KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TOLAKI DALAM PENGELOLAAN PASCA PANEN TANAMAN PADI GOGO (Oryza sativa L) (Studi kasus di Desa Watumerembe, Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan)
SKRIPSI
Oleh: SERTIAWAN NIM. D1A1 13 066
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT TOLAKI DALAM PENGELOLAAN PASCA PANEN TANAMAN PADI GOGO (Oryza sativa L) (Studi kasus di Desa Watumerembe, Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan)
SKRIPSI
Diajukan kepada fakultas pertanian Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian Di Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Oleh: SERTIAWAN NIM. D1A1 13 066
JURUSAN/PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2017
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI BENARBENAR HASIL KARYA SENDIRI DAN BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANA PUN. APABILA DIKEMUDIAN HARI TERBUKTI ATAU DAPAT DIBUKTIKAN BAHWA SKRIPSI INI HASIL JIPLAKAN ATAU PELAGIAT MAKA SAYA BERSEDIA MENERIMA SANKSI SESUAI PERATURAN YANG BERLAKU DAN TIDAK MELIBATKAN DOSEN PEMBIMBING YANG BERSANGKUTAN.
Kendari, 14 Agustus 2017
SERTIAWAN NIM. D1A1 13 066
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
: Kearifan LokaMasyarakatTolaki dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L) Studi Kasus di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan
Nama
: Sertiawan
NIM: D1A1 13 066 Jurusan/Program Studi : Agribisnis Minat
: Sosial Ekonomi Pertanian (SEP)
Menyetujui, Pembibing I
Pembibing II
Dr.Ir. Mukhtar, M.S. NIP.1957231 198603 1 025
Dr.AwaluddinHamzah. S.P.,M.si. NIP.19730921 200212 1 002
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
Ketua Jurusan/Program Studi Agribisnis
Prof. Dr.Ir. M. Tufaila., M.P. NIP. 19660705 199103 1 004
Abdul Gafaruddin., S.P, M.Si. NIP. 19750814 200604 1 001
Tanggal Lulus : 14 Agustus 2017
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN
Judul
: Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki Dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L) Studi Kasus diDesa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan
Nama
:
Sertiawan
NIM
:
D1A1 13 066
Jurusan/Program Studi
:
Agribisnis
Minat
:
Sosial Ekonomi Pertanian (SEP)
Telah diujikan di depan Tim Penguji Skipsi dan telah diperbaiki sesuai saransaran saat ujian. Kendari, 14 Agustus 2017
Tim Penguji Ketua
Tanda Tangan:…….………...
:Ir. L. Daud, M.si.
Tanda Tangan:……….……...
Sekeretaris :Dr. Ir. Idrus Salam, M.Si.
Tanda Tangan:….…………..
Anggota
:Dr.Ir. Mukhtar, M.S.
Anggota
:Dr.Awaluddin Hamzah, S.P.,M.si.Tanda Tangan:………….…..
Anggota
:Samsul Alam Fyka, S.P.,M.si.Tanda Tangan:…….…….….
v
ABSTRAK
Setiawan (D1A1 13 066) Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki Dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo Di Desa Watumerembe Kecamtan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Dibimbing oleh Dr. Ir. Mukhtar, M.S selaku pembibing I dan Awaluddin Hamzah,SP.,M.Si selaku pembimbing II. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apa saja peran kearifan lokal masyarakat Tolaki dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo (Oryza sativa L), Untuk mengetahui bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo (Oryza sativa L) pada masyarakt Tolaki di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan.Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai Mei Tahun 2017.Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive sampling) yaitu penentuan informan berdasarkan penilaian subjektif penulis yang berlandaskan pada karateristik tertentu yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Dengan jumlah informan 6 orang dan sejumlah masyarakat yang bisa memberikan informasi tentang kearifan lokal.Data diolah menggunakan analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa Kearifan lokal di Desa Watumerembe yang terkait dengan kegiatan pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo berupa adat istiadat, Nilai, larangan/pamali (ipado), teknologi dan sanksi masih di pegang teguh dan dipatuhi sampai saat ini dan menjadi landasan hidup bagi masyarakat Desa Watumerembe. Transfer pengetahuan mengenai kearifan lokal tersebut dilakukan dengan cara melibatkan anak-anak sejak kecil karena dalam kegiatan pengelolaan pasca panen yang dimulai dari awal pemanenan dengan segala ritual yang menyertainya. Penguatan sanksi atau hukuman jika melanggar aturan parika (mbe pu’u sowia) dalam pemanenan dilakukan secara lisan melalui nasehat orang tua kepada anaknya.Sosialisasi mengenai kearifan lokal tersebut melalui keluarga menjadi bentuk sosialisai yang efektif untuk bertahannya kearifan lokal. Kata kunci: Kearifan Lokal, Masyarakat Tolaki, Adat Istiadat, Nilai, Pamali (Ipado), Teknologi, Pengelolaan Pasca Panen Padi Gogo (Oyza sativa L)
vi
ABSTRACT
Sertiawan (D1A1 13 066) Local Wisdom of Tolaki Society In Post-Harvest Management of Gogo Rice Plantation In Watumerembe Village Kecamtan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Guidedby Drs. Ir. Mukhtar, M.S. as a mentor I andDr. Awaluddin Hamzah, SP., M. Si.as mentor II. The purpose of this research is to know what role of local wisdom of Tolaki community in post-harvest management of upland rice crop (Oryza sativa L), to know the form of local wisdom in post harvest management of upland rice plant (Oryza sativa L) in Tolaki community in Watumerembe Village, South Konawe District. This research was conducted from April to May of 2017. The technique of determining informants was done by purposive sampling which was the determination of informants based on the subjective judgment of the writer based on certain characteristics that were deemed capable of providing the needed information. With the number of informants 6 people and a number of people who can provide information about local wisdom. The data were processed using qualitative analysis. The results showed that local wisdom in Watumerembe Village related to post-harvest management activities of rice crops such as customs, Values, prohibitions / pamali (ipado), technology and sanctions are still held firmly and obeyed to date and become the foundation of life for the community Watumerembe Village. Knowledge transfer of local wisdom is done by involving children since childhood because in post-harvest management activities starting from the beginning of harvesting with all the accompanying rituals. Strengthening sanctions or penalties if violating the rules of the parika (mbe pu'u sowia) in the harvesting is done orally through the advice of parents to their children. Socialization of the local wisdom through the family into an effective socialisai form for the survival of local wisdom. Keywords: Local Wisdom, Tolaki Community, Customs, Value, Pamali (Ipado), Technology, Post Rice Harvest Management Gogo (Oyza sativa L).
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Swt. Atas rahmat dan karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan hasil penelitian ini dengan judul”Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo (Studi Kasus Desa Watumerembe Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan)”, Seiring dengan selesainya laporan hasil penelitian ini, penulis mengucapkan terimakasih dan penghormatan kepada Dr.Ir. Mukhtar, MS, selaku pembimbing I dan Awaluddin Hamzah, SP, M.Si.,selaku pembimbing II yang telah memberikan pengarahan dalam penyusunan laporan hasil penelitian. Terima kasih penulis tunjukan kepada ayah handa Merlin dan ibunda Nurnia yang atas dukungan baik moral maupun moril, dan doanya kepada penulis Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak langsung membantu penulis, terutama: 1. Rektor Universitas Halu Oleo 2. Dekan Fakultas Pertanian Univesitas Halu Oleo 3. Ketua Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo 4. Dosen dilingkungan jurusan Agribisnis khususnya dan Fakultas Pertanian pada umumnya, yang telah membimbing penulis selama proses perkuliahan 5. Seluruh Staf dan Karyawan Jurusan Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Halu Oleo
viii
6. Seluruh Masyarakat Petani Padi Gogo yang ada di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan 7. Saudara-saudaraku Sarpiawan dan Sernita serta sepupu-sepupuku Neti, Yunita Kartika, Restika, Asrun dan Iman yang telah memberikan bantuan, doa dan dukungannya 8. Sahabat-sahabatku yaitu Sidarlis, Hartina, annawati, Wa ode Siti Hajjijah, Nunung Arianti, Yayu Sarata, Irma dan seluruh angkatan 2013 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, Terima kasih atas bantuannya. Demikian penulis sampaikan semoga bantuan yang diberikan mendapat pahala dari Allah Swt. Akhir kata penulis menyadari bahwa sepenuhnya dalam penyusunan laporan hasil penelitian ini masih auh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak penulis sangat diharapkan.
Kendari, 14 Agustus 2017 Penulis,
Sertiawan D1A1 3 066
ix
DAFTAR ISI Halaman
HALAMAN SAMPUL..................................................................................
i
HALAMAN JUDUL......................................................................................
ii
HALAMAN PERNYATAAN.......................................................................
iii
HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................
iv
HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN.......................................
v
ABSTRAK......................................................................................................
vi
ABSTRACT...................................................................................................
vii
UCAPAN TERIMA KASIH.........................................................................
viii
DAFTAR ISI .................................................................................................
x
DAFTAR TABEL..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................
xiv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................
xv
I. PENDAHULUAN......................................................................................
1
A. Latar Belakang ...............………………………………..……….......
1
B. Rumusan Masalah ……………………………………..…………....
4
C. Tujuan Penelitian.................................................................................
4
D. Kegunaan dan Manfaat........................................................................
4
II. TINJAUAN PUSTAKA..........................................................................
6
A. Konsep Kearifan Lokal .......................................................................
6
1. Pengertian Kearifan Lokal ..............................................................
6
2. Ciri-Ciri Kearifan Lokal .................................................................
8
B. Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Padi Gogo ...…................…........
10
C Konsep Padi Gogo ..............................................................................
12
D. Konsep Masyarakat Tolaki ……..…....................................................
20
1. Pengertian Masyarkat Tolaki ...........................................................
20
2. Adat Istiadat Masyarakat Tolaki .....................................................
24
E. Penelitian Terdahulu .….......…………....……....................................
28
x
F. Kerangka Pikir ............……......………………………...........................
29
III. METODE PENELITIAN......................................................................
32
A. Lokasi dan Waktu Penelitian ………….……...……….....……........
32
B. Teknik Penentuan Informan...…....……...................……..………....
32
C. Jenis dan Sumber Data ……...........................……............................
33
D. Teknik Pengumpulan Data .…..…………................................….....
33
E. Analisis Data ......................................................................................
33
F. Konsep Operasional ……………………..…………..........................
34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ..............................................................
37
A. Gamabaran Umum Penelitian .............................................................
37
1. Letak Geografis dan Luas Wilayah ...............................................
37
2. Keadaan Iklim ...............................................................................
39
3. Keadaan Penduduk ........................................................................
40
a. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur dan Jenis Kelamin .....................................................................................
40
b. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan ..............
41
c. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian ...
42
4. Keadaan Sarana dan Prasarana ......................................................
46
B. Pembahasan .......................................................................................
48
1. Sejarah Desa Watumerembe .........................................................
48
2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Desa Watumerembe ................
49
3. Langkah-langkah pembuatan lumbung padi .................................
50
a. Penyediaan alat untuk pembuatan lumbung padi .....................
50
b. Membuat lumbung padi ............................................................
51
4. Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki Desa Watumerembe ..
52
5. Bentuk-Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki dalam Pemanenan Padi Gogo (Oryza sativa L) .......................................
54
6. Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pemanenan ...............................
56
7. Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen
xi
Tanaman Padi Gogo .....................................................................
58
8. Implikasi Kearifan Lokal Terhadap Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo ...........................................................
61
V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................
65
A. Kesimpulan ........................................................................................
65
B. Saran ...................................................................................................
66
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................
67
LAMPIRAN ..................................................................................................
70
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur dan Jenis Kelamin............................................................................................
41
2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan.....................
42
3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian...........
43
4. Keadaan Sarana dan Prasarana.........................................................
47
9. Bentuk Kearifan Lokal dalam Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Padi Tanaman Padi Gogo di Desa Watumerembe............................
xiii
62
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Bagan kerangka pikir.....................................................................
xiv
31
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran
1. Daftar Riwayat Hidup ........................................................................
71
2. Peta Lokasi Penelitian .......................................................................
72
3. Panduan Wawancara ..........................................................................
73
4. Data Responden .................................................................................
74
5. Dokumentasi Penelitian......................................................................
75
xv
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Bangsa Indonesia dikenal sebagai masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa yang mempunyai latar belakang sosial budaya dan lingkungan alam yang berbeda.Perbedaan tersebut memberikan ciri khas atau variasi tertentu yang bersifat khas pula.Adat istiadat dan kebiasan lainnya di setiap daerah
yang
ada
di
Indonesia
adalah
berbeda-beda.Dengan
adanya
keanekaragaman budaya yang tumbuh dari masyarakat sebagai pendukung serta memilki corak tersendiri maka kebudayaan merupakan warisan budaya yang tetap dipelihara dan dikembangkan sesuai ruang dan waktu.Kebudayaan bangsa Indonesia pada hakekatnya merupakan keseluruhan produk atau karya nyata yang mempunyai nilai luhur untuk dimanfaatkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dalam pembangunan bangsa sekarang ini.Dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika, maka kebudayaan dari berbagai daerah dapat dipadukan dalam upaya memberikan masukan-masukan bagi pertumbuhan kebudayaan nasional. Sulawesi Tenggara merupakan salah satu provinsi di Isndonesia yang terdiri dari berbagai suku dan adat yang sangat beragam, dan merupakan salah satu identitas kehidupan suatu daerah yang heterogen. Berbagai suku itu diantaranya yaitu suku Tolaki, suku Muna, suku Buton, dan suku Wawonii. Keberadaan sukusuku tersebut akan menjadi salah satu wadah pemersatu kehidupan yang sangat heterogen. Salah bentuk tindakan atau nilai terbesar adalah nilai adat istiadat yang
1
2
bersifat lokal yang mengikat dan mengatur kehidupan manusia dari berbagai aspek. Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan norma dan budaya diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut cukup lama (Hans-Dieter Everst dan S Gorke, 2003). Selanjutnya menurut Keraf (2002) bahwa kearifan lokal atau kearifan tradisional yaitu semua bentuk keyakinan dan pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan didalam komunitas ekologis. Sebuah penelitian terbaru dari Internasional Institude For Enviroment and Development(IIED) mengungkapkan kearifan lokal yang diajarkan turuntemurun telah menuntun masyarakat yang terbelakang sekalipun mampu bertahan menghadapi iklim. Praktek-praktek tradisional itu disesuaikan dengan ketinggian tempat, jenis tanah, curah hujan dan sebagainya, yang semuanya mendukung keberlanjutan lingkungan.Dimana dalam menjalankan aspek aktivitas sehari-hari masyarakat memanfaatkan pengetahuan/kearifan lokal. Desa Watumerembe merupakan salah satu Desa yang ada di Kecamatan Palangga.Masyarakat Desa Watumerembe sebagian besar bermata pencaharian sebagai petani khususnya yang berada di dusun II, dimana dalam mengelolah hasil panen masyarakat melaksanakan sesuai tradisi dan kepercayaan yang ada dalam masyarakat Tolaki. Walaupun perkembangan zaman yang semakin maju, masyarakat Tolaki tetap memegang teguh akan tradisi dan kepercayaan yang sejak dahuulu diyakini oleh orang-orang tua sebelumnya, dengan bentuk pelaksanaan tradsinya sedikit berbeda karena perkembagan zaman yang semakin maju saat ini.
