POLA PENGASUHAN ANAK YANG DI LAKUKAN OLEH AYAH SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL (SINGLE PARENT) DALAM KELUARGA DI DESA NUMBING KECAMATAN BINTAN PESISIR KABUPATEN BINTAN
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Bidang Ilmu Sosiologi Universitas Maritim Raja Ali Haji
Oleh : RAHMAD ZAINURI NIM: 120569201118
PROGRAM STUDI SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI TANJUNGPINANG 2017
ABSTRAK Disetiap kehidupan seorang pasti memiliki kehidupan yang selalu berhubungan dengan keluarga. keluarga merupakan sepasang suami-istri berserta anak-anaknya mereka yang belum menikah, tinggal bersama dalam satu rumah. Karena didasarkan pada pertalian perkawinan antara suami-istri, maka kehidupan keluarga sering disebut sebagai keluarga batih. Lahin halnya dengan keluarga orangtua tunggal. Keluarga orangtua tunggal adalah yang mana hanya ada satu orangtua tunggal yaitu hanya seorang ayah saja. Pola pengasuhan anak memilki beberapa cara di antaranya yitu : pola pengasuhan demokratis, pola pengasuhan otoriter, dan pola pengasuhan liberal. Sehubung denga itu, penelitian ini membahas tentang “ bagaimanakah pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh ayah sebagai orangtua tunggal dalam keluarga. Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode kualitatif. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah : wawancara, observasi, dokumentasi. Fokus penelitian yang digunakan adalah orangtua tunggal ayah yang mempunya tanggungan anak yang berusia 0-18 tahun dan belum menikah yang berdomisili di Desa Numbing Kec. Bintan Pesisir. Sumber data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis yang terdiri dari reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Hasil penelitian ini menunjukan orangtua tunggal cenderung memakai pla pengasuhan anak demokratis, dikarenakan orangtua menyadari pola pengasuhan didalam keluarga yang akan membentuk karakter dan kepribadian anak, orangtua juga sering melakukan diskusi atau sharing dan hubungan orangtua dengan anak sangat baik. Anak yang hidup dalam pengasuhan ini memiliki sifat yang lebih kreatif, dalam berinteraksi dengan temanya baik. Saran yang diajaukan dalam penelitian ini : (1) Diharapkan bagi orangtua tunggal dalam keluarga yang memakai pola pengasuhan yang kurang baik, anak membutuhkan pola pengasuhan yang baik, adanya keterbukaan, dan sesibuk apapun orangtua tunggal dalam keluarga hendaknya bisa membagi waktu anatara bekerja dengan mengasuh anak-ananya untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. (2) Kepada masyarakat diharapkan mampu melihat sisi baik kepada orangtua tunggal dalam keluarga yang memakai pola pengasuhan tertentu, karena adanya ketidak fungsinya sala satu fungsi didalam keluarga membuat keluarga orangtua tunggal harus mennyesuaikan dan dituntut menjalankan fungsi ganda didalam keluarga. (3) Kepada anak yang hidup pada keluarga dengan orangtua stunggal sebaiknya lebih mengerti, memahami dan bisa melihat keadaan orangtuanya.
Kata Kunci : Pola Asuh, Single Parent.
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan kelompok sosial yang kecil terdiri dari ayah, ibu dan satu atau lebih anak yang didalamnya dijiwai oleh kasih sayang dan tanggung jawab. (Bogardus dalam Fahrudin, 2008:101). Definisi lain mengatakan keluarga adalah institusi sosial yang ada dalam setiap masyarakat. Seperti dikatakan oleh Schaefer & Lamm (Dalam Ihromi 2004: 67), keluarga merupakan sepasang suami-istri berserta anak-anaknya mereka yang belum
menikah, tinggal bersama dalam satu rumah. Karena didasarkan pada pertalian perkawinan antara suami-istri, maka kehidupan keluarga sering disebut sebagai keluarga batih. Keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah dan merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan bagi suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan, dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama.(Khairudin, 2008:7). Didalam keluarga terdapat pembagian peran dan tugas antara seorang ibu dengan seorang ayah, yang dimana peranan keluarga merupakan kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu. Menurut Nasrul Effendy (Dalam Mardiah, 2015: 6), Pembagian peran dan tugas seperti peranan seorang ibu yang memiliki tugas didalam rumah seperti mengurus rumah tangga, merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, bahkan dianggap sebagai kodrat. Sementara itu ayah di beri peran menjalankan tugas-tugas di ruang publik, seperti mencari nafkah, pendidik, pelindung, pemberi rasa aman, dan sebagai kepala rumah tangga. Menurut M. Djawad Dahlan (2004 : 39-41), fungsi dasar dari keluarga adalah memberikan rasa memiliki, rasa aman, kasih sayang, dan mengembangkan hubungan yang baik antara anggota keluarga. Hubungan cinta kasih didalam keluarga tidak hanya sebatas perasaan, akan tetapi juga menyangkut dengan pemeliharaan, rasa tanggung jawab, perhatian, pemahaman, dan keinginan untuk menumbuh kembangkan anak yang dicintainya. Seiring perkembangan zaman, posisi keluarga dalam struktur rumah tangga mengalami dinamika yang tajam, sehingga dapat mengakibatkan keluarga tidak akan merasakan kebahagian. Perubahan posisi anggota keluarga sering terjadi karena perceraian dan kematian masing-masing pasangan rumah tangga. Seringkali, pasangan keluarga mengalami proses penghacuran hakikat dari perkawinan mereka karena adanya perbedaan faktor internal yang disadari bersama, sehingga membuat ketidak siapan pasangan suami istri dalam menghadapi berbagai macam permasalahan yang terjadi dalam kehidupan rumah tangga dan kurang pahamnya pasangan suami istri tentang hakikat tujuan pernikahan. Sedangkan faktor eksternal seperti membangun ekonomi keluarga, krisis ahlak atau dapat datang dari adanya orang ketiga yaitu perselingkuhan. Erna Karim(Dalam Ihromi, 2004: 153154). Dengan terjadinya perceraian maka keluarga mengalami perpisahan akibat perceraian atau kematian dari pasangannya memyebabkan struktur kelurga menjadi tidak lengakap, karena didalam keluarga hanya memiliki seorang ayah atau seorang ibu bersama anak-anak mereka. Kondisi seperti ini dinamakan posisi single parent, yaitu orangtua tunggal yang menjadi tumpuan keluarga, dan memiliki beban pengasuhan terhadap anak-anak mereka. Single parent yang cerai hidup akibat perceraian, dan sementara yang cerai mati biasanya akibat dari meninggalnya pasangan hidup. Erna Karim(Dalam Ihromi, 2004: 156). Berikut tabel jumlah angka perceraian di Desa Numbing. Perceraian, baik cerai mati maupun cerai hidup inilah yang menjadi penyebab terjadinya single parent dan yang kemudian berdampak pada pengasuhan anak, karena anak harus hidup dengan salah satu orang tua saja, dan bahkan mungkin hidup terpisah dengan saudara kandungnya yang lain demi untuk terus dapat menjalani kehidupan. Salah satu dari ayah atau ibu akan di percayakan untuk mengasuh anak.(Mardiah, 2015: 2). Tugas sebagai orangtua terlebih bagi seorang ayah, akan bertambah berat jika menjadi orangtua tunggal (single parent). Setiap orang, terlebih dari laki-laki tidak pernah berharap
menjadi single parent, keluarga utuh dan kokoh pastilah idaman setiap orang yang di dalamnya terdapat ayah, ibu dan anak.(Dian, 2012: 2). Keluarga yang di katakan utuh apabila struktur dalam keluarga lengkap anggotanya. selain itu, juga adanya keharmonisan dalam keluarga dimana di antara anggota keluarga itu saling bertemu muka dan saling berinteraksi satu dengan lainya (Narwoko dan Suyanto 2010:237), namun ada kalanya nasib berkehendak lain. Kenyataannya kondisi ideal tersebut apa yang kita inginkan tidak selamanya dapat dipertahankan atau diwujudkan. Banyak dari orangtua yang karena kondisi tertentu mengasuh, membesarkan dan mendidik anak dilakukan dengan sendiri atau menjadi single parent. Menjadi orang tua tunggal dalam sebuah rumah tangga tentu saja tidak mudah karena orangtua tunggal memiliki tanggung jawab yang lebih besar dibandingkan dengan mereka yang memiliki struktur keluarga yang normal atau lengkap. Terlebih bagi seorang ayah yang harus mengasuh anaknya seorang diri karena bercerai dari istrinya atau istrinya meninggal dunia (Dian, 2012: 3). Paling tidak, dibutuhkan perjuangan berat untuk membesarkan si buah hati, dan orang tua tunggal pada saat yang bersamaan ia akan berperan ganda karena peran atau tugas-tugas dari seorang istri di ambil alih oleh suami yaitu, berperan sebagai ibu rumah tangga, memasak, merawat, mengasuh dan mendidik anak-anaknya, sekaligus berperan sebagai ayah yang mencari penghasilan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan keluarga.(Khairuddin, 2008). Dan yang lebih memberatkannya lagi adalah masalah yang datang dari masyarakat atau lingkuangan dimana tempat orang tua single parent tinggal. Karena masyarakat kita masih memandang sebelah mata terhadap orangtua tunggal dan hal tersebut bisa jadi akan mempengaruhi kehidupan seorang anak pada dasarnya. Tidak akan pernah ada seorang laki-laki yang menginginkan menjadi orang tua tunggal atau single parent, karena hal itu bukanlah pilihan melainkan satu kondisi yang tidak mudah dihadapi.(Mardiah, 2015: 7). Dewasa ini, muncul fenomena ayah sebagai single parent dalam keluarga di Desa Numbing Kecamtan Bintan Pesisir. Akibat perceraian, baik cerai mati atau cerai hidup yang terjadi didalam keluarga, ayah mendapat kepercayaan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak. Artinya, seorang ayah harus menjalankan peran ganda sebagai ibu sekaligus sebagai ayah. Ayah dituntut harus bisa meluangkan waktunya dan membagi waktunya antara untuk mencari nafkah dengan memberikan kasih sayang kepada anaknya. Peran ganda yang dilakukan oleh ayah sebagai single parent akan menimbulkan persoalan bagi keluarga yang umumnya bekerja sebagai serabutan dengan penghasilan kecil. Guna untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, ayah dituntut harus bekerja lebih giat dan lebih banyak untuk mendapatkan hasil yang banyak pula untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. kadangkala tidak cukup dengan pekerjaan satu saja, tetapi harus didukung oleh pekerjaan sampingan. Energi perhatian dan waktu ayah sebagai single parent telah tersedot untuk pekerjaan sehingga pengasuhan anak yang juga menjadi tanggung jawab ayah sebagai single parent, meskipun terkadang keluarga sedikit banyak mendapat bantuan dalam mendidik dan mengasuh anak dari keluarga luas, yaitu keluarga yang meliputi hubungan antara paman, bibi, keluarga kakek dan keluarga nenek. Seorang ayah sebagai orangtua tunggal (single parent) harus mampu mengetahui bagaimana dia mendidik, dan mengasuh anak-anaknya, zaman yang selalu berubah membuat single dad harus lebih jeli lagi dalam memilih cara pola pengasuhan yang baik bagi anakanaknya sehingga mampu menyesuaikan diri terhadap perkembangan yang ada, agar anak dapat terus berkembang.(Mardiah, 2015: 2).
