PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI PENGGANTI BUNGKIL KELAPA DENGAN HIJAUAN BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KELINCI LOKAL
SKRIPSI FRANCO ROBERTO THEODORE
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
RINGKASAN FRANCO ROBERTO THEODORE. D24053852. 2010. Pemberian Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit sebagai Pengganti Bungkil Kelapa dengan Hijauan Berbeda terhadap Penampilan Reproduksi Induk Kelinci Lokal. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
: Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS. : Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc.
Kelinci pada fase reproduksi membutuhkan ransum yang mengandung zatzat makanan yang baik untuk menunjang kebutuhan hidup saat reproduksi, pertumbuhan organ reproduksi, dan perkembangan fetus. Permasalahan yang terjadi dalam upaya pengembangan ternak kelinci adalah ketersediaan pakan kelinci berkualitas yang sulit didapatkan. Selain itu, belum banyak dilaporkan tentang pengaruh pemberian pakan terhadap penampilan reproduksi induk kelinci. Ransum komplit berbasis sumberdaya lokal seperti rumput lapang, daun lamtoro, daun ubi jalar dan bungkil inti sawit diharapkan dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari ransum yang mengandung bungkil inti sawit dengan hijauan berbeda terhadap penampilan reproduksi induk kelinci. Penelitian dilakukan dari bulan Maret sampai Juni 2009 di Komplek Laladon Indah Bogor, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31, Bogor. Ternak yang digunakan sebanyak 15 ekor kelinci dara lokal yang memiliki bobot rata-rata 2,087 ± 0,192 kg. Ransum komplit perlakuan yang digunakan adalah: R1 (ransum kontrol = rumput lapang 30% + bungkil kelapa 5%); R2 (rumput lapang 20% + daun lamtoro 10% + bungkil kelapa 5%); R3 (rumput lapang 20% + daun ubi jalar 10% + bungkil kelapa 5%); R4 (rumput lapang 20% + daun lamtoro 10% + bungkil inti sawit 5%) dan R5 (rumput lapang 20% + daun ubi jalar 10% + bungkil inti sawit 5%). Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan dan 3 ulangan. Peubah yang dianalisis menggunakan Analisis Ragam (ANOVA) adalah konsumsi bahan kering, pertambahan bobot badan, efisiensi penggunaan ransum, lama kebuntingan, litter size, dan litter weight. Untuk mengetahui perbedaan di antara perlakuan diuji dengan uji Duncan. Frekuensi kawin, persentase kebuntingan, dan mortalitas anak dianalisis secara deskriptif. Hasil analisis ragam memperlihatkan bahwa secara umum perlakuan pemberian ransum komplit tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap konsumsi, bobot badan induk, efisiensi penggunaan ransum dan penampilan reproduksi induk kelinci. Mortalitas pada penelitian ini sebesar 43,69% tanpa membedakan perlakuan. Kesimpulan dari penelitian ini adalah ransum komplit yang mengandung bungkil inti sawit maupun bungkil kelapa dengan jenis hijauan berbeda dapat dikonsumsi dengan baik, tanpa menggangu penampilan reproduksi induk kelinci. Kata-kata kunci: ransum komplit, bungkil inti sawit, penampilan reproduksi, kelinci lokal.
ABSTRACT Study of Feeding the Complete Ration Containing Palm Kernel Cake as Substitute of Copra Meal with Different Forages on Reproductive Performance of Local Rabbit Doe F.R.Theodore, A. D. Hasjmy, and A. S. Tjakradidjaja Rabbit doe needs feed to meet its nutrient requirements such as maintenance, production, and reproduction. One of the problems is that rabbit does not get high quality feed to fulfill nutrient requirement for reproduction and fetal growth. Complete ration is one solution for this problem. The aim of this experiment was to investigate performance of rabbit doe which was fed with complete ration containing palm kernel cake with different forage. This experiment used 15 rabbit does with average weight 2.087 ± 0.192 kg. Completely Randomized Design was used in this experiment which involves 5 treatments with 3 replications. The treatments were R1 (Complete ration containing field grass 30% and coconut meal 5%), R2 (Complete ration containing field grass 20%, Leucaena leucochepala 10%, coconut meal 5%), R3 (Complete ration containing field grass 20%, sweetpotato leaves 10%, coconut meal 5%), R4 (Complete ration containing field grass 20%, Leucaena leucochepala 10%, and palm kernel cake 5%), and R5 (Complete ration containing field grass 20%, sweetpotato leaves 10%, and palm kernel cake 5%). The results showed that all treatments did not give significant effects on consumption, body weight gain, eficiency of ration and reproductive performance. It was concluded that the complete rations containing palm cernel cake in combination with different forages can be consumed by rabbit does and gave an equal reproductive performance with ration containing copra meal. Keywords : Complete Ration, Palm Kernel Meal, Reproductive Performance, Local Rabbit Doe.
PEMBERIAN RANSUM KOMPLIT MENGANDUNG BUNGKIL INTI SAWIT SEBAGAI PENGGANTI BUNGKIL KELAPA DENGAN HIJAUAN BERBEDA TERHADAP PENAMPILAN REPRODUKSI INDUK KELINCI LOKAL
FRANCO ROBERTO THEODORE D24053852
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010
Judul Skripsi : Pemberian Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit sebagai Pengganti Bungkil Kelapa dengan Hijauan Berbeda terhadap Penampilan Reproduksi Induk Kelinci Lokal. Nama
: Franco Roberto Theodore
NRP
: D24053852
Menyetujui :
Pembimbing Utama
Ir. Abdul Djamil Hasjmy, M. S. NIP. 19460626 197412 1 001
Pembimbing Anggota
Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. NIP. 19610930 198603 2 003
Mengetahui, Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor
Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Sc. Agr NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian : 10 Februari 2010
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 14 Mei 1987 di Jakarta. Penulis adalah anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Frederick Titalepta (mendiang) dan Ibu Dorina Hetharia. Penulis mengawali pendidikan dasar di Sekolah Dasar Kristen (SDK) IV BPK Penabur Cipinang Indah pada tahun 1993 dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan pertama dimulai oleh penulis pada tahun 1999 dan diselesaikan pada tahun 2002 di Sekolah Menengah Pertama Kristen (SMPK) V BPK Penabur Cipinang Indah. Penulis kemudian melanjutkan ke Sekolah Menengah Umum Negeri (SMUN) 54 Jakarta pada tahun 2002 dan lulus pada tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama (TPB), Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Pada tahun 2006, penulis masuk sebagai mahasiswa strata satu (S1) pada Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pernah ikut serta dalam Himpunan Profesi Mahasiswa Ilmu Nutrisi Ternak biro Ilmu dan Teknologi periode 2007-2008, magang perusahaan di Research Farm PT Charoen Pokhpand Indonesia tahun 2008.
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini berjudul ”Pemberian Ransum Komplit Mengandung Bungkil Inti Sawit sebagai Pengganti Bungkil Kelapa dengan Hijauan Berbeda terhadap Penampilan Reproduksi Induk Kelinci Lokal.” Penelitian ini dilakukan di Komplek Laladon Indah Bogor, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31, Bogor dan berlangsung dari bulan Maret sampai dengan Mei 2009. Persiapan diawali dari penulisan proposal dilanjutkan dengan
persiapan materi yang akan digunakan pada penelitian,
pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui pengaruh pemberian ransum komplit yang mengandung bungkil inti sawit dengan hijauan berbeda terhadap penampilan induk kelinci. Selain itu, untuk membandingkan dan mengevaluasi ransum komplit dengan kombinasi terbaik antara rumput lapang, daun lamtoro, daun ubi jalar, bungkil kelapa, dan bungkil inti sawit. Hasil dari penelitian ini diharapkan bahwa ransum komplit terbaik dapat bermanfaat dan dapat diaplikasikan langsung kepada para peternak kelinci.
Bogor, Februari 2010
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ..................................................................................................
ii
ABSTRACT.....................................................................................................
iii
RIWAYAT HIDUP .........................................................................................
vi
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vii
DAFTAR ISI....................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL............................................................................................
x
DAFTAR GAMBAR .......................................................................................
xi
DAFTAR LAMPIRAN....................................................................................
xii
PENDAHULUAN ...........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................... Tujuan ..................................................................................................
1 2
TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................
3
Ransum Komplit .................................................................................. Bungkil Kelapa ............................................................................. Bungkil Inti Sawit ......................................................................... Rumput Lapang ............................................................................. Daun Lamtoro ............................................................................... Daun Ubi Jalar .............................................................................. Ternak Kelinci ..................................................................................... Kebutuhan Zat Makanan Kelinci pada Masa Kebuntingan ................. Konsumsi Ransum ............................................................................... Pertambahan Bobot Badan................................................................... Efisiensi Penggunaan Ransum ............................................................. Penampilan Reproduksi Induk Kelinci ................................................ Perkawinan .................................................................................... Kebuntingan .................................................................................. Litter Size, Litter Weight, dan Bobot Lahir ................................... Mortalitas Anak ............................................................................
3 4 4 6 6 7 8 10 11 12 12 12 12 13 13 14
METODE .........................................................................................................
15
Lokasi dan Waktu ................................................................................ Materi ................................................................................................... Ternak ........................................................................................... Kandang dan Peralatan ................................................................. Ransum Penelitian ........................................................................ Rancangan Percobaan ..........................................................................
15 15 15 15 16 17
Perlakuan....................................................................................... Model ............................................................................................ Peubah yang Diamati .................................................................... Prosedur ............................................................................................... Pembuatan Ransum Komplit ........................................................ Pengawinan Kelinci ...................................................................... Pemeliharaan .................................................................................
17 17 17 19 19 20 20
HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................
21
Kandungan Zat Makanan Ransum Perlakuan. ..................................... Konsumsi Ransum ............................................................................... Bobot Badan Induk Selama Kebuntingan ............................................ Efisiensi Penggunaan Ransum ............................................................. Penampilan Reproduksi Induk Kelinci ................................................ Frekuensi Kawin, Persentase Kebuntingan dan Lama Kebuntingan .................................................................................. Litter Size, Litter Weight dan Bobot Lahir .................................... Mortalitas Anak ...................................................................................
21 23 27 29 32
KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................................
38
Kesimpulan .......................................................................................... Saran ....................................................................................................
38 37
UCAPAN TERIMA KASIH ...........................................................................
39
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................
40
LAMPIRAN.....................................................................................................
44
32 33 36
ix
DAFTAR TABEL Nomor
Halaman
1. Komposisi Nutrien Bungkil Kelapa ........................................................
4
2. Komposisi Nutrien Bungkil Inti Sawit ....................................................
5
3. Komposisi Nutrien Rumput Lapang, Daun Lamtoro, dan Daun Ubi Jalar ........................................................................................................
8
4. Kandungan Gizi Daging Kelinci dan Ternak Lainnya ............................
9
5. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci dalam Berbagai Status Fisiologis ......
10
6. Komposisi Ransum Komplit ...................................................................
16
7. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Perlakuan ..............................
21
8. Rataan Konsumsi Ransum Induk Harian selama Kebuntingan ..............
24
9. Rataan Bobot Badan Induk selama Kebuntingan....................................
28
10. Rataan Efisiensi Penggunaan Ransum Induk selama Kebuntingan .... 30 11. Frekuensi Kawin dan Kebuntingan pada Induk Kelinci .......................
32
12. Rataan Litter Size, Litter Weight, dan Bobot Lahir Anak .....................
34
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1. Persentase Produk Utama dan Hasil Samping Pengolahan Minyak Sawit .......................................................................................................
5
2. Ternak Kelinci .........................................................................................
8
3. Kandang dan Peralatan ............................................................................
15
4. Ransum Penelitian yang Digunakan .......................................................
17
5. Tahapan Pembuatan Ransum Komplit ....................................................
19
6. Proses Perkawinan pada Kelinci .............................................................
20
7. Grafik Penampilan Produksi Induk selama Masa Kebuntingan .............
31
8. Histogram Mortalitas Anak .....................................................................
36
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
1. ANOVA Konsumsi Bahan Segar Induk selama Kebuntingan ................
45
2. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Induk selama Kebuntingan ..............
45
3. ANOVA Konsumsi Abu Induk selama Kebuntingan .............................
45
4. ANOVA Konsumsi Bahan Organik Induk selama Kebuntingan ............
45
5. ANOVA Konsumsi Protein Kasar Induk selama Kebuntingan ..............
45
6. ANOVA Konsumsi Serat Kasar Induk selama Kebuntingan .................
46
7. ANOVA Konsumsi Lemak Kasar Induk selama Kebuntingan...............
46
8. ANOVA Konsumsi Beta-N Induk selama Kebuntingan ........................
46
9. ANOVA Konsumsi TDN Induk selama Kebuntingan ............................
46
10. ANOVA Bobot Awal Induk..................................................................
46
11. ANOVA Pertambahan Bobot Badan Induk Harian selama Kebuntingan ................................................................................................