3
Bentuk kearifan lokal tidak saja berperan sebagai identitas suatu komunitas namun juga memiliki peran sebagai mekanisme didalam pengelolaan sumberdaya oleh suatu komunitas.Salah satu komunitas adat yang menarik untuk dipelajari mendalam adalah kearifan lokal masyarakat Desa Watumerembe.Kampung ini dikenal
sebagai
komunitas
yang
menggunakan
kearifan
lokalnyauntuk
mengelolah hasil panen petani sesuai tradisi dan kepercayaan. Dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo masyarakat petani Desa Watumerembe mengelolah hasil panennya dengan cara tradisional yaitu masyarakat petani melakukan pengelolaan dengan cara menyimpan atau memasukan hasil panen kedalam lumbung padi sebagai cadangan pangan untuk digunakan dimasa depan. Demikian pula dalam proses pengolahannya untuk dijadikan beras sebagai bahan untuk dikonsumsi sendiri, petani melakukan pengolahan dengan cara menumbuh atau pengelupasan kulit padi menggunakan Lesung dan alu yang sangat Tradisional. Oleh karena itu nilai tradisi lama ini yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tolaki di Desa Watumerembe perlu didokumentasikan atau ditanamkan kedalam jiwa seluruh lapisan masyarakat khususnya kepada generasi yang akan datang. Hal ini berguna untuk menghindari kemungkinan punah atau lunturnya unsur-unsur budaya yang terkandung didalamnya, terutama yang berkaitan dengan proses pelaksanaannya yang masih tradisional. Hal tersebut yang menjadi alasan bagi penulis untuk meneliti “kearifan lokal masyarakat Tolaki dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo (Oryza sativa L) di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan”.
4
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apa saja peran kearifan lokal masyarakat Tolaki dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo (Oryza Sativa L) Di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan? 2. Bagaimana bentuk kearifan lokaldalam Pengelolaan PascaPanen Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L) Pada Masyarakat Tolaki Di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan? C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi peran kearifan lokal masyarakat Tolaki dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo (Oryza sativa L) di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. 2. Untuk mengetahui bentuk kearifan lokal dalam Pengelolaan PascaPanen Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L) Pada Masyarakt Tolaki Di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. D. Kegunaan dan Manfaat penelitian Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat dari berbagai yang berminat maupun terkait dengan kajian kearifan lokal masyarakat Tolaki dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo(Oryza sativa L) khususnya kepada :
5
1. Bagi peneliti, dapat menganalisis bagaimana bentuk peran Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki yang terdapat di Desa Watumerembe terkait dalam Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo (Oryza sativa L) 2. Bagi akademis, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi atau referensi untuk penelitian selanjutnya. 3. Bagi masyarakat, khususnya masyarakat Desa Watumerembe, penelitian dapat memberikan kajian dan dokumentasi mengenai kearifan lokal sehingga mereka senantiasa dan selalu melestarikan kearifan lokal tersebut.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Kearifan Lokal 1. Pengertian Pengertian kearifan lokal (local wisdom) dalam Kamus Bahasa Inggris terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) dan lokal (local). Menurut Jhon M. Echols dan Hassan Syadily (2016), local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan lokal) adalah gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Menurut Keraf (2010), bahwa kearifan lokal adalah sebagai berikut: a. Kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula dikenal sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat individual. b. Kearifan tradisional adalah milik holistik, yaitu menyangkut pengetahuan dan pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta. Alam adalah jaringan kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang harus merupakan suatu pengetahuan yang menyeluruh.
6
7
c. Berbeda dengan ilmu pengetahuan barat yang mengklaim dirinya sebagai universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri) dan relasinya dengan alam. Tetapi karena manusia dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak di rekayasa pun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki rumusan universal sebagaimana dalam ilmu pengetahuan modern, kearifan tradisional ternyata ditemukan disemua masyarakat adat atau suku asli diseluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam bentuk dimensi teknis maupun dalam dimensi moralnya. Kearifan lokal adalah dasar untuk pengambilan kebijakan pada level lokal dibidang kesehatan , pertanian, pendidikan, pengelolaan sumber daya alam dan kegiatan masyarakat pedesaan. Dalam kearifan lokal, terkandung pula kearifan budaya lokal. Kearifan budaya lokal sendiri adalah pengetahuan lokal yang sudah sedemikian menyatu dengan sistem kepecayaan, norma, dan budaya serta diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu yang lama. Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama dibidang pertanian, misalnya pengembangan komoditi pertanian yang kuat bukan hanya untuk ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, mendukung kedaulatan lokal juga mendukung komoditas lokal untuk berkembang (Abdullah, 2008). Oleh karena itulah, persoalan pertanian menjadi isu penting di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, sejarah nusantara yang kaya akan kearifan lokal
8
dibidang pertanian an pengolahan bahan makanan. Berbagai kearifan lokal ini perlu digali kembali dan disesuaikan dengan kondisi saat untuk mengatasi krisis pangan yang tengah melanda indonesia (Kompas, 16 mei 2010). Kearifan lokal diartikan oleh masyarakat pada umumnya sebagai pengetahuan setempat (local knowledge), kecerdasan setempat (local genius), dan kebiakan setempat atau local wisdom (Taruna dkk, 2011). Menurut Swansea dalam Mariane (2014) kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional.Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar, sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama, bahkan melembaga. Dari definisi-definisi itu, kita dapat memahami bahwa kearifan lokal adalah sesuatu yang memiliki nilai-nilai budaya yang baik yang sebenarnya sudah diajarkan semenjak lama dari nenek moyang kita tedahulu.Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang dikembangkan oleh para leluhur dalam mensiasati lingkungan hidup sekitar mereka, menjadikan pengetahuan itu sebagai dari bagian budaya
dan
memperkenalkan
serta
meneruskan
itu
dari
generasi
kegenerasi.Beberapa bentuk pengetahuan tradisional itu muncul lewat ceritacerita, legenda-legenda, nyanyian-nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat. 2. Ciri-ciri Kearifan Lokal Kearifan lokal merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya
9
dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama. Proses evolusi yang begitu panjang dan melekat dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara dinamis dan damai. Kearifan lokal tidak sekedar sebagai acuan tingkah laku seseorang, tetapi lebih jauh, yaitu mampu mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban. Ciri-ciri kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut: (1) mampu bertahan terhadap budaya luar; (2) memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar; (3) mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli; (4) mempumyai kemampuan mengendalikan; (5) mampu memberi arah pada perkembangan budaya. Kearifan lokal tidaklah sama pada tempat dan waktu yang berbeda dan suku yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh tantangan alam dan kebutuhan hidupnya berbeda-beda, sehingga pengalamannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memunculkan bebagai sistem pengetahuan baik yang berhubungan dengan lingkungan maupun sosial.Sebagai salah satu bentuk perilaku manusia, kearifan lokal bukanlah salah satu yang statis melainkan berubah sealan dengan waktu, tergantung dari tatanan dan ikatan sosial budaya yang ada di masyarakat. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan kearifan lokal akan tecermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok masyarakat tetentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tidak terpisahkan yang dapat diamati melalui sikap
10
dan perilaku mereka sehari-hari. Jadi dapat dikatakan bahwa kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat berkaitan dengan kondisi geografis dalam arti luas.Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup.Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya di anggap sangat universal. B. Konsep Padi Gogo Pertanian yang ada di Indonesia merupakan pertanian yang menanam tanaman pangan, dimana padi merupakan tanaman pangan utama selain sagu, jagung dan umbi-umbian. Sifat unggul yang dimiliki tanaman padi adalah tanaman yang adaptasinya cukup luas dan kemampuan produktivitasnya tinggi. Padi juga memiliki kontribusi yang positif terhadap perekonomian Indonesia. Padi (Oryza sativa L) merupakan tanaman pangan rumput berumpun. Sejarah menunjukkan bahwa penanaman padi di Zhejiang (Cina) sudah dimulai pada 3.000 tahun Sebelum Masehi.Bukti lainnya penemuan fosil butir padi dan gabah ditemukan di Hanstinapur Uttar Pradesh India sekitar 100-800 Sebelum Masehi. Selain Cina dan India, beberapa wilayah asal padi adalah Bangladesh Utara, Burma, Thailand, Laos, Vietnam (Purwono dan Purnamawati dalam Neni Marlina dkk., 2010). Padi gogo merupakan jenis padi yang dibudidayakan pada Lahan Marginal atau Lahan Kering yang sebagian besar wilayahnya memiliki kountur berbukit-bukit. Dalam pemenuhan kebutuahan air tanaman tergantung pada hujan yang cukup dikenal sistem tadah hujan,sehingga waktu penanaman untuk jenis padi ini dilakukan setelah 1-2 kali hujan yang umumnya diawal musim penghujan untuk memenuhi kebutuhan akan air.
11
Potensi lahan kering di banyak daerah belum dimanfaatkan secara optimal bagi pengembangan tanaman padi dan tanamana pangan lainnya. Kontribusi produksi 2010).
padi gogo baru mencapai 5-6% dari produksi padi nasional (BPS, Hal ini disebabkan oleh penanaman padi gogo yang tergantung pada
intensitas curah hujan. Bervariasinya curah hujan menyebabkan produksi tidak stabil dan beresiko kegagalan yang tinggi serta menyebabkan petani kurang berminat dalam melakukan budidaya di lahan kering. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produksi di lahan kering dapat dilakukan melalui pengaturan pola tanam, pengelolaan air, padi genjah dan toleran kekeringan (Partorahardjo dan Makmur, 1993; Puslitbangtan, 2008). Hasil
penelitian
Ramli,
(1989)
membuktikan
bahwa
penggunaan
varietas unggul akan mendapatkan produksi tinggi jika ditanam pada kondisi lingkungan yang sesuai, sehingga pemilihan genotip yang sesuai kondisi lahan menjadi faktor penting yang perlu diperhatikan. Dengan demikian, penggunaan varietas unggul di lahan kering tadah hujan perlu dilakukan untuk menggali potensi toleransinya terhadap ketersediaan air yang terbatas dan berdaya hasil tinggi. Hal ini akan menjadi solusi yang tepat dalam rangka meningkatkan produktivitas hasil padi di lahan tadah hujan yang memiliki karakter secara umum masam dan resisten terhadap kekeringan.Pola tanam padi gogo sistem lorong dengan rumput perlu dikaji sebagai upaya untuk mengantisipasi tidak tersedianya air selama musim kemarau. Upaya konservasi air tanah paling tepat dilakukan pada musim hujan karena intensitas curah hujan tinggi dan dapat memberikan kesempatan pada
12
tanah untuk mengikat air semaksimal mungkin (kapasitas lapang). Tanaman padi gogo yang dikombinasikan dengan rumput akan ditanam pada musim hujan untuk memberikan kesempatan pada akar untuk tumbuh dengan baik dan dapat mengikat sebanyak-banyaknya air
tanah.
Sehingga
pada
saat
memasuki musim kemarau ketersediaan air diharapkan masih bisa mensuplai kebutuhan
air
pada tanaman.Selain
itu
alternatif
pemecahan masalah
kekeringan dalam meningkatkan daya ikat tanah terhadap air sebagai upaya meningkatkan produksi padi gogo dapat pula dilakukan melalui pendekatan yang
lebih alami. Salah
satunya
melalui
pendekatanbiologis
dengan
memanfaatkan kapasistas sistem perakaran rumput. Hal ini dilakukan karena sistem perakaran rumput yang relatif padat, sehingga bisa mengisi ruang pori dalam tanah dengan kerapatan tinggi (Prihar et al., 2000). Kondisi tersebut dapat memperbaiki sifat fisik tanah menjadi lebih gembur karena volume pori tinggi dan kerapatan isi tanah rendah, sehingga tanah memiliki potensi untuk mengikat atau menyimpan air lebih banyak. Padi gogo sendiri memiliki habitus rendah dengan perakaran yang tidak begitu meluas (Marsandi dkk. 2001). C. Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Penanganan pascapanen padi merupakan upaya sangat strategis dalam rangka mendukung pascapanen penurunan
peningkatan
produksi
padi.
terhadappeningkatan
produksi
padi
kehilangan
hasil
dan
Kontribusi dapat
penanganan
tercermin
dari
ter-capainya mutu gabah/ beras sesuai
persyaratan mutu. Setyono (2010) menyatakan masalah utama
dalam
13
penanganan pascapanen padi adalah tingginya kehilangan hasil serta gabah dan beras yang dihasilkan bermutu rendah. Hal tersebut terjadi pada tahapan pemanenan, perontokan dan pengeringan. Masalah utama yang dihadapi dalam penanganan pascapanen padi adalah tingginya susut (losses) baik secara kuantitatif
maupun
kualitatif.
Permasalahan
tersebut
berakibat adanya
kecenderungan tidak memberikan insentif kepada petani untuk memperbaiki tingkat pendapatannya (Hasbullah 2007). Padi/gabah yang kadar airnya tinggi mempunyai sifat
mudah rusak dan akan mengalami
susut
pada saat
penanganan pascapanen dan pengolahan. Hasil pertanian merupakan bahan yang mudah rusak, sehingga membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat. Penanganan yang tidak tepat menimbulkan tingginya tingkat kehilangan hasil (kualitas maupun kuantitas) yang tentunya merugikan petani. Penyebab utamanya tidak hanya masalah sosial dan ekonomi, tetapi juga masalah teknis (Hasbi 2012 : 187). Hasil survey Badan Pusat Statistik (BPS 1996) menunjukkan bahwa susut hasil panen padi di Indonesia masih tinggi, yaitu sebesar 20,42% yang terjadi pada saat panen (9,5%), perontokan (4,8%), pengeringan (2,1%), penggilingan (2,2%), penyimpanan (1,6%) dan pengangkutan (0,2%). Setelah periode 2000 sampai sekarang. Menurut Setyono (2010), dibeberapa provinsi tingkat kehilangan hasil padi turun menjadi 13,2% (Dinas pertanian Provinsi Lampung 2006), di Jawa Tengah 10,6% (Dinas Pertanian Provinsi Jawa Tengah 2006) di Bali 11,1% dengan dikembangkannya inovasi teknologi pascapanen melalui demonstrasi kepada para penyuluh.