Keluarga single parent biasanya memiliki cara tersendiri dalam hal mengasuh anak yang mereka sendiri sadar bahwa keluarga mereka memiliki kekurangan yang tidak dimiliki seperti keluarga yang normal atau keluarga utuh. Peran orangtua sangat penting dalam pengasuhan dan pendidikan anak karena keluarga tempat pertama kali anak bersosialisasi yang paling penting dan mendasar, karena fungsi pengasuhan dan pendidikan adalah untuk mempersiapkan anak menjadi bagian dari masyarkat yang baik.(Soejono, 2004: 24). Maka di harapkan sebagai orangtua tunggal dapat mengasuh anak-anaknya dengan baik sesuai terhadap anak mereka agar tidak menimbulkan dampak yang serius terhadap anak. Dalam permasalahan tersebut, menarik untuk dikaji dan di deskripsikan. Oleh karena itu peneliti mengadakan penelitian mengenai “ pola pengasuhan anak yang di lakukan oleh ayah sebagai orang tua tunggal (single parent) dalam keluarga yang bertempat tinggal di Desa Numbing Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan”. BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pola Asuh Konsep mengenai pola pengasuhan ini sudah berapa kali mengalami perubahan sesuai dengan perubahan zaman, sesuai dengan situasi dan kondisi serta kebutuhan masyarakat yang di lakukan oleh orang tua terhadap anak. Pengasuhan merupakan bagian yang penting dalam sosialisasi anak, proses dimana anak belajar untuk bertingkah laku sesuai harapan dan standar sosial. Dalam konteks keluarga, anak mengembangkan kemapuan mereka dan membantu mereka untuk hidup didunia menurut Martin & Colbert (Dalam Karlinawati Silahi, 2010). B. Jenis-Jenis Pola Pengasuhan Menurut Elizabeth B Hurlock (Dalam Ihromi 2004: 51), terdapat 3 macam pola pengasuhan orangtua dalam menanamkan disiplin bagi anak-anaknya yaitu : 1. Pola Pengasuhan Otoriter Dalam pola asuhan otoriter ini orang tua memiliki kaidah-kaaidah dan peraturanperaturan yang kaku dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran di kenakan hukuman apabila anak tidak mau melakukan apa yang dikatakan oleh orangtua. Orangtua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam berkomunikasi biasanya bersifat satu arah dan orangtua tidak mendorong anak untuk mengambil keputusan sendiri atas perbuatannya, tetapi menentukan bagai mana harus berbuat. Menurut Martin & Calbert (dalam Karlina Silahi 2010) pola asuh ini cenderung menetapkan setandar yang mutlak harus dituruti, biasanya di barengi dengan ancaman-ancaman. Orang tua ini cenderung memaksa, memerintah, menghukum, apabila anak tidak mau melakukan yang dikatakan oleh orang tuanya, maka orang tua tipe ini tidak segan-segan menghukum anak. orang tua tipe ini juga tidak mengenal kompromi dan dalam komunikasi bersifat satu arah. Orang tua tipe ini tidak memerlukan umpan balik dari anaknya untuk mengerti mengenai anaknya. Menurut Stwart dan Koch (dalam Rofik, 2006:67) orang tua yang menerapkan pola asuh otoriter mempunnyai ciri seperti: kaku, tegas, suka menghukum, kurang ada kasih sayang, kurang simpatik. Pola pengasuhan anak yang secara otoriter ini cenderung akan menjadikan seorang anak memiliki kepribadian yang cenderung keras. Hal ini terjadi kerena anak sering dihukum oleh orangtua apabila melakukan kesalahan. Pola otoriter ini pada dasarnya adalah lebih menonjolkan kekuasaan ada ditangan orangtua. 2. Pola Pengasuhan Demokratis Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak atau orantua menggunakan diskusi dan memberikan kesempatan kepada anak. Penjelasan dan alasan-alasan yang memebantu anak agar mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu yang disepakati bersama. Orang tua yang demokratis ini yaitu orang tua yang menekankan aspek pendidikan ketimbangan aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak dengan sengaja menolak perbuatan yang
harus ia lakukan. Orangtu yang demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol diri dalam diri anak sendiri dan pengasuhan ini memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang kearah positif. Menurut Marti & Calbert (dalam Karlina Silahi, 2010) pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dengan anak. mereka membuat semacam aturan yang disepakati bersama. Orang tua yang demokrasi ini yaitu orang tua yang mencoba menghargai kemampuan anak secara langsung. Yang terakhir, orang tua ynag sensitif dan responsif terhadap kemampuan anak dan perkembangan anak dpat membuat anak belajar untuk mengambil tanggung jawab terhadap prilakunya sendiri. Anak yang memiliki orang tua seperti dengan pola asuh seperti ini, seria cenderung kompeten secara sosial, energik, bersahabat, memiliki keinginatahuan yang besar, dapat mengontrol diri, memiliki harga diri yang tinggi, bahkan memiliki prestasi akademis yang tinggi (Martin & Calbert 2010). Bentuk pola pengasuhan ini di anggap paling sehat dan normal di bandingkan denga pola pengasuhan yang lain. Pola pengasuhan ini memberika kesempatan pada anak untuk berkembang ke arah positif. 3. Pola Pengasuhan Permisif Pola asuh permisif ditandai dengan adanya orangtua bersikap membiarkan atau mengizinkan setiap tingkah laku anak, atau kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan keinginan anak, dan tidak pernah memberikan hukuman kepada anak. Pola ini ditandai oleh sikap orangtua yang membiarkan anak mencari dan menemukan sendiri tata cara yang memberi batasan-batasan dari tingkah lakunya. Pada saat terjadi hal yang berlebihan barulah orangtua bertindak. Menurut Martin & Calbert (dalam Karlina Silahi, 2010) pola asuh permisif ditandai dengan adanya kebebasan kepada anak untuk berbuat dan berprilaku sesuai dengan keinginan anak. Pada pola ini pengawasan menjadi sangat longgar. Moesono (1993: 18) menjelaskan bahwa pelaksanaan pola asuh permisif atau dikenal pula dengan pola asuh serba membiarkan adalah orang tua yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi secara berlebihan, serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara berlebihan. Pola pengasuhan ini terlihat dengan adanya kebebasan yang berlebihan tidak sesuai untuk perkembangan anak, yang dapat mengakibatkan timbulnya tingkah laku yang lebih agressif dan impulsif (Martin & Colbert, 1997). C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Pola Pengasuhan Anak Dalam pengasuhan terdapat banyak faktor yang mempengaruhi serta yang melatar belakangi orang tua dalam menerapkan pola pengasuhan pada anak-anaknya.(Ihromi 2004: 52-53). faktor yang mempengaruhi pengasuhan anak menurut yaitu sebagai berikut: 1. Menyamakan diri dengan pola pengasuhan yang dipergunakan oleh orangtua mereka. Bila ornagtua menganggap bahwa pola pengasuhan mereka yang terbaik, maka ketika mempunyai anak mereka kembali memakai pola pengasuhan yang mereka terima. Sebaliknya, bila mereke menganggap bahwa pola pengasuhan orangtua mereka dahulu salah, biasanya mereke memakai pola yang berbeda. 2. Menyamakan pola pengasuhan yang dianggap paling baik oleh masyarakat sekitarnya. Pilihan ini terutama dilakukan oleh orangtua yang usiana masih muda dan kurang pengalaman. 3. Usia dari orang tua. Orang tua yang usianya masih muda cenderung untuk memilih pola pengasuhan yang demokratis atau pemisif di banding dengan mereka yang sudah lanjut usia. 4. Kursus-kursus, orang dewasa yang telah mengikuti kursus persiapan perkawinan, kursus kesejahteraan keluarga atau kursus pemeliharaan anak, akan lebih mengerti tentang anak dan kebutuhan-kebutuhanya, sehingga mereka cenderung untuk menggunakan pola yang demokratis.
