i
HUBUNGAN ANTARA LAJU FOTOSINTESIS DENGAN LAJU PERTUMBUHAN LAMUN Enhalus acoroides DAN Thalassia hemprichii SEPANJANG PAPARAN PULAU DI KEPULAUAN SPERMONDE SKRIPSI
Oleh: MUHAMMAD AFRISAL L111 12 004
Pembimbing
:
Dr. Inayah Yasir, M. Sc Dr. Rantih Isyrini, ST, M.Env.Sc
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
ii
ABSTRAK MUHAMMAD AFRISAL. L11112004. “Hubungan Antara Laju Fotosintesis dengan Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Sepanjang Paparan Pulau di Kepulauan Spermonde” dibawah bimbingan Inayah Yasir sebagai Pembimbing Utama dan Rantih Isyrini sebagai Pembimbing Anggota. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii sepanjang paparan pulau di Kepulauan Spermonde. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 hingga April 2016 di perairan Pulau Barranglompo, Pulau Bonetambung dan Pulau Langkai. Pengukuran laju fotosintesis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii menggunakan Underwater Chlorophyll Fluorometer (DIVING PAM WALZ) dan pengukuran laju pertumbuhan dengan menggunakan metode leaf marking. Data laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun pada tiga lokasi penelitian dianalisis menggunakan ANOVA Tersarang (Nested ANOVA). Untuk mengetahui hubungan pengaruh laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan, dilakukan analisis regresi linier sederhana. Korelasi Pearson dilakukan untuk mengetahui pengaruh laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun dengan parameter lingkungan, meliputi suhu, intensitas cahaya, kedalaman dan silikat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaman lokasi penelitian berpengaruh terhadap laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii tetapi tidak untuk Enhalus acoroides. Tetapi keragaman zona berpengaruh terhadap laju fotosintesis untuk kedua jenis lamun tersebut. Secara umum, laju fotosintesis dan laju pertumbuhan keduanya memiliki korelasi yang kuat pada tiga lokasi penelitian. Kata Kunci :Laju Fotosintesis, laju pertumbuhan, Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, kepulauan Spermonde
iii
HUBUNGAN ANTARA LAJU FOTOSINTESIS DENGAN LAJU PERTUMBUHAN LAMUN Enhalus acoroides DAN Thalassia hemprichii SEPANJANG PAPARAN PULAU DI KEPULAUAN SPERMONDE
MUHAMMAD AFRISAL L111 12 004
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2016
iv
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Hubungan antara Laju Fotosintesis dengan Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Sepanjang Paparan Pulau di Kepulauan Spermonde
Nama
: Muhammad Afrisal
NIM
: L11112004
Jurusan
: Ilmu Kelautan
Telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Inayah Yasir, M.Sc NIP. 196610061992022001
Dr. Rantih Isyrini, ST, M.Sc NIP. 197210051999032001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Ketua Departemen Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc NIP. 19670308 199003 1 001
Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc NIP. 19701029 199503 1 001
Tanggal Lulus
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Ceppaga pada tanggal 04 September 1993, anak keenam dari tujuh bersaudara ini, putra dari pasangan (Alm) Ambo Intang dan Indo Lebbi. Pada tahun 2006 lulus SD Negeri 140 Salobulo Kabupaten Wajo, tahun 2009 lulus SMP Negeri 2 Batuputih
Kabupaten
Kolaka
Utara.
Penulis
melanjutkan ke SMA Negeri 1 Duapitue Kabupaten Sidenreng Rappang dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun 2012, penulis berhasil di Universitas Hasanuddin Makassar melalui jalur undangan dan sejak itu terdaftar sebagai mahasiswa pada Program Studi Ilmu Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar. Selama menjadi mahasiswa penulis pernah menjadi asisten Avertebrata Laut, Botani Laut dan Koralogi. Selain itu, penulis juga bergabung dalam Himpunan Mahasiswa Ilmu Kelautan FIKP-UH 2014/2015, Sahabat Ramsis Unhas 2013/2014, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI) 2013/2014. Penulis pernah mengikuti kegiatan pertukaran mahasiswa (Jenesys 2.0) di Jepang pada tahun 2015. Selamat empat tahun di bangku kuliah, penulis mengikuti beberapa lomba karya tulis ilmiah yaitu finalis Lomba Karya Tulis Kemaritiman pada tahun 2014, juara 1 Olimpiade Sains Pertamina Tingkat Provinsi pada tahun 2014, juara 1 Lomba Karya Tulis Ilmiah Kemaritiman pada tahun 2015, dan finalis Lomba Karya Tulis Ilmiah Green Scientific Competition di Semarang pada tahun 2016. Penulis melakukan rangkaian tugas akhir yaitu Kuliah Kerja Nyata Gelombang 90 di Malaysia dan Praktek Kerja Lapang di Hatchery di Pulau Barranglompo dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Selatan serta melakukan penelitian dengan judul “Hubungan antara Laju Fotosintesis dengan Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Sepanjang Paparan Pulau di Kepulauan Spermonde” pada tahun 2015.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur sebesar-besarnya penulis haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas limpahan Hidayah, Rohmat dari Karuniah_Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan antara Laju Fotosintesis dengan Laju Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii Sepanjang Paparan Pulau di Kepulauan Spermonde. Skripsi ini dibuat dengan berbagai observasi dalam jangka waktu tertentu sehingga menghasilkan karya yang bisa dipertanggungjawabkan hasilnya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan skripsi ini. Akhir kata dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan skripsi ini, walaupun disajikan dalam bentuk yang sederhana namun penulis berharap semoga skripsi dapat diterima dan bermanfaat bagi semua pihak.
Penulis
vii
UCAPAN TERIMA KASIH
Selama penelitian hingga akhir penulisan skripsi ini, penulis sadar bahwa karya ini terselesaikan karena adanya bantuan, dorongan kasih sayang dan semangat yang diberikan oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh kalangan yang telah memberikan sumbangsih kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih setinggi-tingginya kepada : 1.
Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc selaku pembimbing utama dan Ibu Dr. Rantih Isyrini, ST., M.Sc selaku pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan, pengarahan dan perhatian dalam penyusunan skripsi ini.
2.
Ibu Prof. Dr. Ir. Rohani AR., M.Si, Bapak Dr. Ir. Muhammad Farid Samawi, M.Si dan Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST., M.Sc selaku dosen penguji atas segala masukan dan saran untuk perbaikan skripsi ini.
3.
Bapak Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc selaku Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin beserta seluruh stafnya.
4.
Dr. Mahatma Lanuru, ST, M.Sc selaku Ketua Departemen Ilmu Kelautan beserta para Dosen Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, yang telah membagikan ilmu pengetahuan dan pengalamannya kepada penulis, baik dalam studi di kelas, praktik lapangan, maupun secara informal “terima kasih atas limpahan ilmunya”.
5.
Ibu Dr. Rantih Isyrini, ST., M.Sc selaku penasehat akademik atas bimbingannya.
6.
Ucapan khusus dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada kedua orang tua penulis, (Alm) Ambo Intang dan Indo Lebbi, yang telah membesarkan dan mendidik penulis. Demikian pula kepada saudara(i) yang telah mengorbankan waktu, materi dan kasih sayang, Aji, Alang, Sukri, Jupri, Syarif dan Dewi.
7.
Ketua tim Seagrass Acidification, Dr. Dominik Kneer dari AWI-Germany terima kasih telah mengikutkan penulis dalam penelitian ini dan telah membantu mendanai penulis selama penelitian.
8.
Kepada para sahabat, Antho, Syamsul, Haedir, Wandy, Agung, Uki, Ekha, Artha, dan Dundunk atas persaudaraannya selama ini.
9.
Kepada seluruh keluarga besar H. Burhan dan Hj. Hapsah.
viii
10. Teman-teman seangkatanku “IK ANDALAS” yang selalu kompak dan menemani masa-masa sulit maupun bahagia selama di bangku perkuliahan. Terkhusus kepada kalian, teman adalah nomor satu dan jangan pernah melupakan masa indah dan suram kita karena akan menghibur dihari esok. 11. Kawan-kawan KEMA Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin atas dukungan, do’a, serta canda tawanya. 12. Terakhir untuk semua pihak yang telah membantu tapi tidak sempat disebutkan satu persatu, terima kasih untuk segala bantuannya, semoga Allah SWT membalas semua bentuk kebaikan dan ketulusan yang telah diberikan. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.
Penulis,
ix
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i DAFTAR ISI .................................................................................................... ix DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xii I.
PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Latar Belakang ..................................................................................... 1 B. Tujuan dan Kegunaan .......................................................................... 3 C. Ruang Lingkup ..................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA............................................................................... 4 A. B. C. D. E.
Kepulauan Spermonde......................................................................... 4 Lamun .................................................................................................. 5 Klorofil dan Fotosintesa ........................................................................ 8 Cahaya dan Photosynthetically Active Radiation (PAR) ....................... 12 Faktor Pembatas Dalam Laju Fotosintesis dan Pertumbuhan Lamun .. 14 1. Suhu ............................................................................................... 14 2. Intensitas Cahaya ........................................................................... 14 3. Kedalaman ..................................................................................... 15
III. METODE PENELITIAN ............................................................................. 16 A. Waktu dan Tempat ............................................................................... 16 B. Alat dan Bahan..................................................................................... 17 C. Prosedur Penelitian .............................................................................. 17 1. Tahap Persiapan ............................................................................ 17 2. Penentuan Titik Sampling ............................................................... 17 3. Pengukuran Laju Fotosintesis ........................................................ 17 4. Pengukuran Laju Pertumbuhan Lamun (leaf growth) ...................... 18 5. Pengukuran Parameter Penunjang ................................................. 20 D. Analisis Data ........................................................................................ 21 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................... 23 A. Laju Pertumbuhan ................................................................................ 23 1. Enhalus acoroides .......................................................................... 23 2. Thalassia hemprichii ....................................................................... 25 B. Laju Fotosintesis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ............ 26 1. Enhalus acoroides .......................................................................... 26 2. Thalassia hemprichii ....................................................................... 28 C. Hubungan Laju Fotosintesis dan Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii ...................................................................... 29 1. Enhalus acoroides .......................................................................... 29 2. Thalassia hemprichii ....................................................................... 30
x
D. Hubungan laju fotosintesis dan laju pertumbuhan dengan parameter lingkungan ........................................................................................... 31 a. Enhalus acoroides ........................................................................... 32 b. Thalassia hemprichii ........................................................................ 33 E. Parameter Lingkungan ......................................................................... 34 V. SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 36 A. Simpulan ............................................................................................. 36 B. Saran .................................................................................................. 36 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 37
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Lamun Enhalus acoroides (Waycott, et.al., 2004) ............................6 Gambar 2.Thalassia hemprichii (Waycott, et.al, 2004) .......................................7 Gambar 3. Spektrum serapan klorofil a dan b (Sumaryanti et.al., 2011) ............10 Gambar 4. Karakteristik dari spektrum elektromagnerik (Sitompul, 2001) ..........12 Gambar 5. Grafik hubungan fotosintesis dan cahaya (Pmax, fotosintesis maksimum; lc, intensitas cahaya pada titik kompensasi; R, respirasi; Pn, fotosintesis bersih; Pg, fotosintesis kotor; lopt, intensitas cahaya pada Pmax; lk, intensitas cahaya saturasi (Parsons et.al., 1984). ...................................................................13 Gambar 6. Peta lokasi penelitian pada zona dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang di tiga pulau yang berbeda. .................17 Gambar 7. Alat Pengukur Laju Fotosintesis Underwater Chlorofill Fluorometer (DIVING PAM WALZ) ................................................18 Gambar 8. Metode Leaf Marking untuk pengukuran laju pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian (Short dan Duarte, 2001) ...................19 Gambar 9.
Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides pada stasiun pantai, tengah dan karang di masing-masing pulau penelitian. Huruf yang berbeda menandakan perbedaan yang signifikan .................23
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii pada stasiun pantai, tengah dan karang di masing-masing pulau penelitian ..................25 Gambar 11. Grafik laju fotosintesis Enhalus acoroides pada zona yang berada di dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang di Barranglompo (A), Bonetambung (B) dan Langkai (C). ................................................................................................27 Gambar 12. Laju fotosintesis Thalassia hemprichii pada tiga zona lokasi penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) ...................................................................28 Gambar 13. Hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides pada tiga zona penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) .....................30 Gambar 14. Hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii pada tiga zona penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) .....................31
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Uji Nested Anova Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides .... 42 Lampiran 2. Hasil Uji Nested Anova Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii . 43 Lampiran 3. Hasil Uji Nested Anova Laju Fotosintesis Enhalus acoroides ...... 44 Lampiran 4. Hasil Uji Nested Anova Laju Fotosintesis Thalassia hemprichii ... 45 Lampiran 5. Hasil Uji Pearson Correlation Laju Fotosintesis dan laju pertumbuhan Enhalus acoroides dengan parameter lingkungan .................................................................................. 46 Lampiran 6. Hasil Uji Pearson Correlation Laju Fotosintesis dan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii dengan parameter Lingkungan ................................................................................ 47 Lampiran 7. Data Parameter Lingkungan Enhalus acoroides pada Lokasi Penelitian Enhalus acoroides ..................................................... 48 Lampiran 8. Data Parameter Lingkungan Thalassia hemprichii pada Lokasi Penelitian ................................................................................... 49
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kepulauan Spermonde adalah gugusan pulau yang terdapat di bagian Selatan Selat Makassar, tepatnya di pesisir Barat Daya Pulau Sulawesi. Sebaran pulau karang yang terdapat di Kepulauan Spermonde terbentang dari utara ke selatan sejajar pantai daratan Pulau Sulawesi (Van Vuuren, 1920 dalam de Klerk, 1983). Daerah ini sejak 30 tahun terakhir menjadi daerah menarik bagi peneliti dari berbagai belahan dunia, tidak hanya karena masih kurangnya penelitian di daerah ini, tetapi juga karena lengkapnya ekosistem perairan di kawasan ini. Salah satunya adalah ekosistem lamun. Tumbuhan lamun adalah tumbuhan utama, penciri ekosistem lamun. Lamun merupakan salah satu produktivitas primer di perairan dangkal. Untuk beberapa organisme perairan dangkal, lamun bahkan merupakan makanan penting. Ekosistem lamun juga menopang berbagai komoditi penting yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan hidupnya (Phillips dan Menez, 1988). Lamun juga berperan penting dalam memberikan tempat berlindung dan tempat menempel bagi berbagai hewan dan ganggang. Selain itu, padang lamun (seagrass beds) juga berfungsi sebagai daerah asuhan dan tempat mencari makanan bagi berbagai jenis ikan herbivora dan ikan-ikan karang. Daun lamun yang lebat akan memperlambat aliran air yang disebabkan oleh arus dan gelombang, sehingga perairan di sekitarnya menjadi lebih tenang. Rimpang dan akar lamun juga dapat menahan dan mengikat sedimen, sehingga dapat menguatkan dan menstabilkan permukaan dasar perairan. Dengan kata lain, padang lamun juga berfungsi sebagai penjebak sedimen dan dapat mencegah erosi di daerah pesisir (Nontji, 1993).
2
Lamun ditemukan hidup di perairan yang terlindung pada substrat berlumpur dan berbatu, tumbuh di atas paparan pasir atau lumpur yang terendam air laut dangkal. Karena lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melaksanakan proses fotosintesis, komunitas lamun berada diantara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar perairan (Nybakken, 1992). Fotosintesa dibutuhkan oleh organisme berklorofil, seperti lamun, untuk dapat menghasilkan makanan yang akan digunakan untuk tumbuh dan berkembang (Dennison, 1990). Namun hanya sinar matahari dengan intensitas dan panjang gelombang tertentu yang dapat digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan fotosintesa (Lobban et.al., 1985). Laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun berbeda-beda antara lokasi yang satu dengan yang lainnya, karena dipengaruhi oleh faktor-faktor internal seperti fisiologi, metabolisme dan faktor-faktor eksternal seperti zat-zat hara, tingkat kesuburan substrat dan parameter lingkungan lainnya (Kiswara, 1992). Kepulauan Spermonde selain merupakan perairan yang sangat kompleks dan kaya akan potensi sumberdaya hayati laut, juga memiliki intensitas pemanfaatan yang cukup tinggi. Aktifitas tersebut akan mempengaruhi proses fotosintesis yang pada akhirnya akan mempengaruhi laju pertumbuhan lamun yang diperkirakan tidak merata sepanjang paparan pulau di Kepulauan Spermonde. Untuk mengetahui hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii, maka dilakukan penelitian tentang hubungan antara laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii sepanjang paparan pulau di Kepulauan Spermonde.
3
B. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii yang terdapat di sepanjang paparan pulau di Kepulauan Spermonde. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menentukan lokasi yang cocok untuk melakukan kegiatan restorasi lamun di sepanjang paparan pulau-pulau di Kepulauan Spermonde. C. Ruang Lingkup Ruang lingkup penelitian meliputi pengukuran laju fotosintesis dan pertumbuhan dari lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Parameter lingkungan yang diukur meliputi suhu, intensitas cahaya, kedalaman dan silikat.
4
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Kepulauan Spermonde Kepulauan Spermonde, dikenal pulau sebagai pulau-pulau Sangkarang, adalah gugusan ±121 pulau yang terbentang dari Kabupaten Takalar di selatan hingga kabupaten Pangkep di sebelah utara, dengan potensi keanekaragaman yang cukup tinggi. Menurut de Klerk (1983), Kepulauan Spermonde dibagi menjadi empat zona berdasarkan jaraknya dari daratan utama Pulau Sulawesi. Zona pertama atau zona bagian dalam merupakan zona terdekat dari daratan utama Pulau Sulawesi. Kedalaman laut rata-rata 10 m, dengan substrat dasar yang didominasi oleh pasir berlumpur. Zona kedua, berjarak kurang dari 5 km dari daratan utama, dengan kedalaman rata-rata 30 m. Pada zona ini, banyak dijumpai pulau karang. Zona ketiga dimulai dari jarak 12,5 km dari daratan Sulawesi dengan kedalaman lautan antara 20-50 m. Di zona ini, banyak dijumpai terumbu karang yang masih tenggelam. Zona keempat atau zona terluar merupakan zona terumbu penghalang (barrier reef zone) dan berjarak 30 km dari daratan Sulawesi. Di sisi timur pulau-pulau karang ini, kedalaman lautnya berkisar antara 40–50 m, sedangkan pada sisi barat dapat mencapai kedalaman lebih dari 100 m. Pulau Barranglompo terletak di sebelah Barat kota Makassar dengan jarak ±11,9 km, berada pada posisi BT 119o19’48 dan LS 05o02’48. Berbatasan dengan Pulau Barrang Caddi di sebelah selatan dan sebelah Barat dengan Pulau Bonetambung. Pulau ini masuk ke dalam zona 2 bersama Pulau Bonetambung. Lamun di pulau ini sangat sedikit, dan yang teramati didominasi lamun dari jenis Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides dan Halophila ovalis Pulau Bonetambung berjarak ±17,2 km dari daratan Sulawesi merupakan pulau karang dengan luas ±5,4 ha. Secara geografis terletak di posisi 109o19’
5
48”BT dan 05o02’48” LS. Di sisi selatan, utara dan timur ditemukan padang lamun yang didominasi oleh jenis Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, dan Halophila ovalis. Pulau Langkai berjarak 35,8 km dari kota Makassar dan merupakan satu dari tiga pulau terluar Wilayah Kota Makassar. Pulau ini masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kelurahan Barrang Caddi, Kecamatan Ujung Tanah. Posisi pulau termasuk dalam zona IV pulau-pulau Spermonde bersama Pulau Lanjukang. Topografi terumbu umumnya merupakan slope yang landai dengan kemiringan 30–40 derajat. Jenis lamun yang dominan ditemukan adalah Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. B. Lamun Lamun (seagrass) adalah salah satu tumbuhan berbunga (angiospermae) yang berbiji satu (monokotil), mempunyai akar rimpang, daun, bunga dan buah (Wood et.al., 1969; Thomlinson, 1974; Azkab 1999). Lamun ditemukan di seluruh dunia kecuali di daerah kutub. Dari 52 jenis lamun yang telah diidentifikasi di dunia, tujuh genera dengan sekitar 15 jenis ditemukan di Indonesia. Semuanya termasuk ke dalam dua suku yaitu Hydrocharitaceae dengan sembilan marga dan 35 jenis, dan Potamogetonaceae dengan tiga marga dan 15 jenis. Jenis yang dapat membentuk komunitas lamun tunggal diantaranya Thalassia hemprichii, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, dan Thalassodendron ciliatum. Di kepulauan Spermonde enam jenis lamun yang umum ditemukan adalah
Halophila
ovalis,
Halodule
uninervis,
Syringodium
isoetifolium,
Cymodocea rotundata, Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides (Verheij, 1993). Tiga lainnya relatif jarang ditemukan yaitu Cymodocea serrulata, Halophila spinulosa (Schauerte, 2005), dan Halophila sulawesii (Kuo, 2007), sedangkan
6
Thalassodendron ciliatum bahkan tidak ditemukan di Kepulauan Spermonde (Verheij, 1993). Hasil observasi dan identifikasi yang dilakukan oleh Krisye (2012), lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii adalah dua jenis yang dominan ditemukan di Pulau Barranglompo. Selain itu, ditemukan pula Cymodocea rotundata,
Cymodocea
serrulata,
Halodule
uninervis,
Syringodium isoetifolium, dan Halophila ovalis.
