KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN FRAGMEN rDNA Trichoderma sp. ASAL PERKEBUNAN KAKAO (Theobromacacao L.) KONAWE
Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana (S-1)
OLEH: MUHAMAD AZWAR SYAH F1D1 12 001
JURUSAN BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS HALUOLEO KENDARI 2016
ii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Muhamad Azwar Syah
Tempat/Tanggal Lahir: Bone Kancitala/ 26 Desember 1995 Alamat
: Jln. Prof.Abdur rauf Tarimana No. 43 Kel. Kambu
Alamat Instansi
:-
No. Telp/HP
: 081341801499
E-mail
:
[email protected]
Nama Ayah
: Asyini
Nama Ibu
: Wa Misali
Alamat
: Desa Bone Kancitala Kec. Bone Kab. Muna
RiwayatPendidikan
:
1. SD (SD Negeri 1 Bone), lulus tahun 2006 2. SMP (SMP Negeri 1 Baubau), lulus tahun 2009 3. SMA (SMA Negeri 1 Baubau), lulus tahun 2012 4. Perguruan Tinggi (Universitas Halu Oleo, Kendari), lulus tahun 2016
RiwayatPekerjaan
:
1. Pernah menjadi Asisten Praktikum Biologi Dasar, Struktur dan Perkembangan Tumbuhan, Biokimia, Mikrobiologi, Genetika, Mikologi, dan Biologi Molekuler Medik. 2. Pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan periode 2013-2014. 3. Pernah menjadi anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa periode 2014-2015. 4. Pernah menjadi sekretaris umum Badan Eksekutif Mahasiswa periode 20142015. 5. Pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Kendari angkatan XIX.
iii
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta alam atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul: Karakterisasi Morfologi dan Fragmen rDNA Trichoderma sp. Asal Perkebunan Kakao Konawe. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak baik bimbingan, nasehat, arahan, serta doa maka penulisan hasil penelitian ini tidak dapat terselesaikan dengan baik. Penghargaan yang setinggi-tingginya dan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya penulis haturkan kepada Dr. Muzuni, S.Si., M.Si selaku pembimbing I dan Dr. Nur Arfa Yanti, S.Si., M.Si selaku pembimbing II atas bimbingan arahan dan petunjuk yang sangat berharga dalam penulisan hasil penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi atas dibiayainya penelitian ini dalam Program Kreativitas Mahasiswa (PKM), dan terpilih sebagai salah satu peserta dalam PIMNAS pada tahun 2015. Ucapan terima kasih tidak lupa pula penulis sampaikan kepada ayahanda tersayang Asyini dan Ibunda tercinta Wa Misali, S.Pdi
yang senantiasa
mendukung dan memberikan do’a yang tulus ikhlas serta kasih sayangnya yang tak terhingga. Kepada kakak tercinta Muhamad Azlan Syah dan adik-adikku tersayang Fina Rais dan Ade Farma yang menjadi sumber inspirasi dan motivasi bagi penulis dalam menyelesaikan penelian dan penyusunan skripsi ini. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :
v
1.
Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari.
2.
Dekan Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo (UHO).
3.
Ketua Jurusan Biologi dan Sekretaris Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo (UHO).
4.
Kepala Laboratorium Biologi Fakultas MIPA Universitas Halu Oleo (UHO).
5.
Dr. Amirullah, M.Si selaku penasehat akademik yang telah memberikan pengarahan dan bimbingan dalam memprogramkan mata kuliah.
6.
Dr. Nurhayani H.M., S.Si., M.Si, Dr. Suriana, M.Si, dan Dr. Hj. Sitti Wirdhana Ahmad, S.Si., M.Si, selaku dewan penguji.
7.
Bapak dan Ibu Dosen Jurusan Biologi serta seluruh staf Fakultas MIPA UHO.
8.
Laboran Laboratorium Jurusan Biologi Fakultas MIPA UHO.
9.
Kakak senior Darson, S.Si dan Mawardi Janitra, S.Si yang telah banyak membantu dan membimbing penulis selama melaksanakan penelitian.
10. Kakak Baitul Abidin, S.Pi., M. Biotech. yang telah banyak membantu penulis dalam menyusun tugas akhir, dan sahabat tercinta Sadam yang telah memberikan motivasi dan hiburan selama melaksanakan penelitian. 11. Kakak senior di Laboratorium Mikrobiologi: Taufik Walhidayah, S.Si., Irawati, S.Si, Nur Asni, S.Si, Zaenab Mola, Ridwan, S.Si, Artarini Oktavianti, S.Si, Rahmatan Juhaepa, S.Si, dan Hasanah, S.Si, yang telah banyak membantu penulis selama penelitian. 12. Teman-teman Biologi angkatan 2012: Saharudin, I Wayan Rustanto, Muh. Rajab Sutra Wijaya,Muh. Zulvichar, LM. Yusuf, LM. Iman Sulaiman, Dafid
vi
Pratama, Muh. Gusmiranda, Hardianto, Febrianto Meyer Pakina, Desty Triyaswati, Nur Isnaini Ulfa, Nuning, Andi Nurhana, Emi Nurfiani, Efis Amalia, Kholifath, Siti Feni Musdalifah, Ulfa Muliani, Desi Afdaliana, Andi Hildayani, Irmayanti Arief, Siti Surahmi, Kasmawati Dehe, Wa Ode Sadawati,dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan dorongan moril serta kebersamaan yang tidak terlupakan. 13. Kakak-kakak senior Biologi angkatan 2010, 2011 dan adik-adikku angkatan 2013, 2014, dan 2015 atas perhatian dan dukungannya. 14. Kakak-kakak Asisten di Biologi: Adi Karya, S.Si., M.Sc.,WD. Nanang Trisna Dewi, S.Si., M.Si, Wd. Kartini, S.Si, Izal, S.Si, Al Firman, S.Si, Fitri Andrita, S.Si, Wa Ode Desi, LD. Adi Parman, S.Si., La Riadi, S.Si,Fatma Cahya Putri, S.Si., Wa Ode Rafiuddarajat, S.Si., dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Selanjutnya penulis menyadari bahwa penulisan hasil penelitian ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menerima segala saran yang sifatnya membangun demi penyempurnaannya. Penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih atas segala dukungan serta bimbingannya semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu menyertai dan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Amin. Kendari, April 2016
Penulis
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................... HALAMAN PENGESAHAN................................................................. DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT....................................... KATA PENGANTAR............................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................ DAFTAR TABEL ................................................................................... DAFTAR GAMBAR............................................................................... DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN .............................. ABSTRAK ............................................................................................... ABSTRACT ............................................................................................. I. PENDAHULUAN ................................................................................
Halaman i ii iii iv v viii x xi xiv xv xvi xvii 1
A. Latar Belakang............................................................................ B. Perumusan Masalah .................................................................... C. Tujuan Penelitian ........................................................................ D. Manfaat Penelitian ......................................................................
1 4 4 4
II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................................
5
A. Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.).................................... 1. Deskripsi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) ................ 2. Ekologi Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)................... 3. Penyakit pada Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) ........ 4. Kondisi Perkebunan Kakao (Theobroma cacao L.) Negara Indonesia.................................................................... 5. Kondisi Perkebunan Kakao (Theobroma cacao L.) Sulawesi Tenggara.................................................................. B. Agen Hayati Trichodermasp....................................................... 1. Deskripsi Trichoderma sp. .................................................... 2. Ekologi Trichoderma sp. ....................................................... 3. Peranan Trichoderma sp. ....................................................... C. Karakteristik Molekuler ............................................................ 1. Teori DNA (Deoxyribo nucleic acid) .................................... 2. Gen rRNA (RNA ribosomal) ................................................ 3. Metode Karakterisasi Molekuler............................................
5 5 6 6 9 10 11 11 12 13 14 14 15 16
III. METODE PENELITIAN ................................................................
21
A. Waktu dan Tempat Penelitian .................................................... B. Jenis Penelitian ........................................................................... C. Bahan Penelitian ........................................................................ D. Alat Penelitian. ...........................................................................
21 21 21 22
viii
E. Variabel, Definisi Operasional dan Indikator Penelitian ............ 1. Variabel Penelitian ................................................................. 2. Definisi Operasional .............................................................. 3. Indikator Penelitian ............................................................... F. Prosedur Penelitian ..................................................................... G. Analisis Data .............................................................................. H. Bagan Alur Sistematika Penelitian ............................................
23 23 24 24 25 30 32
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................
33
A. Karakteristik Morfologi Koloni Trichoderma sp. ...................... B. Karakteristik Morfologi Sel Trichoderma sp. ............................ C. Karakteristik Molekuler gen rRNA Trichoderma sp. ................. 1.Uji Kualitas dan Kuantitas DNA Genom................................. 2. Amplifikasi Fragmen ITS dengan Teknik PCR...................... 3. Urutan Sekuen Fragmen ITS Isolat Trichoderma sp. ............. 4. Hasil Penyejajaran Gen rRNA ................................................ 5. Situs Pemotongan Enzim Restriksi......................................... 6. Analisis Pohon Filogenetik ..................................................... 7. Analisis Kesejajaran Sekuen...................................................
33 38 44 44 48 48 50 51 52 59
V. PENUTUP ...........................................................................................
60
A. Simpulan .................................................................................... B. Saran ...........................................................................................
60 60
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................
61
LAMPIRAN.............................................................................................
66
ix
DAFTAR TABEL
No.
Teks
Halaman
1
Produksi kakao perkebunan kakao tahun 2009-2014........................... 10
2
Bahan Pendukung penelitian dan fungsinya ........................................ 21
3
Alat dan fungsi yang digunakan pada penelitian ................................. 22
4
Karakteristik morfologi koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA ................................................................................. 33
5
Diameter koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA ................................................................................ 37
6
Karakteristik morfologi sel dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA ................................................................................... 38
7
Hasil penghitungan spektrofotometri DNA genom.............................. 46
8
Nilai similaritas (%) dan jumlah nukleotida berbeda dalam sequence gen rRNA (ITS 1, 5.8S, ITS 2) antara ketiga isolat Trichoderma sp. dan isolat pembanding............................................... 58
9
Analisis Kesejajaran Lokal sekuen DNA sampel dengan sekuen DNA pada GeneBank menggunakan program BLAST ................................. 59
x
DAFTAR GAMBAR
No.
Teks
Halaman
1
Proses sekuensing mengunakan metode Sanger .......................................... 19
2
Struktur Gen rRNA ...................................................................................... 28
3
SkemaTahapan Penelitian ............................................................................ 32
4
Pengamatan karakteristik morfologi koloni isolat Trichoderma sp. pada media PDA................................................................................................... 35
5
Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat A1 menggunakan perbesaran 400x.............................................................................................................. 39
6
Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat B2 menggunakan perbesaran 400x .......................................................................................... 40
7
Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat C3 menggunakan perbesaran 400x .......................................................................................... 41
8
Hasil elektroforesis DNA genom isolat Trichoderma sp. pada gel agarose 1% ........................................................................................... 45
9
Hasil elektroforesis amplifikasi fragmen ITS ketiga isolat menggunakan primer Tricho-F dan Tricho-R pada gel agarose 1%................................... 47
10 Hasil penyejajaran sekuen fragmen ITS1 isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit................................... 48 11 Hasil penyejajaran sekuen gen 5.8S rRNA isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit................................... 49 12 Hasil penyejajaran sekuan fragmen ITS2 isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit................................... 49 13 Hasil penyejajaran sekuan fragmen ITS2 isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit................................... 50 14 Hasil Penyejajaran gen rRNA isolat dengan berbagai sekuen gen rRNA spesies Trichoderma menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit......................................................................... 50
xi
15 Enzim restriksi gen rRNA pada daerah ITS 1, 5S, ITS 2 isolat Trichoderma menggunakan program NEBcutter2.0 .................................... 52 16 Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat A1, B2, dan C3 dengan beberapa spesies pembanding berdasarkan urutan gen ITS 1, 5.8S rRNA, dan ITS 2. Angka pada percabangan menunjukkan nilai bootstrap (%) berdasarkan algoritma Neighbour-joining dengan 1000x replikasi.................................................. 54 17 Hasil pengamatan morfologi koloni isolat A1 pada media PDA ................ 65 18 Hasil pengamatan morfologi koloni isolat B2 pada media PDA ................ 65 19 Hasil pengamatan morfologi koloni isolat C3 pada media PDA ................ 65 20 Hasil penyejajaran fragmen ITS dari berbagai spesies Trichoderma sp. dengan menggunakan program ClustalWAlignmentBioedit, a: Tricho-F, b: Tricho-R............................................................................... 66 21 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat A1 dengan primer forward ................................................................................ 68 22 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat A1 dengan primer reverse ................................................................................ 68 23 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat B2 dengan primer forward ................................................................................ 69 24 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat B2 dengan primer reverse........................................................................ ......... 69 25 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat C3 dengan primer forward ...................................................................... ......... 70 26 Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen ITS isolat C3 dengan primer reverse ....................................................................... ......... 71 27 Skor hasil alignment sekuen A1 dengan sekuen yang terdapat pada GeneBank ............................................................................. 73 28 Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat A1 ...... 73 29 Hasil alignment sekuen A1 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank ............................................................................. 74 30 Skor hasil alignment sekuen B2 dengan sekuen yang
xii
terdapat pada GeneBank ............................................................................. 75 31 Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat B2 ....... 75 32 Hasil alignment sekuen B2 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank ............................................................................. 76 33 Skor hasil alignment sekuen C3 dengan sekuen yang terdapat pada GeneBank ............................................................................. 77 34 Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat C3 ....... 77 35 Hasil alignment sekuen C3 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank ............................................................................. 78 36 Preparasi bahan dan alat ............................................................................. 79 37 Prosesperemajaan isolat ............................................................................ 79 38 Pengamatan morfologi koloni isolat .......................................................... 79 39 Pengamatan morfologi sel isolat ................................................................ 79 40 Tahap penggerusan sel ............................................................................... 79 41 Pemberian larutan CTAB ........................................................................... 79 42 Proses sentrifugasi larutan .......................................................................... 79 43 Tahap pemberian PC ................................................................................... 79 44 Proses spindown .......................................................................................... 80 45 Tahap penghilangan etanol 70% ................................................................. 80 46 Tahap pembuatan gel agaros ....................................................................... 80 47 Tahap pencetakan gel agaros ....................................................................... 80 48 Pemasukan sampel DNA pada agaros ......................................................... 80 49 Proses elektroforesis DNA .......................................................................... 80 50 Proses visualisasi DNA ............................................................................... 80 51 Pemograman mesin PCR ............................................................................. 80