5. Jenis kelamin pada orangtua, pada umumnya wanita lebih mengerti tentang anak oleh karena itu lebih demokratis terhadap anaknya dibanding dengan pria. 6. Status sosial ekonomi juga mempengaruhui orangtua dalam menggunakan pola pengasuhan mereka bagi anak-anakya. 7. Konsep perenan orangtua, orangtua yang tradisional lebih cenderung menggunakan pola yang otoriter dibandingkan orngtua yang lebih moderen. 8. Jenis kelamin anak, orangtua juga memberlakukan anak-anak mereka sesuai dengan jenis kelaminnya, misal terhadap anak perempuan, mereka harus menjaga lebih ketat sehingga mengunakan pola yang otoriter, sedang anak laki-laki cenderung lebih permisif atau demokratis, atau mungkin juga sebaliknya. 9. Usia anak, pada umunnya pola yang otoriter sering digunakan pada anak-anak kecil, karena mereka belum mengerti secara pasti mana yang baik mana yang buruk, mana yang salah mana yang benar, sehingga orangtua kelihatan lebih sering memaksa atau menekan. 10. Kondisi anak, bagi anak-anak yang agresif, lebih baik menggunakan pola pengasuhan yang otoriter, sedang anak yang mudah merasa takut dan cemas lebih tepat digunakan pola yang demokratis. D. Single Parent Single parent adalah keluarga yang terdiri dari orangtua tunggal baik ayah atau ibu sebagai akibat dari perceraian dan kematian. Single parent juga dapat terjadi pada lahirnya seorang anak tanpa suatu perkawinan yang sah atau pemeliharaan menjadi tangungg jawab ibu. Keluarga single parent dapat diakibabkan oleh perceraian, kematian orangtua angkat, dan orangtua yang berpisah tempat tinggalnya dalam kata arti belum bercerai (Suhendi dan Wahyu 2001: 140). Keluarga single parent, akan mendapat tugas ganda, apabila yang terjadi adalah ketiadaan seorang ibu maka, peran ayah bertambah sebagai pengasuh anak dan pencari nafkah (Khairuddin, 2008). Pada ibu atau ayah yang mengasuh anaknya sendirian atau single mother atau single dad harus bisa berperan ganda, baik jadi ayah ataupun ibu bagi anakanaknya. Dampak single parent terhadap perkembangan anak, yaitu: 1. Tidak dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik sehingga anak kuarang dapat berinteraksi dengan lingkungan, menjadi minder dan menarik diri. 2. single parent kurang dapat menanamkan adat istiadat, sehingga anak kurang dapat sopan santun dan anak menjadi nakal karena ketidakselarasan dalam keluarga. 3. dibidang pendidikan, single parent sibuk untuk mencari nafkah sehingga pendidikan anak kurang sempurna dan tidak optimal. 4. Single parent kurang bisa melindungi anaknya dari gangguan orang lain, jika hal ini dibiarkan akan mengganggu perkembangan anak. Peran ayah dalam pengasuhan tentu tak kalah besarnya dengan peran ibu. Ketidak terlibatan ayah dalam pengasuhan ank, akan menghadirkan pola baru yang di sebut maskulin. Pola prilaku ini bersifat maskulin yang berlebihan, namun pada saat tertentu akan berubah menjadi feminim dalam arti sikap ketergantungan. Terjadi kombinasi anatar maskulin (kasar, tegar) dengan feminim (ketergantungan). Kuat atau tidaknya sifat ini tergantung pada usia berapa anak tidak lagi mendapatkan pengasuhan dari figur ayah. (Save M. Dagun 1997) E. Keluarga keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari orang-orang yang disatukan oleh ikatan-ikatan perkawinan, darah dan merupakan susunan rumah tangga sendiri, berinteraksi dan berkomunikasi satu sama lain yang menimbulkan peranan-peranan bagi
suami istri, ayah dan ibu, putra dan putri, saudara laki-laki dan perempuan, dan merupakan pemeliharaan kebudayaan bersama (Khairuddin, 2008: 7). F. Bentuk-Bentuk Keluarga, Yaitu: Bentuk keluarga sangat berbeda antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya. Bentuk disini dapat dilihat dari jumlah anggota yaitu keluarga batih (Nuclear family) dan keluarga luas (Extended family). Khairuddin dalam bukunya sosiologi keluarga menjelaskan adanya beberapa bentuk-bentuk keluarga yang ditemukan di dalam masyarakat (Khairuddin, 2008: 19), di antaranya yaitu sebagai berikut: 1. Keluarga Batih (Nuclear family) 2. Keluarga Besar (Extended family) G. Peran dan Fungsi Keluarga Fungsi keluarga mengacu pada peran individu dalam mengetahui yang pada kahirnya mewujudkan hak dan kewajiban. Mengetahui fungsi keluarga sangat penting sebab dari sinilah terukur dan terbaca sosok keluarga yang ideal dan harmonis. Karena munculnya krisisdalam rumah tangga dapat juga sebagai akibat tidak fungsinya salah satu fungsi keluarga. Suhendi dan Wahyu (2001) mebagi fungsi keluarga sebagai berikut: Fungsi Biologis, Fungsi Pendidikan, Fungsi Sosialisasi Anak, Fungsi Kasih Sayang,Fungsi Ekonomis, Fungsi Beragama, Fungsi Perlindungan, Fungsi Rekreatif. BAB III GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Profil Desa Numbing Desa Numbing merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan, Propinsi KEPRI. Secara geografis Desa Numbing merupakan dataran rendah yang berupa daerah pesisir yang cukup dekat denganlaut. Desa Numbing ini terletak pada ketinggian 2 meter di atas permukaan laut. Desa Numbing secara administrasi terbagi menjadi 14 RT dan dari 14 RT terbagi lagi menjadi 4 RW. Adapun jarak antar Desa Numbing dengan pusat pemerintahan Kecamatan Bintan Pesisir sekitar 41 km dan dapat di tempuh selama 01,45 menit dengan menggunakan kendaraan pompong/motor laut sebagai alat transportasi, sementara itu jarak antara Desa Numbing dengan Ibu Kota Kabupaten sekitar 54 km dan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan kurang lebih antara 02 jam sampai dengan 02,30 jam. B. Gambaran Umum Masyarakat Desa Numbing Penduduk di Desa Numbing mayoritas suku Melayu, dimana masyarakat tersebut masih kental dengan adat istiadat yang turun temurun masih melekat hingga saat sekarang ini. Hubungan kekerabatan yang sangat erat antara penduduk yang satu dengan yang lain, menimbulkan rasa solidaritas antara penduduk cukup baik, hal ini merupakan suatu aspek yang sangat penting dalam menunjang kerja sama dan menjalin hubungan dalam proses kehidupan bermasyarakat. Desa Numbing merupakan salah satu Desa yang berada di Kecamatan Bintan Pesisir yang memiliki jumlah penduduk 4.496 jiwa, dimana separuh dari penduduk Desa Numbing berjenis kelamin perempuan, yaitu berjumlah 2.087 jiwa, sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 2.409 jiwa. Berdasarkan data Monografi Desa Numbing, adapun jumlah penduduk Desa Numbing berdasarkan jenis kelamin yang tersebar dalam 4 rukun warga serta 24 rukun tetangga. C. Keadaan Sosial Ekonomi Pendduduk Desa Numbing Masyarakat Desa Numbing Kecamatan Bintan Pesisir merupakan masyarakat yang cukup heterogen, hal ini terbukti karena pada dasarnya masyarakat Desa Numbing adalah masyarakat yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya, seperti:
1. Perbedaan Suku Bangsa Masyarakat Desa Numbing terdiri dari berbagai suku, seperti Melayu, Jawa, Batak, Buton, Flores, Minang danh Chaines, berikut jumlah penduduk Desa Numbing berdasarkan suku bangsa: Tabel III.2 Data Jumlah Penduduk Desa Numbing Berdasarkan Jenis Suku Bangsa No 1 2 3 4 5 6 7
Suku Jumlah Melayu 1721 Jiwa Jawa 998 Jiwa Batak 652 Jiwa Buton 498 Jiwa Flores 347 Jiwa Minang 219 Jiwa Chaines 71 Jiwa Total 4,496 Jiwa Sumber: (Data Sekunder Tahun 2013) Monografi Desa Numbing 2. Perbedaan Matapencarian Masyarakat Desa Numbing Kecamatan Bintan Pesisir memiliki jenis matapencarian yang cukup beragam dianataranya, yaitu nelayan, buruh swsta, petani, pedagang, pertukangan, PNS, honorer. Berikut jumlah penduduk Desa Numbing berdasarkan jenis matapencarian: Tabel III.3 Data Jumlah Penduduk Desa Numbing Berdasarkan Jenis Pekerjaan No 1 2 3 4 5 6 7
Jenis Pekerjaan Jumlah Buruh 1520 Orang Nelayan 927 Orang Petani 253 Orang Pertukangan 67 Orang Pedagang 48 Orang Pns 32 Orang Honorer 26 Orang Total 2878 Orang Sumber: (Data Sekunder Tahun 2013) Monografi Desa Numbing. 3. Perbedaan Sintem Kepercayaan Masyarakat Desa Numbing Kecamatan Bintan Pesisir terdiri dari beberapa agama diantaranya, yaitu Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Budha. Berikut jumlah penduduk Desa Numbing berdasarkan jenis Agama: Tabel III.4 Data Jumlah Penduduk Desa Numbing Berdasarkan Agama No 1 2 3
Jenis Agama Islam Protestan Katolik
Jumlah 3.789 Orang 347 Orang 289 Orang
4 5
Budha 71 Orang Hindu Total 4.496 Orang Sumber: (Data Sekunder Tahun 2013) Monografi Desa Numbing. 4. Sistem Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu variabel yang sangat menentukan tingkat kemajuan suatu wilayah. Semangkin banyak penduduk yang berpendidikan tinggi si suatu wilayah maka semangkin tinggi pulalah kemajuan wilayah, begitu pula sebaliknya semangkin banyak penduduk berpendidikan rendah maka tingkat kemajuan wilayah tersebut semangkin lambat. Pendidikan merupakan syarat mutlak untuk mencapai suatu komunitas yang maju. Karena dengan pendidikan yang tinggi maka ada harapan untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa yang akan datang. Untuk melihat komposisi tingkat pendidikan masyarakat Desa Numbing dapat dilihat pada tabel berikut ini: Tabel III.5 Data Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Numbing No Tingkat Pendidikan Jumlah 1 Tidak tamat/belum sekolah 2.851 Orang 1 Tamat SD 761 Orang 2 Tamat SMP 443 Orang 3 Tamat SMA 391 Orang 4 Diploma 21 Orang 5 Sarjana S1 49 Orang 6 Sarjana S2 1 Orang Total 4.486 Orang Sumber: (Data Sekunder Tahun 2013) Monografi Desa Numbing. BAB IV Pola Asuh Anak Yang dilakukan Oleh Ayah Sebagai Orangtua Tunggal (Single Parent) Dalam Keluarga di Desa Numbing Pada bab ini akan di paparkan hasil wawancara denga informan yang telah dikumpulkan dan diolah secara sistematis dan menurut aturan yang telah di tetapkan dalam metode penelitian. Selanjutnya akan dipaparkan profil informan dan akan dipaparkan informan berupa data hasil penelitian, khusus tentang pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh ayah sebagai orangtua tunggal (single parent) dalam keluarga. kemudian data hasil penelitian ini akan di bahas secara kualitatif sesuai dengan teknik analisis data yang ditetapkan dalam penelitian ini. Analisis terakhir adalah pola pengasuhan anak yang dilakukan oleh ayah sebagai orangtua tunggal (single parent) dalam keluarga. Kemuadian informan di tetapkan sebanyak 4 orang, yaitu ayah sebagai orangtua tunggal (single parent). Dalam keluarga. A. Karakteristik Informan Adapun karakteristik informan dapat di jelaskan dari perbedaan umur, jenis pekerjaan dan penghasilan yang di proleh dari pekerjaan tersebut. Untuk lebih jelas karakteristik informan dipaparkan sebagai berikut: 1. Karakteristik Umur Berdasarkan hasil penelitian yang diproleh bahwa informan memiliki perbedaan dari segi umur, begitu juga dengan anggota keluarga masing-masing dari informan memiliki tingkat umur yang berbeda-beda. Hal ini dapat terlihat pada tabel dari jumlah anggota keluarga informan berdasarkan umur yang disajikan berikut ini : Tabel V.1
Jumlah Anggota Informan Berdasarkan Umur No Nama Ayah Single Umur Tanggungan Anak Umur Parent 1 Haidin 41 2 Orang Anak 10 & 13 2 Sumarno 43 2 Orang Anak 14 & 16 3 Ipul 50 1 Orang Anak 18 4 Saldi 54 1 Orang Anak 15 Sumber : (Data Primer) Hasil Olahan Data Lapangan Tahun 2016 2. Karakteristik Perceraian Informan berdasarkan penelitian memiliki perbedaan dari segi perceraian di dalam keluarga, baik cerai mati maupun cerai hidup yang dimana cerai hidup yaitu di tinggal pergi oleh pasangan hidupnya dan sementara itu yang cerai mati di tinggal meninggal oleh pasangannya. Hal inilah yang menjadi penyebab terjadinya orangtua tunggal didalam keluarga dan dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel V.3 Informan Berdasarkan Perceraian No Perceraian Jumlah (orang) 1 Cerai hidup Haidin 2 orang Sumarno 2 Cerai mati Ipul 2 orang Saldi Jumlah 4 4 orang Sumber : (Data Primer) Hasil Olahan Data Lapangan Tahun 2016. 3. Karakteristik Lama Cerai Hidup dan Cerai Mati Adapun informan yang memberikan informasi sesuai dengan menjadi orangtua tunggal juga dapat dilihat dari berdasarkan lama perceraiannya, baik cerai mati maupul cerai hidup. Hal ini dapat dilihat dari tabel tentang informan berdasarkan masa orangtua tunggal yang disajikan di bawah ini : Tabel V.4 Informan Berdasarkan Lama Cerai Hidup dan Cerai Mati No Nama ayah single parent Cerai hidup Cerai mati 1 Haidin 2 tahun 1 bulan 2 Sumarno 3 tahun 7 bulan 3 Ipul 1 tahun 2 bulan 4 Saldi 4 tahun 5 bulan Sumber : (Data Primer) Hasil Olahan Data Lapangan Tahun 2016. B. Analisis Pola Pengasuhan Anak Yang Dilakukan Oleh Ayah Sebagai Orangtua Tunggal (Single Parent) Dalam Keluarga. Setiap orangtua berkewajiban memberikan pengasuhan dan bimbingan kepada anak untuk menentukan masa depan anaknya. bimbingan dan pengasuhan yang baik akan memberikan pengaruh, motivasi, dan contoh yang baik untuk tumbuh kembang seorang anak sehingga menjadikan anak dapat tumbuh, berkembang dan dapat bersosialisasi dengan baik di masyarakat dan lingkungan sekitar dimana dia tinggal. Namun dalam masyarakat cenderungan untuk mengasuh dan membimbing anak lebih banyak diserahkan kepada ibu, karena ibu dianggap sosok yang sabar dan telaten dalam mengasuh dan mendidik anak. sementara ayah hanya bertugas untuk mencari nafkah untuk memenuhi semua kebutuhan anggota keluarga.
