HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013 SKRIPSI
Oleh: Morrys Antoniusman 109101000040
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1425 H / 2013
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040 Hubungan Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara Dalam Ruang dan Faktor Demografi terhadap Kejadian Gejala Fisik Sick Building Syndrome (SBS) pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 (xxii+ 126 halaman, 16 tabel, 3 bagan, 3 diagram, 4 lampiran) ABSTRAK Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi yaitu bakteri ditengarai menjadi salah satu penyebab kejadian SBS. Kondisi gejala fisik SBS yang terjadi dalam ruangan bersifat akut dan mengganggu penghuni dalam ruangan khususnya karyawan yang dapat menurunkan produktivitas kerja dan penurunan konsentrasi kerja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan keluhan SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013, yang terdiri dari variabel jumlah koloni bakteri patogen udara, jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang dilakukan pada bulan November-Desember 2013. Kemudian digunakan penarikan sampel secara accidental sampling lalu untuk melihat adanya pengaruh variabel, digunakan analisis multivariat. Berdasarkan hasil análisis yang telah dilakukan, didapatkan sebesar 43,5% (20 orang) mengalami keluhan SBS, kemudian didapatkan faktor yang paling berpengaruh terhadap SBS adalah Jenis Kelamin (PR = 9,124) maka keluhan gejala fisik SBS dapat diperkirakan dengan variabel jenis kelamin. Oleh karena itu, responden penelitian dengan jenis kelamin perempuan dianjurkan untuk bebas dari paparan AC yang berlebih, dekat dengan fasilitas dalam bangunan yang mengeluarkan polutan, dan jauh dari asap rokok di dalam gedung atau ruang kerja. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabelvariabel lain yang diduga berhubungan dengan keluhan SBS yang tidak diteliti pada penelitian ini, dan melakukan penelitian dengan menggunakan cara lain dalam mengukur SBS, sehingga diharapkan dapat diperoleh perbandingan gambaran keluhan SBS.
Kata kunci : Sick Building Syndrome, Responden Penelitian Gedung X. Daftar bacaan : 45 (1987-2011)
ii
SYARIF HIDAYATULLAH STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MORRYS ANTONIUSMAN, NIM : 109101000040 The Relationship of Pathogenic Bacteria Colonies of Indoor Air and Demographic Factors with The Incidence of Physical Symptoms of Sick Building Syndrome upon Research Respondents of X Building Year 2013 (xxii+ 126 pages, 16 tables, 3 charts, 3 diagram, 4 attachments) ABSTRACT Poor indoor air quality due to the presence of biological contaminants like bacteria is being suspected as one of the cause that affect the occurrence of SBS. Physical symptoms of Sick Building Syndrome that occur indoors are acute and disturbing to the occupants of the room, especially employees which will lead to a decreasing of work productivity and concentration level. The aim of this study was to determine factors assosiated with the symptoms of Sick Building Syndrome upon research respondents of X building, which consisted of a variable number of airborne pathogenic bacteria colonies, sex, age, nutritional status, smoking habits, and cigarette fumes sensitivity. This study used a cross sectional design and conducted in November-December 2013. Samples were collected using accidental sampling, which then followed by multivariate analysis in order to see the influence of those variables. Based on the analysis results, approximately 43,5% (20 people) had complained of SBS. Afterward, the most influential of all SBS related factors was obtained, which was sex or gender factor (PR = 9.124). Thus, complaints of physical symptoms of SBS can be estimated with this variable. Therefore, female respondents of X building are advised to limit their activity in the area that may have been exposed to a prolonged run time of air conditioners, pollutants that being emitted from some building facilities, and cigarette fumes that circulated in the building or work space. For further research is expected to include other variables that were related to the complaints of SBS that has not been examined in this study, and conduct research using other ways of measuring the SBS also needed, in the aim of obtaining a comparison pictures of SBS complaints.
Keyword : Sick Building Syndrome, Research Respondents of X Building Reading list : 45 (1987-2011)
iii
DAFTAR RIWAYAT PENULIS
Nama
: Morrys Antoniusman
Tempat, Tanggal Lahir
: Jakarta, 12 Mei 1991
Alamat
: Jl.H.Bantong, Perumahan Lembah Ciliwung No.60, Desa Pasir Gunung Selatan , Depok-Jawa Barat
Agama
: Islam
Golongan Darah
: AB
No.Telp
: 08811390768
Email
:
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1996
-
1997
TK Kartika Chandra XII
1997
-
2003
SDN 06 Petang Kalisari Jaktim
2003
-
2006
SMPN 179 Jakarta
2006
-
2009
SMAN 98 Jakarta
2009
-
2014
S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, yang telah memberi kekuatan kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. Shalawat dan salam senantiasa penulis curahkan kepada Rosul tercinta, Nabi Muhammad saw yang telah membawa kebenaran yaitu Islam dan telah menjadi suri tauladan bagi umatnya. Skripsi ini disusun dalam rangka sebagai persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan Skripsi ini, penulis selalu mendapat motivasi, bantuan dan dukungan selama melaksanakan penyusunan Skripsi ini. Penulis sangat berterima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan Skripsi ini, diantaranya. Dibalik rasa syukur,dalam penulisan Skrispi ini penulis ingin mengucapkan terima kasih dengan tulus atas bimbingan serta dukungan kepada: 1. Orang tua yang membesarkan dan membimbing serta selalu memberikan doa, semangat dan motivasi untuk semua kelancaran dalam menempuh semua jejang pendidikan penulis sampai saat ini. 2. Beloved sister and brother, Jeshy Antoniusman, Gonzales Antoniusman dan Jhonny Antoniusman, yang telah rela mengalah dalam segala hal demi kelancaran perkuliahan penulis. vii
3. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M. K. Tadjudin, Sp. And. selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 4. Ibu Ir. Febrianti, M.Si, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Bapak Dr. Arif Sumantri, S.KM, M.Kes. selaku ketua Peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima kasih atas semua nasihat, saran, dan motivasinya terhadap penulis. 6. Ibu Ela Laelasari, SKm, M.Kkes, selaku dosen pembimbing skripsi I. 7. Ibu Dewi Utami Ultari, SKM, M.Kes, Ph.D, Selaku dosen pembimbing II. 8. Ibu Catur Rosidati, S.KM, Bapak dr. Gatot Sudiro Hendarto, Sp.P , dan Ibu Hoirunissa, Ph.D selaku penguji skripsi. 9. Ibu Yulianti S.Si, M.Biomed selaku kepala Pusat Laboratorium Terpadu UIN, Bu Dewi selaku Kepala Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN, dan Ka Novi selaku laboran Laboratorium Mikrobiologi FKIK UIN. 10. Bapak Zulkifli Rangkuti selaku dosen peminatan Kesehatan Lingkungan. Terima kasih atas semua kesempatan untuk mengenal dunia industri yang sebenarnya. 11. Seluruh staf Gedung X yang telah menerima dan membantu penulis selama penelitian berlangsung dan Bapak Andre selaku yang bertanggung jawab atas penelitian penulis di Gedung X. Terima kasih banyak atas bantuannya. 12. Bapak Deni yang telah menemani penulis saat turun lapangan sehingga penulis dapatkan kemudahan dalam pengambilan data. Terimakasih untuk segala bantuannya.
viii
13. Sahabat-sahabat Kesmas 2009 khususnya KL’09 (Nita, Ratna, Dilla, Fauziah, Ersa, Rudi, Agung, Morrys, Rahmi, Risma, Fauziah, Maya, Cita, Reni, Aan, Nisa, Tary, Yudi, dan Udin), Kimia’09 serta ENVIHSA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 14. Teman-teman di organisasi IPPA Edelweis 98, khususnya angkatan XIX; Ame, Alm. Indra, Iki, Ardo, Kipay, Frendy, Retno, Onny, Lina dan semuanya. Terimakasih atas segala support dan bantuannya selama ini. Kita saudara untuk selamanya. 15. Keluarga dari saudara seperjuangan Teguh Arifianto. Pakde, Bukde, Okoy, Mas Kelik, dan Mas Fendi. Terima kasih telah banyak membantu dan menemani penulis selama menyelesaikan skripsi ini. 16. Teman-teman naik gunung RAMPASER yang sering duduk dan saling bertukar pikiran Cako, Mbek, Jono, Tile, Anis, Babel, Nunu, dan Noeng, dan lain-lain. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan mengingat keterbatasan waktu, pengetahuan, dan lain-lain. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan untuk masa yang akan datang. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat untuk kita semua.
Jakarta, 30 April 2014
Penulis
ix
DAFTAR ISI HALAMAN LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. i ABSTRAK ............................................................................................................ ii ABSTRACT ........................................................................................................... iii LEMBAR PERSETUJUAN ................................................................................. iv LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... v RIWAYAT PENULIS .......................................................................................... vi KATA PENGANTAR .......................................................................................... vii DAFTAR ISI ......................................................................................................... x DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xv DAFTAR BAGAN ................................................................................................ xvi DAFTAR TABEL ................................................................................................ xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................... 1 1.2. Perumusan Masalah ............................................................................. 6 1.3. Pertanyaan Penelitian .......................................................................... 7 1.4. Tujuan Penelitian ................................................................................. 8 1.4.1. Tujuan Umum ......................................................................... 8
x
1.4.2. Tujuan Khusus ......................................................................... 8 1.5. Manfaat Penelitian ............................................................................... 9 1.5.1. Bagi Peneliti ............................................................................ 9 1.5.2. Bagi Institusi Akademik .......................................................... 9 1.5.3. Bagi Pengelola Gedung ........................................................... 9 1.6. Ruang Lingkup .................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Sick Building Syndrome (SBS) .......................................... 11 2.1.1. Gejala-Gejala SBS ................................................................... 12 2.1.2. Penyebab Kejadian SBS .......................................................... 15 2.1.3. Pencegahan SBS ...................................................................... 16 2.1.4. Pencemaran Udara ................................................................... 17 2.2. Kualitas Udara dalam Ruang ............................................................... 19 2.2.1. Kualitas Fisik ........................................................................... 21 2.2.2. Kualitas Kimia ......................................................................... 25 2.2.3. Kualitas Mikrobiologi ............................................................. 29 2.2.3.1. Bakteri ....................................................................... 30 2.3. Morfologi Bakteri ................................................................................ 41 2.4. Konstruksi Bangunan .......................................................................... 47 2.5. Kondisi Fisik Ruangan ........................................................................ 47 2.5.1. Sistem HV AC ......................................................................... 47 2.5.2. Kebersihan Ruang ................................................................... 50 2.6. Faktor Karakteristik Individu .............................................................. 51 2.6.1. Jenis Kelamin .......................................................................... 51 2.6.2. Usia .......................................................................................... 51 2.6.3. Status Gizi ............................................................................... 52
xi
2.6.4. Kebiasaan Merokok ................................................................. 53 2.6.5. Sensitifitas Karyawan Terhadap Asap Rokok ......................... 54 2.7. Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran ............. 55 2.8. Kerangka Teori .................................................................................... 58
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOSESIS 3.1. Kerangka Konsep ................................................................................ 59 3.2. Definisi Operasional ............................................................................ 61 3.3. Hipotesis .............................................................................................. 65
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1. Jenis Penelitian .................................................................................... 66 4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ............................................................... 66 4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .......................................................... 66 4.3.1. Rancangan Sampel .................................................................. 68 4.3.1.1. Perhitungan Jumlah Sampel ...................................... 68 4.3.1.2. Teknik Sampling ....................................................... 69 4.3.1.3. Penentuan Kasus Gejala Fisik SBS.............................70 4.4. Metode Pengumpulan Data ................................................................. 71 4.4.1. Sumber Data ............................................................................ 71 4.4.2. Instrumen Penelitian ................................................................ 72 4.5. Pengolahan Data .................................................................................. 78 4.5.1. Pengkodean ............................................................................. 78 4.5.2. Pengeditan Data ....................................................................... 79 4.5.3. Pembuatan Struktur Data dan File ........................................... 80 4.5.4. Pemasukan Data ...................................................................... 80 xii
4.5.5. Pembersihan Data .................................................................... 80 4.6. Analisis Data ....................................................................................... 80 4.6.1. Analisis Univariat .................................................................... 80 4.6.2. Analisis Bivariat ...................................................................... 81 4.6.3. Analisis Multivariat ................................................................. 81
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Gedung X................................................................ 82 5.2. Analisa Univariat ................................................................................. 83 5.2.1. Gambaran Gejala Fisik SBS .................................................... 83 5.2.1.1. Penentuan Kasus Sick Building Syndrome ................ 92 5.2.2. Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X .............................................................................................. 93 5.2.3. Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden ........................ 95 5.3. Analisa Bivariat ................................................................................... 97 5.3.1. Hubungan Antara Jumlah Bakteri Patogen Udara dalam Ruang Kerja dengan Gejala Fisik SBS ............................................... 98 5.3.2. Hubungan Antara Karaktristik Responden dengan Gejala Fisik SBS .......................................................................................... 99 5.3.2.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS ............................................................................ 100 5.3.2.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS ... 100 5.3.2.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS ............................................................................ 101 5.3.2.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS ................................................................... 101
xiii
5.4. Analisa Multivariat .............................................................................. 103 BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Keterbatasan Penelitian ....................................................................... 107 6.2. Gejala Fisik SBS pada Responden di Gedung X Tahun 2013 ............ 108 6.3. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara dalam Ruang Kerja dengan Gejala Fisik SBS ............................................................ 111 6.4. Faktor Demografi ................................................................................ 112 6.4.1. Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS .... 113 6.4.2. Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS .................. 114 6.4.3. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS.......... 115 6.4.4. Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala Fisik SBS ...................................................................... 116 6.4.5. Hubungan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS .......................................................................................... 118 6.5. Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS ....... 120
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan .............................................................................................. 125 7.2. Saran .................................................................................................... 126 7.2.1. Manajemen Gedung ................................................................ 126 7.2.2. Pengembangan Ilmu Pengetahuan .......................................... 127
DAFTAR PUSTAKA
xiv
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran I. Analisis Statistik Lampiran II. Kuisioner Lampiran III. Dokumentasi Lampiran IV. Surat Perizinan
xv
DAFTAR BAGAN Bagan 2.1. Kerangka Teori .................................................................................... 58 Bagan 3.1. Kerangka Konsep ................................................................................. 59 Bagan 4.1. Langkah-Langkah Penentuan Responden ............................................ 68
xvi
DAFTAR TABEL Tabel 2.1. Tabel Indeks Masa Tubuh ................................................................... 52 Tabel 2.2. Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal ............................................... 56 Tabel 2.3. Parameter Gas Pencemar ..................................................................... 57 Tabel 3.1. Definisi Operasional ............................................................................ 61 Tabel 5.1. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Jumlah Responden yang Mengeluhkan Gejala Fisik SBS ................................ 84 Tabel 5.2. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Lantai dan Perusahaan Tempat Responden Bekerja ....................................... 86 Tabel 5.3. Gejala-Gejala Fisik terhadap Gejala SBS yang Ada Berdasarkan Perusahaan Responden ........................................................................ 87 Tabel 5.4. Gejala Fisik yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Saat Bekerja di Dalam Gedung ................................................................................. 89 Tabel 5.5. Gejala yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Terakhir ............. 90 Tabel 5.6. Frekuensi Responden yang Masih Merasakan Gejala-gejala SBS Setelah Keluar Gedung, Ketika Berlibur/Cuti, dan Waktu Dimana Gejala-gejala SBS Dirasakan Karyawan .................................................................... 91 Tabel 5.7. Kapabilitas (Kemampuan/Kualitas) Responden yang Berkurang dan Responden yang Meninggalkan Pekerjaan Dalam Satu Bulan Terakhir Karena Gejala-Gejala Fisik SBS .......................................................... 91 Tabel 5.8. Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gejala Fisik SBS ........... 92 Tabel 5.9. Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara ............................... 94
xvii
Tabel 5.10.1. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Jenis Kelamin Karyawan ........................................................ 95 Tabel 5.10.2. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Kebiasaan Merokok dalam Ruangan ..................................... 96 Tabel 5.10.3. Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Umur dalam Ruangan ............................................................. 96 Tabel 5.10.4. Gambaran Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Karyawan Sesuai Status Gizi dalam Ruangan .................................................... 97 Tabel 5.11. Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang Kerja Dengan Gejala Fisik SBS .......................................................... 98 Tabel 5.12. Hubungan Antara Karakteristik Responden (Jenis Kelamin, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan Gejala Fisik SBS .................................................................................. 99 Tabel 5.13. Hasil Analisis Bivariat antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan SBS ...................................................... 104 Tabel 5.14. Hasil Analisis Multivariat Pembuatan Model Variabel Independen dengan Keluhan SBS ....................................................................................... 105 Tabel 5.15. Hasil Akhir Analisis Permodelan Independen .................................... 106 Tabel. 5.16. Hasil Akhir Multivariat dengan Gejala SBS ...................................... 104
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1.
Bentuk-Bentuk Bakteri Basil ....................................................... 45
Gambar 2.2.
Bentuk-Bentuk Bakteri Kokus ..................................................... 46
Gambar 2.3.
Bentuk-Bentuk Bakteri Spiral ...................................................... 46
xix
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Udara bersih merupakan hak dasar seluruh masyarakat yang tidak hanya untuk pemenuhan kebutuhan vital untuk bernapas akan tetapi juga udara yang memenuhi syarat kesehatan berpijak pada kebutuhan masyarakat akan udara bersih sehat ini, program pengendalian pencemaran udara menjadi salah satu dari sepuluh program unggulan dalam pembangunan kesehatan Indonesia 2010 (Esi, 2010). Bangunan gedung bertingkat merupakan sarana yang vital sebagai tempat melakukan segala aktivitas baik untuk sebagai kantor, pusat perbelanjaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, gedung bertingkat yang ada saat inipun dibuat semakin modern dengan berbagai fasilitas yang lengkap demi menunjang pesatnya laju pertumbuhan pembangunan. Berbagai kelengkapan fasilitas yang ada terkadang dibuat tanpa mengindahkan kesehatan dan kenyamanan para pekerja yang ada di dalamnya. Studi tentang pengukuran kualitas udara di dalam gedung dan sarana tranportasi telah menunjukan bahwa konsentrasi pencemar udara dalam ruangan cenderung lebih tinggi dibandingkan di luar ruangan. Udara di dalam ruangan terdiri dari campuran yang kompleks (NRC, 1991; Spengler dan Sexton, 1983; Samet dan Spengler, 2003; Gold, 1992).
1
Ruangan merupakan suatu tempat aktifitas manusia, hampir 90% waktu yang dihabiskan manusia di dalam ruangan, jauh lebih lama dibandingkan di udara terbuka. Beberapa penelitian telah menunjukan di mana udara dalam ruangan sering kali lebih kotor atau lebih tinggi zat pencemarnya dibandingkan udara di luar (Codey, 2004). Menurut US. EPA (1995), udara dalam ruangan 5 kali lebih kotor daripada di luar ruangan. Suatu lingkungan kerja dengan kualitas udara dalam ruangan yang tidak terawat dapat menimbulkan gangguan kesehatan yang akan berdampak pada menurunnya produktivitas dan meningkatkan absen kerja serta peningkatan biaya perawatan kesehatan bagi perusahaan (Splenger et al., 2004; Brightman dan Moss, 2004). Menurut Badan Kependudukan Nasional (BAKNAS) pada tahun 2001, di seluruh dunia diperkirakan 2,7 juta jiwa meninggal diakibatkan indoor pollution atau polusi udara di dalam ruangan. Kualitas udara dalam ruang selain dipengaruhi oleh keberadaan agen abiotik juga dipengaruhi oleh agen biotik seperti partikel debu, dan mikroorganisme termasuk di dalamnya bakteri, jamur, virus dan lain –lain (Salo, et al 2006 dalam Esi, 2010). Keberadaan mikroorganisme dalam ruangan umumnya dalam bentuk spora jamur terdapat pada tempat-tempat seperti sistem ventilasi, karpet yang bisa menimbulkan kesakitan pada beberapa orang yaitu menyebabkan alergi. Selain itu kelembaban sebagai pemicu tumbuhnya bakteri dan jamur juga berhubungan secara
2
signifikan terhadap kejadian alergi pada anak-anak usia prasekolah (Bornehag, 2005 dalam Esi, 2010). Berbagai keluhan dan gejala yang timbul saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisinya membaik setelah keluar dari gedung, kemungkinan karena menderita Sick Bulding Syndrome (SBS). Kasus SBS tidak menunjukan gejala yang khas dan secara obyektif tidak dapat diukur. Gejalanya berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai masalah pernapasan. Keluhan lain yang sering dijumpai adalah batuk kering, migrain, sakit kepala, mata memerah, kembung pada bagian perut dan lain sebagainya. Gejala tersebut sulit dicari penyebab yang nyata dan akan dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004). Empat faktor utama yang mempengaruhi SBS adalah faktor fisik seperti suhu, kelembaban, ventilasi, pencahayaan dan ergonomik. Faktor kimia seperti merokok dalam ruangan, gas-gas CO2, CO, NO2 dan SO2, bau. Faktor biologi ialah bakteri dan jamur. Faktor psikologis seperti kondisi kejiwaan (stres, hubungan antara atasan dan rekan kerja dan kesiapan bekerja/pribadi) (European Concerted Action, 1989 dan Utomo, 1995). SBS yaitu kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara ruangan. Gejala-gejala tersebut seperti pilek, hidung tersumbat, bersin-bersin, rongga mulut sakit, rongga mulut kering, badan panas dingin, mual, tidak nafsu makan, lesu,
3
kelelahan, pegal-pegal anggota tubuh dan kulit gatal. Penilaian Indoor Air Quality (IAQ) pada beberapa perkantoran menggunakan pendingin ruangan (AC) di Hongkong (Ooi, 1998) menyebutkan bahwa kontribusi terbesar yang menyebabkan ketidaknyamanan adalah Total Volatile Organic Compounds (TVOC), Indoor airbone fungi count diidentifikasi terdapat pada beberapa ruang publik pada penelitian di Taiwan yaitu dari beberapa jenis bakteri Staphylococcus spp., Micrococcus spp., Corynebacterium spp., dan Aspergillus spp (Li, 2009). Meskipun dari jumlah koloni yang berhasil ditemukan masih berada di bawah ambang batas, akan tetapi keberadaan jenis bakteri dan jamur di udara ini perlu diwaspadai untuk mengantisipasi kejadian SBS. Bakteri patogen yang menjadi salah satu faktor penyebab gejala SBS sering menyebabkan rinitis alergi dan asma bronkial. Mikroorganisme bermacam tipe bakteri patogen dapat mengkontaminasi sistem pendingin atau pemanas udara sentral dan dapat menyebabkan pneumonitis hipersensitivitas dan humidifier fever. Pneumonitis hipersentivitas menyebabkan inflamasi di alveoli dan bronkiolus akibat dari respons imun terhadap organisme tersebut. Pajanan dalam waktu lama dapat menyebabkan fibrosis paru. Humidifier fever menyebabkan gejala demam, nyeri sendi dan nyeri otot. Sering terjadi pada musim dingin dan hilang ketika orang tersebut tidak terpajan organisme tersebut kembali (Lyles et al., 1991). Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia/Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (IAKMI/KFMUI) melakukan penelitian terhadap 350
4
karyawan dari 18 perusahaan di wilayah DKI Jakarta selama Juli-Desember 2008. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, 50% karyawan yang bekerja di dalam gedung perkantoran mengalami SBS (Guntoro, 2008). Beberapa penelitian tentang SBS menunjukan bahwa faktor demografi seperti umur, jenis kelamin, status gizi serta gaya hidup berpengaruh terhadap kejadian SBS. Penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya (NIOSH, 1989). Sedangkan pada penelitian yang dilakukan Esi Lisyastuti tahun 2010 menyatakan bahwa jenis kelamin wanita memiliki resiko lebih besar dibanding pria. Sebanyak 70% dari jumlah karyawan wanita mengalami SBS (Esi, 2010). Gedung X merupakan gedung perkantoran bertingkat yang didesain dengan jendela tertutup dan ventilasi buatan (air conditioning) yang menyebabkan gangguan sirkulasi udara dan tidak sehatnya udara dalam gedung. Halaman gedung yang digunakan sebagai tempat parkir kendaraan bermotor dapat dikatakan relatif dekat dengan sumber polusi udara luar gedung. Menurut Heimlich (2008), pada bangunan yang tertutup udara tidak dapat bergerak secara bebas dan polutan dapat terakumulasi di dalam ruangan. Kondisi tersebut dapat memicu kuman dan zat kimia beracun yang ada dalam gedung untuk
5
bereaksi, sehingga kualitas udara dalam ruangan menjadi buruk dan dapat menimbulkan kejadian SBS. Untuk itu, pada penelitian ini peneliti bermaksud untuk meneliti hubungan antara jumlah koloni mikroorganisme di udara dalam ruangan dan faktor demografi dengan kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X tahun 2013. 1.2 Perumusan Masalah Kualitas udara dalam ruangan dipengaruhi antara lain kondisi bangunan, elemen interior, fasilitas pendingin ruangan, pencemar kimia dan pencemar biologi. Buruknya kualitas udara dalam ruang akibat keberadaan pencemar biologi yaitu bakteri yang ditengarai menjadi salah satu sebab kejadian SBS. Kondisi kesakitan akibat mikroba udara dalam ruangan bersifat akut akan tetapi bisa mengganggu penghuni dalam ruangan khususnya responden penelitian. Parameter untuk mengukur kualitas udara dalam ruangan adalah parameter fisik (debu/partikulat), kimia (zat-zat beracun yang terdapat dalam ruangan gedung), dan biologi (jamur dan bakteri). Dari ketiga parameter di atas, faktor biologi yang berupa kontaminasi
mikroba
di
udara
berdasarkan
penelitian
NIOSH
dan
EPA
mempengaruhi 5% pencemaran udara dalam ruangan (NIOSH, 1997). Gedung X menggunakan pendingin ruangan Air Conditioner (AC) Central yang rawan menjadi faktor penyebarluasan bakteri udara dalam ruang. Selain itu belum pernah dilakukan pengukuran kualitas bakteriologis udara dalam ruangan di gedung
6
tersebut dan gedung X tidak memiliki data mengenai kejadian gejala fisik SBS menjadi alasan untuk melakukan penelitian tentang faktor mikrobiologi dikaitkan dengan kejadian gejala fisik SBS.
