PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH PASCA IKRAR TALAK (Studi di Pengadilan Agama Batusangkar)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi
Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy)
Oleh: SYAMS ELIAZ BAHRI NIM. 1111044100040
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
ABSTRAK
Syams Eliaz Bahri. NIM 1111044100040. Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah Pasca Ikrar Talak (Studi di Pengadilan Agama Batusangkar). Konsentrasi Peradilan Agama, Program Studi Ahwal Syakhshiyyah, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436/2015 M. x + 82 halaman + 6 lampiran. Skripsi ini membahas tentang praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah. Dalam peraturan yang berlaku di Indonesia dijelaskan ketika terjadi perceraian suami dapat dibebankan beberapa kewajiban. Namun dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan tentang waktu pembayaran kewajiban tersebut. Dalam prakteknya hakim meminta suami untuk membayarkan kewajibannya kepada istri pada saat ikrar talak, namun praktek ini tidak didasari oleh peraturan melainkan ijtihad hakim. Penulisan skripsi ini bertujuan agar kita mengetahui dasar ijtihad hakim dalam menerapkan praktek ini, serta mengetahui langkah hakim ketika suami belum membawa kewajibannya pada saat ikrar talak, dan agar kita mengetahui bagaimana korelasi praktek ini jika dihubungkan dengan kaedah ushul, peraturan, serta asas-asas yang ada. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan pendekatan yuridis empiris. Sumber data didapat dari hasil wawancara, bukubuku, serta karya ilmiah. Pengumpulan data menggunakan metode wawancara kepada hakim, documenter, observasi dan studi pustaka. Metode analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang bermaksud untuk memberikan penjelasan secara sistematis, dan akurat tentang praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama Batusangkar. Dari hasil penelitian, ditemukan bahwa praktek yang dilakukan memang tidak didasari oleh peraturan, dan terkesan tidak sesuai dengan asas-asas yang ada. Namun, hakim menilai praktek ini perlu diterapkan agar memberi jaminan kepada istri untuk mendapat haknya, serta agar putusan dapat adil bagi kedua belah pihak. Praktek yang dilakukan ini tidak akan memberikan mudharat yang lebih besar, ketimbang praktek ini tidak ada. Kata kunci: Nafkah Iddah, Mut’ah, Ikrar Talak Pembimbing
: Sri Hidayati, M.Ag
DaftarPustaka
: Tahun 1964 Sampai dengan Tahun 2013
v
KATA PENGANTAR
الرحمن الرحيم ِبسم هللا ِ ِ
Segala puji kepada Allah yang telah mencurahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaikbaiknya. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar kita Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh umat Islam. Skripsi ini penulis persembahkan kepada Ayahanda H. Syamsul Bahri Z, Ibunda Hj. Eliza, dan Kakanda penulis Syams Resfializ Bahri yang selalu memberikan dorongan, bimbingan, kasih sayang, motivasi, bantuan dan do’anya tanpa kenal lelah dan bosan. Semoga Allah senantiasa melimpahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada mereka. Penulis sadar tidak akan dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini tanpa bantuan orang-orang yang ada di sekitar penulis. Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya dan peghargaan setinggitingginya kepada: 1. Bapak Dr. Asep Saepuddin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Bapak H. Kamarusdiana, S.Ag., MH. Dan Ibu Sri Hidayati, M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah dan Hukum.
vi
3. Ibu Sri Hidayati, M.Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah sabar membimbing, memberikan arahan, motivasi dan meluangkan waktu lapang dan sempitnya, serta membantu penulis sehingga skripsi ini selesai. 4. Bapak Dr. H. Supriyadi Ahmad, MA. Selaku dosen penasehat akademik, penulis mengucapkan terimakasih banyak atas bantuan, perhatian, serta arahan yang selama ini diberikan. 5. Ibu Dr. Hj. Mesraini, M.Ag. dan Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Selaku dosen penguji semprop yang telah memberi masukan, meluangkan waktu, dan membantu penulis mulai dari awal penulisan proposal sampai akhir penulisan skripsi ini. 6. Bapak Dr. Abdurrahman Dahlan, MA., dan Bapak Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag., selaku dosen penguji Munaqasyah yang telah memberi masukan, dan arahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini. 7. Segenap Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum Univerasitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dengan tulus ikhlas, semoga ilmu yang diajarkan bermanfaat serta menjadi keberkahan bagi penulis. 8. Ketua Pengadilan Agama Batusangkar dan para Hakim, serta pihak-pihak terkait terutama Bapak Drs. Efrizal, SH., MH. dan Ibu Dra. Hj. Yusnizar yang telah memberikan informasi dan meluangkan waktunya serta kepada penulis menyelesaikan skripsi ini.
vii
9. Kepala Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum beserta para staf yang telah memberikan fasilitas untuk mengadakan studi perpustakaan guna menyelesaikan skripsi ini. 10. Ayahanda H. Syamsul Bahri Z, Ibunda Hj. Eliza dan saudara penulis Kakanda Syams Resfializ Bahri, yang telah memotivasi, mendorong, membantu, dan mendo’akan penulis setiap saat sehingga skripsi ini selesai. 11. Teman-teman seperjuangan Peradilan Agama angkatan 2011, yang telah mengisi hari-hari penulis, membantu penulis, serta memberikan informasi kepada penulis terutama Anin, Hatoli, Didi, Tiflen, Rafel, Robian, Nazir, Fira, Lilis, Lian, Mujahidah, Nadia, Robiah, Andi, serta sanak-sanak IKMM khususnya angkatan 2011, Mantan Ketua Rizan, Daniel, Firdo, Fajri, Gusti, Khalil, Syahrul, Erik, Wahyu, Haikal, Zaimul Haq Elfan Habib dan semunya yang tidak bisa penulis tuliskan satu persatu. Terima kasih atas hari-hari yang telah kita lalui bersama. Demikianlah ucapan terima kasih penulis haturkan kepada seluruh pihak, semoga Allah swt membalas dan melipat gandakan jasa dan kebaikan semuanya. Akhir kata, dengan kerendahan hati, semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, tertama bagi penulis dan pembaca pada umumnya.
Ciputat, 30 Maret 2015
Syams Eliaz Bahri
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ................................................ iii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iv ABSTRAK ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi DAFTAR ISI........................................................................................................ ix
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................... 1 A. Latar Belakang Masalah.......................................................... 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ..................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................... 6 D. Metode Penelitian ................................................................... 7 E. Review Studi Terdahulu ......................................................... 12 F. Sistematika Penulisan ............................................................. 14
BAB II
NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH ............................................ 15 A. Nafkah Iddah Menurut Fiqih .................................................. 15 B. Mut’ah Menurut Fiqih ............................................................. 26 C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif di Indonesia ............................................................................. 35
ix
BAB III
ASAS PERADILAN DAN GAMBARAN PRAKTEK IKRAR TALAK .......................................................................... 40 A. Asas-Asas Peradilan ................................................................ 40 B. Deskripsi Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Batusangkar Tahun 2014 ........................................................ 53 C. Gambaran Umum Proses Ikrar Talak...................................... 57
BAB IV
PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH DI PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR ........................... 61 A. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah di Pengadilan Agama Batusangkar ............................................. 61 B. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa Kewajiban ............................................................................... 63 C. Analisa Penulis........................................................................ 65
BAB V
PENUTUP .................................................................................... 76 A. Kesimpulan ............................................................................. 76 B. Saran ....................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 79 LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan manusia, implementasi dari penciptaan manusia secara
berpasang-pasangan adalah dengan terjadinya pernikahan. Nikah adalah akad serah terima antara laki- laki dan perempuan dengan tujuan untuk saling memuaskan satu sama lainnya dan untuk membentuk bahtera rumah tangga yang sakinah serta masyarakat yang sejahtera.1 Dalam hukum di Kuwait nikah diartikan sebagai “A contract between a man and women who can lawfully be wed to him, to the end tranquility, chastity, and the strength of the nation”.2 Tujuan dari pernikahan yang dilakukan manusia tidak lain adalah untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah, karena sesungguhnya ikatan suami istri merupakan ikatan yang sangat suci dan teramat kokoh.3 Dalam prosesnya, terkadang pasangan suami istri yang telah menikah ini mendapatkan masalah di tengah pernikahannnya. Masalah dalam pernikahan ini
1
Tihami, dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), h. 8. 2
Jamal J. Nasir, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation, (London: Graham Trotman, 1990), h. 3. 3
Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), h. 162.
1
2
bisa berupa terjadinya nusyuz dari salah satu pihak, ataupun syiqaq yang dapat disebabkan kecemburuan, ketidakpuasan, tidak sepaham dan sebagainya. Nusyuz adalah tindakan istri yang tidak patuh kepada suaminya, atau suami yang tidak menjalankan hak dan kewajibannya terhadap istri dan rumah tangganya, baik yang bersifat lahir maupun bathin.4 Sedangkan syiqaq adalah pertengkaran yang terus menerus yang berasal dari kedua belah pihak. Permasalahan-permasalahan
yang
terjadi
dalam
perkawinan
yang
berkepanjangan ini dapat menyebabkan tidak terciptanya tujuan dari perkawinan yang dapat berujung pada perceraian. Perceraian sejatinya dapat terjadi ketika seorang suami mengucapkan kata "thalaq" pada istrinya. Thalaq secara harfiah berarti membebaskan seekor binatang.5 Menurut syari’at pengertian talak adalah terlepasnya ikatan pernikahan atau terlepasnya pernikahan dengan lafal talak dan yang sejenisnya.6 Di Indonesia permasalahan putusnya hubungan perkawinan telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 38, bahwasanya sebuah perkawinan dapat berakhir karena kematian, perceraian, dan keputusan pengadilan. Selanjutnya dalam pasal 39 angka 1 Undang-Undang perkawinan mengatakan bahwa “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan bersangkutan berusaha dan tidak berhasil 4
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 184. 5
Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1992), h. 76. 6
Wahbah Zuhayli, Fiqih Islam jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: GEMA INSANI, 2011), h. 318.
3
mendamaikan kedua belah pihak”. Dari kutipan pasal 39 ini dapat dipahami bahwa seseorang tidak dikatakan putus pernikahannya kecuali, apabila pengucapan ikrar talak tersebut dilakukan di depan persidangan setelah melalui berbagai rangkaian yang ditentukan. Ketika terjadi perceraian antara suami istri, dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 dijelaskan dalam pasal 41 bahwa antara suami dan istri memiliki kewajiban yang berkaitan dengan pemeliharaan dan pendidikan anak mereka. Selanjunya pada pasal 41 ayat (c) dijelaskan bahwa pengadilan dapat mewajibkan pada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi istri. Secara lebih rinci mengenai kewajiban suami terhadap istri ketika terjadi perceraian karena talak dijelaskan dalam KHI pasal 149. Dalam pasal 149 KHI tersebut dijelaskan kewajiban suami tersebut berupa memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istri ba’da dukhul, memberikan nafkah, maskan dan kiswah selama dalam iddah, melunasi mahar yang terhutang, serta memberikan biaya hadhanah. Dalam Al-Qur’an hak istri untuk mendapatkan nafkah juga telah dijelaskan dalam surat At-Thalaq ayat 6, Allah memerintahkan pada suami yang menceraikan istrinya untuk memberikan tempat tinggal dan nafkah yang mana hal ini juga tersirat dalam kutipan pasal 149 KHI di atas. Tanggungan nafkah di Iraq, Jordan, Syria, Kuwait, dan Algeria, digolongkan kepada maintenance consists of food, clothing, housing, and the
4
amenities thereof, treatment fees according to custom, and servants for women whose equals have servants.7 Dalam Al-Qur’an ketentuan tentang mut’ah juga telah dibahas sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an Surat Al- Baqarah ayat 241 yang menjelaskan tentang kewajiban suami untuk memberikan mut’ah terhadap mantan istri yang telah diceraikannya. Mut’ah yang dimaksud disini adalah pakaian atau harta yang diberikan oleh suami kepada istri yang dia ceraikan.8 Jika diperhatikan dari kutipan pasal 149 KHI di atas, nafkah iddah dan mut’ah merupakan akibat yang timbul dari perceraian, sehingga pada dasarnya pemberian nafkah iddah dan mut’ah kepada istri menjadi wajib ketika telah terjadinya perceraian. Namun dalam peraturan tersebut, mengenai waktu pembayaran kewajiban yang timbul akibat perceraian talak tidak diatur secara jelas. Dalam prakteknya Pengadilan Agama sebagai salah satu lembaga Peradilan, menetapkan pembayarannya pada saat ikrar talak. Hal ini penulis ketahui setelah membaca skripsi dengan judul “Jaminan Pelakasanaan Kewajiban Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur” skripsi tahun 2012, dan skripsi dengan judul “Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013” skripsi tahun 2014.
7
Jamal J. Nasir, The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation, (London: Graham Trotman, 1990), h. 59. 8
Wahbah Zuhayli, Fiqih Islam jilid 9, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk, (Jakarta: GEMA INSANI, 2011), h. 285.
5
Hal ini juga penulis ketahui setelah melihat praktek pembacaan ikrar talak yang terjadi di Pengadilan Agama Jakarta Selatan, dan praktek yang penulis ketahui di Pengadilan Agama Batusangkar terlihat bahwa Pengadilan Agama memerintahkan kepada suami yang akan mengucapkan ikrar talak agar pada saat pengucapan ikrar talak membawa nafkah yang harus diberikan pada istri, dan diserahkan ketika sidang penyaksian ikrar talak. Namun praktek ini tidak didasari pada peraturan. Karena tidak adanya peraturan yang mengaturnya, maka praktek yang terjadi tersebut tidak didasari oleh hukum, sehingga timbul pertanyaan pada diri penulis apakah praktek tersebut tidak bertentangan dengan peraturan yang ada, dan apakah praktek tersebut tidak menyalahi asas-asas yang berlaku di Pengadilan Agama. Berdasarkan latar belakang yang penulis uraikan di atas, penulis merasa tertarik dan perlu untuk membahas tentang praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama dengan judul “Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah Pasca Ikrar Talak (Studi di Pengadilan Agama Batusangkar)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Dari pemaparan yang telah penulis sampaikan di atas dapat diketahui bahwa minimal ada empat Pengadilan Agama yang melakukan praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika sidang ikrar talak. Agar pembahasan ini tidak melebar dan untuk memperjelas pokok penelitian maka pembahasan difokuskan kepada:
6
a. Lokasi penelitian ini berada di Pengadilan Agama Batusangkar, Jl. Sudirman Lima Kaum Batusangkar Kabupaten Tanah Datar. b. Kewajiban suami yang dibahas dibatasi pada Nafkah iddah dan Mut’ah. c. Data penelitian dibatasi pada tahun 2014. 2. Perumusan Masalah Dalam UU dijelaskan beberapa kewajiban suami ketika terjadi perceraian karena talak seperti nafkah iddah dan mut’ah. Di Pengadilan Agama Batusangkar pembayaran kewajiban tersebut dilakukan ketika sidang ikrar talak di persidangan. Namun terkadang suami tersebut ketika waktu persidangan ikrar talak belum membawa kewajibannya dengan berbagai alasan. Rumusan masalah tersebut penulis rinci dengan bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Bagaimana praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika ikrar talak di Pengadilan Agama Batusangkar? b. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim ketika suami belum membawa kewajibannya pada saat ikrar talak? c. Bagaimana korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika ikrar talak ini jika dihubungkan dengan peraturan, dan asas yang ada? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Berdasarkan paparan dalam latar belakang dan perumusan masalah sebelumya, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:
7
a. Untuk mengetahui praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika ikrar talak di Pengadilan Agama Batusangkar. b. Untuk mengidentifikasi langkah-langkah yang dilakukan hakim ketika suami belum membawa kewajibannya ketika ikrar talak. c. Untuk menjelaskan korelasi antara praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah ketika ikrar talak dengan peraturan dan asas yang terkandung dalam peradilan. 2. Manfaat Penelitian Selanjutnya dengan tercapainya tujuan tersebut diharapkan dari hasil penelitian ini dapat diperoleh manfaat sebagai berikut: a. Bagi Ilmu Pengetahuan Dapat memberikan sumbangan pengetahuan terhadap ilmu hukum mengenai praktek, dasar pemikiran, serta korelasi praktek pembayaran nafkah iddah an mut’ah ketika ikrar talak dengan peraturan dan asas di Peradilan Agama. b. Bagi Masyarakat Untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama.
D. Metode Penelitian Adapun metode yang penulis gunakan dalam penulisan ini adalah, sebagai berikut:
8
1. Metode Pendekatan Dalam Penelitian ini penulis menggunakan metode pendekatan yuridis empiris. Penelitian yuridis empiris dimaksud membahas bagaimana hukum beroperasi dalam masyarakat.9 Dalam penelitian ini yang dicari adalah perihal pelaksanaan pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama dengan berpedoman pada aturan hukum yang berlaku serta dihubungkan pada asas-asas yang berlaku dalam peradilan dan prilaku sosial masyarakat, sehingga dapat diperoleh kejelasan terhadap penerapan praktek tersebut di persidangan pengadilan. 2. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis penelitian Deskriptif. Penelitian deskriptif bermaksud memberikan penjelasan secara sistematis, factual, dan akurat mengenai fakta-fakta yang diteliti. Dalam skripsi ini yang diteliti adalah mengenai praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dalam persidangan. 3. Data Penelitian a. Penelitian kepustakaan (library search) Penelitian kepustakaan merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mendapatkan dasar teori dalam memecahkan permasalahan yang timbul dengan menggunakan bahan- bahan: 1) Bahan Hukum Primer
9
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 31.