Terlepas dari itu, lain halnya dengan keluarga single parent. Dimana salah satu fungsi keluarga tidak berjalan atau berfungsi. Penyebab seorang ayah menjadi single parent di dalam keluarga adalah di karenakan istrinya meninggal dunia atau berpisah dengan istrinya, ayah mendapat kepercayaan untuk mengasuh, merawat dan mendidik anak. dan anak akan memilih orang tua tunggal yang menurutnya mereka merasa nyaman dan merasa di sayangi oleh ayah atau ibunya. Hal ini selaras dengan yang dikatakan oleh Rani (13 tahun), sebagai berikut : “kami setelah mengetahui mamak meninggalkan kami, kami merasa sangat kehilangan, sedih, bingung, bagaimana nantinya dengan kami yang tidak ada lagi tempat untuk bercerita. Meskipun terkadang saya pingin marah karena mama telah meninggalkan kami sehingga tidak dapat berkumpul lagi. Tapi meskipun kondisinya tidak bersama lagi dengan mama, kami tetap bersyukur karena masih ada bapak dan nenek/kakek yang selalu menyayangi kami”.(Hasil wawancara tanggal, 21 januari 2017). Dari keadaan ini, seorang ayah mempunyai fungsi ganda yaitu sebagai tulang punggung keluarga dan sekaligus menggantikan figur yang hilang yaitu menjadi ibu rumah tangga yang mendidik, mengasuh anak. Sehingga di butuhkan kesimbangan dalam menjalankan peran-peran tersebut demi untuk mempertahankan kehidupanya. Karena single parent merupakan satu-satunya orangtua yang paling di butuhkan dan paling berperan penting untuk anak-anaknya. Hal inilah yang sangat mempengaruhi pola pengasuhan pada anak. Dan kepribadian anak terbentuk dari kaluarga yang kurang lengkap seperti ini. Lain halnya dengan keluarga yang lengkap, dan kepribadian anak akan terbentuk dari salah satunya pengasahuan keluarganya terhadap anak tersebut, semakin baik pola pengasuhan anak tersebut semakin baik pula hasil yang dicapai nantinya. Berjalan dengan statusnya dan keadaannya akan mempengaruhi secara dominan bagaimana ia akan menerapkan proses pengasuhannya terhadap anaknya, yang akhirnya akan berdampak positif ataupun negatif pada diri anak tersebut. Karena mengasuh anak merupakan perilaku yang standar dalam proses asuhan terhadap anak dalam keluarga. Orang tua tunggal akan memakai salah satu pola pengasuhan apakah itu secara otoriter, demokrasi dan permisif. Menurut Hurlock (Dalam Ihromi 2004: 51). Dalam mengasuh anak-anak mereka, orang tua di Desa Numbing menggunakan pola asuh yang berbeda satu sama lain. Akan tetapi yang banyak di anut adalah pola pengasuhan anak dengan menggunakan pola demokrasi, namun ada juga orang tua yang mengkombinasikan pola pengasuhan anak anatara tipe demokrasi dengan pola otoriter maupun dengan pola asuh permisif pada saat situasi dan kondisi tertentu. Pola asuh orang tua yang demokratis pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua dan anak atau orantua menggunakan diskusi dan memberikan kesempatan kepada anak. Penjelasan dan alasan-alasan yang memebantu anak agar mengapa ia diminta untuk mematuhi suatu yang disepakati bersama. Orang tua yang demokratis ini yaitu orang tua yang menekankan aspek pendidikan ketimbangan aspek hukuman. Hukuman tidak pernah kasar dan hanya diberikan apabila anak dengan sengaja menolak perbuatan yang harus ia lakukan. Orangtu yang demokratis adalah orangtua yang berusaha untuk menumbuhkan kontrol diri dalam diri anak sendiri dan pengasuhan ini memberikan kesempatan pada anak untuk berkembang kearah positif. Faktor yang mempengaruhi pengasuhan anak dalam keluarga orang tua tunggal adalah bukan karena meniru pola pengasuhan yang pernah di dapatkan dari orang tuanya dahulu saat masih kecil. Orang tua tunggal beranggapan bahwa pola pengasuhan jaman dahulu tidak cocok jika di terapkan di jaman sekarang karena sudah berbeda jamannya (Ihromi 2004 :52-53). Orang tua tunggal mengetahui pola pengasuhan yang baik untuk anaknya melalui kegiatan yang diamati oleh orang tua di lingkuangan tempat tinggal, dan mengetahui melalu acara di Tv dan juga melalui pribadi sendiri.
1. Orangtua Tunggal Dalam Membagi Waktu Antara Pekerjaan Dan Waktu Untuk Keluarga. Orangtua tunggal menyadari dirinya adalah orang tua tunggal yang harus mampu bermain peran untuk keluarganya. Orang tua tunggal bekerja diluar rumah, maka pekerjaannya akan menyibukan dirinya dari kewajiban-kewajiban mengurus rumah dan dari tanggung jawabnya mendidik, mengasuh anak-anaknya. Namun ini adalah tanggung jawab bagi seorang orang tua tunggal dan bukan merupakan suatu paksaan karena mereka menyadari ini adalah takdir yang harus dijalani. Tidak mudah bagi orang tua tunggal untuk dapat membagi waktunya dari semua tanggung jawabnya, disatu sisi ia berperan sabagai ayah bagi anak-anaknya dan disisi lain menjadi seorang ibu yang penuh kasih sayang untuk anak-anaknya. Kesibukan orang tua dalam bekerja menyebabkan waktu yang digunakan untuk mengasuh anak juga sedikit, bahkan tanggung jawab mereka dalam mengangasuh anak cederung diabaikan. Jika orang tua sedang bekerja, bagi yang mempunyai sanak saudara atau kakek/neneknya. Maka peran dalam mengasuh anak di berikan kepada saudara atau kakek/neneknya, setelah orang tua pulang baru orang tua baru mengambil peran dalam mengasuh anak. Orangtua tunggal ini berusaha untuk selalu menghangatkan keluarga yang disayanginya. Meskipun sibuk dengan pekerjaanya namun ia tetap menyempatkan diri untuk selalu ada ditengah-tengah keluarganya memberikan kasih sayang, perhatian agar anakanaknya merasa nyaman dengan kondisi keluarganya. Hal ini selaras dengan jawaban dari informan Haidin (41 Tahun), sebagai berikut : “Agak susah ya dek karena saya kerja gak tentu serabutan, jadi waktu untuk keluarga tidak terlalu maksimal kalau sampai malam. Jadi ngumpul sama anak paling pagi hari sebelum pergi kerja jam (07.00 Wib) sama sore stelah pulang kerja jam (17.00 Wib) kadang lewat, tapi saya selalu berusaha untuk memperhatikan anak. Karena keluarga itu ya nomor satu dek, apa lagi anak saya dua masih kecil-kecilkan, jadi saya berusahalah selalu ada untuk anak, saya kerja juga untuk anak sekolahkan masa depan dia. Jadi malam bener-bener saya ngurus mereka ya alhamdulillah lah mereka paham dengan kondisi saya di tambah lagi kakek/neneknya juga ikut dalam memperhatikan anak dek”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Kemudian selanjutnya dikatakan pula oleh salah seorang informan Saldi (56 tahun), dengan jawaban yang diproleh sebagai berikut : “Berhubung anak bapak tinggal satu dan sudah besar lagi, jadi kalau cara bapak membagi waktu ya gampang aja dek, yang penting saya kerja setelah itu pulang kerja ngurus rumah terus kasih waktu untuk anak perhatiin kegiatan dan belajar anak. (Hasil wawancara, tanggal 5 juni 2016). Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwasanya bila dilihat dari pola asuh anak yang diberikan oleh orang tua tunggal ini tidak sepenuhnya didapatkan oleh anak. Apa lagi orang tua tunggal dalam bekerja tidak teratur dan menentu yang mengakibatkan kesulitan dalam membagi waktu antara bekerja dengan anak. Sebagaimana di ungkapkan Suhendi dan Wahyu (2001) dimana fungsi keluarga seharusnya anak mendapatkan kasih sayang dan cinta kasih bukan hanya sebatas perhatian anak saja melainkan mereka juga harus meendampingi anak baik itu kebutuhan makan anak, belajar anak, kegiatan anak. Walaupun fakta dilapangan ditemukan orang tua tunggal sudah mampu dalam membagi waktu antara pekerjaan dengan waktu untuk keluarga semaksimal mungkin untuk orang yang dicintainya meskipun awalnya orang tua merasa sulit, sehingga anak-anaknya tidak merasa kurang perhatian dari orang tuanya meskipun hanya orang tua tunggal.