47
12. ANOVA Bobot Badan Induk setelah Beranak......................................
47
13. ANOVA Efisiensi Penggunaan Ransum ...............................................
47
14. ANOVA Litter Size ...............................................................................
47
15. ANOVA Litter Weight ..........................................................................
47
PENDAHULUAN Latar Belakang Kelinci dijadikan pilihan usaha oleh peternak karena beternak kelinci tidak membutuhkan lahan yang luas, tatalaksana pemeliharaan yang mudah, serta kemampuan reproduksi yang tinggi. Seekor kelinci mampu beranak 10 kali per tahun dengan jumlah rata-rata anak 8 ekor per litter dan lama kebuntingan 31 hari serta dapat dikawinkan kembali segera setelah beranak (Cheeke, 1987). Pada masa reproduksi yaitu pada periode kebuntingan, kandungan nutrien yang seimbang sangat dibutuhkan untuk menunjang kebutuhan hidup saat reproduksi, pertumbuhan normal organ reproduksi induk dan perkembangan fetus. Oleh karena itu, pakan yang berkualitas menjadi suatu keharusan agar anak yang dilahirkan dapat tumbuh dan berkembang dengan optimal. Pakan kelinci tidak kompetitif dengan kebutuhan manusia maupun ternak intensif lainnya. Kelinci mampu memanfaatkan bahan pakan dari berbagai jenis hijauan dan limbah agroindustri untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya. Hal ini dikarenakan kelinci memiliki sistem pencernaan yang dapat memfermentasikan serat dan memanfaatkan protein asal hijauan dengan baik. Rumput lapang, daun lamtoro (Leucaena leucochepala), dan daun ubi jalar merupakan jenis hijauan yang akan diteliti pengaruh pemberiannya kepada ternak kelinci periode reproduksi. Pemberian hijauan tanpa penambahan konsentrat akan kurang efektif dalam pola pemeliharaan intensif. Kendala yang dihadapi adalah harga konsentrat yang relatif mahal. Hal ini disebabkan oleh tingkat ketersediaan di lapang yang masih rendah dan harga bahan baku penyusunnya yang cukup tinggi. Pemanfaatan bahan baku lokal diharapkan dapat mereduksi biaya pakan yang menjadi komponen biaya produksi terbesar (>70%) dalam suatu peternakan, khususnya peternakan kelinci. Salah satu hasil samping agroindustri lokal yang potensial sebagai pakan kelinci adalah bungkil inti sawit. Indonesia menghasilkan minyak sawit (CPO) 11,8 juta ton dengan hasil sampingnya, yaitu bungkil inti sawit yang dihasilkan sekitar 1,16 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2007). Bungkil inti sawit memiliki kandungan protein yang cukup dan memiliki proses pengolahan yang sama dengan bungkil kelapa sehingga bungkil inti sawit diharapkan dapat menggantikan bungkil kelapa sebagai sumber protein inkonvensional lokal.
Pemberian pakan pada kelinci yang lazim dilakukan adalah pemberian hijauan
segar
dan
penambahan
pellet
sebagai
konsentrat
yang
bukan
peruntukkannya, sebagai contoh pellet untuk ayam broiler. Pellet untuk kelinci masih terbilang relatif mahal karena pellet yang dijual ditujukan untuk hewan kesayangan. Ransum komplit dalam bentuk pellet dengan kombinasi antara hijauan dengan konsentrat berbasis bahan baku lokal akan lebih optimal dalam pemenuhan kebutuhan nutrisi kelinci masa reproduksi dan berimplikasi dalam upaya pengembangan peternakan kelinci di masa akan datang. Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian ransum komplit yang mengandung bungkil inti sawit dengan hijauan berbeda terhadap penampilan reproduksi induk kelinci dan mengevaluasi ransum komplit terbaik yang mengandung bungkil inti sawit atau bungkil kelapa dengan jenis hijauan yang berbeda.
TINJAUAN PUSTAKA Ransum Komplit Ransum komplit merupakan pakan yang cukup gizi untuk hewan tertentu dalam tingkat fisiologi, dibentuk atau dicampur untuk diberikan sebagai satu-satunya makanan dan memenuhi kebutuhan pokok atau produksi, atau keduanya tanpa tambahan bahan atau substansi lain kecuali air (Tillman et al., 1997). Menurut Ensminger et al. (1990), keuntungan dari penggunaan ransum komplit antara lain : 1) meningkatkan efisiensi pemberian pakan, 2) ketika hijauannya kurang palatabel maka jika dibuat campuran ransum komplit akan meningkatkan konsumsi, begitu juga sebaliknya jika ketersediaan konsentrat terbatas dapat dipakai hijauan sebagai campuran, 3) campuran ransum komplit dapat mempermudah ternak untuk mendapatkan pakan lengkap. Pada
pola
pemeliharaan
kelinci
yang
intensif,
disarankan
untuk
menggunakan ransum komplit sebagai pakan kelinci (Raharjo, 2009). Ransum komplit bagi ternak kelinci dapat berupa campuran antara hijauan dengan konsentrat yang berbentuk pelet. Gillespie (2004) menyatakan bahwa produsen kelinci komersial umumnya menggunakan ransum pelet komplit. Pelet komplit mengandung semua nutrisi yang dibutuhkan kelinci. Selain itu, kelinci lebih menyukai ransum berbentuk pelet dibanding dengan ransum bukan pelet (Bennet, 2001). Menurut Cheeke (2005), kelinci yang mengkonsumsi ransum yang tidak berbentuk pelet menghasilkan laju pertumbuhan yang lambat dan banyak pakan yang terbuang. Ukuran pelet yang direkomendasikan adalah berdiameter 1/8 sampai 1/16 inch dengan panjang 1/8 sampai 1/4 inch (Gillespie, 2004). Murtisari (2009) menyatakan bahwa salah satu kendala yang dihadapi dalam peternakan kelinci adalah harga pakan komplit yang relatif mahal, dimana pakan merupakan komponen biaya produksi terbesar (60-70%). Upaya yang dilakukan untuk menurunkan biaya produksi adalah melalui penurunan harga pakan, yang dapat dilakukan antara lain dengan memanfaatkan bahan pakan yang memilki potensi bagi kelinci dalam arti ketersediaan tinggi, komponen gizi memadai dan harga yang murah.
Bungkil Kelapa Bungkil kelapa merupakan limbah yang diambil dari daging kelapa setelah diekstrak atau dikeringkan. Bungkil kelapa sering digunakan sebagai bahan pakan ternak, terutama di beberapa negara tropis (Cheeke, 2005). Bungkil kelapa dapat digunakan untuk mensuplai sebagian protein yang diperlukan untuk ternak (Pond et al., 1995). Komposisi nutrien dari bungkil kelapa dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Komposisi Nutrien Bungkil Kelapa Komponen Nutrien
Bungkil Kelapa1
Bungkil Kelapa2
Bahan Kering (%)
86
87,56
Abu (%BK)
6,4
7,54
Protein Kasar (%BK)
21,6
22,17
Serat Kasar (%BK)
15,1
24,69
Lemak Kasar (%BK)
10,2
7,08
BETN (%BK)
46,7
38,52
Sumber: 1. Tillman et al. (1997) 2. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
Tillman et al. (1997) menyatakan bahwa bungkil kelapa memiliki komposisi kimia yang bervariasi, akan tetapi kandungan nutrisi yang utama adalah protein kasar sebesar 21,6% sehingga bungkil kelapa termasuk sumber protein untuk ternak. Kandungan serat kasar dari bungkil kelapa cukup tinggi, yaitu sekitar 15% dan ini merupakan sifat dari bungkil atau ampas bahan makanan yang berasal dari tumbuhan. Menurut Raharjo (2009), bungkil kelapa sering dijadikan sebagai salah satu bahan baku ransum komplit bagi kelinci yang dipelihara secara intensif. Hal serupa juga dinyatakan oleh Manshur (2009), bahwa bungkil kelapa digunakan sebagai bahan pakan komplit dalam bentuk pelet maupun hanya sebagai campuran dalam konsentrat. Bungkil Inti Sawit Menurut Hermanto et al. (1995), tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis) adalah tanaman familia Palma yang berasal dari Guinea di benua Afrika bagian tengah yang termasuk daerah khatulistiwa. Perkebunan kelapa sawit di Indonesia dimulai pada tahun 1911 di daerah sungai Liput (Aceh Timur) dan di Kebun Pulau Raja (Sumatera Utara). Berat satu tandan segar kelapa sawit dapat mencapai 35 kg
dengan rotasi panen sebanyak 5/7 yang artinya dalam satu minggu terdapat lima hari panen tandan segar kelapa sawit. Persentase produk utama dan hasil samping kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1.
Tandan Kosong Sawit (55%) Serat Mesokarp (12%) Tandan Buah Sawit Segar
Lumpur Sawit (2%)
Minyak Sawit (18-20%) Cangkang (8%) Inti Sawit (4-5%)
Minyak Inti Sawit (45-46%)
Bungkil Inti Sawit (45-46%)
Gambar 1. Persentase Produk Utama dan Hasil Samping Pengolahan Minyak Sawit (Sumber: Elizabeth dan Ginting, 2003) Bungkil inti sawit (BIS) adalah hasil samping dari pembuatan minyak inti sawit yang diperoleh melalui proses ekstraksi dari inti kelapa sawit (Cheeke, 2005). BIS mengandung serat kasar yang tinggi dan sekitar 20% protein kasar (McNab dan Boorman, 2002). Komposisi nutrien dari bungkil inti sawit selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi Nutrien Bungkil Inti Sawit Komponen Nutrien
Bungkil Inti Sawit 1
Bungkil Inti Sawit2
Bahan Kering (%)
91
89,94
Abu (%BK)
6
4,54
14,8
17,93
Serat Kasar (%BK)
23
22,85
Lemak Kasar (%BK)
14
5,61
42,2
49,07
Protein Kasar (%BK)
BETN (%BK)
Sumber :1. Sue (2005) 2. Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008)
Menurut Elisabeth dan Ginting (2003), BIS kurang disarankan sebagai bahan baku pakan ternak non-ruminansia karena kandungan serat kasar pada BIS lebih tinggi dibandingkan bahan baku sumber protein lainnya. Ketaren et al. (1999) melaporkan bahwa 5% BIS dapat digunakan dalam pakan ayam pedaging tanpa memberikan pengaruh buruk terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Adeniji (2002) telah meneliti kelinci lepas sapih yang diberi ransum mengandung BIS sebagai pengganti dari bungkil kacang tanah. Hasil yang didapatkan adalah ransum yang mengandung bungkil inti sawit tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi ransum. Persentase penggunaan BIS dalam ransum dan direkomendasikan sebagai pakan yang optimal untuk kelinci lepas sapih adalah 7,5 % dari total ransum. Rumput Lapang Rumput lapang merupakan campuran dari beberapa jenis rumput lokal yang umumnya tumbuh secara alami dengan daya produksi dan kualitas rendah. Meskipun demikian, rumput lapang mudah didapat, murah, dan pengelolaannya mudah. (Wiradarya, 1989). Rumput lapang banyak terdapat di sekitar sawah, pegunungan, tepi jalan, dan semak-semak. Rumput ini tumbuh liar sehingga memiliki mutu yang kurang baik untuk pakan ternak (Aboenawan, 1991). Menurut Gultom et al. (1987), rumput lapang segar yang diberikan ad libitum menghasilkan produksi dan daya reproduksi kelinci yang cukup baik selama pemeliharaan. Rumput lapang yang diberikan dengan penambahan ampas tahu memberikan konsumsi bahan kering yang tinggi pada kelinci betina umur 4 bulan (Lestari, 2008). Daun Lamtoro Lamtoro (Leucaena leuchepala) merupakan tanaman legum pohon serba guna yang
produktif menghasilkan hijauan, tahan pemotongan, penggembalaan
berat, dan sebagai pakan tambahan bermutu tinggi. Tanaman lamtoro dapat diberikan kepada ternak berupa hijauan segar, kering, tepung, silase, dan pelet. Hijauan lamtoro sangat baik sebagai pakan ternak, dikarenakan daun lamtoro kaya akan protein, karoten, vitamin, dan mineral (Soeseno, 1992). Lamtoro cukup palatabel bagi ternak kelinci (Cheeke et al., 2000). Menurut Onwudike (1995), pelet berbasis daun lamtoro lebih disukai oleh kelinci dibanding
daun gamal. Namun pemberian daun lamtoro dapat mengurangi pertumbuhan bobot badan, konsumsi pakan, dan efisiensi pakan. Mtenga dan Laswai (1994) melaporkan hasil penambahan daun lamtoro dalam ransum komersiil sebanyak 15 maupun 30% yang tidak berpengaruh terhadap performan kelinci jantan, namun beberapa kelinci yang digunakan mengalami kerontokan bulu. Daun lamtoro mengandung mimosin yang menyebabkan kerontokan dan reddish (urin berwarna cokelat) pada kelinci apabila dikonsumsi dalam jumlah yang berlebihan. Oleh karena itu penggunaan daun lamtoro dalam ransum direkomendasikan tidak lebih dari 10% total ransum (Cheeke et al., 2000). Daun Ubi Jalar Tanaman ubi jalar (Ipomoea batatas) berasal dari daerah tropika Amerika yang meliputi Panama, bagian utara Amerika Selatan dan Kepulauan Karibia. Tanaman dikotiledon tahunan ini memiliki batang panjang menjalar dan terlihat seperti semak. Daun biasanya berbentuk jantung hingga bundar, berwarna hijau tua atau hijau kekuningan dan bertopang pada tangkai daun yang tegak. Ubi jalar merupakan komoditas penting dan ditanam di berbagai wilayah tropika karena dapat tumbuh produktif dengan masukan produksi rendah dan musim tanam cukup pendek. Tanaman ini dapat dijadikan sebagai bahan pakan ternak (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998). Mutetikka (1990) menyatakan bahwa hijauan dari umbi ubi jalar sangat disukai kelinci dan merupakan sumber nutrisi yang cukup baik. Menurut Sudaryanto et al. (1984), dari beberapa hijauan yang dimanfaatkan oleh ternak kelinci, konsumsi daun ubi jalar segar merupakan yang tertinggi, yaitu 379,50 g/ekor/hari pada kelinci jantan dan 389,85 g/ekor/hari pada kelinci betina. Efisiensi pakan yang paling baik juga terlihat pada perlakuan dengan pemberian ransum yang mengandung daun ubi jalar, baik untuk kelinci jantan maupun kelinci betina. Muslim (2008) telah meneliti kelinci persilangan lepas sapih yang diberi ransum biomassa ubi jalar, dimana hijauan yang terkandung adalah daun ubi jalar. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa ransum tersebut dapat menggantikan ransum komersiil kelinci serta baik dikonsumsi tanpa mengganggu kecernaan dari kelinci. Kandungan nutrisi dari rumput lapang, daun lamtoro dan daun ubi jalar dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Nutrien Rumput Lapang, Daun Lamtoro, dan Daun Ubi Jalar Komponen Nutrien
Rumput Lapang
Daun Lamtoro
Daun Ubi Jalar
Bahan Kering (%)
89,16
89,46
88,46
Abu (%BK)
15,68
9,61
14,33
Protein Kasar (%BK)
11,33
26,07
25,51
Serat Kasar (%BK)
41,67
17,86
24,29
Lemak Kasar (%BK)
1,04
5,00
1,15
BETN (%BK)
30,28
41,46
34,70
Ca (%)
0,51
1,86
0.79
P (%)
0,33
0,25
0.38
Energi Bruto (Kkal/kg)
3460
4393
3552
Sumber : Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2008).
