SKRIPSI
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE COATING PADA PENGAWETAN TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
Oleh :
ANDINY KISMARYANTI F24103124
2007 DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
74
Andiny Kismaryanti. F24103124. Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Di bawah bimbingan Slamet Budijanto. 2007 RINGKASAN Permintaan produk sayuran dalam bentuk sayuran segar dan fresh cut (siap masak) terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran segar yang mempunyai kualitas yang baik yaitu penampilan baik, relatif tahan lama dan tidak cepat layu selama penyimpanan baik dalam bentuk sayuran segar maupun dalam bentuk fresh cut. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha melakukan upaya untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di atas adalah dengan melakukan coating. Aloe vera telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba serta mampu menyembuhkan luka pada jaringan, sehingga berpeluang untuk dijadikan bahan untuk aplikasi coating. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh edible coating Aloe vera untuk mempertahankan kesegaran sayuran dalam bentuk utuh. Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian pengaruh umur simpan gel terhadap mutu coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
Andiny Kismaryanti. F24103124. Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.). Di bawah bimbingan Slamet Budijanto. 2007 RINGKASAN Permintaan produk sayuran dalam bentuk sayuran segar dan fresh cut (siap masak) terus meningkat baik dari segi jumlah maupun kualitasnya. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran segar yang mempunyai kualitas yang baik yaitu penampilan baik, relatif tahan lama dan tidak cepat layu selama penyimpanan baik dalam bentuk sayuran segar maupun dalam bentuk fresh cut. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha melakukan upaya untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk memenuhi kebutuhan di atas adalah dengan melakukan coating. Aloe vera telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba serta mampu menyembuhkan luka pada jaringan, sehingga berpeluang untuk dijadikan bahan untuk aplikasi coating. Penelitian ini bertujuan mempelajari pengaruh edible coating Aloe vera untuk mempertahankan kesegaran sayuran dalam bentuk utuh. Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian pengaruh umur simpan gel terhadap mutu coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
75
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE COATING PADA PENGAWETAN TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Oleh :
ANDINY KISMARYANTI F24103124
2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
76
INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE COATING PADA PENGAWETAN TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.)
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh : ANDINY KISMARYANTI F24103124 Dilahirkan pada tanggal 22 Maret 1986 Di Jakarta Tanggal lulus: 22 Agustus 2007 Menyetujui, Bogor,
Agustus 2007
Dr.Ir. Slamet Budijanto, M.Agr Dosen Pembimbing Akademik Mengetahui,
Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
77
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Maret 1986 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan H. Anwar Pasyah dan Hj. Saniaty Hadarie. Penulis memiliki dua orang bernama Nindya Andika Putri dan Nadya Khoirunnisa. Pendidikan ditempuh
dari
tahun
Sekolah
1990-1991 di TK
Yasporbi, lalu pada tahun 1991-1997 di SD Bhakti Jakarta, kemudian melanjutkan Sekolah Menengah Pertama di SLTPN 111 Jakarta hingga tahun 2000. pada tahun 2000-2003 penulis melanjutkan Sekolah Menengah Umum di SMU N 78 Jakarta hingga tamat. Penulis diterima sebagai mahasiswi Institut Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan, penulis merupakan anggota HIMITEPA selama periode 2005 – 2006. Pelatihan dan seminar yang pernah diikuti penulis adalah seminar dan pelatihan HACCP (Hazard Analytical Critical Control Point) yang diselenggarakan oleh Mbrio, seminar Keamanan Pangan, seminar Pangan Halal, seminar Entreptreneurship, dan seminar FGW Student Forum Milk and Milk Product.
78
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabbi’alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT pemilik jiwa dan raga ini atas Ridho serta atas rahmat dan karunianNya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini merupakan laporan hasil penelitian yang penulis lakukan sebagai syarat mendapatkan gelar sarjana di Instutut Pertanian Bogor, berjudul “Aplikasi Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) sebagai Edible Coating pada Pengawetan Tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)” yang telah dilaksanakan dari bulan Januari 2007 sampai Agustus 2007 di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA-IPB. Selama kegiatan penelitian maupun penulisan skripsi ini tentu tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada : 1. Bapak (H. Anwar Pasyah), ibu (Hj. Saniaty Hadarie), dan adik-adikku (Nindya dan Nadya)
yang tak pernah bosan memberi bimbingan,
dorongan (material, spiritual), doa serta limpahan kasih sayang yang tak akan pernah terbalas. 2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, M.Agr, sebagai dosen pembimbing akademik yang telah banyak memberi bimbingan dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan dan selama penulis melakukan tugas akhir sampai penulisan skripsi ini. 3. Dr. Ir. Sukarno, Msi, sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi bimbingan selama penulis menjalani sidang skripsi. 4. Dr. Ir. M. Arpah, Msi, sebagai dosen penguji yang telah banyak memberi bimbingan selama penulis menjalani sidang skripsi. 5. Teman seperjuangan dan sebimbingan Rucitra W, Andal K, mba Ofi, mba Olly, dan Irma Pratiwi. 6. Teman-teman terbaikku, Evanda, Annisa, Ocha, Riska, Andiny, Wati, Insani, Irma bo, Abdy, Indach dan Dian, serta sahabat-sahabat terbaikku Dila, Intan, Hanny, Nera, Tika, Rita, dan Gabby atas dukungannya, perhatian, serta kasih sayang disaat susah maupun senang, terima kasih
79
atas segala kenangan indah yang pernah ada kawan, kisah kita adalah sebuah kisah klasik untuk masa depan. 7. Teman-teman TEP ,TIN ,38, 39, 40 dan 41 8. Teman-teman ITP 39 dan 40, Oneth, Erik, Nooy, Arie, Tillo, Chitra, Wayan, Ade, Mona, Adiput, Steph, Tatan, Denang, Gilang, Aca, Ryal, Widi, Teddy, Meiko, Kanin, Martin, Aji, especially buat golongan D, Andal, Dian, Sarwo, Usman, Arga, Andreas, Agus, Santo, Ekus, Angel, Lasty, Gading, Maya, Anis, Ika, Mae, Bos Mardi, Intan, Nana, Pau2, Dhea, Andrea, atas segala kegembiraan disaat praktikum dan kuliah. 9. Ubaidillah Trianto, atas segala dukungan dan perhatian kepada penulis. 10. Temen-temen di Fits, mbak Febri, mbak Iin, mas Jejen, mas Narto, mas Harsono, mang Ujang dan temen-temen lainnya. Terimakasih atas semua bantuan yang telah diberikan. 11. Semua teknisi dan laboran. Pak Sobirin, Pak Koko, Pak Rojak, Teh Ida, Bu Rubiyah, Pak Mul, Mas Edy, Bu Antin. Terima kasih atas bantuannya. 12. Penghuni Dwi Regina (Dhilah, Velma, Nila, Revi, Elis, Anny, Lisya, Chitra, Upil, Yanti, Lina, Era) yang telah memberikan dukungan dan menciptakan lingkungan yang kondusif
bagi penulis sehingga
memudahkan dalam penyelesaian skripsi ini. 13. Dosen IPB dan ITP-FATETA periode 2003-2007 atas segala pengajaran dan pendidikan serta kasih sayang yang telah diberikan kepada penulis. Semoga skripsi hasil penelitian akhir ini dapat memberika banyak manfaat bagi yang memerlukannya. Akhirnya kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tulisan selanjutnya. Serta mohon ma’af atas segala kesalahan dan kekurangan dalam skripsi ini. Bogor, Agustus 2007 Penulis
80
DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ..................................................................................
i
DAFTAR ISI ................................................................................................. iii DAFTAR TABEL ......................................................................................... v DAFTAR GAMBAR .................................................................................... vi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. ix I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ...................................................................... 1 B. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN..................................... 2 II. TINJAUAN PUSTAKA A. TOMAT ............................................................................................ 3 1. Botani Tomat ................................................................................. 3 2. Pasca Panen Tomat ........................................................................ 5 B. ALOE VERA ..................................................................................... 10 C. EDIBLE COATING ............................................................................ 13 D. EDIBLE FILM BERDASARKAN POLISAKARIDA ..................... 14 E. ISOLAT PROTEIN KEDELAI ......................................................... 15 F. INTERAKSI PROTEIN-POLISAKARIDA ..................................... 19 G. PLASTICIZER .................................................................................... 20 H. PENGEMASAN ............................................................................... 21 I. PENYIMPANAN ............................................................................... 23 III. METODOLOGI PENELITIAN A. BAHAN DAN ALAT ....................................................................... 25 B. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................ 25 1. Pembuatan Gel dari Pelepah Daun Aloe vera L ........................... 25 2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating .................. 27 3. Formulasi Gel Aloe vera L. Untuk Aplikasi Coating Pada Tomat ............................................ 29 4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu ........................... 29
81
Halaman C. METODE ANALISIS ....................................................................... 30 1. Analisis Sifat Fisik ........................................................................ 30 2. Analisis Sifata Kimia .................................................................... 30 3. Uji Mikrobiologi ........................................................................... 31 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pembuatan Edible Coating dari Gel Lidah Buaya .............................. 32 2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating ........................ 35 3. Formulasi Gel Aloe vera L. Untuk Aplikasi Coating Pada Tomat .................................................. 39 4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu ................................ 42 V. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN .................................................................................. 67 B. SARAN .............................................................................................. 68 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 69 LAMPIRAN................................................................................................... 74
82
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1. Kandungan dan komposisi buah tomat tiap 100 gr bahan yang dapat dimakan ............................................................
4
Tabel 2. Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L ............... 12 Tabel 3. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai ............... 17 Tabel 4. Hasil uji mikrobiologi pada tomat segar ....................................... 64 Tabel 5. Hasil uji mikrobiologi pada tomat segar yang telah dilapisi gel lidah buaya ............................................... 64
83
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1. Perbandingan tingkat kematangan tomat berdasarkan warna................................................................. 7 Gambar 2. Struktur moleku acemannan..................................................... 13 Gambar 3. Struktur molekul protein kedelai...........................................
19
Gambar 4. Diagram alir pembuatan gel Aloe vera..................................... 27 Gambar 5. Diagram alir pengaplikasian Aloe vera coating pada tomat.... 28 Gambar 6. Perlakuan pemanasan dan penambahan asam pada gel lidah buaya........................................................................................ 34 Gambar 7. Grafik pengaruh umur simpan gel (1 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 36 Gambar 8. Grafik pengaruh umur simpan gel (2 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 36 Gambar 9. Grafik pengaruh umur simpan gel (6 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................... 37 Gambar 10. Grafik pengaruh umur simpan gel (7 hari) Terhadap persentase susut bobot tomat.................................. 37 Gambar 11. Grafik perbandingan laju respirasi antara tomat yang dilapisi dan yang tidak........................................... 38 . Gambar 12. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula coating................................................ 40 . Gambar 13. Kerusakan fisik pada buah tomat.......... ................................ 42 Gambar 14a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap susut bobot tomat selama penyimpanan.
44
Gambar 14b. Grafik perbandingan rata-rata susut bobot pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21............................... .. 44
84
Halaman Gambar 15a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan............................................................. 47 Gambar 15b. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 47 Gambar 15c. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 48 Gambar 16a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap total padatan terlarut tomat selama penyimpanan............................................................. 51 Gambar 16b. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 51 Gambar 16c. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 52 Gambar 17a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap derajat keasaman tomat selama penyimpanan............................................................. 53 Gambar 17b. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 54 Gambar 17c. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 54 Gambar 18a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap warna merah tomat selama penyimpanan............................................................. 57 Gambar 18b. Grafik perbandingan rata-rata warna merah pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 57
85
Halaman Gambar 18c. Grafik perbandingan rata-rata warna merah pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 58 Gambar 19a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap warna kuning tomat selama penyimpanan............................................................. 59 Gambar 19b. Grafik perbandingan rata-rata warna kuning pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 59 Gambar 19c. Grafik perbandingan rata-rata warna kuning pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 60 Gambar 20a. Grafik pengaruh pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan............................................................. 61 Gambar 20b. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0..................................... 61 Gambar 20c. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel , pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21................................... 62 Gambar 21. Tomat yang terkena penyakit antraknosa................................ 66 Gambar 22. Chilling injury: Pencoklatan pada bibit................................... 66
86
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Data susut bobot tomat (%) dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya pada umur tertentu........................
74
Lampiran 2. Data susut bobot tomat yang diberi perlakuan pelapisan dengan berbagai formula gel..................................
76
Lampiran 3. Data hasil pengamatan pada percobaan penentuan umur simpan tomat dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, serta penyimpanan pada suhu berbeda. ...........................................
81
Lampiran 4. Data susut bobot tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 ...........
84
Lampiran 5. Data kelunakan tekstur tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21.
85
Lampiran 6. Data total padatan terlarut tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 .........................................................
86
Lampiran 7. Data derajat keasaman tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. .
87
Lampiran 8. Data nilai kecerahan warna tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21 ..........................................................
88
Lampiran 9. Data warna merah tomat (skala a) pada hari ke-0 dan hari ke-21 ..........................................................
89
Lampiran 10. Data warna kuning tomat (skala b) pada hari ke-0 dan hari ke-21 ..........................................................
90
Lampiran 11. Tabel hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot tomat pada perlakuan penyimpanan gel lidah buaya untuk aplikasi coating.............
91
Lampiran 12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan berbagai perlakuan formula coating. .....................................
92
Lampiran 13. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ...........
94
87
Halaman Lampiran 14. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0............... 95 Lampiran 15. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ............
96
Lampiran 16. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0....................................................................
97
Lampiran 17. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ........................................................................
98
Lampiran 18. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0 .......................................................................... 99 Lampiran 19. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 ........................................................................ 100 Lampiran 20. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0 .......................................................................... 101 Lampiran 21. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21......................................................................... 102 Lampiran 22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.......................................................................… 103 Lampiran 23. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21…...................................................................... 104
88
Halaman Lampiran 24. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0…………………………………........……… 105 Lampiran 25. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21....................................................................... 106
89
I. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman, kesadaran masyarakat akan kesehatan serta pentingnya nilai gizi dalam makanan yang mereka konsumsi semakin meningkat. Kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat menyebabkan kebutuhan akan sayuran meningkat juga. Peningkatan ini dapat dilihat dari semakin tingginya permintaan akan sayuran yang bermutu tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan restoran) menuntut adanya sayuran segar yang bermutu tinggi, yakni memiliki penampakan baik, relatif tahan lama, dan tidak cepat layu selama penyimpanan. Kualitas sayuran tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghambat kerusakan sayuran antara lain dengan cara melakukan modifikasi kemasan sayuran dan penyimpanan dengan suhu rendah. Salah satu cara yang juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan sayuran, namun tetap dapat mempertahankan mutu, adalah dengan mengaplikasikan edible film pada sayuran tersebut. Edible film sangat berpotensi untuk meningkatkan shelf life dari sayuran karena secara teori pengaplikasian edible film akan membentuk suatu coating yang mampu berperan sebagai barrier agar tidak kehilangan kelembaban, bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan komponen nutrisi sayuran ( Krochta, et al., 1994). Pengaplikasian edible coating yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan edible film yang berasal dari gel tanaman Aloe vera. Aloe vera merupakan tanaman serbaguna yang akhir-akhir ini, selain digunakan sebagai bahan baku industri shampoo (kosmetik), juga mulai diolah menjadi aneka produk makanan. Aloe vera juga telah dilaporkan mengandung
90
beberapa
senyawa
bioaktif
yang
bersifat
antimikroba
dan
dapat
menyembuhkan luka jaringan sehingga diharapkan pada pengaplikasian gel Aloe vera sebagai edible coating mampu mempertahankan mutu serta memperpanjang masa simpan sayuran tersebut. Aplikasi gel Aloe vera sebagai edible coating telah dicoba sebelumnya pada buah anggur dengan menggunakan gel Aloe vera yang dilarutkan dengan sejumlah air (Valverde, et al., 2005). Sayuran yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah sayuran tomat karena mudah untuk ditanam, bersifat responsif terhadap berbagai perlakuan eksperimen, dan sangat berpotensi untuk dikomersialkan baik didalam maupun luar negeri.
B. TUJUAN DAN MANFAAT a. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan edible film dari gel tanaman lidah buaya ( Aloe vera L. ) dan pengaruhnya terhadap
tomat
serta
untuk
mempertahankan
mutu
dan
memperpanjang masa simpan tomat tersebut. b. Manfaat Penelitian Dengan dilakukannya penelitian ini, diharapkan diperoleh teknologi proses penanganan pasca panen sayuran yang dapat diaplikasikan pada skala usaha kecil menengah sehingga dapat meningkatkan daya saing produk sayuran Indonesia di pasar global.
