UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)
Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh : FITRIANA NIM : 1111048000079
KONSENTRASI HUKUMBISNIS PROGRAM STUDI I L M U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/ 2015 M
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)
SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)
Oleh: FITRIANA NIM : 1111048000079
PEMBIMBING
DWI PUTRI CAHYAWATI, S.H., M.H
KONSENTRASI HUKUMBISNIS PROGRAM STUDI I L M U HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 1436 H/2015 M
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan telah tercantum sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya asli saya atau jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 April 2015
iii
ABSTRAK FITRIANA, NIM 1111048000079, “UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 15/PUU-XII/2014)”. Konsentrasi Hukum Bisnis, Program Studi Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1436 H/ 2015 M. viii + 85 halaman + 77 hal lampiran. Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah upaya pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan UU No.30 Tahun 1999, untuk mengetahui pertimbangan hukum putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUUXII/2014 atas pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 dan untuk mengetahui akibat hukum atas lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase. Tipe penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase serta mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. Pendekatan masalah yang digunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Selanjutnya ada tiga bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan tertier. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitan kepustakaan (library research). Hasil dari penenlitian ini adalah pertama, mengenai mekanisme pembatalan arbitrase berdasarkan UU No. 30 Tahun 1999 sebagaimana telah diatur dalam Ps.70 s.d Ps.72 yaitu para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke Pengadilan Negeri, dengan alasan pembatalan yang terdapat pada Ps.70 yang bersifat limitatif dan atas putusan PN terhadap permohonan pembatalan putusan arbitrase dapat dilakukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung dengan putusan yang bersifat final dan binding. Kedua, pertimbangan hukum pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 terhadap pengujian penjelasan pasal 70 UU No.30 Tahun 1999 adalah bahwa pasal 70 sudah cukup jelas (expressis verbis), dan penjelasan pasal 70 telah mengubah norma pasal, menimbulkan norma baru dan multitafsir sehingga mengakibatkan ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketiga, akibat hukum atas lahirnya putusan MK No.15/PUU-XII/2014 adalah dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas adanya unsur pembatalan dalam pasal 70 tidak perlu dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, sebagaimana ketentuan penjelasan pasal 70 yang telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan amar putusan MK No.15/PUU-XII/2014. Kata Kunci: Putusan Arbitrase, Pembatalan, Pasal 70, Mahkamah Konstitusi. Dosen Pembimbing: Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H Daftar Pustaka : Tahun 1987 – Tahun 2012 iv
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim... Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT. Berkat rahmat, nikmat serta anugerah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “ Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014)”. Sholawat serta salam penulis sampaikan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW, yang telah membawa umat manusia dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini mungkin tidak dapat diselesaikan oleh penulis tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat: 1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Bapak Dr. Asep Saepudin Jahar, MA,. 2. Ketua dan Sekertaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Dr. Djawahir Hejjaziey, S.H.,MA, MH. dan Bapak Arip Purkon, SHI., MA. 3. Pembimbing Skripsi penulis, ibu Dwi Putri Cahyawati, S.H.,M.H. Terimakasih atas waktu, arahan dan kritik serta saran yang diberikan. 4. Segenap dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya dosen program studi Ilmu Hukum yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat bermanfaat kepada penulis, khususnya kepada Bapak Nur Rohim Yunus, LLM dan Andi Syafrani, SH., MCCL. yang telah memberikan arahan terhadap skripsi penulis. 5. Kepada staff Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
v
6. Kedua orang tua tercinta Ayahanda Ahmad dan Ibunda Euis Hamidah, terimakasih atas segala doa dan kasih sayang, motivasi, perhatian dan bantuan yang telah dicurahkan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. kepada Kedua Kakak tercinta Yuni Mega Rahayu, S.E dan Nur Rianti A.md terimakasih atas segala support, kasih sayang dan doa yang kalian berikan. 7. Teman-teman Ilmu Hukum angkatan 2011. Khususnya Sahabat-sahabatku tercinta Neysa Sabila, Verina Pradita, Citra Chandrika Gita Putri, Clara Fenty Zahara, Lidia Asrida dan Syahirah Banun dan teman-teman seperjuangan konsentrasi hukum bisnis yang telah sama sama berjuang dan saling memberikan motivasi serta semangat dalam menyelesaikan studi demi meraih cita-cita. 8. Kepada Sahabat-sahabatku tersayang Amaliah, Fitria Tanzila, Sindy Pariamanda, Tuti Purwaningsih, Serta Gusti Anugrah, Eko, Rudy dan Rano
yang telah
memberikan support dan semangat tiada henti kepada penulis dalam menyelesaikan studi yang penulis tempuh. 9. Semua Pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu persatu.
Semoga Allah SWT membalas seluruh kebaikan pihak-pihak yang telah mendukung dan membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, untuk itu penulis haturkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya. Sekian dan terimakasih. Wassalamu’alaikum Wr. Wb Jakarta, 15 April 2015
Fitriana
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................ i LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. ii LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iii ABSTRAK ............................................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v DAFTAR ISI .......................................................................................................... vi
BAB I
: PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1 B. Pembatasan Masalah dan Permusan Masalah .......................... 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 6 D. Tinjauan (Riview) Studi Terdahulu .......................................... 8 E. Kerangka Konseptual ............................................................... 10 F. Metode Penelitian ..................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan .............................................................. 15
BAB II
: TINJAUAN UMUM ARBITRASE A. Pengertian Arbitrase ................................................................. 18 B. Sumber Hukum Arbitrase ........................................................ 20 C. Asas-asas Dalam Arbitrase ...................................................... 24 D. Keunggulan dan Kelemahasan Arbitrase ................................. 27 E. Jenis-Jenis Arbitrase ................................................................. 30 F. Perjanjian Arbitrase .................................................................. 32 G. Kewenangan Arbitrase ............................................................. 35
vii
BAB III
: PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE A. Jenis Putusan Arbitrase ............................................................ 39 B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase ................................................ 40 C. Pembatalan Putusan Arbitrase ................................................. 45
BAB IV
:UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE NASIONAL (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014) A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 1. Posisi Kasus ....................................................................... 53 2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 ......................................................... 59 3. Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 ............................................................................................. 65 B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi
No.15/PUU-
XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase .......... 75
BAB V
: PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................... 80 B. Saran ......................................................................................... 83
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 85 LAMPIRAN Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pada kegiatan perdagangan, tak jarang timbul suatu konflik atau sengketa dengan bentuk yang beraneka ragam. Sengketa pada dasarnya, hal yang harus dihindari, karena akibat yang akan ditimbulkan. Sehingga, dalam hubungan kerjasama perdagangan harus diantisipasi kemungkinan-kemungkinan timbulnya suatu sengketa. Sebelum timbulnya sengketa, langkah terlebih dahulu yang dapat dilakukan yaitu dengan membuat suatu perjanjian atau memasukan suatu klausul penyelesaian sengketa
dengan memilih upaya yang akan ditempuh sesuai
kesepakatan bersama melalui pengadilan atau luar pengadilan.1 Upaya penyelesaian sengketa yang dapat ditempuh selain melalui pengadilan yakni melalui jalur non litigasi atau di luar pengadilan yaitu melalui mediasi, negosiasi, dan konsiliasi serta arbitrase. Penyelesaian sengketa melalui litigasi di pengadilan, cenderung dapat menghasilkan masalah baru karena sifatnya yang win-lose, tidak responsif, time consuming proses berperkaranya, dan terbuka untuk umum.2 Untuk itu penggunaan
1
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012), h.54.
2
Frans hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan Internasional (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.9.
1
2
mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan mulai di minati oleh pelaku usaha bidang perdagangan, khususnya mekanisme penyelesaian melalui arbitrase. Arbitrase merupakan sebuah pilihan alternatif penyelesaian sengketa yang paling menarik, khususnya bagi kalangan atau pihak dalam kegiatan perdagangan kerena arbitrase dinilai sebagai suatu penyelesaian sengketa yang independen dan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan. Arbitrase pada umumnya merupakan pemeriksaan suatu sengketa yang dilakukan secara judisial, walaupun disederhanakan seperti yang dikehendaki oleh para pihak yang bersengketa, dalam pemecahannya didasarkan kepada bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak tersebut.3 Sebagai alternatif penyelesaian sengketa arbitrase menawarkan beberapa kelebihan di banding ranah pengadilan yaitu penyelesaian yang relatif lebih cepat, sifat kerahasiaan sengketa terjamin dan para pihak memiliki kebebasan untuk memilih hakimnya (arbiter) yang netral dan ahli mengenai pokok sengketa yang dihadapi para pihak serta tentunya dengan biaya terukur.4 Pada penyelesaian melalui arbitrase, para pihak harus menyatakan dalam perjanjian yang memuat klausul bahwa para pihak menyetujui suatu sengketa yang terjadi atau akan terjadi di antara mereka untuk diselesaikan melalui arbitrase dengan
3
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS), (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.12 4
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.59.
3
suatu perjanjian yang tertulis yang telah disepakati para pihak. Dengan begitu penyelesaian sengketa yang timbul merupakan kewenangan dari arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase dan Pengadilan tetap mempunyai keterkaitan. Dalam hal ini, keterkaitan atau peranan pengadilan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase disebut dalam beberapa pasal, sebagai bentuk memperkuat proses arbitrase sampai pelaksanaan putusan arbitrase. Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase nasional, putusan arbitrase wajib diserahkan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak tanggal putusan di ucapkan, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (binding), sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum banding dan kasasi. Namun, terhadap putusan Arbitrase dapat diajukan upaya pembatalan putusan arbitrase apabila mengandung unsur-unsur, yang telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi : “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsurunsur antara lain sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa Selanjutnya penjelasan pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan arbitrase, yang berbunyi :
4
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Dengan demikian, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan ruang dalam upaya pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan atas terpenuhinya Pasal 70 serta penjelasan pasal 70. Persyaratan pembatalan putusan arbitrase yang tertuang dalam Pasal 70 beserta Pejelasannya sebenarnya harus dipandang dalam satu kesatuan, hal tersebut dilakukan untuk membatasi secara tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan.5 Namun dalam perkembangannya, mengenai penjelasan pasal 70 UndangUndang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah diajukan permohonan uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh pemohon yaitu Ir.Darma Ambiar, M.M., Direktur PT Minerina Cipta Guna sebagai pihak pemohon I, dan Drs.Sujana Sulaeman, Direktur utama PT. Bangun Bumi Bersatu sebagai pihak pemohon II. Dalam hal ini kedua pemohon mempersoalkan penjelasan pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa karena dianggap rancu karena mengandung norma baru dan selanjutnya, menurut pemohon karena disebabkan oleh penjelasan tersebut, norma pokok Pasal 70 sendiri menjadi tidak operasional dan menghalangi hak hukum pemohon memperoleh 5
Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian, Artikel diakses Pada 4 Februari 2015 dari http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/Pembatalan-PutusanArbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27
5
keadilan dengan mengajukan pembatalan putusan arbitarase.6 Atas permohonan uji materil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang telah diajukan kepada Mahkamah Konstitusi, kemudian lahirlah putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Berdasarkan hal tersebut diatas penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang membahas mengenai mekanisme dari upaya pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 15/PUU-XII/2014 dan akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase, sehingga penulis tuangkan dalam bentuk penelitian skripsi dengan judul “Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014).”
6
Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya, Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan arbritase Artikel di akses 5 Februari 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mk-perjelas-alasan-pembatalan-putusanarbitrase.
6
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar pembahasan pada penelitian ini terarah dan tidak meluas maka penulis hanya memfokuskan pembahasan pada substansi pengaturan hukum yang terkait dengan pembatalan putusan arbitrase pada Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan
uraian
yang
penulis jelaskan dalam
latar belakang
masalah, penulis merumuskan permasalahan ke dalam beberapa pertanyaan, sebagai berikut: a. Bagaimana mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undangundang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa? b. Bagaimana pertimbangan hukum dalam putusan nomor 15/PUU-XII/2014? c. Bagaimana akibat hukum atas putusan Mahkamah konstitusi Nomor 15/PUUXII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan penelitian yang dilakukan, berikut penjelasan tujuan dan manfaat dari penelitian ini :
7
1. Tujuan Penelitian Sesuai dengan perumusan masalah yang telah diketengahkan oleh penulis, maka tujuan penulisan pada penelitian ini yakni sebagai berikut : a. Untuk mengetahui mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS. b. Untuk mengetahui pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. c. Untuk mengetahui akibat hukum setelah lahirnya putusan Mahkamah konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014, terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
2. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penulisan penelitian ini, dibedakan menjadi dua, yakni : a. Manfaat Teoritis Manfaat dari hasil penelitian ini secara teoritis, diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam Ilmu Hukum, khususnya dalam Hukum Bisnis yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa melalui arbitrase. b. Manfaat Praktis Manfaat dari hasil penelitian ini secara praktik, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan serta dapat menambah
bahan rujukan bagi
mahasiswa dalam memahami upaya pembatalan putusan arbitrase.
8
D. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu Untuk menghindari kesamaan dalam penelitian ini, penulis melakukan pelusuran kajian terdahulu yang berkaitan dengan penelitian ini, berikut kajian terdahulu yang penulis temukan: 1. Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Diponegoro 2005, yang disusun oleh Abdul Wahid, SH., dengan judul
“Mekanisme Penyelesaian
Sengketa Bisnis Melalui Arbitrase”, pada penelitian ini membahas mengenai mekanisme penyelesaian sengeketa melalui arbitrase dan pada penelitian ini juga menelaah mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bisnis melalui arbitrase dari pengaturan dalam peraturan perundang-undangan maupun aturan prosedural (rules) arbitrase institusional, menelaah pada penerapan dari berbagai kasus-kasus arbitrase. Berbeda dengan penelitian penulis yang membahas mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase nasional berdasarkan Undangundang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Akibat Hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUUXII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase. 2. Tesis Fakultas Pascasarjana, Program studi kajian ilmu kepolisian, Universitas Indonesia Jakarta Juni 2011, yang disusun oleh Arman, SIK., dengan judul “Analisis Yuridis Terhadap Pembatalan Putusan Arbitrase Di Pengadilan Negeri Indonesia Dalam Hal Adanya Dugaan Pemalsuan Dikaitkan dengan Sistem Peradilan Pidana Indonesia”, pada penelitian membahas pada permasalahan utamanya mengenai kasus arbitrase antara PT. Krakatau Steel dan
9
International Piping Product (IPP) dan meneliti penerapan Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa khususnya dalam hal pembatalan putusan arbitrase karena adanya dugaan pemalsuan dokumen. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUUXII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. 3. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2014, yang disusun oleh Atiek AF’Idata dengan judul “Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional (Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 631 K/Pdt.Sus/2012), pada penelitian ini membahas peraturan mengenai pembatalan putusan arbitrase Internasional serta praktek beracara yang dilakukan oleh lembaga peradilan di Indonesia terutama terkait hukum acara arbitrase asing. Berbeda halnya, dengan penelitian penulis yang ingin membahas mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-undang No.30 Tahu 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan khususnya menganalisis terhadap putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUUXII/2014 dengan meneliti dasar dari putusan tersebut yaitu pertimbangan hukum
10
hakim majelis Mahkamah konsitusi serta meneliti akibat hukum dari lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014.
E. Kerangka Konseptual Suatu kerangka konseptual, merupakan kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus, yang ingin atau akan diteliti.7 Dalam kerangka konseptual ini dituangkan beberapa konsepsi atau pengertian yang digunakan sebagai dasar dari penelitian hukum. berikut kerangka konsepsi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini : 1. Alternatif Penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati oleh para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. (Pasal 1 angka 10 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS) 2. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (pasal 1 angka 1 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS) 3. Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
7
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI PRESS, 2010), h. 132.
11
timbulnnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. (pasal 1 angka 3 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS) 4. Arbiter adalah seorang atau lebih yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa atau yang ditunjuk oleh pengadilan negeri atau oleh lembaga arbitrase, untuk memberikan
putusan
mengenai
sengketa
tertentu
yang
diserahkan
penyelesaiannya melalui arbitrase. (Pasal 1 angka 7 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS) 5. Lembaga arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu; lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbulnya sengketa. (pasal 1 angka 8 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS). 6. Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase international. (pasal 1 angka 9 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS). 7. Pengadilan Negeri adalah Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat tinggal termohon. (pasal 1 angka 4 UU No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS).
12
F. Metode Penelitian Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya.8 Selanjutnya, langkah-langkah yang diambil dalam suatu penelitian hukum harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendali.9 berikut uraian mengenai metode penelitian yang akan penulis gunakan: 1. Tipe Penelitian Tipe penelitian yang penulis gunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian di fokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau normanorma dalam hukum positif.10 Pada penelitian ini, penulis mengacu pada norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase nasional serta mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014. 2. Pendekatan Masalah Dalam penelitian hukum memiliki beberapa pendekatan yaitu pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan
historis
(historical
approach)
dan
pendekatan
komparatif
8
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 43.
9
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Bayumedia) h.
294 10
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h.295
13
(comparative approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach).11 Pendekatan-pendekatan masalah tersebut digunakan tujuannya untuk mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang akan diteliti. Pendekatan masalah yang akan penulis gunakan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan kasus (case approach). Pendekatan perundang-undangan merupakan suatu pendekatan yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang menjadi tema sentral penelitian,12 dalam penelitian ini peraturan yang menjadi tema sentral penelitian adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya, pendekatan kasus (case approach) yang penulis gunakan yaitu mengacu pada pendekatan kasus pada putusan Mahkamah Kontitusi No.15/PUU-XII/2014. 3. Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif yang diteliti adalah bahan pustaka atau data sekunder,13 yang terdiri dari : a. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya yang mempunyai otoritas, yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
11
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005)
12
Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. h. 295
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum h. 5.
h.133.
14
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.14 Dalam penelitian ini bahan hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan Putusan MK No.15/PUU-XII/2014 dan peraturan hukum lainnya yang berkaitan dengan pembatalan putusan arbitrase. b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang penulis gunakan terdiri dari buku-buku, artikel-artikel dalam jurnal dan karya ilmiah lainnya. yang berkaitan dengan Arbitrase . c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder,15 contohnya adalah kamus hukum, indeks artikel, ensiklopedia yang berkaitan dengan Arbitrase. 4. Teknik Pengumpulan data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitan kepustakaan (library research) dengan melakukan penelusuran untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan yang dapat terdiri dari literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan dan sumber lainnya.
14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, h.181.
15
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. h. 5.
15
5. Pengolahan dan analisis bahan hukum Adapun bahan hukum yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder yang telah diperoleh melalui penelitian kepustakaan serta peraturan perundang-undangan penulis uraikan dan hubungkan, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Kemudian, cara pengolahan bahan hukum dilakukan dilakukan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi. 6. Teknik Penulisan Dalam penulisan penelitian ini, mengacu pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulah Jakarta, tahun 2012.16
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah penulis dalam mengkaji dan menelaah skripsi yang berjudul
“Upaya Pembatalan Putusan Arbitrase Nasional (Analisis Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014), Maka dirasa perlu untuk menguraikan kedalam sistematika penulisan sebagai gambaran singkat skripsi, yakni sebagai berikut :
16
Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi, (Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jamian Mutu (PPJM), 2012). h. 11- 46.
16
BAB I
PENDAHULUAN Dalam bab pertama ini penjelasannya meliputi, latar belakang masalah, Pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka konseptual, tinjauan (review) kajian terdahulu, dan metode penelitian serta sistematika penelitian. Dengan demikian pada bab I ini merupakan gambaran kecil pada proses menelaah penelitian hukum.
BAB II
TINJAUAN UMUM ARBITRASE Dalam bab Kedua ini akan dibahas mengenai tinjauan umum arbitrase yakni dengan membahas pengertian arbitrase, sumber hukum arbitrase, asas-asas dalam arbitrase, keunggulan dan kelemahan arbitrase, jenisjenis arbitrase, dan perjanjian arbitrase serta kewenangan arbitrase.
BAB III
PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE Dalam bab ketiga akan dibahas mengenai jenis putusan arbitrase, pelaksanaan putusan arbitrase dan pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
BAB IV
UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)
17
Dalam bab keempat ini akan dipaparkan hasil penelitian yakni, bagian pertama, menelaah Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUUXII/2014 yang terdiri dari posisi kasus, pertimbangan hukum dan amar putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 dan analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. Bagian kedua, mengetahui akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUUXII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase.
BAB V
PENUTUP Dalam bab kelima merupakan bab penutup berisi tentang kesimpulan dan saran atas hasil dari penelitian yang telah dilakukan oleh penulis.
BAB II TINJAUAN UMUM ARBITRASE
A. Pengertian Arbitrase Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, definisi arbitrase pada pasal 1 ayat berbunyi: “Arbitrase adalah
cara
penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan
umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa”. Mengenai arbitrase para ahli hukum juga memberikan definisinya, yakni sebagai berikut: Pertama, menurut Subekti arbitrase merupakan suatu penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang wasit atau para wasit yang berdasarkan persetujuan bahwa mereka akan tunduk atau menaati keputusan yang akan diberikan wasit atau para wasit yang mereka pilih atau yang ditunjuk.17 Kedua, Abdulkadir Muhammad, memberikan definisi arbitrase adalah suatu badan peradilan swasta diluar lingkungan peradilan umum yang dikenal khusus dalam dunia perusahaan.18
17
R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, (Bandung: Bina Cipta, 1987), h.1
18
Elsi Kartika dan Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana,2008). h. 202
18
19
Ketiga, Sudikno Mertokusumo memberikan definisi yaitu arbitrase adalah suatu prosedur penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau arbiter.19 Keempat, menurut Priyatna Abdurrasyid,
arbitrase
merupakan
suatu
tindakan hukum dimana ada pihak yang menyerahkan sengketa atau selisih pendapat antara dua orang (atau lebih) maupun dua kelompok (atau lebih) kepada seorang atau beberapa ahli yang disepakati bersama dengan tujuan memperoleh satu keputusan final dan mengikat.20 Kelima, menurut Meria Utama, dalam bukunya hukum ekonomi internasional memberika definisi arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral.21 Keenam, Gunawan Widjaja mendefinsikan arbitrase merupakan suatu perjanjian yang melibatkan dua pihak yang saling bersengketa untuk mecari penyelesaian sengketa di luar pengadilan.22 Dengan merujuk pada definisi diatas, arbitrase merupakan suatu upaya penyelesaian sengketa di luar badan peradilan, yang dapat ditempuh oleh para pihak 19
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 25, mengutip sudikno mertokusumo, mengenal hukum: suatu pengantar (yogyakarta: penerbit Liberty), h. 144 20
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (APS); Suatu Pengantar (Jakarta: PT.Fikahati Aneska, 2011), h.61 21 22
Meria Utama, Hukum Ekonomi Internasional, h.58
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai (Jakarta:Kencana, 2008), h. 182
20
yang bersengketa berdasarkan suatu perjanjian yang dibuat sebelum atau setelah terjadinya sengketa, dan dalam proses penyelesaiannya ditengahi oleh pihak ketiga yaitu arbiter. B. Sumber Hukum Arbitrase Sumber hukum yang mengatur keberadaan arbitrase dalam sistem tata hukum Indonesia, yaitu bertitik tolak pada pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBG), yang berbunyi: “Jika orang Indonesia dan orang timur asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa eropa.” Pasal ini menegaskan mengenai kebolehan pihak-pihak yang bersengketa untuk: 23 1.
Menyelesaikan sengketa melalui “juru pisah” atau arbitrase;
2.
Arbitrase diberi fungsi dan kewenangan untuk menyelesaikannya dalam bentuk “keputusan”;
3.
Untuk itu, baik para pihak maupun arbitrator atau arbiter, wajib tunduk menuruti peraturan hukum acara yang berlaku bagi bangsa atau golongan eropa
Dengan demikian, berdasarkan pasal 377 HIR/705 RBG memberikan ruang kepada para pihak untuk dapat membawa dan menyelesaikan perkara yang timbul di luar jalur kekuasaan pengadilan, apabila menghendakinya dengan begitu penyelesaian 23
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.1
21
dan keputusannya dapat mereka serahkan sepenuhnya kepada juru pisah yang lazim dikenal dengan nama arbitrase.24 Pada pasal 377/705 RBG yang merupakan landasan dari penyelesaian arbitrase ini tidak memberikan aturan lebih lanjut mengenai arbitrase, hanya dalam pasal tersebut menyebutkan “maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan yang berlaku bagi bangsa eropa”. Maka selanjutnya mengikuti aturan yang mengatur golongan penduduk eropa, yakni kitab undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV), arbitrase diatur pada buku ketiga tentang aneka acara. Mengenai arbitrase, undang-undang hukum acara perdata (Reglement op de Bergerlijk rechsvordering atau RV) mengaturnya dalam lima bagian pokok:25 1. Bagian pertama (615-623 Rv): persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrator atau arbiter. 2. Bagian kedua (624-630 Rv): pemeriksaan di muka badan arbitrase 3. Bagian ketiga (631-640 Rv): putusan arbitrase 4. Bagian keempat (641-647 Rv): upaya-upaya terhadap putusan arbitrase. 5. Bagian kelima (647-651 Rv): berakhirnya Acara-acara arbitrase Kebolehan penyelesaian sengketa diluar pengadilan juga termaktub dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, undang-undang tersebut mengatur mengenai penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia yaitu yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya 24
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.2 25
Yahya Harahap, h.2.
22
dilingkup peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Konstitusi. Dan mengenai kebolehan penyelesaian sengketa melalui arbitrase termaktub dalam pasal 58 yang berbunyi: “Upaya penyelesaian sengketa perdata dapat dilaksanakan melalui arbitrase atau alternatif penyelesaian sengketa.”. Mengenai arbitrase, Indonesia telah
lama
membahas tentang perubahan
pedoman arbitrase yang sesuai dan dapat diterima, baik secara nasional dan internasional serta perlunya pelembagaan alternatif penyelesaian sengketa, maka melalui perangkat perundang-undangan pada tanggal 12 Agustus 1999 pemerintah mengesahkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.26 Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pasal 5, objek sengketa arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa dan sengketa yang dapat diselesaikan melalui perdamaian. Dalam undang-undang ini pun diatur mengenai alternatif penyelesaian sengketa ke dalam beberapa jenis yaitu konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Selanjutnya, pengaturan mengenai arbitrase asing di Indonesia dapat dilihat dengan disahkannya UU No.3 Tahun 1968 yang merupakan persetujuan atas 26
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional (Jakarta: Sinar Grafika,2011), h.7
23
Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan Antar negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and national of Other States/ (ICSID)). Tujuan menetapkan persetujuan ratifikasi atas konvensi tersebut untuk mendorong dan membina perkembangan penanaman modal asing atau joint venture di Indonesia. Sebab dengan diakui konvensi tersebut oleh Pemeritah Indonesia sedikit banyak akan memberikan banyak keyakinan kepada pihak pemodal asing bahwa sengketa yang timbul kelak dapat dibawa ke forum arbitrase. 27 Pengaturan lain mengenai keberlakuan arbitrase asing ialah Keputusan Presiden (Keppres) No.34 Tahun 1981. Keppres ini mengatur tentang pengesahan Covention on the Recognition and Enforment of Foreign Arbitral Award yang lazim disebut Konvensi New York 1958. Dengan berlakunya Keppres ini Indonesia telah mengikatkan diri dengan suatu kewajiban hukum, untuk mengakui dan mematuhi pelaksanaan eksekusi atas setiap putusan arbitrase asing di Indonesia namun tidak terlepas dengan asas resiprositas, dengan kata lain pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan atas asas ikatan “bilateral” atau “multilateral”. Selanjutnya, pada tanggal 1 maret 1990 telah berlaku Peraturan Mahkamah Agung No.1 Tahun 1999 (Selanjutnya disebut Perma No. 1 Tahun 1990). Perma No. 1 Tahun 1999 mengatur tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang bertujuan
27
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.5
24
untuk mengantisipasi hambatan atau permasalahan pengakuan dan pelaksanaan eksekusi putusan arbitrase asing. C. Asas-asas dalam Arbitrase Berikut ini merupakan asas-asas umum dalam arbitrase, yaitu antara lain:28 1. Asas final dan mengikat (binding) Asas final dan mengikat (binding) terhadap putusan arbitrase, jelas diatur pada pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada bab VI mengenai pelaksanaan putusan arbitrase, yang menyatakan: “putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak” dan dalam ketentuan pasal 68 ayat 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang menyatakan bahwa: “terhadap putusan ketua pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam pasal 66 huruf d yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase internasional, tidak dapat diajukan banding atau kasasi”. Menurut asas ini, putusan dari arbitrase tidak dapat diganggu gugat walaupun oleh pengadilan, karena dalam putusan arbitrase tidak dapat dilakukan upaya banding dan kasasi. Di sini pengadilan hanya berfungsi sebagai eksekutor, yang hanya meneliti apakah ada pelanggaran atas asas-asas tersebut, maka pengadilan dapat menolak pemberian eksekutor. 28
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS. Pengadilan – Persoalan Kompetensi (Absolut) Yang Tidak Pernah Selesai, h.188.