Ternak Kelinci Kelinci memiliki potensi cukup baik untuk dikembangkan sebagai penghasil daging, kulit atau bulu, hewan percobaan, dan hewan untuk dipelihara (Church, 1991). Kelinci termasuk hewan herbivor non-ruminan yang memiliki sistem pencernaan monogastrik dengan perkembangan sekum seperti rumen ruminansia, sehingga kelinci disebut pseudo-ruminansia (Cheeke et al., 2000). Kelinci memiliki beberapa keunggulan antara lain: sifat produksi tinggi, biaya pemeliharaan yang relatif murah, siklus hidup yang pendek, tidak memerlukan tempat yang luas, daya tahan yang lebih kuat terhadap penyakit dan adaptif terhadap lingkungan baru (Lebas et al., 1986). Ternak kelinci dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Ternak Kelinci (Foto: Theodore, 2009)
Klasifikasi kelinci menurut Lebas et al. (1986) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Animal
Phylum
: Chordata
Sub phylum
: Vertebrata
Ordo
: Logomorph
Family
: Lepotidae
Sub family
: Leporine
Genus
: Oryctolagus
Species
: Oryctolagus cuniculus
Kelinci dapat menggunakan protein hijauan secara efisien, dengan tingkat reproduksi tinggi, efisiensi pakan tinggi, hanya membutuhkan makanan dalam jumlah sedikit dan kualitas dagingnya cukup tinggi (Farrell dan Raharjo, 1984). Daging kelinci baik untuk dikonsumsi karena mengandung protein yang tinggi, namun kandungan lemak dan kolesterol yang rendah dibanding ternak lainnya. Kandungan gizi daging kelinci dan ternak lainnya terdapat pada Tabel 4. Tabel 4. Kandungan Gizi Daging Kelinci dan Ternak Lainnya Jenis Daging
Air (%)
Protein (%)
Lemak (%)
Energi (MJ/kg)
Kelinci
67,9
20,8
10,2
7,3
Ayam
67,6
20,0
11,0
7,5
Sapi
55,0
16,3
28,0
13,3
Domba
55,8
15,7
27,7
13,1
Babi
42,0
11,9
45,0
18,9
Sumber : Farrell dan Raharjo (1984)
Menurut Farrell dan Raharjo (1984), bangsa kelinci lokal di Indonesia merupakan persilangan dari berbagai jenis yang tidak terdata, namun sebagian besar berasal dari persilangan New Zealand White. Tubuh kelinci ini berukuran lebih kecil daripada kelinci impor dan memiliki laju pertumbuhan yang lambat sehingga sering dilakukan persilangan dengan bangsa lain untuk mengembangkan kelinci yang tahan penyakit serta berbadan besar. Kelinci lokal lebih toleran terhadap panas karena kelinci lokal telah beradaptasi di daerah tropis sehingga lebih tahan terhadap lingkungan panas dibanding kelinci impor.
Kebutuhan Zat Makanan Kelinci pada Masa Kebuntingan Ternak membutuhkan nutrisi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yaitu kebutuhan hidup pokok dan produksi. Kebutuhan hidup pokok adalah kebutuhan nutrisi untuk memenuhi proses-proses hidup tanpa adanya produksi, sedangkan kebutuhan produksi adalah kebutuhan nutrisi untuk pertumbuhan, kebuntingan, produksi susu dan kerja (Blakely dan Bade, 1991). Pakan yang diberikan pada kelinci harus disesuaikan berdasarkan umur, bobot, tujuan pemeliharaan, tingkat kesukaan oleh ternak kelinci, memenuhi kebutuhan untuk semua zat makanan dan seimbang dalam vitamin dan mineral essensial yang dibutuhkan (Herman, 2000). DeBlas dan Mateos (1998) menyatakan bahwa kebutuhan nutrisi untuk reproduksi dan pertumbuhan pada kelinci dapat diformulasikan dalam pakan berbentuk pellet yang dapat menghasilkan pertumbuhan dan performan reproduksi yang baik. Menurut Poole (1987), kebutuhan konsumsi bahan kering ransum pellet pada kelinci sebanyak 5 persen dari bobot badan. Kebutuhan zat makanan untuk kelinci pada periode kebuntingan berdasarkan NRC (1977) adalah 2500 kkal/kg DE, 10-12% serat kasar, 15-17% protein kasar, 2% lemak, 0,45-0,75% kalsium, dan 0,37-0,5% phosphor. Ransum yang kurang mengandung serat kasar atau kelebihan akan mengakibatkan enteritis (Farrell dan Raharjo, 1984). Kebutuhan zat makanan kelinci dalam berbagai status fisiologis dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci dalam Berbagai Status Fisiologis Komponen Nutrien
Status Fisiologis Kelinci Pertumbuhan
Pemeliharaan
Bunting
Laktasi
2500
2200
2500
2700
TDN (%)
65
55
58
70
Serat Kasar (%)
14
15-16
14
12
Protein Kasar (%)
15
13
18
18
Lemak (%)
3
3
3
5
Kalsium (%)
0,5
0,6
0,8
1,1
Phospor (%)
0,3
0,4
0,5
0,8
DE (kkal /kg)
Sumber : Cheeke (1987)
Konsumsi Ransum Konsumsi ransum adalah jumlah makanan yang dimakan oleh hewan bila diberikan ad libitum. Konsumsi ransum juga merupakan faktor dasar untuk hidup dan menentukan produksi (Parakkasi, 1999). Ternak mampu mencapai tingkat penampilan produksi yang optimal sesuai dengan potensi genetiknya bila memperoleh nutrien yang dibutuhkannya. Nutrien tersebut diperoleh dengan cara mengonsumsi ransum yang disediakan (Sutardi, 1980). Konsumsi ransum sangat dekat dengan palatabilitas yang sering digunakan sebagai gambaran akan rasa ketertarikan ternak terhadap ransum. Menurut Wiseman dan Cole (1990), banyaknya ransum yang dikonsumsi dipengaruhi oleh palatabilitas ransum yang tergantung pada cita rasa, ukuran dan tekstur. Aroma pakan yang digunakan berpengaruh pula terhadap palatabilitas yang dapat meningkatkan konsumsi ransum (Pond et al., 1995). Tingkat konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh temperatur lingkungan, kesehatan, bentuk ransum, imbangan zat makanan, cekaman, bobot badan, kecepatan pertumbuhan dan yang paling utama adalah energi (NRC, 1977). Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat bila kandungan energi ransum rendah. Selanjutnya, Lang (1981) menyatakan bahwa kualitas protein dalam ransum penting untuk kelinci, karena dapat meningkatkan konsumsi ransum. Pemberian ransum dapat dilakukan satu, dua hingga tiga kali sehari dengan waktu pemberian yang teratur. Jumlah ransum yang diberikan pada sore hari sebaiknya lebih banyak dibanding pemberian pada siang hari (Templeton, 1968). Pertambahan Bobot Badan Pertambahan bobot badan merupakan suatu cara untuk mengukur laju pertumbuhan seekor ternak. Kelinci merupakan hewan herbivora non-ruminansia yang memiliki pertumbuhan cepat dan siklus reproduksi pendek (Cheeke, 2005). Templeton (1968) menyatakan bahwa kecepatan pertumbuhan dipengaruhi oleh umur, bangsa, jenis kelamin, dan suhu lingkungan. Di negara seperti Eropa dan Amerika, kelinci dapat mencapai pertumbuhan sekitar 35-40 g/hari, sedangkan di daerah tropis pertumbuhannya lebih rendah, yaitu 10-20 g/hari (Cheeke, 1987). Sementara pertambahan bobot badan kelinci yang diberi ransum dalam bentuk pelet lebih tinggi dibandingkan dengan ransum berbentuk crumble (Cheeke, 2005).
Efisiensi Penggunaan Ransum Efisiensi penggunaan ransum adalah rasio antara nilai rata-rata pertambahan bobot badan yang dihasilkan (gram/ekor/hari) dengan nilai rata-rata konsumsi ransum (gram/ekor/hari). Cheeke (1987) mengemukakan bahwa kandungan energi dalam ransum akan mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum, yakni semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan konversi ransum dan meningkatkan efisiensi penggunaan ransum.
Farell dan Rahardjo (1984)
menyatakan bahwa pemberian hijauan yang tinggi akan meningkatkan efisiensi ransum pada kelinci. Peningkatan efisiensi pakan juga merupakan salah satu faktor yang senantiasa diupayakan dalam usaha ternak, antara lain melalui pemanfaatan berbagai jenis bahan pakan potensial dan murah harganya (Murtisari,2009). Penampilan Reproduksi Induk Kelinci Penampilan
reproduksi
kelinci
berhubungan
erat
dengan
pengaruh
lingkungan, nutrisi, genetik dan manajemen (Pascual, 1999). Nutrisi memiliki peranan penting dalam berbagai peristiwa faali yang terjadi dalam mencapai dewasa kelamin dan dalam proses-proses reproduksi (Anggorodi, 1994). Perkawinan Perkawinan pertama dilakukan pada saat masa dewasa kelamin terlewati. Dewasa kelamin dicapai pada saat organ reproduksi telah berkembang dan berfungsi sempurna (Blakely dan Bade, 1991). Herman (2000) menyatakan bahwa kelinci mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, bergantung kepada bangsa, makanan dan kesehatan. Kelinci betina tipe ringan mencapai dewasa pada umur 4 bulan, tipe medium 5-6 bulan dan tipe berat umur 7-8 bulan. Lebas et al. (1986) menyatakan bahwa umur perkawinan pertama akan dicapai pada bobot hidup 80-85% dari bobot dewasa. Perkawinan dapat dilakukan secara alamiah, yakni dengan memasukkan kelinci betina ke kandang pejantan. Ensminger (1991) menyatakan bahwa kelinci betina menerima pejantan untuk conception ketika vulva basah dan berwarna merah cemerlang di seluruh permukaan sampai ke ujung. Perkawinan biasanya berlangsung cepat karena ovulasi terjadi sekitar 8 sampai 10 jam setelah perkawinan pertama (Blakely dan Bade, 1991).
