin
CA1
: Bayangan benda C oleh cermin A
CB1
: Bayangan benda C oleh cermin B
CA2
: Bayangan dari CA1 oleh B1
CB2
: Bayangan dari CB1 oleh A1
CAB
: Bayangan dari CA2 dan CB2 oleh A2 dan B2 yang menjadi satu. Panjang minimum cermin datar yang diperlukan untuk melihat seluruh bayangan
adalah sebesar setengah tinggi dari benda aslinya.
h
Gambar 2.7 Panjang Minimum Cermin Datar yang Dibutuhkan Untuk Melihat Seluruh Bayangan Hal ini dapat dirumuskan sebagai berikut : Keterangan : hc =
1 h 2
hc : tinggi cermin h : tinggi benda
4) Pemantulan Cermin Cekung Permukaan-permukaan yang memantulkan cermin tidak harus datar. Cermin lengkung yang umum berbentuk sferis, yang berarti cermin tersebut membentuk sebagian dari bola. Cermin sferis disebut cermin cekung jika bidang pantulnya berada di dalam
lengkungan sehingga pusat cermin melengkung menjauhi orang yang melihat. Cermin cekung bersifat konvergen (mengumpulkan cahaya). Cermin cekung banyak digunakan sebagai reflektor pada lampu mobil, lampu sepeda motor, dan lampu senter.
M
Gambar 2.8 Bagian-bagian pada Cermin Cekung Jalannya sinar istimewa pada cermin cekung : a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan melalui titik fokus (F). b) Sinar datang menuju titik fokus (F) dipantulkan sejajar sumbu utama. c) Sinar datang melalui titik pusat kelengkungan cermin (M) dipantulkan kembali ke M (pada garis yang sama).
M
F
O
M
(a)
F
O
(b)
M
F
O
(c) Gambar 2.9 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cekung Hubungan jarak benda, jarak bayangan, dan jarak fokus dirumuskan sebagai berikut :
1 1 1 + = So Si f
jika f =
R 2
1 1 2 + = So Si R
Keterangan : So : jarak benda ke cermin (cm) Si : jarak bayangan ke cermin (cm) f : jarak fokus (cm) R : jari-jari kelengkungan cermin (cm) Untuk menentukan perbesaran bayangan digunakan rumus sebagai berikut:
M=
hi S = i ho So
Keterangan : M : perbesaran benda (kali) hi : tinggi bayangan (cm) ho : tinggi benda (cm) Untuk mengetahui hubungan antara tinggi bayangan dan tinggi benda terhadap jarak bayangan dan jarak benda digunakan persamaan sebagai berikut : hi S =- i h0 S0
dimana tanda minus disisipkan sebagai aturan. Perjanjian tanda yang digunakan adalah : tinggi hi adalah positif jika bayangan tegak dan negatif jika bayangan terbalik, relatif terhadap benda (ho selalu dianggap positif); So dan Si positif jika bayangan dan benda berada di depan bidang pemantul, tetapi jika baik bayangan maupun benda berada di belakang cermin, jarak yang bersangkutan adalah negatif. 5) Pemantulan Cermin Cembung Cermin sferis disebut cembung jika bidang pantulnya terletak di luar lengkungan sehingga pusat permukaan cermin menggembung ke luar menuju orang yang melihat.
Cermin cembung bersifat divergen/ menyebarkan cahaya. Cermin cembung banyak digunakan sebagai kaca spion pada mobil dan kendaraan bermotor. Jalannya sinar istimewa pada cermin cembung : a) Sinar datang sejajar dengan sumbu utama dipantulkan seolah-olah dari titik fokus (F). b) Sinar datang menuju titik fokus (F) dipantulkan sejajar dengan sumbu utama. c) Sinar datang menuju titik pusat kelengkungan cermin (M) dipantulkan seolah-olah berasal dari M (pada garis yang sama).
O
F
M
O
(a)
F
M
(b)
O
F
M
(c) Gambar 2.10 Sinar-sinar Istimewa pada Cermin Cembung Analisis yang digunakan pada cermin cekung dapat diterapkan pada cermin cembung. Bahkan persamaan-persamaan yang berlaku pada cermin cekung berlaku juga untuk cermin cembung, hanya saja jarak fokus pada cermin cembung bernilai negatif atau f < 0. Itulah sebabnya, bayangan yang dibentuk oleh cermin cembung selalu bersifat maya (dapat dilihat langsung oleh mata).
B. Dalam penelitian
Kerangka Berpikir
ini pendekatan
yang digunakan
adalah pendekatan
konstruktivisme. Metode pembelajaran yang digunakan adalah metode demonstrasi dan
diskusi. Kedua metode ini tepat digunakan untuk mendukung pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme. Sesuai dengan karakteristik konstruktivisme, siswa ikut berperan aktif dalam pembelajaran dengan membangun sendiri pengetahuannya yang baru.
Metode Demonstrasi - Guru
memperagakan
Metode Diskusi dan -
Guru mengontrol dan mengarahkan
mempertunjukkan kepada siswa
keberhasilan pelaksanaan diskusi.
tentang suatu proses, situasi atau -
Siswa
benda tertentu, baik sebenarnya
pengetahuan
atau hanya sekadar tiruan.
untuk memecahkan masalah, tanpa
- Guru
mengarahkan
demonstrasi, dan
jalannya
mengembangkan
menanyakan
didorong dan
menggunakan pengalamannya
selalu bergantung pada pendapat orang lain.
pertanyaan, -
Diskusi
tanggapan,
intelektual seperti mengemukakan
pengumpulan keterangan lebih
pendapat, mengajukan pertanyaan
lanjut
yang
mendatangkan
dan
membantu
siswa
melatih
tepat,
ketrampilan
menyampaikan
membuat kesimpulan dari fakta
argumentasi yang logis, berfikir
yang ada.
secara reflektif dan sebagainya.
- Siswa
mendapat
bertukar
kesempatan -
pikiran
untuk
Memungkinkan timbulnya gagasan baru dan pengertian baru sebagai
memperbaiki/mempertajam
akibat tukar menukar informasi
pengertian.
maupun tukar pengalaman.
Dalam penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi, penerimaan siswa terhadap materi pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam ke dalam benak siswa. Materi pelajaran yang dipelajari oleh siswa akan lebih jelas dan mudah dipahami karena siswa melihat sendiri suatu proses, situasi atau benda tertentu. Melalui pengamatan tersebut, siswa mem
memperbaiki/mempertajam pengertian
mereka, kemudian membuat kesimpulan dari fakta yang ada. Dengan demikian siswa telah membentuk sendiri konsep baru dalam diri mereka. Sedangkan dalam penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi, siswa membentuk konsep dalam diri mereka melalui interaksi bersama teman kelompoknya. Siswa saling berdiskusi untuk mengemukakan
pendapat,
mengajukan
pertanyaan
yang
tepat,
menyampaikan
argumentasi yang logis, saling tukar menukar pengalaman dan informasi untuk memecahkan suatu masalah tanpa melihat sendiri suatu proses, situasi atau benda tertentu. Melalui diskusi inilah akan timbul gagasan dan pengertian baru. Tentu saja melalui metode diskusi ini pemahaman konsep siswa menjadi kurang dibandingkan melalui metode demonstrasi, sehingga kemampuan kognitif siswa yang dihasilkan pun berbeda. Motivasi sangat penting dalam proses belajar mengajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dapat dimungkinkan dalam mengikuti pelajaran lebih bersemangat karena mempunyai dorongan belajar yang besar. Sedangkan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, dalam mengikuti pelajaran merasa malas sehingga cenderung tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Dari motivasi belajar siswa ini, dapat dimungkinkan bahwa siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi menghasilkan kemampuan kognitif yang berbeda dengan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Pemilihan pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat sesuai dengan kondisi dan situasi materi akan mempengaruhi kemampuan kognitif siswa.