91
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. TOMAT 1. Botani Tomat Tomat
(Lycopersicon
esculentum
Mill.)
merupakan
tumbuhan setahun yang biasanya tumbuh di dataran tinggi. Tanaman tomat memiliki morfologi seperti semak atau tanaman perdu dan tingginya dapat mencapai 2 m. Daerah perakaran dapat mencapai 1.5 m, warna batang hijau dan permukaannya ditutupi oleh bulu. Daun tomat merupakan daun majemuk dengan jumlah 5-9 helai, berbentuk oval, sisi-sisinya bergerigi dan menyirip dengan ukuran panjang 15-30 cm serta lebar 10-25 cm. Bunga tomat bersifat hemafrodit dengan lima helai kelopak berwarna hijau dan lima helai mahkota bunga yang berwarna kuning (Salasa, 2005) Menurut Tugiyono (1993), berdasarkan bentuk buahnya tomat komersial dibedakan atas beberapa tipe, yakni tomat biasa (Lycopersicon commune) yang buahnya berbetuk bulat pipih dan tidak teratur, tomat kentang (Lycopersicon grandifolium) dengan buah yang berbentuk padat, besar, dan menyerupai apel berukuran kecil, tomat gondol (Lycopersicon validium) dengan buah yang berbentuk agak lonjong, keras, dan berkulit tebal, serta tomat apel (Lycopersicon pyriforme) dengan buah yang berbentuk bulat, kuat, sedikit keras, dan menyerupai apel. Secara sistematis, tanaman tomat dapat diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Spermatophyta
Sub-divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotiledone
Ordo
: Tubiflorae
Famili
: Solanaceae
Genus
: Lycopersicon
Spesies
: Lycopersicon esculentum Mill.
92
Tanaman tomat dapat tumbuh dengan baik jika ditanam pada tanah yang gembur, mengandung banyak humus, dan sedikit mengandung pasir, kadar keasamannya (pH) antara 5-6, serta dengan pengairan yang cukup. Suhu yang sesuai untuk pertumbuahan tanaman tomat adalah 20-30° C pada siang hari dan 18-24° C (Rubatzky dan Yamaguchi, 1997). Tomat merupakan sayuran buah yang banyak dikonsumsi oleh manusia, baik dalam keadaan segar maupun setelah diolah terlebih dahulu, karena banyak mengandung vitamin, mineral, dan antioksidan. Kandungan zat gizi pada buah tomat secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Kandungan dan komposisi buah tiap 100 gram bahan yang dapat dimakan* Kandungan Zat
Macam Tomat
Gizi
Buah muda
Buah masak
Sari buah
Energi (kal)
23
20
15
Protein (g)
2
1
1
Lemak (g)
0.70
0.30
0.20
Karbohidrat (g)
2.30
4.20
3.50
Kalsium (mg)
5
5
7
Fosfor (mg)
27
27
15
Zat besi (mg)
0.50
0.50
0.40
Vitamin A (SI)
320
1500
600
Vitamin B1 (mg)
0.07
0.06
0.06
Vitamin C (mg)
30
40
10
Air (g)
93
91
94
*Sumber : Direktorat Gizi Depkes RI (1981) Menurut SNI Tomat Segar No. 01-3162-1992, standar mutu buah tomat segar komersial didasarkan, antara lain, pada bobot, ukuran, warna, tingkat kematangan, kotoran, dan kebusukan.
93
2. Pasca-panen Tomat Pemanenan buah tomat pada umumnya dilakukan saat tanaman berumur 70-100 hari setelah tanam. Waktu pemanenan ini juga ditentukan berdasarkan varietas, tujuan pemasaran, dan waktu pengangkutan. Setelah panen, tomat lebih mudah mengalami kerusakan, baik secara fisik maupun kimia. Produksi tomat di Indonesia cenderung meningkat dari tahun ke tahun, tetapi jumlah tomat yang rusak, selama penyimpanan dan pengangkutan, mencapai 50% dari produksi tomat pertahunnya (Tugiyono, 1993). Oleh karena itu, parameter-parameter yang mempengaruhi proses pemasakan buah selama penyimpanan dan pengangkutan setelah panen perlu diperhatikan untuk mempertahankan standar mutu buah tomat komersial siap konsumsi. Standar mutu buah tomat pasca-panen amat dipengaruhi oleh faktor biologis dan faktor lingkumgan selama proses pematangannya. Faktor biologis meliputi laju respirasi, produksi etilen, serta laju transpirasi (kehilangan air). Faktor lingkungan meliputi suhu, kelembaban, dan komposisi atmosfer sekitar. Respirasi merupakan suatu proses pemecahan unsur-unsur organik seperti karbohidrat, protein dan lemak menjadi energi. Pemecahan substrat dasar ini menggunakan oksigen (O2) dan menghasilkan karbondioksida (CO2). Laju respirasi berbanding lurus dengan laju penurunan mutu produk yang dipanen. Respirasi dipengaruhi oleh faktor lingkungan dimana produk tersebut disimpan, misalnya cahaya, tekanan bahan kimia seperti fumigan, radiasi, tekanan air, tingkat pertumbuhan, patogen perusak. Sedangkan faktor yang paling penting dalam pasca panen adalah suhu, komposisi atmosfir, dan tekanan fisik (Saltveit, 1996). Pantastico (1986), melaporkan bahwa laju respirasi merupakan petunjuk yang baik untuk mengetahui daya simpan
94
buah setelah panen karena dapat menggambarkan proses metabolisme buah. Pola respirasi buah dibagi menjadi dua kelompok, yakni buah klimakterik dan buah non-klimakterik. Buah tomat termasuk buah dengan pola respirasi klimakterik, yaitu pola respirasi yang ditandai dengan terjadinya peningkatan laju respirasi dan produksi etilen secara cepat dan bersamaan selama proses pematangan (Rhodes, 1986). Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1992), laju respirasi rendah selama periode pra-klimakterik, lalu selama periode klimakterik laju respirasi akan meningkat dengan cepat hingga maksimum dan pematangan buah pun dimulai. Kemudian, laju respirasi akan turun kembali pada saat memasuki fase pasca klimakterik, proses sintesis praktis terhenti, proses dekomposisi
menjadi
aktif,
dan
buah
mulai
mengalami
pembusukan. Puncak respirasi klimakterik tomat terjadi pada tingkat merah jambu tua (Pantastico, 1986). Etilen merupakan suatu gas yang dihasilkan secara alami dari metabolisme tanaman dan dapat mempengaruhi proses fisiologis tanaman tersebut. Produksi etilen erat kaitannya dengan aktivitas respirasi, yakni apabila produksi etilen meningkat maka aktivitas respirasi juga akan meningkat, yang ditandai dengan meningkatnya penyerapan oksigen (Kartasaputra, 1989). Etilen dapat menginduksi perubahan dalam permeabilitas dari membran mitokondria, sehingga menyebabkan peningkatan pergerakan dari ATP. Peningkatan pergerakan ATP ini dapat menginduksi beberapa
reaksi
yang
dapat
meningkatkan
laju
respirasi.
Peningkatan laju respirasi yang terjadi akan meningkatkan kembali produksi etilen pada buah, namun ada satu fase tertentu di dalam proses pematangan buah tersebut dimana produksi etilen akan menurun (Salasa, 2005). Buah tomat akan mengalami perubahan-perubahan, baik secara fisik maupun kimia, seiring dengan proses pematangannya.
95
Perubahan kimia yang terjadi selama proses pematangan antara lain : 1. Perubahan warna Warna hijau pada buah tomat yang belum matang merupakan warna dari klorofil hasil fotosintesis selama masa pematangan buah (Hobson dan Davies, 1971). Ketika memasuki tahap pematangan, tomat akan memproduksi lebih banyak pigmen karoten dan xantofil sehingga warnanya lebih terlihat jingga seiring dengan semakin menurunnya kandungan klorofil. Warna buah akan semakin merah seiring dengan semakin matangnya buah tomat tersebut, hal ini terjadi karena produksi komponen likopen yang juga semakin meningkat (Hobson dan Davies, 1971). Pengelompokan warna buah tomat berdasarkan tingkat kematangannya dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Green
Breakers
Turning
Fase
Fase
Fase pecah
hijau
masak
warna
Pink
Light Red
Red
Fase matang
hijau Gambar 1. Perbandingan tingkat kematangan tomat berdasarkan warna 2. Perubahan karbohidrat menjadi gula Karbohidrat yang terkandung dalam buah tomat akan terhidrolisis menjadi glukosa, fruktosa, dan sukrosa selama proses pematangan buah, namun setelah itu kandungan gulanya akan menurun karena telah melewati batas kematangannya (Hobson dan Davies, 1971).
96
3. Perubahan kandungan asam-asam organik Asam-asam organik yang terkandung dalam buah tomat akan semakin berkurang seiring dengan proses pematangan tomat, hal ini dikarenakan sel buah tomat yang sudah berkurang kemampuannya untuk memproduksi asam-asam tersebut. Selain itu, asam-asam organik ini juga akan berkurang selama penyimpanan (Barkey, 1998). 4. Perubahan kandungan asam amino Selama proses pematangan, total asam amino bebas relatif tetap, namun kandungan asam aspartat dan asam glutamat meningkat tajam (Hobson dan Davies, 1971). 5. Perubahan kandungan protein (Hobson dan Davies, 1971). Kandungan total nitrogen pada tomat selama pematangan dilaporkan secara berbeda-beda. Yu et al. (1967) melaporkan bahwa total nitrogen akan meningkat seiring dengan pematangan, tetapi data yang diberikan oleh para peneliti ini tidak konsisten. Rowan
et al. (1958) menyatakan bahwa sebelum respirasi
mencapai puncaknya, kandungan total nitrogen tomat akan meningkat namun akan segera turun drastis segera setelah puncak respirasinya. Data bukti objektif penelitian yang dilakukan oleh Rowan et al. ini juga masih tidak konsisten 6. Perubahan komponen volatil Substansi pereduksi komponen volatil akan meningkat seiring dengan proses pematangan buah (Hobson dan Davies, 1971).
97
7. Pembusukan akibat adanya kontaminasi mikroba Mikroba kontaminan yang sering terdapat pada buah tomat segar antara lain Enterobacter, Alternaria, Penicillium, Cladosporium, Fusarium, dan Bortrytis cinerea (Beuchat, 1998). Transpirasi adalah proses keluarnya air dari jaringan tanaman yang merupakan penyebab utama dari kerusakan sayuran sehingga kesegaran sayuran akan menurun. Kehilangan air dapat menyebabkan penyusutan secara kualitas dan kuantitas sayuran (kekerutan, pelunakan, hilangnya kerenyahan, dan susut bobot). Laju transpirasi dipengaruhi faktor internal meliputi karakteristik morfologi, rasio luas permukaan dan volume, luas permukaan yang terinfeksi maupun tingkat kematangan dan faktor eksternal atau lingkungan meliputi suhu, kelembaban, pergerakan udara (angin) maupun tekanan udara. Selain faktor biologis di atas, faktor lingkungan juga memegang peranan penting untuk mengendalikan kerusakan buah tomat akibat proses pematangan. Suhu merupakan faktor lingkungan/eksternal yang sangat mempengaruhi laju penurunan mutu sayuran. Setiap peningkatan suhu 100 C di atas batas optimum, kecepatan penurunan mutu dapat meningkat 2 – 3 kali lipat. Suhu juga mempengaruhi produksi etilen, laju respirasi, dan transpirasi.
Kisaran
suhu
yang
sering
digunakan
dalam
penangangan pasca panen adalah 0–30oC, dimana peningkatan suhu menyebabkan respirasi meningkat. Pengontrolan suhu dalam rangka pengendalian laju respirasi dari produk sangat penting sehubungan dengan usaha memperpanjang umur simpan dari komoditas yang disimpan. Kelembaban akan berpengaruh pada laju transpirasi buah, tergantung dari suhu dan laju pergerakan udara disekitarnya. Pengaturan komposisi atmosfer, seperti pengurangan oksigen (O2)
98
dan peningkatan karbondioksida (CO2), selama penyimpanan dapat mengurangi laju respirasi dan reaksi metabolik lainnya, misalnya dengan mengaplikasikan Modified Atmosphere Packaging (MAP) atau Controlled Atmosphere Storage (CAS).
B. ALOE VERA Aloe vera (lidah buaya) merupakan tanaman yang banyak tumbuh pada iklim tropis ataupun subtropis dan sudah digunakan sejak berabadabad lalu karena fungsi pengobatannya. Secara sistematis, tumbuhan lidah buaya ini diklasifikasikan sebagai berikut : Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Asparagales
Famili
: Asphodelaceae
Genus
: Aloe L.
Spesies
: Aloe vera L.
Aloe vera L. memiliki ciri-ciri morfologi pelepah daun yang runcing dan permukaan yang lebar, berdaging tebal, tidak bertulang, mengandung getah, permukaan pelepah daun dilapisi lilin, bersifat sukulen, berat rata-rata per pelepah adalah sekitar 0.5-1 kg. Produktivitas tanaman lidah buaya ini di Kalimantan mencapai 6-7 ton per hektar setiap kali panen. Masa panen lidah buaya sekitar 10-12 bulan setelah tanam (BST) sehingga dalam satu tahun tanaman ini dapat dipanen sebanyak 4 kali (3 bulan sekali). Tanaman lidah buaya ini akan terus menghasilkan pelepah daun hingga 7-8 tahun. Yaron (1991), melaporkan bahwa pelepah tanaman Aloe vera L. ini terdiri dari beberapa bagian utama, yakni mucilage gel dan exudate (lendir). Bagian utama polisakarida
mucilage gel terdiri atas berbagai macam
(glucomannan,
acetylated
glucomannan,
acemannan,
galactogalacturan, dan galactoglucoarabinomannan), mineral (calcium, magnesium, potassium, sodium, iron, zinc, dan chromium), protein (enzim pectolytic, aloctin dan lectin (glikoprotein), serta jenis protein lain), ß-
99
sitosterol, hidrokarbon rantai panjang, dan ester. Bagian utama exudate (lendir) terdiri atas yellow sap (lendir berwarna kuning) dan lendir tidak berwarna.
Yellow
sap
mengandung
berbagai
komponen
seperti
anthraquinone beserta turunannya, aloin (barbaloin), dan aloe-emodin, sedangkan lendir tidak berwarna mengandung berbagai jenis komponen fenolik. Struktur molekul acemannan dapat dilihat pada Gambar 2. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata zat-zat yang terkandung dalam gel Aloe vera tersebut memiliki aktivitas antara lain sebagai anti-mikroba, penurun kolesterol darah, anti-diabetes, anti-kanker, anti-virus, mencegah chilling injury, serta dapat menyembuhkan luka dan mencegah peradangan (anti-inflammatory) (Reynolds dan Dweck, 1999). Aktivitas antiinflammatory pada gel lidah buaya ini disebabkan adanya senyawa mannosa-6-phosphat yang terkandung didalam acemannan lidah buaya tersebut (Davis et al, 1994). Kandungan senyawa lectin (glikoprotein) serta acemannan dalam gel lidah buaya ternyata juga dapat menghambat pertumbuhan sel-sel tumor pada tikus seperti yang telah diteliti oleh Winters et al. (1981). Fungsionalitas zat terkandung dalam Aloe vera L. ini juga makin diperkuat dengan adanya penelitian dari Mousa et al. (1999), yang menyatakan bahwa gel tanaman ini bersifat anti-fungal terhadap Penicillium digitatum, Penicillium expansum, Bortrytis cinerea, Alternaria alternate, Aspergillus niger, C. herbarum, dan Fusarium moniliforme. Komponen bioaktif yang terkandung dalam Aloe vera L. dapat dilihat pada Tabel 3.
100
Tabel 2. Komponen bioaktif yang terkandung pada Aloe vera L. Komponen bioaktif
Fungsionalitas
Acemannan
Anti-inflammatory, wound healing, antikanker, anti-virus, UV sunburn Anti-diabetes, antikanker Anti-kanker, antimikroba Anti-inflammatory, wound healing, antikanker
Glikoprotein Aloe emodin Lectin
Barbaloin dan komponen fenolik
Anti-mikroba
Alomicin
Anti-kanker
*Sumber : Reynolds dan Dweck (1999). Kini, penggunaan gel Aloe vera telah diaplikasikan di industri pangan sebagai ingridien pangan fungsional, dan salah satunya dengan menjadikan gel Aloe vera sebagai bahan untuk membentuk edible coating alami. Hasil penelitian Valverde et al. (2005) membuktikan bahwa gel Aloe vera sebagai edible coating dapat berperan baik dalam menahan laju respirasi dan beberapa perubahan fisiologis akibat proses pematangan pada buah anggur selama penyimpanan. Berdasarkan penelitian mereka, edible coating lidah buaya bersifat higroskopis sehingga mampu menjaga kelembaban dinding sel buah. Coating dari gel ini juga bersifat permeabel terhadap transfer gas dan air, serta dapat mencegah chilling injury. Gel lidah buaya ini juga terbukti dapat mereduksi aktivitas enzim pada dinding sel buah anggur sehingga mengurangi reaksi browning dan pelunakan tekstur. Selain itu, senyawa antimikroba yang terkandung dalam gel lidah buaya ternyata mampu mencegah proliferasi mikroba pada buah anggur tersebut. Umur simpan buah anggur tersebut akan bertambah ± 4 hari jika disimpan pada suhu
101
20° C, sedangkan jika disimpan pada suhu 1° C maka umur simpan buah anggur tersebut akan bertambah hingga ± 28 hari.