1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan kerja responeden penelitian di gedung X 2. Bagaimana distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian di gedung X, yaitu jenis kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sesnitivitas responden terhadap asap rokok. 3. Bagaimana distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X. 4. Bagaimana hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X 5. Bagaimana hubungan faktor demografi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X yaitu jenis kelamin responden, umur, status gizi, kebiasaan merokokdalam ruang, dan sensitivitas terhadap asap rokok. 6. Faktor apakah yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.
7
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dan faktor demografi terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui berapa jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan kerja responden penelitian di gedung X 2. Mengetahui distribusi frekuensi faktor demografi responden penelitian di gedung X, yaitu jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas responden terhadap asap rokok 3. Mengetahui distribusi frekuensi kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian gedung X 4. Mengetahui hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan gejala fisik SBS pada pekerja di gedung X 5. Mengetahui hubungan faktor demografi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian gedung X, yaitu jenis kelamin responden penelitian, umur, status gizi, kebiasaan merokok dalam ruang, dan sensitivitas terhadap asap rokok. 6. Mengetahui faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X.
8
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Peneliti Peneliti
mampu
melakukan
pengukuran
parameter
biologi
untuk
menentukan kualitas udara dalam suatu ruangan gedung perkantoran dan menghubungkannya dengan gejala-gejala fisik SBS pada responden di dalam gedung. 1.5.2 Bagi Institusi Akademik Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dijadikan acuan terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keilmuan Kesehatan Lingkungan khususnya dalam topik pengaruh kualitas udara dalam ruangan terhadap kejadian gejala fisik SBS. 1.5.3 Bagi Pengelola Gedung Memberikan gambaran gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X dalam meningkatkan mekanisme mengkaji dan melakukan evaluasi untuk perbaikan berkelanjutan dalam perencanaan pengelolaan program perbaikan lingkungan bekerja khususnya kualitas udara dalam ruang.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini dilakukan pada responden penelitian di gedung X. Desain penelitian yang digunakan adalah Cross Sectional. Dari ketiga parameter kualitas udara dalam ruangan (parameter fisika, kimia, biologi) peneliti mengkhususkan pada
9
parameter biologi yaitu pengukuran jumlah koloni bakteri patogen dengan pengambilan sampel satu gedung dan hasilnya dibandingkan dengan standar baku mutu yang berlaku secara nasional menurut Kepmenkes No.1405 tahun 2002, dan dihubungkan dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung tersebut. Sebagai pendukung, peneliti menggunakan data primer, yaitu hasil pengukuran jumlah koloni bakteri pada titik pengambilan sampel, wawancara dengan pihak teknisi gedung mengenai yang karakteristik gedung, sistem ventilasi digunakan dan frekuensi pembersihannya, serta kuesioner yang disebarkan ke responden penelitian. Selain itu, peneliti juga mengumpulkan data sekunder yang berupa data hasil observasi dan denah gedung.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Sick Building Syndrome (SBS) SBS adalah sekumpulan gejala yang dialami oleh penghuni gedung atau bangunan, yang dihubungkan dengan waktu yang dihabiskan di dalam gedung, tetapi tidak terdapat penyakit atau penyebab khusus yang dapat diidentifikasi. SBS adalah keadaan yang menyatakan bahwa gedung-gedung industri, perkantoran, perdagangan, dan rumah tinggal memberikan dampak penyakit dan merupakan kumpulan gejala yang dialami oleh pekerja dalam gedung perkantoran berhubungan dengan lamanya berada di dalam gedung serta kualitas udara (Heimlich, 2008). Environmental Protection Agency (EPA) tahun 1991 mengatakan sindrom ini timbul berkaitan dengan waktu yang dihabiskan seseorang dalam sebuah bangunan, namun gejalanya tidak spesifik dan penyebabnya tidak bisa diidentifikasi. SBS adalah suatu kondisi yang berhubungan dengan keluhan ketidaknyamanan seperti pusing, mual, dermatitis, iritasi saluran tenggorokan, hidung, mata dan saluran pernapasan, batuk, sulit konsentrasi, mual terhadap bau-bau, sakit/pegal otot-otot dan letih (Nasri, dkk, 1998). SBS mulai diperkenalkan di era tahun 1980-an. Istilah SBS dikenal juga dengan High Building Syndrome (HBS) atau Nonspecific Building-Related Symptoms (BRS). Dari penelitian yang dilakukan oleh NIOSH pada tahun 1978-1988, SBS dapat ditemukan pada gedung perkantoran ataupun pada gedung-gedung biasa dengan karakteristik kualitas udara yang buruk. SBS identik dengan sindrom gedung tinggi
11
(High Building Syndrome) karena kejadiannya terjadi pada gedung-gedung pencakar langit. Namun NIOSH melalui kajian-kajiannya pada rentang waktu tersebut menemukan fakta bahwa kejadian SBS dialami juga oleh gedung perkantoran non pencakar langit yang karakteristik kualitas udara ruangannya buruk (NIOSH, 1989., Perry & Gee, IL., 1995). 2.1.1 Gejala-gejala SBS Berbagai keluhan dan gejala yang timbul pada saat seseorang berada di dalam gedung dan kondisi membaik setelah tidak berada di dalam gedung besar kemungkinan karena menderita SBS. Kasus-kasus SBS memang tidak menunjukan gejala-gejala yang khas dan secara objektif tidak dapat diukur. Keluhan dan tanda berupa sakit kepala, lesu, iritasi mata maupun kulit serta berbagai problem pernapasan, seringkali sulit diperoleh penyebab yang nyata dan kadang-kadang dihubungkan dengan SBS apabila terdapat riwayat tinggal di gedung dengan kualitas ruangan yang buruk (Anies, 2004). Pada umumnya gejala dan gangguan SBS berupa penyakit yang tidak spesifik, tetapi menunjukan standar tertentu, misalnya beberapa kali seseorang dalam jangka waktu tertentu menderita gangguan saluran pernafasan. Keluhan itu hanya dirasakan pada saat bekerja di gedung dan menghilang secara wajar pada akhir minggu atau hari libur. Keluhan tersebut lebih sering dan lebih bermasalah pada individu yang mengalami perasaan stress, kurang diperhatikan dan kurang mampu dalam mengubah situasi pekerjaannya (EPA, 1998).
12
EPA (1991) membagi keluhan SBS antara lain sakit kepala, iritasi mata, iritasi hidung, iritasi tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau iritasi kulit, kepala pusing, sukar berkonsentrasi, cepat lelah atau letih dan sensitif terhadap bau dengan gejala yang tidak dikenali dan kebanyakan keluhan akan hilang setelah meninggalkan gedung. Menurut Aditama (2002), membagi keluhan atau gejala dalam tujuh kategori sebagai berikut: 1. Iritasi selaput lendir, seperti iritasi mata, pedih, merah dan berair 2. Iritasi hidung, seperti iritasi tenggorokan, sakit menelan, gatal, bersin, batuk kering 3. Gangguan neurotoksik (gangguan saraf/gangguan kesehatan secara umum), seperti sakit kepala, lemah, capai, mudah tersinggung, sulit berkonsentrasi 4. Gangguan paru dan pernafasan, seperti batuk, nafas bunyi, sesak nafas, rasa berat di dada 5. Gangguan kulit, seperti kulit kering, kulit gatal 6. Gangguan saluran cerna, seperti diare 7. Gangguan lain-lain, seperti gangguan perilaku, gangguan saluran saluran kering, dll. Indikator SBS yang dikutip dari EPA Indoor Air Facts No. 4 (1991): a. Pekerja dalam gedung mengeluhkan gejala-gejala ketidaknyamanan akut seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, batuk kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan berkonsentrasi, lelah dan bau 13
b. Penyebab dari gejala-gejala tidak diketahui c. Kebanyakan pekerja sembuh setelah meninggalkan gedung SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30% responden di dalam gedung (WHO, 2005). Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria WHO terdiri dari: - Iritasi mata, flu tenggorokan - Kekeringan membran mukosa/bibir - Kulit kering, merah dan gatal-gatal - Sakit kepala dan mental fatigue Seseorang dikatakan terkena gejala SBS apabila menderita 2/3 dari sekumpulan gejala seperti lesu, hidung tersumbat, kerongkongan kering, sakit kepala, kulit gatal-gatal, mata pedih, mata kering, mata tegang, pilek, pegal pegal, sakit leher/punggung dalam waktu bersamaan. Seseorang disebut terkena SBS apabila terdapat lebih dari 20%-50% responden mempunyai keluhan tersebut di atas. Akan tetapi apabila hanya 2-3 orang, maka kejadian tersebut hanya diindikasikan flu biasa (Aditama, 1991). Menurut Brinke (1995) orang dikatakan terkena gejala SBS apabila memiliki satu atau lebih gejala yang sedikitnya satu kali dialami dalam satu minggu. Seseorang dikatakan terjangkit SBS apabila gejala muncul lebih dari dua kali per minggu selama jam kerja dan pulih setelah meninggalkan gedung (Finnegan dalam Isyana Dewi, 2005).
14
Faktor-faktor pada kondisi ruangan yang potensial menjadi penyebab timbulnya SBS antara lain penurunan kualitas udara dalam ruang, kepadatan manusia, bahan material ruangan, dekorasi interior, sistem ventilasi dan pernapasan, keberadaan jamur dan bakteri, gas berbahaya dan radiasi (Godish, 1989. Moseley, 1990. Roe FJC, 1994). Salah satu keluhan yang biasanya muncul adalah kulit kering, khususnya terjadi pada pekerja perempuan. Keluhan ini dapat dimasukkan ke dalam gejala SBS apabila pekerja merasa sembuh setelah libur atau tidak masuk gedung dalam jangka waktu yang lama. Penyebab kekringan pada kulit biasanya adalah udara kering yang panas atau AC yang berlebihan sehingga menyebabkan beberapa macam dermatitis/penyakit kulit. Selain kekeringan, iritasi atau kulit keriput pun dapat terjadi dikarenakan pajanan/kontaminasi dari bahan-bahan tertentu. Selain itu, SBS juga dapat memperburuk penyakit dan masalah kesehatan yang telah ada, seperti sinusitis dan eczema, tetapi kedua penyakit tersebut tidak dimasukkan dalam gejala-gejala SBS yang umum terjadi (Burroughts, 2004). 2.1.2 Penyebab Kejadian SBS Kualitas udara, ventilasi, pencahayaan serta penggunaan bahan kimia di dalam gedung merupakan penyebab yang sangat potensial bagi timbulnya SBS (Burge, 1987). Kondisi semakin buruk jika gedung yang bersangkutan menggunakan AC yang tidak terawat dengan baik (Apter et al., 1994). European Concerted Action (1989) membagi ke dalam 4 faktor utama penyebab SBS yaitu; 15
a. Faktor fisik meliputi suhu, kelembaban, ventilasi, pencahayaan, kebisingan, dan getaran, ion-ion dan debu (partikel atau serta). b. Faktor kimia meliputi merokok dalam ruangan, formaldehid, volatile organic compounds, bioaerosol, gas-gas seperti CO, NO2, O3, SO2 dan bau c. Faktor biologi meliputi keberadaan jamur dan bakteri di udara dalam ruang. d. Faktor psikologis meliputi stress dan beban kerja. 2.1.3 Pencegahan SBS Pencegahan SBS harus dimulai sejak perencanaan sebuah gedung, penggunaan bahan bangunan mulai pondasi bangunan, dinding, lantai, penyekat ruangan, bahan, perekat (lem) dan cat dinding yang dipergunakan, tata letak peralatan yang mengisi ruangan sampai operasional peralatan tersebut perlu kewaspadaan dalam penggunaan bahan bangunan, terutama yang berasal dari hasil tambang, termasuk asbes. Dianjurkan agar gedung didesain berdinding tipis serta memiliki ventilasi yang baik. Pengurangan konsentrasi sejumlah gas, partikel dan mikoorganisme di dalam ruangan, dapat dilakukan dengan pemberian tekanan yang cukup besar di dalam ruangan. Peningkatan sirkulasi udara seringkali mejadi upaya yang sangat efektif untuk mengurangi polusi di dalam ruangan (Anies, 2004). Bahan-bahan kimia tertentu yang merupakan polutan yang sumbernya berada dalam ruangan seperti bahan perekat, bahan pembersih, pestisida dan lain sebagainya sebaiknya diletakkan di dalam ruangan khusus yang berventilasi atau ruang kerja. Untuk ruangan yang menggunakan karpet untuk pelapis dinding atau 16
lantai secara rutin harus dibersihkan dengan penyedot debu apabila dianggap perlu dalam jangka waktu tertentu dilakukan pencucian, demikian juga untuk pembersihan AC harus secara rutin dibersihkan (Anies, 2004). Hindari pula menyalakan AC secara terus menerus. AC perlu dimatikan supaya kuman tidak berkembang biak di tempat lembab. Ketika AC mati, jendela-jendela perlu dibuka lebar-lebar agar sinar matahari masuk ke dalam ruangan, karena panas matahari akan membunuh sebagian besar kuman (Hidayat, 2005). Tata letak peralatan elektronik memegang peranan penting. Tata letak terkait dengan jarak pajanan peralatan yang menghasilkan radiasi elektromagetik tidak hanya dipandang dari segi ergonomik, tetapi juga kemungkinan dapat menimbulkan SBS (Anies, 2004). 2.1.4 Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah kehadiran satu atau lebih substansi fisik, kimia, atau biologi di atmosfer dalam jumlah yang dapat membahayakan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan, mengganggu estetika dan kenyamanan, atau merusak properti. Definisi lain dari pencemaran udara adalah peristiwa pemasukan dan/atau penambahan senyawa, bahan, atau energi ke dalam lingkungan udara akibat kegiatan alam dan manusia sehingga temperatur dan karakeristik udara tidak sesuai lagi untuk tujuan pemanfaatan yang paling baik. Atau dengan singkatan dapat dikatakan bahwa nilai lingkungan udara tersebut telah menurun (Hutagalung, 2008).
17
Bedasarkan Peraturan Pemerintah RI No.40 tahun 1999 mengenai Pengendalian Pencemaran Udara, yang dimaksud dengan pencemaran udara adalah masuknya atau dimaksudnya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambient turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambient tidak memenuhi fungsinya. a.
Sumber Pencemar Udara Industri dianggap sebagai sumber pencemar karena aktivitas industri
merupakan kegiatan yang sangat tampak dalam pembebasan berbagai senyawa kimia ke lingkungan. Sebagian jenis gas dapat dipandang sebagai pencemar udara apabila konsentrasi gas tersebut melebihi tingkat konsentrasi normal dan dapat berasal dari sumber lain sperti gunung api, rawa-rawa, kebakaran hutan, dan nitrifikasi dan denitrifikasi biologi serta berasal
dari
kegiatan
manusia
(anthropogenic
sources)
seperti
pengangkutan, transportasi, kegiatan rumah tangga, industri, pembangkitan daya yang menggunakan bahan bakar fosil, pembakaran sampah, pembakaran sisa pertanian, pembakaran hutan, dan pembakaran bahan bakar (Hutagalung, 2008). Pengelompokan ini sesuai dengan klasifikasi sumber pencemar udara yang ditetapkan oleh WHO tahun 2005, yaitu: 1.
Sumber berupa titik (point sources) yang berasal dari sumber individual menetap dan dibatasi oleh luas wilayah kurang dari 1x1 km2 termasuk di dalamnya industri dan rumah tangga; 18
2.
Garis (lines sources) adalah sumber pencemaran udara yang berasal dari kendaraan bermotor dan kereta;
3.
Area (area sources) adalah sumber pencemaran yang berasal dari sumber titik tetap maupun sumber garis. Pencemar udara dilepaskan sebagai polutan primer, maupun polutan
sekunder yang terbentuk akibat reaksi yang terjadi di udara. Polutan primer adalah polutan yang dilepaskan ke udara dari sumbernya seperti cerobong pabrik atau kenalpot kendaraan bermotor, yang termasuk polutan primer adalah sulfur dioksida, oksida nitrogen, karbon monoksida, senyawa volatile organik, partikel karbon dan nonkarbon. Polutan sekunder terbentuk di udara akibat reaksi dari polutan primer, yang dapat melibatkan unsur alami di alam yaitu oksigen dan air. Yang termasuk polutan skunder adalah ozon, oksida nitrogen dan bahan partikel sekunder (WHO, 2005). Berdasarkan tempat karakteristik pencemaran udara dibedakan menjadi pencemaran udara di luar ruangan dan di dalam ruangan. Pencemaran udara di dalam ruangan dapat terjadi di dalam rumah, sekolah maupun tempat kerja (Sudrajat, 2005).
2.2 Kualitas Udara Dalam Ruang Kualitas udara dalam ruangan adalah istilah yang mengacu pada kualitas udara di dalam dan di sekitar bangunan dan struktur, terutama yang berkaitan dengan kesehatan dan kenyamanan penghuni bangunan. Kualitas udara dalam ruang dapat 19
dipengaruhi oleh gas (karbon monoksida, radon, senyawa organik yang mudah menguap), partikulat, kontaminan mikroba (jamur, bakteri) atau massa atau energi stressor yang dapat menimbulkan kondisi yang merugikan kesehatan. Penggunaan ventilasi
untuk
mencairkan
kontaminan
merupakan
metode
utama
untuk
meningkatkan kualitas udara dalam ruangan gedung (EPA, 1998). Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas udara dalam ruang adalah aktivitas penghuni ruangan, material bangunan, furnitur dan peralatan yang ada di dalam ruang, kontaminasi pencemar dari luar ruang, pengaruh musim, suhu dan kelembaban udara dalam ruang serta ventilasi (Hardin dan Tinlley, 2003). Sedangkan menurut US-EPA (1995) ada empat elemen yang berpengaruh dalam indoor air quality yaitu: 1. Sumber yang merupakan asal dari dalam, luar atau dari sistem operasional mesin yang berada dalam ruangan 2. Heating Ventilation and Air Conditioning System (HVAC) 3. Media yaitu berupa udara 4. Pekerja yang berada dalam ruangan tersebut mempunyai riwayat pernapasan atau alergi. Dalam Indoor Air Quality Handbook (Spengler, et al 2000), SBS dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan. Faktor-faktor tersebut meliputi: 1. Suhu dan kelembaban 2. Konsentrasi partikulat 3. Konsentrasi VOC 20
4. Konsentrasi gas (NO2, CO2,CO, dll) 5. Jumlah mikroorganisme (jamur dan bakteri). 2.2.1 Kualitas Fisik a. Suhu Udara Suhu udara sangat berperan dalam kenyamanan bekerja karena tubuh manusia menghasilkan panas yang digunakan untuk metabolisme basal dan muskeler. Suhu udara ruang kerja yang terlalu dingin dapat menimbulkan gangguan bekerja bagi karyawan, yaitu gangguan konsentrasi di mana karyawan
tidak
bekerja
dengan
tenang
karena
berusaha
untuk
menghilangkan rasa dingin (Prasasti, dkk, 2005). Namun dari semua energi yang dihasilkan tubuh hanya 20% saja yang dipergunakan dan sisanya akan dibuang ke lingkungan. Menurut Standar Baku Mutu sesuai Kepmenkes No.261, suhu yang dianggap nyaman untuk suasana bekerja adalah 18-26 o
C. Kualitas udara dalam ruang tidak hanya dipengaruhi oleh adanya
pencemaran tetapi juga dipengaruhi oleh adanya udara panas. Udara yang panas dapat menurunkan kualitas udara dalam ruang dan mempengaruhi kenyamanan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruang tersebut (Pudjiastuti, dkk, 1998). Peningkatan suhu di atas 230 C dengan gejala SBS juga merupakan penemuan yang konsisten. Terdapat hubungan antara peningkatan temperatur, overcrowding, dan ventilasi yang tidak memadai dengan gejala 21
SBS pada studi Burge tahun 2004, tetapi kompleksitas ini dapat menyebabkan hubungan suhu dengan SBS menjadi rumit untuk ditarik sebagai faktor penyebab. Suma’mur (1997) menyatakan bahwa suhu dingin dapat mengurangi efisiensi dengan timbulnya keluhan kaku ataupun kurangnya koordinasi otot sedangkan kondisi udara yang panas dapat menurunkan prestasi kerja, kualitas udara dalam ruangan dan mempengaruhi kenikmatan manusia yang tinggal atau bekerja dalam ruangan tersebut. Menurut Walton (1991), suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Lennihan dan Fletter (1989), mengemukakan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran napas oleh agen yang menular. Pada lingkungan yang ada di dalam ruangan, sekitar 25% dari panas tubuh diemisikan oleh transpirasi. Sebagai temperatur udara ambien dan meningkatnya aktifitas metabolisme, transpirasi ditandai dengan tingginya kelembaban relatif, sehingga menghasilkan panas yang tidak nyaman. Dengan kata lain udara kering pada temperatur rendah sampai dengan
22
normal membuat kehilangan transpirasi dan mengakibatkan dehidrasi (Pudjiastuti, 1998). b. Kelembaban Udara Air bukan merupakan polutan, namun uap air merupakan pelarut berbagai polutan dan dapat mempengaruhi konsentrasi polutan di udara. Uap air dapat menumbuhkan dan mempertahankan mikroorganisme di udara dan juga dapat melepaskan senyawa-senyawa volatile yang berasal dari bahan bangunan seperti formaldehid, amonia dan senyawa lain yang mudah menguap, sehingga kelembaban yang tinggi melarutkan senyawa kimia lain lalu menjadi uap dan akan terpajan pada pekerja (Fardiaz, 1992). Ruang yang lembab dan dinding yang basah akan sangat tidak nyaman dan mengganggu kesehatan manusia (Pudjiastuti, dkk, 1998). Kelembaban dan suhu yang ekstrim juga menjadi media pertumbuhan beberapa jenis bakteri dan jamur. Sebagai contoh jamur dapat tumbuh dalam suasana anaerob dengan kelembaban udara lebih dari 65% (Suma’mur, 1997). Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 2002). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu: 1) Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2) Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur tersebut.
23
Secara
umum
penilaian
kelembaban
dalam
ruang
dengan
menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam ruang kerja adalah 40-60% dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah <40% atau >60% (Depkes RI, 2002). Kelembaban
yang
relatif
tinggi
antara
25%-75%
langsung
mempengaruhi tingkat spora jamur, dan terjadi pula peningkatan pertumbuhan pada permukaan penyerapan air (Pudjiastuti, dkk, 1998). Kelembaban yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme (Prasasti, dkk, 2005). Kelembaban udara dalam ruangan sangat tergantung pada suhu udara luar. Kelembaban udara yang sesuai standar kualitas udara dalam ruangan tidak terbukti menunjukkan hubungan SBS (Burge, 2004). Terdapat banyak faktor yang menentukan kelembaban baik atau buruk. Baik humidifiers, maupun dehumidifiers ternyata dapat juga menjadi potensi masalah, yaitu air yang terbuang dapat menjadi stagnant sehingga dapat menjadi penyebab peningkatan gejala SBS. Pada banyak gedung, chillers terdapat di roof top sehingga perawatannya menjadi sulit (Burge, 2004). Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran, sedangkan kelembaban yang tinggi akan meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme. Standar 24
Baku Mutu kelembaban udara menurut Kepmenkes No. 261 adalah 4060% (Mukono, 2005). 2.2.2 Kualitas Kimia a. Konsentrasi Partikulat Partikel debu dalam emisi gas buang terdiri dari bermacam-macam komponen. Bukan hanya berbentuk padatan tapi juga berbentuk cairan yang mengendap dalam partikel debu. Pada proses pembakaran debu terbentuk dari pemecahan unsur hidrokarbon dan proses oksidasi setelahnya. Dalam debu tersebut terkandung debu sendiri dan beberapa kandungan metal oksida. Dalam proses ekspansi selanjutnya di atmosfir, kandungan metal dan debu tersebut membentuk partikulat. Beberapa unsur kandungan partikulat adalah karbon, SOF (Soluble Organic Fraction), debu, SO4, dan H2O. Sebagian benda partikulat keluar dari cerobong pabrik sebagai asap hitam tebal, tetapi yang paling berbahaya adalah butiranbutiran halus sehingga dapat menembus bagian terdalam paru-paru. Diketahui juga bahwa di beberapa kota besar di dunia perubahan menjadi partikel sulfat di atmosfir banyak disebabkan karena proses oksida oleh molekul sulfur. (Bapedal, 2002). Particulate Matter (PM) terdiri dari berbagai jenis komponen termasuk diantaranya nitrat, ammonia, karbon, air, debu mineral, dan garam. PM terdiri dari campuran kompleks antara padatan dan cairan baik organik maupun anorganik. PM berefek negatif terhadap lebih banyak 25
orang dibandingkan polutan lainnya. Partikulat dikategorikan berdasarkan ukuran diameter aerodinamisnya. Pembagian tersebut diantaranya adalah PM10 (Partikulat dengan diameter aerodinamis <10 μm) dan PM 2,5 (Partikulat dengan diameter aerodinamis <2,5 μm). PM 2,5 memiliki bahaya yang lebih tinggi dibandingkan dengan PM 10. Hal ini disebabkan karena PM 2,5 dapat berpenetrasi dan memberikan efek sampai dengan daerah bhronkiolus pada paru-paru. Paparan terhadap partikulat berkontribusi terhadap peningkatan resiko terkena peningkatan resiko terkena penyakit kardiovaskular dan pernafasan, bahkan berkontribusi terhadap peningkatan resiko kanker paru. Kadar PM 10 dalam ruangan berdasarkan OSHA PEL-TWA ( Occupational Safety and Health Administration; Permissible Exposure Limit-Total Weight
Average) dan ACGIH TLV-TWA (American Conference of Governmental Industrial Hygienists; Threshold Limit Values – Total Weight Average) berturut-
turut adalah 0,15 mg/m³ dan 0,10 mg/m³. Di Indonesia khususnya di Jakarta Per Gub DKI Jaya No 54/2008 mensyaratkan kadar PM 10 maksimal dalam ruangan sebesar 90 μg/m³. Sedangkan EPA (1997) menetapkan batasan PM 2,5 15 μg/m³. b. Volatile Organic Compound (VOC) Kehadiran pencemar organik mungkin merupakan konstituen terbesar dari aerosol yang ada di dalam ruang. Dikarenakan jumlah spesies bahan kimia hadir di udara dalam ruang, dan kesulitan di dalam identifikasi dan 26
kuantifikasi dari kimia organik yang tercampur, maka kontaminasi senyawa organik (VOC) di dalam ruangan belum dapat diketahui dengan baik sampai saat ini. Menurut Bortoli dari senyawa-senyawa yang telah dilakukan studi, senyawa paling banyak teridentifikas meliputi toluene, xylene dan apinene. (Pudjiastuti, 1998). Beberapa senyawa organik volatile yang ditemukan di dalam ruangan telah menunjukkan adanya hubungan dengan sejumlah gejala penyakit. Beberapa gejala penyakit yang ada di dalam ruang yang banyak dijumpai yaitu sakit kepala, iritasi mata dan selaput lendir, iritasi sistem pernapasan, drowsiness (mulut kering), fatigue (kelelahan), malaise umum. c. Konsentrasi Gas (NO2, CO2, CO, dll) 1.