Ketika
melihat motivasi belajar sebagai pendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar maka dimungkinkan dengan motivasi belajar yang tinggi ditunjang dengan pendekatan dan metode pembelajaran yang tepat dalam proses belajar mengajar diharapkan mampu mempengaruhi kemampuan kognitif siswa. Untuk memperjelas kerangka pemikiran tersebut maka dapat digambarkan alur penelitian sebagai berikut :
Kelompok Eksperimen
Pendekatan Konstruktivisme melalui Metode Demonstrasi
Motivasi Belajar Motivasi Tinggi Belajar Rendah Kemampuan Kognitif Siswa
Motivasi Belajar Tinggi Populasi
Motivasi Belajar Rendah
Sampel
Kelompok Kontrol
Pendekatan Konstruktivisme melalui Metode Diskusi
Gambar 2.11 Paradigma Penelitian
C. Pengajuan Hipotesis Berdasarkan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan metode diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya . 2. Ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
3. Ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan motivasi belajar terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 3 Wonogiri. Sebagai subyek penelitian adalah siswa kelas VIII Tahun Ajaran 2008/2009. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada semester II tahun ajaran 2008/2009. Secara operasional penelitian ini meliputi 3 tahap, yaitu: a. Tahap persiapan meliputi: pengajuan judul skripsi, permohonan pembimbing, pembuatan proposal, survey ke sekolah yang digunakan untuk penelitian, permohonan ijin penelitian, dan pembuatan instrumen. b. Tahap pelaksanaan meliputi: semua kegiatan penelitian yang berlangsung di lapangan, uji coba instrumen dan pelaksanaan pengambilan data. c. Tahap penyelesaian meliputi: analisis data dan penyusunan laporan penelitian.
B. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen dengan desain faktorial 2 x 2. Terdapat dua kelompok yang diasumsikan sama dalam hal kemampuan dan intelegensinya, tetapi berbeda dalam pemberian perlakuan pengajaran. Adapun desain faktorial dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Tabel 3.1. Desain Faktorial Penelitian B
B1
B2
A1
A1B1
A1B2
A2
A2B 1
A2B2
A
Keterangan : A
:
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
A1
:
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi
A2
:
Pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi
B
:
Motivasi belajar siswa
B1
:
Motivasi belajar siswa kategori tinggi
B2
:
Motivasi belajar siswa kategori rendah Dalam penelitian ini melibatkan dua kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol. Kelompok eksperimen diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1), sedangkan kelompok kontrol diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi (A2). Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol diukur kadar motivasi belajar (B) sehingga diperoleh data siswa yang memiliki motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan siswa yang memiliki motivasi belajar kategori rendah (B2). Pada akhir eksperimen, kedua kelompok tersebut diukur kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya dengan alat ukur yang sama yaitu berupa tes akhir. Hasil kedua pengukuran tersebut digunakan sebagai data eksperimen yang kemudian diolah dan dibandingkan dengan statistik yang digunakan.
C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 3 Wonogiri Tahun Ajaran 2008/2009. 2. Sampel Sampel penelitian ini terdiri dari dua kelas, yaitu kelas VIII A sebagai kelompok eksperimen, dan kelas VIII B sebagai kelompok kontrol.
3. Teknik Pengambilan Sampel Pada penelitian ini sampel penelitian diambil dengan teknik cluster random sampling. Dalam teknik ini pengambilan sampel dilakukan secara acak, dimana yang diacak adalah seluruh kelas dalam populasi yang digunakan.
D. Variabel Penelitian Pada penelitian ini variabel-variabel yang terlibat adalah : 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini meliputi penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran dan motivasi belajar siswa. a. Pendekatan Konstruktivisme 1) Definisi operasional Pendekatan konstruktivisme adalah cara pandang dalam pembelajaran dengan cara guru mengaktifkan siswa untuk membangun sendiri konsep /pengetahuannya melalui pengetahuan yang telah siswa miliki sebelumnya. 2) Skala pengukuran : nominal dengan dua kategori, yaitu : a) Pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi. b) Pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi. b. Motivasi Belajar 1) Definisi operasioal Motivasi belajar adalah dorongan dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar. 2) Indikator : skor hasil angket motivasi belajar siswa. 3) Skala pengukuran : nominal dengan dua kategori, yaitu: a). Motivasi belajar tinggi. b). Motivasi belajar rendah. 2. Variabel terikat Variabel terikat dalam penelitian adalah kemampuan kognitif siswa.
a. Definisi operasional Kemampuan kognitif adalah tingkat penguasaan konsep siswa yang dinilai dari hasil tes setelah siswa mengikuti kegiatan belajar mengajar. b. Indikator : nilai tes kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. c. Skala pengukuran : interval.
E. Teknik Pengumpulan Data 1. Teknik Dokumentasi Teknik dokumentasi dalam penelitian ini digunakan untuk mengambil data keadaan awal kedua kelompok yaitu kelompok kontrol dan kelompok eksperimen sebelum mendapat perlakuan. Data ini diambil dari nilai ulangan harian konsep Getaran dan Gelombang. 2. Teknik Tes Teknik tes dalam penelitian ini digunakan untuk mengukur kemampuan kognitif siswa setelah diberikan perlakuan. Data ini diambil dari hasil tes kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. 3. Teknik Angket Definisi angket sama dengan kuesioner. Menurut Suharsimi Arikunto (2008:28), “kuesioner adalah sebuah daftar pertanyaan yang harus diisi oleh orang yang akan diukur (responden).” Melalui kuesioner ini, seorang responden dapat diketahui tentang keadaan/ data diri, pengalaman, pengetahuan sikap atau pendapatnya, dan lain-lain. Angket dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui motivasi belajar siswa.