Gambar 2. Struktur molekul Acemannan.
C. EDIBLE COATING Teknik pengawetan buah dan sayuran dengan penggunaan edible coating sebenarnya sudah dilakukan sejak abad ke-13 di China dimana buah-buahan pada jaman itu dicelupkan kedalam cairan lilin panas dengan tujuan fermentasi. Kini, aplikasi edible film digunakan pada buah-buahan dan sayuran untuk mengurangi terjadinya kehilangan kelembaban, memperbaiki penampilan, berperan sebagai barrier yang baik (bersifat selective permeable) untuk pertukaran gas dari produk ke lingkungan atau sebaliknya, serta memiliki fungsi sebagai antifungal dan antimikroba (Krochta, et al., 1994). Selain untuk memperpanjang umur simpan, film atau selaput banyak digunakan karena tidak membahayakan kesehatan manusia, dapat dimakan serta mudah diuraikan alam (biodegradable). Edible film dan coating dapat juga diberi warna dan flavor seperti yang diinginkan. Beberapa edible film komersial Jepang tersedia dalam berbagai warna dan juga diperkaya dengan vitamin serta zat-zat gizi lainnya untuk melakukan perbaikan gizi tanpa merusak keutuhan produk pangan (Rimadianti, 2007) Menurut Krochta, et al. (1994), secara umum ada tiga kelompok materi yang biasa digunakan untuk pembuatan film atau coating, yakni
102
protein, polisakarida, dan lipid (termasuk lilin, emulsifier, serta turunannya).
Formulasi yang dibuat harus terdiri dari komponen-
komponen yang memenuhi kriteria GRAS (Generally Recognized As Safe). Menurut Donhowe dan Fennema (1994), metode untuk aplikasi coating pada buah dan sayuran terdiri dari beberapa cara, yakni metode pencelupan (dipping), pembusaan, penyemprotan (spraying), penuangan (casting), dan aplikasi penetesan terkontrol. Metode dipping merupakan metode yang paling banyak digunakan terutama untuk sayuran, buah, daging, dan ikan, dimana melalui metode ini produk akan dicelupkan kedalam larutan yang digunakan sebagai bahan coating.
D. EDIBLE FILM BERDASARKAN POLISAKARIDA Aplikasi edible coating dengan menggunakan bahan dasar polisakarida banyak digunakan terutama pada buah dan sayuran karena memiliki kemampuan bertindak sebagai membran permeabel yang selektif terhadap pertukaran gas CO2 dan O2 sehingga dapat memperpanjang umur simpan karena respirasi buah dan sayuran tersebut menjadi berkurang (Krochta,
et
al.,
1994).
Penggunaan
polisakarida
ini
biasanya
dikombinasikan dengan beberapa bahan kimia lainnya yang memiliki fungsi pendukung dalam memperpanjang umur simpan. Misalnya penambahan asam askorbat dapat mengurangi aktivitas polifenol oksidase karena asam askorbat mencegah proses polimerisasi sehingga proses pencoklatan dapat dicegah. Penambahan potassium sorbat akan berperan sebagai
antimikroba,
atau
penambahan
kalsium
klorida
untuk
memperbaiki tekstur. Polisakarida larut air merupakan senyawa polimer berantai panjang yang dilarutkan kedalam air untuk mendapatkan viskositas larutan yang cukup kental (Glincksman, 1984). Komponen-komponen inilah yang akan berperan untuk mendapatkan kekerasan, kerenyahan, kepadatan, kualitas ketebalan, viskositas, adhesivitas, kemampuan pembentukan gel, serta mouthfeel yang baik. Selain itu, senyawa ini sangat ekonomis bila
103
digunakan untuk industri karena mudah didapat dan nontoxic (Krochta, et al., 1994). Golongan polisakarida yang banyak digunakan sebagai bahan pembuatan edible film antara lain selulosa, pati dan turunannya, seaweed extracts, exudate gums, serta seed gums. Film polisakarida yang rendah kalori dan bersifat nongreasy dapat digunakan untuk memperpanjang umur simpan buah dan sayuran dengan cara mencegah dehidrasi, oksidasi, serta terjadinya browning pada permukaan, mengontrol komposisi gas CO2 dan O2 dalam atmosfer internal sehingga mampu mengurangi laju respirasi (Krochta et al., 1994). Gel Aloe vera berpotensi untuk diaplikasikan dalam teknologi edible coating, karena gel tersebut terdiri dari polisakarida yang mengandung banyak komponen fungsional yang mampu menghambat kerusakan pasca panen produk pangan segar, seperti acemannan yang memiliki aktivitas antiviral, antidiabetes, antikanker, dan antimikroba, serta meningkatkan proliferasi sel-sel yang terluka. Selain itu, gel Aloe vera juga mampu menjaga kelembaban dengan cara mengontrol kehilangan air dan pertukaran komponen-komponen larut air (Dweck dan Reynolds, 1999). Gel Aloe vera memiliki struktur yang alami sebagai gel sehingga mudah untuk diaplikasikan sebagai edible film serta murah, tetapi kendalanya adalah reologi gel Aloe vera yang mudah menjadi encer sehingga harus ditambahkan filler dari bahan alami lain untuk mempertahankan konsistensi gelnya.
E. ISOLAT PROTEIN KEDELAI Protein adalah suatu senyawa makromolekul yang terdiri dari rantai residu asam amino yang dihubungkan dengan ikatan peptida dan memiliki berat molekul lebih besar dari 10.000 Da. Selain asam amino, protein juga mengandung komponen asam amino seperti lemak, karbohidrat, vitamin, dan lain-lain. Senyawa protein ini merupakan komponen utama dari kedelai. Protein kedelai terdapat dalam jaringan kotiledon biji kedelai, dan pada tingkat subseluler protein tersebut
104
terdistribusi didalam bagian-bagian sel yang disebut sebagai protein tubuh serta tersebar pula di sekitar sitoplasma (Wibowo, 1996). Protein kedelai dapat digolongkan sebagai globulin cadangan dan protein biologis aktif (Meyer dan Williams, 1977). Globulin disebut sebagai protein cadangan karena tidak memiliki aktivitas biologis, sedangkan
protein
lainnya
merupakan
enzim-enzim
intraseluler
(lipoksigenase, urease, amilase), hemaglutinin, protein inhibitor, dan lipoprotein membran (Kinsella, 1979). Sampai kini protein kedelai belum sepenuhnya teridentifikasi. Komponen utama dari protein cadangan inilah yang berpengaruh terhadap mutu produk pangan yang dihasilkan terutama sifat fisik dan nilai gizinya (Mori et al., 1981). Penggunaan protein kedelai dalam industri pangan dibedakan menjadi tiga kelompok berdasarkan kandungan proteinnya, yakni tepung atau bubuk, konsentrat protein, dan isolat protein kedelai. Isolat potein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paing murni karena kandungan proteinnya melebihi 90%, dan produk ini hampir bebas dari karbohidrat, serat, serta lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik bila dibandingkan dengan konsentrat protein ataupun tepung bubuk kedelai (Wolf, 1975). Kinsella (1976) melaporkan bahwa protein kedelai terbagi menjadi empat bagian berdasarkan sifat sedimentasinya, yakni (a) fraksi 2S; terdiri dari anti-tripsin dan sitokinin (8%), (b) fraksi 7S; terdiri dari lipoksigenase, amilase, dan globulin (35%), (c) fraksi 11S; terutama terdiri dari globulin (52%), serta (d) fraksi 15S; terdiri dari polimer protein (5%). Protein kedelai adalah protein yang paling lengkap susunan asam aminonya, dengan kualitas protein yang hampir menyamai kualitas protein hewani (Wilson et al., 1975). Protein kedelai mempunyai susunan asam amino esensial yang menyerupai susunan asam amino esensial protein susu (Smith dan Circle, 1980), sedangkan menurut Liener (1978) kandungan asam amino esensial protein kedelai tidak berbeda jauh dengan komposisi asam amino standar FAO/WHO, dimana asam amino metionin
105
sebagai pembatas. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Komposisi asam amino produk-produk protein kedelai* Asam amino Esensial : Lisin Metionin Sistin Triptofan Treonin Isoleusin Leusin Fenilalain Valin Non-esensial : Arginin Histidin Tirosin Serin Glutamat Aspartat Glisin Alanin Prolin Nitrogen
g asam amino dalam 16 g N tepung konsentrat isolat 6.9 1.6 1.6 1.3 4.3 5.1 7.7 5.0 5.4
6.3 1.4 1.6 1.5 4.2 4.8 7.8 5.2 4.9
6.1 1.1 1.0 1.4 3.7 4.9 7.7 5.4 4.8
8.4 2.6 3.9 5.6 21.0 12.0 4.5 4.5 6.3 2.1
7.5 2.7 3.9 5.7 19.8 12.0 4.4 4.4 5.2 1.9
7.8 2.5 3.7 5.5 20.5 11.9 4.0 3.9 5.3 2.0
*Wolf dan Cowan (1996). Menurut Hurrel (1980), protein merupakan komponen yang paling aktif dari kebanyakan bahan pangan. Protein dapat bereaksi dengan gula pereduksi, lemak, zat-zat hasil oksidasi, dan lain-lain. Hal ini dapat menyebabkan turunnya nilai gizi, munculnya flavor yang tidak diinginkan, reaksi browning, bahkan timbulnya zat toksik. Kemampuan protein untuk mengikat komponen pangan lain penting untuk formulasi makanan ikatan ini menyebabkan gaya adhesi, pembentukan serat dan film, serta peningkatan viskositas. Sifat fungsional protein dapat didefinisikan sebagai sifat-sifat fisiko-kimia di luar sifat nutrisi yang memungkinkan protein menyumbang karakteristik tertentu pada suatu makanan (Cheftel et
106
al., 1985), yang didasarkan pada perilaku komponen protein bila berinteraksi dengan komponen lain di dalam sistem pangan yang kompleks selama persiapan, pengolahan, penyimpanan, hingga konsumsi (Philips dan Beuchat, 1981). Sifat-sifat fungsional protein dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok utama, yaitu (1) sifat hidrasi (interaksi protein-air) seperti daya ikat air, kebasahan, swelling, daya lekat, kekentalan, dan kelarutan, (2) sifat yang berhubungan dengan interaksi poteinprotein seperti pembentukan gel, serta (3) sifat-sifat permukaan seperti emulsifikasi, pembentukan buih, dan tegangan permukaan (Cheftel et al., 1985). Sifat-sifat fungional protein dipengaruhi oleh tiga faktor, yakni faktor intrinsk, lingkungan, dan perlakuan selama proses. Faktor intrinsik protein meliputi komposisi protein, bentuk protein, serta jumlah dan keragaman komponen penyusun protein. Faktor lingkungan meliputi ketersediaan air, ion, lemak, gula, suhu, dan pH
lingkungan.
Perlakuan
selama
proses
yang
dapat
mempengaruhi sifat fungsional protein adalah pemanasan, pengeringan, pendinginan, serta modifikasi protein. Sifat-sifat fungsional ini sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam industri pangan seperti daya ikat air, kekentalan, emulsifikasi, serta kemampuan untuk membuat film dan gel (Kinsella, 1979). Lapisan film atau coating dari isolat protein adalah hasil polimerisasi protein dan evaporasi pada permukaan antara coating dan udara. Molekul protein pada coating dibentuk melalui ikatan disulfida, interaksi hidrofobik, dan ikatan hidrogen. Rantai protein hdirofobik lebih mengarah ke bagian luar, sedangkan rantai protein hidrofobik mengarah ke bagian dalam larutan coating (Okamoto, 1978). Fraksi 11S dan 7S dari protein kedelai memiliki kemampuan
membentuk
polimer
(polimerisasi).
Hal
ini
mengindikasikan bahwa polimerisasi dari protein berfungsi untuk menyediakan tempat terjadinya ikatan disulfida. Pemanasan akan
107
membantu
terjadinya
polimerisasi
protein
kedelai
dengan
menghancurkan struktur protein sehingga gugus sulfidril dan grup hidrofobik dapat keluar dari struktur tersier protein. Selain itu, kondisi alkali juga membantu polimerisasi karena alkali dapat memutuskan rantai polipeptida dan mendorong pertukaran sulfidril-disulfida (Kelley dan Pressey, 1966). Gambar struktur protein kedelai dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Struktur protein kedelai
F. INTERAKSI PROTEIN-POLISAKARIDA DALAM PEMBUATAN EDIBLE COATING Karbohidrat secara alami dapat sedikit berinteraksi dengan protein. Menurut Farnum et al. (1976), interaksi antara protein dan karbohidrat dapat terjadi karena adanya pembentukkan ikatan ionik dan hidrogen di dalam struktur film, sedangkan Samanth et al. (1993), menjelaskan bahwa interaksi polisakarida-protein dapat terjadi karena pembentukan kompleks elektrostatik. Contohnya pada polisakarida anionik, CMC, akan berekasi kuat pada pH 6 dengan mioglobin daripada dengan Bovine Serum Albumin (BSA), dimana pada pH tersebut mioglobin bermuatan positif sedangkan BSA bermuatan negatif. Ketergantungan muatan ini menyarankan adanya keterlibatan grup karboksilat dari polisakarida dan residu asam amino yang bermuatan positif seperti έ-amino, α-amino, guanidium, dan imidizol.
108
Kekuatan interaksi yang sebenarnya sangat tergantung pada jumlah dan distribusi sisi-sisi tersebut. Proses denaturasi akibat pemanasan atau penambahan alkali dapat menyebabkan jumlah sisi-sisi tersebut meningkat karena terbebaskan dari strukturnya sehingga dapat memaksimalkan interaksi dan menghasilkan kompleks yang stabil (Imeson et al., 1977).
G. PLASTICIZER Plasticizer didefinisikan sebagai substansi non-volatil, memiliki titik didih yang tinggi, dan jika ditambahkan ke dalam suatu materi dapat mengubah sifat fisik dan/atau sifat mekanik materi tersebut. Plasticizer diteorikan dapat mengurangi gaya intermolekuler sepanjang rantai polimer, sehingga mengakibatkan fleksibilitas edible film meningkat, namun juga mengakibatkan turunnya permeabilitas film tersebut (Banker, 1966). Sedangkan menurut Lieberman dan Gilbert (1973), senyawa poliol seperti
gliserol
dan
sorbitol
efektif
sebagai
plasticizer
karena
kemampuannya mengurangi ikatan hidrogen internal pada ikatan intermolekuler sehingga dapat melunakkan struktur film, meningkatkan mobilitas rantai biopolimer, dan memperbaiki sifat mekanik film. Gliserol dan sorbitol adalah bahan humektan, dan bagian dari aksi plasticizing berasal dari kemampuan mereka untuk menahan air pada edible film tersebut. Gliserol adalah senyawa alkohol polihidrat dengan tiga buah gugus hidroksil dalam satu molekul. Rumus kimia gliserol adalah C3H8O3 dengan nama kimia 1,2,3-propanatriol. Gliserol memiliki berat molekul 92.10 gr/mol, massa jenis 1.23 g/cm3, titik didihnya 204°C, berbentuk cair, tidak berbau, tidak berwarna, higroskopis, dan dapat larut dalam air serta alkohol (Kumalasari, 2005). Gliserol dihasilkan sebagai produk samping dalam pembuatan sabun. Penambahan gliserol dalam pembuatan edible film akan meningkatkan fleksibilitas dan
permeabilitas film
terhadap gas, uap air, serta gas terlarut. Selain itu, gliserol juga befungsi sebagai penyerap air dan pembentuk kristal (Kumalasari, 2005).
109
Sorbitol atau biasa disebut D-glusitol (C6H14O6) merupakan gula alkohol hasil reduksi dari karbohidrat yang memiliki gugus poliol. Sorbitol biasanya dijadikan sebagai gula pengganti pada makanan diet karena memiliki rasa yang tidak begitu manis, yakni 60% dari manis gula sukrosa. Sorbitol juga banyak digunakan sebagai cryoprotectant pada pembuatan surimi. Sorbitol mudah larut air dan mempunyai sifat sangat stabil terhadap asam, enzim, dan suhu mencapai 14°C (Kumalasari, 2005). McHugh et al. (1994), menyebutkan bahwa mereka telah meneliti pengaruh plasticizer seperti gliserin (gliserol), sorbitol, dan polietilen glikol (PEG) pada edible film dari protein whey. Penelitian tersebut membuktikan bahwa, sorbitol memberikan fleksibilitas tertinggi per unit peningkatan permeabilitas uap air di antara semua plasticizer yang diamati. Faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan plasticizer untuk mengikat air ke dalam sistem edible film tersebut antara lain komposisi, bentuk, serta ukuran dari plasticizer yang digunakan (Krochta, 1994).