Nitrogen Oksida (NO2) Gas ini adalah kontributor utama smog dan deposisi asam. NO2
bereaksi dengan senyawa organik volatile membentuk ozon dan oksida lainnya. Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru-paru. Paru-paru terkontaminasi
oleh gas
NO2
akan
membengkak sehingga penderita sulit bernapas dan mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernafasan, bila kondisinya kronis dapat berpotensi terjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Sunu, 2001).
27
2.
Karbon Dioksida (CO2) Karbon dioksida (CO2) dalam gedung bisa diemisikan dari
pembakaran mesin-mesin seperti genset, namun demikian mayoritas CO2 diemisikan oleh para penghuni gedung. Umumnya konsentrasi CO2 dalam gedung adalah antara 350-2500 ppm. Treshold Limit Value-Time Weighted Average (TLV-TWA) CO2 yang diperkenankan adalah sampai 1000 ppm. Di Indonesia khususnya DKI Jakarta Per Gub DKI Jaya no. 54 tahun 2008 dapat dijadikan sebagai acuan dengan kadar maksimal CO2 yang diperkenankan dalam ruangan sebesar 0,1%. Berdasarkan studi BASE konsentrasi CO2 di udara dalam ruangan secara statistik memiliki hubungan positif dengan kejadian SBS. 70% bangunan dengan ventilasi mekanik dan menggunakan airconditioner dalam studi menunjukkan hubungan yang signifikan antara CO2 dan SBS. (EPA, 2002). 3. Karbon Monoksida (CO) Karbon Monoksida (CO), komponen ini mempunyai berat sebesar 96,5% dari berat air dan tidak dapat larut dalam air. CO yang terdapat di alam terbentuk dari satu proses sebagai berikut pembakaran tidak sempurna terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon, reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi. Pada suhu tinggi karbon dioksida terurai menjadi karbon monoksida dan atom O (Wardhana, 2004). CO dapat menyebabkan masalah pencemaran udara dalam ruang pada ruang-ruang tertutup seperti garasi, tempat parkir 28
bawah tanah, terowongan dengan ventilasi yang buruk, bahkan mobil yang berada di tengah lalu lintas. CO dalam gedung bisa didapatkan dari pembakaran tidak sempurna seperti genset dan asap rokok, selain juga dari kontaminan luar yang masuk malalui sistem ventilasi. Karena CO merupakan gas yang tidak berbau dan memiliki afinitas lebih tinggi terhadap hemoglobin (Hb) dibandingkan oksigen. Dengan demikian apabila terhirup, CO akan menggantikan oksigen Hb, sehingga dapat mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang. Hal tersebut dapat mengakibatkan pengurangan kemampuan kerja sampai dengan kematian. Kadar CO dalam ruangan berdasarkan ASHRAE, OHSA PEL-TWA dan ACGIH TLV-TWA berturut turut adalah 9 ppm, 50 ppm, dan 25 ppm. Di Indonesia Kep. Men Kes. No 1405/2002 dan Per. Gub DKI Jaya No 54/2008 berturut-turut mensyaratkan kadar CO maksimal dalam ruangan sebesar 25 ppm dan 8 ppm untuk pengukuran 8 jam. 4. Ozon (O3) Menurut Burkin et.al (2000) dalam Seganda (2010), sumber utama ozon dari kegiatan manusia dalam ruangan berasal dari mesin fotokopi, pembersih udara elektrostatis, dan udara luar. Ozon dapat menyebabkan iritasi pada mata dan bersifat toksik terhadap saluran pernafasan, paparan ozon secara akut mengakibatkan sakit kepala, kelelahan dan batuk. Kadar O3 dalam ACGIH TLV-TWA berturut-turut adalah 0,05 ppm (untuk jerka keras), 0,08 ppm (untuk kerja moderat) dan 0,10 ppm (untuk kerja ringan). 29
2.2.3 Kualitas Mikrobiologi Mikroorganisme dapat muncul dalam waktu dan tempat yang berbeda. Pada penyebaran lewat udara, mikroorganisme harus mempunyai habitat tumbuh dan berkembang biak (Brown, 2006). Seringkali mikroorganisme ditemukan tumbuh pada air yang menggenang atau permukaan interior yang basah. Selain itu mikoorganisme juga dijumpai pada sistem ventilasi atau karpet yang terkontaminasi (Flannigan, 1992). Standar parameter bilogi udara dalam ruangan mengacu pada Kepmenker No.1405 Tahun 2002, yaitu 700 koloni/m3. Mikroorganisme dapat berasal dari lingkungan luar seperti serbuk sari, jamur dan spora, dapat pula berasal dari dalam ruang seperti serangga, jamur, kutu binatang peliharaan dan bakteri. Mikroorganisme dapat menyebabkan alergi pernapasan seperti infeksi pernapasan dan asma. Mikroorganisme tersebar bersama-sama dengan aerosol yang ada di udara dikenal dengan istilah bioaerosol. Kebanyakan dari bioaerosol adalah non patogen dan hanya dirasakan oleh orang-orang yang sensitif. Setiap mikroorganisme dengan dapat menulari hanya pada keadaan panas tertentu (Pudjiastuti, dkk, 1998). Walaupun kebanyakan ruangan yang tercemar merupakan akibat dari sumber-sumber di luar ruangan, situasi ruangan dapat menjadi tercemar berat oleh unsur biologi. Ruangan yang dibangun dengan adanya bioaerasi dapat mengakibatkan dua proses utama yaitu; material akan mengalir dan menumpuk dalam ruangan dan pertumbuhan nyata pada interior (Pudjiastuti, 1998).
30
2.2.3.1 Bakteri Bakteri merupakan mahluk hidup yang kasat mata, dan dapat juga menyebabkan berbagai gangguan kesehatan serta efek deteriorasi bagi gedung apabila tumbuh dan berkembang biak pada lingkungan indoor (Sephen 2006, Setzenbach 1998). Gangguan kesehatan yang muncul dapat bervariasi tergantung dari jenis dan rute pajanan. Bakteri dalam gedung datang dari sumber luar (misalnya dari kerusakan tangga, endapan kotoran, dan sebagainya) serta dapat memberikan pengaruh bagi manusia seperti saat bernapas, batuk, bersin. Selain itu, bakteri juga didapati pada sistem cooling towers (seperti Legionella), bahan bangunan dan furniture, wallpaper, dan karpet lantai (Stephen, Bates 2000). Di dalam gedung, bakteri tumbuh dalam standingwater tempat water spray dan kondensasi AC. Bakteri masuk melalui udara dalam suatu ruangan, khususnya yang menggunakan sitem Air Conditioning (AC). Sistem AC menyediakan lingkungan yang hangat dan basah bagi bakteri untuk berkembang biak. Selain itu, kondensasi atau penggunaan water spray juga akan menujang pertumbuhan bakteri dan menyediakan lingkungan yang lembab (Indoor Air Quality Handbook). Pekerja dalam ruangan tersebut akan terpajan oleh bakteri melalui aktifitas yang dilakukan secara langsung seperti bernapas dan bersin. Organisme ini masuk ke udara yang dibawa oleh sistem AC dalam ruangan tersebut. Sistem AC menyediakan kondisi yang hangat dan 31
panas bagi bakteri yang digunakan untuk berkembang biak. Sebagai bagian dari proses conditioning, udara yang lembab juga menjadi faktor pemicu bagi tumbuhnya bakteri (Indoor Air Quality in Australia a Strategy for Action). Banyak bekteri, yang sebagian besar sebagai penyebab penyakit pada manusia, berasal dari reservoir di luar lingkungan yang sangat terkenal adalah legionella (Pudjiastuti, dkk, 1998). Legionella yang sering ditemukan pada sitem AC biasanya berasal dari timbunan semprotan pada cooling towers, terutama jika sistem AC tersebut kurang perawatan atau baru dinyalakan setelah beberapa waktu tidak dipakai. Bakteri ini akan memasuki ruangan apabila sistem AC berada dekat dengan cooling towers. A. Bakteri Patogen (Todar, 2008) Bakteri patogen adalah jenis-jenis bakteri yang menjadi biang penyakit pada makhluk hidup. Bakteri patogen ini bekerja dengan cara menginfeksi organisme dan sebagai akibatnya, muncul gejalagejala abnormal yang kita kenali sebagai tanda-tanda penyakit. Sebagian dari bakteri patogen ini tidak terasa di tubuh, namun tak jarang pula yang menyebabkan penyakit serius semacam HIV, SARS, Flu Burung dan masih banyak lagi lainnya. Dalam kajian ilmu biologi, dikenal kecenderungan karakteristik organisme yang sangat patogen sajalah yang bisa menyebabkan penyakit
pada
makhluk
hidup.
Sementara
selebihnya
tidak 32
mengakibatkan apa-apa. Bakteri yang jarang menyebabkan pemyakit tersebut dikenal dengan istilah patogen oportunis, yakni jenis bakteri yang tidak menyebabkan atau menimbulkan penyakit pada makhluk hidup dengan kompetensi umun atau daya tahan tubuh yang baik. Sebaliknya, jenis bakteri ini bisa memicu penyakit bagi mereka yang memiliki kekebalan tubuh yang rendah. Jadi bisa disumpulkan bahwa bakteri
patogen
oportunis
ini
mengambil
kesempatan
dari
menurunnya sistem pertahanan di dalam tubuh sang inang yang diinfeksi. Mekanisme Bakteri Patogen Invasi host oleh patogen dapat dibantu oleh produksi zat ekstraselular bakteri yang bertindak melawan tuan rumah dengan memecah pertahanan primer atau sekunder dari tubuh. Mikrobiologi medis disebut sebagai invasins. Kebanyakan invasins adalah protein (enzim) yang bertindak secara lokal untuk merusak sel inang dan/atau memiliki efek langsung memfasilitasi pertumbuhan dan penyebaran patogen. Kerusakan host sebagai akibat dari kegiatan invasif ini dapat menjadi bagian dari patologi penyakit menular. Spreading factor adalah istilah deskriptif untuk keluarga bakteri yang mempengaruhi sifat matriks jaringan antar sel, sehingga meningkatkan penyebaran patogen.
33
Hialuronidase adalah faktor penyebaran asli. Hal ini dihasilkan oleh streptococci dan clostridia.
Kolagenase
diproduksi
oleh
Clostridiumperfringens
dan
Clostridiumhistolyticum. Itu merusak kolagen,dan kerangka otot.
Neuraminidase
yang
dihasilkan
oleh
patogen
usus
seperti
Vibriocholerae dan Shigella dysentriae. Ini mendegradasi asam neuraminic (asam sialic), sebuah antar sel dari jaringan sel-sel epitel mukosa usus.
Streptokinase dan staphylokinase diproduksi oleh streptokokus dan staphylococci. Enzim kinase mengkonversi plaminogen menjadi plasmin aktif yang mencerna fibrin dan mencegah pembekuan darah. Ketiadaan fibrin dalam menyebarkan lesi bakteri memungkinkan difusi yang lebih cepat dan infeksi. Enzim-enzim ini biasanya bekerja pada membran sel hewan membentuk pori yang mengakibatkan lisis sel, atau dengan serangan enzimatik pada fosfolipid, yang membuat tidak stabilnya membran. Mereka disebut sebagai lecithinases atau phospholipases, dan jika mereka melisiskan sel darah merah maka mereka disebut hemolysins. Leukocidins, diproduksi oleh staphylococcus dan streptolysin diproduksi oleh streptokokus khusus melisiskan fagosit dan granular mereka. Kedua enzim ini juga dianggap exotoxins bakteri.
34
Phospholipases, Clostridium perfringens diproduksi oleh (yaitu, alpha toksin), menghidrolisis fosfolipid dalam membran sel dengan menghilangkan kelompok kepala kutub.
Lecithinases,
juga
diproduksi
oleh
Clostridium
perfringens,
menghancurkan lesitin (fosfatidilkolin) di membran sel. Sifat
Hemolysin
pada
bakteri
adalah
melisiskan
atau
melarutkan sel-sel darah merah. Hemolysins diproduksi oleh strain bakteri, termasuk staphylococci dan streptokokus. Bakteri Hemolysin disaring dan yang mengelompok di sekitar koloni bakteri pada medium kultur yang mengandung sel-sel darah merah. Hemolysins muncul untuk membantu kekuatan invasif bakteri. Hemolysins, terutama yang diproduksi oleh staphylococci (yaitu, alpha toksin), streptokokus (yaitu, streptolysin) dan berbagai clostridia,
mungkin
akan
membentuk
saluran
protein
atau
phospholipases atau lecithinases yang menghancurkan sel darah merah dan sel-sel lain (misalnya, fagosit) oleh lisis. Bakteri Hemolisin dapat dipisahkan oleh berbagai jenis bakteri seperti
Staphylococcus
aureus,
Escherichia
coli
atau
Parahemolyticus Vibrio di antara patogen lain. Kita bisa melihat pada bakteri Staphylococcus aureus untuk mempelajari lebih tepatnya pembentukan pori-pori ini. Staphylococcus aureus adalah patogen
35
yang menyebabkan banyak penyakit infeksi seperti pneumonia dan sepsis.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran urogenital seperti: 1. Klebsiella Klebsiaella pnewniniae kadang-kadang menyebabkan infeksi saluran kemih dan baktermia dengan lesi fokal pada pasien yang lemah. 2. Enterobacter Aerogenes Menyerang saluran kemih menyebabkan infeksi nosokomial. 3. Proteus Bakteri ini menyebabkan infeksi saluran kemih atau kelainan bernanah seperti asbes, infeksi luka, infeksi telingan atau saluran napas.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pernapasan seperti: 1. Pseudomonas Aeroginosa Batang gram negatif 0,5-1,0 x 3,0-4,0 um. Mempunyai flagel polar kadang-kadang 2-3 flagel. Bakteri ini menyebabkan infeksi
36
pada saluran pernapasan bagian bawah, saluran kemih, mata, dan lain-lain P. Aeroginosa bersifat patogen bila masuk ke daerah yang fungsi pertahanannya abnormal, mislanya selaput mukosa, kulit telinga dan menimbulkan penyakit sistemik. 2. Streptococcus pneumoniae Streptococcus pneumoniae adalah sel gram positif berbentuk bulattelur seperti bola,secara khas terdapat berpasangan atau rentai pendek. Bakteri ini penghuni normal pada saluran pernapasan bagian atas manusia dan dapat menyebabkan pneumonia, sinusitis, otitis, bronkhitis, bakteremia, meningitis, dan proses infeksi lainnya. Penularan penyakit ini dapat melalui berbagai cara, antara lain: ihalasi (penghirupan) mikroorganisme dari udara yang tercemar, aliran
darah,
dari
infeksi
di
organ
tubuh
yang
lain.
Migrasi(perpindahan) organisme langsung dari infeksi di dekat paruparu. Dapat menular pula melalui percikan air ludah. 3. Corybaterium diphtheriae Corybaterium diphtheriae merupakan makhluk anaerobik fakultatif dan gram positif, ditandai dengan tidak berkapsul, tidak berspora, dan tidak bergerak. Corybaterium diphtheriae terdapat dalam saluran pernapasan, dalam luka-luka, pada kulit orang terinfeksi, atau orang normal yang 37
membawa bakteri. Bakteri disebarkan melalui doplet atau kontak langsung dengan individu yang peka. Bakteri kemudian tumbuh pada selaput mukosa atau kulit yang lecet, dan bakteri mulai mebghasilkan toksin. Bakteri ini ditularkan melalui percikan ludah dari batuk penderita atau benda maupun makanan yang telah terkontaminasi oleh bakteri ini.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi saluran pencernaan yaitu: 1. Shigella sp. Pendek,
gram
negatif,
tunggal,
tidak
bergerak,
tidak
membentuk spora, aerobik atau anaerobik fakultatif. Patogenesis Shigella sp. Shigella mempenetrasi intraseluler epitel usus besar, terjadi perbanyakan bakteri, mengasilkan edoktoksin yang mempunyai kegiatan biologis, S.Dysenteriae menghasilkan eksotoksin yang mempunyai sifat neotoksik dan enterotoksik. Infeksi Shigella sp. dapat diperoleh dari makanan yang sudah terkontaminasi, walaupun makanan itu terlihat normal. Air juga dapat menjadi salah satu hal yang terkontaminasi dengan bakteri ini.
38
2. Salmonella sp. Ciri-ciri bakteri Salmonella sp. adalah berupa bakteri gram negatif, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, memiliki flagela bertipe peritrikus, dan anaerobik fakultatif. Masuk ke tubuh orang melalui makanan atau minuman yang tercemar bakteri ini. Akibat yang ditimbulkan adalah peradangan pada saluran pencernanaan sampei rusaknya dinding usus. Patogenesis Salmonella sp. -
Menghasilkan toksin LT.
-
Invasi ke sel mukosa usus halus
-
Tanpa berproliferasi dan tidak mengahansurkan sel epitel
-
Bakteri ini langsung masuk ke lamina propia yang kemudian menyebabkan infiltrasi sel-sel radang.
3. Vibrio colerae Ciri-ciri bakteri ini adalah bakteri gram negatif, batang lurus dan agak lengkung, terdapat tunggal dan dalam rantai berpilin, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, bergerak dengan flagella bertipe tunggal polar, anaerobik fakultatif. Bakteri ini menyebabkan penyakit kolera yang menginfeksi saluran usus, bakteri ini masuk ke dalam tubuh
seseorang
terkontaminasi.
melalui
Bakteri
makanan
tersebut
atau
minuman
mengeluarkan
yang
enterotoksin
39
(racunnya) pada saluran usus sehingga terjadilah diare disertai muntah yang akut. 4. Clostridium botulinum Bakteri ini sering menimbulkan keracunan makanan, hal ini karena bakteri tersebut tumbuh dalam makanan dan menghasilkan toxin yang berbahaya bagi manusia. Gejala penyakitnya berupa tenggorokan terasa kering, penglihatan menjadi kabur,gangguan akomodasi, gangguan suara, kelumpuhan otot, gangguan jantung. Pencegahan dengan menjaga kebersihan makanan dan memasaknya sampai matang.
Beberapa bakteri patogen yang menginfeksi kulit seperti: 1. Clostridium tetani Penyakit yang ditimbulkan adalah tetanus, dengan infeksi melalui berbagai cara, yaitu: luka tusuk, patah tulang terbuka, luka bakar,
pembedahan,
penyuntikan,
gigitan
binatang,
aborsi,
melahirkan atau luka pemotongan umbilicus. Gejalanya berupa kaku dan kram pada otot sekitar luka, hypereflexi pada tendon extremitas yang dekat dengan luka, kaku pada leher, rahang, dan muka, dan gangguan menelan. 2. Bacillus anthracis
40
Merupakan bakteri penyebab penyakit antrax, yang biasanya menyerang hewan ternak. Namun pada perkembangannya penyakit tersebut dapat menular ke manusia melalui luka, inhalasi dan juga makanan. 3. Staphylococcus aureus Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi bernanah dan asbes, infeksi pada folikel rambut dan kelenjar keringat, bisul, infeksi pada luka,
meningitis,
endokarditis,
pneumonia,
pyelonephritis,
osteomyelitis. Pencegahan dilakukan dengan meningkatkan daya tahan tubuh, kebersihan pribadi, dan sanitasi lingkungan. 4. Mycobacterium leprae Merupakan bakteri penyebab penyakit lepra, dengan gejala pertama berupa penebalan pada kulit yang berubah warna, berupa bercak keputih-putihan, hilang perasaannya. Bakteri ini dapat pula menyerang mata, paru-paru, ginjal, dan sebagainya. Pencegahannya dilakukan dengan mencegah kontak langsung dengan penderita dan meningkatkan daya tahan tubuh. Bakteri patogen memiliki salah satu sifat yang mengindikasikan bahwa bakteri itu benar-benar patogen yaitu dengan cara analisis bakteri hemolisis.
41
2.3 Morfologi Bakteri Bakteri adalah kelompok terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil dan kebanyakan adalah uniseluler dengan struktur sel yang relatif sederhana tanpa nukleus, cytoskeleton, dan organel lain seperti mitokondria dan kloroplas (Pelczar, et al 2008). a.
Ciri-ciri bakteri Berikut ini merupakan ciri-ciri bakteri dilihat dari susunan dan struksturnya (Pelczar, et al 2008): 1) Dinding sel tersusun atas mukopolisakarida dan peptidoglikan. Peptidoglikan terdiri atas polimer besar yang terbuat dari N-asetil glukosamin dan N-asetil muramat, yang saling berikatan silang dengan ikatan kovalen. Berdasarkan pewarnaan gram, bakteri dapat dibedakan menjadi bakteri gram positif dengan bakteri gram negatif. 2) Sel bakteri dapat mensekresikan lendir ke permukaan dinding selnya. Lendir yang terakumulasi di permukaan terluar dinding sel akan membentuk kapsul. Kapsul ini berfungsi untuk mempertahankan diri dari kondisi lingkungan yang buruk. Bakteri yang berkapsul lebih sering menimbulkan penyakit dibandingkan dengan bakteri yang tidak berkapsul. 3) Membran sitoplasma meliputi 8-10% dari bobot kering sel dan tersusun atas fosfolipida dan protein. Fungsi utama membran sitoplasma adalah sebagai alat transpor elektron dan proton yang dibebaskan pada waktu 42
oksidasi bahan makanan dan sebagai alat pengatur pengangkutan senyawa yang memasuki dan meninggalkan sel. 4) Sitoplasma dikelilingi oleh membran sitoplasma, dan tersusun atas 80% air, asam nukleat, protein, karbohidrat, lemak, dan ion anorganik serta kromatofora. Di dalam sitoplasma terdapat ribosom-ribosom kecil. Selain itu terdapat RNA dan DNA. Terdapat pula DNA tertentu yang diselubungi protein sehingga membentuk genofor sirkuler. 5) Pada kondisi yang tidak menguntungkan bakteri dapat membentuk endospora yang berfungsi melindungi bakteri dari panas dan gangguan alam. 6) Bakteri ada yang bergerak dengan flagela dan ada yang bergerak tanpa flagela. Bakteri tanpa flagela bergerak dengan cara berguling. Setiap sel bakteri memiliki jumlah flagela yang berbeda. Berdasarkan jumlah dan letak flagela, bakteri dibedakan menjadi 4, yaitu: -
Bakteri monotrik, yaitu bakteri yang mempunyai satu flagela pada salah satu ujung selnya.
-
Bakteri amfitrik, yaitu bakteri yang pada kedua ujung selnya mempunyai satu flagela.
-
Bakteri lofotrik, yaitu bakteri yang pada salah satu ujung selnya memiliki seberkas flagela.
43
-
Bakteri peritrik, yaitu bakteri yang pada seluruh tubuhnya terdapat flagela.
b. Bentuk-Bentuk Bakteri Dengan menggunakan mikroskop yang dilengkapi lensa okuler mikrometer dan objektif mikrometer, ukuran bakteri dapat diketahui. Ukuran bakteri dinyatakan dalam satuan mikron. Panjang bakteri umumnya berkisar 0,1 – 0,2 mikron. Bentuk bakteri sangat barvariasi, tetapi secara umum ada 3 tipe, yaitu: 1) Bentuk batang/silindris (basil) 2) Bentuk bulat (kokus) 3) Bentuk spiral (spirilium). Variasi bentuk bakteri atau koloni bakteri dipengaruhi oleh arah pembelahan, umur, dan syarat pertumbuhan tertentu, misalnya makanan, suhu, dan keadaan yang tidak menguntungkan bagi bakteri. 1) Bentuk batang (silindris) Bakteri bentuk batang (basil) dibedakan atas bentuk-bentuk sebagai berikut. a) Basil tunggal, berupa batang tunggal b) Diplobasil, berbentuk batang bergandengan dua-dua c) Streptobasil, berupa batang bergandengan seperti rantai.
