SKRIPSI DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK Studi Komparasi Antara Kitab Fathkul Mu’in Dan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No. 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah
Oleh SITI AFAH 21109025 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2014
i
ii
SKRIPSI DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK STUDI KOMPARASI ANTARA KITAB FATKHUL MU’IN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO.0880/P.dt.G/PA.SAL DI SUSUN OLEH SITI AFAH NIM: 21109025 Telah dipertahankan di depan Dewan Panitia Penguji Skripsi Jurusan Hukum Islam Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga, pada tanggal 5 Maret 2014 dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam Susunan Panitia Penguji Ketua Penguji
: Dra. Siti Zumrotun, M.ag
__________________
Sekretaris Penguji
: Ilyya, S.Hi., M.Si
__________________
Penguji I
: Badwan, M.ag
__________________
Penguji II
: Evi Ariani, M.H
__________________
Penguji III
: Farkhani, S.Hi., S.H., M.H
__________________
Salatiga, 11 Maret 2014 Ketua STAIN Salatiga
Dr. Imam Sutomo, M.Ag NIP. 19580827 19830 3 1002
iii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Setelah dikoreksi dan diperbaiki, maka skripsi saudara : Nama
: Siti Afah
NIM
: 21109025
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal al-Syakhsiyyah
Judul
:DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK STUDI KOMPARASI ANTARA KITAB FATKHUL MU‟IN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL
Telah kami setujui untuk dimunaqosyahkan
Salatiga, 7 Januari 2014
Farkhani, SH., M.H NIP. 197605242006041002
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Siti Afah
NIM
: 21109025
Jurusan
: Syari‟ah
Program Studi
: Ahwal Al-Syakhsiyyah
Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah.
Salatiga, 7 Januari 2014 Yang menyatakan
Siti Afah
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO ...SEGALA DIRI
SESUATU ADALAH MEYAKINI
KEPADA
ALLAH
LALU
DAN BERPASRAH
BERSYUKUR
DAN
MENCINTAINYA,,,INSYAALLAH KEBERHASILAN DUNIA AKAN MENGIKUTI...
PERSEMBAHAN 1. Untuk orang tuaku Rita Cahyani dan Sutiman Ahmad Basri yang senatiasa mendoakan dan membimbingku dengan kasih sayangnya. 2. Untuk Abahku, Abah Haris As‟ad Nasution Fatkhurrohman, Ibunda Nyai Fatikhah Ulfah Imam Fauzi, dan Ibunda Nyai Khusnul Khalimah terimakasih atas segenap do‟a yang selalu tercurahkan dalam setiap permohonan. 3. Untuk Dosen pembimbingku Bapak Farkhani yang memberikan masukanmasukan
yang
bermanfaat
sehingga
membantu
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini dengan mudah dan membahagiakan. 4. Untuk segenap Dosen Syari‟ah yang memberikan pemahaman dan pengajaran yang sangat bermanfaat, semoga amal ibadahnya diterima oleh Allah Swt.
vi
5. Untuk guru-guruku yang mengajar dari aku kecil, terimakasih atas do‟anya sehingga bisa seperti ini. 6. Untuk adikku (Siti Hasimah) yang selalu “menganggu” . Walaupun kamu sebandel-bandelnya orang dan sengejengkelinnya, terimakasih untuk kasih sayangmu yang tulus. 7. Untuk temen-temenku AHS angkatan 2009 yang tentunya tidak bisa disebutkan satu persatu, terimakasih atas keceriaan dan kebahagiaan selama kita belajar bersama. 8. Untuk ustadz-ustadzahku dan temen-temenku di Pon-Pes Al-Manar terima kasih yang tak terkira, kalian mengajarkanku tentang arti kebersamaan dan tanggung jawab. 9. Untuk temen-temenku seangkatan di Pon-Pes yang mewarnai hari-hariku di Pondok, Mbak Jariati (No‟e), Mbak Atik Zakiah (Jakiyem), Mbak Muntahanik (Hoonek), Mbak Sa‟diyah (Yamna‟u), dan temen-temen lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu namanya terimakasih atas warna kebahagiaan dan keceriaan serta kebaikan yang kalian berikan kepadaku dengan tulus. 10. Untuk Kang Gunawan, terimakasih telah menolong dan membantu dalam mangartikan serta menjelaskan Kitab Fatkhul Mu‟in. Terimakasih telah meluangkan waktunya. 11. Untuk orang-orang yang mengasihiku dan mencintaiku dengan tulusnya, terimakasih atas cinta dan kasih sayangnya.
vii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Sahalawat dan salam semoga tetap tercurhkan pada Nabi Muhammad SAW yang senantiasa sinantikan syafa‟atnya di Yaumul Qiyamah nanti. Penyusunan skripai degan judul “DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK STUDI KOMPARASI ANATARA KITAB FATKHUL MU‟IN DENGAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL” adalah untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar akademik Sarjana Syari‟ah di Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Salatiga. Penyusun menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak akan berjalan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penyusun mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Imam Sutomo, M.Ag. selaku Ketua Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Salatiga. 2. Drs. Mubasirun, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Syari‟ah. 3. Ilyya Muhsin, S.HI, M.Si. selaku Ketua Program Studi Ahwal AlSyakhsiyyah.
viii
4. Farkhani, S.HI., S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya guna memberikan bimbingan dan arahan. 5. Dr. H. Machmud, SH selaku Hakim Pengadilan Agama Salatiga. 6. Segenap Staf Pengadilan Agama Salatiga yang telah bersedia membantu dan berpartisipasi selama proses penelitian. 7. Bapak Ibu Dosen STAIN, khususnya Dosen Jurusan Syari‟ah. 8. Orang tuaku, Guru-guruku serta sahabat-sahabatku tercinta yang selalu mendoakan dan memotifasi dengan ikhlas. 9. Semua pihak yang tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah memberikan bantuan dan dukungan hingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Selanjutnya penyusun sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penyusun menerima kritik dan saran yanng bersifat membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhhirnya penyusun hanya bisa berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penyusun khususnya. Salatiga, 4 Januari 2014
Penulis,
ix
ABSTRAK Afah, Siti. 2014. Dukhul Sebagai Alasan Pembatalan Ikrar Talak Studi Komparasi Antara Kitab Fatkhul Mu‟in dengan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL. Program Studi Ahwal AlSyakhsiyyah. Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Farkhani, S.Hi., S.H., M.H. Kata kunci: Komparasi, Putusan Pengadilan Agama, Fatkhul Mu‟in, dukhul Penelitian ini merupakan sebuah upaya untuk mengetahui sejauh mana pemikiran hakim dalam memutuskan perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL serta membandingkan pemikiran tersebut dengan kitab Fatkhul Mu‟in. Pertanyaan utama yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah bagaimana kajian teori kitab Fatkhul Mu‟in dalam pembatalan ikrar talak karena ba‟dha dukhul dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL tentang dukhul sebagai alasan pembatan ikrar talak?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka penelitian ini menggunakan metode pendekatan komparasi. Temuan dari penelitian ini menunjukan bahwa dukhul sebagai alasan pambatalan ikrar talak di tinjau dari pemikiran hakim adalah sesuai pendapat hukum atau aturan hukum yang berlaku, untuk penetapannya adalah dengan analisis pemikiran hakim tersebut. Sedangkan dalam kitab Fatkhul mu‟in, dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak adalah dilarang. namun di perbolehkan dengan memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, bagi perempuan yang haid, maka dapat jatuh talaknya dengan syarat perempuan itu (isteri) yang meminta untuk bercerai (keinginan kuat/kukuh dari isteri) dan isteri harus memberikan iwadh (berupa harta) kepada suami yang bersumber dari dirinya sendiri, jika tidak bersumber dari dirinya sendiri maka dihukumi haram. Kedua, bagi perempuan yang ba‟dha dukhul (pada saat suci ia dikumpuli/jimak), adalah diperbolehkan adanya ikrar talak dengan ketentuan syarat bahwa perempuan tersebut tidak memungkinkan untuk hamil lagi atau masih anak-anak. Maka talak bid‟iy diperbolehkan.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN BERLOGO .................................................................................
ii
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................
iv
HALAMAN DEKLARASI..............................................................................
v
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................................
vi
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii HALAMAN ABSTRAK ..................................................................................
x
DAFTAR ISI ....................................................................................................
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................................
1
B. Penegasan Istilah .................................................................................
7
C. Rumusan Masalah ...............................................................................
8
D. Tujuan Penelitian ................................................................................
8
E. Kegunaan Penelitian.............................................................................
9
F. Tinjauan Pustaka .................................................................................
10
G. Kerangka Teori ....................................................................................
13
H. Metode Penelitian ................................................................................
15
I. Sistematika Penulisan ..........................................................................
18
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DUKHUL A. Pengertian Dukhul ...............................................................................
20
a. Dukhhul yang halal .......................................................................
20
b. Dukhul yang haram .......................................................................
22
xi
B. Tata Cara Dukhul ................................................................................
23
a. Membaca basmalah dan do‟a ........................................................
23
b. Melakukan perangsangan ...............................................................
24
c. Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa ...............
25
d. Hanya berdua saja .........................................................................
26
e. Lepaskan semua pakaian yang menutupi ......................................
27
C. Posisi Dalam Bersenggama (Dukhul) ................................................
28
D. Waktu Yang Tepat Untuk Dukhul .......................................................
31
E. Larangan-larangan Dalam Dukhul ......................................................
35
F. Manfaan Dukhul ..................................................................................
42
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK FATKHUL MU’IN
DALAM KITAB
A. Pengertian Talak ..................................................................................
44
B. Hukum Talak........................................................................................
45
C. Macam-macam Talak ..........................................................................
47
D. Syarat Dan Rukun Tala .......................................................................
56
E. Saksi Dalam Ikrar Talak ......................................................................
58
F. Sighat Talak .........................................................................................
59
G. Bilangan Talak ....................................................................................
60
H. Sebab-sebab Ikrar Talak Di Kategorikan Sah .....................................
61
I. Talak Yang Di Hukumi Tidak Sah ......................................................
62
J. Penggantungan Talak ..........................................................................
62
K. Hikmah Talak ......................................................................................
63
xii
BAB IV KOMPARASI ANATARA DASAR PEMIKIRAN HAKIM NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL DENGAN KITAB FATKHUL MU’IN TENTANG PEMBATALAN TALAK BA’DHA DUKHUL A. Dasar Pemikiran Hakim Dalam Putusan No 0880/P.dtG/2012/ PA.SAL ...............................................................................................
64
B. Dukhul Sebagai Alasan Pembatalan Talak Menurut Kitab Fatkhul Mu‟in ......................................................................................
68
C. Persamaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/ PA.SAL Dengan Kitab Fatkhul Mu‟in ................................................
75
D. Perbedaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/ PA.SAL Dengan Kitab Fatkhul Mu‟in ...............................................
75
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ..................................................................................
77
B. SARAN ..............................................................................................
79
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dukhul berasal dari kata bahasa arab yaitu (ً ) دخyang mempunyai arti “masuk” (Alkalali,1995:338). Secara istilah dukhul mempunyai makna, yaitu bertemunya penis laki-laki ke dalam vagina perempuan (Kan‟an, 2007: 97). Dukhul merupakan suatu hal yang bersifat alamiah yang ada pada diri manusia dan merupakan suatu kenikmatan yang diberikan Allah kepada mahluknya. Di dalam perkawinan kewajiban seorang suami adalah memberi nafkah lahir dan batin kepada isteri dan itu merupakan suatu hal yang wajib di penuhi. Begitu pula isteri, isteri mempunyai kewajiban harus mentaati perintah suami dalam keadaan apapun. selama perintah yang diberikan oleh suami tidak bertentangan dengan syari‟at islam. Aturan Islam bersifat jelas. Disebutkan bahwasannya seorang istreri tidak boleh menolak hubungan dukhul tanpa adanya alasan yang dibenarkan, ketika suaminya meminta. Karena ada sebuah hadis dari Ibnu Umar: “seorang wanita datang kepada Nabi SAW., ia berkata “Ya Rasullullah, apa kewajiban isteri terhadap suami?” Rasullullah menjawab: jika seorang suami mengajak hubungan seksual, janganlah menolak meskipun seorang isteri tersebut di atas pelana (kendaraan) (Asymuni, 2005:123).
1
Dalam perkawinan dukhul dapat dikatakan sebagai suatu yang mempererat hubungan suami isteri baik secara batin maupun lahiriyah. Hak-hak tersebut tidak hanya melekat pada diri isteri yang harus tunduk dan patuh terhadap suami namun hal tersebut juga merupakan tanggung jawab suami. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa bagaimanapun juga dukhul diibaratkan seperti makanan pokok yang harus dilakukan oleh suami isteri. Apabila dalam rumah tangga tersebut sewaktu-waktu menghadapi prahara rumah tangga dan di situ suami tidak mengambil sikap yang tegas, maka dukhul bisa menjadi persoalan lain yang mengganggu suasana rumah tangga tersebut. Dan karena tidak dapat mengungkapkan hasrat keinginan keduanya sebab rasa gengsi yang berkepanjangan, tentu saja hal tersebut berdampak pada kerukunan. Yang semula akur menjadi tidak akur, yang semula merasa nyaman menjadi tidak nyaman. Tentu saja sudah tidak ada rasa kecocokan lagi diantara mereka. Sehingga kebanyakan mereka memilih jalur perceraian. Pengadilan
Agama
merupakan
salah
satu
lembaga
yang
mempunyai kewenangan mutlak dalam menyelesaikan persoalan yang terjadi dalam rumah tangga masyarakat Indonesia yang beragama islam. Di Indonesia ketentuan yang berkenaan dengan perkawinan telah diatur dalam peraturan perundang-undangan negara yang khusus berlaku bagi warga negara Indonesia. Aturan perkawinan yang dimaksud adalah dalam bentuk Undang-undang yaitu Undang-Undang No. 1 tahun 1974 dan
2
peraturan pelaksanaannya dalam bentuk peraturan pemerintah No.9 tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hukum materil dari perkawinan, sedang hukum formalnya ditetapkan dalam UU No. 7 tahun 1989. Sedangkan sebagai aturan pelengkap yang akan menjadi pedoman bagi hakim di Lembaga Peradilan Agama adalah Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang telah ditetapkan dan disebar luaskan melalui instruksi presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ( Syarifuddin, 2006:1 ). Dalam Alqur‟an dan Hadis, perkawinan disebut dengan an-nikh ( )إٌىبذdan az-ziwj/az-zijah )ٗد٠اٌض-اجٚاٌض-اجٚ(اٌض. Secara harfiah, pernikahan dalam literatul fiqh arab dengan dua kata, yaitu nikah dan zawaj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam Al-Quran dan Hadist Nabi. Kata na-ka-ha banyak terdapat dalam al-Qu‟ran dengan arti kawin, seperti dalam surat an-Nisa‟ ayat : 3
َ ا َِبٛ فَبٔ ِى ُسَِٝ َزَب١ٌْ اِٟا فُٛ ِإ ْْ ِخ ْفز ُ ُْ أ ّ ََلَّر ُ ْم ِغطَٚ َْٕٝآء َِث ِ غ َ غ َ ِّٕ ٌبة ٌَ ُىُ ِ َِّٓ ا ً ازذَح َ َثُالَٚ ِ َٛ َا فٌُٛع فَئِ ْْ ِخ ْفز ُ ُْ أََلَّر َ ْع ِذ َ ُسثَبَٚ س ”Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap anak yatim, maka kawinilah perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, dua, tiga atau empat orang, dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil, cukup satu orang”. Pernikahan itu sendiri dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2, merumuskannya sebagai berikut: “perkawinan menurut hukum islam adalah pernikahan, 3
yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”. Dalam kehidupan sehari-hari seeorang istri dan suami umumnya hidup tidak selalu penuh dengan ketentraman. Kadang kala terjadi prahara dalam rumah tangga tersebut, terjadi suatu perbedaan prinsip yang tidak difahami oleh keduanya, jika kedua belah pihak tidak saling memahami dan bersikeras bahwa mereka masing-masing mempunyai pendapat yang benar maka yang terjadi umumnya adalah mereka memilih jalan alternatif yaitu perceraian. Meskipun tujuan dari perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (sakinah) yang kekal, namun perjalanan dan fakta sejarah menunjukkan bahwa tidak semua perkawinan berjalan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapainya; mengingat kenyataan menunjukkan bahwa teramat banyak pasangan suami istri yang perkawinannya “terpaksa” harus berakhir di tengah jalan (Summa, 2005:101). Dalam agama Islam itu, dikenal istilah talak yang mempunyai arti “melepaskan tali”, sedang menurut syara‟, melepaskan ikatan aqad nikah dengan lafadz seperti akan dikemukakan (As‟ad, 1979:135). Dalam Hadis talak didefinisikan sebagai suatu perbuatan halal namun dibenci oleh Allah SWT. Seperti dalam Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, bahwa Nabi SAW bersabda:
-اٌَطالَ ُقَٛ ُ٘ هللا ْ هللا ُ ِْٓ ع ْٓ اث ُ ع َّ ْش لَب َي لَب َي َس ُ هْيَلَع ُهللا ىلَصَ أ َ ْثغ ِ ََط ا َ ٌْ َس َال ِي ِع ْٕذ ِ ْ َ َ ُيْٛ ع َ ٗاثٓ ِبخٚ دٚداٛاٖ أثٚس 4
“perbuatan halal namun di benci allah adalah talak” (H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah ) Meskipun tidak ada ayat Al-Qur‟an yang menyuruh atau melarang melakukan talak yang mengandung arti hukumnya mubah, namun talak itu termasuk perbuatan yang tidak disenangi oleh Nabi. Hal itu mengandung arti perceraian itu hukumnya makruh. (Syarifuddin, 2006:200) Dengan melihat beberapa alasan-alasan yang mendasari jatuhnya talak dan dilihat dari kemudharatannya maka hukum talak itu ada empat perkara: 1. Wajib, yaitu apabila terjadi perselisihan antara dua suami istri, sedang dua hakim yang mengurus perkara keduanya, sudah memandang perlu supaya keduanya bercerai. 2. Sunnat, apabila suami tidak sanggup lagi membayar kewajibannya (nafkahnya) dengan cukup, atau perempuan tidak menjaga kehormatan dirinya. 3. Haram (bid‟ah), dalam dua keadaan: pertama menjatuhkan talak dalam keadaan istri sedang haidh, kedua; menjatuhkan talak sewaktu suci yang telah di campurinya dalam waktu suci tersebut. 4. Makruh, hukum asal dari pada talak yang telah dijelaskan diatas (Rasjid, 1954:380). Dari penjelasan diatas mengenai beberapa hukum talak yang telah diuraikan, maka penulis termotifasi untuk meneliti kasus di Pengadilan Agama yang berkaitan tentang talak yang dijatuhkan suami
5
kepada istri sewaktu suci yang telah dicampurinya (istri) waktu suci tersebut. Kronologi kasusnya Menjelaskan bahwa selama proses persidangan baik pihak pemohon (suami) dan termohon (istri) sudah menjelasakan beberapa alasan-alasan yang menyebabkan retaknya hubungan keduanya. Setelah itu hakim memutuskan jatuhnya ikrar talak yang diucapkan oleh suami setelah melihat beberapa pertimbangan yang mendasari kasus ini. Namun, dalam kasus ini yang terjadi
adalah
manakala pihak pemohon (suami) dikabulkan permohonan untuk menjatuhkan ikrar thalak, pada saat itu pihak termohon (istri) mengatakan, bahwa tadi pagi sebelum acara persidangan berlangsung pihak pemohon sebelum menghadiri persidangan mengajak termohon untuk melakukan hubungan suami istri. Maka dari itu melihat situasi yang terjadi
hakim memutuskan bahwa gugatan yang diajukan
termohon untuk menjatuhkan izin untuk menjatuhkan talak di batalkan. Dari persoalan tersebut, penulis termotifasi untuk menganalisis dari pemikiran hakim tersebut, dan membandingkan persoalan tersebut dengan kajian kitab fiqh Fatkhul Mu‟in. Dan menjadikannya sebagai judul dalam penulisan ini. Dengan judul : “DUKHUL SEBAGAI ALASAN PEMBATALAN IKRAR TALAK” (Studi Komparasi antara Kitab Fatkhul Mu‟in dengan Putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor 0880/Pdt.G/2012/PA.Sal)
6
B. Penegasan Istilah Untuk menghindari kemungkinan terjadinya penafsiran yang berbeda dengan maksud utama penulis dalam penggunaan kata pada judul, maka perlu penjelasan beberapa kata pokok yang menjadi inti penelitian. Adapun yang perlu penulis jelaskan adalah sebagai berikut: 1. Dukhul secara bahasa adalah “masuk” (ً( )دخAlkalali, 1995:338). Secara istilah dukhul mempunyai pengertian yaitu bertemunya penis laki-laki ke dalam vagina perempuan (Kan‟an, 2007:97) 2. Alasan adalah dasar bukti (keterangan) yang dipakai untuk menguatkan
pendapat
(sangkalan,
tuduhan
dsb)
(Poerwadarminta, 1982:29) 3. Pembatalan adalah adalah pernyataan batal (urung, tak jadi) (Poerwadarminta,1982:95). 4. Ikrar adalah ucapan yang mempunyai tulisan dan jelas. 5. Talak menurut arti bahasa adalah melepaskan tali, sedang menurut syara‟ adalah melepaskan ikatan pernikah dengan lafad seperi akan dikemukakan (As‟ad, 1979:135). Jadi pembatalan talak adalah dibatalkannya ikrar talak yang akan diucapakan oleh suami kepada istri dengan alasan dan sebab-sebab tertentu yang mengharuskan untuk dibatalkan.