H. PENGEMASAN Pengemasan sayuran segar adalah suatu usaha menempatkan sayuran segar ke dalam suatu wadah yang memenuhi syarat, dan dengan tujuan agar mutunya tetap atau hanya mengalami sedikit penurunan (Sacharow dan Griffin, 1980). Menurut Hardenburg (1975), pengemasan sayuran segar dapat mengurangi kehilangan kandungan air (pengurangan berat) sehingga dapat mencegah terjadinya dehidrasi, terutama bila digunakan bahan pengemas yang kedap uap air. Kehilangan kandungan air yang cukup tinggi pada komoditas sayuran akan menyebabkan kelayuan dan kisut sehingga kesegaran sayuran tersebut akan berkurang serta memberikan penampakan tekstur yang kurang baik. Oleh karena itu, pengemasan sayuran harus diarahkan pada penghambatan proses respirasi, transpirasi,
pengendalian
perubahan-perubahan
kontaminasi
mikroorganisme.
Penggunaan
fisiko-kimia,
plastik
sebagai
dan bahan
pengemas sayuran sudah banyak digunakan, selain karena terbukti efektif
110
untuk mempertahankan mutu, juga dapat membuat penampilan komoditas sayuran menjadi lebih menarik (Hall et al., 1975). Bahan yang dikemas dengan plastik film permeabel merupakan sistem yang dinamis, dan meliputi dua proses yang terjadi secara serempak, yaitu proses respirasi serta penyerapan gas yang berhubungan dengan respirasi tersebut. Oksigen secara terus-menerus digunakan oleh buah untuk respirasi dan menghasilkan gas CO2, uap air, C2H4, gas-gas volatil lain, serta energi panas. Hal ini mengakibatkan perbedaan kandungan O2 antara bagian dalam dan luar kemasan sehingga O2 mulai terserap masuk ke dalam kemasan. Sebaliknya, kandungan CO2 dan gasgas lain di dalam kemasan semakin bertambah dan dalam waktu yang bersamaan akan merebes keluar kemasan karena terjadi perbedaan konsentrasi CO2 antara luar dan dalam kemasan (Henig, 1972). Kemudian Geeson et al. (1985) menegaskan bahwa perubahan konsentasi O2 dan CO2 tersebut pada suatu saat akan mencapai suatu kondisi kesetimbangan sehingga tidak lagi terjadi perubahan komposisi O2 dan CO2. Sifat film kemasan yang cocok untuk penyimpanan buah-buahan dan sayuran terutama untuk pembentuk atmosfer di dalam kemasan adalah film-film yang lebih permeabel terhadap O2 daripada CO2. Akan tetapi, film-film yang banyak tersedia di pasaran lebih permeabel terhadap CO2 daripada O2, sehingga laju akumulasi CO2 dari respirasi lebih sedikit daripada laju penyusutan O2 (Hall et al., 1975). Menurut Hardenburg (1975), untuk menghindarkan kemungkinan kerusakan akibat akumulasi CO2 dan penyusutan O2 atau kemungkinan timbulnya bau serta rasa yang tidak diinginkan, film-film tersebut harus dilubangi. Hal ini perlu dilakukan karena dalam kemasan yang tertutup rapat semua O2 bebas akan segera terpakai habis sehingga respirasi sayuran/buah menjadi anaerobik dan terbentuk zat-zat seperti alkohol serta CO2 (Hall et al., 1975). Plastik PVC (Polivinil klorida) merupakan bahan kemasan yang pada umumnya dibuat dari polimer vinil klorida. PVC dapat dibuat menjadi plastik kemasan yang kaku ataupun fleksibel. Sifat-sifat umum PVC antara lain memiliki warna yang transparan sampai keruh,
111
permeabilitasnya terhadap uap air yang rendah, tahan terhadap minyak, mempunyai kekuatan tarik yang tinggi dan tidak mudah sobek, serta dapat dipengaruhi oleh panas dan sinar ultraviolet (Hanlon, 1971). Menurut penelitian Supriyanto (1987), kemasan film plastik PVC yang digunakan untuk mengemas tomat segar memiliki mutu (penampakan) yang lebih baik bila dibandingkan dengan kemasan film plastik PE (Polietilen) dan PP (Polipropilen).
I. PENYIMPANAN Penyimpanan adalah suatu cara menempatkan sayuran, baik yang sudah dikemas maupun belum, dalam suatu ruangan dan pada suhu serta kelembaban tertentu untuk proses-proses selanjutnya (Soedibyo, 1985). Penyimpanan buah-buahan dan sayuran segar dapat memperpanjang umur simpan serta mempetahankan mutunya (Pantastico et al., 1975). Umur simpan dapat diperpanjang dengan pengendalian mikroorganisme yang mungkin timbul setelah panen, mengatur komposisi udara dalam ruang penyimpanan,
penyinaran,
dan
pendinginan.
Penyimpanan
dingin
merupakan cara yang paling umum dan ekonomis untuk penyimpanan jangka panjang bagi produk holtikultura. Penyimpanan dingin biasanya dilakukan pada suhu dibawah 15°C. Faktor yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan dingin adalah penggunaan temperatur terbaiknya (optimum). Penyimpanan dingin dapat mengurangi : 1. Kegiatan respirasi dan reaksi metabolisme lainnya, 2. Proses penuaan (aging) karena adanya pematangan, pelunakan (softening), dan perubahan-perubahan warna serta tekstur, 3. Kehilangan air dan pelayuan, 4. Kerusakan karena bakteri, kapang, dan ragi, 5. Proses pertumbuhan yang tidak dikehendaki, seperti pertunasan (spouting). Suhu yang direkomendasikan pada penyimpanan dingin untuk tomat matang adalah 7-10° C (Batz, 1993). Pantastico (1986), menyatakan bahwa penyimpanan tomat matang pada suhu 7-10° C dengan kelembaban
112
85-90% dapat mempertahankan mutu tomat selama 1-3 minggu. Fields (1977), menyatakan bahwa penyimpanan pada suhu 10° C merupakan suhu yang paling baik untuk penyimpanan tomat karena kerusakan yang dialami tomat paling minimum. Bahan yang didinginkan pada suhu lebih rendah dari suhu optimumnya, dalam tingkat tertentu akan mengalami kerusakan yang dikenal dengan kerusakan dingin (chilling injury). Gejala kerusakan dingin terlihat dari adanya kegagalan pematangan, pematangan tidak normal, pelunakan prematur, kulit terkelupas, pencoklatan pada bibit, peningkatan pembusukan akibat luka, dan kehilangan citarasa khas. Sensitivitas bahan terhadap kerusakan dingin berkurang sejalan dengan peningkatan kematangan bahan (Scoot, 1993).
113
III. METODOLOGI PENELITIAN A. ALAT DAN BAHAN Alat-alat yang digunakan dalam proses aplikasi edible film dari gel Aloe vera pada sayuran selada adalah wearing blend, timbangan digital halus, baskom, kulkas, sendok pengaduk, sendok makan, sumpit, sarung tangan plastik, masker, bunsen, gelas plastik, wadah styrofoam, plastik pembungkus, talenan plastik, wadah ukuran besar, pisau, serta saringan. Alat-alat yang digunakan dalam analisis adalah pipet tetes, pipet volumetrik 10 ml, 5ml, dan 2 ml, gelas piala ukuran 100 dan 400 ml, cawan alumunium, cawan porselen, cawan petri, gelas ukur 10 ml, 100 ml, dan 300 ml, erlenmeyer 100 ml, 300 ml, dan 1000 ml, neraca analitik, inkubator 30 °C, penetrometer, chromameter Minolta CR-300, pH-meter, refraktometer, hockey stick, toples, dan tabung reaksi. Bahan-bahan utama yang digunakan dalam proses aplikasi edible coating dari gel Aloe vera pada buah tomat adalah tomat segar yang didapatkan dari pasar induk Kemang Bogor, daun Aloe vera, klorin, air matang, alkohol 70%, aquades, sorbitol, gliserol, dan isolat protein. Bahanbahan yang digunakan untuk analisis antara lain aquades, media PCA, PDA, dan NA cair, serta larutan pengencer.
B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (i) percobaan pembuatan gel Aloe vera (ii) pengujian umur simpan gel terhadap mutu coating, (iii) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (iv) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Secara lebih terperinci tahapan penelitian dijelaskan di bawah ini. 1. Pembuatan Gel dari Pelepah Daun Aloe vera L. Tahap
percobaan
ini
bertujuan
mengembangkan
cara
pembuatan gel dengan sifat coating yang baik. Pada tahap ini, dilakukan pembuatan gel Aloe vera berdasarkan pembuatan minuman
114
Aloe vera menurut He et al. (2003) dan memodifikasinya dengan memberikan berbagai perlakuan seperti pencucian, pemanasan, serta penambahan asam. Optimasi teknik pencucian dilakukan untuk menghilangkan lendir berwarna kuning yang dapat menurunkan mutu gel, seperti terjadinya perubahan warna gel menjadi lebih kuning dan timbulnya bau tidak sedap. Perlakuan pemanasan dengan suhu 80°C selama 5 menit dan penambahan asam sitrat sebanyak 4% yang juga disertai pemansan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba awal gel Aloe vera. Parameter yang diamati adalah penampakannya secara fisik, meliputi warna, bau, serta kekentalan. Prosedur pembuatan gel Aloe vera dibuat berdasarkan hasil yang didapatkan dari tahap ini, dan dapat dilihat pada Gambar 4.
Daun Aloe vera
Sortasi dan pencucian dengan air mengalir
Perendaman dalam larutan klorin 200 ppm selama 30 menit
Optimasi pencucian
Pembilasan dengan air matang
Trimming dan Filleting
Pembilasan dengan air matang untuk menghilangkan yellow sap (lendir berwarna kuning)
@
115
@ Penghancuran dengan crusher
Gel Aloe vera
Pemanasan atau Penambahan disertai Pemansan
Pengemasan dan Penyimpanan
Gambar 4. Diagram alir pembuatan gel Aloe vera 2. Pengujian Umur Simpan Gel terhadap Mutu Coating Percobaan ini bertujuan mengetahui daya tahan gel selama penyimpanan pada suhu <10°C dalam refrigerator hingga 7 hari. Selain itu, percobaan ini juga dilakukan untuk mengetahui pengaruh penyimpanan
gel
tersebut
terhadap
mutu
coating
gel
yang
diaplikasikan pada buah tomat segar. Coating dilakukan dengan metode pencelupan (dipping). Parameter yang diamati adalah susut bobot dan penurunan tingkat kesegaran yang terjadi pada tomat selama penyimpanan pada suhu ruang. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS. Diagram alir pencelupan tomat ke dalam larutan coating dapat dilihat pada Gambar 5.
116
Coating gel dengan berbagai formula
Buah tomat
Pencucian
Buah tomat bersih
Coating dengan teknik pencelupan
Penirisan
Pengemasan dan penyimpanan pada suhu ruang dan dingin
Pengamatan secara periodik
Gambar 5. Diagram alir pengaplikasian Aloe vera edible coating pada buah tomat
117
3. Formulasi Gel Aloe vera L.untuk Aplikasi Coating pada Tomat Tahap ini bertujuan melihat pengaruh coating gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein, gliserol, dan sorbitol yang diaplikasikan pada buah tomat, sehingga dihasilkan edible coating yang baik. Buah tomat segar dicelupkan ke dalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran buah tersebut. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan yang dibantu dengan media pengolahan SPSS. Formula gel terbaik yang didapatkan dari tahapan ini akan digunakan pada tahap selanjutnya.
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu Tahapan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih hasil penelitian tahap tiga di atas. Setelah dicelup ke dalam larutan coating, buah tomat tersebut dikemas dalam styrofoam dan dibungkus dengan plasticized PVC, kemudian disimpan pada suhu ruang serta suhu 1°C. Pengamatan dilakukan terhadap susut bobot, perubahan warna, tekstur, perubahan kandungan gula (°B), perubahan pH, dan total mikroba selama penyimpanan. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS.
118
C. METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Fisik a. Susut Bobot (Katamsi, 2004) Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Rumus : % Susut bobot = Bobot awal – Bobot akhir x 100% Bobot awal b. Warna (Jowitt et al., 1987) Warna permukaan buah tomat selama penyimpanan diukur dengan kromameter Minolta CR-300. Skala yang digunakan adalah skala L*a*b dan Yxy dengan ulangan pengukuran sebanyak tiga kali setiap sampel. c. Tingkat Kelunakan Tekstur Tomat Tingkat kelunakan tekstur tomat diukur dengan alat penetrometer semi-digital dengan menggunakan probe tertentu. Permukaan buah tomat akan ditusuk jarum probe dengan kecepatan dan berat yang tetap selama 10 detik, sehingga kedalaman lubang yang diakibatkan oleh penusukan tersebut akan menyatakan kelunakan tekstur buah tomat tersebut.
2. Analisis Sifat Kimia a. Derajat Keasaman (pH) (AOAC, 1995) Pengukuran derajat keasaman menggunakan pH meter. Sebelum digunakan alat distandardisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4. Sekitar 25 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang tetap. b. Total Padatan Terlarut (TPT) Pengukuran TPT menggunakan Hand Refractometer (0-39˚Brix). Sebelum digunakan alat dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan
119
dilap hingga kering.
Sampel yang akan diukur kemudian diletakkan
secukupnya pada tempat pembacaan. Kemudian nilai TPT ditunjukkan oleh angka yang didapat pada batas garis biru dan putih.
3. Uji Mikrobiologi (Fardiaz, 1988) a. Uji Total Mikroba (TPC) Sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan media PCA steril yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count). Koloni per cm2 = Jumlah koloni/cawan x 10 x
1 Luas permukaan yang di-swab (cm2)
b. Uji Kapang Khamir Sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan media APDA steril yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count). Koloni per cm2 = Jumlah koloni/cawan x 10 x
1 Luas permukaan yang di-swab (cm2)
120
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Pembuatan Edible Coating dari Gel Lidah Buaya (Aloe vera L.) Larutan edible coating dibuat dari gel yang terdapat di dalam pelepah daun lidah buaya. Prosedur pembuatan larutan ini merupakan modifikasi dari proses pembuatan minuman sari lidah buaya dari metode yang telah dilakukan oleh He et al. (2003). Metode ini telah dibuat sedemikian rupa sehingga proses pembuatannya menjadi cukup sederhana, namun tetap mempertahankan mutu serta komponen-komponen bioaktif alami yang terdapat di dalam gel tersebut. Selain itu, metode ini juga telah memenuhi HACCP sehingga kualitas dan keamanan gel yang dihasilkan cukup terjamin. Dalam pembuatan edible coating dari gel lidah buaya ini, tahapan yang dilakukan hanya sampai proses homogenisasi saja dan gel lidah buaya yang telah dihasilkan dari proses tersebut langsung dikemas, kemudian disimpan. Tahap pembuatan edible coating dari gel lidah buaya ini dimulai dari pemilihan (sortasi) pelepah daun lidah buaya. Pemilihan pelepah daun ini berdasarkan penampakan fisiknya antara lain, tingkat kematangan yang dapat dilihat dari warna daun yang sudah hijau (tidak kuning), ukuran daun, ada atau tidaknya kotoran atau penyakit, serta kerusakan fisik seperti patah atau luka pada jaringan luar daun. Pelepah daun ini harus sudah diproses dalam jangka waktu 36 jam setelah dipanen untuk menghindari degradasi komponen-komponen bioaktif yang terkandung didalamnya (Roberts, 1997). Setelah disortasi, tahapan selanjutnya adalah mencuci pelepah daun tersebut untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada permukaan daun. Kemudian, pelepah daun lidah buaya ini direndam dalam larutan klorin dengan konsentrasi 200 ppm selama 30 menit. Tahap perendaman berfungsi untuk mengurangi cemaran mikroba pada permukaan daun sehingga diharapkan tidak akan ada kontaminasi silang ke dalam gel lidah buaya yang akan dihasilkan. Setelah direndam, daun lidah buaya tersebut dibilas dengan air matang untuk menghilangkan sisa-sisa larutan klorin yang menempel, sehingga tidak ada lagi bau klorin
121
yang menyengat. Di beberapa negara selain Indonesia, seperti USA dan Uni Eropa tidak memperbolehkan senyawa klorin digunakan sebagai bahan pencuci untuk komoditi pangan, oleh karena itu senyawa klorin ini sebaiknya diganti dengan desinfektan pencuci lainnya yang diperbolehkan FDA, seperti penggunaan asam sitrat dan senyawa anti-mikroba alami lainnya, untuk mencuci pelepah daun lidah buaya. Hal ini akan menjadi sangat penting apabila komoditi pangan yang dilapisi dengan gel lidah buaya ini diekspor ke negara-negara yang sangat ketat peraturannya mengenai syarat keamanan seperti penggunaan desinfektan klorin untuk digunakan sebagai pencuci produk pangan tersebut. Tahapan selanjutnya adalah trimming dan filleting daun lidah buaya. Pada proses ini, bagian pangkal, ujung, serta sisi-sisi daun yang berduri, dan semua kulit daun dibuang dengan menggunakan pisau. Pembuangan bagian-bagian tersebut perlu dilakukan untuk menghilangkan yellow sap (senyawa anthraquinone beserta turunannya) dan dari proses ini diharapkan hasil potongan gel lidah buaya tanpa kulit yang bersih. Namun, seringkali yellow sap ini masih belum hilang secara sempurna sehingga dapat mengkontaminasi gel lidah buaya yang dihasilkan. Oleh karena itu, ada 2 hal yang harus dilakukan, yakni dengan membasuh ujung-ujung bekas sayatan selama tahap filleting, serta membilas bagian pangkal gel yang telah didapatkan dengan air matang. Yellow sap penting untuk dihilangkan karena jika gel yang telah dihasilkan masih tercemar oleh yellow sap ini maka warna gelnya akan berubah menjadi kekuningan, baunya menjadi tidak sedap, memiliki efek laxative, serta dapat mempengaruhi umur simpan dari gel tersebut. Pada tahap percobaan ini belum diopltimalkan cara mendapatkan gel lidah buaya dengan rendemen yang sesedikit mungkin. Hal ini cukup penting mengingat banyaknya kandungan senyawa bioaktif dalam gel lidah buaya tersebut yang dapat mempengaruhi mutu dari coating gel yang dihasilkan, sehingga kehilangan lendir (tidak berwarna) dan terbuangnya bagian mucilage gel lidah buaya selama proses trimming dan filleting perlu diminimalisasi.