Kebuntingan Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal. Kebuntingan dipastikan dengan palpasi induk betina pada hari ke 12 hingga 14 setelah kawin. Dengan cara melakukan perabaan (palpasi) di bagian perut belakang (ventro caudal) pada kelinci betina yang telah dikawinkan dengan hati-hati (Ensminger, 1991). Jika induk dalam keadaan bunting, maka fetus akan terasakan berbentuk seperti kelereng kecil (Gillespie, 2004). Blakely dan Bade (1991) menambahkan bahwa pemeriksaan kebuntingan dapat juga dilakukan dengan cara test mating, yakni dengan memasukkan kembali betina ke dalam kandang pejantan. Apabila betina menolak pejantan, maka betina tersebut dianggap bunting. Menurut Cheeke (1987), sekitar 98 % kelahiran normal diperoleh dengan lama kebuntingan antara 30-33 hari, selebihnya kelahiran 29-35 hari terdapat dalam persentase yang kecil. Litter Size, Litter Weight dan Bobot Anak Waktu Lahir Litter size merupakan banyaknya anak yang dilahirkan (Lebas et al., 1986). Litter size umumnya berpengaruh terhadap perkembangan tubuh, feed intake dan penampilan reproduksi. Bobot badan induk yang sangat besar pada saat awal bereproduksi meningkatkan jumlah litter size pada kebuntingan pertama namun tidak berpengaruh nyata terhadap konsumsi ransum ataupun peningkatan bobot badan induk kelinci selama masa kebuntingan (Rommers et al., 2002). Induk kelinci pada periode beranak pertama menghasilkan litter size yang rendah (Rathor et al., 2000). Litter size dalam setiap kebuntingan bervariasi mulai dari 1-12 ekor (rata-rata 8 ekor). Variasi ini tergantung kepada bangsa, musim, umur induk, dan periode beranak. Bangsa yang lebih prolifik menghasilkan rataan litter size delapan ekor per kelahiran (Gillespie, 2004). Lukefahr dan Ozimba (1993) menyatakan bahwa litter size kelinci New Zealand White cukup tinggi yaitu 10,5 ekor. Penelitian dengan menggunakan kelinci peranakan New Zealand White, namun tidak diketahui periode beranaknya, diperoleh litter size dengan kisaran 2-7 ekor (Suryani, 2002). Fernandez (1995) menyatakan bahwa korelasi antara makanan yang masuk saat terakhir kebuntingan dengan litter size sangat kecil.
Litter weight adalah jumlah anak yang hidup. Rata-rata litter weight pada kelinci New Zealand White murni adalah 280±15,03 g (Rathor et al., 2000). Bobot lahir anak dipengaruhi oleh jumlah anak per kelahiran (litter size), kondisi induk (umur dan bobot induk), lama
kebuntingan, serta pakan yang diberikan
(Sanford,1979). Litter size dan bobot lahir dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti bangsa, makanan, umur dan lingkungan induk (Cheeke, 1987). Menurut Herman (2000) bobot lahir anak berkisar antara 38-95 g dengan rataan 55 g dan ada hubungan dengan lama kebuntingan. Rommers et al. (2002) juga menyatakan bahwa semakin banyak anak yang dilahirkan maka semakin rendah bobot lahir tiap anak. Mortalitas Anak Kematian anak biasanya disebabkan oleh beberapa hal antara lain, mati sejak dilahirkan, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan predator, persaingan dalam menyusui dan pemeliharaan yang kurang baik (Khotijah, 2006). Penyakit merupakan salah satu penyebab terjadinya mortalitas yang terjadi pada anak kelinci, karena belum memiliki daya tahan tubuh yang kuat seperti induknya (Cheeke, 1987). Induk yang memiliki mothering behaviour rendah juga menjadi salah satu faktor terjadinya mortalitas. Artinya, induk tersebut kadang tidak mau menyusui, melukai bahkan sampai memakan anaknya sendiri disamping memakan plasentanya sendiri (Cheeke et al., 2000). Suryani (2002) meneliti dengan menggunakan kelinci peranakan New Zealand White menghasilkan rataan mortalitas 40%. Berbeda dengan yang dinyatakan Cheeke et al. (2000) bahwa kemampuan hidup dari kelinci New Zealand White adalah 91,4%.
METODE Lokasi dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan di Komplek Laladon Indah Bogor, Jalan Bukit Asam Ujung 1 No. 31, Bogor. Pembuatan ransum penelitian dilakukan di PT. Indofeed, Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai dengan Juni 2009.
Materi Ternak Ternak yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelinci betina siap kawin pertama (dara) jenis lokal sebanyak 15 ekor, berumur ±5 bulan dan rataan bobot badan awal 2,087 ± 0,192 kg. Kelinci jantan yang digunakan sebanyak 3 ekor. Ternak jantan dan betina masing-masing dikandangkan terpisah. Pejantan yang digunakan tidak diberi perlakuan khusus sebelumnya, tetapi diseragamkan dari umur ternaknya.
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan adalah kandang bertingkat sistem batere individual yang dibuat dari bilah bambu. Kandang yang dipakai sebanyak 15 kandang dengan ukuran panjang 75 cm, lebar 60 cm dan tinggi 50 cm. Setiap kandang dilengkapi dengan tempat pakan, botol minum, dan kotak beranak dengan ukuran panjang 40 cm, lebar 40 cm dan tinggi 60 cm. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan digital untuk mengukur bobot badan induk kelinci. Gambar 3 menunjukkan kandang dan peralatan yang digunakan.
a
b
c
Gambar 3. Kandang dan Peralatan, a: Kandang; b: Tempat Pakan, Botol Minum, dan Timbangan Digital; c: Kotak Beranak (Foto: Theodore, 2009).
Ransum Penelitian Ransum penelitian yang digunakan merupakan ransum komplit berbentuk pellet yang disusun sesuai dengan kebutuhan kelinci periode kebuntingan. Bahan pakan yang digunakan merupakan campuran antara hijauan dengan konsentrat. Hijauan yang digunakan adalah rumput lapang, daun lamtoro, dan daun ubi jalar. Ransum dicampur dengan bahan baku lain seperti jagung, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, tepung ikan, premix, NaCl, dicalcium phospat (DCP) dan crude palm oil (CPO) dengan persentase pemakaian seperti disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komposisi Ransum Komplit Bahan Makanan
Rumput Lapang
Perlakuan R1 R2 R3 R4 R5 -----------------------------------%BK---------------------------------30
20
20
20
20
Daun Lamtoro
-
10
-
10
-
Daun Ubi Jalar
-
-
10
-
10
24,5
24,5
24,5
24,5
24,5
Dedak Padi
15
15
15
15
15
Bungkil Kelapa
5
5
5
-
-
Bungkil Inti Sawit
-
-
-
5
5
Tepung Ikan
3
3
3
3
3
Bungkil Kedelai
20
20
20
20
20
CPO
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Premix
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
DCP
1
1
1
1
1
NaCl
0,5
0,5
0,5
0,5
0,5
Jumlah
100
100
100
100
100
Jagung
Keterangan : BK = Bahan Kering;
Ransum komplit yang digunakan dalam penelitian ini rata-rata memiliki warna yang hampir sama yakni hijau kecoklatan dan beraroma harum yang berasal dari hijauan. Deskripsi dari ransum komplit dapat dilihat pada Gambar 4.
R1
R2
R3
R4
R5
Gambar 4. Ransum Penelitian yang Digunakan (Foto: Theodore, 2009). Rancangan Percobaan Perlakuan Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 5 perlakuan 3 kali ulangan (Steel dan Torrie, 1993). Perlakuan yang diberikan yaitu : R1 = Ransum komplit mengandung 30% Rumput Lapang + 5% Bungkil Kelapa R2 = Ransum komplit mengandung 20% Rumput Lapang + 10 % Daun Lamtoro + 5% Bungkil Kelapa R3 = Ransum komplit mengandung 20% Rumput Lapang + 10 % Daun Ubi Jalar + 5% Bungkil Kelapa R4 = Ransum komplit mengandung 20% Rumput Lapang + 10 % Daun Lamtoro + 5% Bungkil Inti Sawit R5 = Ransum komplit mengandung 20% Rumput Lapang + 10 % Daun Ubi Jalar + 5% Bungkil Inti Sawit Model Model matematik yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Yij = + τi + ij Keterangan : Yij
= Nilai pengamatan pada perlakuan ransum komplit ke-i dan ulangan ke-j
= Nilai rataan umum
τi
= Pengaruh perlakuan ransum komplit ke- i
ij
= Pengaruh galat pada perlakuan ransum komplit ke- i dan ulangan ke- j
i
= Perlakuan Ransum Komplit = R1, R2, R3, R4, R5
j
= Ulangan ke- j; j = 1, 2, 3
Peubah yang diamati
Peubah yang dianalisis secara statistik dalam penelitian ini adalah : 1. Konsumsi ransum induk (g/ekor/hari) diukur setiap hari dengan cara menghitung jumlah pakan yang diberikan dikurangi dengan jumlah pakan yang tersisa. 2. Konsumsi bahan kering induk (g/ekor/hari) dihitung dari jumlah ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan persentase bahan kering ransum. 3. Konsumsi protein induk (g/ekor/hari) dihitung dari jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan persentase protein kasar ransum. 4. Konsumsi serat induk (g/ekor/hari) dihitung dari jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan persentase serat kasar ransum. 5. Konsumsi lemak induk (g/ekor/hari) dihitung dari jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan persentase lemak kasar ransum. 6. Konsumsi energi induk (g/ekor/hari) dihitung dari jumlah bahan kering ransum yang dikonsumsi dikalikan dengan persentase TDN ransum. 7. Pertambahan bobot badan induk (g) diukur setiap seminggu sekali dengan cara bobot badan akhir dikurangi bobot badan awal dan dibagi dengan lamanya waktu pengamatan; bobot badan awal dan akhir diukur dengan cara menimbang kelinci sebelum pemberian pakan. 8. Efisiensi penggunaan ransum (%) diperoleh dengan cara membagi pertambahan bobot badan dengan konsumsi ransum selama perlakuan. 9. Lama kebuntingan (hari) dihitung sejak induk kelinci dikawinkan hingga kelinci tersebut melahirkan. 10. Litter Size (ekor) merupakan jumlah anak yang dilahirkan per induk dalam satu kelahiran. 11. Litter Weight (ekor) merupakan jumlah bobot anak yang dilahirkan oleh induk dalam satu kelahiran. 12. Mortalitas Anak (%) dihitung dari jumlah anak yang mati selama pemeliharaan dibagi dengan total anak yang dilahirkan dikalikan 100%. Data yang diperoleh dari peubah-peubah tersebut dianalisa dengan sidik ragam (ANOVA) dan perbedaan di antara perlakuan diuji dengan Uji Duncan (Steel dan Torrie, 1993). Peubah yang diukur secara deskriptif adalah frekuensi kawin, persentase kebuntingan dan mortalitas.
Prosedur Pembuatan Ransum Komplit Ransum
komplit
terlebih
dahulu
diformulasikan
sesuai
dengan
kebutuhannya menggunakan program WinFeed 2.8. Tahapan pembuatan ransum komplit berbentuk pelet dapat dilihat pada Gambar 5.
Hijauan segar
Tepung Konsentrat
Pengeringan
Penggilingan
Pencampuran
Pembuatan Pellet (Pelleting)
Pendinginan (Cooling)
Ransum Komplit
Gambar 5. Tahapan Pembuatan Ransum Komplit Bahan-bahan pakan hijauan dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari. Hijauan yang telah kering kemudian digiling menggunakan mesin disk mill. Bahan tersebut lalu dicampur dengan bahan lain seperti jagung, dedak padi, bungkil kelapa, bungkil inti sawit, tepung ikan sesuai dengan formula yang dibuat. Bahan campuran tersebut dimasukkan ke dalam mesin mixer dengan tujuan agar semua bahan pakan tercampur merata dan homogen. Proses selanjutnya adalah pembuatan pelet yakni dengan memasukkan bahan yang telah dicampur ke dalam
mesin pelet ukuran 5 mm. Pelet yang dihasilkan kemudian dimasukkan ke dalam blower agar pelet berada pada suhu normal. Pelet kemudian dikemas ke dalam karung sesuai dengan perlakuan. Perkawinan Kelinci Kelinci dikawinkan secara alami dengan menggunakan 3 ekor pejantan. Perkawinan kelinci dilakukan dengan memasukkan kelinci betina ke dalam kandang kelinci jantan untuk 5 hari. Artinya, dalam satu hari seekor kelinci jantan hanya melayani seekor betina yang mewakili ulangan yang berbeda dalam suatu perlakuan atau dengan kata lain satu hari perkawinan untuk satu perlakuan. Gambar 6 menunjukkan proses terjadinya perkawinan pada kelinci.