7
C. Rumusan Masalah Dari tema di atas, penulis menulis beberapa pertanyaan mengenai permasalahan-permasalahan yang akan menjadi inti dari pembahasan pada penulisan ini, yaitu: 1. Bagaimana kajian teori kitab fiqh Fatkhul Mu‟in dalam pembatalan ikrar talak karena ba‟dha dukhul dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam putusan Nomor 0880/Pdt.G/2012/PA.Sal tentang dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak? 2. Bagaimana perbedaan dan persamaan antara pendapat kitab fiqh Fatkhul Mu‟in dan Putusan Pengadilan Agama Salatiga No 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL tentang dukhul dalam proses ikrar talak ? D. Tujuan Penelitian Adapun hal-hal yang menjadi tujuan pokok dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kajian kitab fiqh Fatkhul Mu‟in mengenai dukhul dalam proses ikrar talak (perceraian). 2. Untuk mengetahui kajian teori kitab fiqh Fatkhul Mu‟in dalam ikrar talak dan dasar Pengadilan Agama Salatiga dalam putusan Nomor 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL tentang dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak. 3. Untuk membandingkan antara pendapat kitab Fatkhul Mu‟in dan Putusan Pengadilan Agama mengenai dukhul dalam proses ikrar talak.
8
E.
Kegunaan penelitian Kegunaan penelitian yang penulis harapkan dari penelitian ini adalah: 1. Kegunaan teoritis a. Menambah pengetahuan penulis di bidang hukum islam khususnya yang menyangkut pekawinan. b. Hasil penelitian dapat menambah khasanah baru dalam ilmu pengetahuan khususnya yang menyangkut tentang perceraian. 2. Kegunaan praktis a. Bagi masyarakat Memberi pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat mengenai permasalahan pembatalan talak sehingga dalam proses berperkara di Pengadilan Agama, masyarakat lebih memahami khususnya, mengenai pembatalan talak. b. Bagi STAIN Salatiga Memberi masukan kepada akademik tentang masalah hukum keluarga
(ahwal al-syakhsiyyah) khusunya menyangkut
tentang talak yang masih dirasa banyak masyarakat yang belum memahami sepenuhnya mengenai masalah tersebut. Sehingga dapat menjadi landasan pemikiran akademik untuk menjadikannya kurikulum sebagai kebutuhan dalam masyarakat.
9
c. Bagi penulis Menambah ilmu pengetahuan dan sebagai bentuk apresiasi penulis dalam menyumbangkan ilmu yang telah dipelajari di STAIN Salatiga ini. Dan sebagai pra-syarat dalam menyelesaikan pembelajaran ilmu hukum islam dalam bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhshiyyah) pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negri (STAIN) Salatiga. F. Tinjauan Pustaka Untuk penelitian yang lebih lanjut penulis mempelajari beberapa buku yang hampir sama yaitu buku yang membahas tentang masalah talak, yaitu: Husni, Thamrin. 2005. Talak Suami Ketika Marah (Studi Analisis Pemikiran Yusuf Qordhowi) buku ini membahas tentang pandangan pemikiran Ahmad Qardhawi mengenai ikrar talak yang diucapkan oleh suami dalam keadaan marah hukumnya adalah tidak sah. Pandangan Ahmad Qardhawi banyak digunakan oleh para pengambil kebijakan sebagai landasan dalam memutuskankan perkara talak. Uswatun, Hasanah. 2009. Talak Tanpa Putusan Pengadilan (Studi Kasus di Dusun Jambe Dusun. Dadapayam Kecamatan Suruh Kabupaten Semarang) buku ini membahas tentang ikrar talak yang di ucapkan oleh sebagian masyarakat Jambe adalah tidak sesuai dengan prosedur Pengadilan. Maksudnya, masyarakat Dusun Jambe masih memegang tradisi Islam secara kontekstual tanpa dibarengi dengan pemahaman
10
mengenai Undang-undang Perkawinan. Sehingga dalam pelaksanaanya, masyarakat Dusun Jambe tidak menggunakan kewenangan Pengadilan ketika memutuskan bercerai dengan istri mereka. Kebanyakan masyarakat jambe yang telah bercerai (sesuai dengan ajaran islam) rata-rata mereka tidak mempunyai akta Perceraian yang dikeluarkan oleh Pengadilan. Jadi mereka hanya mengucapkan ikrar talak dengan lesan bahkan tanpa saksisaksi. Malik, R Abdul. 2012. Ketidak Hadiran Pemohon Dalam Pelaksanaan Ikrar Talak (Studi Kasus di Pengadilan Agama Ambarawa) buku ini membahas tentang ketidak hadiran pihak pemohon dalam membacakan ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa. Dalam kasus ini ketika pihak pemohon tidak menghadiri sidang ikrar talak yang telah dijadwalakan. Maka Peradilan Agama memutuskan, bahwa talak yang diajukan dianggap gugur dan pemohon juga tidak dapat mengajukan permohonan cerai talak lagi dengan alasan yang sama sesuai dengan yang diatur oleh Pasal 70 ayat (6) Undang-Undang Nomor 7 Tentang Peradilan Agama. Dengan beberapa penelusuran, penulis merasa bahwa tema dukhul sebagai alasan Pembatalan ikrar talak belum pernah diakaji atau diteliti orang lain sehingga penulis termotifasi untuk meneliti tema tersebut. Berbeda dari penelitian yang diteliti oleh Thamrin dalam skripsinya yang hanya memfokuskan penelitian pada pemikiran Qardhawi mengenai ikrar talak yang diucapkan suami ketika marah. Yang di dalamnya tidak
11
mengungkapkan secara langsung bagaimana pendapat hakim itu sendiri dan bagaimana jika pemiikran itu di kaji lebih mendalam sesuai dengan Kompilsi Hukum Islam dan Undang-undang perkawinan. Penelitian Hasanah sendiri hanya membahas tentang kekurang fahaman masyarakat jambe dalam memahami Undang-undang tentang pelafalan ikrar talak dimana penelitian ini hanya memfokuskan pada penelitian akibat hukum yang diterima oleh masyarakat jambe akibat pengikraran talak yang tidak diucapkan tanpa melalui sidang di Pengadilan Agama. Sedangkan dalam penelitian ini penulis lebih memfokuskannya pada aspek putusan dan dasar pemikiran hakim yang berkekuatan hukum serta membandinkannya dengan pendapat ahli Fiqh di dalam kitab Fatkhul mu‟in. Dan dalam buku Malik, R abdul yang membahas tentang ketidak hadiran pemohon dalam sidang ikrar talak di Pengadilan Agama Ambarawa.Yang membahas mengenai akibat hukum yang diperoleh oleh pemohon apabila dalam sidang ikrar talak, pemohon tidak hadir dalam sidang tanpa ada keterangan dan tidak adanya ganti atau perwakilan yang menggantikan kehadirannya. Dalam penulisan tersebut, tidak tertera dengan jelas bagaimana akibat hukum atau pandangan hukum menurut ulama‟
Fiqh
mengenai
permasalan
itu.
Pembahasan
itu
hanya
memfokuskan terhadap persoalan yang berkenaan dengan hukum perkawinan saja. Untuk itu penulis merasa bahwa tema dukhul sebagai alasan batalanya ikrar talak itu belum pernah diteliti dan dikaji oleh orang lain.
12
Sehingga, dalam penulisan skripsi ini penulis merasa harus mengkaji dan menganalisis pemikiran hakim dalam memutuskan perkara dukhul sebagai alasan batalnya ikrar talak dan mengkomparasikannya dengan pandangan ulama‟ Fiqh dalam kitab Fathul mu‟in. G. Kerangka Teori Dukhul merupakan suatu yang menjadi kebutuhan pokok bagi suami isteri. Jadi terkadang banyak sekali proses ikrar talak yang dibatalkan kareana kurang fahamnya suami dalam memahami Undangundang perkawinan dan aturan agama Islam dalam hal talak. Menegenai aturan ketentuan Undang-undang dalam persolan ini telah diatur dalam Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang membahas tentang persolan jatuhnya ikrar talak karena ba‟dha dukhul. Pasal 122 Talak Bid‟iy adalah talak yang tidak dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi dicampuri dalam waktu suci tersebut. Jadi dapat difahami sesuai dengan ketentuan Undang-undang bahwa jenis talak tersebut adalah tidak diperbolehkan. Para ulama‟ juga sepakat menegenai talak tersebut adalah di hukumi haram, karena bertentangan dengan syari‟at Islam. yang termasuk kategori talak bid‟iy adalah: a. Apabila seorang suami menceraikan isterinya dalam keadaan haidh atau nifas.
13
b. Ketika dalam keadaan suci, sedang ia telah menyetubuhinya dalam keadaan suci tersebut. c. Seorang suami telah mentalak tiga isterinya dengan satu kalimat tiga kalimat dalam satu waktu. Seperti mengatakan, ia telah aku talak, lalu aku talak dan selanjutnya aku talak. Dalil yang menlandasinya adalah sabda Rasullullah, sebagaimana diberitakan, bahwasannya ada laki-laki yang mentalak tiga isterinya dengan satu kalimat. Lalu beliau mengatakan kepadanya: “Apakah hukum Allah hendak dipermainkan, sedang aku masih berada di tengah-tengah kalian” (HR. An-nasa‟I dan Ibnu Katsir mengatakan, bahwa isnad Hadis ini mujayyid). Dalil tersebut menyatakan bahwa talak yang seperti itu di hukumi haram, karena bertentangan denga sunnah Nabi. Alasannya adalah dengan cara ini perhitungan iddah isteri menjadi memanjang, karena setelah terjatuh talak belum langsung dihitung iddahnya. Dan diriwayatkan dari Abu Dawud dan Ibnu Majjah. Bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:
ْ َ َ ُيْٛ ع ْ ِهللا ُ ِْٓ ع ْٓ اث ُ ع َّ ْش لَب َي لَب َي َس ُ هْيَلَع ُهللا ىلَصَ أ َ ْثغ َِط ا َ ٌْ َس َال ِي ِع ْٕذَ هللا َ ٗاثٓ ِبخٚ دٚداٛاٖ أثٚ س-اٌَطالَ ُقَٛ ُ٘ “perbuatan halal namun di benci allah adalah talak”(H.R. Abu Dawud dan Ibnu Majah )
14
H. Metode penelitian 1. Pendekatan dan jenis penelitian Dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah studi dokumen atau sumber pustaka, yaitu penelitian yang mencari data atau dokumen yang merupakan data sekunder karena sudah tertulis atau diolah orang lain. Dengan kata lain datanya sudah jadi (Wirartha, 2006:36). Oleh karena itu, sebaiknya peneliti mengenali perpustakaan yang menggunakan latar alamiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. 2. Sumber data a. Sumber Primer Sumber primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh orang yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Data primer ini disebut juga data asli atau data baru (Hasan, 2006:19). Dalam penelitian ini sumber primer yang digunakan adalah Putusan Pengadilan Agama dan kitab fiqh Fathul Mu‟in. b. Sumber sekunder Sumber sekunder adalah data yang diperoleh atau data yang dikumpulkan oleh orang yang melakukan penelitian dari sumber-sumber yang telah ada. Data ini biasanya diperoleh dari
15
perpustakaan atau dari laporan-laporan penelitian terdahulu (Hasan, 2006:19). Pada umumnya terdiri dari data penunjang, diantaranya adalah: a. Undang-undang yang mengulas masalah perkawinan b. Buku-buku yang mengulas tentang talak c. Buku-buku yang mengulas tentang sumber hukum yang berkenaan dengan talak d. Suatu lembaga yaitu Pengadilan Agama Salatiga. 3. Prosedur pengumpulan data Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah: a. Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan cara dokumentasi atau menggunakan sumber tertulis. Sumber tertulis dapat dibagi atas sumber buku dan majalah ilmiah, sumber dari arsip, dokumen pribadi, dan dokumen resmi (Moleong, 2009:159) dalam penelitian ini dokumentasi yang digunakan oleh penulis adalah dengan mengumpulkan putusan Pengadilan Agama Salatiga Nomor :0880/Pdt.G/2012/PA.SAL dan kitab fiqh Fatkhuul mu‟in. serta berbagai literatur baik dari buku maupun media karya tulis lainnya yang dijadikan referensi dan acuan
16
dalam menganalisis persoalan yang dibahas dalam penelitian ini. b. Wawancara Wawancara adalah percakapan dua orang dengan maksud mempunyai tujuan khusus, yaitu memperoleh keterangan yang sesuai dengan penelitian, dan dipusatkan kepada isi yang dititik beratkan pada tujuan deskripsi, prediksi, dan penjelasan sistematik mengenai penelitian tersebut (Sulistia, dkk.1991:121). Dalam hal ini, penulis melakukan wawancara dengan ketua Pengadilan Agama Salatiga yaitu Bapak Dra. H. MACHMUD, SH. untuk mendapatkan informasi sebanyakbanyaknya sesuai dengan rumusan masalah. 4. Analisis data Adapun metode analisis yang digunakan adalah studi komparatif atau analisis komparasi atau analisis perbedaan, yaitu: bentuk analisis variable (data) untuk mengetahui perbedaan di antara dua kelompok
data
(variabel)
(Hasan,
2006:116).
Metode
ini
menggunakan sistematika dengan cara mengkomparasikan antara Putusan Pengadilan Agama dengan pendapat ulama‟ ahli Fiqh dalam kitab Fatkhul Mu‟in. kemudian hal tersebut dianalisis secara mendalam. Apakah dalam kajian kitab Fatkhul Mu‟in terdapat persamaan dengan pandangan hakim dalam memutuskan perkara dukhul sebagai alasan pembatalan talak. Ataukah terdapat perbedaan
17
dan cara pandang tersendiri dalam memutuskan perkara yang sama namun memiliki beberapa kajian dasar atau teori yang berbeda dalam memahami persoalan tersebut. I. Sistematika Penulisan Dalam menyelesaikan penelitian ini, maka penulis mencoba memberikan gambaran seluruh penelitian dengan sistematika penulisan, yakni: BAB I : PENDAHULUAN Terdiri atas Latar Belakang Masalah, Penegasan Istilah, Rumusan Masalah,Tujuan Penelitian, Kegunaan
Penelitian,
Telaah Pustaka,
Kerangka Teoritik, Metode Penelitian, Sistematika Penulisan. BAB II: TINJAUAN UMUM MENGENAI DUKHUL Pembahasan umum mengenai dukhul meliputi,: bagian pertama, Dukhul dalam perspektif Fiqh, yang meliputi: Pengertian Dukhul, Tata Cara Dukhul, Hal-hal yang di Larang dalam Dukhul, Posisi dalam Dukhul, Waktu Yang Tepat untuk Dukhul. Waktu yang Dilarang dalam Dukhul. Dan Hikmah Dukhhul dalam Hubungan Suami Isteri. BAB III: TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DALAM KITAB FATKHUL MU‟IN Bagian Pertama adalah Pengertian Talak, Hukum Talak, Macam-macam Talak, Syarat dan Rukun Talak, Saksi Dalam Ikrar Talak, Sighat Talak, Bilangan Talak, Sebab-sebab Ikrar Talak di Kategorikan Sah, Talak Yang di Hukumi Tidak Sah, Penggantungan Talak, Hikmah Talak.
18
BAB IV: KOMPARASI ANTARA FATKHUL MU‟IN DAN PUTUSAN PENGADILAN AGAMA SALATIGA NO 0880/Pdt.G/2012/PA.SAL Dalam bab ini membahas tentang pemikiran hakim dalam Putusan No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL, dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak menurut Kajian Kitab Fatkhul Mu‟in, persamaan dan perbedaan antara kitab
Fatkhul
Mu‟in
dan
Putusan
0880/P.dtG/2012/PA.SAL BAB V: PENUTUP Bersisi Kesimpulan dan Saran.