25
2. Asas resiprositas Asas ini tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruf a, Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan bahwa putusan arbitrase internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Indonesia. Asas ini mempunyai arti adanya ikatan hubungan timbal balik antara suatu negara dengan negara lain dimana dalam hubungan tersebut antara negara sama-sama mengakui putusan arbitrase negara, begitu juga sebaliknya. Menurut asas resiprositas tidak semua putusan arbitrase asing dapat diakui (recognize) dan dieksekusi (enforcement), hanya terbatas pada putusan yang diambil di negara asing yang mempuyai ikatan bilateral dengan Indonesia dan terkait bersama dengan negara Indonesia dalam suatu konvensi internasional.29 3. Asas ketertiban umum Asas ketertiban umum tercermin dalam ketentuan pasal 66 huruh c, Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menentukan bahwa putusan arbitrase internasional hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada ketentuan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Asas ini mempunyai arti, bahwa apabila ada putusan arbitrase yang bertentangan dengan ketertiban umum di Indonesia, permintaan eksekusinya dapat ditolak. 29
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI, 2010), h.20
26
4. Asas separabilitas Dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh, para pihak dapat memasukan perjanjian arbitrase yang berupa klasula arbitrase, yang merupakan bagian dari perjanjian tersebut atau merupakan perjanjian yang terpisah dari perjanjian pokok. Apabila perjanjian arbitrase menjadi bagian dari perjanjian, maka hal ini sering disebut klausul arbitrase. Asas separabilitas atau lebih dikenal dengan severable clause ini, mempunyai arti bahwa dalam suatu perjanjian, jika ada salah satu perikatan dalam perjanjian tersebut batal, maka pembatalan tersebut tidak mengakibatkan perikatan yang lain menjadi batal. Penerapan asas ini pada perjanjian arbitrase artinya jika perjanjian pokok tersebut berakhir atau batal, klausul atau pasal mengenai arbitrase masih tetap eksis.30 Mengenai perjanjian arbitrase Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, telah mengatur dalam pasal 10 Tentang suatu perjanjian arbitrase tidak menjadi batal disebabkan oleh keadaan, yaitu : a. b. c. d. e. f.
30
Meninggalnya salah satu pihak Bangkrutnya salah satu pihak Novasi Insolvensi salah satu pihak Pewarisan Berlakunya Syarat-syarat hapusnya perikatan pokok;
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006), h. 25.
27
g. Bilamana pelaksanaan perjanjian tersebut dialihtugaskan pada pihak ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut; atau h. berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. Jadi, apabila suatu arbitrase yang ada didalam
perjanjian pokok
batal,
tidak menjadikan klausul
perjanjian pokok tersebut ikut batal namun klasul
arbitrase harus tetap dilaksanakan. Karena klausul arbitrase adalah independen terhadap pemenuhan kewajiban atau perikatan lain dalam perjanjian tersebut dan karenanya berlakulah asas separabilitas terhadapnya.31
D. Keunggulan dan Kelemahan Arbitrase Upaya hukum dalam penyelesaian sengketa, para pihak dengan menimbang keunggulan dan kelemahan suatu jalur yang akan ditempuhnya agar terakomodir keinginan-keinginan para pihak. Dalam hal ini akan dibahas mengenai keunggulan dan kelemahan arbitrase. Berikut penjelasan keunggulan dan kelemahan arbitrase, menurut pendapat para ahli:32 1. Menurut Subekti, untuk dunia perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat arbitrase atau perwasitan mempunyai beberapa keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat, oleh para ahli dan secara rahasia. 2. HMN Purwosutjipto, memberikan pendapat mengenai arti penting peradilan wasit (arbitrase) yaitu 31
Gunawan Widjaja, Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan Persoalan Kompetensi (Absolut) yang Tidak Pernah Selesai. h.43 32
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online. h.24
28
a. Penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat b. Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak. c. Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan para pihak. d. Putusan Peradilan wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia inilah yang dikehendaki oleh para pihak. 3. Gatot Sumartono, memberikan kesimpulan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase selalu didasarkan pada asumsi-asumsi, sebagai berikut:33 a. Lebih cepat, karena putusannya bersifat final dan mengikat, sehingga menghemat waktu, biaya, dan tenaga; b. Dilakukan oleh ahli di bidangnya, karena arbitrase menyediakan para pakar dalam bidang tertentu yang menguasai persoalan yang disengketakannya, sehingga hasilnya (putusan arbitrase) dapat lebih dipertanggungjawabkan; dan c. Kerahasiaan terjamin karena proses pemeriksaan dan putusannya tidak terbuka untuk umum, sehingga kegiatan usaha tidak terpengaruh. 4. Frans Hendra Winarta, memberikan pedapat bahwa lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum, yaitu sebagai berikut:34 a. Sidang arbitrase tertutup untuk umum, sehingga kerahasiaan sengketa para pihak terjamin. b. Kelambatan yang diakibatkan oleh hal prosedural dan adminstratif dapat dihindari. c. Para pihak yang bersengketa dapat memilih arbiter yang menurut keyakinan mempunyai pengalaman, pengetahuan, jujur dan adil serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan.
33
Gatot sumartono Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006) h. 13. 34
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa; Arbitrase Nasional Indonesia dan Internasional. h. 62-63.
29
d. Sikap arbiter atau majelis arbiter dalam menangani perkara arbitrase didasarkan pada sikap yang mengusahakan win-win solution terhadap pihak yang bersengketa. e. Pilihan hukum untuk menyelesaikan sengketa serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase dapat ditentukan oleh para pihak. f. Putusan arbitrase mengikat para pihak (Final and binding) dangan melalui tata cara (prosedur) sederhana ataupun langsung dapat dilaksanakan. g. Suatu perjanjian arbitrase (klausul arbitrase) tidak menjadi batal karena berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok. h. Di dalam proses arbitrase, arbiter atau majelis arbitrase harus mengutamakan perdamaian diantara para pihak yang bersengketa. Berdasarkan keunggulan yang dikemukaan oleh para ahli, maka penyelesaian melalui arbitrase lebih disukai dan semakin dipertimbangkan selain melalui badan peradilan. Namun selain memiliki keunggulan, Penyelesaian sengketa melalui arbitrase juga memiliki kelemahan yaitu:35 1. Putusan arbitrase ditentukan oleh kemampuan teknis arbiter untuk memberikan keputusan yang memuaskan dan sesuai dengan rasa keadilan para pihak. 2. Apabila pihak yang kalah tidak mau melaksanakan putusan arbitrase, maka diperlukan perintah dari pengadilan untuk melakukan eksekusi atas putusan arbitrase tersebut. 3. Pada praktiknya pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing masih menjadi hal yang sulit. 4. Pada umumnya pihak-pihak yang bersengketa di arbitrase adalah perusahaanperusahaan besar. Oleh karena itu untuk, mempertemukan kehendak para pihak yang bersengketa dan membawanya ke badan arbitrase tidaklah mudah. 5. Tidak adanya legal precendence atau keterikatan terhadap putusan arbitrase sebelumnya.36
35
Frans Hendra Winarta, h.63
36
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.15
30
E. Jenis-Jenis Arbitrase Arbitrase merupakan penyelesaian sengketa di luar peradilan. Dalam Hal ini arbitrase mempunyai dua jenis yaitu arbitrase ad hoc (arbitrase Volunter) dan arbitrase institusional. Yang dimaksud dengan jenis arbitrase adalah macam-macam arbitrase yang diakui eksistensinya dan kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perselisihan yang terjadi antara para pihak yang mengadakan perjanjian.37 Berikut penjelasannya dari kedua jenis arbitrase :38 1. Abitrase ad hoc (arbitrase volunter) Arbitrase ad hoc atau arbitrase volunter merupakan arbitrase yang dibentuk secara khusus untuk menyelesaikan atau memutuskan perselisihan tertentu.39 Arbitrase ad hoc pada dasarnya dibentuk setelah sengketa timbul, dan akan berakhir apabila sudah selesai dan diputuskannya sengketa. Penyelesaian melalui arbitrase ad hoc, pada umumnya ditentukan berdasarkan perjanjian yang menyebutkan penunjukan
majelis arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak, untuk itu perlu disebutkan dalam klausul arbitrase.40 Sebuah arbitrase ad hoc pada dasarnya dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan 37
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.104 38
Elsi Kartika Sari dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. h. 204
39
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.105 40
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia h.27
31
yang sengaja dibentuk untuk tujuan arbitrase, yakni Misal Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, UNCITRAL Arbitration rules dan ICC Rules. 2. Arbitrase institusional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan lembaga arbitrase adalah: “Badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengeta tertentu; Lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu hubungan hukum tertentu dalam hal yang timbul sengketa” Arbitrase institusional merupakan suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri.41 Badan atau lembaga dalam arbitrase institusional ini tetap berdiri, meskipun perselisihan yang ditangani telah selesai diputus.42 Arbitrase institusional dapat ditempuh sebagai penyelesaian sengketa apabila para pihak sepakat dan menuangkannya ke dalam perjanjian dalam hal penyelesaian sengketa. Arbitrase institusional, ada yang bersifat nasional dan internasional yaitu suatu badan atau lembaga arbitrase yang berbeda ruang lingkup keberadaannya serta yuridiksinya. Arbitrase institusional yang bersifat nasional, misalnya Badan 41
Gatot Soemartono, h.27.
42
Meria utama, Hukum Ekonomi Internsional, h.59
32
Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), Badan Arbitrase Syariah Nasional (BASYARNAS), Badan Arbitrase Pasar Modal Indonesia (BAPMI), Badan Arbitrase Perdagangan Berjangka Komoditi (BAKTI) di Indonesia, Nederlands Arbitrage Institut di Belanda, dan The Japan Commercial Arbitration Association di Jepang. Selanjutnya Contoh dari Arbitrase institusional yang bersifat internasional, yakni Court Arbitration of the international chamber of commerce (ICC), The International Centre For Settlement of Investment Disputes (ICSID). Badan atau lembaga arbitrase institusional yang bersifat nasional dan internasional tersebut memiliki peraturan dan sistem arbitrase sendiri, jadi para pihak terikat segala pengaturan arbitrase, dari mulai biaya, pemilihan arbiter, prosedur serta tata cara pelaksanaan arbitrase dan lainnya.
F. Perjanjian Arbitrase Kebolehan para pihak dalam menentukan penyelesaian suatu sengketa yang timbul maupun yang akan timbul melalui arbitrase didasari pada pasal 7 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Dalam menentukan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, harus didasari kesepakatan para pihak yang dituangkan secara tertulis melalui suatu perjanjian yakni perjanjian arbitrase. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Pasal 1 ayat 3 yang dimaksud Perjanjian Arbitrase adalah : “suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang
33
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbulnya sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbulnya sengketa.” Pada dasarnya perjanjian arbitrase adalah sebuah ikatan dan kesepakatan di antara para pihak, bahwa mereka akan menyelesaikan perselisihan yang timbul dari perjanjian
melalui mekanisme arbitrase dan
mengenyampingkan penyelesaian
melalui badan peradilan.43 Perjanjian arbitrase
tidak melekat menjadi suatu kesatuan dengan materi
pokok perjanjian. Perjanjian arbitrase yang lazim disebut “klausul arbitrase”, merupakan
tambahan
yang
diletakkan
pada
perjanjian
pokok.
meskipun
keberadaannya hanya sebagai tambahan pada perjanjian pokok, dan sama sekali tidak mempengaruhi pelaksanaan pemenuhan perjanjian. Jadi, pada prinsipnya kontrak arbitrase merupakan suatu kontrak tambahan (accesoir), tetapi ada beberapa sifat yang menyebabkan sifatnya sebagai accesoir tersebut tidak diikuti secara penuh, yaitu jika perjanjian pokok batal maka kontrak arbitrase tidak menjadi batal (Pasal 10 huruf h Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa). Perjanjian arbitrase terdiri dari dua bentuk, yaitu: 1. Klausul arbitrase atau clause compromissoire (Pactum De Compromittendo)
43
Yahya Harahap, h.62
34
Klausul arbitrase merupakan suatu ketentuan yang tercantum di dalam perjanjian atau kontrak yang menyebutkan bahwa setiap perselisihan yang timbul di kemudian hari sehubungan dengan perjanjian atau kontrak tersebut akan diserahkan pada arbitrase untuk diputuskan.44 Dapat diketahui bahwa klausul arbitrase dipersiapkan untuk mengantisipasi perselisihan yang timbul di masa yang akan datang. Dalam klausul arbitrase para pihak bebas menentukan sesuai kesepakatan dengan menunjuk sebuah badan arbitrase tertentu, lokasi arbitrase berlangsung, hukum dan aturan-aturan yang akan digunakan, kualifikasi para arbiter dan bahasa yang dipakai dalam proses arbitrase.45 Jadi, pactum de compromittendo atau klausul arbitrase yang tercantum dalam perjanjian pokok pada dasarnya dibuat untuk penyelesaian sengketa yang mungkin timbul dimasa mendatang atau dibuat sebelum adanya suatu sengketa dengan dilengkapi semua hal yang terkait penyelesaian sengketa yang akan ditempuh sesuai kesepakatan para pihak. 2. Akta Kompromis Akta kompromis adalah suatu kesepakatan di antara para pihak yang telah terlibat dalam suatu sengketa, untuk mengajukan sengketa mereka agar
44
Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2006) h.32 45
Gatot soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. h.32
35
diputuskan oleh arbitrase.46 Akta kompromis pada dasarnya sebuah perjanjian arbitrase yang dibuat setelah timbulnya perselisihan antara para pihak dalam sebuah perjanjian tertulis yang telah ditandatangani oleh para pihak atau dibuat dalam bentuk akta notaris. Mengenai akta kompromis telah diatur dalam pasal 9 ayat 1 s.d 4 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, berdasarkan ayat 3 mengenai persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis harus memuat : a. b. c. d. e. f. g. h.
Masalah yang dipersengketakan; Nama lengkap dan tempat tinggal para pihak; Nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase; Tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan; Nama lengkap sekretaris; Jangka waktu penyelesaian sengketa; Pernyataan kesediaan dari arbiter; dan Pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesaian sengketa melalui arbitrase;
Persyaratan dalam hal pembuatan akta kompromis ini, bersifat wajib dan jika tidak dipenuhi akan batal demi hukum berdasarkan pasal 9 ayat 4 Undangundang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa G. Kewenangan Arbitrase Kewenangan arbitrase pada dasarnya lahir dari suatu perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak sehingga menghapuskan kewenangan dari pengadilan untuk menyelesaikan setiap perselisihan atau yang sengketa yang timbul dari 46
Gatot soemartono, h. 32
36
perjanjian yang memuat klasusula arbitrase tersebut atau yang telah timbul sebelum ditandatanganinya perjanjian arbitrase oleh para pihak.47 Hal tersebut senada dengan pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: “Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.” Mengenai objek sengketa arbitrase, dalam hal ini telah diatur dalam
Pasal 5
Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: Pasal 5 ayat (1): “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa dibidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”. Pasal 5 ayat (2): “Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian” Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan
antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.48 Jadi, suatu sengketa bidang perdagangan, dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa dan suatu sengketa yang dapat diadakannya perdamaian, dapat diselesaikan melalui arbitrase jika telah disepakati melalui perjanjian arbitrase yang mereka buat. Dengan demikian telah lahir kewenangan arbitrase dan menghapuskan kewenangan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul. 47
Gunawan Widjaja, h. 117
48
Tim Pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, h. 22.
37
Namun, dalam
penyelesaian melalui arbitrase, pengadilan mempunyai
beberapa keterkaitan yakni dapat dilihat dari Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
yang mencantumkan
beberapa keterkaitan serta peranan pengadilan untuk memperkuat proses arbitrase dari awal proses arbitrase dimulai sampai pelaksanaan putusan arbitrase.49 Keterkaitan diawali dengan kewenangan arbitrase dengan penegasan pengadilan wajib menolak dan tidak turut campur dalam penyelesaian sengketa, yang termaktub dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dan dalam proses Pemilihan arbiter khususnya untuk arbitrase ad hoc yang diatur dalam pasal 13 ayat (1) dan pasal 15 ayat (4), serta diatur pula pada pasal Pasal 22 Sampai dengan Pasal 25 untuk arbitase ad hoc mengenai hak ingkar. Peranan lain dari pengadilan dalam arbitrase yaitu pengadilan merupakan tempat pendaftaran putusan arbitrase dalam rangka pelaksanaan putusan arbitrase nasional yang dinyatakan dalam pasal 59 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dan khusus untuk pelaksanaan putusan arbitrase internasional, tempat pendaftaran pelaksanaan putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Berdasarkan uraian diatas, dapat diketengahkan bahwa kewenangan arbitrase dilandasi oleh pada perjanjian arbitrase dengan objek sengketa bidang perdagangan. 49
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian Sengketa – Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional, ( Jakarta: Sinar Grafika,2011) h.65.
38
Dengan adanya perjanjian arbitrase tersebut menghapus kewenangan pengadilan, namun penyelesaian arbitrase tetap terkait dengan pengadilan dalam hal pelaksanaan atau pengeksekusian dari putusan arbitrase.
BAB III PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE
A. Jenis Putusan Arbitrase Putusan dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat dibedakan atas putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase internasional. Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak merumuskan definisi putusan arbitrase nasional, namun hanya memberikan definisi terhadap putusan arbitrase internasional pada pasal 1 angka 9, yang berbunyi: “Putusan Arbitrase Internasional adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau putusan suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase international” Dari rumusan tersebut, jelas bahwa untuk menentukan apakah putusan arbitrase merupakan putusan arbitrase nasional atau internasional digunakan faktor tertorial.50 Senada dengan pendapat Gatot sumartono, bahwa putusan arbitrase yang dapat dikategorikan sebagai putusan arbitrase internasional, jika diputuskan diluar wilayah dari negara yang diminta pengakuan (recognition) dan eksekusi (enforcement), ia pun menambahkan bahwa ciri selanjutnya mengenai putusan arbitrase internasional adalah penggunaan pilihan hukum dalam proses penyelesaian
50
Yahya harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, (Jakarta: Sinar Grafika,2006). h.336
39
40
sengketa melalui arbitrase. Artinya apabila para pihak menggunakan hukum asing sebagai dasar penyelesaian sengketa, walaupun putusannya dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia, putusan tersebut tetap merupakan putusan arbitrase internasional.51 Dengan demikian, dapat diketahui bahwa yang menjadi ciri putusan arbitrase internasional didasarkan pada faktor wilayah atau territory dan penggunaan pilihan hukum dalam proses arbitrase. Sehingga dapat dikatakan bahwa, putusan arbitrase nasional adalah putusan arbitrase yang diputuskan oleh jenis arbitrase ad hoc maupun institusional yang dijatuhkan di wilayah hukum Indonesia dan mempergunakan hukum yang berlaku di Indonesia.
B. Pelaksanaan Putusan Arbitrase Dalam hal pelaksanaan putusan arbitrase, dapat dilaksanakan sesuai dari jenis putusan arbitrase yaitu putusan arbitrase nasional atau arbitrase internasional, yang akan dijelaskan sebagai berikut: 1. Pelaksanaan putusan arbitrase nasional Pada pelaksanaan putusan arbitrase nasional, para pihak harus memenuhi apa yang telah diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: a. Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri. 51
Gatot Sumartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, h. 70
41
b. Penyerahan dan pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dilakukan dengan pencatatan dan penandatanganan pada bagian akhir atau di pinggir putusan oleh panitera pengadilan negeri dan arbiter atau kuasanya yang menyerahkan, dan catatan tersebut merupakan akta pendaftaran. c. Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada panitera pengadilan negeri. d. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berakibat putusan arbitrase tidak dapat dilaksanakan. e. Semua biaya yang berhubungan dengan pembuatan akta pendaftaram dibebankan kepada para pihak. Jadi, agar putusan arbitrase dapat dilaksanakan harus memenuhi pasal 59 yakni dengan mendaftarkan putusan arbitrase berupa lembar asli atau salinan otentik, dalam waktu paling 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan diucapkan, kepada panitera pengadilan negeri. Putusan arbitrase pada dasarnya harus dilakukan secara sukarela, namun jika tidak putusan dilaksanakan berdasarkan peritah ketua pengadilan negeri atas permohonan salah satu pihak sebagaimana yang disebutkan pada pasal 61, namun dengan memenuhi pasal 62 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi: 1. Perintah sebagaimana dimaksud dalam pasal 61 diberikan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan eksekusi didaftarkan kepada Panitera Pengadilan Negeri. 2. Ketua Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sebelum memberikan perintah pelaksanaan, memeriksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi ketentuan pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 3. Dalam hal putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tdak terbuka upaya hukum apa pun.
42
4. Ketua Pengadilan Negeri tidak memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase. Pelaksanan putusan arbitrase yang didasarkan atas permohonan salah satu pihak agar dapat dapat dieksekusi atas perintah Ketua Pengadilan Negeri, Pada permohonan tersebut, harus diperiksa terlebih dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi kriteria, sebagai berikut:52 1. Para pihak menyutujui bahwa sengketa di antara mereka akan diselesaikan melalui arbitrase. 2. Persetujuan untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase dimuat dalam suatu dokumen yang ditandatangani oleh para pihak. 3. Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan. 4. Sengketa lain yang dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah yang tidak bertentangan dengan kesusilan dan ketertiban umum. Jika
permohonan
memenuhi
ketentuan
tersebut,
perintah
Ketua
Pengadilan dilaksanakan sesuai ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Namun, apabila pada putusan arbitrase tidak memenuhi ketentuan-ketentuan pasal 62 ayat (2), Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi, atas penolakan yang menjadi putusan Ketua Pengadilan Negeri tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.
52
Frans Hendra Winarta, Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan Internasional. h. 71.
43
2. Pelaksanaan putusan arbitrase internasional Semua pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing di Indonesia didasarkan pada ketentuan-ketentuan Konvensi Jenewa 1927, dan pada perkembangannya Indonesia telah meratifikasi konvensi New York dan telah mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 1981 dan diterbitkannya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan Nomor 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York 1958, dan selanjutnya mengenai pengaturan tentang pelaksanaan arbitarase internasional di Indonesia terdapat di dalam pasal 65 s.d pasal 69 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.53 Kewenangan untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Permohonan pelaksanaan dapat dilakukan setelah putusan arbitrase internasional diserahkan dan didaftarkan ke Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan disertai dengan hal-hal yang tercantum dalam pasal 67 angka (2) yang bersifat administratif. Tetapi sebelum itu perlu diketahui syarat-syarat yang diperlukan atas putusan arbitrase internasional, untuk dapat diakui dan dilaksanakan di Indonesia sesuai pasal 66 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi, sebagai berikut: 53
Tim pengkaji, Masalah Hukum Arbitrase Online, (Jakarta: BPHN- KEMENKUMHAM RI, 2010), h.27
44
a. Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional. b. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup hukum perdagangan. c. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. d. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuatur dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat; dan e. Putusan Arbitrase Internasional sebagaimana dimaksud dalam huruf a yang menyangkut Negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh eksekuatur dari mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Setelah didaftarkannya putusan arbitrase Internasional kepada Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, selanjutnya dapat diajukan permohonan pelaksanaan arbitrase internasional ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengakui dan melaksanakan putusan arbitrase Internasional tidak dapat ajukan upaya hukum banding atau kasasi. Namun, apabila permohonan pelaksanaaan di tolak untuk diakui dan dilaksanakan, terbuka upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung dengan jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari untuk mempertimbangkan dan memutuskan sejak permohonan kasasi tersebut diterima oleh Mahkamah Agung. Namun, eksekusi terhadap pelaksanaan putusan arbitrase internasional di Indonesia sering kali dapat penolakan dari pengadilan sehingga putusan arbitrase masih sulit untuk dilaksanakan di Indonesia, walaupun Undang-Undang No.30
45
Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur dengan tegas. Menurut M. Husseyn Umar, yang merupakan wakil ketua Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Masalah utama yang sering dipersoalkan dalam pelaksanaan putusan arbitrase internasional, sehingga mendapat penolakan dari pengadilan adalah dengan adanya alasan bahwa putusan bertentangan dengan public policy atau ketertiban umum, namun menurutnya penerapan kriteria tersebut secara konkret tidak selalui jelas dan menimbulkan suatu ketidakpastian hukum.54 Sehingga Indonesia masih sering menuai kritik dari dunia internasional mengenai pelaksanaan putusan arbitrase internasional dan memberikan kesan umum bahwa Indonesia masih merupakan “an arbitration unfriendly country” dimana sulit untuk dapat melaksanakan putusan arbitrase internasional di Indonesia. C. Pembatalan Putusan Arbitrase Pada dasarnya putusan arbitrase bersifat final dan mengikat, atau merupakan putusan pada tingkat terakhir serta mengikat para pihak sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. Namun menurut Yahya Harahap, mengenai putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat tersebut, terdapat pengecualian atas alasan yang sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk
54
M. Husseyn Umar, Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, artikel diakses 25 April 2015 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok-masalah-pelaksanaanputusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-br-oleh-m-husseyn-umar-.
46
permintaan annulment atau pembatalan putusan,55 hal tersebut senada dengan pernyataan dari Bambang Sutiyoso dalam bukunya penyelesaian sengketa bisnis, bahwa pada putusan arbitrase dapat dilakukan pembatalan jika terdapat hal-hal yang bersifat luar biasa.56 Akibat dari adanya pembatalan putusan arbitrase adalah putusan tersebut sudah dianggap lenyap secara keseluruhan wujud fisik maupun nilai yuridisnya, atau seolah-olah sengketa tersebut belum pernah diproses dan diputus dan secara mutlak putusan arbitrase tersebut dianggap belum pernah ada.57 Mengenai pembatalan putusan arbitrase, tentunya tak semudah yang dikira karena harus memenuhi unsur-unsur yang dianggap patut untuk dijadikan alasan terhadap pembatalan. Menurut ketentuan Reglement of de rechtsvordering, Staatsblaad 1847:52 (R.V) yang berlaku, sebelum berlakunya Undang-undang No.30 Tahun1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang merupakan pedoman beracara bagi pemeriksaan sengketa melalui lembaga arbitrase di Indonesia, alasan-alasan yang dapat dipakai oleh para pihak untuk mengajukkan bantahan atau perlawanan terhadap putusan arbitrase lebih bervariasi. Menurut pasal 643 R.v., putusan arbitrase hanya dapat dilawan atau dibantah sebagai tidak sah dalam hal-hal sebagai berikut :58 55
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990, h.277. 56
Bambang Sutiyoso, Penyelesaian Sengketa Bisnis (Yogyakarta: Citra Media, 2006) h. 141.
57
Yahya Harahap, h.332.