Gambar 3. Lamun Enhalus acoroides (Waycott, et.al., 2004) Klasifikasi Enhalus acoroides (Den Hartog, 1970) : Dunia: Plantae Divisi: Angiospermae Kelas: Liliopsida Bangsa: Hydrocharitales Suku: Hydrocharitaceae Marga: Enhalus Jenis: Enhalus acoroides
Halodule
pinifolia,
7
Enhalus acoroides merupakan lamun yang berukuran paling besar, dengan pertumbuhan yang lambat dan tersebar hampir di seluruh perairan laut Indonesia. Jenis ini memiliki distribusi kedalaman yang agak sempit, dari intertidal hingga ±6 m (Brouns, 1985; Tomascik et.al., 1997). Di Kepulauan Spermonde tidak ditemukan di kedalaman lebih dari 5 m (Veiheij, 1993). Lamun jenis Enhalus acoroides memiliki daun tipis yang memanjang seperti pita berukuran besar untuk memaksimalkan difusi gas dan nutrien antara daun dan air, juga memaksimalkan proses fotosintesis di permukaan daun (Phillips dan Menez, 1988). Umumnya tumbuh berpencar dalam kelompok-kelompok kecil baik berupa kelompok murni atau bersama-sama dengan Thalassia hemprichii dan Halophila ovalis (Kiswara, 1992). Di Indonesia, Thalassia hemprichii merupakan lamun yang paling banyak ditemukan (Tomascik et.al., 1997), dan sangat umum di daerah rataan terumbu, baik yang tumbuh sendiri-sendiri (monospesifik) maupun yang tumbuh bersama dengan jenis lain atau tumbuhan lain (mixed vegetation) (Kiswara, 1992). Thalassia hemprichii mempunyai rimpang (rhizoma) berwarna coklat atau hitam dengan ketebalan 1–4 mm dan panjang 3–6 cm, satu akar per nodus. Akar dikelilingi oleh rambut kecil yang padat. Setiap tegakan mempunyai 2–5 helaian daun dengan ujung yang membulat, panjang 6–30 cm dan lebar 5–10 mm (Fortes, 1990).
Gambar 4.Thalassia hemprichii (Waycott, et.al, 2004)
8
Klasifikasi Thalassia hemprichii Dunia: Plantae Divisi: Angiospermae Kelas: Liliopsida Bangsa: Hydrocharitales Suku: Hydrocharitaceae Marga: Thalassia Jenis: Thalassia hemprichii Jenis ini memiliki distribusi kedalaman yang relatif sempit, dari daerah litorial yang lebih rendah hingga kedalaman 4–5 m (Arifin, 2001). Walaupun juga dapat ditemukan pada kedalaman 30 m (Tomascik et.al., 1997). Jenis ini melimpah di daerah intertidal rataan terumbu karang yang menerima hempasan energi yang tinggi dengan substrat berpasir dan pecahan-pecahan karang kasar (Tomascik et.al., 1997) bahkan hingga pinggiran mangrove (Phillips dan Menez, 1988). Sebagai organisme autotrofik yang berklorofil, penyebaran lamun tidak lepas
dari
ketersediaan
cahaya
matahari
yang
menjadi
syarat
untuk
menghasilkan makanan yang akan digunakan untuk tumbuh dan berkembang. C. Klorofil dan Fotosintesa Fotosintesis merupakan proses yang dilakukan oleh organisme autrotrof, dengan menggunakan energi dari cahaya matahari yang diserap oleh klorofil untuk membuat makanan dari molekul sederhana menjadi molekul yang lebih kompleks. Klorofil menyerap dan menggunakan energi sinar matahari untuk sintesa oksigen dan karbohidrat dari CO2 dan air (Jumin, 1992). Klorofil dalam tumbuhan terdapat dalam kloroplas, tempat terjadinya reaksi-reaksi penting untuk pembentukan karbohidrat atau gula, atau cadangan makanan lainnya
9
(Basmi, 1995). Hasil fotosintesa yang berupa karbohidrat dan oksigen akan digunakan oleh tumbuhan tersebut untuk tumbuh dan berkembang.
Batas radiasi aktif fotosintesa terbatas pada panjang gelombang sekitar 400–700 nm, meskipun ada beberapa jenis tumbuhan yang dapat menyerap energi dengan panjang gelombang sekitar 300 nm dan 750 nm (Lobban et.al., 1985). Sistem penyerapan cahaya, transfer energi eksitasi dan reaksi fotokimia pada proses fotosintesa dapat diamati dengan menggunakan metode klorofil fluorosensi. Klorofil merupakan pigmen utama yang efektif sebagai fotosintiser pada proses fotosintesis dari tumbuhan hijau. Klorofil memiliki absorbsi maksimum pada 670 nm, sehingga klorofil merupakan komponen yang menarik sebagai bagian yang visibel dari fotosintiser. Ada beberapa klorofil yang dijumpai berfungsi sebagai pigmen fotosintetik, tetapi jenis yang umum dijumpai pada tanaman tingkat tinggi adalah klorofil a dan b. Kedua jenis klorofil ini, memiliki serapan cahaya pada dua daerah panjang gelombang (Gambar 3), yaitu pada panjang gelombang 400 nm - 490 nm dan pada rentang gelombang 620 nm sampai 680 nm (Sumaryanti et.al., 2011).
10
Gambar 3. Spektrum serapan klorofil a dan b (Sumaryanti et.al., 2011) Pertumbuhan lamun dapat dilihat dari pertambahan panjang bagianbagian tertentu seperti daun dan rhizomanya, namun pengamatan pertumbuhan dan pengukuran rhizoma lebih sulit dilakukan karena berada di bawah permukaan substrat. Penelitian lamun relatif lebih mengacu pada pertumbuhan daun karena daun lamun berada di atas permukaan substrat sehingga lebih mudah untuk diamati. Umumnya penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan daun muda lebih cepat dibanding pertumbuhan daun tua (Brouns, 1985; Azkab, 1999). Pertumbuhan lamun berbeda-beda antara lokasi satu dengan yang lainnya, karena laju pertumbuhan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti fisiologi, metabolisme dan faktor eksternal seperti nutrien (Kiswara, 1993). Ketersediaan nutrien di perairan padang lamun merupakan faktor pembatas pada pertumbuhan lamun. Nutrien dapat ditemukan pada kolom perairan maupun dalam sedimen. Penelitian yang dilakukan oleh McRoy et.al., (1970) dalam Kiswara (1995) menunjukkan bahwa lamun memperoleh nutrien melalui dua jaringan tubuhnya yaitu akar dan daun.
11
Nutrien merupakan unsur dan senyawa yang dibutuhkan oleh organisme untuk kelangsungan hidupnya. Siklus hidup tumbuhan dan hewan bergantung pada ketersedian nutrien terakumulasi dalam berbagai bentuk esensial. Untuk keberlangsungan kehidupan di perairan beberapa elemen seperti C, H, N, Si, P, Mg, K dan Ca dibutuhkan dalam jumlah besar (makronutrien) sedangkan elemen lain dibutuhkan dalam jumlah sedikit disebut mikronutrien (Parsons et.al., 1984 dan Levinton, 1982). Nitrogen (N), fosfor (P), dan silikon (Si) adalah makronutrien yang berperan penting untuk pertumbuhan sedangkan karbon (C), oksigen (O), magnesium (Mg), potassium (Pt) dan kalsium (Ca) dibutuhkan untuk produksi (Kennish, 1990; Millero dan Sohn, 1991). Unsur nitrogen dan fosfor mempunyai fungsi untuk menyuburkan tanah dan merupakan sumber hara bagi tanaman. Unsur-unsur tersebut juga dapat berfungsi sebagai sumber energi, pertumbuhan dan sebagai pembentuk biomassa lamun. Selain nitrogen dan fosfor, unsur lain yang juga cukup mendapat perhatian adalah silikon (Si). Silikon terlarut merupakan unsur hara yang penting bagi produktivitas primer (Papush dan Danielson, 2006). Silikon dalam bentuk silikat (SiO4) bersifat tidak larut dalam air dan asam dan biasanya ditemukan dalam bentuk koloid. Silikat dalam lingkungan perairan laut berasal dari pelapukan batuan kerak bumi. D. Cahaya dan Photosynthetically Active Radiation (PAR) Ketersedian cahaya di dalam perairan baik secara kuantitatif maupun kualitatif sangat tergantung pada waktu (harian, musiman, tahunan), tempat (letak geografis, kedalaman), kondisi prevalen di atas permukaan perairan yang dapat berupa (penutupan awan dan inklinasi matahari) atau dapat juga karena faktor dalam perairan, seperti refraksi, absorpsi oleh air dan material terlarut, serta penghamburan oleh partikel-partikel tersuspensi (Tubalawony, 2007).
12
Secara kuantitatif cahaya dicirikan oleh distribusi spektral dengan panjang gelombang yang berbeda. Sinar matahari yang mencapai permukaan perairan terdiri atas spektrum cahaya yang luas. Cahaya dengan panjang gelombang (λ) lebih besar dari 760 nm merupakan inframerah dan cahaya dengan panjang gelombang lebih pendek dari 300 nm merupakan ultraviolet (Gambar 4). Panjang gelombang antara inframerah dan ultraviolet yang biasa disebut dengan sinar tampak merupakan cahaya yang sangat penting untuk fotosintesis dan secara visual direspon oleh organisme (Tubalawony, 2007). Panjang gelombang antara 390 nm dan 720 nm dibutuhkan oleh tumbuhan untuk fotosintesis.
Gambar. 4. Karakteristik dari spektrum elektromagnerik (Sitompul, 2001) Bagian radiasi yang aktif atau radiasi nampak (visible radiation) dalam fotosintesis dikenal dengan istilah Photosynthetically Active Radiation (PAR) (Sumaryanti et.al., 2011). PAR adalah bagian dari radiasi elektromagnetik yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk fotosintesis oleh tumbuhan hijau dan dapat menembus hingga lapisan yang lebih dalam (Meyers, 2012). Di perairan oseanik yang jernih, penyebaran maksimum terjadi pada panjang gelombang sekitar 480 nm (blue green), sedangkan bila perairan keruh terjadi perubahan hingga menjadi merah (maksimum sekitar 550 nm) sebagai akibat dari disebarkannya cahaya biru oleh material partikulat.
13
Lamun membutuhkan intensitas cahaya yang tinggi untuk melaksanakan proses fotosintesis. Fotosintesis akan meningkat sejalan dengan meningkatnya intensitas cahaya hingga mencapai nilai asimptot, yaitu saat sistem menjadi jenuh cahaya. Fotosintesis tidak akan terjadi hingga cahaya melalui suatu batas dimana produksi dan respirasi memiliki nilai yang sama (Gambar 5).
