HUBUNGAN PERILAKU PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MENGGUNAKAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) SESUAI STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) DI RUANG RAWAT INAP BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) RUMAH SAKIT KONAWE TAHUN 2015
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana Kesehatan Masyarakat
Oleh: IRFAN BANDA F1D311120
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2015
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hidayah-Nya, limpahan rezeki, kesehatan dan kesempatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Hubungan Perilaku Perawat Dengan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe Tahun 2015” sebagai salah satu syarat penyelesaian studi pada Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam proses penelitian ini banyak hambatan yang penulis dapatkan. Namun, atas bantuan dan bimbingan serta motivasi yang tiada henti-hentinya disertai harapan yang optimis sehingga dapat mengatasi semua masalah tersebut. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan, rasa hormat, dan ucapan terima kasih yang tidak terhingga kepada Bapak Pitrah Asfian S.Sos., M.Sc. sebagai pembimbing I dan Bapak Abdul Rahim Sya’ban S,K.M.,M.Sc. sebagai pembimbing II yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam mengarahkan dan membimbing penulis selama proses penyusunan hasil ini. Ucapan terima kasih penulis persembahkan pula kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Drs. Dema Banda M,Si dan Ibunda Suharni, S.Pd yang telah membina, mendidik, memberikan semangat, serta do’a restu yang tak terhingga
v
kepada penulis selama menempuh pendidikan. Tak lupa kepada kakakku Freni Oktiani Banda S.ST.,M.Kes dan Ulfa Ultriani Banda Amd. Keb atas waktunya dalam menemani penulis melakukan penelitian serta untuk kasih sayang, do’a, dan dukungannya kepada penulis. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Rektor Universitas Halu Oleo. 2. Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. 3. Ketua Jurusan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. 4. Seluruh dosen pengajar yang dengan sepenuh hati memberikan banyak pengetahuan selama perkuliahan, bimbingan, dan motivasi kepada penulis, serta kepada Staf pengelola Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. 5. Bapak Dr. Yusuf Sabilu, M.Si. Ibu arum dian pratiwi, S.K.M., M.Sc. dan Bapak Syawal K Saptaputra, S.K.M., M.Sc. selaku penguji yang telah memberikan motivasi, kritik, dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian ini. 6. Bapak Drs.Djaeludin selaku kabag. Tata usaha BLUD Rumah Sakit Konawe yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian serta banyak membantu demi terlaksananya penelitian ini. 7. Sahabat-sahabatku yang tak terlupakan: Ramadhan, Aguslan, Irfan Yudiawan,Dimas Reza Prayoga, Aril Genezaret, Erit Eripin, Alwi, Hasmar Noe, Fahmi, Herlan, Azrin, Vivi, Desi, Riri, Saban, Rani, Indah, yang
vi
telah memberikan banyak warna dalam hidupku, selalu ada dalam suka dan duka, serta kerjasamanya yang tidak tergantikan sampai kapanpun. 8. Teman-teman peminatan KLKK 2011: Ramadan, Alwi, Aguslan, Fahmi, Aril Genezaret, Erit Eripin, Hasmar Noe, Dimas Reza Prayoga, dan lainnya, salut atas kerjasama, kekompakan, dan bantuannya selama ini. 9. Teman-teman dari keluarga besar ENVISION, HAC, Epid.Com, HealthProz, kakak-kakakku angkatan 2005–2010, adik-adikku angkatan 2012–2014, teman-teman kelompok 11 PBL Desa Tomba Watu dan teman-teman di Sanggar Iqo Art Management (IAM) yang telah memberikan
motivasi
kepada
penulis
serta
membantu
dalam
menyelesaikan penelitian. Akhirnya, semoga Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan berkahNya kepada semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan perkuliahan pada Program S1 di Jurusan Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. Semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bangsa, negara, dan agama. Amin Ya Rabb. Kendari,
September 2015
Irfan banda
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL HALAMAN PENGAJUAN HALAMAN PENGESAHAN HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KATA PENGANTAR DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN DAFTAR ISTILAH DAFTAR LAMBANG ABSTRAK ABSTRAC I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah B. Rumusan Masalah C. Tujuan Penelitian D. Manfaat Penelitian E. Ruang Lingkup Penelitian F. Definisi Dan Istilah G. Organisasi Penelitian
Halaman i ii iii iv v viii x xii xiii xiv xvi xvii xviii 1 3 3 4 4 5 6
II TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Tentang Umum K3 B. Tinjauan Tentang Alat Pelindung Diri C. Tinjauan Tentang Perilaku D. Tinjauan Tentang Kepatuhan E. Kerangka Konsep F. Hipotesis
7 13 21 31 34 37
III METODE PENELITIAN A. Rancangan Penelitian B. Lokasi Dan Waktu C. Populasi dan Sampel D. Instrumen pengumpulan data E. Teknik Pengumpulan Data F. Defenisi Operasional G. Pengolahan, Analisis dan Penyajian Data
39 39 39 39 40 41 45
viii
IV.
IIV.
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Lokasi Penelitian B. Hasil Penelitian C. Pembahasan
47 55 66
PENUTUP A. Simpulan B. Saran
78 79
DARTAR PUSTAKA LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
Teks
Halaman
1.
Fasilitas tempat tidur BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
53
2.
Distribusi Jumlah Pegawai Berdasarkan Jenis Pendidikan Tahun 2015
54
3.
Distribusi Responden menurut jenis kelamin di ruang Rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe
56
4.
Distribusi Responden menurut kelompok umur di ruang Rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
56
5.
Distribusi Responden menurut pendidikan terakhir di ruang Rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
57
6.
Distribusi Responden menurut lama kerja di ruang Rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
58
7.
Distribusi Responden menurut kepatuhan perawat dalam menggunakan APD sesuai SOP di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
59
8.
Distribusi Responden menurut pengetahuan perawat di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
60
9.
Distribusi Responden menurut sikap perawat di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
61
10.
Distribusi Responden menurut tindakan perawat di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
62
x
11.
Hubungan pengetahaun perawat BLUD Rumah Sakit Konawe dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP Rumah Sakit Tahun 2015
62
12
Hubungan sikap perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
64
13
Hubungan tindakan perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP di BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015
65
xi
DAFTAR GAMBAR No.
Halaman
1.
KerangkaTeori
34
2.