9
Merupakan bahan utama yang dijadikan pedoman dalam penelitian, terdiri dari: -
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
-
UU No. 7 Tahun 1989 yang telah dirubah kepada UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua kepada UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama
-
Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
-
PP No. 9 Tahun 1975
-
Kompilasi Hukum Islam
2) Bahan Hukum Sekunder Bahan- bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, yang terdiri dari: -
Buku- buku
-
Majalah hukum
-
Artikel ilmiah
-
Arsip- arsip yang mendukung
-
Publikasi dari lembaga terkait
b. Penelitian Lapangan (field research) Dilakukan dengan cara melakukan proses terjun langsung secara aktif ke lapangan untuk meneliti obyek penelitian tersebut. 1) Lokasi Penelitian Mengenai lokasi penelitian ini dilakukan di Pengadilan Agama Batusangkar, disebabkan perihal yang berkaitan dengan permasalahan yang diangkat menjadi skripsi ini terdapat di tempat tersebut.
10
2) Subyek Penelitian Untuk
mencari
kebenaran
data
dan
penjelasan
yang
mampu
dipertanggungjawabkan secara prosesil maka yang tepat dijadikan rujukan adalah hakim di Pengadilan Agama Batusangkar dalam persidangan perkara cerai talak itu sendiri yang mampu mengkaji, mengetahui, serta memeriksa sekaligus memutus proses persidangan cerai talak. 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan: a. Observasi Obeservasi adalah pengamatan dan pencatatan sesuatu obyek dengan sistematika fenomena yang diselidiki.10 Observasi penulis lakukan dengan cara melihat jalannya pengucapan ikrar talak di Pengadilan Agama Batusangkar. b. Wawancara (Interview) Wawancara atau interview merupakan Tanya jawab secara lisan dimana dua orang atau lebih berhadapan secara langsung. Dalam proses interview ada dua pihak yang menempati kedudukan yang berbeda. Satu pihak berfungsi sebagai pencari informasi sedangkan pihak lain berfungsi sebagai pemberi informasi.11 Dalam menentukan hakim yang akan diwawancarai, penulis menggunakan teknik nonrandom sampling. Dalam sampling ini tidak semua individu dalam
10
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), h. 69. 11
Soemitro Romy H, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), h. 71.
11
populasi diberi peluang yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel.12 Untuk mewakili hakim yang ada, penulis memilih seorang hakim pria, seorang hakim wanita, dan hakim yang berjabatan sebagai ketua di Pengadilan tersebut, yang penunjukkannya diserahkan kepada Ketua Pengadilan Agama Batusangkar. c. Studi Dokumenter Studi documenter adalah cara mengumpulkan data melalui penanggalan tertulis, terutama berupa arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil/hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah penyelidikan.13 Studi dokumenter ini bertujuan untuk mengumpulkan data perceraian khususnya cerai talak selama 2014. d. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data dengan mencari konsepsikonsepsi, teori- teori, pendapat, atau penemuan yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan. Kepustakaan berupa peraturan perundangan, karya ilmiah para sarjana, laporan lembaga, dan lain- lain sumber.14 5. Metode Analisis Data Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan metode analisis kualitatif. Dalam kamus Oxford Quality diartikan sebagai How
12
Ben Ahmad Soebani, Metode Penelitian, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 177.
13
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), h. 141. 14
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: UMS Press, 2004), h. 47.
12
good or bad.15 Analisis kualitatif adalah suatu cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analisis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis serta lisan dan juga perilaku yang nyata diteliti sebagai sesuatu yang utuh.16 Dalam skripsi ini, yang dianalisis adalah praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di persidangan. Data-data yang penulis temukan dari dokumen di pengadilan, berupa data statistik perkara, statistik cerai, serta data alasan-alasan perceraian, penulis kelompokkan dalam satu kelompok yang kemudian akan dimasukkan dalam bab 3. Selanjutnya, data hasil wawancara dan kepustakaan, penulis analisis menggunakan analisis kualitatif. Dalam melakukan analisis, penulis kelompokkan teori-teori yang ada tentang permasalahan yang penulis angkat, dari kaedah ushul, hukum positif, dan asas yang ada dalam peradilan. Selanjutnya, teori-teori yang penulis temukan, penulis hubungkan dengan permasalahan tersebut, dilihat dari tujuan adanya praktek tersebut, akibat praktek tersebut, landasan hadirnya praktek tersebut yang dihubungkan dengan tanggapan hakim yang penulis temukan dari hasil wawancara.
E. Review Studi Terdahulu Dalam melakukan penulisan skripsi ini, penulis telah menemukan beberapa skripsi yang membahas tentang pembayaran nafkah iddah. Berikut skripsi- skripsi yang penulis temukan:
15
Oxford Student’s Dictionary of English, (Greet Clarendon Street: Oxford University Press, 2001), h. 519. 16
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1984), h. 13
13
Abrokhul Isnaini (107044202957) Jaminan Pelaksanaan Kewajiban Nafkah Iddah di Pengadilan Agama Jakarta Timur, skripsi tahun 2012. Dalam skripsi ini pokok pembahasannya mengenai langkah yang dilakukan Pengadilan Agama Jakarta timur dalam pelaksanaan kewajiban iddah terhadap istri. Perbedaan paling mendasar dari skripsi ini adalah tempat penelitiannya. Kemudian juga mengenai pembahasannya pada skripsi penulis, selain membahas pertimbangan hakim juga membahas korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dengan peraturan, asas yang berlaku pada Pengadilan Agama. Rohmad Heri Tricahyo (109044100035) Pelaksanaan Pembayaran Nafkah Iddah yang Diakibatkan Putusan Pengadilan Agama Cikarang Tahun 2013 skripsi tahun 2014. Dalam skripsi ini pokok pembahasannya adalah proses pelaksanaan pembayaran nafkah iddah, dan pertimbangan yang dilakukan hakim. Sedangkan pada skripsi penulis, perbedaan mendasarnya adalah tempat penelitianya. Kemudian pada skripsi penulis, pokok pembahasannya berada pada korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dengan peraturan, asas yang berlaku pada Pengadilan Agama. Jadi antara skripsi yang penulis angkat berbeda dengan skripsi yang telah ada. Perbedaan mendasarnya adalah tempat penelitianya. Kemudian pada skripsi ini pokok pembahasannya berada pada korelasi praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dengan peraturan, asas yang berlaku pada Pengadilan Agama. Korelasi di sini maksudnya adalah apakah peraturan dan asas yang ada mendorong praktek yang terjadi di Pengadilan Agama, atau bertolak belakang dengan praktek yang ada.
14
F. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan terdiri dari 5 bab yang terdiri dari: Bab Pertama, merupakan bagian pendahuluan yang memuat latar belakang, perumusan dan pembatasan masalah, tujuan dan manfaat, metode penelitian, review study, dan sistematika penulisan. Bab Kedua, merupakan pembahasan tentang nafkah iddah dan mut’ah yang membahas nafkah iddah dan mut’ah menurut fiqh Islam, meliputi pengertian, dasar hukum dalam Islam, pandangan ulama, serta ketentuan nafkah iddah dan mut’ah dalam peraturan perundangan. Bab Ketiga, memaparkan tentang asas Peradilan, yang meliputi asas-asas Peradilan Agama, dan asas-asas eksekusi. Kemudian juga membahas tentang deskripsi perceraian yang masuk pada tahun 2014, serta gambaran proses ikrar talak di persidangan. Bab Keempat, berisi tentang pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di Pengadilan Agama Batusangkar, yang memuat Praktek Pembaran Nafkah Iddah dan Mut;ah di persidangan, serta langkah yang dilakukan hakim ketika suami belum membawa kewajibannya ketika ikrar talak, dan ditutup dengan analisa penulis. Bab Kelima, Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
BAB II NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH
A. Nafkah Iddah Menurut Fiqih 1. Pengertian Nafkah Iddah Nafkah iddah terdiri dari dua kata Nafkah dan „Iddah. Secara bahasa kata Nafkah dan „Iddah berasal dari bahasa Arab. Kalau dikutip dari kamus al-
ُ ْال َمصْ رُو Munawwir kata Nafkah berasal dari kata ٌ النَّفَقَتyang bermakna ٌ ق ٌُ َ ٌو ٌْا ِال ْنفا َ ف yaitu biaya, belanja, pengeluaran uang.1 Dalam sebuah perkawinan nafqah merupakan hak istri dan anak-anak dalam hal makanan, pakaian, dan kediaman, serta beberapa kebutuhan pokok lainnya dan pengobatan, bahkan sekalipun si istri adalah seorang wanita yang kaya. Nafkah dalam hal ini wajib hukumnya berdasarkan Al-Qur‟an, Sunnah, dan Ijma‟ ulama.2 Pengertian kata „Iddah dikutip dari kamus Al Munawwir berasal dari kata
)َّ (عَدَّ–يَ ُعدyang berarti )َّ ( َظنyaitu menduga. Kataٌ )ُُ - ٌََُّ (عَدjuga dapat diartikan 3 sebagai )صى َ س َب َّ َو َّاَ ْح َ ( َحyang berarti menghitung. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Kata iddah juga diartikan sebagai masa tunggu (belum boleh menikah)
1
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, (Yogyakarta: 1984), h. 1548. 2
Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1992), h. 121 3
Ahmad Warson Munawwir, Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia, h. 968.
15
16
bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati.4 Selanjutnya dikutip dari kitab Fikih Sunnah, kata Iddah berasal dari kata al-„add dan al-ihsa‟, yang berarti hari-hari dan masa haid yang dihitung oleh perempuan.5 Dalam ta‟rif lain yang bunyinya: ٌ مدةٌتتربصٌفيهاٌالمرأةٌلتعرفٌبرائتٌرحمهاٌأوٌللتعبد Artinya: Masa tunggu yang harus dilalui oleh seorang perempuan untuk mengetahui bersihnya rahim perempuan itu atau untuk beribadah.6 Dari pemaparan di atas, dapat dipahami bahwa Nafkah Iddah merupakan sejumlah harta atau benda (uang), yang bernilai yang dapat dipergunakan untuk biaya hidup dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari selama dalam masa Iddah bagi wanita yang baru diceraikan. 2. Dasar Hukum Nafkah Iddah Praktek Nafkah Iddah ini telah berlangsung sejak zaman Nabi. Praktek ini didasarkan pada Al-Qur‟an. Berikut dasar hukum tentang praktek Nafkah iddah.
ٌٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌ ٌٌٌٌ ٌ ٌ ٌٌ ٌٌ ٌٌٌٌ
4
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008), h. 516. 5 6
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid 2, (Beirut: Darul Fikri, 1983), h. 277.
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), h. 304.
17
Artinya:
“Hendaklah
orang
yang
mampu
memberi
nafkah
menurut
kemampuannya. dan orang yang disempitkan rezkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan”. (Qs. At-Thalaq [65]:7) Ayat ini menjelaskan, hendaklah suami memberi nafkah kepada istri dan anaknya yang masih kecil sesuai dengan kemampuannya, hingga dia memberikan kelapangan kepada mereka, jika dia orang yang berkelapangan. 7 Imam Syafi‟I dan para sahabatnya berkata, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan”.8 Perceraian atau talak raj‟I (talak 1 dan 2) belumlah memutuskan perkawinan dalam makna yang sesungguhnya. Oleh karena itu, wanita yang telah di talak (raj‟i) suaminya, selama berada dalam masa „iddah tetap dipandang sebagai istri dari suaminya yang memiliki hak dan kewajiban kendatipun tidak penuh lagi.9
7
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam alQur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158. 8 9
Ibid, h. 158.
Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI), (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 245.
18
3. Pandangan Ulama Tentang Hukum Membayarkan Nafkah Iddah a. Wanita Dithalak Raj’i Wanita yang dithalak raj‟I berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal berdasarkan ijma‟ ulama. Ia masih sebagai istri dengan dalil firman Allah SWT, ٌ…ٌٌٌ ٌ ٌ …
Artinya: “…dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu,…”. (QS. Al- Baqarah 228) Dari potongan ayat Al-Qur‟an di atas diketahui bahwa suami yang mentalak istrinya (talak raj‟i) masih memiliki hak ruju‟ kepada istrinya selama dalam masa menanti (iddah), dan istrinya (yang dithalak) tersebut masih dianggap sebagai istrinya selama dalam iddah. Sehingga ketentuan dalam Al-Qur‟an surat Al-Baqarah ayat 233 masih berlaku bagi suami tersebut.
… …
Artinya: “… dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf. seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 233) Potongan ayat ini menyatakan bahwa suami berkewajiban untuk memberi nafkah kepada istri baik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
19
Ketentuan ayat ini berlaku kepada suami yang menthalak istrinya (raj‟i) karena istri tersebut masih dianggap sebagai istrinya meskipun sudah tidak penuh lagi. b. Wanita Dithalak Ketika Sedang Hamil Jika dia tengah berada dalam kondisi hamil, maka diwajibkan untuknya nafkah dengan berbagai jenisnya yang berbeda menurut kesepakatan para fuqaha.10 Hal ini berdasarkan Firman Allah SWT, dalam QS. At-Thalaq [65] ayat 6.
…
Artinya. “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,…”. (Qs. At-Thalaq[65]: 6) Dari ayat di atas jelaslah bahwa Allah mengisyaratkan kepada suamisuami yang menceraikan istri mereka untuk memberikan tempat tinggal, nafkah untuk memudahkan kehidupan istrinya, terlebih ketika istri tersebut sedang hamil. Asyhab mengutip dari Imam Malik: “suami harus keluar dari istri yang telah diceraikannya, jika dia memang sudah menceraikannya, dan dia pun harus meninggalkan istri yang diceraikannya itu dalam rumah. Hal ini berdasarkan 10
Wahbah Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, (Damasyqi: Darul Fikri alMa‟ashir, 2004), h. 7203.
20
firman Allah Ta‟ala, Tempatkanlah mereka. Jika sang suami tetap bersama istri yang telah diceraikannya, maka Allah tidak akan berfirman tempatkanlah mereka.11 Ayat ini juga menjadi dasar rujukan bagi para ulama untuk menetapkan kepada suami yang menceraikan istrinya sedang hamil maka dia diwajibkan membayarkan nafkah kepada istrinya sampai istrinya melahirkan. Tidak ada beda pendapat di antara para ulama tentang kewajiban memberi nafkah dan tempat tinggal kepada wanita yang sedang hamil kemudian diceraikan dengan talak tiga atau
kurang.
Kewajiban
itu
terus
berlanjut
sampai
dia
melahirkan
kandungannya.12 c. Wanita Dithalak Ba’in Tidak Hamil Adapun wanita yang iddah talak bain dan tidak hamil, maka ulama berbeda pendapat menyangkut nafkahnya.13 Menurut pendapat dari Mazhab Hanafi dijelaskan bahwa, Jika dia tidak tengah hamil, maka diwajibkan untuknya nafkah juga dengan berbagai jenisnya akibat tertahannya dia pada masa iddah demi hak suami.14 Nafkah ini dianggap sebagai hutang dan terhitung sejak talak dijatuhkan. Kewajiban untuk memberi nafkah istri tidak hilang hanya dengan keridhaan istrinya atau karena keputusan
11
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam alQur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 155. 12
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, Al-Jami‟ al-Ahkam alQur‟an, juz 18, jilid 9, (kairo), h. 168. 13
Zubair Ahmad, Relasi Suami Istri dalam Islam, editor Sri Mulyani, (Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2004), 73. 14
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7203.
21
pengadilan.15 Hukum wanita ber-„iddah akibat faskh-nya akad, menurut Hanafi, sama dengan wanita yang di talak ba‟in.16 Menurut Mazhab Hanbali tidak diwajibkan nafkah untuknya, dan tidak juga tempat tinggal karena Fatimah binti qais ditalak oleh suaminya dengan talak tiga, maka Rasulullah SAW tidak menetapkan untuknya nafkah dan tempat tinggal.17 Sebagaimana sabda Nabi;
َََح َدثَنَاٌََ َعقَ َوب:ا َ َال ََقَتٌَبَةَ ََاٌَض َ َق. َ از َم َ ََحَ َدثَنَاَعََبدَالَعَزٌََزَ ٌََعَنًََابَنَ ََابًََح:َس َعٌَد َ َ َاَقَتٌَبَةَ ََبن َ َوَحدَثن َت َ َاط َمةَ ََِبن َ َن َف َ ََع،َن ََابًََسَلَمَة َ َع، َ از َم َ َن ََابًََح َع َ َ –َي َ– َ َكلٌََهَمَا َ َالقار َ َ َحمَن َ َعَبدَالر َ َ ٌََعَنًََابَن َََفَلمَاَرََأتَ َ َذلَك، َ َق َعََلٌَهَاَنََفَق َة َ َدوَن َ ََوَكَانَ ََانَف،)َاَنهَ َطَلَقَ َهاَزَ َوجَهَاَفًََعَهَدَ َالنََبًَ(صلعم، َ َقٌََس َََوَانَ ََلم َ ،ًََت ََلى َنَفََق َة ََاخَذَتَ ََالذَىٌََصََلحَن َ َ َفَاَنَ َ َكان،)للا َ(صلعم َ َ ول َ َلعََلمَنَ َ َرس َ َ للا َ َو: َ ت َ قَ َال َل َ َو، َ ََ(لَ ََنفََق َة ََلك:ال َ َ(صلعم)َفق َ َ للا َ َ َت ََف َذكَرَتَ َ َذلَكَ ََلرَسَ َول َ َقَ َال،َتَكَنَ ََلًَنَفََق َة ََلمَ ََاخَذَمََنهَ َشٌََأ ٌٌَرواهَمسلم18.)سَ َكنَى Artinya: Dan telah bercerita kepada kami Qutaibah bin Sa‟id: menyampaikan kepada kami dari „Abdul Aziz bin Abu hazim. Qutaibah juga mengatakan telah bercerita kepada kami Ya‟qub bin „Abdurrahman al-Qari, dari abu hazim dari abu salamah dari Fatimah binti qais, sesungguhnya ia dithalak (tiga/thalak bain kubra) suaminya pada masa nabi Muhammad SAW, dan dia diberi nafkah sedikit, melihat hal ini ia (Fatimah binti qais) berkata: demi allah, aku akan, mengatakan hal ini kepada rasulullah SAW, maka jika aku berhak mendapat nafkah, aku akan mengambil nafkah yang dapat layak untukku, dan jika aku tidak berhak mendapat nafkah aku tidak akan mengambilnya apapun darinya. Dia (Fatimah binti qais) berkata maka aku mengatakan hal itu kepada rasulullah SAW, maka rasul bersabda: tidak ada nafkah bagimu, dan tempat tinggal. (HR. Muslim)
15
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH jilid 2, h. 287.