122
Potongan gel lidah buaya yang dihasilkan dari tahapan di atas kemudian dihancurkan dengan menggunakan wearing blender selama tidak lebih dari 10 menit. Jika proses penghancuran berlangsung terlalu lama maka akan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis dalam gel lidah buaya tersebut dan warnanya akan menjadi berubah. Dari tahap ini, didapatkan larutan gel lidah buaya yang sudah siap untuk dijadikan coating. Larutan gel lidah buaya tersebut kemudian dikemas dan disimpan pada suhu dingin (5°C). Pada tahap ini, dilakukan juga percobaan pemanasan dan penambahan asam sitrat pada larutan gel lidah buaya yang telah dihasilkan dengan tujuan untuk mereduksi mikroba yang terdapat dalam larutan gel tersebut sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. Perlakuan pemanasan dilakukan pada suhu 80°C selama 5 menit dan perlakuan penambahan asam sitrat sebanyak 4% dilakukan setelahnya. Hasil yang didapatkan dari percobaan ini dapat dilihat pada Gambar 6 dibawah ini.
(a) Larutan gel lidah buaya tanpa perlakuan
(b) Larutan gel lidah buaya dengan pemanasan
(c) Larutan gel lidah buaya dengan penambahan asam
Gambar 6. Perlakuan pemanasan dan penambahan asam pada gel lidah buaya.
123
Berdasarkan gambar hasil penampakan fisik kedua perlakuan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut tidak efektif untuk digunakan karena merusak mutu larutan gel lidah buaya yang dihasilkan. Hal ini terlihat dari adanya endapan yang terjadi pada kedua perlakuan di atas serta adanya perubahan warna larutan menjadi kecoklatan pada perlakuan pemanasan. Endapan ini terjadi akibat pemanasan sehingga meyebabkan degradasi komponen polisakarida karena putusnya ikatan ionik yang mendukung struktur polisakarida tersebut. Warna coklat terbentuk karena proses pemanasan mempercepat reaksi pencoklatan enzimatis yang terjadi pada larutan gel (Blanshard dan Mitchell, 1979). Terbentuknya endapan menyebabkan kekentalan larutan gel menjadi berkurang drastis sehingga tidak lagi dapat membentuk lapisan edible coating yang baik.
2.
Pengaruh Umur Simpan Larutan Gel terhadap Mutu Coating. Komposisi komponen-komponen bioaktif yang terkandung dalam gel lidah buaya tergantung pada musim,iklim, serta tanah tempat tanaman ini ditanam. Satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penanganan pelepah daun pasca panen karena proses dekomposisi komponen didalamnya sudah dimulai sejak pelepah daun tersebut dipotong dari tanaman induknya. Proses dekomposisi ini terjadi akibat reaksi enzimatis dan aktivitas mikroba alami yang ada pada daun tersebut (Coats, 1979). Pada larutan gel yang telah diekstraksi, kehilangan aktivitas berbagai komponen bioaktif yang terkandung dalam lidah buaya menjadi lebih sedikit bila dibandingkan ketika komponen tersebut masih ada di dalam bentuk pelepah daunnya (He et al., 2003). Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan pengujian penyimpanan larutan gel yang telah diekstraksi dari lidah buaya terhadap mutu coating yang dihasilkan ketika diaplikasikan pada buah tomat. Penyimpanan gel dilakukan pada suhu <10°C selama 7 hari. Tomat-tomat tersebut kemudian disimpan pada suhu
124
ruang dan diamati selama 4 hari. Parameter yang diamati pada tomat untuk melihat mutu coating yang dihasilkan adalah susut bobot.
4.5 Susut bobot (%)
4 3.5 3
Tomat utuh kontrol 1 Tomat utuh kontrol 2
2.5
Tomat utuh dgn aloe 1
2
Tomat utuh dgn aloe 2
1.5 1 0.5 0 1
2
3
Hari ke-
Gambar 7. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (1 hari) terhadap persentase susut bobot tomat 3.5
Susut bobot (%)
3 2.5 Tomat utuh kontrol 1 2
Tomat utuh kontrol 2 Tomat utuh dgn aloe 1
1.5
Tomat utuh dgn aloe 2 1 0.5 0 1
2
3
Hari ke-
Gambar 8. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (2 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
125
1.4 1.2 Susut bobot (%)
1 Tomat utuh kontrol 1 0.8
Tomat utuh kontrol 2
0.6
Tomat utuh dgn aloe 1 Tomat utuh dgn aloe 2
0.4 0.2 0 1
2
3
Hari ke-
Susut bobot (%)
Gambar 9. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (6 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
tomat kontrol 1 tomat kontrol 2 tomat aloe 1 tomat aloe 2
1
2
3
Hari ke-
Gambar 10. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (7 hari) terhadap persentase susut bobot tomat
Berdasarkan keempat grafik diatas, dapat diketahui bahwa semakin lama larutan gel lidah buaya disimpan maka kualitas gel tersebut sebagai edible coating akan semakin menurun. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya kemampuan gel tersebut untuk menahan laju kehilangan
126
bobot yang terjadi. Gambar 7 memperlihatkan bahwa susut bobot yang terjadi pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan tomat yang tidak dilapisi (kontrol). Kemudian, pada Gambar 8 - 10 mulai terlihat bahwa kemampuan coating gel untuk menahan susut bobot pada tomat yang dilapisi mulai berkurang karena susut bobot tomat yang dilapisi tersebut ternyata menjadi lebih tinggi daripada kontrolnya. Sehingga, dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa penyimpanan gel berpengaruh terhadap mutu coating yang dihasilkan dan coating gel yang paling baik untuk diaplikasikan pada tomat adalah gel yang langsung digunakan segera setelah diekstrak dari pelepah daun yang baru dipanen. Hasil analisis ragam (Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan menggunakan gel lidah buaya pada Gambar 7 tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi. Hal ini dapat diperkuat oleh data perbandingan respirasi antara buah tomat yang dilapisi dengan yang tidak, pada penyimpanan di suhu ruang, seperti terlihat pada Gambar 11 di bawah ini.
0.90000 0.80000
Laju respirasi
0.70000 0.60000
Tomat aloe 1
0.50000
Tomat aloe 2
0.40000
Tomat kontrol 1
0.30000
Tomat kontrol 2
0.20000 0.10000 0.00000 1
2
3
4
5
6
Hari ke-
Gambar 11. Grafik perbandingan laju respirasi pada suhu ruang antara tomat yang dilapisi gel lidah buaya dan yang tidak
127
Dari tabel ini terlihat bahwa laju respirasi antara tomat yang dilapisi dan yang tidak ternyata tidak terlalu berbeda. Hasil analisis ragam yang telah dilakukan terhadap data ini pun menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi (Olly, 2007). Sehingga dari percobaan ini dapat pula disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya yang
disimpan
pada
suhu
ruang
tidak
terlalu
efektif
untuk
mempertahankan mutu tomat tersebut.
3.
Formulasi Gel Aloe vera L.untuk Aplikasi Coating pada Tomat Tahap percobaan ini dilakukan berdasarkan hasil tahapan percobaan sebelumnya yang menyatakan bahwa edible coating dari gel lidah buaya tidak cukup efektif untuk diaplikasikan pada tomat yang disimpan pada suhu ruang, sehingga diperlukan adanya penambahan zatzat tertentu yang diperkirakan mampu memperbaiki kinerja coating dari gel lidah buaya tersebut. Zat-zat yang akan ditambahkan antara lain isolat protein kedelai, gliserol, dan sorbitol. Pada tahap percobaan ini, buah tomat segar dicelupkan kedalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 1 ml. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran pada buah tersebut secara visual.
128
2.5 Kontrol Aloe 100
Susut bobot (%)
2
Aloe isp Aloe isp gliserol
1.5
Aloe isp sorbitol Linear (Kontrol)
1
Linear (Aloe isp gliserol) Linear (Aloe isp)
0.5
Linear (Aloe 100) Linear (Aloe isp sorbitol)
0 0
2
4
6
8
10
12
Per 3 hari
Gambar 12. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula edible coating Grafik di atas menunjukkan bahwa garis regresi formula (a) berada pada urutan paling bawah yang berarti bahwa formula coating yang terbaik untuk menahan susut bobot tomat adalah dengan menggunakan gel lidah buaya murni. Tetapi, jika dilihat lebih jelas, garis regresi formula (a) dan (b) hampir berhimpit bila dibandingkan dengan garis regresi formula yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji statistik untuk mengetahui apakah ada perbedaan di antara kedua formula tersebut. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 12) yang telah dilakukan, ternyata, formula (a) dan (b) berbeda nyata terhadap formula (c), (d), dan kontrol. Formula (a) dan (b) tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi formula (a) lebih baik daripada formula (b) jika dilihat dari urutan pada hasil uji lanjut Duncan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa formula gel lidah buaya murni lebih mampu menahan laju kehilangan bobot daripada formula gel lidah buaya yang telah ditambahkan dengan isolat protein kedelai. Selain itu, ditinjau dari keterjangkauan, gel murni lidah buaya lebih mudah didapatkan dan diproses, bila dibandingkan dengan harus formula lainnya yang harus menambahkan bahan-bahan yang tidak bisa dibeli di sembarang tempat dan tidak terjangkau harganya. Formula dengan penambahan sorbitol lebih besar susut bobotnya bila dibandingkan dengan penambahan gliserol, hal ini dikarenakan sifat
129
plasticizer sorbitol yang lebih baik sehingga kekentalan larutan pun menjadi berkurang lebih banyak bila dibandingkan dengan gliserol. Kekentalan larutan gel untuk coating berkurang karena aktivitas plasticizer tersebut yang mampu mengurangi ikatan hidrogen internal pada gel lidah buaya sehingga lapisan yang terbentuk menjadi lebih tipis dan tidak dapat lagi menahan laju kehilangan bobot tomat tersebut. Pada tahap sebelumnya, telah disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi selama disimpan pada suhu ruang, tetapi pada tahap ini diketahui bahwa tomat dengan pelapisan berbeda nyata dengan tomat tanpa pelapisan. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan varietas dan umur sampel tomat yang digunakan. Tomat yang digunakan pada tahap sebelumnya sudah memiliki tingkat kematangan yang tinggi (warnanya lebih merah) ketika akan dilapisi dengan gel, sedangkan tomat yang digunakan pada tahap ini tingkat kematangannya lebih rendah (warnanya masih kuning-kehijauan). Oleh karena itu, respirasi pada tomat yang kematangannya sudah tinggi sulit untuk dibendung oleh lapisan gel lidah buaya tersebut sehingga menyebabkan susut bobotnya pun menjadi sulit untuk ditahan. Penurunan
tingkat
kesegaran
juga
diamati
secara
visual.
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, beberapa ulangan sampel tomat kontrol serta tomat yang dilapisi dengan formula (b), (c), (d), mengalami kerusakan fisik internal yang dimulai pada hari penyimpanan ke-20, namun kerusakan ini tidak terjadi pada tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya murni. Kerusakan internal pada tomat biasanya disertai dengan adanya guratan-guratan pada permukaan buah yang merupakan pertanda bahwa jaringan buah kehabisan air. Keadaan jaringan yang kehabisan air ini akan semakin berkurang seiring dengan semakin matangnya buah tersebut, tetapi kerusakan internal yang cukup serius tetap terjadi. Kerusakan permanen pada jaringan lokular ini menyebabkan jaringan tersebut gagal membuat dirinya menjadi sel-sel yang lebih bersifat gelatinous yang pada umumnya normal terjadi selama pematangan
130
buah. Kemudian pada jaringan lokular yang tidak terlalu rusak, proses gelatinisasi sel ini berlangsung tidak sempurna sehingga akan membentuk benang-benang tebal berwarna gelap pada jaringan tersebut (McColloch 1962 dalam Mohsenin). Benang- benang tebal yang berwarna gelap itu seperti yang terlihat pada Gambar 13 di bawah ini.
Gambar 13. Kerusakan fisik pada buah tomat
4. Penentuan Umur Simpan Tomat Segar dengan Perlakuan Aloe vera Gel Coating, Pengemasan, dan Suhu Sayuran dan buah-buahan melangsungkan proses kehidupannya dengan melakukan respirasi. Proses respirasi ini tidak hanya berlangung ketika mereka berada di pohon saja, tetapi juga setelah dipanen mereka terus melakukan respirasi. Proses respirasi yang terus berlangsung setelah buah atau sayuran dipanen ini menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi kualitas buah atau sayuran itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu buah atau sayuran harus dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, agar kerusakan tomat selama penyimpanan dapat diminimalkan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga mutu buah agar tetap baik adalah dengan menggunakan kemasan, edible coating, dan penyimpanan buah tersebut pada suhu optimumnya. Tahapan percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih dari tahap percobaan sebelumnya. Tomat segar dicelup ke dalam larutan gel lidah
131
buaya murni kemudian diletakkan pada styrofoam berukuran kecil dan dikemas dengan kemasan plasticized PVC. Setelah itu, tomat-tomat, baik yang telah dilapisi maupun tidak, dan tomat-tomat, baik yang dikemas maupun tidak setelah pencelupan ke dalam larutan gel, disimpan pada suhu ruang dan suhu 1°C. Parameter yang diamati antara lain susut bobot, perubahan warna, kekerasan tekstur, perubahan °Brix (total gula), dan perubahan pH (kadar keasaman). Hasil yang didapatkan dari percobaan ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut Duncan. 1. Susut Bobot Respirasi yang terjadi pada buah merupakan proses biologis dimana oksigen diserap untuk membakar bahan-bahan organik dalam buah untuk menghasilkan energi dan diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Air, gas yang dihasilkan, dan energi berupa panas akan mengalami penguapan sehingga buah tersebut akan menyusut beratnya. Menurut Wills (1981), faktor yang mempengaruhi kehilangan air pada buah antara lain adalahh luas berbanding volume buah tersebut, lapisan alami permukaan buah, dan kerusakan mekanis pada
kulit
buah.
Pemberian
perlakuan
pelapisan
yang
dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan diharapkan dapat menekan laju kehilangan bobot yang terjadi.