F. Instrumen Penelitian Pada penelitian ini instrumen penelitian terbagi menjadi dua yaitu: 1. Instrumen Pelaksanaan Penelitian Instrumen pelaksanaan penelitian dalam penelitian ini berupa Silabus, Rencana Program Pembelajaran (RPP), dan Lembar Kerja Siswa (LKS). Instrumen pelaksanaan penelitian tersebut disusun oleh peneliti dan dikonsultasikan kepada dosen pembimbing. 2. Instrumen Pengambilan Data Instrumen pengambilan data pada penelitian ini berupa instrumen tes dan instrumen angket. a. Instrumen Tes Kemampuan Kognitif Tes digunakan untuk mengetahui perbedaan hasil kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya dari pembelajaran yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi. Instrumen tes tersebut sebelumnya diujicobakan untuk mendapatkan instrumen tes yang
berkualitas, yang memenuhi kriteria taraf kesukaran, daya pembeda, validitas item, dan reliabilitas. 1) Taraf Kesukaran Soal yang baik adalah soal yang memiliki taraf kesukaran memadai, artinya tidak terlalu sukar dan tidak terlalu mudah. Adapun rumus yang digunakan untuk mengukur taraf kesukaran masing-masing soal adalah: P=
B Js
(Suharsimi Arikunto, 2008 : 208) Keterangan : P
: indeks kesukaran
B : banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul Js : jumlah seluruh siswa peserta tes Adapun indeks kesukaran adalah sebagai berikut : Soal sukar jika
: 0,00 < P £ 0,30
Soal sedang jika : 0,30 < P £ 0,70 Soal mudah jika : 0,70 < P £ 1,00 (Suharsimi Arikunto, 2008 : 210) Dalam penelitian ini soal dengan kriteria mudah dan sukar dipakai jika valid dan mempunyai daya pembeda minimal cukup. 2) Daya Pembeda Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan
siswa yang kurang pandai
(berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi (D). Untuk menghitung daya pembeda setiap soal, dapat digunakan rumus sebagai berikut :
D=
B A BB = PA - PB JA JB (Suharsimi Arikunto, 2008 : 213)
Keterangan : J : jumlah peserta tes
JA : banyaknya siswa kelompok atas JB : banyaknya siswa kelompok bawah BA : banyaknya siswa kelompok atas yang menjawab benar BB : banyaknya siswa kelompok bawah yang menjawab benar PA : proporsi siswa kelompok atas yang menjawab benar PB : proporsi siswa kelompok bawah yang menjawab benar Daya pembeda (nilai D) diklsifikasikan sebagi berikut : 0,00 ≤ D < 0,20
: Jelek (poor)
0,20 ≤ D < 0,40
: Cukup (satisfactory)
0,40 ≤ D< 0,70
: Baik (good)
0,70 ≤ D< 1,00
: Baik sekali (excellent)
D<0
: Semuanya tidak baik. Jadi semua butir soal yang mempunyai nilai D negatif sebaiknya dibuang saja. (Suharsimi Arikunto, 2008 : 218)
Dalam penelitian ini soal yang mempunyai daya pembeda jelek tidak dipakai. 3) Validitas Suatu instrumen tes disebut valid apabila dapat tepat mengukur apa yang hendak diukur. Sedangkan sebuah item dikatakan valid apabila mempunyai dukungan yang besar terhadap skor total. Skor pada item menyebabkan skor total menyebabkan skor total menjadi tinggi atau rendah. Teknik yang digunakan untuk mengukur validitas butir soal/item dalam penelitian ini adalah teknik korelasi point biserial, dengan persamaan :
g pbi =
Mp - Mt St
p q (Suharsimi Arikunto, 2008 :79)
Keterangan :
g
pbi
: koefisien korelasi biserial
Mp : rerata skor dari subyek yang menjawab benar Mt
: rerata skor total
St
: standar deviasi dari skor total
p
: proporsi siswa yang menjawab benar
q
: proporsi siswa yang menjawab salah (q = 1 – p)
Kriteria :
g pbi ³ g tabel : soal valid g pbi < g tabel : soal tidak valid (invalid) 4) Reliabilitas Reliabilitas sering diartikan dengan keajegan suatu tes apabila diteskan kepada subyek yang sama dalam waktu yang berlainan atau kepada subyek yang tidak sama pada waktu yang sama. Untuk menghitung reliabilitas digunakan rumus yang dikemukakan oleh Kuder dan Richardson yang dihitung dengan menggunakan rumus K-R 20, sebagai berikut : 2 é n ù é S - Spq ù = ê ú 2 úê ë n - 1û ë S û
r11
(Suharsimi Arikunto, 2008 : 100) Keterangan : r11
:
reliabilitas tes secara keseluruhan
p
:
proporsi subyek yang menjawab item dengan benar
q
:
proporsi subyek yang menjawab item dengan salah (q = 1-p)
Σpq
:
jumlah hasil perkalian antara p dan q
n
:
banyaknya item
S
:
standar deviasi dari tes
Kriteria dari tes reliabilitasnya, soal dikatakan reliabel apabila r11 ≥ r tabel. Kriteria nilai reliabilitas : 0,8 < r11 £ 1
: sangat tinggi
0,6 < r11 £ 0,8
: tinggi
0,4 < r11 £ 0,6
: cukup
0,2 < r11 £ 0,4
: rendah
0,0 < r11 £ 0,2
: sangat rendah Tabel 3.2. Tabel Keadaan Soal
Variabel
Jumlah/
No item
Presentase/ Nilai Jumlah uji coba
40
1-40
Taraf kesukaran mudah
10 / 25 %
1, 2, 4, 5, 7, 9, 10, 11, 20, dan 31
Taraf kesukaran sedang
23 / 57,5 %
Taraf kesukaran sukar
7 / 17,5 %
3, 6, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 24, 27, 29, 30, 32, 33, 34, 35, 36, 39, dan 40 8, 23, 25, 26, 28, 37, dan 38
Daya pembeda baik
6
3, 6, 13, 17, 29, dan 40
Daya pembeda cukup
29
1, 2, 4, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 14, 15, 16, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 27, 30, 31, 32, 33, 34, 36, 38, dan 39
Daya pembeda jelek
5
22, 26, 28, 35, dan 37
Valid
34
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10,11, 12, 13, 14,15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 38, 39 dan 40
Invalid
6
22, 26, 28, 34, 35, dan 37
Reliabilitas sangat tinggi
0,841
-
Soal layak pakai
34
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24, 25, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 36, 38, dan 39
Soal tidak layak pakai / drop
6
22, 26, 28, 34, 35, dan 37
Soal yang digunakan
30
1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 25, 27, 29, 30, 32, 33, 36, 38, 39 dan 40 Soal yang tidak digunakan
10
5, 14, 22, 24, 26, 28, 31, 34, 35, dan 37