19
Pengadilan
Agama
No
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI DUKHUL A. Pengertian Dukhul Dukhul secara bahasa adalah “masuk” (ً( )دخAlkalali,1995:3338). Secara istilah dukhul mempunyai pengertian yaitu bertemunya penis lakilaki ke dalam vagina perempuan (Kan‟an, 2007:97) Dukhul atau jima‟ merupakan suatu pemuasan hasrat yang menjadi salah satu alasan utama perkawinan. Seseorang yang tidak memiliki dorongan seksual sama sekali, tidak patut untuk menikah, karena ia dapat merugikan pasangannya. Sebegitu pentingnya fungsi dukhul dalam ikatan perkawinan. Sehingga apabila ia sudah mampu untuk menikah dan mempunyai harta yang cukup, sehat rohani maupun jasmani. Maka tidak ada halangan baginya kecuali aturan yang menyatakan kewajiban baginya untuk menikah (Hathout, 2004:30). Dalam agama islam dukhul dibagi menjadi dua macam: a. Dukhul yang halal Dukhul yang dikategorikan halal adalah yang dilakukan dengan pasangan yang sah atau suami isteri yang sah. Atau yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan amat (budak perempuan)-nya (dikala masih ada amat). Tetapi zaman sekarang sudah tidak ada amat lagi. Jadi bersenggama dengan isteri sendiri dihukumi halal, bahkan suami isteri yang melakukan dukhul mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah SWT. Hai itu dalam rangka memenuhi haknya sebagai seorang 20
pasangan suami isteri (Kan‟an, 2007:98). Seperti dalam firman Allah SWT. Dalam surat al-Mu‟min ayat: 5-7 yang menggambarkan keadaan orang mukmin.
5. dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, 6. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki, Maka Sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada terceIa.7. Barangsiapa mencari yang di balik itu Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.
Maksudnya:
budak-budak
belian
yang
didapat
dalam
peperangan dengan orang kafir, bukan budak belian yang didapat di luar peperangan. Dalam peperangan dengan orang-orang kafir itu, wanita-wanita yang ditawan biasanya dibagi-bagikan kepada kaum muslimin yang ikut dalam peperangan itu, dan kebiasan ini bukanlah suatu yang diwajibkan. Imam boleh melarang kebiasaan ini. Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa tidak ada dosa bagi seorang mukmin yang mendatangi (menyetubuhi) isterinya atau amatnya yang ia miliki secara sah. Adapun dosa hanya diperuntukkan bagi mereka yang menolak kehalalan suatu ikatan perkawinan yang Allah sebenarnya ridho terhadap mereka. Mereka inilah orang-orang yang melanggar batas-batas ketentuan dari Allah SWT.
21
b. Dukhul yang haram Sedangkan yang dikategorikan haram adalah, yaitu bagi mereka yang melakukannya dengan cara zina. Zina termasuk kategori dosa besar. Allah SWT sangat membenci orang yang melakukan perbuatan zina. Banyak sekali keterangan dalam Al-Qur‟an dan Hadis yang menjelaskan tentang hukuman yang keras bagi orang yang melakukan perbuatan ini. Di mana mereka dicambuk seratus kali, dan ada yang dihukum rajam (dilempari) dengan batu, yakni bagi muhshan (Pezina yang sudah mempunyai isteri atau suami) hinga mereka mati. Hal tersebut dijelaskan dalam firman Allah QS.an-Nur: 2
“perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.
22
B. Tata Cara Dukhul Persetubuhan yang baik dan sehat adalah yang tidak mengganggu masing-masing pasangan, juga sehat secara mental maupun medis (Al Qasam, t.t :155). Para ulama‟ salaf sudah memperhatikan dan memikirkan bagaimana pentingnya tatakrama atau adab dalam jima‟ (persetubuhan). Mereka berpedoman terhadap apa yang ada dalam Hadis Nabi SAW. dan pendapat-pendapat yang disampaikan para salafus shaleh. Di antara kitab terpenting yang membahas tema ini adalah kitab Isyaratu al-Nisa‟ (menggauli wanita) karangan Imam Nasa‟I dalam kitab sunan-nya, juga apa yang disebutkan oleh Imam Ghazali dalam kitab al-Ihya‟ (Kan‟an, 2007: 111). Adapun adab atau tata cara dukhul yang baik dan sesuai dengan syari‟at Islam adalah: a. Membaca basmallah dan do‟a Hal ini berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari, Muslim, Ahmad dan para pemilik kitab sunan lainnya, dari Abdullah bin Abbas ra., sesungguhnya Rasullullah telah bersabda: “Sesungguhnya jika salah seorang diantara kalian mau mendatangi (menggauli) istrinya, maka bacalah do‟a: “Bissmillah (dengan menyebut nama Allah). Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkan setan itu dari apa yang telah engkau anugrahkan kepada kami.” Jika dari hubungan keduanya itu ditakdirkan memperoleh
23
keturunan maka setan tidak pernah akan dapat memberi madharat (bahaya) pada anak tersebut.” (Kan‟an, 2007:112) b. Melakukan perangsangan (feroplay) Rasullullah bersabda, “Jika
salah soerang dari
kalian
menyetubuhi istrinya janganlah tergesa-gesa” (Hathout, 2004:63). Persetubuhan (dukhul) tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa. Kepekaan seksual perempuan dan laki-laki tentu saja berbeda. Lakilaki lebih mudah bergairah dari pada wanita. Disinilah pentingnya perangsangan (feroplay). Hal yang sebaiknya dilakukan adalah dengan memanjakan isteri yaitu seperti mengelus-elus pipi, buah dada, sampil bercakap-cakap, sebentar-bentar mencium dan menetek
payudara,
sedangkan tangan merayap pada tubuh bagian lain, dan sebagainya. Begitupula ciuman dan kecupan jangan sampai dilupakan (At-tihami, 2004: 103). Hal ini perlu dilakukan karena sesungguhnya wanita cinta kepada pria, sebagaimana pria cinta kepada wanita. Maka jangan sampai ia bersenggama dengan isterinya dengan melupakan semua perantara itu. Rasullullah bersabda:
.ًٌ ع ُ َّب َسُٙ َْٕ١ََ ُى ْٓ ث١ٌ ُ َّخََٙمَ ُع ْاٌج٠ إ ِْ َشأَرٗ َو َّبٍَٝع َ ُْ أ َ َزذ ُ ُوٝ َ ََمَع٠ ََل إرَ َخب َِ َع:َخ٠اٚس ُ ٌش َ َ َِب اَٚ ًَ ١ْ ل َ ٟفَٚ :َُ اٌْ َىآلَٚ ُا َ ٌْمُجٍَْخَٚ يُ؟ لبيْٛ ع .َز َ َد َشدَ ر َ َد ُشدَ ْاٌفَ َش ِط٠ أ َ َزذ ُ ُو ُْ فَ َال “Janganlah sekali-kali ada seseorang di antara kalian yang bersenggama bersama isterinya, sebagaimana yang dilakukan
24
oleh hewan. Sebaiknya di antara keduannya menggunakan perantara. Ditanyakan kepada Nabi.`Apa yang dimaksud dengan perantara itu?. Nabi menjawab, Yaitu mencium dan bercakap-cakap dengan bahasa yang indah-indah” (AtTihami, 2004:103).
Dalam Hadis ini dapat difahami bahwa di dalam persetubuhan itu terdapat ikatan yang kuat antara suami dan isteri. Jika mereka melakukannya sesuai dengan ketentuan sunnah yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW maka akan tidak mungkin terjadi percekcokan atau permasalahan yang terjadi diantara keduanya. Karena suami telah memberikan nafkah batin yang secara tidak langsung akan mempengaruhi fikiran naluriahnya seorang isteri. Sehingga setiap terjadi pertengkaran maka si isteri akan lebih mengedepankan cinta kasihnya kepada suami. c. Dengan cara yang lembut dan suami tidak tergesa-gesa Tujuan dari berhubungan badan (bersetubuh) adalah menjaga kehormatan bagi setiap suami isteri agar menunaikan keinginan dan syahwat
terhadap
pasangannya.
Hal
tersebut
memerlukan
keharmonisan antara pihak suami dan isteri supaya perasaan rileks ketika bersenggama. Tentu saja keinginan tersebut akan terwujud jika suami melakukan atas dasar kelembutan dan tanpa adanya paksaan. Jika suami meminta hubungan suami isteri dengan menggunakan cara kekerasan dan memaksa, tentu saja isteri akan menjauh darinya dan mempunyai perasaan benci kepadanya karena perilaku tersebut telah menyakiti perasaanya. Sehingga penting bagi suami untuk memahami
25
perasaan isteri sebelum melakukan hubungan suami isteri (dukhul) agar suami mendapatkan kenikmatannya (Kan‟an, 2007:113). Laki-laki biasanya lebih cepat mencapai klimaks (ejakulasi) dibanding wanita. Maka jika suami telah menunaikan hajatnya (orgasme), hendaknya suami jangan tergesa-gesa berhenti menyetebuhi isteri (mencabut penis dari vagina) sampai sang isteri juga mencapai puncak kenikmatan (orgasme). Sebab jika suami menghentikan persetubuhan maka hal tersebut akan menyakiti hati isteri. Jika ia sudah mencapai orgasme sebelum isterinya sebaiknya ditahan dulu, sampai si isteri mencapai orgasme. Karena yang demikian itu adalah disunnahkan. d. Hanya berduan saja Bila suami ingin mengumpuli isterinya, maka hendaknya berduaan saja di dalam kamar. Tanpa ada orang lain bersama keduanya walaupun itu anak kecil. Seorang ulama‟ bernama Muhammad alAbdari yang terkenal dengan sebutan al-Haj menceritakan dalam kitabnya al-Makdhal: “Sesungguhnya Abdullah bin Umar ketika hendak menunaikan hajat atas isterinya, ia akan mengeluarkan bayi (anak kecil) dari dalam kamar terlebih dahulu”. Dan sebagian sahabat berkata, “Tidak sepantasnya laki-laki melakukan hal tersebut (senggama) sementara di dalam kamar (rumah) ada seekor kucing.
26
Maksud dari keterangan sahabat yaitu, bahwa dalam melakukan hubungan suami isteri hendaknya memperhatikan keadaan lingkungan rumah, yang bebas dari pandangan mata orang (makhluk) lain. Sebab persenggamaan itu adalah (perbuatan memebuka) aurat, dan aurat harus ditutupi. Abu Abdullah bin Al-Fakhar dalam persoalan ini mengatakan, bahwa larangan seorang di dalam rumah ketika ia sedang melakukan hubungan adalah menunjukkan karahah (makruh). Karena hukum asal dari hubungan seksual adalah mubah. Adapun dimakruhkannya hubungan seksual ketika ada seseorang adalah disebabkan oleh Alhaya minaddin (malu adalah sebagian dari agama) (Asyumuni, 2005:121) e. Lepaskan semua pakaian yang menutupi
#ة ِ َب١ِ اٌثٟ ْ ِاِزْ زَ ْس َِِٓ ْاٌ ِد َّبع ف ة ْ َ ًِ ِثألْٙ َِِٓ اٌ َدَٛ ُٙ َفَٚ ِ َب١اسر #ُ ُ ْٕضَ ع٠ بذ َ ثَ ًْ وُ ًُ َِب َ بَٙ ١ْ ٍَع ِ ص ُب َلَ ر َ ْفضَ عَٙ ٌَ ُو ْٓ ُِأل َ ِعجًبَٚ “Hindarilah bersenggama dengan menggunakan pakaian, Itu adalah pekerjaan tolol, hai kawan. Lepaskanlah semua pakaian isteri, Telanjanglah kawan, dan bermain-main sesuka hati,” Dalam nazham di atas Ibnu Yamun menjelaskan, bahwa sebagian dari tata krama senggama adalah suami tidak menyetubuhi isterinya dalam keadaan isteri menggunakan pakaian. Suami sebaiknya
27
melepas semua pakaian isteri, kemudian dia dan isterinya bersenggama dalam satu selimut. Karena ada Hadis yang menerangkan begitu, yaitu menanggalkan pakaian dan menggunakan tikar. Akan tetapi, bukan berarti bahwa bersenggama dilakukan dalam keadaan terbuka tanpa tutup sama sekali. Hal itu berdasarkan Hadis:
.ِْٓ ٠بس ِ َاْ ر َ َد ُشد َ َّ اٌس ِ ََز َ َد َشد٠ ِإرَ َخب َِ َع أ َ َزذ ُ َو ُْ فَآل “Apabila salah seorang diantara kalian melakukan senggama dengan isterinya, maka janganlah telanjang seperti telanjangnya keledai.” Nabi SAW. sendiri ketika bersenggama beliau menggunakan tutup kepala dan melirihkan suara serta berkata kepada isteri: “hendaklah engkau tenang” (At-tihami, 2004:101). C. Posisi Dalam Bersenggama (Dukhul) Posisi dalam persetubuhan sungguhnya sangat banyak sekali. Karena senggama dapat dilakukan disetiap keadaan dan dengan cara yang mungkin dapat dilakukan, maksudnya diperbolehkan menggunakan berbagai posisi dalam bersenggama sesuai dengan kesenangan masingmasing. Sahabat Ali bin Abi Thalib berkata: “Wanita laksana kendaraan bagi pria, maka ia boleh menggendarainya kapan saja waktu dibutuhkan” (At-tihami, 2004:153). Akan tetapi cara-cara yang disunnahkan yaitu, sesuai dengan keterangan kitab Al-Idlah. Dikatakan: posis persetubuhan yang sangat memberikan kenikmatan pada isteri adalah isteri tidur terlentang kemudian suami naik di atas tubuhnya dengan pelan-pelan, dimana sebelumnya
28
pantat sang isteri diganjal dengan bantal terlebih dahulu, sehingga posisi kepalanya lebih rendah dari pada pantatnya. Kemudian suami memegang penisnya lalu kepala penis tersebut digosok-gosokkan pada bibir farji isterinya sampai sang isteri menggeliat, karena rangsangan nafsu birahinya. Setelah itu baru masukkan penis ke vagina. Jika saat itu suami terasa akan keluar mani, maka peganglah pantat si isteri dengan mengangkat ke atas. Pada saat itu juga dzakarnya harus ditekan masuk lebih dalam lagi. Sedangkan sang isteri memeluk kuat-kuat tubuh suaminya, maka keduanya kan merasakan kelezatan yang luar biasa dalam persetubuhan, yang tidak bisa dibayangkan besarnya kenikmatan itu (AlQasam, t.t :154). Yang demikian ini merupakan juga termasuk sunnah dalam persetubuhan. Yakni berusaha untuk saling memberi kepuasan lahir dan batin antara suami isteri. Ibnu Qayyim menjelaskan, gaya yang paling baik dalam hubungan seksual ini adalah gaya iftirasy, sang isteri berlaku sebagai alas (di bawah), tentunya dilakukan setelah mengadakan main-mainan dan cium-ciuman. Dengan demikian seorang isteri disebut iftirasy (alas) (Asymuni, 2005:118), sebagaimana sabda Rasullullah:
.ٌَذ ُ ٌِ ٍْفَ َش ِطَٛ ٌْ َ ا “Anak itu adalah milik alas”
29
Posisi demikian ini merupakan salah satu dari sifat kesempurnaan kepemimpinan seorang laki-laki pada isterinya, sebagaimana firman Allah dalam Surat An-Nisa‟ ayat 34: Kaum laki-laki itu pemimpin bagi kaum wanita (QS.an-Nisa‟ : 34) Adapun posisi yang dilakukan dari arah belakang (yang disetubuhi tetap
vagina,
bukan
anus),
dianggap
sebagian
orang
dapat
menyempurnakan kadar kenikmatan, tapi bagi sebagian lain hal itu dianggap sungguh menyiksa dan menyakitkan. Sebab menurut sebagian manusia yang kalau mereka bisa mempermainkan sebagian pantat akan menambah kenikmatan dan ada sebaliknya sebagian justru tersiksa. Maka setiap pasangan perlu saling pengertian sesuai dengan kesepakatan dan kerelaan masing-masing dalam melakukan sentuhan-sentuhan ketika bersenggama. Allah SWT. Mengisyaratkan dalam firman-Nya mengenai hal ini: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”(QS. al-Baqarah : 223) Dari keterangan ayat tersebut bisa kita fahami bolehnya menggunakan cara apa pun dalam menggauli isterinya tanpa ada ketentuan dan batasan dengan satu syarat yaitu menjauhi dubur isterinya, karena memasukkan penis pada dubur itu jelas dilarang dalam hukum Islam (Kan‟an, 2007:120). Ada beberapa posisi yang telah diakui secara international, yakni:
30
a. Berhadapan dengan pria di atas b. Berhadapan dengan pria di bawah c. Miring saling berhadapan d. Pria menghadap punggung wanita e. Duduk sepihak f. Coitus melalui belakang g. Duduk h. Berdiri Adapun tentang posisi duduk adalah sangat bervariasi. Ada yang duduk saling berhadapan, duduk sefihak, di mana salah satu pasangan duduk di kursi atau dalam ranjang. Sedangkan posisi-posisi lain kirannya tidak perlu dijelaskan panjang dan lebar. Sebab setiap individu, baik lakilaki maupun perempuan mempunyai insting sex yang tajam, sehingga mereka dengan cepat bisa menangkap isyarat-isyarat sex dari masingmasing pasangannya (Al-Qasam, t.t :158). D. Waktu Yang Tepat Untuk Dukhul Adapun mengenai waktu untuk bersetubuh, Syari‟ah memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pasangan suami isteri, baik diwaktu siang ataupun malam. Meskipun demikian ada waktu-waktu tertentu yang disunnahkan untuk melakukan persetubuhan, karena ada hikmah yang terkandung di dalamnya. Di perbolehkan bagi pasangan suami isteri bersetubuh setiap hari, dan kapan saja tanpa ada batasan waktu. Bahkan diperbolehkan juga 31
melakukan persetubuhan setiap saat, baik diwaktu malam ataupun siang (Al-Qasam, t.t :189). Seperti firman Allah SWT:
“isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orangorang yang beriman”
Maksudnya, kapan saja suami boleh melakukan persetubuhan dengan isteri, baik di waktu malam ataupun di waktu siang, dengan berbagai posisi yang di inginkan. Sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-Baqarah di atas. Al-Imam Abu Abdullah bin AL-Hajji di dalam kitab Al-Madkhal mengatakan, bahwa terserah diri sendiri menginginkan waktu yang pas dalam senggama, baik di awal maupun akhir malam. Akan tetapi, di awal malam lebih utama. Sebab, waktu untuk mandi jinabat masih panjang dan cukup. Lain halnya kalau senggama dilakukan di akhir malam, terkadang waktu untuk mandi sangat sempit dan berjamaah shalat subuh terpaksa harus tertinggal, atau bahkan mengerjakan shalat subuh sudah keluar dari waktu yang utama, yaitu shalat di awal waktu (At-tihami, 2004:134). Imam Ghazali berpendapat bahwa senggama yang dilakukan pada awal
32
malam adalah makhruh, karena orang (sesudah bersenggama) akan tidur dalam keadaan tidak suci. Yang paling baik untuk berhubungan badan terkait kondisi dan situasi adalah setelah makanan di perut melumat dan ketika kondisi badan stabil, baik mengenai temperatur suhu badan dan kelembapannya maupun kondisi perutnya. Tingkatan sebawahnya ketika perut kosong, yang paling jelek/bahaya ketika perut sangat kenyang, karena dapat menimbulkan penyakit. Sebaiknya melakukan hubungan seksual pada saat-saat gairah seks memuncak, ketegangannya sangat tinggi, tidak terpaksa dan bangkitnya gairah bukan karena melihat gambar-gambar dan mengkhayal terus menerus. Tidaklah baik melakukan sesuatu (seperti mengkhayal dan melihat gambar) untuk membangkitkan gairah seks dan memaksakannya, atau terburu-buru melakukannya (Asymuni, 2005:124). Adapun waktu-waktu yang di sunnahkan untuk dukhul (Hathout, 2004:67) yaitu: a. Malam pertama bulan Ramadhan. Imam Ali bin Abi Thalib berkata: disunnahkan bagi seorang suami untuk menggauli isterinya pada malam pertama bulan ramadhan. b. Pada akhir malam. Karena dapat menyehatkan badan. c. Malam senin. Karena sesuai dengan sabda Rasullullah, karena jika Allah menakdirkan seoarang anak, maka ia akan menjadi penghafal alQu‟an dan ridho terhadap karunia Allah.