58
BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 (Jakarta: BANI Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia), 2009)). h.14-15
47
1. Apabila putusan itu telah diberikan melewati batas-batas persetujuan; 2. Apabila putusan itu diberikan berdasarkan suatu persetujuan yang batal atau telah lewat waktunya; 3. Apabila putusan itu telah diberikan oleh sejumlah arbiter yang tidak berwenang memutus tanpa hadirnya arbiter-arbiter yang lain; 4. Apabila dalam putusan telah diputus tentang hal-hal yang tidak telah dituntut atau putusan telah mengabulkan lebih daripada yang dituntut; 5. Apabila putusan arbiter itu mengandung putusan-putusan yang satu sama lain bertentangan: 6. Apabila para arbiter telah melalaikan untuk memberikan putusan tentang satu atau beberapa hal yang menurut persetujuan telah diajukan kepada mereka untuk diputus; 7. Apabila para wasit telah melanggar formalitas-formalitas hukum acara yang harus diturut atas ancaman kebatalan; tetapi ini hanya berlaku apabila menurut ketentuan-ketentuan yang tegas dimuat dalam persetujuan, para arbiter diwajibkan mengikuti hukum acara biasa yang berlaku di muka pengadilan; 8. Apabila telah diberikan keputusan berdasarkan surat-surat yang setelah keputusan itu diberikan, diakui sebagai palsu atau telah dinyatakan sebagai palsu; 9. Apabila, setelah putusan diberikan, surat-surat yang menentukan, yang dahulu disembunyikan oleh para pihak, ditemukan lagi. 10. Apabila putusan kemudian diketahui bahwa putusan tersebut didasarkan pada kecurangan atau itikad jahat, yang dilakukan selama berjalannya pemeriksaan. Sedangkan setelah adanya Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, mengenai pembatalan putusan arbitrase hanya dapat diajukan, jika putusan arbitrase diduga mengandung unsurunsur yang telah diatur dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang berbunyi sebagai berikut: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan pemohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengadung unsurunsur antara lain sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa
48
Selanjutnya penjelasan Pasal 70 mengenai unsur pembatalan putusan arbitrase, yang berbunyi : “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. alasan-alasan pembohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan” Upaya untuk dapat membatalkan putusan arbitrase di Indonesia menurut Munir Fuady Hanya terbatas pada Pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999,59 yang menurut Ramlan ginting, Pasal 70 tersebut bersifat alternatif, artinya masingmasing alasan dapat digunakan sebagai dasar untuk mengajukan pembatalan putusan arbitrase.60 Namun masih terjadi ketidakseragaman pemahaman pasal 70 dalam prakteknya, menurut Gatot Sumartono ketidakseragaman pemahaman penafsiran pasal 70, akibat dari rumusan kata “antara lain” dalam Pasal 70 tersebut sehingga banyak dimanfaatkan oleh pengacara dan hakim untuk mencari-cari (tambahan) alasan bagi pembatalan putusan arbitrase, dengan pencampuradukan berbagai alasan, akhirnya sulit dibedakan antara alasan-alasan yang seharusnya digunakan untuk menolak
“mengakui
dan
melaksanakan”
putusan
arbitrase
(Misal:
alasan
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum) dan alasan-alasan untuk 59
Munir Fuady, Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis), (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000) h.112 60
Ramlan ginting, Transaksi binis dan Perbankan Internasional (Jakarta: Salemba Empat, 2007) h.176
49
membatalkan putusan arbitrase. Dengan kata lain, frasa “antara lain” menimbulkan penafsiran bahwa atas unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase tidak terbatas hanya pada ketiga unsur yang tercantum dalam pasal 70, artinya putusan arbitrase dapat dibatalkan dengan unsur diluar pasal 70 tersebut. Atas kemungkinan pembatalan putusan arbitrase di luar pasal 70 juga disampaikan oleh Hikmahanto Juwana yang menyebut bahwa berdasar dari kewenangan prosedur pengambilan putusan yang antara lain dalam proses pemilihan arbiter hingga pemberlakuan hukum yang dipilih oleh para pihak dalam penyelesaian sengketa, lazim dipergunakan sebagai dasar pembatalan putusan arbitrase.61 Selanjutnya, menurut Priyatna Abdurrasyid, Pembatalan putusan arbitrase dapat diajukan atas putusan dengan kewenangan yang berlebihan (dalam hal ini putusan dapat dikesampingkan) dan sebagian yuridiksi yang berlebihan.62 Penafsiran yang berbeda timbul tidak hanya dari kata “antara lain” tapi berasal kata “dapat” dalam pasal 70, Menurut Erman Rajagukguk kata “dapat” tersebut dapat diartikan bahwa para pihak tidak wajib mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah dijatuhkan karena kata dapat sendiri mengandung makna tidak memaksa atau imperatif sehingga terhadap hak para pihak untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase
61
Hikmahanto Juwana, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002. h.68 62
Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS), (Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011), h.122
50
nasional yang telah ditentukan oleh pasal 70 dapat dikesampingkan, dasarnya adalah pasal 1338 KUH Perdata.63 Selain ketidakseragaman penafsiran pasal 70 Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pasal 70 tersebut pun tidak menyebut dan menjelaskan apakah pembatalan putusan arbitrase tersebut berlaku pula terhadap putusan arbitrase internasional. Namun, mengenai pembatalan putusan arbitrase internasional, Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menegaskan bahwa pasal V New York Convention 1958 yang telah diratifikasi Indonesia melalui Keputusan Presiden No.34 Tahun 1998 telah menyebut syaratsyarat penolakan atas putusan arbitrase internasional. Adapun pembatalan putusan arbitrase internasional merupakan kewenangan negara dimana putusan arbitrase itu dijatuhkan termasuk beberapa pilihan hukum yang disepakati para pihak dan arbiter.64 Sehingga, dapat diketahui bahwa putusan arbitrase internasional yang dapat dibatalkan di Indonesia melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, adalah putusan arbitrase yang dijatuhkan di wilayah indonesia. Selanjutnya, mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase yang telah diatur dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
63
Erman Rajagukguk, Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17 April 2015 dari http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastian-hukum-1429235310/1 64
Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional .Artikel diakses pada tanggal 12 April 2015 dari http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-tak-bisa-batalkan-putusanarbitrase-internasional
51
Alternatif Penyelesaian Sengketa pada bab VII pada pasal 70 s.d pasal 72 tentang Pembatalan Putusan Arbitrase, akan diuraikan sebagai berikut: 1. Memenuhi alasan pembatalan menurut Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Mengenai unsur-unsur pembatalan pasal 70, menurut penjelasan pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menetapkan terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, dan merupakan objek analisis dalam penelitian ini, dan penjelasan pasal 70 oleh Mahkamah Kontitusi yang pada putusannya bersifat final dan binding telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan penjelasan pasal 70 telah dinyatakan pula tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
52
2. Mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tigapuluh) hari terhitung sejaak hari penyerahan dan pendaftaran ptusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. 3. Putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diajukan. 4. Apabila
permohonan
dikabulkan,
Ketua
Pengadilan
Pengadilan
Negeri
menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. 5. Terhadap putusan pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir. permohonan banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa 6. Mahkamah Agung dalam mempertimbangkan serta memutuskan permohonan banding atas putusan pembatalan arbitrase yang ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari setelah permohonan banding tersebut, diterima oleh Mahkamah Agung.
BAB IV UPAYA PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE (ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 15/PUU-XII/2014)
A. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 1. Posisi Kasus Lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 diawali ketika pada tanggal 6 Februari 2014, diajukan perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, oleh pemohon pertama yaitu Ir. Darma Ambiar, M.M. Pemohon adalah Direktur PT. Minerina Cipta Guna (PT.MCG) dan pemohon kedua yaitu Drs. Sujana Sulaeman. Pemohon adalah Direktur PT. Bangun Bumi Bersatu (PT.BBB).65 Objek permohonan yang diajukan oleh pemohon adalah penjelasan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yang selengkapnya berbunyi: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar oertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”
65
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.1.
53
54
Dengan adanya penjelan pasal 70, para pemohon yang dalam kedudukan hukum (legal standing) sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi dar PT. Minerina Cipta Guna serta dan direksi PT. Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusional. Kerugian tersebut akan dialami oleh para pemohon dengan alasan bahwa, pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan putusan perkara No. 443/I/ARB-BANI/2012,
selanjutnya
pemohon
mengajukan
permohonan
pembatalan putusan arbitrase di Bani ke Pengadilan Negeri Bandung dan Telah diputus dengan register perkara No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas Putusan PN Bandung telah diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan banten (DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat diajukannya permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut.66 Hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 yang telah dirugikan dengan adanya penjelasan pasal 70 adalah Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat 1 yang berbunyi:
66
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.4.
55
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945: “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (1) UUD 1945: “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Pada pokok permohonan, pemohon berpendapat bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa berbunyi: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan
apabila
putusan tersebut
diduga
mengandung unsur-unsur...”, sedangkan penjelasan pasal tersebut berbunyi: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan dipengadilan. alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah kata “diduga”, sedangkan penjelasan pasalnya menggunakan kata-kata “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”. Yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti dan menurut pemohon klausul yang tertuang dalam penjelasan pasal 70 tersebut mengenai pembuktian dengan putusan
56
pengadilan merupakan sebuah norma baru yang berbeda, dan bahkan bertentangan, atau semacam sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang terkandung di dalam substansi dan pokok isi pasal 70 yang dijelaskannya; sehingga penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah membuat adanya ketidakpastian hukum bagi para pemohon karena telah menimbulkan norma baru dan membuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh pasal yang dijelaskan. Selanjutnya, pemohon menjelaskan bahwa penjelasan pasal 70 UndangUndang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. Pelaksanaan ketentuan pasal 70 Undang-Undang No. 30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang dituangkan di dalam ketentuan pasal 71 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, maka menurut pemohon hampir bisa dipastikan tidak akan
57
pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadian Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Selanjutnya menurut pemohon faktanya, dalam sistem hukum dinegara manapun, hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari (kalender). Sehingga ketentuan pasal 70 dan penjelasannya dikaitkan dengan pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum serta justru menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang telah diberikan sendiri oleh Pasal 70 Undang-Undang No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terkait dengan pembatalan putusan arbitrase. Sehingga menurut pemohon penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan kerancuan dan pertentangan hukum. Akibat adanya perbedaan norma antara substansi pokok atau norma verbatim pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan yang terkandung dalam penjelasanya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan
58
pembatalan putusan arbitrase tersebut, selanjutnya menurut pemohon adanya kerancuan dan ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya diberikan haknya sendiri oleh undang-undang, namun dinegasikan sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung dari undang-undangnya. Tegasnya, di satu sisi Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Teentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa memberikan pintu untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang diduga memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkan putusan yang terdapat pada pasal 70, tetapi di sisi lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh penjelasan pasal. Kesimpulan yang diuraikan pemohon pada pokok permohonan atas pengujian penjelasan
pasal
70 sehingga dapat
menimbulkan kerugian
konstitusional pemohon, yaitu: 1. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya. 2. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. 3. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang
No.30 Tentang 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa Undang-undang
No.30 Tentang 1999
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menciptakan kerancuan dan pertentangan hukum.
59
Sehingga para pemohon meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan:67 1. Mengabulkan permohonan para pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan UUD 1945; 3. Menyatakan penjelasan pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
2. Pertimbangan dan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUUXII/2014 Atas pengujian konstitusionalitas penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap Pasal 27 ayat 1 dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, setelah Mahkamah memeriksa dengan seksama permohonan para pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR, keterangan pihak terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh para pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para pemohon dan presiden sebagaimana yang termuat pada bagian duduk perkara pada putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, maka Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki bebarapa pertimbangan, antara lain sebagai berikut: 67
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.16.
60
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi atas pengujian penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD NRI 1945 Berdasarkan pasal 24 ayat 1 UUD 1945, pasal 10 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan pasal 29 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan konstitusional mahkamah adalah mengadili pada tingkat tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945 dan permohonan pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas undang-undang, in casu penjelasan pasal 70 UndangUndang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945, sehingga Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan. 2. Kedudukan hukum (legal standing) para pemohon untuk mengajukan permohonan a quo. Menimbang bahwa pemohon I dan pemohon II adalah perseorangan warga Indonesia yang masing-masing adalah direktur PT. Bangun Bumi Bersatu (PT.BBB) dan PT. Minerna Cipta Guna (PT.MCG), yang merupakan perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI),
61
pemohon dalam permohonan pembatalan putusan arbitrase di PN Bandung, Termohon banding di MA dengan salah satu alasan banding yang diajukan pemohon banding adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut sehingga mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional dengan adanya penjelasan pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, karena menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam pasal 27 ayat 1 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Maka menurut Mahkamah, para pemohon mempunyai hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma undang-undang yang dimohonkan pengujian. Sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian menurut mahkamah, para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
62
3. Pertimbangan mahkamah terhadap pokok permohonan Mengenai pokok permohonan para pemohon, mahkamah memberikan pendapat sebagai berikut:68 a. Menurut mahkamah dalil para pemohon bahwa penjelasan tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti menurut hukum. Pokok permasalahan dalam pengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 Undang-Undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang dalam penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang terdapat dalam penjelasan pasal tersebut memberikan pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan. Menurut Mahkamah penjelasan pasal tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat a priori dari pemohon sedangkan dalam
68
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014. h.72
63
penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori. b. Menurut mahkamah, pasal 70 Undang-Undang
No.30 tentang 1999
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsir, yaitu:69 1) Bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau 2) Bahwa
alasan
pembatalan
tersebut
dibuktikan
dalam
sidang
pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya ketidakpastian hukum. Sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu menurut Mahkamah, manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan,
berarti
pemohon
dalam
mengajukan
permohonan
pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara ain, dalam Pasal 71 Undang-undang 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
69
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.74-75
64
Penyelesaian Sengketa yang menyatakan: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase Kepada panitera Pengadilan Negeri”. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi. Berdasarkan seluruh pertimbang hukum di atas, Mahkamah berpendapat bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 tentang 1999 Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Dengan demikian permohonan para
pemohonan beralasan menurut hukum.
Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan sebagai berikut: 1. Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo; 2. Para pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; 3. Pokok permohonan para pemohon beralasan menurut hukum Selanjutnya atas dasar uraian pertimbangan hukum maka Mahkamah Konstitusi memberikan putusan yang tertuang dalam Amar Putusan, yang menyatakan: 70 1. Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya; a. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara 70
Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014, h.76
65
Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) Bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat c. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya.
3. Analisis putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 a. Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan pengujian penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945. Berdasarkan pasal 24C ayat 1 UUD 1945 dan terdapat pula dalam Pasal 10 Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang mahkamah Konstitusi, bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang salah satunya mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Pada putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 yang pada objek permohonannya untuk melakukan pengujian penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UUD 1945, yaitu khususnya terhadap Pasal 27 (1) dan 28D (1) UUD 1945 yang menurut pemohon pasal tersebut
66
mengandung hak konstitusonal pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan akibat berlakunya penjelasan pasal 70 tersebut. Selanjutnya pemohon telah menguraikan penjelasan pasal 70 yang dianggap telah melanggar hak konstitusional yang terdapat dalam UUD 1945. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan pada pasal 51 ayat (3) UU No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa dalam permohonannya, pemohon wajib menguraikan dengan jelas materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Selanjutnya berdasarkan yurisprudensi pada Putusan Perkara No.005/PUUIII/2005,71 penjelasan merupakan bagian yang tak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan dengan Undang-Undang yang bersangkutan, oleh karena itu penjelasan pasal 70 dapat diajukan sebagai objek permohonan dalam pengujian materil ke Mahkamah Kontitusi. Karena dalam praktek, Menurut Jimly Asshiddiqqie sering ditemukan kenyataan bahwa materi yang dipermasalahkan oleh pemohon bukanlah norma yang terdapat dalam Pasal undang-undang, melainkan dalam lampiran undang-undang.72 Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang menguji penjelasan pasal 70 yang merupakan satu kesatuan atas 71
Yurisprudensi Putusan Mahkamah Konstitusi No.005/PUU-III/2005 Perkara Pengujian Undang-undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah terhadap Undang-undang dasar 1945. Dalam putusan ini yang dipermasalahkan mengenai Penjelasan Pasal 59 (1) terhadap UUD 1945. h.29 72
2006) h. 52
Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. (Jakarta: Konstitusi Press,
67
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian terhadap Undang-undang Dasar NRI 1945. b. Kedudukan hukum (legal standing) Pemohon lebih tepat sebagai badan hukum privat. Pemohon atau pihak yang mengajukan permohonan perkara konstitusi diharuskan membuktikan bahwa ia atau mereka benar-benar memiliki kedudukan hukum atau legal standing, sehingga permohonan yang diajukannya dapat diperiksa, diadili dan diputus sebagaimana mestinya oleh Mahkamah Konstitusi dengan memenuhi persyaratan formal sebagaimana yang ditentukan Undang-undang maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedang dipersoalkan.73 Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, menentukan bahwa: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undangundang yaitu (a) perorangan warga Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diiatur dalam undang-undang; (c) badan hukum publik atau privat atau (d) Lembaga Negara. Selajutnya, penjelasan pasal 51 ayat (1), memperjelas bahwa: “yang dimaksud dengan hak konstitusional adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945”, dan “Yang dimaksud dengan perorangan termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama”.
73
Jimly Asshiddiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang.. h. 69
68
Dengan demikian. dapat diketahui bahwa setiap pemohon harus memenuhi kriteria dalam mengajukan permohonan perkara konstitusi:74 1. Salah satu dari ke empat kelompok subjek hukum, yang tercantum pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. 2. Subjek hukum tersebut mempunyai hak-hak atau kewenangankewenangan sebagaimana diatur dalam UUD 1945 3. Hak atau kewenangan konstitusional yang bersangkutan memang telah dirugikan atau dilanggar oleh berlakunya undang-undang atau bagian dari undang-undang yang dipersoalkan tersebut. 4. Adanya atau timbulnya kerugian dimaksud memang terbukti mempunyai hubungan kausal (causal verband) dengan berlakuanya undang-undang tersebut. 5. Apabila permohonan yang bersangkutan memang dapat dipulihkan kembali dengan dibatalkannya undang-undang yang dimaksud. Dalam
putusan
Mahkamah
Konsitusi
No.15/PUU-XII/2014,
kedudukan hukum (legal standing) para pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi PT. Minerina Cipta Guna serta dan direksi PT. Bangun Bumi Bersatu berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusional. Kerugian tersebut akan dialami oleh para pemohon dengan alasan bahwa, pemohon merupakan pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan putusan perkara No. 443/I/ARB-BANI/2012, selanjutnya pemohon mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase BANI ke Pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara 74
Jimly Asshiddiqqie, h.70
69
No.57/Pdt/PPN-BDG/2013. Kemudian atas putusan PN Bandung telah diajukan banding oleh BANI dan PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan banten (DJBB) yang masih di proses di Mahkamah Agung, saat diajukannya permohonan uji materiil penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa dengan salah satu alasan banding yang diajukan pemohon banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan penjelasan pasal 70 tersebut. Sebagai perorangan warga Indonesia dan sebagai direksi Pt.BBB dan PT.MCG para pemohon mengatakan bahwa penjelasan pasal 70 UndangUndang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah merugikan hak konstitusionalnya, yang tercantum
dalam
pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945. Memang benar bahwa, perorangan warga Indonesia merupakan salah satu subjek hukum yang yang tercantum pasal 51 ayat (1) Undang-undang No.24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, dan pemohon selanjutnya dapat menerangkan haknya yang telah disediakan oleh UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat (1) dan 28D ayat (1) UUD 1945 berpotensial dapat dipastikan akan terjadi akibat dari berlakunya penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Namun, menurut penulis lebih tepat bahwa kedudukan hukum (legal standing) dari para pemohon adalah sebagai perusahaaan (badan hukum privat), jika menelaah pada alasan-alasan yang diberikan pemohon atas kerugian konstitusionalnya yang terlibat adalah
70
perusahaan, khususnya PT.MCG dan PT.BBB dan pemohon sebagai direksi dari perusahaan tersebut.
Kerena menurut I Dewa Gede Palguna
merupakan salah seorang majelis hakim Mahkamah Konstitusi,
yang
sengketa
arbitrase itu melibatkan perusahaan bukan perseorangan, maka akan lebih baik jika kedudukan hukum yang mengajukan permohonan terhadap Undangundang arbitrase adalah perusahaan (badan hukum), saran tersebut dikemukakan dalam sidang perdana pengujian pasal 67 ayat (1) dan pasal 71 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa di gedung Mahkamah kontitusi.75 c. Penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa menimbulkan ketidakpatian hukum. Sebelum penulis menganalisis ke dalam pokok permohonan, terlebih dahulu disajikan selengkapnya isi batang tubuh pasal 70 dan isi penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, sebagai berikut: Isi norma pada batang tubuh pasal 70 menyatakan bahwa: “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur antara lain sebagai berikut : a. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu 75
Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat. Artikel di akses pada tanggal 12 April 2015. http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkan-hak-pembatalan-putusan--uuarbitrase-digugat
71
b. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Kemudian, Pasal 70 mempunyai Penjelasan yang menyatakan bahwa: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan negeri. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Menurut penulis, pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, hanya mengatur mengenai tiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase yang bersifat limitatif, tetapi disisi lain pada penjelasan pasal 70 menentukan bahwa unsurunsur yang ada pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan adanya putusan pengadilan, justru pembuktian dengan menggunakan putusan pengadilan menjadi kontradiktif sebab putusan pengadilan mengandung unsur kepastian, dan bukan merupakan suatu penjelasan pasal melainkan berubah menjadi ketentuan normatif baru yang tak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur didalam pasal yang dijelaskan. Dengan begitu penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru atas pasal 70 tersebut yang seharusnya hanya menjelaskan mengenai alasan pembatalan yang ada pada batang tubuh pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
72
Dengan begitu penulis, setuju dengan pendapat mahkamah bahwa dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari pemohon sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori, sehingga penjelasan pasal 70 menimbulkan norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum. Berdasarkan lampiran II Undang-Undang No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan peraturan perundang-undangan, pada angka 176
tentang
penjelasan menyatakan bahwa penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentukan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. Lebih lanjut, angka 186 menyatakan bahwa rumusan penjelasan pasal demi pasal harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh 2. Tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh 3. Tidak melakukan pengulangan atas materi pokok yang diatur dalam batang tubuh 4. Tidak mengulangi uraian kata, istilah, frasa atau pengertian yang telah dimuat di dalam ketentuan umum; dan/atau
73
5. tidak memuat rumusan pendelegasian. Selanjutnya, penulis sependapat dengan Mahkamah bahwa rumusan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah jelas (expresis verbis), dengan mengatur ketiga unsur yang dapat membatalkan putusan arbitrase. Tetapi penjelasan pasal yang menyatakan unsur-unsur tersebut agar dibuktikan dengan putusan pengadilan, justru menimbulkan multitafsir, dengan timbul dua tafsir bahwa unsur-unsur pasal 70 tersebut diperiksa dan diputus lebih dahulu oleh pengadilan yang berbeda atau diperiksa dan diputus pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Lebih lanjut bahwa, pasal 70 sendiri terkait dengan limitasi/batasan waktu yang diatur dalam pasal 71, yang mengatur bahwa permohonan pembatalan harus diajukan paling lama setelah 30 (tiga puluh) hari sejak pendaftaran
putusan
arbitrase
di
PN.
Timbul
pertanyaan
apakah
dimungkinkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas dugaan unsur pembatalan yang bernafaskan pidana yang harus melalui proses pidana yang telah kita ketahui bersama harus melewati proses penyelidikan, penyidikan hingga proses pemeriksaan di pengadilan dapat diputus dalam jangka waktu 30 (hari)? Sementara azas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan tidak relevan dalam segi praktek pada masa sekarang ini. dan perlu diingat bahwa arbitrase sendiri merupakan sebuah alternatif penyelesaian
74
sengketa di luar peradilan, arbitrase dipilih mengingat kelemahan-kelamahan yang ada pada badan peradilan salah satunya adalah time consuming. Akibatnya di dalam praktik, timbul ketidakseragaman putusan Pengadilan Negeri, dalam mempertimbangkan wajib atau tidaknya disertakan putusan pengadilan. Dengan contoh, perkara PT. krakatau Steel melawan International Piping Product, Inc. di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, pertimbangan hakim pada putusan tersebut menyatakan bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase cukup dituangkan dalam putusan hakim yang memeriksa perkara permohonan tersebut.76 Secara nyata ketentuan pasal 70 dan penjelasan pasal 70 dikaitkan dengan pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, selain itu membuat para pihak kebingungan atas ketidakpastian hukum pada pengaturan hukum mengenai pembatalan putusan arbitrase dan justru menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang sudah diberikan sendiri oleh Undang-Undang No.30 Tahun 1999 khususnya pada pasal 70 terkait dengan pembatalan putusan arbitrase. Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa penjelasan pasal 70 mengandung norma baru dan multitafsir sehingga menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum.
76
Hukum Online, beberapa kelemahan ketentuan pembatalan putusan arbitrase. Artikel diakses pada 11 April 2015, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapa-kelemahanketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase .
75
B. Akibat hukum putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh suatu peristiwa hukum.77 Dalam penelitian ini, akibat hukum yang dimaksud adalah akibat hukum yang ditimbulkan oleh lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase di Indonesia. Upaya pembatalan terhadap putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, menurut Yahya Harahap ada pengecualian atas alasan yang sangat eksepsional sehingga dapat diajukan perlawanan atau plea dalam bentuk annulment atau pembatalan.78 Ketentuan pembatalan putusan arbitrase di Indonesia termaktub dalam Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa pada pasal 70 dan pasal tersebut telah menentukan bahwa putusan arbitrase hanya dapat diajukan permohonan pembatalan apabila mengandung unsur-unsur:
unsur
pertama,
surat
atau
dokumen
yang
diajukan
dalam
pemeriksanaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; unsur kedua setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau unsur ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa dan
77 78
R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: Sinar Grafika,2009), h.296.
Yahya Harahap, Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990,h. 277.
76
menurut penjelasan pasal 70 tersebut ketiga unsur pembatalan putusan arbitrase harus dibuktikan melalui putusan pengadilan. Selanjutnya, putusan Mahkamah Konstitusi No. 15/PUU-XII/2014 yang bersifat final dan mengikat (binding), menyatakan bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan sehingga bertentangan dengan Pasal 27(1) dan 28D (1)
Undang-Undang Dasar 1945, dan
menyatakan pula bahwa penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70 menjadi jelas, karna tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan yang memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur pembatalan yang tercantum dalam pasal 70 tersebut tidak harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan, yang dapat diajukan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan dan menolak permohonan pembatalan yang merupakan ketentuan penjelasan pasal 70. Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan pasal 70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan APS
77
harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap pembatalan putusan arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang menimbulkan norma baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas dan berdiri sendiri. Namun terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana, penulis berkesimpulan bahwa harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur lebih lanjut mengenai mekanisme upaya pembatalan putusan arbitrase. Menurut Maria Farida Indrati S, dalam bukunya “Ilmu Perundang-undangan; Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan” apabila suatu ketentuan dalam undang-undang memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuan tersebut tidak menyebutkan secara tegas untuk diatur dalam Peraturan Pemerintah, maka Presiden dapat membentuk Peraturan Pemerintah sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari undang-undang tersebut.79 Pelaksanaan
ketentuan
dalam
undang-undang
yang
dengan
tegas
memerintahkan pembentukan Peraturan Pemerintah dilandasi suatu kenyataan, sebagaimana ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 yang merupakan delegasi kepada setiap Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan undang-undang, berikut bunyi pasal 5 ayat (2) UUD 1945: “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya”.
79
Maria Farida Indrati S., Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan). (Yogyakarta: Kanisius, 2007). h.222.
78
Artinya dengan ketentuan dalam pasal 5 ayat (2) UUD 1945 tersebut menjadi dasar hukum bagi Presiden untuk menerbitkan Peraturan pemerintah sebagai tindak lanjut penjelasan dan penjabaran dalam ketentuan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Sehingga memberikan kepastian hukum bagi para pihak bersengketa yang ingin menyelesaikan permasalahannya melalui jalan arbitrase, selain itu pula dapat memberikan kejelasan para pihak di saat ingin menempuh upaya membatalkan putusan Arbitrase. Arbitrase merupakan alternatif penyelesaian sengketa perdagangan diluar pengadilan yang bertujuan mencapai keadilan, sehingga terwujud perdamaian antar pihak yang bersengketa. Sehingga sistem arbitrase perlu dipertahankan, sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Hujurat ayat (9) dikatakan:
ِ ان ِمن الْمؤِمنِني اقْ تت لُوا فَأ ت إِ ْح َد ُاُهَا َعلَى ََ َ ْ ُ َ ِ ََوإِن طَائَِفت ْ ََصل ُحوا بَْي نَ ُه َما ۖ فَِإن بَغ ْ َِّ ْاْلُخر ٰى فَ َقاتِلُوا الَِِّت تَبغِي ح ََّّت تَِفيء إِ َ َٰل أَم ِر َصلِ ُحوا بَْي نَ ُه َما ْ َاَّلل ۖ فَِإن فَاء ْ ت فَأ ْ َ ٰ َ ْ َْ ِِ .ني َّ بِالْ َع ْد ِل َوأَقْ ِسطُوا ۖ إِ َّن ُّ اَّللَ ُُِي َ ب الْ ُم ْقسط “ Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu sehingga golongan itu kembali (kepada perintah Allah SWT) maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sesungguhnya, Allah SWT mencintai orang-orang yang berlaku adil.
79
Selain itu, dalil arbitrase dalam menengahi sengketa perdagangan demi tercapainya perdamaian antar pihak yang bersengketa, diperkuat oleh firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat An-Nisa ayat (114) :
ٍ ٍ ََِل خي ر ِِف َكثِ ٍري ِمن ََْنواهم إََِّل من أَمر ب ِ ني الن ۖ َّاس َ ْ َص ََل ٍح ب ْ ِص َدقَة أ َْو َم ْعُروف أ َْو إ َ ََ ْ َ ْ ُ َ ْ ََْ ِ ِ ك ابتِغَاء مر ِ ِ ِ َ اَّللِ فَسو ﴾١١١﴿ يما َ ْ َ َ ْ َ َوَم ْن يَ ْف َع ْل َٰذل ْ ف نُ ْؤتيه أ ْ َ َّ ضات ً َجًرا َعظ “ Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencapai keridhaan Allah SWT maka kelak kami akan memberinya pahala yang besar”.
Dengan demikian, pengaturan hukum arbitrase di Indonesia harus diperjelas agar berjalan efektif, efisien dan dapat memberikan kepastian hukum bagi pihak yang ingin menyelesaikan perselisihan melalui jalur arbitrase.