Hasil analisis tingkat taraf kesukaran, daya pembeda, validitas dan reliabilitas soal uji coba tes kemampuan kognitif dapat dilihat dari tabel 3.2. Untuk nilai reliabilitas, didapatkan nilai r11 lebih besar dari r tabel (0,841>0,312), sehingga soal dikatakan reliabel dengan tingkat realibilitas sangat tinggi. Item soal nomor 5, 14, 24, dan 31 merupakan soal yang layak untuk dipakai. Akan tetapi, item soal tersebut tidak digunakan karena hanya diambil 30 soal untuk tes kognitif. Pengambilan soal untuk tes kemampuan kognitif dari soal-soal yang telah layak untuk dipakai ini berdasarkan pemerataan dari indikatornya. Semua soal yang diambil telah mencakup semua indikator yang dibuat. Pemakaian soal untuk tes kemampuan kognitif disajikan pada lampiran 5 dan 6. Penggunaan item soal tanpa ada perbaikan, karena sesuai hasil analisa masing-masing soal layak dipakai. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 9. b. Instrumen Angket Motivasi Belajar Angket digunakan untuk mengetahui motivasi belajar siswa. Isi pertanyaan dalam angket ini adalah tentang aktivitas, perasaan, serta sikap siswa dalam belajar. Langkah-langkah dalam menyusun angket motivasi belajar adalah sebagai berikut : 1) membuat kisi-kisi angket motivasi belajar, yaitu dengan: a) menentukan aspek kemampuan yang akan diukur b) menentukan indikator dari kemampuan yang akan diukur c) menentukan banyaknya pernyataan untuk masing-masing sub variabel. 2) Menyusun item pertanyaan angket sesuai dengan indikator. 3) Mengujicobakan angket motivasi belajar untuk mengetahui validitas dan reliabilitas dari angket yang akan dibuat. Prosedur pemberian skor tingkat motivasi belajar siswa adalah sebagai berikut : 1) untuk angket motivasi belajar siswa pada item positif : a) jawaban selalu dengan skor 4 b) jawaban sering dengan skor 3
c) jawaban kadang-kadang dengan skor 2 d) jawaban tidak pernah dengan skor 1 2) untuk angket motivasi belajar siswa pada item negatif : a) jawaban selalu dengan skor 1 b) jawaban sering dengan skor 2 c) jawaban kadang-kadang dengan skor 3 d) jawaban tidak pernah dengan skor 4 Angket sebelum disebarkan ke responden diadakan tryout untuk mendapatkan angket yang memenuhi reliabilitas dan validitas. 1) Reliabilitas Angket Reliabilitas angket dicari secara keseluruhan dengan menggunakan rumus Alpha yaitu : 2 æ n ö æç Ss i r11 = ç 1 ÷ s t2 è n - 1 ø çè
ö ÷ ÷ ø (Suharsimi Arikunto, 2008:109)
Keterangan : r11 : reliabilitas yang dicari n
: banyaknya item/ butir soal
Ss i2
: jumlah varians skor tiap-tiap item.
s t2 : varians total. 2) Validitas Angket Untuk menghitung validitas item angket motivasi belajar fisika digunakan rumus korelasi product moment dengan angka kasar yaitu :
rXY =
N å XY - (å X )(å Y )
{N å X
2
}{
- (å X ) N å Y 2 - (å Y ) 2
2
} (Suharsimi Arikunto, 2008:72)
Keterangan : rXY
= koefisien korelasi antara variabel X dan variabel Y
N
= jumlah responden
X
= skor item masing-masing responden
Y
= skor total jumlah dari keseluruhan item masing-masing responden Tabel 3.3. Tabel Keadaan Angket Variabel
Jumlah/
No item
Presentase/ Nilai Jumlah uji coba
40
1-40
0,932
-
Valid
32
1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 18, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 37, 38, dan 39
Invalid
8
11, 17, 20, 28, 30, 35, 36, dan 40
Item yang digunakan
30
1, 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 14, 15, 16, 19, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 29, 31, 32, 33, 34, 37, 38, dan 39
Item yang tidak digunakan
10
4, 11, 17, 18, 20, 28, 30, 35, 36, dan 40
Reliabilitas sangat tinggi
Hasil analisis tingkat reliabilitas dan validitas uji coba angket motivasi belajar dapat dilihat dari tabel 3.3. Untuk nilai reliabilitas, didapatkan nilai r11 lebih besar dari r tabel
(0,932>0,312), sehingga angket dikatakan reliabel dengan tingkat realibilitas sangat
tinggi. Item angket nomor 4 dan 18 merupakan item yang layak untuk dipakai. Akan tetapi, item tersebut tidak digunakan karena hanya diambil 30 soal untuk angket motivasi. Pengambilan item untuk angket motivasi belajar dari item-item yang valid berdasarkan pemerataan dari indikatornya. Semua item yang diambil telah mencakup semua indikator yang dibuat. Pemakaian item untuk angket motivasi belajar disajikan pada lampiran 10 dan 11. Penggunaan item angket tanpa ada perbaikan, karena sesuai hasil analisa masingmasing item layak dipakai. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 12.
G. Teknik Analisis Data 1. Uji Kesamaan Keadaan Awal Siswa Sebelum diadakan perlakuan terhadap sampel yang akan diteliti maka dicari dahulu kesamaan keadaan awal antara kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dengan menggunakan uji-t 2 ekor. a. Hipotesis Ho : Tidak ada perbedaan keadaan awal antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa kelompok kontrol. H1 : Ada perbedaan keadaan awal antara siswa kelompok eksperimen dengan siswa kelompok kontrol.
b. Statistik Uji t=
x1 - x 2 æ1ö æ 1 S çç ÷÷ + çç è n1 ø è n 2
ö ÷÷ ø
Keterangan : S
:
Standar deviasi (simpangan baku)
(n1 - 1) S1 + (n 2 - 1) S2 n1 + n 2 - 2 2
S=
2
x1
: Rata-rata kelompok eksperimen
x2
: Rata-rata kelompok kontrol
S1
: Simpangan baku kelompok eksperimen
S2
: Simpangan baku kelompok kontrol
n1
: Jumlah sampel kelompok eksperimen
n2
: Jumlah sampel kelompok kontrol
c. Taraf signifikansi: α = 5% d. Kriteria Pengujian Jika – t1- 1 a < t < t1- 1 a maka H0 diterima 2
2
Jika t ³ t1- 1 a atau t £ - t1- 1 a maka H0 ditolak 2
2
(Sudjana, 1996:239) 2. Uji Prasyarat Analisis a. Uji Normalitas Uji yang digunakan dikenal dengan nama uji Liliefors. Uji normalitas digunakan untuk mengetahui suatu sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Langkah-langkah pengujian adalah sebagai berikut: 1) Pengamatan x1, x2, ……, xn dijadikan bilangan baku z1, z2, ……, zn dengan menggunakan rumus: zi =
xi - x ( x dan s masing-masing merupakan rata-rata s
dan simpangan baku sampel) 2) Untuk setiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F(zi) = P(z ≤ zi). 3) Selanjutnya dihitung proporsi z1, z2, ……, zn yang lebih kecil atau sama dengan zi. Jika proporsi ini dinyatakan oleh S(zi), maka: S(zi) =
banyaknya zi , z2 ,...., zn yang £ zi n
4) Hitung selisih F(zi) - S(zi) kemudian tentukan harga mutlaknya. 5) Ambil harga yang paling besar di antara harga-harga mutlak selisih tersebut (L0). Adapun kriteria ujinya adalah sebagai berikut : Jika Lo £ Ltabel
: maka sampel berasal dari populasi berdistribusi normal.