a
b
c
Gambar 6. Proses Perkawinan pada Kelinci. a: Kelinci jantan mengejar kelinci betina, b: Kelinci jantan menaiki kelinci betina, c: Kelinci jantan terjatuh setelah kopulasi (Foto: Theodore, 2009). Pemeliharaan Kegiatan yang dilakukan selama pemeliharaan adalah pemberian pakan, air minum, dan penimbangan bobot badan. Ternak dipelihara selama 5 minggu. Minggu pertama sebagai masa adaptasi pakan (preliminary) dan termasuk pengawinan kelinci. Pada minggu kedua hingga kelima dilakukan pengamatan. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Pemberian pakan dilakukan pada pagi hari pukul 07.0008.00 dan sore hari pukul 15.00-16.00. Penimbangan bobot badan dilakukan sebelum induk kelinci dikawinkan, selama kebuntingan, dan setelah induk kelinci beranak.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kandungan Zat Makanan Ransum Penelitian Ransum yang digunakan dalam penelitian ini adalah ransum yang telah diformulasikan sesuai dengan kebutuhan kelinci pada masa reproduksi. Perbedaan ransum antar perlakuan terletak pada komposisi bahan-bahan makanan yang digunakan yaitu rumput lapang (RL), daun lamtoro (DL), daun ubi jalar (DUJ), bungkil kelapa (BKP), dan bungkil inti sawit (BIS). Ransum perlakuan R1 merupakan ransum kontrol dalam penelitian ini. Hal ini dikarenakan bahan-bahan makanan yang terkandung dalam ransum R1 seperti rumput lapang dan bungkil kelapa merupakan bahan makanan konvensional yang umum digunakan sebagai pakan kelinci. Hasil analisa proksimat ransum perlakuan yang digunakan pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan Zat Makanan dalam Ransum Perlakuan1) Zat Makanan
Perlakuan R1
R2
R3
R4
R5
BK (%)
88,72
88,31
88,86
88,78
87,43
Abu (%BK)
10,79
10,25
7,99
9,10
9,66
BO (%BK)
89,21
89,75
92,01
90,90
90,34
PK (%BK)
21,49
20,73
21,93
21,10
22,88
SK (%BK)
15,18
15,99
14,25
16,33
11,74
LK (%BK)
4,95
4,05
5,68
3,98
4,95
Beta-N (%BK)
47,62
48,98
50,15
49,49
50,77
TDN2) (%BK)
73,06
71,75
76,84
72,03
77,75
3,41 : 1
3,46 : 1
3,50 : 1
3,41 : 1
3,40 : 1
TDN/PK
Keterangan: R1= Ransum komplit mengandung 30% RL + 5% BKP (Ransum kontrol), R2= Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DL+ 5%BKP, R3 = Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DUJ + 5% BKP, R4 = Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DL + 5% BIS, R5= Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DUJ + 5% BIS, BS = Bahan Segar; BK= Bahan Kering; BO= Bahan Organik; PK= Protein Kasar; SK= Serat Kasar; LK=Lemak Kasar; TDN =Total Digestible Nutrient, 1) Hasil Analisa Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor (2009). 2) TDN diestimasi berdasarkan rumus TDN = 25,6 + 0,53 PK + 1,7 LK – 0,474 SK +0,732 BETN (Sutardi, 2003 dalam Noviana, 2004).
Ransum penelitian yang digunakan mempunyai kadar bahan kering (BK) yang bervariasi dengan kisaran yang tidak nyata (87,43-88,86%), dalam arti ransum R2, R3, R4 dan R5 tidak begitu berbeda dengan ransum kontrol (R1). Variasi kandungan BK ransum perlakuan bergantung pada jumlah bahan pakan dalam ransum dan kandungan bahan kering dalam bahan pakan tersebut. Jumlah bahan pakan yang digunakan (DL, DUJ, BKP dan BIS) memiliki persentase yang tidak berbeda antar perlakuan dan hal ini diduga menjadi penyebab perbedaan kadar BK yang tidak nyata. Penurunan kandungan abu diiringi oleh terjadinya peningkatan persentase bahan organik (BO). Kadar abu pada ransum R2 hingga R5 terlihat menurun dengan adanya peningkatan kadar BO dibanding ransum kontrol. Kadar abu terendah terdapat pada ransum R3 (Tabel 7). Rendahnya kandungan abu atau tingginya kadar BO dari ransum R3 diduga akibat proses pencampuran daun ubi jalar dan bungkil kelapa dengan bahan pakan lainnya yang kurang homogen. Protein kasar (PK) antar ransum perlakuan tidak berbeda nyata dengan kisaran antara 20,73 hingga 22,88%. Nilai ini sedikit lebih tinggi dari kebutuhan kelinci yang direkomendasikan Cheeke (1987) sebesar 18%. Perlakuan R5 merupakan ransum yang memilki nilai PK terbesar. Artinya, pemakaian bungkil inti sawit yang dikombinasikan dengan daun ubi jalar dapat meningkatkan energi dan protein ransum. Penggunaan daun lamtoro dalam ransum (R2 dan R4) terlihat menurunkan kandungan PK ransum terhadap ransum kontrol sebesar 0,76 dan 0,39%. Penurunan ini diduga disebabkan oleh proses pengeringan dari daun lamtoro dalam waktu yang lama, yaitu pada saat daun lamtoro dijemur dalam kondisi kering matahari sebelum digiling dan dicampur bersama bahan pakan lain. Pemakaian bungkil inti sawit dengan daun ubi jalar memiliki kandungan serat kasar (SK) ransum yang sangat rendah senilai 11,74% (Tabel 7), namun telah sesuai dengan kebutuhan induk kelinci masa reproduksi yakni 12-14% (Cheeke, 1987). Penggunaan daun lamtoro yang dikombinasikan dengan bungkil kelapa maupun bungkil inti sawit dalam ransum mampu meningkatkan kadar SK, meskipun tidak nyata terhadap ransum kontrol.
Tabel 7 memperlihatkan bahwa kandungan lemak kasar (LK) ransum perlakuan yang berkisar antara 3-5% telah sesuai dengan kebutuhan lemak kasar induk kelinci masa reproduksi (Cheeke, 1987). Ransum perlakuan R3 memiliki kandungan LK yang tinggi sebesar 5,68%, meskipun kisarannya tidak begitu nyata dibandingkan dengan ransum kontrol dan ransum perlakuan lainnya. Kandungan LK pada ransum R3 yang tinggi disebabkan oleh tingginya kandungan BK ransum. Bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N) masing-masing ransum perlakuan adalah R1 = 47,62, R2 = 48,98, R3 = 50,15, R4 = 49,49 dan R5 = 50,77%. Nilai-nilai tersebut tidak berbeda nyata, namun terjadi sedikit peningkatan dibanding dengan ransum kontrol (R1). Penelitian ini menggunakan Total Digestible Energy (TDN) sebagai ukuran energi ransum. Pada Tabel 7 terlihat bahwa penggunaan daun lamtoro dalam ransum (R2 dan R4) sedikit menurunkan kadar TDN terhadap ransum kontrol. Rendahnya TDN pada kedua ransum ini diakibatkan kedua ransum mengandung kadar PK dan LK yang rendah dan SK yang tinggi dibandingkan ransum lainnya. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1980) bahwa nilai TDN dapat diestimasi dari kandungan PK, SK, LK, dan Beta-N. Ransum yang mengandung bungkil inti sawit dan daun ubi jalar merupakan ransum dengan kandungan TDN tertinggi sebesar 77,75%. Seluruh ransum perlakuan dalam penelitian ini memiliki imbangan TDN terhadap PK yang hampir sama. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 7 dimana kisaran TDN/ PK ransum antara 3,40 hingga 3,50. Keadaan ini mengindikasikan bahwa seluruh ransum yang digunakan adalah ransum yang isoenergy dan isoprotein. Artinya, jumlah kandungan nutrien yang dibutuhkan ternak yaitu energi dan protein antar ransum tidak berbeda sehingga ransum diharapkan dapat dikonsumsi pada tingkatan yang sama dengan baik oleh ternak. Konsumsi Ransum Konsumsi diperhitungkan sebagai jumlah ransum yang dimakan oleh ternak untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan untuk reproduksi ternak tersebut (Parakkasi, 1999). Konsumsi ransum pada ternak kelinci dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bobot hidup, palatabilitas, dan bentuk fisik ransum (Cheeke, 1987). Konsumsi ransum induk kelinci yang diperoleh selama periode kebuntingan dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Konsumsi Ransum Induk Harian selama Kebuntingan Perlakuan
Peubah
R1
Konsumsi
R2
R3
R4
R5
----------------------------------------g/ekor/hari---------------------------------------
BS
105,30±17,66
96,51±10,33
96,85±19,61
114,20±10,72 100,28±16,05
BK
93,42±15,67
85,23±9,12
86,06±17,43
101,39±9,52
87,68±14,03
Abu
10,08±1,69
8,73±0,93
6,88±1,39
9,23±0,87
8,47±1,36
BO
83,35±13,98
76,49±8,19
79,19±16,04
92,16±8,65
79,20±12,68
PK
20,04±3,36
17,67±1,89
18,88±3,82
21,39±2,01
20,06±3,21
SK
14,18±2,38
13,63±1,46
12,26±2,48
16,56±1,55
10,29±1,65
LK
4,63±0,78
3,46±0,37
4,89±0,99
4,03±0,38
4,34±0,69
Beta-N
44,49±7,46
41,74±4,47
43,16±8,74
50,18±4,71
44,52±7,12
TDN
68,26±11,45
61,15±6,54
66,13±13,39
73,03±6,86
68,17±10,91
3,41:1
3,46:1
3,50:1
3,41:1
3,40:1
Imbangan TDN/PK
Keterangan: R1= Ransum komplit mengandung 30% RL+ 5% BKP, R2= Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DL + 5% BKP, R3= Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DUJ + 5% BKP, R4 = Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DL + 5% BIS, R5= Ransum komplit mengandung 20% RL + 10% DUJ + 5% BIS, BS = Bahan Segar; BK= Bahan Kering; BO= Bahan Organik; PK= Protein Kasar; SK= Serat Kasar; LK=Lemak Kasar; TDN =Total Digestible Nutrient.
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pada setiap perlakuan memberikan pengaruh yang tidak signifikan terhadap konsumsi induk kelinci secara keseluruhan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap perlakuan ransum komplit memiliki tingkat palatibilitas yang relatif sama. Tingkat palatabilitas ransum dapat diindikasikan dari bau pakan itu sendiri (Pond et al., 1995). Setiap ransum beraroma harum yang diduga berasal dari hijauan yang digunakan. Artinya, pellet yang mengandung rumput lapang, daun lamtoro dan daun ubi jalar baik dikonsumsi oleh induk kelinci pada masa kebuntingan. Nilai rataan konsumsi bahan segar (BS) induk selama masa kebuntingan berkisar antara 96,51-114,20 g/ekor/hari (Tabel 8). Nilai rataan tersebut lebih tinggi dibanding dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sari (2009), dengan menggunakan bangsa kelinci dan periode beranak yang sama, namun perlakuan pakan yang berbeda, yaitu berkisar antara 84,14-104,22 g/ekor/hari.
Penggunaan 10% daun lamtoro maupun daun ubi jalar tidak mengubah secara nyata nilai konsumsi bahan kering (BK), namun penggantian 5% bungkil kelapa oleh bungkil inti sawit sedikit memperbaiki tingkat konsumsi BK. Konsumsi BK dari masing-masing perlakuan adalah 93,42±15,67, 85,23±9,12, 86,06±17,43, 101,39±9,52 dan 87,68±14,03 g/ekor/hari. Berdasarkan data konsumsi BK dan bobot induk kelinci, dapat diketahui bahwa persentase konsumsi bahan kering terhadap bobot badan berkisar antara 4-5%. Nilai ini lebih rendah daripada rekomendasi Templeton (1968), bahwa kebutuhan BK ransum untuk induk betina dewasa sebesar 5,8-6,7% dari bobot badan. Rataan konsumsi bahan organik (BO) pada peneitian ini memiliki nilai yang hampir sama antar perlakuan. Hal ini dipengaruhi oleh konsumsi BK dan kandungan BO dari setiap ransum perlakuan. Kandungan BO pada masing-masing ransum perlakuan ditentukan pula oleh kandungan BK ransum. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap ransum memiliki kualitas ransum yang tidak berbeda antar perlakuan. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa konsumsi ransum dipengaruhi oleh kualitas ransum selain kebutuhan energi ternak. Konsumsi protein kasar (PK) pada penelitian ini memiliki rataan yang berkisar antara 17,67-21,39 g/ekor/hari. Ransum perlakuan yang mengandung 10% daun lamtoro maupun daun ubi jalar (R2 dan R3) menyebabkan penurunan konsumsi PK induk karena ransum tersebut juga memiliki kandungan PK yang menurun dibandingkan dengan ransum kontrol. Faktor antinutrisi yang terdapat dalam daun lamtoro seperti tanin dan mimosin diduga mempengaruhi penurunan konsumsi. Mtenga dan Laswai (1994) telah meneliti bahwa kandungan tanin dan mimosin yang terdapat dalam daun lamtoro menurunkan konsumsi induk harian induk kelinci. Tingkat konsumsi serat kasar (SK) mengalami penurunan pada kelinci yang diberi ransum mengandung 10% daun lamtoro (R2), namun dengan penggunaan bungkil inti sawit (R4) dapat meningkatkan konsumsi SK. Perubahan ini diduga disebabkan oleh kandungan SK pada ransum perlakuan (Tabel 7), dimana kandungan SK tertinggi terdapat pada ransum perlakuan R4. Kandungan SK dari bungkil inti sawit yang cukup tinggi merupakan faktor tingginya kandungan SK ransum. Bungkil inti sawit dapat dikonsumsi dengan baik oleh ternak kelinci pada level pemberian 7,5% dari total ransum (Adeniji, 2002).