KerangkaKonsep
36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
NO
Lampiran
1
Informed Consent
2
Kuisioner
3
Master Tabel
4
Output SPSS
5
Dokumentasi
6
Surat Izin Penelitian
7
Surat Telah Melakukan Penelitian
xiii
DAFTAR ISTILAH Singkatan
Arti/Keterangan
WHO
World Health Organization
K3
Kesehatan Dan Keselamatan Kerja
Depkes
Departemen Kesehatan
RI
Republik Indonesia
ILO
International Labour Organization
RSU
Rumah Sakit Umum
Dinkes
Dinas Kesehatan
APD
Alat Pelindung Diri
Menkes
Menteri Kesehatan
UK
United Kingdom
Pemda
Pemerintahan Daerah
Per
Peraturan
Perda
Peraturan Daerah
Permenkes
Peraturan Menteri Kesehatan
BLUD
Badan Layanan Umum Daerah
AIDS
Acquired Immune Deficiency Syndrome
X
Variabel Bebas
xiv
Y
Variabel Terikat
UU
Undang-undang
SDM
Sumber Daya Manusia
SK
Surat Keputusan
SMA
Sekolah Menengah Atas
SMP
Sekolah Menengah Pertama
SD
Sekolah Dasar
SPSS
Statistical Package For Social Sciences
BBM
Bahan bakar Minyak
OSHA
Occupational Safety And Health Administration
SOP
Standard Operating Procedure
S-O-R
Stimulus-orgisme-respon
PAD
Pendapatan Asli Daerah
SS
Sangat Setuju
S
Setuju
TS
Tidak Setuju
STS
Sangat Tidak Setuju
xv
DAFTAR LAMBANG
LAMBANG
Arti/Keterangan
=
Samadengan
-
Pengurangan
+
Penambahan
/
Pembagian
<
Kurangdari
≥
Lebihbesaratausamadengan
%
Persentase
xvi
HUBUNGAN PERILAKU PERAWAT DENGAN KEPATUHAN MENGGUNAKAN ALAT PELINDUNG DIRI (APD) SESUAI STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) DI RUANG RAWAT INAP BLUD RUMAH SAKIT KONAWE TAHUN 2015 Oleh: Irfan Banda F1D3 11 120 ABSTRAK Penggunaan alat pelindung diri (APD) sangat penting untuk digunakan ketika sedang bekerja di rumah sakit. penggunaan APD harus sesuai standar operasional prosedur (SOP). Untuk mencegah masalah kecelakaan kerja atau resiko bahaya yang dapat muncul ketika sedang melakukan pekerjaan di rumah sakit. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan, sikap dan tindakan perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai Standard Operating Procedure (SOP) di BLUD Rumah Sakit Kabupaten Konawe Tahun 2015. Jenis penelitian yang digunakan adalah analitik observasional dengan metode cross sectional study. Sampel pada penelitian ini berjumlah 52 responden yang bekerja pada ruang rawat inap. Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan menggunakan metode sampling jenuh. Hasil penelitian menunjukkan hasil statistik pada tingkat signifikan α < 0,05 diperoleh ada hubungan yang kuat antara pengetahuan perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP (ρ value = 0,024), ada hubungan yang bermakna antara sikap perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP (ρ value =0,027), dan tidak ada yang bermakna antara tindakan perawat dengan kepatuhan menggunakan APD sesuai SOP (ρ value = 0,100), di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Kabupaten Konawe Tahun 2015.
Kata Kunci: APD, SOP, Pengetahuan, Sikap, Tindakan dan Kepatuhan
xvii
ASSOCIATION BETWEEN NURSE BEHAVIOR AND PURSUANCE OF NURSES IN UTILIZING SELF PROTECTION DEVICE (APD) APPROPRIATELY BASED ON STANDARD OPERATING PROCEDURE (SOP) IN INPATIENT CARE ROOM OF BLUD HOSPITAL KONAWE IN 2015
BY: Irfan Banda F1D3 11 120 ABSTRACT Utilization of Self Protection Device (APD) is considered essential when working in hospital. The using of APD should be appropriate with the standard operating procedure (SOP) to prevent potential accident or hazard that might be exposed while working in the hospital. This study aimed to understand the association between knowledge, attitude, practice and pursuance of nurses in utilizing APD appropriately according to the Standard Operating Procedure (SOP) at BLUD Hospital of Konawe in 2015. This study was observational analytic through cross sectional study method. The number of samples was 52 respondents who worked at inpatient care room. The sampling technique was made by saturated sampling technique. The results of the study demonstrating statistic test result at significance level α < 0.05 indicated that there was a significant association between knowledge of nurses and the pursuance of using APD appropriately with SOP (ρ value = 0.024), there was significant association between attitude of nurses and the pursuance of using APD appropriately with SOP (ρ value = 0.027), and there was no significant association between practice of nurses and the pursuance of using APD appropriately with SOP (ρ value = 0,100) in inpatient care room at BLUD Hospital of Konawe regency in 2015.
Key Words: APD, SOP, Knowledge, Attitude, Practice, and Pursuance
xviii
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah International Labour Organization (ILO) memperkirakan bahwa tiap tahun sekitar 24 juta orang meninggal karena kecelakaan dan penyakit di lingkungan kerja termasuk di dalamnya 360.000 kecelakaan fatal dan diperkirakan 1,95 juta disebabkan oleh penyakit fatal yang timbul di lingkungan kerja. Sedangkan menurut catatan World Health Organization (WHO) dari jumlah tenaga kerja sebesar 35% sampai 50% di dunia terpajan bahaya fisik, kimia dan biologi (Milyandra, 2010). Dalam UU Kesehatan No.36 tahun 2009, kesehatan didefinisikan sebagai keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Dengan demikian upaya kesehatan yang dilakukan merupakan serangkaian kegiatan terpadu, terintregasi dan berkesinambungan untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dalam bentuk pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit, dan pemulihan kesehatan oleh pemerintah dan atau masyarakat (Depkes RI, 2009). Bertitik tolak dari konsep kesehatan secara umum, maka konsep kesehatan perlu diterapkan pada semua lini kehidupan. Kesehatan kerja misalnya, merupakan aplikasi dalam penerapan konsep kesehatan dalam masyarakat yang diterapkan dalam suatu tempat kerja (perusahaan, pabrik, kantor, laboratorium dan
1
2
sebagainya), dan yang menjadi subjek dari kesehatan kerja adalah pekerja dan masyarakat sekitar tempat kerja tersebut. Apabila di dalam kesehatan masyarakat menurut konsep paradigma sehat, ciri pokoknya adalah upaya preventif (pencegahan penyakit) dan promotif (peningkatan kesehatan), maka kedua hal tersebut juga menjadi ciri pokok dalam kesehatan kerja (Notoatmodjo, 2007). Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) merupakan suatu upaya untuk menciptakan suasana bekerja yang aman, nyaman, dan tujuan akhirnya adalah mencapai produktivitas setinggi-tingginya. Maka dari itu K3 mutlak untuk dilaksanakan pada setiap jenis bidang pekerjaan tanpa kecuali. Upaya K3 diharapkan dapat mencegah dan mengurangi risiko terjadinya kecelakaan maupun penyakit akibat melakukan pekerjaan (Hiperkes Bandung, 2008). Berdasarkan hasil studi pendahuluan di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Kabupaten Konawe tahun 2015 bahwa ditemukan masih banyaknya perawat yang kurang perhatian dan kesadaran/kepatuhan dalam menggunakan APD seehingga perawat memiliki potensi untuk terpapar penyakit dan juga terjadinya kecelakaan kerja. Berdasarkan data pada tahun 2013, terdapat kejadian kecelakaan kerja baik ringan sebanyak 16 kasus atau sekitar 25%, seperti kecelakaan tertusuk jarum suntik dan terkena pecahan botol suntik dll, dan untuk kecelakaan berat sebanyak 13 kasus atau sekitar 22%, seperti kecelakaan terjatuh, tertindis alat kerja (Profil BLUD Rumah Sakit Konawe, 2013).