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Teks
Halaman
1
Hasil pengamatan morfologi koloni ketiga isolat ....................................... 65
2
Desain primer Tricho-F dan Tricho-R ......................................................... 66
3
Penghitungan nilai absorbansi DNA menggunakanspektrofotometer ........ 67
4
Elektroferogram hasil sequencingfragmen ITS isolat A1............................ 68
5
Elektroferogram hasil sequencingfragmen ITS isolat B2 ............................ 69
6
Elektroferogram hasil sequencing fragmen ITSisolat C3 ............................ 70
7
Hasil multiple alignment sequences gen rRNA isolat A1, B2 dan C3 menggunakan program MAFFT ................................................................. 71
8
Hasil penyejajaran fragmen ITS isolat A1 menggunakan program BLASTn pada situs Genebank NCBI .......................................................... 73
9
Hasil penyejajaran fragmen ITS isolat B2 menggunakan program BLASTn pada situs Genebank NCBI .......................................................... 75
10
Hasil penyejajaran fragmen ITS isolat C3 menggunakan program BLASTn pada situs Genebank NCBI .......................................................... 77
11
Dokumentasi penelitian ............................................................................... 79
xiv
DAFTAR ARTI LAMBANG DAN SINGKATAN
Lambang/singkatan % µg µL o C rRNA A A1 bp buffer B2 C C3 MgCl2 CO2 ddNTP dNTP DNA DNA template EDTA g G H2O ITS mL mm mM nm O2 OPT PCR pH PHYDIT RNA rpm TAE Taq DNA TE T Tm VSD Λ
Arti dan keterangan Persen Mikrogram Mikroliter Derajat Celcius Ribosomal ribonucleic acid Adenin Isolat Trichoderma sp. Basepair Larutan penyangga Isolat Trichoderma sp. Sitosin Isolat Trichoderma sp. Magnesium klorida Karbon dioksida Dideoksiribonukleotida Deoksiribonukleotida DeoxyribonucleicAcid Cetakan DNA Ethylene Diamine Tetra Acid Gram Guanin Akuades Internal Transcribed Spacer Mililiter Milimeter Mili Molar Nanometer Oksigen Organisme Pengganggu tanaman Polymerase Chain Reaction Negative logarithma dari konsentrasi ion hidrogen The Phylogenetic Editor Ribonucleicacid Rotation per minute Tris Acetat EDTA Thermosaquaticus DNA Tris EDTA Timin Temperatur melting VascularStreakDieback Panjang gelombang
xv
KARAKTERISASI MORFOLOGI DAN FRAGMEN ITSTrichoderma sp. ASAL PERKEBUNAN KAKAO (Theobromacacao L.) KONAWE
Oleh : Muhamad Azwar Syah F1D112001
ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui karakteristik morfologi dan molekuler fragmen rDNATrichoderma sp. yang terdapat di perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara. Karakterisasi morfologi isolat Trichoderma sp. meliputi karakterisasi morfologi sel dan morfologi koloni, sedangkan karakterisasi molekuler fragmen rDNAisolat Trichoderma sp. meliputi amplifikasi fragmen ITS1, 5.8S, dan ITS2. Morfologi isolat Trichoderma sp. dikarakterisasi dengan menggunakan metode slide culture dan metode titik, sedangkan fragmen rDNA isolat Trichoderma sp. diamplifikasi dengan menggunakan teknik PCR (Polymerase Chain Reaction). Hasil karakterisasi morfologi isolat Trichoderma sp. menunjukkan bahwa isolat A1, B2, dan C3 memiliki warna koloni hijau keputihan, terbentuk garis radial dan area zonasi, percabangan konidiofor cenderung teratur, fialid menyerupai bentuk termos, dan konidia berwarna hijau. Urutan nukleotida fragmen rDNAyang berhasil diamplifikasi dengan menggunakan primer Tricho-F dan Tricho-R, yaitu isolat A1 sebanyak 528 bp, dan urutan nukleotida fragmen rDNA isolat B2 dan C3 masing-masing 529 bp. Berdasarkan hasil karakterisasi morfologi isolat A1, B2, dan C3 menunjukkan karakter dari spesies Trichoderma sp., sedangkan hasil karakterisasi molekuler fragmen rDNA isolat A1, B2, dan C3 diidentifikasi sebagai anggota dari spesies Trichoderma asperellum. Kata kunci : Trichodermasp., karakteristik morfologi, fragmen rDNA
xvi
Characterization of Morphology and ITS Fragment Trichoderma sp. From Konawe Cacao Plantation
By : Muhamad Azwar Syah F1D112001
ABSTRACT The aim of this research is to know the characteristics of morphology and molecular of rDNA fragment of Trichoderma sp. found in the cacao plantation of Konawe Southeast Sulawesi. Morphology characterization of Trichoderma sp. isolate included of morphology and cell characterizations, while molecular characterization of rDNA fragment contained of amplification ITS fragment at ITS1, 5.8S, and ITS2 regions. Morphology of Trichoderma sp. isolate was characterized by slide culture and point methods, while rDNA fragment was amplified by PCR (Polymerase Chain Reaction) technique. The result of morphology characterization of Trichoderma sp. isolate showed that isolate of A1, B2, and C3 had whitish green colony, line radial and zone area, branches of conidiophore mostly regularly, phialides were like thermos shape, and green conidia. Nucleotide of rDNA fragment amplified by Tricho-F and Tricho-R primers showed that A1 isolate was 528 bp, dan nucleotide of rDNA fragment B2 and C3 isolates were 529 bp. The result of morphology characterization of A1, B2, and C3 showed species character of Trichoderma sp., while molecular characterization rDNA fragment of A1, B2, dan C3 isolates identified as member of Trichoderma asperellum species. Key Words : Trichoderma sp., morphology chracteristic, rDNA fragment
xvii
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pengembangan produksi kakao tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia, salah satunya Sulawesi Tenggara. Tanaman kakao menjadi salah satu komoditas unggul di kawasan ini. Namun, beberapa tahun terakhir, nilai produksi kakao di kawasan ini
masih rendah. Sulawesi Tenggara
memproduksi kakao sebanyak 213.691 ton dengan luas lahan perkebunan kakao mencapai 29.880 ha tidak produktif pada tahun 2014 (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2015). Pada tahun 2015 produktivitas kakao Sulawesi Tenggara diestimasi mengalami penurunan drastis dengan produksi sekitar 117.035 ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014). Penurunan produktivitas ini disebabkan karena menurunnya produksi kakao di sentra-sentra penghasil kakao, termasuk di Kabupaten Konawe. Kabupaten Konawe hanya memproduksi kakao sebanyak 10.171,8 ton pada tahun 2014, padahal potensinya dapat mencapai 11.597,7 ton (Badan Pusat Statistik Konawe, 2015). Rendahnya produktivitas kakao selain disebabkan oleh pohon yang sudah tidak produktif, juga disebabkan karena adanya serangan organisme pengganggu tanaman, salah satunya fungi patogen. Fungi patogen yang banyak menyerang tanaman kakao, diantaranya Phytophtora
palmivora
dan
Oncobasidium
theobromae.
Fungi
ini
mengakibatkan membusuknya buah kakao. Pembasmian fungi patogen pada tanaman kakao saat ini masih dilakukan dengan penggunaan fungisida. Namun, penggunaan fungisida memiliki dampak negatif karena residunya terabsorbsi
2
ke dalam jaringan tanaman (Wiryadiputra, 2013). Pengendalian hayati diharapkan mampu mengurangi dampak negatif dari penggunaan fungisida. Salah satu agen hayati yang dapat digunakan sebagai biokontrol pengendali tanaman dari infeksi fungi patogen adalah Trichoderma sp. Trichoderma sp. merupakan kelompok fungi multiseluler yang kosmopolitan di tanah. Menurut Kubicek dan Herman (2002), Trichoderma sp. digolongkan ke dalam kelas Deuteromycetes, tetapi setelah dilakukan reidentifikasi oleh Charerri et al. (2015), Trichoderma sp. dikelompokkan ke dalam kelas Sordariomycetes dan subdivisi Ascomycota . Mikroba ini memiliki kemampuan menghambat fungi patogen pada tanaman (Singh et al., 2014), dan dapat ditemukan di tanah sekitar perkebunan kakao (Nurahmi dkk., 2012). Karakteristik sel Trichoderma sp. diantaranya adalah hifa yang bersepta, konidiofor bercabang dan biasanya menyerupai bentuk piramida, dan konidia melekat pada fialid. Selain itu, warna koloni Trichoderma sp. bervariasi setiap spesies tergantung pada media pertumbuhannya dan kebanyakan berwarna kehijauan pada media PDA (Munir et al., 2013). Karakteristik morfologi tersebut dapat diketahui melalui proses karakterisasi. Hasil karakterisasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi organisme. Identifikasi organisme dapat dilakukan dengan proses karakterisasi morfologi dan
molekuler.
Karakterisasi
morfologi
bertujuan
untuk
mengetahui
karakteristik bagian luar tubuh organisme, sedangkan karakterisasi molekuler berperan dalam mengetahui karakteristik organisme berdasarkan molekulmolekul tertentu yang terdapat dalam sel, seperti protein dan asam nukleat.
3
Karakterisasi molekuler dapat dilakukan dengan mengamati komposisi nukleotida pada rantai DNA dari tiap organisme. DNA merupakan molekul penyusun gen yang menyandi karakter organisme, diantaranya rDNA. rDNA adalah penyandi gen komponen RNA ribosom. Pada organisme eukariot, rDNA memiliki daerah konservatif yaitu berturut-turut gen penyandi rRNA 18S, 5.8S, dan 28S yang diselingi oleh daerah ITS (Internal Transcribed Spacer). Daerah ITS spesifik untuk setiap spesies fungi (Eldenary et al., 2013), sehingga dapat dijadikan sebagai kunci identifikasi. Isolat Trichoderma yang digunakan pada penelitian ini berasal dari Badan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) Sulawesi Tenggara yang diisolasi dari perkebunan kakao Konawe. Isolat tersebut belum dilakukan identifikasi. Oleh karena itu, identitas isolat tersebut perlu diketahui untuk mempelajari karakteristiknya. Identifikasi kapang dapat dilakukan dengan proses karakterisasi morfologi dan molekuler (Budi dkk., 2010; Rahayu dkk., 2015). Karakterisasi secara morfologi belum optimal dalam mengidentifikasi spesies organisme. Hal ini disebabkan karena perbedaan morfologi kapang dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, meskipun dalam satu spesies. Teknologi molekuler dapat diterapkan dalam identifikasi spesies organisme yang lebih akurat. Hal ini disebabkan karena sekuen DNA yang terdapat dalam sel lebih stabil dan tidak mudah berubah. Oleh karena itu, isolat Trichoderma sp. yang terdapat di perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara perlu diidentifikasi melalui proses karakterisasi berdasarkan morfologi dan fragmen rDNA.
4
B. Perumusan Masalah Masalah yang akan dikaji pada penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1.
Bagaimana karakteristik morfologi beberapa isolat Trichoderma sp. yang terdapat di kawasan perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara ?
2.
Bagaimana karakteristik molekuler fragmen rDNA beberapa isolat Trichoderma sp. yang terdapat di kawasan perkebunan kakao Sulawesi Tenggara ?
C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini adalah: 1.
Mengetahui karakteristik morfologi beberapa isolat Trichoderma sp. yang terdapat di kawasan perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara.
2.
Mengetahui karakteristik molekuler fragmen rDNA beberapa isolat Trichoderma sp. yang terdapat di kawasan perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh setelah melakukan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan informasi tentang spesies Trichoderma sp. yang terdapat di perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara. 2. Sebagai bahan acuan bagi penelitian selanjutnya, khususnya yang meneliti masalah-masalah yang relevan dengan penelitian ini.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tanaman Kakao 1. Deskripsi Tanaman Kakao Klasifikasi tanaman kakao menurut Tjitrosoepomo (2005) adalah sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Malvales
Family
: Sterculiaceae
Genus
: Theobroma
Spesies
: Theobroma cacao L.
Tanaman kakao yang sudah mencapai tinggi 0.9-1.5 meter akan berhenti tumbuh ke atas dan membentuk jorket. Jorket adalah tempat percabangan dari percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Kakao termasuk tanaman dengan laju fotorespirasi yang cukup tinggi dengan menggunakan 20-50% dari hasil total fotosintesis. Air yang diserap tanaman sebagian besar hilang lewat proses transpirasi (penguapan). Proses ini cukup penting karena berkaitan dengan penyerapan unsur hara dan menjaga suhu tubuh tanaman (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). Buah kakao memiliki dua macam warna, yaitu hijau dan merah. Buah muda yang berwarna hijau akan mengalami perubahan menjadi berwarna kuning saat mengalami proses pematangan. Sementara itu, buah yang muda
6
berwarna merah akan mengalami perubahan menjadi berwarna jingga. Kulit buah kakao memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang letaknya berselangseling. Buah akan mengalami pematangan setelah berumur enam bulan. Biji kakao tidak memiliki masa dorman dan diselimuti oleh daging buah yang mengandung zat penghambat perkecambahan (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, 2004). 2. Ekologi Tanaman Kakao Banyak faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan kakao, diantaranya adalah faktor fisik dan kimia tanah.Faktor fisik tanah terdiri dari suhu, tekstur tanah, dan kadar air, sedangkan faktor kimia tanah adalah pH, salinitas, dan kadar organik tanah. Suhu yang optimum yang mendukung pertumbuhan kakao berkisar 30-32oC, sedangkan pH tanah yang ideal untuk tanaman kakao berkisar 6-7.5. Kakao merupakan tanaman C3 yang mampu berfotosintesis pada suhu rendah, jika dikelompokkan berdasarkan tipe fotosintesisnya. Hal ini berkaitan dengan proses membukanya stomata lebih besar bila cahaya matahari yang diterima lebih banyak (Rubiyo dkk., 2012). 3. Penyakit pada Tanaman Kakao Pohon kakao adalah tanaman yang rentan terhadap penyakit yang disebabkan oleh serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Sekitar 2030 % perkebunan kakao dapat mengalami kegagalan produksi akibat serangan OPT. Organisme pengganggu tanaman (OPT) yang banyak menyerang tanaman kakao, diantaranya adalah fungi patogen. Fungi patogen merupakan
7
kelompok fungi multiseluler yang ditandai dengan adanya hifa (Tanuhadi, 2012). Penyakit berpengaruh besar terhadap penurunan produktivitas tanaman kakao. Phytopthora palmivora adalah salah satu penyebab penyakit busuk buah, kanker batang, dan busuk pucuk serta penyakit hawar daun. Penyakit hawar daun merupakan salah satu kendala pembibitan kakao di Indonesia. Gejala hawar daun terlihat seperti terbakar yang dimulai dari tepi daun. Pengendalian penyakit ini umumnya menggunakan fungisida sintetik, namun memiliki dampak negatif. Hal ini menimbulkan pencemaran lingkungan dan gangguan keseimbangan ekologis. Penggunaan Trichoderma sp. untuk mengendalikan penyakit yang disebabkan Phytopthora spp. cukup potensial (Azis dkk., 2013). Permukaan buah kakao dapat menjadi tempat pertumbuhan spora Phytopthora palmivora. Hal ini disebabkan karena spora patogen ini bersifat hidrofilik. Fugni ini dapat menginfeksi tanaman kakao melalui lubang stomata. Stomata merupakan derivat sel epidermis yang menjadi lubang pertukaran gas pada tanaman. Perbedaan morfologi stomata diduga dapat berperan dalam ketahanan prapenetrasi (Rubiyo dkk., 2010). Masalah utama penyakit busuk buah adalah fungi Phytopthora palmivora yang dapat bertahan di dalam jaringan buah yang terinfeksi. Penggunaan fungisida belum efektif dalam menghambat pertumbuhan Phytopthora palmivora karena fungisida tidak mampu menjangkau keberadaan hifa fungi tersebut. Selain itu, fungisida tidak terdegradasi oleh lingkungan kecuali
8
mikroorganisme tertentu sehingga fungisida terakumulasi di sel organisme dengan konsentrasi yang berbeda-beda, dapat menyebabkan pencemaran lingkungan, terjadinya resistensi patogen, kematian pada organisme antagonis dan meninggalkan residu pada buah kakao (Asrul, 2009). Phytopthora palmivora dapat bertahan hidup dalam kondisi tanah yang kering atau ketersediaan air yang sangat sedikit. Bentuk pertahanan fungi ini terhadap kondisi tersebut dengan membentuk sista. Sista merupakan spora yang membentuk dinding sel yang tebal. Hal inilah yang menyebabkan sukarnya pembasmian penyakit busuk buah pada kakao (Motulo dkk., 2007). Penyebaran penyakit busuk buah dapat melalui berbagai cara, diantaranya dengan percikan air hujan, persinggungan antara buah sakit dengan buah sehat, dan dapat melalui binatang penyebar seperti bekicot. Gejala penyakit busuk buah dapat terlihat pada buah muda hingga buah dewasa. Buah yang terinfeksi akan membusuk disertai bercak coklat kehitaman dengan batas yang jelas. Gejala tersebut kebanyakan muncul dari ujung atau pangkal buah. Hal ini disebabkan adanya lekukan pada pangkal buah yang menjadi tempat tergenangnya air sehingga spora dengan mudah tumbuh dan berkembang (Motulo dkk., 2007). Penyakit pembuluh kayu atau Vascular Streak Dieback (VSD) merupakan salah satu penyakit terpenting pada kakao di Indonesia. Penyakit VSD
disebabkan
oleh
fungi
Oncobasidium
theobromae.