14
Pemanenan padi dapat dilakukan menggunakan alat dan mesin yang memenuhi persyaratan teknis, kesehatan, ekonomis dan ergonomis. Alat dan mesin yang digunakan untuk memanen padi harus sesuai dengan jenis varietas padi yang akandipanen. Pada saat ini, alat dan mesin untuk memanen padi telah berkembang mengikuti berkembangnya varietas baru yang dihasilkan.Alat pemanen padi telah berkembang dari ani-ani menjadi sabit biasa kemudian menjadi sabit bergerigi dengan bahan baja yang sangat tajam dan terakhir telah diintroduksikan reaper, stripper dan combine harvester.Berikut ini menurut Nugraha (1990) adalah cara-cara pemanen padi dengan menggunakan Ani - ani, sabit biasa/bergerigi, reaper dan stripper : a. Cara Panen dengan Ani-Ani Ani-ani merupakan alat panen padi yang terbuat dari bambu diameter 10-20 mm, panjang ± 10 cm dan pisau baja tebal 1,5-3 mm. Ani-ani dianjurkan digunakan untuk memotong padi varietas lokal yang berpostur tinggi. b. Cara Pemanen Padi dengan Sabit. Sabit merupakan alat panen manual untuk memotong padi secara cepat. Sabit terdiri 2 jenis yaitu sabit biasa dan sabit bergerigi. Sabit biasa/bergerigi pada umumnya digunakan untuk memotong padi varietas unggul baru yang berpostur pendek seperti IR-64 dan Cisadane.Penggunaan sabit bergerigi sangat dianjurkan karena dapat menekan kehilangan hasil sebesar 3 %. c. Cara Pemanenan Padi dengan Reaper. Reaper merupakan mesin pemanen untuk memotong padi sangat cepat. Prinsip kerjanya mirip dengan cara kerja orang panen menggunakan sabit.
15
Mesin ini sewaktu bergerak maju akanmenerjang dan memotong tegakan tanaman dan menjatuhkan atau merobohkan tanaman tersebut kearah samping mesin reaper dan ada pula yang mengikat tanaman yang terpotong menjadi seperti berbentuk sapu lidi ukuran besar. Pada saat ini terdapat 3 jenis tipe mesin reaper yaitu reaper 3 row, reaper 4 row dan reaper 5 row. d. Cara Pemanenan Padi dengan Reaper Binder. Reaper binder merupakan jenis mesin reaper untuk memotong padi dengan cepat dan mengikat tanaman yang terpotong menjadi seperti berbentuk sapu lidi ukuran besar. Dalam penanganan pasca panen padi, salah satu permasalahan yang sering dihadapi adalah masih kurangnya kesadaran dan pemahaman petani terhadap penanganan pasca panen yang baik sehingga mengakibatkan masih tingginya kehilangan hasil dan rendahnya mutu gabah/beras. Untuk mengatasi masalah ini maka perlu dilakukan penanganan pasca panen yang didasarkan pada prinsip-prinsip Good Handling Practices (GHP) agar dapat menekan kehilangan hasil dan mempertahankan mutu hasil gabah/beras. Penanganan pasca panen padi meliputi beberapa tahap kegiatan yaitu penentuan saat panen, pemanenan, penumpukan sementara di lahan, pengumpulan padi di tempat perontokan, penundaan perontokan, perontokan, pengangkutan gabah ke rumah petani, pengeringan gabah, pengemasan dan penyimpanan gabah, penggilingan, pengemasan dan penyimpanan beras (Prasetyo, 2003).
16
1. Penentuan saat panen Penentuan saat panen merupakan tahap awal dari kegiatan penanganan pasca panen padi.Ketidak tepatan dalam penentuan saat panen dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu gabah/beras yang rendah.Penentuan saat panen dapat dilakukan berdasarkan pengamatan visual dan pengamatan teoritis. a. Pengamatan visual dilakukan dengan cara melihat kenampakan padi pada hamparan lahan sawah. Berdasarkan kenampakan visual, umur panen optimal padi dicapai apabila 90 - 95% butir gabah pada malai padi sudah berwarna kuning atau kuning keemasan. Padi yang dipanen pada kondisi tersebut akan menghasilkan gabah berkualitas baik sehingga menghasilkan rendemen giling yang tinggi. b. Pengamatan Teoritis Pengamatan teoritis dilakukan dengan melihat deskripsi varietas padi dan mengukur kadar air dengan moisture tester. Berdasarkan deskripsi varietas padi, umur panen padi yang tepat adalah 30 sampai 35 hari setelah berbunga merata atau antara 135 sampai 145 hari setelah tanam. Berdasarkan kadar air, umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22 – 23 % pada musim kemarau, dan antara 24 – 26 % pada musim penghujan. 2. Pemanenan Pemanenan padi harus dilakukan pada umur panen yang tepat, menggunakan alat dan mesin panen yang memenuhi persyaratan teknis, kesehatan, ekonomi dan ergonomis serta menerapkan sistem panen yang tepat.
17
Ketidaktepatan dalam melakukan pemanenan padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang tinggi dan mutu hasil yang rendah.
Pada tahap ini,
kehilangan hasil dapat mencapai 9,52 % apabila pemanen padi dilakukan secara tidak tepat. 3.Penumpukan dan pengumpulan Penumpukan dan pengumpulan merupakan tahap penanganan pasca panen setelah padi dipanen. Ketidaktepatan dalam penumpukan dan pengumpulan padi dapat mengakibatkan kehilangan hasil yang cukup tinggi.Untuk menghindari atau mengurangi terjadinya kehilangan hasil sebaiknya pada waktu penumpukan dan pengangkutan padi menggunakan alas. 4.Perontokan Perontokan merupakan tahap penanganan pasca panen setelah pemotongan, penumpukan dan pengumpulan padi.Pada tahap ini, kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan perontokan dapat mencapai lebih dari 5%.Cara perontokan padi telah mengalami perkembangan dari cara digebot menjadi menggunakan pedal thresher dan power thresher. 5.Pembersihan Setelah gabah dirontok, kualitas gabah dipandang dari segi kemurnian gabah mengalami penurunan dan belum memadai untuk dipasarkan. Penurunan kualitas tersebut disebabkan gabah masih tercampur dengan kotoran-kotoran yang berasal dari gabah hampa, tangkai atau bagian lain dari gabah, biji dari varietas lain, gulma dan kotoran lain yang terbawa pada waktu panen.
18
Campuran yang terdapat pada gabah dapat berupa materi yang memiliki ukuran lebih besar atau lebih kecil dari gabah. Oleh karena itu perlu dipisahkan/dibersihkan dari kotoran tersebut agar kualitas gabah meningkat. Untuk memisahkan kotoran yang tercampur dengan gabah, dapat dilakukan dengan cara menual atau secara mekanis (Kuswanto, 2003). 6.Pengeringan Pengeringan merupakan proses penurunan kadar air gabah sampai mencapai nilai tertentu sehingga siap untuk diolah/digiling atau aman untuk disimpan dalam waktu yang lama. Kehilangan hasil akibat ketidaktepatan dalam melakukan proses pengeringan dapat mencapai 2,13 %. Pada saat ini carapengeringan padi telah berkembang dari cara penjemuran menjadi pengering buatan. Pengeringan padi dengan cara penjemuran merupakan proses pengeringan gabah basah dengan memanfaatkan panas sinar matahari. Untuk mencegah bercampurnya kotoran, kehilangan butiran gabah, memudahkan pengumpulan gabah dan menghasilkan penyebaran panas yang merata, maka penjemuran harus dilakukan dengan menggunakan alas.Penggunaan alas untuk penjemuran telah berkembang dari anyaman bambu kemudian menjadi lembaran plastik/terpal dan terakhir lantai dari semen/beton. 8.Penyimpanan Penyimpanan merupakan tindakan untuk mempertahankan gabah/beras agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka waktu tertentu.Kesalahan dalam melakukan penyimpanan gabah/beras dapat mengakibatkan terjadinya respirasi,
19
tumbuhnya jamur, serangan serangga binatang mengerat dan kutu beras yang dapat menurunkan mutu gabah/beras. 9.Penggilingan Penggilingan merupakan proses untuk mengubah gabah menjadi beras. Proses penggilingan gabah meliputi pengupasan sekam, pemisahan gabah, penyosohan, pengemasan dan penyimpanan.Berdasarkan deskripsi varietas padi, umur panen padi yang tepat adalah 30 sampai 35 hari setelah berbunga merata atau antara 135 sampai 145 hari setelah tanam. Berdasarkan kadar air, umur panen optimum dicapai setelah kadar air gabah mencapai 22 – 23% pada musim kemarau, dan antara 25 – 30% pada musim penghujan (Prasetyo, 2003). Penanganan pada saat panen dengan tujuan untuk menekan kehilangan hasil dan meningkatkan kualitas hasil, dilakukan melalui pemanenan pada waktu, cara serta penggunaan alat yang tepat. Kehilangan pasca panen padi dapat digolongkan kedalam kehilangan kuantitatif dan kehilangan kualitatif. Kehilangan kuantitatif berupa susut padi (beras) selama proses pasca panen karena rontok, tercecer, serangan hama dan rusak akibat penanganan yang kurang tepat, terjadi pada setiap tahap. Dalam proses pemberasan, kehilangan ini tercermin dari penurunan rendemen beras (Wijaya, 2005). Penanganan pascapanen yang dimulai dari tingkat petani merupakan titik awal penting untuk menjamin peningkatan pendapatan dan kesejahteraan mereka. Kegagalan penanganan pascapanen pada tingkat petani ini dapat mengakibatkan rendahnya mutu hasil dan tingginya tingkat susut atau kehilangan hasil dan kerusakan gabah dan beras.Secara umum petani telah mampu meningkatkan
20
produksi pangannya khususnya padi. Hal ini karena berbagai kegiatan teknik produksi sudah mendapat perhatian dan diterapkan petani secara baik, sedangkan masalah setelah panen belum diperhatikan oleh petani. Keadaan ini erat sekali hubungannya dengan tingginya kehilangan hasil dan penurunan mutu (Andoko, 2002). D. Konsep Masyarakat Tolaki 1. Pegertian Masyarakat Tolaki Sebelum lebih jauh menjelaskan tentang masyarakat Tolaki, maka terlebih dahulu akan dijelaskan pengertian dari masyarakat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, masyarakat adalah sekelompok orang yang membentuk sebuah sistem sebuah semi tertutup atau terbuka, dimana sebagian besar inteaksi adalah antara individu-individu yan berada dalam kelompok tersebut. Menurut Syaikh Taqyuddin An-nabhani (Wikipedia.co.id), sekolompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, persaan, serta sistem dan aturan yang sama, dengan kesamaan-kesamaan terrsebut manusia berinteraksi sesama meeka berdasakan kemaslahatan. Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari bahasa latinsocius yang berarti kawan. Kata masyarakat itu sendiri berasal dari bahasa Arab yaitu musyarak, berati ikut seta atau berpastisipasi. Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul atau dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi.Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga-warga yang dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah suatu kesatuan manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat
21
tertentu yang bersifat kontinu, dan yang bekaitan oleh suatu rasa identitas besama (Koentjaraningat, 1980). Masyarakat adalah manusia yang hidup bersama. Masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan keja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, pengawasan dan tingkah laku, serta kebisaankebiasaan manusia (Mac Iver dalam Soekanto, 1990). Menurrut Ralph Linton (Soekanto, 1990), masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja sama cukup lama sehingga mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas. Sedangkan menurut Selo Soemardjan,
masyaakat
adalah
orang-orang
yang
hidup
bersama
dan
menghasilkan suatu kebudayaan. Masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang mendiami pulau Sulawesi di sebelah Tenggara persisnya di Kota Kendari, Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, dan Konawe Utara. Hutan belantara yang sudah puluhan tahun tidak diolah dan dipandang subur merupakan sasaran perladangan utama bagi masyarakat setempat. Dengan demikian Masyarakat Tolaki mempunyai konsep tertentu mengenai gejala alam, dimana setiap gejala alam ada penyebabnya. Seperti halnya konsep mengenai hujan atau musim kemarau panjang, adanya petir, gerhana bulan dan matahari, gempa bumi dan sebagainya. Begitu pula dalam sistem bercocok tanam kepercayaan masyarakat dalam gejala alam lainnya seperti tumbuh-tumbuhan dan gerak-gerik hewan lainnya. Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya manusia terikat dengan lingkungannya.Secara khusus, masyarakat yang bercocok tanam sangat tergantung dari lingkungan, karena
22
lingkungan dimana mereka hidup menjadi sumber utama untuk mencari nafkah hidup. Kepercayaan masyarakat Tolaki khususnya di Desa Watumerembe bahwa disamping manusia ada mahkluk lain yang juga hidup dan menguasai lingkungan. Oleh karena itu dalam kehidupan manusia, harus dijaga agar ada keharmonisan antara manusia dengan mahkluk lainnya. (Tarimana, 1989) Menurut Koentjaraningrat (1992)Masyarakat pedesaan memiliki ciri khas dan karakter yang ditunjukkan pada nilai solidaritas antarsesama warganya. nilai solidaritas tersebut merupakan penggerak dalam masyarakat pedesaan.Aplikasi nilai
solidaritas
tidak
lahir
secara
spontanitas untuk
berbakti
kepada
sesamanya, tetapi pada prinsipnya mereka terdorong oleh perasaan saling butuhmembutuhkan. Dalam Tradisi masyarakat Tolaki yang menonjol khususnya di Desa Watumerembe ini adalah budaya pamali (ipado) dan kegotong royongan dimana masyarakat nampak dalam peristiwa-peristiwa tertentu seperti halnya dalam mendirikan rumah, dalam kegiatan pertanian (pembukaan ladang baru, penanaman padi, dan pemanenan sampai pengelolaan pasca panen).Sedangkan Tradisi lainnya dalam masyarakat Tolaki adalah pelaksanaan upacara-upacara tradisional dalam hubungannya dengan kepercayaan. Meskipun seluruh warga masyarakat memeluk agama islam, tetapi masih dilaksanakan upacara-upacara tradisional berdasarkan kepercayaan lama dan sisa-sisa kepecayaan asli masih nampak, baik dalam pola berperilaku maupun dalam kehiudupan sehari-hari (Tarimana, 1989).