3
Dari uraian di atas, penulis tertarik ingin melakukan penelitian dengan judul, “Hubungan Perilaku Perawat Dengan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe Tahun 2015 ”. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada Hubungan Perilaku Perawat Dengan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di Ruang Rawat Inap BLUD Rumah Sakit Konawe Tahun 2015 ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan perilaku perawat dengan kepatuhan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe. 2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan perawat dengan kepatuhan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe. b. Untuk
mengetahui
hubungan
sikap
perawat
dengan
kepatuhan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe.
4
c. Untuk
mengetahui hubungan tindakan
perawat
dengan kepatuhan
menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Praktis Sebagai bahan masukan dan evaluasi kepala BLUD Rumah Sakit Konawe agar memperhatikan kesehatan pekerja 2. Manfaat Ilmiah Untuk menambah wawasan ilmiah serta mengaplikasikan ilmu yang diperoleh selama menempuh pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Halu Oleo. 3. Manfaat bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam memperluas wawasan dan pengetahuan tentang pelaksanaan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) sesuai SOP di BLUD Rumah Sakit Konawe. E. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap BLUD Rumah Sakit Konawe. Penelitian ini untuk mengetahui hubungan perilaku perawat dengan kepatuhan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD). Selain itu, penelitian ini menggunakan kuesioner yang berisi tentang pertanyaan mengenai pengetahuan, sikap dan tindakan serta lembar observasi. Penelitian ini hanya mengambil tiga
5
variabel yaitu pengetahuan, sikap dan tindakan. Adapun variabel lain tidak diteliti/dilakukan dikarenakan masalah waktu, biaya dan tenaga peneliti. F. Defenisi dan Istilah 1. AIDS adalah singkatan dari Acquired Immune Deficiency Syndrome, yaitu sekumpulan gejala yang didapatkan dari penurunan kekebalan tubuh akibat kerusakan sistem imun yang disebabkan oleh infeksi HIV. 2. Alat Pelindung Diri (APD) adalah kelengkapan yang wajib digunakan saat bekerja sesuai bahaya dan risiko kerja untuk menjaga keselamatan pekerja itu sendiri dan orang di sekelilingnya. 3. Disinfektan adalah bahan kimia yang digunakan untuk mencegah terjadinya infeksi atau pencemaran oleh jasad renik atau obat untuk membasmi kuman penyakit. 4. Hepatitis B virus adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis B. 5. Hepatitis C virus adalah penyakit hati yang disebabkan oleh virus Hepatitis C. 6. Kewaspadaan Universal yaitu tindakan pengendalian infeksi yang dilakukan oleh seluruh tenaga kesehatan untuk mengurangi risiko penyebaran infeksi dan didasarkan pada prinsip bahwa darah dan cairan tubuh dapat berpotensi menularkan penyakit, baik berasal dari pasien maupun petugas kesehatan.
6
G. Organisasi Penelitian Tugas akhir ini berjudul “Hubungan Perilaku Perawat Dengan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe Tahun 2015”. Penyusunan tugas akhir ini dibimbing oleh Bapak Pitrah Asfian, S.Sos., M.Sc. selaku pembimbing I dan Bapak Abdul Rahim Sya’ban, S.K.M.,M.Sc selaku pembimbing II serta para dewan Penguji I, Penguji II dan penguji III.
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum tentang Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) Keselamatan dan Kesehatan Kerja sebagai suatu program didasari pendekatan ilmiah dalam upaya mencegah atau memperkecil terjadinya bahaya (hazard) dan risiko (risk) terjadinya penyakit dan kecelakaan, maupun kerugian-kerugian lainnya yang mungkin terjadi. Jadi dapat dikatakan bahwa Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan yang mungkin terjadi. Dengan kata lain hakekat dari Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah tidak berbeda dengan pengertian bagaimana kita mengendalikan risiko (risk management) agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan (Milyandra, 2010) 1. Kesehatan Kerja Pasal 23 Undang-undang No.23 Tahun 1992 tentang kesehatan, menyebutkan bahwa kesehatan kerja diselenggarakan untuk mewujudkan produktivitas kerja yang optimal. Kesehatan kerja meliputi pelayanan kesehatan, pencegahan penyakit akibat kerja dan syarat kesehatan kerja, disebutkan pula bahwa setiap tempat kerja wajib menyelenggarakan kesehatan kerja (Haryono, 2007). Menurut Suma’mur (1988) kesehatan kerja adalah spesialisasi dalam ilmu kesehatan/kedokteran beserta prakteknya yang bertujuan, agar pekerja/masyarakat pekerja memperoleh derajat kesehatan setinggitingginya, baik fisik, atau mental, maupun sosial, dengan usaha-usaha
7
8
preventif dan kuratif, terhadap penyakit-penyakit/gangguan-gangguan kesehatan yang diakibatkan faktor-faktor pekerjaan dan lingkungan kerja, serta terhadap penyakit-penyakit umum. Tujuan utama kesehatan kerja adalah sebagai berikut: a.
Pencegahan dan pemberantasan penyakit-penyakit dan kecelakaankecelakaaan akibat kerja.
b.
Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan dan gizi tenaga kerja.
c.
Perawatan dan mempertinggi efisiensi dan produktivitas tenaga kerja.
d.
Pemberantasan kelelahan kerja dan meningkatkan kegairahan serta kenikmatan kerja.
e.
Perlindungan bagi masyarakat sekitar perusahaan agar terhindar dari bahaya-bahaya pencemaran yang ditimbulkan oleh perusahaan tersebut.
f.