Gambar 5. Grafik hubungan fotosintesis dan cahaya (Pmax, fotosintesis maksimum; lc, intensitas cahaya pada titik kompensasi; R, respirasi; Pn, fotosintesis bersih; Pg, fotosintesis kotor; lopt, intensitas cahaya pada Pmax; lk, intensitas cahaya saturasi (Parsons et.al., 1984). Keadaan ini disebut titik kompensasi (Ic). Setelah itu, meningkatnya produksi akan berbanding lurus dengan meningkatnya cahaya hingga mencapai saturasi cahaya (lk) dimana produksi akan mencapai titik maksimum (Pmax). Pada saat ini fotosintesis tidak lagi tergantung pada cahaya. Intensitas cahaya yang sangat tinggi dalam perairan dapat menghambat fotosintesis dan akhirnya produksi semakin berkurang (Tubalawony, 2007).
14
E. Faktor Pembatas dalam Laju Fotosintesis dan Pertumbuhan Lamun Parameter
lingkungan
yang
menjadi
faktor
pembatas
terhadap
pertumbuhan lamun adalah suhu, intensitas cahaya, kedalaman dan silikat. 1. Suhu Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
lamun
dan
kelangsungan
hidup
lamun
karena
dapat
mempengaruhi proses fotosintesis, laju respirasi, pertumbuhan dan reproduksi. Perubahan suhu terhadap kehidupan lamun dapat mempengaruhi metabolism dan penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup lamun. Proses-proses fisiologi akan menurun tajam apabila suhu perairan berada di luar kisaran yang dapat ditolerir oleh lamun tersebut (Berwick, 1983). Pada kisaran 25–30oC, fotosintesis akan meningkat dengan meningkatnya suhu (Hutomo, 1999) Pada proses fotosintesis, suhu berperan dalam mengontrol reaksi kimia enzimatik. Selain itu, suhu juga sangat berpengaruh terhadap jumlah oksigen terlarut di dalam air. Semakin tinggi suhu, kandungan oksigen dalam air semakin berkurang, sedangkan kebutuhan organisme laut akan oksigen semakin besar (Soesono, 1974). 2. Intensitas Cahaya Penetrasi cahaya matahari penting sekali bagi tumbuhan lamun. Untuk mempertahankan populasinya tumbuhan lamun biasanya tumbuh di laut yang sangat dangkal karena membutuhkan cahaya yang banyak, namun pada perairan yang jernih tumbuhan ini bisa tumbuh di tempat yang dalam (Dawes, 1981; Supriharyono, 2000). Menurut Dahuri (2001), distribusi lamun juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya untuk membantu dalam proses fotosintesis.
15
3. Kedalaman Tingkat kedalaman yang sangat tinggi akan mengurangi penyerapan cahaya oleh badan air, sehingga dapat dimengerti bahwa penyebaran padang lamun dipengaruhi oleh kedalaman perairan. Jenis lamun yang sama dapat tumbuh pada habitat yang berbeda tetapi menunjukkan pola pertumbuhan yang berbeda (Kikuchii dan Peres,1977).
16
III. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2015 hingga April 2016 di perairan Pulau Barranglompo, Pulau Bonetambung dan Pulau Langkai (Gambar 6).
Gambar 6. Peta lokasi penelitian pada zona dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang di tiga pulau yang berbeda.
17
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah fluorometer Diving PAM untuk mengukur laju fotosintesis, light meter untuk mengukur intensitas cahaya, thermometer untuk mengukur suhu, stopwatch untuk mengukur waktu, GPS untuk mengetahui titik koordinat lokasi penelitian, mistar untuk mengukur panjang daun lamun, botol sampel untuk mengambil sampel air, kantong sampel untuk menyimpan sampel daun lamun, mikropipet untuk memipet mercury chloride, bambu untuk penanda titik lokasi leaf marking, jarum suntik untuk melubangi daun lamun, gunting untuk memotong daun lamun dan alat tulis untuk mencatat data sementara. Bahan yang digunakan adalah mercury chloride. C. Prosedur Penelitian 1. Tahap persiapan Tahapan ini meliputi studi literatur untuk membantu proses penyusunan metode penelitian, konsultasi dengan pembimbing, survei awal kondisi lamun di lapangan untuk menentukan lokasi pengambilan sampel, serta mempersiapkan alat-alat yang akan digunakan selama penelitian. 2. Penentuan titik sampling Lokasi sampling adalah sepanjang paparan terumbu yang masih ditumbuhi lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii, dari tiga pulau yang telah ditentukan. Tiga titik sampling yang ditentukan berada dalam satu garis tegak lurus dengan pantai. Titik sampling ini kemudian dibagi atas daerah dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang, lalu masing-masing titik dicatat titik koordinatnya dengan menggunakan GPS. 3. Pengukuran Laju Fotosintesis Pengukuran laju fotosintesis lamun diusahakan untuk segera dilakukan di lapangan dengan menggunakan Fluorometer Diving-PAM (Gambar 7).
18
Gambar 7. Alat Pengukur Laju Fotosintesis Underwater Chlorofill Fluorometer (DIVING PAM WALZ) Daun lamun yang masih muda (daun kedua atau ketiga) digunting pada pangkalnya. Daun kemudian dijepit dengan magnet sample holder Diving-MLC selama 12 menit, Sample holder kemudian disambungkan dengan kabel sensor. Fluorometer Diving-PAM dan diatur pada mode-menu ke angka 17 untuk pengukuran laju fotosintesis. Hasil pengukuran akan tertera di layar setelah ±1menit. Prosedur diulangi sebanyak tiga kali. Semua data hasil pengukuran terekam dalam memori fluorometer Diving-PAM. Data ini kemudian dicatat. Bila pengukuran langsung di lapangan tidak memungkinkan karena waktu yang terbatas, daun lamun yang dipotong kemudian disimpan dalam boks dengan pengaturan suhu yang diusahakan sama dengan suhu di laut. Selama di lapangan, suhu diatur dengan mengganti secara teratur air laut di dalam boks. sebelum pengukuran dilakukan di laboratorium. Prosedur pengukuran di laboratorium mengikuti prosedur di lapangan. 4. Pengukuran Laju Pertumbuhan Daun Lamun (Leaf Growth) Pengukuran laju pertumbuhan daun lamun dilakukan dengan metode leaf marking (Short, 2001). Dipilih tiga tegakan dalam areal titik sampling dan ditandai dengan cable tie. Daun dari tegakan yang dipilih kemudian disusun berurut dengan daun tertua berada pada bagian luar. Pada jarak ±3-4 cm dari ujung daun yang berada paling luar (daun tertua), daun ditusuk/dilubangi berbentuk
19
segitiga sedemikian sehingga semua daun dalam tegakan tersebut tertembus jarum (Gambar 8).
Gambar 8. Metode Leaf Marking untuk pengukuran laju pertumbuhan yang digunakan dalam penelitian (Short dan Duarte, 2001) Lubang pada daun lamun yang tua (berada paling luar dari tegakan dan relatif sudah tidak tumbuh lagi) akan menjadi lubang standar (Lo) dalam perhitungan pertumbuhan daun kedua, ketiga, keempat, dst. Setelah 7-14 hari (untuk Thalassia hemprichii) dan 20-30 hari (untuk jenis Enhalus acoroides) semua daun dalam tegakan yang telah ditandai digunting pada bagian dasar daun. Pengukuran pertumbuhan kemudian dilakukan dengan menggunakan mistar berskala (dalam mm) dengan membandingkan jarak antara lubang penyusun dasar segitiga pada daun tua (L0) dengan lubang yang sama pada daun kedua, ketiga, dst (Lt). Pengukuran ini dilakukan untuk setiap helaian daun dalam satu tegakan yang ditandai. Laju pertumbuhan lamun didapatkan dengan membagi hasil pengukuran pertumbuhan daun lamun dengan jumlah hari sejak ditandainya daun lamun
20
(Supriadi, 2003; Short dan Duarte, 2001). Laju pertumbuhan daun lamun dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
Keterangan : P = Laju Pertumbuhan panjang daun (mm) Lt = Panjang daun setelah waktu t (mm) Lo = Panjang daun pada pengukuran awal (mm) ∆t = Selang waktu pengukuran 5. Pengukuran Parameter Penunjang a. Photosynthetically Active Radiation (PAR) Pengukuran
Photosynthetically
Active
Radiation
(PAR)
dilakukan
menggunakan light meter. Alat ini berbentuk seperti bohlam sebagai sensor yang dicelupkan ke dalam air. Untuk mendapatkan nilai pada alat digital, pertamatama alat harus dikalibrasi dengan nilai yang sesuai dengan objek yang akan diukur. Dalam hal ini, intensitas cahaya yang akan diukur adalah intensitas cahaya yang ada pada udara dan air. Pengaturan kalibrasi dilakukan secara manual dengan mengatur angka yang tertera pada alat. Untuk intensitas cahaya di udara, alat dikalibrasi dengan nilai 208,9 µmol/m2/s. Setelah itu, sensor diletakkan di bawah matahari, kemudian enam angka konstan yang terbaca pada alat digital dicatat. Setelah mengambil nilai untuk intensitas cahaya di udara, dilakukan lagi kalibrasi untuk mengukur intensitas cahaya di perairan. Nilai kalibrasi untuk intensitas cahaya di perairan adalah 329,1 µmol/m2/s. Setelah melakukan kalibrasi alat, langkah selanjutnya adalah mengukur intensitas cahaya yang ada di permukaan air dengan memasukkan sensor hingga terbenam di dalam air. Enam angka konstan yang muncul pada layar
21
digital kemudian dicatat. Enam angka konstan yang muncul pada layar digital kemudian dicatat dan disimpan. b. Nutrien Pengukuran nutrien dilakukan dengan mengambil sampel air laut sebanyak 50 ml, lalu disaring ke dalam botol poly-ethylene (PE) dengan menggunakan filter membran. Penambahan larutan mercury chloride (HgCl2) sebanyak 0,1 ml dimaksudkan untuk menjaga sampel agar tidak rusak sebelum siap dianalisis lebih lanjut di laboratorium di Jerman. Di laboratorium, sampel air laut dianalisis untuk nutrien anorganik terlarut termasuk silikat. c. Suhu Pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan thermometer air raksa dengan cara dicelupkan ke dalam kolom air selama 5 menit. Penunjukan thermometer dicatat sebagai suhu air laut. Pengukuran suhu akan dilakukan sebanyak 3 kali sebagai ulangan. d. Kedalaman Pengukuran kedalaman dilakukan dengan menggunakan tongkat skala yang terbuat dari pipa. Tongkat tersebut ditancapkan ke dasar perairan di lokasi kemudian penunjukan skala pada tongkat dicatat. D. ANALISIS DATA Data laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii antara tiga titik sampling dan tiga pulau lokasi pengambilan sampel dianalisis menggunakan Anova Tersarang (Nested ANOVA) dengan program SPSS versi 16.0. Untuk mengetahui hubungan laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun dianalisis dengan regresi linier sederhana dan Pearson correlation. Persamaan regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui
22
hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides memiliki pegaruh atau tidak. Nilai koefisien determinasi (R2) dan nilai koefisien korelasi (r) didapatkan dengan menggunakan uji statistik regresi linier sederhana dengan program SPSS 16.0 dan Microsof excel. Jika nilai r=0 atau mendekati 0 maka hubungan antara kedua variable lemah, nilai r=(-1) maka hubungan sangat kuat dan bersifat tidak searah, dan nilai =(+1) maka hubungannya sangat kuat dan bersifat searah. Untuk melihat pengaruh presentase kedua variabel maka nilai r diubah menjadi persen (Rosiden et.al., 2013). Uji analisis korelasi Pearson untuk mengetahui pengaruh faktor parameter pendukung terhadap laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun.