16
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib alKhamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, (Beirut: Darul Ilmu, 1964), h. 101. 17 18
Sayyid Sabiq, FIKIH SUNNAH jilid 2, h. 287.
Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi, Shaheh Muslim, hadis ke 3698, (Riyad: Darussalam, 1998), h. 639.
22
Selanjutnya pendapat dari Mazhab Maliki dan Syafi‟I menurutnya hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja,19 berdasarkan firman Allah SWT dalam QS. At-Thalaq [65] ayat 6
ٌ ٌٌٌ ٌ ٌٌ ٌ ٌٌٌٌٌ
.…ٌٌ ٌ ٌٌٌٌ ٌ Artinya: “Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu, dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin,…”. Dia diwajibkan untuk si istri tempat tinggal saja tanpa memedulikan apakah si istri dalam keadaan hamil ataupun tidak. Tidak diwajibkan untuknya nafkah makanan dan pakaian berdasarkan pemahaman firman Allah SWT, “jika mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah nafkahnya kepada mereka hingga mereka bersalin”. Pemahaman ayat ini menunjukkan bagi ketidakwajiban pemberian nafkah bagi istri yang tidak hamil.20 d. Istri yang Ber’iddah karena Kematian Suami Mengenai hak nafkah iddah mantan istri dalam keadaan „iddah akibat suaminya meninggal dunia menurut sebagian ulama tidak mempunyai hak nafkah
19
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7203.
20
Ibid, h. 7203.
23
maupun tempat tinggal, mengingat bahwa harta peninggalan suaminya kini telah menjadi hak ahli waris, termasuk ia dan anak-anaknya.21 Akan tetapi, Mazhab Maliki mewajibkan tempat tinggal untuknya selama masa iddah, jika tempat tinggal tersebut dimiliki oleh si suami. Atau rumah sewaan, dan dia telah bayar sewanya sebelum datang kematian. Jika tidak seperti itu, maka si suami tidak diwajibkan untuk membayar sewanya.22 Selanjutnya Syafi‟I mengatakan bahwa, apabila seorang wanita ditalak ba‟in, sedang dia dalam keadaan hamil, kemudian suaminya meninggal dunia (ketika si istri masih dalam „iddah), maka nafkah atas istri tidak terputus.23 Hanafi mengatakan: Apabila wanita yang ber-„iddah tersebut dalam keadaan talak raj‟I dan suami yang menceraikannya itu meninggal dunia ketika dia menjalani „iddahnya, maka „iddah-nya beralih ke „iddah wafat, dan kewajiban atas nafkah menjadi terputus, kecuali bila si wanita itu diminta untuk menjadikan nafkahnya sebagai hutang (atas suaminya) yang betul-betul dilaksanakannya. Dalam kondisi serupa ini nafkahnya tidak gugur.24 e. Istri yang Ber’iddah Akibat Perkawinan yang Syubhat Dalam hal jika dia tengah menjalani masa iddah akibat perkawinan yang rusak atau yang mengandung syubhat, maka tidak ada nafkah untuknya menurut
21
Muhammad baqir Al-Habsy, Fikih Praktis Menurut Al-Qur‟an dan Hadits, (Bandung: Mizan, 2002), h. 221-222. 22
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7204.
23
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib alKhamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 100-101. 24
Ibid, h. 101.
24
jumhur fuqaha. Karena tidak ada nafkah untuknya dalam perkawinan yang rusak, oleh karena itu tidak ada nafkah untuknya di tengah masa iddah dari si suami. Mazhab Maliki mewajibkan kepada orang yang menyetujui untuk memenuhi si istri jika dia tengah berada dalam kondisi hamil karena dia tertahan karena sebab si suami. Jika dia tidak dalam keadaan hamil, atau pernikahnnya di fasakh dengan li‟an, maka hanya diwajibkan untuknya tempat tinggal saja di tempat dia tinggal.25 f. Istri yang Menjadi Sebab Perceraian Dalam hal nusyuz, para ulama Mazhab sepakat bahwa istri yang melakukan nusyuz tidak berhak atas nafkah, tetapi mereka berbeda pendapat tentang batasan nusuz yang mengakibatkan gugurnya nafkah.26 Menurut Mazhab Maliki wanita yang memisahkan diri dari suaminya dengan talak khuluk tidak berhak memperoleh nafkah kecuali kalau dia sedang mengandung. Dan setiap wanita yang bercerai karena li‟an, tidak dapat menurut nafkah dari suaminya, sekalipun andaikan dia hamil.27 Dikutip dari kitab Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari‟ah Al Islamiyah dijelaskan bahwa tidak wajib nafkah dalam iddah bagi tiga macam perempuan. Pertama, perempuan yang pernikahnnya putus karena suaminya mati. Kedua,
25
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 7204.
26
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib alKhamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 101. 27
Abdur Rahman I Doi, Perkawinan dalam Syariat Islam, h. 127.
25
perempuan yang menjadi sebab putusnya perceraian. Ketiga, perempuan yang menikah dalam akad tidak sah (syubhat).28 4. Kadar Pemberian Nafkah Iddah Mengenai kadar dalam pemberian nafkah iddah ini, penulis tidak menemukan jumlahnya secara pasti. Namun para ulama Mazhab sepakat bahwa nafkah untuk istri itu wajib, yang meliputi tiga hal: pangan, sandang, dan papan. Mereka juga sepakat besar-kecilnya nafkah tergantung pada keadaan kedua belah pihak. Kalau suami-istri orang berada, maka nafkah yang wajib diberikan adalah nafkah orang berada, kalau mereka tidak mampu, maka nafkahnya disesuaikan pula dengan itu. Yang dimaksud dengan kadar “berada” dan “tidak berada”-nya istri adalah kadar berada dan tidaknya keluarganya, yakni kadar kehidupan keluarganya.29 Dalam hal keadaan mereka berbeda menurut Maliki dan Hanbali apabila yang satu kaya dan lainnya miskin maka besar nafkah yang ditentukan adalah setengah-setengah antara dua hal itu.30 Imam Syafi‟I dan para sahabatnya berkata, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang
28
Muhahmmad Muhyial-Din Abdal-Hamid, Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari‟ah Al Islamiyah, (Beirut: Dar al-Kitab al-„Arabi, 1404 H/1989 M), h. 349. 29
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib alKhamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 107. 30
Ibid, h. 107.
26
menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin. Kondisi istri dan kecukupannya tidak perlu dipertimbangkan”.31 Di kalangan Hanafi terdapat dua pendapat. Pertama, diperhitungkan berdasar kondisi suami-istri, dan yang kedua dengan berdasar kondisi suami saja.32 B. Mut’ah Menurut Fiqih 1. Pengertian Mut’ah
ٌَ َ ( َمتyang berarti membawa pergi. Jika Kata Mut‟ah berasal dari kata )ُيَ ْمتَع-ع kata Mut‟ah digabung dengan kata Thalaq (ق ٌِ َ ) ُم ْت َعتُ ٌالطَّالmaka artinya adalah barang-barang pemberian kepada istrinya yang ditalaknya.33 Dari pengertian kata mut‟ah dari bahasa Arab ini dapat dipahami bahwa mut‟ah dalam talak adalah suatu pemberian yang diberikan oleh suami kepada mantan istrinya sebagai penghibur. Pengertian kata mut‟ah dalam bahasa Indonesia dikutip dari kamus besar Bahasa Indonesia dijelaskan sebagai sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.34
31
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam alQur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158. 32
Muhammad Jawad Mughniyah, al-Ahwal as-Syakhshiyyah „Ala al-Mazahib alKhamsah Ja‟fari-Hanafi-Maliki-Syafi‟I-Hanbali, h. 107-108. 33 34
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, (Jakarta: PT. Hidakaraya Agung), h. 409.
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat, h. 945.
27
Dari pengertian kata Mut‟ah secara bahasa baik dari kamus bahasa Arab maupun kamus Indonesia di atas memiliki pengertian yang tidak jauh berbeda. Jadi dapat disimpulkan kata Mut‟ah secara bahasa adalah pemberian sepadan dari suami yang diberikan kepada mantan istrinya sebagai penghibur, baik berupa uang ataupun barang. 2. Dasar Hukum Mut’ah ٌ ٌٌٌٌ ٌٌٌٌٌٌ
Artinya: “kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut'ah menurut yang ma'ruf, sebagai suatu kewajiban bagi orangorang yang bertakwa”. (Qs. Al-Baqarah[2]: 241) Menurut Abu Ja‟far yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya “kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah mut‟ah (pemberian) oleh suaminya” ini adalah: sesuatu yang dapat menyenangkan berupa baju, pakaian, nafkah, pelayan, atau lainnya yang dapat menghibur hatinya. 35 3. Pandangan Ulama Tentang Hukum Membayarkan Mut’ah Dalam pembahasan ini yang dimaksud dengan mut‟ah ialah pemberian yang diberikan oleh suami kepada istrinya yang telah diceraikannya. 36 Mazhab Maliki mengartikannya sebagai kebaikan untuk perempuan yang diceraikan ketika
35
Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Tafsir ath-Thabari, jilid 2, (Kairo: Darussalam, 2007), 1424. 36
Kamal Muchtar, Asas2 hukum Islam tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 215.
28
terjadi perceraian dalam kadar sesuai dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta si suami.37 Ulama Mazhab berbeda pendapat mengenai kategori istri yang berhak mendapat Mut‟ah setelah diceraikan. a. Mazhab Hanafi Menurut Mazhab Hanafi mut‟ah hukumnya wajib dalam dua bentuk perceraian. Pertama, Perceraian mufawwidhah (tanpa mahar) sebelum terjadi persetubuhan. Atau disebutkan mahar untuk si istri dengan penentuan yang rusak. Maksudnya, perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dan khalwat dalam pernikahan yang di dalamnya tidak disebutkan mahar, dan tidak diwajibkan setelahnya atau penentuannya rusak. Pendapat ini disepakati oleh jumhur selain Mazhab Maliki.38 Kewajiban mut‟ah ini didasarkan kepada firman Allah SWT dalam QS. Al-Baqarah (2) ayat 236. Allah SWT memerintahkan untuk memberikan mut‟ah dan perintah memiliki arti wajib. Hal ini ditegaskan dalam penghujung ayat yang berbunyi,
37
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6829.
38
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6830.
29
Artinya: tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), Yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan. (QS. Al-Baqarah [2] ayat 236)
Juga karena mut‟ah dalam kondisi ini merupakan pengganti setengah bagian mahar wajib. Pengganti wajib adalah wajib karena dia menempati posisinya, seperti halnya tayammum yang merupakan pengganti wudhu.39 Kedua, Perceraian yang terjadi sebelum terjadi persetubuhan dalam pernikahan yang di dalamnya tidak disebutkan mahar, hanya saja diwajibkan setelahnya, menurut pendapat Abu Hanifah dan Muhammad, berdasarkan firman Allah SWT Surat Al- Ahzab ayat 49. 40
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuanperempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah, dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Qs. Al-Ahzab[33]: 49)
39
Ibid, h. 6830.
40
Ibid, h. 6830.
30
Mut‟ah itu hukumnya sunnah menurut pandangan Mazhab Hanafiyah dalam keadaan thalak yang terjadi setelah dukhul, dan juga dalam keadaan thalak sebelum dukhul dalam pernikahan yang didalamnya telah ditentukan maharnya. Karena sesungguhnya mut‟ah itu diwajibkan sebagai pengganti dari setengah bagian mahar. Maka jika mahar musamma atau mahar mitsil telah didapatkan setelah dukhul maka tidak perlu lagi mut‟ah.41 b. Mazhab Maliki Menurut Mazhab Maliki, sesungguhnya mut‟ah disunnahkan untuk setiap perempuan yang ditalak.42 Mereka berpendapat, ada tiga jenis perempuan yang ditalak; 1) perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum disebutkan mahar (perempuan mufawwidhah) memiliki hak mut‟ah, dan tidak memliki hak sedikit pun pada mahar. 2) Perempuan yang ditalak sebelum digauli, dan setelah disebutkan maharnya tidak memiliki hak mut‟ah. 3) Perempuan yang ditalak setelah digauli, baik sebelum disebutkan mahar maupun setelahnya, memiliki hak mut‟ah. Tidak ada hak mut‟ah pada setiap perpisahan yang di pilih oleh perempuan, seperti perempuan yang terkena penyakit gila, kusta dan lepra juga pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat khulu‟, ataupun li‟an.43
41
Ibid, h. 6831.
42
Ibid, h. 6831.
43
Ibid, h. 6831.
31
c. Mazhab Syafi’i Mazhab Syafi‟I mereka berpendapat, mut‟ah wajib untuk setiap perempuan
yang
diceraikan,
baik
perceraian
tersebut
sebelum
terjadi
persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang sebelum digauli yang telah ditentukan mahar untuknya, maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar. Mut‟ah harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah mahar. Menurut pendapat yang paling zahir juga wajib diberikan bagi perempuan yang telah digauli dan pada setiap perpisahan yang bukan disebabkan oleh si istri. Perpisahan ini terjadi akibat disebabkan si suami, seperti kemurtadan, li‟an, dan keislamannya. Sedangkan perempuan yang mesti mendapatkan setengah bagian mahar, dia mesti mendapatkannya. Sedangkan perempuan mufawwidhah yang tidak ditetapkan sedikitpun mahar untuknya, berhak untuk mendapatkan mut‟ah.44 Sedangkan jika ditetapkan sesuatu bagi si perempuan dalam nikah tafwidh maka tidak ada mut‟ah untuknya karena suami tidak mendapatkan manfaat sebagiannya, maka cukup dengan setengah bagian maharnya akibat rasa kesendirian, dan kehinaan yang dirasakan yang disebabkan perceraian.45
44
Ibid, h. 6831-6832.
45
Ibid, h. 6832.
32
d. Mazhab Hanbali Mazhab Hanbali sependapat dengan Mazhab Hanafi secara general, yaitu mut‟ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan budak, orang muslim dan ahli dzimmah untuk setiap istri mufawwidhah yang ditalak sebelum digauli, dan sebelum ditetapkan mahar untuknya.46 Menurut mereka mut‟ah disunnahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan yang selain mufawwidhah yang tidak ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan QS Al-Baqarah 241. Mut‟ah diwajibkan untuk perempuan yang tidak ditetapkan mahar untuk mereka, dan bagi perempuan yang diberikan setengah mahar musamma. Tidak ada mut‟ah bagi perempuan yang ditinggal mati karena nash AlQur‟an tidak menyebutkannya, dan yang disebutkan hanyalah perempuan yang ditalak. Mut‟ah gugur pada setiap objek yang membuat mahar gugur didalamnya, seperti tindakan kemurtadan dan penyusuan yang membuat batal pernikahannya.47 Orang yang diwajibkan memberikan setengah bagian mahar kepada si isteri, tidak wajib memberikan mut‟ah untuknya. Apakah itu adalah perempuan yang ditentukan mahar untuknya ataupun tidak ditentukan mahar untuknya tetapi ditetapkan setelah akad. Ini sependapat dengan pendapat jumhur selain Abu hanifah dan Muhammad.
46
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6832.
47
Ibid, h. 6832-6833.
33
Tidak ada mut‟ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah terjadi persetubuhan, atau perempuan mufawwidhah setelah terjadi persetubuhan. Akan tetapi, disunnahkan mut‟ah untuknya.48 4. Kadar Pemberian Mut’ah Tidak ada nash yang menentukan kadar dan jenis mut‟ah, sehingga para fuqaha melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi menentukan kadar mut‟ah adalah tiga buah baju, rompi (pakaian yang dikenakan orang perempuan diatas baju), kerudung, jubah yang dipergunakan orang perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki,49 berdasarkan firman Allah SWT,
… Artinya: “…yaitu pemberian yang patut. “Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan” (QS Al-Baqarah 236). Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar mitsil jika suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil juga tidak kurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin. Yang difatwakan adalah bahwa sesungguhnya mut‟ah dianggap sesuai dengan kondisi suami-istri seperti nafkah. Jadi jika keduanya adalah orang kaya, si istri berhak mendapat sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Jika keduanya
48
Ibid, h. 6833.