Perlindungan masyarakat luas dari bahaya-bahaya yang mungkin ditimbulkan oleh produk-produk perusahaan. Tujuan akhir dan kesehatan kerja ini adalah untuk menciptakan
tenaga kerja yang sehat dan produktif. Tujuan ini dapat tercapai, apabila didukung oleh lingkungan kerja yang memenuhi syarat-syarat kesehatan (Notoatmodjo, 2007). Ilmu dan seni yang mencurahkan perhatian pada pengenalan, evaluasi dan kontrol faktor lingkungan dan stress yang muncul di tempat kerja yang mungkin menyebabkan kesakitan, gangguan kesehatan dan
9
kesejahteraan atau menimbulkan ketidaknyamanan pada tenaga kerja maupun lingkungannya (Harrianto, 2010). 2. Keselamatan Kerja Keselamatan adalah suatu kondisi yang bebas dari risiko kecelakaan atau kerusakan atau dengan risiko yang relatif sangat kecil di bawah tingkat tertentu (Johny, 2000). Keselamatan kerja adalah upaya keselamatan yang diterapkan di tempat kerja. Menurut Webster dalam Intercollegiate dictionary, keselamatan sendiri mempunyai pengertian bebas interaksi antara manusia-mesin-media yang berakibat kerusakan sistem, degradasi dari misi sukses, hilangnya jam kerja, atau luka pada pekerja. Sedangkan gagalnya upaya kesehatan umumnya disebabkan oleh hubungan sistem kerja manusia–alat-bahan-komponen lingkungan yang menghasilkan masalah besar sebagai akibat dari kurang bagusnya pengawasan di industri (Lukmannul, 2004) Keselamatan kerja atau Occupational Safety, dalam istilah sehari hari sering disebut dengan safety, secara filosofi diartikan sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya dan manusia pada umumnya serta hasil budaya dan karyanya. Dari segi keilmuan diartikan sebagai suatu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja (Modul K3 ITB, 2009).
10
Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan, dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara-cara melakukan pekerjaan (Suma’mur, 1993). Menurut
Undang-Undang
Keselamatan
Kerja,
syarat-syarat
keselamatan kerja seluruh aspek pekerjaan yang berbahaya berikut jenisjenis bahaya akan diatur dengan peraturan perundangan (Suma’mur, 1993). Indikator penyebab keselamatan kerja adalah: a.
Keadaan tempat lingkungan kerja, yang meliputi: 1) Penyusunan dan penyimpanan barang-barang yang berbahaya yang kurang diperhitungkan keamanannya. 2) Ruang kerja yang terlalu padat dan sesak 3) Pembuangan kotoran dan limbah yang tidak pada tempatnya.
b.
Pemakaian peralatan kerja, yang meliputi: 1) Pengaman peralatan kerja yang sudah usang atau rusak. 2) Penggunaan mesin, alat elektronik tanpa pengaman yang baik pengaturan penerangan.
3. Kecelakaan Kerja Kecelakaan adalah suatu kejadian tak diduga dan tidak dikehendaki yang mengacaukan proses suatu aktivitas yang telah diatur (Balai K3 Bandung, 2010).
11
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI Nomor : 03/MEN/1998 tentang Tata Cara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan bahwa yang dimaksud dengan kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. (Depnaker, 1998). Secara umum penyebab kecelakaan ada dua, yaitu unsafe action (faktor manusia) dan unsafe condition (faktor lingkungan). Menurut penelitian bahwa 80-85 % kecelakaan disebabkan oleh unsafe action (Anizar, 2009). a. Unsafe Action Unsafe Action dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut : 1) Ketidakseimbangan fisik tenaga kerja yaitu : a) Posisi tubuh yang menyebabkan mudah lelah b) Cacat fisik c) Cacat Sementara d) Kepekaan panca indera terhadap sesuatu 2) Kurang Pendidikan a) Kurang pengalaman b) Salah pengertian terhadap suatu perintah c) Kurang terampil d) Salah mengartikan SOP (Standard Operational Procedure), sehingga mengakibatkan kesalahan pemakaian alat kerja a. Menjalankan pekerjaan tanpa mempunyai kewenangan
12
b. Menjalankan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahliannya c. Pemakaian alat pelindung diri (APD) hanya berpura-pura d. Mengangkut beban yang berlebihan e. Bekerja berlebihan atau melebihi jam kerja b. Unsafe Condition Unsafe condition dapat disebabkan oleh berbagai hal berikut: 1) Peralatan yang sudah tidak layak pakai 2) Ada api di tempat bahaya 3) Pengamanan gedung yang kurang standar 4) Terpapar bising 5) Terpapar radiasi 6) Pencahayaan dan ventilasi yang kurang atau berlebihan 7) Kondisi suhu yang membahayakan 8) Dalam keadaan pengamanan yang berlebihan 9) Sistem peringatan yang berlebihan 10) Sifat pekerjaan yang mengandung potensi bahaya. Menurut
Notoatmodjo
(2007)
terjadinya
kecelakaan
kerja
disebabkan oleh kedua faktor utama yakni faktor fisik dan faktor manusia. Oleh sebab itu, kecelakaan kerja juga merupakan bagian dari kesehatan kerja. Kecelakaan kerja adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan akibat dari kerja.