44
Gambar 2.1. Bentuk-bentuk Bakteri Basil
2) Bentuk bulat Bakteri berbentuk bulat (kokus = sferis/tidak bulat betul) dibagi menjadi bentul-bentuk sebagai berikut: a) Monokokus; berbentuk bulat satu-satu b) Diplokokus; bentuknya bulat bergandengan dua-dua c) Streptokokus; memiliki bentuk bulat bergandengan seperti rantai, sebagai hasil pembelahan sel ke satu atau dua arah dalam satu garis d) Tetrakokus; berbentuk bulat terdiri dari 4 sel yang tersusun dalam bentuk bujur sangkar sebagai hasil pembelahan sel ke dua arah. e) Sarkina; bentuknya bulat, terdiri dari 8 sel yang sersusun dalam bentuk kubus sebagai hasil pembelahan sel ke tiga arah. f) Stafilokokus; berbentuk bulat tersusun seperti kelompok buah anggur sebagai hasil pembelahan sel ke segala arah.
45
Gambar 2.2. Bentuk-bentuk Bakteri Kokus
3) Bentuk spiral Bakteri berbentuk spiral dibagi menjadi: a) Koma (vibrio); berbentuk lengkung kurang dari setengah lingkaran. b) Spiral; berupa lengkung lebih dari setengah lingkaran. c) Spiroseta; berupa spiral yang halus dan lentur. Gambar 2.3. Bentuk-bentuk Bakteri Spiral
46
2.4 Konstruksi bangunan Udara dalam ruangan yang tertutup dapat tercemar oleh beberapa polutan yang berasal dari luar gedung, dalam gedung, dari komponen atau konstruksi gedung, maupun dari aktivitas penghuni gedung tersebut (EPA, 1991). Adapun sumber pencemar yang berasal dari komponen atau konstruksi bangunan seperti plafon, dinding, dan lantai mengandung senyawa kimia (asbes) dan dapat mengahasilkan partikulat yang membahayakan bagi kesehatan (Bi Nardi, 2003). Komponen dan konstruksi bangunan, seperti: 1) Ruangan yang mengeluarkan debu fiber karena permukaan yang dilapisi (penggunaan karpet, tirai dan bahan tekstil lainnya), peralatan interior yang sudah tua atau rusak, bahan yang mengandung asbestos dapat memicu terjadinya gejala SBS 2) Bahan kimia yang terdapat pada setiap kontruksi bahan bagunan atau peralatan interior mengandung senyawa organik dan VOCs.
2.5 Kondisi Fisik Ruangan 2.5.1 Sistem HV AC Sistem HV AC (Heating, ventilating, and Air Conditioning) merupakan sistem alat yang bekerja unutk menghangatkan, mendinginkan, menyirkulasikan udara pada suatu bangunan, yang terdiri dari boiler atau furnace, cooling tower, chilling, air handling unit (AHU), exhaust fan, ductwork, steam, filter, fans (air
47
supply), make up-ai, (room exhaust), dampers, room air diffuser, dan return air grills. Komponen sistem HV AC pada umumnya terdiri dari:
Pemasukan udara dari luar ruangan
Pencampuran air plenum dengan kontrol udara outdoor
Penyaringan udara
Gulungan pendingin. Berdasarkan Building Code of Australia (2005) serta EPA (1991), suatu
desain dan sistem HV AC berfungsi untuk: a. Memenuhi kebutuhan thermal comfort Sistem HV AC berfungsi untuk memenuhi kenyamanan pengguna gedung. Tingkat pemenuhan kebutuhan thermal comfort ini akan tergantung pada kemerataan suhu pada ruangan, panas raidasi, suhu, serta kelembaban. Selain itu, pemenuhan kebutuhan kenyamanan teknis pada pengguna ruangan ini juga tergantung pada tingkat usia pengguna gedung, aktivitas yang dilakukan dalam ruangan, serta fungsi tubuh (fisiologi) dari masing-masing individu. b. Mengisolasi serta memindahkan bau serta kontaminan Teknik dilusi merupakan salah satu teknik yang digunakan, yaitu dengan pengenceran udara yang terkontaminasi dengan udara dari luar ruangan. Dilusi dapat efektif bila terdapat aliran suplai udara konsisten dan cukup untuk bercampuran dengan udara dalam ruangan. Selain itu, teknik selanjutnya adalah dengan memperhatikan tekanan udara antar ruangan, dengan menyesuaikan
48
suplai udara dengan jumlah udara tiap ruang. Jika terdapat ruangan yang lebih banyak tersuplai udara daripada udara yang dibuang, maka ruangan tersebut bertekanan positif, dan sebaliknya. Fasilitas HV AC dalam suatu gedung dapat berbeda, tergantung dari beberapa faktor seperti umur gedung, iklim, jenis bangunan, anggaran dana perusahaan, perencanaan, pemilik, dan arsitektur gedung, dan modifikasi tertentu. Operator sistem dan manajer fasilitas adalah faktor penting yang menentukan kualitas udara dalam ruangan agar terpelihara dengan baik. Sistem HV AC membutuhkan pemeliharaan yang tepat untuk memberikan kondisi yang nyaman bagi penghuni suatu ruangan. Sistem HV AC harus dievaluasi terlebih dahulu sebelum melakukan renovasi pada gedung (Anonymous, 2009). Beberapa elemen parawatan sistem HV AC yang dapat meningkatkan kualitas udara dalam ruang adalah: 1) Mengganti filter (disamping dapat menghalangi dan mengurangi aliran udara, filter yang kotor juga dapat menjadi sumber bau dan mikroorganisme) 2) Memeriksa instalasi dan filter secara berkala 3) Membersihkan cooling coil dan komponen HV AC lainnya 4) Memeriksa operasi fan dan operasi dampers yang dapat mempengaruhi aliran udara.
49
Selain itu, EPA (1991) juga merekomendasikan maintainance sebagai berikut: 1) Penggunaan desain sistem ventilasi yang memadai dengan jumlah pekerja dan jumlah perelatan dalam gedung 2) Sediaan udara dari luar ruangan 3) Kualitas udara luar, karena polutan seperti karbon monoksida, spora fungi, bakteri dan debu dapat mempengaruhi kondisi udara dalam ruangan 4) Perencanaan tempat 5) Pengendalian jalur pajanan polutan lain. 2.5.2 Kebersihan Ruang Gejala SBS bisa timbul dari ketidaknyamanan lingkungan bekerja. Salah satu masalah lingkungan yang sering muncul di tempat kerja atau perkantoran adalah masalah kebersihan. Masalah kebersihan didalam area perkantoran yang dapat menimbulkan gejala SBS seperti (EPA, 1991): a.
Kegiatan housekeeping seperti penggunaan bahan pembersih, emisi dari gudang penyimpanan bahan kimia atau sampah, penggunaan pengharum ruangan, proses vacuuming.
b.
Kegiatan maintainance seperti kurangnya pemeliharaan coolingtower menyebabkan tumbuhnya mikroorganisme dalam uap air, debu, atau kotoran di udara, VOCs dari penggunaan perekat dan cat, residu pestisida dari kegiatan pengendalian hama, emisi dari gudang penyimpanan.
50
2.6 Faktor Karakteristik Individu 2.6.1 Jenis Kelamin Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS (Brasche, 2001). Jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-lai (Winarni, 2003). Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK, 1996). 2.6.2 Usia Karakteristik pekerja yang berhubungan dengan SBS salah satunya adalah umur. Pemaparan pada suatu zat yang bersifat toksik akan menimbulkan dampak yang lebih serius pada mereka yang berusia tua daripada yang berusia lebih muda dengan kata lain udara yang buruk lebih mudah mempengaruhi kekebalan orang usia tua (Frank C.Lu, 1995). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh NIOSH tahun 1980 menyatakan bahwa umur berhubungan dengan peningkatan kejadian SBS karena umur berkaitan dengan daya tahan tubuh. Semakin tua umur seseorang maka semakin menurun pula daya tahan tubuhnya (Apte et al, 2005). 51
Penelitan lain menyebutkan bahwa SBS lebih banyak terjadi pada wanita dibandingkan laki-laki, dan sensitivitas pada gejala SBS terjadi pada dewasa muda (younger adults) usia antara 30-50 (NIOSH, 1991). 2.6.3 Status Gizi Status gizi yang digambarkan dengan kekurangan dan kelebihan gizi pada orang dewasa (lebih dari 18 tahun), pola konsumsi makanan, gaya hidup aktifitas dan faktor lingkungan yang tidak bersahabat dapat memberikan kontribusi terhadap kejadian SBS. Defisiensi gizi secara umum diduga menjadi awal terjadinya degenerasi sistem imunitas tubuh (Alisyahbana, 1985). Salah satu parameter pengukuran status gizi adalah dengan menggunakan Indeks Masaa Tubuh (IMT), yang unutk masyarakat Indonesia menurut PUGS (2002) dirumuskan sebagai berikut:
IMT = Kategori IMT untuk Indonesia menurut Depkes (2002) ditampilkan dalam tabel 2.3 berikut; Tabel 2.1. Tabel Indeks Massa Tubuh Kriteria
Kategori
IMT
Kurus
Kekurangan berat badan tingkat tinggi
<17.0
Kekurangan berat badan tingkat rendah
17,0 – 18,4
52
Tabel 2.1. Tabel Indeks Massa Tubuh (Lanjutan) Kriteria
Kategori
18,5 – 25,0
Normal Gemuk
IMT
Kelebihan berat badan tingkat rendah
25,1 – 27,0
(overwight) Kelebihan berat badan tingkat tinggi
>27,0
(obesitas) Sumber: PUGS Depkes, 2002 2.6.4 Kebiasaan Merokok Asap rokok merupakan campuran yang kompleks senyawa kimia dan partikel di udara, seperti CO, nitrogenoksida, CO2, hidrogen sianida, dan formaldehyde. Produk samping dari penetralan asap rokok tetap mengandung zat-zat yang beracun dan bersifat karsinogenik yang dapat membahayakan pengguna gedung (Nardi, 2003; Pudjiastuti, 1998). Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Hal ini disebabkan oleh besarnya aktifitas merokok didalam ruangan yang sering dilakukan oleh para pekerja yang mempunyai kebiasaan merokok. Asap rokok yang dikeluarkan dari seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Dalam
53
jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu kesehatan, seperti mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, dkk, 1998). 2.6.5 Sensitifitas Responden Penelitian terhadap Asap Rokok Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm (EPA, 1991). Konsentrasi asap rokok yang ada di udara turut mempengaruhi keadaan emosional para pekerja yang berada di sekitar perokok aktif, sehingga gejala psikososial juga turut dirasakan oleh perokok pasif. Pengendalian asap rokok pada udara dalam ruang adalah dengan kebijakan larangan merokok di dalam ruang dan penyediaan smoking area tersendiri di luar (BiNardi, 2003). Perokok pasif yang berada pada ruangan yang sama dengan perokok aktif akan memiliki gejala yang sama pada orang yang bekerja dengan lingkungan yang bebas dari asap rokok (Burge, 2004). Salah satu penelitian pernah membuktikan penurunan gejala setelah merokok dilarang di area kerja, tetapi penelitian lain tidak berhasil menunjukan efek merokok dengan gejala-gejala tersebut (Burge, 2004). WHO (2000) mendefinisikan bahwa merokok aktif adalah aktifitas meghisap rokok secara rutin minimal satu batang sehari.
54
Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan pada 77 orang dewasa yang sensitif Environmental Tobacco Smoke Sensitive (ETS-S) dan yang non-sensitif ETS (ETS-NS) dengan pemaparan asap tembakau (konsentrasi CO 45 ppm) selama 15 menit dalam ruangan. Diketahui bahwa 34% (22 dari 77) melaporkan adanya gejala satu atau lebih gejala rhinitis (hidung tersumbat, pilek dan bersin) yang dirasakan responden ETS-S. Responden ETS-S melaporkan signifikan (p<0,01) meningkat dalam hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS . Signifikan (p<0,01) meningkat dalam persepsi bau dan iritasi mata, iritasi hidung, dan tenggorokan terjadi pada kedua kelompok studi, tetapi subyek ETS-S dilaporkan secara lebih signifikan pada gejala iritasi hidung dan tenggorokan (Rebecca et al, 1991).
2.7 Baku Mutu Kualitas Udara dalam Ruang Kerja Perkantoran Baku mutu kualitas udara dalam ruang berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/Menkes/SK/XI/2002, menyatakan bahwa persyaratan kesehatan lingkungan kerja perkantoran sebagai berikut: a.
Suhu dan Kelembaban -
Suhu: 18 - 28oC
-
Kelembaban : 40% – 60%
55
b.
Debu Kandungan debu maksimal udara di dalam ruangan dalam pengukuran rata-rata
8 jam sebagai berikut: Tabel 2.2. Jenis Debu dan Konsentrasi Maksimal No
Jenis Debu
Konsentrasi maksimal
1.
Debu Total
0,15 mg/m3
2.
Asbes bebas
5 serat/ml udara dengan panjang serat 5µ
Sumber: Menkes, 2002 c.
Pertukaran Udara Pertukaran udara: 0,283 m3/menit/orang dengan laju ventilasi: 0,15 – 0,25
m/detik. Untuk ruangan kerja yang tidak menggunakan pendingin memilki lubang ventilasi minimal 15% dari luas tanah dengan menerapkan sistim ventilasi silang. d.
Bahan Pencemar Kandungan gas pencemar dalam ruang kerja, dalam rata-rata pengukuran 8 jam
sebagai berikut:
56
Tabel 2.3. Parameter Gas Pencemar TNo . 1. 2. 3. 4. 5.
Parameter Asam Sulfida (H2S) Amonia (NH3) Karbon monoksida (CO) Nitrogen dioksida (NO2) Sulfur dioksida (SO2)
Konsentrasi maksimum mg/m3 Ppm 1 17 25 29 25 5,60 3,0 5,2 2
Sumber: Menkes, 2002 e.
f.
Mikrobiologi -
Angka kuman kurang dari 700 koloni/m3 udara
-
Bebas kuman patogen Pencahayaan di Ruangan
Persyaratan: Intensitas cahaya di ruang kerja minimal 100 lux.
2.8 Penentuan Besar Sampel Responden Perhitungan besar sample menggunakan perangkat lunak yang diadaptasi dari buku “Adequacy of Sample Size in Health Studies” diterbitkan oleh John Wiley & Sons, WHO, 1990. Perangkat lunak ini dikembangkan oleh KC Lun, Peter YW Chiam dan Chuah Aaron dari W.H.O. Pusat Kolaborasi untuk Kesehatan Informatika dan Informatika Kedokteran Program National University Singapura.
57
2.9 Kerangka Teori Pada kerangka teori ini dapat dijelaskan bahwa pada penelitian ini akan dijabarkan gabungan beberapa teori mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi gejala fisik SBS, dalam hal ini yang akan dijelaskan yaitu kaitannya dengan Indoor Air Quality (IAQ) pada gedung X. Dalam Indoor Air Quality Handbook (Spengler, et al 2000) dituliskan bahwa gejala SBS dapat dipengaruhi oleh multifaktor dan saling berkaitan yang dapat dijelaskan melalui bagan berikut: Bagan 2.1. Kerangka Teori Konstruksi bangunan - Ventilasi - Jenis dinding - Jenis plafon - Jenis lantai
Kondisi fisik ruangan - Jenis penerangan - Furnitur dan peralatan lain - AC - Kebersihan ruang
Kualitas udara indoor - Suhu dan kelembaban - Konsentrasi partikulat - Konsentrasi VOC - Konsentrasi gas (NO2, CO2,CO, dll) - Jumlah mikroorganisme (jamur dan bakteri)
Sumber: Indoor Air Quality Handbook (Spengler, et al 2000)
SBS
Pekerja
Karakteristik individu - Jenis kelamin - Usia - Gaya hidup (kebiasaan hidup) - Status gizi - Riwayat alergi - Riwayat penyakit (asma, COPD)
58
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Konsep Bagan 3.1. Kerangka Konsep Jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang
Gejala fisik Sick Building
Faktor demografi: -
Syndrome
Jenis kelamin Umur Status gizi Kebiasaan merokok Sensitivitas terhadap asap rokok
Kerangka konsep di atas menunjukan konsep yang akan diteliti dalam penelitian ini. Gejala fisik SBS berhubungan dengan jumlah koloni bakteri udara dalam ruang dan faktor demografi, dimana variabel seperti umur, jenis kelamin, status gizi, kebiasaan merokok, dan senstivitas terhadap asap rokok berhubungan langsung dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian. Faktor fisik dan kimia sebagai salah satu faktor penyebab SBS tidak diteliti karena selain menjadi keterbatasan penelitian dalam hal ketiadaan instrumen pengambilan sampel,
59
penelitian ini bermaksud konsen dalam satu parameter lingkungan yaitu parameter biologi (bakteri) dengan hubungannya terhadap SBS pada responden penelitian. Beberapa faktor fisik seperti suhu dan kelembapan ditemukan homogen pada saat observasi sebelumnya serta saat pengambilan sampel bakteri udara di dalam setiap ruang responden di masing-masing perusahaan, inilah yang menjadi alasan bahwa faktor fisik menjadi parameter yang tidak dapat dianalisis secara statistik karna akan menimbulkan bias dalam pengolahan data dan kemungkinan parameter fisik ini menjadi tidak representatif dalam mencari hubungannya terhadap kejadian gejala fisik SBS yang terjadi di gedung X. Kemudian faktor kondisi bangunan tidak diteliti karena dalam observasi yang dilakukan dengan pihak kontraktor serta pengelola gedung dalam observasi sebelumnya ditemukan bahwa kondisi bangunan yaitu kontruksi bangunan dan kondisi fisik ruangan yang ada pada saat peneltian dilakukan masih relatif baru dan sudah memakai bahan yang tidak berbahaya bagi kesehatan.
60
3.2 Definisi Operasional Tabel 3.1. Definisi Operasional No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Skala Ukur
. 1
Gejala fisik
Gejala-gejala fisik yang disebabkan Wawancara
Sick
oleh kualitas udara dalam ruangan, yang
SBS tidak ditemukan
Building
terjadi minimal satu gejala dirasakan
1 = kriteria gejala fisik
Syndrome
oleh
SBSditemukan
30%
dari
total
responden
penelitian. Gejala-gejala tersebut sesuai kriteria WHO terdiri dari: -
Iritasi mata, flu tenggorokan
-
Kekeringan membran mukosa/bibir
-
Kulit kering, merah dan gatal-gatal
-
Sakit kepala dan mental fatigue
-
Batuk, sesak nafas (mengik)
-
Mual, pusing dan hipertensivitas
61
tidak spesifik
Kuesioner
0 = kriteria gejala fisik Ordinal
Kemudian gejala tersebut dinyatakan SBS apabila sudah tidak dirasakan oleh respoden
ketika
meninggalkan
gedung
keluar
atau
(EPA,1991;
WHO, 1984). 2
Bakteri
Jumlah bakteri patogen yang melayang- Pengukuran
Liquid
0= Baik (<700
Patogen
layang di udara ruang yang akan langsung
Impinger
koloni/m3) atau
ditentukan angka kumannya atau jumlah
bakteri patogen tidak
koloni dengan menggunakan metode
ditemukan
sampling impingment lalu dikulturkan
1= Buruk (≥700
pada media Blood Agar Plate (BAP).
koloni/m3) atau
Satuan jumlah koloni adalah koloni/m3
bakteri patogen
dalam udara.
ditemukan
Dari
jumlah
terbentuk,
62
3
Umur
koloni
kemudian
bakteri
yang
Kepmenkes RI No.
diidentifikasi
1405/
golongan bakteri patogen atau tidak
MENKES/SK/XI/200
(Kumala, 2006; Depkes, 2002)
2
Jumlah tahun sejak responden lahir Wawancara hingga penelitian berlangsung, kriteria dibawah atau diatas nilai mean. skala
Ordinal
Kuesioner
1= <30 tahun 2 = >30 tahun
Nominal
nominal dengan 2 kategori, yaitu: 0. Dibawah umur rata-rata 1. Sama/diatas umur rata-rata (Wirastini, 1998) 4
Jenis
Status seksual responden penelitian Observasi
Kelamin
yang
dapat
diketahui
Kuesioner
melalui
0= laki-laki
Ordinal
1= perempuan
pengamatan penampilan fisik 5
Kebiasaan
Kebiasaan responden merokok di ruang Wawancara
Merokok
kerja, minimal merokok 1 batang
Kuesioner
0= Tidak Merokok di
Ordinal
dalam ruang 1= Merokok di dalam
dalam 1 hari dan sudah melakukannya
ruang
saat penelitian berlangsung. (WHO, 2000). 6
Status Gizi
Derajat gizi responden yang diukur Pengukuran
Microtoise
0= IMT 18,0 – 25,0
dengan menggunakan parameter Indeks Langsung
dan
1= IMT <18,5 atau
Masa Tubuh (IMT) dengan acuan bila
Timbangan
>25,0
IMT melebihi atau kurang dari 18,0-
badan
25,0
maka
status
gizi
responden
dianggap tidak normal (PUGS, 2002).
Ordinal
63
7
Sensitivitas
Laporan gejala-gejala fisik SBS yang Wawancara
terhadap
terjadi pada responden yang dirasa
asap rokok
disebabkan
oleh keberadaan paparan
buangan asap rokok di ruang kerja saat penelitian berlangsung. 0. Tidak ada pengaruh dari asap rokok (tidak sensitif) 1. Ada pengaruh (sensitif)
Kuesioner
0 = Tidak sensitif 1 = Sensitif
Ordinal
64
3.3 Hipotesis 1. Ada hubungan jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 2. Ada hubungan jenis kelamin dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 3. Ada hubungan umur dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 4. Ada hubungan status gizi dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 5. Ada hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 6. Ada hubungan sensitivitas terhadap asap rokok dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 7. Ada faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013
65
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Jenis Penelitian Desain yang digunakan adalah cross sectional, yang mengamati jumlah koloni mikroorganisme dalam ruang sebagai variabel independen dan kejadian gejala fisik SBS sebagai variabel dependen, dimana variabel tersebut diukur pada saat bersamaan. Desain ini bisa dipakai untuk studi faktor resiko. Secara umum desain ini merujuk pada penelitian yang terikat dengan dimensi waktu, pengukuran dilakukan hanya satu kali (Ghazali, 2006).
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian adalah Gedung X di delapan prusahaan yang tersebar di lima dari sepuluh lantai yang telah ditentukan pihak pengelola gedung X. Pengambilan sampel dan data kuesioner dilaksanakan pada bulan Desember 2013 selama 1 bulan.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian Populasi penelitian adalah karyawan di gedung X. Respondenl penelitian adalah karyawan yang bekerja di delapan perusahaan pada lima lantai yang sudah ditentukan sebelumnya oleh pihak pengelola gedung. Penentuan responden menggunakan teknik accidental sampling yaitu mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau
66
tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2010), kriteria teknik sampling yaitu sebagai berikut :
1) Kriteria inklusi Adalah kriteria atau ciri-ciri yang perlu dipenuhi oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai responden yang meliputi: a) seroang karyawan yang tidak sedang dalam keadaan sakit saat memasuki ruang kerjanya saat penelitian berlangsung b) seseorang yang tidak mempunyai riwayat alergi dan astma saat penelitian berlangsung 2) Kriteria eksklusi Adalah ciri- ciri anggota populasi yang tidak dapat diambil sebagai sampel yang meliputi : a) seseorang yang sedang dalam keadaan sakit saat memasuki ruang kerjanya saat penelitian berlangsung b) seseroang yang memiliki riwayat alergi dan astma
67
4.3.1 Rancangan Sampel 4.3.1.1 Perhitungan Jumlah Sampel Jumlah besar sampel minimal dalam penelitian dihitung dengan rumus besar sampel menurut Lemeshow (1991) dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu :
Keterangan : n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1
: Proporsi responden yang berumur > 40 tahun dan mengalami SBS 75% (Esi Lisyastuti, 2010)
P2
: Proporsi responden yang berumur ≤ 40 tahun dan mengalami SBS 39,4% (Esi Lisyastuti, 2010)
P
: Rata-rata proporsi
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96 Z1-β
: Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84
Jumlah sampel = 30 30 = (%) non SBS x n’ n’= 30 / (%) non SBS n’= 30 / 65% non SBS (Najmi, 2011 ) n’= 46 sampel 68
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka responden yang dibutuhkan sebanyak 46 responden. 4.3.1.2 Teknik Sampling Pemilihan sampel tersebut diambil dengan menggunakan rancangan non-random sampling yaitu dengan teknik accidental. Penyampelan accidental adalah non probabilitas sampling teknik dimana subyek dipilih karena aksesibilitas kenyamanan dan keterbatasan pengambilan sampel bagi peneliti. Dalam semua bentuk penelitian, akan sangat ideal untuk menguji seluruh populasi namun dalam banyak kasus populasi terlalu besar sehingga mustahil untuk menyertakan setiap individu. Cara metode pengambilan responden ini adalah dengan memilih siapa yang kebetulan ada/dijumpai.