33
d. Malam selasa, Rasullullah bersabda,”jika engkau menggauli isterimu pada malam selasa, dan dari persetubuhan itu lahir seorang anak, maka ia akan menjadi syahadah (kesaksian) setelah kesaksiannya. Allah tidak akan menyiksanya bersama orang kafir, mulutnya senantiasa mengeluarkan bau harum, dan mempunyai sifat-sifat yang terpuji. e. Malam kamis, Rasullullah bersabda: bahwa jika dari persetubuhan tersebut Allah mentakdirkan seorang anak, maka ia akan menjadi seorang pemimpin dan berilmu. f. Hari kamis, waktu dzuhur setelah matahari tergelincir dari tengah langit. Rasullullah bersabda: bahwa jika dari persetubuhan tersebut Allah menjadikannya seorang anak, maka setan tidak bisa mendekati anak tersebut sampai anak tersebut beruban, dan Allah akan menjadikannya sebagai orang yang faham ilmu agama. Dan Allah juga akan memberikannya keselamatan dunia akhirat. g. Malam jum‟at. Rasullullah bersabda: bahwa jika sorang laki-laki menggauli isterinya pada malam jum‟at, dan dari persetubuhan itu Allah menghendaki seorang anak, maka ia akan menjadi orang yang fasih (pandai) bicaranya. h. Malam jum‟at pada waktu akhir Isya‟ (sekitar tenga malam). Rasullullah bersabda jika seorang laki-laki menggauli isterinya pada waktu tersebt. Jika Allah menghendaki seorang anak, maka ia dapat diharapkan menjadi wali Allah insyallah.
34
i.
Hari Jum‟at setelah Ashar. Rasullullah bersabda: barang siapa yang menggauli isterinya pada waktu hari Jum‟at setelah Ashar. Jika Allah menghendaki seorang anak, maka ia akan menjadi orang terkenal, termasyhur, dan berilmu.
E. Larangan-larangan Dalam Dukhul Persetubuhan memang merupakan nafkah lahir batin yang wajib diberikan seorang suami kepada isterinya, namun persetubuhan bukanlah hal-hal yang bisa dibuat senang-senang tanpa aturan. Islam telah mensyari‟atkan agar persetubuhan itu sebagai pelepas lelah suami isteri dalam menikmati pahit manisnya hubungan sebuah keluarga itu. Namun Islam juga melarang beberapa peraturan atau hukum yang mengatur tentang larangan tertentu ketika sedang melakukan hubungan dukhul dengan suami isteri. Aturan tersebut tidak bersifat mendiskriminasi ataupun menyiksa perasaan masing-masing. Malah dari aturan tersebut terdapat tujuan dan hikmah-hikmah tertentu yang menunjukkan tentang keutamaanya manusia diciptakan di dunia ini. Sehingga tidak terfokus dengan hal-hal yang berbau negatif saja. Hal-hal yang dilarang dalam hubungan suami isteri (Dukhul) adalah: a. Persetubuhan lewat dubur Bahwasannya bersenggama dengan melalui dubur itu di hukumi haram sebagaimana sabda Rasullullah, beliau bersabda: “Terlaknat, barang siapa yang menyenggamai wanita dari lubang 35
duburnya, maka ia benar-benar kafir atas apa yang diturunkan Allah kepada Muhammad SAW”. Orang yang membolehkan bersenggama melalui dubur ini menisbat-kan pendapatnya kepada Imam Malik. Tetapi kemudian Imam Malik sendiri cuci tangan dengan nisbat itu. Beliau membaca firman Allah yang artinya: “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki”(QS. al-Baqarah : 223). Imam Malik juga berkata, “Tidak ada orang yang menanam kecuali pada tempatnya. Hanya saja masalah dubur ini memang besar perkaranya, karena bersenggama melalui dubur itu bertentangan dengan himah dan melawan sifat ketuhanan, dengan menjadikan tempat untuk keluar sebagai tempat masuk (At-tahimi, 2004:157). Kemudian bersetubuh dengan dubur itu juga terdapat bahaya yang mengancam baik dari segi kesehatan maupun kebiasaan. b. Persetubuhan pada waktu haid Para ulama‟ telah sepakat, bahwasannya menyetubuhi wanita dalam kondisi Haid adalah dihukumi Haram. Karena apabila lahir seorang anak dari persetubuhan itu maka anak tersebut akan terkena penyakit kusta. Jika orang tua tersebut tidak memahami kondisi yang dialami anak tersebut adalah, maka yang pantas disalahkan adalah orang tua si anak itu sendiri. Karena Allah telah berfirman dalam QS.al-Baqarah ayat: 222 yang isinya, 36
“ mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diridari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci, apabila mereka telah Suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” Dalam Hadis juga diterangkan bahwa, akibat dari hubungan badan yang dilakukan ketika Haid dan Allah menghendaki atas mereka seorang anak. maka, anak yang lahir akan mempunyai penyakit penyakit kusta. c. Hukum melihat kemaluan Dalam nadzam kitab Qurratul „Uyun diterangkan, bahwa hukum melihat kemaluan isteri adalah makruh. Demikian pula hukum melihat vagina dan zakar, karena hal itu akan menyebabkan timbulnya sakit mata dan hilangnya rasa malu. Kadang-kadang melihat sesuatu yang dihukumi makruh itu dapat mendatangkan rasa saling benci (Attihami, 2004:165), sebagaimana keterangan dalam kitab An-Nasihah. Ada juga keterangan dari Hadis Nabi namun kedudukan Hadis ini dihukumi maudhu‟ Hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab al-Maudhu‟at dari riwayat Ibnu Adi dengan sanad dari Hi-syam 37
bin Khalif, dari Buqyah, dari Ibnu Juraij, dari Atha‟, dari Ibnu Abbas r.a. Begitu Syaikh Muhammad Nashirud-din Al-Albani menerangkan. “Apabila seorang dari kalian menjima‟ istri atau budak wanitanya, maka jangan melihat kemaluannya, karena yang demikian dapat menyebabkan kebutaan.” Dalam pendapat Hadis ini, Al-Albani menyatakan bahwa hadis ini maudhu‟/palsu. Artinya, Nabi tidak pernah mengatakan yang demikian ini, sehingga tidak bisa dipakai untuk istidlal (pengambilan dalil) hukum haram atau makruhnya memandang aurat istri. d. Sadisme seks Tujuan pernikahan adalah untuk mencapai kebahagian bersama dan sangat mulia. Namun alangkah tragisnya jika ada suami yang tega menyakiti dan melukai tubuh istrerinya dengan kenestapaan. Bentuk sadisme seks yang dilakukan oleh suami sebagai suatu penyimpangan adalah seperti halnya suami menelanjangi isteri dengan paksa, kemudian memukulinya dengan ikat pinggang, atau membentur benturkan kepala isteri ke ranjang tidur dan berbagai bentuk penyiksaan lainnya (Al-Qasam, t.t :181). Bahwasannya dalam suatu riwayatnya seorang sahabat pernah bertanya:
ْ ُٔ : ًَ َ ِٗ ؟ ل١ْ ٍَع ب اِرَاَٙ ُّ ط ِع ُ ب َ َس٠ َ ج ا َ َز ِذَٔب ِ ْٚ َ َي هللا َِب َز َّك صْٛ ع ََلَٚ َلَ رُمَ ِجّ ْرَٚ َٗ ْخَٛ ٌَْة ا ُ َلَ رَع ِْشَٚ ََذ١غ ُ َٔ ْىَٚ َا َ َو ٍْذ َ َ َ٘ب اِرَ ا ْوزْٛ غ ذ ِ ١ْ ِ ْاٌ َّجِٟ ُش اَِلَّ فَٙ ر َ َد Artinya: ya Rasullallah ! apa hak isteri dari kami sebagai suami ?”. jawab beliau : “memberinya makan tatkala kamu 38
makan, memberinya pakaian tatkala kamu berpakaian, janganlah kamu pukul wajahnya, janganlah kamu hinakan dia, dan janganlah kamu pisahkan dia, kecuali dari tempat tidur (tatkala dia nusyus) !. Jika menjunjung mereka adalah perintah, maka menyakiti hati seorang isteri tentunya suatu perbuatan yang dilarang, apalagi ketika berhubungan seksual. Maka bagi suami yang menjungjung budi pekerti yang tinggi haruslah faham dan mengetahui hak-hak isteri dan janganlah menyakiti hati ataua bahkan menghina mereka karena mereka adalah kekasih jiwamu dan isteri yang sanngat kamu cintai. e.
Membuka rahasia dukhul Diharamkan
bagi
pasangan
suami
isteri
menceritakan
bagaimana hubungan dukhul mereka kepada orang lain. Hal ini berdasarkan riwayat Hadis dari Abu Hurairah ra. bahwa ketika Rasullullah selesai mengucapkan salam kepada penghujung shalatnya, lalu beliau menghadapkan wajahnya kepada para jama‟ah (makmum) seraya bertanya: “Majelis yang bahagia, apakah ada diantara kalian yang mencampuri isteri dengan menutup pintu dan merapatkan tabir, akan tetapi, kemudian membicarakan hal itu kepada orang lain dengan mengucapkan, bahwa ku telah begini dan begitu terhadap isteriku?. Para jama‟ah laki-laki berdiam diri. Lalu beliau menghadap jama‟ah wanita seraya menanyakan, apakah ada dari kalian yang menceritakan? Kemudian ada seorang wanita muda yang duduk di atas lututnya sembari mengangkat kepalanya agar terlihat dan terdengar suaranya oleh Rasullullah berkata: Demi Allah mereka semua (jama‟ah laki-laki
39
dan juga perempuan) membicarakannya. Kemudian belia bertanya, apakah kalian mengetahui perempumaan orang yang melakukan hal itu?. Sesungguhnya perumpamaan orang semacam itu seperti setan laki-laki dan perempuan, dimana salah satu dari mereka bertemu dengan pasangannya di tengah jalan, lalu buang besar di sana, sedang orang-orang tengah melihat kepadanya ( „Uwaidah, 2008:445) Dari keterangan tersebut dapat difahami bahwa melakukan hubungan suami isteri adalah bentuk prifasi diantara keduanya. Jadi orang yang melakukan perbuatan tersebut yaitu membicarakan hubungan seksualnya dengan orang lain maka diumpamakan oleh Rasullullah seperti setan wanita atau setan laki-laki yang buang air besar di tengah jalan. Sungguh kelakuan tersebut harus dihindari karena merendahkan martabat manusia. Akan tetapi jika ini menyangkut kesehatan maka diperbolehan untuk membicarakannya dengan dokter, jika hal ini menyangkut tentang penyakit yang diderita oleh suami atau isteri. f. Menyetubuhi isteri yang tersumpah Kebijaksanan hukum Islam dalam menerapkan posisi suami dalam peranan rumah tangga adalah karena suami di pandang sebgai orang arif dan bijaksana. Namun masih ada sebagian suami yang sifatnya sembrono yaitu, ketika ia marah-marah kepada isterinya yang berakibat jatuhnya sumpah dari mulutnya, sumpah tersebut menjadikan haram baginya untuk melakukan hubungan suami isteri dalam kurun
40
waktu tertentu. Jika seumpama sumpah tersebut menyatakan bahwa si suami tidak akan berhubungan dengan isterinya selama kurun waktu empat bulan, maka suami dilarang bahkan dihukumi haram melakukan hubungan seksual. Meskipun talaknya sendiri belum jatuh, ia tetap tidak boleh berhubungan dengan isterinya dalam kurun waktu empat bulan. Dia boleh bersetubuh dengan isterinya setelah empat bulan, jika ia mampu membayar kafarat/denda (AL-Qasam, t.t :185). Berkaitan dengan sumpah tersebut, terdapat firman Allah yang menjelaskan dalam QS. Al-Baqarah, 226-227.
“kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. 227. dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui” Hal ini sangat penting untuk difahami, mengingat bahwa watak seksualitas suami adalah bersifat sepontan. Hal ini tentu saja sangat merugikan suami karena dalam kurun waktu empat bulan suami belum tentu sanggup menahan hasrat seksualnya. Apalagi dengan panasnya birahi dibarengi dengan masih bersandingnya isteri yang tersumpah di
41
sisinya. Bila birahi sudah memuncak tentu saja tidak mustakhil terjadi hubungan yang dilarang ini. F. Manfaat Dukhul Dalam kitab Fatkhul Izzar karangan Yasin Asyumuni menjelaskan tentang beberapa manfaat dan hikmah bersetubuh, diantaranya adalah Pertama, untuk menjaga keturunan, menjaga makhluk spesies manusia, sampai waktu yang telah dijanjikan oleh Allah, yaitu sampai datangnya hari kiamat. Bahwasnya tujuan pernikahan itu sendiri adalah menghalalkan hubungan seksulal antara laki-laki dan perempuan. Dan tujuan utamanya dari itu semua adalah mempunyai keturunan. Karena Beliau Nabi Muhammad SAW. akan merasa sangat bangga sekali jika kelak umatnya itu lebih banyak keturunannya. Kedua, untuk mengeluarkan air yang bisa menimbulkan bahaya, manakala selalu tersimpan dalam tubuh dan tidak bisa dikeluarkan. Air mani yang tersimpan lama dalam tubuh seorang laki-laki akan mengakibatkan bahaya yang sangat besar, tidak hanya bahaya secara jasmani namun juga bahaya secara rohani. Dalam kitab Qurrotul „Uyun dijelaskan tentang bahaya yang mengancam jiwa laki-laki jika ia tidak melakukan senggama dengan isterinya maka ia bisa terkena beberapa penyakit yang sangat membahayakan bagi tubuhnya bahkan bisa juga mengakibatkan kegilaan. Itu merupakan balasan bagi mereka yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang suami yang harus memeberikan nafkah batin kepada isterinya.
42
Ketiga, untuk memenuhi kebutuhan biologis dan memperoleh kenikmatan. Yang ketiga inilah yang disbut sebagai kenikmatan syurga. Karena disyurga tidak ada akan ada keturunan dan keletihan dalam melakukan hubungan seksual. Pernikahan adalah sarana bagi pasangan laki-laki dan perempuan untuk memenuhi kebutuhan seks mereka, memenuhi kebutuhan tersebut di luar ikatan perkawinan adalah dosa besar. Allah menggambarkan keadaan pasangan suami isteri dengan gamabaran yang mendalam dan mengumpulkannya dalam makna yang sempurna akan maksud sebuah rahahsia perkawinan. Allah berfirman dalam QS.al-Baqarah, 187:
“Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka “
43
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG TALAK DALAM KITAB FATKHUL MU’IN
A. Pengertian Talak Talak adalah berasal dari kata “Ithlaq” artinya melepaskan atau meninggalkan. Dalam istilah agama “Talak artinya melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan perkawinan” (Sabiq, 1980:9). Al Jarizi dalam kitabnya Al Fiqh alal madzahibil arba‟ah memberikan devinisi talak sebagai berikut:
َ ٌَا صْٛ ص ُ ْصب ُْ َزٍٗ ثٍَفٌع َِس َ ُٔ ْمَٚط َال ُق إصَ اٌَخُ إًٌ َىبذ أ Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu” Sedangkan menurut kitab Fatkhul mu‟in pengertian Talak adalah
ْ ِٝر ِثبٌَّفْ ِع َاَلر ً ش َْشٚ؛ َ ِذ١ْ َ َز ًُّ ْاٌم،ً؛ٌُغَخَٛ َُ٘ٚ ِ َز ًُّ اٌعَ ْم ِذ اٌ ِّٕ َى، عب Yang artinya: “melepaskan tali” (secara bahasa), sedangkan menurut syara‟ adalah melepaskan ikatan akad Nikah dengan lafadz seperti yang akan dikemukakan (As‟ad, t.t:135). Jadi talak adalah suatu ucapan yang dapat menjadikan batalnya ikatan suami istri yang pada awalnya bersatu menjadi terlepas karena terdapat ketidak cocokan dalam visi dan misi untuk mewujudkan keluarga yang sakinah, ma waddah dan rahmah. Dalam suatu hadis diriwatkan dari Urwah bin Zubair berkata, “dulunya manusia menalak istrinya tanpa batas dan
44
bilangan”. Seseorang yang menalak istri, ketika mendekati habis masa menunggu, ia kembali kemudian mentalak lagi begitu seterusnya, kemudian kembali lagi dengan maksud menyakiti wanita tersebut (Azzam, Abdul Hawwas, 2009: 225). Maka dari itu Allah SWT berfirman dalam QS. AlBaqarah ayat: 229
Artinya : talak (yang dapat dirujuk) dua kali. (QS. Al-Baqarah (2): 229 )
Dari penjelasan surat tersebut, maka dapat diketahui bahwa makna talak sebenarnya ialah tidak dijadikan permainan, karena dibatasi waktun kapan bolehnya seorang suami merujuk kembali kepada isterinya. Karena itu janganlah kaum lelaki suka semena-mena dalam melafadzkan ikrar talak. Jika menginginkan suatu perceraian haruslah didasari pada alasan yang tepat. B. Hukum Talak Dalam kitab Fatkhul Mu‟in hukum talak di bagi menjadi beberapa kategori, yaitu: wajib, sunnah/mandub, haram, dan makruh.