23
Dalam konsep kearifan lokal masyarakat Tolaki sistem budaya yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendali dan memberi arah kepada kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat tesebut adalah nilai dan kepercayaan, teknologi dan sanksi. Dimana nilai dan kepercayaan adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas, dan berguna bagi manusia untuk memberi kehidupan dan pertolongan kepada sesamanya.Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa yang dikatakan „nilai‟ adalah gagasan-gagasan yang ditentukan oleh manusia untuk menggariskan perilaku yang tepat dan dapat diterima bersama. Karena itu nilai mengandung orientasi kepada apa yang salah dan apa yang benar, apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang terpuji dan apa yang tercela menurut budaya yang menjadi kerangka acuannya (Hidayah, 2002). Kepercayaan adalah suatu keyakinan yang didorong atas nilai-nilai tertentu terkait anjuran dan pantangan dalam kehidupan sehari-hari.Menurut
Hilman
Hadikusuma (1992), kepercayaan (Religio Magis) merupakan perilaku hukum atau kaidah-kaidah berkaitan dengan kepercayaan terhadap yang gaib dan atau berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar masyarakat itu tetap aman tenteram bahagia dan lain-lain.Tidak ada pembatasan antara dunia lahir dan dunia gaib serta tidak ada pemisahan antara berbagai macam lapangan kehidupan, seperti kehidupan manusia, alam, arwah-arwah nenek moyang dan kehidupanmakhlukmakhluk lainnya.Adanya pemujaan-pemujaan khususnya terhadap arwah-arwah dari nenek moyang sebagai pelindung adat-istiadat yang diperlukan bagi kebahagiaan masyarakat. Setiap kegiatan atau perbuatan-perbuatan bersama
24
seperti membuka tanah, membangun rumah, menanam dan peristiwa-peristiwa penting lainnya selalu diadakan upacara-upacara religius yang bertujuan agar mendapat berkah, tidak ada halangan dan selalu berhasil dengan baik.selain itu kearifan lokal dalam menggunakan Teknologi merupakan alat atau mekanisme yang digunakan dalam kegiatan pertanian oleh masyarakat, dimana dalam setiap kegiatan masyarakat dilakukan secara bergotong royong. Kegiatan masyarakat yang dilakukan dalam kegiatan apapun ada sanksi yang diberlakukan, apabila dari salah satu orang tidak ikut membantu dalam kegiatan tersebut maka akan diberikan sanksi sesuai yang telah disepakati bersama oleh masyarakat. 2. Adat Istiadat Masyarakat Tolaki Indonesia merupakan negara yang terdiri dari berbagai suku bangsa, dimana setiap suku bangsa tersebut memiliki aturan serta norma-norma yang melekat dan dipegang teguh serta diwarisi secara turun temurun.Masyarakat yang mendiami memiliki ciri-ciri khas serta karakter masing-masing yang bisa dikenali. Seseorang yang mendiami suatu wilayah, apalagi ditempat yang masih menjunjung tinggi tradisi pasti tidak lepas dari yang namanya adat istiadat. Dengan adanya adat istiadat, hidup kita menjadi lebih terikat karena sangat melekat dengan kehidupan kita sehari-hari (Fauzi, 2007). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (purwadarminta, 1976) adat istiadat di artikan sebagai sebuah aturan yang sudah biasa dilakukan seak dahulu hingga sekarang. Adat merupakan sebuah bentuk dari ide serta gagasan pemikiran yang mengandung nilai-nilai kebudayaan, norma, hukum, serta antara aturan yang satu dengan aturan yang lain saling berkaitan menjadi suatu sistim ataupun
25
kesatuan. Sedangkan istiadat di artikan sebagai kebiasaan dengan demikian, adat istiadat merupakan kumpulan berupa kaidah-kaidah sosial yang telah lama ada kemudian menjadi kebiasaan dalam masyarakat. Menurut Fauzi (2007) kata adat berasal dari bahasa Arab yang merupakan jamak dari addah yang memiliki arti cara atau kebiasaan. Seperti yang telah di jelaskan bahwa adat merupakan suatu gagasan kebudayaan yang mengandung nilai, norma, kebiasaan, serta hukum yang sudah lazim dilakukan oleh suatu daerah. Biyasana, apabila adat tidak di patuhi maka akan ada sanksi baik yang tertulis maupun tidak tertulis di berikan kepada pelaku yang melanggarnya Adat istiadat masyarakat Tolakidalam kehidupan sehari-hari khususnya di Desa Watumerembe dalam pengelolaan pasca panen padi gogo tidak lepas dari tradisi memasukan hasil panen padi kedalam lumbung setelah panen. Dengan bercocok tanam dan bermata pencaharian sebagai petani masyarakat Tolaki selalu melakukan sesuai adat dan kapercayaannya.Yang mempunyai rasa semangat dalam bergotong royong sangat tinggi dalam kehidupan mereka. Dengan demikian fenomena kehidupan dalam masyarakat Tolaki yang syarat dengan ketradisionalan dalam menjalani kehidupan sehari-hari baik dalam falsafah maupun penerapan kehidupan menjadi hal yang unik pada zaman yang dianggap modern. Disatu sisi masyarakat Tolaki sudah tersentuh dengan modernisasi namun disisi lain umumnya cara hidup pola pikiranya masih sederhana seperti menyikapi anugerah alam yang diberikan tuhan kepadanya. Dalam sistem pengelolaan hasil pertanian memang bagian dari kajian budaya karena umumnya masyarakat Tolaki mengelolah hasil pertaniannya masih kental dengan perangkat
26
adat yang mengurusi hubungan antara alam dengan masyarakat yang mengelolahnya. Kegiatan Pengelolaan pasca panen merupakan upaya sangat strategis Dalam sistem kearifan lokal masyarakat Tolaki. Pengelolaan pasca panen padi gogo yang dilakukan masyarakat Tolaki dengan cara tradisional yang terdiri dari beberapa cara yaitu : 1. Tahap Penyimpanan dipondok sementara Setelah pemanenan dilakukan padi di simpan di pondok (Laika Landa) agar terhindar dari hama guna menunggu penjemuran pada esok harinya 2. Pengeringan Pada hari kedua padi tersebut diikat satu persatu sesuai ukuran tangan orang dewasa, setelah pengikatan selesai padi di jemur ditengah-tengah ladang diatas jerami padi (sohami) 3. Pembersihan Setelah kering, pelepah daun padi dibersihkan dari tangkai agar tidak mudah berjamur jika di simpan kedalam lumbung dengan waktu yang cukup lama. Setelah pelepah daun padi bersih, kemudian padi tersebut kembali dirapikan dan disimpan kembali di pondok (laika landa) dengan susunan yang rapi sambil menunggu waktu musim panen selesai secara keseluruhan, karena jika menyimpan padi ke dalam lumbung sebelum waktu musim panen selesai maka hal tersebut dapat berpengaruh pada tahun berikutnya dalam bercocok tanam (salanda’u).
27
4. Penyimpanan kedalam lumbung (mowisa i ala) Setelah waktu musim panen selesai, langkah selanjutnya adalah penyimpanan padi kedalam lumbung (mowiso i ala) untuk persediaan pangan di tahun berikutnya. Tata cara dalam penyimpanan di lumbung yaitu apabila lumbung baru, maka yang harus dilakukan pertama yaitu mamasukan padi sebanyak empat ikat dan disimpan selama satu malam. Setelah satu malam disimpan padi dikeluarkan lagi dari lumbung.Setelah itu petani membakar bambu sebanyak satu biji (asoboto) lalu memukulkannya di empat tiang lumbung sebanyak empat kali. Hal tersebut bertujuan agar lumbung terhindar dari hama. Selain cara ini, petani menggunakan sawurondo tujuannya agar hama tersebut tidak melihat lumbung padinya. Hal tersebut ini masih dilakukan petani sampai saat ini khususnya Tolaki di Desa Watumerembe. 5. Pengolahan menjadi beras (penumbukan) Dalam pengolahannya menjadi beras masyarakat petani melakukan dengan cara tradisional. dimana petani mengambil padi di lumbung sebanyak yang dibutuhkan petani. Setelah itu padi tersebut di ikat kecil-kecil agar penjemurannya cepat kering. Setelah kering padi ditumbuk hingga kulit luarnya mengelupas, kemudian di tapis dan ditumbuk ulang sampai benarbenar menjadi sebutir beras dengan menggunakan alat yang tradisional yaitu lesung dan allu (nohu ronga allu), dalam pengolahan tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja.Menumbuk dengan menggunakan alat ini masih dilakukan masyarkat petani sampai saat ini.
28
E. Penelitian Terdahulu Beberapa hasil penelitian tentang kearifan lokal antara lain sebagai berikut: 1. Penelitian yang dilakukan oleh Noorginayuwati, A. Rapieq, N. Noor dan Achmadi pada tahun 2006 dengan judul penelitian Kearifan Budaya Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Pertanian di Kalimantan. Hasil penelitian menunjukan bahwa upaya petani lahan rawa di Kalimantan yang telah mengguluti usaha tani yang berinteraksi dengan lahan gambut selama ratusan tahun telah banyak menghasilkan pengetahuan lokal yang selaras dengan keseimbangan dan kelestarian alam. Kearifan lokal tersebut sepertih usaha petani dalam meningkatkan dan menghindari kebakaran, pola penetaan dan pengelolaan lahan gambut, teknologi budidaya, pola tanam dan pengetahuan fenomena alam sebagai pedoman dalam berusaha tani di lahan gambut. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Wahyu dan Nasrullah pada tahun 2009 dengan judul Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai dalam Pengelolaan Padi Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Hasil penelitian menunjukan bahwa kearifan lokal yang dimiliki petani Bakumpai dilahan pasang surut tidak hanya diliat pada kemampuan bertani, tetapi juga pemilihan lokasi penelitian. Hal tersebut mengantisipasi lahan pertanian yang selalu terluapi air sebagaimana karakteristik lahan pasang surut tipe A. Siklus kehidupan petani Bakumpai untuk mensiasati menunggu masa panen yang dilakukan sekali setahun. Selama masa jeda antar tahap bertani, petani Bakumpai dapat mengisi waktu dengan melakukan aktivitas pekerjaan non- pertanian dan bertani adalah
29
mata rantai kehidupan petani Bakumpai yang saling memiliki keterikatan. Meski tarjadi perpaduan antara sains dan kearifan lokal, ternyata petani tidak menerima begitu saja. Perpaduan antara sains dan kearifan lokal dibatasi oleh kemampuan petani dalam menerapkannya; 3. Penelitian yang dilakukan oleh Rosmiati tahun 2015 dengan judul penelitian Kearifan Lokal Masyarakat Desa Wasilomata dalam Kegiatan Usahatani Tanaman Palawija. Hasil Penelitian menunjukan kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat Desa Wasilomata memberikan hasil khususnya untuk kehidupan mereka dilahan kering dan kritis. Manfaat yang dapat dirasakan dalam melestarikan kearifan lokal yang diturunkan secara turun temurun yakni lestarinya pertanian selaras alam khususnya terkait dengan kelangkaan sumber daya air: (1) menjaga stok varietas jagung lokal (kahitela) yang paling cocok terhadap lahan yang kritis di Wasilomata; (2) tumbuhnya sikap kebersamaan melalui haroa kambewe; (3) terpeliharanya gotong royong (kaowa) sesama petani dalam membanun rumah parabela (anakoda). F. Kerangka Pikir Penelitian ini merupakan kajian yang mempelajari secara mendalam mengenai kearifan lokal masyarkat di Desa Watumerembe kaitannya dengan pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo. Kearifan lokal di dalam penelitian ini dimaknai sebagai hasil dari adaptasi masyarakat Desa Watumerembe terhadap jenis pegelolaan pasca panen.
30
Masyarakat Tolaki di Desa Watumerembe merupakan masyarakat yang sebagian besar hidup di daerah pedesaan dengan mata pencaharian pokok bercocok tanam (ladang/tegalan), yang sangat terikat dengan lingkungan di mana mereka berada. Lingkungan adalah sumber mata pencaharian hidup secara turun temurun dan mereka yakin bahwa lingkungan hidup tidak hanya dapat dimiliki dan dikuasai oleh manusia, tetapi diyakini pula bahwa ada juga mahluk lain yang mendiami dan menguasai lingkungan tersebut. Dalam kegiatan pengelolaan pasca panen yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki Desa Watumerembe merupakan tahap kegiatan penanganan hasil tanaman pertanian segera setelah pemanenan dengan cara tradisional yang merupakan tradisi dan kebiasaan masyarakat Tolaki dalam mengolah hasil panennya, dimana dalam proses pengelolaan pasca panen masyarakat Tolaki mengelolah hasil panennya sesuai tradisi kebiasaan dan kepercayaanya. Selain melihat kearifan lokal sebagai bentuk adaptasi masyarakat Desa Watumerembe, penelitian ini juga mempelajari bentuk-bentuk kearifan lokal. Bentuk kearifan lokal yang diangkat dalam penelitian ini adalah: (1) adat istiadat adalah suatu kebiasaan yang sering di lakukan masyarakat Tolaki yang ada di Desa Watumerembe sejak lama dan diwarisi secara turun temurun dan secara berulang-ulang.
Adat
istiadat
mempunyai
daya
pengikat
yang
sangat
kuat.Masyarakat yang tinggal di Desa Watumerembe sangat berpengaruh terhadap alam dan lingkungannya dengan bermata pencahrian sebagai petani; (2) nilai adalah budaya yang baik di dalam suatu masyarakat dapat dikatakan sebagai sebuah kearifan lokal. Hal ini berarti, untuk mengetahui suatu kearifan lokal di
31
suatu wilayah maka kitan harus bisa memahami nila-nilai budaya yang baik yang ada di wilayah tersebut; (3) dan teknologi adalah alat atau mekanisme yang dibangun masyarakat Tolaki sebagai hasil adaptasinya dengan kearian lokal. Bentuk-bentuk kearifan lokal ini yang dianut masyarakat Tolaki Desa Watumerembe sampai saat ini masih bertahan dan dipercayai oleh masyarakat. Konsep pemikiran tersebut dapat digambarkan dalam kerangka pikir sebagai berikut:
Masyarakat Watumerembe
Pengelolaan Pasca panen Padi Gogo
Kearifan Lokal
Adat istiadat
Nilai
Teknologi
Bertahan/Punah Kearifan Lokal Pengelolaan Pascapanen Bagan Kerangka Pikir Penelitian
III. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini telah dilaksanakan di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan pada bulan April sampai dengan bulan Mei tahun 2017. Pemilihan lokasi ditentukan secara sengaja (purposive sampling) dengan pertimbangan bahwa : 1. Desa Watumerembe merupakan salah satu daerah pengembangan tanaman padi gogo. 2. Masyarakat Desa Watumerembe mengelolah tanaman padi gogo pada pengelolaan pasca panen berpijak kearifan lokal yang dipertahankan secara turun temurun. B. Teknik Penentuan Informan Teknik penentuan informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive sampling) yaitu penentuan informan berdasarkan penilaian subjektif penulis yang berlandaskan pada karateristik tertentu yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Adapun jumlah informan dalam penelitian ini adalah sebanyak 6 orang, terdiri dari: 1 orang kepala desa, 1 orang kepala adat, 1 orang parika (tono mbe puu sowi’a), dan 3 orang petani. Dalam penentuan informan ini yang dimaksud adalah sejumlah masyarakat Tolaki Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan yang bermata pencaharian sebagai petani.