Nilai konsumsi lemak kasar (LK) relatif sama antar perlakuan. Penambahan 10% daun ubi jalar dan 5% bungkil kelapa (R3) menyebabkan sedikit peningkatan dibanding ransum kontrol (R1). Hal ini diduga kandungan LK pada ransum R3 yang tinggi dibanding ransum kontrol dan ransum perlakuan lainnya (Tabel 7). Konsumsi LK untuk ransum yang mengandung 10% daun lamtoro dan 5% bungkil kelapa (R2) mengalami sedikit penurunan sebesar 1,17 g/ekor/hari dari R1. Demikian pula halnya dengan ransum R4 dan R5 yang mengalami penurunan dengan nilai rataan konsumsi sebesar 4,03 dan 4,34 g/ekor/hari. Berdasarkan Tabel 8 dapat dilihat bahwa ransum R2 dan R3 mengalami penurunan konsumsi dibanding ransum kontrol. Penggunaan 10% daun ubi jalar dengan 5% bungkil inti sawit pada ransum perlakuan R5 memiliki nilai rataan konsumsi TDN yang tidak berbeda nyata dengan ransum R1 (kontrol). Ransum perlakuan R4 yang mengandung 10% daun lamtoro dan 5% bungkil inti sawit menyebabkan konsumsi TDN sedikit meningkat dibanding dengan ransum kontrol dan ransum perlakuan lainnya. Peningkatan ini disebabkan oleh konsumsi BK pada R4 yang juga mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya pola konsumsi harian antar perlakuan, walaupun nilai rataan konsumsi yang didapatkan tidak berbeda nyata. Penambahan daun lamtoro sebanyak 10% dengan kandungan 5% bungkil kelapa (R2) terlihat menurunkan konsumsi induk secara keseluruhan bila dibandingkan dengan ransum kontrol. Hal serupa terjadi pada ransum mengandung daun ubi jalar yang dikombinasikan dengan bungkil kelapa (R3) dimana ransum tersebut juga mengalami penurunan konsumsi induk. Penurunan konsumsi induk pada R3 diduga karena ransum perlakuan R3 memiliki kandungan energi (TDN) yang cukup tinggi sebesar 76,84%. Menurut Cheeke (1987), konsumsi ransum akan meningkat apabila kandungan energi ransum rendah, demikian pula sebaliknya apabila kandungan energi ransum tinggi maka konsumsi ransum akan menurun. Penggantian bungkil kelapa oleh bungkil inti sawit sebagai sumber protein pada taraf 5% memberikan respon yang lebih baik terhadap tingkat konsumsi. Hal ini berarti penggunaan bungkil inti sawit yang dikombinasikan dengan daun lamtoro maupun daun ubi jalar dapat memperbaiki tingkat konsumsi induk kelinci.
Gambar 7a memperlihatkan bahwa konsumsi bahan kering induk kelinci untuk semua perlakuan cenderung menurun, khususnya pada minggu ke-4 yang merupakan minggu terakhir kebuntingan. Perlakuan R1 dan R5 memperlihatkan tren yang konsisten menurun dari minggu pertama hingga minggu keempat. Fluktuasi konsumsi induk selama empat minggu kebuntingan terlihat pada perlakuan R2, R3, dan R4 dimana pada minggu kedua terjadi penurunan konsumsi dan meningkat kembali pada minggu ketiga. Penurunan konsumsi diduga karena terjadi pembesaran volume rongga fetus yang membuat laju alir pakan dalam sistem pencernaan terhambat sehingga jumlah pakan yang dikonsumsi semakin sedikit. Hal ini sesuai dengan pernyataan McDonnald et al. (2002) bahwa ternak mengalami penurunan tingkat konsumsi pada minggu akhir kebuntingan yang disebabkan adanya pertumbuhan fetus dalam rongga janin. Bobot Badan Induk selama Kebuntingan Hasil penelitian mengenai rataan bobot badan induk kelinci harian yang diperoleh selama masa kebuntingan selengkapnya disajikan pada Tabel 9. Data yang dapat diketahui terkait dengan bobot badan induk antara lain bobot awal, bobot akhir kebuntingan, PBB selama kebuntingan dan bobot pasca beranak. Bobot awal merupakan bobot badan induk kelinci yang ditimbang sesaat sebelum dikawinkan. Rataan bobot awal induk dalam penelitian ini berkisar antara 1955,33-2203,33 g/ekor. Hasil analisa statistik menunjukkan bahwa perlakuan pakan memberikan pengaruh tidak nyata terhadap bobot awal induk kelinci. Hal ini dapat diartikan bahwa induk yang digunakan dalam penelitian ini sudah mencapai bobot dewasa tubuh dan masa dewasa kelamin yang sudah terlewati. Kelinci betina yang digunakan dalam penelitian ini telah mencapai dewasa kelamin, dimana dewasa kelamin pada kelinci bangsa medium terjadi pada umur 5-6 bulan (Herman, 2000).
Tabel 9. Rataan Bobot Badan Induk selama Kebuntingan. Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
R4
R5
Bobot awal (g/ekor)
2203,33± 352,33
2010,00± 181,84
2185,33± 235,10
2099,00± 62,22
1955,33± 230,67
Bobot akhir kebuntingan (g/ekor)
2601,33± 234,86
2371,67± 196,30
2594,00± 165,73
2406,00± 212,13
2382,33± 109,30
PBB selama kebuntingan (g/ekor/hari)
14,2±5,75
12,92±1,22
14,60±2,89
10,96±5,35
Bobot pasca beranak (g/ekor)
2199,67± 208,45
2066,33± 171,54
2231,33± 110,39
2065,50± 57,28
15,25±6,08
2145,00± 120,50
Pertambahan bobot badan adalah suatu cara untuk mengukur laju pertumbuhan seekor ternak. Dalam penelitian ini, pertambahan bobot badan adalah tolak ukur dari perkembangan organ reproduksi induk dan pertumbuhan fetus yang ada di dalam tubuh induk. Nilai pertambahan bobot badan diperoleh dari selisih nilai bobot akhir kebuntingan dengan bobot awal induk. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap pertambahan bobot badan induk kelinci selama penelitian. Artinya, semua perlakuan ransum relatif baik digunakan oleh induk kelinci tanpa mengganggu perkembangan organ reproduksi dan pertumbuhan fetus di dalam janin induk. Pertambahan bobot badan dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum yang dikonsumsi (Templeton, 1968). Kualitas ransum dapat dilihat dari kandungan zat makanan yang terdapat di dalamnya. Kandungan energi dan protein harus mendapat perhatian dalam mencukupi kebutuhan zat makanan untuk mencapai pertambahan bobot badan yang lebih besar. Ransum yang mengandung ubi jalar (R3 dan R5) cenderung memiliki nilai pertambahan bobot badan yang lebih baik dibanding ransum lainnya yang dikarenakan kandungan protein dan energi yang terdapat dalam R3 dan R5 lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya. Ransum yang mengandung daun lamtoro dengan bungkil inti sawit (R4) dan ransum
yang
mengandung
daun
lamtoro
dengan
bungkil
kelapa
(R2)
memperlihatkan kecenderungan nilai pertambahan bobot badan yang rendah. Penelitian yang telah dilakukan oleh Onwudike (1995) telah membuktikan bahwa
ransum yang mengandung daun lamtoro mengurangi nilai pertambahan bobot badan kelinci. Berdasarkan Gambar 7b dapat dilihat bahwa setiap perlakuan memberikan tren positif yang diawali sesaat sebelum dikawinkan (minggu ke-0) sampai dengan minggu terakhir sebelum melahirkan (minggu ke-4). Artinya, bobot induk kelinci terlihat konsisten naik setiap minggunya tanpa membedakan perlakuan. Hal ini disebabkan oleh adanya fetus yang mengalami perkembangan di dalam tubuh induk. Bobot badan induk mengalami penurunan pasca melahirkan. Pengukuran bobot induk kelinci pasca melahirkan bertujuan untuk mengetahui seberapa besar bobot induk yang hilang dan sebagai pendekatan untuk mengetahui jumlah dan bobot anak yang lahir. Penurunan bobot badan induk selain karena dikurangi dengan kalkulasi bobot anak yang dilahirkan, juga karena tubuh induk harus memproduksi susu (Sari, 2009). Efisiensi Penggunaan Ransum Efisiensi penggunaan ransum (EPR) merupakan rasio nilai pertambahan bobot badan dengan jumlah ransum yang dikonsumsi oleh ternak. Nilai rataan efisiensi ransum dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Rataan Efisiensi Penggunaan Ransum Induk selama Kebuntingan Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
R4
R5
Konsumsi BK (g/ekor/hari)
93,42±15,67
85,23±9,12
86,06±17,43
101,39±9,52 87,68±14,03
PBB selama kebuntingan (g/ekor/hari)
14,2±5,75
12,92±1,22
14,60±2,89
10,96±5,35
15,25±6,08
Efisiensi Penggunaan Ransum (%)
0,15±0,07
0,15±0,01
0,17±0,00
0,11±0,04
0,17±0,04
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa EPR tidak dipengaruhi secara nyata oleh kelima jenis ransum. Hal ini dapat diartikan bahwa ransum yang mengandung bungkil inti sawit dapat dimanfaatkan oleh tubuh induk kelinci sama efisien dengan ransum yang tidak mengandung bungkil inti sawit.
Tabel
10
menunjukkan
bahwa
perlakuan
R3
dan
R5
memiliki
kecenderungan EPR yang lebih baik dibanding perlakuan lainnya. Kedua perlakuan ransum tersebut memiliki kandungan energi yang lebih tinggi (Tabel 7), sehingga EPR yang dihasilkan juga lebih baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Cheeke (1987) bahwa kandungan energi ransum mempengaruhi efisiensi penggunaan ransum yakni dengan semakin tinggi kandungan energi dalam ransum akan menurunkan konversi ransum dan meningkatkan efisiensi ransum. Gambar 7c menunjukkan grafik EPR per minggu. Perlakuan R1, R2 dan R3 memperlihatkan pola yang sama, dimana pada minggu kedua mengalami penurunan dan meningkat kembali hingga minggu keempat. Hal yang berbeda ditunjukkan pada perlakuan R4 yang sedikit mengalami penurunan pada minggu ketiga dan perlakuan R5 yang menurun dari awal hingga minggu ketiga. Persamaan dari seluruh ransum perlakuan adalah terjadi peningkatan pada minggu keempat. Artinya, induk kelinci mampu menggunakan ransum secara efisien pada minggu terakhir kebuntingan. EPR dalam penelitian ini menggambarkan seberapa optimal bobot badan yang dihasilkan dari jumlah ransum yang digunakan oleh induk kelinci. Pada minggu terakhir kebuntingan dapat dijelaskan bahwa setiap ransum mampu menghasilkan bobot badan yang cukup optimal, meskipun terjadi penurunan konsumsi bahan kering. Hal ini dapat diartikan bahwa ransum pada penelitian ini efisien dalam hal pemenuhan kebutuhan induk kelinci pada periode reproduksi, khususnya pada minggu terakhir kebuntingan sebelum induk kelinci beranak. Data berupa grafik tentang penampilan produksi induk yang meliputi konsumsi bahan kering, bobot badan induk dan efisiensi penggunaan ransum setiap minggunya, dapat dilihat pada Gambar 7.
a
b
c Gambar 7. Grafik Penampilan Produksi Induk selama Masa Kebuntingan, a: Grafik Konsumsi Bahan Kering Induk; b: Grafik Bobot Induk; c: Grafik EPR.