49
Ibid, h. 6834.
34
adalah orang miskin, maka sesuatu yang lebih rendah. Jika kondisi keduanya berbeda, maka yang pertengahan.50 Mazhab Syafi‟I berpendapat, Mut‟ah sebaiknya tidak kurang dari 30 dirham atau barang lain yang senilai, dan ini adalah yang paling rendah. Mut‟ah tertinggi adalah memberikan pembantu, dan yang tengah-tengah adalah memberikan pakaian; dan sunahnya ialah mut‟ah itu tidak melebihi separuh nilai mahar mitsil. Namun, Jika sampai setengah atau melebihi mahar boleh, 51 dengan kemutlakan Surat al-Baqarah ayat 236,
… … Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 236) Jika suami-istri saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilai dengan hasil ijtihadnya sesuai dengan kelayakan kondisi dengan memperhatikan kondisi kedua suami-istri, sebagaimana dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat.52 Dasar hukum yang digunakan kalangan Mazhab Syafi‟I ini berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah 236.
… …
50
Ibid, h. 6834.
51
Wahbah az-Zuhayli, al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9, h. 6834.
52
Ibid, h. 6834.
35
Artinya: “… dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula),…”. (Qs. Al-Baqarah [2]: 236) Mazhab Maliki dan Hanbali berpendapat, mut‟ah dilihat dari kondisi kaya dan miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang miskin juga sesuai dengan kadarnya. Berdasakan ayat 233 surat Al-Baqarah di atas. Tingkatan yang paling tingginya adalah pembantu, maksudnya nilai pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya. Yang paling rendah adalah jika si suami adalah orang miskin adalah pakaian lengkap yang dapat digunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa rompi dan kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendahnya adalah tiga buah pakaian sebagaimana yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang terdiri rompi (baju), kerudung yang menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan perkatan ibnu Abbas, “mut‟ah yang paling tinggi adalah pembantu, kemudian yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang paling rendah adalah pakaian”. Secara zahir, yang paling rajah adalah pendapat ini.53 C. Nafkah Iddah dan Mut’ah dalam Hukum Positif di Indonesia 1. Nafkah Iddah dalam Hukum Positif Nafkah Iddah adalah salah satu kewajiban yang timbul ketika terjadi perceraian karena talak. Dalam UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 pasal 41 ayat (c) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian maka pengadilan dapat mewajibkan
53
Ibid, h. 6834-6835.
36
kepada suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan isteri. Secara lebih rinci dalam KHI dijelaskan dalam pasal 149 bahwa apabila perkawinan putus karena talak maka bekas suami dapat diwajibkan beberapa hal. Dalam poin b disebutkan salah satu kewajiban suami tersebut adalah untuk memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas isteri selama dalam iddah kecuali bekas isteri telah di jatuhi talak ba‟in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Dari potongan pasal ini dapat dipahami bahwa mantan suami berkewajiban untuk memberikan sejumlah nafkah kepada mantan istrinya selama dalam masa iddah. Permohonan untuk meminta hak berupa nafkah iddah tersebut dapat dilakukan bersama-sama permohonan ikrar talak dan bisa juga ketika ikrar talak telah dilakukan, sebagaimana hal ini telah dijelaskan dalam UU No 7 Tahun 1989 pasal 66 ayat 5.54 Kalau dicermati, suami mempunyai kewajiban ini karena perkawinan mereka putus karena talak dalam hal ini talak raj‟I, 55 yang mana dalam talak raj‟I suami tersebut masih mempunyai hak untuk rujuk. Hal ini karena sesungguhnya antara mereka masih menjadi pasangan suami istri sampai iddah istrinya habis.
54
Permohonan ini dapat dilakukan oleh pihak pemohon maupun termohon, lihat PP No 9 Tahun 1975 pasal 24 ayat b. 55
kecuali dalam talak ba‟in yang istrinya sedang hamil, maka mantan suaminya berkewajiban juga memberikan nafkah kepada mantan istrinya sampai ia melahirkan lihat pasal 149 (b) KHI.
37
Ketentuan tentang rujuk ini terlihat dari pasal 151 KHI yang menjelaskan bahwa mantan isteri selama dalam iddah, wajib menjaga dirinya, tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain. Pasal ini mengisyaratkan bahwa yang paling berhak terhadap diri mantan istri tersebut adalah mantan suaminya, ketika mantan suaminya ingin rujuk maka mereka diperbolehkan rujuk, dan mantan istri tidak boleh menerima pinangan dari lelaki lain selama masa iddah ini. Masa iddah ini selain untuk melihat rahim, juga berguna sebagai masa pertimbangan bagi mantan suami apakah akan kembali, atau tetap bercerai. Maka dari itu menurut penulis suami diwajibkan membayar nafkah pada masa iddah karena istri tersebut tertahan dan tidak bisa menerima pinangan pria lain disebabkan hak ruju‟ yang dimiliki suami, namun kewajiban suami memberikan nafkah iddah akan gugur ketika mantan istri nusyuz.56 Mengenai ukuran nafkah iddah dalam peraturan di indonesia, penulis tidak menemukan jumlahnya secara pasti. Namun dalam PP No. 9 Tahun 1975 dan dalam UU Peradilan Agama No. 7 Tahun 1989 dijelaskan bahwa selama berlangsungnya gugatan perceraian berdasarkan permohonan pemohon ataupun termohon, pengadilan dapat menentukan jumlah nafkah yang harus ditanggung oleh suami.57 Dari peraturan tentang Nafkah iddah ini, tidak terdapat pedoman khusus tentang jumlah nafkah yang akan ditanggung suami. Hakim dalam hal ini akan 56
Bekas isteri berhak mendapatkan nafkah iddah dari bekas suaminya kecuali ia nusyuz lihat pasal 152 KHI. 57
Pasal 78.
Lihat PP No 9 Tahun 1975 Pasal 24 (2) dan UU Peradilan Agama No 7 Tahun 1989
38
mencari jalan tengah agar nafkah yang akan dibebankan kepada suami tersebut dapat membantu kebutuhan mantan istrinya, dan tidak terlalu memberatkan mantan suami tersebut. 2. Mut’ah dalam Hukum Positif Ketentuan mut‟ah ini telah diatur dalam hukum positif yang ada di
Indonesia. Sebagaimana dalam pasal 41 (c) UU No 1 Tahun 1974. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa suami dapat dibebankan suatu kewajiban setelah perceraian. Mengenai kewajiban tersebut dijelaskan lebih rinci dalam KHI. Pada pasal 149 KHI dijelaskan mengenai kewajiban-kewajiban yang dapat dibebankan kepada mantan suami. Pada poin (a) dijelaskan bahwa ketika terjadi perceraian karena talak mantan suami berkewajiban untuk memberikan mut`ah yang layak kepada bekas isterinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas isteri tersebut qobla al dukhul. Dalam KHI dijelaskan pada pasal 158 bahwa suami menjadi wajib memberikan mut‟ah jika: a. Belum ditetapkan mahar bagi isteri ba`da al dukhul; b. Perceraian itu atas kehendak suami. Berdasarkan pasal 158 ayat (b) ini, jika perceraian tersebut berasal dari kehendak istri yaitu dengan jalan khulu‟, maka suami tidak wajib untuk membayarkan mut‟ah kepada mantan istrinya. Suami berkewajiban memberikan mut‟ah apabila syarat yang terdapat dalam KHI pasal 158 tersebut ada. Apabila tidak terdapat ketentuan yang disebutkan dalam pasal 158 KHI ini, maka suami tidak wajib untuk memberikan mut‟ah kepada mantan istrinya. Hukum suami
39
memberikan mut‟ah ketika tidak terpenuhinya ketentuan pasal 158 KHI ini menjadi sunnah, sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 159 KHI “Mut`ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158”. Mengenai ukuran mut‟ah yang dibebankan kepada mantan suami, tidak terdapat pedoman khusus dalam peraturan perundangan. Namun dalam pasal 160 KHI dijelaskan bahwa ukuran mut‟ah ditentukan berdasarkan kemampuan suami. Sehingga besar/kecilnya mut‟ah tergantung kemampuan suami. Hal ini sesuai dengan pendapat Imam Syafi‟I dan para sahabatnya, mereka berpendapat bahwa, “Nafkah itu harus ditentukan dan dibatasi. Hakim dan mufti tidak perlu melakukan ijtihad dalam hal ini. Yang menjadi pertimbangan dalam hal ini adalah kondisi suami seorang, apakah dia itu kaya atau miskin.58
58
Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jami‟ al-Ahkam alQur‟an, juz 18, jilid 9, (Beirut: 1995), h. 158.
BAB III ASAS PERADILAN DAN GAMBARAN PRAKTEK IKRAR TALAK
A. Asas–Asas Peradilan 1. Asas-Asas Peradilan Agama Hukum Acara yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah sama dengan yang berlaku pada lingkungan peradilan umum, kecuali hal-hal yang telah disebut secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tersebut1 (Kini UU No. 7 Tahun 1989 telah mengalami dua kali perubahan, perubahan pertama UU. No 3 Tahun 2006, Perubahan kedua UU No. 50 Tahun 2009).
Dalam Peradilan Agama dikenal adanya beberapa asas sebagai berikut. a. Asas Personalita keIslaman Asas personalita keIslaman berarti, mereka yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanya mereka yang mengaku pemeluk Agama Islam. Penganut agama lain di luar Islam atau non muslim tidak tunduk dan tidak dapat dipaksa tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama.2 Asas personalita keIslaman ini diatur dalam pasal 1, pasal 2, serta pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 (yang telah dirubah
1
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000), h. 5. 2
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 56.
40
41
menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama. Berdasarkan ketentuan di atas, ketika Pengadilan Agama memutus perkara antara orang yang tidak beragama Islam, maka terhadap putusan Pengadilan Agama tersebut dapat dilakukan upaya hukum banding ataupun PK. Selama proses persidangan masih berlangsung para pihak juga bisa melakukan eksepsi, karena dalam hal ini perkara tersebut tidak termasuk wewenang Pengadilan Agama. b. Asas Tidak Boleh Menolak Perkara dengan Alasan Hukum Tidak Jelas Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas diatur di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Pengadilan merupakan lembaga yang bertugas memeriksa, menyelesaikan dan memutus perkara. Dalam hal hakim tidak menemukan hukum tertulis (peraturan perundang-undangan), hakim wajib berijtihad dan menggali hukum yang tidak tertulis untuk memutuskan hukum sebagai orang yang bijaksana, dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan Negara.
42
Badan peradilan yang dalam hal ini hakim harus tanggap atas kebutuhan pencari keadilan. Selain itu hakim juga harus menggali, mengikuti, dan memahami niali-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.3 c. Asas Legalitas Asas legalitas tercantum dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 (telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama yang berbunyi: pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Pengertian makna legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law pengadilan mengadili menurut hukum sama maknanya dengan pengadilan mengadili berdasar rule of law. Ini berarti hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkan jalannya roda peradilan melalui badan pengadilan, tidak boleh bertindak di luar hukum.4 Semua nilai normatif yang berkembang dari komponen sumber nilai seperti agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan merupakan rule of law dari suatu masyarakat bangsa. Sehingga hukum yang hendak ditegakkan para hakim melalui fungsi dan kewenangan peradilan ialah semua nilai normatif yang terdapat dalam peraturan dan perundang-undangan serta yang bersumber
3
Taufiq Hamami, Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. (Jakarta: PT. Tatanusa, 2013), h. 165. 4
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), h. 82.
43
dari nilai-nilai kekuatan agama, moral, ekonomi, kultur, kebiasaan, dan kepatutan.5 d. Asas Equality Pengertian asas equality adalah persamaan hak. Jika asas equality dikaitkan dengan fungsi peradilan, berarti setiap orang yang datang berhadapan di sidang pengadilan adalah “sama hak dan kedudukannya”.6 Tujuan asas equality dalam praktek Peradilan Agama diantaranya terdapat tiga hal yang paling fundamentum. (1) Persamaan hak dan derajat dalam proses pemeriksaan persidangan pengadilan atau equal before the law, (2) Hak perlindungan yang sama oleh hukum atau equal protection on the law, (3) Mendapat hak perlakuan yang sama di bawah hukum atau equal justice under the law atau equal treatment uder the law. Ketiga hal inilah pedoman dalam menerapkan persamaan hak dan kedudukan dalam proses peradilan. Serta sekaligus ketiga hal itulah makna yang terkandung dalam pasal 58 ayat 1 UU No. 7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.7
5
Ibid, h. 83.
6
Ibid, h. 85.
7
Ibid, h. 86.
44
e. Asas Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan Asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan diatur dalam pasal 57 ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 (kini dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama. Makna yang dicita-citakan adalah pertama, suatu proses pemeriksaan yang relatif tidak memakan jangka waktu lama sampai bertahun-tahun sesuai dengan kesederhanaan hukum acara itu sendiri. Apa yang memang sudah sederhana jangan sengaja dipersulit oleh hakim ke arah proses pemeriksaan yang berbelitbelit dan tersendat-sendat. Jangan sampai jalannya pemeriksaan “mundur terus”, untuk kesekian puluh kali atas berbagai alasan yang tidak sah menurut hukum. Kedua, penerapan asas ini tidak boleh pemeriksaan
mengurangi “ketepatan”
dan penilaian menurut hukum dan keadilan. Kesedehanaan,
kecepatan pemeriksaan, jangan dimanipulasi untuk membelokkan hukum, kebenaran, dan keadilan.8 Dalam suatu putusan yang cepat dan tepat terkandung keadilan yang “bernilai lebih”. Ketepatan putusan sesuai hukum, kebenaran dan keadilan itu saja sudah
mengandung
nilai
keadilan
tersendiri,
dan
dengan
kecepatan
penyelesaiannya pun mengandung nilai keadilan tersendiri, sehingga dalam
8
Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 70-71.
45
putusan yang cepat dan tepat terdapat penjumlahan rasa nilai keadilan yang saling mengisi dalam penegakkan hukum.9 f. Asas Persidangan Terbuka Untuk Umum Secara harfiah, makna pemeriksaan sidang terbuka untuk umum, berarti setiap pemeriksaan berlangsung di sidang pengadilan, siapa saja yang ingin berkunjung menghadiri, menyaksikan, dan mendengar, jalannya pemeriksaan, tidak boleh dihalangi dan dilarang. Selain dari pihak-pihak yang berperkara dan saksi, masyarakat umum tanpa kecuali boleh menghadiri pemeriksaan persidangan tanpa mempersoalkan apakah dia berkepentingan atau tidak. Maka untuk memenuhi syarat formal atas ini, sebelum hakim mulai melakukan pemeriksaan, lebih dulu menyatakan dan mengumumkan: “persidangan terbuka untuk umum”. Kelalaian memenuhi syarat formal tersebut dapat dianggap melanggar tata tertib pemeriksaan. Tujuan utama yang terkandung dalam asas persidangan terbuka, agar jangan sampai terjadi pemeriksaan gelap dan bisik-bisik. Agar jalannya sidang pemeriksaan berlangsung tidak memihak, dan tidak berat sebelah, UndangUndang merasa perlu mempesilakan masyarakat untuk menyaksikannya. Segi lain, asas ini juga berdampak “edukasi” dan “prevensi”.10 Penerapan asas persidangan terbuka untuk umum dikecualikan dalam pemeriksaan perkara perceraian. Mengenai pengecualian ini, pasal 59 ayat 1 UU
9
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), h. 72. 10
Ibid, h. 73.
46
No. 7 Tahun 1989 (telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama sendiri sudah membuka kemungkinan itu dalam rumusan: “kecuali apabila Undang-Undang menentukan lain”. Hal ini sesuai dengan doktrin hukum yang mengajarkan “lex specialis drogat lex generalis”. Ketentuan khusus menyampingkan ketentuan umum. Keadaan inilah yang diatur dalam pasal 80 ayat ayat 2 UU No. 7 Tahun 1989 jo PP No. 9 Tahun 1975 pasal 33 yang berbunyi “pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup”.11 Pemeriksaan sidang tertutup dalam perkara perceraian, hanya menjangkau selama proses pemeriksaan saja. Penerapannya, hanya meliputi proses pemeriksaaan, dan tidak meliputi pengucapan putusan. Sebagaimana tercantum dalam pasal 81 ayat (1) UU No. 7 tahun 1989 jo pasal 34 ayat 1 PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi, “putusan pengadilan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. Ketentuan ini bersifat “imperative” dan bernilai sebagai aturan “ketertiban umum” yang tidak bisa dikesampingkan dengan alasan apa pun. Pelanggaran atas ketentuan ini mengakibatkan putusan “batal demi hukum”.12 g. Asas kebebasan Pada dasarnya, asas kebebasan hakim dan peradilan yang digariskan dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 1989, merujuk dan bersumber kepada ketentuan yang diatur dalam pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 dan pasal 1 ayat 1 dan 11
Ibid, h. 74.
12
Ibid, h. 76-77.