Fungi
ini
memproduksi basidiospora dan biasanya berkembang pada kondisi yang sangat lembab. Basidiospora disebarkan oleh angin dan jika spora menempel pada
9
permukaan yang kering, akan mengalami kehilangan viabilitas. Basidiospora mulai menetrasi di jaringan epidermis dan masuk ke jaringan xilem (Dhana dkk., 2013). 4. Perkebunan Kakao Indonesia Indonesia dikenal sebagai negara pengekspor biji kakao terpenting di dunia. Tahun 2010, Indonesia menjadi negara pengekspor biji kakao terbesar ketiga di dunia dengan produksi biji kering 550.000 ton. Luas lahan perkebunan kakao mencapai 1.651.539 ha dengan 94% dari lahan tersebut merupakan perkebunan rakyat. Hal ini mengindikasikan peran penting kakao sebagai sumber lapangan kerja dan pendapatan petani. Areal dan produksi kakao Indonesia meningkat pesat pada dekade terakhir, dengan laju 5.99% per tahun (Rubiyo dkk., 2012). Permintaan biji kakao di dunia terus meningkat, terutama dari Amerika Serikat dan negara-negara Eropa Barat. Tahun 2010, jumlah kebutuhan biji kakao di seluruh dunia adalah 3,7 juta ton, sedangkan jumlah ketersediaan biji kakao dari seluruh perkebunan di dunia hanyalah 3,6 juta ton (Tanuhadi, 2012). Indonesia sebagai salah satu produsen kakao perlu memanfaatkan peluang tersebut untuk meningkatkan devisa negara. Beberapa hasil studi menunjukkan bahwa daya saing produk kakao Indonesia, khususnya biji kakao masih baik sehingga Indonesia mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor dan mengembangkan di kancah pasar domestik (Rubiyo dkk., 2012). Negara Jepang telah memberlakukan batas maksimum residu pestisida pada bahan makanan dengan sangat ketat, termasuk bahan baku yang berasal
10
dari biji kakao. Banyaknya jenis pestisida yang diperbolehkan untuk digunakan pada komoditas kakao di Indonesia dapat menyebabkan penurunan nilai ekspor kakao, khususnya Jepang. Tahun 2011, sebanyak lebih dari 290 pestisida dengan jumlah bahan aktif sekitar 70 jenis, diizinkan untuk digunakan pada perkebunan kakao (Wiryadiputra, 2013). 5. Kondisi Perkebunan Kakao Sulawesi Tenggara Produksi tanaman kakao menjadi hasil perkebunan paling unggul di Sulawesi Tenggara dibandingkan dengan hasil perkebunan lainnya. Sentra produksi kakao terdapat di empat wilayah, yaitu Kabupaten Kolaka, Kolaka Utara, Konawe, dan Konawe Selatan. Produktivitas tanaman kakao Sulawesi Tenggara mengalami fluktuasi tiap tahun. Tahun 2009, Sulawesi Tenggara memproduksi kakao sebanyak 131.830 ton, dan tahun 2011 produksi kakao mengalami peningkatan mencapai 161.064 ton. Namun, tahun 2012 produksi kakao menurun drastis hingga 140.645 ton (Tabel 1). Penurunan produksi ini disebabkan karena adanya serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2015). Tabel 1. Produksi kakao perkebunan kakao tahun 2009-2014 No. Tahun Produksi (Ton) Luas (ha) 1 2 3 4 1 2009 131.830 230.175 2 2010 145.818 237.916 3 2011 161.064 249.234 4 2012 140.645 260.447 5 2013 185.201 245.624 6 2014 213.691 217.025 Sumber : (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2015). Pemerintah Sulawesi Tenggara terus berupaya dalam meningkatkan produksi kakao dengan melalui program gerakan nasional kakao. Upaya
11
tersebut berhasil meningkatkan laju produksi hingga mencapai 185.201 ton pada tahun 2013. Namun, produksi tersebut masih rendah karena tanaman kakao yang ditanam pada lahan perkebunan seluas 28.568 ha tidak produktif (Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2014). Selain itu, tahun 2013 Kabupaten Konawe hanya memproduksi kakao sebanyak 12.561 ton dengan tanaman kakao yang ditanam pada lahan perkebunan seluas 1.893 ha mengalami gagal panen (Badan Pusat Statistik Kabupaten Konawe, 2014). B. Agen Hayati Trichoderma sp. 1. Deskripsi Trichoderma sp. Klasifikasi Trichoderma sp. menurut Charerri et al., (2015) adalah sebagai berikut: Kingdom
: Fungi
Divisi
: Pezizomycotina
Class
: Sordariomycetes
Ordo
: Hypocrales
Family
: Hypocraceae
Genus
: Trichoderma
Spesies
: Trichoderma sp.
Trichoderma sp. merupakan kelompok fungi multiseluler dari kelompok kapang. Karakteristik sel Trichoderma sp. diantaranya adalah hifa bersepta, memiliki konidiofor yang bercabang dan menyerupai bentuk piramida, dan konidia melekat pada fialid. Ujung sel konidiofor tidak mengalami pembesaran dan tidak berwarna (hialin) serta percabangannya cenderung teratur (Kubicek
12
et al., 2002). Selain itu, warna koloni Trichoderma sp. bervariasi setiap spesies tergantung pada media pertumbuhan yang digunakan. Koloni Trichoderma sp. kebanyakan berwarna kehijauan pada media PDA (Potato Dextrose Agar) (Munir et al., 2013). Trichoderma sp. dapat ditemukan di tanah dan ekosistem akar, serta memiliki kemampuan biokontrol terhadap beberapa fungi patogen tanaman. Biokontrol dapat didefinisikan sebagai penggunaan organisme alami, atau modifikasi secara genetik, gen atau produk gen, untuk mengurangi dampak negatif organisme tertentu sehingga bermanfaat bagi manusia. Beberapa spesies Trichoderma sp. yang efektif sebagai penghambat pertumbuhan patogen di tanah dan meningkatkan kesehatan tanaman, diantaranya adalah Trichoderma harzianum dan Trichoderma asperellum (Singh et al., 2014). Trichoderma asperellum dapat tumbuh dengan baik pada media PDA (Potato Dextrose Agar) pada suhu 28oC. Koloni berwarna hijau konsetris (terbentuk dua lingkaran) dengan bundaran kecil berwarna putih di tengah koloni (Santos et al., 2012). 2. Ekologi Trichoderma sp. Salah satu kendala dalam pemanfaatan Trichoderma sp. sebagai agen pengendalian hayati penyakit tanaman adalah rendahnya kemampuan kolonisasi pada akar tanaman akibat faktor lingkungan yang kompleks dan tidak tersedianya isolat yang cukup virulen sehingga pengendalian tidak dapat berkelanjutan. Beberapa hasil penelitian menunjukkan tingkat kolonisasi akar
13
oleh Trichoderma sp. sangat menentukan keberhasilan pengendalian patogen tanaman (Nurbailis dan Martinius, 2011). Kemampuan kolonisasi Trichoderma sp. di tanah tidak hanya tergantung pada strain fungi tetapi tergantung juga pada faktor biotik dan abiotik lingkungan. Selain itu, kolonisasi Trichoderma sp. pada permukaan akar dan jaringan akar kemungkinan besar tidak hanya tergantung pada strain fungi tetapi juga jenis spesies tanaman. Pemberian berbagai spesies Trichoderma sp. pada tanaman tertentu mampu mengurangi patogen tanaman dengan efektif (Akrami et al., 2013). 3. Peranan Trichoderma sp. Beberapa fungi telah terbukti memiliki kemampuan dalam menyerap logam, salah satunya Trichoderma sp. Biosorpsi logam terjadi karena adanya gugus amino yang terdapat pada fungi yang dapat mengikat logam seperti Pb2+. Peristiwa biosorpsi pada fungi terjadi dengan mekanisme perpindahan logam melewati membran sel (Heltina dkk., 2009). Kemampuan Trichoderma sp. untuk mengurangi penyakit tanaman biasanya dilakukan secara langsung dengan mekanisme antagonis, dan khususnya dengan mensekresikan enzim kitinase dan β-1,2-glukanase. Enzim ini menghidrolisis dinding sel patogen sehingga menghambat pertumbuhan fungi patogen (Komy et al., 2015). Kitinase merupakan salah satu enzim yang memiliki kemampuan menghidrolisis kitin. Salah satu aplikasi enzim kitinase dalam bidang bioteknologi adalah sebagai biokontrol. Tumbuhan mensekresikan enzim ini sebagai pertahanan dalam melawan serangan organisme patogen yang dinding
14
selnya tersusun dari kitin. Hal ini karena kitin merupakan komponen utama dinding sel fungi yang dapat didegradasi oleh enzim kitinase (Herdyastuti dkk., 2009). C. Karakteristik Molekuler 1. Teori DNA (Deoxyribonucleic acid) Deoxyribonucleic acid (DNA) adalah polimer nukleotida yang berisi informasi genetik yang terdapat di dalam sel. Setiap sel organisme tertentu memiliki urutan sekuen DNA yang spesifik. Prinsip inilah yang mendasari identifikasi secara molekuler. Identifikasi organisme berdasarkan urutan sekuen DNA merupakan karakterisasi urutan sekuen DNA pada genom organisme (Syukriani, 2012). Struktur molekul DNA pertama kali diungkapkan oleh James Watson dan Francis Crick pada tahun 1953 berdasarkan atas foto difraksi sinar X yang dirancang oleh Rosalind Franklin dan Maurice Wilkins. Watson dan Crick membuat model struktur DNA yang disebut untai-ganda (double helix), berdasarkan atas data kimia dan fisik. Untai-ganda DNA tersusun oleh dua rantai polinukleotida yang berpilin. Kedua rantai mempunyai orientasi yang berlawanan (antiparalel), yaitu orientasi 5’ ke 3’ dan berorientasi 3’ ke 5’. Kedua rantai tersebut berikatan dengan ikatan hidrogen antara basa adenin (A) dengan timin (T), dan antara guanin (G) dengan sitosin (C). Ikatan antara adenin dengan timin terdiri dua ikatan hidrogen, sedangkan antara guanin dengan sitosin terdiri tiga ikatan hidrogen (Yuwono, 2005).
15
2. rDNA (DNA ribosomal) Salah satu data molekuler yang dapat digunakan untuk mengkarakterisasi organisme adalah urutan nukleotida rDNA. rDNA merupakan DNA yang menyandi rRNA (18S rRNA, 5.8S rRNA, dan 28S rRNA) penyusun ribosom. Susunan gen penyandi rRNA dalam genom organisme eukariot dibatasi oleh daerah ITS (Internal Transcribed Spacer) sehingga urutannya berturut-turut adalah 18S rRNA, ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, dan 28S rRNA (Muzuni, 2014). DNA ribosomal digunakan untuk mengidentifikasi isolat fungi di tingkat spesies. rDNA merupakan gen penyandi ribosom pada sel makhluk hidup. Ribosom terdiri dari dua komponen, yaitu ribosom subunit kecil dan ribosom subunit besar. rDNA menyandi ribosom subunit kecil 18S, dan subunit besar 5.8S dan 28S (Chakraborty et al., 2011). Keakuratan dan kepastian identifikasi fungi adalah kepastian terhadap kebenaran dalam diagnosa penyakit dan proses asosiasi dalam infeksi fungi. Karakterisasi spesies fungi berdasarkan karakter morfologi tidak sama spesifiknya dengan menggunakan pendekatan molekuler. Teknik molekuler melibatkan amplifikasi gen rDNA. rDNA pasti berada di semua sel dan memiliki nilai
konservatif yang tinggi pada fungi dan kingdom lainnya
(Shahid et al., 2014).
16
3. Metode Karakterisasi Molekuler Salah satu metode karakterisasi molekuler yang dapat dilakukan untuk menentukan spesies/genus organisme adalah metode PCR, dengan urutan sebagai berikut : a. Isolasi DNA Isolasi DNA merupakan tahap pertama dalam menganalisis DNA. DNA dapat ditemukan baik pada inti sel maupun pada organel mitokondria dan kloroplas. Ekstraksi DNA dilakukan dengan beberapa langkah yang dimulai dengan pelisisan dinding sel dan membran inti, dan pemisahan komponen dari berbagai komponen sel lainnya. Setiap langkah tersebut, kondisi DNA harus stabil agar tidak rusak dan didapatkan DNA dalam bentuk rantai yang panjang (Fatchiyah dkk., 2011). Isolasi DNA dapat dilakukan dengan empat tahapan, yaitu pelisisan dinding sel dan membran sel, ekstraksi DNA, presipitasi DNA, dan pencucian DNA. Pelisisan dinding sel dan membran sel dapat dilakukan secara kimia dan secara mekanik. Secara kimia dengan menggunakan larutan buffer lisis CTAB (Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide), sedangkan secara fisik dilakukan dengan penggerusan. Tahapan selanjutnya, ekstraksi DNA dengan menggunakan fenol kloroform untuk memisahkan kontaminan protein dan senyawa-senyawa organik dari DNA. Presipitasi DNA merupakan proses pengendapan DNA yang dapat dilakukan dengan pemberian larutan etanol 100% dan sodium asetat. Tahap terakhir, pencucian DNA dengan menggunakan larutan etanol
17
70%. Pencucian dilakukan untuk menghilangkan garam sodium asetat sisa dari pengendapan DNA (Muzuni, 2014). b. PCR (Polymerase Chain Reaction) Teknologi PCR merupakan terobosan dibidang biologi molekuler yang memungkinkan dilakukannya beragam analisis molekuler. Teknik PCR sangat bermanfaat dalam pemeriksaan forensik DNA. Kary Mullis, seorang ahli kimia, meraih hadiah nobel karena temuan besarnya tersebut (Syukriani, 2012). Teknik PCR merupakan proses sintesis enzimatik untuk mengamplifikasi nukleotida secara in vitro. Teknik PCR dapat meningkatkan sejumlah urutan DNA sebanyak ribuan bahkan jutaan kali dari jumlah semula, sekitar 10 6-107 pasang basa. Setiap urutan basa nukleotida yang diamplifikasi akan menjadi dua kali jumlahnya. Kunci utama pengembangan teknik PCR adalah menemukan
cara
amplifikasi
hanya
pada
urutan
DNA
target
dan
meminimalkan amplifikasi urutan DNA non-target (Fatchiyah dkk., 2011). Proses PCR merupakan proses siklus yang berulang, meliputi denaturasi, penempelan primer, dan pemanjangan rantai DNA. Denaturasi merupakan tahap pemutusan ikatan hidrogen pada DNA untai ganda, sehingga terbentuk DNA untai tunggal. Ikatan hidrogen pada DNA dapat terputus dengan perlakuan panas pada suhu 94oC (Syukriani, 2012). Penempelan primer (annealing) merupakan proses menempelnya primer pada urutan DNA target. Optimalisasi suhu annealing dilakukan dengan menentukan
suhu
melting
dengan
mengikuti
persamaan;
(Tm)
=
{(G+C)x4}+{(A+T)x2}. Suhu annealing biasanya 5oC di bawah Tm primer.