23
BAB. IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Laju Pertumbuhan 1. Enhalus acoroides Hasil analisis laju pertumbuhan Enhalus acoroides yang terdapat di zona yang berada di dekat pantai, daerah tengah dan dekat terumbu karang di Pulau Barranglompo, Bonetambung dan Langkai dapat dilihat pada Gambar 9. 3.00 c
Laju Pertumbuhan (%/hari)
a 2.50
cd
ab
d
b 2.00
Pantai 1.50
Tengah Karang
1.00 0.50 0.00 BL
BT
LK
Gambar 9. Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides pada stasiun pantai, tengah dan karang di masing-masing pulau penelitian. Huruf yang berbeda menandakan perbedaan yang signifikan Rata-rata laju pertumbuhan Enhalus acoroides di Pulau Barranglompo berkisar 2,01-2,56%, di Pulau Bonetambung berkisar 2,07-2,64%, dan Pulau Langkai berkisar 2,50-2,61%. Secara umum, laju pertumbuhan tertinggi untuk Enhalus acoroides adalah zona yang berada di dekat pantai dan yang berada di daerah tengah sedangkan yang paling rendah laju pertumbuhannya adalah di daerah dekat terumbu karang (Gambar 9). Hasil analisis Nested Anova (Lampiran 1), menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada nilai laju pertumbuhan Enhalus acoroides di berbagai lokasi penelitian (P>0,05), namun terdapat perbedaan laju pertumbuhan Enhalus acoroides pada berbagai zona yang tersarang pada lokasi (P<0,05).
24
Dari tiga lokasi, hanya pertumbuhan lamun di Pulau Langkai yang tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan antara zona penelitian. Laju pertumbuhan Enhalus acoroides menunjukkan penurunan ke arah terumbu karang dan mengalami peningkatan pertumbuhan ke arah dekat pantai. Zonasi dan pertumbuhan lamun sangat berkaitan dengan kondisi substrat dasar yang lebih halus di daerah dekat pantai yang memungkinkan Enhalus acoroides tumbuh lebih baik (Supriadi, 2003). Selain itu, kedalaman perairan terutama pada saat surut kemungkinan juga berpengaruh, Enhalus acoroides yang berdaun tebal lebih tahan terhadap sinar matahari ketika terjadi surut sehingga keberadaannya lebih dominan dekat pantai. Karena perlu berfotosintesis, komunitas lamun berada di antara batas terendah daerah pasang surut sampai kedalaman tertentu dimana cahaya matahari masih dapat mencapai dasar laut (Nybakken, 1992). Rataan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides pada berbagai zona yang berbeda juga dipengaruhi oleh arus. Terdapat kecenderungan bahwa arus semakin kuat semakin jauhnya posisi dari garis pantai (Amri, 2010). Arus yang datang dari arah luar pulau akan tertahan oleh lembaran daun lamun sehingga kecepatannya semakin berkurang di bagian dalam. Hal ini memperkuat peranan padang lamun sebagai peredam faktor hidrodinamika. Arus membuat kolom air tercampur dengan baik, mempengaruhi sebaran suhu dan salinitas, membawa ke permukaan nutrien yang berguna untuk pertumbuhan lamun dan membawa pasokan oksigen ke perairan yang lebih dalam (Tait dan Dipper, 1998). Kecepatan arus yang berbeda memberikan efek yang berbeda untuk fotosintesis lamun (penyerapan karbon) (Morris. et.al., 2008). Nilai kecepatan arus di Pulau Barranglompo berkisar 0,009-0,130 m/detik (Amri, 2010). Kecepatan arus tersebut merupakan kisaran kecepatan arus yang
25
baik untuk pertumbuhan lamun. Arus dengan kecepatan 0,5 m/det mampu mendukung pertumbuhan lamun dengan baik. 2. Thalassia hemprichii Hasil analisis laju pertumbuhan Thalassia hemprichii yang terdapat di zona yang berada di dekat pantai, daerah tengah dan dekat terumbu karang di Pulau Barranglompo, Bonetambung dan Langkai dapat dilihat pada Gambar 10.
Laju Pertumbuhan (%/hari)
6.00 5.00 4.00 Pantai 3.00
Tengah
2.00
Karang
1.00 0.00 BL
BT
LK
Gambar 10. Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii pada stasiun pantai, tengah dan karang di masing-masing pulau penelitian Rataan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii di Pulau Barranglompo antara 4,71-4,91%, Pulau Bonetambung antara 4,20-4,62%, dan Pulau Langkai antara 3,37-3,85%. Laju pertumbuhan yang tinggi terdapat pada daerah di dekat pantai dan daerah bagian tengah sedangkan yang paling rendah terdapat pada daerah terumbu karang (Gambar 10). Namun, rerata laju pertumbuhan di daerah dekat terumbu karang lebih tinggi dibandingkan daerah tengah di Pulau Langkai. Hal ini diakibatkan kondisi daerah dekat terumbu karang lebih banyak mendapatkan suplai nutrien dari luar dan daerah pantai juga mendapatkan suplai nutrien dari daratan sehingga pada bagian tengah kurang mendapatkan suplai nutrien yang menyebabkan lambatnya pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii pada daerah tersebut.
26
Hasil analisis uji Nested Anova (Lampiran 2) menunjukkan bahwa terdapat perbedaan nilai laju pertumbuhan di berbagai lokasi penelitian (P<0,05), namun tidak terdapat perbedaan yang nyata pada laju pertumbuhan Thalassia hemprichii
yang
tersarang
pada
berbagai
zona
(P>0,05).
Rerata
laju
pertumbuhan Thalassia hemprichii tertinggi berada di pulau Barranglompo dan di Pulau Bonetambung. Aktivitas antropogenik di Pulau Barranglompo lebih besar dibandingkan pulau yang lain sehingga suplai nutrien lebih besar yang mendukung semakin besarnya pertumbuhan lamun. Pertumbuhan lamun berbeda antara lokasi satu dengan lainnya. Hal ini dikarenakan laju pertumbuhan lamun sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor suhu, nutrien, dan Photosynthetically Active Radiatian (PAR) (Azkab, 1988). Selain itu, juga sangat tergantung pada spesies dan kondisi perairan lokal lainnya seperti kecerahan air, sirkulasi air dan kedalaman (Zieman, 1987). Jenis lamun yang sama
tetapi
tumbuh
pada
habitat
yang
berbeda
dapat
menunjukkan
pertumbuhan yang berlainan (Kikuchii dan Peres, 1977). B. Laju Fotosintesis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii 1. Enhalus acoroides Hasil pengukuran laju fotosintesis Enhalus acoroides menggunakan Underwater Chlorofil Fluorometer (DIVING PAM WALZ) dengan PAR antara 01612 μmol photons m-2s-1 pada daerah dekat pantai, bagian tengah dan daerah dekat terumbu karang menunjukkan kalau nilai laju fotosintesis di Pulau Barranglompo antara 23,36-36,97 μmol e‾m-2s-1, Pulau Bonetambung 16,1125,10 μmol e‾m-2s-1, dan Pulau Langkai antara 19,56-2,76 μmol e‾m-2s-1. Dari ketiga lokasi, dapat dilihat bahwa laju fotosintesis tertinggi terdapat pada daerah di dekat pantai dan laju fotosintesis terendah pada daerah di dekat terumbu karang. Hasil uji analisis statistik dengan menggunakan uji Nested
27
Anova (Lampiran 3) menunjukkan terdapatnya perbedaan laju fotosintesis Enhalus acoroides di zona pantai bagian tengah dan daerah dekat terumbu karang (P<0,05). Namun, tidak terdapat perbedaan laju fotosintesis Enhalus acoroides pada berbagai lokasi penelitian (P>0,05). Perbedaan laju fotosintesis di
berbagai
mempengaruhi
zona
penelitian
pertumbuhan
dipengaruhi lamun.
oleh
Tingkat
kecerahan
kecerahan
yang
dapat
perairan
dapat
berdampak pada kemampuan sinar matahari untuk menembus perairan hingga ke dasar, sehingga dapat membantu Enhalus acoroides dalam proses fotosintesis demi pertumbuhan lamun itu sendiri (Febriyantoro et.al., 2016).
Gambar 11. Grafik laju fotosintesis Enhalus acoroides pada zona yang berada di dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang di Barranglompo (A), Bonetambung (B) dan Langkai (C)
28
2. Thalassia hemprichii Pengamatan laju fotosintesis Thalassia hemprichii menunjukkan bahwa rata-rata kisaran laju fotosintesis di Pulau Barranglompo adalah 30,25-40,55 μmol e‾m-2s-1, Pulau Bonetambung 25,19-31,06 μmol e‾m-2s-1 dan Pulau Langkai 18,29-31,72 μmol e‾m-2s-1. Laju fotosintesis tertinggi terdapat pada daerah dekat pantai (Gambar 12). Daerah dekat terumbu karang memiliki laju yang tinggi dibandingkan dengan daerah bagian tengah di tiga lokasi yang berbeda.
Gambar 12. Laju fotosintesis Thalassia hemprichii pada tiga zona lokasi penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) Berdasarkan hasil uji Nested Anova (Lampiran 4) ditemukan adanya perbedaan yang nyata antar zona penelitian (P=0,0001), namun tidak berbeda nyata antar lokasi penelitian (P=0,596). Terdapatnya perbedaan antar zona diduga dipengaruhi oleh kegiatan antropogenik yang dapat meningkatkan tingginya suplai nutrien utamanya pada daerah dekat pantai (Wirawan, 2014).