132
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
Susut bobot (%)
10 8
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
6
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
4
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
2
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
25
Waktu penyimpanan (hari)
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 14a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap persentase susut bobot tomat selama penyimpanan
9
Susut bobot (%)
8 7 6 5
Suhu ruang
4
Suhu dingin
3 2 1 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 14b. Grafik perbandingan rata-rata susut bobot pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Pada Gambar 14a, dapat dilihat bahwa susut bobot yang dialami oleh buah tomat meningkat selama penyimpanan. Hal ini terjadi karena tomat merupakan buah yang memiliki pola respirasi klimakterik. Pada buah yang bersifat klimakterik, respirasi akan
133
terus meningkat seiring dengan semakin matangnya buah tersebut sehingga mengakibatkan susut bobot buah juga semakin meningkat terutama
ketika
buah
tersebut
telah
mencapai
puncak
klimakteriknya. Gambar 14b menceritakan bahwa nilai susut bobot tomat yang disimpan pada suhu ruang di hari ke-21 memiliki susut bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu dingin (1°C). Perbandingan nilai susut bobot antara tomat yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin ini, membuktikan bahwa suhu dingin dapat mempertahankan tomat dari kehilangan bobot akibat proses respirasi dan transpirasi. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 13) yang telah dilakukan terhadap data pada Gambar 14b ini menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu berbeda nyata terhadap susut bobot. Susut bobot yang dialami tomat yang dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat dengan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, penyimpanan pada suhu dingin memiliki susut bobot yang paling kecil daripada keempat perlakuan lainnya diatas. Hal ini berarti bahwa perlakuan tersebut mampu menghambat respirasi dengan baik sehingga penyusutan pada bobot buah pun dapat dihambat pula. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya dan disimpan pada suhu ruang tidak berbeda nyata dengan tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Kedua perlakuan ini berbeda nyata dengan keempat perlakuan yang telah disebutkan diatas. Selain itu, perlakuan ini juga berbeda nyata dengan tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat
134
kontrol yang disimpan pada suhu ruang.ini tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya, tetapi berbeda nyata dengan tomat yang dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat yang tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu ruang memilki susut bobot yang terbesar. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan adanya pengemasan, baik pada suhu ruang maupun suhu dingin. Begitu pula dengan perlakuan suhu, penyimpanan tomat pada suhu yang berbeda
berpengaruh
nyata
terhadap
susut
bobot
jika
dikombinasikan dengan kemasan dan gel lidah buaya, dimana pada suhu yang lebih rendah susut bobot dapat dihambat. Hal ini berarti bahwa gel lidah buaya mampu membentuk lapisan yang cukup baik untuk menghambat proses respirasi dan tranpirasi, terutama jika dikombinasikan dengan pengemasan dan perlakuan suhu rendah yang tepat. 2. Kelunakan Tekstur Nilai kelunakan tekstur akan semakin bertambah seiring dengan proses pematangan buah, sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu dari buah tomat yang disimpan. Nilai kelunakan yang rendah menunjukkan bahwa buah masih keras dan belum terlalu
matang,
sedangkan
nilai
kelunakan
yang
tinggi
menunjukkan bahwa buah sudah semakin matang. Penurunan nilai kekerasan ini terjadi akibat degradasi pektin yang tidak larut air (protopektin) dan berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang
135
mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain
Nilai kelunakan tomat (mm/10 sec)
(Winarno, 1981)
25
Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang)
20
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang) Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
15
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
10
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
5
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0 0
10
20
30
Waktu penyimpanan (hari)
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 15a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan
Nilai kelunakan tomat (mm/10 sec)
10 9 8 7 6 Suhu ruang
5
Suhu dingin
4 3 2 1 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 15b. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
136
Nilai kelunakan tomat (mm/10 sec)
25
20
15 Suhu ruang Suhu dingin 10
5
0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 15c. Grafik perbandingan rata-rata kelunakan tekstur pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Gambar 15a menunjukkan bahwa kelunakan tekstur tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap penghambatan kelunakan tekstur yang terjadi. Parameter kelunakan tekstur diamati selama 21 hari untuk tomat-tomat yang disimpan pada suhu ruang dan tomat-tomat yang disimpan pada suhu dingin diamati selama 28 hari. Gambar 15c memperlihatkan bahwa kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses metabolisme dan aktivitas enzim dalam proses pemecahan pektin dan hemiselulosa menjadi terhambat. Pada Gambar 15c terlihat bahwa tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan yang paling besar. Tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu ruang
137
mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya. Selanjutnya, tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol kemas yang disimpan pada suhu ruang. Kemudian, tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Selain itu, tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin lebih kecil kelunakan teksturnya daripada tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya, baik yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin, dengan tomat yang juga dilapisi gel dan dikombinasikan dengan kemasan dan penyimpanan suhu dingin memiliki nilai kelunakan tekstur yang tampaknya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hasil analisis ragam (Lampiran 14) terhadap data pada Gambar 15b telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa pada
hari
ke-0,
perlakuan
pelapisan,
pengemasan,
dan
penyimpanan pada suhu berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat. Hasil analisis ragam (Lampiran 15) yang dilakukan terhadap data kelunakan tekstur pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel
138
lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kelunakan tekstur. Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan dengan gel lidah buaya mampu mereduksi kerja enzim yang dapat mengubah protopektin menjadi pektin larut air sehingga dapat menahan laju kelunakan tekstur yang terjadi. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan
penyimpanan
suhu
dingin.
Perlakuan
pelapisan
dan
pengemasan dapat menutup stomata buah dengan tepat sehingga menghambat laju respirasi. Suhu dingin dapat mempertahankan keutuhan dinding sel dan turgor sel lebih baik sehingga kekerasan buah dapat dipertahankan. 3. Perubahan Total Gula (°B) Secara umum total padatan terlarut (total gula) mengalami peningkatan pada tahap pematangan buah tomat. Hal ini disebabkan karena terhidrolisisnya pati menjadi glukosa, fruktosa, dan sukrosa, setelah itu akan terjadi fase penurunan total padatan terlarut karena telah melewati batas kematangannya. Nilai total padatan terlarut yang tinggi menunjukkan bahwa buah lebih cepat
139
mengalami proses perombakan pati yang menandai proses pematangan juga berlangsung cepat (Wolfe, 1993).
Total padatan terlarut (%B)
Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang) 4.5 4
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang)
3.5 3
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
2.5 2
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
1.5
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
1
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0.5 0 0
10
20
30
Waktu penyimpanan (hari)
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 16a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan total padatan terlarut tomat selama penyimpanan
Total padatan terlarut (%B)
3.5 3 2.5 2
Suhu ruang
1.5
Suhu dingin
1 0.5 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 16b. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
140
Total padatan terlarut (%B)
3.5 3 2.5 2
Suhu ruang
1.5
Suhu dingin
1 0.5 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 16c. Grafik perbandingan rata-rata total padatan terlarut pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Gambar 16a menunjukkan bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang terjadi pada buah tomat. Pengamatan selama 21 hari pada suhu ruang dan 28 hari pada suhu dingin memperlihatkan bahwa total padatan terlarut akan meningkat hingga buah mencapai puncak fase klimakteriknya dan akan menurun kembali setelah puncak klimakterik berakhir. Gambar 16b menunjukkan pengaruh perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang berbeda terhadap total padatan terlarut tomat pada penyimpanan hari ke-0. Hasil analisis ragam (Lampiran 16) yang dilakukan terhadap data dari histogram tersebut menyatakan bahwa perlakuan yang diberikan pada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan total padatan terlarut. Begitu pula dengan data yang terdapat pada Gambar 16c, melalui analisis ragam (Lampiran 17) yang telah dilakukan, menyatakan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan total padatan terlarut pada hari penyimpanan
141
ke-21. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), buah tomat tergolong
dalam
buah-buahan
klimakterik
yang
selama
pertumbuhan dan pematangan sel kenaikan kandungan gulanya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. 4. Perubahan pH Nilai pH pada buah berkaitan dengan asam organik yang terkandung didalamnya. Penurunan keasaman ditandai dengan kenaikan nilai pH. Nilai pH yang rendah berarti asam-asam organik yang terdapat di dalam buah masih dalam keadaan baik. Kenaikan nilai pH ini disebabkan oleh menurunnya pembentukan asam-asam dan penurunan kandungan asam organik selama penyimpanan. Perubahan keasaman tomat berbeda tergantung pada tingkat kematangan dan suhu penyimpanan (Winarno dan Aman,
Derajat keasaman (pH))
1981).
6
Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang)
5
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang)
4
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
3
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
2
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
1
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
Waktu penyimpanan (hari)
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 17a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan derajat keasaman tomat selama penyimpanan.
142
Derajat keasaman (pH)
4.55 4.5 4.45
Suhu ruang Suhu dingin
4.4 4.35 4.3 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 17b. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
Derajat keasaman (pH)
5.4 5.2 5 4.8
Suhu ruang
4.6
Suhu dingin
4.4 4.2 4 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 17c. Grafik perbandingan rata-rata derajat keasaman pada tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21
143
Gambar 17a menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap penghambatan kenaikan pH yang terjadi. Kemudian tomat tersebut diamati selama 21 hari untuk penyimpanan pada suhu ruang, serta 28 hari untuk penyimpanan pada suhu dingin. Pada grafik tersebut perubahan pH tiap-tiap perlakuan tampak hampir sama, oleh karena itu perlu dilakukan uji pembedaan dengan menggunakan analisis ragam pada data parameter pH di hari penyimpanan tertentu. Gambar 17b dan 17c memperlihatkan bahwa kenaikan pH yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses respirasi dapat dihambat selama penyimpanan sehingga kenaikan juga dapat dihambat. Hasil analisis ragam (Lampiran 18) yang dilakukan terhadap data pada histogram 17b menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH pada penyimpanan hari ke-0. Hasil analisis ragam (Lampiran 19) yang dilakukan terhadap data kenaikan pH pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kenaikan pH lebih baik daripada
144
yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kenaikan pH lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kenaikan pH paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kenaikan pH yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kenaikan pH. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan dingin. 5. Perubahan Warna Pengamatan terhadap perubahan warna pada semua sampel tomat dilakukan dengan menggunakan chromameter. Interpretasi data mengenai warna diterjemahkan melalui skala L*a*b. L menyatakan nilai kecerahan warna tomat, skala a menyatakan warna merah-kuning, sedangkan skala b menyatakan warna kuning-biru. Selama pematangan buah tomat, nilai a akan semakin meningkat dan nilai b akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena seiring dengan proses pematangannya, buah tomat akan memproduksi lebih banyak likopen sehingga produksi akan karoten dan xantofil menjadi berkurang dan menyebabkan warna tomat menjadi semakin merah (Hulme, 1971).
145
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
Nilai a
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang) Tomat kontrol dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin) 0
5
10
15
20
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Waktu penyimpanan (hari)
Gambar 18a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna merah tomat selama penyimpanan
30 25
Nilai a
20 Suhu ruang
15
Suhu dingin
10 5 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 18b. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna merah tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
146
Nilai a
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Suhu ruang Suhu dingin
Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 18c. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna merah tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Gambar
18a
memperlihatkan
bahwa
semakin
lama
disimpan maka semakin besar pula perubahan warna merah yang terjadi pada buah tomat seiring dengan proses pematangannya. Histogram pada Gambar 18b dan Gambar 18c menceritakan bahwa pada hari penyimpanan ke-0 hingga hari ke-21, tomat-tomat dengan berbagai perlakuan yang disimpan pada suhu dingin, nilai a-nya tidak berubah terlalu banyak bila dibandingkan dengan tomat-tomat yang disimpan pada suhu ruang. Pada suhu ruang terjadi peningkatan warna merah, sedangkan warna merah tomat yang disimpan pada suhu dingin justru menurun. Hasil analisis ragam (Lampiran 20) yang dilakukan terhadap data pada histogram Gambar 18b menyatakan bahwa berbagai perlakuan yang diberikan pada tomat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada perubahan warna tomat pada hari ke-0. Begitu pula dengan hasil analisis ragam (Lampiran 21) yang dilakukan terhadap data pada histogram Gambar 18c menunjukkan bahwa pada hari penyimpanan ke-21, perlakuan pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu penyimpanan tidak
147
memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna merah tomat.
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) 60
Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
50
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
Nilai b
40 30
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
20
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
10
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Waktu penyimpanan (hari)
Gambar 19a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna kuning tomat selama penyimpanan
40.5 40
Nilai b
39.5 39
Suhu ruang
38.5
Suhu dingin
38 37.5 37 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 19b. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna kuning tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
148
60 Nilai b
50 40 30
Suhu ruang
20
Suhu dingin
10 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 19c. Grafik perbandingan rata-rata perubahan warna kuning tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Hasil analisis ragam (Lampiran 22 dan 23) yang dilakukan terhadap data pada histogram Gambar 19b dan 19c menyatakan bahwa berbagai perlakuan yang diberikan pada tomat tidak memberikan pengaruh yang nyata pada perubahan warna kuning tomat, baik pada hari penyimpanan ke-0 maupun hari penyimpanan ke-21.
Berdasarkan
hasil
percobaan
tersebut
maka
dapat
disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna tomat.
149
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
Nilai kecerahan (skala L)
70 60
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
50
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
40 30 20
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
10
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Waktu penyimpanan (hari)
Gambar 20a. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan
Nilai kecerahan (skala L)
70 60 50 40
Suhu ruang
30
Suhu dingin
20 10 0 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 20b. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0
150
Nilai kecerahan (skala L)
60 58 56 Suhu ruang
54
Suhu dingin
52 50 48 Tomat kontrol yang dikemas
Tomat dengan aloe yang dikemas
Tomat kontrol
Tomat dengan aloe
Perlakuan
Gambar 20c. Grafik perbandingan rata-rata kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan gel, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21 Gambar 19a menunjukkan pengaruh waktu penyimpanan terhadap perubahan nilai kecerahan pada tomat yang diberi perlakuan
pelapisan
gel
lidah
buaya,
pengemasan,
dan
penyimpanan suhu yang berbeda. Gambar 19b dan 19c, menceritakan mengenai perubahan kecerahan yang terjadi pada tomat dengan berbagai perlakuan pada hari ke-0 dan ke-21. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan (Lampiran 25) pada data histogram Gambar 19c menyatakan bahwa perlakuan suhu, pelapisan, dan pengemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai kecerahan tomat. Nilai kecerahan terendah terdapat pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan nilai kecerahan tertinggi terdapat pada tomat kontrol tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu ruang. Selain itu, kombinasi perlakuan pelapisan dan pengemasan pada suhu dingin dapat menghambat penurunan nilai kecerahan. Adanya
151
kombinasi
perlakuan
pengemasan,
pelapisan,
dan
suhu
penyimpanan yang tepat akan mengurangi metabolisme komponen warna yang dapat mengurangi nilai kecerahan. Tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang paling tinggi dikarenakan tomat tersebut mulai mengalami chilling injury yang menyebabkan kegagalan pematangan dan metabolisme pigmen sehingga tidak terjadi perubaha warna yang signifikan untuk merubah nilai kecerahan warna dari permukaan tomat tersebut. Chilling injury
ini terjadi karena suhu yang digunakan untuk
menyimpan tomat tersebut adalah 1°C. Suhu tersebut bukanlah suhu yang optimum untuk menghambat proses respirasi dan pematangan buah tomat, sehingga tomat-tomat yang disimpan pada suhu dingin pada tahap ini sulit untuk memproduksi pigmen dan menyebabkan nilai kecerahan warnanya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu ruang. Kombinasi dengan pengemasan dan pelapisan akan melindungi tomat dari chilling injury, seperti yang terlihat pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun tidak, memiliki nilai kecerahan yang lebih rendah daripada tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. Pengamatan terhadap tomat yang disimpan pada suhu ruang berhenti dilakukan pada hari ke-21 karena semua tomat kontrol untuk pengamatan tersebut sudah rusak. Penyimpanan pada suhu ruang masih menyisakan beberapa sampel tomat dengan 2 kali ulangan yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun yang tidak, selama 3 hari kedepan. Sebelum akhirnya rusak akibat kontaminasi mikroba. Aktivitas antimikroba pada edible coating dari gel lidah buaya ini diuji dengan menggunakan metode swab. Uji mikrobiologi ini dilakukan pada 2 sampel, yakni tomat segar dan tomat segar yang telah dilpaisi dengan gel lidah buaya. Hasil uji mikrobiologi dapat dilihat pada Tabel 4 dan 5 di bawah ini.
152
Tabel 4. Hasil uji mikrobiologi pada permukaan buah tomat segar Tingkat
Total bakteri (koloni/ml)
Total kapang-khamir (koloni/ml)
pengenceran Cawan
Cawan
1
2
1
2
10-1
TBUD
TBUD
227
211
10-2
TBUD
TBUD
33
33
-3
10
TBUD
TBUD
1
0
10-4
100
114
0
0
2.2 X 107
Total
5.4 X 104
Tabel 5. Hasil uji mikrobiologi pada permukaan buah tomat segar yang telah dilapisi gel lidah buaya. Tingkat
Total bakteri (koloni/ml)
Total kapang-khamir (koloni/ml)
pengenceran Cawan
Cawan
1
2
1
2
10-1
TBUD
TBUD
115
103
10-2
TBUD
TBUD
19
17
10-3
92
88
3
1
10-4
0
0
0
0
Total
1.8 X 106
2.2 X 104
Pengamatan terhadap tomat yang disimpan pada suhu dingin berhenti dilakukan pada hari ke-28 akibat chilling injury dan penyakit antraknosa yang dialami oleh tomat kontrol. Chilling injury merupakan kerusakan yang biasa terjadi apabila suatu komoditi buah ataupun sayuran disimpan pada suhu rendah untuk memperpanjang masa simpannya setelah pemanenan. Gejala fisik yang
153
mengindikasikan terjadinya kerusakan dingin (chilling injury) ini bervariasi tergantung dari suhu dan lama penyimpanan, komoditas, tingkat kematangan komoditas dan keadaan jaringannya, serta faktor lingkungan seperti cahaya, angin, air, dan komponen nutrisi (Saltveit, 1990). Semakin lama komoditas disimpan dalam suhu rendah maka gejala kerusakan dinginnya akan semakin cepat timbul. Chilling injury yang dialami oleh tomat-tomat ini dicirikan dengan adanya pencoklatan pada bibit, kehilangan citarasa tomat yang khas, serta kegagalan pematangan. Kehilangan citarasa yang khas dari tomat akibat kerusakan dingin terjadi karena adanya peningkatan siklus glikolisis sehingga terjadi pengumpulan hasil-hasil fermentasi sampingan seperti ethanol dan asam laktat yang menyebabkan penyimpangan bau. Antraknosa merupakan penyakit yang sering terjadi pada tumbuhan. Pada umumnya penyakit ini menyerang bagian daun dan buah dari tanaman tersebut. Penyakit ini disebabkan oleh kapang jenis Colleothricum dengan penampakan fisik menyerupai lebam-lebam hitam pada tanaman yang dijangkitinya. Jika dilihat hasil uji mikrobiologi pada alinea di atas terlihat bahwa gel lidah buaya mampu mengeliminasi sejumlah mikroba, tetapi kandungan anti-mikroba dan anti-fungal lidah buaya tidak mampu menghilangkan mikroba penyakit antraknosa. Penyakit ini sebenarnya dapat ditanggulangi dengan cara mencuci terlebih dahulu buah atau sayur sebelum dicelupkan ke dalam gel lidah buaya untuk kemudian dikonsumsi. Penyimpanan pada suhu dingin masih menyisakan beberapa sampel tomat dengan 2 kali ulangan yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun yang tidak, selama 5 hari kedepan hingga tomat-tomat tersebut mengalami pembusukan akibat chilling injury dan penyakit antraknosa yang dialami.