Jika Lo > Ltabel
: maka sampel berasal dari populasi yang tidak terdistribusi normal. (Sudjana, 1996:466-467)
b. Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah sampel dari populasi yang homogen atau tidak. Pengujian menggunakan uji Barlett dengan rumus:
c2 =
2,303 2 ( f log RKG - S f j log S j ) c
dengan : c
= 1+
1 é 1 1ù êå - ú 3(k - 1) êë f j f úû
Sj2 =
SS j n j -1 (å X j ) 2
SSj =
åXj -
k :
banyaknya populasi = banyaknya sampel
f
:
derajat kebebasan untuk RKG
=
N–k=
2
nj
= (nj-1)Sj2
k
åf j =1
j
N :
banyaknya seluruh nilai (ukuran)
fj :
derajat kebebasan untuk Sj2
=
nj – 1
j = 1, 2, 3, ….,k nj :
banyaknya nilai (ukuran) sampel ke-j = ukuran sampel ke-j
RKG : Rataan Kuadrat Galat =
å SS åf
j
j
Kriteria ujinya adalah sebagai berikut : Jika c 2 £ c 2a; k-1 untuk α=0,05, maka H0 diterima (kedua populasi homogen). Jika c 2 > c 2a; k-1 untuk α=0,05, maka H0 ditolak (kedua populasi tidak homogen). (Budiyono, 2004: 176-177) 3. Uji Hipotesis a. Uji Analisis Variansi Dua Jalan Isi Sel Tidak Sama Hipotesis penelitian ini diuji dengan menggunakan analisis variansi dua jalan dengan sel tidak sama, dengan tahap–tahap sebagai berikut : 1) Model Xijk = m + ai + bj + abij + eijk . dengan : Xijk : Pengamatan ke-k dibawah faktor A kategori i, faktor B kategori j. m
: Rerata besar
ai
: Efek faktor A kategori i
bj
: Efek faktor B kategori j
ab ij : Interaksi faktor A dan B eijk
: Galat yang berdistribusi normal N (0, se2)
i
: 1,2, …, p ; p = cacah kategori A
j
: 1,2, …, q ; q = cacah kategori B
k
: 1,2, …, n ; n = cacah kategori pengamatan setiap sel
2) Analisis dan Tata Letak Data Analisis variansi dua jalan 2 x 2
Tabel 3.4. Tata Letak Data B
B1
B2
A1
A1B1
A1B2
A2
A2B1
A2B2
A
Keterangan : A
:
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
B
:
motivasi belajar siswa
A1 :
pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi
A2 :
pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi
B1 :
motivasi belajar kategori tinggi
B2 :
motivasi belajar kategori rendah
3) Prosedur a) Hipotesis H0A : a i = 0
untuk setiap i = 1,2,3, …,p. Berarti tidak ada perbedaan penggunaan
pendekatan
konstruktivisme
melalui
metode
demonstrasi dan diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya. H1A : a i ¹ 0
untuk paling sedikit satu harga ai yang tidak nol. Berarti ada perbedaan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya.
H0B : b j=0
untuk setiap j = 1,2,3 …,q. Berarti tidak ada perbedaan antara motivasi belajar kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya.
H1B : b j ¹ 0 untuk paling sedikit satu bj yang tidak nol. Berarti ada perbedaan antara motivasi belajar kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya. H0AB : a b ij=0 untuk setiap i = 1,2,…,p dan j = 1,2,….,q. Berarti tidak ada interaksi penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui
metode pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap kemampuan kognitif siswa pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya. H1AB: a b ij ¹ 0 untuk paling sedikit ada satu (ab)ij yang tidak nol. Berarti ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan
motivasi belajar siswa terhadap
kemampuan kognitif siswa pada pada Sub Konsep Pemantulan Cahaya. b) Komputasi nh =
pq 1 åij n ij
nh
: rataan harmonik frekuensi seluruh sel
nij
: ukuran sel ij (sel pada baris ke-i dan kolom ke-j
N = å n ij
: banyaknya seluruh data amatan
ij
2
SS ij = å X ijk2 k
ABij
æ ö ç å X ijk ÷ ø : jumlah kuadrat devasi data amatan pada sel ij -è k n ijk : rataan pada sel ij
Ai =
å AB
ij
: jumlah rataan pada baris ke-i
ij
: jumlah rataan pada baris ke-j
j
Bj =
å AB j
G = å ABij : jumlah rataan semua sel i, j
(1) Komponen Jumlah Kuadrat (1) =
G2 ; pq
(2) =
å SS
ij
;
i, j
2
(3) =
A åi qi ;
(4) =
å j
(5) =
B2 j p
å AB
2 ij
i, j
Keterangan : N
: Jumlah cacah pengamatan semua sel
G2
: Kuadrat jumlah rerata pengamatan semua sel
A12
: Jumlah kuadrat rerata pengamatan baris ke-i
B2j
: Jumlah kuadrat rerata pengamatan baris ke-j 2
ABij
: Jumlah kuadrat rerata pengamatan pada sel abij
(2) Jumlah Kuadrat JKA
= nh
[
JKB
= nh
[
JKAB = nh
[
JKG
(3) (4) (5)
-(4)
-(1) ] -(1) ]
-(3)
+(1) ]
= (2) +
JKT
= JKA + JKB + JKAB + JKG
dengan :
nh =
pq = Rataan harmonik frekuensi seluruh sel 1 å i , j nij
(3) Derajat kebebasan dkA
=p–1
dkB
=q–1
dkAB = (p – 1)(q – 1)
= pq – p – q + 1
dkG
= N – pq
= pq (n – 1)
+ dkT
=N–1
(4) Rerata Kuadrat RKA = JKA / dkA RKB = JKB / dkB RKAB = JKAB / dkAB RKG = JKG / dkG (5) Statistik uji Fa = RKA / RKG Fb = RKB / RKG Fab = RKAB / RKG c) Daerah Kritik DKa DKb DKab
{ = {F F = {F F
= F Fa > Fa ; p -1, N - pq b
ab
> Fa ;q -1, N - pq
} }
> Fa ;( p -1)( q -1), N - pq
}
d) Keputusan Uji H0A ditolak jika Fa > Fa ; p – 1, N – pq H0B ditolak jika Fb > Fa ; q – 1, N – pq
H0AB ditolak jika Fab > Fa ; (p – 1)(q-1), N – pq
e) Rangkuman analisis Tabel 3.5. Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalan Frekuensi Sel Tak Sama Fa
P
Fa
F*
< a atau > a
RKB
Fb
F*
< a atau > a
(p – 1)(q – 1)
RKAB
Fab
F*
< a atau > a
JKG
N – pq
RKG
-
-
-
JKT
N–1
-
-
-
-
Sumber Variansi
JK
dk
Baris (A)
JKA
p–1
RKA
Kolom (B) Interaksi (AB) Kesalahan
JKB
q–1
JKAB
Total
RK
Statistik Uji (Fobs)
(Budiyono, 2004: 227-230) b. Uji Lanjut ANAVA Uji lanjut ANAVA (Komparasi Ganda) merupakan tindak lanjut dari analisis variansi. Dalam penelitian ini uji komparasi ganda dengan metode Scheffe. Langkahlangkah metode Scheffe adalah : 1) Mengidentifikasi semua pasangan komparasi ganda 2) Merumuskan hipotesis yang bersesuaian dengan komparasi tersebut. 3) Mencari harga statistik uji F dengan menggunakan rumus sebagai berikut : a). Untuk komparasi rataan antar baris
Fi. - j . =
(x
i.