BAB V PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, penulis dapat memberikan kesimpulan dan saran, sebagai berikut: A. Kesimpulan 1. Mekanisme pembatalan putusan arbitrase berdasarkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah diatur pada bab VII pada pasal 70 sampai dengan pasal 72 mengenai pembatalan putusan arbitrase yaitu memenuhi alasan pembatalan menurut pasal 70 UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, yaitu pertama, surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu. Kedua, setelah putusan diambil dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ditemukan atau ketiga putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Adapun unsurunsur pembatalan dalam pasal 70, menurut penjelasan pasal 70 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan yang menetapkan terbukti atau tidaknya alasan yang menjadi dasar pembatalan dapat digunakan menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal 70 tersebut, telah diajukan pengujian materil di Mahkamah Konstitusi, dan penjelasan pasal tersebut telah dinyatakan 80
81
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pada putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUU-XII/2014. Setelah pemohon pembatalan memenuhi pasal 70 tersebut, pemohon dapat mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase, secara tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Apabila permohonan dikabulkan, Ketua Pengadilan Negeri menentukan lebih lanjut akibat pembatalan seluruhnya atau sebagian putusan arbitrase. Terhadap putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding ke Mahkamah Agung yang memutus pada tingkat pertama dan terakhir. Permohonan banding dilakukan hanya terhadap pembatalan putusan arbitrase yang didasarkan pada ketiga alasan pembatalan pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Adapun pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi putusan No.15/PUUXII/2014 adalah pertama, penjelasan pasal 70 tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Karena norma dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan sedangkan dalam penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan. Kedua, pasal 70 tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal 70, yaitu terdapat dua tafsir apakah
sebelum
mengajukan
permohonan
pembatalan,
pemohon
harus
mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan
82
dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan atau syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Sehingga menurut pertimbangan hukum mahkamah, penjelasan pasal 70 Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. 3. Akibat hukum lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 terhadap upaya pembatalan putusan arbitrase sesuai dengan ketentuan pasal 70 menjadi jelas, karena tidak ada hambatan terhadap upaya pembatalan putusan yang memang diberikan oleh undang-undang, selain dalam pasal 70 UndangUndang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa hanya mengatur mengenai alasan pembatalan. Sehingga dalam hal mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase atas unsur-unsur pembatalan yang tercantum dalam pasal 70 tersebut, tidak harus dibuktikan terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Artinya dasar pertimbangan Hakim dalam mengabulkan dan menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase tidak lagi didasarkan pada putusan pengadilan sebagaimana ketentuan penjelasan pasal 70 tersebut. Akibat hukum selanjutnya menurut penulis atas dicabutnya penjelasan pasal 70 tersebut, terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase
83
harus dibuat serta diterbitkannya peraturan pelaksana undang-undang yaitu Peraturan Pemerintah, khususnya terhadap ketentuan lebih lanjut terhadap pembatalan putusan arbitrase. Mengingat telah dicabutnya penjelasan pasal yang menimbulkan norma baru serta multitasir, maka pasal 70 dianggap cukup jelas dan berdiri sendiri. Namun terhadap pasal 70 yang mengandung unsur pidana, penulis berkesimpulan bahwa harus dibuatnya peraturan pelaksana untuk diatur lebih lanjut mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitrase.
B. Saran Dapat dilakukan revisi terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa atau dibuat suatu peraturan pelaksana. Mengenai ketentuan lebih lanjut terhadap Undang-Undang No.30 Tahun 1999 dan penjabaran secara terperinci atas mekanisme pembatalan putusan arbitrase. Saran tersebut penulis sampaikan mengingat undang-undang tersebut merupakan payung hukum dari terselenggaranya penyelesaian sengketa melalui arbitrase. Namun, ketentuan lebih lanjut mengenai Undang-Undang No.30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tersebut, tetap memperhatikan jangka waktu penyelesaian sengketa. Karena sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang ditawarkan oleh arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa dapat dilaksanakan dengan cepat, selain dari biaya terukur, ditengahi oleh arbiter yang ahli dan sifat kerahasian dalam proses penyelesaian sengketa. Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah kewenangan pengadilan. Karena telah
84
telah diketahui bahwa pengadilan tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase serta pengadilam tidak boleh ikut campur di dalam penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase. Adapun yang dimaksud adalah mempertimbangkan ulang terhahap sengketa arbitrase yang telah diputuskan oleh majelis arbiter.
85
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Suci: Al Quran dan Terjemahan
Buku: Abdurrasyid,
Priyatna. Arbitrase dan Alternatif penyelesaian sengketa Sengketa (APS). Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2011.
Asshiddiqqie, Jimly. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta: Konstitusi Press, 2006. Fuady, Munir. Arbitrase Nasional (Alternatif Penyelesian Sengketa Bisnis). Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000. Ginting, Ramlan. Transaksi binis dan Perbankan Internasional. Jakarta: Salemba Empat, 2007. Harahap, Yahya. Arbitrase ditinjau dari Reglemen Acara Perdata (RV), Peraturan dan prosedur BANI, International Center For the Settlement Of Investment Dispute (ICSID), UNCITRAL Arbitration Rules, Convention on the Recognition and Enforcement of Foreing Arbitral Award, Perma No.1 Tahun 1990. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Ibrahim, Johnny. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif . Malang: Bayumedia Publishing, 2007. Indrati, Maria Farida. Ilmu Perundang-undangan (Jenis,Fungsi, Materi Muatan). Yogyakarta: Kanisius, 2007. Juwana, Hikmahanto, Pembatalan Putusan Arbitrase Internasional oleh Pengadilan Nasional, Jurnal hukum Bisnis, Vol.21, Oktober-November 2002.
86
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005. Sari, Elsi Kartika dan Advendi simangunsong, Hukum dalam ekonomi. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 2008. Soemartono, Gatot. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia PustakaUtama, 2006. Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta:UI PRESS, 2010. Soeroso, R Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,2009. Subekti, R. Arbitrase Perdagangan. Bandung: Bina Cipta, 1987. Sutiyoso, Bambang. Penyelesaian Sengketa Bisnis. Yogyakarta: Citra Media, 2006. Tim Penyusun FSH, Pedoman penulisan Skripsi. Jakarta: Pusat Peningkatan dan Jaminan Mutu (PPJM), 2012. Tim
Pengkaji,
Masalah
Hukum
Arbitrase
Online.
Jakarta:
BPHN-
KEMENKUMHAM RI, 2010. Utama, Meria. Hukum Ekonomi Internasional. Jakarta: PT. Fikahati Aneska, 2012. Widjaja, Gunawan.
Seri Aspek Hukum Dalam Bisnis; Arbitrase VS Pengadilan
Persoalan
Kompetensi
(Absolut)
yang
Tidak
Pernah
Selesai.
Jakarta:Kencana, 2008. Winarta, Frans hendra. Hukum Penyelesaian sengketa; Arbitrase nasional Indonesia dan Internasional. Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011. BANI, Buletin Triwulan Arbitrase Indonesia Nomor 6 Tahun 2009 Jakarta: BANI Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) 2009.
87
Putusan : Putusan Mahkamah Konstitusi No.15/PUU-XII/2014 Putusan No.005/PUU-III/2005 (Yurisprudensi) Peraturan perundang-undangan : Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Website : Hukum Online, MK Perjelas Alasan Pembatalan Putusan Arbitrase Dihapusnya, Penjelasan Pasal 70 AAPS tidak ada lagi hambatan bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan atas putusan arbritase. Artikel di Akses pada tanggal
5
Februari
2015,
dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54623aa3a6d07/mkperjelas-alasan-pembatalan-putusan-arbitrase. Hukum Online, Pengadilan Tak Bisa Batalkan Putusan Arbitrase Internsional Artikel
diakses
pada
tanggal
12
April
2015,
dari
88
http://m.hukumonline.com/berita/baca/lt553641aea376d/pengadilan-takbisa-batalkan-putusan-arbitrase-internasional Hukum Online, Hilangnya Hak Pembatalan Putusan, UU Arbitrase Di Gugat. Artikel
di
akses
pada
tanggal
12
April
2015,
dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt54d0f15bc29f1/hilangkanhak-pembatalan-putusan-uu-arbitrase-digugat Hukum Online, Beberapa Kelemahan Ketentuan Pembatalan Putusan arbitrase. Artikel
diakses
pada
11
April
2015,
dari
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol9134/beberapakelemahan-ketentuan-pembatalan-putusan-arbitrase . Media Indonesia, Pembatalan Putusan Arbitrase Munculkan Kesangsian. Artikel diakses
Pada
tanggal
10
Februari
2015
dari
http://www.mediaindonesia.com/mipagi/read/3333/PembatalanPutusan-Arbitrase-Munculkan-Kesangsian/2014/08/27. Rajagukguk, Erman. Arbitrase & Kepastian Hukum, artikel diakses pada tanggal 17 April
2015,
dari
http://nasional.sindonews.com/read/990424/18/arbitrase-kepastianhukum-1429235310/1 Umar, Muhammad Husseyn. Pokok-pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia, artikel diakses pada tanggal 25 April 2015 dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4bbd785494fc7/pokokpokok -masalah-pelaksanaan-putusan-arbitrase-internasional-di-indonesia-broleh-m-husseyn-umar-
PUTUSAN Nomor 15/PUU-XII/2014 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA [1.1]
Yang mengadili perkara konstitusi pada tingkat pertama dan terakhir,
menjatuhkan putusan dalam perkara pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa terhadap UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh: [1.2]
1.
Nama
:
Ir. Darma Ambiar, M.M.
Pekerjaan
:
Direktur PT. Minerina Cipta Guna
Alamat
:
Graha Purna Karya Komplek Gedung Antam, Jalan TB. Simatupang Nomor 1, Jakarta,12530
sebagai -------------------------------------------------------------- Pemohon I; 2.
Nama
:
Drs. Sujana Sulaeman
Pekerjaan
:
Direktur Utama PT. Bangun Bumi Bersatu
Alamat
:
Jalan Tebet Barat Raya, Nomor 55-56, RT 014, RW 04, Tebet Barat, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan
sebagai ------------------------------------------------------------- Pemohon II; Dalam hal ini berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor 002/SK/ZiA/II/2014 tertanggal 5 Februari 2014 memberi kuasa kepada Andi Syafrani, S.H., MCCL., H.Irfan Zidny, S.H., S.Ag. M.Si., Rivaldi, S.H., Yupen Hadi, S.H., Muhammad Ali Fernandez, S.HI., advokat/konsultan hukum yang tergabung dalam ZiA & Partners Law Firm, beralamat di Gedung Darul Marfu, Lantai 3, Jalan H. Zainuddin, Nomor 43, Radio Dalam, Gandaria Selatan, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, baik bersama-sama maupun sendiri-sendiri bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa; Selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- para Pemohon; [1.3]
Membaca permohonan para Pemohon; Mendengar keterangan para Pemohon;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
2 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mendengar dan membaca keterangan Presiden; Membaca keterangan Dewan Perwakilan Rakyat; Mendengar keterangan Pihak Terkait, Badan Arbitrase Nasional Indonesia; Mendengar dan membaca keterangan ahli para Pemohon dan Presiden; Memeriksa bukti-bukti para Pemohon; Membaca kesimpulan para Pemohon dan Presiden; 2. DUDUK PERKARA [2.1]
Menimbang bahwa para Pemohon telah mengajukan permohonan
bertanggal 6 Februari 2014 yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Kepaniteraan Mahkamah) pada tanggal 6 Februari 2014 berdasarkan Akta Penerimaan Berkas Permohonan Nomor 43/PAN.MK/2014 dan telah dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi dengan Nomor 15/PUUXII/2014 pada tanggal 18 Februari 2014, yang diperbaiki dengan perbaikan permohonan bertanggal 14 Maret 2014 dan diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 14 Maret 2014, yang pada pokoknya menguraikan hal-hal sebagai berikut: A. KEWENANGAN MAHKAMAH 1. Bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK), Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076), salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; 2. Bahwa Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) menyatakan, “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
3 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Mahkamah Agung dan Badan Peradilan yang di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. 3. Bahwa objek Permohonan ini adalah Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase
yang
sudah
didaftarkan
di
pengadilan.
Alasan-alasan
permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” 4. Bahwa berdasarkan yurisprudensi putusan-putusan Mahkamah Konstitusi sebelumnya, antara lain Putusan Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor 011/PUU-III/2005, serta sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penjelasan Undang-Undang merupakan bagian yang tak terpisahkan dan satu kesatuan dengan Undang-Undang, maka Mahkamah Konstitusi berwenang untuk mengadili dan memutus Permohonan ini; 5. Bahwa dengan demikian permohonan para Pemohon termasuk ke dalam salah satu kewenangan mengadili Mahkamah Konstitusi yaitu tentang menguji materil Undang-Undang terhadap UUD 1945. B. KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON 1. Bahwa Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003 beserta penjelasannya menyatakan: “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat
sepanjang
masih
hidup
dan
sesuai
dengan
perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; d. lembaga negara”;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
4 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
2. Bahwa selanjutnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 006/PUUIII/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 telah menentukan 5 (lima) syarat kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU 24/2003, sebagai berikut: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut, dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. hak dan/atau kewenangan tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian kontitusional tersebut tidak akan atau tidak lagi terjadi; 3. Bahwa para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia berdasarkan bukti KTP dan sebagai direksi dari PT. BBB dan PT. MCG berpotensi atau setidaknya akan mengalami kerugian konstitusionalnya sebagaimana telah dialami oleh banyak orang/pihak lainnya terkait dengan norma dan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAPS yang diujikan dalam Permohonan ini. Adapun alasan-alasan kerugian konstitusional tersebut adalah sebagai berikut: a. Bahwa para Pemohon adalah pihak yang telah bersengketa di Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) dan telah diputus dengan Putusan perkara Nomor 443/I/ARB-BANI/2012; b. Bahwa para Pemohon kemudian mengajukan Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase di BANI tersebut ke Pengadilan Negeri Bandung dan telah diputus dengan register perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013; c. Bahwa terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung tersebut, telah diajukan Banding oleh BANI dan PT. PLN Distribusi Jawa Barat dan Banten (DJBB) yang masih dalam proses di Mahkamah Agung; d. Bahwa salah satu alasan banding yang diajukan oleh para Pemohon Banding di Mahkamah Agung adalah terkait dengan Penjelasan Pasal 70 Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
5 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
UUAAPS yang menurut para Pemohon permohonan ini bertentangan dengan isi dan norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 70 UUAAPS yang karenanya membuat adanya ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait dengan Permohonan Pembatalan Putusan Arbitrase yang telah diajukan oleh para Pemohon Permohonan ini, yang selengkapnya akan diuraikan dalam Pokok Permohonan ini; e. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS berbunyi: “Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:...”. Sedangkan Penjelasan Pasal tersebut berbunyi: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” Bahwa redaksi yang dipakai oleh batang tubuh Pasal 70 UUAAPS adalah kata “diduga”, sedangkan Penjelasan Pasalnya menggunakan
kata-kata
“harus
dibuktikan
dengan
putusan
pengadilan”, yang berarti bukan lagi dugaan, melainkan sudah terbukti; f. Bahwa pelaksanaan ketentuan Pasal 70 UUAAPS a quo tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikaitkan dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif yang ditentukan di dalam ketentuan Pasal 71 UUAAPS, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Sehingga, jika diharuskan adanya alasan dengan bukti sebuah putusan pengadilan untuk mengajukan permohonan
pembatalan
putusan
arbitrase,
maka
hampir
bisa
dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut, sebagaimana tercermin dalam banyak putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS. Padahal faktanya, dalam sistem hukum di negara manapun, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
6 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hampir dipastikan bahwa tidak ada proses hukum dugaan pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan yang dapat memutus perkara dugaan pidana dalam waktu hanya 30 hari (kalender); g. Bahwa oleh karena Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menurut para Pemohon bertentangan dengan substansi dan norma yang terkandung di dalam
redaksi
pasalnya
sendiri,
maka
menurut
para
Pemohon
Penjelasan Pasal 70 UUAAPS telah merugikan hak konstitusional para Pemohon; 4. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon memiliki hak-hak konstitusional antara lain seperti yang diatur dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya”. 5. Bahwa sebagai warga negara Republik Indonesia, para Pemohon juga berhak secara konstitusional mendapat jaminan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum seperti yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 6. Bahwa dengan demikian para Pemohon memiliki hak konstitusional dalam mengajukan permohonan ini yaitu melakukan Permohonan Uji Materil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yaitu Pasal 70 dan Penjelasannya terhadap UndangUndang Dasar 1945 Pasal 28D ayat (1); C. POKOK PERMOHONAN 1. Bahwa apa yang tertuang di dalam poin A dan B di atas merupakan satu kesatuan dan bagian yang tak terpisahkan dengan poin C tentang Pokok Permohonan ini; 2. Bahwa para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
(UUAAPS)
yang
selengkapnya berbunyi:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
7 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
“Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang
sudah
didaftarkan
di
pengadilan.
Alasan-alasan
permohonan
pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan.” 3. Bahwa Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo telah membuat adanya ketidakpastian hukum bagi para Pemohon karena menimbulkan norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan oleh Pasal yang dijelaskannya; 4. Bahwa norma dan ketentuan Pasal 70 UUAAPS selengkapnya berbunyi: “Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” 5. Bahwa oleh karena terdapat perbedaan norma atau memunculkan norma baru atau perubahan terselubung, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS dan Penjelasannya telah menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” 6. Bahwa selengkapnya alasan pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 UUAAPS tersebut adalah sebagai berikut: A. PENJELASAN PASAL 70 UUAPS MENGANDUNG NORMA BARU ATAU PERUBAHAN
TERSELUBUNG
YANG
BERTENTANGAN
DENGAN
SUBSTANSI POKOK PASALNYA. A.1. Bahwa sebagaimana telah dikutip di muka, batang tubuh Pasal 70 UUAAPS secara verbatim menggunakan kata “diduga” sebagai dasar Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
8 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
alasan
pengajuan
sedangkan
permohonan
penjelasan
pasalnya
pembatalan
putusan
menggunakan
klausula
arbitrase, “harus
dibuktikan dengan putusan pengadilan”; A.2. Bahwa kata “diduga” menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia secara harfiah berarti “sangkaan” atau “perkiraan”, yakni sesuatu yang belum pasti ada atau terjadi tetapi masih dalam proses untuk kepastian, atau singkatnya masih bersifat asumsi. Arti ini sangat jauh berbeda dan bertolak belakang dengan maksud yang dikandung dalam klausula redaksi
“harus
dibuktikan
dengan
putusan
pengadilan”
yang
merupakan penjelasan dari kata “diduga” yang dimaksud dalam Pasal 70 UU AAPS a quo karena sebuah putusan pengadilan berisi tentang pertimbangan fakta-fakta yang sudah mengalami proses pengujian pembuktian baik dalam rangka verifikasi ataupun falsifikasi; A.3. Bahwa klausula yang tertuang dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengenai pembuktian dengan putusan pengadilan merupakan sebuah norma baru yang berbeda, dan bahkan bertentangan, atau semacam sebuah perubahan yang terselubung dari norma yang terkandung di dalam substansi dan pokok isi Pasal 70 UU AAPS yang dijelaskannya; A.4. Bahwa sebagaimana termuat dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 dinyatakan bahwa: “sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 (kini UU Nomor 12 Tahun 2011, Pemohon) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menentukan: 1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
9 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan; 2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma di bagian penjelasan; 3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan terselubung
terhadap
ketentuan
perundang-undangan
yang
bersangkutan; A.5.
Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan dan tidak berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS, melainkan berubah menjadi ketentuan normatif baru yang tidak selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur di dalam pasal yang dijelaskannya;
B. PENJELASAN
PASAL
70
UU
AAPS
TIDAK
OPERASIONAL
DAN
MENGHALANGI HAK HUKUM PENCARI KEADILAN. B.1. Bahwa ketentuan tentang permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diatur di dalam UUAAPS ditentukan limitasi waktunya sebagaimana diatur di dalam Pasal 71 yang berbunyi: “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”; B.2. Bahwa jika Pasal 71 UU AAPS dikaitkan dengan ketentuan Pasal 70 dan Penjelasannya,
maka
secara
normatif
pengajuan
permohonan
pembatalan putusan arbitase ke Pengadilan Negeri harus memenuhi kualifikasi: a) memenuhi salah satu dari tiga alasan yang ditentukan; b) harus disertai bukti adanya putusan pengadilan terkait dengan salah satu alasan tersebut; dan c) harus diajukan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri. Waktu pendaftaran putusan arbitrase ke Panitera Pengadilan Negeri adalah paling lambat 30 hari sejak putusan diucapkan (vide Pasal 59 UU AAPS); Sehingga, jika ditotal, maka batas waktu maksimal yang dimiliki pihak yang ingin mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase ke Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
10 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pengadilan Negeri adalah 60 hari, jika pelaksana arbitrase (in casu BANI) mengambil batas maksimal untuk pendaftaran putusan ke Panitera Pengadilan Negeri; Pertanyaan yang muncul terkait dengan norma-norma pasal-pasal di atas adalah apakah dalam jangka waktu 60 hari (dengan asumsi waktu maksimal) akan dimungkinkan adanya sebuah putusan pengadilan yang dapat memutus dan berkekuatan hukum tetap dalam dugaan tindak pidana terkait putusan arbitrase yang telah diputuskan? Dalam praktik proses perkara pidana yang meliputi penyelidikan, penyidikan, hingga pemeriksaan di pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (mungkin sampai dengan kasasi), apakah dapat diselesaikan dalam jangka waktu 30 hari (atau katakanlah paling lama 60 hari) untuk memenuhi persyaratan yang ditentukan pasal-pasal di atas? Pertanyaan inilah yang muncul dalam proses di Pengadilan Negeri sebagai judex factie dalam kasus yang dialami oleh para Pemohon terkait dengan pelaksanaan atau operasionalisasi ketentuan Pasal 70, Penjelasan Pasal 70, dan Pasal 71 UUAAPS sebagaimana tertuang dalam pertimbangan Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 157/Pdt.G/2013/PN.BDG hal 74-75 sebagai berikut: “Menimbang, bahwa dalam praktik proses perkara pidana mulai dari penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan di persidangan hingga perkara diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap tidak mungkin dilaksanakan hanya dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, apalagi proses perkaranya melalui banding hingga kasasi: Menimbang, bahwa Majelis berpendapat bahwa bukankah kata-kata yang tercantum dalam Pasal 70 UUAAPS adalah kata “...diduga...” yang berarti belum pasti keberadaannya, mengapa dalam Penjelasan Pasalnya mengharuskan adanya putusan pengadilan yang nota bene sebagaimana telah dipertimbangkan di atas harus diartikan sebagai putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap?; Menimbang, bahwa Penjelasan dari pasal-pasal yang bersangkutan (Pasal 70 dan Pasal 71 UUAPS) seharusnya berfungsi untuk memperjelas atau mempertegas, namun karena tidak sejalan yang dapat
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
11 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
menghambat hak dari pihak pencari keadilan, maka manakah yang harus dipertahankan dan mana yang harus dikesampingkan?” B.3. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara nyata ketentuan Pasal 70 dan Penjelasannya dikaitkan dengan Pasal 71 tidak dapat dilaksanakan, membuat kebingungan dan ketidakpastian hukum,
serta justru
menghalangi hak para pencari keadilan untuk menggunakan haknya yang telah diberikan sendiri oleh UU AAPS terkait dengan pembatalan putusan arbitrase; C. PENJELASAN PASAL 70 UU AAPS MENCIPTAKAN KERANCUAN DAN PERTENTANGAN HUKUM C.1. Bahwa akibat adanya perbedaan norma antara substansi pokok atau norma verbatim Pasal 70 UU AAPS dengan yang terkandung dalam penjelasannya, para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan pembatalan putusan arbitrase ini; Bahwa pandangan hakim-hakim progresif yang mencoba memahami dan mencari solusi pertentangan norma yang terkandung di dalam Pasal 70 dan penjelasannya tersebut dengan berpegang teguh pada norma eksplisit Pasal 70 sering dibatalkan pada tingkat banding di Mahkamah Agung dengan alasan teknis dan tidak realistis yakni pembuktian harus dengan putusan pengadilan sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS, meski tanpa memerhatikan aspek waktu yang terbatas yang ditentukan dalam Pasal 71 UU AAPS; Hal ini dapat dilihat antara lain dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 855 K/PDT.SUS/2008 bertanggal 21 Januari 2008, Putusan Nomor 729 K/PDT.SUS/2008 bertanggal 30 Maret 2009, Putusan Nomor 16 PK/Pdt.Sus/2010 bertanggal 25 Mei 2010, dan Putusan Nomor 182 K/Pdt.Sus-Arbt/2013 bertanggal 18 Juli 2013; Akan tetapi, terdapat pula putusan Mahkamah Agung lainnya yang tidak mempertimbangkan Pasal 70 UU AAPS dan Penjelasannya sebagai dasar hukum penerimaan pembatalan putusan arbitrase sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 03/Arb.Btl/2005 bertanggal 17 Mei 2005;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
12 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
C.2. Bahwa dari fakta-fakta putusan di atas terlihat bahwa pada dasarnya sebagian besar hakim di level judex factie dan judex yuris telah berupaya menerobos
pertentangan
norma
Pasal
70
UU
AAPS
dengan
Penjelasannya melalui upaya penafsiran literlek/harfiah kata “diduga” dan pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum dalam ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu yang ditetapkan UU AAPS, untuk memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan. Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang membelenggu dan tidak realistis; C.3. Bahwa akibat hukum yang muncul dan dirasakan oleh para pencari keadilan terkait dengan masalah ini adalah adanya kerancuan dan ketidakpastian hukum untuk melaksanakan sesuatu yang sebenarnya diberikan haknya sendiri oleh Undang-Undang, namun dinegasikan sendiri pula secara implisit melalui penjelasan, bukan redaksi langsung dari Undang-Undangnya. Tegasnya, di satu sisi UU AAPS memberikan pintu untuk para pencari keadilan membatalkan Putusan Arbitrase yang diduga memenuhi unsur-unsur yang dapat membatalkannya, tetapi di sisi lain justru pintu itu ditutup sendiri oleh Penjelasannya; 7. Bahwa ketiga alasan di atas telah secara nyata bertentangan dengan Konstitusi, khususnya mengenai adanya hak jaminan kepastian hukum (rechtszekerheid) yang adil (vide Pasal 28D ayat (1) UUD 1945) bagi para Pemohon sebagai warga negara; 8. Bahwa asas kepastian hukum (rechtszekerheid) yang dijamin Konstitusi tersebut, yang dalam bahasa lainnya dikenal dengan istilah legal certainty (non-American) atau legal indeterminacy (American), menyaratkan “that all law be sufficiently precise to allow the person –if need be, with appropriate advice- to foresee, to a degree that is reasonable in the circumstance, the consequences which a given action may entail”. Berdasarkan pada syarat tersebut, Hukum Uni Eropa telah menggariskan 5 aspek yang menjadi indikator prinsip kepastian hukum, yakni: 1) laws and decisions must be made public (hukum dan putusan hakim harus dibuat secara publik); 2) laws and decisions must be definite and clear (hukum dan putusan hakim harus terbatas dan jelas); 3) decisions of court must be binding (putusan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
13 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pengadilan harus mengikat); 4) limitations on recroactivity of laws and decisions must be imposed (batasan terhadap keberlakuansurut hukum dan putusan harus ditegakkan); dan 5) legitimate expectations must be protected (harapan-harapan yang sah harus dilindungi). (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The Globalization of the Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27, 2008-2009); Bahwa indikator prinsip kepastian hukum di atas pada dasarnya mengacu pada indikator hukum yang baik (internal morality) yang dijelaskan oleh Lon Fuller, yakni: 1) the generality of law (keumuman hukum); 2) the demands that laws are published (hukum diumumkan secara luas); 3) that laws are not retroactive (hukum tidak berlaku surut); 4) the clarity of laws (kejelasan hukum); 5) the consistency of laws (kepaduan hukum); 6) the demands that the laws do not impose duties that are impossible to perform (hukum tidak mengatur hal yang mustahil dilaksanakan); 7) that laws are not changed frequently (hukum tidak gampang berubah); dan 8) the demand that governmental action is in accordance with the general laws which are laid down beforehand (tindakan hukum pemerintah sesuai dengan hukum umum yang ditetapkan) (Lon Fuller, The Morality of Law, Yale University Press, 1973, hal. 262 dikutip dari Patricia Popelier, “Legal Certainty and Principles of Proper Law Making”, 2 European Journal of Law Reform 321, 2000); Bahwa keseluruhan indikator prinsip kepastian hukum di atas harus dicerminkan dalam setiap tindakan hukum yang setidaknya mencakup tiga aspek: pembuatan hukum (law making), penemuan hukum dan pembuatan putusan (law finding and judicial lawmaking), dan penerapan hukum (law applying) (James R. Maxeiner, “Some Realism About Legal Certainty in The Globalization of the Rule of Law”, 31 Houston Journal of International Law 27, 2008-2009; dan James R. Maxeiner, “Legal Certainty: A European Alternative to American Legal Indeterminacy?”, 15 Tulane Journal of International & Comparative Law 541, 2006-2007); 9. Bahwa ketiga alasan hukum yang disampaikan para Pemohon mengenai pembatalan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS di atas secara eksplisit telah bertentangan dengan beberapa indikator prinsip kepastian hukum yang dijamin Konstitusi, yakni:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
14 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. Adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal 70 UU AAPS atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan Pasal 70 UU AAPS secara prinsip bertentangan dengan indikator laws and decisions must be definite and clear/wet van duidelijke. Dualisme norma dalam satu pasal ini membuat arti dari Pasal 70 UU AAPS menjadi vague (kabur) atau unclear (tidak jelas), manakah yang harus dipakai, apakah norma batang tubuh (diduga) atau norma penjelasan (harus dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap)? Dengan mengacu kepada konsep Lon Fuller, maka Pasal 70 UU AAPS mengandung ketidakkonsistenan arti dan pengertian, yang berarti telah melanggar prinsip the consistency of laws/wet van consistente; B. Ketentuan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menjamin hak hukum para Pemohon dalam kaitannya hak untuk dapat mengajukan klaim pembatalan putusan arbitrase (in casu BANI) bertentangan dengan indikator legitimate expectations must be protected atau the demands that the laws do not impose duties that are impossible to perform. Upaya hukum para Pemohon sebagai pihak yang merasa keberatan terhadap Putusan Arbitrase untuk mencari jalan berupa permohonan pembatalan putusan (a legitimate expectation) adalah sebuah upaya yang harus dilindungi oleh hukum (must be protected). Inilah yang terkandung secara jelas dalam syarat utama prinsip kepastian hukum, yakni syarat foreseeability dari sebuah hukum. Hukum harus mampu menggaransi sebuah tindakan yang baik untuk dapat dilaksanakan dan setiap warga negara dapat memprediksikan sebuah tindakan berikut akibatnya dalam sebuah kerangka hukum yang jelas. Ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 71 telah menghalangi sifat foreseeability hukum karena jelas mengandung sesuatu yang mustahil (impossible) dilaksanakan. Karenanya ketentuan Penjelasan Pasal 70 secara nyata telah melanggar prinsip kepastian hukum yang dijamin Konstitusi; C. Dengan munculnya keragaman jenis putusan pengadilan mengenai perkara pembatalan putusan arbitrase akibat adanya dualisme norma dalam satu pasal (batang tubuh dan penjelasan), prinsip kepastian
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
15 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
hukum dengan indikator the consistency of laws atau laws and decisions must be definite and clear telah dilanggar. 10. Bahwa pelanggaran prinsip kepastian hukum yang telah terjadi terkait dengan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang dimohonkan di sini telah merasuk tidak saja pada level pembuatan hukum (law making), tapi telah merugikan banyak pihak, khususnya para Pemohon kelak, karena telah masuk ke level putusan pengadilan (judicial lawmaking) dan penerapan hukum mengenai mekanisme pembatalan putusan arbitase (law applying); 11. Bahwa berdasarkan uraian di atas, secara jelas, telah terjadi pertentangan dan inkonsistensi antara substansi isi dan kata Pasal 70 UUAAPS dengan penjelasannya yang telah mengakibatkan perbedaan dalam putusanputusan hakim dan menciptakan ketidakpastian hukum. Bahwa terkait dengan hal tersebut, Mahkamah Konstitusi telah memutus perbedaan antara substansi pasal dengan penjelasannya dengan menyatakan penjelasan yang bertentangan tersebut inkonsitusional sebagaimana tercermin dalam pertimbangan hukum Mahkamah dalam Putusan Nomor 005/PUU-III/2005: “Menimbang bahwa terjadinya pertentangan antara substansi pasal dari suatu undang-undang dan penjelasannya yang nyata-nyata mengandung inskonsistensi yang melahirkan interpretasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaanya.