18
Primer yang sudah menempel pada sekuen DNA target mengindikasikan bahwa sintesis DNA baru sudah dimulai. Faktor-faktor yang mempengaruhi penempelan primer, diantaranya adalah banyaknya kandungan basa nitrogen GC dan konsentrasi primer (Campbell et al., 2002). Tahap ekstensi terjadi proses pemanjangan untai baru DNA, dimulai dari posisi primer yang telah menempel di urutan basa nukleotida DNA target yang akan bergerak dari ujung-5’ menuju ujung-3’ dari untai tunggal DNA. Proses pemanjangan DNA yang diinginkan sesuai dengan panjang urutan basa nukleotida yang ditargetkan. Setiap satu kilobasa (1000 bp) yang akan diamplifikasi, memerlukan waktu 1 menit; bila kurang dari 500 bp, hanya diperlukan waktu 30 detik; dan pada kisaran 500-1000 bp perlu waktu 45 detik, namun apabila lebih dari 1 kb, akan memerlukan waktu 2 menit di setiap siklusnya. Adapun suhu ekstensi berkisar 70-72oC (Fatchiyah dkk., 2011). Urutan nukleotida gen tertentu dapat diketahui dengan menggunakan metode terminasi rantai dideoksiribonukleotida (atau metode Sanger). Metode dideoksi dikembangkan oleh ahli biokimia Inggris, Frederick Sanger. Metode ini menyintesis seperangkat untai DNA yang komplementer terhadap fragmen DNA awal. Setiap untai diawali oleh primer yang sama dan diakhiri sebuah dideoksiribonukleotida (ddNTP). ddNTP merupakan deoksiribonukleotida yang tidak memiliki oksigen pada atom nomor 3. Penggabungan ddNTP memutus untai DNA yang diisolasi, sebab ddNTP tidak memiliki gugus 3’-OH (Campbell dan Reece, 2010).
19
Gambar 1. Proses sekuensing menggunakan metode Sanger Ilmuwan menggunakan bioinformatika untuk menganalisis genom dan fungsinya. Beberapa lembaga-lembaga bioinformatika yang mengelola terkait data sekuen DNA, diantaranya adalah National Center for Biotechnology Information (NCBI), European Molecular Biology (EMB), dan DNA Data Bank Of Japan. Hasil sekuen DNA dapat dianalisis dengan mengunjungi salah satu situs yang ada pada lembaga tersebut. Lembaga tersebut menyediakan beberapa aplikasi-aplikasi yang memberikan informasi seputar DNA yang dianalisis (Campbell dan Reece, 2010). Beberapa aplikasi bioinformatika telah digunakan dalam menganalisis beragam informasi terkait dengan sekuen DNA, seperti aplikasi Bioedit dan aplikasi MEGA. Aplikasi ini dapat memberikan informasi terkait dengan hubungan
kekerabatan
(filogenetik)
diantara
organisme.
Hubungan
kekerabatan (filogenetik) diantara organisme dapat diketahui dengan menentukan nilai similaritas sekuen DNA yang dianalisis. Nilai similaritas DNA lebih dari 95% menunjukkan bahwa organisme yang dibandingkan merupakan satu spesies (Henry et al., 2000). Selain itu, aplikasi ini dapat
20
menentukan situs enzim restriksi sekuen DNA organisme tertentu. Situs pemotongan
enzim
restriksi
yang
sama
pada
sekuen
DNA
dapat
mengindikasikan bahwa sekuen DNA yang dianalisis merupakan organisme yang sama (Muzuni, 2014).
21
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juni tahun 2015 di Laboratorium Unit Mikrobiologi dan Unit Genetika, Jurusan Biologi, Fakultas
Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas
Halu Oleo (UHO) Kendari. B. Jenis Penelitian Penelitian
ini
merupakan
jenis
penelitian
eksplorasi
dengan
menggunakan pendekatan mikrobiologi dan molekuler. C. Bahan Penelitian Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah isolat Trichoderma sp. yang diperoleh dari koleksi Badan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Sulawesi Tenggara yang diisolasi dari perkebunan kakao Konawe. Bahan-bahan pendukung yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Bahan Pendukung penelitian dan fungsinya No 1 1
Bahan 2 PDB (Potato Dextrose Broth)
Satuan 3 mL
2 3
Agar PDA (Potato Dextrose Agar)
g -
4 5
Akuades Buffer CTAB (Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide) PC (Phenol Chloroform)
mL mL
Fungsi 4 Sebagai media cair pertumbuhan Trichoderma sp. Sebagai bahan pemadat media PDB Sebagai media padat pertumbuhan Trichoderma sp. Sebagai bahan pelarut Sebagai larutan buffer lisis
mL
Untuk mendenaturasi protein
6
22
Tabel 2. (Lanjutan) No Bahan 1 2 7 Sodium asetat 8 Etanol 100% 9 Etanol 70%
Satuan 3 mL mL mL
10
Loading dye
µL
11 12
Enzim RNAse Primer
µL µL
13
µL
14 15
Master Mix (dNTP, MgCl2, buffer, Taq DNA) Agarose (TAE) Tris Acetat EDTA
g mL
16
Etidium bromida
mL
Fungsi 4 Untuk menambah berat jenis DNA Untuk mengendapkan DNA Untuk menghilangkan garam pada DNA Sebagai pewarna, pemberat, dan penanda DNA saat migrasi Untuk mendegradasi RNA Untuk amplifikasi gen target/bahan sekuensing DNA Sebagai reagen PCR (Polymerase Chain Reaction) Sebagai media migrasi DNA Sebagai larutan buffer elektroforesis Untuk memendarkan DNA
D. Alat/Instrumen Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Alat dan fungsi yang digunakan pada penelitian No
Alat
Satuan
Fungsi
2
4 Untuk sterilisasi alat dan bahan secara panas basah Untuk mengamati sel Trichoderma sp. Untuk menentukan nilai absorbansi DNA Tempat pengerjaan secara aseptis Untuk mengaduk media secara otomatis Untuk memanaskan dan mengencerkan media Tempat menginkubasi Untuk menimbang sampel dan media dengan ketelitian sampai 0,0000 g Sebagai tempat mencampur bahan untuk membuat media Sebagai wadah menumbuhkan Trichoderma sp. Sebagai wadah menumbuhkan Trichoderma sp. Untuk mengukur volume larutan Untuk menginokulasi biakan Untuk sterilisasi dengan pemijaran
1 1
Autoklaf
3 -
2 3
Mikroskop Spektrofotometer
-
4 5
Laminar air flow Magnetic stirrer
-
6
Hot plate
-
7 8
Water bath Timbangan analitik
g
9
Gelas kimia
mL
10
Cawan petri
-
11
Tabung reaksi
-
12 13 14
Gelas ukur Jarum inokulasi Lampu spritus
mL -
23
Tabel 3. (Lanjutan) No Alat 1 2 15 Kaca objek
Satuan 3 -
16
Kaca penutup
-
17 18 19 20
Rak tabung reaksi Pipet tetes Alu dan mortal Sentrifugasi
-
21
Mikropipet
-
22
Tip
-
23
Eppendorf
-
24 25
Vorteks Spin down
-
26 27 28
Fotoforesis Bak elektroforesis Oven
-
29
Mesin PCR
-
30
Elektroforesis
-
Fungsi 4 Sebagai wadah menumbuhkan isolat dengan teknik slide culture Untuk menutup biakan yang akan diamati Tempat menyimpan tabung reaksi Untuk memindahkan larutan Sebagai alat pengerus bahan Untuk memisahkan suspensi berdasarkan berat molekul Untuk mengambil larutan dalam volume yang kecil (≤ 1 mL) Sebagai penampung larutan pada mikropipet Sebagai tempat mereaksikan larutan dalam volume yang kecil (≤ 1 mL) Untuk menghomogenkan larutan Untuk mengendapkan/menyatukan larutan Untuk menvisualisasi pita DNA Sebagai tempat elektroforesis DNA Untuk menguapkan sisa larutan yang terdapat pada DNA Sebagai alat reaksi PCR (Polymerase Chain Reaction) Untuk memisahkan zat berdasarkan berat molekul
E. Variabel Penelitian, Definisi Operasional, dan Indikator Penelitian 1. Variabel Penelitian Variabel yang akan diteliti beserta data yang akan dikumpulkan dalam penelitian ini sebagai berikut. a. Variabel bebas : Isolat Trichoderma sp. yang diisolasi dari perkebunan kakao Konawe b. Variabel terikat : Karakteristik morfologi dan molekuler fagmen rDNA isolat Trichoderma sp.
24
2. Definisi Operasional Definisi atau batasan dari variabel yang telah ditetapkan pada penelitian ini sebagai berikut. a. Isolat Trichoderma sp. adalah isolat fungi yang diperoleh dari koleksi Badan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) provinsi Sulawesi Tenggara yang diisolasi dari perkebunan kakao Konawe. b. Karakteristik morfologi adalah karakter atau ciri isolat Trichoderma sp. yang ditumbuhkan pada media PDA yang meliputi karakter morfologi koloni dan karakter morfologi sel. c. Karakteristik fragmen rDNA (ribosomal DNA) adalah karakter fragmen rDNA hasil amplifikasi dengan teknik polymerase chain reaction (PCR), yang meliputi uji kualitas dan kuantitaas DNA genom, hasil amplifikasi fragmen rDNA (Daerah ITS1, 5.8S, dan ITS2), urutan sekuen fragmen rDNA, hasil penyejajaran fragmen rDNA, situs pemotongan enzim restriksi, dan analisis pohon filogenetik. 3. Indikator Penelitian Indikator yang digunakan dalam penelitian adalah hasil karakterisasi morfologi koloni, morfologi sel isolat Trichoderma sp., dan hasil amplifikasi fragmen rDNA isolat Trichoderma sp., serta hasil sekuensing.
25
F. Prosedur Penelitian Prosedur kerja pada penelitian yaitu: 1. Sterilisasi Alat dan Media Peralatan dan bahan yang akan digunakan pada penelitian, terlebih dahulu disterilkan dengan metode pemanasan basah. Sterilisasi dengan pemijaran digunakan untuk sterilisasi ose. Sterilisasi alat menggunakan autoklaf bertekanan 1 atm 1210C, selama 30 menit. Alat-alat yang disterilkan umumnya terbuat dari gelas. Sterilisasi media menggunakan autoklaf bertekanan 1 atm 1210C, selama ±15-20 menit. 2. Penyiapan dan Pembuatan Media a. Media PDA (Potato Dextrose Agar) Media yang digunakan untuk peremajaan isolat Trichoderma sp. adalah PDA (Potato Dextrose Agar). Komposisi media PDA yaitu Agar 20 g, PDB {Potato Dextrose Broth (DifcoTM)} 24 g, dan akuades 1000 mL. Proses pembuatan media PDA yaitu sebanyak 24 g PDB, 20 g agar dilarutkan dalam 1000 mL akuades, lalu dipanaskan di hot plate dan dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer kemudian disterilisasi dengan autoklaf. b. Media PDB Media PDB sebanyak 24 g dilarutkan dalam 1000 mL akuades. Media dipanaskan dan dihomogenkan dengan menggunakan magnetic stirrer, lalu disterilisasi dengan menggunakan autoklaf.
26
3. Karakterisasi Morfologi a. Peremajaan Isolat Ketiga isolat Trichoderma sp. diinokulasikan pada media PDA miring dengan menggunakan jarum ose. Isolat diinkubasi pada suhu ruang hingga terbentuk spora. Ketiga isolat Trichodema sp. yang sudah membentuk spora diletakkan di dalam kulkas untuk menghambat pertumbuhannya. Karakterisasi morfologi Trichoderma sp. dapat menggunakan isolat yang terdapat PDA miring tersebut. b. Karakterisasi Morfologi Koloni Media PDA dipanaskan dengan menggunakan hot plate hingga berwujud cair. Media PDA yang telah cair dituang pada cawan petri steril dan dibiarkan hingga berwujud padat. Selanjutnya, Trichoderma sp. diinokulasi pada cawan petri dengan menggunakan metode titik. Isolat diinkubasi dengan suhu ruang selama 24 jam, dan diamati bentuk koloni, warna koloni, diameter, tekstur, dan permukaan koloni. Pengamatan dilakukan tiap 24 jam selama interval waktu 5 hari. c. Karakterisasi Morfologi Sel
Karakterisasi morfologi sel dilakukan dengan menggunakan metode slide culture. Media PDA dipanaskan dengan menggunakan hot plate hingga berwujud cair. Selanjutnya, isolat diinokulasi di kaca preparat steril dan isolat diteteskan dengan media PDA yang telah berwujud cair serta ditutup dengan menggunakan kaca penutup. Isolat diinkubasi pada suhu ruang selama 24 jam, dan diamati bentuk konidia,
27
konidiofor, dan fialid. Pengamatan dilakukan setiap 24 jam selama 3 hari. 4. Karakterisasi Molekuler a. Isolasi DNA Genom Trichoderma Isolasi DNA genom Trichoderma sp. menggunakan metode Cetyl Trimetyl Ammonium Bromide (CTAB) yang telah dimodifikasi (Muzuni, 2014). Sebanyak 0.2 gram miselium Trichoderma sp. digerus dan dimasukan ke dalam eppendorf 1.5 ml. Sampel ditambahkan dengan 600 µl buffer lisis CTAB dan larutan diinkubasi selama 30 menit pada suhu 65°C sambil dibolak-balik setiap 5 menit. Sampel diinkubasi ke dalam es selama 5 menit lalu disentrifugasi pada 10.000 rpm, suhu 4°C, selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan dengan 1x Volume Phenol Clorofom (PC). Selanjutnya sampel disentrifugasi pada 10.000 rpm, suhu 4°C, selama 10 menit. Supernatan diambil dan ditambahkan dengan 0,1 volume sodium asetat 3 M pH 5,2 kemudian ditambahkan dengan 2x volume etanol 100% lalu diinkubasi pada suhu -20°C selama 2 jam dan disentrifugasi 10.000 rpm, suhu 4°C, selama 20 menit. Selanjutnya pelet DNA dicuci dengan 0,5 ml etanol 70 %, lalu dikeringkan dan dilarutkan dalam 20 µl H2O. b. Desain Primer Sekuen rDNA dikumpulkan dari berbagai spesies Trichoderma sp.
yang
diperoleh
http://www.ncbi.nlm.gov.
dari Sekuen
data
GeneBank
disejajarkan
pada
dengan
situs program
28
ClustalW Alignment Bioedit, dan ditentukan sekuen yang memiliki daerah homologi tinggi. Desain primer spesifik yang digunakan dalam penelitian ini diambil dari bagian ujung 3’ 18S rRNA dan bagian ujung 5’ 28S rRNA (Gambar 2). Sekuen yang dijadikan primer terdiri dari 22 bp. Primer yang digunakan adalah Tricho-F (5’-CCGAGTTTACAACT CCCAAACC-3’) dan Tricho-R (5’-CTGAAATGTTGACCTCGGA TCA-3’). Primer tersebut dapat mengamplifikasi daerah ITS1, 5S rRNA, dan ITS2. Perbedaan urutan nukleotida pada daerah tersebut dapat mengindikasikan perbedaan spesies. Tricho-F
3’
Tricho-R
Daerah Amplifikasi
5’
Gambar 2. Struktur Gen rRNA c. Amplifikasi Fragmen rDNA dengan Teknik PCR Fragmen rDNA Trichoderma sp. diamplifikasi dengan teknik PCR. Volume total PCR sebanyak 10 µl yang terdiri dari DNA genom/template (100 ng) sebanyak 1 µl (10µM), primer Tricho-F dan Tricho-R masing-masing 0.5 µl, 2x master mix 5 µl, dan dH2O sebanyak 3 µl. Program PCR terdiri atas pre-PCR pada suhu 94°C selama 5 menit; proses PCR sebanyak 35 siklus yang meliputi denaturasi 94°C selama 1 menit, penempelan primer (annealing) 59°C selama 30 detik, pemanjangan rantai 72°C selama 90 detik; dan postPCR pada suhu 72°C selama 5 menit.