154
Gambar 21. Tomat yang terkena penyakit antraknosa
Gambar 22. Chilling Injury : Pencoklatan pada bibit
155
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat kerusakan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif
jika
dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen dilakukan. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa.
156
B. SARAN Penelitian mengenai edible coating dari gel lidah buaya ini masih memiliki banyak kekurangan mulai dari pembuatan hingga ke proses aplikasinya. Oleh karena itu, optimasi proses pencucian dengan menggunakan bahan pencuci selain klorin serta trimming dan filleting agar didapatkan rendemen dengan kehilangan senyawa bioaktif yang terkandung dalam gel lidah buaya ini perlu dilakukan lebih mendalam. Selain itu, pada penelitian ini hanya dilakukan kombinasi dengan satu macam kemasan dan suhu dingin (1°C) saja, sehingga belum tercapai hasil yang optimum untuk mampu menahan penurunan mutu yang terjadi pada tomat, oleh karena itu perlu diadakan penelitian dengan menggunakan bebrbagai kemasan serta penyimpanan pada suhu optimum (10°C). Apilkasi pelapisan dengan gel lidah buaya dapat pula dilakukan pada jenis buah atau sayuran lain. Kemampuan gel lidah buaya untuk mereduksi kerja enzim pada permukaan buah dapat diterapkan pada produk-produk fresh cut yang mudah mengalami browning atau reaksi enzimatis lainnya. Gel lidah buaya memiliki banyak komponen aktif yang terkandung didalamnya, sehingga pengembangan produk-produk, selain sebagai edible coating, dari gel lidah buaya ini sebaiknya dieksplorasi lebih jauh untuk dapat memaksimalkan potensi-potensi tersebut dan menambah nilai jual tanaman lidah buaya.
157
DAFTAR PUSTAKA AOAC. 1995. Official Methods of Analysis of The Association Analytical Chemistry, Inc., Washington D. C. Barkey, Silvya S. 1998. Aplikasi Edible Film Khitosan dari Kulit Udang Windu (Panaeus monodon) pada Penyimpanan Buah Tomat. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Banker, G.S. 1966. Film coating, theory and practice. Journal of Pharmacological Science. Vol 55, pp 81-83 [ 30 Juli 2007]. Beuchat, L.R. 1998. Surface Decontamination of Fruits and Vegetables Eaten Raw. WHO. Switzerland. Cheftel, J.C, Cug, J.I., dan D. Lorient. 1985. Amino Acids, Peptides, and Proteins. Di dalam O.R. Fennema (ed) Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York. Davis, R.H., DiDonato, J.J., Hartman, G.M., Haas, R.C. 1994. Anti-inflammatory and wound healing activity of a growth substance in Aloe vera. Journal of The American Pediatric Medical Association. Vol. 84, pp 77-81. Donhowe IG, Fennema O. 1994. Edible films and coatings: characteristics, formation, definitions, and testing methods. Di dalam . Krochta JM, Baldwin EA, Carriedo MN (eds) Edible Coating and Film to Improve Food Quality. Technomic Publishing Company. Inc. Pennsylvania. Farnum, C., Stanley, D.W., dan J.I. Gray. 1976. Protein-lipid interactions in soy films. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Geeson, J.D., Brown, M.K., Madison, K., Shepherd, J., dan F. Guaraldi. 1985. Modified Atmosphere Packaging to Extend Shelf Life of Tomatoes. Di dalam T.S. Rahayu: Pemgaruh Suhu, Jenis Kemasan Plastik, dan Modifikasi Atmosfir Terhadap Mutu Kacang Panjang Selama Penyimpanan. Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Glincksman, M. 1984. Food Hydrocolloids. Di dalam H. Halid: Mmepelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Keelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari Kappa-Karagenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
158
Gontard, N., Gulibert. S., dan J.I. Cuq. 1983. Water and gliserol as plasticizer affect mechanical and water vapor barrier properties of an edible wheat gluten film. Journal of Food Science. Vol 58(1), pp 206-210 [30 Juli 2007] Hall, C.W., R.E. Hardenburg, dan Er. B. Pantastico.1975. Pengemasan untuk konsumen dengan plastik. Di dalam Pantastico. Er. B (eds) Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada Universiity Press. Yogyakarta. Hanlon, J.F. 1971. Handbook of Package Engineering. McGraw Hill Book Co. USA. Hardenburg, R.E. 1975. Dasar-dasar Pengemasan. Di dalam Pantastico. Er. B (eds) Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada Universiity Press. Yogyakarta. He, Qian., et al. 2003.Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007]. Henig, Y.S. 1972. Storage Stability and Quakity of Produce Packaged in Polymeric Films. Di dalam Norman dan Salunkhe (eds) Postharvest Biology and handling of Fruit and Vegetables. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut. Hobson, G.E dan J.N. Davies. 1971. The Tomato. Di dalam Hulme A.C (eds) The Biochemistry of Fruit and Product. Vol II. Academic Press. London. Hurrel, R.F. 1980. Interaction of Food Component during Processing. Di dalam G.G. Birch dan K.J. Parker (eds) Food and Health: Science and Technology. Applied Scince Publisher. London. Jowitt, R., Felix, E., Michael, K., Brian, M., dan R. Michael.1987. Physical Properties of Foods 2. Elsevier Applied Science. London. Kadek Kumalasari. 2005. Pembuatan dan karakterisasi edible film dari pati bonggol pisang dengan penambahan plasticizer gliserol dan propilen glikol. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kelley, J.J. dan R. Pressey. 1966. Syudies with soybean protein and fiber formation. Di dalam H. Halid: Mempelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Keelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari KappaKaragenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kinsella, J.E. 1979. Fungsional Pengolahan Kedelai Menjadikan Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan M. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. Basel.
159
Lieberman, E.R., dan S.G. Gilbert.1973. gas permeation of collagen films as affected by cross-linkage, moisture, and plasticizer content. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Liener, I.E. 1978. Nutritional Value of Food Protein Products. Di dalam A.K. Smith dan S.J. Cicle (eds) Soybean: Chemistry and Technology. The AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connesticut. McHugh, T.H. dan J.M. Krochta. 1994. Sorbitol vs gliserol plasticized whey protein edible films: integrated oxygen permeability and tensile strength evaluation. Di dalam H. Kristanoko: Pengaruh Penambahan CMC dan Sorbitol Terhadap Karakteristik Fisik Edible Film dari Ekstrak Protein Bungkil Kedelai. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Meyer, E.W. dan L.D. William. 1977. Chemical Modification of Soy Protein. Di dalam R.E. Feeney dan J.R. Whittaker (eds) Food Protein. American Chemical Society. Washington DC. Mohsenin, Nuri N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Birch Publishers. Australia. Mousa , A.S.M., Ali, M.I.A, Shalaby, N.M.M, dan M.H.A. Elgamal. 1999. Antifungal effects of different plant extracts and their major components of selected Aloe species. J. Phytother. Res. Vol 13, pp 401-407 [20 Februari 2007.] Mori, T., S. Utsumi, H. Inaba, K. Kitamura, dan K. Harada. 1981. Differences in sub-unit composition if glycinin among soybeen cultivars. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol 29, pp 22-23 [30 Juni 2007]. Muchtadi, T dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratrium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbid Dirjen PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Nur Rimadianti. 2007. Karakteristik Edible Film dari Isinglass dengan penambahan sorbitol sebagai plasticizer. Skripsi Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Okamoto, S. 1978. Factors affecting protein film formation. Di dalam H. Halid: Mempelajari Pengaruh Penambahan Isolat Potein Kedelai Terhadap Beberapa Sifat Fisik Edible Coatings dari Kappa-Karagenan. Skripsi Ilmu dan Teknologi Pangan. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor
160
Pantastico, E. B., A.K. Mattoo, dan C.T. Phan. 1986. Respirasi dan Puncak Respirasi. Di dalam Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press. Jakarta. Philips, R.D. dan L.R. Beuchat. 1981. Enzyme Modification. Of Protein. Di dalam J.P. Cherry (ed) Protein Functionalty in Food. American Chemical Society. Washington DC. Rhodes. 1986. Peranan etilen dalam pemasakan buah. Di dalam Pantastico, Er. B. Fisiologi Pasca Panen, Penanganan, dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Reynolds, T and A.C. Dweck. 1999. Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of Ethnopharmacology. Vol 68, pp 3-37. [21 Mei 2007]. Robert, H.D. 1997. Aloe vera: A scientific approach. Di dalam He et al. (eds) Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007]. Samanth, S.K., R.S. Singhal, P.R. Kurkani, dan D.V. Rege. 1993. Proteinpolysaccharide interactions: a new approach in food formulations. International Journal of Food Science and Technology. Vol. 28, pp 547562 [23 Juli 2007]. Sacharow, S. dan R.C. Griffin. 1980. Principles pf Food Packaging. AVI Publishing Co. Westport, Connecticut. Smith, A.K. dan S.J. Circle. 1980. Chemical Composition of The Seed. Di dalam Allan et al. (eds) Soybean Chemistry and Technology Vol I. AVI Publishing Co. Inc. Westport. Connecticut. Soedibyo, M. dan A.B. Rosmani. 1986. Respirasi, Fungsi, dan Peranannya pada Penanganan Segar Buah-buahan dan Sayur-sayuran. Di dalam C.N. Anggrahini: Mempelajari Pengaruh Kemasan Plastik PVC Dilubangui Terhadap Perubahan Sifat Fisik dan Akumulasi CO2 Hasil Respirasi dari Paprika. Skripsi Jurusan Teknologi Industri Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Supriyanto, T. 1987. Perilaku Peubah dan Parameter Teknik Sistem Pemyimpanan tomat Segar dengan MAP. Skripsi Jurusan Mekanisasi Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Tugiyono. 1993. Bertanam Tomat. Penebar Swadaya. Jakarta. Valverde, J.M., et al. 2005. Novel Edible Coating Based on Aloe vera Gel to Maintain Table Grape Quality and Safety. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol.53, pp 7807-7813 [20 Februari 2007].
161
Wibowo, Josephine T. 1996. Pengaruh Penambahan Isolat Protein Kedelai Terhadap Karakteristik Edible Coating dari Low Methoxy Pectins. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wilson, E.D., Fisher, K.H., dan M.E. Fuqua. 1975. Principle of Nutrition. John Willey and Sons, Inc. New York. Winters, W.D., Benavides, R., dan W.J. Clouse. 1981. Effects of aloe extracts on human normal and tumor cells in vitro. Economic Botany. Vol. 35, pp 8995. Winarno, F.G dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Budaya. Jakarta. Whistler, R.L. dan J.R. Daniel.1985. Carbohydrate. Di dalam O.R. Fennema (ed) Food Chemistry. Marcell Dekker, Inc. New York. Wolf, W.J. dan J.C. Cowan. 1971. Soybean as a food source. Critical Review Food Technology Journal. Vol 2, pp 81-158 [18 Juli 2007]. Wolf, W.J. 1975. Soy Protein for Fabricated Foods. Di dalam G.E. Inglet (ed) Fabricated Foods. AVI Publ.Co.Inc. Westport. Connecticut. Wolfe, T.K. dan Kipps, M.S. 1953. Production of Field Crops. A Textbook of Agronomy. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York. Yaron, A. 1991. Aloe vera: chemical and physical properties and stabilization. Di dalam T. Reynolds dan A.C. Dweck (eds). Aloe vera leaf gel: a review update. Journal of Ethnopharmacology. Vol 68, pp 3-37. [21 Mei 2007]
162
LAMPIRAN Lampiran 1. Data susut bobot tomat (%) dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya pada umur tertentu. Lampiran 1.a. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang berumur 1 hari. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot tomat Hari ke-
1. Tomat kontrol 2. Tomat dengan pelapisan gel lidah
1
2
3
1
0.797365
1.485235
2.874025
2
0.970374
1.655408
4.167485
1
0.777469
1.631087
3.063258
2
0.739552
1.230056
2.290403
buaya
Lampiran 1.b. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang berumur 2 hari. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot tomat Hari ke-
1. Tomat kontrol 2. Tomat dengan pelapisan gel lidah
1
2
3
1
1.339506
1.617251
2.627905
2
1.420176
1.71386
2.997661
1
1.529497
1.880811
2.903857
2
1.521208
1.916789
2.887015
buaya
163
Lampiran 1.c. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang berumur 6 hari. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot tomat Hari ke-
1. Tomat kontrol 2. Tomat dengan pelapisan gel lidah
1
2
3
1
0.623778
0.665168
0.490427
2
0.528889
0.541734
0.37321
1
0.97095
1.027912
0.55125
2
1.113915
1.188067
0.801568
buaya
Lampiran 1.d. Data susut bobot tomat ( %) dengan pelapisan gel lidah buaya yang berumur 7 hari. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot tomat (%) Hari ke-
1. Tomat kontrol 2. Tomat dengan pelapisan gel lidah
1
2
3
1
0.671141
0.802365
1.401182
2
0.796424
0.81101
1.405505
1
1.554899
1.738286
1.869143
2
0.838409
1.228364
1.614182
buaya
164
Lampiran 3.h. Data susut bobot rata-rata tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
0
1.71
6.16
5.06
2.76
Coating
0
3.26
2.33
2.68
4.06
Tidak
Kontrol
0
7.47
6.45
3.85
3.91
dikemas
Coating
0
4.31
4.90
3.69
2.81
Dikemas
dingin
Lampiran 3.i. Data nilai kelunakan tekstur rata-rata tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
7.12
10.12
11.97
14.8
13.69
Coating
8.13
9.72
11.06
11.58
13.21
Tidak
Kontrol
4.87
10.33
12.97
16.94
18.36
dikemas
Coating
6.49
9.53
11.34
11.78
13.5
Dikemas
dingin
Lampiran 3.j. Data nilai perubahan total padatan terlarut rata-rata tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
3.2
3.4
3.225
3.125
3
Coating
3.05
3.1
3.075
3
3
Tidak
Kontrol
3
3.2
3.2
3.1
2.925
dikemas
Coating
3.05
3.125
3.05
3
3
Dikemas
dingin
165
Lampiran 3.k. Data nilai perubahan derajat keasaman rata-rata tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
4.45
4.513
4.58
4.558
4.695
Coating
4.44
4.44
4.485
4.49
4.65
Tidak
Kontrol
4.3875
4.5025
4.58
4.565
4.615
dikemas
Coating
4.415
4.46
4.553
4.53
4.58
Dikemas
dingin
Lampiran 3.l. Data nilai kecerahan rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
58.22
51.83
54.49
53.11
55.69
Coating
51.87
53.55
54.87
58.62
59.02
Tidak
Kontrol
53.68
54.42
60.26
64.52
58.02
dikemas
Coating
54.59
52.97
57.59
58.47
56.48
Dikemas
dingin
Lampiran 3.m. Data nilai a rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
13.39
31.62
34.09
39.56
36.26
Coating
25.89
31.15
35.36
34.21
35.59
Tidak
Kontrol
25.69
31.01
34
37.3
29.67
dikemas
Coating
24.32
32.12
34.11
30.59
30.8
Dikemas
dingin
166
Lampiran 3.n. Data nilai b rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu dingin, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