32
33
C. Jenis dan Sumber Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian melalui observasi dan wawancara dengan masyarakat Desa Watumerembe Kecamtan Palangga Kabupaten Konawe Selatan menggunakan panduan kuisioner yang telah disediakan. 2. Data sekunder yaitu data penunjang yang berkaitan dengan penelitian yang diperoleh dari berbagai sumber atau instansi seperti Kantor Desa, Badan Pusat Statistik dan berbagai media yang ada melalui pencatatan data dan informasi yang dibutuhkan. D. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Teknik wawancara langsung dengan Informan yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian ini menggunakan panduan pertanyaan berupa kuisioner. 2. Teknik studi literatur yaitu pengumpulan data-data pendukung yang terkait dengan penelitian ini seperti data-data hasil penelitian terdahulu. E. Analisis Data Metode yang digunakan untuk
menganalisis data dalam penelitian ini
adalah analisis deskriptif kualitatif yaitu metode analisis dimana data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis untuk ditarik suatu kesimpulan. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan model yang dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1984) bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif
34
dilakukan secara intensif dan berlangsung terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.Aktivitas dalam analisis data, yaitu reduksi data, penyajian data, penarikan kesimpulan (sugiyono, 2009). Mereduksi data merupakan kegiatan menyeleksi data sesuai dengan fokus permasalahan. Pada tahap ini penulis mengumpulkan semua instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data untuk dikelompokan sesuai masalah. Hal ini juga memungkinkan penulis untuk membuang data yang tidak diperlukan dalam penelitian. Mendeskripsikan data dilakukan agar data yang telah diorganisir menjadi bermakna.Bentuk deskripsi tersebut dapat berupa naratif, grafik atau tabel.Tahap terakhir adalah membuat kesimpulan dari data yang telah dideskripsikan.Tahap menganalisis dan menginterprestasikan data merupakan tahap yang paling penting karena hal ini untuk memberikan makna dari data yang telah dikumpulkan.Hasil analisis dan interprestasi data merupakan jawaban dari rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya. F. Konsep Operasioanal Konsep Operasional adalah batasan atau pengertian yang digunakan dengan tujuan memperjelas ruang lingkup penelitian, untuk memudahkan dalam menganalisa data yang berhubungan dengan penarikan
kesimpulan. Adapun
konsep operasional dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Padi gogo merupakan jenis padi yang dibudidayakan pada lahan marginal atau lahan kering dimana pemenuhan kebutuhan air tanaman tergantung pada hujan yang turun (tadah hujan).
35
2. Masyarakat Tolaki adalah masyarakat yang pada umumnya mendiami wilayah Sulawesi Tenggara di samping suku Buton dan suku Muna. 3. Parika (Tono mbe puu sowi’a) adalah seseorang yang di percayakan dalam melaksanakan proses ritual pemanenan (mosowi) 4. Pasca Panen adalah penanganan hasil tanaman pertanian setelah pemanenan 5. Kearifan lokal adalah pengetahuan suatu masyarakat yang dibangun dari hasil adaptasi masyarakat terhadap tradisi pengelolaan pasca panen padi gogo yang sampai saat ini terus-menerus diyakini dan digunakan oleh masyarakat Desa Watumerembe. 6. Adat istiadat adalah kebiasaan yang dilakukan masyarakat Tolaki sejak lama dan diwarisi secara turun temurun 7. Panen adalah proses pengambilan hasil tanaman pertanian yang siap untuk dikonsumsi atau dijual. 8. Nilai adalah suatu perbuatan atau tindakan oleh masyarakat yang dianggap baik. Di mana nilai dalam setiap masyarakat tidak selalu sama, karena nilai masyarakat tertentu dianggap baik tapi dapat dianggap tidak baik di masyarakat lain. 9. Sistem kepercayaan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu yang diakui kebenarannya dalam pelaksanaan kegiatan pertanian. 10. Pamali merupakan larangan adat mengenai suatu yang tidak boleh dikerjakkan atau diperbuat karena suatu alasan yang kadang- kadang tidak masuk akal 11.Teknologi adalah alat dan metode yang digunakan oleh petani dalam mengelola hasil panen padi gogo.
36
12.Sanksi adalah suatu tindakan yang diberikan kepada petani yang melanggar peraturan adat pada daerah tersebut.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Penelitian Sebelum peneliti melakukan analisis terhadap data-data yang telah ditemukan di lapangan sesuai dengan yang dibutuhkan atau yang relevan dengan data penelitian, terlebih dahulu peneliti mendeskripsikan tentang data dan konteks latar belakang sosial budaya masyarakat Tolaki di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara sebagai lokasi penelitian. Pendeskripsian data dan konteks sosial budaya oleh peneliti dengan tujuan untuk memperjelas gambaran umum tentang lokasi yang dilakukan oleh peneliti.Konteks sosial yang dimaksud meliputi identitas daerah, keadaan masyarakat, kebudayaan dan kepercayaan masyarakat, serta hal-hal yang berkaitan dengan pentraskripsian dan penerjemahan data. 1. Letak Geografis dan Luas Wilayah Konawe Selatan merupakan Daerah Tingkat II yang ada di Sulawesi Tenggara dan merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Konawe yang dibentuk berdasarkan dengan UU Nomor 4 tahun 2003. Konawe Selatan secara definitif terbentuk
pada tanggal 25 Februari tahun 2003. Saat ini Konawe Selatan
memiliki 25 kecamatan yaitu, Tinanggea, Lalembuu, Andoolo, Buke, Andoolo Barat, Palangga, Palangga Selatan, Baito, Lainea, Laeya, Kolono, KolononTimur, Laonti, Moramo, Moramo Utara, Konda, Wolasi, Ranomeeto, Landono, Mowila, Sabulakoa, Angata, Benua, Basala (BPS Sulawesi Tenggara, 2016). Luas wilayah Kabupaten Konawe Selatan yaitu sekitar ± 451,420 Ha atau 11,83% Ha dari luas 37
38
Kabupaten Konawe Selatan yaitu sekitar ± 451,420 Ha atau 11,83% Ha dari luas wilayah daratan Sulawesi Tenggara. Sedangkan luas wilayah perairan (laut) adalah mencapai sekitar ±9.368 Km2, dengan panjang garis pantai mencapai ± 200 Km(BPS Sulawesi Tenggara, 2016). Desa Watumerembe merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Palangga, Kabupaten Konawe Selatan
yang luasnya sekitar ± 2,614 Ha.
Kecamatan Palangga sampai tahun 2016 terdiri dari 16 yaitu; Mekar Sari, Wawouru, Waworaha, Alakaya, Aosole, Anggondara, Onembute, Eewa, Wawonggura, Kiaea, Palangga, Kapu Jaya, Watudemba, Sanggi-sanggi, dan Wonua Morini serta satu kelurahan yaitu kelurahan Palangga yang juga merupakan ibukota kecamatan. Desa Watumerembe juga merupakan salah satu Desa yang ada dijalur poros antara Kota Kendari dengan ibu Kota Konawe Selatan yang berjarak sekitar 35 kilo meter (km) dari Kota Konawe Selatan atau sekitar 7 kilo meter (km) dari ibu Kota Kecamatan Palangga. Desa Watumerembe terdiri dari 4 Dusun dari 4 Rukun Warga (RW) dan 6 Rukun Tetangga (RT). Berdasarkan letak geografisnya, Desa Watumerembe memiliki batasanbatasan sebagai berikut: - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Aosole - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Onembute - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Amondo - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Wawonggura
39
Desa Watumerembe merupakan daerah yang sebagian besar wilayahnya adalah tanah berbukit yang digunakan sebagai areal perladangan penduduk dan perkebunan jati milik pemerintah. Sebagian pula digunakan sebagai permukiman penduduk,
yang umumnya berada disisi kiri dan kanan jalanan kabupaten
maupun jalanan desa. Areal perladangan penduduk terletak di sebelah utara permukiman penduduk, sedangkan perkebunan jati milik pemerintah berada di sebelah selatan permukiman penduduk. Sungai Wawonggura yang merupakan sumber mata air yang ada di Desa Watumrembe dan digunakan sebagai air bersih untuk mandi, mencuci dan kebutuhan rumah tangga lainnya yang terletak di sebelah selatan pemukiman penduduk terbentang dari barat ke timur. Sungai ini tidak dapat dijadikan sumber irigasi, karena posisinya berada di kaki bukit, jauh lebih rendah dibanding areal perkebunan penduduk yang letaknya di bukit atau di lereng-lereng bukit, sehingga di desa ini tidak ada areal persawahan. 2. Keadaan Iklim Seperti halnya dengan daerah lain yang ada di Indonesia pada umumnya dan khususnya Desa Watumerembe Kecamatan Palangga kabupaten Konawe Selatan, memiliki iklim tropis yang dipengaruhi oleh dua musim selama setahun, yaitu musim timur (kemarau) dan musim barat (penghujan). Musim timur berlangsung pada bulan Mei hingga November. Sedangkan musim barat berlangsung pada bulan Desember hingga April tahun berikutnya. Pada musim kemarau, petani mempersiapkan lahan perladangan dengan membuka hutan atau semak belukar
40
atas tanah leluhurnya atau warisan dari leluhurnya (bukan hutan negara atau hutan lindung). Setelah memasuki musim penghujan, lahan tersebut ditanami jagung, padi dan sayur-mayur. Kegiatan bercocok tanam di ladang hanya dilakukan sekali dalam setahun, yaitu pada musim penghujan. 3. Keadaan Penduduk Penduduk memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi suatu negara, karena pada dasarnya penduduk merupakan salah satu modal penting dalam pembangunan nasional.Sumber daya manusia merupakan salah satu faktor utama penentu keberhasilan pembangunan suatu daerah.Penduduk dengan segala potensi yang dimilikinakan sangat mendukung kelancaran pembangunan disegala bidang. Sumber daya manusia yang berkualitas akan menentukan dalam usaha pencapaian tujuan pembangunan apabila didukung oleh sumber daya alam, modal, serta sumber daya lainnya. Untuk mengetahui keadaan penduduk di Desa Watumerembe dapat diuraikan sebagai berikut: a. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur dan Jenis Kelamin Umur sangat mempengaruhi produktivitas kerja dalam usaha meningkatkan pendapatan keluarga. Pada tahun 2016, Desa Watumerembe memilik jumlah penduduk sebanyak 742 jiwa yang terdiri atas 355 jiwa laki-laki dan 388 jiwa perempuan. Untuk lebih jelasnya data keadaan penduduk Desa Watumerembe berdasarkan umur dan jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini:
41
Tabel 1.Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Umur dan Jenis Kelamin kelompok umur (tahun)
Jenis Kelamin laki-laki perempuan 0 – 15 133 135 16 – 55 194 220 56 keatas 28 33 Jumlah 355 388 Sumber Kantor Desa Watumerembe, 2017
Jumlah (jiwa)
Persentase (%)
268 414 60 742
36,11 55,79 8,1 100
Dari data diatas dapat dilihat bahwa keadaan penduduk berdasarkan tingkat umur dan jenis kelamin menunjukan bahwa kelompok umur 16-55 tahun yang terbanyak 414 orang atau 55,79% dan kelompok umur 56 keatas yang terkecil hanya 60 orang atau 8,1%. Sedangkan penduduk berdasarkan tingkat jenis kelamin lebih banyak perempuan 388 orang dibanding laki-laki 355 orang.Dari data tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa tenaga kerja lebih didominasi perempuan di banding laki-laki. Dari tabel juga terlihat usia produktif di Desa Watumerembe masih cukup banyak. b. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat pendidikan seseorang sangat berpengaruh terhadap cara dan kemampuan berpikir dalam bertindak serta menyerap berbagai inovasi-inovasi baru yang ada. Adapun rincian keadaan penduduk Desa Watumerembe berdasarkan tingkat pendidikan untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:
42
Tabel 2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah (jiwa) TK/PAUD 21 SD 280 SMP 220 SMA 145 D3 10 S1 20 Tidak Sekolah 26 Tidak Tamat SD 20 Jumlah 742 Sumber Kantor Desa Watumerembe, 2017
persentase (%) 2,8 37,72 29,6 19,54 1,34 2,7 3,6 2,7 100
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa keadaan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan di Desa Watumerembe pada tahun 2017 masih sangat rendah.Sehingga rendahnya tingkat pendidikan sangat berpengaruh besar terhadap pola pikir dan bertindak dalam menyerap inovasi-inovasi baru. Dengan keadaaan yang demikian, maka pengetahuan mengenai kearifan lokal akan terus terjaga dan senantiasa selalu di lestarikan dan menjadi landasan dalam kehidupan sehari-hari dan di wariskan secara turun temurun dari generasi ke generasi sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat Tolaki yang membedakannya dengan masyarakat lainnya. c. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian Suatu daerah yang berpenduduk tentu memiliki keberangaman mata pencaharian yang seperti halnya masyarakat desa Watumerembe. Keadaan mata pencaharian masyarakat Desa Watumerembe pada tahun 2017 terdiri dari sektor
43
pertanian berjumlah, pedagang, tukang kayu/batu, dan pegawai negeri sipil (PNS). Berdasarkan keadaan yang ditemukan di lapangan penelitian yang
bermata
pencaharian sebagai PNS sebanyak 10 jiwa (4,2%), TNI sebanyak 4 jiwa (1,4%), petani sebanyak 172 jiwa (68.1%), peternak 15 jiwa (6.2%) pedagang sebanyak 27 jiwa (10.1%) serta tukang kayu/batu sebanyak 25 jiwa (10%). Dengan demikian jumlah penduduk desa Watumerembe berdasarkan mata pencaharian sebanyak 250 jiwa. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini: Tabel 3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Mata Pencaharian Mata Pencaharian Jumlah (jiwa) PNS 10 TNI 4 Petani 172 Peternak 15 Pedagang/Kios 27 Tukang Kayu/Batu 25 250 Jumlah Sumber Kantor Desa Watumerembe, 2017
persentase (%) 4,2 1,4 68,1 6,2 10,1 10 100
Masyarakat desa Watumerembe sebagian besar penduduknya mempunyai mata pencaharian sebagai petani. Mereka melaksanakan kegiatan pertanian sebagian besar adalah bertani padi
yang selebihnya adalah bercocok tanam
jagung, kacang tanah dan sayur-sayuran. Jenis tanaman yang ditanam tersebut sebagai penunjang dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sistem pertanian yang diterapkan oleh masyarakat Watumerembe adalah dengan sistem berpindah-pindah. Hal tersebut dikarenakan produktivitas lahan pertanian mereka menurun, sehingga mereka meninggalkannya untuk beberapa lama dengan
44
mencari dan mengolah lahan mereka di tempat yang lain secara berkelompok yang dianggap subur dibanding dengan yang ditinggalkan. Pola
bertani
masyarakat
Watumerembe
secara
umum
bersifat
tradisional.Pola berpindah-pindah masih diyakini bahwa lahan-lahan pertanian yang ditinggalkan dalam jangka waktu yang lama dapat mengurangi perkembangan tanaman-tanaman pengganggu dan mencegah menurunnya tingkat kesuburan tanah.Dalam masyarakat Watumerembe, memiliki kearifan lokal dengan mengandalkan kekuatan alam dan bertani dengan sistem berpindah-pindah mencari lahan yang subur masih dianggap sesuatu yang utuh dan mengikat dalam kehidupan mereka.Keadaan tanah di lokasi mereka menanam pada umumnya telah dipilh tanah yang baik dalam arti tidak berbatu-batu, rata, dan tidak mengandung kapur. Suatu ciri yang paling menonjol bagi petani masyarakat Watumerembe adalah ketergantungannya pada keadaan alam dan iklim. Kegiatan penanaman maupun pengolahn pascapanen padi gogo dilakukan dengan perhitungan bulan di langit untuk menentukan waktu tanam yang tepat. Sebagian besar petani melakukan dua kali penanaman dan pengelolaan pacapanen padi gogo dalam satu tahun dengan waktu tanam yang disebut musim tanam timur dan waktu tanam musim tanam barat. Musim tanam timurdilakukan atau berlangsung sekitar bulan Maret dan April menjelang musim kemarau, sedangkan musim tanam barat dilakukan sekitar bulan November sampai dengan bulan Desember menjelang musim hujan.