29
d. Uji Kuantitas dan Kualitas DNA 1. Pembuatan Agarose 1% Agarose ditimbang sebanyak 0.3 gram, dan agarose ditambahkan dengan 30 ml larutan TAE (Tris Acetat EDTA). Selanjutnya, agarose dipanaskan dengan hot plate, dan larutan dituang di bak cetakan hingga membentuk lempengan agar yang memiliki sumuran. Lempengan agar tersebut dimasukan ke dalam bak elektroforesis dengan posisi sumuran berada pada kutub negatif. 2. Migrasi DNA (Teknik Elektroforesis) DNA dengan volume 3 µL ditambahkan dengan 1 µL larutan loading dye, dan suspensi dihomogenkan dengan menggunakan mikropipet. Selanjutnya, suspensi dimasukan ke dalam sumuran agar, dan diberi larutan buffer TAE 1x (Tris Acetat EDTA) hingga lempengan agar terendam. Bak elektroforesis diberi arus listrik 1A 80 volt selama 30 menit. Lempengan agar direndam di dalam larutan etidium bromida selama 5 menit, lalu agar direndam pula di larutan akuades selama 5 menit. Agar divisualisasi menggunakan fotoforesis dengan bantuan sinar ultraviolet. Pita yang berpendar di lempengan agar mengindikasi adanya pita DNA. 3. Spektrofotometer DNA dengan volume 5 µL dilarutkan kedalam 995 µL akuades dengan menggunakan kuvet. Suspensi dihitung jumlah absorbansinya
30
pada gelombang 260 nm (DNA) dan gelombang 280 nm (protein). Konsentrasi DNA dapat dihtung dengan rumus: [DNA]= A260 x 50 µg/mL x FP (Rumus 1) Keterangan : [DNA] : Konsentrasi DNA A260
: Nilai absorbansi panjang gelombang 260 nm
50µg/mL : Konstanta DNA FP
: Faktor Pengenceran
e. Sekuensing Sekuensing dilakukan dengan menggunakan alat DNA sequencer ABI Prism 377 yang terdapat di PT. Genetika Science. Sekuensing dilakukan dengan 1 sampel DNA yang dikombinasikan dengan primer forward dan primer reverse. Proses pengurutan basa nukleotida dengan mengikuti metode Sanger. G. Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil karakterisasi morfologi dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan karakteristik variabel penelitian, khususnya variabel terikat. Data yang diperoleh dari hasil karakterisasi molekuler dianalisis dengan empat jenis program, yaitu Bioedit, Nebcutter 2.0, MAFFT (Multiple Sequence Alignment Program), dan Phydit. Aplikasi Bioedit dengan program ClustalW Alignment untuk menganalisis kesejajaran fragmen rDNA sampel, sedangkan aplikasi Nebcutter 2.0 untuk menganalisis situs enzim restriksi fragmen rDNA. Hubungan filogenetik dikonstruksi dengan program MAFFT (Multiple
31
Sequence Alignment Program) yang tersedia pada situs (http://mafft katoh.com) untuk menganalisis filogenetik sekuen sampel. Jumlah sekuen yang dianalisis terdiri dari 3 sekuen sampel dan 9 sekuen pembanding. Sekuen pembanding terdiri dari Trichoderma asperellum (LC057426.1), Trichoderma koningiopsis (FN369563.1), Trichodema gamsii (FN396558.1), Trichoderma petersenii (Z95923.1), Trichoderma viridarium (X93987.1), Trichoderma hamatum (FN396561.1), Trichoderma citrinoviride (AJ230663.1), Fusarium oxsporum (LN835265.1), dan Phytophthora palmivora (AY208126.1). Jumlah nukleotida yang berbeda pada isolat yang dibandingkan digunakan aplikasi Phydit.
32
H. Bagan Alur Sistematika Penelitian Skema tahapan kegiatan pada penelitian ini ditunjukkan pada Gambar 3. Isolat Trichoderma sp. Diremajakan Metode Titik
Slide Culture
Isolasi DNA PCR
Diamati
Diamati Morfologi Koloni
Morfologi Sel
Sekuensing Analisis Sekuen
Koloni Karakter Morfologi
Koloni
Karakter Gen rRNA
Karakteristik Morfologi dan Molekuler gen rRNA Trichoderma Gambar 3. Skema Tahapan Penelitian
33
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Karakteristik Morfologi Koloni Trichoderma sp. Isolat yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari tiga isolat Trichoderma sp. yang merupakan koleksi dari Badan Penerapan Teknologi Pertanian (BPTP) Provinsi Sulawesi Tenggara yang diisolasi dari perkebunan kakao Konawe. Tiga isolat Trichoderma sp. yang digunakan pada penelitian ini diberi simbol A1, B2, dan C3. Pengamatan morfologi koloni ketiga isolat Trichoderma sp. dilakukan setiap hari selama 4 hari inkubasi. Parameter yang diamati pada proses karakterisasi morfologi koloni isolat Trichoderma sp. terdiri dari bentuk koloni, warna koloni, tekstur, diameter pertumbuhan, garis-garis radial, dan zonasi (Gusnawaty, 2014). Karakteristik morfologi koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. berdasarkan pengamatan pada media PDA tercantum pada Tabel 4. Tabel 4. Karakteristik morfologi koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA No. Kode Isolat A1 B2 C3 1 Bentuk koloni Bulat Bulat Bulat 2 Warna koloni Hijau Hijau Hijau keputihan keputihan keputihan 3 Tekstur Menyerupai Menyerupai Menyerupai tepung tepung tepung 4 Diameter 88 mm 79 mm 88,08 mm 5 Garis radial Ada Ada Ada 6 Zonasi Ada Ada Ada
Tabel 4 menunjukkan bahwa karakteristik morfologi koloni dari isolat A1, B2, dan C3 memiliki persamaan dan perbedaan karakter. Persamaan
34
karakter dari ketiga isolat Trichoderma sp. meliputi bentuk koloni, warna koloni, tekstur, garis-garis radial, dan zonasi, sedangkan perbedaan karakter dari ketiga isolat tersebut hanya terletak pada diameter pertumbuhan koloni. Karakteristik morfologi ketiga isolat tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Isolat A1, B2, dan C3 memiliki koloni yang berbentuk bulat (Gambar 4). Bentuk koloni yang bulat disebabkan karena arah pertumbuhan hifa/miselium vegetatif Trichoderma sp. menyebar ke segala arah pada media PDA. Hal ini mengindikasikan pula bahwa tiap hifa/miselium Trichoderma sp. memiliki laju pertumbuhan yang hampir sama. Hal ini sesuai dengan hasil karakterisasi Trichoderma sp. yang dilakukan oleh Sriram et al. (2013). Ketiga isolat Trichoderma sp. memperlihatkan warna koloni hijau keputihan pada media PDA selama masa pertumbuhan 4 hari. Pola warna koloni yang terbentuk pada pertumbuhan hifa ketiga isolat Trichoderma sp. awalnya berwarna putih, dan selanjutnya membentuk warna hijau di tengah koloni. Kedua warna koloni tersebut selalu terbentuk secara bergantian selama pertumbuhan isolat Trichoderma sp. (Gambar 4). Warna putih pada koloni ketiga isolat Trichoderma sp. menandakan pertumbuhan hifa vegetatif yang mengabsorbsi nutrisi pada media PDA. Selain itu, warna hijau pada koloni ketiga isolat Trichoderma sp. menandakan pertumbuhan hifa generatif yang mengalami sporulasi atau memproduksi spora.
35
Gambar 4. Pengamatan karakteristik morfologi koloni isolat Trichoderma sp. pada media PDA, a: Isolat A1, b: isolat B2, c: isolat C3, 1: Zonasi, 2: Garis radial. Pola warna koloni yang terbentuk pada masa pertumbuhan koloni ketiga isolat Trichoderma sp. menunjukkan bahwa pertumbuhan hifa vegetatif dan hifa generatif Trichoderma sp. terjadi secara bergantian. Pola pertumbuhan hifa ini terus berlanjut hingga seluruh permukaan media PDA tertutupi oleh hifa Trichoderma sp. Pada akhirnya, hifa generatif isolat Trichoderma sp. membentuk spora di semua bagian koloni. Pembentukan warna koloni tersebut dipengaruhi media pertumbuhan yang digunakan. Tekstur koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. menyerupai tepung (Gambar 4). Hal ini merupakan implikasi dari serabut-serabut hifa yang menyerupai benang-benang dan di ujung hifa tersebut terdapat butiran-butiran spora. Selain itu, selama pertumbuhan ketiga isolat Trichoderma sp. terbentuk daerah zonasi dan garis-garis radial.
36
Gambar 4 yang diberi simbol angka 1 menunjukkan area zonasi yang terbentuk pada koloni ketiga isolat Trichoderma sp. berwarna putih. Daerah zonasi merupakan zona
yang terbentuk pada bagian koloni tertentu yang
memiliki karakteristik yang berbeda dengan bagian koloni yang lain. Terbentuknya zonasi ini disebabkan karena pola pertumbuhan hifa vegetatif dan hifa generatif terjadi secara bergantian. Pola zonasi yang terbentuk pada koloni dipengaruhi oleh warna spora yang diproduksi oleh kapang tertentu. Gambar 4 yang diberi simbol angka 2 menunjukkan garis radial yang terbentuk pada ketiga koloni Trichoderma sp. Garis radial ini merupakan garis lurus yang terbentuk dari pusat koloni menuju ke tepi koloni. Karakter ini dapat dijadikan salah satu bagian dari ciri khas yang dimiliki oleh koloni Trichoderma sp. Menurut Shofiana dkk. (2015), garis radial yang berbentuk garis lurus dari tengah koloni menuju ke tepi koloni merupakan salah satu karakter khas dari koloni Trichoderma sp. Garis radial ini terbentuk seiring dengan peningkatan diameter koloni Trichoderma sp. Pengamatan diameter koloni ketiga isolat Trichoderma sp. menunjukkan bahwa isolat A1, B2, dan C3 memiliki diameter koloni yang berturut-turut mencapai 20,75 mm, 15,9 mm, dan 21 mm pada hari pertama. Diameter koloni ketiga isolat Trichoderma sp. pada hari kedua mengalami peningkatan yang dratis hingga berturut-turut mencapai 48,05 mm, 45,55 mm, dan 47,1 mm. Hari ketiga diameter koloni ketiga isolat tersebut berturut-turut 79,15 mm, 65 mm, 74,54 mm, sedangkan hari keempat diameter koloni ketiga isolat Trichoderma sp. berturut-turut mencapai 88 mm, 79 mm, dan 88,08 mm (Tabel 5).
37
Tabel 5. Diameter koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA Diameter (mm) Isolat Hari ke-1 Hari ke-2 Hari ke-3 Hari ke-4 A1 20,75 48,05 79,15 88 B2 15,9 45,55 65 79 C3 21 47,1 74,54 88,08 Tabel 5 menunjukkan bahwa pertambahan diameter koloni isolat A1, B2, dan C3 pada hari kedua inkubasi mencapai lebih dari 2 kali lipat ukuran diameter koloni pada hari sebelumnya, sedangkan pertambahan diameter koloni pada hari ketiga dan keempat hanya mencapai sekitar 1 kali lipat dari diameter koloni hari sebelumnya. Peningkatan ukuran diameter koloni pada hari kedua disebabkan karena pada waktu tersebut Trichoderma sp. lebih fokus pada pembentukan hifa vegetatif. Hifa vegetatif merupakan hifa yang menempel pada substrat media dan berperan dalam mengabsorbsi nutrisi, sehingga memperluas area penyebaran hifa tersebut. Pertambahan ukuran diameter koloni ketiga isolat pada hari ketiga dan keempat inkubasi dipengaruhi oleh pertumbuhan hifa generatif. Hifa generatif merupakan hifa yang pertumbuhanya mengarah ke atas. Hifa ini berperan dalam memproduksi spora dan mengambil oksigen dari udara. Pembentukkan hifa ini menyebabkan penurunan pertumbuhan hifa vegetatif Trichoderma sp. Selain itu, hari keempat inkubasi hifa vegetatif ketiga isolat Trichoderma sp. sudah memenuhi permukaan media. Pertambahan diameter koloni dari ketiga isolat Trichoderma sp. mengindikasikan bahwa laju pertumbuhan koloni ketiga isolat Trichoderma sp. tergolong cepat. Pertumbuhan koloni yang cepat merupakan salah satu ciri yang dimiliki oleh genus Trichoderma sp. (Munir et al., 2013). Hal inilah yang
38
menjadi salah satu keunggulan yang dimiliki oleh Trichoderma sp. untuk berkompetisi dengan fungi patogen dalam mengabsorbsi nutrisi. B. Karakteristik Morfologi Sel Trichoderma sp. Karakter morfologi sel yang diamati pada ketiga isolat Trichoderma sp. terdiri dari jenis spora aseksual, bentuk konidia, warna konidia, tepi konidia, rhizoid, tipe hifa, percabangan konidiofor, warna konidiofor, letak massa spora, bentuk fialid, dan perkembangan spora membentuk hifa. Karakter tersebut dapat digunakan untuk mengidentifikasi genus Trichoderma (Siddiquee et al., 2007). Pengamatan morfologi sel ketiga isolat Trichoderma sp. dilakukan dengan menggunakan metode slide culture. Karakteristik morfologi sel ketiga isolat Trichoderma sp. tercantum pada Tabel 6. Tabel 6. Karakteristik morfologi sel dari ketiga isolat Trichoderma sp. pada media PDA Kode isolat Karakter No. mikroskopis A1 B2 C3 1 Spora aseksual Konidia Konidia Konidia 2 Bentuk konidia Oval Oval Oval 3 Warna konidia Hijau Hijau Hijau 4 Tepi konidia Rata dan Rata dan Rata dan Halus Halus Halus 5 Rhizoid Tidak ada Tidak ada Tidak ada 6 Tipe hifa Septa Septa Septa 7 Percabangan Teratur Teratur Teratur konidiofor 8 Warna konidiofor Tidak Tidak Tidak berwarna berwarna berwarna 9 Letak massa spora Ujung fialid Ujung fialid Ujung fialid 10 Bentuk fialid Menyerupai Menyerupai Menyerupai termos termos termos 11 Perkembangan Membesar Membesar Membesar konidiospora membentuk hifa
39
Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa ketiga isolat Trichoderma sp. yang diamati memiliki karakteristik morfologi sel yang sama. Isolat A1, B2, dan C3 memiliki spora aseksual dengan membentuk konidia, dan belum diketahui jenis spora seksualnya. Hal inilah yang menyebabkan Trichoderma sp. dikelompokkan ke dalam kelas Deuteromycetes (Umrah dkk., 2009). Hasil pengamatan karakteristik morfologi sel ketiga isolat tersebut ditampilkan pada Gambar 5 - 7.
a
c
b
d
e
Gambar 5. Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat A1 menggunakan perbesaran 400x, a: Konidiofor dan massa spora, b: Fialid, C: Konidia, d: Hifa septa, e: Konidia membentuk hifa.