Dan sebagian orang tua mengalami kesulitan sehingga tidak maksimal dalam menjalankan perannya karena sibuk dengan pekerjaanya. Kesibukan orang tua dalam bekerja menyebabkan waktu yang digunakan untuk mengasuh anak juga sedikit, bahkan tanggung jawab mereka dalam mengangasuh anak cederung diabaikan. Jika orang tua sedang bekerja, bagi yang mempunyai sanak saudara atau kakek/neneknya. Maka peran dalam mengasuh anak di berikan kepada saudara atau kakek/neneknya, setelah orang tua pulang baru orang tua baru mengambil peran dalam mengasuh anak. Resiko menjadi orangtua tunggal banyak sekali tidak terkecuali bagi orangtua tunggal, lebih banyak masalah yang dihadapi salah satunya dalam pembagian waktu, memainkan peran seperti peran ditengah keluarga. Keterbatasan waktu untuk bertemu ketika dirumah tidak jarang pulak orang tua tunggal menyempatkan untuk berinteraksi atau berkomunikasi dengan anak-anaknya. Masalah yang di omongi tidak jauh masalah sehari-hari seperti masalah sekolah, masalah pekerjaan dirumah, kebutuhan apa saja yang dibutuhkan oleh anak, sampai dengan bagaimana pergaulan anak dengan teman-temannya. Pada dasarnya bahwa orang tua tunggal berkomunikasi dengan anak-anaknya merupakan hal yang sangat penting, karena dengan berkomunikasi ini lah fungsi dari orangtua berjalan, sehingga dengan berkomunikasi ini rasa sayang terhadap anak tercurahkan dan orangtua bisa mengetahui keinginan anak dan apa yang dirasakan oleh anak. Suhendi dan Wahyu(2001). 2. Memberikan Tugas Kepada Anak Orangtua tunggal yang memiliki beban ganda kadang kala merasa kewalahan bila mengurus anak, dan mengurus rumah seorang diri. Orangtua tunggal yang memiliki anak yang sudah cukup besar kadang merasa sangat terbantu dengan adanya anak yang sudah cukup besar. anak yang sudah cukup besar biasanya diberikan pekerjaan untuk mengurus rumah. Pekerjaan yang diberikan kepada anak adalah pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan anak. Orangtua tunggal dalam rangka pola pengasuhan anak juga akan memberikan tugas pada anak-anaknya agar dapat hidup mandiri. Anak-anak yang sudah cukup besar biasanya diberikan tugas oleh orangtuanya untuk membantu pekerjaan rumah. Misalnya setelah pulang sekolah anak selalu diberikan tugas untuk membantu pekerjaan di rumah, seperti menyapu rumah, menyapu halaman rumah, mencuri piring, menggosok baju. Melalui pemberian tugas inilah anak akan mempelajari nilai kemandirian, kebiasaan di tempat mereka tinggal. Seperti hasil penelitian pada pola pengasuhan demokratis pada anak yang dilakukan oleh ayah sebagai single parent dalam keluarga di Desa Numbing hal itu selaras dengan hasil wawancara terhadap salah satu informan. Berikut ini kita ketahui jawaban dari informan Haidin (41 tahun) sebagai berikut : “Anak saya semuanya saya berikan tugas atau pekerjaan kepada anak dek, dari yang kecil sudah saya berikan tugas nyiram bunga sebelum berangkat sekolah, terus kalau mau berangkat sekolah ya mandi sendiri. Sedangkan yang besar saya biasakan untuk mau mebersihkan rumah, mecuci piring, gosok baju, terkadang saya suruh bantuin masak, pastinya pekerjaan yang tidak beratlah dek, dan ini dilakukan setiap harinya pada saat anak pulang sekolah dan ini saya tekankan kepada anak, dan taklupa pula neneknya juga sering menginggatkan anak apakah pekerjaan rumah sudah selesai apa belum ketika orang tuanya tidak berada dirumah”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Pernyataan yang berbada disampaikan oleh salah seorang informan Ipul (50 Tahun), dengan mengatakan bahwa :
“Ya, sebenarnya pemberian tugas tidak harus dilakukan mas. karena anak saya kan sudah besar dan laki-laki pulak. Dan lagian saya pun juga bisa melakukannya sendirian mas, dan itu tidak membebanin saya. Hal itulah yang membuat saya tidak memaksa dia, jadi terkadang dia mau membantu pekerjaan saya, misal seperti dirumah yapu, yuci piring dan terkadang tidak, ya saya membiarkan saja mas apa yang mau dikerjain”. (Hasil wawancara, tanggal 7 juni 2016). Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwa dalam rangka pola pengasuhan orangtua tunggal memberikan tugas atau pekerjaan kepada anak-anaknya. Pemberian tugas seperti pada masyarakat umumnya, anak dari orangtua tunggal juga menerima perbedaaan dalam pemberian tugas anatara anak laki-laki dengan anak perempuan. Hal ini erat kaitannya dengan gender misalnya, anak lakilaki mendapatkan pekerjaan seperti mencari kayu, mengambil air dan pekerjaan yang biasa dikerjakan oleh ayah sementara itu anak perempuan menyapu rumah, mencuci piring, menstrika pakaian. Perbedaan dalam memberikan tugas ini karena orang tua tidak ingin anak laki-laki di anggap lemah seperti anak perempuan dan anak perumpuan tidak boleh seperti anak laki-laki yang nantinya di bilang tomboi. Pekerjaan yang di berikan oleh orang tuanya di kerjakan pada saat sebelum dan sesudah anak pulang sekolah atau tidak ada lagi kegiatan yang dilakukan oleh anak. Secara umum pola pengasuhan ini sesuai dengan menurut Hurlock (2004: 51). Orang tua mengajak dan mengajarkan anaknya untuk dapat mengerjakan pekerjaan rumah, ini bertujuan agar kemandirian, keteladanan dan melatih tanggung jawab kepada anak. Seseorang di katakan mandiri jika mampu menyelesaikan suatu masalah dengan penuh kedewasaan. Sehingga mengajarkan kemandirian pada anak sangat penting dimasa anak masih kecil. Lain halnya dengan orang tua yang dalam pola pemberian tugas ini orang tua menerapkan pola permisif yang dimana dapat di temui di lapangan bahwasannya orangtua tidak begitu memaksakan anaknya untuk mengerjakan tugas yang di berikan oleh orang tuanya karena menganggap anaknya laki-laki dan sudah besar lagi jadi agak sulit di atur. Dan kemandirian anak akan terbentuk dengan sendirinya. Sehingga orang tua lebih memilih atau bersikap mengalah, dan membiarkan anak untuk berbuat semau mereka. Moesono (1993: 18). Dari pola pengasuhan tersebuat akan menimbulkan dampak terhadap anak. Sikap orang tua yang demokrasi, dalam membentuk kemandirian pada anak orang tua akan mengajak dan mengajarkan kemandirian pada anak sangat penting oleh karena itu kemandirian anak harus dilatih sejak dini. Kemandirian anak muncul yakni ketika orang tua tunggal bekerja di luar rumah. Dalam diri anak sudah ada kesadaran bahwa ia harus membantu pekerjaan orang tuanya dan harus bisa melakukan apa-apa dengan sendiri dan sejak SD harus membiasakan diri ketika orang tuanya pergi. Berikut pernyataan dari anak informan yang bernama Rani, sebagai berikut : “ketika orang tua tidak ada dirumah kami mengerjakan tugas yang telah diberikan kepada kami, yaitu seperti menyapu, mencuci piring ini kami lakukan sebelum dan sesudah pulang sekolah. Dan ini sudah menjadi tugas kami sehari-hari meskipun kami masih ada kakek/nenek yang terkadang ikut memebantu dalam mengejakan tugas ini”.(Hasil wawancara tanggal, 8 juni2016). Sedangkan dengan pola pengasuhan permisif yang di terapkan kepada anak. Kemandirian anak kurang terbentuk dikarenakan orang tua seperti acuh tak acuh dalam membentuk kemandirian anak sehingga seolah-olah hilang karena orang tua tidak memaksakan kepada anak untuk membantunya, karena orang tua tidak merasa terbebanin,
dan orang tua merasah bersalah tidak dapat mengurus anak semaksimal dan tidak selalu bisa untuk mendampingi anak, hal itulah yang membuat orang tua tidak memaksakan anak. berikut pernyataan dari Onik (18 tahun) sebagai berikut : “onik jarang bang yang namanya menyapu, mencuci piring, masak, paling kalau bapak lagi sibuk dengan pekerjaannya dirumah saya baru ikut membantunya, dan terkadang juga jarang untuk membantunya. orang tua tidak pernah memaksaakan kami untuk mengerjakannya”.(Hasil wawancara tanggal, 9 juni 2016). 3. Orang Tua Mengikutsertakan Anak Dalam Proses Pengambilan Keputusan Yang Berhubungan Dengan Anak (berdiskusi). Didalam kehidupan sehari-hari, pengambilan keputusan yang berhubungan dengan anak-anaknya adalah hal yang wajar bila terjadi didalam keluarga. Pola ini untuk menandakan apakah komunikasi antara orangtua dengan anak terjalin dengan baik atau tidak, hubungan antara orang tua dengan anak yang baik adalah adanya kepedulian dalam berkomunikasi dan adanya perhatian, bisa berbentuk tukar pendapat atau tukar pikiran kepada anak pada saat proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan anak seperti dimana anak harus belajar atau bersekolah. Anak dituntut untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan memilih tempat belajar atau sekolah ataupun tentang pergaulan anaknya yang dimana orang tua selalu meingikutsertakan anaknya. Berikut ini akan dapat kita ketahui jawaban dari informan Haidin (41 Tahun) sebagai berikut : “Saya sering mengikutsertakan anak, tapi jika anak saya membuat keputusan mengenai tentang sekolah atau belajar anak, seperti kamaren anak saya yang besar setelah tamat dia mintak sekolah diluar saya menolaknya dan tidak mengizikannya dek dan yang kecil pun juga saya yang ngatur kalau masalah sekolah, karena saya tahu mana yang baik buat anak, dan saya merasah sang anak belum mampu berfikir secara dewasa dan masih mementingkan egonya sendiri, jadi saya selalu lebih meberikan pilihan-pilahan saya sendiri dibandingkan pilihan anak bapak sendri dek, seperti saya memberikan pilihan untuk sekolah di dekat sini aja kan enak dekat”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Selain itu terdapat pula jawaban yang berbeda dari informan Sumarno (43 Tahun) sebagai berikut : “Saya selalu mengikutsertakan anak saya dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan kepentingan anak dek, apalagi itu menyangkut tentang sekolahnya. Pasti saya melibatkan anak karena saya tidak ingin anak saya terpaksa nantinya dalam menjalani keputusan yang diambil, dan saya selalu memberi bimbingan dan arahan kepada anak-anak saya dek, seperti eskolah yang bagus dan yang benar”. (Hasil wawancara, tanggal 4 juni 2016). Pernyataan yang lain juga disampaikan oleh salah seorang informan Ipul (50 Tahun), dengan mengatakan bahwa : “Didalam pengambilan keputusan baik itu tentang sekolahnya ataupun yang lain, selalu saya memberi dukungan kepada anak dek karena saya tahu apa yang diinginkan anak dek dan saya pun percaya kalau anak bisa menjalankan atas pilihannya yang dipilihnya dengan baik karena anak saya sudah besar”. (Hasil wawancara, tanggal 7 juni 2016). Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwa para orang tua selalu mengikutsertakan anaknya dalam proses pengambilan keputusan yang berhubungan dengan anak. Baik itu tentang sekolahnya ataupun tentang pergaulan anaknya yang dimana sikap orang tua selalu mengikutsertakan anaknya.