Berikut
penjelasannya:
ْ ٌٛا َ َو، ت .غ َء ٌ ا ِخَٚ اِ َِّبَٛ َُ٘ٚ َ ُ ِش ِد٠ ُْ ٌَ ٍيْٛ ُِ ق ِ طآل Hukum talak adakalanya wajib, sebagaimana suami bersumpah ila‟ yang tidak ada maksud untuk menggauli lagi (Zainuddin bin Abdul Aziz AlMulyabari, t.t: 112).
َْ ْٛ ر َ ُىْٚ َ ا،بَٙ ١ْ ٌَِ ًِ ا١ْ َّ ٌ ٌِعَذَ َِ ْاْٛ ٌََٚ بَٙ ِلْٛ َُ ِبَ ِث ُسم١ع ِٓ ْاٌ ِم ٌ ُْٚ َِ ْٕذْٚ َ ا َ ََ ْع ِدض٠ ْْ َ َوؤ، ة َ .ك َ َْش١غ َ ْٚ َ ا،بَٙ ِش ْاٌفُ ُد َش ث َ َ ْخ٠ ُْ ٌَفَ ٍخ َِب١ْ ع ِف ِ ٍُّئَخَ ْاٌ ُخ١ِ ع
45
Atau sunnah/mandhub, sebagaimana bagi suami yang tidak memenuhi hak-hak isterinya walaupun tidak ada kecenderungan hati kepadanya; atau keadaan isteri itu tidak menjaga harga diri, selama suami tidak khawatir dengan di talaknya itu maka isteri berbuat keji, atau keadaan isteri itu buruk perangainya. Maksud buruk perangai di sini, sekira suami menurut kebiasaan tidak sabar lagi hidup bersamanya, hal ini adalah menurut apa yang dianggap dhohir menurut mushonnef (pengarang kitab). Lalu sunnah talak di sini juga termasuk talak yang di perintahkan oleh salah seorang ayah atau ibu dari sang suami yaitu yang bukan mengakibatkan adanya kesusahan.
َ َٛ َُ٘ٚ -ِٝ ع ْط ّ ِ ْ َو ْبٌجِذ، ٌَ َز َشْٚ َ ا ٍ ١ َزِٛ َٔ ْسِٝب فَٙ ِغالَ ُق َِذْ ُخ ًٍ ث ُ ِٝفْٚ َ ب اَٙ ْٕ ع َ َوَٚ ،-ِٗ ١ْ ِب فَٙ َ ٍش َخب َِعْٙ غ ف ِ ْٛ َ َ ْغز٠ ُْ ٌَ ْٓ َِ ق ٍ َٛ ِث َال ِع َ ض ِ ط َال َ َوَٚ ،ُِْ َسَ٘ب َِِٓ ْاٌمَغْٚ َد .ِاَل ْسس ْ َْط ثِم ِ ْ َِِٓ ْب ِ ٠ق ْاٌ َّ ِش ِ َِ ص ِذ ْاٌ ِس ْش ِ َطال Atau haram, sebagaimana talak bid‟iy, yaitu talak isteri yang pernah disetubuhi yang di jatuhkan pada waktu semacam haid dengan tanpa ada tebusan dari isteri tersebut, atau pada waktu suci yang disetubuhi dalam keadaan suci, hal ini sebagaimana mentalak isteri yang belum pernah menikmati gilirannya, dan sebagaimana talak yang dijatuhkan oleh suami dalam keadaan sakit dengan maksud mengahalangi pewarisan.
َط ْاٌ َس َال ِي َّ ٌ ٌٍِْ َخجَ ِشا،ِٗ ٍِّ عٍَ ُِ ْاٌ َسب ُي ِِ ْٓ رَ ٌِهَ ُو ُ ا َ ْثغ: ْر َ ْْ َ ِثب،ٌْٖٚ َِ ْى ُشْٚ َ ا ِ ١ص ِس َّ اَّلل ،ُْٕٗ ع ُ ٌَُٗ اٌْ َّ ْمٌَٝع ِٗ رَعَب َ َبدَح ُ اٌز َّ ْٕ ِف ِش٠د ُ ِِ ُْٕٗ ِصْٛ ص ِ َّ ٌَِٝا ِ اِثْجَبدُ ث ُ ْغٚ؛ ّ اٌط َال ُق .ِٗ ٍِ ٍّب ٌِ ِسَٙ ِمَزُُٗ ٌ ُ َِّٕب فَبر١ْ َلَ َز ِم Atau bisa juga makruh, yaitu dalam keadaan selain semua yang tersebut di atas, sebagaimana dalam sebuah hadist shahih yang menyebutkan “perbuatan halal yang paling tidak di senangi Allah adalah talak” ; di sini
46
terdapat penekanan bahwa Allah sangat membenci perbuatan talak, yang di maksud adalah perintah untuk menyingkirinya, bukan dimaksudkan dengan hakekat kebencian yang sesungguhnya sebab berarti menunjuk ketidak halalan dilakukannya. C. Macam-Macam Talak Dilihat dari macamnya, talak mempunyai beberapa macam dan akibat hukum yang berbeda sesuai dengan sighat talak yang pernah diucapkan. Namun dilihat dari keadaan isteri sewaktu di talak, maka talak dibagi menjadi dua yaitu : 1. Talak sunni/sunnah Talak yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, yaitu seseorang mentalak perempuan yang telah dicampurinya dengan sekali talak di masa bersih dan belum ia sentuh kembali di masa bersih itu, sesuai dengan firman Allah: “Talak itu dua kali”. Karena itu peganglah ia dengan baik atau lepaskanlah ia dengan baik. Maksudnya bahwa talak yang dibenarkan oleh agama untuk dirujuk kembali ialah sekali cerai (talak) kemudian rujuk lalu cerai lagi kemudian rujuk lagi. Kemudian apabila suami yang telah mentalak isterinya dua kali maka suami boleh memilih antara mempertahankan isteri dengan baik atau melepaskan isteri dengan baik (Sabiq, 1980:42). Allah SWT berfirman:
َ َغب َء ف َ اِرَاٟ .َّٓ ِٙ ُ٘ َّٓ ٌِ ِعذ َّ ِرْٛ ُ ط ٍِّم َ ِّٕ ٌغٍَّ ْمز ُ ُُ ا ُّ بإٌَّ ِجَٙ ُّ٠َبَا٠ “Wahai Nabi, apabila kamu menceraikan isteri-isteri ceraikanlah dalam waktu iddahnya”. 47
maka
Kata “dalam waktu iddahnya”, mempunyai maksud bahwa perempuan yang tercerai dikatakan menyambut iddahnya yaitu apabila ia diceraikan sesudah bersih dari haid atau nifas atau sebelum disetubuhinya. Jadi dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa hukum talak yang dikategorikan sah adalah mentalak istri sewaktu isteri dalam keadaan suci atau telah bersih dari nifas maupun haid. Dalam QS. Al-Baqarah ayat 231 dijelaskan tentang perbuatan yang tidak dihalalkan oleh agama yaitu bagi seorang laki-laki yang merujuk isterinya sebelum habis masa iddah. Firman Allah:
Artinya: “Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu”.
48
Dengan melihat ayat tersebut tentunya kita dapat mengetahui khususnya bagi kaum Adam bahwa ikrar talak tidaklah dilakukan dengan maksud mempermainkan hukum Allah atau dengan maksud untuk mempermainkan hukum talak tersebut. Dari ayat tersebut di dalamnya terdapat tiga hal yang harus di ingat yaitu surat tersebut berisi tentang ultimatum, peringatan, dan ancaman. Kiranya cukup merupakan suatu peringatan bagi bagi orang yang berjiwa dan mau mendengarkan ( Qardhawi, t.t: 298). Bahwa hukum Allah tidak dijadikan suatu permainan, melainkan solusi untuk mencari kemaslahatan dalam menentukan sikap yang bijaksana untuk kemaslahatan bersama. 2. Talak bid‟iy Talak yang dijatuhkan oleh suami yang mana waktu itu si istri sedang dalam haid atau dalam masa suci namun dalam waktu itu telah dicampuri oleh suaminya. Talak bentuk ini disebut talak bid‟iy, artinya talak yang pelaksanaanya menyimpang dari sunnah Nabi SAW. Hukumnya haram (Rasjid, 2005:402). Alasannya adalah dengan cara ini perhitungan iddah istri memanjang, karena setelah terjatuh talak, talak belum langsung dihitung iddahnya. Umat Islam sepakat atas jatuhnya talak Bid‟ah. Sebagian golongan berpendapat seperti Syi‟ah, Khawary, Ahludh Dhahir mereka mereka berkata: “talak Bid‟ah tidak bisa jatuh”. Dari sebagian tabi‟ien diriwayatkan berpendapat seperti itu. Pendapat demikian dianggap sebagai syaadz (tidak lazim).
49
Namun jika suami berkata kepada isterinya yang sedang haid “kamu tertalak sunnah”. Maka talaknya tidak dapat jatuh seketika, tetapi bila telah suci, si isteri itu tertalak. Kalau si isteri dalam keadaan suci yang dalam waktu itu digauli suaminya, talak tadi tidak dapat jatuh sampai si isteri haid lalu suci. Bila telah suci dari haid yang kemudian, pada saat itulah ia tertalak. Bila seorang suami berkata kepada isterinya “kamu tertalak sunnah”. Dan ia menggaulinya diakhir waktu haid dan bersambung di permulaan waktu suci, atau menggaulinya di permulaan waktu suci, maka talaknya tidak dapat jatuh semua pendapat yang dikemukakan merupakan pendapat dari Madzhab Asy Syafi‟i dan Ahmad tanpa ada seorangpun yang diketahui menentangnya (Machmudz, Mustofa. 1987:715). Dengan melihat kepada kemungkinan bolehnya si suami kembali kepada mantan istrinya, talak itu ada dua macam: a.
Talak raj‟i, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya yang telah ia setubuhi. Yaitu talak yang terlepas dari segala yang berkaitan dengan pergantian uang serta belum didahului dengan adanya talak sama sekali atau telah didahului dengan adanya talak satu. Dalam hal ini si suami diberi hak untuk kembali kepada istrinya tanpa melalui nikah baru, selama istrinya itu masih dalam masa iddah. Meskipun tanpa adanya keridhaan dari pihak si isteri („Uwaidah, 2008:468). Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah :
50
“Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti, jika para suami tersebut menghendaki islah ” (QS. Al-Baqarah: 228). Isteri yang ditalak raj‟i mempunyai hukum yang sama seperti hukum yang berlaku pada seorang isteri dalam pemberian nafkah, tempat tinggal atau yang lainnya seperti ketika belum ditalak, sampai berakhir masa iddahnya. Jika masa iddahnya berakhir dan suami belum merujuknya, maka dengan demikian telah terjadi talak ba‟in terhadapnya. b. Talak ba‟in, yaitu talak yang putus secara penuh dalam arti tidak memungkinkan suami kembali kepada istrinya kecuali dengan nikah baru (akad baru). Talak Ba‟in ini di bagi menjadi dua macam: 1) Talak bain sughra, ialah talak satu atau dua dengan menggunakan tebusan dari pihak istri atau melalui putusan Pengadilan dalam bentuk fasakh. Dalam bentuk ini si suami yang akan kembali kepada istrinya dapat langsung melalui pernikahan baru (Syarifuddin, 2003:130). 2) Talak bai‟in kubra, adalah talak tiga. Hukumnya sama dengan talak Ba‟in sughra, yaitu memutuskan tali perkawinan. Tetapi talak ba‟in kubra tidak menghalalkan bekas suami untuk merujuk perempuannya lagi. Kecuali jika perempuannya itu menikah lagi dengan laki-laki lain dengan niat sebenar-benarnya dan pernah disetubuhi tanpa adanya niat kawin tahlil (Sabiq, 1980:68).
51
Talak dilihat dari segi pengucapan atau pelafalan ikrar talak dibagi menjadi dua macam, yaitu: 3. Talak munjizah dan mua‟allaq Talak munjizah adalah talak yang diberlakukan terhadap istri tanpa adanya penangguhan. Misalnya seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Kamu telah dicerai.” Maka istri telah ditalak dengan apa yang telah diucapkan oleh suaminya („Uwaidah, 2008:469). Sedangkan talak mua‟llaq adalah talak yang digantungkan oleh suami dengan suatu perbuatan yang akan dilakukan oleh istrinya pada masa mendatang. Seperti suami mengatakan kepada istrinya: “Jika kamu berangkat kerja, berati kamu telah ditalak.” Maka talak tersebut
berlaku sah dengan
keberangkatan istrinya berangkat kerja. Syarat sahnya talak ta‟liq (Muallaq) (Sabiq, 1980:38) ada tiga yaitu: a. Perkaranya belum ada tetapi mungkin terjadi kemudian. Jika perkaranya telah nyata ada sungguh-sungguh ketika diucapkan katakata talak, seperti “jika matahari terbit, engkau tertalak”. Sedangkan kenyataannya sudah nyata matahari terbit, maka ucapan tersebut sudah digolongkan menjadi tanjiz (seketika berlaku) sekalipun diucapkan dalam bentuk ta‟liq. Jika ta‟liqnya kepada perkara yang mustahil, maka ini dipandang main-main, umpamanya: jjika ada onta masuk dalam lubang jarum, maka engkau tertalak.
52
b. Hendaknya isteri ketika lahirnya akad (talak) dapat dijatuhi talak, maksudnya adalah keadaan isteri ketika ditalak itu menjadikan sah kedudukan talaknya. c. Ketika terjadi perkara yang dita‟liqkan isteri berada dalam pemeliharaan suami. Talak ditinjau dari penyerahan keputusan suami menjatuhkan ikrar talak di tangan isteri, dibagi menjadi dua macam yaitu: 4.
Talak takhyir dan tamlik Talak takhyir adalah dua pilihan yang diajukan oleh suami kepada istrimya, yaitu melanjutkan rumah tangga atau bercerai. Jika si istri memilih bercerai, maka berarti ia telah ditalak. Sedangkan talak tamlik adalah talak dimana seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Aku serahkan urusanmu kepadamu” atau “urusanmu berada di tanganmu sendiri.” Jika dengan ucapan itu si istri mengatakan: “Berarti aku telah ditalak”, maka berarti ia telah ditalak satu talak raj‟i. Imam Malik dan sebagian ulama lainnya berpendapat, bahwa apabila istri yang telah diserahi tersebut menjawab,”Aku memilih talak tiga”, maka ia telah ditalak ba‟in oleh suaminya. Dengan talak tiga ini, maka si suami tidak boleh ruju‟ kepadanya, kecuali setelah mantan istrinya itu dinikahi oleh orang lain (Uwaidah, 2008:470).
5. Talak dengan pengharaman Terjadi perbedaan pendapat yang cukup serius dikalangan para ulama‟ salaf mengenai masalah ini, hingga terdapat sekitar delapan belas pendapat. Yang demikian itu karena tidak adanya nash yang jelas, baik
53
dari Al;Qur‟an maupun sunnah. Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, berikut ini akan diuraikan secara sederhana beberapa pendapat dari kedelapan belas pendapat tersebut. Misalnya, seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Kamu haram bagiku.” Jika dengan ucapan tersebut ia berniat sebagai talak, maka berlakulah talak baginya. Sedang jika ucapan tersebut diniati sebagai zhihar, maka zhiharlah yang berlaku, yang karenanya mewajibkan adanya pembayaran kafarat zhihar. Demikian pula apabila dengan ucapan tersebut dimaksudkan sebagai sumpah, seperti suami mengatakan. “Kamu haram bagiku jika kamu melakukan ini (sesuatu yang telah ditetapkan oleh suami)”. Jika si istri melakukannya, maka diwajibkan membayar kafarat saja dan tidak ada kewajiban lainnya. Dari Ibnu Abbas, ia menceritakan:
ٌ َ٠ ٝٙ ٟلَب َي ٌَمَذْ وبََْ ٌَ ُى ُْ فَٚ فشَ٘ب ُ ُ َى٠ ٓ١ّ َ ًُ ٌش ُخ َ َ إرَا َز َش ََ ا َ َْٗ ا ِْ َشأَرُُٗ ف١ٍَع )ْٗ١ٍَع ُ َس َ غَٕخٌ ( ُِزَفَ ٌك َ ح ٌ َزَْٛ هلل ُأُعْٛ ع
“Jika seorang suami mengharamkan istrinya (untuknya), maka yang demikian itu sebagai sumpah yang mewajibkan pemembayaran kafarat karenanya. Selanjutnya ia mengatakan: Sesungguhnya : pada diri Rosulullah terdapat suri tauladan yang baik bagi kalian.” (uwaidah, 2008:470) Masih dari Ibnu Abbas, ia menceritakan, bahwa Rosulullah pernah didatangi oleh seorang laki-laki seraya mengatakan: “sesungguhnya aku telah mengharamkan istriku bagi diriku. Maka beliau berkata: “kamu telah berdusta, karena ia tidak diharamkan bagimu. Kemudian beliau membacakan surat pertama dari surat At-Tahrim. Lalu beliau berkata:
54
engkau berkewajiban membayar kafarat yang cukup berat, yaitu memerdekakan budak” (HR.An-Nasa‟i) . 6. Talak haram Yaitu apabila suami mentalak istrinya dalam satu kalimat: atau mentalak dalam tiga kalimat, akan tetapi dalam satu majelis. Seperti jika suami mengtakan kepada istrinya: “Kamu ditalak tiga.” Atau mengatakan kepadanya: “Kamu aku talak, talak dan talak”. Menurut ijma‟ ulama, talak semacam ini jelas diharamkan. Hal ini berdasarkan dari Hadis Rasullullah SAW.