Penampilan Reproduksi Induk Kelinci Frekuensi Kawin, Persentase Kebuntingan dan Lama Kebuntingan Keberhasilan perkawinan kelinci dapat dilihat ketika pejantan dalam posisi merebah ke samping setelah menaiki kelinci betina. Frekuensi satu kali kawin dalam penelitian ini terhitung ketika pejantan telah menaiki betina sebanyak tiga kali dan terjadi kebuntingan. Betina dapat menerima pejantan untuk proses fertilisasi ketika vulva berwarna merah cemerlang dan terlihat basah di seluruh permukaan sampai ke ujung (Ensminger, 1991). Tabel 11 menunjukkan frekuensi kawin dan persentase kebuntingan selama penelitian. Tabel 11. Frekuensi Kawin dan Kebuntingan pada Induk Kelinci Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
R4
R5
n kelinci dikawinkan (ekor)
3
3
3
3
3
n induk gagal bunting (ekor)
0
0
0
1
0
n induk bunting (ekor)
3
3
3
2
3
Kebuntingan (%)
100
100
100
66,67
100
Frekuensi kawin (kali)
1
1
1
1,33
1
27-33
31
31-32
31-33
31-33
Kisaran lama bunting (hari) Rataan lama bunting (hari)
30,33±3,06 31,00±0,00 31,33±0,58 32,00±1,41
32,33±1,16
Frekuensi satu kali kawin kemudian berhasil bunting pada induk kelinci sebanyak 80% tanpa membedakan perlakuan. Seekor induk kelinci pada perlakuan R4 tidak terjadi kebuntingan, kemudian dikawinkan kembali dan terhitung dua kali kawin atau sebanyak 6,67% dari total induk dalam penelitian ini. Induk kelinci tersebut kemudian tidak berhasil bunting pada perkawinan kedua. Hal ini dapat diartikan bahwa induk kelinci tersebut belum siap untuk dikawinkan. Persentase kebuntingan merupakan rasio antara jumlah induk kelinci yang bunting dengan jumlah kelinci yang dikawinkan. Persentase kebuntingan dianalisa secara deskriptif. Tabel 11 memperlihatkan bahwa induk kelinci yang diberi ransum mengandung bungkil inti sawit maupun tidak, memberikan persentase kebuntingan
yang hampir sempurna. Artinya, kandungan nutrien dari kelima ransum perlakuan memberikan respon yang sama terhadap tingkat kesuburan dari induk kelinci. Induk kelinci yang diberi ransum mengandung daun lamtoro dan bungkil inti sawit (R4) memiliki persentase yang rendah dibanding perlakuan lainnya. Hal ini dikarenakan seekor induk kelinci pada perlakuan tersebut tidak mengalami kebuntingan (abortus). Abortus dapat terjadi ketika bobot badan ternak meningkat pada minggu terakhir kebuntingan. (Rommers et al., 2002) Lama kebuntingan dihitung sejak kelinci dikawinkan hingga melahirkan. Lama bunting pada kelinci diperkirakan antara 29-35 hari dengan rata-rata 31 hari (Herman, 2000). Lama kebuntingan dipengaruhi oleh pakan yang dikonsumsi oleh ternak kelinci (Gillespie, 2004). Hasil pengamatan lama kebuntingan dapat dilihat pada Tabel 11. Hasil analisis statistik menunjukkan lama kebuntingan antar perlakuan tidak signifikan. Artinya, ransum yang mengandung bungkil inti sawit memberikan retensi fetus dalam janin induk yang tidak berbeda dengan ransum yang tidak mengandung bungkil inti sawit. Lama bunting dari penelitian ini berkisar 27 sampai 33 hari dengan rata-rata mencapai 31,40±0,80 hari. Hasil tersebut sedikit tidak sesuai dengan pernyataan (Herman, 2000) bahwa lama bunting berkisar antara 29-33 hari. Umur dan bobot induk saat dikawinkan sudah mencapai level optimum sehingga kebuntingan berlangsung normal. Rata-rata bobot badan sebelum kelinci dikawinkan adalah 2,087 ± 0,220 kg dengan umur berkisar 5-6 bulan. Hal ini sudah sesuai dengan pernyataan Ensminger (1991) bahwa kelinci dapat dikawinkan setelah mencapai dewasa kelamin yaitu pada umur 5-6 bulan. Litter Size, Litter Weight dan Bobot Lahir Anak Litter size, litter weight dan bobot lahir anak merupakan parameter yang diukur untuk menilai penampilan reproduksi induk. Tabel 12 menyajikan informasi nilai rataan litter size, litter weight dan bobot lahir anak berdasarkan perlakuan ransum.
Tabel 12. Rataan Litter Size, Litter Weight dan Bobot Lahir Anak Perlakuan
Peubah
R1
R2
R3
R4
R5
Kisaran litter size (ekor/induk)
5-7
4-7
6-8
3-8
4-6
Rataan litter size (ekor/induk)
6,00±1,00
5,67±1,53
7,00±1,00
5,50±3,54
5,33±1,15
Rataan litter weight (g/induk)
267,33± 31,90
255,33± 76,03
285,67± 21,39
Rataan bobot lahir (g/induk)
44,94±4,88
45,03±3,74
n induk bunting
3
3
41,61±8,49
3
260,50± 103,94
245,00± 37,32
52,04±14,55
46,44±3,54
2
3
Kualitas pakan yang baik akan menghasilkan litter size yang tinggi, dengan meningkatnya pelepasan sel telur yang matang saat ovulasi. Hal ini didukung oleh pernyataan Sanford (1979) bahwa jumlah anak sekelahiran dipengaruhi oleh banyaknya sel telur yang diovulasikan dan dibuahi oleh spermatozoa serta berkembang normal sampai dilahirkan. Oleh karena itu, pakan yang baik akan meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa perlakuan ransum tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap litter size. Hal ini dapat disebabkan beberapa faktor antara lain penggunaan tipe bangsa induk yang sejenis, umur induk saat dikawinkan dan kondisi lingkungan kandang. Litter size pada penelitian ini berkisar antara 3-8 ekor dengan rata-rata 5,90±1,64 tanpa membedakan perlakuan. Hasil pengamatan nilai litter size pada penelitian ini berbeda dengan pernyataan Lukefahr dan Ozimba (1993) bahwa nilai rataan litter size kelinci New Zealand White sebesar 10,5 ekor. Hal yang sama dinyatakan Gillespie (2004) bahwa induk kelinci yang lebih prolifik memiliki rataan litter size 8 ekor per kelahirannya. Hasil penelitian lainnya yang menggunakan bangsa kelinci dan periode beranak yang sama, namun perlakuan pakan yang berbeda diperoleh kisaran litter size 1-8 ekor dengan rataan 6,50±0,94 (Kharisma, 2007).
Rendahnya nilai litter size dengan keragaman yang tinggi banyak dipengaruhi oleh umur induk yang muda dan karena induk beranak pertama (Syaifullah, 1993). Hal yang sama juga dinyatakan oleh Rathor et al. (2000) bahwa induk pada periode beranak pertama menghasilkan litter size
yang rendah dan
mungkin pula disebabkan oleh beberapa faktor yang diantaranya adalah kelinci peranakan New Zealand White tersebut tidak dalam kondisi prima karena umur induk yang masih muda, suhu, nutrisi, atau karena kemurnian bangsa yang masih diragukan. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa pemberian bungkil inti sawit dengan hijauan berbeda tidak mempengaruhi secara nyata terhadap litter weight dan bobot lahir. Litter weight yang diperoleh selama penelitian berkisar antara 245 sampai 285,67 gram dengan rataan sebesar 262,77±54,12 gram tanpa membedakan perlakuan. Rataan litter weight berturut-turut untuk setiap perlakuan adalah R1 sebesar 267,33±31,90 gram, R2 sebesar 255,33±76,03 gram, R3 sebesar 285,67±21,39 gram, R4 sebesar 260,50±103,94 gram dan R5 sebesar 245,00±37,32 gram. Hal ini berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Rathor et al. (2000) yang menyatakan bahwa nilai rata-rata litter weight pada kelinci New Zealand White murni adalah 280±15,03 gram. Artinya, adanya pengaruh kemurnian genetik terhadap litter weight, dimana bangsa kelinci persilangan menghasilkan litter weight yang lebih kecil dibanding bangsa kelinci murni. Rata-rata bobot lahir dalam penelitian ini adalah 46,01±7,04 gram/ ekor tanpa membedakan perlakuan dengan kisaran 41,61-52,04 gram/ekor dan nilai ini lebih rendah dibandingkan dengan yang dilaporkan Herman (2000) bahwa bobot lahir anak berkisar antara 38-95 gram dengan rataan 55 gram/ekor. Tabel 13 menunjukkan bahwa perlakuan P3 cenderung menghasilkan bobot lahir yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya walaupun hasil yang didapatkan tidak signifikan. Bobot lahir anak dipengaruhi oleh jumlah anak per kelahiran (litter size), kondisi induk (umur induk dan bobot induk), lama kebuntingan, serta pakan yang diberikan (Sanford, 1979). Perbedaan kondisi bobot lahir maupun litter weight dapat disebabkan oleh beberapa faktor antara lain perbedaan genetik bangsa karena kemurnian induk masih
dipertanyakan, umur induk yang masih muda, periode beranak pertama,dan tipe induk kelinci. Mortalitas Anak Mortalitas merupakan pengamatan dalam pemeliharaan ternak sejauh mana ternak dapat bertahan hidup dari sejumlah pengaruh yang ada, disamping itu mortalitas sebagai faktor penentu keberhasilan usaha dalam beternak. Grafik tingkat mortalitas anak kelinci berdasarkan perlakuan dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Histogram Mortalitas Anak Rata-rata mortalitas anak ketika anak kelinci dilahirkan sampai umur tiga minggu tanpa membedakan perlakuan adalah 43,69%. Persentase kematian tertinggi terjadi saat kelinci berumur 0-1 minggu. Masa ini merupakan masa kritis dimana banyak anak kelinci yang mati atau tidak dapat bertahan hidup. Pada minggu kedua hingga umur tiga minggu terjadi penurunan angka mortalitas yang cukup drastis. Kisaran persentase kematian setelah umur satu minggu adalah 4,76 hingga 12,5%. Persentase kematian anak pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kharisma (2007) yang menggunakan bangsa kelinci yang serupa namun berbeda dalam hal perlakuan pakan, dimana persentase mortalitasnya adalah 42,82%. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan yang dilaporkan Cheeke et al. (2000), bahwa kemampuan hidup dari kelinci New Zealand White adalah 91,4%.
Angka kematian yang tinggi pada penelitian ini disebabkan oleh adanya predator yang memangsa anak kelinci, anak yang bagian tubuhnya terjepit di antara bilah bambu kandang, dan induk kelinci yang tidak mensuplai susu kepada anaknya. Hal tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh Khotijah (2006), bahwa mortalitas pada anak sebelum disapih umumnya disebabkan oleh beberapa hal antara lain mati sejak dilahirkan, terjepit kandang, jatuh ke lantai, dimakan oleh predator, persaingan dalam menyusui dan pemeliharaan yang kurang baik. Induk yang tidak mensuplai susu kepada anaknya sangat terkait dengan sifat indukan dalam merawat anak (mother ability) yang kurang baik. Hal ini diduga karena induk yang masih pertama kali mengalami perkawinan dan kebuntingan sehingga dalam merawat anak dapat dikatakan kurang baik. Kondisi lain yang terkait dengan mother ability yang kurang baik adalah ketika induk yang kurang baik dalam menata sarang dan kemampuan induk dalam merontokkan bulu sesaat sebelum beranak. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Szendro dan Kustos (1988), bahwa jumlah anak yang mati dalam kotak sarang lebih sedikit ketika anak tersebut tertutupi bulu dengan baik.
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ransum komplit mengandung bungkil inti sawit dengan hijauan berbeda dapat digunakan sebagai pakan induk kelinci tanpa mempengaruhi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan, efisiensi ransum dan penampilan reproduksi induk kelinci. Pengaruh penggunaan bungkil inti sawit sama baiknya dengan bungkil kelapa dalam hal pemenuhan kebutuhan zat makanan untuk kelinci masa reproduksi. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan bungkil inti sawit sebagai bahan pakan untuk mensubstitusi bungkil kelapa dengan level bertingkat terhadap penampilan reproduksi induk kelinci.