47
pasal 3 ayat 2 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Maksud asas kebebasan ini terbatas dan relative dengan acuan berikut. (1) Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan Negara lainnya. (2) Bebas dari paksaan, direktiva, atau rekomnedasi yang dating dari pihak extra judicial. (3) Kebebasan melaksanakan wewenang judicial (peradilan). Sifat kebebasannya “tidak mutlak”, tapi kebebasan hakim terbatas dan relatif dengan acuan: Menetapkan hukum yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang tepat dan benar dalam menyelesaikan kasus perkara yang sedang diperiksanya, sesuai dengan asas dan statute law must prevail (ketentuan UndangUndang harus diunggulkan); Menafsirkan hukum yang tepat melalui cara-cara pendekatan penafsiran yang dibenarkan (penafsiran sistematik, sosiologis, bahasa, anologis, dan a contrario), atau mengutamakan keadilan dari pada peraturan perundang-undangan, apabila ketentuan Undang-Undang tidak potensial melindung kepentingan umum. Penerapan yang demikian sesuai dengan doktrin equity must prevail (keadilan harus diunggulkan). Kebebasan untuk mencari dan menemukan hukum (rechts vinding), dasardasar dan asas-asas hukum melalui doktrin ilmu hukum, norma hukum tidak tertulis (hukum adat), yurispudensi maupun melalui pendekatan “realisme” yakni
48
mencari dan menemukan hukum yang terdapat pada nilai ekonomi, moral, agama, kepatuhan, dan kelaziman.13 h. Asas Wajib Mendamaikan Asas kewajiban hakim mendamaikan pihak-pihak yang berperkara sangat sejalan dengan tuntunan dan tuntutan ajaran moral Islam. Islam selalu menyuruh menyelesaikan setiap perselisihan dan persengketaan melaui pendekatan ishlah. karena itu, layak sekali hakim Peradilan Agama menyadari dan mengemban fungsi “mendamaikan”. Sebab bagaimanapun adilnya putusan, namun akan lebih baik dan lebih adil hasil perdamaian.14 Asas kewajiban mendamaikan diatur dalam UU No. 7 tahun 1989. Asas tersebut tercantum dalam pasal 65 dan pasal 82. Jika rumusan kedua pasal ini diteliti, bunyi rumusan dan maknanya sama dengan apa yang tercantum dalam pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974 dan pasal 31 PP No. 9 Tahun 1975, yang berbunyi: (1) Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua belah pihak. (2) Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan.15
13
Lihat M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 61-62. 14
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), h. 65. 15
Ibid, h. 67.
49
Rumusan pasal-pasal tersebut sejajar dengan prinsip hukum acara perdata yang diatur dlam pasal 130 HIR atau pasal 154 RBG, yang mengatur tata tertib prosese pemeriksaan perkara.16 Ketentuan dari asas ini berimplikasi pada lahirnya PERMA RI tentang mediasi. Dalam rumusannya menekankan agar hakim selama masa persidangan selalu berusaha untuk mendamaikan pihak yang berperkara, karena seadil apapun sebuah putusan, tidak akan dapat mengalahkan keadilan yang terkadung dalam perdamaian. 2. Asas-Asas Eksekusi Putusan hakim dapat dilaksanakan Secara sukrela, atau Secara paksa dengan menggunakan alat Negara, apabila pihak terhukum tidak mau melaksanakan secara sukarela.17 Ketika putusan tersebut tidak dilaksanakan secara sukarela oleh pihak yang dikalahkan, maka terhadap putusan tersebut dapat dimintakan pelaksanaan eksekusi. Ekesekusi merupakan suatu tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu pekara, yang merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi
16 17
Ibid, h. 68.
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 313.
50
tiada lain daripada tindakan berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata.18 Berbicara mengenai eksekusi putusan berarti berbicara mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi tuntutan penggugat kepada tergugat.19 Cara-cara menjalankan putusan pengadilan yang disebut eksekusi tadi diatur mulai Pasal 195 sampai Pasal 224 HIR atau Pasal 206 sampai Pasal 258 R.Bg.20 Pada prinsipnya, hanya putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (inkracht van gewjisde) yang dapat “dijalankan”.21 Asas-asas yang terkandung dalam eksekusi adalah: a. Eksekusi (Pelakasanaan Putusan) Dijalankan Terhadap Putusan yang Telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap Inilah salah satu asas atau prinsip yang mesti diperhatikan pada saat hendak melakukan eksekusi. Dalam Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara dijelaskan, hanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan (pasal 115 UU No. 5/86).22 Karena hanya dalam putusan yang telah berkekuatan hukum tetap terkandung wujud hubungan hukum yang tetap (fixed) dan pasti antara pihak yang berperkara.23
18
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h. 1. 19
Ibid, h. 7.
20
Ibid, h. 2.
21
Ibid, h. 7.
22
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004), h. 214. 23
M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, h. 7.
51
Akan tetapi pada asas tersebut terdapat pengecualian. Dalam kasus-kasus tertentu, Undang-Undang memperbolehkan eksekusi terhadap putusan yang belum memperoleh kekuatan hukum tetap.24 b. Eksekusi Atas Perintah dan Dibawah Pimpinan Ketua Pengadilan25 Pelaksanaan eksekusi hanya dapat dilakukan atas perintah ketua Pengadilan. Jadi ketika pihak yang menang ingin melakukan tindakan eksekusi harus mendapat persetujuan Ketua Pengadilan yang bersangkutan, kemudian barulah tindakan eksekusi bisa dilaksanakan. Tahap pertama sebelum eksekusi dilaksanakan adalah pemberian peringatan kepada pihak yang kalah agar melaksanakan isi putusan. c. Putusan yang Dapat Dieksekusi Adalah Putusan yang Bersifat Condemnatoir Artinya mengandung suatu penghukuman. Putusan-putusan yang amar atau diktumnya adalah declaratoir atau konstitutif tidak perlu dieksekusi, karena begitu putusan-putusan yang demikian itu diucapkan, maka keadaan yang dinyatakan sah oleh putusan declaratoir mulai berlaku pada saat itu juga, atau dalam halnya putusan konstitutif, keadaan baru sudah tercipta pada detik itu pula. Putusan condemnatoir bisa berupa penghukuman untuk: a) Menyerahkan suatu barang; b) Mengosongkan sebidang tanah; c) Melakukan suatu perubahan tertentu;
24
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 214.
25
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 119.
52
d) Menghentikan suatu perbuatan/keadaan; e) Membayar sejumlah uang. Dari kelima bentuk putusan condemnatoir, dari poin a sampai dengan poin d adalah penghukuman yang berbentuk ekesekusi rill, sedangkan e adalah eksekusi pembayaran sejumlah uang. Pada umumnya eksekusi rill sangat sederhana dan hanya meliputi barang tertentu, misalnya barang yang menjadi sengketa adalah sebidang tanah, maka eksekusi rillnya terbatas pada pengosongan dan penyerahan tanah yang menjadi sengketa. Eksekusi rill tidak dapat berkembang terhadap harta tergugat yang lain. Berbeda dengan eksekusi pembayaran sejumlah uang, berlaku asas obyek eksekusi meliputi semua harta debitur, dengan kata lain sampai semua hutang (tagihan) terlunasi. Ini sesuai dengan prinsip hukum perdata yang menentukan semua harta kekayaan debitur memikul beban untuk melunasi hutang kepada kreditur sampai terpenuhi seluruh pembayaran hutang.26 d. Eksekusi Dijalankan Terhadap Putusan yang Tidak Dijalankan Secara Sukarela Dalam menyikapi putusan, adakalanya pihak yang kalah melakukannya secara sukarela dan ada juga yang tidak ingin melakukannya. Ketika pihak yang kalah melakukan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap secara sukarela sesuai dengan putusan yang ada, maka tindakan eksekusi tidak dibutuhkan lagi.
26
Moh. Taufik Makarao, Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata, h. 216.
53
Pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baru merupakan pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela. Jika pihak yang kalah bersedia mentaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dengan menjalankan putusan secara eksekusi.27 e. Eksekusi Harus Sesuai dengan Amar Putusan28 Pelaksanaan eksekusi harus sesuai dengan amar dalam putusan. Eksekusi tidak bisa dilaksanakan terhadap sesuatu yang tidak diputuskan dalam putusan hakim. Pelaksanaan eksekusi terhadap sesuatu yang tidak terdapat dalam putusan tidak dibenarkan dan tidak mempunyai kekuatan hukum.
B. Deskripsi Perkara Cerai Talak di Pengadilan Agama Batusangkar Tahun 2014 Dalam pasal 2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, dijelaskan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu. Perkara perdata tertentu yang dimaksud pasal 2 di atas dijelaskan dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama secara rinci.
27
Ibid, h. 215-216.
28
Elfrida R Gultom, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Literata, 2010), h. 119.
54
Wewenang Absolute Peradilan Agama berdasarkan pasal 49 tersebut adalah dalam bidang Perkawinan, Warisan, Wasiat, Hibah, Wakaf, Zakat, Infaq, Shadaqah, Ekonomi Syariah. Pengadilan Agama Batusangkar merupakan salah satu lembaga Peradilan tingkat pertama yang berada di Batusangkar. Sebagai lembaga Peradilan Agama, Pengadilan Agama Batusangkar juga berkewajiban terhadap perkara-perkara yang disebut dalam pasal 49 Undang-Undang No. 3 tahun 2006 di atas, yang telah mengalami perubahan menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Selama tahun 2014 Pengadilan Agama Batusangkar sebagai salah satu Pengadilan Agama di Indonesia telah menangani sejumlah kasus dari berbagai kategori, hal ini dapat dilihat dalam table sebagai berikut: Table 1. Statistik Perkara Pada Tahun 2014 No
JENIS PERKARA
Sisa Tahun lalu
Tahun 2014 Masuk 1
2
3
4
5
6
7
8
Jmlh 9
10
11
12
A
PERKAWINAN
1
Izin poligami
0
2
0
6
Pencegahan Perkawinan Penolakan Perkawinan oleh PPN Pembatalan Perkawinan Kelalaian atas kewajiban suami istri Cerai Talak
20
13
13
14
4
14
11
12
21
10
15
8
1
156
7
Cerai Gugat
46
38
47
25
26
34
29
9
50
45
28
31
4
412
8
10
Harta Bersama Penguasaan anak/pengangkatan anak Nafkah anak oleh ibu
11
Hak-hak bekas istri
0
12
Pengesahan anak
0
13
Pencabutan kekuasaan orang tua
0
14
Perwalian
0
3 4 5
9
0 1
1 0
1 1
1
1 1
3 0
55
15
0
17
Pencabutan Kekuasaan Wali Penunjukkan orang lain sebagai wali/adopsi Ganti rugi terhadap wali
18
Asal usul anak
0
19
Penetapan kawin campur
0
20
Isbat nikah
21
Izin kawin
22
Dispensasi kawin
23
wali adhol
B
EKONOMI SYARIAH
0
C
KEWARISAN
0
D
WASIAT
0
E
WAKAF
0
F
ZAKAT/INFAQ/SHADAQOH P3HP/PENETAPAN AHLI WARIS LAIN-LAIN / JUMLAH
0
16
G H
JUMLAH
0 0
5
3
13
19
13
4
10
3
10
8
9
6
108 0
3 1
2
2
1
1
1
1
1
3
1
1
14 1
5
1
1 0
72
55
77
62
46
54
51
24
83
68
53
46
Dari table di atas terlihat jumlah perkara yang diterima Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 sekitar 629 perkara. Jika ditambahkan dengan jumlah perkara yang bersisa pada tahun sebelumnya, maka jumlah perkara yang ditangani Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah 701 perkara. Dari table di atas terlihat perkara yang paling banyak ditangani Pengadilan Agama Batusangkar pada tahun 2014 adalah perkara cerai gugat, dan cerai talak. Urutan ketiga perkara isbat nikah dan diikuti perkara dispensasi kawin. Gambaran yang lebih jelas mengenai perkara cerai talak pada tahun 2014 dapat dilihat dari grafik berikut.
5
10
701
56
Gambar 1. Grafik Perkara Cerai Talak Tahun 2014 Perbulan 35 30 25 20 15
Masuk
10
Putus
5
Sisa
0
Dari grafik di atas, terlihat perkara masuk cerai talak yang paling banyak terjadi pada bulan Agustus, dan yang paling sedikit terjadi pada bulan Desember. Berdasarkan grafik perkara cerai talak ini, dapat disimpulkan bahwa perkara cerai talak yang masuk pada tahun 2014 di Pengadilan Agama Batusangkar sebanyak 136 perkara. Hal ini bisa dilihat dari penjumlahan perkara masuk (warna biru) perbulan. Jika ditambahkan dengan sisa dari perkara cerai talak tahun lalu maka perkara cerai talak yang ditangani Pengadilan Agama pada tahun 2014 adalah 156 perkara. Pada setiap bulan terdapat perkara yang masuk (warna biru), dan terdapat perkara yang putus (warna merah). Pada bulan Januari perkara yang masuk adalah 13 perkara ditambah dengan sisa perkara tahun lalu maka perkara cerai talak yang ditangani pada bulan Januari adalah 33 perkara. Pada bulan Januari perkara yang putus sekitar 9 perkara, sehingga jumlah perkara cerai talak yang bersisa pada bulan januari adalah 24 perkara (warna hijau). Sisa 24 perkara ini kemudian ditambahkan dengan jumlah perkara yang masuk pada bulan Februari untuk
57
melihat jumlah perkara yang ditangani pengadilan pada bulan Februari, begitulah seterusnya. Berdasarkan grafik di atas, terlihat perkara cerai talak yang ditangani PA Batusangkar selama tahun 2014 adalah 156 perkara, dan perkara cerai talak putus pada tahun 2014 adalah 145 perkara (92.9%). Perkara yang tersisa pada tahun 2014 adalah 11 perkara (7.1%). Terdapat penurunan sisa perkara kalau dibandingkan dari tahun sebelumnya yang bersisa 20 perkara. Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ditemukan dua alasan yang sangat dominan yang dapat menyebabkan para pihak mengajukan perceraian. Pertama, disebabkan tidak adanya tanggug jawab dari pasangannya. Kedua, tidak ada keharmonisan dalam rumah tangganya.29
C. Gambaran Umum Proses Ikrar Talak Tata cara pengucapan ikrar talak diatur dalam pasal 70, 71, dan 72 UU No. 7 Tahun 1989 yang kini telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Dalam pasal 70 ayat 3 UU No. 7 Tahun 1989 (kini telah dirubah menjadi UU No. 3 Tahun 2006 dan perubahan kedua menjadi UU No. 50 Tahun 2009) tentang Peradilan Agama tersebut, ditegaskan bahwa, pelaksanaan ikrar talak baru dapat dijalankan setelah penetapan permohonan cerai talak memperoleh kekuatan hukum tetap. Tujuannya disamping memenuhi tuntutan asas peradilan yang
29
Data sebab perceraian tahun 2014.
58
sederhana, dan cepat, sekaligus memberi kepastian kepada pihak suami isteri untuk menempuh jalan dan kehidupan baru, terutama kepada pihak istri yang sangat penting artinya, agar dia tidak berada dalam “kalmullqat” yakni dalam keadaan terombang-ambing yang berkelamaan.30 Hal ini sangat tidak dikehendaki ajaran Islam seperti yang diperingatkan dalam Qs. An-Nisa (4) :129. Dalam memberikan putusan, hakim harus mengadili seluruh petitum dalam permohonan dan tidak boleh mengadili lebih dari yang diminta dalam petitum (pasal 178 HIR/pasal 189 R.Bg), kecuali Undang-Undang menentukan lain. Hal tersebut dimaksudkan untuk terwujudnya perceraian yang adil dan ihsan, di samping untuk terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Putusan hakim mengabulkan permohonan cerai talak tersebut harus berbentuk “PUTUSAN” dengan amar berjudul “MENETAPKAN”, kecuali jika ada amar yang bersifat kondemnatoir, maka amar berjudul “MENGADILI”.31 Ketika putusan telah berkekuatan hukum tetap, pihak suami tidak serta merta langsung bisa mengucapkan talaknya di persidangan. Dalam praktek ikrar talak yang terjadi dalam persidangan di Pengadilan Agama Batusangkar, sebelum pihak suami mengikrarkan talaknya, ia akan ditanyai tentang kewajiban yang dibebankan kepadanya ketika timbul perceraian.
30
M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 tahun 1989), (Jakarta: Pustaka Kartini, 1997), h. 248. 31
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 219.
59
Ketika suami mengatakan belum mampu mencukupi kewajiban yang dibebankan kepadanya, maka hakim berdasarkan ijtihadnya akan menunda sidang sampai suami tersebut telah mampu untuk membayarkan kewajibannya.32 Namun apabila pada saat sidang ikrar talak tersebut suami telah membawa kewajibannya, maka persidangan ikrar talak dapat dilaksanakan.33 Dalam sidang tersebut, suami atau wakilnya yang diberi kuasa khusus dalam suatu akta otentik untuk mengucapkan ikrar talak, mengucapkan ikrar talak yang dihadiri oleh isteri atau kuasanya. Jika isteri telah dipanggil secara patut dan sah, tetapi tidak datang menghadap sendiri dan tidak pula mengirim wakilnya, maka suami atau wakilnya mengucapkan ikrar talak tanpa hadirnya isteri atau wakilnya. Jika suami telah dipanggil dengan patut dan sah untuk mengucapkan ikrar talaknya di depan sidang, tetapi tidak datang menghadap sendiri dan tidak pula mengirimkan wakilnya, maka kedepannya diberikan tenggang waktu selama 6 bulan terhitung sejak tanggal hari sidang penyaksian ikrar talak tersebut. Jika dalam waktu 6 bulan suami tidak datang lagi untuk melaporkan diri bahwa ia akan mengucapkan ikrar talak, maka gugurlah kekuatan putusan tersebut, dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.34
32
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar, 17 Maret 2015. 33
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang wakil ketua. Batusangkar. 17 Maret 2015. 34
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, h. 220.