ْ َ غٍَّكَ ا ِِْ َشأَرَُٗ ر َ ُ ََّٗٔا،ع َّ َش ،ط ُ ِْٓ ُاَّلل ث ٌ ِ َزبئٟ ِ َّ ع ْجذ َ َزذَّثََٕب:َغ ِٓ لَبي َ َ ع ِٓ ْاٌ َس َ ِ٘ َٚ ًمَخ١ْ ٍِ ط ْ ْ ْ َّ َّ ٍٟص ُاَّلل ُ ِْٓ فَجٍََ َغ رٌَِهَ َس٠ ِْٓ ِع ْٕذَاٌم ُ ْشأ١َ ِْٓ ا َ ِخ َشر١َمَز١ْ ٍِ ب ثِزَطَٙ ََزْ ِجع٠ ْْ َ ث ُ َُّ ا َ َسادَ ا ِ َّ ًُ ع َ َّلل َ اَّللُ! أَِّهَ لَذْ ا َ ْخ ّ َ َِبَ٘ َىزَا ا َ َِ َشن:ع َّ َش َٚ َغَّٕخ ُ ُْٓ َب اث٠ عٍَّ َُ فَمَب َي ُ ٌطؤ ْ دَ ا َ َ َٚ ِٗ ١ْ ٍَع ُّ ًَ ِغَّٕخُ ا َ ْْ ر َ ْغز َ ْمج َ ُ َش فَزْٙ اٌط .بَٙ ُ فَ َشا َخ ْعز،َّلل ُ َسِٟٔ لب َ َي فَب َِ َشَٚ . ٍطٍَّكَ ٌِ ُى ًِّ لُ ْشء ُ ٌا ِ َّ ًُ ع َ َد ف َ ٟ ْ أ َ ِْغْٚ َ ط ٍِّ ْك ِع ْٕذَا رٌَِهَ أ ْ َشُٙ غ َْذ٠َ أ َ َسأ: َّلل ُ َب َس٠ ُ فَمُ ٍْذ.ِه ِ َّ ًُ ع َ ِ٘ اِرَا:َث ُ َُّ لَبي َ ْٛ ٌَ ْ ٔ َوب....َب ؟ لَب َي َلَٙ َاخع َ ُٓ ِِ ْٕه١ْ َِذ رَج ِ أ َ ْْ أ ُ َسٌِٟ ًُّ َ ِس٠ َْ أ َ َوب،ب ثَالَثًبَٙ ُ غٍَّ ْمز ٕٝاٖ اٌذاسلطٚ س.}ًَخ١ص ِ ْ ُْ َِعْٛ ر َ ُىٚ{ َ Dari al-Hasan, berkata: “Abdullah bin Umar bercerita kepada kami, bahwa ia mentalak isterinya di waktu haid dengan sekali talak, kemudian ia ngin menyusulnya dengan dua kali talak lain ketika dua masa haid kemudiannya. Maka sampailah kejadian itu kepada Rasullullah, kemudian beliau bersabda: Wahai Ibnu Umar! Tidakkah begitu Allah memerintahkan. Engkau sesungguhnya telah menyalahi sunnah. Karena sunnah menetapkan di waktu sucitetapi engkau menjatuhkan talak setiap masa haid. Dan ia Ibnu Umar berkata: maka Rasullullah memerintahkan saya (untuk merujuk). Lalu sayapun merujuk. Kemudian ia berkata: Apabila ia dalam keadaan suci bolehlahkamu talak atau kamu pegang terus. Lalu saya (Ibnu Umar) berkata: Wahai Rasullullah! bagaimana pendapat tuan kalau ia saya talak tiga kali? Adakah halal bagiku merujuknnya lagi? Lalu Nabi bersabda: tidak. Karena kau telah mentalak ba‟in kepadanya (dan berarti berbuat terlarang). (Sabiq, 1980:52).
55
D. Syarat dan Rukun Talak Untuk terjadinya talak ada syarat dan rukun penting yang harus dipenuhi. Hal itu bertujuan supaya kedudukan talak yang di ucapkan itu sah. Syarat sahnya talak (Syarifuddin, 2003:128) yaitu: 1. Suami yang mentalak isterinya mestinya mestilah seseorang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta ucapan talak yang dikemukakannya itu atas dasar kesadaraan dan kesengajaannya. Dengan demikian talak yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang terpaksa dan orang tersalah dalam ucapannya tidak sah talak yang di ucapkannya.
Seperti dalam kitab
Fatkhul Mu‟in yaitu:
َ َمَ ُع٠ َفَال .ٍْ ْٛ ُٕ َِ ْدَٚ ٍ ٟ َ غالَ ُق ّ ص ِج Yang artinya: Maka talak yang dijatuhkan oleh suami belum baligh atau gila adalah tidak menjadi (Zainuddin bin Abdul Aziz AlMulyabari, t.t: 112) . 2. Perempuan yang di talak adalah isterinya atau orang yang secara hukum masih terikat perkawinan dengannya. Begitupula jika perempuan itu telah di talak oleh suaminya, namun masih berada dalam masa iddahnya. Dalam keadaan begini hukum perkawinannya masih dianggap ada. Oleh karena itu dapat di talak. Perempuan yang tidak pernah dinikahinya namun telah diceraikannya dan habis pula masa iddahnya tidak boleh ditalaknya, karena wilayahnya atas perempuan tersebut dinyatakan telah tiada. 3. Sighat atau ucapan talak yang digunakan oleh suami menggunakan lafadz talak, sarah atau lafal lain yang semakna dengan itu. Atau terjemahannya sama-sama diketahui sebagai suatu ucapan yang memutus hubungan 56
pernikahan, seperi “cerai”. Dapat juga ikatan talak itu menggunakan ucapan yang tidak terus terang atau disebut juga kinayah, namun untuk itu dipersyaratkan niat dari si suami yang mengucapkannya. Dalam kitab Fatkhul Mu‟in disebutkan tentang adanya persyaratan dalam sighat ikrar talak yaitu:
ُ ُ ْشز َ َش٠َٚ َ ..ِٛ ُِ ْجزَذَ ٍإ َِ َع َٔ ْسَٚ .. ُغٍَ ْمذ َ .. ِٛ ْغ ِد ْو ُش َِفْعُ ًٍ َِ َع َٔس ..غ ٍِ ٌك a. Menyebutkan maf‟ul bih (obyek) semacam lafadz; „Thallaqtu‟(saya mentalak...) dan menyebutkan mubtada‟nya (subyek) bersama, semacam lafadz; „Thalliqun‟(...adalah tertalak) (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari, t.t: 113). Apabila salah satu bagian kalimat tersebut hanya di niatkan dalam hati, maka tidak pengaruh. Namun jika wanita atau isteri teresbut meminta lebih dulu (sebelumnya) maka dihukumi sah talak tersebut. Contoh: jika suami menyerahkan talak kepada isteri dengan kata „talaklah dirimu‟ kemudian isteri menjawab „saya tertalak‟, kategori talak tersebut adalah di hukumi sah. b.
Menggunakan kata selain talak, seperti kata firaq atau sharih adalah di hukumi sah talaknya. Contoh kalimat sharih yaitu; a‟thalliqun/qultu thallaqaki (saya ucapkan thalakmu).
َّ ِٟ ًِْ) ف١ ِوَٛ ٌغالَ ُق ْا َ ص..ة َ َمَ ُع٠َٚ ( َٚ ،، ًغالَّ ْلذُ ) فُالََٔذ ِ ( ق ِ َاٌطال َ ُِ ََُّٗٔق ا َ َ ِع ْٕذِٛ ْٕ َ٠ ُْ ٌَ ِْْ اَٚ ،ِٖ ِٛ َْٔس .ِٗ ٍِ ِ ّوَٛ ُّ ٌِ ط ٍِّ ُك ِ غ َال
c. Menggunakan wakil pentalak, seperti mengatakan; „saya mentalak si
Polanah‟ dan sebagainya sekalipun pentalaknya tidak meniatkan nama
57
bahwa dirinya mentalak untuk atas nama muwakkilnya (orang yang menyuruhnya). E. Saksi Dalam Ikrar Talak Tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan ikrar talak itu memang menjadi pembicaraan dikalangan ulama‟. Bila melihat pada kenyataan bahwa perceraian itu adalah mengakhiri masa pernikahan yang dulunya dipersaksikan oleh orang banyak dan untuk menjaga kepastian hukum, maka kesaksian itu mesti diadakan dan merupakan persyaratan yang mesti dipenuhi. Dalam kitab Fatkhul Mu‟in adanya saksi dalam talak adalah di hukumi sebagaimana ikrar adanya talak (As‟ad, t.t:165). Dengan beberapa ketentuan syarat, yaitu: a. Talak tidak bisa di hukumi telah jatuh jika persaksiannya di saksikan oleh wanita walaupun bersama dengan seorang lelaki. Atau empat orang wanita, atau hamba sahaya walaupun ia sholeh, dan juga kesaksian oarang fasq adalah tidak diterima (fasiq di sini yaitu orang yang selalu menundanunda shalat fardhu sampai batas waktunya habis tanpa adanya udzur/halangan). b. Di syaratkan dua orang saksi tersebut mendengar ucapan talak dan melihat pentalak dikala mengucapkan pentalakannya. c. Dan di syaratkan hendaknya dua orang saksi itu menerangkan lafadh suami pentalak, sharih atau kinayahnya.
58
d. Dalam masalah talak adalah bisa diterima persaksian dari Ayah wanita tertalak atau putera wanita itu, jika keduanya memberikan hisbah (yaitu: tidak di dahului dakwaan sebaliknya). Namun sebagian jumhur ulama‟ mengatakan bahwa itu dianggap sunnah. Ulama‟ yang mewajibkan tentang aturan tersebut adalah ulama Syi‟ah. Bagi ulama‟ Syi‟ah talak yang tidak di persaksikan oleh dua orang saksi adalah tidak sah. Undang-undang perkawinan di dunia islam sekarang yang telah menetapkan perceraian itu mesti di Pengadilan adalah sejalan dengan pandangan ulama‟ Syi‟ah, hanya tempat dilakasanakannya kesaksian itu yang telah dimodifikasi, yaitu mesti di Pengadilan (Syarifuddin, 2003:129). F. Sighat Talak Ucapan atau kalimat yang digunakan untuk perceraian itu ada dua macam: 1. Sharih (terang), yaitu kalimat yang tidak ragu-ragu lagi bahwa yang dimaksud adalah memutuskan ikatan perkawinan, seperti kata si suami, “engkau tertalak” atau “saya ceraikan engkau” kalimat yang sharis ini tidak perlu adanya niat. Berarti bila dikatakan kepada suami berniat atau tidak berniat maka harus tetap bercerai, asal perkataanya itu tidak berupa hikayat (Rasjid, 2005:403). Sabda Rasullullah:
َّ َٚ َّٓ ِخذ ٌّ اٌ ِّٕىَب ُذُٙ ٌُ٘ َْضَٚ ٌّس ِخذ ُّ ُ٘ َّٓ ِخذ ُاٌش ْخعَخ ٌ َس َََل ِ اٌط َّ َٚ ال ُق Ada tiga perkara, kesungguhannya menjadi sungguh-sungguh dan bercandanyapun dianggap sungguh-sungguh, yakni talak, nikah, rujuk.
59
2. Kinayah (sindiran), yaitu suatu kalimat yang mempunyai arti cerai atau yang lain. Kalimatnya banyak dan tak terhitung, tetapi berikut ini akan diberikan beberapa unsur-unsurnya yaitu: a.
Ungkapan kata yang tidak berarti talak
b. Tidak meyerupai talak c. Tidak menunjukkan cerai seperti perkataan seseorang kepada isterinya, misalnya
duduklah, engkau cantik, semoga
Allah
memberkahi engkau, dan seterusnya. Dengan menggunakan kata-kata tersebut maka tidak terjadi talak sekalipun berniat menjatuhkan talak, karena kata-kata tersebut tidak ada kemungkinan di dalamnya makna talak (Azzam, Hawwas. 2009:268). Berikut ini beberapa contoh talak sindiran, misalnya: engkau bebas, engkau terputus, engkau terpisah, melanggarlah, bebaskan rahimmu, pulanglah ke orang tuamu, jauhkan aku, pergilah, dan lainlain. G. Bilangan Talak Dalam kitab Fatkhul Mu‟in terdapat kriteria tertentu dalam menanggapi jumlah bilangan talak yang di ucapkan oleh Suami yaitu:
َ س .ٍ ِزذَ حَٚ ٍَٝع ِ َس ُْش َُ َخ ّْ ُع ث َ َال٠ ََلَٚ ِ ُّٓ غ َ ط ُ اَل ْفزِ َش َ ُ٠ ًْ َ ث،ٍغٍَمَذ a. Menggumpulkan bilangan tiga talak adalah tidak haram, namun di sunnahkan mencukupkan dengan talak satu saja (As‟ad, t.t: 136).
60
َ .. لَبيْٛ ٌََٚ ( )ٞ َ ََٜٛ ٔٚ.. ٌّ ْٛ ْٕ َِ لَ َعٚ(، َ ً ِزذَحَٚ ْٚ َ ِْٓ ا١َعذَدَا) اِثَْٕز َ غٍَ ْمز ُ ِه ُ ْٛ َِ ِْش١غ َ لَ َعَٚ ،ِٖ ِٛ َْٕ٠ ُْ ٌَ ِْْ فَب:ٍغ َءح َ ِٝ فْٛ ٌََٚ .ً ِزذَاحَٚ ًغٍَمَخ b. Apabila Suami mengatakan „Saya mentalakmu dengan meniatkan bilangan adanya bilangan talak dua atau satu, maka talak jatuh sesuai dengan apa yang di niatkan. Sekalipun pada isteri yang belum pernah digauli, dan jika tidak meniatkan bilangan maka jatuh talak satu (As‟ad, t.t:155). Apabila merasa ragu berapa bilangan yang di ucapkan atau di niatkan, maka mengambil bilangan yang lebih kecil.
َ َٛ ُ٘ َو َّب،س َ ..ًََ لْٛ ٌَ ُ فَزَمَ ُع ثِ ِٗ اٌث َّ َال..ِْٓ ١َثِ ْٕزَٚ ً ِزذَاحَٚ غٍَ ْمز ُ ِه ، ٌشِٙ ظ ص ِشَٔب ْ ع ِ ك عٍَُ َّ ِع ُ ثَ ْعَٝ ِث ِٗ ا َ ْفزَٚ َ بء ِ ّط ِث َس ِم c. Apabila Suami mengatakan „Saya mentalakmu dengan talak satu atau talak dua‟, maka jatuhlah talak tiga. Sebagaimana pendapat yang dhahir (As‟ad, t.t:156). H. Sebab-sebab Ikrar Talak Di kategorikan Sah Dalam kitab Fatkhhul Mu‟in talak dikategorikan sah apabila:
َ ( ًٍ ِعبل َ ثَب ٌِ ٍغَٜغالَ ُق) ُِ ْخز َ ٍش ( ُِ َىٍَّفٍ ) ا
1. Dijatuhkan oleh Suami dalam keadaan tidak di paksa serta mukallaf, yaitu baligh (berakal sehat) (As‟ad, t.t:137).
ُ ِثَٜغ َى ٍش) ا ِٗ ِٔ َب١ ٌِ ِع ْش، ٍْش١ َز ِشْٚ َ ح ا ِ ش ْش َ ُِ ْعز َ ٍذ ِثَٚ ( ٍ ْٕ َا َ ْو ًِ ثَٚ ة َخ ّْ ٍش ًِ ْعم َ ِثب اِصَ اٌَ ِخ 2. Talak yang dijatuhkan oleh Suami dalam keadaan mabuk karena kelalimannya dengan minum arak atau makan kecubung, karena kemaksiatannya dalam menghilangkan kesadaran dirinya.
َ َمَ ُع٠َٚ ِٗ ِض ٍي ِثَٙ ٌِ غالَ ٌق 61
3. Talak yang di jatuhkan oleh Suami dalam keadaan bergurau adalah sah talaknya (As‟ad, t.t:138).
َ ع ُ ا َيَٚ َ صٝع ِٖ شعُ ِش ْ َق ْاٌغ َ َّا ِِْ ادَٚ ْب َ اْٛ ُ ارَّفَمَٚ ِ َ عج ِ َغال ِ ْٛ ُلُٚ ٍٝع ت ِ ع َ َِث ْبٌغ 4. Talak yang di jatuhkan oleh Suami dalam keadaan marah adalah jadi sekalipun ia mengaku bahwa kesadarannya hilang di tengah-tengah gejolak kemarahannya. I.
Talak Yang Di Hukumi Tidak Sah Talak yang di jatuhkan oleh suami dalam keadaan di paksa, bukan memang semestinya. Syarat terjadinya pemaksaan (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari, t.t: 113) yaitu: 1. Adanya kemampuan pemaksa untuk mewujudkan ancaman atau intimidasi dengan segera. 2. Ketidak bisaan si terpaksa untuk menolak ancaman itu, baik dengan lari atau minta bantuan. 3. Adanya perkiraan si terpaksa bahwa bila dirinya membangkang, maka apa yang di ancam akan di perbuat dengan seketika atau sempurna.
J. Penggantungan Talak Dalam kitab Fatkhul Mu‟in penggantungan talak (Ta‟liquth thalaq) sebagaimana penggantungan kemerdekaan adalah di perbolehkan dengan beberapa ketentuan syarat, yaitu Suami tidak boleh menarik kembali ta‟liq talaqnya sebelum terjadi mu‟allaq alaih yaitu sifat atau tempat di gantungkannya terjadinya talak (As‟ad, t.t:160).
62
K. Hikmah Talak Agama Islam adalah rahmatallil alamin bagi seluruh mahluk di alam semesta ini. Dalam aturan hukumnya Islam tidak pernah memaksakan bahkan bersifat elastis. Maksudnya adalah tidak membebani bagi orang yang nelaksanakannya. Contoh yang paling sederhana adalah tentang hukumnya memakan babi. Tentu saja itu dihukumi haram, namun jika sebab keadaan memaksa dan jika hanya ada daging babi saja di wilyah itu sehingga apabila ia tidak memakan daging babi itu ia akan mati, maka hukum yang semestinya haram menjadi boleh karena utamanya lebih banyak faedah. Begitupila mengenai hukum talak. Meskipun banyak orang yang pada mulanya melakukan pernikahan di dasari atas nama cinta namun terkadang banyak sekali pasangan yang akhirnya memilih perceraian sebagai jalan terakhir dalam persoalan rumah tangga mereka. Islam membolehkan talak karena dinamika kehidupan rumah tangga kadang-kadang menjurus kepada sesuatu yang bertentangan dengan tujuan dibangunnya mahligai rumah tangga itu, dalam keadaan begini kalau dilanjutkan juga akan menimbulkan madharat kepada kedua belah pihak dan orang disekitarnya. Dalam rangka menolak madharat yang lebih jauh, lebih baik ditempuh perceraian dalam bentuk talak tersebut. Dengan demikian talak dalam Islam hanyalah untuk suatu tujuan mashlahat (Syarifuddin, 2003:127).