29
C. Hubungan Laju Fotosintesis dan Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii 1. Enhalus acoroides
Gambar 13. Hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides pada tiga zona penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) Berdasarkan hasil uji regresi linier sederhana antara laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides (Gambar 13) ditemukan bahwa di Pulau Barranglompo terdapat hubungan yang sangat tinggi dengan y =31,15x– 30,049 dan nilai koefisien korelasi (r)=0,838. Dari persamaan tersebut menunjukkan bahwa laju fotosintesis berpengaruh 83,8% terhadap pertumbuhan lamun dan 16,2% dipengaruh oleh faktor lain. Hal serupa juga dijumpai di Pulau Bonetambung dengan y=22,572x– 15,267 dan nilai koefisien korelasi (r)=0,810. Persamaan tersebut menunjukkan bahwa laju fotosintesis berpengaruh 81% terhadap pertumbuhan lamun dan hanya 19% dipengaruh oleh faktor lain. Pulau Langkai yang juga adalah pulau terluar, juga menunjukkan kecenderungan yang sama dengan persamaan
30
y=19,499x–14,142 dan nilai koefisien korelasi (r)=0,707. Artinya, laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Enhalus acoroides memiliki hubungan yang kuat, dengan pengaruh 70,7% terhadap pertumbuhan lamun dan 29,3% dipengaruh oleh faktor lain. 2. Thalassia hemprichii Dari uji regresi linier sederhana dengan melihat hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan lamun T. hemprichii yang hidup di tiga zona di Pulau Barranglompo,
menunjukkan
R2=0,189 dan nilai r=0,435.
persamaan
y=9,1516x+8,0194
dengan
nilai
Dari nilai koefisien korelasi yang dikategorikan
memiliki hubungan positif, hubungan antara laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii cukup lemah, karena pengaruh laju fotosintesis hanya 43,5% terhadap laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii, yang artinya 56,5% dipengaruhi oleh faktor lain. Persamaan matematika untuk regresi linier sederhana untuk Pulau Bonetambung adalah y=8,1478x+18,286 dengan R2=0,5654 dan nilai r=0,752. Sedangkan untuk Pulau Langkai, y=8,43x+14,833 dengan nilai R2=0,1822 dan nilai r=0,427. Laju fotosintesis hanya berpengaruh 42,7% terhadap pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii dan 57,3% dipengaruhi oleh faktor lain. Ketiga persamaan tersebut memiliki nilai r positif yang artinya hubungan laju fotosintesis terhadap laju pertumbuhan Thalassia hemprichii adalah berbanding lurus, atau kenaikan laju fotosintesis akan diikuti oleh meningkatkan laju pertumbuhan T. hemprichii. Hubungan nilainya tergolong rendah, kecuali pada Pulau Bonetambung yang memiliki kriteria hubungan tinggi (r=0,752). Hal ini menunjukkan bahwa selain laju fotosintesis terdapat faktor-faktor lain yang mempengaruhi laju pertumbuhan lamun.
31
Gambar 14. Hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii pada tiga zona penelitian di Pulau Barranglompo (A), Pulau Bonetambung (B) dan Pulau Langkai (C) Klorofil menyerap dan menggunakan energi sinar matahari untuk sintesa oksigen dan karbohidarat dari CO2 dan air (Jumin, 1992). Melalui sistem penyerapan cahaya, transfer energi eksitasi dan reaksi fotokimia pada proses fotosintesa
yang
didapatkan
lebih
besar
dan
berpengaruh
terhadap
meningkatnya laju pertumbuhan lamun. D. Hubungan Laju Fotosintesis dan Laju Pertumbuhan dengan Parameter Lingkungan Kondisi perairan memiliki peranan penting dalam mendukung laju fotosintesis dan laju pertumbuhan yang masuk ke dalam perairan. Pada penelitian ini, kondisi perairan meliputi suhu, PAR, kedalaman dan silikat pada zona dekat pantai, bagian tengah dan dekat terumbu karang di tiga lokasi pulau yang berbeda.
32
a. Enhalus acoroides Berdasarkan analisis sebelumnya tentang hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides pada umumnya memiliki korelasi yang kuat tetapi juga dipengaruhi oleh faktor lain. Berdasarkan uji statistik korelasi Pearson laju fotosintesis dengan parameter lingkungan (Lampiran 5) menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara fotosintesis dengan parameter lingkungan suhu, kedalaman dan silikat, namun tidak terdapat hubungan yang signifikan terhadap parameter PAR. Parameter lingkungan yang tertinggi terdapat pada suhu dengan nilai sebesar 0,733 (P<0,05) dan nilai terendah pada parameter kedalaman sebesar -0,380 (selang kepercayaan 95%). Artinya, laju fotosintesis memiliki hubungan yang kuat terhadap suhu, kedalaman dan silikat. Parameter kedalaman memiliki korelasi yang kuat tetapi korelasinya negatif atau berbanding terbalik dengan laju fotosintesis. Semakin dalam suatu perairan maka intensitas cahaya matahari untuk menembus dasar perairan menjadi terbatas dan kondisi ini akan menghambat laju fotosintesis lamun di dalam air (Sakaruddin, 2011). Nilai PAR tidak mempengaruhi laju fotosintesis lamun Enhalus acoroides pada berbagai zona di tiga lokasi penelitian. Intensitas cahaya yang sangat tinggi dalam perairan dapat menghambat fotosintesis dan akhirnya produksi semakin berkurang (Tubalawony, 2007). Dari hasil uji analisis statistik korelasi Pearson menunjukkan bahwa laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides dengan kondisi perairan, terdapat hubungan yang signifikan terhadap parameter suhu dan PAR. Suhu merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan penyebaran lamun. Kenaikan suhu dapat memicu terjadinya kenaikan laju respirasi yang berakibat pada meningkatnya metabolisme dan terganggunya proses fisiologis
33
dalam sel (Waycott, et.al., 2004). Faktor lain yang diduga mempengaruhi laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides adalah keberadaan makroalga epifit yang menempel pada daun lamun. Penelitian yang dilakukan oleh Rappe (2012), makroalga epifit banyak dan lebih beragam ditemukan pada lamun Enhalus acoroides, hal ini disebabkan karena Enhalus acoroides memiliki ukuran yang besar dan berumur panjang. Banyaknya epifit pada daun lamun tersebut bisa mengganggu proses fotosintesis melalui daun lamun untuk pertumbuhannya. b. Thalassia hemprichii Hubungan antara laju fotosintesis terhadap laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii umumnya memiliki korelasi yang lemah pada tiga lokasi penelitian sehingga dilakukan uji statistik Korelasi Pearson. Uji tersebut untuk melihat faktor lain yang berpengaruh terhadap laju fotosintesis dan laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii. Hal ini, diduga dipengaruhi oleh faktor lain seperti suhu, PAR, kedalaman dan silikat. Pada uji Korelasi Pearson diketahui bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara laju fotosintesis Thalassia hemprichii terhadap suhu, PAR, dan silikat (P<0,05). Parameter PAR memiliki korelasi yang kuat tetapi korelasinya negatif. Artinya, semakin tinggi nilai PAR maka semakin rendah laju fotosintesis lamun. Tumbuhan dalam proses fotosintesis tidak dapat memanfaatkan semua pancaran radiasi matahari yang sampai pada permukaan bumi, tetapi hanya radiasi yang terletak pada batas panjang gelombang 400-700 nm (Sitompul, 2001). Parameter lain yang juga berpengaruh terhadap laju fotosintesis adalah suhu. Perubahan suhu di perairan merupakan faktor yang lain berpengaruh terhadap kehidupan lamun, antara lain terhadap metabolisme, penyerapan unsur hara dan kelangsungan hidup dari lamun (Poedjirahajoe et.al., 2013).
34
Kedalaman tidak memiliki pengaruh terhadap laju fotosintesis lamun Thalassia hemprichii. Tingkat kedalaman yang sangat tinggi tentunya akan mengurangi penyerapan cahaya oleh badan air, dimana cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh lamun dalam proses fotosintesis (Hutabarat, 2000). Menurut Nybaken (1992) dalam Cahyani et.al (2014) menyatakan energi yang diperlukan agar ekosistem bahari dapat berfungsi hampir seluruhnya bergantung pada aktifitas fotosintesis tumbuhan bahari yang memanfaatkan nutrien sebagai sumber energi. Hasil uji Korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan parameter lingkungan seperti suhu, Photosynthetically Active Radiation (PAR), kedalaman dan silikat terhadap laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii kecuali pengaruh laju fotosintesis. Hal ini yang disebabkan, lamun Thalassia hemprichii yang mempunyai morfologi daun yang lebih tipis sehingga sangat peka terhadap sinar matahari yang lebih tinggi (Supriadi, 2003). E. Parameter Lingkungan Parameter lingkungan sebagai data pendukung untuk mendapatkan gambaran tentang kondisi oseanografi secara umum di lokasi penelitian dapat dilihat pada Lampiran (7). Berdasarkan pengukuran parameter kualitas perairan, kisaran parameter oseanografi yang terukur meliputi suhu yang berkisar 31-35oC. Suhu ini sedikit di atas dari kisaran suhu optimal yang digunakan lamun untuk pertumbuhan, namun berada dalam kisaran yang ditolerir oleh lamun. Menurut Philips dan Menez (1988) lamun dapat mentolerir suhu perairan antara 26-36oC. Sementara, kisaran suhu optimal bagi spesies lamun adalah 28-30oC, dimana suhu dapat mempengaruhi proses-proses fisiologi yaitu proses fotosintesis, pertumbuhan
35
dan reproduksi. Proses-proses fotosintesis ini akan menurun dengan tajam apabila suhu berada di luar kisaran optimal (Kadi, 2006). Photosynthetically Active Radiation (PAR) yang diperoleh pada saat pengamatan berkisar 1216-1612 µmol/m2/s. Penelitian tentang uji intensitas cahaya pada perlakuaan kontrol terhadap lamun Enhalus acoroides yang dilakukan oleh Artika (2015) di Pulau Barranglompo, didapatkan bahwa lamun Enhalus acoroides memiliki toleransi dengan nilai PAR berkisar antara 41-1518 µmol/m2/s. Hasil pengukuran kedalaman pada lokasi penelitian berkisar antara 58120 cm. Kisaran kedalaman ini merupakan kisaran yang normal ini merupakan kisaran yang masih normal yang masih dapat ditembus oleh cahaya matahari, sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung dengan baik. Tingkat kedalaman yang sangat tinggi tentunya akan mengurangi penyerapan cahaya oleh badan air, dimana cahaya matahari sangat dibutuhkan oleh lamun dalam proses fotosintesis (Kikuchii dan Peres, 1977). Menurut Kennish (1990) nitrogen (N), fosfor (P), dan silikat (Si) adalah merupakan elemen penting yang dibutuhkan dalam jumlah besar (makronutrien) untuk pertumbuhan lamun karena menjadi unsur utama pembentuk protein. Berdasarkan pengukuran di lokasi penelitian yang dilakukan di daerah dekat pantai, daerah tengah dan daerah dekat terumbu karang didapatkan nilai silikiat (SiO4) sekitar 2,604-7,856 μg/L, kisaran yang tertinggi terdapat di daerah dekat pantai. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hutagalung et.al., (1997) menyatakan bahwa kadar nutrien secara horizontal semakin tinggi ke arah pantai.