40
a
b
c
d
e
Gambar 6. Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat B2 menggunakan perbesaran 400x, a: Konidiofor dan massa spora, b: Fialid, C: Konidia, d: Hifa septa, e: Konidia membentuk hifa.
41
a
b
c
e d
Gambar 7. Hasil pengamatan morfologi sel pada isolat C3 menggunakan perbesaran 400x, a: Konidiofor dan massa spora, b: Fialid, C: Konidia, d: Hifa septa, e: Konidia membentuk hifa. Gambar 5 – 7 membuktikan bahwa morfologi sel isolat A1, B2, dan C3 mempunyai karakteristik yang sama. Hal ini dapat mengindikasikan ketiga isolat tersebut merupakan spesies yang sama. Gambar 5a, 6a, dan 7a menunjukkan bahwa percabangan konidiofor ketiga isolat tersebut cenderung teratur dan tidak berwarna (hialin), dan tidak terdapat rhizoid serta massa spora terbentuk di ujung fialid. Bagian konidiofor ini berfungsi sebagai tempat melekatnya fialid dan saluran penyebaran nutrisi ke bagian tubuh fungi yang lain (Choi et al., 2003). Percabangan konidiofor berhubungan erat dengan pembentukan fialid. Banyaknya percabangan konidiofor berbanding lurus dengan peningkatan jumlah fialid. Konidia terbentuk di ujung fialid, sehingga semakin banyak percabangan konidiofor maka laju reproduksi Trichoderma sp.
42
semakin tinggi pula. Hal inilah yang menyebabkan Trichoderma sp. memiliki pertumbuhan yang cepat (Jayalal dan Adikaram, 2007). Konidiofor akan berkembang membentuk fialid. Semua spesies kapang yang tergolong ke dalam genus Trichoderma pasti memiliki fialid (Kubicek dan Harman, 2004). Gambar 5b, 6b, dan 7b menunjukkan bahwa karakteristik fialid pada isolat A1, B2, dan C2 memiliki fialid yang menyerupai bentuk termos, ujungnya meruncing, dan pangkal fialid yang tumpul. Pangkal fialid yang tumpul membantu dalam berlekatan dengan konidiofor. Massa spora terletak di ujung fialid, dan spora akan terlepas dari fialid ketika akan melakukan reproduksi. Isolat A1, B2, dan C3 memiliki spora dengan tipe konidia. Gambar 5c, 6c, dan 7c menunjukkan bahwa isolat A1, B2, dan C3 memiliki konidia yang berbentuk oval, tepi rata dan halus serta berwarna hijau. Jenis warna yang terbentuk pada konidia dipengaruhi oleh zat pigmen dan jenis media pertumbuhannya. Satu spesies Trichoderma sp. dapat menghasilkan beberapa jenis warna konidia. Hal ini disebabkan karena pembentukan warna oleh zat pigmen pada Trichoderma sp. dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang di sekitarnya, salah satunya adalah cahaya. Hal ini sesuai dengan hasil karakterisasi Trichoderma sp. yang dilakukan
oleh Singh et al., (2014).
Konidia pada isolat A1, B2, dan C3 berkembang membentuk hifa dengan memperbesar ukurannya. Konidia berperan penting dalam proses reproduksi Trichoderma sp. dan spesies kapang lainnya yang termasuk dalam kelas Deuteromycetes. Pada
43
kondisi yang cukup nutrisi, konidia akan berkembang membentuk hifa. Hifa merupakan kumpulan sel yang membentuk benang atau filamen pada fungi multiseluler (kapang). Kapang mengabsorbsi nutrisi dan mengambil oksigen di lingkungan dengan menggunakan hifa (Arora, 2004). Gambar 5d, 6d, dan 7d menunjukkan bahwa isolat A1, B2, dan C3 memiliki hifa bersepta. Hal ini ditandai dengan terbentuknya garis horizontal pada hifa. Menurut Hanson (2008), tipe hifa bersepta merupakan salah satu ciri sel yang dimiliki oleh setiap spesies Trichoderma sp. Ada beberapa tipe hifa lain pada kapang, diantaranya dapat dibagi berdasarkan fungsinya. Hifa dapat dibedakan menjadi dua tipe, jika dibagi berdasarkan fungsinya, yaitu hifa vegetatif dan hifa generatif. Hifa vegetatif merupakan hifa yang menempel di permukaan substrat atau media, sedangkan hifa generatif merupakan hifa yang mengarah ke atas yang berperan dalam proses sporulasi dan pengambilan oksigen di udara (Misra dan Deshmukh, 2009). Pada awal pertumbuhan Trichoderma sp. hifa terbentuk dari hasil perkembangan konidia. Gambar 5e, 6e, dan 7e menunjukkan bahwa konidia isolat A1, B2, dan C3 membentuk struktur filamen hifa dari konidia. Konidia berperan penting dalam mengabsorbsi nutrisi selama pembentukan hifa tersebut. Hasil perkembangan hifa akan membentuk miselium sehingga struktur konidia tidak akan terlihat lagi. Konidia akan terbentuk lagi setelah terbentuk hifa generatif.
44
C. Karakteristik Molekuler fragmen rDNA Trichoderma 1. Uji Kualitas dan Kuantitas DNA Genom Isolasi DNA genom ketiga isolat Trichoderma sp. dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) yang telah dimodifikasi. Kualitas dan kuantitas hasil isolasi DNA genom ketiga isolat dapat diketahui dengan pengujian menggunakan metode elektroforesis dan spektrofotometri. Elektroforesis merupakan proses pergerakan (migrasi) DNA berdasarkan ukuran molekulnya dengan bantuan arus listrik (Yuwono, 2005). Spektrofotometri merupakan metode pengukuran nilai absorbansi sinar ultra violet (UV) terhadap larutan DNA. Hasil elektroforesis menunjukkan bahwa isolat A1, B2, dan C3 terbentuk adanya pita yang tegas, tetapi masih terdapat pola smear dengan jumlah yang sedikit (Gambar 8). Pola smear yang terbentuk dari proses visualisasi elektroforesis DNA genom ketiga isolat Trichoderma sp. menunjukkan masih adanya senyawa- senyawa kontaminan
baik RNA maupun protein.
Terbentuknya pita (band) menunjukkan bahwa DNA genom ketiga isolat Trichoderma sp. telah berhasil diisolasi. Pita yang tegas pada hasil elektroforesis menunjukkan bahwa ketiga isolat Trichoderma sp. memiliki kualitas yang baik. Selain itu, ketebalan pita yang terbentuk pada elektroforesis dapat menunjukkan kuantitas konsentrasi DNA genom.
45
1
2
3 Pita DNA Pola smear
Gambar 8. Hasil elektroforesis DNA genom isolat Trichoderma sp. pada gel agarose 1%, 1: Isolat A1, 2: Isolat B2, 3: Isolat C3. Gambar 8 menunjukkan bahwa hasil isolasi DNA genom ketiga isolat Trichoderma sp. memiliki konsentrasi DNA yang cukup tinggi. Konsentrasi DNA mempengaruhi keberhasilan proses PCR. Ketebalan pita pada masingmasing isolat Trichoderma sp. berbeda-beda. Pita DNA yang terbentuk, jika dilihat dari ketebalanya berturut-turut adalah isolat A1, C3, dan B2 (Gambar 8). Isolat A1 terbentuk pita yang lebih tebal, dibandingkan dengan kedua isolat C3 dan B2. Ketebalan pita DNA genom pada hasil elektroforesis mengindikasikan bahwa konsentrasi DNA genom A1 lebih tinggi dibandingkan dengan kedua isolat lainnya, sedangkan konsentrasi DNA genom B2 paling rendah diantaranya kedua isolat lainnya. Selain itu, kualitas dan kuantitas DNA genom
dapat
ditentukan
berdasarkan
nilai
absorbansi
pada
alat
spektrofotometer. Kualitas dan kuantitas DNA genom dapat ditentukan berdasarkan kemurnian dan konsentrasi DNA. Kemurnian DNA genom dapat dihitung berdasarkan perbandingan nilai absorbansi DNA dengan nilai absorbansi protein. Pengukuran nilai absorbansi DNA genom dan protein menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang masing-masing λ 260 nm dan λ
46
280 nm. Penggunaan panjang gelombang tersebut karena proses penyerapan maksimum sinar UV terhadap pita DNA dan protein masing-masing dengan panjang λ 260 nm dan panjang λ 280 nm. DNA murni dapat menyerap cahaya ultraviolet karena adanya basa purin dan pirimidin. Hasil pengukuran spektrofotometer menunjukkan bahwa nilai kemurnian DNA genom isolat A1 adalah 1,73, sedangkan kemurniaan DNA genom isolat B2 dan C3 masing-masing 1,74 (Tabel 7). Hal ini menunjukkan bahwa hasil isolasi DNA genom ketiga isolat tersebut masih mengandung senyawa kontaminan berupa protein. Nilai tersebut membuktikan bahwa pola smear yang terbentuk pada hasil elektroforesis DNA genom ketiga isolat merupakan kontaminan protein. Konsentrasi DNA genom isolat A1 sebesar 1.710 ng/µL, sedangkan konsentrasi DNA genom isolat B2 dan C3 masing-masing sebesar 1.420 ng/µL dan 1.480 ng/µL (Tabel 7). Nilai kemurniaan DNA berdasarkan hasil perbandingan nilai absorbansi DNA dan protein terletak pada rasio 1,8-2,0. Nilai rasio >2,0 menunjukkan bahwa DNA genom yang diisolasi masih mengandung senyawa kontaminan berupa RNA, sedangkan nilai rasio <1,8 menunjukkan bahwa DNA genom yang diisolasi masih mengandung senyawa kontaminan berupa protein (Fatchiyah dkk., 2011). Tabel 7. Hasil penghitungan spektrofotometri DNA genom Absorbansi No Sampel Kemurnian DNA λ 260 λ 280 1 Blanko 0,00 0,00 2 Isolat A1 0,171 0,099 1,73 3 Isolat B2 0,142 0,082 1,74 4 Isolat C3 0,148 0,085 1,74
(ng/µl) 1.710 1.420 1.480
47
2. Amplifikasi Fragmen rDNA dengan Teknik PCR Hasil visualisasi elektroforesis menunjukkan bahwa fragmen rDNA ketiga isolat Trichoderma telah berhasil diamplifikasi dengan teknik PCR menggunakan primer Tricho-F dan Tricho R. Hal ini ditandai dengan terbentuknya pita (band) yang jelas pada gel elektroforesis (Gambar 9). Nukleotida rDNA yang diamplifikasi oleh primer tersebut hanya pada daerah ITS1, 5.8S rRNA, dan ITS2.
M
1
2
3
1000 bp 750 bp 500 bp
Pita fragmen rDNA
250 bp
Gambar 9.
Hasil elektroforesis amplifikasi fragmen rDNA ketiga isolat meng- gunakan primer Tricho-F dan Tricho-R pada gel agarose 1%. M : Marker 1 kb, 1: Isolat A1, 2: Isolat B2, 3: Isolat C3.
Hasil amplifikasi fragmen rDNA dengan teknik PCR menggunakan primer Tricho-F dan Tricho R menunjukkan bahwa ketiga isolat Trichoderma sp. memiliki urutan nukleotida sekitar 500 bp. Hal ini sesuai dengan dugaan bahwa produk PCR berukuran sekitar 500 bp karena primer Tricho-F dan Tricho-R yang digunakan dalam teknik PCR didesain mengapit daerah ITS1, 5S rRNA, dan ITS2 rRNA dengan ukuran total 532 bp. Keberhasilan amplifikasi DNA dengan menggunakan teknik PCR dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah kemurnian DNA cetakan/template dan spesifitas primer. Tingkat kemurnian DNA cetakan sangat penting, karena tingkat kemurnian suspensi DNA yang rendah dapat
48
mempengaruhi reaksi amplifikasi dan dapat menghambat kerja enzim DNA polimerase (Fatchiyah, 2011). Secara umum, panjang primer berkisar antara 18-30 basa. Ukuran primer yang kurang dari 18 basa akan menyebabkan spesifitas primer rendah dan memungkinkan terjadinya penempelan primer di tempat lain yang tidak diinginkan (mispriming), sehingga berpengaruh terhadap spesifisitas dan efisiensi proses PCR (Handoyo dan Rudiretna, 2001). 3. Urutan Sekuen Fragmen rDNA Isolat Trichoderma sp. Hasil sekuensing dengan menggunakan alat sequencer ABI Prism menunjukkan bahwa nukleotida yang berhasil diamplifikasi oleh primer Tricho-F dan Tricho-R terdiri daerah ITS1, 5.8S rRNA, ITS2, dan beberapa nukleotida 28S rRNA. Nukleotida isolat A1 yang berhasil diamplifikasi 528 bp, sedangkan isolat B2 dan C3 nukleotida yang teramplifikasi masing-masing sebanyak 529 bp (lampiran 7). Isolat A1 dan B2 memiliki fragmen ITS 1 masing-masing sebanyak 183 bp, sedangkan fragmen isolat C3 sebanyak 182 bp. Perbedaan urutan fragmen ITS1 isolat A1, B2, dan C3 terletak pada urutan ke 09-12 berdasarkan hasil penyejajaran menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit (Gambar 10). Urutan nukleotida ke 09-12 fragmen ITS1 isolat A1 terdiri dari TACA, sedangkan isolat B2 dan C3 memiliki urutan nukleotida yang ke 09-12 masingmasing ACAA dan ACA (Gambar 10).
Gambar 10. Hasil penyejajaran sekuen fragmen ITS1 isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit
49
Isolat A1, B2, dan C3 memiliki urutan nukleotida gen 5.8S rRNA dan fragmen ITS2 yang sama. Gen 5.8S rRNA ketiga isolat tersebut memiliki urutan nukleotida masing-masing sebanyak 156 bp (Gambar 11). Isolat A1, B2, dan C3 memiliki fragmen ITS2 masing-masing sebanyak 175 bp (Gambar 12). Persamaan urutan nukleotida pada urutan ITS diantara organisme dapat mengindikasikan tingkat kekerabatan yang sangat dekat.
Gambar 11. Hasil penyejajaran sekuen gen 5.8S rRNA isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit
Gambar 12. Hasil penyejajaran sekuen fragmen ITS2 A1, B2, dan C3 menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit Beberapa urutan nukleotida gen 28S rRNA ketiga isolat teramplifikasi oleh primer Tricho-F dan Tricho-R. Gen 28S rRNA bukan merupakan sekuen target pada penelitian ini. Hal ini disebabkan karena beberapa urutan nukleotida gen 28S rRNA termasuk dalam urutan nukleotida primer Tricho-R. Gen 28S rRNA Isolat A1 yang teramplifikasi oleh primer tersebut sebanyak 14 bp, sedangkan isolat B2 dan C3 masing-masing sebanyak 15 bp dan 16 bp (Gambar 13). Perbedaan beberapa nukleotida gen 28S rRNA pada isolat A1, B2, dan C3 disebabkan oleh adanya proses sekuensing. Hal ini didukung karena ketiga isolat tersebut menggunakan satu primer yang sama.