63
BAB IV KOMPARASI ANTARA DASAR PEMIKIRAN HAKIM NO 0880/P.dtG/2012/PA.SAL DAN KITAB FATKHUL MU’IN TENTANG PEMBATALAN TALAK BA’DHA DUKHUL
A. Dasar pemikiran Hakim dalam Putusan Pengadilan Agama Salatiga No.0880/P.dtG/2012/PA.SAL Pada dasarnya dalam Putusannya Hakim melihat dari beberapa segi faktor-faktor untuk menjadikan suatu persoalan tersebut menjadi jelas adanya dalam perkara penetapannya. Dalam perkara No.0880/P.dtG/2012/PA.SAL Hakim menerangkan Putusan ini dilandasi dengan pemikiran yang mengakar, maksudnya dilihat dari persoalannya, bahwa masalah dari si suami dan isteri adalah bermula dari si suami yang tidak lagi serumah dengan istri. Kemudian hubungan keduanya sudah tidak lagi harmonis karena akibat dari pertengkaran yang terjadi diantara keduanya. Klimaknya si suami mengajukan ikrar talak di Pengadilan Agama Salatiga. Dalam persidangan Hakim menghadapi suatu permasalahan yakni pertama terletak pada saksi yang diajukan oleh pihak Pemohon (Suami), saksi yang diajukan oleh suami di pandang Hakim kurang memenuhi kriteria syarat sebagai saksi karena Hakim menganggap bahwa terjadi perbedaan keterangan atau jawaban antara satu dengan yang lainnya. Perbedaan jawaban tersebut adalah mengenai waktu berapa lama si suami pergi meninggalkan rumah. Dasar yang di gunakan Hakim dalam hal ini adalah Pasal 169, dan Pasal 170 HIR yang menyatakan tentang kriteria syarat yang harus di penuhi oleh saksi. Karena dalil yang diajukan oleh Pemohon hanya di dukung seorang saksi (unus 64
testis nullus testis) dan terdapat perbedaan jawaban mengenai saksi tersebut maka hakim memandang bahwa sakai-saksi yang diajukan oleh Pemohon kurang memenuhi kriteria sebagaimana mestinya sesuai dengan Pasal 169, 170 HIR tentang syarat formal saksi. Alasan yang kedua yaitu bahwa Pemohon (Suami) dianggap hakim tidak dapat membuktikan dalil Permohonannya. Dan alasan yang ketiga adalah pengakuan dari si isteri bahwa selama dalam proses persidangan berlangsung si suami dan isteri telah melakukan dukhul, dan tidak ada paksaan dari kedua belah pihak. Untuk itu Hakim menyimpulkan bahwa Dukhul yang dilakukan mereka menunjukan telah terjadi kerukunan kembali antara keduanya (suami dan isteri) sehingga tidak dapat dibuktikan oleh Pemohon (suami) tentang alasan perceraian yang terjadi diantara mereka. Seperti penjelasan dalam Pasal 19 PP No 9 tahun 1975 tentang alasan-alasan perceraian. Yaitu: Pasal 19 Perceraian dapat terjadi karena alasan sebagagai berikut: a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya. c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak yang lain; e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri; f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan rukun lagi dalam rumah tangga.
65
Karena tidak terbukti dalam persidangan tentang alasan-alasan perceraian yang terjadi diantara keduanya. Dan sesuai dengan fakta hukum di atas, maka Majelis berpendapat bahwa Permohonan Pemohon tidak terbukti dan oleh karena belum terpenuhinya kekuatan Pasal 22 ayat (2) PP No 9 Tahun 1975 Maka Hakim memutuskan untuk menolak Permohonan Pemohon untuk menjatuhkan ikrar talak. Pasal 22 ayat (2) PP No 9 Tahun 1975 : Pasal 22 (1) Gugatan perceraian karena alasan tersebut dalam Pasal 19 huruf, diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman tergugat. (2) Gugatan tersebut dalam ayat (1) dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri tersebut.
Pasal 19 f adalah berisi tentang alasan-alasan Perceraian, dalam hal ini juga bertentangan dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menurut ketentuan Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam hal tersebut termasuk kategori talak Bid‟iy dan talak yang tidak diperbolehkan. Pasal 122 Talak Bid‟iy adalah talak yang tidak dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid atau isteri dalam keadaan suci tapi dicampuri dalam waktu suci tersebut.
Jadi dalam Putusannya hakim mengambil dasar hukum yang jelas, dan bersifat tetap. Bahwa talak bid‟iy adalah termasuk kategori talak yang tidak diperbolehkan dalam ranah ruang lingkup Hukum Perkawinan di Indonesia. Jika suami masih tetap kukuh untuk tetap bercerai maka alasan-alasan yang di ajukan tidak boleh sama. Maksudnya alasan-alasan dalam perceraian tersebut
66
tidak boleh sama dengan alasan yang diajukan pertama kali di Pengadilan Agama. Namun berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh Penulis dengan Hakim lain maksudnya Hakim yang tidak menangani Putusan No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL tersebut menjelaskan bahwa perkara dukhul dalam proses sidang ikrar talak adalah tidak dapat membatalkan ikrar talak tersebut. Namun hanya menunda ikrar talak tersebut dengan menunggu selama 6 (enam) bulan apakah hasil dari proses dukhul tersebut menjadi janin atau tidak. Jika menjadi janin maka langsung bisa dapat dilanjutkan sidangnya, alasannya adalah karena jelasnya masa iddah bagi si isteri yang ditalak ketika hamil, yakni iddahnya sampai ia melahirkan. Namun, jika kurun waktu 6 (enam) bulan suami tidak mengajukan kembali atau tidak meneruskan kasusnya dalam perkara ikrar talak maka Hakim juga akan memutuskan untuk membatalakan izin untuk mengucapkan ikrar talak dan ikatan Perkawinannya dianggap tetap utuh. Hal ini berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 131 yang menyebutkan: Pasal 131 Bila suami tidak mengucapkan ikrar talak dalam waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak Putusan Pengadilan Agama tentang izin ikrar talak baginya mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka hak suami untuk mengikrarkan talak gugur dan ikatan perkawinannya tetap utuh.
67
B. Dukhul sebagai alasan pembatalan ikrar talak menurut kitab Fatkhul Mu’in yaitu:
َ َٛ َُ٘ٚ -ٝ ض ٍ َٛ ٌط ِثالَ ِع ٍ ١ َزِٛ ْ َٔسِٝب فَٙ ِ ٍي ثْٛ غالَ ُق َِذْ ُخ ّ ِ َو ْبٌ ِجذْ ِع، ٌَ َز َشاْٚ َ ا َ َوَٚ . _ِٗ ١ْ ِب فَٙ َ ٍش َخب َِعْٙ ُ غِٝفْٚ َ ب اَٙ ْٕ ع َٓ ِِ َسَ٘بْٚ َف د ِ ْٛ َ َ ْغز٠ ُْ ٌَ ْٓ َِ ق َ ِ ط ِال َ َوَٚ ، ُِْ ْاٌمَغ .ِاَل ْسس ْ َْط ِثم ِ ْ َِِٓ ْب ِ ٠ق ْاٌ َّ ِش ِ َِ ص ِذ ْاٌ ِس ْش ِ َطال
“Maksudnya adalah haram sebagaimana talak bid‟iy, yaitu talak isteri
yang pernah disetubuhi yang di jatuhkan pada waktu semacam haid dengan tanpa ada tebusan dari isteri tersebut, atau pada waktu suci yang disetubuhi dalam keadaan suci, hal ini sebagaimana mentalak isteri yang belum pernah menikmati gilirannya, dan sebagaimana talak yang dijatuhkan oleh suami dalam keadaan sakit dengan maksud mengahalangi pewarisan”. (Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari, t.t: 112) Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa talak bid‟iy adalah dihukumi haram. Jika seorang suami yang menjatuhkan ikrar talak kepada isteri (atas keinginan isteri/cerai gugat) yaitu seperti mentalak isteri dalam keadaan haid namun tidak ada tebusan dari pihak isteri (iwadh). Maksudnya adalah seorang suami yang mentalak isteri dalam keadaan haid sedang ia (isteri) tidak memberikan iwadh. Iwadh adalah berupa pemberian uang atau harta dari isteri atas talak yang ia (isteri) inginkan dalam keadaan si isteri sedang haid, pemberian iwadh adalah menunjukkan kebolehan atau sahnya talak yang dijatuhkan (diajukan) oleh isteri (cerai gugat) dan dengan pemberian iwadh tersebut menunjukkan keadaan suami dan isteri yang langsung pisah seketika. Masalah mengenai iwadh akan diterangkan dalam penjelasan selanjutnya. Sedangkan “keadaan pada waktu ia (isteri) suci yang disetubuhi dalam keadaan suci, hal ini sebagaimana mentalak isteri yang belum pernah menikmati gilirannya”, maksudnya adalah mentalak isteri dalam dalam 68
keadaan suci sedangkan ia di setubuhi dalam keadaan suci tersebut adalah di perumpamakan hukumnya seperti mentalak seorang isteri yang belum pernah menikmati gilirannya. Tentu saja hal ini perlu suatu pemikiran yang mendalam untuk menggambarkan maksud dan tujuan dari mushonnef (pengarang kitab) dalam memahami maknanya. Dilihat dari maksudnya perumpamaan tersebut menunjukkan kerugian yang akan terjadi pada wanita yang di talak dalam keadaan suci tersebut. Dan dalam firman Allah yang berkenaan dengan persolan di atas terdapat dalam surat Al-Thalak ayat 1 :
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar). (maksudnya adalah isteri-isteri itu hendaklah ditalak diwaktu Suci sebelum dicampuri)”
Dan di riwayatkan pula dari Nafi Ibnu Abdullah Ibnu Umar bahwa Abdullah bin Umar telah menceraikan isterinya ketika dalam keadaan haid di zaman Rasullullah masih hidup, lalu Umar bertanya kepada Rasullullah tentang hal itu, maka Rasullullah menjawab “Perintahkan ia (Abdullah bin Umar) untuk merujuknya kemudian ia pegang isterinya sampai waktu suci, kemudian berhaid lalu suci lagi, kemudian jika ia mau, ia boleh pegang isterinya setelah itu. Tetapi, jika ia mau mentalak sebelum ia mencampurinya, maka yang demikian itulah iddah yang diperintahkan oleh Allah untuk isteri-isteri (Tihami, 2009: 240).
69
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang jatuh tidaknya talak bid‟iy itu, yaitu: pendapat madzhab Abu hanifah, Imam Syafi‟i, Imam Maliki, dan Imam Hanbali menyatakan talak bid‟iy walaupun talaknya haram, tetapi hukumnya adalah sah dan talaknya jatuh. Namun, sunnah untuk merujuknya kembali. Pendapat ini adalah pendapat imam Abu Hanifah dan Syafi‟i. Adapun Imam Maliki berpendapat bahwa wajib hukumnya untuk merujuknya kembali (Tihami, Sohari.2009: 240 ). Segolongan ulama lain berpendapat bahwa tidak sah, mereka menolak memasukkan talak bid‟ah/bid‟iy dalam pengertian talak pada umumnya, karena talak bid‟iy bukanlah talak yang di izinkan oleh Allah Swt., bahkan diperintahkan oleh Allah untuk meninggalkanya. Berhubung mushonnef (pengarang kitab) Fatkhul Mu‟in adalah Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari murid dari ulama Ibnu Hajar AlHaitami yang berpedoman pada Madzhab Syafi‟iy tentu pendapat yang banyak dinukil adalah dari pendapat ulama Syafi‟iy. Maka dari itu dalam pemahamannya mengenai talak bid‟iy adalah dihukumi sah atau jatuh talaknya (jika ada iwadh dari isteri untuk suami). Dan dasar penjelasan yang lebih rinci mengenai pendapat dalam kitab Fatkhul Mu‟in adalah di dalam kitab I‟anatut Thalibin sebagai berikut:
َّ َوٜ َ ع ٝق ْاٌجِذْ ِع ٍ ِخَٚ ٍَٝع َ ف ُ ط َ )(قَ ْىلُهُ او َح َرم ْ َ أٌُُٝٗ َوب ٌْجِذْ ِعْٛ َلَٚ ت ِ َطال .َِ ر َّثِ ّ ًُ ٌِ ٍْ َس َشَٛ َُ٘ٚ
“perkataan mushonnef, (atau haram) tersebut athof/ bersambung dengan kata wajib. Dan perkataan mushonnef seperti bid‟iy, maksudnya seperti talak bid‟iy yaitu perumpamaan untuk haram”. (Muhammad Syatha Ar-rumyathi, t.t.: 3)
70
Dan penjelasan dari kata
َ َٛ َُ٘ٚ بَٙ ٍي ِثْٛ غالَ ُق َِذْ ُخ
dalam kitab Fatkhul
Mu‟in yang dijelaskan lebih rinci oleh kitab I‟anatut Thalibin adalah sebagai berikut:
ُ ْٛ َِ ٜ ْٚ َ اٌذُّثُ ِش اٝ ِفْٛ ٌََٚ َء ِحْٛ غ ْ َ ب أَٙ ٍي ِثْٛ ٌُُٗ غالَ ُق َِذْ ُخْٛ َلَٚ ٝ اٌْ ِجذْ ِعٜ ْ َأ َ َٜق أ َ ْط ُِزَعَ ٍِّ ٌك ِث بَٙ ُغالَل ٍ ١ َزِٛ َٔ ْسٌُُِٝٗ فْٛ َلَٚ َُ ُِ ْغزَذْ ِخٍَ ٍخ َِب ُءُٖ ْاٌ ُّ ْسز َ َش ِ َطال ْط َوَٕ ْف ٍظ ٍ ١ َزِٛ ْ َٔسِٝف
“Maksudnya talak bid‟iy, dan perkataannya (mushonnef) berupa mentalak perempuan yang telah didukhulnya (suami), yaitu perempuan yang telah dijimaknya meski pada dubur atau perempuan yang telah dimasuki air mulianya (sperma) suami. Dan perkataannya (mushonnef „pada waktu haid‟ itu berhubungan dengan kata „talak‟ yaitu mentalaknya pada waktu halnya haid, seperti nifas”. Penjelasan disini adalah penjelasan yang lebih spesifik tentang keadaan dan pengertian dari dukhul atau hubungan badan antara suami isteri tersebut. Namun adakalanya harus terdapat penjelasan-penjelasan yang lebih mendalam mengenai batasan-batasan, keadaan, dan posisi ketika dukhul tersebut. Bahwa
yang dimaksud dukhul dalam hal ini adalah termasuk keadaan dimana seorang suami menyetubuhi isterinya pada duburnya, hal itu juga merupakan (dukhul). Karena masih ada sebagian orang yang belum mengetahui mengenai kategori batasan dukhul yang dilakukan oleh suami kepada isterinya. Walaupun dalam hal ini isteri dalam keadaan haid tetap itu dinamakan dukhul. Dan penjelasan mengenai keadaan isteri yang di talak ketika dalam keadaan haid adalah sebagaimana berikut:
َّ ََ أَِّّب َ َز ُشَٚ َ ع ُّش ِسَ٘ب ِث ت ُ غ َ َ ِٗ ٌِز١ْ اٌطالَ ُق ِف َ ب َلَ ر ُ ْسَٙ ِِ ََخُ د١ ِي ِعذَّ ِح ِإرَ ثَ ِمْٛ ط بَٙ ْٕ ِِ
“Haramnya mentalak isteri dalam keadaan haid adalah karena panjangnya waktu iddah bagi si isteri. Sedangkan dalam keadaan haid isteri di talak, maka kondisi haid itu tidak dihitung sebagai masa iddah”. 71
Haram disini adalah menjatuhkan talak untuk isteri dalam keadaan haid. namun telah diterangkan sebelumnya bahwa walaupun haram menjatuhkan talaknya, namun talak tersebut tetap di hukumi sah. Dan keadaan isteri yang sedang haid tersebut menjadikan tidak terhitung masa haid itu sebagai masa iddah. hal itulah yang menyebabkan panjangnya masa iddah bagi isteri jika suami menjatuhkan talaknya dalam keadaan ia (isteri) haid. Dan penjelasan dari kata
بَٙ ْٕ ع ٍ َٛ ِثالَ ِع َ ض
dalam kitab I‟anatut Thalibin
adalah sebagai berikut:
َ َْخ ََش َج ِث ِٗ َِب اِرَ َوبَٚ ْٗ١َِس ُْش َُ ف٠ َب فَالَٙ ْٕ ِِ صبد ٍِس ِ َٛ ب ث ِعَٙ ُغالَل َ ض َ ُ ْش ِع ُش ثِب ظ٠ ب اٌْ َّب ِيَٙ ٌِ َ رٌَِهَ ِِلَْ ثِزَٚ ذ١َلَٚ ًق َزبَل ِ طشاَ٘ب ٌِ ٍْ ِف َش عب ً ٠ْ َ َس ُْش َُ ا١َ فٟصبد ًِسا َِ ْٓ أَخْ َٕ ِج ُ َ ْخ ُش١ٌَ بَٙ ِِْٕ ِٗ ٌِ ْٛ َِثم ِ َٛ ج َِب ِإرَا َوبَْ ْاٌ ِع َ ض َ ظ ِٗ ١ْ ٌَِط َش ِاسَ٘ب إ ْ ِط ا ِ َ َ ْمز٠ َرٌَِهَ َِل َّْ خٍَعَخُ َلَٚ ِٗ ١ْ ِف
“Dan dikecualikan ketika mentalaknya perempuan (cerai gugat) tersebut dengan iwadh yang muncul dari perempuan. Maka talak tidak di haramkan pada saat tersebut (haid) hal itu dikarenakan pemberian perempuan (berupa harta) dirasa perempuan dengan keinginan kukuh untuk berpisah/cerai seketika dan mushonnef membatasi dengan perkataanya berupa „dari perempuan‟ supaya dikecualikan hal ketika iwadh tersebut muncul dari orang lain. Maka talak pada waktu haid tetap haram. Hal tersebut karena khuluknya orang lain. Tidak menunutut kemungkinan kehendaknya isteri untuk bercerai”. Maksud dari penjelasan di atas adalah diperbolehkan menjatuhkan talak kepada perempuan yang sedang haid. maksudnya adalah menjatuhkan talak
tersebut atas dasar keinginan dari perempuan (isteri) karena memang benarbenar keinginannya kukuh (berkeinginan kuat) untuk bercerai, dengan syarat jika peremuan (isteri) memberikan iwadh (tebusan/berupa harta) yang ia berikan kepada suaminya akibat penjatuhan ikrar talak yang diinginkan oleh perempuan (isteri). dan harta yang diberikan oleh si suami merupakan harta
72
yang ia (isteri) peroleh sendiri atau benar-benar miliknya, jika iwadh tersebut tidak bersumber darinya (isteri) maka dihukumi tidak sah atau haram. Karena pemberian iwadh tersebut adalah sebagai bukti atas pisah atau rusaknya hubungan suami isteri tersebut. Karena penulisan ini berkenaan dengan tema talak dan dukhul maka penulis perlu kiranya menjelaskan hal-hal yang ada keterkaitan mengenai persolan tersebut. Penjelasan lebih mendalam mengenai keadaan wanita yang ditalak dalam keadaan hamil namun ia mengeluarkan darah (haid).