Adanya keragu-raguan dalam
implementasi suatu undang-undang akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat menimbulkan pelanggaran terhadap hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Ketidakpastian hukum demikian tidak sesuai dengan semangat untuk menegakkan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan;” Dan demikian juga sebagaimana dipertimbangkan oleh Mahkamah dalam Putusan Nomor 17/PUU-VI/2008 yang berbunyi:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
16 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
“Penjelasan tersebut di atas semakin menunjukkan adanya pengaturan yang tidak proporsional yang menimbulkan ketidakpastian hukum (legal uncertainty, rechtsonzekerheid). Syarat pengunduran diri bagi calon yang sedang menjabat (incumbent) sebagaimana diatur Pasal 58 huruf q UU 12/2008
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
(legal
uncertainty,
rechtsonzekerheid) atas masa jabatan kepala daerah yaitu lima tahun [vide Pasal 110 ayat (3) UU 32/2004] dan sekaligus perlakuan yang tidak sama (unequal treatment) antar-sesama pejabat negara [vide Pasal 59 ayat (5) huruf i UU 32/2004], sehingga dapat dikatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945;” 12. Bahwa para Pemohon sebagai pencari keadilan di negara hukum ini yang masih berperkara terkait dengan pembatalan putusan arbitrase dalam tingkat banding dan juga mungkin banyak warga negara lainnya, khususnya para pebisnis yang menggunakan mekanisme Arbitrase sebagai model penyelesaian sengketa di luar pengadilan, berpotensi dirugikan hak konstitusionalnya yang dilindungi oleh Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 akibat adanya ketidakpastian hukum karena adanya Penjelasan Pasal 70 UUAAPS a quo; 13. Bahwa oleh karenanya, beralasan secara hukum bagi Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan permohonan para Pemohon, yakni menyatakan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS bertentangan dengan UUD 1945 dan menyatakannya tidak mengikat secara hukum; D. PETITUM Bahwa berdasarkan uraian, alasan, dan fakta hukum di atas, para Pemohon memohon kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memutuskan: 1. Mengabulkan Permohonan para Pemohon seluruhnya; 2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan UUD 1945; 3. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
17 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Atau jika Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi memiliki pendapat lain, mohon putusan seadil-adilnya. [2.2]
Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil-dalil permohonannya, para
Pemohon mengajukan bukti-bukti surat atau tertulis, yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14 sebagai berikut: 1.
Bukti P-1
: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Ir. Darma Ambiar;
2.
Bukti P-2
: Fotokopi Kartu Tanda Penduduk Atas Nama Drs. Sujana Sulaeman;
3.
Bukti P-3
: Fotokopi Akta Pendirian PT. Minerina Cipta Guna.
4.
Bukti P-4
: Fotokopi Akta Pendirian PT. Bangun Bumi Bersatu;
5.
Bukti P-5
: Fotokopi Akta No.11 Perjanjian Kerjasama Operasi tentang Pemanfaatan dan Pengembangan PLTM Cikotok antara PT. Minerina Cipta Guna dan PT. Bangun Bumi Bersatu, bertanggal 24 Juli 2008;
6.
Bukti P-6
: Fotokopi Putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Nomor 443/I/ARB-BANI/2012;
7.
Bukti P-7
: Fotokopi Putusan Sela dan Akhir Pengadilan Negeri bandung dengan Nomor Register Perkara: 157/Pdt/PNBDG/2013.
8.
Bukti P-8
: Fotokopi Memori Banding Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013.
9.
Bukti P-9
: Fotokopi Memori Banding PT.PLN Distribusi Jawa Barat dan
Banten
terhadap
Putusan
pengadilan
Negeri
Bandung perkara: Perkara: 157/Pdt/PN-BDG/2013. 10. Bukti P-10
: Fotokopi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, beserta Penjelasannya.
11. Bukti P-11
: Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi Penyerahan
Salinan
Memori
banding
Nomor:
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
18 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014 ditujukan
kepada
Drs.
Sujana
Sulaeman
sebagai
Termohon Kasasi. 12. Bukti P-12
: Fotokopi Relaas Pemberitahuan Pernyataan Kasasi Penyerahan
Salinan
Memori
Banding
Nomor:
157/PDT/G/2013/PN.BDG, bertanggal 27 Januari 2014 ditujukan kepada Ir. Darma Ambiar, M.M., sebagai Termohon Kasasi. 13. Bukti P-13
: Fotokopi Kontra Memori Banding atas Memori Banding terhadap Putusan Pengadilan Negeri Bandung Nomor 157/PDT/G/2013.
14. Bukti P-14
: Fotokopi
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
855K/Pdt.Sus/208. Putusan ini menggunakan dasar hukum Penjelasan Pasal 70 UU AAPS sebagai dasar menolak permohonan kasasi dalam
perkara
Permohonan
Pembatalan
Putusan
Arbitrase. Selain itu, para Pemohon juga mengajukan dua orang ahli yang didengarkan keterangannya dalam persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014 yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H •
Dalam beberapa persidangan yang telah diselenggarakan sebelumnya telah dikemukakan berbagai alasan yang bersifat yuridis, historis, sosiologis, dan komparatif terkait permohonan ini.
•
Untuk menganalisis permasalahan ini dari pelbagai perspektif hukum, saya akan memfokuskan pada beberapa hal sebagai berikut:
•
Dalam pokok permohonannya pihak Pemohon antara lain berargumentasi bahwa Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang menyatakan sebagai berikut: "Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang telah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan.
Apabila
pengadilan
menyatakan
bahwa
alasan-alasan
tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
19 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan"; dipandang bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (atau yang selanjutnya disebut sebagai UUD 1945), khususnya Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum". •
Padahal, ketentuan Pasal 70 dari UU Nomor 30 Tahun 1999 menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: (a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; (b) setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau (c) putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.
•
Berkaitan dengan 3 (tiga) persyaratan yang terdapat dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut, sebagai perbandingan, Pasal 643 Reglemen
Acara
Perdata
(Reglement
op
de
Rechtsvordering)
mencantumkan unsur-unsur yang lebih banyak sebagai persyaratan pembatalan putusan arbitrase, yang mencakup 10 (sepuluh) hal sebagai berikut: (a) bila putusan arbitrase diambil di luar batas lingkup perjanjian arbitrase yang bersangkutan; (b) bila putusan didasarkan atas perjanjian arbitrase yang tidak berharga atau telah gugur; (c) bila putusan dijatuhkan oleh arbitrase yang tidak berwenang menjatuhkan keputusan di luar kehadiran yang lain; (d) bila diputuskan tentang sesuatu yang tidak dituntut atau telah diberikan melebihi dari yang dituntut; (e) bila putusan mengandung hal-hal yang bertentangan satu dengan yang lain; (f) bila para arbiter lalai memutus satu atau beberapa hal yang seharusnya diputuskan sesuai dengan ketentuan dalam perjanjian arbitrase; (g) bila melanggar bentuk acara yang telah ditetapkan dengan ancaman kebatalan; tetapi hanya apabila diperjanjikan dengan tegas bahwa para arbiter wajib memenuhi ketentuan acara biasa; (h) bila diputus berdasarkan dokumen-dokumen yang setelah ada putusan, diakui sebagai Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
20 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
palsu atau dinyatakan palsu; (i) bila setelah adanya putusan, ditemukan dokumen-dokumen yang menentukan yang disembunyikan oleh salah satu pihak; dan (j) bila putusan berdasarkan adanya penipuan atau tujuan muslihat yang kemudian diketahui dalam acara pemeriksaan. •
Tidaklah jelas latar belakang politik hukum yang menyebabkan mengapa Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut akhirnya hanya mencantumkan 3 (tiga) dari 10 (sepuluh) persyaratan pembatalan sebagaimana tercantum di dalam Pasal 643 RV.8 Ketiga persyaratan tersebut juga terkait dengan hal-hal yang lebih bernafaskan (ketentuan) pidana.
•
Dalam praktiknya, seringkali unsur-unsur yang terdapat di dalam ketentuan Pasal 643 RV9 tersebut digunakan oleh pihak yang kalah dalam suatu putusan arbitrase untuk sekadar dapat mengulur-ulur kesempatan untuk memenuhi kewajiban. Hal ini antara lain dikarenakan bahwa dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa ketiga alasan tersebut adalah "antara lain", dengan demikian dapat ditafsirkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase masih dapat diajukan berdasarkan
alasan-alasan
lain,
antara
lain
ketujuh
alasan
lain
sebagaimana tercantum dalam Pasal 643 RV.11 •
Alasan-alasan
lain
sebagaimana
dimaksud
dapat
berupa
alasan
bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum, yang sebenarnya merupakan alasan untuk tidak dapat dilaksanakannya suatu putusan arbitrase. Selama ini ada penafsiran bahwa frasa "antara lain" dalam Penjelasan Umum UU Nomor 30 Tahun 1999 menjadikan substansi dan norma yang tercantum dalam Pasal 70 tersebut menjadi tidak bersifat limitatif;
namun
Mahkamah
demikian,
Agung
dalam
menunjukkan
kenyataannya,
bahwa
putusan-putusan
syarat-syarat
permohonan
pembatalan tersebut bersifat limitatif. •
Salah satu permasalahan yang kerap dikemukakan adalah apakah syaratsyarat pembatalan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut juga berlaku terhadap suatu putusan arbitrase internasional? Di kalangan para ahli hukum ada yang berpendapat bahwa suatu putusan arbitrase internasional tidak dapat dibatalkan, namun dapat tidak dilaksanakan atau ditolak dalam hal putusan tersebut bertentangan dengan ketertiban umum
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
21 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana diatur dalam Pasal 66 huruf c UU Nomor 30 Tahun 1999. •
Permasalahan lain dalam materi muatan UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut adalah tidak adanya ketentuan tentang hukum acara tentang prosedur
pengajuan
permohonan
pembatalan.
Dalam
praktiknya
permohonan pembatalan putusan arbitrase diajukan sebagai suatu gugatan perdata terhadap arbiter-arbiter atau lembaga arbitrase yang bersangkutan; padahal, sesuai dengan tujuannya, sebenarnya cukup dimintakan penetapan tentang pembatalan dari Pengadilan Negeri, kecuali apabila arbiter atau para arbiter melakukan suatu kesalahan terhadap pihak yang menunjuknya. •
Kita tidak dapat mengingkari pentingnya eksistensi UU Nomor 30 Tahun 1999 dalam perkembangan hukum alternatif penyelesaian sengketa dan arbitrase di Indonesia. Namun demikian dalam perkembangannya kita menemukan berbagai hal yang tidak jelas pengaturannya dalam UU ini, misalnya pengaturan yang terkait dengan batas-batas keterlibatan lembaga pengadilan. Di samping hal itu juga ada beberapa permasalahan lain seperti: penerapan ketentuan tentang kompetensi absolut, hak ingkar, prosedur pembatalan, dan pelaksanaan putusan arbitrase (termasuk putusan arbitrase internasional) agar hak setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dapat terpenuhi.
•
Kita berharap seyogyanya Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak peradilan di Indonesia dapat memberikan arahan-arahan mengenai berbagai
permasalahan
tersebut;
namun
pada
kenyataannya,
sebagaimana telah diuraikan juga dalam perbaikan permohonan dari Pemohon, banyak Putusan Mahkamah Agung sendiri terkait hal ini yang isinya
justru
saling
bertentangan.
Hal
ini
semakin
menimbulkan
ketidakpastian hukum, yang pada gilirannya semakin menyulitkan bagi setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diamanatkan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. •
Ketidakjelasan dan ketidaklengkapan perumusan ketentuan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 ternyata juga diikuti dengan ketidakkonsistenan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
22 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dalam perumusan ketentuan Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut. Hal ini mengakibatkan bahwa pelaksanaan ketentuan mengenai hal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian hukum, baik di lingkungan pengadilan maupun di luar pengadilan. •
Mahkamah Konstitusi sendiri melalui beberapa putusannya, antara lain, Putusan Perkara Nomor 005/PUU-III/2005 dan Nomor 017/PUU-VI/2008, yang kemudian juga ditegaskan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, telah memutuskan bahwa adanya pertentangan antara materi muatan pasal dan penjelasannya, yang nyata-nyata mengandung inkonsistensi yang melahirkan interprestasi ganda, dan menyebabkan keragu-raguan dalam pelaksanaannya, akan memunculkan ketidakpastian hukum dalam praktik. Keadaan demikian dapat
menimbulkan
pelanggaran
terhadap
hak
konstitusional
sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Ketidakpastian hukum demikian juga tidak sesuai dengan prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum dimana kepastian hukum merupakan prasyarat yang tak dapat ditiadakan. •
Berdasarkan berbagai uraian tersebut di muka, saya berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 bertentangan dengan UUD 1945.
2. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum Para Pemohon mengajukan Permohonan Pengujian Konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (UUAAPS) yang selengkapnya berbunyi: "Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan". Adapun norma dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS selengkapnya berbunyi: "Terhadap Putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai benkut:a) surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b] setelah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
23 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c) putusan diambil dari hasil tipu muslihatyang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa." Ketentuan Pasal 70 UUAAPS menggunakan kata "diduga", sedangkan pada Penjelasan Pasalnya menggunakan frasa "harus dibuktikan dengan putusan pengadilan." Frase pada Penjelasan Pasal mengandung arti bahwa alasan-alasan permohonan pembatalan bukan lagi didasarkan pada dugaan, melainkan pada alasan-alasan yang harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS a quo telah membuat adanya ketidakpastian hukum bagi para Pemohon setidaknya karena tiga alasan: a. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS mengandung norma baru atau perubahan terselubung yang bertentangan dengan substansi pokok pasalnya Mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-1II/2005 yang menyatakan bahwa: "sesuai dengan kebiasaan yang berlaku dalam praktik pembentukan perundang-undangan, yang juga diakui mengikat secara hukum, penjelasan berfungsi untuk menjelaskan substansi norma yang terdapat dalam pasal dan tidak menambahkan norma baru, apalagi memuat substansi yang sama sekali bertentangan dengan norma yang dijelaskan. Lagi pula kebiasaan ini ternyata telah pula dituangkan dengan jelas dalam Lampiran [vide Pasal 44 ayat (2)] UU Nomor 10 Tahun 2004 yang merupakan bagian tak terpisahkan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 (kini UU Nomor 12 Tahun 2011. Pemohon) tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang antara lain menentukan: 1. Penjelasan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu penjelasan hanya memuat uraian atau jabaran lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh. Dengan demikian penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma batang tubuh, tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan norma yang dijelaskan; 2. Penjelasan tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut. Oleh karena itu hindari membuat rumusan norma di bagian penjelasan; 3. Dalam penjelasan dihindari rumusan yang isinya memuat perubahan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
24 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
terselubung
terhadap
ketentuan
perundang-undangan
yang
bersangkutan; Dengan mengacu pada pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, maka Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan norma baru dan memuat ketentuan yang berbeda dengan batang tubuh pasal yang dijelaskannya atau setidaknya telah memuat perubahan terselubung dari substansi dan isi norma pokok yang dituangkan dalam pasal yang dijelaskannya. b. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. UU
AAPS
menentukan
ketentuan
limitasi
waktu
permohonan
pembatalan putusan arbitrase sebagaimana diatur pada Pasal 71 yang berbunyi: "Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh] hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri". Dengan batasan waktu yang sangat sempit dan limitatif tersebut, yakni hanya dalam jangka waktu paling lambat 30 hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri, maka hampir dapat dipastikan bahwa tidak akan pernah ada perkara permohonan pembatalan putusan arbitrase yang dapat memenuhi ketentuan tersebut. Hal itu tercermin dalam banyak putusan Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase dengan alasan adanya ketentuan Penjelasan Pasal 70 UUAAPS. c. Penjelasan Pasal 70 UUAAPS menciptakan kerancuan dan pertentangan hukum Akibat dari adanya perbedaan norma antara materi muatan atau norma verbatim Pasal 70 UUAAPS dan yang terkandung dalam penjelasannya, maka para pencari keadilan mengalami ketidakpastian hukum karena perbedaan pandangan hakim dalam memutus perkara yang terkait dengan pembatalan putusan arbitrase itu. Sebagian besar hakim di level judex factie dan judex juris telah berupaya menerobos pertentangan horma Pasal 70 UUAAPS dengan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
25 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Penjelasannya melalui upaya penafsiran letterlijk/hai'fiah kata "diduga" dan pemahaman persoalan faktual penegakan dan pelaksanaan hukum dalam ranah pidana yang tidak mungkin diselesaikan dalam batas waktu yang ditetapkan UUAAPS dengan tujuan untuk memberikan rasa keadilan bagi para pencari keadilan, Akan tetapi, upaya tersebut masih terasa sulit dan berhadapan dengan tembok hukum Penjelasan Pasal 70 UUAAPS yang membelenggu dan tidak realistis; Berdasarkan ketiga alasan tersebut, maka ketentuan Pasal 70 UUAAPS dan
Penjelasannya
telah
menimbulkan
ketidakpastian
hukum
yang
bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum." Berkaitan dengan kepastian hukum, Professor Barry E. Hawk dan Nathalie Denaeijer dalam The Development of Articles 81 and 82: Legal Certainty (2000) mengatakan bahwa di bawah hukum Uni Eropa kepastian hukum (legal certainty/legaI determinacy) mengandung dua pengertian pokok, yakni predictability of outcome and legal consequences of violation (prediktabilitas hasil dan akibat hukum dari pelanggaran). Kedua pengertian itu pada dasarnya memberikan jaminan akan adanya stabilitas sistem hukum, sehingga setiap warga negara dapat merencanakan semua aktivitasnya dan dapat meramal hasilnya berdasarkan aturan hukum yang tersedia. Dalam ungkapan Franz Neumann dalam The Rule of Law: Political Theory and the Legal System in Modern Society (1986:182), kepastian hukum terkait dengan gagasan Rechtsstaat yang menghendaki agar aturan hukum "must be predictable and calculable" (harus dapat diramal dan dapat dihitung) sehingga setiap warga negara dapat merancang kegiatannya seharihari dan dapat meramal serta menghitung hasil yang akan diperolehnya. Dalam kehidupan ekonomi, aturan hukum yang predictable dan calculable akan memberikan kemudahan bagi para pelaku ekonomi untuk merancang kegiatan-kegiatan ekonominya dan memperoleh hasil ekonomi secara efektif dan efisien. Dalam kaitan dengan norma dalam suatu undang-undang, kepastian hukum menghendaki adanya konsistensi internal (internal consistency) di dalam undang-undang tersebut. Dalam ungkapan Jurgen Habermas dalam Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
26 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Between Facts and Norms (1997:198),"... the principle of legal certainty demands decisions that can be consistently rendered within the framework of the existing legal order. An existing law is the product of an opaque web of past decision by the legislature and the judiciary ..." (Prinsip kepastian hukum membutuhkan keputusan-keputusan yang dapat diperoleh secara konsisten dalam kerangka tata hukum yang berlaku. Hukum yang berlaku adalah produk dari sebuah jaringan keputusan masa lain yang tidak transparan oleh legislatif dan peradilan). Artinya, kepastian hukum harus disediakan oleh aturan hukum, baik produk legislatif maupun yudisial, yang di dalamnya terdapat normanorma yang tersusun secara konsisten atau tidak bertentangan satu sama lain, sekalipun harus diakui bahwa aturan-aturan hukum tersebut merupakan produk legislatif dan yudisial yang tidak sepenuhnya transparan. Berdasarkan pemahaman atas makna kepastian hukum tersebut, maka adanya perbedaan antara kata "dugaan" pada ketentuan Pasal 70 UU AAPS dan frasa "harus dibuktikan dengan putusan pengadilan" pada bagian Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menunjukkan tidak adanya konsistensi internal di dalam UU AAPS yang diperlukan untuk menjamin kepastian hukum. Inkonsistensi internal itu juga menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah mengandung rumusan norma baru yang menghasilkan perubahan norma secara terselubung dan menimbulkan ketidakjelasan norma yang terkadung dalam Pasal 70 UU AAPS. Tidak adanya kepastian hukum dalam UU AAPS itu akan berimplikasi pada berkurangnya kemampuan UU AAPS untuk menjamin warga negara dapat memprediksi dan dapat mengkalkulasi hasil dan akibat hukum manakala hendak melakukan permohonan pembatalan arbitrase yang harus ditempuh dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri. Artinya, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menimbulkan kesulitan bagi warga negara sebagai pencari keadilan untuk memperoleh keadilan. Secara spesifik dalam konteks kehidupan ekonomi, ketidakpastian hukum yang menimbulkan hilangnya kemampuan untuk memprediksi dan mengkalkulasi hasil dan akibat hukum itu juga akan menimbulkan kerugian secara ekonomi dan fmansial yang pada akhirnya akan menghambat aktivitas perekonomian masyarakat. Dengan demikian, secara yuridis ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
27 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Penjelasan Pasal 70 UU AAPS telah menyulitkan bagi para pencari keadilan sekaligus juga menghambat aktivitas ekonomi masyarakat. Akhirnya, dalam konteks pengujian UU AAPS terhadap UUD 1945, adanya ketidakpastian hukum yang ditimbulkan oleh Penjelasan Pasal 70 UU APPS menunjukkan bahwa Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang a quo bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang memberikan hak bagi setiap orang untuk memperoleh kepastian hukum. [2.3]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Presiden
menyampaikan keterangan dalam persidangan tanggal 14 April 2014, dan keterangan tertulis yang diterima Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 28 April 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: I.
POKOK PERMOHONAN PEMOHON 1. Para Pemohon adalah perseorangan warga negara Indonesia yang merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya Penjelasan Pasal 70 UU AAPS. Kerugian Konstitusional yang dimaksud adalah adanya ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah diajukan oleh Para
Pemohon
ke
Pengadilan
Negeri
Bandung
(Perkara
Nomor
157/PdUPN BDG/2013); 2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal 70 UU a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan Pasal 70 UU a quo secara prinsip bertentangan dan ketidak konsistenan dalam pengertiannya; 3. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan; 4. Penjelasan Pasal 70 UU AAPS menciptakan kerancuan, pertentangan dan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan norma. II. TENTANG KEDUDUKAN HUKUM (LEGAL STANDING) PARA PEMOHON Sesuai dengan ketentuan Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011, menyatakan bahwa Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang, yaitu: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
28 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
a. perorangan warga negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara. Ketentuan di atas dipertegas dalam penjelasannya, bahwa yang dimaksud dengan "hak konstitusional" adalah hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka terlebih dahulu harus menjelaskan dan membuktikan: a. Kualifikasinya dalam permohonan a quo sebagaimana disebut dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi; b. Hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dalam kualifikasi dimaksud yang dianggap telah dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang diuji; c. Kerugian hak dan/atau kewengan konstitusional Pemohon sebagai akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian. Lebih lanjut Mahkamah Konstitusi RI telah memberikan pengertian dan batasan kumulatif tentang kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang timbul karena berlakunya suatu Undang-Undang menurut Pasal 51 ayat (1) Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan putusan-putusan berikutnya), harus memenuhi 5 (lima) syarat yaitu: a. adanya hak konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; b. bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh suatu Undang-Undang yang diuji; c. bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
29 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Sehubungan
dengan
kedudukan
hukum
(legal
standing)
Pemohon,
Pemerintah menyampaikan hal-hal sebagai berikut: 1. Pemohon adalah salah satu pihak dalam suatu perjanjian dalam bidang perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di mana para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui proses arbitrase yang memiliki otoritas dan jurisdiksi
terhadap
sengketanya
yang
tidak
bisa
dicampuri oleh pihak manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak yang bersengketa. 2. Pemohon dalam positanya tidak dapat membuktikan adanya pelanggaran terhadap kerugian hak konstitusionalnya yang mana bagi pemohon baik secara aktual dan spesifik akan berpotensi terjadi menurut penalaran yang wajar dalam UU a quo. Atas hal-hal tersebut di atas, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan Para Pemohon apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan atas berlakunya ketentuan Pasal 70 UU AAPS. Selain itu, apakah terdapat kerugian konstitusional Para Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi, dan apakah ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya undangundang yang dimohonkan untuk diuji. Sehingga ketentuan a quo tidak bertentangan dengan Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian Pemerintah berpendapat Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Yang Mulia Ketua/Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Namun demikian Pemerintah menyerahkan sepenuhnya kepada Yang Mulia Ketua/Majelis hakim konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilainya apakah Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) atau tidak, sebagaimana yang ditentukan oteh Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang Undang Nomor 8 Tahun 2011, maupun berdasarkan putusan-putusan Mahkamah
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
30 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Konstitusi terdahulu (vide putusan Nomor 006/PUU-111/2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007). III. KETERANGAN PEMERINTAH ATAS MATERI PERMOHONAN YANG DIMOHONKAN UNTUK DIUJI Sehubungan dengan anggapan Para Pemohon dalam permohonannya yang menyatakan Penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan : Penjelasan Pasal 70 : "Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembataJan yang disebut dalam Pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan . Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan" Ketentuan tersebut oleh Para Pemohon dianggap bertentangan dengan: Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945: "Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastias hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum". Adapun Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan: "Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ;atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa” Sebelum Pemerintah memberikan keterangannya terhadap materi muatan yang dimohonkan untuk diuji oleh Para Pemohon, Pemerintah terlebih dahulu menyampaikan hal-hal sebagai berikut: A. Latar Belakang Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan peradilan dengan berpedoman kepada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Di dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 disebutkan antara lain bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
31 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
untuk dieksekusi (executoir) dari pengadilan. Selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene lndonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten, Staatsblad 1927:227). Selain itu, UU AAPS juga mengatur secara khusus tata cara pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional atas dasar asas timbal balik tidak saja putusan-putusan arbitrase asing yang melibatkan perusahaan asing dapat dilaksanakan di Indonesia, tetapi juga putusan arbitrase Indonesia yang melibatkan perusahaan asing akan dapat dilaksanakan di luar negeri. B. Pengertian Menurut UU AAPS, Pasal 1 ayat (1): "Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pad a perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Dengan demikian Arbitrase diartikan sebagai suatu proses di mana para pihak menunjuk, umumnya dengan suka rela, orang ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka untuk menyelesaikan sengketanya berdasarkan bukti-bukti dan argumentasi yang disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi pengadilan. Objek dari arbitrase adalah mendapatkan penyelesaian yang adil oleh Majelis yang tidak berpihak tanpa penundaan atau biaya yang tidak perlu, dan para pihak seharusnya bebas untuk sepakat bagaimana sengketa tersebut diselesaikan, dengan hanya batasan bahwa hal tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan publik. Arbitrase merupakan suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil keputusan di luar pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan mengikat yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional. Penyelesaian Sengketa dalam bidang perdata melalui arbitrase tersebut didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam suatu Perjanjian Arbitrase, yang memiliki empat ciri hak, yaitu: a) Mereka berdaulat; b) Mereka memiliki otoritas; c) Mereka mempunyai jurisdiksi terhadap sengketanya; dan d) Masing-masing independen tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun tanpa Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
32 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kehendak/izinnya. Kesepakatan tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui arbitrase tersebut dapat dituangkan sebagai salah satu pasal ("Klausula Arbitrase") dalam Perjanjian atau dibuat tersendiri setelah timbul sengketa ("Akta Kompromis"). Agar Perjanjian Arbitrase atau Akta Kompromis tersebut menjadi efektif, maka perjanjian untuk berarbitrase harus jelas dan tegas (unequivocal) serta tertulis. Perjanjian tersebut mempunyai 4 (empat) fungsi yang esensial, yakni: a) Untuk
menghasilkan
konsekuensi
yang
diperintahkan
(mandatory
consequences) bagi para pihak; b) Untuk mencegah intervensi dari Pengadilan dalam menyelesaikan sengketa para pihak (sekurang-kurangnya sebelum putusan dijatuhkan ; c) Untuk memberdayakan arbiter dalam penyelesaian sengketa; dan d) Untuk menetapkan prosedur dalam menyelesaikan sengketa. Dalam melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum "Pacta Sunt Servanda" sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata (BW), yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. hukum yang
mengatur
sengketa
atau
Para pihak dapat menetapkan
menyerahkannya kepada
putusan
arbiter. Dengan demikian,
para pihak dalam Perjanjian Arbitrase tersebut wajib
menerima putusan yang diambil oleh Arbiter atau Majelis Arbitrase sebagai sesuatu yang resmi, final dan mengikat para pihak. Ketidakpatuhan terhadap Keputusan Arbiter atau Majelis Arbiter, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan hukum atau berdasarkan keadilan dan kepatutan (ex aequo et bono) merupakan suatu pengingkaran terhadap keadilan dan kepastian hukum. Segera setelah putusan dijatuhkan dan pihak yang kalah tidak mau mentaati secara sukarela, maka pihak yang menang dapat minta kepada pengadilan untuk menegakkannya.