50
Gambar 13. Hasil penyejajaran beberapa nukleotida gen 28S rRNA isolat A1, B2, dan C3 yang teramplifikasi oleh primer Tricho-F dan Tricho-R menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit 4. Hasil Penyejajaran Fragmen rDNA Hasil penyejajaran fragmen rDNA ketiga sampel dari berbagai spesies Trichoderma sp. dengan menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit menunjukkan terbentuknya tanda gap (-) (Gambar 14). Tanda gap tersebut mengindikasikan terjadinya mutasi pada fragmen rDNA sampel. Mutasi gen merupakan perubahan yang terjadi pada nukleotida DNA yang mengkode suatu gen tertentu. Mutasi gen pada dasarnya merupakan mutasi titik. Mutasi titk merupakan perubahan kimiawi pada satu atau beberapa pasangan basa dalam satu gen tunggal.
Gambar 14. Hasil Penyejajaran fragmen rDNA isolat dengan berbagai sekuen fragmen rDNA spesies Trichoderma menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit Hasil penyejajaran dengan menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit sekuen fragmen rDNA dimulai dengan urutan nukleotida ke-50.
51
fragmen rDNA A1 dan C3 urutan nukleotida ke-58 dan ke-614 terlihat adanya tanda gap. Hal ini menunjukkan bahwa kedua gen tersebut diestimasi mengalami mutasi dalam tipe delesi, karena hilangnya salah satu nukleotida pada gen tersebut (Hidayat dkk., 2008). Selain itu, urutan nukleotida ke-58 pada sekuen B2 berupa basa nitrogen timin (T), sedangkan pada gen rRNA spesies yang lain berupa basa nitrogen adenin (A). Perbedaan tersebut kemungkinan besar menunjukkan bahwa fragmen rDNA B2 mengalami proses mutasi dengan tipe substitusi. Mutasi tipe substitusi menunjukkan bahwa terjadinya pergantian urutan nukleotida yang bukan urutan nukleotida normalnya. Peristiwa mutasi dapat menimbulkan terjadinya keragaman genetik pada makhuk hidup. 5. Situs Pemotongan Enzim Restriksi Situs pemotongan enzim restriksi fragmen rDNA ketiga isolat Trichoderma sp. dengan menggunakan program Nebcutter menunjukkan bahwa ketiga isolat memiliki situs pemotongan enzim restriksi yang sama. Enzim restriksi merupakan enzim yang memiliki kemampuan memotong fragmen DNA pada urutan basa nukleotida tertentu. Situs-situs pemotongan enzim restriksi dapat digunakan sebagai penanda molekuler organisme spesies lokal tertentu, sehingga membantu dalam proses identifikasi secara cepat tanpa melakukan proses sekuensing. Hasil analisis program NEBcutter menunjukkan bahwa fragmen ITS A1, B2, dan C3 memiliki situs pemotongan enzim restriksi endonuklease yang sama. Enzim-enzim restriksi endonuklease yang memotong fragmen rDNA, diantaranya adalah HaeII, AleI, dan EcoRI (Gambar 15).
52
Posisi pemotongan yang dapat dikenali tiap enzim restriksi bersifat khas. Hal inilah yang menyebabkan situs pemotongan enzim restriksi dapat digunakan untuk mengidentifikasi organisme tertentu. Situs pemotongan yang dikenali oleh enzim restriksi EcoRI pada ketiga isolat tersebut terletak pada urutan nukleotida yang ke-261, sedangkan enzim restriksi AleI dan HaeII mampu memotong pada urutan nukleotida berturut-turut yang ke-394 dan 97. Situs pemotongan ketiga enzim restriksi tersebut berbeda-beda tiap organisme.
Gambar 15. Enzim restriksi fragmen rDNA pada daerah ITS1, 5S, ITS2 isolat A1, B2, dan C3 menggunakan program NEBcutter 2.0 6. Analisis Pohon Filogenetik Pohon filogenetik merupakan ilustrasi evolusi yang terjadi pada sekelompok organisme tertentu yang berasal dari nenek moyang yang sama, yang disusun berdasarkan kesamaan dalam beberapa hal, seperti gen dan protein (Ochieng et al., 2007). Hal ini bertujuan untuk mengetahui hubungan
53
kekebaratan antar organisme. Hubungan kekerabatan ketiga isolat Trichoderma sp. dianalisis dengan menggunakan program MAFFT yang tersedia pada situs (http://mafft katoh.com). Konstruksi pohon filogenetik pada penelitian ini berdasarkan urutan sekuen fragmen rDNA yang terdiri dari daerah ITS1, 5.8S rRNA, ITS2 dengan menggunakan metode algoritma Neighbour-joining 1000x replikasi. Nilai yang tertera pada percabangan pohon filogenetik merupakan nilai bootstrap. Nilai bootstrap
menunjukkan tingkat
keakuratan
percabangan
pada
pohon
filogenetik (Muzuni, 2014). Jumlah sekuen yang dianalisis pada pohon filogenetik ini berjumlah 12 sekuen yang terdiri atas 3 sekuen sampel, dan 9 sekuen pembanding. Sekuen pembanding terdiri dari 7 isolat spesies Trichoderma, yang terdiri dari Trichoderma asperellum. T. koningiopsis, T. gamsii, T. petersenii, T. viridarium, T. hamatum, dan T. citrinoviride, dan 2 sekuan dari genus lain yang termasuk fungi patogen, yang terdiri dari Fusarium oxysporum dan Phytophthora palmivora (Gambar 16).
54
I
II
III IV V VI Gambar 16. Pohon filogenetik yang menunjukkan hubungan kekerabatan antara isolat A1, B2, dan C3 dengan beberapa spesies pembanding berdasarkan urutan sekuen ITS1, 5.8S rRNA, dan ITS2. Angka pada percabangan menunjukkan nilai bootstrap (%) berdasarkan algoritma Neighbour-joining dengan 1000x replikasi, I : Kelompok pertama, II: Kelompok kedua.
Gambar 16 menunjukkan bahwa hasil konstruksi pohon filogenetik isolat sampel dengan 9 isolat pembanding berdasarkan urutan sekuen ITS1, 5.8S rRNA, dan ITS2 terbentuk enam kelompok. Klad pertama terdiri dari isolat A1, isolat B2, isolat C3, dan Trichoderma asperellum (LC057426.1), klad kedua terdiri dari T. koningiopsis (FN396563.1), T. gamsii (FN396558.1), T. petersenii (Z95923.1), dan T. viridarium (X93987.1). Klad ketiga, keempat, kelima, dan keenam merupakan kelompok tunggal dengan anggotanya masingmasing terdiri dari T. hamatum (FN396561.1), T. citrinoviride (AJ230663.1), Fusarium oxysporum (LN835265.1), Phytophthora palmivora (AY208126.1).
55
Isolat A1, B2, C2, dan Trichoderma asperellum (LC057426.1) membentuk satu kelompok (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga isolat sampel memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan anggota spesies Trichoderma asperellum daripada isolat pembanding lainnya. Klad pertama pada pohon filogenetik tersebut terbentuk tiga sub-klad, yakni sub-klad pertama terdiri dari isolat B2 dengan Trichoderma asperellum, sub-klad kedua terdiri dari anggota sub-klad pertama dengan isolat C3 (Nilai bootstrap 97%), dan sub-klad ketiga terdiri dari anggota sub-klad kedua dengan isolat A1 (Nilai bootstrap 92%). Hal ini menunjukkan bahwa isolat B2 memiliki tingkat kemiripan yang lebih tinggi dengan Trichoderma asperellum, dibandingkan dengan isolat A1 dan C3. Sub-klad kedua mengindikasikan bahwa isolat C3 memiliki tingkat kemiripan yang lebih tinggi dengan Trichoderma asperellum dibandingkan dengan isolat A1. Nilai bootstrap pada percabangan yang terbentuk pada subkelompok kedua dan ketiga masing-masing sebesar nilai 97% dan 92%. Hal ini menunjukkan bahwa peluang terjadinya perubahan susunan percabangan pada sub-kelompok kedua dan ketiga masing-masing sebesar 3% dan 8%. Nilai bootstrap ≥ 85% menunjukkan bahwa susunan kelompok bersifat konsisten dan peluang perubahan susunan kelompok sangat rendah (Lestari, 2013). Dua kelompok isolat pembanding yang termasuk fungi patogen membentuk jarak kelompok yang jauh dengan tiga isolat sampel (Gambar 16). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga isolat sampel memiliki hubungan kekerabatan yang cukup jauh dengan Phytophthora plamivora dan Fusarium
56
oxysporum. Kekerabatan organisme yang cukup jauh dapat mengindikasikan bahwa tingkat similaritas diantara organisme tersebut semakin rendah pula. Kekerabatan yang dekat antara isolat A1, B2, C3 dan Trichoderma asperellum (LN057426.1) didukung dengan nilai similaritas dan nukleotida yang berbeda. Isolat A1, B2, dan C3 memiliki kemiripan terhadap Trichoderma asperellum (LN057426.1) dengan nilai similaritas berturut-turut 99,42%, 100%, dan 99,61%. Nilai similaritas tersebut diperoleh dengan menggunakan aplikasi Phydit dengan ketentuan bahwa tanda gap (-) dinyatakan sebagai sekuen yang berbeda. Nilai tersebut merupakan nilai similaritas paling tinggi diantara isolatisolat pembanding lainnya. Selain itu, jumlah nukleotida yang berbeda antara isolat A1, B2, dan C3 dengan Trichoderma asperellum (LN057426.1) berturutturut sebanyak 3 bp, 0 bp, dan 2 bp (Tabel 8). Hal ini membuktikan bahwa ketiga isolat tersebut memiliki kemiripan yang sangat tinggi dengan Trichoderma asperellum (LN057426.1), dan nilai tersebut mengindikasikan kesesuaian antara susunan percabangan pohon filogenetik isolat sampel dengan isolat pembanding. Kekerabatan yang cukup jauh antara isolat A1, B2, dan C3 dengan fungi patogen Fusarium oxysporum (LN835265.1) dan Phytophthora palmivora (AY208126.1) didukung dengan nilai similaritas antara isolat A1, B2, dan C3 dengan kedua fungi patogen tersebut hanya mencapai masing-masing sekitar 84% dan 55% (Tabel 8). Kekerabatan tiap organisme yang semakin jauh dapat mengindikasikan semakin banyak pula perbedaan karakteristik organisme
57
tersebut. Hal ini dapat ditunjukkan pada karakteristik Trichoderma sp. yang bersifat antagonis, sedangkan Fusarium oxysporum dan Phytophtora palmivora bersifat sebagai patogen terhadap tanaman. Menurut Henry et al. (2000), nilai similaritas 95–100% dinyatakan sebagai satu spesies yang sama. Hasil penyejajaran ini diidentifikasi bahwa isolat Trichoderma A1, B2, dan C3 merupakan anggota spesies Trichoderma asperellum.
58
Trichoderma asperellum LC057426.1
B2
A1
C3
T. hamatum FN396561.1
T. citrinoviride AJ230663.1
T. viridarium X93987.1
T. petersenii Z95923.1
T. koningiopsis FN396563.1
T. gamsii FN396558.1
F. oxysporum FN835265.1
P. palmivora AY208126.1
Tabel 8. Nilai similaritas (%) dan jumlah nukleotida berbeda dalam sequence gen rRNA (ITS 1, 5.8S, ITS 2) antara ketiga isolat Trichoderma sp. dan isolat pembanding.
---
0/514
3/514
2/513
5/511
38/508
12/513
10/513
10/512
10/512
68/453
213/480
B2
100.00
---
2/513
5/511
38/508
12/513
10/513
10/512
10/512
68/453
213/480
A1
99.42
99.42
3/514 ---
8/511
41/508
15/513
13/513
13/512
13/512
69/453
213/480
C3
99.61 99.02
99.61 99.02
99.81 98.43
1/513 ---
7/510
40/507
14/512
12/512
12/511
12/511
69/453
213/480
98.63
---
41/506
16/511
13/511
13/511
13/511
69/453
212/478
92.52
92.52
91.93
92.11
91.90
---
46/507
44/508
44/507
44/507
80/463
254/526
T. viridarium X93987.1
97.66
97.66
97.08
97.27
96.87
90.93
---
3/515
3/514
3/514
68/455
213/480
T. petersenii Z95923.1 T. koningiopsis FN396563.1
98.05
98.05
97.47
97.66
97.46
91.34
99.42
---
0/515
0/515
69/456
211/481
98.05
98.05
97.46
97.65
97.46
91.32
99.42
100.00
---
0/515
69/456
211/481
T. gamsii FN396558.1 F. oxysporum FN835265.1
98.05
98.05
97.46
97.65
97.46
91.32
99.42
100.00
100.00
---
69/456
212/482
84.99
84.99
84.77
84.77
84.77
82.72
85.05
84.87
84.87
84.87
---
207/449
P. palmivora AY208126.1
55.63
55.63
55.63
55.63
55.65
51.71
55.63
56.13
56.13
56.02
53.90
---
ISOLAT
T. asperellum LC057426.1
T. hamatum FN396561.1 T. citrinoviride AJ230663.1
Keterangan : Angka yang berwarna kuning menunjukkan nilai similaritas, sedangkan angka yang berwara biru menunjukkan jumlah nukleotida yang berbeda.
59
V. PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan pembahasan dari hasil penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Karakteristik morfologi koloni isolat A1, B2, dan C3 berwarna hijau keputihan, tekstur menyerupai tepung, terdapat garis radial dan zonasi serta zona pertumbuhan, sedangkan karakteristik morfologi sel Isolat A1, B2, dan C3 memiliki konidia yang oval dan berwarna hijau, fialid menyerupai bentuk termos, tipe hifa bersepta, percabangan konidiofor yang cenderung teratur dan tidak berwarna, dan konidia akan membesar ketika membentuk hifa. Karakteristik ini mencirikan karakter dari spesies Trichoderma sp. 2. Urutan nukleotida fragmen rDNA isolat A1 sebanyak 528 bp, dan urutan nukleotida fragmen rDNA isolat B2 dan C3 masing-masing 529 bp. Hasil karakterisasi molekuler fragmen rDNA ketiga isolat diidentifikasi sebagai anggota dari spesies Trichoderma asperellum.
B. Saran Penelitian ini hanya sebatas mengidentifikasi spesies Trichoderma sp. lokal yang terdapat di perkebunan kakao Konawe, sehingga saran yang dapat diajukan dari hasil penelitian ini adalah perlunya penelitian lebih lanjut tentang uji fisiologis dan uji antagonis serta isolasi gen unggul Trichoderma sp. untuk menentukan efektivitas pembasmian fungi patogen pada tanaman kakao yang terdapat di perkebunan kakao Konawe Sulawesi Tenggara.