ْ بَٙ ْٕ ِِ ض ٍ َٛ ٌِ ِٗ ثِالَ ِعْٛ َلَٚ ْع ِ ْط َز ِ ١ َزٟ ُ َ٠ َ ِِ ْٓ ث َ َُّ َلَٚ ْ ِسْش َُ ف ِ ظَٛ ٌب ثِبَٙ ِبِ ًِ ِعذَّر َّ َُ سْش صبد ِِس ٍ ١ َزِٛ َٔ ْسِٝاٌطالَ ُق ف ِ ْط ِإ ْْ َوبَْ ِثالَ ِع ُ َ٠ َٜ ْاٌ َس َش َِ ِخ أِّٝذ ُ ف١ِ َل َ ضٛ بَٙ ْٕ ِِ “dan di sini talak tidak di haramkan pada saat haidnya orang hamil yang iddahnya sampai melahirkan. Dan perkataanya (mushonnef) tanpa iwadh darinya (perempuan) menjadi batasan dalam keharaman. Maksudnya talak itu haram pada saat halnya haid ketika tanpa iwadh yamg muncul darinya (perempuan)”. Dalam hal ini, kedudukan wanita yang ingin dijatuhkan talak (cerai gugat) oleh suami namun dalam kondisi ia hamil dan dalam keadaan hamil tersebut ia mengeluarkan darah, maka ia tetap di hukumi sebagaimana wanita yang haid (darahnya di hukumi sebagai darah haid). jadi ia (isteri) tetap harus memberikan iwadh kepada suami. Karena pemberian iwadh adalah penentu atas dasar sah atau tidaknya talak yang dijatuhkan pada wanita yang dalam kondisi haid, walaupun ia sedang hamil dan mengeluarkan darah maka ia tetap diibaratkan seperti wanita yang sedang haid. Dan penjelasan yang lebih mendalam mengenai haramnya talak yang dijatuhkan pada wanita yang di dukhul :
73
ُْش٠ا ٌِز َ ْم ِذَٚ ْط ٍ ١ َزِٛ َٔ ْسٝ ِفٍَٝع ِ (قَ ْىلُهُ أ َ ْو ِفى َطه ِْر َج ٌ ْٛ ُام ِع َها ِف ْي ِه) َِ ْعط َ ف َ ش ْش َ ِٝب فَٙ ِغالَ ُق َِذْ ُخ ًٍ ث َ ْٚ َ أٜأ َّ ٌ أَْ اُٝ ْخ ِف٠ ََلَٚ ِٗ ْ١ِب فَٙ ُبِع غ ِ ِش َخْٙ غ ُ ِٝغ ُؤَ٘ب ف َ َٚ ِِٓ ُُِٗ َ ُُّٗ َوالَٙ َ ْف٠ ب فِ َّبَٙ ْ١ٍَع َ ًُ َذْ ُخ٠ ُْ ٌَ َْ َ ب لَ ْج ًُ اَٙ ْ١ٍَع َ ًَ ِش دَ َخْٙ غ ًُ َ َّ ْٓ ر ُ ْسج١ْ ِْظ َِ َشادَ ث ُ َُّ ِإْ ُِ َس ًَ َز َش َِ ِخ رٌَِهَ ف ِ ا ْشز َ َش َ ١ٌٍَ ًَ ب لَ ْجٙاغ اٌذُّ ُخ ًِ ث َ َِ َعذ ص َش َذ َ َٚ بَٙ ؤ َ ِع٠ٚ غشَ٘ب َ َب َ َِ ٌَ ٍِعَذ ِ ص َ اَِلَّ فَالَ َز َش َِ ِخ َوَٚ بَٙ ِ ِس َز َّ ًَ ثْٛ ُٙ ظ .بجَٙ ْٕ َّ ٌ ِزَٓ اِٝث ِٗ ِف
“perkataan mushonnef „atau suci yang mana ia ia telah disetubuhi‟ itu atau „saat halnya haid‟ maksudnya, mentalak perempuan yang telah dukhul tersebut pada saat suci yang mana pada waktu suci tersebut ia telah dijimak. Dan tidak samar lagi bahwa syaratnya yaitu ia telah di dukhul pada saat suci, baik sebelumnya pernah di dukhul atau belum. Yang difahami dari perkataan mushonnef, yaitu syarat sudah di dukhul sebelumnya, itu bukan yang dikehendaki. Kemudian bahwa keharaman hal tersebut termasuk bagi orang yang yang dapat mengandung karena tidak anak kecil, manapouse dan tidak hamil. Dan jika tidak seperti itu maka tidak ada keharaman seperti yang dijelaskan dalam kitab minhajil”. (Muhammad Syatha Ar-rumyathi, t.t: 4) Dari penjelasan tersebut, difahami bahwa menjatuhkan talak kepada wanita yang di dukhul (pada saat suci yang mana pada saat suci tersebut ia di jimak) dalam hal ini sesuai dengan pemahaman mushonnef bahwa dukhul yang dilakukan adalah yang tidak di kehendaki, maksudnya adalah mengenai dukhul yang dilakukan dalam keadaan suci dan talak tersebut di jatuhkan pada saat setelah dukhul itu. Dan keharaman menjatukan talak (saat suci di kumpuli/di dukhul kemudian di talak) bagi wanita yang masih mungkin untuk hamil. Dan di perbolehkan menjatuhkan ikrar talak kepada wanita yang di dukhul pada saat ia suci, dengan ketentuan syarat yaitu bahwa wanita tersebut masih kecil atau tidak mungkin untuk hamil (manapouse). Sedangkan diperbolehkan mentalak wanita hamil, anak kecil dan manapouse adalah karena hal ini dilandasi jelasnya masa iddah yang akan dilakukan oleh wanita hamil dengan tanda-tanda kelahiran yaitu sampai ia
74
melahirkan, wanita yang masih kecil apabila belum dicampuri maka tidak ada iddah baginya, jika kemudian ia haid maka iddahnya adalah tiga kali suci, sedangkan pentalakan waktu ia suci itu iddahnya tidak dihitung. Wanita yang manapouse iddahnya adalah tiga bulan jika menjatuhkan talaknya di awal bulan, namun jika dijatuhkan talaknya di tengah-tengah bulan maka harus di genapi tiga puluh hari terlebih dahulu. C. Persamaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL dengan kitab Fatkhul Mu’in Pada dasarnya antara Putusan Pengadilan Agama dengan kitab Fatkhul Mu‟in adalah sama yaitu tidak membolehkan talak bid‟iy. Hal tersebut termasuk dalam batasan tertentu, seperti dukhul sebagai alasan pembatalan talak adalah sama, yaitu sepakat bahwa tidak membolehkan menjatuhkan talak kepada isteri yang dalam proses cerai/ ikrar talak ia melakukan dukhul bersamanya. D. Perbedaan Putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL dengan kitab Fatkhul Mu’in 1. Perbedaan yang mendasar adalah dilihat dari pemikiran Hakim yang harus memuat beberapa alasan yang benar-benar kongkrit atau mendasar mengenai unsur-unsur dan penilaiannya terhadap persoalan ini. Dalam hal ini hakim lebih menitik beratkan pada saksi-saksi, sedangkan dukhul dijadikan hakim sebagai bentuk kerukunan kembali antara suami dan isteri atau hanya sebagai penjelas. Karena dalam faktanya hakim menolak menjelaskan tentang persoalan dukhul.
75
2. Putusan Pengadilan Agama lebih mengutamakan bukti yang nyata dalam persidangan sedangkan dalam kitab Fatkhul Mu‟in lebih mengedepankan teori yang sebenarnya atau Ijtihadul Ulama‟. 3. Pengadilan Agama melarang adanya talak bid‟iy sedangkan dalam kitab Fatkhul Mu‟in talak bid‟iy dapat dilakukan dengan beberapa ketentuan syarat. Yaitu pertama, bagi perempuan yang haid, maka dapat jatuh talaknya dengan syarat perempuan itu (isteri) yang meminta untuk bercerai (keinginan kuat/kukuh dari isteri) dan isteri harus memberikan iwadh kepada suami yang bersumber dari dirinya sendiri, jika tidak bersumber dari dirinya sendiri maka dihukumi haram. kedua, bagi perempuan yang ba‟dha dukhul (pada saat suci ia dikumpuli/jimak), adalah diperbolehkan adanya ikrar talak dengan ketentuan syarat bahwa perempuan tersebut tidak memungkinkan untuk hamil lagi atau masih anak-anak. Maka talak bid‟iy diperbolehkan. 4. Dalam Pengadilan Agama dan dalam peraturan Perundang-undangan tidak membahas talak bid‟iy dengan lebih rinci atau mendetail. Sedangkan dalam kitab Fatkhul Mu‟in terdapat terobosan-terobosan baru yang dapat menambah khasanah pengetahuan khususnya di bidang hukum keluarga 5. Dalam kitab Fatkhul Mu‟in diutarakan bahwa Dukhul di jadikan alasan mendasar tidak dibolehkannya talak untuk dijatuhkan pada saat itu. Dasar yang digunakan hakim adalah melihat dari kesaksian para saksi yang di nilai tidak memenuhi kekuatan hukum. Sedangkan dukhul di nilai sebagai bentuk kerukunan kembali.
76
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Perbedaan dan persamaan antara pemikiran ulama‟ dalam kitab Fatkhul Mu‟in dan argumentasi Hakim adalah sebagai berikut: a. Perbedaannya adalah: dalam kitab Fakhul Mu‟in, dukhul dalam proses ikrar talak adalah tidak di bolehkan. Namun dalam keadaan tertentu talak bid‟iy diperbolehkan. Yang pertama, dalam keadaan isteri haid. dapat jatuh talaknya jika yang meminta untuk menjatuhkan talak tersebut dari isteri itu sendiri, kemudian isteri harus memberikan iwadh kepada suami yang bersumber darinya (isteri). Dengan pemberian iwadh maka hubungan suami dan isteri akan langsung pisah seketika. Yang kedua, dalam keadaan isteri yang suci lalu ia di dukhul kemudian ia di talak, maka talaknya dapat jatuh dengan ketentuan-ketentuan bahwa isteri yang ditalak tersebut tidak memungkinkan untuk dapat hamil atau isteri tersebut masih anakanak. Sedangkan argumentasi hakim tidak membolehkan adanya ikrar talak yang dijatuhkan pada saat suami isteri dalam proses perceraian. Tidak diperbolehkan, sebab mereka (suami/isteri) masih melakukan dukhul dalam proses ikrar talak tersebut. Hal tersebut sebagaimana di atur dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 122 yang menghukuminya sebagaimana talak bid‟iy, yaitu talak yang di hukumi haram.
77
b. Persamaannya adalah: dalam kitab Fakhul Mu‟in tidak membolehkan adanya talak bid‟iy dan menghukuminya haram. Dan pemikiran hakim yaitu tidak mengabulkan nyagugatan No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL dengan melihat bahwa dukhul dijadikan sebagai bentuk kerukunan kembali (antara suami isteri). 2. Dalam putusan Pengadilan Agama No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL yang menyatakan pembatalan ikrar talak. hal tersebut karena hakim mempunyai beberapa alasan dasar/argumen : a. Hakim memposisikan dukhul sebagai suatu bentuk kerukunan kembali. Dan tanpa adanya paksaan dari salah satu pihak, dukhul itu terjadi karena atas suka sama suka. Maka Hakim menganggap
bahwa
alasan
perceraian
Pemohon
tidak
memenuhi persyaratan dalam Pasal 19 PP No 9 tahun 1975 tentang alasan-alasan perceraian. b. Dalam
persidangan
membuktikan
si
dalil-dalil
suami
(Pemohon)
Permohonan
tidak
dapat
(alasan-alasan
perceraian) yang di ajukan di Pengadilan Agama Salatiga. c. Hakim berpendapat bahwa keterangan dari para saksi yang diajukan oleh Pemohon berbeda dalam menjawab pertanyaan yang di ajukan oleh hakim. Khususnya mengenai keterangan waktu kapan suami isteri tersebut tidak lagi serumah. Dasar yang digunakan Hakim dalam hal ini adalah Pasal 169, 170 HIR tentang syarat formal saksi.
78
B. SARAN 1. Hakim seharusnya lebih koperatif terhadap pertanyaan-pertanyaan yang diajukan mengenai dukhul, dan menjelaskan lebih rinci walaupun menurut hakim hal tersebut tidak penting namun bagi penulis hal itu bisa dijadikan sebagai dasar dalam menjabarkan permasalahan yang ada. 2. Ijtihad hakim dalam Putusan dukhul sebagai alasan pembatalan talak baiknya dipertimbangkan atau dikaji secara mendalam. Tidak hanya terpaku pada pada suatu permasalahan yang sudah di putuskan sebelumnya. Namun perlu adanya suatu trobosan terbaru, sehingga dalam putusannya hakim tidak hanya terpaku pada suatu persoalan itu saja. 3. Wawasan hakim dalam perkara dukhul sebagai alasan pembatalan talak adalah penting. Dalam hal ini tidak hanya dilihat dari kemaslahatan, namun juga harus dilihat secara teori mendalam dan membandingkan perkara tersebut dengan kajian hukum lainnya.
79
DAFTAR PUSTAKA
Ali atabik, Muhdlor zuhdi. 2003. Kamus Kontemporer Arab Indonesia. Cetakan ke-7, Yogyakarta: Multi Karya Grafika As‟ad, ali.t.t. Terjemahan Fat-khul Mu‟in, Kudus: Menara Kudus Alkalali, Asad.M. 1995. Kamus Indonesia Arab. Cetakan ke-vi, Jakarta: PT Bulan Bintang Azzam,& Sayyed Hawwas. 2009. Fiqh Munakahat, Khitbah, Nikah dan Talak, Jakarta: Sinar Grafika Offset Al-Qasam, Izuddin. t.t. Bunga-bunga di Kamar Pengantin, Jombang: Lintas Media At-Tihami, Muhammad. 2004. Merawat Cinta Kasih Menurut Syari‟at Islam, cetakan- ke-2, Surabaya: Ampel Mulia Asyumuni, A Yasin. 2005. Keistimewaan, Fungsi Dan Keindahan Perkawinan, Jawa Timur: Pon Pes Hidayatut Thulab Hathout, Hassan. 2004, Panduan Seks Islami, cetakan ke-2. Jakarta: Pustaka Zahra Hasan, iqbal. 2006. Analisis data penelitian dengan statistik, cetakan ke-2, Jakarta : PT Bumi Aksara Kan‟an, Muhammad ahmad. 2007. Kado Terindah Untuk Mempelai, cetakan ke-2, Yogyakarta: Mitra Pustaka Machfudz, Mustafa. 1987. Ensiklopedi Ijmak, Jakarta: Pustaka Firdaus Moleong, lexi J.2009. Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Kosdakarya Poerwadarminta. 1982, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka Qardhawi, Muhammad Yusuf. t.t. Halal Dan Haram Dalam Islam, Surabaya : PT Bina Ilmu Rasjid, Sulaiman. 2005. Fiqh Islam, cetakan ke-38, Bandung: Sinar Baru Algendo Offset Bandung
Rasjid, sulaiman. 1954. Fiqh Islam, cetakan ke xvii, Jakarta:attahariyah Syarifuddin, amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: antara fiqh munakahat dan undang-undang perkawinan , Jakarta: Prenada Media Summa, Muhammad amin. 2005. Hukum Keluarga Islam di Dunia Islam, Jakarta: PT Raja Gravindo- persada Sulistia, dkk. 1991. Metode penelitian ilmu pengetahuan sosial, Semarang: IKIP Semarang press Syarifuddin, Amir. 2003. Garis Besar Fiqh, Jakarta: Prenada Media Sayyed Muhammad Syatha Ar-rumyathi. t.t. I‟anatut Thalibin, Surabaya: Darul Ilmi Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional, Cetakan ke-3. Jakarta: PT Asdi Mahasatya Sabiq, Sayyid. 1980. Fiqh Sunnah 8, Bandung: Al Ma‟arif Tihami, Sohari Sahrani. 2009. Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali Pers „Uwaidah, Syaikh Kamil. 2008. Fiqih Wanita, Jakarta Timur : Pustaka Al-Kautsar Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari, t.t. Fatkhul Mu‟in, Surabaya: Darul Ilmi Wirartha, I Made. 2006. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian, Skripsi, dan Tesis, Yogyakarta: Andi Offset Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Mulyabari, t.t. Fatkhul Mu‟in, Surabaya: Darul Ilmi
Tanggal: 21 Oktober 2013 Kepada: Bapak Dr. H. Machmud, SH Daftar-daftar pertanyaan yang diajukan penulis di Pengadilan Agama Salatiga mengenai No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL. meliputi: 1. Perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL sebenarnya membahas tentang persoalan apa? 2. Jika persoalan tersebut mengenai pembatalan ikrar talak, apakah yang menjadi sebab permasalahannya? 3. Apakah dari permohonan suami dalam ikrar talak tersebut terdapat suatu kejanggalan? 4. Dalam perkara ini bapak lebih menitik beratkan pada saksi yang diajukan oleh suami? Mengapa? 5. Apakah terdapat persoalan yang perlu di garis bawahi? 6. Lalu apakah itu menjadikan dasar untuk bapak dalam memutuskan perkara No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL? 7. Dasar atau landasan apa yang bapak gunakan dalam memutuskan perkara N0 0880/P.dtG/2012/PA.SAL? 8. Adakah pemikiran lain yang menjadi dasar dalam putusan No 0880/P.dtG/2012/PA.SAL? 9. Lalu bagaimana dengan kasus yang hampir sama yaitu kasus dukhul yang dilakukan oleh suami dan isteri dalam proses sidang perceraian atau ikrar talak, apakah hampir sama dalam memutuskannya?
Oleh
Siti afah