- x j.
)
2
æ1 1 ö RKGç + ÷ çn n ÷ j. ø è i.
b). Untuk komparasi rataan antar kolom
F. i . j =
(x
.i
- x. j
)
2
æ1 1 ö RKG ç + ÷ ç n. i n. j ÷ è ø
c). Untuk komparasi rataan antar sel pada kolom yang sama
Fij - kj =
(x
ij
- x kj
)
2
æ1 1 ö÷ RKG ç + çn n ÷ kj ø è ij
Keterangan: xi .
= Rataan pada baris ke i
x j.
= Rataan pada baris ke j
x .i
= Rataan pada kolom ke i
x.j
= Rataan pada kolom ke j
x ij
= Rataan pada sel ij
x kj
= Rataan pada sel kj
ni .
= ukuran sampel baris ke i
nj.
= ukuran sampel baris ke j
n .i
=
n. j
= ukuran sampel kolom ke j
ukuran sampel kolom ke i
4) Menentukan tingkat signifikansi (a). 5) Menentukan daerah kritik (DK) dengan menggunakan rumus sebagai berikut : DKi.-j. = {Fi.-j. | Fi.-j. > (p-1) Fa ; p-1,N-pq} DK.i-.j = {F.i-.j | F.i-.j > (q-1) Fa ; q-1,N-pq} DKij-kj = {Fij-kl | Fij-kj > (pq-1) Fa ; pq-1,N-pq} 6) Menentukan uji (beda rerata) untuk setiap pasang komparasi rerata. 7) Menyusun rangkuman analisis (komparasi ganda). (Budiyono, 2004:213-21
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data Penelitian ini menggunakan dua variabel yaitu variabel bebas dan terikat. Sebagai variabel bebas adalah penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi serta motivasi belajar siswa. Sedangkan variabel terikatnya adalah kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Jumlah kelas yang digunakan adalah 2 kelas yaitu kelas VIII A yang terdiri dari 40 siswa sebagai kelas eksperimen dan kelas VIII B yang terdiri dari 40 siswa sebagai kelas kontrol, secara keseluruhan terdapat 80 siswa. Data yang diperoleh adalah hasil dokumentasi, skor angket dan nilai hasil tes kognitif. Secara rinci adalah sebagai berikut: Data nilai keadaan awal, skor angket motivasi belajar dan kemampuan kognitif disajikan pada tabel 4.1. Tabel 4.1. Data Nilai Keadaan Awal, Skor Angket Motivasi Belajar dan Nilai Kemampuan Kognitif
Variabel
Cacah Sampel Nilai terendah Nilai tertinggi Ratarata Median Modus Standar deviasi
Keadaan Awal Kelas Kelas Eksperi Kontrol men 40 40
Motivasi Belajar Kelas Kelas Eksperi Kontrol men 40 40
Kemampuan kognitif Kelas Kelas Eksperi Kontrol men 40 40
50
50
70
68
43
43
85
85
102
101
83
80
68,63
67,88
85,38
84,05
68,85
64,48
70 75 8,40
70 65 & 70 7,84
85 85 8,27
85 74 & 91 9,24
71,5 73 9,74
67 73 11,86
B. Uji Kesamaan Keadaan Awal Data yang digunakan untuk uji kesamaan keadaan awal dalam penelitian ini adalah nilai ulangan harian konsep sebelumnya yaitu konsep Getaran dan Gelombang. Uji kesamaan keadaan awal dilakukan dengan menggunakan rumus uji t-dua ekor. Sebelum dilakukan Uji-t dua ekor terlebih dahulu dilakukan Uji Prasyarat yaitu Uji Normalitas dan Homogenitas.
1.
Uji Normalitas Keadaan Awal Siswa
Hasil uji normalitas keadaan awal siswa dengan uji Lilliefors ditunjukkan pada tabel 4.2. Tabel 4.2. Hasil Uji Normalitas Keadan Awal Siswa Kelas
Jumlah Data
Lo
Ltabel
Keputusan
Eksperimen
40
0,1236
0,140
Ho diterima
Kontrol
40
0,1193
0,140
Ho diterima
Dari tabel 4.2. tersebut dapat dilihat bahwa Ho dari masing- masing kelas diterima. Hal ini berarti bahwa sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 14-15. 2.
Uji Homogenitas Keadaan Awal Siswa
Hasil uji homogenitas menggunakan uji Bartlett untuk sampel kelas eksperimen dan kontrol diperoleh harga c 2 = 0,18 . Harga ini tidak melebihi harga 2 = 3,841 untuk dk =1 dan taraf signifikansi 5 %, yang berarti sampel berasal dari c tabel populasi yang homogen. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 16.
3.
Uji t Dua Ekor
Uji kesamaan keadaan awal dengan uji-t dua ekor dilakukan untuk mengetahui apakah kedua sampel yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol memiliki keadaan awal yang sama sebelum diberi perlakuan. Dari tabel distribusi t diketahui harga t1- 1 a = 2 dengan dk=(40+40-2)=78 dan taraf signifikansi 5 %. Sedangkan hasil 2
perhitungan uji t didapatkan t = 0,41 sehingga - t1- 1 a < t < t1- 1 a = -2 < 0,41 < 2 2
2
dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan antara keadaan awal antara siswa kelas eksperimen dengan siswa kelas kontrol. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 17. C. Hasil Analisis Data 1. Uji Prasyarat Analisis Prasyarat analisis data yang harus dipenuhi adalah Uji Normalitas dan Uji Homogenitas. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah nilai Postest pada sub konsep Pemantulan Cahaya. a. Uji Normalitas Kemampuan Kognitif Siswa Hasil uji normalitas kemampuan kognitif siswa dengan uji Lilliefors ditunjukkan pada tabel 4.3. Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas Kemampuan Kognitif Siswa
Kelas
Jumlah Data
Lo
Ltabel
Keputusan
Eksperimen
40
0,0836
0,140
Ho diterima
Kontrol
40
0,1090
0,140
Ho diterima
Dari tabel 4.3. tersebut dapat dilihat bahwa Ho dari masing- masing kelas diterima. Hal ini berarti bahwa sampel dalam penelitian ini berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 19-20. b. Uji Homogenitas Kemampuan Kognitif Siswa Hasil uji homogenitas menggunakan uji Bartlett untuk sampel kelas 2 eksperimen dan kontrol diperoleh c 2 = 1,48 . Apabila dikonsultasikan dengan c tabel dengan taraf signifikansi 5% diperoleh c 02,05;1 = 3,841. Karena c 2 < c 02,05;1 atau 1,48 < 3,841 maka dapat dikatakan bahwa sampel berasal dari populasi yang homogen. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 21.