60
DAFTAR PUSTAKA
Akrami, M., Khiavi, H. K., Shikhlinski, H., and Khoshvahgtei, H., 2013, Biocontrolling Two Pathogens of Chickpea Fusarium solani and Fusarium oxysporum by Different Combinations of Trichoderma harzianum, Trichoderma asperellum and Trichoderma virens Under Field Condition, International Journal of Microbiology Research, 1 (2) : 51 Arora, D. K., 2004, Fungal Biotechnology in Agricultural, Food, and Enviromental Applications, Marcell Dekker, New York. Asrul, 2009, Uji Daya Hambat Jamur Antagonis Trichoderma spp. dalam Formulasi Kering Berbentuk Tablet Terhadap Luas Bercak Phytoptora palmivora pada Buah Kakao, J. Agrisains, 10 (1) : 22 Azis, A. I., Rosmana, A., dan Dewi, V. S., 2013, Pengendalian Penyakit Hawar Daun Phytoptora pada Bibit Kakao dengan Trichoderma asperellum, Jurnal Fitopatologi Indonesia, 9 (1) : 15-16 Badan Pusat Satistik Konawe, 2014, Konawe dalam Angka, Primatama Sultra, Kendari. Badan Pusat Statistik Sulawesi Tenggara, 2014, Sulawesi Tenggara dalam Angka, Primatama Sultra, Kendari. , 2015, Sulawesi Tenggara dalam Angka, Primatama Sultra, Kendari. Budi, S. W., Santoso, E., Wahyudi, A., 2010, Identifikasi Jenis-Jenis Fungi yang Potensial terhadap Pembentukan Gaharu dari Batang Aquilaria spp., Jurnal Silvikultur Tropika, 1 (1) : 2-3 Charerri, P., Rocha, F.B., Druzhinina, I., and Degentolb, T., 2015, Systematic of The Trichoderma harzianum Species Complex and The Re-Identification of Commercial Biocontrol Strains, Journal of Mycologia, 107 (3) : 568 Campbell, N. A., and Reece, J. B., 2010, Biologi Edisi Kedelapan Jilid Satu, Erlangga, Jakarta. Campbell, N. A., Reece, J. B., and Mitchell, L. G., 2002, Biologi Edisi Kelima Jilid Satu, Erlangga, Jakarta. Chakraborty, B. N., Chakraborty, U., Sunar, K., and Dey, P. L, 2011, RAPD Profile and rDNA Sequence Analysis of Talaromyces flavus and Trichoderma species, Indian Journal of Biotechnology, 10 : 490
61
Coi, Y., Joung, G. T., Ryu, J., Choi, J. K., and Geun, Y., 2003, Physiological Characteristics of Green Mold (Trichoderma spp.) Isolated from Oyster Mushroom (Pleurotus spp.), Journal of Microbiology, 31 (3) : 139-140 Dhana, N. P., Lubis, L., and Lisnawita, 2013, Isolasi Jamur Oncobasidium theobromae P.H.B Talbot dan Keane Penyebab Penyakit Vascular Streak Dieback pada Tanaman Kakao di Laboratorium, Jurnal Agroekoteknologi, 2 (1) : 289 Direktorat Jenderal Perkebunan, 2014, Statistik Perkebunan Indonesia 2013-2015 Kakao (Cocoa), Direktorat Jenderal Perkebunan, Jakarta. Eldenary, M. E., El-Bondkly, A. M., Alfiky, A. E. G., and Dora, S. A., 2013, ITS Sequence Analysis and Genome Shuffling of Trichoderma sp. for Improving Cellulase Activities, Journal of American Science, 9 (10): 364 Fatchiyah, Arumingtyas, E. L., Widyarti, S., dan Rahayu, S., Molekular Prinsip Dasar Analisis, Erlangga, Jakarta.
2011, Biologi
Gusnawaty, H. S., Taufik, M., Triana, L., dan Asniah, 2014, Karakterisasi Morfologi Trichoderma spp. Indigenus Sulawesi Tenggara, Jurnal Agroteknos, 4 (2): 89-90 Handoyo, D., dan Rudiretna, A., 2001, Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR), J. Unitas, 9 (1): 20-24 Hanson, J. R., 2008, The Chemistry of Fungi, The Royal Society of Chemistry, Inggris. Heltina, D., Evelyn, dan Indriani, R., 2009. Biosorpsi Pb (II) pada Jamur Trichoderma asperellum TNJ-63, Jurnal Rekayasa Proses, 3 (1): 1 Henry, T., Iwen, P. C., and Hinrichs, S. H., 2000, Identification of Aspergillus Species Using Internal Transcribed Spacer Regions 1 and 2, Journal of Clinical Microbiology, 38 (4) : 1510-1515 Herdyastuti, N., Raharjo, T. J., Mudasir, and Marsjeh, S., 2009, Kitinase dan Mikroorganisme Kitinolitik: Isolasi, Karakterisasi dan Manfaatnya, Indo J. Chem, 9 (1) : 45 Hidayat, T., Kusumawaty, D., Kusdianti, Yati, D. D., Muchtar, A. A., dan Mariana, D., 2008, Analisis Filogenetik Molekuler pada Phyllanthus niruri L. (Euphorbiaceae) Menggunakan Urutan Basa DNA Daerah Internal Transcribed Spacer (ITS), Jurnal Matematikan dan Sains, 13 (1): 18
62
Jayalal, R. G. U., and Adikaram, N. K. B., 2007, Influence of Trichoderma harzianum Metabolites on the Development of Green Mould Disease in the Oyster Mushroom, Cey. J. Sci, 36 (1) : 54-55 Komy, M. H. E., Saleh, A. A., Eranthodi, A., and Molan, Y. Y., 2015, Characterization of Novel Trichoderma asperellum Isolates to Select Effective Biocontrol Agents Against Tomato Fusarium Wilt, Plant Patholgy Journal, 31 (1): 50 Kubicek, C. P. and Herman, G. E., 2002. Trichoderma and Gliocladium Volume 1 Basic Biology, Taxonomy and Genetics, Taylor & Francis, New York. Lestari, W. S., 2013, Keanekaragaman dan Hubungan Kekerabatan Marga Adiantum dari Kepulauan Sunda Kecil Berdasarkan Variasi Sekuen pada DNA Kloroplas (rbcL dan trnL-F), Universitas Udayana, Denpasar. Misra, J. K. and Deshmukh, S. K., 2009, Fungi From Different Environments, Science Publisher, New York. Motulo, H. F., Sinaga, M. S., Hartana, A., Suastika, G., dan Aswidinnoor, H., 2007, Karakter Morfologi dan Molekuler Isolat Phytoptora palmivora Asal Kelapa dan Kakao, Jurnal Littri, 13 (3) : 112-113 Munir, S., Jamal, Q., Bano, K., Sherwani, S. K., Bokhari, T. Z., Khan, T. A., Khan, R. A., Jabbar, A., and Anees, M., 2013, Biocontrol Ability of Trichoderma, International Journal of Agriculture and Crops Sciences, 6 (18) : 1246-1247 Mustafa, Z., 2011, Pengaruh Aplikasi Trichoderma spp. Terhadap Penyakit Rebah Batang Rhizoctonia solani pada Persemaian Bibit Kopi Robusta, Skripsi, Universitas Jember, Hal. 7 Muzuni, 2014, Karakterisasi rDNA Anodonta sp. di Rawa Moramo Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Provinsi Sulawesi Tenggara, Jurnal Paradigma, 18 (2) : 35 Nurahmi, E., Susanna, dan Sriwati, R., 2012, Pengaruh Trichoderma Tehadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Kakao, Tomat, dan Kedelai, J. Floratek, 7 : 58 Nurbailis dan Martinius, 2011, Pengaruh Kolonisasi Trichoderma spp. pada Akar Bibit Pisang Terhadap Perkembangan Penyakit Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. Sp. Cubense), Jurnal Natur Indonesia, 13 (3) : 220
63
Ochieng, J. W., Muigai, A. W. T., and Ude, G. N., 2007, Phylogenetics in Plant Biotechnology: Principles, Obstacles and Opportunities for Resources Poor. African Journal of Biotechnology, 6 (6) : 639 Rahayu, F., Saryono, Nugroho, T. T., 2015, Isolasi DNA dan Amplifikasi PCR Daerah ITS rDNA Fungi Endofit Umbi Tanaman Dahlia (Dahlia variabilis) LBKURCC69, JOM, 2 (1) : 103 Rubiyo, Purwanto, A., dan Sudarsono, 2010, Aktivitas Kitinase dan Peroksidase, Kerapatan Stomata serta Ketahanan Kakao Terhadap Penyakit Busuk Buah, Jurnal Pelita Perkebunan, 26 (12) : 104-108 Rubiyo dan Siswanto, 2012, Peningkatan Produksi dan Pengembangan Kakao (Theobroma cacao L.) di Indonesia, Buletin RISTRI, 3 (1) : 33 Tanuhadi, L., 2012, Chocology, Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta. Santos, S. D. L., Hernandez, L. E., Villasenor, F., and Pena, J. J., 2012. Production of Trichoderma asperellum T8a Spores by a Home Made Solid State Fermentation on Mango Industrial Wastes, Journal of bioresources, 7 (4) : 4942 Shahid, M., Srivastava, M., Kumar, V., Singh, A., Sharma, A., Pandey, S., Rastogi, S., Pathak, N., and Srivastava, A.K., 2014, Phylogenetic Diversity Analysis of Trichoderma Species Based on Internal Transcribed Spacer (ITS) Marker, African Journal of Biotechnology, 13 (3) : 450 Shofiana, R. H., Sulistyowati, L., dan Muhibuddin, A., 2015, Eksplorasi Jamur Endofit dan Khamir pada Tanaman Cengkeh (Syzgium aromaticum) serta Uji Potensi Antagonismenya Terhadap Jamur Akar Putih (Rigidoporus microporus), Jurnal HPT, 3 (11) : 79 Siddiquee, S., Guan, F. A. T. S., and Aziz, E. R., 2007, Phylogenetic Relationships of Trichoderma harzianum Based on the Sequence Analysis of the Internal Transcribed Spacer Region-1 the rDNA, Journal of Applied Science Research, 3 (9) : 896 Singh, A., Shahid, M., and Srivastava, M., 2014, Phylogenetic Relationship of Trichoderma asperellum Tasp/8940 Using Internal Transcribed Spacer (ITS) Sequences, International Journal of Advenaced Research, 2 (3) : 979. Singh, A., Shahid, M., Srivastava, M., Pandev, S., Sharma, A., and Kumar, V., 2014, Optimal Physical Parameters for Growth of Trichoderma Spesies at Varying pH, Temperature and Agitation, Journal of Virology and Mycology, 3 (1) : 2-4
64
Syukriani, Y., 2012, DNA Forensik, Sagung Seto, Jakarta. Tjitrosoepomo, G., 2005, Taksonomi Umum (Dasar-Dasar Takson Tumbuhan, Universitas Gadja Mada, Yogyakarta. Umrah, Anggraeni, T., Esyanti, R. R., dan Aryantha, I. N. P., 2009, Antagonisitas dan Efektivitas Trichoderma sp. dalam Menekan Perkembangan Phytopthora palmivora pada Buah Kakao, Jurnal Agroland, 16 (11) : 9-10 Wiryadiputra, S., 2013, Residu Pestisida pada Biji Kakao Indonesia dan Produk Variannya, serta Upaya Penanggulannya, Jurnal Penelitian Kopi dan Kakao, 1 (1) : 40 Yuwono, T., 2005, Biologi Molekular, Erlangga, Jakarta.
65
LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil pengamatan morfologi koloni ketiga isolat
Hari Ke-1
Hari Ke-2
20.75 mm
48.05 mm
Hari Ke-3
79.15 mm
Hari Ke-4
88 mm
Gambar 17. Hasil pengamatan morfologi koloni isolat A1 pada media PDA
Hari Ke-1
Hari Ke-2
Hari Ke-3
15.9 mm
54.55 mm
65 mm
Hari Ke-4
79 mm
Gambar 18. Hasil pengamatan morfologi koloni isolat B2 pada media PDA
Hari Ke-1
Hari Ke-2
21 mm
47.1 mm
Hari Ke-3
74.54 mm
Hari Ke-4
88.08 mm
Gambar 19. Hasil pengamatan morfologi koloni isolat C3 pada media PDA
66
Lampiran 2. Desain primer Tricho-F dan Tricho-R
a
b
Gambar 20. Hasil penyejajaran fragmen rDNA dari berbagai spesies Trichoderma sp. dengan menggunakan program ClustalW Alignment Bioedit, a: Tricho-F, b: Tricho-R.
67
Lampiran 3. Penghitungan nilai absorbansi DNA menggunakan spektrofotometer [DNA] = A260 x 50 µg/mL x FP
1. Isolat A1, A260 = 0,171, A280 = 0,090, FP = 200 [DNA] = 0,171 x 50 x 200 = 1.710 ng/µL
2. Isolat B2, A260 = 0,142, FP = 200 [DNA] = 0,142 x 50 x 200 = 1.420 ng/µL
3. Isolat C3, A260 = 0,148, FP = 200 [DNA] = 0,148 x 50 x 200 = 1.480 ng/µL
68
Lampiran 4. Elektroferogram hasil sequencing fragmen rDNA isolat A1
Gambar 21. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat A1 dengan primer forward
Gambar 22. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat B2 dengan primer reverse
69
Lampiran 5. Elektroferogram hasil sequencing fragmen rDNA isolat B2
Gambar 23. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat B2 dengan primer forward
Gambar 24. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat B2 dengan primer reverse
70
Lampiran 6. Elektroferogram hasil sequencing fragmen rDNA isolat C3
Gambar 25. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat C3 dengan primer forward
Gambar 26. Elektroferogram hasil pengurutan (sequencing) fragmen rDNA isolat C3 dengan primer reverse
71
Lampiran 7. Hasil multiple alignment sequences fragmen rDNA isolat A1, B2 dan C3 menggunakan program MAFFT
72
73
Lampiran 8. Hasil penyejajaran fragmen rDNA isolat A1 menggunakan program BLASTn pada situs GeneBank NCBI
Gambar 27. Skor hasil alignment sekuen A1 dengan sekuen yang terdapat pada GeneBank
Gambar 28. Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat A1
74
Gambar 29. Hasil alignment sekuen A1 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank.
75
Lampiran 9. Hasil penyejajaran fragmen rDNA isolat B2 menggunakan program BLASTn pada situs GeneBank NCBI
Gambar 30. Skor hasil alignment sekuen B2 dengan sekuen yang terdapat pada GeneBank
Gambar 31. Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat B2
76
Gambar 32. Hasil alignment sekuen B2 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank.
77
Lampiran 10. Hasil penyejajaran fragmen rDNA isolat C3 menggunakan program BLASTn pada situs GeneBank NCBI
Gambar 33. Skor hasil alignment sekuen C3 dengan sekuen yang terdapat pada GeneBank
Gambar 34. Identitas isolat pada GeneBank yang paling similar dengan isolat B2
78
Gambar 35. Hasil alignment sekuen C3 dengan sekuen paling similar yang terdapat pada GeneBank.
79
Lampiran 11. Dokumentasi penelitian
Gambar 36. Preparasi bahan dan alat
Gambar 37. Proses peremajaan isolat
Gambar 38. Pengamatan morfologi koloni isolat
Gambar 39. Pengamatan morfologi sel isolat
Gambar 40. Tahap pengerusan sel
Gambar 41. Pemberian larutan CTAB
Gambar 42. Proses sentrifugasi larutan
Gambar 43. Tahap pemberian PC
80
Gambar 44. Proses spindown
Gambar 45. Tahap penghilangan etanol 70%
Gambar 46. Tahap pembuatan gel agarosa
Gambar 47. Tahap pencetakan gel agarosa
Gambar 48. Pemasukan sampel DNA pada agarosa
Gambar 49. Proses elektroforesis DNA
Gambar 50. Proses visualisasi DNA
Gambar 51. Pemograman mesin PCR