Keuntungannya
ialah
murah,
mudah
dan
cepat
(Notoatmodjo, 2010). Dalam hal ini pengelola gedung X membatasi pengambilan data responden karena hanya beberapa perusahaan yang bersedia untuk dijadikan objek pada penelitian ini. Responden penelitian diambil di 5 lantai dari 10 lantai yang ada di gedung X. Kemudian dari 5 lantai tersebut didapat sejumlah perusahaan disetiap lantainya yang telah ditentukan pula oleh pengelola gedung X itu sendiri. Ada 8 perusahaan yang akhirnya masuk ke dalam penentuan responden. Kemudian dari 8 perusahaan tersebut didapat responden yang dijumpai saat penelitian dan masuk
69
kriteria inklusi dan eksklusi yang telah dijelaskan sebelumnya. Penentuan responden pada penelitian ini dapat dilihat pada bagan 4.1:
Bagan 4.1. Langkah-langkah Penentuan Sampel Gedung X
Lantai 2 (8 perusahaan)
Lantai 5 (8 perusahaan)
Lantai 6 (4 perusahaan)
Lantai 8 (5 perusahaan)
Lantai 10 (4 perusahaan)
2 perusahaaan
2 perusahaaan
1 perusahaaan
2 perusahaaan
1 perusahaaan
8 responden
19 responden
6 responden
8 responden
5 responden
4.3.1. 3 Penentuan Kasus Gejala Fisik SBS pada Responden di Gedung X Penentuan kasus gejala fisik SBS pada penelitisan ini melalui 3 tahapan penyeleksian yaitu: 1. Penyeleksian pertama: karyawan yang merasa sehat sebelum memasuki ruang kerja dan tidak memiliki riwayat alergi dan astma masuk ke dalam kriteria responden (46 karyawan). 2. Penyeleksian Kedua: seluruh responden yang telah terpilih pada penyeleksian awal diberikan 17 pertanyaan tentang keluhan-keluhan SBS yang terjadi pada saat responden tersebut mulai bekerja di dalam ruang. Setelah didapat semua data tentang keluhan-keluhan yang terjadi dari
70
semua responden kemudian masing-masing keluhan tersebut dianalisis dengan mempersentasekan jumlah keluhan tersebut dengan jumlah responden yang ada (46 responden). Jika persentase salah satu keluhan yang ada melebihi 30% dari total responden maka responden yang mengalami keluhan tersebut dikatakan suspect (diduga) SBS. 3. Penyeleksian Ketiga: dari jumlah responden yang mengalami keluhakeluhan dengan presentase melebihi 30% diseleksi lagi dengan melihat data dari pertayaan tentang apakah gejala yang dirasakan tersebut menghilang atau tidak ketika responden keluar atau pulang meninggalkan gedung. Jika gejala yang dirasakan responden tersebut menghilang ketika keluar atau pulang meninggalkan gedung maka responden tersebut dikatakan mengalami gejala fisik SBS begitupun sebaliknya.
4.4 Metode Pengumpulan Data 4.4.1 Sumber Data Data yang dikumpulkan meliputi data sekunder dan primer. 1. Data sekunder adalah data yang diambil dari observasi peneliti dengan pengelola gedung tentang gambaran umum gedung tersebut. 2. Data primer adalah pengumpulan data secara langsung. Data yang dikumpulkan
secara
primer
meliputi
pengukuran
suhu
dan
kelembaban, wawancara responden dan analisis sampel mikrobiologi udara. 71
4.4.2 Instrumen Penelitian 1. Uji Pemeriksaan Bakteri Udara Skenario pengukuran dan pengambilan sampel udara sebagai berikut: 1) Metode pengambilsan sampel menggunakan metode aktif yaitu impingment sampling. Lalu sampel dikulturkan dengan metode spread plate. 2) Paralel dengan pengambilan sampel udara akan dilakukan pengukuran suhu dan kelembaban, dengan menentukan x titik sampling secara proporsional. Titik sampling ditentukan dengan metode episentrum yaitu titik sampling terletak tepat di tengah jumlah populasi dalam 1 ruang. 3) Pengambilan data karakteristik karyawan yang berada dalam ruangan menggunakan metode wawancara atau kuesioner. Pada pengambilan sampel dan pengukurannya dapat dilakukan dengan berberapa metode sebagai berikut: a. Metode Pengambilan Sampel Udara Spread Plate Methode a) Persiapan -
Periksa battery melalui indikator highrate (tingkat akhir) 20 Lpm (liter/menit) apabila indikator kisaran naik turun 2 Lpm perlu diganti battery 72
-
Isi impinger dengan larutan fisiologis NaCl 0,9% sebanyak 10 ml.
-
Tutup tabung impinger dengan rapat jangan sampai terdapat gelembung.
-
Sterilisasi tabung impinger yang sudah berisi reagen penyerap dengan sterilisasi basah pada suhu 121oC, selama 15 menit
-
Tempatkan impinger pada badan alat.
b) Pelaksanaan -
Impinger yang telah berisi larutan fisiologis NaCl 0,9% dihubungkan dengan flowmeter
-
Hidupkan alat dan atur flowmeter 20 lpm.
-
Baca dan catat flowmeter pada skala indikator.
-
Lakukan pengambilan sampel selama 50-60 menit, sesuai dengan kondisi kebersihan ruang.
-
Matikan alat dan lepaskan impinger dari badan alat.
-
Masukkan sampel dalam cool box dan dikirim ke laboratorium.
Pembuatan medium Blood Agar Plate (BPA) sebagai medium bagi sampel Alat-alat :
73
1. Erlenmeyer 250 ml 1 buah 2. Gelas ukur 100 ml 3. Batang pengaduk 4. Spirtus, kassa, aluminium foil 5. Spatula 6. Kertas Timbang 7. Spuit 8. Plate 32 buah 9. Autoklave 10. gunting Bahan-bahan : 1. Air aquadest 200 ml 2. Agar nutrient 13,5 gram 3. Darah 10-20 ml 4. Alkohol 96% 5. Kapas 6. Kassa 7. Karet 8. Neraca Agar Nutrient = 28 g/L 1 Plate = 20 ml 24 Plate = 24 X 20 = 480 ml 74
MCA yang ditimbang = X 28 g/L = 13,5 g/ 480 ml Langkah kerja pembuatan: 1. Preparasi alat dan bahan yang akan digunakan 2. Dibuat bundel penutup Erlenmeyer 3. Ditimbang agar nutruient sebanyak 13,5 gram 4. Dimasukkan
ke
dalam
Erlenmeyer
1000
ml,
ditambahkan aquadest 780 ml 5. Dipanaskan sambil diaduk semua agar larut 6. Diangkat Erlenmeyer, mulut Erlenmeyer ditutup dengan bundel, kertas dan diikat karet. 7. Dimasukkan ke dalam autoclave, 121oC selama 15 menit 8. Diangkat dari autoclave, didinginkan dalam incubator sampai suhu 40-50 oC. 9. Dimasukkan
darah
secara
aseptic
ke
dalam
Erlenmeyer, digoyang sampai homogen 10. Dituangkan ke dalam cawan petri steril secara aseptic 11. Dibungkus kertas, dan diberi identitas nama media dan tanggal pembuatan Pembacaan hasil untuk memastikan keberadaan koloni bakteri (gram positif/negatif) pada hasil kultur (spread plate) adalah dengan cara: 75
c) Metode analisis 1. Pembiakan Bakteri A. Alat dan bahan -
Cawan petri steril (pteridish)
-
Gelas ukur
-
Pipet volume (micro pippet)
-
Vortex
-
Lampu bunsen
-
1 ml cairan pengumpul
-
Aquadest steril
-
Medium petri BAP (Blood Agar Plate)
-
Kapas
-
Inkubator
-
Kertas yellow page
B. Cara kerja -
Siapkan 4 petridish steril.
-
Tuangkan sampel ke dalam 3 petridis steril masing-masing 1 ml lalu sebarkan pada media dengan metode spread plate (sebar) menggunakan batang L.
76
-
Pada petridis ke 4 digunakan sebagai kontrol (tanpa sampel).
-
Diamkan petridish yang berisi sampel sampai membeku. Kemudian masukan kedalam inkubator pada suhu 37oC selama + 24 - 48 jam dengan posisi petridis terbalik.
-
Koloni yang tumbuh dihitung pada Coloni Counter.
d) Perhitungan R (koloni/ml) = JK = R x V x 1000/m3 Qxt Keterangan : JK = Jumlah Total Koloni R = Jumlah koloni rata-rata V = larutan fisiologis (ml) Q = Debit aliran udara (L/menit) t = Lamanya waktu pengambilan sampel (menit) a-c = Jumlah kuman di petridis a,b,dan c e = Jumlah kuman pada petridis d (kontrol)
77
2. Alat ukur berat badan Digunakan untuk mengatur berat badan responden, dengan sistem injak. Alat menggunakan skala 0-180 dengan satuan kilogram (kg). Alat ukur berat badan pada saat sebelum pengukuran harus selalu berada pada skala 0 (kalibrasi). 3. Alat ukur tinggi badan
Menggunakan alat ukur tinggi badan microtoise. Skala alat ukur ini sampai dengan 200 cm, dengan ketelitian 0,1 cm
Pembacaan hasil ukur pada posisi tegak lurus dengan mata (sudut pandang mata dan skala microtoise harus sudut 900)
4. Kuesioner Alat ukur yang digunakan untuk memperoleh karakteristik individu responden dan terjadinya keluhan atau gejala SBS.
4.5 Pengolahan Data Data-data yang ada diproses dari awal penelitian hingga akhir penelitian sehingga terdiri dari beberapa tahapan pengolahan data yaitu: 4.5.1 Pengkodean Pengkodean dilakukan dengan memberikan kode pada setiap jawaban dari responden dan dari setiap variabel yang mengacu standar untuk mempermudah dalam pengolahan data:
78
Variabel gejala fisik SBS
[0] Kriteria gejala fisik SBS tidak ditemukan [1] Kriteria gejala fisik SBS ditemukan
Variabel Jumlah
[0] Baik dan bakteri patogen tidak ditemukan
koloni bakteri patogen
[1] Buruk dan bakteri patogen ditemukan
Variabel Umur
[0] Dibawah 30 tahun [1] Diatas 30 tahun
Variabel jenis kelamin
[0] Laki-laki [1] Perempuan
Kebiasaan merokok
[0] Tidak merokok
dalam ruang kerja
[1] Merokok
Sensitivitas terhadap
[0] Tidak sensitif
asap rokok
[1] Sensitif
4.5.2 Pengeditan data Pengeditan dilakukan dengan memeriksa kelengkapan data yang telah dikumpulkan dengan cara menjumlah serta menghubungkan (mengkorelasikan). Yang dimaksud dengan menjumlah adalah menghitung banyaknya lembar daftar kuesioner yang telah diisi untuk mengetahui apakah sudah sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan. Sedangkan yang dimaksud dengan korelasi adalah proses
79
membenarkan atau menyelesaikan apabila terdapat hal-hal yang salah atau tidak jelas dalam pengisian kuesioner. 4.5.3 Pembuatan struktur data dan file Struktur data dikembangkan sesuai dengan data analisis yang yang dilakukan dan jenis perangkat lunak yang digunakan. 4.5.4 Pemasukan data Pemasukan ke dalam program yang digunakan. Pada tahap ini data dimasukkan ke dalam komputer dan diperiksa dengan menggunakan program komputer. 4.5.5 Pembersihan data Pembersihan data merupakan proses terakhir dalam pengolahan data. Pada proses ini dilakukan koreksi terhadap kesalahan yang kemungkinan masih terjadi pada saat data entry.
4.6 Analisis Data Analisis data dilakukan dengan menggunakan uji laboratorium dan uji statistik dengan menggunakan program komputer. Analisis data terdiri dari: 4.6.1 Analisis Univariat Untuk melihat distribusi frekuensi dari tiap-tiap variabel, baik gejala SBS yang terjadi dan parameter kualitas udara dalam ruang.
80
4.6.2 Analisis Bivariat Analisis data bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan
atau
berkorelasi.
Dalam
penelitian
ini
variabel
kualitas
mikrobiologi udara yaitu jumlah koloni bakteri patogen, jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok dengan variabel gejala fisik SBS dianalisis dengan menggunakan uji tes chi square pada derajat kepercayaan 95% untuk mengetahui hubungan parameter bakteri patgen udara dalam ruang dan faktor demografi dengan gejala-gejala fisik SBS pada responden di Gedung X. 4.6.3 Analisis Multivariat Analisis multivariat digunakan untuk melihat hubungan beberapa variabel independen yaitu jumlah koloni bakteri patogen, jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitivitas terhadap asap rokok dengan variabel dependen yaitu kejadian gejala fisik SBS, sehingga diketahui variabel mana yang dominan pengaruhnya terhadap variabel dependen.
81
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Gambaran Umum Gedung X Gedung X merupakan gedung perkantoran di lokasi yang strategis, menempati salah satu lokasi di kawasan pekantoran modern, Perusahaan X selaku perusahaan yang bergerak di bidang jasa penyedia gedung perkantoran membangun proyek gedung perkantoran berlantai 10 ini dengan tujuan menawarkan akses yang mudah dan strategis bagi para customer-nya. Luas lahan yang ditempati oleh Gedung X kurang lebih 2 ha, luas bangunan memiliki luas ± 1000 m2. Bangunan gedung terdiri dari dari 10 lantai yang terdiri dari basement, ground floor, lantai 1 sampai lantai 10. Jumlah karyawan yang menempati gedung X seluruhnya sekitar 693 orang dan sisanya merupakan karyawan dari bagian pengelola Gedung X. Gedung X ini beroperasi dari senin hingga jum’at sejak pukul 08.00-17.00. Sistem pendingin ruangan yang digunakan sebagian besar menggunakan sistem AC sentral kecuali pada area basement. Ruangan yang diteliti meliputi 8 perusahaan yang terdapat di 10 lantai. Terdapat sekitar 61 perusahaan yang menempati gedung ini. Lantai dua terbagi menjadi 8 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 8 orang diambil dari 2 perusahaan. Lantai lima terbagi menjadi 8 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 19 orang diambil dari 2 perusahaan. Lantai enam terbagi menjadi 4 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini
82
sebanyak 6 orang diambil dari 1 perusahaan. Lantai
delapan terbagi menjadi 5
perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian ini sebanyak 8 orang diambil dari 2 perusahaan. Lantai sepuluh terbagi menjadi 4 perusahaan dengan jumlah responden pada penelitian sebanyak 5 orang diambil dari 1 perusahaan.
5.2 Analisa Univariat Analisis univariat dalam penelitian ini meliputi analisa deskriptif data gambaran kejadian gejala fisik SBS. Kemudian variabel jumlah koloni bakteri patogen udara dan karakteristik responden seperti jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok dalam ruang, dan sensitifitas terhadap asap rokok. 5.2.1 Gambaran gejala fisik SBS Pada penelitian kali ini, data mengenai keluhan-keluhan SBS di gedung X atau ruangan yang dihuni responden dikumpulkan untuk melihat adanya gejala dari sindrom ini. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, untuk megetahui apakah penghuni Gedung X tersebut mengalami kejadian gejala SBS atau tidak, terlebih dahulu dilakukan penyeleksian terhadap keadaan kesehatan responden penelitian tersebut. Jika responden penelitian tersebut saat sebelum memasuki ruangan sudah mengeluhkan gejala-gejala sedang sakit dan memiliki riwayat alergi dan astma, maka responden penelitian tersebut tidak akan dimasukkan ke dalam sampel penelitian. Hal ini dilakukan untuk mengurangi bias terhadap gejala-gejala SBS yang timbul setelah memasuki ruangan. Kemudian, 10-15 menit setelah memasuki ruangan, responden penelitian yang sesuai dengan 83
kriteria sampel pada ruangan tersebut akan diwawancara mengenai gejala-gejala SBS, jika salah satu gejala tersebut dirasakan sedikitnya 30% dari jumlah responden pada peneltian ini maka responden tersebut dinyatakan diduga (suspect) SBS. Kemudian kriteria SBS tersebut ditegakkan dengan persyaratan apabila responden yang merasakan gejala dengan presentase melebihi 30% tersebut menghilang ketika sudah keluar atau pulang meninggalkan kantor, maka responden tersebut dikatakan termasuk dalam kriteria responden dengan gejala SBS. Begitu seterusnya dilakukan pada semua ruangan yang ada dalam gedung tersebut. Kemudian dari 5 lantai yaitu lantai 2, lantai 5, lantai 6, lantai 8, dan lantai 10 dan terdapat 8 perusahaan yang menempati lantai-lantai tersebut yang menunjukkan adanya gejala fisik lebih dari 30%. Hasil jenis dan banyaknya gejala fisik SBS responden penelitian yang dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Gejala-gejala fisik SBS yang ada Berdasarkan Jumlah Responden yang Mengeluhkan Gejala fisik SBS di Gedung X Tahun 2013 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Keluhan/Gejala fisik yang ada Iritasi mata Iritasi hidung Iritasi tenggorokan Rasa kekeringan pada bibir Kulit kering kulit gatal-gatal Merah-merah pada kulit Sakit kepala Sulit berkonsentrasi Rasa lelah Batuk-batuk
Jumlah (n) 4 4 2 17 19 1 0 6 2 15 4
Persentase (%) 8,7 8,7 4,3 37,0* 41,3* 2,2 0,0 13 4,3 32,6* 8,7
84
Tabel 5.1 Gejala-Gejala fisik terhadap Gejala SBS yang ada Berdasarkan Jumlah Responden yang Mengeluhkan Gejala fisik SBS di Gedung X Tahun 2013 (Lanjutan) No. 12 13 14 15 16 17
Keluhan/Gejala fisik yang ada Pilek Sakit telinga Radang tenggorokan Serak pada tenggorokan Sesak nafas Mual dan pusing-pusing
Jumlah (n) 9 2 3 7 1 2
Persentase (%) 19,6 4,3 6,5 15,2 2,2 4,3
Ket: *) suspect SBS , >30% dari total responden
Berdasarkan tabel 5.1 mengindikasi bahwa keluhan gejala fisik SBS yang ada bervariasi. Hasil keluhan secara keseluruhan responden yang didapatkan menunjukkan bahwa gejala fisik SBS yang paling banyak dikeluhkan adalah kulit kering sebanyak 19 responden (41,3%), kemudian rasa kekeringan pada bibir sebanyak 17 responden (37,0%), rasa lelah sebanyak 15 responden (32,0%). Sedangkan gejala fisik yang paling sedikit dirasakan adalah pilek sebanyak 9 responden (19,6), serak pada tenggorokan sebanyak 7 responden (15,2%), sakit kepala sebanyak 6 responden (13%), batuk-batuk sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi mata sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi hidung hanya sekitar 4 responden (8,7%),. Lalu sulit berkonsentrasi, radang tenggorokan sebanyak 3 responden (6,5%), dan iritasi tenggorokan, sulit berkonsentrasi, sakit telinga, mual serta pusing-pusing sebanyak 2 responden (4,3%). Kulit gatal-gatal dan sesak nafas masing-masing sebanyak 1 responden (2,2%), dan yang terakhir merah-merah pada kulit tidak dirasakan satu pun responden (0,0%).
85
Tabel 5.2 Persentase Gejala SBS Berdasarkan Lantai dan Perusahaan Tempat Responden Bekerja di Gedung X Tahun 2013 Lokasi Lantai 2
Perusahaan 1 Perusahaan 2
Lantai 5
Perusahaan 3 Perusahaan 4
Lantai 6
Perusahaan 5
Lantai 8
Perusahaan 6 Perusahaan 7
Lantai 10
Perusahaan 8
Gejala fisik SBS SBS Non SBS 1 3 25% 75% 1 3 25% 75% 4 6 40% 60% 7 2 78% 22% 2 4 33% 67% 3 1 75% 25% 1 3 25% 75% 1 4 20% 80%
TOTAL 4 100% 4 100% 10 100% 9 100% 6 100% 4 100% 4 100% 5 100%
Dari tabel 5.2 didapatkan bahwa gejala fisik SBS terbanyak terjadi di lantai 5 yaitu Perusahaan 4 dengan 7 kasus SBS (78%) dari 9 responden, lalu di lantai 5 yaitu Perusahaan 3 sebanyak 4 kasus SBS (40%) dari 10 responden, di lantai 8 terdapat Perusahaan 6 dengan 3 kasus dari 4 responden (75%), di lantai 6 Perusahaan 5 sebanyak 2 kasus dari 6 responden (33%), lalu dilantai 1 terdapat Perusahaan 1, Perusahaan 2 dan dilantai 8 Perusahaan 7 yang masing-masing terdapat 1 kasus dari 4 responden (25%), kemudian yang terakhir di lantai 10 Perusahaan 8 dengan 1 kasus dari 5 responden (20%) yang ada.
86
Tabel 5.3 Persentase Gejala-gejala Fisik SBS Berdasarkan Perusahaan Responden di Gedung X Tahun 2013 No .
Keluhan/Gejala fisik yang ada
1
Iritasi mata
2
Iritasi hidung
3
Iritasi tenggorokan
4
Rasa kekeringan pada bibir Kulit kering
5 6
Kulit gatalgatal
7
Merah-merah pada kulit
8
Sakit kepala
9
Sulit berkonsentrasi
10
Rasa lelah
11
Batuk-batuk
12
Pilek
13
Sakit telinga
14
Radang tenggorokan
15
Serak pada tenggorokan
Perusaha an 1
Perusaha an 2
Perusah aan 3
Perusaha an 4
Perusaha an 5
Perusaha an 6
Perusa haan 7
Peru saha an 8
0 0% 0 0% 0 0% 1
0 0% 0 0% 1 50% 1
0 0% 0 0% 0 0% 1
1 25% 4 100% 1 50% 6
2 50% 0 0% 0 0% 4
1 25% 0 0% 0 0% 3
0 0% 0 0% 0 0% 1
0 0% 0 0% 0 0% 0
4 100% 4 100% 2 100% 17
6% 1 5% 0 0% 0 0% 1 17% 1 50% 1 7% 0 0% 1 11% 0 0% 0 0% 0 0%
6% 1 5% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 1 50% 1 33% 1 14%
6% 4 21% 0 0% 0 0% 1 17% 1 50% 4 27% 1 25% 2 22% 0 0% 0 0% 1 14%
35% 6 32% 0 0% 0 0% 3 50% 0 0% 6 40% 3 75% 4 44% 1 50% 2 67% 3 43%
24% 4 21% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 1 7% 0 0% 1 11% 0 0% 0 0% 2 29%
18% 2 11% 1 100% 0 0% 1 17% 0 0% 2 13% 0 0% 1 11% 0 0% 0 0% 0 0%
6% 1 5% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 1 7% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%
0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0% 0 0%
100% 19 100% 1 100% 0 0% 6 100% 2 100% 15 100% 4 100% 9 100% 2 100% 3 100% 7 100%
87
Total
Tabel 5.3 Persentase Gejala-gejala Fisik SBS Berdasarkan Perusahaan Responden di Gedung X Tahun 2013 (Lanjutan) No .
Keluhan/Gejala fisik yang ada
16
Sesak nafas
17
Mual dan pusing-pusing
Perusaha an 1
0 0% 0 0%
Perusaha an 2
Perusah aan 3
Perusaha an 4
1 100% 0 0%
0 0% 0 0%
0 0% 2 100%
Perusaha an 5
0% 0 0%
Perusaha an 6
0 0% 0 0%
Perusa haan 7
0 0% 0 0%
Peru saha an 8
0 0% 0 0%
Berdasarkan tabel 5.3 mengindikasi bahwa keluhan gejala fisik SBS yang ada bervariasi di kedelapan perusahaan. Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa gejala SBS paling banyak dikeluhkan responden adalah kulit kering, yang paling banyak dirasakan di Perusahaan 4 yaitu sebanyak 6 responden (32,0%). Kemudian gejala SBS seperti rasa kekeringan pada bibir sebanyak 6 responden (35,0%) yang paling banyak terdapat pada juga di Perusahaan 4. Kemudian rasa lelah sebanyak 6 responden (40,0%) juga paling banyak dialami di Perusahaan 4. Kemudian pilek dirasakan paling banyak juga di Perusahaan 4 yakni sebanyak 4 responden (44,0%), Sakit kepala sebanyak 4 responden (40,0%), serak pada tenggorokan sebanyak 3 responden (43,0%) yang juga banyak dirasakan di Perusahaan 4.
88
Total
1 100% 2 100%
Tabel 5.4 Gejala fisik SBS yang Dirasakan Responden Selama 1 Bulan Terakhir Saat Bekerja di Dalam Gedung X 2013
N o
Keluhan/Gejala fisik yang ada
1
Iritasi mata, hidung, tenggorokan Rasa kekeringan bibir
2 3
4 5
6 7
Kulit kering, gatal, merahmerah Lelah dan sulit, berkonsentrasi Infeksi pernafasan dan batuk-batuk Serak dan sesak nafas Mual dan pusing-pusing
Frekuensi Gejala fisik SBS yang Dirasakan Responden Saat di Dalam Gedung Selama 1 Bulan 1-3 kali setiap 1-3 kali terjadi hari/hampir Total terjadi dalam setiap hari sepekan 6 3 1 10 60% 3 18% 6
30% 10 59% 10
10% 4 24% 4
30% 9 52% 5
50% 7 41% 9
20% 1 7% 1
33% 3 38% 0 0%
60% 5 63% 2 100%
7% 3 0% 0 0%
17 20
17 15
8 0
Dari tabel 5.4 terlihat bahwa frekuensi gejala-gejala yang timbul dalam satu bulan terakhir di Gedung X ini terjadi bervariasi. Didapat frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 kali terjadi dalam sebulan adalah sakit kepala, lelah, sulit, berkonsentrasi sebanyak 9 responden (69,0%), dan frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 terjadi dalam sepekan adalah kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 10 responden (50%) dan rasa kekeringan bibir yang juga sebanyak 10 responden (59%) , serta frekuensi 89
terbanyak yang dirasakan setiap hari atau hampir setiap hari adalah gejala rasa kekeringan bibir sebanyak 4 responden (24%) dan kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 4 responden (20%). Tabel 5.5 Frekuensi Gejala SBS yang Dirasakan Responden Berdasarkan Hari Selama 1 BulanTerakhir di Gedung X 2013
No.