60
Dalam hal di atas, maka hakim membuat “Penetapan” yang isinya menyatakan bahwa tenggang waktu untuk mengucapkan ikrar talak habis dan kekuatan putusan telah gugur. Penetapan tersebut dicatat dalam berita register induk perkara yang bersangkutan. Jika dalam tenggang waktu 6 bulan tersebut, suami kemudian melaporkan diri bahwa ia tetap bermaksud untuk mengucapkan ikrar talak, maka Pengadilan Agama dapat membuka sidang lagi guna penyaksian ikrar talak dimaksud dengan memanggil suami isteri atau wakilnya. Sidang penyaksian ikrar talak terbuka untuk umum. Dalam sidang tersebut, suami mengucapkan ikrar talak. Panitera mencatat segala hal ihwal yang terjadi dalam sidang penyaksian ikrar talak ini dalam Berita Acara Persidangan.35 Hakim membuat “Penetapan” yang isinya “Menetapkan” perkawinan antara pemohon dengan termohon putus karena perceraian.36
35
Ibid, h. 220-221.
36
Ibid, h. 221.
BAB IV PEMBAYARAN NAFKAH IDDAH DAN MUT’AH DI PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR
A. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah di Pengadilan Agama Batusangkar Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan mengenai dasar hukum dari praktek ikrar talak. Sebagaimana dalam pasal 70 Undang-Undang Peradilan Agama dijelaskan bahwa, suami yang ingin mentalak istrinya, dapat mentalak istrinya setelah penetapan permohonan cerai talak berkekuatan hukum tetap. Penetapan cerai talak dapat berkekuatan hukum tetap apabila telah melewati masa 14 hari setelah penetapan dibacakan. Selama dalam masa 14 hari tersebut penetapan belum berkekuatan hukum tetap, dan ikrar talak belum bisa dilaksanakan. Selama dalam masa 14 hari tersebut, masing-masing pihak dapat melakukan upaya hukum terhadap penetapan permohonan cerai talak. Ikrar talak dapat dilakukan paling lama dalam waktu 6 bulan setelah penetapan permohonan cerai talak berkekuatan hukum tetap dan setelah Pengadilan menentukan hari sidang ikrar talak.1 Proses ikrar talak suami tersebut akan dianggap sah jika dilakukan di depan persidangan. Apabila suami yang telah mendapat penetapan permohonan cerai talak tersebut mengikrarkan talaknya di luar persidangan maka 1
Lihat pasal 70 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
61
62
perceraiannya tidak dianggap sah, karena ikrar talak harus dilakukan di persidangan. Jika masa 6 bulan tersebut telah terlewati, maka hak suami untuk mengikrarkan talaknya menjadi gugur, dan jika ia ingin mentalak istrinya harus mengajukan permohonan baru, dan tidak bisa diajukan lagi menggunakan alasan yang sama. Ketentuan tentang kewajiban-kewajiban suami selepas perceraian telah dibahas dalam Undang-Undang Perkawnian, PP No. 9 Tahun 1975 dan juga KHI. Namun dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan kapan kewajiban tersebut harus dibayarkan. Di Pengadilan Agama Batusangkar, praktek pembayaran kewajibankewajiban suami tersebut dilakukan satu kali, yaitu pada saat ikrar talak di persidangan.2 Praktek yang terjadi ini berdasarkan kepada ijtihad hakim, karena mengenai waktu pembayaran kewajiban tersebut tidak diatur dalam peraturan. Dalam pelaksanaanya, hakim memberitahukan kepada suami pada saat pembacaan putusan (tentang cerai talak), untuk membawa kewajibannya pada saat ikrar talak. Setelah hakim membacakan amar putusan, hakim menanyakan apakah para pihak telah mengerti dengan amar putusan tersebut, kemudian meminta kepada suami untuk membawakan kewajibannya sebagaimana dalam amar pada saat ikrar talak.3
2
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 3
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Batusangkar).di ruang wakil ketua. Batusangkar.17 Maret 2015.
Pengadilan
Agama
63
Praktek pembayaran kewajiban suami pada saat sidang ikrar talak ini tidak didasari peraturan, tapi hanya berdasarkan ijtihad hakim. Hakim melihat bagaimana supaya si suami membayarkan kewajibannya. Hal ini juga untuk kemaslahatan istri, karena dikhawatirkan suami tersebut akan mengabaikan kewajibannya ketika telah diizinkan ikrar talak, karena pada dasarnya suami mengajukan cerai karena hubungan mereka tidak harmonis lagi.4 Dari pernyataan Yusnizar di atas, terlihat bahwa ijtihad hakim mengenai permasalahan ini didasari untuk melindungi istri, karena ditakutkan jika suami diizinkan mengucapkan ikrar talak sebelum membayarkan kewajibannya, ia dapat lari dan mengabaikan mantan istrinya, sehingga mantan istri menjadi terzolimi.
B. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa Kewajiban Dalam Undang-Undang telah diatur bahwa suami dapat dibebankan beberapa kewajiban ketika terjadi perceraian. Dalam prakteknya, hakim meminta suami agar membayarkan kewajibannya kepada isteri pada saat sidang ikrar talak. Namun terkadang pada saat sidang ikrar, suami tidak membawa kewajiban yang dibebankan kepadanya. Alasan yang diberikan suami ketika tidak membawa kewajiban adalah belum ada uang untuk membayar kewajibannya.5 Ada juga yang sebenarnya sudah punya uangnya, tapi berusaha mengelak membayar dengan mengatakan belum punya uang, hal ini terlihat karena pada saat persidangan akan
4
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 5
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi. Batusangkar, 19 Maret 2015.
64
ditunda pihak suami langsung mengatakan bahwa ia telah memiliki uang, dan meminta agar persidangan tidak ditunda.6 Ketika suami belum membawa kewajibannya dengan alasan apapun maka ada beberapa langkah yang dilakukan hakim. Pertama, melakukan penundaan sidang ikrar talak.7 Dalam persidangan ikrar talak, hakim dapat menunda persidangan jika menurut hakim penundaan tersebut sangat diperlukan. Agar putusan tidak hampa, dan mengandung manfaat bagi masing-masing pihak serta mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak, maka penundaan persidangan bisa saja dilakukan, lagi pula masa ikrar talak dalam pasal 70 UU PA adalah 6 bulan. Jadi selama 6 bulan itu suami masih bisa mengucapkan ikrar talak.8 Namun jika istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau ketika suami belum membawa kewajibannya kemudian istri menyatakan kerelaannya di talak meskipun belum mendapat hak, maka persidangan akan dilanjutkan, dan keterangan istri akan dibuat dalam berita acara. Jika istri tidak rela maka persidangan akan ditunda.9
6
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 7
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 8
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015. 9
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015.
Pengadilan
Agama
65
Kedua, Pada saat sidang yang ditentukan ketika pihak suami belum membawa kewajibannya, dalam hal ini hakim bertugas untuk menggugah hati suami, agar dia sadar dan memberikan kewajibannya sehingga tidak ada yang dirugikan.10 Hakim akan berupaya untuk menggugah hati suami agar menyadari pentingnya nafkah iddah dan mut’ah dan hak istri lainnya bagi pihak istri, serta mendorong pihak suami agar terpacu mengumpulkan uang sehingga berupaya menabung untuk membayarkan kewajibannya. Semua itu hakim lakukan guna menjadikan putusan berkeadilan, dan berkemanfaatan.11
C. Analisa Penulis 1. Praktek Pembayaran Nafkah Iddah dan Mut’ah Sejatinya suami yang telah melaksanakan rangkaian persidangan dapat mengikrarkan talaknya apabila penetapan permohonan cerai talak yang dikeluarkan majelis hakim yang bersangkutan telah berkekuatan hukum tetap. Hal ini telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang Peradilan Agama. Namun proses ikrar talak akan menjadi sedikit berbeda, apabila pada amar putusan terdapat poin yang menyatakan bahwa suami dibebankan suatu kewajiban kepada mantan istrinya. Ketentuan suami dapat dibebankan kewajiban akibat adanya perceraian ini telah diatur dalam pasal 41 Undang-Undang No. 1 Tahun
10
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 11
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
66
1974 tentang Perkawinan jo pasal 24 PP No. 9 Tahun 1975 jo pasal 149 KHI. Kewajiban suami ketika terjadi perceraian ini dapat berupa barang ataupun uang. Dalam peraturan tersebut dijelaskan mengenai kewajiban suami yang timbul dari perceraian, tapi dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan kapan suami diharuskan membayarkan kewajibannya. Dalam praktek yang terjadi di Pengadilan Agama Batusangkar, pembayaran kewajiban suami
tersebut
dilaksanakan pada saat ikrar talak. Namun praktek pengadilan ini tidak didasari pada peraturan. Dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman No. 48 Tahun 2009 pasal 4 dinyatakan bahwa pengadilan mengadili berdasarkan hukum dengan tidak membeda bedakan orang. Kalau dipahami dari pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman di atas, terlihat bahwa praktek yang dilakukan pengadilan ini tidak didasari pada peraturan sehingga tercermin seakan tidak sesuai dengan maksud dalam pasal 4 Undang-Undang Kekuasaan kehakiman tersebut. Namun, dalam menerapkan hukum, hakim diperbolehkan untuk berijtihad, ketentuan ini terdapat dalam pasal 5 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum sebagai teks itu diam dan hanya melalui perantaraan manusialah ia menjadi hidup.12 Hukum itu bukan merupakan suatu institusi yang absolute dan final, melainkan sangat bergantung 12
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 15
67
pada bagaimana manusia melihat dan menggunakannya. Manusialah yang merupakan penentu dan bukan hukum.13 Setiap Undang-Undang bersifat statis dan tidak dapat mengikuti perkembangan kemasyarakatan, sehingga menimbulkan ruang kosong, yang perlu diisi. Tugas mengisi ruang kosong itulah, dibebankan kepada para hakim dengan melakukan penemuan hukum melalui metode interpretasi atau konstruksi dengan syarat bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut, para hakim tidak boleh memperkosa maksud dan jiwa Undang-Undang atau tidak boleh bersikap sewenang-wenang.14 Dari kutipan di atas dapat dipahami, bahwa hukum yang ada sejatinya tidak akan dapat berkompetisi dengan perkembangan masalah dalam masyarakat, dan perubahan moral dalam masyarakat. Peradilan adalah lembaga yang membantu para pencari keadilan untuk menemukan keadilan, ketika peraturan yang ada tidak dapat memberikan rasa adil, maka hakim bisa berupaya menggunakan ijtihadnya agar menghasilkan sesuatu yang mencerminkan keadilan. Dari hasil wawancara yang telah penulis lakukan dengan beberapa hakim, ditemukan bahwa hakim merasa praktek pembayaran kewajiban suami dalam persidangan ikrar talak ini perlu dilakukan untuk kemaslahatan istri, karena dikhawatirkan suami tersebut akan mengabaikan isteri, dan tidak membayarkan 13
Achmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 39. 14
Andi Zainal Abidin, Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, (Bandung: Alumni, 1984), h. 33.
68
kewajibannya ketika telah diizinkan ikrar talak.15 Kalau dilihat dari alasan yang disampaikan hakim, maka dapat dipahami bahwa hakim mengambil langkah tersebut berdasarkan kaedah ushul:
انضساز ٌزال Artinya: Kemudharatan harus dihindarkan. Kaedah ini menegaskan bahwa dalam menghadapi suatu perkara, seseorang harus berusaha menghindarkan dirinya dari mudharat yang mungkin akan ditimbulkan. Di sini penulis menguraikannya melalui contoh dalam Islam. Dalam Islam memakan babi adalah haram, tapi ketika tidak ada makanan lain selain babi, maka makanan yang haram tersebut menjadi boleh dimakan. Hal ini bertujuan agar menghindarkan diri dari mudharat yang akan ditimbulkan jika tidak memakannya. Contoh di atas dapat dianalogikan kepada praktek yang dilakukan hakim dalam merumuskan praktek pembayaran di persidangan. Praktek pembayaran ini tidak diatur dalam peraturan. Tapi, jika praktek ini tidak diadakan, ditakutkan suami yang telah diizinkan mengikrarkan talak tersebut akan mengabaikan kewajibannya terhadap mantan istrinya. Jika putusan hakim tersebut tidak dijalankan oleh suami maka secara otomatis pihak istri akan terzolimi. Untuk menghindarkan mudharat yang dapat timbul, maka hakim berijtihad agar putusannya dapat bermanfaat bagi semua pihak, sehingga menerapkan praktek ini dalam persidangan. 15
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015.
69
Hal ini dalam Islam juga telah disinggung dari hadis Nabi, ketika sahabat Muaz bin Jabal diutus Rasul ke Yaman.
ٍُْ ث ت ٍِْ َع ًْ ِسو ات ٍِْ أَ ِخ ًْ ْان ًُ ِغٍ َْس ِج ت ِ از ِ ع ٍَِ ْان َح،ٌٍ ْ ع ٍَْ أَتِ ًْ عَى،ََح َّدحََُا َح ْفصُ ت ٍُْ ُع ًَ َس ع ٍَْ ُش ْعثَح اَ ٌَّ َزسُىْ َل هللاِ (صهعى) نَ ًَّا اَ َزا َد:ب ُي َع ِرت ٍِْ َجثَ ٍم َ ًْ س ِي ٍْ اَ ْه ِم ِح ِ ص ِي ٍْ اَصْ َحا ٍ ع ٍَْ أََُا،ُُش ْعثَح َ ٌَ ْث َع .ِب هللا َ َض نَكَ ق َ ض ًْ اِ َذا ع ََس ِ ض ًْ تِ ِكتَا ِ اَ ْق:ضا ٌء؟)) قَا َل ِ (( َك ٍْفَ تَ ْق:ج ُي َعا ًذا اِنَى ْانٍَ ًَ ٍِ قَا َل ((فَا ِ ٌْ نَ ْى تَ ِج ْد فِ ًْ ُسَُّ ِح: فَثِ ُسَُّ ِح َزسُىْ ِل هللاِ (صهعى) قَا َل:ال َ َب هللاِ؟)) ق َ َق ِ ((فَا ِ ٌْ نَ ْى ت َِج ْد فِ ًْ ِكتَا:ال َ ض َس َ َ ف، ْ اَجْ تَ ِه ُد تِ َس ْاٌِ ًْ َوالَ اَنُى:ال َ َب هللاِ؟)) ق ِب َزسُىْ َل هللا ِ َزسُىْ ِل هللاِ (صهعى) َو الَ فِ ًْ ِكتَا 16 ْ :ال .))ِضً َزسُىْ َل هللا َ َّ((ان َح ًْ ُد ِهللِ انَّ ِريْ َوف َ َ فَق،ُِص ْد َز َ )(صهعى ِ ْق َزسُىْ َل َزسُىْ ِل هللاِ نَ ًَا ٌُس زواِ اتى دود Artinya: Hafsh bin Umar menyampaikan kepada kami dari Syu’bah, dan Abu Aun, dari al-Harits bin Amr, keponakan al-Mughirah bin Syu’bah, beberapa orang penduduk Hims, dari sahabat-sahabat Mu’adz bin Jabal bahwa ketika akan mengutus Mu’adz ke Yaman, Rasulullah SAW bertanya, “Bagaimana caramu memberikan putusan hukum jika nanti dihadapkan pada sebuah perkara?” Mu’adz menjawab, “Aku akan memutuskan dengan (merujuk kepada) Kitabullah”. Beliau bertanya, “Jika engkau tidak mendapatkannya dalam Kitabullah?” Mu’adz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah SAW”. Beliau bertanya, “Jika engkau tidak mendapatinya dalam sunnah Rasulullah dan Kitabullah?” Mu’adz menjawab , “Aku akan berijtihad dengan pendapatku dan aku akan bersungguh-sungguh”. Rasulullah menepuk dada Mu’adz dan berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah memberikan taufik kepada utusan Rasulullah atas hal yang diridhai oleh Rasulullah. (HR. Abu dawud). Pada hadis ini dapat dipahami bahwa dalam Islam metode ijtihad juga telah diterapkan semenjak zaman Nabi. Hadis ini mengisyaratkan bahwa, ketika peraturan tidak dapat menjelaskan secara rinci jalan keluar dari masalah yang dihadapi, maka disanalah diperlukan nalar dan perasaan untuk menemukan keadilan. 16
Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abu Daud, hadis ke 3592 (Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1974), h. 552-553.
70
Jadi, ketika hakim tidak menemukan pengaturan yang adil dalam peraturan perundang-undangan,
maka
dalam
menerapkan
hukum,
hakim
harus
menemukannya dengan menggunakan kaidah-kaidah, moral atau berdasarkan pertimbangan kepentingan sosial dan/atau pertimbangan-pertimbangan lainnya.17 2. Langkah Hakim Ketika Suami Belum Membawa Kewajiban Ketika suami pada saat sidang ikrar yang telah ditentukan tidak membawa kewajibannya, maka langkah yang akan dilakukan hakim Pertama, hakim akan berupaya untuk menggugah hati suami agar menyadari pentingnya nafkah iddah dan mut’ah dan hak istri lainnya bagi pihak istri, serta mendorong pihak suami agar terpacu mengumpulkan uang sehingga berupaya menabung untuk membayarkan kewajibannya.18 Langkah yang dilakukan hakim ini pada dasarnya sesuai dengan makna pasal 58 ayat 2 Undang-Undang No 7 Tahun 1989 yang manyatakan Pengadilan membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.