45
Usaha pertanian yang masyarakat Watumerembe sebagian besar dilakukan secara tradisional. Hal tersebut ditandai dengan kurangnya mengenal pupuk sebagai suatu teknologi dalam peningkatan produksi pertanian serta masingmasing petani memiliki lebih dari satu lahan pertanian yang tersebar
pada
beberapa tempat untuk cadangan bercocok tanam apabila produksi pada salah satu lahan pertanian mereka menurun, maka mereka mulai membuka lahan baru yang bisa digunakan sebagai lahan pertanian. Melaksanakan sistem pertanian dengan cara menetap pada suatu tempat menurut persepsi sebagian masyarakat Watumerembe kurang ekonomis, di samping memerlukan cara kerja yang rumit juga memakan waktu yang lama. Hal tersebut terjadi karena masyarakat Watumerembe masih mengandalkan peralatan pertanian yang sebagian besar bersifat tradisional. Selain itu, keahlian mereka kurang menunjang untuk menerapkan pola sistem bertani dengan cara menetap. Justru bertani dengan cara berpindah-pindah relatif memberi keuntungan. Menurut mereka, lahan baru yang dibuka relatif tingkat tanahnya menjanjikan harapan yang baik untuk memberikan hasil pertanian dalam rangka memenuhi kebutuhan ekonomi berupa pangan. Masyarakat
Watumerembeyang
hidup
di
pedesaan
yang
bermata
pencaharian sebagai petani mengenal dan mempergunakan mantra dalam perikehidupannya termasuk dalam kegiatan bertanam padi gogo.Dalam bidang pertanian tersebut, masyarakat Watumerembe menggunakan mantra mulai dari membuka lahan sampai pada masa pascapanen tiba.Mantra-mantra tersebut
46
dianggap penghubung manusia dengan penguasa alam yang mereka gunakan sebagai area pertanian. Alam dianggap sebagai tempat yang sangat berperan dengan kehidupan.Di samping itu, alam dapat pula mengakibatkan kerugian bagi kehidupan. Menurut kepercayaan masyarakat Watumerembebahwa munculnya gejala-gejala seperti, angin keras, wabah penyakit, banyaknya kematian dalam suatu kampung dan sebagainya salah satunya diakibatkan oleh makhluk yang gaib. Untuk berkomunikasi dengan segala gejala-gejala alam sekaligus mengantisipasinya tersebut diperlukan bahasa yang khas yaitu mantra, baik dengan menggunakan sesajian maupun tidak menggunakan sesajian. Kehadiraan mantra atau sesajian sebagai senjata yang ampuh dalam memohon atau melawan kekuatan yang gaib terhadap sang leluhur. Kebiasaan tersebut merupakan warisan leluhur sebagai bentuk kearifan lokal yang dipegang tuguh masyarakat desa Watumerembe. 4. Keadaan Sarana dan Prasarana Perkembangan pada suatu daerah pada dasarnya sangat berkaitan erat dengan ketersediaan sarana dan prasarana.Semakin baik sarana dan prasarana suatu daerah maka semakin mendukung tercapainya interaksi sosial, maupun ekonomi sehingga upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat semakin mudah untuk diwujudkan. Untuk jelasnya dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini:
47
Tabel 4. Keadaan Sarana Dan Prasana No Jenis Sarana dan Prasarana Bidang Pendidikan 1 Taman Kanak-kanak (TK) 2 Sekolah Dasar (SD) Bidang produksi dan pemasaran 1 Warung/Kios bidang pembangunan Kantor Desa 1 2 Balai Desa 3 Masjid 4 Pos Ronda 5 Posyandu 6 MCK umum Bidang Pembangunan dan Transportasi 1 Jalan Desa Jalan Usaha Tani 2 3 Mobil 4 Motor 5 Sepeda Bidang Teknologi 1 Televisi Sumber Kantor Desa Watumerembe, 2017
Jumlah (satuan) 1 1 27 1 1 1 1 1 6 2,5 KM 3 KM 5 168 2 152
Berdasarakan data tersebut dapat dilihat bahwa sarana dan prasarana yang ada dalam masyarakat Desa Watumerembe sangat penting dalam menentukan kualitas dan sumberdaya manusia seperti pendidikan, jalan pemerintah, transportasi , ekonomi serta sosial budaya (tempat ibadah). Pada sektor pendidikan, sarana dan prasarana yang ada di Desa watumerembe berupa Taman Kanak-kanak sebanyak 1 unit, Sekolah Dasar sebanyak 1 unit. Sarana dan prasarana pembangunan desa berupa kantor desa sebanyak
unit, balai desa
48
sebanyak 1 unit, masjid sebanyak 1 unit, pos ronda sebanak 1 unit, posyandu sebanyak 1 unit dan MCK umum sebanyak 6 unit. Keadaan sarana dan prasarana Desa Watumerembe bisa dibilang cukup memadai untuk memenuhi syarat mencapai sumberdaya manusia yang berkualitas dalam melestarikan kearifan loalnya. B. Pembahasan 1. Sejarah Desa Watumerembe Desa Watumerembe secara definitif terbentuk pada tahun 1973, yang merupakan salah satu daerah pemekaran dari Desa Onembute. Pemberian nama Desa Watumerembe berasal dari nama mata Air Watumerembe dari pegunungan atas dasar itulah bapak Abu Sakti mengambil inisiatif untuk menamakan desa tersebut dengan nama „Watumerembe‟. Desa Watumerembe pertama kali dipimpin oleh Bapak Abu Sakti dengan masa jabatan selama enam periode yaitu mulai pada tahun 1973 sampai dengan tahun 2004.Kepemimpinan bapak Abu Sakti berjalan begitu lama, karena pada waktu itu yang bisa memimpin Desa Watumerembe hanyalah keturunanan dari raja (Anakia). Setelah bapak Abu Sakti semakin tua dan usia yang makin bertambah, kepemimipinannya sebagai kepela Desa Watumerembe di ganti oleh bapak Alpian Rasyim pada tahun 2004 sampai 2013. Masa jabatan bapak Alpian Rasyim berjalan selama dua periode. Dan Pada tahun 2013 bapak Alpian Rasyim di gantikan oleh bapak Sainal sebagai Kepala Desa sementara karena pada waktu itu pemilihan untuk calon kepala desa belum di tentukan oleh pemerintah setempat.
49
Masa jabatan Bapak Sainal berjalan selama satu tahun yaitu sampai tahun 2014. Pada saat pemilihan desa pada tahun 2014, Bapak Aksar Abusakti ikut mencalonkan diri dan terpilih sebagai kepala Desa Watumerembe. Beliau menjabat sampai saat ini dan masa jabatan akan berakhir pada tahun 2018. 2. Sistem Kepercayaan Masyarakat Desa Watumerembe Ditinjau dari segi kepercayaan, ada zaman dahulu seluruh penduduk asli masyarakat Tolakidi Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara percaya adanya Tuhan dan memeluk agama Islam. Hal tersebut terlihat dengan tidak ditemukannya tempat ibadah agama dan kepercayaan yang lain. Namun dengan perkembangan zaman dan berbaur dengan warga pendatang, sekarang ini pencampuran kepercayaaan dan keyakinan sudah masuk dalam kehidupan masyarakatnya. diDesa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat mesjid sebagai tempat beribadah umat Islam dalam mewujudkan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Banyak kegiatan yang berhubungan dengan agama dilaksanakan oleh masyarakat Muna yang diantaranya adalah peringatan hari-hari besar agama, pengislaman, pernikahan dan pesta panen. Selain itu, masyarakat Desa Watumerembe masih kuat kepercayaan terhadap hal-hal yang bersifat mistis (gaib).Kepercayaan terhadap kekuatan gaib ditunjukan dengan masih adanya ritual-ritual yang dilakukan masyarakat pada saat pemanenan (mosowi). Ritual (mombongu) pada saat panen (mosowi) ini
50
sangat penting karena dipercaya dapat membawa dampak pada masyarakat petani dan tidak boleh terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Jika terjadi pelanggaran tersebut akan berdampak buruk dimana hasil panen padi tidak akan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh petani jika sang Dewi padi (sanggoleo mbae) murka terhadap mereka. Sang Dewi padi (Sanggoleo Mbae) ini dipercayai oleh masyarakat petani dalam bercocok tanam padi gogo/padi ladang. 3. Langkah-langkah Pembuatan Lumbung Padi Adapun langkah-langkah dalam menyediakan alat untuk pembuatan lumbung padi sebagai wadah penyimpanan petani yang dilakukan secara turun temurun adalah sebagai berikut : a. Penyediaan Alat untuk Pembuatan Lumbung Padi Untuk membuat sebuah lumbung padi biasanya masyarakat petani memulai dengan menyiapakan alat dan bahan yang diperlukan seperti, kayu, atap (daun rumbia), bambu, tali, paku, potongan seng dan potongan plastik dan lain-lain. Serta melalui berbagai tahapan. Pada tahapan pertama adalah pemilihan jenis kayu. Jenis kayu yang dipakai sebagai bahan utama pembuatan lumbung padi tidak sembarang. Jenis kayu yang sering dipakai dalam membuat lumbung adalah kayu kulipapo (kayu keras/tahan lama).Kayu tersebut merupakan kayu keras kelas satu baik dari ketahanan terhadap rayap atau dari pembusukan. Salah satu yang unik dari kayu ini yaitu apabila kayu tersebut semakin lama disimpan atau digunakan
51
maka struktur kayu tersebut semakin mengeras walaupun terkena hujan kayu ini tidak akan mudah lapuk atau membusuk dan tahan terhadap rayap. Hal inilah yang menjadi alasan petani menggunakan kayu tersebut untuk pembuatan lumbung padi. Tempat pengambilan kayu keras ini terletak di dalam hutan yang lumayan jauh dari perkampungan masyarakat.Sehingga sebelum berangkat berbagai persiapan disiapkan.Salah satunya adalah bekal untuk makan, apabila masyarakat tersebut tidak sempat balik kerumah karena jauh.Dalam pengambilan kayu biasanya memakan waktu 1 sampai 2 minggu. Banyak pantangan yang selalu dihindari masyarakat saat akan mengambil kayu yaitu saat akan menebang diusahakan posisi menghadap kearah kiblat. Selain itu dilarang bicara sembarang jika berada dalam hutan dan pada saat menebang kayu. Menurut keterangan Responden bahwa setiap petani yang ingin menebang kayu harus meminta izin serta menjaga ucapannya dengan tidak berkata sembarang karena ditempat tersebut ada yang menjaganya. Jika dilanggar orang tersebut akan mendapat celaka atau orang tesebut sakit secara tiba-tiba. b. Membuat Lumbung Padi Saat masyarakat selesai pada tahapan mempersiapkan kayu dan alat lainnya langkah selanjutnya adalah mulai membuat lumbung padi, kayu yang ada di potong sesuai ukuran tiang lumbung dan ukuran rangka-rangka lumbung yang akan dibuat. Lumbung padi yang ada di Desa Watumerembe pada umumnya memilki panjang 3 m, lebar 2 m dan tingginya 4 m, atau tergantung dari kemauan
52
sipetani. Pembuatan lumbung ini dilakukan dalam satu minggu. Dimana dalam proses pembuatan lumbung tersebut masyarakat memiliki kepercayaan bahwa sebaiknya dalam membuat lumbung dilakukan oleh orang yang benar-benar memiliki keahlian membuat lumbung. Hal ini diharapkan agar saat lumbung digunakan untuk penyimpanan padi jauh dari gangguan hama. Pada saat dinding dan atap pelapon (dapono) lumbung dipasang tidak boleh ada yang terbalik atau jarang artinya pemasangan tersebut harus benar-benar tertutup rapat dan rapi. Jika hal ini diabaikan, msayarakat percaya bahwa lumbung tersebut akan berhama nantinya jika padi telah disimpan kedalam lumbung tesebut. Setelah selesai pembuatan lumbung langkah selanjutnya adalah penentuan lokasi/tempat lumbung petani.Dalam penentuan lokasi/tempat untuk lumbung petani yaitu tergantung dari jauh dekatnya dimana mereka berladang. Jika perladangan petani jauh dari perkampungan, maka lumbung padi ditempatkan dimana mereka berladang. Begitupun jika ladang petani dekat dari perkampungan maka lumbung tersebut ditempatkan dibelakang rumah petani. 4. Sistem Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki Desa Watumerembe Sistem kearifan lokal masyarakat Tolaki khususnya di Desa Watumerembe sudah menjadi kebiasaan secara turun temurun dengan memasukan hasil panen kedalam lumbung setiap tahunnya setelah panen.Kearifan lokal ini menjadi salah satu kebudayaan Tolaki yang terus dipegang teguh oleh masyarakat Tolaki khususnya di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan.
53
Seperti yang diungkapakan oleh bapak Hasyim Nando bahwa kearifan lokal tersebut tidak dapat dipisahkan dengan sistem kearifan lokal lainnya yang terdapat di Kabupaten Konsel. Karena dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Desa Watumerembe memegang teguh akan kearifan yang diwariskan oleh orangorang terdahulu kami. Sehingga kebiasaan ini menjadikan masyarakat Desa Watumerembe
semakin
kuat
rasa
kebersamaan
kami
dalam
menjalin
talisilaturahmi di antara masyarakat. Pada mulanya apabila kegiatan pemanenan
telah selesai di laksanakan
secara keseluruhan Tradisi atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Tolaki Desa Watumerembe setelah panen yaitu mereka mengadakan ritual yang namanya Upacara Menahu Nda’u (Upacara pesta tahunan) yang dimana sudah menjadi tradisi
dikalangan
masyarakat
Tolaki
setelah
panen
setiap
tahunnya.