1 2 3 4 5 6 7
Keluhan/Gejala fisik yang ada
Gejala yang dirasakan responden selama sebulan terakhir dalam hari Hari/Bulan %
Iritasi mata, hidung, tenggorokan Rasa kekeringan bibir Kulit kering, gatal, merahmerah
67
14%
109
22%
118
24%
Sakit kepala, lelah, sulit, berkonsentrasi
84
17%
48
10%
30 36 472
6% 7%
Infeksi pernafasan dan batukbatuk Serak dan sesak nafas Mual dan pusing-pusing Total
100
Dari tabel 5.5 didapat bahwa gejala yang tersering dirasakan responden penelitian dalam satu bulan terakhir dihitung dalam hari adalah kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 188 hari (24%) Disusul gejala kekeringan pada bibir sebanyak 109 hari (22%). Kemudian gejala kumpulan gejala sakit kepala, lelah, sulit berkonsentrasi sebanyak 84 hari (17%) dari total hari semua gejala.
90
Tabel 5.6 Frekuensi Responden yang Masih Merasakan Gejala-Gejala SBS Setelah Keluar Gedung, Ketika Berlibur/Cuti, dan Waktu Dimana Gejala-Gejala SBS Dirasakan Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Kondisi Responden
Masih merasakan n (%)
Sudah Tidak merasakan n (%)
Responden yang masih merasakan gejala-gejala SBS setelah keluar dari gedung tempat bekerja
12 (37,5%)
20 (62,5%)
Total n (%) 32 (100%)
Dari tabel 5.6 didapat bahwa frekuensi responden yang masih merasakan gejala-gejala SBS setelah keluar dari Gedung X yaitu sebanyak 12 responden (37,5%) masih merasakan sehingga 12 responden ini tidak termasuk sebagai responden yang mengalami gejala SBS, dan sebanyak 20 responden (62,5%) sudah tidak merasakan gejala-gejala SBS setelah keluar dari gedung, 20 responden inilah yang masuk ke dalam kriteria responden dengan gejala SBS. Tabel 5.7 Kapabilitas (Kemampuan/Kualitas) Responden yang Berkurang dan Responden yang Meninggalkan Pekerjaan Dalam Satu Bulan Terakhir Karena Gejala-Gejala Fisik SBS
frekuensi kapabilitas (kemampuan/kualitas) responden berkurang dalam satu bulan karena gejalagejala SBS frekuensi responden yang meninggalkan pekerjaan atau tidak masuk kerja dalam satu bulan karena gejala-gejala SBS
Hari/ Bulan 62
Rata-Rata/ Responden 3,1
21
1,05
Dari tabel 5.7 dilihat bahwa frekuensi kapabilitas (kemampuan/kualitas) bekerja responden yang berkurang dalam satu bulan sebanyak 62 hari dengan
91
rata-rata 3,1 hari. Lalu fekuensi responden yang meninggalkan pekerjaan atau tidak masuk kerja karena gejala-gejala SBS yang dirasakan yaitu sebanyak 21 hari dengan rata-rata 1,05 hari. 5.2.1.1 Penentuan Kasus SBS A. Jumlah Kasus Umum Pada penelitian ini, dikatakan SBS apabila pekerja merasakan gejala yang memenuhi kriteria kasus dan salah satu gejala tersebut dialami oleh 30% dari kasus yang ditemukan saat pengambilan data primer (kuesioner), dan gejala tersebut hanya dialami saat responden berada di dalam gedung kantor dan hilang saat berada di luar kantor atau di rumah. Kemudian dilakukan pengelompokan gangguan kesehatan terhadap keluhan gejala fisik SBS yang paling banyak dikeluhkan responden yaitu adalah kulit kering, rasa kekeringan pada bibir, dan rasa lelah. Sehingga responden yang merasakan ke tiga gejala tersebut masuk ke dalam kriteria kasus SBS. Berikut adalah distribusi dan frekuensi kasus keluhan gejala fisik SBS pada responden dapat dilihat pada tabel 5.8. Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Keluhan Gejala Fisik SBS Pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 SBS Tidak Mengalami Gejala Mengalami gejala Total
Jumlah (n) 26 20
% 56,5 43,5 100
92
Dari tabel 5.8 Dapat terlihat bahwa terdapat 20 responden (43,5%) mengalami SBS sedangkan 26 responden (56,5%) tidak mengalami kasus SBS. Angka responden yang mengalami Kasus gejala SBS ini terbilang tinggi karena jumlah responden yang mengalami SBS hampir dua kali lebih banyak dibandingkan dengan jumlah responden yang tidak mengalami SBS.
5.2.2 Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X Gambaran jumlah koloni bakter patogen udara dalam Gedung X tahun 2013. Tabel 5.9 Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X Tahun 2013 Perusahaan (Lantai)
Cawan
Jumlah
1
Perusahaan 1 (Lt.2)
1 2 3
122 31 21
2
Perusahaan 2 (Lt.2)
1 2 3
51 60 73
3
Perusahaan 3 (Lt.5)
1 2 3
64 71 53
Sampel
Bakteri Cawan Control 3
Total koloni/m3
Bakteri Hemolisis Α Β
610 koloni
-
-
7
683 koloni
-
3
5
676 koloni
-
-
Keterangan BAIK (tidak lebih dari 700koloni/m3 dan tidak terdapat bakteri patogen hemolitik) BURUK (tidak lebih dari 700 koloni/m3, Namun masih terdapat bakteri patogen hemolitik) BAIK (tidak lebih dari 700koloni/m3dan tidak terdapat bakteri patogen hemolitik)
93
Tabel 5.9 Gambaran Jumlah Koloni Bakteri Patogen Udara dalam Gedung X Tahun 2013 (Lanjutan)
Sampel
Perusahaan (Lantai)
Cawan
Jumlah
Bakteri Cawan Control
Total koloni/m3
Bakteri Hemolisis A
B
4
Perusahaan 4 (Lt.5)
1 2 3
211 237 376
4
2786 koloni
-
1
5
Perusahaan 5 (Lt.6)
1 2 3
276 252 331
3
2893 koloni
-
7
6
Perusahaan 6 (Lt.8)
1 2 3
53 62 96
2
723 koloni
1
1
7
Perusahaan 7 (Lt.8)
1 2 3
171 189 224
4
1986 koloni
-
1
8
Perusahaan 8 (Lt.10)
1 2 3
148 0 0
6
573 koloni
-
-
Keterangan BURUK (lebih dari 700 koloni/m3 dan terdapat bakteri patogen hemolitik) BAIK (lebih dari 700 koloni/m3, dan terdapat bakteri patogen hemolitik) BURUK (lebih dari 700 koloni/m3 dan terdapat bakteri patogen hemolitik) BURUK (lebih 700 koloni/m3 dan terdapat bakteri patogen hemolitik) BAIK (tidak melebihi 700 koloni/m3 dan tidak terdapat bakteri patogen hemolitik)
Dari tabel 5.9 Pada hasil pengujian kualitas mikrobiologi udara pada ruang kerja diperoleh hasil bahwa dari 5 perusahaan dari 8 perusahaan yang diuji kualitas mikrobiologi udaranya diketahui melampaui Nilai Ambang Batas (NAB) yang telah ditentukan oleh Kepmenkes No.1405/Menkes/SK/XI/2002 dimana tercantum bahwa jumlah koloni bakteri dalam suatu ruangan kerja tidak boleh melebihi 700 koloni/m3 udara dan tidak boleh ada bakteri patogen. Lima perusahaan yang tersebut tadi telah melebihi NAB yang telah ditentukan dengan
94
jumlah koloni bakteri yang paling banyak terdapat pada Perusahaan 5 (2893 koloni/m3 dan 7 bakteri patogen hemolitik beta), lalu disusul Perusahaan 4 (2786 koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta). Perusahaan yang memenuhi persyaratan atau ketentuan Depkes RI adalah Perusahaan 8 (576 koloni/m3), Perusahaan 1 (610 koloni/m3), dan Perusahaan 3 (676 koloni/m3) pada ruang kerjanya. Namun perusahaan dengan jumlah koloni dibawah 700 koloni/m3 seperti Perusahaan 2 masih dikatakan belum memenuhi persyaratan Depkes RI dikarenakan masih terdapat bakteri patogen hemolitik beta pada sampel yang diambil pada ruang kerja perusahaan tersebut. 5.2.3 Distibusi Frekuensi Karakteristik Responden Gambaran distribusi karakteristik pekerja pada responden penelitian di Gedung X tahun 2013. Tabel 5.10.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian Sesuai Jenis Kelamin Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Total
Jumlah (n) 25 21 46
Persentase (%) 54,3 45,7 100
Dilihat dari tabel 5.10.1 jumlah total responden dalam penelitian ini sebanyak 46 responden. Distribusi frekuensi jenis kelamin responden dapat dilihat dari tabel 5.12.1 bahwa sebagian besar responden adalah laki-laki yaitu 25 orang (54, 3%) dan perempuan sebanyak 21 orang (45, 7%).
95
Tabel 5.10.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian Sesuai Kebiasaan Merokok dalam Ruangan Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Variabel Kebiasaan Merokok dalam ruang kerja
Kategori Tidak Terbiasa Terbiasa
Total Sensitivitas terhadap Asap Rokok
Tidak Sensitif Sensitif
Total
Jumlah (n) 37 9 46 19 27 46
Persentase (%) 80,4 19,6 100 41,3 58,7 100
Dilhat dari tabel 5.10.2 didapatkan distribusi frekuensi merokok dalam ruangan responden dapat dilihat bahwa sebanyak 37 responden (80, 4%) tidak merokok, dan sebanyak 9 responden (19, 6%) merokok. Kemudian distribusi frekuensi responden yang tidak sensitif terhadap asap rokok dalam ruang dapat dilihat sebanyak 19 responden (41,3%), dan sebanyak 27 responden (58,7%) sensitif. Tabel 5.10.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian Sesuai Umur dalam Ruangan Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Kelompok Umur (tahun) <30 >30
Jumlah (n)
Persentase (%)
29 17
63 37
Berdasarkan tabel 5.10.3 diketahui gambaran disribusi kelompok umur responden penelitian <30 tahun sebesar 63% sedangkan kelompok umur responden penelitian >30 tahun sebesar 37%.
96
Tabel 5.10.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Responden Penelitian Sesuai Status Gizi dalam Ruangan Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Status Gizi Tidak Normal Normal Total
Jumlah (n) 12 34 46
Persentase (%) 26,1 73,9 100
Mean 21,96
SD 3,894
Min-Max 16-39
Berdasarkan tabel 5.10.4 didapatkan pula gambaran disribusi status gizi responden penelitian ditempat kerja yang tidak normal sebanyak 12 responden (26,1%), dan yang normal sebanyak 34 responden (73, 9%) dengan rata-rata IMT responden penelitian ditempat kerja adalah 21,95 dengan standar deviasi 3,89. IMT responden penelitian ditempat ruangan terrendah adalah 16, 04 dan tertinggi adalah 39,06.
5.3 Analisa Bivariat Analisis Bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. dalam penelitian ini menggunakan uji chi-square, Mann Whitney dan uji T-test. Uji chi-square dilakukan untuk mencari hubungan antara variabel Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan merokok dalam ruangan dengan variabel gejala fisik SBS.
97
5.3.1 Hubungan Antara Jumlah Bakteri Patogen Udara dalam Ruang Kerja dengan Gejala Fisik SBS Tabel 5.11 Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang Kerja Dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 Jumlah Bakteri Patogen Udara Baik Buruk
Tidak N 13 13
% 65 50
Ya N 7 13
Gejala Fisik SBS Total % 35 50
N 20 26
% 100 100
P value
PR 95% CI
0,473
1,300 0,788-2,146
Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri udara yang buruk sebagian besar mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 13 orang (50%). Sedangkan responden yang bekerja pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri udara yang baik sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 13 orang (65%). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diketahui jumlah koloni bakteri udara tidak memiliki hubungan yang bermakna (P value>0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,473.
98
5.3.2 Hubungan antara Karakteristik Responden Penelitian (Jenis Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan Gejala fisik Sick Building Sydrome pada Responden Penelitian di Gedung X tahun 2013 Hubungan antara karakteristik pekerja berdasarkan (Jenis Kelamin, Umur, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan gejala fisik SBS pada responden penelitian Gedung X tahun 2013 dapat dilihat pada tabel 5.12 Tabel 5.12 Hubungan antara karakteristik responden (Jenis Kelamin, Status Gizi, Kebiasaan Merokok, dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok) dengan gejala fisik Sick Building Sydrome pada responden penelitian Gedung X tahun 2013 Gejala Fisik SBS Karakteristik responden penelitian
Jenis Kelamin
Umur
Status Gizi
Kebiasaan Merokok
Sensitivitas terhadap Asap Rokok
Kategori
Tidak
Ya
Total
Laki-laki
N 20
% 80
N 5
% 20
N 25
% 100
Perempuan
6
28,6
15
71,4
21
100
<30 Tahun
14
48,3
15
51,7
29
100
>30 Tahun
12
70,6
5
29,4
17
100
Normal Tidak Normal Tidak terbiasa
20
58,8
14
41,2
34
100
6
50,0
6
50,0
12
100
18
50,0
18
50,0
36
100
Terbiasa
8
80,0
2
20,0
10
100
Tidak Sensitif
15
78,9
4
21,1
19
100
Sensitif
11
40,7
16
59,3
27
100
P value
PR 95% CI
0,001
2,800 1,3855,662 0,684 0,4211,112 1,176 0,6252,213
0,244
0,848
0,150
0,625 0,3980,980
0,023
1,938 1,1633,229
99
5.3.2.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki jenis kelamin perempuan sebagian besar mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 15 responden (71,4%). Sedangkan pada responden yang memiliki jenis kelamin laki-laki sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 20 orang (80.0%). Sehingga berdasarkan hasil uji statistik chi-square diketahui jenis kelamin responden penelitian memiliki hubungan yang bermakna (P value <0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,001. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 2,800 (95% CI 1,385-5,662) artinya responden yang memiliki jenis kelamin perempuan berpeluang 2,800 kali untuk mengalami gejala fisik SBS dibandingkan dengan responden laki-laki.
5.3.2.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.12 didapatkan rata-rata umur responden penelitian adalah 29.67 atau 30 tahun. Dan lalu diketahui bahwa responden yang memiliki umur di atas 30 tahun sebagian besar mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 5 responden (29,4%). Sedangkan pada responden yang umur dibawah 30 tahun sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 14 orang (48,3%). Sehingga berdasarkan hasil uji statistik 100
chi-square diketahui umur responden penelitian tidak memiliki hubungan yang bermakna (P value>0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,244. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 0,684 (95% CI 0,421-1,112).
5.3.2.3 Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki status gizi tidak normal sebagian besar mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 6 orang (50,0%).Sedangkan responden yang memiliki status gizi normal sebagian besar tidak mengalami gejala fisik SBS yaitu sebanyak 14 orang (41,2%). Berdasarkan hasil uji statistik chi-square diketahui status gizi responden penelitian tidak memiliki hubungan yang bermakna (P value>0,05) dengan gejala fisik SBS, P value = 0,848. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 1,176 (95% CI 0,625-2,213).
5.3.2.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki kebiasaan merokok dalam ruangan dan mengalami keluhan SBS 101
yaitu sebanyak 2 orang (20,0%). Sedangkan responden yang tidak memiliki kebiasaan merokok dalam ruang kerja dan tidak mengalami keluhan SBS yaitu sebanyak 18 orang (50,0%). berdasarkan hasil uji statistik chi-square diketahui kondisi merokok responden penelitian tidak memiliki hubungan yang bermakna (P value>0,05) dengan keluhan SBS, P value = 0,150. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 0,023 (95% CI 1,163-3,229). Mungkin saja hal ini terjadi karena tingkat SBS pada responden penelitian yang tidak merokok cukup tinggi yaitu sebanyak 36 responden (78,3%) sebab dibandingkan dengan perokok aktif, perokok sensitif jauh lebih peka terhadap efek dari asap rokok yang ada disekitarnya. Berdasarkan tabel 5.12 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki sesitivitas terhadap asap rokok dan mengalami keluhan SBS yaitu sebanyak 16 orang (59,3%) dan tidak ada perokok aktif yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok ini. Sedangkan responden yang tidak memiliki sensitivitas terhadap asap rokok dan tidak mengalami keluhan SBS yaitu sebanyak 15 orang (78,9%). berdasarkan hasil uji statistik chisquare diketahui kondisi sensitivitas responden penelitian terhadap asap rokok memiliki hubungan yang bermakna (P value<0,05) dengan keluhan SBS, P value = 0,023. Analisis keeratan hubungan dua variabel diperoleh PR = 1,938 (95% CI 1,163-3,229) artinya responden yang sensitivitas terhadap asap rokok perempuan berpeluang 1,938 kali untuk mengalami 102
gejala fisik SBS dibandingkan dengan yang tidak memiliki sensitivitas terhadap asap rokok.
5.4 Analisa Multivariat Analisis Multivariat dilakukan untuk melihat variabel independen mana yang paling berpengaruh terhadap terjadinya keluhan Sick Building Sydrome. Tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat meliputi pemilihan kandidat multivariat, pembuatan model dan analisis interaksi.
A. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat Adapun untuk pemilihan variabel kandidat, variabel-variabel independen yang ada terlebih dahulu dilakukan analisis bivariat dengan variabel dependen yaitu Sick Building Sydrome. Setelah melalui analisis bivariat, variabel dengan nilai P value <0,25 dan mempunyai kemaknaan secara substansi dapat dijadikan kandidat yang akan dimasukkan ke dalam model multivariat. Namun dalam hal ini semua variabel dianggap mempunyai kemaknaan secara substansi sehingga semua dianggap sebagai kandidat untuk dianalisis. Hasil analisis bivariat antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.13.
103
Tabel 5.13 Hasil Analisis Bivariat antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status gizi, Kebiasaan Merokok dan Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 No.
Variabel
P value
1
Jumlah Koloni Bakteri Patogen
0,473
2
Jenis Kelamin
0,001
3
Umur
0,244
4
Status Gizi
0,848
5
Kebiasaan Merokok dalam ruang
0,150
6
Sentivitas Terhadap Rokok
0,023
B. Pembuatan model Analisis multivariat dengan faktor prediksi dilakukan untuk mendapatkan model yang terbaik dalam menentukan determinan keluhan SBS. Dengan pemodelan ini semua variabel kandidat dicobakan secara bersama-sama. Model terbaik akan dipertimbangkan pada nilai P value <0,1. Pemilihan model dilakukan secara hirarki dengan cara semua variabel independen yang menjadi kandidat yang memenuhi syarat dimasukkan ke dalam model, kemudian variabel P value >0,1 dikeluarkan dari model satu-persatu. Secara keseluruhan hasil pembuatan model faktor penentu dapat dilihat pada tabel 5.14.
104
Tabel 5.14 Hasil Analisis Multivariat Pembuatan Model Variabel Independen dengan Keluhan SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 No.
Variabel
Model 1
Model2 Model 3 Model 4 Model 5
1
Jumlah Koloni Bakteri Patogen
0,442
0,470
0,441
-
-
2
Jenis Kelamin
0,014
0,10
0,006
0,003
0,003
3
Umur
0,310
0,274
0,318
0,223
-
4
Status Gizi
0,566
0,506
-
-
-
5
Kebiasaan Merokok
0,778
-
-
-
-
6
Sensitivitas Terhadap Asap Rokok
0,055
0,041
0,048
0,059
0,044
Dari hasil analisis data yang ditunjukkan tabel 5.14 diketahui bahwa enam variabel yang dianalisis, terdapat dua variabel yang masuk ke dalam permodelan akhir uji regresi. Tabel 5.14 menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin dan sensivitas terhadap asap rokok pada responden penelitian mempunyai P value (P wald) <0,1. hal tersebut menunjukkan bahwa variabel jenis kelamin dan sensivitas terhadap asap rokok merupakan variabel yang mempunyai hubungan secara signifikan dengan keluhan SBS. Sedangkan untuk variabel lainnya dikeluarkan karena mempunyai P value (P wald) >0,1. Hasil analisis multivariat untuk variabel jenis kelamin dan sensivitas terhadap asap rokok setelah variabel jumlah koloni bakteri patogen, kebiasaan merokok, status gizi, dan umur dikeluarkan dapat dilihat pada tabel 5.15.
105
Tabel 5.15 Hasil Akhir Permodelan Variabel Independen dengan Gejala Fisik SBS Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 No.
Variabel
1
Jenis Kelamin Sensitivitas terhadap asap
2
rokok
B
P wald
Exp(B)
95% CI
2,211
0,003
9,124
2,153-38,656
1,565
0,044
4,782
1,044-21,893
Hasil tabel 5.15 diperoleh bahwa nilai PR jenis kelamin 9,124, artinya responden penelitian berjenis kelamin perempuan berpeluang untuk mengalami keluhan SBS sebesar 9,124 kali dibandingkan dengan responden penelitian berkjenis kelamin laki-laki. Kemudian hasil analisis diperoleh bahwa pada nilai PR sensitivitas terhadap asap rokok 4,782, artinya pada responden penelitian yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, akan mengalami keluhan SBS sebesar 4,782 kali dibandingkan pada responden penelitian yang tidak sensitif terhadap asap rokok. Kemudian setelah didapat nilai PR dari kedua variabel terakhir yang masuk permodelan diambilah kesimpulan bahwa variabel jenis kelamin menjadi faktor yang paling dominan hubungannya dengan
kejadian gejala fisik SBS yang
terjadi dengan nilai PR yang lebih besar dari variabel sensitivitas terhadap asap rokok.
106
BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini menggunakan desain cross sectional yang bertujuan untuk mencari hubungan antara jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang dan faktor demografi dengan kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian dengan melakukan pengukuran sesaat. Namun baik variabel faktor risiko maupun variabel efek dinilai bersamaan. Faktor-faktor risiko serta efek diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu observasi, jadi tidak ada tindak lanjut atau follow up. Pada studi ini masih ditemukan beberapa keterbatasan dan kekurangan, meliputi: Sulitnya menentukan sebab dan akibat karena pengambilan data risiko dan efek dilakukan pada saat bersamaan, akibatnya tidak mungkin ditentukan mana penyebab dan mana akibat. Timbulnya gejala SBS pada responden penelitian hanya berdasarkan persepsi, kemampuan mengingat dan kerjasama responden tanpa ditunjang dengan pemeriksaan klinik atau laboratorium dan dibatasi hanya pada ada atau tidak adanya gejala selama periode waktu penelitian. Penentuan responden dibatasi oleh pihak pengelola gedung terkait masalah perizinan, karena hal tersebut peneliti tidak dapat mempresentasikan secara keseluruhan kejadian gejala fisik SBS di Gedung X
107
Secara teori terdapat beberapa variabel seperti kualitas kimia dan fisik udara yang mungkin berhubungan dengan keluhan SBS, namun variabel tersebut tidak diteliti karena keterbatasan waktu dan biaya. Oleh karena itu, penelitian ini hanya dibatasi pada faktor mikrobiologi udara (bakteri patogen) dan karakteristik responden (jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok dalam ruang, dan sensitivitas responden terhadap asap rokok) Pengukuran jumlah koloni bakteri patogen dalam ruang kerja tidak diukur secara terus menerus pada periode tertentu dan tidak dilakukan pengulangan dalam periode pengukuran. Fluktuasi data dan kecenderungan kualitas mikrobiologi udara dalam ruangan tidak bisa ditentukan secara tepat. Alat yang digunakan dalam pengukuran kecepatan udara tidak terlalu sensitif terhadap udara yang ada, sehingga dikhawatirkan hal ini dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang ada.