Pengadilan
akan
membatasinya
semata-mata
pada
pengendalian formal dan verifikasi keberadaan perjanjian arbitrase, termasuk apakah penunjukan arbiter telah dilakukan menurut perjanjian dan putusan telah memenuhi persyaratan formal yang ditetapkan dalam undang-undang . Dengan demikian, maka Perjanjian Arbitrase tersebut merupakan suatu kesepakatan para pihak tentang tata cara penyelesaian sengketa perdata melalui "Lembaga Arbitrase" yang diinginkan
bersama.
Pengadilan
Negeri tidak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
33 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
berwenang untuk mengadili sengketa yang telah terikat Perjanjian Arbitrase. Yurisprudensi Tetap Mahkamah Agung RI telah mengakui bahwa Arbitrase sebagai "Extra Judicial' yang lahir dari Perjanjian Arbitrase mempunyai akibat hukum (legal effect) yang memberi kewenangan mutlak (absolute) kepada Majelis Arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasar asas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu "Semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan undang undang berlaku sebagai undangundang bagi mereka yang membuatnya". C. Tujuan Arbitrase Penggunaan arbitrase untuk menyelesaikan sengketa telah lama dikenal di semua masyarakat di dunia dan sistem hukum termasuk dalam hukum adat di Indonesia. Secara tradisional bentuk yang digunakan adalah konsiliasi diantara para pihak yang bertujuan hidup bersama dalam masyarakat kecil. Arbitrase dipilih untuk hubungan pribadi para pihak, dan putusan tidak ditegakkan oleh pengadilan. Namun, dengan makin terbukanya masyarakat, pengakuan arbitrase yang lebih formal tumbuh paralel dengan sistem hukum. Di Indonesia, arbitrase juga mempunyai sejarah lama sejak sebelum Perang Dunia II, tetapi jarang dipergunakan karena kurang dimengerti manfaat dan tata caranya. Sampai dengan Agustus 1999, proses berarbritase di Indonesia diatur berdasarkan Burgelijke Reglement of de Rechtsvordering ('RV') yang dilandasi pada ketentuan-ketentuan "kebebasan berkontrak" (freedom of contract) dalam KUHPerdata. Berdasarkan RV, penegakan putusan dilaksanakan dengan cara yang sama sebagai putusan pengadilan, termasuk eksekusi barang-barang milik pihak yang kalah. Peraturan hanya menetapkan putusan-putusan arbitrase yang dijatuhkan di dalam negeri, sedangkan untuk putusan-putusan yang dijatuhkan di luar negeri tidak dapat dieksekusi di Indonesia. Alasan mengapa arbitrase komersial makin populer adalah karena hasiI arbitrase lebih dapat diperkirakan (predictable) tertutup dan dihindarinya publisitas, serta fleksibel, tidak terlalu formal dan biaya yang lebih terukur/pasti dari pada proses pengadilan. Hal ini juga didukung dengan meningkatnya perdagangan dunia dan kebijakan pasar bebas. Dalam perdagangan internasional, pengaturan baru di luar negara seperti lembaga-lembaga ekonomi multilateral, adanya standar-standar hukum supranasional dan badan-badan
bukan pemerintahan
yang dipimpin oleh pasar modal serta multilateral corporations telah memberikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
34 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
kontribusi yang signifikan dalam pertumbuhan arbitrase sebagai satu cara-cara menyelesaikan sengketa komersial yang mempunyai sifat internasional dan mengabaikan berbagai tes dan standar yang ditetapkan dalam sistem hukum nasional. Dengan demikian, Arbitrase yang diatur dalam Undang-undang a quo merupakan cara
penyelesaian suatu sengketa di luar peradilan umum yang
didasarkan atas perjanjian tertulis dari pihak yang bersengketa. Tetapi tidak semua sengketa dapat diselesaikan melalui arbitrase, melainkan hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka. Berbeda dengan proses pengadilan negeri dimana terhadap putusannya para pihak masih dapat mengajukan banding dan kasasi, maka dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding kasasi maupun peninjauan kembali. Hal ini untuk menjaga agar penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut. Arbitrase dapat dilaksanakan institusional atau ad hoc. Arbitrase institutional dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase, di mana para pihak sepakat
akan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti
misalnya International Chamber of Commerce (ICC) dan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). Dalam arbitrase ad hoc para pihak dapat bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri, aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu atau aturan tertentu yang tidak terkait dengan suatu lembaga aribtrase seperti aturan UNCITRAL Arbitration Rules, yang diterbitkan oleh The United Nations Commission on International Trade Law. Karena tidak ada institusi yang melakukan administrasi acara, permasalahan sering timbul dalam arbitrase ad hoc jika satu pihak menolak untuk menunjuk seorang arbiter atau jika para pihak tidak berhasil mencapai kesepakatan dalam memilih ketua. Dalam hal para pihak
tidak dapat mencapai kesepakatan
mengenai pemilihan/penunjukan arbiter Pasal 13 UU AAPS mengamanatkan bahwa para pihak dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menunjuk arbiter atau majelis arbitrase dalam rangka penyelesaian sengketa para pihak.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
35 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
D. Keuntungan dari Arbitrase Pada umumnya lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan. Kelebihan tersebut antara lain: a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. Dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif ; c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan ,jujur dan adil; d. Para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. Putusan arbiter merupakan putusan akhir yang mengikat para pihak dan f. dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan. Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas tidak semuanya benar, sebab di negara-negara tertentu proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap pengadilan adalah sifat kerahasiannya karena keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian penyelesaian sengketa melalui
arbitrase masih lebih diminati daripada litigasi,
terutama untuk kontrak bisnis bersifat intemasional. E. Pelaksanaan Putusan Arbitrase 1. Putusan Arbitrase Nasional Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 – Pasal 64 UU No. 30 Tahun 1999. Pada dasamya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase
dapat
dipaksakan
pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekekuatan hukum tetap), sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
36 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU AAPS, sebelum memberi perintah pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5, serta tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan pelaksanaan eksekusi dan terhadap putusan Ketua Pengadilan Negeri tersebut tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. 2. Putusan Arbitrase Internasional Pasal 65 sampai dengan Pasal 69 UU a quo memberi kewenangan kepada PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase lntemasional, yang menurut Pasal 1 butir (9) adalah putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia, atau suatu putusan suatu lembaga aribtrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai putusan arbitrase internasional 3. Pembatalan Putusan Pasal 70 UU a quo, menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase
hanya
mengandung
dapat
unsur-unsur
dikabulkan
apabila
ditemukannya
putusan
surat
atau
tersebut
diduga
dokumen
dalam
pemeriksaan palsu atau, disembunyikan dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan di pengadilan dan alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Alasan pembatalan dalam UU AAPS berbeda dengan UNCITRAL Model Law, yang menyatakan bahwa pembatalan meliputi (Pasal 34): a) Satu atau para pihak tidak cakap (Incapacity); b) Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya. c) Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase, atau berisi putusan-putusan diluar kewenangan arbitrase;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
37 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
d) Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang; atau e) Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundangundangan di Negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dari negara tersebut. Sementara banyak negara telah membatasi hak untuk banding, namun demikian hak banding tersebut tetap merupakan ancaman terhadap putusan arbitrase. Hak banding tersebut telah menghambat eksekusi dan penyelesaian sengketa. Di sisi lain, hak untuk banding merupakan stimulus bagi para arbiter untuk bekerja dengan penuh kehati-hatian dan wajar sehingga arbiter senantiasa harus beritikad baik dalam menyelesaikan sengketa. F. Asas Itikad Baik dalam Berarbitrase Arbitrase adalah suatu perjanjian yang dinegosiasikan, disepakati dan dijalankan; karenanya itikad baik menjadi pusat dalam arbitrase. Sebagai dipersyaratkan dalam konvensi-konvesi lnternasional dan Undang-Undang, para pihak dalam arbitrase, termasuk kuasa, arbiter, lembaga arbitrase dan para pihak yang bersengketa harus beritikad baik ketika memasuki proses arbitrase. Misalnya, kuasa atau pengacara para pihak tidak menutup kemungkinan untuk perdamaian dengan cara-cara menunda sidang. Para kuasa atau pengacara tersebut seyogyanya selalu berkomunikasi dengan kliennya untuk menjajagi kemungkinan tercapainya penyelesaian segera setelah mengetahui bahwa pembahasan menuju perdamaian mengenai kasus cukup memberikan harapan. Dalam setiap arbitrase. tugas dan kewajiban harus dilaksanakan dengan standar itikad baik dan penyikapan secara penuh (full disclosure). Hal ini berarti bahwa para pihak dari awal bersedia membahas kepentingannya masing-masing . Mereka mengerjakannya dengan cara-cara yang efektif
dan tidak membuang-
buang waktu, wajar (reasonable) dan menujukkan proaktif keinginan untuk menyelesaikan sengketa. Tanpa itikad baik, keunggulan arbitrase dalam penyelesaian sengketa menjadi tidak efektif atau hilang. Untuk arbiter, itikad baik berarti tidak bersedia menjadi arbiter jika jadwal yang bersangkutan penuh dan bersedia mengungkapkan kemungkinan adanya benturan kepentingan (conflict of interest). Karena itu arbiter Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
38 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebelum dan selama proses harus melakukan introspeksi mengenai sikapnya sehingga tidak mejatuhkan putusan yang bias. Ketidakberpihakan dan kebebasan dari seorang arbiter merupakan hal yang esensial dalam pemeriksaan. Dalam premise tersebut, itikad baik mengharuskan para arbiter bertindak wajar, untuk melindungi ekspektasi yang berasal dari perjanjiannya. Hal yang juga cukup relevan tentang itikad baik dalam arbitrase adalah hak banding atas putusan yang dijatuhkan. Kesepakatan menyelesaikan sengketa melalui abitrase pada hakekatnya bersedia menerima putusan arbitrase sebagai putusan terakhir (finaL dari para arbiter, karena itu pengajuan banding kepada pengadilan untuk membatalkan putusan dapat dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak beritikad baik, selain melanggar cita-cita hukum yang didambakan tetapi tidak selalu seiring, yaitu asas-asas manfaat, keadilan dan kepastian hukum. Selanjutnya terhadap dalil para Pemohon yang menyatakan Penjelasan Pasal 70 UU a quo tidak konsisten, tidak operasional dan menimbulkan kerancuan, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut: Bahwa sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Jimly Asshiddiqie, SH dalam tulisannya yang berjudul "Perihal Undang-Undang", norma atau kaidah merupakan nilai-nilai baik dan buruk dalam bentuk kata aturan yang berisi kebolehan, anjuran atau perintah, dan bahwa dengan demikian norma hukum yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan adalah peraturan yang timbul dari hukum yang berlaku. Bahwa suatu norma yang telah ditetapkan kadang-kadang diperlukan penjelasan lebih lanjut agar pembentuk Undang-Undang dapat menyampaikan apa yang dimaksud dari norma tersebut sebagai keterangan resmi dari norma yang ditetapkan tersebut. Seperti yang ditetapkan dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan perundang-undangan bahwa Penjelasan adalah tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas
norma
tertentu
dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang
dapat
disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.(vide Pasal 176 UU No. 12 Tahun 2011). Oleh karena itu, dalam ketentuan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan "Putusan Arbitrase hanya dapat dibatalkan dalam hal adanya dokumen yang Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
39 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diduga palsu atau dipalsukan atau tipu muslihat" adalah norma yang harus dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase. Sedangkan Penjelasan Pasal 70 yang menjelaskan bahwa atas dugaan yang telah ditetapkan dalam batang tubuhnya harus dibuktikan melalui putusan pengadilan" adalah putusan pengadilan yang berwenang mengadili pemalsuan atau tipu muslihat". Hal ini terkait dengan kepastian hukum dan keadilan dalam arti bahwa seseorang baru dapat dinyatakan bersalah dalam hukum setelah pembuktian. Sebaliknya jika Penjelasan Pasal 70 dianggap bertentangan dengan normanya sebagaimana dimaksud oleh Para Pemohon, maka Pasal 70 UU a quo akan kehilangan penafsirannya, sehingga bagi pihak yang memenangkan perkara arbitrase akan menghilangkan hak-hak konstitusional dan tidak akan mendapatkan manfaat, keadilan dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase. Bahwa berdasarkan uraian di atas, Penjelasan Pasal 70 UU AAPS bukan menjadi normatif baru dan telah selaras dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 AAPS dan bahwa dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU AAPS. Terhadap dalil Para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan sehingga menjadi adanya ketidakpastian hukum, Pemerintah memberikan keterangannya sebagai berikut: Bahwa dalam
pembuktian pengadilan
terhadap adanya
unsur
unsur
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan 70 UU a quo dibutuhkan waktu yang lama
untuk
mendapatkan
putusan
akhir
untuk
membuktikan
adanya
dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknis pengadilan, yang tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan. Pemalsuan dokumen dan tipu muslihat masuk ranah hukum pidana, yang penegakannya dijalankan oleh aparat penegak hukum dan prosesnya untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, ide-ide hukum menjadi kenyataan dan menegakkan norma hukum pidana beserta segala nilai yang ada di belakang norma tersebut (total enforcement), yang dibatasi oleh "area of no enforcement' melalui hukum acara pidana atau ketentuan khusus lain, untuk menjaga Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
40 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
keseimbangan antara kepentingan negara, kepentingan umum dan kepentingan individu (full enforcement). Bahwa sebenarnya Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase, pada dasarnya para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam puluh) hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan pembatalan berdasar adanya dokumen palsu atau tipu muslihat, yaitu 30 (tiga puluh) hari untuk pendaftaran putusan dan 30 (tiga puluh) hari untuk pendaftaran permohonan pembatalan. Pembuktian pemalsuan dokumen atau tipu muslihat seharusnya dapat dilakukan secara sederhana dan tidak seharusnya memakan waktu lama. Banyak contoh tentang peradilan cepat itu; antara lain dalam perkara-perkara di Pengadilan Niaga, di mana dengan pembuktian sederhana Hakim di Pengadilan Niaga sudah harus menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari. Bahwa dibatasinya waktu untuk mengajukan permohonan pembatalan putusan ada kaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka memberikan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum kepada para pihak, termasuk pihak yang telah memenangkan perkara arbitrase. IV. KESIMPULAN Berdasarkan
hal-hal
diatas,
Pemerintah
dalam
keterangannya
dapat
menyimpulkan sebagai berikut: 1. Pengajuan pembatalan putusan arbitrase sering tidak dilandasi pada "itikad baik" yang merupakan asas pokok dalam suatu perjanjian karena arbitrase merupakan kesepakatan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum, maka para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh para arbiter yang telah ditunjuknya sendiri. Peran pengadilan hanya untuk penegakan hukum agar putusan arbitrase ditaati para pihak. 2. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya ringan tersebut sering di latarbelakangi oleh berbagai faktor, antara lain para pengacara yang tidak selalu secara professional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses Pengadilan itu sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
41 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apapun. Hal ini mencerminkan perilaku yang tidak beritikad baik, yang dalam hal pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan mengingkari kesepakatan, bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat. 3. Bahwa dengan demikian, gugatan Pemohon bahwa terdapat perbedaan norma atau adanya norma baru atau perubahan terselubung dalam Penjelasan Pasal 70 tidak terbukti dan patut ditolak. Berdasarkan kesimpulan diatas, Pemerintah berpendapat jika Penjelasan Pasal 70 UU AAPS dianggap tidak mempunyai hukum mengikat, maka Pasal 70 UU a quo akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum kepada pihak-pihak yang berhak mendapatkan keadilan dan manfaat dari putusan arbitrase berdasarkan hak-hak konstitusionalnya, sehingga Pemerintah berpendapat dari hasil kesimpulan tersebut Pemohon dalam permohonan ini tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) dan adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana
menyatakan
permohonan
Pemohon
tidak
dapat
diterima
(niet
ontvankelijk verklaard). V. PETITUM Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, Pemerintah memohon kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia yang memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Pemohon tidak memiliki Kedudukan hukum (legal standing); 2. Menolak permohonan pengujian para Pemohon seluruhnya atau setidak tidaknya menyatakan permohonan. Para Pemohon tidak dapat diterima (niet onvankelijk verklaard); 3. Menyatakan ketentuan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
42 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1999
tentang
Arbitrase
dan
Alternatif
Penyelesaian
Sengketa
tidak
bertentangan dengan Pasal 280 ayat (1) Undang-Undang Oasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu, Presiden mengajukan dua orang ahli yang didengarkan keterangannya di Persidangan Mahkamah pada tanggal 26 Agustus 2014, pada pokoknya sebagai berikut: 1. Prof. Dr. Huala Adolf, S.H., LL.M 1. Keterangan ahli (affidavit) ini saya buat atas permintaan Pemerintah Republik Indonesia cq. Kementerian Kehakiman melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) yang menjadi salah satu pihak atau minimal yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 2. Keterangan ahli ini saya buat dalam kapasitas saya sebagai sarjana yang telah cukup lama mempelajari arbitrase. Minat lama saya kepada arbitrase antara lain tegambar ketika pertama kali menerbitkan buku berjudul Arbitrase Komersial Internasional, (Jakarta: Rajawali Pers) pada tahun 1991 dan juga menerbitkan buku berjudul: Dasar-dasar, Prinsip dan Filosofi Arbitrase (Bandung: Keni Media) pada tahun 2014. 3. Permasalahan hukum yang dimintakan kepada saya terkait dengan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa ("UU") Penjelasan Pasal 70 UU berbunyi: "Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan." 4. Keterangan berupa Pendapat hukum yang saya buat di bawah ini lebih menitik-beratkan pada prinsip arbitrase. I. Prinsip Arbitrase: Non Intervensi Pengadilan 5. Salah satu prinsip universal arbitrase yang penting adalah prinsip nonintervensi pengadilan. Prinsip ini menyatakan bahwa pengadilan harus sedapat mungkin tidak menyampuri sengketa yang para pihak telah terikat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
43 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
pada suatu perjanjian arbitrase. Prinsip ini bersifat universal. Prinsip ini dalam hukum nasional tampak dalam Pasal 3 dan Pasal 11 UU Arbitrase. 6. Pasal 3 UU Arbitrase menyatakan: "Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase." Pasal 11 UU Arbitrase berbunyi: (1) Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri. (2) Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitase, kecuali dalam hal-hal tertentu yang ditetapkan dalam Undangundang ini. 7. Dalam hukum arbitrase internasional, prinsip ini termuat dalam Article II ayat (3) Konvensi New York 1958. Article II (3) Convention berbunyi: "The court of a Contracting State, when seized of an action in a matter in respect of which the parties have made an agreement within the meaning of this article, shall, at the request of one of the parties, refer the parties to arbitration, unless it finds that the said agreement is null and void, inoperative or incapable of being performed." 8. Terjemahan Pasal 11 ayat (3) Konvensi berbunyi: "Pengadilan dari suatu negara peserta Konvensi ini, ketika dimintakan menyelesaikan sengketa yang para pihaknya telah terikat dalam suatu perjanjian arbitrase, wajib merujuk para pihak untuk menyelesaikan sengketanya ke arbitrase, kecuali Pengadilan memutuskan bahwa perjanjian arbitrase yang mengikat para pihak tersebut adalah batal demi hukum, tak bisa dijalankan atau tidak dapat dilaksanakan." 9. Prinsip non-intervensi pengadilan menurut pendapat saya, harus juga diterapkan pada aspek pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan harus sedapat-dapatnya menjaga jarak untuk tidak menyampuri sengketa para pihak yang telah terikat pada arbitrase termasuk mengeluarkan putusan yang membatalkan putusan arbitrase. 10. Dewasa ini masih terdengar pandangan dari pengusaha luar negeri baliwa negeri Indonesia dipandang sebagai "unfriendly country” untuk arbitrase. Istilah "unfriendly country” di sini mengacu kepada pemahaman mereka bahwa negeri Indonesia tidak ramah (unfriendly) terhadap arbitrase. Alasan sejatinya, putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat, temyata dibatalkan. Pembatalan suatu putusan arbitrase melukai perasaan suatu pihak yang telah beritikad baik di dalam menyelesaikan sengketanya di arbitrase. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
44 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
11. Menurut Yang Mulia Hakim Agung Bismar Siregar, putusan arbitrase adalah mahkota seorang arbiter. Karena itu, pembatalan suatu putusan arbitrase sejatinya melukai pula perasaan seorang arbiter yang memutus sengketa arbitrase. 12. Dari perspektif arbitrase, pembatalan suatu putusan arbitrase, apalagi putusan arbitrase asing, sangat mengundang perhatian dan mengundang keingintahuan
mendalam
terhadap
alasan-alasan
pembatalan
atau
mengapa suatu putusan arbitrase dibatalkan. II. Prinsip Final dan Mengikat Putusan Arbitrase 13. Putusan arbitrase adalah putusan yang dikeluarkan oleh majelis arbitrase atau seorang arbiter. Prinsip universal yang berlaku terhadapnya adalah putusan yang bersifat final dan mengikat. Final artinya paling akhir. Mengikat artinya para pihak yang bersengketa terikat secara hukum untuk melaksanakan putusan arbitrase. 14. Sifat final dan mengikat putusan arbitrase secara hukum tidaklah dapat diajukan perlawanan. Tetapi prinsip universal memberi kelonggaran terhadap prinsip final dan mengikat ini. Putusan arbitrase berdasarkan Konvensi New York 1958 dan Model Arbitration Law UNCITRAL 1985 dapat dimintakan penolakan pelaksanaannya. Penolakan pelaksanaan putusan ini karena adanya aturan dasar yang dilanggar, misalnya kepentingan umum (public policy). 15. Dalam UU, suatu putusan arbitrase dimungkinkan pembatalan. Meskipun ketentuan UU berbeda dengan Konvensi New York 1958 dan Model Arbitration Law UNCITRAL, menurut hemat saya, berdasarkan dua prinsip di atas, yaitu prinsip non-intervensi pengadilan dan prinsip final dan mengikat putusan arbitrase, pembatalan ini haruslah sangat hati-hati dilakukan. 16. Alasannya, pertama, pembatalan hanya dapat dilakukan apabila ada halhal yang sifatnya sangat teramat fundamental telah dilanggar oleh suatu arbitrase. Kedua, pembatalan menimbulkan atau melahirkan dampak negatif yang sangat teramat fiindamental pula. Pembatalan putusan arbitrase
hanya
akan
melahirkan
kesangsian
bahkan
keraguan
masyarakat (di dalam dan luar negeri) terhadap arbitrase di Indonesia. 17. Berdasarkan prinsip-prinsip arbitrase di atas, ketentuan dalam UU Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
45 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Arbitrase khususnya Pasal 70 beserta penjelasannya haruslah dipandang sebagai suatu ketentuan yang harus membatasi dengan tegas agar putusan arbitrase tidak dengan mudah dibatalkan. 2. Prof. Dr. Mieke Komar, S.H., M.CL 1. Keterangan
ahli
Kementerian
ini,
saya
buat
atas
permintaan
Pemerintah
cq
Kehakiman melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) yang ikut terkait dengan adanya permohonan pengujian UndangUndang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, khususnya terhadap Penjelasan Pasal 70 . 2. Keterangan ahli ini, saya buat dalam kapasitas saya sebagai akademisi yaitu dosen/Guru Besar (emeritus) Universitas Padjadjaran, yang di samping
mengajar
dalam
Hukum
Internasional,
Hukum
Kontrak
Internasional, dll. (sejak 1967-2011 sebagai dosen/GB tetap), sebagai GB (em) 2011-sekarang), juga sebagai Mantan Hakim Agung Rl (2003-2012), anggota kamar Perdata Khusus, serta sebagai pemerhati tentang perkembangan hukum Arbitrage nasional dan internasional. 3. Adapun petitum pihak Pemohon, pada pokoknya memohon Majelis Mahkamah Konstitusi untuk: - Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999
tentang
Arbitrase
dan
Altematif
Penyelesaian
Sengketa
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. - Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Atau apabila Majelis Hakim Konstitusi mempunyai pendapat lain atas perkara a quo mohon diberikan putusan yang seadil -adilnya (ex aequo et bono) 4. Pertimbangan
Mahkamah
Agung.
dalam
berbagai
putusan
dapat
menunjukkan arah penyelesaian Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 beserta
Penjelasannya. Terlebih putusan-putusan Mahkamah Agung
sebagai badan Peradilan yang tertinggi merupakan yurisprudensi tentang penerapan hukum dalam keadaan riil, yang menjadi pegangan atau pedoman bagi badan-badan peradilan di bawahnya.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
46 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
"Bahwa
pembatalan
putusan
BANI
harus
memenuhi
syarat
syarat
sebagaimana diatur dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Altematif Penyelesaian Sengketa, yang telah dirinci secara limitatif sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu, b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa." Dengan memperhatikan Penjelasan atas Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 berbunyi: "Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti,
maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar
pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. -
Putusan Nomor 01/Arb.Btl/2006, MA menguatkan putusan Pengadilan Negeri yang menolak permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo dengan
pertimbangan
bahwa
alasan
alasan
pembatalan
adalah
bertentangan dengan isi Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 dan Penjelasannya; alasan alasan Pasal 70 telah ditentukan secara limitatif. -
Putusan MA Nomor /855K/lPdt.Sus/2008 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri, bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo adalah prematur sebab harus dibuktikan lewat putusan pengadilan terlebih dahulu tipu muslihat/kebohongan (bukan hanya tafsir dari salah satu pihak), lihat Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999, dan Penjelasannya.
-
Putusan MA Nomor 729K/PDT.SUS/2008, menegaskan, bahwa alasanalasan permohonan pembatalan yang disebut dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tersebut harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (dalam perkara pidana) dan seterusnya permohonan pembatalan harus dinyatakan tidak dapat diterima (N-O).