UCAPAN TERIMA KASIH Segala puji syukur dan hormat penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas berkat, karunia, dan perlindungan sehingga penulis telah menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Nahrowi M.Sc sebagai penggagas dari penelitian ini, Ir. Abdul Djamil Hasjmy, MS. sebagai dosen pembimbing utama dan Ir. Anita S. Tjakradidjaja, MRur. Sc. sebagai dosen pembimbing anggota dan juga pembimbing akademik atas segala bimbingan serta nasehat selama penulis kuliah di IPB, terutama dalam proses tugas akhir ini. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada Ir. Kukuh Budi Satoto, MS selaku dosen penguji seminar, Dr. Ir. Asep Sudarman, MRur. Sc dan Ir. Maman Duldjaman, MS. selaku dosen penguji sidang atas saran-saran yang telah diberikan. Kepada rekan sepenelitian (Siena, Elga, Candra dan Roy) dan juga Dimyati, Hasan Basri dan Muhammad Toha atas bantuan dan kerjasama selama penelitian ini berlangsung. Kepada Brian, Angga, Apit, Opep, Nia, Marthin, Bim-bim dan penghuni kos AGATHIS lainnya, penulis haturkan terima kasih banyak atas dukungan, pengertian dan kebersamaan yang telah kalian berikan. Penulis ingin menyampaikan terima kasih juga kepada keluarga besar Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan (INTP), teman-teman angkatan 42, para dosen dan staf yang banyak membantu, memfasilitasi selama penelitian, dan rasa kebersamaan yang telah dibangun. Banyak sekali pelajaran penting yang dipetik ketika memulai kuliah hingga proses penulisan skripsi di INTP. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada keluarga penulis yakni Ayah Frederick Titalepta (almarhum), Ibu Dorina Titalepta, kedua kakak yakni Emprilon Yantino Ebenhard dan Stephanie Imanuella, serta keluarga besar lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas doa, semangat, kasih sayang, dan dukungan baik secara moril maupun materiil. Semoga suatu saat nanti penulis mampu membalas segala yang telah mereka berikan kepada penulis. Semoga penulisan skripsi ini berguna bagi penulis dan bermanfaat bagi yang membutuhkan. Bogor, Februari 2010 Penulis
DAFTAR PUSTAKA Aboenawan, L. 1991. Pertambahan berat badan, konsumsi ransum dan total digestible nutrient (TDN) pellet isi rumen dibanding pellet rumput pada domba jantan. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Adeniji, A. A. 2002. The replacement value of palmkernel cake for groundnut cake in the diets of weaner rabbits. Journal of Livestock Production Science. 85 : 287–291. Anggorodi, R. 1994. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT Gramedia, Jakarta. Badan Pusat Statistik. 2007. Estates Production by Crops, Indonesia, 1995-2007 (Ton), Jakarta. Bennet, B. 2001. Storey’s Guide to Raising Rabbits. Storey Publishing, New York. Blakely, J. dan D.H. Bade. 1991, Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Cheeke, P. R. 1987. Rabbit Feeding and Nutrition. Academic Press. San Diego. Cheeke, P. R., J. I. McNitt, N. M. Patton and S. D. Lukefahr. 2000. Rabbit Production. 8th Ed. Interstate Publishers, Inc. Danville, Illinois. Cheeke, P. R. 2005. Applied Animal Nutrition: Feeds and Feeding. 3rd Ed. Prentice Hall International. New Jersey. Church, D. C. 1991. Livestock feeds and Feeding. 3rd Ed. Prentice Hall International. New Jersey. DeBlas, C. and G. G. Mateos. 1998. Feed formulation. In: The nutrition of rabbit. CAB International, Wallingford. Elisabeth, J. dan S. P. Ginting. 2003. Pemanfaatan hasil samping industry kelapa sawit sebagai bahan pakan ternak sapi potong. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Ensminger, M. E., J. E. Oldfield and W. W. Hineman. 1990. Feed and Nutrition (Formaly Feed and Nutrition Complete). 2nd Ed. The Ensminger Publishing, California. Ensminger, M. E. 1991. Animal Science. Series III. 9th Ed. The International State and Publisher Inc. Denville, Illionis. Farrell, D. J. and Y. C. Raharjo. 1984. The Potential for Meat Production from Rabbit. Central Research Institut for Animal Science, Bogor. Fernandez, J. Carmona, C. Cervera, C. Sabater and E. Blas. 1995. Effect of diet composition on the production of rabbit breeding does housed in a traditional building and at 30° C. J. Anim. Sci and Tech. 52: 289-297. Gillespie, R. James. 2004. Modern Livestock and Poultry Production. 7th Ed. Delmar learning. Clifton Park, New York.
Gultom, D., Tike Sartika dan Djamuara Aritonang. 1987. Pengaruh pemberian daun lamtoro dan rumput lapangan segar terhadap daya reproduksi kelinci. J. Ilmu dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ternak. Departemen Pertanian, Bogor. Herman, R. 2000. Produksi Kelinci dan Marmot. Buku Ke-3. Anatomi dan Fisiologi Alat Pencernaan serta Kebutuhan Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hermanto, R. R., Emmyzar dan P. Wahid. 1995. Peningkatan intensitas areal kelapa sawit dengan panili sebagai tanaman sela. Buletin Perhimp. 3(1-2): 11-15. Ketaren, P. P., A. P. Sinurat, D. Zainudin, T. Purwadaria dan I. P. Kompiang. 1999. Bungkil inti sawit dan produk fermentasinya sebagai pakan ayam pedaging. J. Ilmu Ternak dan Veteriner. 14: 2-6. Kharisma, T. 2007. Performa reproduksi kelinci peranakan new zealand white dengan ransum yang mengandung ampas teh (Camellia sinensis) dan tambahan Zn. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Khotijah, L. 2006. Suplementasi Zn pada ransum komplit ampas teh untuk penampilan reproduksi kelinci induk muda. Laporan Akhir Penelitian. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor. Lang, J. 1981. The Nutrition of the Commercial Rabbit. Part I, Physiology, Digestible and Nutrition Requirement, Nutrition Abstracts and Review, , Commonwealth Bureau of Nutritional. 51 (4): 207- 215. Lebas, F., P. Coudert, R. Rouvier and H. De Rochambeau. 1986. The Rabbit Husbandry, Health and Production. Food and Agriculture Organization of The United Nation, Rome. Lestari, C. M. S., E. Purbowati dan T. Santoso. 2008. Budidaya kelinci menggunakan pakan limbah industri pertanian sebagai salah satu alternatif. Laporan Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro, Semarang. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lklc05-8.pdf. [29 Desember 2009]. Lukefahr, S.D. and C.E Ozimba. 1993. Comparison of rabbit breed types for post weaning litter growth, feed eficiency and survival performance traits. J.Anim. Sci. 8: 625-628. Manshur, F. 2009. Kelinci : Pemeliharaan secara Ilmiah, Tepat dan Terpadu. Penerbit Nuansa, Bandung. McDonald, P., R. A. Edwards, J. F. D. Greenhalgh and C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th Ed. John Wiley and Sons Inc., New York. McNab, J. M. and K. N. Boorman. 2002. Poultry Feedstuffs : Supply, Composition, and Nutritive Value. CABI Publishing, Oxfordshire. Mtenga, L.A. and G.D. Laswai. 1994. Leucaena leucochepala as feed for rabbits and pigs: detailed chemical composition and effect of level of inclusion on performance. J. Forest Ecology and Management 64: 249-257.
Murtisari, T. 2009. Pemanfaatan limbah pertanian sebagai pakan untuk menunjang agribisnis kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lklc05-7.pdf. [29 Desember 2009]. Muslim, B. 2008. Kecernaan energi dan energi termetabolis ransum biomassa ubi jalar dengan suplementasi urea atau DL-methionin pada kelinci jantan persilangan lepas sapih. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Mutetika, D. B. 1990. The effect of level supplementation to diets of rhodes grass (Chloris gayana) hay, of maize (Zea mays) leaves and sweet potato (Ipomoea batatas) vines on performance of grower rabbit. Journal of Applied Rabbit Research 13: 27-37. National Research Councill (NRC). 1977. Nutrient Requirements of Rabbits. National Academy of Sciences. Washington D. C. Onwudike, O. C. 1995. Use of the legume tree crops Gliricidia sepium and Leucaena leucocephala as green feeds for growing rabbits. Journal of Applied Animal Feed Science and Technology 51: 153-163. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia-Press, Jakarta. Pascual, J. J., C. Tolosa, C. Cervera, E. Blas and J. F. Carmona. 1999. Effect of diets with different digestible energy content on the performance of rabbit does. J. Anim. Sci and Tech. 81: 105-117. Pond, W. G., D. C. Church. and K. R. Pond. 1995. Basic Animal Nutrition and Feeding. 4th Ed. John willey and Sons Inc, Canada. Poole, T. B. 1987. UFAW Handbook on The Care Management of Laboratory Animals. 6th Ed. Universities for Animal Welfare, Longman Scientific and Technical. Raharjo, Y.C. 2009. Prospek, peluang dan tantangan agribisnis ternak kelinci. Lokakarya Nasional Potensi dan Peluang Pengembangan Usaha Kelinci. Balai Penelitian Ternak. Ciawi, Bogor. http://peternakan.litbang.deptan.go.id/publikasi/lokakarya/lklc05-2.pdf. [29 Desember 2009]. Rathor, Y. S., Y. P. Thaker, N. K. Manuja, S. Katoch and K. Gupta. 2000. Performance of different meat rabbit breeds for litter traits. Indian Vet. J. 77 : 592-594. Rommers, J. M., R. Meijerhof, J. P. T. M. Noordhuizen and B. Kemp. 2002. Relationship between bodyweight at first mating and subsequent body development, feed intake and reproductive performance of rabbit does. Journal of Animal Science 80: 2036-2042. Rubatzky, V. E dan M. Yamaguchi. 1998. Sayuran Dunia Prinsip, Produksi dan Gizi. Jilid Kesatu. Penerbit Institut Teknologi Bandung, Bandung. Sanford, J. C. 1979. The Domestic Rabbit. 3rd Ed. Granada, London.
Sari, T. 2009. Pemanfaatan ransum ampas teh (Camellia sinensis) yang ditambahkan seng (Zn) level berbeda terhadap reproduksi dan konsumsi kelinci betina pada setiap status fisiologi. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soeseno, O. H. Soedaharoedjian. 1992. Sifat-sifat silvika dan agronomi/silvikultur Leucaena leucochepala. Prosiding Seminar Nasional Lamtoro I, Jakarta. Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Sttistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan: M. Syah. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Sudaryanto, B., Y. C. Rahardjo dan M. Rangkuti. 1984. Pengaruh beberapa hijauan terhadap performan kelinci di pedesaan. Ilmu dan Peternakan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan, Bogor. Sue, T. T. 2005. Quality and characteristics of Malaysian palm Kernel cakes/expellers. Palm Oil Board, Kuala Lumpur. Suryani, I. 2002. Studi pertumbuhan kelinci peranakan New Zealand White sejak lahir sampai dewasa. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid 1. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Syaifullah. 1993. Performans produksi dan reproduksi tiga varietas kelinci rex (White Rex, Black Rex dan Blue Rex) hasil dari proses kawin bantu (force mating). Karya Ilmiah. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Szendro, Z. dan K. Kustos. 1988. The relationship between nest-making behavior of the rabbit doe and litter performance. J. Applied Rabbit Research 11(2) : 247248. Templeton, G. S. 1968. Domestic Rabbit Production. 4th Ed. The Interstate Printersand Publisher, Inc. Denville. Illinois. Tillman, A. D., S. Reksohadiprodjo dan H. Hartadi. 1997. Tabel Komposisi Pakan untuk Indonesia. Cetakan keempat. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Wiradarya, T. R. 1989. Peningkatan Produktivitas Ternak Domba melalui Perbaikan Efisiensi Nutrisi Rumput Lapang. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Wiseman, J. and P. J. A. Cole. 1990. Feedstuff Evaluation. University Press, Cambridge.
LAMPIRAN
Lampiran 1. ANOVA Konsumsi Bahan Segar Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 1487,15 10930,69 12417,84
KT 371,79 1214,52
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,31
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 2. ANOVA Konsumsi Bahan Kering Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 1131,77 8602,65 9734,42
KT 282,94 955,85
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,30
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 3. ANOVA Konsumsi Abu Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 29,22 72,54 101,76
KT 7,31 8,06
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,91
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 4. ANOVA Konsumsi Bahan Organik Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 859,67 7097,94 7957,61
KT 214,92 788,66
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,27
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 5. ANOVA Konsumsi Protein Kasar Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 69,26 388,64 457,90
KT 17,31 43,18
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,40
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 6. ANOVA Konsumsi Serat Kasar Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 32,83 218,56 251,39
KT 8,21 24,28
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,34
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 7. ANOVA Konsumsi Lemak Kasar Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 9,99 15,39 25,38
KT 2,50 1,71
KT = Kuadrat Tengah
F hit 1,46
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 8. ANOVA Konsumsi Beta-N Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 256,70 2106,64 2363,34
KT 64,17 234,07
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,27
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 9. ANOVA Konsumsi TDN Induk selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 813,16 4547,05 5360,20
KT 203,29 505,23
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,40
F 0.05 3,48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 10. ANOVA Bobot Awal Induk Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK KT 1279258,67 319814,67 3472448,67 385827,63 4751707,33 KT = Kuadrat Tengah
F hit 0,83
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 11. ANOVA Pertambahan Bobot Badan Induk Harian selama Kebuntingan Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 124,14 268,64 392,78
KT 31,04 29,85
KT = Kuadrat Tengah
F hit 1,04
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 12. ANOVA Bobot Badan Induk setelah Beranak Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK KT 1520583,73 380145,93 3046640,00 338515,56 4567223,73 KT = Kuadrat Tengah
F hit 1,12
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 13. ANOVA Efisiensi Penggunaan Ransum Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 0.78 0.83 1.61
KT 0.19 0.09
KT = Kuadrat Tengah
F hit 2.12
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 14. ANOVA Litter Size Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
Db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 17.73 44.00 61.73
KT 4.43 4.89
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0.91
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat
Lampiran 15. ANOVA Litter Weight Sumber Keragaman Perlakuan Error Total Keterangan :
Db 4 9 13
db = Derajat Bebas
JK 22040.93 73340.67 95381.60
KT 5510.23 8148.96
KT = Kuadrat Tengah
F hit 0.68
F 0.05 3.48
JK= Jumlah Kuadrat