17
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2007), h. 150.
18
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
71
Nasehat dan arahan yang diberikan hakim dalam persidangan merupakan salah satu perwujudan dari bantuan yang dapat diberikan hakim. Semua itu hakim lakukan guna menjadikan putusan berkeadilan, dan berkemanfaatan.19 Kedua, Setelah memberikan nasehat kepada suami, hakim akan menunda persidangan maksimal selama enam bulan.20 Tapi kalau istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau jika istri rela di talak meskipun belum mendapat hak, maka persidangan dapat dilanjutkan dan keterangan istri akan dibuat dalam berita acara. Jika istri mengatakan tidak ingin dithalak tanpa mendapat haknya, maka persidangan akan ditunda.21 Tujuan dari praktek penundaan persidangan ini dapat dilihat dari kaedah ushul berikut.
دزء انًفاسد يق ّدو عهى جهة انًصانح Artinya: Mencegah keburukan lebih diutamakan dari mengambil kebaikan Jika kaedah ushul ini dihubungkan dengan praktek pembayaran yang dilakukan di Pengadilan, maka terlihat bahwa hakim berupaya agar putusan yang dikeluarkan dapat berkeadilan, bermanfaat, dan melindungi kedua belah pihak,
19
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015. 20
Wawancara Pribadi dengan Yusnizar (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang hakim. Batusangkar.17 Maret 2015. 21
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015.
72
sehingga hakim lebih mengutamakan untuk memberikan jaminan hak kepada isteri sebagai langkah untuk menghindarkan mudharat yang mungkin akan ditimbulkan, ketimbang memberikan izin kepada suami untuk mengikrarkan talaknya. Ketika hakim tidak menunda persidangan maka persidangan akan berakhir dengan cepat sehingga dapat mencerminkan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan, tapi jika persidangan yang cepat tidak dapat memberikan keadilan tentu tidak ada gunanya. Peradilan sebaiknya berjalan cepat, sederhana, biaya ringan, tapi tidak ada gunanya persidangan cepat selesai kalau putusan yang dikeluarkan tidak dijalankan.22 Sebelumnya telah disinggung bahwa pada dasarnya praktek pembayaran kewajiban suami dalam persidangan tersebut tidak didasari peraturan, sehingga seharusnya, ketika suami tidak membawa kewajibannya pada saat ikrar talak, tidak menjadikan sidang ikrar talak ditunda. Praktek ini seakan melanggar asas equality, asas keadilan, serta asas cepat, sederhana dan biaya ringan yang merupakan asas-asas dalam peradilan. Jika dilihat dari asas keadilan, praktek penundaan ini terkesan berpihak kepada istri. Praktek penundaan ini seakan tidak mencerminkan keadilan bagi suami. Pembayaran kewajiban suami tersebut seharusnya dapat dilakukan di luar persidangan. Ketika pihak suami tidak membayarkan kewajibannya setelah ikrar,
22
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
73
upaya yang dapat dilakukan istri tidak terputus. Praktek penundaan ini, seolah mencerminkan keberpihakan hakim kepada istri. Pada hakekatnya, ketika suami yang diizinkan mengikrarkan talak tersebut tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana amar putusan, istri pada dasarnya dapat mengajukan permintaan eksekusi ke Pengadilan. Dalam bab sebelumnya telah disampaikan, bahwa eksekusi dapat dilakukan, jika putusan telah berkekuatan hukum tetap, jika pihak yang dikalahkan tidak melaksanakan secara sukarela, dan jika putusan bersifat kondemnatoir. Secara lebih jelas proses eksekusi ini telah diatur dalam pasal 196 HIR yang menyatakan “Jika pihak yang dikalahkan tidak mau atau lalai memenuhi keputusan itu dengan baik, maka pihak yang dimenangkan mengajukan permintaan kepada ketua pengadilan negeri tersebut pada pasal 195 ayat (1), baik dengan lisan maupun dengan surat, supaya keputusan itu dilaksanakan. Kemudian ketua itu akan memanggil pihak yang kalah itu serta menegurnya, supaya ia memenuhi keputusan itu dalam waktu yang ditentukan oleh ketua itu, selama-lamanya delapan hari”. Kalau dilihat dari asas Equality atau persamaan hak. Praktek ini tampak sedikit berpihak kepada istri. Penundaan yang dilakukan hakim terkesan mengabaikan hak suami dan terlalu pro aktif terhadap hak istri. Karena sesungguhnya kalau dirujuk dari pasal 196 HIR di atas, ketika suami tidak membayarkan kewajibannya setelah diizinkan mengikrarkan thalak, istri yang ingin mendapat haknya dapat mengajukan eksekusi terhadap putusan yang ada, sehingga praktek penundaan persidangan tidak diperlukan.
74
Selanjutnya jika praktek penundaan ini dihubungkan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan tentu tampak berlawanan. Ketika persidangan ikrar ditunda hal ini menjadikan persidangan menjadi lambat, dan berimplikasi pada biaya persidangan. Sehingga kalau diperhatikan secara tekstual, maka hal ini tidak mencerminkan peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. Dalam menanggapi hal ini, Syamsul Bahri Z mengatakan bahwa, praktek penundaan ini merupakan perwujudan dari ijtihad hakim yang mengupayakan terciptanya keadilan bagi kedua pihak. Karena jika suami diizinkan mengikrarkan talak sebelum membayar kewajibannya, maka yang telah mendapat keadilan baru suami, sedangkan istri belum mendapatkannya, karena ia belum mendapatkan haknya.23 Ketika suami ingkar dan mengabaikan istrinya setelah diizinkan mengikrarkan talak tanpa membayar kewajibannya, maka selain istri terzolimi, suami pun tanpa ia sadari telah melanggar ketentuan Allah, karena kewajiban suami membayar nafkah iddah ini juga disyariatkan dalam Al-Qur’an surat AtThalaq ayat 6, 7, serta tentang kewajiban suami memberi nafkah kepada istrinya dalam surat Al-Baqarah ayat 233. Istri yang di talak raj’I, masih dianggap istrinya sampai masa iddahnya habis, makanya suami masih berkewajiban terhadapnya. Menurut Efrizal, penundaan ini bukannya mengabaikan hak suami, karena pada dasarnya suami sudah mendapatkan haknya selama masih dalam masa 6 bulan, sedangkan isteri baru mendapatkan putusan. Jika suami tidak membayarkan 23
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015.
75
kewajibannya ketika ikrar dilaksanakan maka isteri akan teraniaya. Lain halnya jika
istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangandan dan bersedia persidangan untuk dilanjutkan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan.24 Begitupun jika praktek penundaan ini dihubungkan dengan asas sederhana, cepat, dan biaya ringan. Syamsul Bahri Z mengatakan, memang persidangan sebaikanya berjalan cepat, sederhana, dan biaya ringan, tapi tidak ada gunanya persidangan cepat selesai kalau putusan yang dikeluarkan tidak dijalankan.25 Efrizal menambahkan, hal ini tidak melanggar asas cepat, sederhana, biaya
ringan. Karena kalau misalkan dilaksanakan ikrar talak, sehingga suaminya telah terlepas dari si istri, ada kemungkinan suami tersebut akan mengabaikan untuk membayarkan kewajibannya, sehingga istri menjadi teraniaya, lagipula masa ikrar ada 6 bulan, jadi lebih baik persidangan mengandung keadilan bagi kedua belah pihak, ketimbang harus cepat tapi menganiaya salah satu pihak.26 Penerapan asas cepat, sederhana, biaya ringan tidak boleh mengurangi “ketepatan” pemeriksaan dan penilaian menurut hukum dan keadilan.27
24
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang wakil ketua.Batusangkar.17 Maret 2015. 25
Wawancara pribadi dengan Syamsul Bahri Z (Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di rumah pribadi.Batusangkar.19 Maret 2015. 26
Wawancara Pribadi dengan Efrizal (Wakil Ketua/Hakim Pengadilan Agama Batusangkar) di ruang wakil ketua. Batusangkar, 17 Maret 2015. 27
Lihat M. Yahya Harahap,Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), (Jakarta: Sinar Garafika, 2007), h. 70-71.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan tersebut dapat dipahami bahwa di Pengadilan Agama Batusangkar pembayaran nafkah iddah dan mut’ah dilakukan dalam persidangan ikrar talak. Praktek pembayaran nafkah iddah dan mut'ah pasca ikrar talak merupakan hasil dari ijtihad yang dilakukan hakim bukan bersumber dari peraturan. Praktek ini bertujuan untuk melindungi hak-haknya istri dan agar putusan yang dikeluarkan pengadilan dapat memberi keadilan dan manfaat bagi masingmasing pihak. Karena dikhawatirkan apabila pihak suami diizinkan untuk mengikrarkan talak sebelum membayarkan kewajibannya maka ia akan kabur dan meninggalkan istrinya. Pada saat ikrar talak pihak suami terkadang ada yang belum membawa kewajibannya. Dalam prakteknya ketika suami pada saat persidangan belum membawa kewajibannya, maka hakim akan memberikan nasehat kepada suami, dan mendorong suami agar terpacu untuk mengumpulkan uang agar bisa melunasi kewajibannya. Kemudian hakim akan menunda persidangan hingga suami telah
76
77
memiliki uang. Penundaan berlangsung selama suami belum kembali dengan kewajibannya dalam masa 6 bulan. Kalau dihubungkan dengan asas yang berlaku di pengadilan, dan peraturan yang ada, memang terdapat sedikit ketidak sesuaian. Namun praktek yang dilakukan ini tidak akan memberikan mudharat yang lebih besar, ketimbang praktek ini tidak ada. Maka dari itu, agar kesenjangan yang ada dapat dihapuskan, diharapkan agar praktek ini dapat diatur dalam peraturan yang berlaku.
B. Saran Dari ulasan dalam skripsi ini penulis berharap semua pihak yang membaca dapat mengetahui, memahami dan mengerti tentang praktek yang terjadi, serta alasan dari praktek tersebut, dan bagaimana korelasi praktek tersebut kalau ditinjau dari kaedah ushul, peraturan negara, serta asas-asas dalam peradilan. Pada bagian akhir ini penulis berharap: 1. Kepada pemerintahan Republik Indonesia yang diwakili kepada para pihak yang berwenang membuat Undang-Undang dan peraturan lainnya, agar praktek pembayaran nafkah iddah dan mut'ah serta kewajiban-kewajiban suami akibat talak ini dimasukkan ke dalam Undang-Undang atau peraturan lainnya, sehingga praktek ini didasari oleh peraturan dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat.
78
2. Kepada Pengadilan Agama Batusangkar, diharapkan agar praktek ini dapat terus dipertahankan, dan agar para hakim yang menangani permasalahan perceraian dapat lebih optimal menasehati masing-masing pihak, sehingga perceraian tidak terjadi. Namun jika memang nasehat sudah tidak dapat diindahkan, diharapkan kepada majlis hakim agar dapat memberikan putusan yang adil, dan bermanfaat. 3. kepada para hakim, penulis menyarankan agar dapat berlaku adil, dan dapat menerapkan peraturan dengan sebaiknya bukan seadanya. Ketika terdapat suatu masalah, tetapi peraturan tidak dapat menjawab masalah yang ada, maka diharapkan kepada para penegak hukum agar dapat berijtihad dan melihat lebih luas sehingga putusan yang dikeluarkan dapat bermanfaat, dan berkeadilan bagi semua pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Abbas, Syahrizal. Mediasi dalam Hukum Syari’ah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional. Jakarta: Kencana, 2011. Abdal-Hamid, Muhahmmad Muhyial-Din. Al Ahwal As Syakhsiyah Fi As Syari’ah Al Islamiyah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1404 H/1989 M. Abidin, Andi Zainal. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama, Bandung: Alumni, 1984. Ahmad, Zubair. Relasi Suami Istri dalam Islam. editor Sri Mulyani. Jakarta: Pusat Studi Wanita UIN Syarif Hidayatullah, 2004. Al-Habsy, Muhammad Baqir. Fikih Praktis Menurut Al-Qur’an dan Hadits. Bandung: Mizan, 2002. Al-Qurthubi, Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad al-Anshari. al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, juz 18, jilid 9. Beirut: 1995. ----------- Al-Jami’ al-Ahkam al-Qur’an, juz 18, jilid 9. kairo. Ali, Zainuddin. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Sinar Grafika, 2010. An-Naisaburi, Imam Abu al-Husain Muslim bin al-Hajaj bin Muslim al-Qusyairi. Shaheh Muslim. Riyad: Darussalam, 1998. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. As-Sijistani, Abu Daud Sulaiman bin al-Asy’ats al-Azdi. Sunan Abu Daud. Beirut: Dar Ibnu Hazm, 1974.
79
80
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Tafsir ath-Thabari, jilid 2. Kairo: Darussalam, 2007. Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia pusat bahasa edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008. Dimyati, Khudzaifah dan Wardiono, Kelik. Metode Penelitian Hukum. Surakarta: UMS Press, 2004. Doi, Abdur Rahman I. Perkawinan dalam Syariat Islam. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 1992. Fuady, Munir. Dinamika Teori Hukum. Bogor: Ghalia Indonesia, 2007. Gultom, Elfrida R. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Literata, 2010. Hamami, Taufiq. Peradilan Agama dalam Reformasi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Jakarta: PT. Tatanusa, 2013. Harahap, M. Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No 7 Tahun 1989). Jakarta: Pustaka Kartini, 1997. ---------- Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, edisi kedua. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. ---------- Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (UU No. 7 Tahun 1989), Jakarta: Sinar Garafika, 2007. Makarao, Moh. Taufik. Pokok-Pokok Hukum Hukum Acara Perdata. Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2004. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Yayasan Al-Hikmah, 2000. Muchtar, Kamal. Asas2 hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang, 1974.
81
Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal as-Syakhshiyyah ‘Ala al-Mazahib alKhamsah Ja’fari-Hanafi-Maliki-Syafi’I-Hanbali. Beirut: Darul Ilmu, 1964. Munawwir, Ahmad Warson. Al Munawwir Kamus Arab – Indonesia. Yogyakarta: 1984. Nasir, Jamal J. The Status of Women Under Islamic Law and Under Modern Islamic Legislation. London: Graham Trotman, 1990. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007. Nuruddin, Amiur dan Tarigan, Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di Indonesia (Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI). Jakarta: Prenada Media, 2004. Oxford Student’s Dictionary of English. Greet Clarendon Street: Oxford University Press, 2001. Rahardjo, Satjipto. Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas, 2010. Rifai, Achmad. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Prespektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2011. Romy H, Soemitro. Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990. Sabiq, Sayyid. Fikih Sunnah, jilid 2, Beirut: Darul Fikri, 1983. Soebani, Ben Ahmad. Metode Penelitian. Bandung: Pustaka Setia, 2008. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1984. Sukandarrumidi. Metodologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Penelitian Pemula. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2009.
82
Tihami, dan Sahrani, Sohari. Fikih Munakahat kajian fikih nikah lengkap. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2009. Yanggo, Huzaimah Tahido. Masail Fiqhiyah Kajian Hukum Islam Kontemporer. Bandung: Angkasa, 2005. Yunus, Mahmud. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: PT. Hidakaraya Agung, 1989. Zuhayli, Wahbah. al-Fiqhu al-Islami Wa Adillatuhu juz 9. Damasyqi: Darul Fikri alMa’ashir, 2004.