2. Hasil Pengujian Hipotesis a. Hasil Analisis Variansi Penelitian ini melibatkan dua variabel bebas. Pertama adalah penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi. Kedua adalah motivasi belajar siswa yang dibedakan menjadi dua yaitu kategori tinggi dan rendah. Untuk variabel terikatnya adalah kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Analisis data yang digunakan adalah analisis variansi dua jalan dengan isi sel tak sama. Hasil Anava dua jalan isi sel tak sama terhadap kemampuan kognitif siswa yang diberi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran disajikan pada tabel 4.4. Tabel 4.4. Rangkuman Analisis Variansi (Anava) Dua Jalan sel tak sama Sumber Variansi
JK
dk
RK
Fobs
Ftab
P
A (Baris)
323,74
1
323,74
4,29
3,98
< 0,05
B (kolom) AB (Interaksi) Galat
3236,71 194,70 5735,23
1 1 76
3236,71 194,70 75,46
42,89 2,58 −
3,98 3,98 −
< 0,05 > 0,05 −
Total
9490,38
79
−
−
−
−
Keputusan uji: Berdasarkan tabel 4.4. dapat disimpulkan : 1) Ada perbedaan penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan diskusi (A2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Hal ini karena, Fa= 4,29 > F0,05;1,76 = 3,98. 2) Ada perbedaan antara motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan rendah (B2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Hal ini karena, Fb = 42,89 > F0,05;1,76 = 3,98. 3) Tidak ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran (A) dan motivasi belajar siswa (B) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Hal ini karena, Fab= 2,58 < F0,05;1,76 = 3,98. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 23. b. Hasil Uji Lanjut Analisis Variansi Untuk mengetahui lebih lanjut tentang perbedaan antar rerata pada Anava, maka dilakukan uji komparasi ganda antar kolom dan antar baris dengan metode scheffe. Rangkuman komparasi ganda disajikan pada tabel 4.5. Tabel 4.5. Rangkuman Komparasi Rerata Pasca Anava Rerata
Komparasi
Statistik
Harga
Uji
Kritik
Rerata
P
kesimpulan
1
2
(F)
(a = 0,05)
mA1 vs mA2
68,85
64,48
5,07
3,98
< 0,05
mA1 >mA2
mB1 vs mB2
72,52
59,50
44,49
3,98
< 0,05
mB1 > mB2
Keputusan uji: Berdasarkan tabel 4.5. dapat disimpulkan hasil uji coba rerata yaitu: 1) FA12 = 5,07 > F0,05;1,76 = 3,98 maka Ho ditolak Hal
ini
menunjukkan
bahwa
ada
pengaruh
penggunaan
pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan metode diskusi (A2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Karena X 1.> X 2. , maka jika ditinjau dari keefektifan perlakuan, perlakuan 1 lebih efektif daripada perlakuan 2. Hal ini berarti bahwa pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme
melalui metode demonstrasi lebih efektif dibandingkan dengan metode diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. 2) FB12 = 44,49 > F0,05; 1,76 = 3,98 maka Ho ditolak Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan rendah (B2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Karena X .1> X .2, maka jika ditinjau dari keefektifan perlakuan, perlakuan 1 lebih efektif daripada perlakuan 2. Hal ini berarti bahwa motivasi belajar kategori tinggi lebih efektif dibandingkan motivasi belajar kategori rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Perhitungan secara lengkap disajikan pada lampiran 24.
D. Pembahasan Hasil Analisis Data 1. Uji Hipotesis Pertama H0A :ai = 0
Tidak ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan diskusi (A2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
H0A :ai ¹ 0 :
Ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan diskusi (A2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
Berdasarkan hasil analisis variansi (Anava), dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan rerata kemampuan kognitif siswa yang diberi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan diskusi (A2). Pada uji lanjut anava, didapatkan nilai FA12 = 5,07 lebih besar dari F0,05;1,76 = 3,98. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi (A1) dan metode diskusi (A2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Rerata kelas eksperimen adalah 68,85 sedangkan rerata kelas kontrol adalah 64,48. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan
konstruktivisme melalui metode demonstrasi menghasilkan kemampuan kognitif yang lebih baik daripada penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi. Dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi, siswa mendapatkan penjelasan melalui suatu tiruan perbuatan atau dengan menggunakan alat. Materi pelajaran yang dipelajari oleh siswa akan lebih jelas dan mudah dipahami jika siswa melihat langsung pada benda dan proses yang ditunjukkan oleh guru. Selain itu agar siswa tidak bosan dengan materi yang diberikan oleh guru, maka metode ini dapat merangsang ketertarikan siswa terhadap materi pelajaran. Dengan metode ini penerimaan terhadap pelajaran akan lebih berkesan secara mendalam ke dalam benak siswa karena siswa melihat sendiri suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekedar tiruan. Hal ini berbeda dengan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode diskusi. Dalam metode ini, siswa hanya dapat berinteraksi dengan teman kelompoknya dalam mengemukakan pendapat, mengajukan pertanyaan yang tepat, menyampaikan argumentasi yang logis, saling tukar menukar pengalaman dan informasi untuk memecahkan suatu masalah tanpa melihat sendiri suatu proses, situasi atau benda tertentu.
2. Uji Hipotesis Kedua H 0 B : b j = 0 : Tidak ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi (B1)
dan rendah (B2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada sub konsep Pemantulan Cahaya. H 1B : b j ¹ 0 : Ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan
rendah (B2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Berdasarkan hasil analisis variansi (Anava), dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan rerata kemampuan kognitif siswa antara siswa yang mempunyai motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan motivasi belajar kategori rendah (B2). Pada uji lanjut anava, didapatkan nilai FB12 = 44,49 lebih besar dari F0,05;1,76 = 3,98. Hal ini menunjukkan bahwa ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi (B1) dan rendah (B2) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
Rerata siswa yang memiliki motivasi belajar kategori tinggi adalah 72,52, sedangkan siswa yang memiliki motivasi belajar kategori rendah adalah 59,50. Dengan demikian, maka dapat disimpulkan bahwa siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik daripada siswa yang memiliki motivasi belajar rendah. Motivasi belajar mempunyai peranan besar dalam keberhasilan seseorang dalam belajar. Hasil ini sejalan dengan pendapat Sardiman A.M. (1990:84) yang menyatakan bahwa, “Hasil belajar akan menjadi optimal, kalau ada motivasi”. Hal ini karena dengan adanya motivasi belajar, siswa akan memiliki dorongan dalam dirinya untuk mencapai tujuan belajar. Siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi akan lebih bersemangat dalam mengikuti pelajaran karena mempunyai dorongan belajar yang besar. Sedangkan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah merasa malas dalam mengikuti pelajaran sehingga cenderung tidak memperhatikan apa yang disampaikan oleh guru. Dengan perbedaan semacam ini, maka penguasaan terhadap materi pelajaran bagi siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi lebih baik dibandingkan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah sehingga siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi akan menghasilkan kemampuan kognitif yang lebih baik.