13
B. Tinjauan Tentang Alat Pelindung Diri (APD) Menurut Occupational Safety and Health Administration (OSHA) alat pelindung diri atau pesonal protective equipment atau didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya (OSHA, 2009). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No.8/MEN/VII/2010, alat pelindung diri atau personal protective equipment didefinisikan sebagai alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang Ketenagakerjaan Pasal 108 menyatakan bahwa “setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”, maka upaya perlindungan terhadap karyawan akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan kegiatan (proses kerja) di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajeman perusahaan. Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan penggunaan APD. Penggunaan APD ditempat kerja sendiri telah diatur melalui UndangUndang No.1 tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD adalah antara lain :
14
1. Pasal 3 ayat 1 : Dengan peraturan perundangan ditetapkan syarat-syarat keselamatan kerja untuk memberikan alat-alat perlindungan diri kepada para pekerja. 2. Pasal 9 ayat 1c : Pengurus diwajibkan menunjukkan dan menjelaskan pada tahap tenaga kerja baru tentang alat-alat pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan. Alat pelindung diri (APD) berperan penting terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Dalam pembangunan nasional, tenaga kerja memiliki peranan dan kedudukan yang penting sebagai pelaku pembangunan. Sebagai pelaku pembangunan, perlu dilakukan upaya-upaya perlindungan baik dari aspek ekonomi, politik, sosial, teknis, dan medis dalam mewujudkan kesejahteraan tenaga kerja. terjadinya kecelakaan kerja dapat mengakibatkan korban jiwa, cacat, kerusakan peralatan, menurunnya mutu dan hasil produksi, terhentinya proses produksi, kerusakan lingkungan, dan akhirnya akan merugikan semua pihak serta berdampak kepada perekonomian nasional (Anizar, 2009). 1. Program Penggunaan APD Berdasarkan Pasal 14 huruf c UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, pengusaha/pengurus perusahaan perusahaan wajib menyediakan APD secara cuma-cuma terhadap tenaga kerja dan orang lain yang memasuki tempat kerja. Apabila kewajiban pengusaha/pengurus perusahaan tersebut tidak dipenuhi merupakan suatu pelanggaran undang-
15
undang. Berdasarkan Pasal 12 huruf b, tenaga kerja diwajibkan memakai APD yang telah disediakan (Anizar, 2009). 2. Pemilihan dan Persyaratan APD Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja adalah sangat perlu diutamakan. Namun kadang-kadang keadaan bahaya masih belum dapat dikendalikan sepenuhnya, sehingga digunakan alat-alat pelindung diri (personal protective devices). APD harus memenuhi persyaratan (Suma’mur, 2009) : 1. Enak (nyaman) dipakai; 2. Tidak mengganggu pelaksanaan pekerjaan; dan 3. Memberikan perlindungan efektif terhadap macam bahaya yang dihadapi. Menurut Anizar (2009) APD yang disediakan oleh pengusaha dan dipakai oleh tenaga kerja harus memenuhi syarat pembuatan, pengujian dan sertifikat. Tenaga kerja berhak menolak untuk memakai jika APD yang disediakan tidak memenuhi syarat. Dari ketiga pemenuhan persyaratan tersebut, harus diperhatikan faktor-faktor pertimbangan di mana APD harus 1) Enak dan nyaman dipakai; 2) Tidak menggangu ketenangan kerja dan tidak membatasi ruang gerak pekerja; 3) Memberikan perlindungan efektif terhadap segala jenis bahaya/potensi bahaya; 4) Memenuhi syarat estetika;
16
5) Memperhatikan efek samping penggunaan APD; dan 6) Mudah dalam pemeliharaan, tempat ukuran, tempat penyediaan, dan harga terjangkau. 3. Jenis-Jenis APD Menurut Anizar (2009) aneka alat pelindung diri adalah sebagai berikut : a. Masker Pada tempat-tempat kerja tertentu seringkali udaranya kotor yang diakibatkan oleh bermacam-macam sebab antara lain : 1) Debu-debu kasar dari pengindaraan atau operasi-operasi sejenis. 2) Racun dan debu halus yang dihasilkan dari pengecatan atau asap. 3) Uap beracun atau gas beracun dari pabrik kimia. 4) Bukan gas beracun tetapi seperti CO2 yang menurunkan konsentrasi oksigen di udara. Jenis-jenis masker dan penggunaannya (Anizar, 2009): 1) Masker penyaring debu Masker penyaring debu berguna untuk melindungi pernapasan dari serbuk-serbuk logam, atau serbuk lainnya. 2) Masker berhidung Masker ini dapat menyaring debu atau benda lain sampai ukuran 0.5 mikron, bila kita sulit bernapas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti karena filternya telah teBLUD Rumah Sakitmbat oleh debu.
17
3) Masker Bertabung Masker bertabung mempunyai filter yang baik dari pada masker berhidung. Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernapasan dari gas tertentu. Bermacam-macam tabung dapat dipasangkan dan bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam gas yang bagaimana masker tersebut digunakan. b. Kacamata Salah satu masalah di BLUD Rumah Sakit dalam pencegahan kecelakaan adalah pencegahan kecelakaan yang menimpa mata dimana jumlah kecelakaan demikian besar. Orang-orang merasa enggan memakai kacamata karena ketidaknyamannya sehingga dengan alasan tersebut pekerja merasa mengurangi kenikmatan kerja. Sekalipun kacamata pelindung yang memenuhi persyaratan demikian banyaknya. Banyak upaya harus diselenggarakan ke arah pembinaan disiplin, atau
melalui pendidikan dan
penggairahan, agar
tenaga
kerja
memakainya. Tenaga kerja yang berpandangan bahwa risiko kecelakaan terhadap mata adalah besar akan memakainya dengan kemauan sendiri. Sebaliknya, jika mereka merasa bahwa bahaya itu kecil, mereka tidak akan mau memakainya (Anizar, 2009). Kecelakaan mata berbeda-beda dan aneka jenis kacamata pelindung diperlakukan. Sebagai misal, pekerjaan dengan kemungkinan adanya risiko dari bagian-bagian yang melayang memerlukan kacamata
18
dengan lensa kokoh, sedangkan bagi pengelasan diperlukan lensa penyaringan sinar las yang tepat (Anizar, 2009). c. Sepatu Pengaman Sepatu pengaman harus dapat melindungi tenaga kerja terhadap kecelakaan-kecelakaan yang disebabkan oleh beban berat yang menimpa kaki, paku-paku atau benda tajam lain yang mungin terinjak, logam pijar, asam-asam dan sebagainya. Biasanya sepatu kulit yang buatannya kuat dan baik cukup memberikan perlindungan, tetapi terhadap kemungkinan tertimpa benda-benda berat masih perlu sepatu dengan ujung tertutup baja dan lapisan baja di dalam solnya. Lapis baja di dalam sol perlu untuk melindungi tenaga kerja dari tusukan benda runcing dan tajam khususnya pada pekerjaan bangunan. d. Sarung Tangan Sarung tangan harus diberikan kepada tenaga kerja dengan pertimbangan akan bahaya-bahaya dan persyaratan yang diperlukan. Antara lain syaratnya adalah bebannya bergerak jari dan tangan. Macamnya tergantung pada jenis kecelakaan yang akan dicegah yaitu tusukan, sayatan, terkena benda panas, terkena bahan kimia, terkena aliran listrik, terkena radiasi dan sebagainya. Sarung tangan juga sangat membantu pada pengerjaan yang berkaitan dengan benda kerja yang panas, tajam ataupun benda kerja yang licin. Sarung tangan juga dipergunakan sebagai isolator untuk pengerjaan listrik.