36
BAB V. SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Keragaman lokasi penelitian berpengaruh terhadap laju pertumbuhan lamun Thalassia hemprichii dan keragaman zona berpengaruh terhadap laju fotosintesis Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii. Keragaman zona berpengaruh terhadap laju fotosintesis lamun Enhalus acoroides dan Thalassia hemprichii 2. Rata-rata laju fotosintesis dan laju pertumbuhan yang tertinggi didapatkan daerah dekat pantai dan daerah tengah serta yang paling rendah di daerah dekat terumbu karang. 3. Hubungan laju fotosintesis dan laju pertumbuhan secara umum memiliki korelasi yang kuat pada tiga lokasi penelitian. Hubungan laju fotosintesis dengan laju pertumbuhan lamun Enhalus acoroides sekitar 70,7%-83,8% dan Thalassia hemprichii sekitar 42, 7%-75,2%.
B. Saran Dalam penelitian ditemukan bahwa laju pertumbuhan yang tertinggi yaitu di daerah dekat pantai sehingga dalam melakukan restorasi lamun sebaiknya dilakukan di daerah dekat pantai.
37
DAFTAR PUSTAKA
Amri. K, Setiadi. D, Qayim I, dan Djokosetiyanto. D. 2010. Dampak Aktivitas Antropogenik terhadap Kualitas Perairan Habitat Padang Lamun Di Kepulauan Spermonde Sulawesi Selatan. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Arifin, 2001. Ekosistem Padang Lamun.Ilmu Kelautan Dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Artika, S.R. 2015. Pengaruh Peningkatan CO2 (Karbondioksida) Terhadap Pertumbuhan Lamun Enhalus acoroides Di Pulau Barranglompo. Skripsi. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Azkab, M.H. 1988. Pertumbuhan dan Produksi Lamun, Enhalus acoroides di Rataan Terumbu di Pari Pulau Seribu. P3O-LIPI, Teluk Jakarta: Biologi, Budidaya, Oseanografi Geologi dan Perairan. Balai Penelitian Biologi Laut, Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanolog-LIPI, Jakarta: 11-6 Azkab, M.H. 1999. Kecepatan tumbuh dan produksi lamun dari Teluk Kuta, Lombok. Dalam: P3O-LIPI, Dinamika komunitas biologis pada ekosistem lamun di Pulau Lombok, Balitbang Biologi Laut, Puslitbang Biologi LautLIPI, Jakarta. Basmi, J. 1995. Fitoplankton: Produktivitas Primer. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Beer, S. Bjork.M. Gademann. dan R. Ralph, P. 2001. Measurements of Photosynthetic Rates In Seagrasses in; Short, F.T., Coles, R.G. Global Seagrass Research Methods. Elsevier Science Publisher B. V., Amsterdam. Berwick, N.L. 1983. Guidelines for Biophysical Impact to Tropical Coastal Marine Resources.The Bombay Natural History ociety Centenaty Seminar Conservation in Developing Countries-Problem and Prospects, Bombay; 6-10 December 1983. Brouns, J.J.W.M. 1985. A Preliminary Study Of The Seagrass Thalassodendron cilialum (Frosk) dan Hartog from Eastern Indonesia. Aquatik Botany. Cahyani, Dwi. N. F, Hartoko. A, Suryanti. 2014. Sebaran dan jenis lamun pantai pancuran belakang pulau Karimunjawa Taman Nasional Karimunjawa, Jepara. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Jurusan Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro. Dahuri, R. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Dawes, C.J.1981. Marine Botany. Jhon Wiley dan Sons, Inc. 229 hal. De Klerk, L.G. de. 1983. Sea levels, Reef and Coastal Plains of South WestIndonesia. Departement of Geography of Utrecht, The Netherland.
38
Den Hartog, C. 1970. Seagrassess of the World. North Holland Punlishing c o., Amsterdam, London pp. 272. Dennison, W.C. 1990. Leaf Production. In R.C. Philips and C.P. McRoy (eds) Seagrass methods, UNESCO, Paris. Febriyantoro, D. Tanjung, A. dan Nurrachmi, I. 2016. Biomassa dan Kerapatan Lamun Berdasarkan Rasio N:P pada Sedimen di Perairan Pantai Trikora Kabupaten Bintan Provinsi Kepulauan Riau. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Universitas Riau. Fortes, M.D. 1990. Seagrasses A Resources unknown in the Asean region Association of Southeast Asian Nations/United States Coastal Resources Management Project Education Series 6. Hutabarat, S. 2000. Peran Kondisi Oseanografis Terhadap Perubahan Iklim, Produktivitas dan Distribusi Biota Laut. Universitas Diponegoro. Semarang. Hutagalung, H.P. dan Rozak, A. 1997. Metode Analisis Air Laut, Sedimen dan Biota Laut. Institut Pertanian Bogor. Hutomo, M. 1999. Proses Peningkatan Nutrien Mempengaruhi Kelangsungan Hidup Lamun. LIPI. Jumin, H.B. 1992. Ekologi Tanaman; Suatu Pendekatan Ekologis. Rajawali, Jakarta. Kadi, A. 2006. Beberapa Catatan Kehadiran Marga Sargassum di Perairan Indonesia. Bidang Sumberdaya Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI. Jakarta. Kennish, M.J. 1990. Ecology of Estuaries. CRC Press, London. Kikuchii, T. dan J.M. Peres. 1977. Consumer Ecology of Seagras Beds. Dalam Azkab, M.H. 1999. Pedoman Invetarisasi Lamun. Oseana 1: 1-16. Kiswara W. 1992. Community Structure and Biomass Distribution of Seagrass at Banten Bay, West Java. Indonesia. Kiswara, W. 1993. Struktur Komunitas Biologi Padang Lamun di Pantai Selatan Lombok dan Kondisi Lingkungannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Kiswara, W. 1995. Pemantapan Keterpaduan dan Pendayagunaan Potensi Sumberdaya Manusia, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi dan Kelembagaan Kelautan Nasional Menuju Kemandirian. Seminar Kelautan Nasional.Panitia Pengembangan Riset dan Teknologi Kelautan serta Industri Maritim. Jakarta. Kuo,
J. 2007. New Monoecious Seagrass (Hydrocharitaceae) From Indonesia.
of
Halophila
Sulawesii
39
Krisye. 2012. Analisis Produksi Serasah dan Laju Dekomposisi Berbagai Jenis Lamun di Perairan Pulau Barranglompo. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Levinton, J. S. 1982. Marine ecology. Printice-Hall Lobban, C.S., P.J. Hansen and M.J. Duncan. 1985. The Physiological Ecology of Seaweeds.Cambridge University Press.Cambridge, London, New York, New Rochelle, Melbourne. Sydney. Meyers R.A. 2012. Encylopedia of Sustainability Science and Technology, DOI 10.1007/978-1-4419-0851-3. Millero, F.S dan M.L. Sohn. 1991.Chemical Oceanography.CRC Press. London. Morris, E.P., G. Peralta, F.G. Brun, L. van Duren, T.J. Bouma dan J.L. PerezLIorens. 2008. Interaction between hydrodynamics and seagrass canopy structure: Spatially Explicit Effects on Ammonium Uptake Rates. Limnol. Oceanog. 53(4): 1531-1539. Nontji, A. 1981. Fotosintesis pada Fitoplankton Laut; Tinjauan Fisiologis dan Ekologis. Fakultas Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nontji. 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken J.W. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Penerbit PT. Gramedia Jakarta. Papush, L. dan A. Danielson. 2006. Silicon in the marine environment: dissolved silica trends in the Baltic Sea. Estuarine, Coastal and Shelf Science, 67:53-66. Parsons, T. R. M. Takahashi dan B. Hargave. 1984. Biological oceanography process. Third Edition. Pergamon Pr., New York. Phillips, C. R. dan E.G. Menez. 1988. Seagrass.Smith Sonian. Institutions Press. Washington D.C. Poedjirahajoe, E., D. M. Ni Putu, R. S. Boy dan S. Muhammad. 2013. Tutupan Lamun dan Kondisi Tutupan Lamun dan Kondisi Ekosistemnya Di Kawasan Pesisir Madasenger, Jelenga dan Maluk Kabupaten Sumbawa Barat. Jurnal Ilmu Kelautan dan Teknologi Kelautan Tropis, 5(1): 34-46. Rappe, R.A. 2012. Asosiasi makroalga epifit pada berbagai jenis lamun di Kepulauan Spermonde, Sulawesi Selatan. Dalam: Nababan B. (eds). Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan VIII ISOI 2011, Makassar 25-27 September 2011. Hlm,8-16. Rosiden, Pratomo A. dan Yandri F. 2013. Hubungan antara Endapan Sedimen dan Struktur Komunitas Lamun (Studi Kasus di Perairan Sebauk). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang. Sakaruddin. M.I, 2011. Komposisi Jenis, Kerapatan, Persen Penutupan dan Luas Penutupan Lamun di Perairan Pulau Panjang Tahun 1990-2010. Skripsi.
40
Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Schauerte P. 2005. The Effect of Synaptid Holothurians (Synaptidae) on Epiphyte Biomass and Macrophyte Growth of the Tropical Seagrass Enhalus acoroides in Indonesian Seagrass Beds. Diploma thesis, Koeln University. Short, I. T. 1987. Effect of Sediment Nutrient Seagrasses. Literature Review and Mesocom Experient. Marine Botani. Short, F.T., dan Duarte, C.M. 2001. Methods for the Measurament of Seagrass Growth and Production. Di dalam Short FT and Coles RG, editor. Global Seagrass Research Methods. Amsterdam. Elsevier Science II.V Chapter 8. Hal 174-175. Sitompul, S.M. 2001. Radiasi Dalam Sistem Agroforestry. Bahan Ajar. Soesono. 1974. Limnology. Pertanian. IPB. Bogor.
Direktorat
Jenderal
Perikanan.