3. Uji Hipotesis Ketiga H 0 AB : ab ij = 0 : Tidak ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran (A) dan motivasi belajar siswa (B) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. H 1 AB : ab ij ¹ 0 :
Ada
interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme
melalui metode pembelajaran (A) dan motivasi belajar siswa (B) terhadap kemampuan kognitif siswa pada
pada sub
konsep Pemantulan Cahaya. Berdasarkan hasil analisis data maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran (A) dan motivasi belajar siswa (B) terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dengan motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh sendiri-sendiri terhadap pencapaian kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya.
Tidak adanya interaksi ini disebabkan oleh adanya faktor-faktor lain yang tidak terduga dan tidak terkontrol ikut berpengaruh terhadap kemampuan kognitif siswa dan tidak termasuk dalam variabel penelitian. Faktor-faktor tersebut antara lain bentuk kehidupan masyarakat, kegiatan siswa dalam masyarakat, teman bergaul siswa, disiplin sekolah (kedisiplinan guru dalam mengajar, kedisiplinan karyawan/ pegawai dalam pekerjaan administrasi dan kebersihan/ keteraturan kelas dan lain-lain), waktu sekolah (waktu terjadinya proses belajar di sekolah), dan keadaan ekonomi keluarga. Faktorfaktor tersebut ikut mempengaruhi proses belajar siswa yang pada akhirnya mempengaruhi kemampuan kognitif siswa.
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan pembahasan, dapat disimpulkan: 1. Ada pengaruh penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi dan diskusi terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Siswa yang diberi pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik daripada melalui metode diskusi. 2. Ada pengaruh antara motivasi belajar kategori tinggi dan rendah terhadap kemampuan kognitif siswa pada pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Siswa yang memiliki motivasi belajar kategori tinggi memiliki kemampuan kognitif yang lebih baik dari pada siswa yang memiliki motivasi belajar kategori rendah. 3. Tidak ada interaksi penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan motivasi belajar siswa terhadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. Jadi antara penggunaan pendekatan konstruktivisme melalui metode pembelajaran dan motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh sendiri-sendiri tehadap kemampuan kognitif siswa pada sub konsep Pemantulan Cahaya. B. Implikasi Hasil Penelitian Berdasarkan kesimpulan di atas, dapat dikemukakan implikasi penelitian sebagai berikut: 1. Jika guru ingin meningkatkan kemampuan kognitif siswa, guru dapat menggunakan pendekatan konstruktivisme melalui metode demonstrasi. 2. Jika guru ingin meningkatkan kemampuan kognitif siswa, guru dapat memberikan motivasi belajar kepada siswa.
A. C. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan implikasi tersebut maka penulis memberikan saran sebagai berikut: 1. Agar kegiatan demonstrasi berjalan lancar, guru hendaknya menyajikan alat yang dapat diamati dengan seksama oleh semua siswa. 2. Agar kegiatan diskusi berjalan lancar, guru hendaknya mengupayakan agar semua kelompok dalam kegiatan diskusi memiliki kemampuan yang sama sehingga diskusi tidak dikuasai oleh satu kelompok yang memiliki kemampuan lebih unggul. 3. Guru hendaknya selalu memberikan motivasi belajar untuk siswa, misalnya dengan cara menyajikan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang menarik serta mampu mengaktifkan siswa.
DAFTAR PUSTAKA A. Tabrani Rusyan, Atang Kusdinar, & Zainal Arifin. 1989. Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remadja Karya. Budi Purwanto. 2007. Sains Fisika Konsep dan Penerapannya 2. Surakarta : Tiga Serangkai. Budiyono. 2004. Statistika Untuk Penelitian. Surakarta : UNS Press. Gino H.J., Suwarni, Suripto, Maryanto, & Sutijan. 1998. Belajar dan Pembelajaran I. Surakarta : UNS Press. Hamzah B. Uno. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Jakarta : Bumi Aksara. Haris Mudjiman. 2008. Belajar Mandiri. Surakarta : LPP UNS dan UNS Press. Hewson et al. 2002. The Impact of Constructivism on Education: Language, Discourse, and Meaning. American Communication Journal. 3(5), 1-10. Tersedia: http://www.acjournal.org/holding/vol15/iss3/special/jones.htm diakses 19 juli 2009. Jerod L. Gross. 2005. Levels Of Inquiry : Hierarchies Of Pedagogical Practices And Inquiry Processes. Journal of Physics Teacher Education Online. 2(3), 3-11. Kurniati. 2008. Pembelajaran Berbasis Laboratorium untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Sikap Ilmiah Siswa Tentang Sistem Pencernaan Makanan. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA. 2 (3), 301-308. Margono. 1998. Strategi Belajar Mengajar Buku I. Surakarta: UNS Press. Muammer Calik. 2008. Using different conceptual change methods embedded within the 5E Model: A sample teaching for heat and temperature. Journal of Physics Teacher Education Online. 5(1), 3-7. Mulyani Sumantri dan Johar Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : Maulana. Nana Sudjana. 2008. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung. Remaja Rosda Karya. Ngalim Purwanto. 2007. Psikologi Pendidikan . Bandung: Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta : Sinar Grafika. Paul Suparno. 1997. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi Rini Budiharti. 1998. Strategi Belajar Mengajar Bidang Studi. Surakarta: UNS Press. Roestiyah N.K. 2008. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Rineka Cipta. Rohmi Isna Fuadati. 2006. Pengaruh Pembelajaran Fisika Dengan Pendekatan Konstruktivisme Terhadap Kemampuan Kognitif Siswa Ditinjau Dari Penguasaan Materi Prequisite Pada Pokok Bahasan Usaha di SMP Tahun Ajaran 2005/2006. Surakarta: FKIP UNS. Sanjaya. 2008. Model Pembelajaran Generatif untuk Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Keterampilan Berpikir Kritis Siswa SMK pada Materi Momentum dan Impuls. Jurnal Penelitian Pendidikan IPA. 2 (3), 291-300. Sardiman, A.M. 1990. Interaksi dan Motivasi Belajar-Mengajar. Jakarta: Rajawali.
Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Rineka Cipta. Sudjana. 1996. Metoda Statistika. Bandung : Tarsito. Suharsimi Arikunto. 2008. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Team Didaktik Metodik Kurikulum IKIP Surabaya. 1993. Pengantar Didaktik Metodik Kurikulum PBM. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Tim Skripsi. 2002. Pedoman Penulisan Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS Surakarta. Widagdo Mangunwiyoto. 2007. Pokok–Pokok Fisika SMP Kelas VIII. Jakarta :Erlangga. Wina Sanjaya. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta : Kencana Prenada Media. W.S. Winkel. 2007. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta : Media Abadi.