19
e. Topi Pengaman (helmet) Topi pengaman (helmet) harus dipakai oleh tenaga kerja yang mungkin tertimpa pada kepala oleh benda jatuh atau melayang atau benda-benda lain yang bergerak. Topi demikian harus cukup keras dan kokoh, tetapi ringan. Bahkan plastik dengan lapisan kain terbukti sangat cocok untuk keperluan ini. Topi pengaman dengan bahan elastis seperti karet atau plastik pada umumnya dipakai oleh wanita. Rambut wanita yang memiliki risiko ditarik oleh mesin. Oleh karena itu, penutup kapala harus dipakai agar rambut tidak terbawa putaran mesin dengan cara rambut diikat dan ditutup oleh penutup kepala. f. Pelindung Telinga Telinga harus dilindungi terhadap loncatan api percikan logam, pijar atau partikel-partikel yang melayang. Perlindungan terhadap kebisingan dilakukan dengan sumbat atau tutup telinga. Alat pelindung telinga merupakan salah satu bentuk alat pelindung diri yang digunakan untuk melindungi telinga dari paparan kebisingan, sering disebut sebagai personal hearing protection atau personal protective devices. g. Pelindung Paru-Paru (Respirator) Paru-paru harus dilindungi manakala udara tercemar atau ada kemungkinan kekurangan oksigen dalam udara. Pencemaran-pencemaran mungkin berbentuk gas, uap logam, kabut, debu dan lainnya. Kekurangan oksigen mungkin terjadi di tempat-tempat yang pengudaraannya buruk
20
seperti tangki atau gudang bawah tanah. Pencemar-pencemar yang berbahaya mungkin beracun, korosit, atau menjadi sebab rangsangan. Pengaruh lainnya termasuk dalam bahaya kesehatan kerja. h. Pakaian Pelindung Pakaian kerja harus dianggap suatu alat perlindungan terhadap bahaya-bahaya kecelakaan. Pakaian tenaga kerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas (tidak longgar) pada dada atau punggung, tidak berdasi dan tidak ada lipatan-lipatan yang mungkin mendatangkan bahaya. Wanita sebaiknya memakai celana panjang, jala rambut, baju yang pas dan tidak memakai perhiasanperhiasan. Pakaian kerja sintesis hanya baik terhadap bahan-bahan kimia korosif, tetapi justru berbahaya pada lingkungan kerja dengan bahanbahan dapat meledak oleh aliran listrik statis. Menurut Suma’mur (2009), alat proteksi diri beraneka ragam. Jika digolongkan menurut bagian tubuh yang dilindungi, maka jenis alat proteksi diri dapat dilihat pada daftar sebagai berikut : 1. Kepala : Pengikat rambut, penutup rambut, topi dari berbagai jenis yaitu topi pengaman (safety helmet), topi atau tudung kepala, tutup kepala. 2. Mata : kacamata pelindung (protective goggles) 3. Muka : Pelindung muka (face shields) 4. Tangan dan jari : Sarung tangan (sarung tangan dengan ibu jari terpisah, sarung tangan biasa (gloves); pelindung telapak tangan (hand pad), dan
21
sarung tangan yang menutupi pergelangan tangan sampai lengan (sleeve). 5. Kaki : Sepatu pengaman (safety shoes). 6. Alat pernapasan : Respirator, masker, alat bantu pernafasan. 7. Telinga : Sumbat telinga, tutup telinga. 8. Tubuh : Pakaian kerja menurut keperluan yaitu pakaian kerja tahan panas, pakaian kerja tahan dingin, pakaian kerja lainnya. 9. Lainnya : Sabuk pengaman. C. Tinjauan Tentang Perilaku Maulana (2009) menyebutkan bahwa perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), pengertian itu dikenal dengan teori S-O-R (stimulus – organismerespon). Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar objek tersebut (Notoatmodjo, 2007) . Respon ini terbentuk dua macam, yakni : 1. Bentuk pasif adalah respons internal, yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan, maka perilaku tersebut terselubung (covert behaviour).
22
2. Bentuk aktif, yaitu apabila perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, maka perilaku tersebut sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata, maka disebut ‘over behaviour’. a. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perilaku Teori Lawrence Green (1980) dalam menganalisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku, konsep umum yang sering digunakan dalam berbagai kepentingan program dan beberapa penelitian yang dilakukan adalah teori yang dikemukakan olah Green (1980). Ia menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh tiga faktor, yaitu faktor predisposisi, faktor pendorong, dan faktor penguat (Maulana, 2009). Faktor
predisposisi
(predisposing
factor).
Faktor
yang
mempermudah terjadinya perilaku seseorang. Faktor ini termasuk pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, kebiasaan, nilai nilai, norma sosial, budaya, dan faktor sosio-demografi. Faktor pendorong (enabling factors). Faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku. Hal ini berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung, dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan. Faktor penguat (reinforcing factors). Faktor yang memperkuat perilaku termasuk sikap dan perilaku petugas, kelompok referensi, dan tokoh masyarakat.
23
b. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Penggunaan APD 1) Faktor Predisposisi (Predisposing Factor) Faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap halhal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut oleh masyarakat,
tingkat
pendidikan,
tingkat
sosial
ekonomi
dan
sebagainya (Mulyanti, 2008). a) Pengetahuan Menurut Notoatmodjo (2007) pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ dan ini terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap
suatu
objek
tertentu.
Pengetahuan
atau
kognitif
merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang (overt behaviour). Sedangkan menurut Maulana (2009) sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui mata dan telinga, berdasarkan pengalaman dan penelitian, diperoleh bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Penelitian Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan yaitu :
24
1. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu. 2. Interest, yakni orang mulai tertarik kepada stimulus. 3. Evaluation, yaitu menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya. 4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru. 5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus (Notoatmodjo, 2007). b) Sikap Menurut Notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Sedangkan menurut Koentjaraningrat (1983) dalam Maulana (2009) sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Manifestasi sikap tidak dapat dilihat,
tetapi
hanya
dapat
ditafsirkan.