-
Putusan MA Nomor 109 K/PDT.SUS/2010, yang pada pokoknya menolak
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
47 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
permohonan pembatalan putusan arbitrase sebab adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Banding dalam perkara a quo tidak dapat dibuktikan adanya unsur tipu muslihat dan tidak disertai dengan bukti berupa putusan pidana yang menyatakan telah terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Termohon Banding, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. 5. Beberapa cuplikan putusan (dari sekian banyak putusan MA Rl) di atas mempertegas, bahwa isi dari Pasal 70 UU 30 Tahun 1999 harus dibaca dan diterapkan bersamaan dengan Penjelasannya. Alasan- alasan pembatalan dalam Pasal 70 mengandung unsur Pidana, dan Penjelasannya memuat uraian atau penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70, yaitu bahwa alasan alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan (pidana). Adalah tidak tepat untuk berpendapat bahwa Penjelasan Pasal 70 di atas mengandung norma baru seperti didalilkan Pemohon. Perjanjian arbitrase dan putusan arbitrase berada dalam ranah Hukum Perdata, tetapi unsur unsur Pasal 70 tersebut harus diperiksa oleh peradilan pidana, sebab peradilan perdata tidak berwenang untuk memeriksa dan memutuskan perkara yang diduga berisi unsur-unsur pidana. 6. Menurut hemat kami kedudukan Penjelasan pada UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan pertimbangan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005, UU Nomor 10 Tahun 2004 dalam Lampiran butir nomor 148-155, UU ini telah disempumakan oleh UU Nomor 12 Tahun 2011. 7. Lain dari pada itu, apabila Penjelasan dicabut dan dianggap bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 70 akan berdiri sendiri, tetap akan menghasilkan kerancuan dalam penyelesaiannya di peradilan perdata, yang akan bertentangan dengan Hukum Acara Indonesia 8. Suatu kenyataan bahwa ketentuan pembatasan waktu seperti yang diatur dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999, yaitu, "Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase
kepada
Panitera
Pengadilan
Negeri",
menghambat
bagi
penerapan isi Pasal 70 beserta Penjelasan sebagaimana mestinya. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
48 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
9. Apakah menghapus/mencabut baik Pasal 70 beserta Penjelasannya merupakan jawabannya, di samping merupakan tuntutan ultra petitum, juga perlu dipertanyakan apakah absennya upaya permohonan pembatalan dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak bertentangan dengan perintah, maksud dan tujuan dari Pasal 28D UUD 1945? Mengacu pada hukum Internasional yang mengikat Rl, yaitu Konvensi Internasional tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing, yang telah diratifikasi oleh Rl pada tahun 1985, mengatur tentang Pembatalan putusan arbitrase asing dalam Pasal V (l) (e) (pengertian "set aside" sama dengan "to annul" atau membatalkan), yaitu berkaitan dengan hak suatu negara anggota untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan putusan (asing), Butir (e): putusan belum mengikat para pihak atau telah dibatalkan (set aside) atau ditangguhkan oleh badan yang berwenang dari negara di mana, atau berdasarkan hukum mana, putusan tersebut dibuat; ((e) the award has not yet become binding on the parties, or has been set aside or suspended by a competent authority of the country in which, or under the law of which, that award was made) Contoh, putusan arbitrase Indonesia yang diputuskan di Indonesia dapat dibatalkan di Indonesia atau menurut hukum Indonesia. Konvensi Internasional ini tidak menetapkan syarat syarat pembatalan suatu putusan arbitrase asing. Dengan demikian, kewenangan menentukan syarat-syarat pembatalan suatu putusan arbitrase, baik putusan arbitrase asing maupun domestik adalah wewenang penuh negara anggota yang bersangkutan. Menggaris bawahi isi Keterangan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) tertanggal 30 April 2014, butir 4) Pasal 34 UNCITRAL Model Law, yang berisi alasan alasan pembatalan putusan arbitrase (set aside) yaitu apabila: a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapacity) b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase atau tidak dapat mempresentasikan perkaranya c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase d. Penunjukan majelis arbitrase- atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, kecuali perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang atau e. Pengadilan menemukan bahwa pokok perkara dalam sengketa tidak dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
49 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundang-undangan di Negara
tersebut atau putusan bertentangan dengan ketentuan umum
(public policy) dari negara tersebut. f. Diketahui secara luas, bahwa isi UNCITRAL Model Law telah diadopsi oleh banyak negara, termasuk negara negara tetangga kita. Sekalipun Rl belum mengadopsi aturan UNCITRAL Model Law tersebut, namun demikian butirbutir diatas dapat menjadi acuan bagi aturan tentang pembatalan putusan domestik maupun asing. Kesimpulan 1. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 tidak dapat dipisahkan dari Pasal 70 UU Nomor 30, 1994; Penjelasan tidak memuat norma baru tetapi memuat penjabaran lebih lanjut dari norma dalam Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999. 2. Penjelasan Pasal 70 UU Nomor 30 Tahun 1999 mempertegas bahwa syaratsyarat pembatalan dalam Pasal 70 masuk ke ranah pidana (pengadilan pidana), dan harus dibuktikan terlebih dahulu dengan putusan pengadilan pidana, seperti dipertimbangkan Mahkamah Agung dalam berpuluh-puluh putusannya. 3. Dibatalkan Penjelasan Pasal 70 memberikan ketidak pastian, terutama dapat dianggap bahwa pengadilan (perdata) memiliki wewenang untuk memeriksa unsur unsur pidana yang terkait dengan permohonan pembatalan tersebut. Hal mana sangat bertentangan dengan hukum acara Indonesia. 4. Pasal 70 beserta Penjelasan tidak bertentangan dengan UU Dasar 1945, namun demikian terkait dengan persyaratan dalam Pasal 71 UU Nomor 30 Tahun 1999 menimbulkan suatu ketidakpastian. 5. Mekanisme pembatalan putusan Arbitrase harus diatur dalam suatu Undang Undang tentang Arbitrase, untuk menguatkan hak warganegara sesuai dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan disusun sedemikian rupa sehingga dapat diterapkan secara efektif. [2.4]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Dewan
Perwakilan
Rakyat
menyampaikan
keterangan
tertulis
yang
diterima
di
Kepaniteraan Mahkamah pada tanggal 8 September 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
50 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
A. KETENTUAN
UU
ARBITRASE
YANG
DIMOHONKAN
PENGUJIAN
TERHADAP UUD 1945 Para Pemohon dalam permohonannya mengajukan pengujian atas Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, yang berbunyi sebagai berikut: “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan” Para
Pemohon
beranggapan
Penjelasan
Pasal
70
UU
Arbitrase
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. B. POKOK PERMOHONAN Para
Pemohon
dalam
permohonannya
yang
pada
pokoknya
menyatakan sebagai berikut: 1. Para Pemohon dalam Permohonannya berpendapat berlakunya Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase telah mengakibatkan atau setidaknya berpotensi mengakibatkan kerugian konstitusional yaitu ketidakpastian hukum dalam proses hukum terkait dengan permohonan pembatalan putusan arbitrase yang telah diajukan oleh para Pemohon ke Pengadilan Negeri Bandung (Perkara Nomor 157/Pdt/PN-BDG/2013), karena bersifat tidak operasional dan menghalangi hak hukum pencari keadilan. 2. Bahwa adanya norma yang berbeda dengan norma pokok batang tubuh Pasal 70 Undang Undang a quo atau bahkan munculnya norma baru dalam Penjelasan Pasal 70 Undang Undang a quo secara prinsip bertentangan dan ketidakkonsistenan dalam pengertiannya, sehingga menciptakan kerancuan, pertentangan dan ketidakpastian hukum karena adanya perbedaan norma. C. KETERANGAN DPR RI I. Kedudukan Hukum (Legal Standing) Mengenai
kedudukan
hukum
para
Pemohon
a
quo,
DPR
berpandangn bahwa para Pemohon harus dapat membuktikan terlebih dahulu apakah benar para Pemohon sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau ketentuan
kewenangan yang
konstitusionalnya
dimohonkan
untuk
dirugikan diuji,
atas
berlakunya
khususnya
dalam
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
51 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengkonstruksikan adanya kerugian terhadap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya sebagai dampak dari diberlakukannya ketentuan yang dimohonkan untuk diuji. Terhadap kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon, DPR menyerahkan
sepenuhnya
kepada
Ketua/Majelis
Hakim
Mahkamah
Konstitusi yang mulya untuk mempertimbangkan dan menilai apakah Pemohon
memiliki
kedudukan
hukum
(legal
standing)
atau
tidak
sebagaimana yang diatur oleh Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 006/PUU-III/2005 dan Perkara Nomor 011/PUU-V/2007. II. Pengujian UU Arbitrase Terhadap pandangan-pandangan para Pemohon dalam Permohonan a quo, DPR memberikan keterangan sebagai berikut: 1. Mekanisme penyelesaian sengketa perdata khususnya dalam bidang perdagangan (yang meliputi antara lain perniagaan, perbankkan, keuangan, industri, penanaman modal dan Hak atas Kekayaan Intelektual) selain dapat
diselesaikan melalui mekanisme peradilan
umum juga dapat diselesaikan melalui jalur diluar peradilan umum yang dikenal dengan
lembaga arbitrase. Lembaga arbitrase mempunyai
kelebihan dibandingkan dengan lembaga peradilan umum yaitu antara lain: a. dijamin kerahasiaan sengketa para pihak; b. dapat dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif; c. para pihak dapat memilih arbiter yang menurut keyakinannya mempunyai pengetahuan, pengalaman serta latar belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, jujur dan adil; d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk menyelesaikan masalahnya serta proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase; dan e. putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur) sederhana saja ataupun langsung dapat dilaksanakan.
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
52 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
2. Mekanisme
penyelesaian
sengketa
perdata
khususnya
bidang
perdagangan melalui Arbitrase telah diatur dalam UU Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Undang Undang a quo
merupakan pengganti dari peraturan yang terdapat
dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering) yang sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dunia perdagangan sehingga perlu disesuaikan karena pengaturan dagang yang bersifat internasional sudah merupakan kebutuhan conditio sine qua non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtvordering). 3. Ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase secara jelas telah menyebutkan bahwa "Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa". Berdasarkan ketentuan tersebut arbitrase merupakan suatu proses di mana pihak-pihak yang bersengketa menunjuk, orang ketiga atau arbiter yang dipilih oleh mereka untuk menyelesaikan sengketanya
berdasarkan
bukti-bukti
dan
argumentasi
yang
disampaikan di Majelis Arbitrase atau melalui proses di luar jurisdiksi pengadilan. Dengan demikian Arbitrase dapat diartikan merupakan suatu cara konsesus oleh lembaga pengambil keputusan di luar pemerintahan yang menghasilkan putusan yang definitif dan mengikat yang dapat ditegakkan melalui pengadilan nasional. 4. Putusan
arbitrase
merupakan
putusan
yang
bersifat
final
dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan mengikat para pihak yang bersengketa (vide Pasal 60 UU Arbitrase). Dalam hal setelah putusan arbitrase dijatuhkan, ada pihak yang tidak mau mentaati secara sukarela, maka putusan arbitrase dapat dilaksanakan berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permohon salah satu pihak yang bersengketa (vide Pasal 61). 5. Meskipun Putusan Arbitrase bersifat final dan mengikat, namun untuk melindungi kepentingan hukum pihak-pihak yang beritikat baik dalam penyelesaian
sengketa
melalui
lembaga
abitrase,
maka
dalam
ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase diatur secara tegas bahwa Putusan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
53 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Arbitrase dengan syarat-syarat tertentu dapat dibatalkan melalui pengajuan
permohonan
pembatalan
kepada
pengadilan
negeri.
Permohonan pembatalan Putusan Arbitrase tersebut hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah
putusan
diambil
ditemukan
dokumen
yang
bersifat
menentukan yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. 6. Dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase disebutkan bahwa Alasanalasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini (Pasal 70) harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Penjelasan Pasal 70 a quo adalah merupakan penjabaran atau uraian lebih lanjut dari norma yang tertuang dalam batang tubuh dan merupakan kelaziman dalam penyusunan Undang Undang agar uraian norma menjadi lebih jelas dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Hal mengenai penjelasan dalam perumusan Undang Undang tercantum dalam Lampiran II angka 176 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundangundangan yang menyebutkan bahwa penjelasan merupakan tafsir resmi pembentuk Undang Undang yang hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud. 7. Ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase mengatur persyaratan dapat dibatalkannya Putusan arbitrase yaitu dalam hal adanya dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan dan adanya
tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Ketentuan persyaratan tersebut adalah norma yang harus dipenuhi sebagai syarat dapat dibatalkannya suatu putusan arbitrase. Kemudian dalam penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase diuraikan atau dijabarkan lebih lanjut bahwa persyaratan dapat dibatalkannya putusan arbitrase Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
54 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana ditetapkan Pasal 70 Undang Undang a quo harus dibuktikan melalui putusan pengadilan”. 8. Penjelasan Pasal 70 sebagaimana diuraikan diatas merupakan penafsiran resmi pembentuk Undang Undang untuk menguraikan atau menjabarkan lebih lanjut mengenai norma persyaratan-persyaratan untuk membatalkan putusan arbitrase yang ada dalam batang tubuh (Pasal 70 Undang Undang a quo). Penjabaran atau uraian lebih lanjut dari norma yang tercantum dalam Pasal 70 Undang Undang a quo adalah salah satu pihak yang mengajukan pembatalan putusan arbitrase dengan dasar
adanya dokumen yang diajukan dalam
pemeriksaan diakui palsu atau dinyatakan dipalsukan dan adanya tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka demi kepastian hukum dan keadilan
kedua persyaratan tersebut harus dibuktikan
terlebih dahulu melalui putusan pengadilan. Hal tersebut untuk memberikan kepastian hukum bahwa adanya dokumen palsu dan adanya tipu muslihat yang dijadikan dasar untuk pembatasan putusan arbitrase adalah benar menurut hukum dan dapat dibuktikan sehingga dapat dijadikan dasar untuk membatalkan Putusan arbitrase. 9. Berdasarkan uraian di atas, DPR berpendapat penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase, telah selajan dan sesuai dengan maksud dan arti dari substansi pokok ketentuan normatif yang diatur dalam Pasal 70 UU Arbitrase, dengan demkian penjelasan Pasal 70 sudah berfungsi sebagai penjelasan yang memberikan tambahan pengertian atau keterangan dari Pasal 70 UU Arbitrase. 10. Terhadap dalil para Pemohon yang menganggap dengan terlalu lamanya waktu untuk membuktikan dugaan tersebut ke Pengadilan sehingga menjadi adanya ketidakpastian hukum, DPR berpendapat bahwa
pembuktian
pengadilan
terhadap
adanya
unsur-unsur
sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 70 Undang Undang a quo
yang mebutuhkan waktu
untuk mendapatkan putusan akhir
untuk membuktikan adanya dokumen/fakta palsu atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknis pengadilan, harus dilaksanakan berdasarkan asas peradilan sederhana, cepat dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
55 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
biaya
ringan.
Oleh
karenannya
hal
tersebut
bukan
persoalan
konstitusionalitas norma melainkan persoalan penerapan norma. 11. Dalam hal permohonan pembatalan putusan arbitrase, Pasal 71 dan Pasal 72 UU Arbitrase sudah mengatur secara jelas dan tegas batasan waktu pengajuan permohonan pembatalan dan batasan waktu bagi pengadilan untuk memberi putusan mengenai pembatalan tersebut yaitu para pihak yang bersengketa mempunyai waktu sekitar 60 (enam puluh) hari sejak putusan arbitrase dibacakan untuk mengajukan permohonan pembatalan kepada pengadilan negeri dan pengadilan sudah harus menjatuhkan putusan selama kurang dari 30 hari. 12. Berdasar uraian-uraian di atas DPR berpendapat, Penjelasan Pasal 70 UU Arbitrase dirumuskan untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70 Undang Undang a quo, sehingga dapat lebih memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan putusan arbitrase dan memberikan perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang bersengketa dalam lembaga arbitrase, oleh karenannya tidak bertentangan dengan ketentuan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Demikian keterangan DPR RI ini kami sampaikan untuk menjadi bahan pertimbangan bagi Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, memutus, dan mengadili perkara a quo dan dapat memberikan putusan sebagai berikut: 1. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tidak bertentangan dengan UUD 1945; 2. Menyatakan Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat. [2.5]
Menimbang bahwa terhadap permohonan para Pemohon, Pihak Terkait
Badan Arbitrase Nasional Indonesia, telah memberikan keterangan di persidangan Mahkamah pada tanggal 30 April 2014, yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 1. Tentang BANI BANI adalah lembaga independen yang memberikan jasa beragam yang berhubungan dengan arbitrase, mediasi, dan bentuk-bentuk lain dari Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
56 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
penyelesaian sengketa di luar pengadilan. BANI didirikan pada tahun 1977 atas prakarsa tiga pakar hukum terkemuka, yaitu Almarhum Prof. Soebekti S.H., dan Haryono Tjitrosoebono S.H., dan Prof. Dr. Priyatna Abdurrasyid, dan dikelola dan diawasi oleh dewan pengurus dan dewan penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat dan sektor bisnis. BANI berkedudukan di Jakarta dengan perwakilan di beberapa kota besar di Indonesia termasuk Surabaya, Bandung, Pontianak, Denpasar, Palembang, Medan, Batam. Adapun BANI sebagai lembaga arbitrase adalah sesuai dengan ketentuan umum Pasal 1 butir 8 Undang-Undang AAPS yang menyatakan bahwa penyelesaian sengketa melalui arbitrase dapat diselenggarakan melalui lembaga arbitrase, yaitu badan yang dipilih oleh para pihak yang bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu. Selanjutnya
Pasal
1
butir
9
juga
mengakui
putusan
arbitrase
internasional, yaitu putusan yang dijatuhkan oleh suatu lembaga arbitrase atau arbiter perorangan di luar wilayah hukum Republik Indonesia atau putusan suatu lembaga arbitrase atau perorangan yang menurut ketentuan hukum Republik Indonesia dianggap sebagai suatu putusan arbitrase internasional. Dalam memberikan dukungan kelembagaan yang diperlukan untuk bertindak secara otonomi dan independen dalam menegakkan hukum dan keadilan, BANI telah mengembangkan aturan dan tata cara sendiri, termasuk batasan waktu di mana majelis arbitrase harus memberikan putusan. Aturan ini dipergunakan dalam arbitrase domestik dan internasional yang dilaksanakan di Indonesia. Pada saat ini lebih dari 100 arbiter berlatar belakang berbagai profesi, 7% di antaranya adalah arbiter asing terdaftar di BANI. 2. Pengertian tentang Arbitrase. 1) Menurut Prof. R. Soebekti Mantan Ketua Mahkamah Agung, arbitrase adalah penyelesaian atau pemutusan sengketa oleh seorang hakim dan para hakim berdasarkan persetujuan bahwa para pihak akan tunduk pada dan menaati keputusan yang diberikan oleh hakim atau para hakim yang mereka pilih atau mereka tunjuk. Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa hukum di luar pengadilan, forum arbitrase telah lama dikenal dalam sistem hukum di Indonesia. Kaidah umum tentang arbitrase telah merupakan bagian dari hukum acara perdata yang berlaku pada Raad Van
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
57 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Justitie yaitu RV 1847 Nomor 52 juncto S. 1849 Nomor 67 dan Pasal 377 HIR 1941-1944. 2) Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan antara lain bahwa penyelesaian sengketa di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi (eksekutoar) dari pengadilan. 3) Sengketa yang dapat disengketakan melalui arbitrase adalah hanya sengketa mengenai hak yang menurut hukum dikuasai sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa atas dasar kata sepakat mereka dan berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang AAPS penyelesaian sengketa melalui arbitrase hanya dapat diterapkan untuk masalah-masalah perdagangan. 4) Putusan arbitrase adalah bersifat mandiri, final dan mengikat, final and binding atau seperti putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, sehingga ketua pengadilan negeri tidak lagi diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase tersebut. Sesuai ketentuan Pasal 3 Undang-Undang AAPS, pengadilan negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase. Proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak terbuka upaya hukum banding, kasasi, maupun peninjauan kembali, hal ini untuk menjaga agar penyelesaian sengketa melalui arbitrase tidak menjadi berlarut-larut. 5) Yurisprudensi TAP Mahkamah Agung telah mengakui bahwa arbitrase sebagai ekstra yudisial yang lahir dari perjanjian arbitrase mempunya akibat hukum (legal effect) yang memberikan kewenangan mutlak (absolute) pada majelis arbitrase tersebut untuk menyelesaikan sengketa yang timbul dari perjanjian berdasarkan atas hukum dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yaitu semua perjanjian yang dibuat sesuai dengan Undang Undang berlaku sebagai Undang Undang bagi mereka yang membuatnya.
Dalam
melaksanakan perjanjian arbitrase tersebut berlaku asas hukum Pacta Sunt Servanda, dimana para pihak dapat menetapkan hukum yang mengatur sengketa atau menyerahkannya pada putusan arbiter. Dengan demikian para pihak dalam perjanjian arbitrase tersebut wajib menerima putusan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
58 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
yang diambil oleh arbiter atau majelis arbitrase sebagai sesuatu yang resmi, final, dan mengikat para pihak. 6) Abitrase dapat dilaksanakan institusional, dimana proses dilaksanakan dengan bantuan suatu lembaga arbitrase dengan menggunakan aturan dari lembaga arbitrase tersebut, seperti misalnya International Court of Arbitration dari International Chamber Of Commerce (ICC) Singapore International Arbitration Centre (SIAC), Kuala Lumpur Regional Arbitration Centre (KLRAC), dan Badan Arbitration National Indonesia (BANI). Arbitrase juga dapat dilaksanakan secara ad hoc dimana para pihak dapat bersepakat untuk menggunakan seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri, aturan atau prosedur dari salah satu lembaga arbitrase tertentu, atau aturan tertentu yang tidak terkait dengan suatu lembaga arbitrase, seperti aturan unsitral, arbitration rules yang diterbitkan oleh United Nations Commission on International Trade Law di Indonesia mengenai arbitrase ad hoc. 3. Pelaksanaan Putusan Abitrase. 1) Dalam Undang-Undang AAPS pelaksanaan putusan arbitrase diatur dalam Pasal 59, dan Pasal 64, untuk putusan arbitrase nasional, dan Pasal 65, dan Pasal 69 yang memberikan kewenangan kepada PN Jakarta Pusat untuk menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase internasional. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase dapat dipaksakan pelaksanaannya putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri dengan mendaftarkan dan menyerahkan lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri dalam waktu 30 hari setelah putusan arbitrase diucapkan. 2) Karena putusan arbitrase nasional bersifat mandiri, final, dan mengikat ketua pengadilan negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa
yang
dimiliki
ketua
pengadilan
negeri
terbatas
pada
pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Menurut Pasal 62 UU AAPS, sebelum memberi perintah pelaksanaan ketua pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 secara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
59 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
tidak bertentangan atau kesusilaan dan ketertiban umum. Bila tidak memenuhi maka ketua pengadilan negeri dapat menolak pelaksanaan eksekusi, dan terhadap putusan ketua pengadilan tersebut tidak terbuka upaya hukum apapun. 3) Pasal 70 UU AAPS menetapkan bahwa permohonan pembatalan putusan arbitrase hanya dapat dikabulkan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur ditemukannya surat atau dokumen dalam pemeriksaan palsu, atau disembunyikan, dan putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak. Dalam penjelasan Pasal 70 ini ditegaskan bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan yang sudah didaftarkan dipengadilan, dan alasan-alasan permohonan pembatalan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. 4) Berbeda dengan UU AAPS, UNCITRAL Model Law tidak mengenal pembatalan, tetapi Pasal 34 UNCITRAL Model Law menyatakan bahwa putusan arbitrase dapat di kesampingkan (setting a side) apabila. a. Satu atau para pihak tidak cakap (incapability). b. Pemberitahuan yang kurang wajar mengenai pengangkatan arbiter atau proses arbitrase, atau tidak mempresentasikan perkaranya. c. Putusan dijatuhkan atas perkara yang tidak dalam lingkup arbitrase atau berisi putusan-putusan di luar kewenangan arbitrase. d. Penunjukan majelis arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan
kesepakatan
para
pihak,
kecuali
perjanjian
tersebut
bertentangan dengan ketentuan-ketentuan dalam Undang Undang atau. e. Pengadilan menemukan bahwa pihak pokok perkara dalam sengketa tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase menurut peraturan perundangundangan di negara tersebut atau putusan bertentangan dengan ketertiban umum (public policy) dari negara tersebut. Ketentuan sebagaimana disebutkan dalam UNCITRAL Model Law tersebut sama dengan ketentuan yang termuat dalam hukum arbitrase nasional di banyak negara, antara lain Australia, Kanada, Cina, Hongkong, Singapura, Malaysia, Filipina, Korea Selatan, Singapura, dan Thailand. Demikian pula dalam Pasal 36 Konvensi New York Tahun 1958 mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan arbitrase asing telah digunakan istilah refusal atau penolakan, Indonesia meratifikasi Konvensi New York dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
60 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
1981. Perlu dicatat bahwa apa pun alasan dari penolakan atau penyampingan setting a side, suatu pembuktian tetap diperlukan. Tanggapan terhadap pertanyaan Majelis Hakim. Bahwa dalam persidangan tanggal 14 April 2014, Majelis Hakim Konstitusi mengajukan pertanyaan berkaitan dengan Pasal 70 Undang-Undang AAPS yang mengatur pembatalan putusan arbitrase dan atas pertanyaan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut. 1. Bahwa Pasal 70 AAPS menyatakan bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalannya oleh para pihak, yakni jika putusan dimaksud. a. Mengandung unsur-unsur adanya surat atau dokumen yang diakui atau dinyatakan palsu. b. Adanya dokumen yang disembunyikan, dan, c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat. Rincian unsur-unsur tersebut sebagai suatu bentuk perlindungan hukum bagi pihak yang terlibat dalam proses arbitrase yang memiliki dugaan bahwa putusan yang telah dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbiter tersebut mengandung unsur-unsur pemalsuan, penyembunyian fakta, dokumen, dan adanya unsur tipu muslihat. 2. Bahwa dalam melaksanakan arbitrase, BANI telah menerbitkan kebutuhan prosedural (prosedural regulation) yang mengatur proses arbitrase yang diselenggarakan oleh BANI bagi yang menunjuk BANI. Selain ruang lingkup dan ketentuan-ketentuan umum. Peraturan prosedural BANI memuat proses arbitrase yang umum berlaku di peradilan umum prosedur pembentukan majelis arbitrase, termasuk penunjukan, penolakan, pengingkaran, dan penggantian arbiter, pemeriksaan arbitrase, bahasa pemeriksaan, dan dokumen bukti, dan persidangan, bobot pembuktian, pemeriksaan saksi-saksi, dan ahli, dan putusan, dan pendaftaran putusan di pengadilan negeri. 3. Bentuk prosedural BANI memberikan kesempatan seluas-luasnya dengan memberikan waktu khusus kepada para pihak untuk memeriksa bukti-bukti dan saksi-saksi dan/atau ahli yang diajukan olehnya dan olehnya dan pihak lawan dan bahwa pemeriksaan dokumen juga meliputi keaslian dokumen, demikian pula dengan pemeriksaan para saksi dan ahli dalam persidangan yang semuanya disumpah menurut agama atau kepercayaan masing-masing dan
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
61 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
diharuskan
menyampaikan
keterangan
tertulis
(affidavit)
sebelum
pemeriksaan. 4. Bahwa tipu muslihat merupakan salah satu tindak pidana atau kejahatan terhadap harta benda yang di dalam KUHP diatur dalam Bab XXV Pasal 378 sampai 395. Bahwa dengan demikian pembuktiannya masuk dalam ranah hukum pidana. 5. Bahwa UU AAPS menetapkan putusan arbitrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak (Pasal 60). Dengan demikian kesepakatan para pihak menyelesaikan sengketa melalui arbitrase pada hakikatnya berarti bahwa para pihak bersedia menerima putusan arbitrase sebagai putusan terakhir (final) dari para arbiter dan mengikat para pihak yang berlandaskan pada asas pacta sunt servanda. Dalam hal para pihak tidak melaksanakan putusan arbitrase secara sukarela. Putusan dapat dilaksanakan berdasarkan perintah ketua pengadilan negeri (PN) atas permohonan salah satu pihak yang bersengketa (Pasal 61). Untuk itu putusan arbitrase harus didaftarkan oleh arbiter kepada panitera pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan diucapkan (Pasal 59). Ketua PN tidak memeriksa alasan atau memperimbangkan dalam putusan arbitrase (Pasal 62 butir 4). Eksekusi putusan arbitrase dapat ditolak oleh pengadilan negeri untuk dilaksanakan hanya dalam hal putusan arbitrase melanggar kesusilaan dan ketertiban umum. 6. Pasal 71 Undang-Undang AAPS mengisyaratkan permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak dari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada panitera pengadilan negeri. Selanjutnya, Pasal 59 ayat (1) UndangUndang AAPS menentukan bahwa dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada panitera pengadilan negeri. Jadi, maksimum waktu yang yang disediakan untuk memperoleh putusan pengadilan negeri tersebut adalah 60 hari. Bahwa memang jangka waktu itu sering dianggap tidak cukup atau ketentuan ini sulit untuk dapat dijalankan sebagaimana dinyatakan oleh Pemohon dalam Perkara Nomor 15/PUU-XII/2014. Namun, hal tersebut semata-mata merupakan teknik pengadilan dan sering merupakan taktik Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
62 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
penundaan persidangan yang dilakukan oleh para pengacara dan bahwa pengadilan cepat dapat dibuktikan dapat dilakukan dalam perkara-perkara kepailitan. 7. Ketentuan Pasal 70 dan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 mengatur bahwa terhadap putusan arbitrase, para pihak dapat mengajukan permohonan yang harus diajukan secara tertulis dan bahwa ketentuan ini dapat diartikan bahwa bentuk pengajuan pembatalannya berupa suatu surat permohonan. Dan bahwa dengan demikian, tunduk pada yurisdiksi voluntair yang menurut Yahya Harahap (Mantan Hakim Agung), ciri khas permohonan atau gugatan voluntair adalah masalah yang diajukan dalam permohonan tersebut bersifat kepentingan sepihak semata. Atau permasalahan yang dimohonkan kepada pengadilan negeri pada prinsipnya tanpa sengketa dengan pihak lain, atau tidak ada orang lain, atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan, tetapi bersifat ex parte. 8. Tentang pemeriksaan atas adanya pemalsuan dokumen, hanya dapat diajukan dalam bentuk gugatan bukan voluntair dan disidangkan oleh majelis hakim. Sehingga jelas bahwa Pasal 70 dan Penjelasan Pasal 70 saling melengkapi proses yang harus diikuti untuk membatalkan putusan arbitrase. Atau penjelasan Pasal 70 bukan merupakan norma baru. Penjelasan dalam Pasal 70 pada hakikatnya bertujuan untuk menegakkan kepastian hukum dan keadilan. Dalam arti bahwa adanya pemalsuan atau pun tipu muslihat harus dibuktikan
melalui
gugatan
di
pengadilan.