6.2 Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 SBS merupakan kumpulan gejala yang disebabkan oleh buruknya kualitas udara dalam ruangan, yang terjadi minimal satu gejala dirasakan oleh 30% dari total responden di dalam gedung (WHO, 2005). Kemudian penentuan gejala fisik SBS ditopang juga oleh Indikator SBS yang dikutip dari EPA Indoor Air Facts No. 4 (1991): a. Responden
penelitian
dalam
gedung
mengeluhkan
gejala-gejala
ketidaknyamanan akut seperti sakit kepala, iritasi mata, hidung, tenggorokan, 108
batuk kering, kulit kering atau gatal, pusing dan mual, kesulitan berkonsentrasi, lelah dan bau b. Penyebab dari gejala-gejala tidak diketahui c. Kebanyakan responden penelitian sembuh setelah meninggalkan gedung
Berdasarkan hasil penelitian ternyata keluhan terhadap kasus gejala fisik SBS terlihat bahwa 20 responden (43,5%) mengalami gejala fisik SBS dan 26 responden (43,5%) tidak mengalami kasus gejala fisik SBS. Angka tersebut merupakan angka yang cukup tinggi dalam kasus ini karena hampir setengah dari jumlah total responden mengalami gejala fisik SBS. Berdasarkan jumlah yang ada, sebaiknya keluhan yang ada ini sangat perlu diwaspadai untuk kemudian dilakukan penanganan dan pencegahan terhadap keluhan yang ada, agar keluhan yang ada dapat dikurangi dan tidak bertambah banyak di kemudian hari. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa gejala fisik SBS yang paling banyak dikeluhkan adalah kulit kering sebanyak 19 responden (41,3%), kemudian rasa kekeringan pada bibir sebanyak 17 responden (37,0%), rasa lelah sebanyak 15 responden (32,0%). Sedangkan gejala fisik yang paling sedikit dirasakan adalah pilek sebanyak 9 responden (19,6), serak pada tenggorokan sebanyak 7 responden (15,2%), sakit kepala sebanyak 6 responden (13%), batuk-batuk sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi mata sebanyak 4 responden (8,7%), iritasi hidung hanya sekitar 4 responden (8,7%). Lalu sulit berkonsentrasi, radang tenggorokan sebanyak 3 responden (6,5%), dan iritasi tenggorokan, sulit berkonsentrasi, sakit telinga, mual serta pusing-pusing 109
sebanyak 2 responden (4,3%). Kulit gatal-gatal dan sesak nafas masing-masing sebanyak 1 responden (2,2%), dan yang terakhir merah-merah pada kulit tidak dirasakan satupun responden (0,0%). Hal di atas sejalan dengan pendapat Bobic et al., 2009, Eriksson dan Stenberg 2006 dalam Wahab 2010 bahwa gejala-gejala SBS dikelompokkan dalam beberapa kategori gejala fisik antara lain: Pertama, iritasi membran mukosa ditandai dengan gejala seperti iritasi mata, iritasi tenggorokan, iritasi bibir, batuk, kulit kering, mata kering, hidung atau tenggorokan kering. Kedua, Efek neurotoksik ditandai dengan sakit kepala, kelelahan, sulit berkonsentrasi, pingsan. Ketiga gejala pernapasan ditandai dengan sulit bernapas, batuk, bersin, nyeri dada, dada seperti tertekan. Keempat, gejala kulit seperti kemerahan, kering dan ruam. Terakhir, perubahan sensor kimia seperti meningkatnya persepsi abnormal dengan gangguan penglihatan. Kemudian didapat bahwa frekuensi gejala-gejala yang timbul dalam satu bulan terakhir di gedung X ini terjadi bervariasi. Didapat frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 kali terjadi dalam sebulan adalah sakit kepala, lelah, sulit, berkonsentrasi sebanyak 9 responden (69,0%), dan frekuensi terbanyak gejala yang dirasakan 1-3 terjadi dalam sepekan adalah kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 10 responden (50%) dan rasa kekeringan bibir yang juga sebanyak 10 responden (59%) , serta frekuensi terbanyak yang dirasakan setiap hari atau hampir setiap hari adalah gejala rasa kekeringan bibir sebanyak 4 responden (24%) dan kumpulan gejala kulit kering, gatal, merah-merah sebanyak 4 responden (20%). 110
6.3 Hubungan Antara Jumlah Koloni Bakteri Patogen di Udara Dalam Ruang Kerja Dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruangan dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar responden mengalami gejala fisik SBS terjadi pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri tidak normal atau tidak sesuai Nilai Ambang Batas (NAB) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan RI yaitu 700 koloni bakteri/m3. Namun persentase kejadian gejala fisik SBS ini juga dinilai tinggi terjadi pada ruangan yang telah sesuai dengan NAB bakteri udara dalam ruang. Penyebab tingginya persentase responden yang mengalami SBS justru pada ruangan dengan jumlah koloni bakteri normal, diduga karena ditemukannya jamur khas yang biasa ditemukan di ruangan dan merupakan pemicu kejadian SBS. Apabila mengacu pada ECC (Soto, 2009), keberadaan mikroorganisme udara dalam ruangan dalam jumlah ambang normal yaitu <50 cfu/m3 (bakteri) dan 25 cfu/m3 (jamur) patut diwaspadai karena potensial menyebabkan gejala SBS. Hasil penelitian Sulistiowati (2001) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme di dalam udara ruangan. Burge dalam Lunau (1990) menyebutkan bahwa keberadaan bakteri dan jamur menunjukkan tidak ada korelasi bermakna dengan terjadinya gejala SBS. Penelitian ini menyebutkan bahwa korelasi bermakna terjadi pada kemampuan mikroorganisme yang ditemukan di udara dalam memproduksi toksin. 111
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara jumlah koloni mikroorganisme khususnya jamur terhadap kejadian SBS pada lingkungan kerja non-industri (Kolstad, 2000). Penelitian Marmot (2006) menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni mikroorganisme dalam udara ruang dengan kejadian SBS. Marmot mengambil kesimpulan dari penelitiannya bahwa kondisi fisik lingkungan kerja tidak terlalu penting dibandingkan faktor psikososial pekerja yaitu beban kerja. Penelitian Prasasti (2004) menyatakan bahwa jumlah koloni jamur di udara mempunyai resiko lebih besar dibandingkan dengan jumlah koloni bakteri udara terhadap kejadian SBS di ruang kerja. Prasasti juga menyebutkan bahwa jamur berpengaruh terhadap gejala SBS berupa iritasi hidung dengan risiko sebesar 16,463 kali pada ruangan dengan jumlah koloni jamur yang bertambah banyak. Sedangkan untuk bakteri, disebutkan bahwa terdapat risiko 1,008 kali berupa gangguan mual apabila terdapat pertambahan jumlah kuman di dalam ruangan.
6.4 Faktor Demografi Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan, dari empat variabel faktor demografi (jenis kelamin, umur, status gizi, kebiasaan merokok, dan sensitifitas terhadap asap rokok) yang diteliti, yang terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala SBS adalah variabel jenis kelamin. Sedangkan variabel lainnya tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian gejala fisik SBS. 112
6.4.1 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Gejala fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik menemukan hubungan antara jenis kelamin responden penelitian dengan gejala SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden perempuan
mengalami
SBS
(71,4%).
Jenis
kelamin
perempuan
akan
menyebabkan kejadian SBS sebesar 2,8 kali lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang berjenis kelamin laki-laki. Hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Brasche (2001) dan Margaretha W, dkk (2003), dengan uji korelasi berganda bahwa perempuan lebih banyak mengalami SBS dibandingkan laki-laki. Pada penelitian Sobari (1997) memperlihatkan hal yang sama bahwa kaum wanita memiliki hubungan yang signifikan dengan SBS. Pada penelitiannya didapat nilai PR=1,57, hal ini berarti kaum wanita mempunyai kecendurungan 1,57 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding kaum pria. Hal tersebut disebabkan karena wanita lebih rentan terhadap perubahan udara, beban kerja, dan tanggung jawab dalam rumah tangga sehingga membuat tingkat stress yang ada menjadi lebih tinggi (Apte et al., 1997). Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Burge pada tahun 2003 membuktikan bahwa jenis kelamin merupakan faktor risiko terjadinya kumpulan gejala SBS pada gedung. Siklus menstruasi bulanan merupakan salah satu faktor penyebab perempuan mudah terkena anemia. Beberapa gejala hampir menyerupai SBS yaitu lelah, tidak mampu berkonsentrasi, kurang selera makan, pusing, sesak nafas, mudah 113
kesemutan, merasa mual-mual dan jantung berdebar-debar. Perempuan yang bekerja mempunyai beban ganda selain bekerja di tempat kerja, juga mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci, menyapu dan lain sebagainya, dari menunjukan bahwa perempuan selalu melakukan pekerjaan rumah tangga sebelum berangkat bekerja (Rosa, 2008). Menurut Winarti (2003), hal ini dapat terjadi karena wanita merupakan perokok pasif (lebih berisiko terpajan dengan asap rokok), kondisi fisik wanita lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria.
6.4.2 Hubungan Antara Umur dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Pada penelitian ini, faktor umur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan dengan kejadian gejala SBS (p= 0,244). Kelompok umur responden di atas 30 tahun yang mengalami gejala fisik SBS sebanyak 29,4% kemudian kelompok umur responden di bawah 30 tahun yang mempunyai gejala fisik SBS sebanyak 51,7%. Hal ini sejalan dengan penelitian Duniantri (2009) bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kejadian SBS dengan umur responden penelitian pada kategori kelompok umur di bawah 29 tahun dan di atas 29 tahun dengan
114
nilai p= 0,849. Didukung dengan penelitian yang dilakukan oleh Winarti (2003) bahwa umur bukan merupakan pemicu keluhan SBS. Pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara kelompok umur dengan kejadian gejala fisik SBS. Hal ini mungkin disebabkan karenan responden di gedung X pada kelompok umur di bawah 30 tahun sebesar 63% lebih banyak dibandingkan kelompok umur di atas 30 tahun sebesar 37%. Menurut hasil penelitian Ruth (2009) bahwa ada hubungan yang signifikan antara umur responden penelitian dengan kejadian SBS. Dari hasil analisis, diperoleh nilai PR=3,208 artinya responden penelitian berumur 21-30 tahun mempunyai risiko 3,208 kali lebih besar mengalami SBS dibandingkan responden penelitian yang berumur 31-40 tahun. Menurut Hedge dan Mendell, usia yang lebih muda ikut berperan dalam menimbulkan gejala dan keluhan SBS (Anies, 2004). Sedangkan seharusnya menurut teori bahwa kelompok umur yang lebih tua memiliki resiko mengalami gejala SBS karena pemaparan zat toksik akan menimbulkan dampak yang serius pada mereka yang berusia tua daripada kelompok umur yang lebih muda.
6.4.3 Hubungan Antara Status Gizi dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi responden penelitian dengan kejadian gejala fisik SBS.
115
Persentase terbesar menunjukkan status yang tidak normal, mengalami SBS (50,0%). Kemudian pada peneltian Lisyastuti (2010) didapat bahwa nilai p=0,64 dan OR=0,8 yang berarti tidak ada hubungan yang signifikan antara gejala fisik SBS dengan status gizi responden penelitian dan status gizi yang tidak normal mempunyai risiko 0,8 kali lebih besar untuk mengalami SBS dibanding responden penelitian berstatus gizi normal. Fenomena ini erat kaitannya dengan tercukupinya kebutuhan tubuh akan gizi seimbang yang akan meningkatkan daya tahan tubuh terhadap kondisi lingkungan yang tidak kondusif. Dalam kondisi normal manusia memiliki proteksi diri terhadap infeksi dari bakterial yaitu melalui sistem imunitas tubuh. Kemampuan merawat dan menjaga kontinuitas sistem imun ini akan mengurangi resiko infeksi yang ditimbulkan oleh bakteri. Rendahnya sistem imun tubuh erat kaitannya dengan status gizi. Tubuh manusia memerlukan diet seimbang yang menyediakan cukup nutrisi, mineral dan vitamin untuk fungsi dan efektivitas sistem imun (Chandra, 2004 dalam Lisyastuti, 2010). Sistem imun individu dipengaruhi antara lain oleh status hormon, umur dan status gizi (Hedlund, 1995).
6.4.4 Hubungan Antara Kebiasaan Merokok dalam Ruang dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kebiasaan merokok responden di dalam ruang dengan kejadian gejala fisik 116
SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden berstatus merokok di dalam ruang, mengalami SBS (20,0%). Sebagai pencemar dalam ruang asap rokok merupakan bahan pencemar yang biasanya mempunyai kuantitas paling banyak dibandingkan dengan bahan pencemar lain. Terdapat sebanyak 10 (21,7 %) responden memiliki kebiasaan merokok dalam ruang. Aktivitas merokok di dalam ruangan yang sering dilakukan oleh mereka yang mempunyai kebiasaan merokok. Bahkan beberapa responden kedapatan sedang merokok di depan meja kerja saat penelitian berlangsung. Pada penelitian ini tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan antara perilaku merokok dalam ruangan dengan kejadian SBS. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Winarti, Basuki, dan Hamid (2003), bahwa faktor kebiasaan merokok tidak terbukti berkaitan dengan gejala fisik SBS (nyeri kepala). Hasil yang sama pada penelitian Oktora (2008) didapat hasil yang sama bahwa tidak ada perbedaan kejadian SBS antara pegawai yang mempunyai kebiasaan merokok dengan pegawai yang tidak memiliki kebiasaan merokok dengan nilai p=0,327. Secara teori perilaku merokok dalam ruang merupakan salah satu faktor risiko SBS. Tingginya persentase penderita SBS dari kalangan non-perokok pada penelitian ini sebabkan karena jumlah responden yang non-perokok jauh lebih tinggi. Selain itu, adanya asap rokok akan lebih dirasakan dampaknya pada kalangan non-perokok (perokok pasif) karena sensitivitasnya lebih tinggi. 117
6.4.5 Hubungan Antara Sensitivitas terhadap Asap Rokok dengan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian Gedung X Tahun 2013 Dari hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang bermakna antara sensitivitas responden penelitian terhadap asap rokok dalam ruang kerja dengan kejadian gejala fisik SBS. Persentase terbesar menunjukkan responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok di dalam ruang, mengalami SBS (59,3%). Kemudian, berdasarkan hasil penelitian multivariat didapatkan bahwa sensifitas terhadap asap rokok akan berpeluang untuk menyebabkan terjadinya keluhan SBS pada responden penelitian adalah sebesar 4,782 kali pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap asap rokok, setelah dikontrol oleh variabel jenis kelamin. Asap rokok yang dikeluarkan oleh seorang perokok pada umumnya terdiri dari bahan pencemar berupa karbon monoksida dan partikulat. Bagi perokok pasif hal ini juga merupakan bahaya yang selalu mengancam. Dalam jumlah tertentu asap rokok ini sangat mengganggu bagi kesehatan, seperti: mata pedih, timbul gejala batuk, pernafasan terganggu, dan sebagainya (Pudjiastuti, 1998). Perokok pasif lebih sensitif terhadap karbon monoksida yaitu pada saat konsentrasi karbon monoksida 30 ppm di udara, maka gejala SBS sudah terjadi yaitu pusing. Sebaliknya perokok aktif, baru akan merasakan gejala SBS apabila konsentrasi karbon monoksida di udara 50-250 ppm (NIOSH, 1991). Menurut United States Environment Protection Agency (EPA) faktor dari asap rokok menimbulkan efek rhinitis/faringitis, hidung tersumbat, batuk terus118
menerus, iritasi konjungtiva, sakit kepala, mengi/sesak nafas (konstraksi bronkus), dan eksaserbasi kondisi pernafasan kronis. Efek ini terjadi pada orang dewasa yang kesehariannya terpapar oleh asap rokok di tempat aktivitas kerjanya (EPA, 1991). ETS (Environmental Tobacco Smoke) bersifat dinamis. ETS merupakan campuran kompleks ribuan senyawa kimia, menyebabkan berbagai iritasi, dan ETS juga menyebabkan beberapa gejala akut khas SBS, seperti iritasi mata, hidung, dan tenggorokan (Sundell et al., 1994). Berdasarkan studi Swedish dipertengahan tahun 1990 ditemukan adanya peningkatan gejala-gejala SBS dengan Environmental Tobacco Smoke (ETS). Pada penelitian Mizoue (1998) yang dilakukan pada 1281 karyawan dengan profesi bervariasi di kota-kota negara Jepang menunjukkan bahwa paparan ETS merupakan penentu utama dari SBS pada populasi kerja dengan prevalensi perokok yang tinggi dan beberapa tempat kerja dengan larangan merokok. Hal ini konsisten dengan penelitian Eisner et al., (1998) bahwa berkurangnya gejala iritasi sensorik pada responden yang berprofesi sebagai bartender setelah dibuat perlakuan pelarangan perokok di bar. Hal ini menunjukan bahwa pelarangan merokok di ruang kerja dapat menurunkan prevalensi gejala SBS. Diperkuat dengan pernyataan dari American Journal of Epidemology (2001) bahwa tempat kerja yang memiliki aturan ketat tentang merokok dapat mengurangi tingkat resiko terjadinya gejala SBS.
119
Hasil penelitian eksperimen Rebecca (1991) terkait responden yang sensitif ETS (ETS-S) dan non sensitif ETS (ETS-NS) dengan total 77 responden untuk perlakuan pemaparan asap tembakau konsentrasi CO 45 ppm selama 15 menit dalam ruangan. Dihasilkan bahwa adanya gejala rhinitis (hidung tersumbat, pilek dan bersin) pada 34% responden sensitif ETS. Terjadi peningkatan gejala SBS (hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk) yang signifikan (p<0,01) setelah paparan asap tembakau. Gejala pilek lebih besar dan lebih lama pada subyek ETS-S dibandingkan dengan subyek ETS-NS. Adanya peningkatan yang signifikan (p <0,01) pada persepsi bau dan gejala iritasi mata, iritasi hidung dan tenggorokan terjadi pada kedua kelompok studi. Sedangkan untuk gejala iritasi hidung dan tenggorokan pada subyek ETS-S dilaporkan lebih signifikan.
6.5 Faktor yang Paling Dominan dengan Keluhan Gejala Fisik SBS pada Responden Penelitian di Gedung X Tahun 2013 Dari hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dari 7 variabel yang diduga berhubungan dengan keluhan SBS, terdapat 2 variabel yang berhubungan yaitu jenis kelamin responden dan sensitivitas terhadap asap rokok. Kemudian dilakukan uji regresi logistik berganda dengan memasukkan tidak hanya variabel yang memiliki p value < 0.25 akan tetapi semua variabel penelitian diikutsertakan karena dianggap mempunyai kemaknaan secara substansi. Lalu dari 7 variabel pada pengujian tersebut didapatkan hasil akhir dengan p value <0,1 yaitu jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok. 120
Selanjutnya dari kedua variabel tersebut yaitu jenis kelamin dan sensitifitas terhadap asap rokok ditentukan variabel mana yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS di gedung X tahun 2013. Hal tersebut dapat ditentukan dengan melihat nilai OR yang ada pada kedua variabel permodelan terakhir. Kemudian setelah didapat nilai OR dari kedua variabel terakhir yang masuk permodelan diambilah kesimpulan bahwa variabel jenis kelamin menjadi faktor yang paling dominan hubungannya dengan kejadian gejala fisik SBS dengan nilai OR yang lebih besar (OR 9,124) dari variabel sensitivitas terhadap asap rokok (OR 4,782). Jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok memang terdapat kaitan baik itu secara langsung dan tidak langsung. faktor yang menjadi penyebab adanya keluhan SBS adalah jika pada responden berjenis kelamin perempuan dapat berkaitan dengan keluhan yang dirasakan pada responden yang memiliki sensitivitas terhadap rokok, hal ini secara tidak langsung dapat mempengaruhi dalam timbulkan keluhan yang dirasakan. Sehingga dalam hal ini antara variabel jenis kelamin dan saling terkait. Asap rokok merupakan sumber pencemar ruangan yang potensial. Asap rokok terdiri dari berbagai zat kimia sangat kompleks; yaitu bahan-bahan hasil pembakaran yang tidak sempurna, pestisida yang digunakan pada waktu penanaman tembakau, bahan pengawet, perekat, dan kertas rokok. Secara umum bahan-bahan tersebut dibedakan atas: Nikotin, Tar, CO, Nox, dan gas lainnya.
121
Bahaya asap rokok tidak saja menganggu kesehatan perokok tetapi juga orangorang bukan perokok/perokok pasif yang menghisap rokok secara tidak sengaja atau bahkan yang tidak dikehendakinya. Perokok pasif mempunyai resiko yang lebih besar dibandingkan dengan perokok aktif (Manoppo, A., 1987, KSPKLH, 1993 dalam Wirastini, 1998). Penyakit-penyakit yang berhubungan dengan asap rokok adalah penyakit-penyakit sistem pernafasan, sistem sirkulasi darah, luka lambung, kanker pada bibir, lidah dan kandung kemih. Pada penelitian ini semua responden berjenis kelamin perempuan yang menjadi model dalam penelitian ini merupakan non-perokok yang sebagian besar mengaku merupakan perokok pasif di lingkungan kerjanya. Lalu terdapat juga bahwa 15 dari 21 responden (71,4%) wanita yang sensitif terhadap asap rokok. Pada pembahasan sebelumnya bagi orang yang sensitif terhadap asap rokok dilingkungan kerjanya akan menimbulkan efek-efek yang merugikan kesehatan dan yang merupakan gejala fisik dari SBS seperi pilek, hidung tersumbat, sakit kepala, nyeri dada atau sesak, dan batuk (Rebecca et al, 1991). Kemudian menurut Winarti (2003), keluhan SBS sering terjadi pada wanita karena wanita merupakan perokok pasif (lebih berisiko terpajan dengan asap rokok), kondisi fisik wanita lebih lemah dibandingkan dengan pria, marital statusnya, jabatan kerja yang rendah, psikologikal kerja yang kurang baik karena wanita lebih sensitif dibandingkan dengan pria. Wanita memiliki kemungkinan lebih tinggi dan sensitif terhadap kejadian SBS (Brasche, 2001). Hal ini juga serupa dengan penelitian Winarni (2003) yang diketahui
122
bahwa jenis kelamin wanita terbukti lebih beresiko terkena SBS dibandingkan dengan laki-laki. Swedish Office Illnes Project (Sundell, 1994) menyatakan bahwa wanita memiliki risiko mengalami gejala SBS lebih besar yaitu 35% dibandingkan dengan laki-laki yang hanya 21%. Biasanya wanita lebih mudah lelah dan lebih berisiko dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopause, dan secara sosial, kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi sebagai pencerminan kebudayaan (Suma’mur PK, 1996). Perempuan telah terbukti lebih sering menderita SBS daripada laki-laki yang menurut Norbäck (2009) kemungkinan akibat lingkungan kantor, tugas kerja dan kepribadian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan dan pula karena beban kerja perempuan di rumah lebih tinggi. Lalu menurut Glas, Stenberg, dkk (2008) dalam penelitiannya menemukan bahwa perempuan lebih rentan terhadap gejala tertentu seperti penyakit pernapasan dan masalah kulit. Bell (1998) juga menunjukkan dalam penelitiannya bahwa perempuan lebih rentan terhadap SBS karena rasio estrogen/progesteron yang lebih tinggi. Dalam penelitiannya mereka menyatakan bahwa tingkat estrogen/progesteron memainkan peran penting dalam sensitisasi saraf akibat kontak yang terlalu lama dan berulang-ulang terhadap rangsangan luar seperti obat-obatan, bahan kimia dan lainnya sebagai stresor kesehatan. Hal ini dapat mempengaruhi otak dan menyebabkan kerusakan saraf
yang juga
dapat 123
mempengaruhi baik sistem endokrin dan fungsi kekebalan tubuh serta juga dapat mempengaruhi psikis penderita SBS.
124
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Hasil penelitian tentang SBS seperti yang sudah diuraikan pada Bab Hasil dan Pembahasan , disimpulkan sebagai berikut : 1. Jumlah koloni bakteri patogen udara dalam ruang di gedung X yang melebihi ambang batas yang ditentukan oleh Departemen Kesehatan RI adalah perusahaan 5 (2893 koloni/m3 dan 7 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 4 (2786 koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 7 (1986 koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta), perusahaan 6 (723 koloni/m3 dan 1 bakteri patogen hemolitik beta dan 1 hemolitik alpha), dan perusahaan 2 (683 koloni/m3 dan 3 bakteri patogen hemolitik beta). 2. Responden dalam penelitian ini sebagian besar berjenis kelamin laki-laki (54,3%), berumur rata-rata 30 tahun dengan umur yang paling muda 17 tahun dan yang paling tua 50 tahun. Sebagian besar responden berstatus gizi normal (73,9%) dan tidak memiliki kebiasaan merokok (80,4%) namun memiliki sensitivitas terhadap asap rokok (58,7%). 3. Persentase kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 sebesar 43,5%.
125
4. Tidak ada hubungan bermakna antara jumlah koloni bakteri patogen di udara pada ruangan kerja terhadap kejadian gejala fisik SBS pada responden penelitian di gedung X secara analisis statistik. 5. Tidak ada hubungan bermakna antara umur, status gizi, dan kebiasaan merokok dalam ruang terhadap kejadian SBS pada responden penelitian di Gedung X. Sedangkan variabel jenis kelamin dan sensitivitas terhadap asap rokok menunjukkan hubungan yang bermakna terhadap kejadian SBS yaitu responden yang berjenis kelamin perempuan berisiko 2,8 kali dan bagi responden yang sensitif terhadap asap rokok 1,9 kali untuk mengalami gejala fisik SBS ini. 6. Variabel yang paling dominan hubungannya terhadap kejadian gejala fisik SBS pada penelitian di gedung X tahun 2013 ini adalah variabel jenis kelamin.
7.2 Saran 7.2.1 Manajemen Gedung 1. Persepsi kenyamanan bekerja terkait suhu dan kelembapan di setiap ruangan mungkin berbeda antara pekerja satu dan lainnya. Dalam hal ini manajemen pengelola gedung X hendaknya perlu mempertimbangkan apakah HVAC sentral masih perlu digunakan atau menggantinya dengan HVAC lokal yang sifatnya lebih dinamis dan dapat diatur sesuai selera kenyamanan masingmasing pekerja.
126
2. Kebijakan pengelola gedung tentang aturan merokok di dalam gedung perlu diperketat lagi atau dengan menyediakan ruang khusus merokok pada setiap lantai untuk mencegah keberadaan asap rokok di dalam ruang kerja. 3. Peningkatan pemeliharaan AC baik sentral maupun lokal. AC sentral walaupun direkomendasikan sebagai pendingin ruangan yang efisien dan sehat, harus diperhatikan rutinitas pemeliharaannya.
7.2.2 Pengembangan Ilmu Pengetahuan 1. Penelitian lebih lanjut tentang hubungan kualitas mikrobiologi udara dalam ruangan dengan jumlah titik pengambilan sampel yang lebih banyak, dengan pengambilan sampel diulang secara periodik misalnya dalam seminggu 3 kali atau sehari 3 kali. 2. Penentuan responden sebaiknya diambil dari seluruh populasi yang berada di dalam gedung untuk mengetahui gejala SBS secara luas lagi. 3. Perlu
dilakukan
penelitian
lanjutan
untuk
mengetahui
faktor-faktor
mikrobilogi lain seperti koloni jamur, spora dan kapang 4. Menggunakan desain penelitian yang lain, misalnya case control untuk mengetahui sebab akibat dari gejala fisik SBS ini. 5. Melihat faktor demografi lainnya seperti persepsi individu khususnya pada perilaku sosial, gaya hidup, beban kerja dan impresi atasan terhadap bawahan (psikososial) untuk penelitian lebih lanjut.