Sikap
merupakan
kecenderungan yang berasal dari dalam diri individu untuk berkelakuan dengan pola-pola tertentu, terhadap suatu objek akibat pendirian dan perasaan terhadap objek tersebut. Menurut Newcomb yang dikutip oleh Notoatmodjo (2007) sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak, dan bukan merupakan pelaksanaan motif tertentu. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan
25
‘pre-disposisi’ tindakan atau perilaku. Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi terbuka tingkah laku yang terbuka. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap obyek. Seperti halnya dengan pengetahuan, sikap ini terdiri dari berbagai tingkatan yakni (Notoatmodjo, 2007) : 1) Menerima (Receiving) Menerima,
diartikan
bahwa
orang
(subyek)
mau
dan
memperhatikan stimulus yang diberikan (objek). 2) Merespon (Responding) Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas yang diberikan. 3) Menghargai (Valuing) Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mengindikasikan dengan orang lain terhadap suatu masalah. 4) Bertanggung Jawab (Responsible) Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko. Pengukuran sikap dilakukan dengan secara langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Secara
26
tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden. c) Tindakan Suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan. Untuk terwujudnya sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain adalah fasilitas. Di samping faktor fasilitas juga diperlukan faktor dukungan (support) dari pihak lain, misalnya: orang tua, saudara, suami, isteri, dan lain-lain, yang sangat penting untuk mendukung tindakan yang akan dilakukan. Tingkatan tindakan (practice) yaitu: 1. Persepsi (Perception). Mengenal dan memilih berbagai obyek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil adalah merupakan tindakan tingkat pertama. 2. Respon terpimpin (Guide responce). Dapat melakukan sesuatu sesuai dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh adalah merupakan indikator tindakan tingkat kedua. 3. Mekanisme (Mechanism). Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis atau sesuatu itu sudah merupakan kebiasaan maka ia sudah mencapai tindakan tingkat ketiga. 4. Adaptasi (Adaptation). Adaptasi adalah suatu tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah
27
dimodifikasi sendiri tanpa mengurangi kebenaran tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003). 2) Faktor Pemungkin (Enabling Factor) Faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat, misalnya air bersih, tempat pembuangan
sampah,
tempat
pembuangan
tinja,
ketersediaan
makanan yang bergizi, dan sebagainya (Mulyanti, 2008). a) Ketersediaan Fasilitas Dibutuhkan pedoman tertentu tentang penempatan fasilitas dan penangananya, disamping untuk memenuhi kebutuhan jabatan seseorang, asas keserasian juga tetap untuk meningkatkan efisiensi kerja pegawai (Johny, 2000). Menurut Laurenta (2001) yang dikutip oleh Mulyanti (2008) keserasian perbandingan antara manusia dengan alat kerja sehingga
turut
menjamin
adanya
suasana
kerja
yang
menggairahkan. Peralatan dan perlengkapan harus tepat guna dan tidak mewah. Setiap alat dan perlengkapan harus diadakan sesuai dengan tingkat kemungkinan terjadinya kecelakaan. Menurut Maulana (2009), faktor yang memungkinkan terjadinya perilaku berupa lingkungan fisik, sarana kesehatan atau sumber-sumber khusus yang mendukung, dan keterjangkauan sumber dan fasilitas kesehatan. Menurut penelitian Hakim (2004)
28
menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakna antara fasilitas APD dengan penggunaan APD b) Kenyamanan Fasilitas Perasaan tidak nyaman (risih, panas, berat, terganggu) yang timbul pada saat menggunakan APD akan mengakibatkan keengganan tenaga kerja menggunakannya dan mereka memberi respon yang berbeda-beda (Budiono dkk., 2003). Pemakaian APD dapat menyebabkan ketidaknyamanan, terutama bila dipakai untuk jangka lama, karena pemakai merasa tertutup dan terisolasi. Oleh karena itu, pekerja cenderung untuk melepaskannya untuk menghilangkan ketidaknyamanan (Harrington dkk., 2003). 3) Faktor penguat (Reinforcing Factors). Faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), sikap dan perilaku para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini undang-undang, peraturanperaturan, baik dari pusat maupun pemerintah daerah, yang terkait dengan kesehatan. a) Pola Pengawasan Pengawasan adalah suatu proses untuk mengukur penampilan kegiatan atau pelaksanaan kegiatan suatu program yang selanjutnya memberikan pengarahan-pengarahan sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai (Notoatmodjo, 2007).
29
Dilakukan pengawasan adalah untuk menjamin bahwa setiap pekerjaan dilaksanakan dengan aman dan mengikuti setiap prosedur dan petunjuk kerja yang telah ditetapkan (Sastrohadiwiry, 2003). Salah satu bentuk pengawasan yang dilakukan adalah pengawasan pada bahaya dari cara kerja, karena dapat membahayakan tenaga kerja itu sendiri dan orang lain disekitarnya. Antara lain pemakaian APD yang tidak semestinya dan cara memakai yang salah. Pengusaha perlu memperhatikan cara kerja yang dapat membahayakan ini, baik pada tempat kerja maupun dalam pengawasan pelaksanaan pekerjaan sehari-hari (Johny, 2000). b. Alat Pelindung Diri (APD) Alat Pelindung Diri (APD), telah digunakan bertahun-tahun lamanya untuk melindungi pasien dari mikroorganisme yang terdapat pada petugas yang bekerja pada suatu tempat perawatan kesehatan. Akhir-akhir ini dengan timbulnya AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome), HBV (Hepatitis B Virus), HCV (Hepatitis C Virus) dan munculnya kembali tuberkulosis di banyak negara, penggunaan APD menjadi sangat penting untuk melindungi petugas (Tietjen, 2004). APD meliputi sarung tangan, masker, pelindung mata, gaun, kap, apron dan alas kaki. APD yang sangat efektif terbuat dari kain yang diolah atau bahan sintetis yang dapat menahan air, darah dan cairan lain untuk menembusnya (Tietjen, 2004).
30
1) Sarung Tangan Alat ini merupakan pembatas fisik terpenting untuk mencegah penyebaran infeksi, tetapi harus diganti setiap kontak dengan satu pasien ke pasien lainnya untuk mencegah kontaminasi silang. Sarung tangan harus dipakai kalau menangani darah, sekresi dan ekskresi (kecuali keringat). Petugas kesehatan menggunakan sarung tangan untuk tiga alasan, yaitu: a) Mengurangi resiko petugas kesehatan terkena infeksi dari pasien.. b) Mencegah penularan flora kulit petugas kepada pasien. c) Mengurangi kontaminasi tangan petugas kesehatan dengan mikro organisme yang dapat berpindah dari satu pasien ke pasien lain. 2) Masker Masker dipakai untuk menahan cipratan yang keluar dari sewaktu petugas kesehatan atau petugas bedah bicara, batuk, bersin dan juga mencegah cipratan darah atau cairan tubuh yang terkontaminasi masuk ke dalam hidung atau mulut petugas kesehatan. 3) Pelindung Mata Pelindung mata melindungi petugas kesehatan dari cipratan darah atau cairan tubuh lainnya yang terkontaminasi dengan pelindung mata. 4) Gaun Penutup Pemakaian utama dari gaun penutup adalah untuk melindungi pakaian petugas pelayanan kesehatan. Gaun penutup diperlukan sewaktu melakukan tindakan, bila baju tidak ingin kotor.