Sebaliknya,
penghapusan
penjelasan Pasal 70, sebagaimana yang dimohonkan oleh para Pemohon akan menghilangkan hak-hak konstitusional pihak yang memenangkan perkara arbitrase untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dalam melakukan eksekusi putusan arbitrase. Bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan putusan akhir untuk membuktikan adanya dokumen, atau fakta palsu, atau dipalsukan dalam rangka pembatalan putusan arbitrase itu merupakan teknik pengadilan dan tidak sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 9. Pasal 72 butir 3 menyatakan bahwa putusan atas permohonan pembatalan ditetapkan oleh ketua pengadilan negeri dalam waktu paling lama 30 hari sejak permohonan diajukan oleh ketua pengadilan negeri. Dan bahwa dengan demikian, sudah sepatutnya dan selayaknya bukti-bukti adanya dokumen Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
63 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
palsu atau tipu muslihat yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana sudah terbukti sesuai dengan asas peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan. 10. Adanya praktik peradilan yang bertentangan dengan prinsip peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan tersebut, sering dilatarbelakangi oleh berbagai faktor. Antara lain, para pengacara yang tidak secara profesional bertindak demi klien yang mempercayakan perkara kepadanya dan para pencari keadilan sendiri yang tidak melihat proses pengadilan itu sebagai cara untuk mencari keadilan menurut hukum, melainkan hanya sebagai sarana untuk memenangkan perkaranya dengan cara apa pun. Ini mencerminkan perilaku yang tidak beriktikad baik, yang dalam upaya pembatalan putusan arbitrase adalah pihak yang tidak mau mengakui kekalahan dengan mengingkari kesepakatan bahwa putusan arbitrase adalah final dan mengikat. Dengan demikian, perilaku yang menunda-nunda eksekusi putusan arbitrase akan menimbulkan ketidakpastian hukum yang akan menghilangkan hak konstitusional pihak lawannya untuk mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum dari suatu putusan arbitrase yang telah disepakati para pihak yang bersengketa sebagai putusan final dan mengikat. 11. Pengajuan pembatalan putusan sering tidak dilandasi dengan iktikad baik yang merupakan asas pokok dari suatu perjanjian bahwa arbitrase merupakan kesepakan para pihak dalam cara menyelesaikan sengketa yang didasari atas asas pacta sunt servanda dan cita-cita hukum yaitu kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Oleh karena itu, para pihak yang berkontrak diminta untuk mau menerima putusan yang dibuat oleh arbiter yang telah ditujukannya sendiri. Pengadilan hanya untuk menegakkan hukum agar putusan arbitrase ditaati para pihak. Selanjutnya bahwa dibatasinya waktu untuk mengadakan permohonan pembatalan putusan berkaitan erat dengan kesepakatan bersama para pihak bahwa putusan arbitrase merupakan putusan akhir dan mengikat para pihak dalam rangka melindungi hak konstitusional para pihak yang mendapatkan manfaat, keadilan, dan kepastian hukum, baik pihak yang memenangkan maupun yang dikalahkan dalam perkara arbitrase. Kedudukan Hukum, Legal Standing Pemohon 1. Pemohon dalam perkara di Mahkamah Konstitusi Nomor 15/PUUXII/2014 adalah pemilik PT. Minerina Cipta Guna (PT MCC), dan PT. Bangun Bumi Bersatu, (PT. BBB), yang merupakan salah satu pihak dalam suatu perjanjian Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
64 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dalam bidang perdagangan yang sedang bersengketa dengan mitranya, di mana para pihak telah sepakat untuk menyelesaikan sengketa dalam Perkara Nomor 433/I/ARB.BANI/2012. Melalui proses arbitrase yang memiliki otoritas dan yurisprudensi terhadap sengketanya yang tidak bisa dicampuri oleh pihak manapun tanpa kehendak/izin dari pihak-pihak manapun yang bersengketa. 2. Bahwa Majelis Arbitrase yang memeriksa dan memutus Perkara Nomor 443/I/ARB.BANI/2012 terdiri dari M. Husseyn Umar, S.H., sebagai ketua majelis dan Dr. Ir. Madjedi Hasan, M.Pe. M.Ph., dan Prof. Dr. Ahmad Ramli, S.H., M.H. sebagai Anggota Majelis. Dan bahwa setelah melalui pemeriksaan bukti-bukti berupa dokumen, saksi-saksi, dan para ahli yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan, majelis arbitrase pada tanggal 8 November 2012/2013 memutuskan menolak sebagian permohonan Pemohon yang diajukan dalam persidangan arbitrase. 3. Bahwa setelah putusan arbitrase a quo dibacakan pada tanggal 8 Februari 2013 dan didaftarkan di pengadilan negeri di Bandung pada tanggal 4 Mei 2013, Pemohon kemudian mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase a quo di PN Bandung, di mana Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bandung kemudian memutuskan menerima permohonan Pemohon agar membatalkan Putusan Arbitrase BANI a quo dan mengadili sendiri yang merupakan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase a quo. 4. Bahwa dalam Putusan PN Bandung a quo, BANI dan lawan Pemohon dalam perkara arbitrase, sesuai ketentuan Pasal 70 Undang-Undang AAPS kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung yang sampai pernyataan ini dibuat sampai dalam proses dan belum ada putusan. 5. Bahwa Pemohon yang diajukan oleh Pemohon pada Mahkama Konstitusi untuk menyatakan bahwa penjelasan Pasal 70 Undang-Undang AAPS telah menghilangkan hak konstitusional Pemohon untuk mendapatkan kepastian hukum, pada hakikatnya merupakan upaya yang beritikad buruk dari Pemohon untuk membatalkan Putusan Majelis Arbitrase BANI yang sedang dalam pemeriksaan banding oleh Mahkamah Agung. 6. Bahwa untuk menggugat pelanggaran hak konstitusional, kiranya perlu dipertanyakan kepentingan para Pemohon, apakah sudah tepat sebagai pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusional dirugikan atas berlakunya ketentuan tentang pelaksanaan Pasal 70 Undang-Undang AAPS Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
65 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dan juga apakah terdapat kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik khusus dan aktual atau setidaknya bersifat potensial yang menurut penilaian yang wajar dapat dipastikan akan terjadi dan apakah ada hubungan sebabakibat (causal verband) antara kerugian dan berlakunya ketentuan penjelasan Undang-Undang yang dimohonkan untuk diuji? 7. Berdasarkan hal tersebut, BANI berpendapat bahwa Pemohon tidak memenuhi 3 persyaratan untuk menggugat yang harus dipenuhi di Mahkamah Konstitusi yaitu. a. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan Pemohon yang dilindungi secara hukum dan bersifat spesifik. b. Ketentuan aktual dalam suatu kontroversi yang bukan bersifat potensial dan adanya hubungan sebab-akibat antara kerugian dan berlakunya suatu Undang-Undang. Dan kemudian, dengan diberikannya putusan yang diharapkan akan merugikan dan dihindarkan untuk dipulihkan. 8. Tidak dipenuhinya hal-hal tersebut di atas BANI berpendapat bahwa Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional terhadap materi dalam suatu undang-undang, sehingga adalah tepat jika Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. Kesimpulan 1. Pemohon dalam permohonannya tidak memenuhi kualifikasi sebagai pihak yang memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk memohon peninjauan konstitusional terhadap materi dalam suatu Undang Undang dan bahwa adalah tepat jika yang Mahkamah Konstitusi secara bijaksana menyatakan permohonan Pemohon tidak dapat diterima. 2. Putusan arbitrase bersumber pada kesepakatan para pihak yang berlandaskan pada asas pacta sunt servanda untuk menyelesaikan sengketa diantara pihak melalui majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri dan putusannya merupakan putusan akhir dan mengikat. Dengan demikian penjelasan Pasal 70 UU AAPS yang menyatakan bahwa alasan permohonan membatalkan harus dibuktikan dengan putusan pengadilan negeri dalam waktu 30 hari sejak pendaftaran putusan sudah sesuai dengan asas kemanfaatan, keadilan, dan kepastian hukum. Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
66 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
3. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 akan menghilangkan kepastian hukum atas putusan arbitrase dan bahwa dengan demikian akan mengingkari hak-hak konstitusional
pihak
yang
benar
yang
memenangkan
perkara
untuk
memperoleh manfaat dan keadilan hukum dari putusan arbitrase yang bersifat final dan mengikat berdasarkan pada asas pacta sunt servanda, yang dapat diartikan bahwa para pihak menjamin akan lansung melaksanakan putusan arbitrase tersebut dan bahwa dengan demikin Majelis Konstitusi tidak sewajarnya dan sepatutnya menolak, mengabulkan permohonan penghapusan Penjelasan Pasal 70. 4. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 juga mengingkari penerapan asas pengadilan sederhana, cepat, dan biaya ringan yang merupakan salah satu hal yang dituntut pihak ketika memasuki proses peradilan dan merupakan salah satu
asas
menyelenggarakan
kekuasaan
kehakiman
sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan bahwa dengan sederhana dalam hal ini dimaksudkan agar pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara yang efisien dengan tetap tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan. [2.6]
Menimbang bahwa Mahkamah telah menerima kesimpulan yang
disampaikan oleh para Pemohon dan Presiden yang diterima di Kepaniteraan Mahkamah masing-masing pada tanggal 4 September 2014 dan 10 September 2014 yang pada pokoknya tetap pada pendiriannya; [2.7]
Menimbang bahwa untuk mempersingkat uraian dalam putusan ini,
segala sesuatu yang terjadi di persidangan cukup ditunjuk dalam berita acara persidangan yang merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan putusan ini; 3. PERTIMBANGAN HUKUM [3.1]
Menimbang bahwa pokok permohonan para Pemohon adalah pengujian
konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
67 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut UU 30/1999) terhadap Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945); [3.2]
Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan pokok permohonan,
Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Mahkamah) terlebih dahulu akan mempertimbangkan hal-hal berikut: a. kewenangan Mahkamah untuk mengadili permohonan a quo; b. kedudukan hukum (legal standing) para Pemohon untuk
mengajukan
permohonan a quo. Terhadap kedua hal tersebut, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Kewenangan Mahkamah [3.3]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, Pasal 10
ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226, selanjutnya disebut UU MK) dan Pasal 29 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076, selanjutnya disebut UU 48/2009), salah satu kewenangan konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD 1945; [3.4]
Menimbang bahwa permohonan para Pemohon adalah untuk menguji
konstitusionalitas Undang-Undang, in casu Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 terhadap UUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
68 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Kedudukan Hukum (Legal Standing) para Pemohon [3.5]
Menimbang bahwa berdasarkan Pasal 51 ayat (1) UU MK beserta
Penjelasannya, yang dapat mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 adalah mereka yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dirugikan oleh berlakunya suatu Undang-Undang, yaitu: a. perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama); b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang; c. badan hukum publik atau privat; atau d. lembaga negara; Dengan demikian, Pemohon dalam pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945 harus menjelaskan dan membuktikan terlebih dahulu: a. kedudukannya sebagai Pemohon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK; b. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945 yang diakibatkan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; [3.6]
Menimbang bahwa Mahkamah sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005
bertanggal 31 Mei 2005 dan Putusan Nomor 11/PUU-V/2007 bertanggal 20 September 2007 serta putusan-putusan selanjutnya telah berpendirian bahwa kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c. kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut harus bersifat spesifik dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
69 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
d. adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dimaksud dengan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi; [3.7]
Menimbang bahwa Pemohon I dan Pemohon II adalah perseorangan
warga negara Indonesia yang masing-masing adalah Direktur PT. Bangun Bumi Bersatu (PT. BBB) dan PT. Minerina Cipta Guna (PT. MCG), yang merupakan perusahaan yang bersengketa di Badan Arbitrase Indonesia (BANI) yang mengalami, atau setidaknya potensial mengalami kerugian konstitusional dengan adanya Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999, karena menimbulkan norma baru yang bertentangan dengan substansi yang terkandung dalam Pasal 70 UU 30/1999, sehingga tidak memberikan kepastian hukum sebagaimana dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, [3.8]
Menimbang bahwa dengan mendasarkan pada Pasal 51 ayat (1) UU MK,
dan putusan-putusan Mahkamah mengenai kedudukan hukum, serta dalil Pemohon yang menganggap dirugikan akibat ketidakpastian hukum dengan tidak selarasnya ketentuan dalam Pasal 70 dengan Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999, maka menurut Mahkamah, para Pemohon mempunyai hak konstitusional yang dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian. Kerugian tersebut bersifat potensial, dan terdapat hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dengan berlakunya norma Undang-Undang yang dimohonkan pengujian, sehingga terdapat kemungkinan apabila permohonan dikabulkan maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan terjadi. Dengan demikian, menurut Mahkamah, para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo; [3.9]
Menimbang bahwa
oleh karena Mahkamah berwenang
mengadili
permohonan para Pemohon dan para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo, selanjutnya Mahkamah akan mempertimbangkan pokok permohonan;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
70 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Pokok Permohonan [3.10]
Menimbang bahwa pokok permohonan sebagaimana dimaksud oleh para
Pemohon adalah pengujian konstitusionalitas Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 yang selengkapnya menyatakan, “Permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan-alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Apabila pengadilan menyatakan bahwa alasan-alasan tersebut terbukti atau tidak terbukti, maka putusan pengadilan ini dapat digunakan sebagai dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan”, sedangkan Pasal 70 UU 30/1999 menyatakan, “Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut : a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan ; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.” Dengan adanya Penjelasan tersebut menurut para Pemohon mengakibatkan norma dalam pasal tersebut tidak memberikan kepastian hukum yang adil, sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan: Pasal 27 (1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya Pasal 28D (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. [3.11]
Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para
Pemohon mengajukan bukti surat/tulisan yang diberi tanda bukti P-1 sampai dengan bukti P-14, yang telah disahkan dalam persidangan tanggal 19 Maret 2014; Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
71 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
[3.12]
Menimbang bahwa untuk membuktikan dalil permohonannya para
Pemohon mengajukan dua orang ahli, Prof. Satya Arinanto dan Dr. Aidul Fitriciada Azhari,
S.H.,
M.Hum.,
yang
didengarkan
keterangannya
di
persidangan
Mahkamah pada tanggal 30 April 2014; [3.13]
Menimbang bahwa Mahkamah telah mendengar keterangan Presiden
pada pokoknya mengemukakan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 tidak bertentangan
dengan
substansi
Pasal
70
UU
30/1999,
sehingga
tidak
bertentangan dengan UUD 1945. Justru jika Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 dianggap tidak mempunyai kekuatan mengikat, maka Pasal 70 UU 30/1999 akan kehilangan tafsir resmi terhadap normanya, dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Selain itu Presiden juga mengajukan dua orang ahli, Prof. Dr. Huala Adolf S.H., L.LM., dan Prof. Dr. Mieke Komar S.H., M.CL., yang didengarkan keterangannya pada persidangan Mahkamah tanggal 26 Agustus 2014 [3.14]
Menimbang bahwa Mahkamah menerima keterangan tertulis DPR pada
pokoknya menerangkan bahwa Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 dirumuskan untuk memperjelas ketentuan norma Pasal 70 UU 30/1999, sehingga dapat lebih memberikan kepastian hukum bagi pelaksanaan putusan arbitrase dan bagi pihakpihak yang bersengketa dalam lembaga arbitrase. [3.15]
Menimbang bahwa, Badan Arbitrase Indonesia sebagai Pihak Terkait,
memberikan keterangan di persidangan Mahkamah tanggal 30 April 2014 yang pada
pokoknya
menerangkan
bahwa
putusan
arbitrase
bersumber
dari
kesepakatan para pihak yang berlandaskan asas pacta sunt servanda melalui majelis arbitrase yang ditunjuk sendiri oleh para pihak. Penghapusan Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 akan menghilangkan kepastian hukum atas putusan arbitrase dan akan mengingkari hak-hak konstitusional pihak yang benar dan memenangkan perkara arbitrase, juga mengingkari penerapan asas pengadilan sederhana, cepat, dan berbiaya ringan. [3.16]
Menimbang bahwa, setelah Mahkamah memeriksa dengan saksama
permohonan para Pemohon, keterangan dari Presiden, keterangan DPR, keterangan Pihak Terkait, bukti-bukti surat/tulisan dan ahli yang diajukan oleh para Pemohon dan Presiden, serta kesimpulan tertulis para Pemohon dan Presiden Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
72 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
sebagaimana selengkapnya termuat pada bagian Duduk Perkara, Mahkamah berpendapat sebagai berikut: Pendapat Mahkamah [3.17]
Menimbang bahwa untuk mempertimbangkan pokok permohonan para
Pemohon, Mahkamah terlebih dahulu perlu mengemukakan hal-hal sebagai berikut: Bahwa penyelesaian sengketa perdata, yaitu sengketa hukum yang menyangkut hubungan hukum antarorang dalam pengertian perseorangan, khususnya dalam bisnis atau perdagangan, sesungguhnya menjadi urusan mereka yang terlibat di dalamnya. Meskipun demikian, negara sebagai organisasi kekuasaan yang dibentuk guna melayani masyarakat dalam memberikan perlindungan hukum di dalamnya membentuk kekuasaan kehakiman. Di dalam kekuasaan kehakiman tersebut ditetapkan pengadilan sebagai institusi pelakunya yang disediakan oleh negara supaya menjadi pihak ketiga yang independen dan imparsial memberikan pelayanan untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka. Bahwa dalam hal sengketa tersebut adalah sengketa hukum di bidang keperdataan sebagaimana diuraikan di atas, sesungguhnya penyelesaian tersebut menjadi urusan mereka yang terlibat di dalamnya. Oleh karena itu, untuk penyelesaiannya para pihak dapat mengajukan ke pengadilan yang berwenang yang disediakan oleh negara guna melayani mereka. Dalam memberikan pelayanan, sebelum menyelesaikan sengketa, pengadilan akan bersungguhsungguh berusaha supaya mereka dapat menyelesaikan dengan cara perdamaian. Baru apabila hal tersebut tidak tercapai maka pengadilan akan menyelesaikan sengketa dimaksud dengan menegakkan hukum dan keadilan [vide Pasal 24 UUD 1945]; Bahwa oleh karena penyelesaian sengketa tersebut adalah urusan mereka yang terlibat di dalamnya maka dalam penyelesaian sengketa tersebut selain mengajukan ke pengadilan, mereka dapat pula mengadakan perjanjian, baik sebelum atau setelah terjadi sengketa, untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian penyelesaian sengketa yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa [vide Pasal 1 angka1 UU 30/1999]. Bahwa dalam penyelesaian sengketa melalui arbitrase para pihak dapat Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
73 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
mengajukan permohonan pendapat hukum atau putusan [vide Pasal 52 UU 30/1999]; Bahwa berdasarkan uraian tersebut di atas maka penyelesaian sengketa, diajukan kepada lembaga apapun – pengadilan atau arbitrase – sesungguhnya lembaga dimaksud adalah pihak ketiga yang mendapat kepercayaan dari para pihak yang bersengketa. Oleh karena itu, selain lembaga dimaksud harus independen dan imparsial, para pihak yang bersengketa dalam proses penyelesaian tersebut harus sungguh-sungguh, terbuka, tulus dan jujur. Tiadanya hal tersebut pada salah satu dari kedua belah pihak, sehingga merugikan pihak lain maka pihak lain tersebut harus diberi kesempatan untuk mengajukan pembatalan kepada pengadilan yang berwenang. Terkait dengan hal tersebut Pasal 70 UU 30/1999 mengatur, yang pada pokoknya bahwa terhadap putusan arbitrase salah satu pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan ke pengadilan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur ketidakjujuran, yaitu a. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu; b. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa. Penjelasan pasal tersebut menyatakan, pada pokoknya, bahwa permohonan pembatalan hanya dapat diajukan terhadap putusan arbitrase yang sudah didaftarkan di pengadilan. Alasan permohonan pembatalan yang disebut dalam pasal ini harus dibuktikan dengan putusan pengadilan. Putusan pengadilan mengenai terbukti atau tidak terbuktinya alasan permohonan pembatalan putusan arbitrase menjadi dasar pertimbangan bagi hakim untuk mengabulkan atau menolak permohonan. Terhadap penjelasan pasal tersebut para Pemohon mengajukan pengujian konstitusional dengan alasan sebagaimana diuraikan di atas; [3.18]
Menimbang
bahwa
terhadap
permohonan
tersebut
Mahkamah
mempertimbangkan, bahwa pasal a quo di dalamnya mengandung norma, pada pokoknya, bahwa terhadap putusan arbitrase dapat diajukan permohonan pembatalan manakala ada dugaan mengenai terjadinya salah satu atau beberapa alasan tertentu sebagaimana telah diuraikan di atas. Pokok permasalahan dalam pengujian konstitusional tersebut adalah kata “diduga” dalam Pasal 70 UU 30/1999 yang dalam Penjelasannya mempergunakan frasa “harus dibuktikan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
74 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
dengan putusan pengadilan”. Kata “diduga” menurut Mahkamah memberikan pengertian hukum mengenai kaidah bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya dugaan pemohon yang mengajukan permohonan pembatalan putusan arbitrase mengenai terjadinya alasan sebagaimana dimaksud dalam pasal tersebut. Dugaan pemohon bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan a priori. Adapun frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” yang terdapat dalam Penjelasan pasal tersebut memberikan pengertian hukum bahwa syarat pengajuan permohonan pembatalan putusan arbitrase, salah satunya adalah adanya alasan yang dimaksud dalam pasal tersebut, telah dibuktikan dengan putusan pengadilan, bahkan apabila syarat tersebut memang harus demikian seharusnya ditambah “yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”, sehingga seharusnya selengkapnya menjadi “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Menurut hukum akan menjadi masalah bila putusan belum memperoleh kekuatan hukum yang tetap. Frasa “harus dibuktikan dengan putusan pengadilan” merupakan pengetahuan yang tidak lagi bersifat hipotetis, subjektif, sepihak, dan apriori, karena telah diverifikasi melalui proses pembuktian. Jadi, menurut hukum pengetahuan tersebut telah dibuktikan, sehingga bersifat posteriori. Hanya oleh karena putusan tersebut adalah putusan pengadilan yang didasarkan pada proses verifikasi oleh pengadilan pula maka mesti tersedia upaya hukum dan oleh karena itu pula putusan tersebut mestinya harus sudah final. Menurut Mahkamah Penjelasan tersebut mengubah norma pasal dan menimbulkan norma baru. Norma dalam pasal hanya mensyaratkan adanya dugaan yang bersifat apriori dari pemohon sedangkan dalam Penjelasan mengubah makna dugaan menjadi sesuatu yang pasti berdasarkan putusan pengadilan dan bersifat posteriori. Berdasarkan pertimbangan tersebut, dalil para Pemohon bahwa penjelasan tersebut menambah norma baru dan menimbulkan ketidakpastian hukum, terbukti menurut hukum; [3.19]
Menimbang bahwa, dengan adanya penjelasan dimaksud apakah
pasal tersebut menjadi multi tafsir sebagaimana didalilkan para Pemohon, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil. Menurut Mahkamah, pasal tersebut sudah cukup jelas (expressis verbis), sehingga tidak perlu ditafsirkan. Yang justru menimbulkan multi tafsir adalah penjelasan pasal tersebut. Paling tidak multi tafsirnya adalah, (i) bahwa penjelasan tersebut dapat ditafsirkan Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
75 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
apakah alasan pengajuan permohonan harus dibuktikan oleh pengadilan terlebih dahulu sebagai syarat pengajuan permohonan pembatalan, atau (ii) bahwa alasan pembatalan tersebut dibuktikan dalam sidang pengadilan mengenai permohonan pembatalan. Dengan perkataan lain, apakah sebelum mengajukan permohonan pembatalan, pemohon harus mengajukan salah satu alasan tersebut ke pengadilan untuk memperoleh putusan dan dengan alasan yang telah diputuskan pengadilan tersebut menjadikan syarat untuk pengajuan pembatalan. Atau, syarat alasan yang masih menjadi dugaan pemohon tersebut harus dibuktikannya dalam proses pembuktian permohonan di pengadilan tempat diajukannya permohonan pembatalan. Dua tafsir terhadap penjelasan tersebut jelas berimplikasi terjadinya ketidakpastian hukum, sehingga menimbulkan ketidakadilan. Selain itu, manakala tafsir yang pertama yang dipergunakan, berarti pemohon dalam mengajukan permohonan pembatalan tersebut akan berhadapan dengan dua proses pengadilan. Implikasinya, akan memakan waktu yang tidak sesuai dengan prinsip arbitrase yang cepat sebagaimana dimaksud, antara lain, dalam Pasal 71 UU 30/1999 yang menyatakan, “Permohonan pembatalan putusan arbitrase harus diajukan secara tertulis dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak hari penyerahan dan pendaftaran putusan arbitrase kepada Panitera Pengadilan Negeri”. Apabila harus menempuh dua proses pengadilan, maka tidak mungkin jangka waktu 30 (tiga puluh) hari tersebut dapat dipenuhi; [3.20]
Menimbang bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan hukum di
atas, menurut Mahkamah Penjelasan Pasal 70 UU 30/1999 telah mengakibatkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Dengan demikian permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum; 4. KONKLUSI Berdasarkan penilaian atas fakta dan hukum sebagaimana diuraikan di atas, Mahkamah berkesimpulan: [4.1]
Mahkamah berwenang untuk mengadili permohonan a quo;
[4.2]
Para Pemohon mempunyai kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo;
[4.3]
Pokok permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum;
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
76 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 70, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5226), dan UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076); 5. AMAR PUTUSAN Mengadili, Menyatakan: 1. Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya; 1.1.
Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
1.2.
Penjelasan Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya. Demikian diputuskan dalam Rapat Permusyawaratan Hakim oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Patrialis Akbar, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masingmasing sebagai Anggota, pada hari Kamis, tanggal dua puluh tiga, bulan Oktober, tahun dua ribu empat belas, dan diucapkan dalam Sidang Pleno Mahkamah Konstitusi terbuka untuk umum pada hari Selasa, tanggal sebelas, Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]
77 SALINAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI RI Diunduh dari laman : www.mahkamahkonstitusi.go.id
bulan November, tahun dua ribu empat belas, selesai diucapkan pukul 15.28 WIB, oleh delapan Hakim Konstitusi, yaitu Hamdan Zoelva selaku Ketua merangkap Anggota, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Maria Farida Indrati, Muhammad Alim, Wahiduddin Adams, Anwar Usman, dan Aswanto, masingmasing sebagai Anggota, dengan didampingi oleh Yunita Rhamadani sebagai Panitera Pengganti, dihadiri oleh para Pemohon/kuasanya, Presiden atau yang mewakili, Dewan Perwakilan Rakyat atau yang mewakili, serta Pihak Terkait Badan Arbitrase Nasional Indonesia atau yang mewakili. KETUA, ttd. Hamdan Zoelva ANGGOTA-ANGGOTA, ttd.
ttd.
Arief Hidayat
Ahmad Fadlil Sumadi
ttd.
ttd.
Maria Farida Indrati
Muhammad Alim
ttd.
ttd.
Wahiduddin Adams
Anwar Usman ttd. Aswanto
PANITERA PENGGANTI, ttd. Yunita Rhamadani
Salinan putusan ini tidak untuk dan tidak dapat dipergunakan sebagai rujukan resmi atau alat bukti. Untuk informasi lebih lanjut, hubungi Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jl. Merdeka Barat No.6, Jakarta 10110, Telp. (021) 23529000, Fax (021) 3520177, Email:
[email protected]