127
DAFTAR PUSTAKA Anies, 2004, Problem Kesehatan Masyarakat dari Sick Building Syndrome, Jurnal Kedokteran Yarsi, Jakarta Alisyahbana, 1995. Kurang Infeksi dn infeksi aspek kesehatan gizi anak balita.Yayasan Obor Indonesia. Apter A, Bracker M, Hogson J, Sidman and Leung WY, 1994, Epidemiology of the Sick Building Syndrome, J Allergy Clin Immunol. Bell I, Baldwin C, Russek L, Schwartz G, Hardin E. Early life stres, negative paternal relationships, and chemical intolerance in middle aged women: support for a neural sensitization model. J Womens Health 1998;7(9):1135-49. Brasche, S., Bullinger M., Moefeld, M.,Geghardt H.J., Bischof, W. (2001). Why do women suffer from SBS more often than men? Subjective higher sensitifity versus objective causes. Indoor Air (4). Burge S, Hedge A, Wilson S, Bass JH, RobertsonA, 1987, Sick building syndrome:a study of 4373 office workers,Ann Occup Hygo no.31, pp 493-504. Burroughs, et al. 2005. Managing Indoor Air Quality Third Edition. Fairmont Press, Inc. P:29-49. Codey, Richard J, 2004, Indoor Air Quality, Public Employes Occupational Safetyand Health Program, New Jersey.
Depkes RI, 2002, Keputusan Menteri Kesehatan Republik IndonesiaNomor 1405/Menkes/SK/XI/2002 tentang persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri, Jakarta. Eisner MD, Smith AK, Blanc PD.1998. Bartenders‟ respiratory health after establishment of smoke-free bars and taverns. JAMA 1998;280:1909–14. EPA 1998. An Office Building Occupational‟s Guide to Indoor Air Quality. www.epa.gov/iaq/pubs/occupgd.html. Office of Air and Radiation (OAR), Indoor Environmental Division (6609J) Washington, DC 20460 European Concerted Action; Indoor Air Quality Its Impact on Man, 1998, Sick Building Syndrome, Cost Project 613. Engvall, K. 2003. A sociological approach to indoor environmental in dwellings risk factors for sick building syndrome (SBS) and discomfort, Acta Universitatis Upsaliensis Uppsala. Engvall, K., Hulth M., Corner, R., Lampa. 2009. A new multiple regresion model to identify multi-family houses with a high prevalence of sick building symptoms “SBS” within the healthy sustainable house study in Stockholm (3H). Int Arch Occup Environ Health. 83;85-94. Fardiaz, Srikandi, 1992, Polusi Air dan Udara, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Flannigan,
B
(1992)
Indoor
microbiological
pollutans-sources,
species,
characterisation an evaluation State of the Art in SBS pp. 73-98. Glas B, Stenberg B, Stenlund H, Sunesson AL. A novel approach to evaluation of absorbents for sampling indoor volatile organic compounds associated with symptom reports. J Environ Monit 2008;10:1297-1303. Glas B. Methodological aspects of unspecific building related symptoms research. J Environ Monit 2008;12:128- 36. Godish, T. (1992). Sick buildings: definitions, diagnosis and mitigation. CRC Press Florida. Guntoro, Heru. 2008. Sick Building Syndrome Penyakit Bisa Bersumber dari Kantor. IAKMI Hardin, Tim dan Steve Tinlley, 2003, School Indoor Air Quality Best Management Practice Manual, Washington Departement of Helath. Heimlich JE. Environmental Health Center. Sick building syndrome. [Online]. 2008 [cited
2001
Jan
26];
Available
from
URL:
http://www.nsc.org/ehc/indoor/sbs.htm. Hutagalung,
Michael,
2008,
Teknologi
Pengolahan
http://www.majarikanayakan.com/author/michaeljubel/
Limbah
Gas,
Dari:
Idham, Muhammad, 2001, Manajemen Kualitas Udara dalam Gedung Bertingkat, Hiperkes, Jakarta Isyana Dewi (2005). Gambaran hubungan faktor fisik dan psikososial dengan SBS pada karyawan pusat administrasi Universitas Indonesia. Laila, Nur Najmi. 2011. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pegawai Di Gedung Rektorat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2011. FKIK UIN Jakarta. Tangerang Lisyastuti, Esi, 2010. Jumlah Koloni mikroorganisme Udara Dalam Ruang Dan Hubungannya Dengan Kejadian Sick Building Syndrome (SBS) Pada Pekerja B2TKS BPPT Di Kawasan Puspitek Serpong. FKM UI. Depok. Lyles BW, Greve KW, Baure RM, Ware MR, Schramke CJ, Crouch J, et al. Sick Building Syndrome. Southern Med J 1991;84(1):67-78. Moseley, C. (1990). Indoor air quality problem; A proactive approach for new or removated buildings. Jurnal of Env. Vol 53, No.3. Mukono, dkk. 2005. Pengaruh kulitas udara dalam ruangan ber-AC terhadap gangguan kesehatan.jurnal kesehatan lingkungan vol.1, No.2 Januari 2005. Nardi,Bi Salvatore R. 2003. The occupational: It‟s Evaluation, Control, and Managing Second Edition. AIHA Press.
Nasri, M Sjahrul, Fatma Lestari, Doni Hikmat, 1998, Internal dan Pengendalian Teknis Kualitas Udara Lingkungan Kerja Gedung Bertingkat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok. National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH). (1989) Indoor air quality. Ohio. Selected References National Institute for Occuppational Safety and Health (NIOSH), 1997, NIOSH Facts:
Indoor
environmental
quality
(IEQ)
Dari:
www.cdc.gov/niosh/ieqfs.html. Norbäck D. An update on sick building syndrome. J Allergy & Clin Immunol 2009; 9(1):55-9. Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Noviana, Wirastini. 1998. Hubungan Kualitas Udara Dalam Ruang Dengan „Sick Building Syndrome‟ Pada Pekerja Wanita Di Pertokoan Mal Blok-M Jakarta. FKM UI. Depok Ooi Pi, Goh KT, Phoon MH, Foo SC, Yap HM. 1998. Epidemiology of Sick Building Syndrome and Its Associated Risk Factors in Singapore. Occup. Environ Medicine 1998; 55; 188-193.
Prasasti, Corie Indria, 2005, Pengaruh Kualitas Udara Dalam Ruangan Ber AC Terhadap Gangguan Kesehatan, Jurnal Kesehatan Lingkungan, NO.2, Jakarta. Pelczar. M.J & E.C.S Chan. Dasar-dasar Mikrobiologi. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 1989 (morfologi). Pelczar, Michael J dan E.C.S Chan. 2008. Dasar-dasar Mikrobiologi. Jakarta: UIPress. Pudjiastuti, L., Rendra, S., Santosa, H.R. (1998) Kualitas udara dalam ruang. Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional. Rahman, Abdur, dkk, 2004, Analisis Kualitas Lingkungan, Laboratorium Kesehatan Lingkungan, FKMUI, Depok. Rebecca Bascom, Thomas Kulle, Anne Kagey-Sobotka, and David Proud. 1991. Upper Respiratory Tract Environmental Tobacco Smoke Sensitivity. American Review of Respiratory Disease, Vol. 143, No. 6 (1991), pp. 1304-1311. Jaya, Rosa. 2008. Kualitas Udara dalam Ruangan dan Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian sick building syndrome (SBS) di gedung DEPKES RI Jakarta. FKM UI. Depok. Spengler, et al. 2000. Indoor Air Quality Handbook, Mc Graw-Hill Companies, Inc, United States of America.
Spengler, Samet. 2003. Indoor Environmental and Health: Moving Into the 21st Century. Reviewing the evidence series. American Journal of Public Health Vol.
93,
No.9.
September
2003.
http://www.pubmedcentral.nih.gov/picrender.fegi?artid=1740708&blobtype= pdf. 7 Februari 2013 11:00. Sudrajat,
Agung,
2005,
Pencemaran
Udara
Suatu
Pendahuluan,
Inovasi
Vol.5/XVII/Nopember 2005. Suma’mur P.K, 1996. Hygene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. CV Gunung Agung, Jakarta. Sundell, J., Lindvall, T., Stenberg, B. and Wall, S. (1994).Sick Building Syndrome (SBS) in Office Workers and Facial Skin Symptoms among VDT-Workers in Relation to Building and Room Characteristics: Two Case-Referent Studies, Indoor Air. Departement of Dermatology, University of Umea, Sweden. Tjandra Yoga Aditima dan Tri Hastuti, 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. US-EPA, 1995, The Inside Story: A Guide to Indoor Air Quality, EPA Document #402-K-93-007.
Utomo Hendrawati, 1994, Suatu Analisis Hubungan Antara Kuman Legionella Pneumophobia Dengan Sick Buiding Syndrome di Gedung PT. Indosat Jakarta 1994, (Tesis), Program Pascasarjana FKUI, Jakarta. Wahab, Sabah A. Abdul. 2011. Sick building Syndrome in public Buildings and Workplaces. London-New York; Springer. Winarti. 2003. Air Movement, Gender and Risk of Sick Building Syndrome Headhache Among Employes in a Jakarta Office. Med. J. Indones. Vol 12, No.3, July-September. WHO, 2000. Guidelines for controlling and monitoring the Tobacco epidemic WHO, 2005, Air Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide and Sufur Dioxide Update Global 2005: Summary Of Risk Assesment. WHO Regional Office For Europe, Copenhagen, Denmark.
Lampiran 1 Univariat
Frequencies Statistics sexperbedaan salah satu jumlah koloni jeniskelamin riwayat bakteri udara secara keluhan sbs per m3 biologis N
Valid
pengelompokan status jumlah tahun standard dari merokok hidup Depkes saat di berdasarkan (PUGS) wawancara rata-rata
46
46
46
46
46
46
46
0
0
0
0
0
0
0
Missing
Frequency Table salah satu riwayat keluhan sbs Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
tidak ada keluhan
26
56.5
56.5
56.5
ada keluhan
20
43.5
43.5
100.0
Total
46
100.0
100.0
jumlah koloni bakteri udara per m3 Frequency Valid
orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
sesuai NAB
20
43.5
43.5
43.5
melebihi NAB
26
56.5
56.5
100.0
Total
46
100.0
100.0
Sex perbedaan jenis kelamin secara biologis Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
laki-laki
25
54.3
54.3
54.3
perempuan
21
45.7
45.7
100.0
Total
46
100.0
100.0
pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata Valid Cumulative Frequency Percent Percent Percent Valid <30 tahun
29
63.0
63.0
63.0
>30 tahun
17
37.0
37.0
100.0
Total
46
100.0
100.0
Mean
SD
Min-Max
29.67
9.194
17-50
derajat gizi seseorang diukur dengan IMT Frequency Valid
Percent
Cumulative Percent
Valid Percent
Normal (IMT 18,5-25)
30
65.2
65.2
Tidak Normal (IMT <18,5 atau >25,0)
16
34.8
34.8
Total
46
100.0
100.0
Valid
Percent
Valid Percent
100.0
Cumulative Percent
tidak merokok
36
78.3
78.3
78.3
Ya
10
21.7
21.7
100.0
Total
46
100.0
100.0
orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok Frequency Valid
Percent
Valid Percent
SD
MinMax
65.2 21,96 3,894 16-39
status merokoksaatdi wawancara Frequency
Mean
Cumulative Percent
tidak sensitif
19
41.3
41.3
41.3
sensitif
27
58.7
58.7
100.0
Total
46
100.0
100.0
Analisis Bivariat 1.
Hubungan antara jumlah koloni bakteri patogen udara dengan gejala fisik SBS jumlah koloni bakteri udara per m3 * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS
jumlah koloni bakteri udara per m3
kurang NAB
Count % within jumlah koloni bakteri udara per m3
melebihi NAB
Total
7
20
65.0%
35.0%
100.0%
13
13
26
50.0%
50.0%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Count % within jumlah koloni bakteri udara per m3
Total
13
Count % within jumlah koloni bakteri udara per m3
sbs
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.309
.515
1
.473
1.043
1
.307
1.035 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.377
Linear-by-Linear Association
1.012
b
N of Valid Cases
1
.314
46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,70. b. Computed only for a 2x2 table Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for jumlah koloni bakteri udara per m3 (kurang NAB / melebihi NAB) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
1.857
.560
6.154
1.300 .700
.788 .344
2.146 1.424
46
Exact Sig. (1sided)
.237
2. Hubungan antara jenis kelamin responden dengan gejala fisik SBS sexperbedaan jeniskelamin secara biologis * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
laki-laki
Count % within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
perempuan
Total
5
25
80.0%
20.0%
100.0%
6
15
21
28.6%
71.4%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Count % within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
Total
20
Count % within sexperbedaan jeniskelamin secara biologis
sbs
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.000
10.280
1
.001
12.837
1
.000
12.284 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.001
Linear-by-Linear Association
12.016
b
N of Valid Cases
1
.001
46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,13. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for sexperbedaan jeniskelamin secara biologis (laki-laki / perempuan) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
10.000
2.560
39.064
2.800 .280
1.385 .122
5.662 .642
46
Exact Sig. (1sided)
.001
3. Hubungan antara umur responden dengan gejala fisik SBS pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
<30
Count % within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
>30
Count % within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
Total
Count % within pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata
sbs
Total
14
15
29
48.3%
51.7%
100.0%
12
5
17
70.6%
29.4%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.141
1.358
1
.244
2.220
1
.136
2.171 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
Df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.219
Linear-by-Linear Association
2.124
b
N of Valid Cases
1
.145
46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 7,39. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pengelompokan jumlah tahun hidup berdasarkan rata-rata (<30 / >30) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
.389
.109
1.388
.684 1.759
.421 .778
1.112 3.977
46
Exact Sig. (1sided)
.122
4. Hubungan antara status gizi responden dengan gejala fisik SBS standard dari Depkes (PUGS) * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS standard dari Depkes (PUGS) IMT (18,5-25,0)
Count % within standard dari Depkes (PUGS)
IMT (<18,5 atau >25,0)
Count % within standard dari Depkes (PUGS)
Total
Count % within standard dari Depkes (PUGS)
sbs
20
14
34
58.8%
41.2%
100.0%
6
6
12
50.0%
50.0%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.596
.037
1
.848
.280
1
.597
.281 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
Df
Exact Sig. (2sided)
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association
.738 .275
b
N of Valid Cases
1
.600
46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5,22. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for standard dari Depkes (PUGS) (IMT (18,525,0) / IMT (<18,5 atau >25,0)) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
1.429
.381
5.357
1.176 .824
.625 .411
2.213 1.648
46
Total
Exact Sig. (1sided)
.422
5. Hubungan antara kebiasaan merokok dalam ruang kerja dengan gejala fisik SBS status merokoksaatdi wawancara * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS status merokoksaatdi wawancara
tidak merokok
Count % within status merokoksaatdi wawancara
ya
Total
18
36
50.0%
50.0%
100.0%
8
2
10
80.0%
20.0%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Count % within status merokoksaatdi wawancara
Total
18
Count % within status merokoksaatdi wawancara
sbs
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.090
1.775
1
.183
3.070
1
.080
2.866 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
Df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.150
Linear-by-Linear Association
2.804
b
N of Valid Cases
1
.094
46
a. 1 cells (25,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4,35. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for status merokoksaatdi wawancara (tidak merokok / ya) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
.250
.047
1.344
.625 2.500
.398 .694
.980 9.009
46
Exact Sig. (1sided)
.089
6. Hubungan antara sensitivitas responden terhadap rokok dengan gejala fisik SBS orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok * sbs Crosstabulation sbs bukanSBS orang yang memiliki tidak sensitif kepekaan tersendiri terhadap asap rokok sensitif
Count % within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
Total
4
19
78.9%
21.1%
100.0%
11
16
27
40.7%
59.3%
100.0%
26
20
46
56.5%
43.5%
100.0%
Count % within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
Total
15
Count % within orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok
sbs
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
a
1
.010
5.161
1
.023
6.929
1
.008
6.624 b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2sided)
Df
Fisher's Exact Test
Exact Sig. (2sided)
.016
Linear-by-Linear Association
6.480
b
N of Valid Cases
1
.011
46
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,26. b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for orang yang memiliki kepekaan tersendiri terhadap asap rokok (tidak sensitif / sensitif) For cohort sbs = bukanSBS For cohort sbs = sbs N of Valid Cases
Lower
Upper
5.455
1.423
20.910
1.938 .355
1.163 .141
3.229 .896
46
Exact Sig. (1sided)
.011
Multivariat Tabel 5.15 Hasil analisis bivariat antara Jumlah koloni bakteri patogen, Jenis Kelamin, Umur, Status gizi, Kebiasaan merokok dan Sensitifitas terhadap asap rokok dengan Sick Building Sydrome pada responden penelitian di gedung X tahun 2013 No.
Variabel Jumlah Koloni Bakteri Patogen Jenis Kelamin Umur Status Gizi Kebiasaan Merokok dalam ruang Sentifitas Terhadap Rokok
1 2 3 4 5 6
P value 0,473 0,001 0,244 0,848 0,150 0,023
Variables in the Equation 95,0% C.I.for EXP(B) B Step 1
a
Bakteri
S.E.
Wald
df
Sig.
Exp(B)
Lower
Upper
.667
.869
.590
1
.442
1.949
.355
10.699
Jnskelmin
1.995
.810
6.075
1
.014
7.356
1.505
35.954
Umurmean
-.918
.904
1.032
1
.310
.399
.068
2.347
.567
.986
.330
1
.566
1.763
.255
12.183
kebiasaanrkok
-.304
1.077
.080
1
.778
.738
.089
6.093
sesntifrokok
1.736
.904
3.684
1
.055
5.673
.964
33.378
-6.217
3.356
3.431
1
.064
.002
.601 2.048 -.969 .634 1.796
.831 .792 .886 .954 .881
.522 6.688 1.196 .442 4.161
1 1 1 1 1
.470 .010 .274 .506 .041
1.823 7.753 .379 1.886 6.027
.357 1.642 .067 .291 1.073
9.303 36.609 2.156 12.244 33.865
-6.677
2.949
5.127
1
.024
.001
.639 2.157 -.838 1.685
.829 .780 .839 .852
.594 7.639 .998 3.910
1 1 1 1
.441 .006 .318 .048
1.894 8.643 .432 5.390
.373 1.873 .083 1.015
9.614 39.896 2.241 28.625
-6.090
2.778
4.806
1
.028
.002
2.300 -.998 1.509
.767 .819 .799
8.996 1.487 3.561
1 1 1
.003 .223 .059
9.979 .368 4.520
2.219 .074 .943
44.869 1.834 21.657
Imtkat
Constant Step 2
a
Step 3
a
Step 4
a
Jnskelmin Umurmean sesntifrokok Constant
-4.815
2.062
5.451
1
.020
.008
Step 5
a
Jnskelmin
2.211
.737
9.007
1
.003
9.124
2.153
38.656
sesntifrokok
1.565
.776
4.064
1
.044
4.782
1.044
21.893
-6.096
1.828
11.118
1
.001
.002
Bakteri Jnskelmin Umurmean Imtkat sesntifrokok Constant Bakteri Jnskelmin Umurmean sesntifrokok Constant
Constant
a. Variable(s) entered on step 1: bakteri, jnskelmin, umurmean, imtkat, kebiasaanrkok, sesntifrokok.
Lampiran 2 LEMBAR PENJELASAN PENELITIAN Assalamu’alaikum Wr.Wb. Saya Morrys Antoniusman, mahasiswa jurusan Kesehatan Masyarakat, peminatan Kesehatan Lingkungan bermaksud akan melakukan penelitian mengenai ”HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013”. Penelitian ini merupakan tugas akhir untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. Pada Penelitian ini peneliti akan bertanya mengenai karakteristik pegawai dan keluhan SickBuilding Syndrome pada pegawai. Kuesioner ini berisikan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diisi selama 3-5 menit. Responden diharapkan menjawab setiap pertanyaan dengan sejujur-jujurnya. Setiap jawaban Anda akan dijaga kerahasiaannya dari siapapun dan tidak akan mempengaruhi penilaian terhadap kinerja Anda, kemudian kuesioner akan disimpan oleh peneliti. Partisipasi responden bersifat sukarela, responden dapat menolak untuk menjawab atau tidak melanjutkan wawancara. Untuk itu Saya mohon kiranya Bapak/Ibu dapat meluangkan waktunya untuk mengisi kuesioner ini. Akhir kata, saya mengucapkan terima kasih yang mendalam untuk kesediaan Anda menjadi responden pada penelitian ini. Semoga bantuan dan kerjasama Anda menjadi amal ibadah yang bernilai di sisi-Nya. FORMULIR PERSETUJUAN TERTULIS SETELAH PENJELASAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Alamat : No Telepon/HP : Bersedia secara sukarela untuk menjadi subyek penelitian dengan judul ” HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013”. Telah mendengarkan penjelasanmengenai kegiatan yang akan dilakukan dan sadar akan manfaat dan adanya risiko yang mungkin terjadidalam penelitian ini. Saya akan memberikan informasi yang benar sejauh yang saya ketahui dan sayaingat. Demikian peryataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa tekanan dari pihak manapun.
Peneliti
Morrys Antoniusman
Jakarta, .... ................... 2013 Yang membuat pernyataan
(.............................................) Tanda tangan dan nama terang
LEMBAR KUESIONER PENELITIAN HUBUNGAN JUMLAH KOLONI BAKTERI PATOGEN UDARA DALAM RUANG DAN FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN GEJALA FISIK SICK BUILDING SYNDROME (SBS) PADA RESPONDEN PENELITIAN DI GEDUNG X TAHUN 2013
Nomor Responden
Lokasi: Lantai ..... Ruang ........ A. Data Demografi (Diisi responden) A1. Nama .................... A2. Jenis Kelamin .................. 1. Laki-laki 2. Perempuan
Diisi oleh peneliti
A3. Umur ................. A4. Data Status Gizi Tinggi Badan (..........) cm Berat Badan (...........) kg
[ ] A3 [ ] A4
A5. Pekerjaan A5.1 Posisi pekerjaan .................. A5.2 Departemen .................... A5.3 Perusahaan ....................
B. Kebiasaan Merokok (Diisi responden) B1.Apakah Anda memiliki kebiasaan merokok di dalam gedung tempat Anda bekerja? 1. Ya 2. Tidak, kepertanyaan C1 B2.Berapa batang rokok yang Anda habiskan dalam satu hari? 1. > 1 batang 2. 1 batang B3. Apakah Anda sudah merokok di dalam ruang kerja hari ini? 1. Ya 2. Tidak
[ ] A2
[ ] A5.1 [ ] A5.2 [ ] A5.3
Diisi oleh peneliti [ ] B1
[ ] B2
[ ] B3
C. Gejala Sick Building Syndrome (SBS) (Diisi responden) C1. Apakah pada saat sebelum pergi bekerja Anda dalam kondisi yang sehat? 1. Ya 2. Tidak C2. Apakah Anda mempunyai riwayat alergi dan atau penyakit astma 1. Ya 2. tidak C3. Apakah Anda mengalami keluhan-keluhan di Ya Tidak bawah ini saat Anda mulai bekerja di dalam (1) (2) ruangan gedung ini? C3.1Iritasi mata C3.2 Iritasi hidung C3.3 Iritasi tenggorokan C3.4Rasa kekeringan pada bibir C3.5 Kulit kering C3.6kulit gatal-gatal C3.7 Merah-merah pada kulit C3.8Sakit kepala C3.9 Sulit berkonsentrasi C3.10 Rasa lelah C3.11 Batuk-batuk C3.12 Pilek C3.13 Sakit telinga C3.14 Radang tenggorokan C3.15 Serak pada tenggorokan C3.16 Sesak nafas C3.17Mual dan pusing-pusing C4. Apakah keluhan tersebut masih dirasakan setelah Anda pulang dari kantor/keluar dari gedung tempat Anda bekerja? 1. Ya 2. Tidak
Diisi oleh peneliti [ ] C1
[ ] C2
[ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [ [
] C3.1 ] C3.2 ] C3.3 ] C3.4 ] C3.5 ] C3.6 ] C3.7 ] C3.8 ] C3.9 ] C3.10 ] C3.11 ] C3.12 ] C3.13 ] C3.14 ] C3.15 ] C3.16 ] C3.17 ] C4
CATATAN: Jika tidak ada satupun gejala yang dirasakan, Berhenti Mewancarai dan Ucapkan Terima Kasih, Jika ada satu atau gejala yang dirasakan lanjut pada pertanyaan berikutnya.
D. Frekuensi keluhan-keluhan SBS (Diisi responden) D1. Selama 1 bulan terakhir, Anda berada di tempat kerja, seberapa seringkah Anda mengalami gejala di bawah ini saat berada di dalam gedung? Tidak pernah 1-3 1-3 kali terjadi Setiap dialami kali dalam sepekan hari/hampir Kondisi terjadi (3) setiap hari (1) (2) (4) D1.1 Iritasi mata, hidung, tenggorokan D1.2 Rasa kekeringan bibir D1.3 Kulit kering, gatal, merah-merah D1.4 Sakit kepala, lelah, sulit berkonsentrasi D1.5 Infeksi pernafasan dan batuk-batuk D1.6 Serak dan sesak nafas D1.7 Mual dan pusingpusing D1.8 Hipersensitivitas yang tidak spesifik E. Sensitivitas terhadap asap rokok
Diisi oleh peneliti
E1. Apakah ada orang lain di ruang kerja Anda yang merokok? 1. Ya 2. Tidak E2. Apakah Anda sensitif terhadap asap rokok? 1. Ya 2. Tidak
[ ] E1
E3. Apakah keluhan-keluhan yang anda alami dipengaruhi keberadaan asap rokok di ruangan Kerja Anda? 1. Ya 2. Tidak
[ ] E3
[ ] E2
Sumber: Sick Building Syndrome in Public Buildings and Workplaces (Abdul Sabah, 2011), WHO tahun 1984, dan EPA tahun 1991
------------------- TERIMAKASIH SUDAH BERPARTISIPASI -------------------
Lampiran 3 DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA
Gedung X
Pengambilan Sampel Bakteri Udara di Gedung X
Analisis Perhitungan Bakteri di Laboratorium Mikrobiologi UIN Jakarta