31
5) Kap (penutup rambut) Dipakai untuk menutup rambut dan kepala, tujuan utamanya adalah melindungi pemakainya dari semprotan dan cipratan darah dan cairan tubuh lainnya. 6) Apron Apron dibuat dari karet atau plastik sebagai suatu pembatas air di bagian depan dari tubuh petugas kesehatan. Apron harus dipakai kalau sedang membersihkan atau melakukan tindakan dimana darah atau cairan tubuh akan tumpah. 7) Alas Kaki Alas kaki dipakai untuk melindungi kaki dari perlukaan oleh benda tajam atau dari cairan yang jatuh atau menetes ke kaki. Sepatu bot dari karet atau kulit lebih melindungi, tapi harus selalu bersih dan bebas dari kontaminasi darah atau cairan tubuh lainnya. D. Tinjauan Tentang Kepatuhan Kepatuhan berasal dari kata patuh yang berarti suka menurut, taat pada perintah, aturan, berdisiplin. Kepatuhan adalah ketaatan dalam melakukan sesuatu yang dianjurkan (Depdikbud, 1996). Kepatuhan adalah tingkat perilaku pasien yang tertuju terhadap intruksi atau petunjuk yang diberikan dalam bentuk terapi apapun yang ditentukan, baik diet, latihan, pengobatan atau menepati janji pertemuan dengan dokter (Stanley, 2007).
32
Menurut Stanley (2007), kepatuhan seseorang sangat berhubungan dengan : 1.
Interaksi kompleks antara dukungan keluarga dan pengalaman.
2.
Interaksi perilaku dengan kepercayaan kesehatan seseorang
3.
Kepercayaan yang ada sebelumnya. Kepatuhan adalah merupakan suatu perubahan perilaku dari perilaku
yang tidak mentaati peraturan ke perilaku yang mentaati peraturan. Perilaku kesehatan merupakan perilaku kepatuhan, menurut Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003) faktor yang mempengaruhi perilaku kesehatan adalah sebagai berikut : 1. Faktor-faktor predisposisi (Prodisposing Factors) yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai tradisi. Seorang ibu mau membawa anaknya ke posyandu, karena tahu bahwa disana akan dilakukan penimbangan anak untuk mengetahui pertumbuhannya serta akan memperoleh imunisasi untuk mencegah penyakit. Tanpa adanya pengetahuan ini, ibu tersebut mungkin tidak akan membawa anaknya ke posyandu. 2. Faktor-faktor pemungkin (Enabling Factors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan, misalnya Puskesmas, Posyandu, Rumah Sakit, makanan bergizi. Sebuah keluarga yang sudah tahu masalah
33
kesehatan mengupayakan keluarganya untuk menggunakan air bersih, makan bergizi dan sebagainya. Tetapi apabila keluarga tersebut tidak mampu mengadakan fasilitas itu semua,
maka
dengan
terpaksa
menggunakan air kali, makan seadanya. 3. Faktor-faktor
penguat
mendorong atau
(Reinforcing
Factors)
adalah
faktor
yang
memperkuat terjadinya perilaku. Kadang-kadang
meskipun seseorang tahu dan mampu untuk berperilaku sehat, tetapi tidak melakukannya. Perlu adanya contoh-contoh perilaku sehat dari para tokoh masyarakat. Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2003) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan (health
related
behavior) sebagai
berikut: 1. Perilaku kesehatan (health behavior), yaitu tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya, termasuk tindakan untuk mencegah penyakit,memelihara makanan, sanitasi. 2. Perilaku sakit (illness behavior), yakni segala tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang individu yang merasa sakit, untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, meliputi kemampuan untuk mengidentifikasi
penyakit,
penyebab penyakit
serta
usaha
mencegah penyakit. 3. Perilaku peran sakit (the sick role behavior), yakni tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.
34
E. Kerangka Konsep Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu pendekatan ilmiah dan praktis dalam mengatasi potensi bahaya dan risiko kesehatan dan keselamatan yang mungkin terjadi. Alat Pelindung Diri (APD) yaitu alat yang digunakan untuk melindungi pekerja dari luka atau penyakit yang diakibatkan oleh adanya kontak dengan bahaya (hazards) di tempat kerja, baik yang bersifat kimia, biologis, radiasi, fisik, elektrik, mekanik dan lainnya (OSHA, 2009). Dalam pelaksaannya ketika sedang bekerja sorang petugas seharusnya selalu menggunakan Alat Pelindung Diri yang tepat, dimana dalam penggunaannya seorang petugas harus mengetahui betapa pentingnya menggunakan APD ketika sedang bekerja atau ketika sedang berada di dalam laboratorium kesehatan. Perilaku para petugas dipengaruhi oleh pengetahuan, sikap serta tindakan yang selalu menggunakan APD. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
Perilaku
Pengetahuan Sikap Tindakan
Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD)
Gambar 2.1 Kerangka Teori Penelitian
Fisik Kimia Biologi Psikologi Ergonomi
35
Pengetahuan merupakan tingkat pemahaman seseorang tentang berbagai hal. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga yaitu melalui proses pengalaman dan proses belajar dalam pendidikan, baik yang bersifat formal maupun informal. Jadi pengetahuan tidak tercipta dengan sendirinya, melainkan melalui berbagai proses dan tergantung dari banyak faktor, seperti halnya tingkat kemampuan intelektual seseorang, kemauannya dalam mencari sumber pengetahuan, adanya dukungan dari lingkungan sekitar dan sebagainya. Demikian juga dengan cara bersikap dan tindakan para perawat yaitu selalu menggunakan Alat Pelindung Diri (ADP). Hal ini membantu para petugas dalam bekerja serta akan mencegah terjadinya kecelakaan yang dapat terjadi karena sikap kerja yang salah ketika bekerja. Penggunaan APD sangat dipengaruhi oleh banyak hal diantaranya yaitu pengetahuan, bagaimana bersikap serta bertindak yang benar ketika berada dalam lingkungan kerja. Sehingga nantinya diharapkan dapat meningkatkan produktivitas kerja.
36
Faktor perilaku Pengetahuan Sikap Tindakan
Faktor Fisik Faktor Kimia Faktor Biologi Faktor Psikologi Faktor Ergonomi
Kepatuhan Menggunakan (APD) sesuai SOP K3
Gambar 2.2 Kerangka Konsep Penelitian Keterangan: : Variabel terikat (Denpenden Variable) : Variabel bebas (indenpenden Variable) : Variabel tidak diteliti
37
F. Hipotesis Penelitian 1.
H0 :
Tidak ada hubungan antara pengetahuan perawat dengan
ρ value > α
Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Ruang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.
H1 :
Ada hubungan antara pengetahuan perawat dengan
ρ value < α
kepatuhan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.
2.
H0 :
Tidak ada hubungan antara sikap perawat dengan
ρ value > α
kepatuhan Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.
H1 :
Ada hubungan antara sikap perawat dengan kepatuhan
ρ value < α
Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.
38
3.
H0 :
Tidak ada hubungan antara tindakan perawat dengan
ρ value > α
Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.
H1 :
Tidak ada hubungan antara tindakan perawat dengan
ρ value < α
Kepatuhan Menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) Sesuai Standard Operating Procedure (SOP) Di Rang Rawat Inap Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Konawe.