Namun sikap dari orang tua dalam menanggapinya berbeda antara orang tua yang satu dengan yang lainnya. Sikap orang tua yang otoriter, seringkali orang tua menolak keputusan anaknya tanpa harus mendidskusikan atau membicarakan terlebih dahulu kepada anaknya, hal ini di karenakan orang tua tunggal menganggap anaknya belum bisa berfikir secara dewasa dan hanya mementingkan egonya semata (Ihromi 2004 : 52). Sehingga yang menjadi keputusan orang tua itulah yang akan dipilih oleh anak. Orang tua bersikap memaksa dan mengaharuskan atau memerintah anak untuk melakukan sesuatu tanpa kompromi dengan anak. Walaupun anak sering ingin membuat keinginan sendiri, karena menurutnya pilihan anak tersebut kurang baik untuknya. Dan selama ini anaknya selalu menuruti keinginan orangtua dan tidak keberatan atas pilihan-pilihan yang orang tua putuskan untuk anaknya Lain halnya dengan sikap orang tua yang demokratis di tandai dengan adanya orang tua yang menghargai keputusan anak dan orang tua bersikap terbuka kepada anak untuk menyampaikan keinginanannya. Orangtua yang mengahargai keputusan anak dan orang tua bersikap terbuka atau demokrasi. Artinya orangtua didalam menghadapi sikap-sikap, keputusan dan harapan anaknya dalam keputusan yang berkaitan dengan anaknya selalu melibatkan mereka. Adanya sikap saling menghargai dan memberikan ruang yang cukup untuk saling berpendapat antara anak dengan orangtua adalah hal penting. Hal ini terjadi karena, orangtua beranggapan bahwa anaklah yang nantinya akan menjalani keputusan tersebut, sehingga di butuhkan keputusan bersama dari pada keputusan sepihak. Bahkan ada orangtua yang sangat mendukung dan lebih memberikan apa yang mau menjadi keinginan anak, tampa memberikan arahan kepada sang anak. Ini dikarenakan orang tua beranggapan bahwasanya anaknya sudah besar sehingga orang tua percaya jika anak bisa menjalankan keputusanya yang dipilihnya dengan baik. 4. Pemenuhan Kebutuhan Anak Sudah menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhana anak. Baik kebutuhan materi maupun kebutuhan non materi. Kebutuhan materi seperti papan, sandang, pangan yakni tempat tinggal, makanan dan pakaian yang merupakan kebutuhan pokok manusia. Orang tua wajib menyediakan rumah/tempat tinggal bagi anaknya untuk berteduh, memberikan makanan yang bergizi untuk tumbuh kembang anak, dan pakaian yang layak untuk melindungi tumbuh anak agar tidak kedinginan. Orang tua harus menjamin anakanaknya memenuhi kebutuhan mereka. Kebutuhan non materi anak yakni kebutuhan akan rasa aman sehingga anak perlu tetap berada disamping orang tuanya agar merasa aman dan nyaman. Kebutuhan non materi lainnya yang tidak kalah penting adalah kebuthan akan kasih sayang. Keluarga berperan penting dalam pemenuhan kasih sayang, perhatian, komunikasi intensif dan kehangatan yang membuat anak bahagia dan merasa diakui keberadaannya. Orang tua tunggal memiliki kewajiban yang sama dengan orang tua yang lain pada umumnya dalam hal memenuhi kebutuhan anak. Berikut ini akan dapat kita ketahui jawaban dari informan Haidin (41 Tahun), sebagai berikut : “Saya selalu memberikan yang menjadi kebutuhan anak-anak, seperti kemaren anak saya belikan baju, celana baru. Dan terkadanga anak mintak yang lain seperti sepeda, tetapi keputusan tetap ditangan saya dek, karena terkadang saya merasa kalau pendapatnya anak saya itu hanya ego semata aja dan lagian pun saya fikir dia belum dewasa. Jadi saya harus mempertimbangkan apakah memang bener di butuhkan atau tidak”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Kadang kala dimana pada situasi tertentu dari prilaku orang tua yang kasar (maskulin) berebuh menjadi penyayang dan lembut feminim (Save M. Dagun 1997). Karena pada dasarnya setiap orang tua pasti ingin membahagiakan anak-anaknya dengan memenuhi segalah kebutuhannya agar anak dapat tumbuh maksimal. Seperti halnya orang tua tunggal yang berusaha membahagiakan anak-anaknya dengan memenuhi kebutuhan anak. Orang tua
tunggal umumnya merasa bersalah karena tidak selalu dapat mendampingi anak di setiap saat seperti keluarga pada umumnya. Untuk menghilangkan rasa bersalah ini orang tua tunggal menunjukan kasih sayangnya dengan membelikan yang di inginkan anak atau di butuhkan anak seperti, baju, celana, tas, bahkan ada yang membelikan sepeda dan Hp. Penerapan pola pengasuhan dengan memenuhi kebutuhan anak sejauh ini peneliti lakukan menjumpai sikap berlebihan yang dilakukan oleh keluarga orang tua tunggal. Bahwa Pola pengasuhan anak cenderung pada pola sikap orang tua tunggal yang permisif, dimana orang tua tunggal mencoba untuk memenuhi segala kebutuhan anak (Moesono 1993: 18). Terkadang orang tua kurang mempertimbangkan perlu atau tidaknya barang itu tersebut diberikan pada anak, yang penting anak senang. Meskipun secara umumnya orang tua tunggal memanjakan anak dalam hal-hal diatas, ada di jumapai orang tua tunggal yang selektip dalam membelikan atau memberikan sesuatu pada anak yakni dengan melihat apakah anak benar-benar butuh apa tidak. Dan pemberian pun dengan syarat misalnya, jika anak berprestasi atau naik kelas barulah keinginan anak itu di kabulkan atau di berikan hadiah yang lainnya. 5. Hubungan Dengan Lingkungan Sekitar (bersosialisasi) Sebagai manusia yang tidak dapat hidup sendiri saling membutuhkan bantuan orang lain. Dan didalam kehidupan sehari-hari tidak mungkin lepas dari yang namanya hubungan atau interaksi sosial. Hubungan sosial adalah merupakan aspek penting dan wajib ada dalam sebuah kehidupan individu. Sebab tampa hubungan sosial manusia tidak akan mungkin dapat memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Orang tua tunggal ini menyadari dengan kondisinya yang hidup tanpa dampingan seorang istri hanya dengan anak-anaknya dan mungkin beberapa anggota keluarga lainya tidak dapat hidup sendiri oleh karena itu orang tua tunggal ini harus mampu menjaga hubungan yang baik didalam lingkungan tempat tinggalnya, dan disela-sela kesibukan keseharianya bagaimana pun manusia adalah mahluk sosial yang selalu membutuhkan pertolongan orang lain. Oleh karena itu untuk menjaga hubungan yang baik orang tua tunggal ikut melakukan kegiatan yang ada di dalam lingkungan tempat tinggalnya, seperti yasinan, kotong royong dan sebagainya. Dan orang tua tunggal pun tidak lupa mengajarkan kepada anak untuk sopan santun dan menghormati orang yang lebih tua, hal ini merupkan nilai yang baik yang patut dilakukan oleh semua anggota masyarakat. Hal ini sesuai dengan yang di utarakan oleh informan Haidin (41 Tahun), sebagai berikut : “saya sering dek ikut-ikut acara pengajian yang rutin di setiap malam jumat, kalau tetangga ada hajatan pas waktu saya dirumah dan gak ada kerjaan saya bantu-bantu juga, ya walaupun gak sampai selesai ya adalah berbaur dengan tetangga. Dan anak pun bisa berbaur dengan temannya seperti setelah pulang sekolah anak langsung bermain dengan temannya ntar sampai sore baru pulang. Terus kalau masalah omongan dari tetangga sekitar masalah status saya ini tidak adalah dek mereka biasa-biasa saja” (wawancara tanggal 2 juni 2016). Kemudian selanjutnya hal yang sama juga dikatakan pula oleh salah seorang informan Saldi (54 Tahun), Dengan jawaban yang diproleh sebagai berikut : “Saya jarang sekali ikut acara kegitan gotong royong karena waktunya gak pas paling kalau pas ketepatan saya gak ada kerjaan barulah bisa ikut. Kalau omongan dari tetangga gak ada si dek, masalah kenapa gak ikut ataupun apalah gitu, karena tentangga sini tau dengan kerjaan saya. Dan anak pun tidak pernah ngeluh atau mengadu sama saya tentang keluarganya, dan anak seperti biasa pulang sekolah kadang bantu saya keladang dan ntar sore dia main bola dan sebagainya” (wawancara tanggal 5 juni 2016). Pada umumnya, anak dan orang tua tunggal dapat bergaul dengan siapapun dan dimanapun. Hal ini salah satunya dikarenakan wilayah Desa Numbing meski pun sering masuk keluar orang pendatang dari kota, namun karakteristik masyarakatnya tidak mutlak