Menyelenggarakan upacara pesta tahunan (Upacara monahu nda’u) ini dimaksudkan sebagai wujud syukur kepada yang Maha Kuasa oleh masyarakat karena telah berhasil panen.Upacara pesta tahunan(upacara monahu nda’u) ini merupakan suatu pemberitahuan dan permohonan izin kepada dewa penguasa alam semesta, agar masyarakat tetap dalam keadaan sehat walafiat, jauh dari bala dan malapetaka, sehingga segala usaha dalam bercocok tanam dapat berhasil dengan baik.Melalui upacara ini masyarakat mendambakan hasil panen yang melimpah, memperoleh berkah dan kasih sayang sang Dewi padi (Sanggoleo mbae). Akan tetapi, seiring dengan perkembangan zaman tardisi atau kebiasaan ini dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan dari bentuk
54
pelaksanaannya, dimana masyarakat Tolaki khususnya Desa Watumerembe sekarang ini tidak lagi melaksanakan upacara Pesta Tahunan ini (upacara Menahu Nda’u) melainkan Ritual Baca-baca padi baru ( Mo Basa-Basa Pae Wu Ohu) setelah panen, yang dilakukan oleh setiap kepala keluarga dan anggota keluarga terdekat.Hal ini sudah menjadi tradisi dan budaya di Desa Watumerembe setelah pelaksanaan panen dalam sekali setahun.Tradisi baca-baca ini masih dipegang teguh oleh masyarkat Desa Watumerembe sampai saat ini (wawancara 19 April 2017). 5. Kearifan Lokal Masyarakat Tolaki dengan Budaya Pamali Bentuk kearifan lokal ini menjadi budaya masyarakat Tolaki dalam kehidupan sehari-harinya. Adapun bentuk-bentuk kearifan lokal tersebut adalah sebagai berikut: a. Pamali (ipado) ketika mendengar suara burung pelatuk pada saat akan panen, jika hal tersebut dilanggar dapat berakibat buruk, dapat musibah, kecelakaan dan mendapat penyakit b. Pamali (ipado) Bersin ketika pada saat panen (mombungu) karena jika hal tersebut dilanggar, akan berakibat buruk yaitu jatuh sakit (muntaber, muntahmuntah, dan sakit perut) c. Pamali (ipado) ketika mendengar suara gonggongan anjing pada saat akan panen dilaksanakan, jika hal tersebut dilanggar akan berakibat buruk dan sakit parah
55
d. Pamali (ipado) mendengar orang menangis pada saat akan panen, jika hal tersebut dilanggar maka bisa berakibat buruk mendapat penyakit dan bisa meninggal dunia. e. Pamali (ipado) membuang hajat pada saat
parika melakukan ritual panen
(mombungu), karena berakibat hasil panen berkurang f. Pamali (ipado) makan di tengah ladang, karena beakibat hasil panen berkurang Dari budaya pamali-pamali (ipado) ini ketika akan panen jika tidak dipatuhi maka hal tesebut akan berdampak buruk pada masyarakat yang melanggarnya, entah itu mendapat musibah, penyakit maupun berkurangnya hasil panen. Manfaat dari budaya pamali (ipado) ini dapat memberikan hasil mengenai kearifan lokal dalam pengelolaan pasca panen padi gogo yang di wariskan secara turun temurun.Dari manfaat tersebut dapat di rasakan masyarakat dengan melimpahnya hasil panen sesuai harapan masyarakat petani walaupun pola bertaninya trdisional dan jauh dari hal-hal buruk yang tidak di inginkan. g. Pamali (ipado) Tidak menebang sembarang pohon, karena jika menebang tanpa meminta izin kepada penghuni pohon akan berakibat buruk dan dapat penyakit. Selain itu juga masyarakat Tolaki Desa Watumerembe menyadari bahwa jika terus menerus pohon di tebang habis akan berdampak buruk kepada masyarakat sendiri jika terus menerus merusak alam. Dengan itulah masyarakat terus menjaga akan kelestarian lingkungan alam, karena lingkungan alam adalah sumber mata pencaharian sebagai petani. walaupun masyarakat berladang dengan
56
sistem berpindah-pindah, masyarakat tetap menjaga untuk tidak merusak alam dengan cara menanami kembali lahan yang telah menjadi perladangan mereka dengan menanam tanaman jangka panjang seperti, pohon Jati dan pohon Sengon yang nantinya berguna bagi masyarakat karena dapat diolah untuk di jadikan bahan pembuatan rumah maupun dijual untuk menambah biyaya pendidikan dan lainnya. Budaya pamali (ipado) ini masih tetap berlaku dan di patuhi dalam masyarakat Tolaki khususnya di Desa Watumerembe sampai saat ini. 6. Kearifan Lokal Dalam Kegiatan Pemanenan Kegiatan pemanenan yang dilakukan masyarakat Desa Watumerembe dimulai pada setiap bulan Juni.Pada bulan ini aktivitas yang dilakukan masyarakat petani adalah aktivitas pemanenan padi gogo. Dimana dalam kegiatan ini masyarakat menggunakan ani-ani (sowi) dalam melakukan pemanenan padi gogo. Hasil panen dengan menggunakan ani-ani (sowi) menghasilkan padi dalam bentuk ikatan, bukan gabah. Ukuran sebuah ikatan padi relatif kecil, yakni rata-rata 3 sampai 4 genggam orang dewasa. Untuk menguatkan ikatan seikat padi menggunakan kulit kayu waru (wunu), yang kulitnya relatif kuat dan tebal dan tahan lama. Setiap hektar dapat menghasilkan 200 sampai 300 ikat padi, tergantung dari tingkat kesuburan padi. Hasil panen tersebut belum dikeluarkan upah panen untuk keluarga atau tetangga yang telah membantu dalam panen tesebut. Setelah dikalkulasi, hasil panen tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga saja selama setahun.
57
Kearifan lokal dalam kegiatan pemanenan pada mulanya apabila waktu panen tiba, segala sesuatunya yang menjadi kebutuhan pada saat pemanenan di siapkan terlebih dahulu. Dalam kegiatan pemanenan Parika (tono mbepu’u sowia) akan menyiapkan bahan ritualnya jika pemanenan akan dilaksanakan pada esok harinya. Bahan-bahan yang digunakan dalam ritual ini adalah daun siri, pinang, kapur, dan lain-lain. Ritual tersebut dilakukan oleh seorang parika pada sore hari, jika pemanenan akan dilakukan esok harinya. Dalam kegiatan pemanenan ini dilakukan oleh empat orang saja di awal panen atau hari petama panen selama waktu setengah hari. Seperti yang diungkapkan oleh bapak Merlin selaku sebagai Parika (tono mbepu’u sowi’a) bahwa pada zaman dahulu jika pemanenan akan dilaksanakan pada esok harinya, parika (tono mbepu’u sowi’a) bersama anggotanya berjumlah 4 orang saja yang akan menemani memotong padi pada hari pertama, dan jika waktu subuh telah tiba mereka akan bersiap-siap untuk segera memotong padi sebelum ayam bangun dan turun darri tempat bertenggernya (wawancara 20 April 2017). Selanjutnya, pada hari kedua pemanenan dilakukan pada pagi hari dengan waktu yang telah ditentukan oleh parika (tono mbe pu’u sowi’a) dan sudah dilakukan secara bersama atau bergotong royong. Dalam pemanenan jika ada orang yang datang terlambat, maka orang tersebut tidak diperbolehkan lagi untuk masuk menuai padi (mosowi). Namun dengan perkembangan zaman yang semakin maju pemanenan yang dilakukan sekarang ini ada sedikit perbedaan
58
dengan pemanenan yang dilakukan di zaman dahulu.Sekarang ini masyarakat petani yang melakukan pemanenan menuai padi (mosowi), tidak lagi dilakukan seperti dulu pada awal panennya.Jika pemanenan telah tiba waktunya masyarakat petani melakukan secara bergotong royong pada hari pertama maupun pada hari kedua jika pemanenan belum terselesaikan pada hari pertama. 7. Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Pasca Panen Padi Gogo Apabila pemanenan telah selesai, langkah selanjutnya adalah pengelolaanya. Padi yang sudah di panen masyarakat petani disimpan di rumah pondok (laika landa) yang sudah disiapkan terlebih dahulu.Dimana rumah pondok tersebut terletak ditengah-tengah ladang petani. Tujuan dari penyimpanan di rumah kebun tesebut agar terhindar dari hama guna menunggu penjemuran pada hari ke dua. Pada hari kedua padi di ikat sesuai ukuran yang di inginkan, lalu diemur ditengahtengah ladang tuuannya adalah untuk mengeringkan padi dari kadar airnya pada waktu panen. Padi yang disimpan dirumah pondok (laika landa) itu memakan waktu selama satu bulan atau lebih, tergantung dari selesainya musim panen secara keseluruhan. Menurut bapak Bahrun bahwa jika masyarakat petani langsung memasukan hasil panennya kedalam lumbung tanpa menunggu selesainya musim panen secara keseluruhan, maka akan berpengaruh pada tahun berikutnya jika masyarakat petani berladang atau bercocok tanam lagi (salanda’u) Setelah musim pemanenan padi gogo selesai secara keseluruhan, langkah selanjutnya adalah petani memasukan hasil panennya kedalam lumbung. Dalam
59
memasukan padi kedalam lumbung, biasanya petani melakukan secara bergotong royong (mombeperongo) ataudilakukan secara individu jika jumlah hasil panen tidak banyak.Kegiatan ini bisa memakan waktu dalam satu hari atau sampai dua hari jika padi petani berjumlah banyak. Akan tetapi, jika perladangan masyarakat petani jauh dari perkampungan maka masyarakat petani akan membuat lumbungnya dimana mereka berladang. Begitupun jika ladang masyarakat petani dekat dari perkampungan maka lumbung tersebut dibuat dibelakang rumah kampung masyarakat petani. Menurut yang diungkapkan oleh bapak Bahrun bahwa cara memasukan padi kedalam lumbung yaitu jika lumbung tersebut adalah lumbung baru, maka hal yang harus dilakukan pertama kali adalah dengan memsukan padi sebanyak empat ikat dan disimpan selama satu malam. Setelah satu malam disimpan padi tesebut dikeluarkan kembali dari lumbung. Langkah selanjutnya, adalah masyarakat petani membakar bambu sebanyak satu biji (asoboto) dan memukulkannya
ditiang
lumbung
tersebut
sebanyak
empat
kali
(mombelangguako) selain cara untuk menghindarkan lumbung padi dari hama tikus kami juga menggunakan sawurondo tujuannya agar hama tersbut tidak melihat lumbung padinya. Setelah itu, barulah petani memasukan padinya kedalam lumbung dan mengaturnya serapi mungkin, karena padi tersebut di simpan dengan waktu yang cukup lama selama petani belum membutuhkan jika persediaan berasnya masih banyak.
60
Dalam pengolahannya menjadi beras masyarakat petani melakukan dengan cara yang tradisional yaitu petani mengambil padi dari lumbung sebanyak dua ikat atau tergantung yang dibutuhkan petani. setelah itu padi tersebut dijemur dibawa sinar matahari sampai kering, dan langkah selanjutnya padi yang telah kering ditumbuh hingga menjadi beras menggunakan alat yang sangat tradisional yaitu lesung dan halu (nohu ronga alu). Kegiatan ini terkadang dilakukan satu sampai dua orang agar kegiatan cepat terselesaikan. Menumbuh dengan menggunakan alat tradisonal ini masih dilakukan masyarakat petani hingga saat ini, akan tetapi jika masyarakat petani membutuhkan banyak beras
dan persediaan padi
dilumbung masih banyak, mereka tidak menumbuh lagi, melainkan padi digiling untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja. Seperti yang diungkapkan bapak Bahrun bahwa “di zaman saya dahulu sebelum ada yang namanya penggilingan, kegiatan menumbuh ini menjadi kegiatan remaja laki-laki yang dilakukan secara berkelompok. Apalagi jika ada keluarga yang melaksanakan pesta besar seperti pernikahan, dan membutuhkan persediaan beras yang lumayan banyak sesuai kebutuhan dalam pesta tesebut. Kami mengambil padi
dari lumbung dengan jumlah banyak sesuai yang
dibutuhkan untuk pesta dan menjemurnya selama satu hari atau setengah hari jika mataharinnya sangat panas. Kegiatan menumbuh ini kami lakukan bekelompok khusus remaja laki-laki yang mau membantu. Dalam kegiatan ini, menumbuh dapat memakan waktu setengah hari, jika dimulai pada waktu pagi menjelang siang maka dapat diselesaikan pada waktu
61
sore, tetapi jika dimulai pada waktu siang maka kegiatan menumbuh ini dapat terselesaiakan sampai malam. Namun keadaan sekarang tidak lagi seperti dulu.Sekarang sudah ada mesin penggiling beras, jadi tidak lagi kegiatan menumbuh dilakukan seperti dulu. (Wawancara 21 April 2017). 8. Implikasi Kearifan Lokal Terhadap Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Tanaman Padi Gogo
Kearifan lokal di Desa Watumerembe yang terkait dengan kegiatan pengelolaan pasca panen padi gogo dengan memasukan hasil panen padi kedalam lumbung berupa adat istiadat, kepecayaan, larangan/pamali (ipado) dan teknologi masih dipegang teguh dan dipatuhi sampai saat ini dan menjadi landasan hidup masyarakat petani di Desa Watumerembe. Dari hasil penjabaran sebelumnya dari tulisan ini, kearifan lokal yang terkait dalam pengelolaan pasca panen padi gogo diturunkan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya seak kecil. Trasnfer pengetahuan mengenai kearifan lokal tesebut dilakukan dengan cara melibatkan anak-anak sejak kecil dalam kegiatan pengelolaan pasca panen dan segala ritual yang mnyertainya. Sosialisasi mengenai kearifan lokal tersebut dilakukan melalui keluarga dimana menjadi bentuk sosialisasi yang efektif untuk bertahannya sebuah kearifan lokal. Kearifan lokal secara singkat dapat diuraikan pada tabel 5 berikut ini:
62
Tabel 5. Bentuk Kearifan Lokal dalam Kegiatan Pengelolaan Pasca Panen Padi Tanaman Padi Gogo di Desa Watumerembe No
Bentuk kearifan lokal
1
Adat istiadat
Deskripsi 1. Ritual baca-baca setelah panen sebagai wujud rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa oleh masyarakat karena telah berhasil panen 2. Ritual Mombongu yang dilakukan masyarakat petani pada saat pelaksanaan panen (Mosowi) 3. Sistem gotong royong yang terus terjaga
2
Nilai
Didasarkan atas kepercayaan supranatural terkait kepercayaan terhadap sang Dewi padi (sanggoleo mbae) penguasa padi.