Departemen
Supriadi. 2003. Produktivitas Lamun Enhalus acoroides (Linn. F) Royle dan Thalassia hemprichii (Ehrenb). Ascherson di Pulau Barranglompo Makassar. Tesis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor. Supriharyono. 2000. Pelestarian dan pengelolahan sumberdaya alam di wilayah pesisir tropis. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sumaryanti, Utari, Supriyanto. A, Purnama. B. 2011. Karakterisasi optik dan listrik larutan klorofil spirulina sp sebagai dye sensitized solar cell. Jurusan Fisika. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Tait R.V, Dipper E.A. 1998. Elements of Marine Ecology. 4th Edition. Oxford: Butterworth Heinemann. Thomlinson, P. B. 1974. Vegetative Morphology and Meristem Dependence the Foundation of Productivity in Seagrass. Aquaculture 4: 107-130. Tomascik, T.A.J.Mah, A. Nontji, and M.K.Moosa. 1997.The Ecology of The Indonesian Seas. Parts Two. The Ecology of Indonesian Series.Volume VIII. Tubalawony, S. 2007. Kajian Klorofil-a dan Nutrien serta Interalasinya dengan Dinamika Massa Air di Perairan Barat Sumatera dan Selatan JawaSumbawa. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Verheij, E, 1993. Marine Plants on the Reefs of the Spermonde Archipelago, SW Sulawesi Indonesia; Aspects of Taxonomy, Floristics, and Ecology.PhD thesis, Rijksherbarium/Hortus Botanicus, Leiden, The Netherlands. Waycott, M.m McMahon, C., Mellorrs, J., Calladide, A., Kleine, D. 2004. A Guide to Tropical Seagrasses of The Indonesia-West Pasific. James Cook University, Townsville.
41
Wirawan, A. A. 2014. Tingkat Kelangsungan Hidup Lamun yang Ditransplantasi Secara Multispesies di Pulau Barranglompo. Universitas Hasanuddin. Makassar. Wood, E.J.F. W.E. Odum dan J.C. Zieman. 1969. Influenceof the seagrasses on the productivity of coastal lagoons, laguna Costeras. UnSimposioMem. Sim. Intern. U.N.A.M.-UNESCO, Mexico, D.F., Nov., 1967. Pp 495-502. Zieman, J.C. 1987. A Review of Certain Aspects of the Life, Death and Distribution of the Southeastern United States 1960-1985. Fla. Mar. res. Publ. (42): 53-76.
42
Lampiran 1. Hasil Uji Nested Anova Laju Pertumbuhan Enhalus acoroides Between-Subjects Factors Value Label Pulau
Zona
N
1
Barranglompo
9
2
Bonetambung
9
3
Langkai
9
1
Pantai
9
2
Tengah
9
3
Karang
9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:LPEA Type III Sum of Source Intercept
Pulau
Zona(Pulau)
a. MS(Zona(Pulau)) b. MS(Error)
Squares Hypothesis
df
Mean Square
152,226
1
152,226
Error
,891
6
,148a
Hypothesis
,508
2
,254
Error
,891
6
,148a
Hypothesis
,891
6
,148
Error
,546
18
,030b
F
Sig.
1,025E3
,000
1,712
,258
4,891
,004
43
Lampiran 2. Hasil Uji Nested Anova Laju Pertumbuhan Thalassia hemprichii Between-Subjects Factors Value Label Pulau
Zona
N
1
Barranglompo
9
2
Bonetambung
9
3
Langkai
9
1
Pantai
9
2
Tengah
9
3
Karang
9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:LPTH Type III Sum of Source Intercept
Squares Hypothesis
Zona(Pulau)
1
499.660
,462
6
,077a
5,145
2
2,573
Error
,462
6
,077a
Hypothesis
,462
6
,077
4,923
18
,274b
Hypothesis
Error a. MS(Zona(Pulau)) b. MS(Error)
Mean Square
499.660
Error Pulau
df
F
Sig.
6,493E3
,000
33,428
,001
,281
,938
44
Lampiran 3. Hasil Uji Nested Anova Laju Fotosintesis Enhalus acoroides Between-Subjects Factors Value Label Pulau
Zona
N
1
Barranglompo
9
2
Bonetambung
9
3
Langkai
9
1
Pantai
9
2
Tengah
9
3
Karang
9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:LFEA Type III Sum of Source Intercept
Squares Hypothesis
Zona(Pulau)
1
38013,763
1102,740
6
183,790a
57,287
2
28,643
Error
1102,740
6
183,790a
Hypothesis
1102,740
6
183,790
290,700
18
16,150b
Hypothesis
Error a. MS(Zona(Pulau)) b. MS(Error)
Mean Square
38013,763
Error Pulau
df
F
Sig.
206,833
,000
,156
,859
11,380
,000
45
Lampiran 4. Hasil Uji Nested Anova Laju Fotosintesis Thalassia hemprichii Between-Subjects Factors Value Label Pulau
Zona
N
1
Barranglompo
9
2
Bonetambung
9
3
Langkai
9
1
Pantai
9
2
Tengah
9
3
Karang
9
Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable:LFTH Type III Sum of Source Intercept
Squares Hypothesis
Zona(Pulau)
1
69748,418
1461,004
6
243,501a
274,881
2
137,440
Error
1461,004
6
243,501a
Hypothesis
1461,004
6
243,501
496,307
18
27,573b
Hypothesis
Error a. MS(Zona(Pulau)) b. MS(Error)
Mean Square
69748,418
Error Pulau
df
F
Sig.
286,440
,000
,564
,596
8,831
,000
46
Lampiran 5. Hasil Uji Pearson Correlation Laju Fotosintesis dan laju pertumbuhan Enhalus acoroides dengan parameter lingkungan Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
Suhu
32,89
1,311
27
PAR
1364,11
107,668
27
78,67
20,545
27
4,16641
1,315456
27
Pertumbuhan
2,3744
,27354
27
Fotosintesis
37,522
7,4698
27
Kedalaman Silikat
Correlations Suhu Suhu
Pearson Correlation
PAR 1
Sig. (2-tailed)
-,336
,424*
,671**
,733**
,028
,000
,000
27
27
27
27
Pearson Correlation
,415*
1
,175
,115
,476*
,245
Sig. (2-tailed)
,032
Pearson Correlation
,383
,568
,012
,218
27
27
27
27
27
27
-,336
,175
1
-,099
-,375
-,380
,087
,383
,625
,054
,051
27
27
27
27
27
27
Pearson Correlation
*
,424
,115
-,099
1
,001
,459*
Sig. (2-tailed)
,028
,568
,625
,995
,016
27
27
27
27
27
27
**
*
,476
-,375
,001
1
,486*
,000
,012
,054
,995
27
27
27
27
27
27
*
*
1
N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Fotosintesis
,415*
,087
N
Pertumbuhan
Fotosintesis
27
Sig. (2-tailed) Silikat
Pertumbuhan
,032
N Kedalaman
Silikat
27
N PAR
Kedalaman
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
,671
,010
**
,245
-,380
,459
,486
,000
,218
,051
,016
,010
27
27
27
27
27
,733
*. Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed). **. Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed).
27
47
Lampiran 6. Hasil Uji Pearson Correlation Laju Fotosintesis dan laju pertumbuhan Thalassia hemprichii dengan parameter lingkungan Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
Suhu
32,89
1,311
27
PAR
1485,89
82,423
27
78,67
20,545
27
4,16641
1,315456
27
Pertumbuhan
4,3019
,63640
27
Fotosintesis
51,448
10,8873
27
Kedalaman Silikat
Correlations Suhu Suhu
Pearson Correlation
1
Sig. (2-tailed) N PAR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Kedalaman
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
Silikat
,002
-,565
Silikat
Pertumbuhan
Fotosintesis
-,336
*
,424
,096
,566**
,087
,028
,633
,002
27
27
27
27
27
27
-,565**
1
,244
-,244
,052
-,454* ,017
,002
,220
,220
,798
27
27
27
27
27
27
-,336
,244
1
-,099
-,107
-,076
,087
,220
,625
,595
,705
27
27
27
27
27
27
,424*
-,244
-,099
1
,197
,601**
Sig. (2-tailed)
,028
,220
,625
,326
,001
27
27
27
27
27
27
Pearson Correlation
,096
,052
-,107
,197
1
,440*
Sig. (2-tailed)
,633
,798
,595
,326
N Fotosintesis
Kedalaman **
Pearson Correlation N
Pertumbuhan
PAR
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N
,022
27
27
27
27
27
27
,566**
-,454*
-,076
,601**
,440*
1
,002
,017
,705
,001
,022
27
27
27
27
27
**. Correlation is significant at the 0,01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0,05 level (2-tailed).
27
49
Lampiran 7. Data Parameter Lingkungan Enhalus acoroides pada Lokasi Penelitian Enhalus acoroides Pulau
Barranglompo Rata-rata Bonetambung Rata-rata Langkai Rata-rata
PAR (µmol m-2/s-1)
Suhu (°C) Pantai 35 35 35 35 35 35 35 35 33 33 33 33
Tengah 32 32 32 32 32 32 32 32 33 33 33 33
Karang 31 31 31 31 32 32 32 32 33 33 33 33
Pantai 1412 1412 1412 1412 1375 1375 1375 1375 1452 1452 1452 1452
Tengah 1176 1176 1176 1176 1489 1489 1489 1489 1489 1489 1489 1489
Karang 1216 1216 1216 1216 1334 1334 1334 1334 1334 1334 1334 1334
Kedalaman (cm) Pantai 64 64 64 64 75 75 75 75 58 58 58 58
Tengah 62 62 62 62 109 109 109 109 72 72 72 72
Karang 72 72 72 72 120 120 120 120 76 76 76 76
Silikat (µg/L) Pantai 3,736 7,856 7,234 6,275 3,624 4,117 5,420 4,387 4,138 5,001 2,816 3,985
Tengah 2,650 6,116 3,146 3,971 3,704 4,216 4,560 4,160 3,424 4,230 2,604 3,419
Karang 2,319 4,995 3,281 3,532 3,607 4,498 3,789 3,965 3,982 4,420 3,010 3,804
48
50
Lampiran 8. Data Parameter Lingkungan Thalassia hemprichii pada Lokasi Penelitian Pulau
Barranglompo Rata-rata Bonetambung Rata-rata Langkai Rata-rata
PAR (µmol m-2/s-1)
Suhu (°C) Pantai 35 35 35 35 35 35 35 35 33 33 33 33
Tengah 32 32 32 32 32 32 32 32 33 33 33 33
Karang 31 31 31 31 32 32 32 32 33 33 33 33
Pantai 1411 1411 1411 1411 1452 1452 1452 1452 1367 1367 1367 1367
Tengah 1489 1489 1489 1489 1612 1612 1612 1612 1493 1493 1493 1493
Karang 1612 1612 1612 1612 1416 1416 1416 1416 1521 1521 1521 1521
Kedalaman (cm) Pantai 64 64 64 64 75 75 75 75 58 58 58 58
Tengah 62 62 62 62 109 109 109 109 72 72 72 72
Karang 72 72 72 72 120 120 120 120 76 76 76 76
Silikat (µg/L) Pantai 3,736 7,856 7,234 6,275 3,624 4,117 5,420 4,387 4,138 5,001 2,816 3,985
Tengah 2,650 6,116 3,146 3,971 3,704 4,216 4,560 4,160 3,424 4,230 2,604 3,419
Karang 2,319 4,995 3,281 3,532 3,607 4,498 3,789 3,965 3,982 4,420 3,010 3,804
49