terpengaruh oleh orang kota yang cenderung acuh dan individualis melainkan masih bersifat pangguyuban, dimana anatar anggota masyarakat memiliki ikatan batin yang murni bersikap alamiah dan kekal. Hal ini dirasakan langsung oleh peneliti ketika melakukan wawancara dengan beberapa informan, sebagian besar bersifat ramah dan menyambut kedatangan peneliti dengan baik. Masyarakat dengan mengadakan kegiatan-kegiatan kemasyarakatan bertujuan agar dapat menciptakan suasanya yang rukun antar anggota masyarakat. Hal ini akan mempermudah anak orang tua tunggal untuk bergaul. Sama sekali tidak ada diskriminasi antara anak lain. Anak dari orang tua tunggal ini tidak pernah merasa minder dan berbeda dengan anak-anak lain seusianya. Teman-teman atau para tentangganya tidak pernah mencemooh atau menjelek-jelekannya. 6. Orangtua Mengontrol Kegiatan Anak. a. Orangtua Membatasi Pergaulan Anak Dalam Bermain Pada umumnya para orangtua tidak ingin anaknya terjerumus ke hal-hal yang negatif yang bertentangan dengan nilai dan norma yang berada didalam masyarakat. Dan para orangtua dengan status dan kondisi yang di sandangan membuat para orangtua harus lebih dapat mengontrol kegiatan anak, seperti membatasi pergaulan atau waktu anak dalam bermain. Didalam pergaulan sehari-hari, sebenarnya wajar saja jika anak yang bermain melebihi waktu dari yang ditentukan oleh orangtua mereka, karena remaja adalah masa dimana anak bertumbuh dan berkembang, serta keingin tahuannya sangat besar oleh karena itu tidak jarang mereka melakukan hal-hal yang dianggap mereka masih baru mengenalnya, oleh sebab itulah banyak anak yang lupa waktu jika sedang asik bermain dengan temanteman mereka. Orang tua tentu memiliki gaya pengasuhan yang berbeda, ada orang tua yang tergolong santai sehingga orang tua tunggal tidak terlalu memproteksi anak-anaknya. Dilain sisi ada orang tua tunggal yang memiliki sikap keras dalam mendidik anaknya. Hal ini selaras dengan jawaban dari informan Haidin (41 tahun), sebagai berikut : “Iya dek, kalo saya memberi batasan waktu pergaulan anak pada saat anak bermain. Agar anak tidak telat pulang, karena jika dia telat pulang lewat dari jam 9 malam pasti saya marahin maka dari itu dia tidak berani untuk telat waktu, ya meskipun terkadang anak melanggarnya dek tapi tidak sering di lakukannya, takutnya nanti susah di bangunin saat sekolah. Dan kakek/neneknya pun juga marah kalau tau anak pulangnya malam, bahkan kalau apa yang kecil di jemput sama neneknya pada saat bermain”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Selain itu terdapat pula jawaban yang berbeda dari informan Sumarno (43 tahun), sebagai berikut : “Apabila saya memberi batasan waktu dalam bermain kepada anak, dia selalu menurut meskipun terkadang dia telat pulang sampai larut malam (jam 10) baru pulang, dan kalau dia telat pulang saya langsung saja menelpon atau sms dek khususnya bagi anak perempuan. Untuk mengingatkan dia kalau ini sudah waktunya pulang dan alhamdulillah dia bisa menerima sikap saya tersebut dek”. (Hasil wawancara, tanggal 4 juni 2016). Pernyataan yang lain juga disampaikan oleh salah seorang informan Ipul (50 Tahun), dengan mengatakan bahwa : “Saya jarang memberikan batasan waktu terhadap anak. Karena takut dia nantinya malah tertekan sehingga menjadi tidak menurut dengan orangtua dek. Paling pas malam hari aja saat dia ingin bermain dengan teman-temannya baru saya memeberikan batasan waktu. Tapi terkadang juga jarang memberikan batasan waktu. Saya membiarkannya agar dia dapat mencari jati dirinya dengan dia banyak bergaul dengan temannya”. (Hasil wawancara, tanggal 7 juni 2016).
Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwa sebagian besar orang tua tunggal memberi batasan waktu kepada anak pada saat anak bermain. Karena pemberian batasan waktu kepada anak adalah merupakan hal penting bagi orang tua untuk bisa mengontrol anaknya dalam bermain sehari-hari. Dan berdasarkan hasil penelitian terdapat sikap orang tua yang emosional (marah), pada anak saat anak bermain melebihi waktu yang telah ditentukan tanpa memberikan pengarahan atau nasehat kepada anaknya di karenakan anaknya masih kecil yang belum bisa berpikir mana yang benar mana yang salah. Hal tersebut merupakan bentuk pengajaran secara informal didalam rumah dengan segala peraturan yang dibuat untuk dipatuhi supaya anak lebih disiplin. Usia anak yang mulai remaja orang tua yang dulunya memilki sikap yang protektif kini harus merubahnya, dengan sikap orang tua yang lebih terbuka atau demokratis dan selalu menjalin hubungan yang baik dengan anak-anaknya. Orang tua tetap memberikan kontrol namun tidak membatasi aktifitas anak, memberikan kepercayaan kepada anak jika anak telat pulang dengan waktu yang ditentukan orang tua hanya mengingatkan dan menanyakan alasan dari anak, setelah itu orang tua memberikan nasehat kepada anaknya. Lain halnya dengan orang tua yang memiliki sikap yang selalau percaya terhadap anaknya. sehingga orang tua memberikan kebebasan sepenuhnya dan sebanyak mungkin kepada anak. Di tandai dengan tidak pernah memberikan batasan waktu kepada anaknya. Karena orang tua beranggapan jika anak di berikan batasan waktu anaknya akan menjadi bandel, dan tidak patuh kepada orang tuanya. Tujuannya dalam meberikan batasan waktu kepada anak adalah untuk menanamkan kebiasaan pada nak-anaknya waktu-waktu untuk pulang bermain, waktu istirahat, waktu kapan untuk bantu orangtua, dengan memberi waktu kepada anak agar anak tidak telat waktu saat pulang kerumah. Hal ini bertolak belakang dengan kehidupan masyarakat kota yang dimana banyak dari orangtua yang tidak pernah menanamkan waktu-waktu untuk anak. Disinilah peran ayah yang menjadi orangtua tunggal dalam keluarga menjalankan fungsi dari keluarga ( Suhendi dan Wahyu 2001:45-48). yaitu fungsi perlindungan dimana orangtua tnggal harus dapat menjaga dan memperhatikan tentang kegiatan sehari-hari anggota keluarganya dari tindakan negatif yang mungkin timbul, baik dari luar maupun dari dalam kehidupan keluarganya. Dari pola pengasuhan tersebuat akan menimbulkan dampak terhadap anak. Sikap orang tua yang otoriter dan demokrasi, dalam membentuk kedisiplinan pada anak orang tua tunggal secara umum anak memiliki kedisiplinan yang tinggi. Memang, orang tua membiasakan anak untuk anak disiplin misalnya, memberikan batasan waktu terhadap bermain anak. Namun lain halnya dengan pola pengasuhan permisif yang di terapkan oleh orang tua tunggal yang cenderung kurang disiplin, hal ini karena orang tua tunggal kurang tegas dan kurang telaten dalam mengasuh anak. Sehingga anak cenderung untuk melanggar aturan tersebut dan anak tidak memiliki kesadaran untuk pulang tepat waktu karena anak merasa orang tuanya tidak ada di rumah dan tidak ada orang tua yang memarahinya jika anak tidak mau belajar, wajar saja ketika anak tidak dapat mematuhi peraturan yang telah di buat oleh orang tua. Menurut (Hurlock 2004: 52) bahwa pola asuh permisif akan menghasilkan anakanak yang influsif, tidak patuh maupun menang sendiri, dan kurang matang secara sosial. B. b. Penerapan Hukuman (sanksi) Dalam pengasuhan anak, kadang kala orang tua tunggal juga perlu memberika hukuman kepada anaknya ketika ank berprilaku yang tidak sesuai dengan aturan. Orangtua tunggal selalu menegur bahkan tidak segan-segan menghukum anak jika melakukan kesalahan tersebut. Para orangtua tunggal di Desa Numbing mempunyai semacam anggapan bahwa anak adalah sesuatu yang sulit diatur sehingga tidak jarang anak berbuat tindakan
yang negatif. Tindak negatif seperti berkelahi, bagi anak remaja adalah fenomena yang wajar terjadi jika anak yang berkelahi dengan temannya. Pada umumnya orangtua tidak ingin anaknya melakukan hal negatif tersebut, karena memang tidak ada gunanya dan tidak ada untungnya bagi anak jika anak melakukan kesalahan. Berikut ini akan dapat kita ketahui jawaban dari informan Haidin (41 Tahun), sebagai berikut : “Jika anak saya terlibat perkelahian dengan teman-temannya, saya selalu memarahinya dek, bahkan saya terkadang langsung menjewer, dan memukul anak dek. Karena nanti saya tidak ingin anak saya terbiasa berkelahi, itu menurut saya bikin malu keluarga saja dek dan saya memarahi anak itu kan juga demi kebaikan anak juga dek, kecuali kakaknya lah dek saya berikan sedikit arahan dan nasehat bahwasannya itu tidak baik dilakukan untuk anak perempuan”. (Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Kemudian selanjutnya dikatakan hal yang sama pula oleh salah seorang informan Saldi (54 Tahun), dengan jawaban yang diproleh sebagai berikut : “hukuman pasti ada dek, jika saya tahu anak berkelahi dengan teman-temannya, tetapi setelah itu bapak kembali memberikan nasehat dan arahan agar dia tidak melakukannya lagi, bapak pun tidak ingin anak itu menjadi nakal apa lagi dia itu sudah besar jadi ya dengan memarahi dan bahkan menghukum dia, untung-untung dia mengerti kenapa bapak bisa sampai menghukum dia meskipun dia itu hidup didalam keluarga yang tidak utuh seperti ini dek. dan respon anak terhadap apa yang bapak lakukan terhadap dia bahkan sampai terkadang menghukum dia, untungnya dia mengerti, hukuman yang biasa saya lakukan seperti saya tidak mengabulkan permintaan dia di saat itu, abisnya mau di libas gak mungkin anak uda sebesar itu”. (Hasil wawancara, tanggal 5 juni 2016). Pernyataan yang berbeda disampaikan oleh salah seorang informan Ipul (50 Tahun), dengan mengatakan sebagai berikut : “Sebenarnya tidak perlu memberikan hukuman kepada anak jika anak melakukan perbuatan yang negative seperti berkelahi, toh itu hal yang wajar saja dilakukan oleh anak seusia dia. Paling kalau sudah jika perbuatan yang dilakukan oleh anak itu sudah di luar batas atau sudah kelewatan, seperti sudah menyangkut pihak yang berwajib baru saya menegurnya agar anak tidak terus merasa bersalah”. (Hasil wawancara, tanggal 7 juni 2016). Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwa secara umum orang tua tunggal menunjukan sikap yang tegas apabila anak melakukan tindakan negatif di dalam bermain seperti berkelahi. Dengan yang ditandai orang tua tidak segan-segan untuk memarahi anak bahkan terkadang langsung menghukum anaknya. Hukuman yang diberikan oleh orangtua apabila anak melakukan kesalahan biasanya memarahi, menjewer, mencubit, bahkan memukul meskipun tidak keras agar bertujuan anak kapok dan tidak mengulanginya lagi dan ini dapat dilihat dari fakta di lapangannya orang tua meberikan hukuman kepada anak. Dan ini dapat dikatakan sikap orang tua suka menghukum secara fisik tampa ada kompromi dan membicarakan secara baik-baik kepada anaknya tampa menasehati anak agar tidak melakukan tindakan negative lagi. Orang tua yang bersikap otoriter memberikan dampak positif bagi perkembangan anak. Anak akan menjadi anak yang penurut, patuh, takut dengan orang tua, serta menuruti apa yang di perintah oleh orang tua. Hukuman yang demikian menjadikan anak sangat takut kepada orang tua jika tidak melaksanakan ajaran orang tuanya. Orangtua yang memiliki sikap terbuka terhadap anaknya, setelah orang tua memarahi dan menghukum anaknya. Orang tua tidak lupa memberikaan nasehat, pengertian dan arahan kepada anaknya tetang mana yang benar mana yang tidak kepada anaknya agar anak tidak mengulangi perbuatan yang tidak diinginkan oleh orang tuanya. Dan ada sebagian orang tua