3
Teknologi
1. Pengunaan ani-ani (sowi) sebagai alat panen padi gogo 2. Rumah kebun sebagai mekanisme penyimpanan awal padi setelah di panen untuk dikeringkan sebelum dimasukan kedalam lumbung 3. Lumbung padi sebagai mekanisme penyimpanan hasil panen padi untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan petani ditahun berikutnya 4. Lesung dan alu (Nohu dan Alu) yang digunakan masyarakat petani dalam
63
mengolah padinya menadi beras untuk kebutuhan keluarganya saja 5. Gilingan beras apabila masyarakat petani membutuhkan banyak beras untuk keperluan besar 4
Larangan (ipado)
1. Ketika mendengar suara burung pelatuk kegiatan pemanenan menuai padi (Mosowi) tidak boleh dilaksanakan/dilangsungkan 2. Ketika ada orang yang bersin pemanenan tidak boleh dilaksanakan 3. Ketika mendengar suara gonggongan anjing pemanenan tidak boleh dilaksanakan 4. Mendengar suara menangis kegiatan panen tidak boleh dilaksanakan 5. Tidak boleh membuang hajat besar maupun hajat kecil pada saat panen 6. Tidak boleh makan ditengah ladang pada saat pemanenan 7. Tidak boleh menebang sembarang pohon
5
Sanksi
Bagi masyarakat petani yang melanggar akan mendapat sanksi sosial, hasil panen berkurang, serta akan mendapat celaka atau marabahaya.
Kearifan lokal yang masih dipertahankan oleh masyarakat Tolaki di Desa Watumerembe memberikan hasil khususnya untuk kehidupan mereka di lahan pertanian kering dan kritis. Manfaat yang dapat dirasakan dalam melestarikan
64
kearifan lokal yang diturunkan secara turun temurun yakni: (1) lestarinya pertanian selaras alam tanpa merusak lingkungan dengan cara menanami pohon kembali sebagai ganti pohon yang telah di tebang karena lahan perladangan petani padi gogo: (2) menjaga stok varietas padi gogo yang paling cocok terhadap lahan kritis di Desa Watumerembe; (3) tumbuhnya sikap kebersamaan dan sistem gotong royong masyarakat Tolaki yang kental dan kuat. Semua bentuk-bentuk kearifan lokal yang dilestarikan oleh masyarakat Tolaki dalam pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo dimulai dari adat istiadat, nilai, kepercayaan, teknologi, dan larangan (ipado) yang tetap dipegang teguh oleh masyarakat Tolaki Desa Watumerembe untuk menjaga kegiatan petanian selaras alam dari satu generasi kegeneasi lainnya. Untuk memelihara solidaritas dan kestabilan sistem sosial maka larangan (ipado) sanksi sosial dipegang teguh dan ditegaskan oleh masyarakat tanpa kompromi.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Peran kearifan lokal di Desa Watumerembe yang terkait dengan kegiatan pengelolaan pasca panen tanaman padi gogo yang berupa adat istiadat, nilai, dan teknologimasih di pegang teguh dan dipatuhi sampai saat ini dan menjadi landasan hidup bagi masyarakat Desa Watumerembe. Dari hasil penjabaran sebelumnya dari tulisan ini, peran kearifan lokal yang terkait dengan pengelolaan pasca panen yang masih sederhana diturunkan dari satu generasi kegenerasi selanjutnya sejak dini.Transfer pengetahuan mengenai bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan pasca panen padi gogo tersebut dilakukan dengan cara melibatkan anak-anak sejak kecil karena dalam kegiatan pengelolaan pasca panen yang dimulai dari awal pemanenan dengan segala ritual yang menyertainya. Penguatan sanksi atau hukuman jika melanggar aturan parika (mbe pu’u sowia) dalam pemanenan dilakukan secara lisan melalui nasehat orang tua kepada anaknya. Sosialisasi mengenai kearifan lokal tersebut melalui keluarga menjadi bentuk sosialisai yang efektif untuk bertahannya kearifan lokal. 2. Bentuk kearifan lokal dalam pengelolaan pasca panen yang masih di pertahankan oleh masyarakat
Desa Watumerembe memberikan
hasil
khususnya untuk kehidupan mereka dilahan kering dan kritis. Manfaat yang dapat dirasakan dalam melestarikan kearian lokal yang diturunkan secara turun temurun yakni: (1) lestarinya pertanian selaras alam tanpa merusak lingkungan dengan cara menanami pohon kembali sebagai ganti pohon yang telah di 65
66
dengan cara menanami pohon kembali sebagai ganti pohon yang telah di tebang karena lahan perladangan petani padi gogo; (2) menjaga stok varietas padi gogo yang paling cocok terhadap lahan kritis di Desa Watumerembe; (3) tumbuhnya sikap kebersamaan dan sistem gotong royong masyarakat Tolaki yang kental dan kuat. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian dilapangan, perlu dilakukan penelitian yang lebih mendalam dan berkelanjutan terkait dengan kearifan lokal masyarakat Tolaki yang ada di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan diluar kegiatan perikanan.Mengingat keterbatasan pengetahuan peneliti mengenai kearifan lokal masyarakat Tolaki sehingga masih banyak hal-hal penting yang belum tergali dalam penelitian ini.Dengan adanya pemahaman mengenai kearian lokal masyarakat Tolaki melalui kajian yang lebih mendalam, maka diharapkan penelitian ini menjadi modal penting dalam menentukan pengembangan pengelolan pasca panen padi gogo yang ramah lingkungan atau selaras alam, serta bentuk-bentuk pembangunan yang tepat dijalankan di lokasi penelitian.
67
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, I. 2008. Konstruksi dan Reproduksi Sosial Atas Bencana Alam. Working papers in interdiciplinary studies No 01. Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta. Andoko, A. 2002.Budidaya Padi Secara Organik.PT. Penebar Swadaya. Jakarta Baharsyah S. 1992. Pidato Pengarahan Menteri Pertanian pada Pembukaan Simposium Penelitian Tanaman Pangan III. Dalam M. Syam, Hermanto, M. Karim, danSunihardi (Ed.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan, Buku 1. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. BPS. 2010. Statistik Pertanian. Jakarta. Indonesia. Echols , M & Hassan Syadily. 2016. Kamus Bahasa Inggris-Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Fauzi, A. 2010.Ekonomi Perikanan, Teori, Kebijakan, Dan Pengelolaan. Jakarta. PT Gramedia. . 1992. Beberapa PokokAntropologi Sosial. Dian Rakyat: Jakarta. Hasbi. 2012. Perbaikan Teknologi Pascapanen Padi di LahanSuboptimal 1(2): 186-196. Hasbullah, R. 2007. Program Pengawalan Pasca Panen dan Pemasaran Gabah Oleh Perguruan Tinggi di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Bogor. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Hidayah, Zulyani. 2002. Fungsi Keluarga dalam Menanamkan Nilai Budaya: Sebuah Panduan Konsepsional untuk Penelitian. Makalah Disampaikan pada Bimbingan Teknis Penelitian, Badang Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata: Jakarta. Ishaq, Iskandar. 2009. Petunjujuk Teknis Penangkaran Padi. Jawa Barat : Balai Pengkajian teknologi Pertanian (BPTP). Keraf, A. Sony. 2010. Etika Lingkungan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Koentjaraningrat. 1980. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia. UI Press. Kompas Harian Berita Nasional Tanggal 16 Mei 2010. Diakses Melalui Internet Tanggal 22 Maret 2014
67
68
Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan, Pengemasan, dan Penyimpanan Benih. Yogyakarta: Kanisius Neni Marlina dkk. 2012. Respons Tanaman Padi (Oryza sativa L.) terhadap Takaran PupukOrganik Plus dan Jenis Pestisida Organik dengan System of Rice Intensification(SRI) di Lahan Pasang Surut. Jurnal lahan suboptimal [1] 2 : 138-148. Noorginayuwati, A. Rapieq, M. Noor, dan Achmadi, 2006. Kearifan Budaya Lokal dalam Pemanfaatan Lahan Gambut Untuk Pertanian Kalimantan. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Nugraha, S. 1990. Pengaruh Keterlambatan Perontokan Padi Terhadap Kehilang Dan Mutu. Kompilasi Hasil Peneltian 1998/1989. Pascapanen. BAlai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. Partorahardjo, S. dan A. Makmur.1993. Peningkatan Padi Gogo. Dalam: Padi Balittan Bogor. Prasetiyo. 2012. Budidaya Padi Sawah TOT (Tanpa Olah Tanah). Yogyakarta: Kanisius . 2003. Bertanam Padi Gogo Tanpa Olah Tanah.PT. Penebar Swadaya.Jakrta. Prihar, S., Gajri, P.R., Benbi, D.K and V.K. Arora. 2000. Intensive Cropping: Efficient use of water, nutrients and tillage. Food Products Press Inc. New York-London-Oxford. Puslitbangtan. 2008. Peluang Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan. Departemen Pertanian. Bogor. Rosmiati.2015.Kearifan Lokal Masyarakat Desa Wasilomata Dalam KegiatanUsahatani Tanaman Palawija.Skripsi. Jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, Universitas Halu Oleo Kendari. Setyono A, Thahir R, Soeharmadi, Nugraha S. 1990.Evaluasi Sistem Pemanenan Padi. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. . 2010. Perbaikan teknologi pascapanen dalam upaya menekan kehilangan hasil padi. Jurnal Pengembangan Inovasi Sugiyono, 2009.Metode Bandung: Alfabeta.
Penelitian
Kuantitatif,
Kualitatif
dan
Soekanto, S. 1990. Kamus Sosiologi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
R&D.
69
Tarimana, A. 1989.Kebudayaan Tolaki. Balai Pustaka. Jakarta. Purwardaminta.1976. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wahyu dan Nasrullah.2009. Kearifan Lokal Petani Dayak Bakumpai Dalam Pengelolaan Padi di Lahan Rawa Pasang Surut Kabupaten Barito Kuala. Wijaya.2005. Pengaruh Kadar Air Gabah Terhadap Fisik Beras Giling. Fakultas Pertanian. Unswagati Cirebon.
70
71
RIWAYAT HIDUP
Lampiran 1
penulislahir pada tanggal 21 September 1993 di Desa Watumerembe Kecamatan Palangga Kabupaten Konawe Selatan. Penulis adalah anak pertama dari 3 bersaudara di antaranya Sarpiawan anak ke 2, dan Sernita anak 3 dari pasangan Bapak Merlin dan Ibu Nurnia. Jenjang pendidikan penulis pada tahun 2001 masuk Sekolah Dasar Negeri 05 Watumerembe dan tamat pada tahun dan pada tahun 2001, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di SMP Negeri 01 Palangga dan tamat pada tahun 2010. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanutkan pendidikan di SMA Negeri 01 Palangga, dan lulu pada tahun 2013. Pada tahun 2013 penulis diterima sebagai mahasiswa pada Universitas Halu Oleo Fakultas Pertanian Jurusan Agribisnis melalui jalur SBMPTN.
72
Lampiran 2
PETA LOKASI PENELITIAN DESA WATUMEREMBE
73
Lampiran 3
DATA INFORMAN
1. Nama
: Aksar Abusakti
Usia
: 45 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Jabatan
: Aparat Desa
2. Nama
: Merlin
Usia
: 48 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Jabatan
: Parika ( tono mbe pu‟u sowi‟a)
3. Nama
: Hasyim Nando
Usia
: 65 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Jabatan
: Tokoh adat
4. Nama
: Ridwan
Usia
: 55 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Jabatan
: Imam Desa WatumeRembe
5. Nama
: Bahrun
Usia
: 60 Tahun
Jenis kelamin
: Laki-laki
Jabatan
: Petani
74
6. Nama
: Jurfry
Usia
: 49
Jenis kelamin
: Laki-Laki
Jabatan
: Petani
75
Lampiran 4
PANDUAN PERTANYAAN KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT DESA WATUMEREMBE DALAM KEGIATAN PENGELOLAAN PASCA PANEN TANAMAN PADI GOGO (Oryza sativa L)
No Konsep penelitian
1.
Gambaran umum Desa Watumerembe (konteks sosial)
Pertanyaan 1. Bagaimana sejarah Desa Watumerembe? 2. Bagaimana sistem kearifan lokal
Responden 1. Kepala Desa 2. Petani 3. Tokoh Adat
masyarakat Tolaki? 3. Bagaimana menentukan lapisan sosial masyarakat? 2.
Nilai-nilai berkaitan dengan: Proses pembuatan lumbung padi
2.1 Bagaimana proses pembuatan lumbung padi? 2.2 Alat-alat yang digunakan dalam membuat lumbung padi? 2.3 Apa saja fungsi dari alat yang digunakan dalam membuat lumbung padi tersebut? 2.4 Apakah dalam pembuatan lumbung padi, ada kayu
Petani
76
tertentu yang akan digunakan dalam membuat lumbung padi tersebut? 2.5 Apakah dalam pembuatan lumbung padi, ada orang tertentu yang harus membuat lumbung tersebut? 2.6 Apakah dalam pembuatan lumbung padi ada pantangan yang harus dihindari? 2.7 Nila-nilai apa saja yang terkandung dalam pembuatan lumbung padi? 2.8 Dalam pembuatan lumbung padi, kepercayaan apa saja yang ada dalam masyarakat? 3.
Panen
3.1 Bagaimana proses pemanenan yang bapak/ibu lakukan? 3.2 Alat-alat apa saja yang bapak/ibu gunakan dalam poses
77
pemanenan? 3.3 Apa fungsi dari alatalat yang bapak/ibu gunakan dalam pemanenan? 3.4 Setelah pemanenan selesai, padi tersebut disimpan dimana? Dan apa tujuan dari penyimpanan tesebut? 3.5 Apakah dalam proses pemanenan ada pantangan yang harus dihindari? 4.
Teknologi Berkaitan Dengan Pasca Panen Padi Gogo
4.1 Bagaimana proses pasca panen yang biasa bapak/ibu lakukan? 4.2 Alat-alat apa saja yang bapak/ibu gunakan dalam tahap pasca panen? 4.3 Apa saja fungsi alatalat tesebut dalam tahap pasca panen?
78
4.4 Apakah pada saat kegiatan pasca panen, dilakukan perkelompok atau perindividu? 4.5 Apakah dalam tahap kegiatan pasca panen ada pantangan yang harus dihindari? 4.6 Nilai-nilai apa saja yang terkandung dalam proses pasca panen? 4.7 Dalam kegiatan pasca panen, kepercayaan apa saja yang ada dalam masyarakat?
79
DOKUMENTASI
Lampiran 5 Kegiatan Wawancara
80
Ritual Pada Saat Pemanenan
[
Kegiatan Pemanenan Padi Gogo
81
Setelah di Panen
Rumah Pondok Petani Setelah Dijemur
82
Ritual Baca Baca Padi Baru Setelah Panen
Lesung danAllu
Lumbung Petani yang Di Gunakan dalam Menyimpan Padi Gogo