STATISTIK PERKARA PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR TAHUN 2014 No
JENIS PERKARA
Sisa Tahun lalu
Januari Terima
Februari
Putus
Sisa
1
0
Terima
Maret
April
Putus
Sisa
Terima
Putus
Sisa
Terima
Putus
Mei Sisa
Terima
Putus
Juni Sisa
Terima
Putus
Juli Sisa
Terima
Putus
Agustus Sisa
Terima
Putus
September Sisa
Terima
Putus
Sisa
Oktober Terima
Putus
November Sisa
Terima
Putus
Desember
Sisa
Terima
Putus
Banding
Kasasi
PK
0
0
Sisa
A. PERKAWINAN
1 Izin poligami 2 Pencegahan Perkawinan 3 Penolakan Perkawinan oleh PPN 4 Pembatalan Perkawinan
1
5 Kelalaian atas kewajiban suami istri 6 Cerai Talak
20
13
9
24
13
8
29
14
14
29
4
13
20
14
6
28
11
9
30
12
21
21
21
10
32
10
12
30
15
14
31
8
15
24
1
14
11
2
7 Cerai Gugat
46
38
21
63
47
28
82
25
48
59
26
28
57
34
19
72
29
43
58
9
23
44
50
19
75
45
33
87
28
28
87
31
24
94
4
61
37
1
1
1
1
1
1
0
1
1
8 Harta Bersama
1
9 Penguasaan anak/pengangkatan anak
1
1
1
1
1
1
1
1 0
10 Nafkah anak oleh ibu
0
11 Hak-hak bekas istri
0
12 Pengesahan anak
0
13 Pencabutan kekuasaan orang tua
0
14 Perwalian
0
15 Pencabutan Kekuasaan Wali
0
16 Penunjukkan orang lain sebagai wali/adopsi
0
17 Ganti rugi terhadap wali
0
18 Asal usul anak
0
19 Penetapan kawin campur 20 Isbat nikah
0 5
3
7
1
13
2
12
19
13
18
13
22
9
4
6
7
10
7
10
3
6
7
10
7
10
8
8
10
9
9
10
6
9
7
5
11
21 Izin kawin
1
1
0
22 Dispensasi kawin
3
23 wali adhol
1
1
3
2
4
1
1
1
1
1
2
1
2
1
1
2
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
3
2
1
2
1
1
2
1
1
1
0
1
1
1
0
24 B. EKONOMI SYARIAH
0
25 C. KEWARISAN
0
26 D. WASIAT
0
27 JENIS PERKARA
0
28 F. WAKAF
0
29 G. ZAKAT/INFAQ/SHADAQOH
0
30 H. P3HP/PENETAPAN AHLI WARIS
1
1
1
1
1
1
1
0
31 I. LAIN-LAIN / JUMLAH JUMLAH
0 72
55
38
89
77
38
128
62
80
110
46
66
90
54
34
110
51
60
101
24
53
72
83
36
119
68
56
131
53
54
130
46
49
127
BATUSANGKAR, 02 Januari 2015 JUMLAH PERKARA TAHUN 2014 JUMLAH PERKARA MASUK TAHUN 2014 JUMLAH PERKARA YANG DIPUTUS
701 629 651
KETUA
Drs. H.M YUNUS RASYID, SH
10
87
50
4
Ket
NIP. 19550806 198103 1 002
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN JANUARI 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
25
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
25
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengetahui ;
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
14
-
39
14
-
39
Ketua
Batusangkar, 30 Januari 2014 Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. A P R I Z A L NIP. 196004061987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN FEBRUARI 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
17
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Mengetahui ;
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
12
-
29
12
-
29
Ketua
Batusangkar,28 Februari 2014 Wakil Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
ZULBAKRI, SH NIP : 19590305 199203 1 003
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN MARET 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
31
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
31
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
7
-
38
7
-
38
Mengetahui ;
Batusangkar,28 Maret 2014
Ketua
Wakil Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
ZULBAKRI, SH NIP : 19590305 199203 1 003
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN APRIL 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
39
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
14
-
53
14
-
53
Mengetahui ;
Batusangkar, 30 April 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN MEI 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
7
-
25
7
-
25
Mengetahui ;
Batusangkar, 30 Mei 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN JUNI 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
33
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
10
-
43
10
-
43
Mengetahui ;
Batusangkar, 30 Juni 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN JULI 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
30
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
30
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
4
-
34
4
-
34
Mengetahui ;
Batusangkar, 25 Juli 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN AGUSTUS 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
25
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
25
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
7
-
32
7
-
32
Mengetahui ;
Batusangkar, 29 Agustus 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN SEPTEMBER 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
18
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
11
-
29
11
-
29
Mengetahui ;
Batusangkar, 01 Oktober 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN OKTOBER 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Pertanyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
28
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
28
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
14
-
42
14
-
42
Mengetahui ;
Batusangkar, 31 Oktober 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN NOVEMBER 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Penganiyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
22
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
22
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
7
-
29
7
-
29
Mengetahui ;
Batusangkar, 28 November 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
PENGADILAN AGAMA BATUSANGKAR KELAS I B TENTANG FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA PERCERAIAN LAPORAN BULAN DESEMBER 2014
LI-PA10
Tidak Ada Tanggung Jawab
Dihukum
Penganiyaan Berat
Kekejaman Mental
Cacat Biologis
Poligami Tidak Sehat
Cemburu
Kawin Paksa
Ekonomi
Nikah Dibawah Umur
Politis
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
1
BATUSANGKAR
-
29
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
JUMLAH
-
29
-
-
-
-
-
-
-
-
-
-
Gangguan Pihak Ketiga
Pengadilan Agama
Tidak Ada Keharmonisan
No. Urut
Krisis Moral
TERBIT AKTA CERAI
Jumlah
Keteranngan
15
16
17
18
17
-
46
17
-
46
Mengetahui ;
Batusangkar, 31 Desember 2014
Ketua
Panitera
Drs. H. M. FADJRI RIVAI,SH.MH NIP. 19510318 197803 1 002
Drs. APRIZAL NIP. 19600406 1987031005
HASIL WAWANCARA
Nama
: Dra. Hj. Yusnizar
NIP
: 19600722 199003 2 001
Jabatan
: Hakim
Hari, tanggal
: Selasa, 17 Maret 2015
1. Apakah ibuk adalah hakim di PA Batusangkar? Ya, benar. 2. Sebelum ibuk menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak/ibuk bertugas? Sebelumnya di Pariaman. 3. Apakah selama ibuk menjadi hakim di PA BSK, bapak/ibuk pernah menangani kasus cerai talak? Pernah, banyak sekali. 4. Menurut ibuk, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika terjadi cerai talak? Nafkah yang terlampau (madhiyah), nafkah Iddah, Mut’ah, nafkah untuk anak. 5. Selama ibuk menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak/ibuk pernah menangani perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan mut’ah? Ya, pernah. 6. Sepengetahuan ibuk apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran nafkah iddah dan mut’ah? Ada, dalam KHI. 7. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah? Apabila istri tersebut tidak nusyuz.
8. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang akan ditanggung suami? Hakim akan menanyakan berapa biasanya ia(istri) mendaptkan nafkah ketika dulu masih rukun, kemudian dilihat kemampuan suami saat sekarang. 9. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan mut’ah? Pembayaran kewajibannya dilakukan satu kali, pada saat ikar talak. 10. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di persidangan ikrar talak? Pada saat putusan diucapkan, maka hakim memberitahukan kepada suami agar pada saat ikrar talak membawa segala kewajiban yang dibebankan kepadanya, yang mana hal tersebut adalah hak istri. 11. Seingat ibuk Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah? Ada. 12. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya? Alasannya bisa karena belum mampu. Ada juga yang sebenarnya sudah punya uangnya, tapi berusaha mengelak membayar dengan mengatakan belum punya uang, sehingga ketika hakim mengatakan akan menunda sidang pihak suami langsung mengatakan, sekarang saja buk, saya sudah punya uangnya. 13. Seingat ibuk, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk membawa kewajibannya ketika ikrar talak? Tidak ada, semuanya mendengarkan perkataan hakim. 14. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah untuk istri? Pada saat sidang yang ditentukan ketika pihak suami belum membawa kewajibannya dalam hal ini tugasnya hakim untuk menggugah hatinya, supaya dia sadar dan memberikannya sehingga tidak ada yang diriugikan. Setelah memberikan nasehat kepada suami, hakim akan mengatakan bahwa sidang ditunda. Para pihak datang ke pengadilan agar mendapat keadilan, jadi kita
HASIL WAWANCARA
Nama
: Drs. Efrizal, SH., MH.
NIP
: 19630128 199003 1 002
Jabatan
: Hakim/Wakil Ketua
Hari, Tanggal
: selasa, 17 Maret 2015
1. Apakah bapak adalah hakim di PA Batusangkar? Iya benar. 2. Sudah Berapa lama bapak menjadi hakim di PA BSK? Setahun. 3. Sebelum bapak menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak bertugas? Sebelumnya saya bertugas di Rengat. 4. Apakah selama bapak menjadi hakim di PA BSK, bapak pernah menangani kasus cerai talak? Pernah, banyak sekali. 5. Menurut bapak, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika terjadi cerai talak? Kewajiban suami yang memberikan nafkah iddah untuk masa 3 bulan, mut’ah, nafkah madhiyah, dan memberikan nafkah bagi anaknya. 6. Selama bapak menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak pernah menangani perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan mut’ah? Pernah. Saya pernah menangani kasus cerai talak yang dalam rekovensinya istri meminta nafkah iddah, mut’ah dan sebagainya apabila terjadi perceraian.
7. Apakah ada dari pihak istri yang tidak mengajukan rekovensi pada saat perkara cerai talak? Apabila Pihak istri yang tidak mengajukan rekovensi, maka hakim akan memberitahukan kepada istri bahwa anda memiliki hak-hak yang dapat anda terima jika suami anda menceraikan anda apakah anda mau meminta hak anda. Karna bisa jadi si istri yang tidak meminta hak tersebut tidak tau bahwa dia mempunyai hak, maka dalam rangka memberikan bantuan hakim bisa memberitahukan hal ini kepada si istri, selanjutnya tergantung istri. 8. Sepengetahuan bapak apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran nafkah iddah dan mut’ah? Ada, permsalahan ini ada diatur dalam KHI. 9. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah? Istri berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah apabila ia tidak nusyuz. Selama istri tidak nusyuz sesuai peraturuan dia berhak mendapat nafkah iddah dan mut'ah, sesuai dengan kemampuan dan kepatutan. 10. Bagaimana cara hakim menilai nusyuznya seorang istri? Hakim menetapkan istri nusyuz, dilihat dari alasan yang dibuat suami dalam permohonan. Ketika dalam alasan dikemukakan bahwa istri telah bermain serong, dan diperkuat dengan saksi yang ada maka hal ini dapat dikatakan bahwa istri tersebut telah nusyuz. 11. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang akan ditanggung suami? Dalam menentukan jumlah kewajiban suami, dapat dilihat dari perhitungan masa lama iddah istri. Dihitung berapa jumlah kebutuhan istri per hari, dikalikan berapa hari dalam satu bulan, kemudian dikali tiga untuk tiga bulan. Dasar dari kadarnya adalah kepatutan dan kelayakan, ketika telah diketahui berapa kebutuhan istri maka dilihat juga kemampuan suami, kemudian diambil jalan tengah oleh hakim supaya tidak membertakan suami dan dapat memenuhi kebutuhan si istri. 12. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan mut’ah?
Ketika ada putusan suami menjadi wajib membayarkannya, dan terhadap putusan itu bisa dimintakan banding, jadi suami dibebankan untuk membayarkannya ketika ikrar talak. 13. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di persidangan ikrar talak? Hakim memberitahukan kepada suami untuk membawa kewajibannya pada saat ikrar talak, pada saat pembacaan putusan. Pada saat putusan hakim membacakan amar putusan, dan menanyakan apakah para pihak telah mengerti dengan amar putusan tersebut, kemudian meminta kepada suami untuk membawakan kewajibannya sebagaimana dalam amar pada saat ikrar talak. 14. Seingat bapak Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah? Ada. 15. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya? Biasanya mereka mengatakan belum mampu memenuhi isi putusan dalam hal jumlah kewajiban yang ditanggungkan kepadanya. 16. Seingat bapak, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk membawa kewajibannya ketika ikrar talak? Selama perkara yang saya tangani belum ada yang menolak permintaan hakim untuk membawa kewajibannya pada saat ikrar talak. 17. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah untuk istri? Ketika suami belum membawa kewajibannya hakim akan menunda persidangan ikrar talak. tapi kalau istri mengatakan bahwa masalah pembayaran kewajiban suami tersebut akan diselesaikan secara kekeluargaan di luar persidangan, maka persidangan bisa saja dilanjutkan. Atau ketika suami belum membawa kewajibannya hakim akan menanyakan kepada istri apakah rela di talak tapi belum mendapat hak, kalau istri mengatakan tidak mau, maka persidangan akan ditunda, kalau rela maka persidangan akan dilanjutkan, dan keterangan istri akan dibuat dalam berita acara. 18. Apa dasar dari praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di persidangan?
HASIL WAWANCARA
Nama
: Drs. H. Syamsul Bahri Z, MA.
NIP
: 19541214 198503 1 002
Jabatan
: Hakim
Hari, Tanggal
: Kamis, 19 Maret 2015
1. Apakah bapak adalah hakim di PA Batusangkar? Ya benar. 2. Sebelum bapak menjadi hakim di PA BSK, dimana bapak bertugas? Sebelumnya saya bertugas di PA sawahlunto. 3. Apakah selama bapak menjadi hakim di PA BSK, bapak pernah menangani kasus cerai talak? Pernah, sering, karena itu merupakan salah satu kewenangan absolute Pengadilan Agama. 4. Menurut bapak, Apa saja kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika terjadi cerai talak? Sesuai dengan peraturan yang berlaku, dalam hal ini KHI, dijelaskan kewajiban yang dapat dibebankan kepada suami ketika terjadi perceraian adalah yang pertama, suami dapat dibebankan biaya untuk keperluan anaknya. kedua, suami dapat dibebankan untuk melunasi nafkah masa lalu (madhiyah). Ketiga, suami dapat dibebankan mut’ah yang diberikan kepada istrinya. Keempat, suami dapat dibebankan untuk membayar nafkah iddah kepada istrinya. 5. Selama bapak menjadi hakim di PA BSK, apakah bapak pernah menangani perkara cerai talak yang dikumulasikan dengan permintaan hak nafkah iddah dan mut’ah? Ya pernah. 6. Sepengetahuan bapak apakah ada peraturan yang mengatur tentang pembayaran nafkah iddah dan mut’ah?
Ada dalam KHI pasal 149. 7. Bagaimanakah kategori istri yang berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah? Setiap Istri yang tidak nusyuz berhak mendapat nafkah iddah dan mut’ah. 8. Bagaimana cara hakim dalam menentukan jumlah nafkah iddah dan mut’ah yang akan ditanggung suami? Dalam menentukan jumlah nafkah iddah, hakim akan mencoba mencari jalan tengah yang bertujuan agar tidak terlalu memberatkan suami, dan juga dapat membantu istri dalam memenuhi kebutuhannya selama masa iddah. Hakim akan bertanya kepada istri mengenai kisaran kebutuhannya perhari. Setelah ditemukan, maka dikalikan untuk jumlah hari dalam satu bulan kemudain dikali 3 untuk 3 bulan. Selanjutnya, agar menghasilkan keadilan maka hakim akan bertanya kepada pihak suami mengenai usahanya, dan penghasilannya perhari, dan kisaran penghasilannya selama satu bulan. Kemudian hakim akan menanyakan apakah suami mampu untuk membayarkan jumlah nafkah iddah tersebut. Jika pihak suami mengatakan tidak mampu, tapi menurut hakim setelah melihat dari jumlah penghasilan suami seharusnya dia mampu, dan berdasarkan saksi yang dihadirkan maka hakim bisa saja tetap membebankan jumlah nafkah iddah seperti yang pertama kepada suami, tapi jika suami mengatakan tidak mampu membayarkan nafkah iddah tersebut, dan berdasarkan penghasilan dan saksi yang telah didatangkan suami memang tampak tidak mampu maka hakim dapat mengambil bagian tengah yang tidak terlalu memberatkan suami, dan dapat membantu istri. Begitu pun mut’ah, tapi kalau mut’ah hanya dibayarkan untuk satu kali. 9. Kapankah seorang suami menjadi berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan mut’ah? Suami berkewajiban membayarkan nafkah iddah dan mut’ah dan kewajiban lainnya adalah pada saat telah dilakukannya ikrar talak. Kewajibannya dibayarkan pada saat sidang ikrar talak. 10. Bagaimana cara hakim untuk meminta suami membawa kewajibannya di persidangan ikrar talak? Pada saat hakim telah membacakan putusan, hakim akan mengatakan bahwa putusan ini dapat dilakukan upaya hukum, dan persidangan akan ditunda, kemudian menanyakan kepada masing-masing pihak apakah mereka sudah
mengerti dengan isi putusan, terakhir mengatakan pada suami untuk membawa kewajibannya pada saat sidang ikrar talak. 11. Seingat bapak Selama menjadi hakim di PA BSK, apakah ada pihak suami yang ketika ikrar talak tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah? Ya, ada kadang-kadang. 12. Apa alasan yang diberikan pihak suami ketika tidak membawa kewajibannya? Biasanya mereka mengatakan belum ada uang untuk membayar kewajibannya. 13. Seingat bapak, Apakah ada pihak suami yang menolak permintaan hakim untuk membawa kewajibannya ketika ikrar talak? Seingat saya tidak ada yang menolak, semua mendengarkan kata hakim. 14. Bagaimana langkah yang dilakukan hakim, ketika pihak suami tidak membawa nafkah iddah dan mut’ah untuk istri? Ketika suami pada saat persidangan yang telah ditentukan tidak membawa kewajibannya, maka persidangan dapat ditunda guna melindungi agar istri mendapat jaminan untuk mendapat haknya. Karena kalau tidak, bisa saja suami ketika telah mengucapkan talak tidak membayarkan kewajibannya, guna melindungi istri karena memang perkara cerai talak sedikit berbeda. Pada dasarnya perkara cerai talak adalah perkara permohonan yang dimintakan suami, biasanya kalau perkara permohonan hanya ada satu pihak, tapi dalam perkara permohonan cerai talak ada dua pihak, jadi agar putusan tidak hampa, dan mengandung manfaat bagi masing-masing pihak serta mencerminkan keadilan bagi kedua belah pihak, maka penundaan persidangan bisa saja dilakukan, lagi pula masa ikrar talak dalam pasal 70 UU PA adalah 6 bulan jadi selama 6 bulan itu suami masih bisa mengucapkan ikrar talak. Kemudian pada saat persidangan tersebut, hakim akan berupaya untuk menggugah hati suami agar menyadari pentingnya nafkah iddah dan mut’ah dan hak istri lainnya bagi pihak istri, serta mendorong pihak suami agar terpacu mengumpulkan uang sehingga berupaya menabung untuk membayarkan kewajibannya. Semua itu hakim lakukan guna menjadikan putusan berkeadilan, dan berkemanfaatan. 15. Apa dasar dari praktek pembayaran nafkah iddah dan mut’ah di persidangan? Dasar dari praktek itu hanya dari ijtihad hakim.