yang tidak memberikan hukuman kepada anaknya karena itu adalah hal yang wajar di lakukan oleh anak muda yang seusianya tetapi jika perbuatanya itu sudah kelewatan orang tua biasanya hanya menegur saja, dan di sini dapat kita lihat bahwasannya orang tua memiliki sikap cenderung tidak memperdulikan dan rendahnya kontrol dari orang tua. 7. Orang Tua Memperhatikan Pendidikan Anak Setiap anak wajib dan berhak mengikuti pendidikan. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pendidikan dasar yang dimaksud dikhususkan pada pendidikan formal, yakni dari jenjang sekolah dasar samapai sekolah SMP. Dan pendidikan merupakan hak asasi setiap manusia, pendidikan dapat diterima atau diperolah kapan saja, dimana saja dan kepada siapa saja tanpa melihat pangkat dan derajat orang tersebut, termasuk pula anak dari seorang orang tua tunggal. Oleh karena itu orang tua tunggal berupaya keras untuk memberikan pendidikan yang terbaik kepada anaknya dan perhatiaan sehingga pendidikan anak lebih terarah dan mencapai hasil yang maksimal, agar kelak anak tersebut menjadi anak yang yang berkualitas dan membanggakan bagi siapa saja terutama kepada orang tuanya. Dengan waktu yang terbatas berbagai cara dilakukan oleh single parent untuk terus dapat memberikan pendidikan kepada anak-anaknya. Hal ini sejalan dengan pernyataan salah seorang informan Haidin (41 Tahun), sebagai berikut : “Pendidikan jaman sekarang nomor satu, karna itulah anak saya mau saya sekolahkan sampai setinggi-tingginya kalau ada biaya. Jujur ya sedikit kewalahan kadang pulang kerja udah capek ya harus gimana lagi saya tetap memotivasi anak biar giat belajar, perhatikan hari-hari hasil belajar mereka disekolah, jika ada salah dalam mengerjakan PR nya paling saya yuru untuk mengulanginya lagi, dan anak juga saya ikutkan les didekat-dekat sini. Dan ketika saya tidak dirumah neneknya selalu menginggatkan anak untuk les. Alhamdulillah anak sering juara”.(Hasil wawancara, tanggal 2 juni 2016). Pernyataan yang berbeda disampaikan oleh salah seorang informan Ipul (50 Tahun), dengan mengatakan sebagai berikut : “Kalau saya jujur kurang memperhatikan pendidikan anak. Apalagi tanya-tanya masalah dia belajar jarang sih karena udah besar juga jadi saya gak terlalu banyak tanyak, kalau dia tidak mau belajar saya tidak memaksanya paling dia kecapean. dan saya juga capek kerja ngurus ini itu jadi belajar sendiri ajalah paling saya taunya waktu ambil rapot pandai-pandai dia belajar sendiri aja”.(Hasilo wawancara, tanggal 5 juni 2016). Berdasarkan dari hasil wawancara semua dengan informan dapat ditarik kesimpulannya bahwasanya sebagian besar orang tua tunggal memperhatikan pendidikan anaknya. Dalam menanamkan pendidikan bagi anaknya pada umumnya orang tua tunggal menerapkan pola yang bersifat demokrasi, menurut Hurlock (2004 :51). dimana orang tua mengajak dan mengajarkan anak, jika anak berbuat kesalahan dalam mengerjakan tugas sekolahnya orang tua akan segera memberikan arahan yang benar dan terlihat juga orang tua tunggal selalu mendorong, memotivasi anaknya untuk lebih giat lagi dalam belajarnya anak serta di ikutkan pula anaknya Les agar mendapatkan pengetahuan lebih luas. Ditambah lagi perhatian dari orang tua yang tidak lepas meskipun hanya bersama dengan orang tua tunggal tetapi tetap memperhatikan pendidikan anak seperti memberikan aplikasi handpon yang harapanya mampu untuk menunjang mutu pendidikan anaknya. Lain halnya dengan orang tua yang menerapkan pola permisif orang tua tunggal tidak memaksakan anaknya untuk belajar dan tidak terlalu memantau bagaimana cara atau perkembangan belajar anak karena dianggapnya sudah besar dan mampu belajar sendiri,
sehingga orang tua tidak memaksaakan anaknya, dan memerikan kelonggaran-kelonggaran kepada anaknya umtuk mengatur dirinya sendiri. Ini berati sebagai orang tunggal dalam mendidik anak dapat pula dikatakan kurang sekali bahkan tidak ada. Padahal telah kita ketahui bersama anak yang masih usia sekolah orang tua lah yang menjadi pondasi utama untuk anak bisa lebih belajar lebih baik, dengan cara perhatian dari orang tua, motivasi, atau dengan cara-cara lainya yang sekiranya mampu menumbuh kembangkan semangat anak untuk menjadi lebih baik. Dan orangtua sudah sepatutnya memberikan perhatian yang lebih kepada anak yang tujuannya tujuannya agar kehidupan kedepanya menjadi lebih baik lagi. Karena orang tua memilik harapan menjadi anak yang berkualitas yang dapat dibanggakan oleh semua pihak terutama bagi diri dan keluarganya. Dan ini juga sama dengan harapan orang tua yang lainya, orang tua yang demokratis dalam memperhatikan pendidikan anaknya yaitu jika anaknya tidak mau belajar orang tua hanya menegur dan mengajak anaknya untuk belajar dan diberinya penerangan mengapa pentingnya belajar. Pola pengasuhan yang diberikan oleh orang tua baik itu dari pola pengasuhan demokrasi akan berpengaruh kepada kegiatan belajar anak, anak memiliki motivasi belajar yang tinggi. Ini terjadi karena orang tua tunggal selalu memperhatikan pendidikan anak dengan memotivasi dan mendorong anaknya untuk lebih giat belajar, seperti anak di ikutkan les atau bimbel, membelikan anak handpon agar dapat menunjang pretasi belajar anak. Motivasi belajar dari orang tua jelas berdampak pada prestasi belajar anak disekolah. Namun tidak semuanya prestasi anak dari orang tua tunggal baik, ini tergantung dari pola pengasuhan yang di berika oleh orang tuanya. ada orang tua yang sangat memperhatikan pendidikan anaknya dan ada juga yang orang tuanya kurang meotivasi dan memperhatikan pendidikan anaknya. Sehingga prestasi anak tergantung dari anak, ada anak yang cepat dalam belajarnya, ada pula yang lambat. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bedasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan Pola Pengasuhan Anak Yang Dilakukan Oleh Ayah Sebagai Orangtua Tunggal (Single Parent) Dalam Keluarga di Desa Numbing Kecamatan Bintan Pesisir sebagai berikut : Pola pengasuhan anak antara orang tua tunggal yang satu dengan orang tua tunggal yang lain berbeda, namun pola pengasuhan anak yang dominan adalah pola pengasuhan demokrasi. Anak di berikan kebebasan oleh orang tua tunggal namun kebebasan tersebut harus dapat di pertanggung jawabkan. Pada saat tertentu di terapkan juga pola otoriter dan pola permisif, hal ini di karenakan anak usia 1-18 tahun memerlukan bimbingan dan pengawasan dari orang tua tunggal. Pola Pengasuhan yang di terapka oleh orang tua tunggal terhadap anak-anak memunculkan beberapa dampak, antara lain dampak terhadap pemahaman nilai dimana anak-anak dari orang tua tunggal secara umum memiliki nilai kedisiplinan yang tinggi, dan kemandirian anak terbentuk, serta dampak terhadap prestasi sekolah dimana orang tua tunggal terus memotivasi belajar yang tinggi sehingga prestasi di sekolah di dapatkan oleh anak. Dan kesibukan orang tua tunggal dalam bekerja menjadi kendala bagi orang tua dalam mengasuh anak. jika orang tua sedang bekerja, maka peran dalam mengasuh anak di berikan kepada kakek/nenek atau anggota keluarga yang lainnya. Setelah orang tua pulang barulah orang tua mengambil peran dalam mengasuh anak. B. Saran Berdasarkan pembasan dari kesimpulan tersebut, maka peneliti menyarankan beberapa hal sebagai berikut: 1. Bagi Ayah Sebagai Oarangtua Tunggal (Single Parent)
Diharapkan bagi orangtua tunggal (single parent) dalam keluarga hendaknya selalu berpikir positif, dan sesibuk apapun orangtua tunggal (single parent) dalam keluarga hendaknya bisa membagi waktu antara bekerja dengan mengasuh anak-ananya untuk memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan anak. Hal ini bertujuan untuk menjalin kedekatan dan kehangatan antara orangtua dengan anak agar dapat terjaga dengan baik. 2. Bagi Anak Kepada anak yang hidup pada keluarga dengan orangtua tunggal (single parent) hendaknya lebih mengerti, memahami dan bisa melihat keadaan orangtuanya. Karena didalam mengasuh orangtua menjalankan fungsi ganda sekaligus dalam keluarga karena ada ketidak berfungsinya sala satu fungsi keluarga. 3. Masyarakat Kepada masyarakat hendaknya diharapkan tidak memandang sebelah mata kepada ayah yang menjadi orangtua tunggal (single parent) dalam keluarga yang memakai pola pengasuhan tertentu, karena adanya ketidak fungsinya sala satu fungsi didalam keluarga membuat keluarga orangtua tunggal harus mennyesuaikan dan dituntut menjalankan fungsi ganda didalam keluarga.