7
14
21
28
Kontrol
39.18
37.95
41
36.8
43.37
Coating
38.12
39.81
44.37
44.99
45.59
Tidak
Kontrol
39.89
41.56
47.52
47.88
44.25
dikemas
Coating
39.21
39.10
45.30
45.80
45.16
Dikemas
dingin
167
Lampiran 4 . Data susut bobot tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke21
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
1
8.06
2
7.11
X ± SD
7.62 ± 0.51
1
4.08
2
3.74
X ± SD
3.91 ± 0.17
1
8.64
2
7.94
X ± SD
8.35 ± 0.41
1
4.811
2
4.34
X ± SD
4.58 ± 0.24
1
3.29
2
4.81
X ± SD
5.06 ± 0.25
1
2.56
2
2.80
X ± SD
2.68 ± 0.12
1
4.12
2
3.57
X ± SD
3.85 ± 0.28
1
4.87
2
2.65
X ± SD
3.69 ± 1.04
168
Lampiran 5 . Data kelunakan tekstur tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
0
21
1
4.88
21.18
2
6.02
18.36
X ± SD
5.45 ± 0.57
19.72 ± 1.46
1
10.8
13.48
2
7.58
11.12
X ± SD
9.19 ± 1.61
12.3 ± 1.18
1
5.9
21.86
2
5.2
21.82
X ± SD
5.55 ± 0.35
21.84 ± 0.02
1
5.66
12.64
2
6.3
11.3
X ± SD
5.98 ± 0.32
11.97 ± 0.67
1
5.9
15.44
2
8.34
14.16
X ± SD
7.12 ± 1.22
14.8 ± 0.64
1
9.28
10.72
2
6.98
12.44
X ± SD
8.13 ± 1.15
11.58 ± 0.86
1
3.54
15.72
2
6.2
18.16
X ± SD
4.87 ± 1.33
16.94 ± 1.19
1
6
12.3
2
6.98
11.26
X ± SD
6.49 ± 0.49
11.78 ± 0.52
169
Lampiran 6. Data total padatan terlarut tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
0
21
1
3
2.95
2
2.5
2.5
X ± SD
2.75 ± 0.25
2.725 ± 0.225
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
1
2
3
2
2.9
2.5
X ± SD
2.45 ± 0.45
2.75 ± 0.25
1
2.5
2.825
2
2.95
2.375
X ± SD
2.725 ± 0.225
2.6 ± 0.275
1
2.65
2.6
2
3.05
2.75
X ± SD
2.85 ± 0.2
2.675 ± 0.075
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
1
3.35
3
2
3.05
3.25
X ± SD
3.2 ± 0.15
3.125 ± 0.875
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
1
3.2
3
2
2.9
3
X ± SD
3.05 ± 0.15
3±0
1
3.05
3.2
2
2.95
3
X ± SD
3 ± 0.05
3.1 ± 0.1
1
3.1
2.95
2
3
3.05
X ± SD
3.05 ± 0.05
3 ± 0.05
170
Lampiran 7. Data derajat keasaman tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
0
21
1
4.545
5.3
2
4.405
5.29
X ± SD
4.475 ± 0.72
5.295 ± 0.005
1
4.515
4.52
2
4.525
4.53
X ± SD
4.52 ± 0.005
4.525 ± 0.005
1
4.425
5.3
2
4.36
5.32
X ± SD
4.393 ±
5.31 ± 0.01
0.033 Coating
1
4.4
4.53
2
4.55
4.53
X ± SD
4.475 ±
4.53 ± 0
0.075 Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
1
4.42
4.545
2
4.48
4.57
X ± SD
4.45 ± 0.03
4.558 ± 0.012
1
4.485
4.455
2
4.395
4.525
X ± SD
4.44 ± 0.045
4.49 ± 0.035
1
4.315
4.59
2
4.46
4.54
X ± SD
4.388 ±
4.565 ± 0.025
0.073 Coating
1
4.475
4.53
2
4.355
4.53
X ± SD
4.415 ± 0.06
4.53 ± 0
171
Lampiran 8. Data nilai kecerahan warna tomat pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
0
21
1
50.60
50.12
2
55.57
55.86
X ± SD
52.79 ± 0.42
52.99 ± 0.23
1
54.11
48.86
2
54.94
50.00
X ± SD
54.52 ± 0.41
49.44 ± 0.42
1
53.32
49.49
2
49.83
59.56
X ± SD
51.58 ± 1.75
54.53 ± 5.03
1
55.53
58.78
2
54.24
63.36
X ± SD
54.88 ± 0.54
61.07 ± 2.29
1
56.44
51.59
2
59.99
54.62
X ± SD
58.22 ± 1.77
53.11 ± 1.81
1
51.18
60.00
2
52.56
57.24
X ± SD
51.87 ± 0.69
58.62 ± 1.38
1
52.94
64.88
2
54.43
64.16
X ± SD
53.68 ± 0.75
64.52 ± 0.36
1
57.63
57.90
2
51.56
59.04
X ± SD
54.59 ± 3.03
58.47 ± 0.57
172
Lampiran 9. Data warna merah tomat (skala a) pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
0
21
1
15.14
36.04
2
15.47
47.18
X ± SD
15.31 ± 0.16
41.61 ± 5.57
1
22.73
38.18
2
10.92
37.41
X ± SD
16.83 ± 5.91
37.79 ± 0.38
1
22.15
40.67
2
24.82
45.95
X ± SD
23.49 ± 1.33
43.31 ± 2.64
1
10.05
32.7
2
14.12
37.1
X ± SD
12.09 ± 2.03
34.9 ± 2.2
1
6.87
39.19
2
19.9
39.93
X ± SD
13.39 ± 6.51
39.56 ± 0.37
1
29.74
34.65
2
22.03
33.77
X ± SD
25.89 ± 3.85
34.21 ± 0.44
1
29.35
33.07
2
22.03
41.53
X ± SD
25.69 ± 3.66
37.3 ± 4.23
1
22.85
27.08
2
25.79
34.1
X ± SD
24.32 ± 1.47
30.59 ± 3.51
173
Lampiran 10. Data warna kuning tomat (skala b) pada hari ke-0 dan hari ke-21. Perlakuan
Ulangan
Susut bobot (%) Hari ke-
Suhu ruang
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
Suhu dingin
Dikemas
Kontrol
Coating
Tidak
Kontrol
dikemas
Coating
0
21
1
40.36
32.9
2
39.39
47.02
X ± SD
39.89 ± 0.5
39.96 ± 7.06
1
39.22
31.7
2
39.58
35.6
X ± SD
39.4 ± 0.18
33.65 ± 1.95
1
39.94
33.62
2
39.36
39.54
X ± SD
39.65 ± 0.29
36.58 ± 2.96
1
39.35
45.81
2
40.42
46.62
X ± SD
39.89 ± 0.53
46.22 ± 0.4
1
39.32
35.95
2
39.03
37.65
X ± SD
39.18 ± 0.15
36.8 ± 0.85
1
38.71
45.95
2
37.53
44.04
X ± SD
38.12 ± 0.59
44.99 ± 0.95
1
39.35
47.28
2
40.43
48.48
X ± SD
39.89 ± 0.54
47.88 ± 0.6
1
39.72
45.9
2
38.69
45.69
X ± SD
39.21 ± 0.52
45.80 ± 0.11
174
Lampiran 11. Tabel hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan susut bobot tomat pada perlakuan penyimpanan gel lidah buaya untuk aplikasi coating.
ANOVA SSTBBT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
.781
3
.260
1.045
.424
1.994
8
.249
2.775
11
SSTBBT Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL 4
N
1 1.00998 3 487 1 1.22379 3 675 3 1.28024 3 228 2 1.71261 3 970 Sig. .144 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 3.000. Keterangan : 1= tomat kontrol (1) 2.= tomat kontrol (2) 3 = tomat dengan pelapisan gel lidah buaya berunur 1 hari (1) 4 = tomat dengan pelapisan gel lidah buaya berunur 1 hari (2)
175
Lampiran 12. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan berbagai perlakuan formula coating.
Univariate Analysis of Variance Tests of Between-Subjects Effects Dependent Variable: SSTBBT Type III Sum of Source Squares df Corrected 5.552(a) 14 Model Intercept 73.913 1
Mean Square
F
Sig.
.397
32.503
.000
73.913
SAMPEL .751 4 .188 HARI 4.801 10 .480 Error .488 40 .012 Total 79.953 55 Corrected 6.040 54 Total a R Squared = .919 (Adjusted R Squared = .891)
6058.37 .000 0 15.380 .000 39.352 .000
SSTBBT Duncan SAMP EL 2
Subset N 1 2 1.00388 11 665 3 1.03873 11 193 5 1.19848 11 527 1 1.27438 11 643 4 1.28079 11 024 Sig. .464 .106 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 11.000. b Alpha = .05.
176
SSTBBT Duncan HAR I N 10 5 9 7 6 5 3 4
5 5 5 5 5
Subset 1 2 3 .622079 07 .630252 65 1.04087 509 1.04903 422 1.07342 745 1.29395 470 1.30866 145 1.36802 300 1.38001 821
4
5
1.30866 145 1 1.36802 5 300 2 1.38001 5 821 11 1.45372 1.45372 5 129 129 8 1.53177 5 002 Sig. .907 .665 .270 .063 .271 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares The error term is Mean Square(Error) = .012. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 5.000. b Alpha = .05. 5
Keterangan : 1 = kontrol 2 = tomat dengan gel lidah buaya 3 = tomat dengan gel lidah buaya dan ISP 1 % 4 = tomat dengan gel lidah buaya, ISP 1%, dan gliserol 1% 5 = tomat dengan gel lidah buaya, ISP 1%, dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP
177
Lampiran 13. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap susut bobot tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA SSTBBT
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
54.223
7
7.746
17.029
.000
3.639
8
.455
57.862
15
SSTBBT Duncan SAMP EL 6
Subset for alpha = .05 1 2 3 2.68106 2 435 8 3.75745 3.75745 2 000 000 7 3.84377 3.84377 2 650 650 2 3.91059 3.91059 2 200 200 4 4.57803 2 850 5 5.05380 2 050 1 7.58802 2 150 3 8.28617 2 350 Sig. .125 .112 .331 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. N
178
Lampiran 14. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0. ANOVA
KLUNAKN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
30.268
7
4.324
2.172
.150
15.924
8
1.990
46.191
15
KLUNAKN Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 7 2 4.87000 1 2 5.45000 3 2 5.55000 4 2 5.98000 5.98000 8 2 6.49000 6.49000 5 2 7.12000 7.12000 6 2 8.13000 8.13000 2 2 9.19000 Sig. .067 .068 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
179
Lampiran 15. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kelunakan tekstur tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA KLUNAKN
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
225.838 7
32.263
19.363
.000
13.330
1.666
8
239.168 15
KLUNAKN Duncan SAMP EL 6
Subset for alpha = .05 1 2 3 4 11.5800 2 0 8 11.7800 2 0 4 11.9700 2 0 2 12.3000 2 0 5 15.5500 2 0 7 17.2500 17.2500 2 0 0 1 19.7700 19.7700 2 0 0 3 21.8400 2 0 Sig. .612 .224 .087 .147 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. N
180
Lampiran 16. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA B
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
.802
7
.115
1.130
.429
.811
8
.101
1.614
15
B Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 2 2.45000 3 2 2.72500 1 2 2.75000 4 2 2.85000 7 2 3.00000 6 2 3.05000 8 2 3.05000 5 2 3.20000 Sig. .063 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
181
Lampiran 17. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap total padatan terlarut tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA B
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
.749
7
.107
1.986
.178
.431
8
.054
1.181
15
B Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 3 2 2.60000 4 2 2.67500 2.67500 1 2 2.72500 2.72500 2 2 2.75000 2.75000 8 2 3.00000 3.00000 6 2 3.07500 3.07500 5 2 3.12500 3.12500 7 2 3.20000 Sig. .072 .072 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
182
Lampiran 18. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA PH
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
.029
7
.004
.705
.671
.047
8
.006
.076
15
PH Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 7 2 4.38750 3 2 4.39250 8 2 4.41500 6 2 4.44000 5 2 4.45000 1 2 4.47500 4 2 4.47500 2 2 4.52000 Sig. .147 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
183
Lampiran 19. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap derajat keasaman tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA PH
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
1.784
7
.255
472.808 .000
.004
8
.001
1.788
15
Sig.
PH Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 3 6 2 4.49000 2 2 4.52500 4.52500 4 2 4.53000 4.53000 8 2 4.53000 4.53000 5 2 4.55750 7 2 4.56500 1 2 5.29500 3 2 5.31000 Sig. .144 .148 .536 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
184
Lampiran 20. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA A
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
470.412 7
67.202
2.365
.126
227.365 8
28.421
697.777 15
A Duncan Subset for alpha = .05 N 1 2 12.0850 2 0 5 13.3850 13.3850 2 0 0 1 15.3050 15.3050 2 0 0 2 16.8250 16.8250 2 0 0 3 23.4850 23.4850 2 0 0 8 24.3200 24.3200 2 0 0 7 25.6900 2 0 6 25.8850 2 0 Sig. .068 .064 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. SAMP EL 4
185
Lampiran 21. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kemerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA A
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
240.571 7
34.367
1.870
.200
147.052 8
18.382
387.623 15
A Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 8 30.5900 2 0 6 34.2100 34.2100 2 0 0 4 34.9000 34.9000 2 0 0 7 37.3000 37.3000 2 0 0 2 37.7950 37.7950 2 0 0 5 39.5600 39.5600 2 0 0 1 41.6100 2 0 3 43.3100 2 0 Sig. .090 .087 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
186
Lampiran 22. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA B
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
301.256 7
43.037
2.249
.139
153.117 8
19.140
454.373 15
B Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 2 33.6500 2 0 3 36.5800 36.5800 2 0 0 1 39.9600 39.9600 2 0 0 5 43.3700 43.3700 2 0 0 7 44.2450 44.2450 2 0 0 8 45.1600 2 0 6 45.5900 2 0 4 46.2150 2 0 Sig. .055 .078 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
187
Lampiran 23. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kekuningan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA B
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
4.981
7
.712
1.820
.210
3.128
8
.391
8.109
15
B Duncan Subset for alpha = .05 N 1 2 38.1200 2 0 5 39.1750 39.1750 2 0 0 8 39.2050 39.2050 2 0 0 2 39.4000 39.4000 2 0 0 3 39.6500 39.6500 2 0 0 1 39.8750 2 0 4 39.8850 2 0 7 39.8900 2 0 Sig. .053 .315 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000. SAMP EL 6
188
Lampiran 24. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-0.
ANOVA L
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
62.361
7
8.909
1.437
.310
49.598
8
6.200
111.959 15
L Duncan Subset for alpha = .05 SAMP EL N 1 2 3 51.5780 2 0 6 51.8685 2 0 1 52.7850 52.7850 2 0 0 7 53.6835 53.6835 2 0 0 2 54.5220 54.5220 2 0 0 8 54.5965 54.5965 2 0 0 4 54.8865 54.8865 2 0 0 5 58.2170 2 0 Sig. .250 .079 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
189
Lampiran 25. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan terhadap kecerahan warna tomat dengan perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu penyimpanan pada hari ke-21.
ANOVA L
Between Groups Within Groups Total
Sum of Squares df
Mean Square
F
Sig.
342.252 7
48.893
4.467
.026
87.560
10.945
8
429.813 15
L Duncan SAMP EL 2
Subset for alpha = .05 N 1 2 3 49.4350 2 0 1 52.9930 52.9930 2 0 0 5 53.1080 53.1080 2 0 0 3 54.5285 54.5285 2 0 0 8 58.4700 58.4700 2 0 0 6 58.6215 58.6215 2 0 0 4 61.0730 61.0730 2 0 0 7 64.5185 2 0 Sig. .186 .055 .124 Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a Uses Harmonic Mean Sample Size = 2.000.
190
Lampiran 2. Data susut bobot tomat yang diberi perlakuan pelapisan dengan berbagai formula gel. Susut bobot tomat (%) Perlakuan
Hari ke3
6
9
12
15
18
21
24
27
30
33
1. Tomat kontrol
1.34
1.59
1.46
1.49
1.15
1.15
1.12
1.60
0.71
0.68
1.72
2. Tomat + gel lidah buaya
1.16
1.52
1.07
1.25
0.95
0.94
0.91
1.29
0.56
0.53
1.35
3. Tomat + gel lidah buaya
1.24
1.91
1.14
1.15
0.93
0.19
0.92
1.32
0.62
0.55
1.45
1.67
1.54
1.48
1.42
1.24
1.17
1.19
1.92
0.58
0.73
1.15
1.42
1.43
1.32
1.36
1.10
1.06
1.53
0.68
0.62
1.60
+ ISP 1 % 4. Tomat + gel lidah buaya + ISP 1 % + gliserol 2% 5. Tomat + gel lidah buaya + ISP 1 % + sorbitol 2
1.07
ml/45 ml ISP
191
Lampiran 3. Data hasil pengamatan pada percobaan penentuan umur simpan tomat dengan perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, serta penyimpanan pada suhu berbeda. Lampiran 3.a. Data susut bobot rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
0
6.75
3.54
4.31
8.94
8.32
1.69
7.63
Coating
0
5.46
4.12
2.78
3.63
4.74
5.02
3.91
Tidak
Kontrol
0
8.97
5.83
6.83
5.57
4.97
5.60
8.35
dikemas
Coating
0
5.15
6.56
6.87
4.90
4.07
5.44
4.58
Dikemas
ruang
192
Lampiran 3.b. Data nilai kelunakan tekstur rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
5.45
11.26
11.65
11.8
12.28
12.79
12.87
19.77
Coating
9.19
10.24
10.57
10.9
11.04
12.87
11.63
12.3
Tidak
Kontrol
5.55
11.17
12.55
12.84
13.06
11.63
13.63
21.84
dikemas
Coating
5.98
9.48
9.77
10.02
10.78
13.63
11.65
11.97
Dikemas
ruang
Lampiran 3.c. Data nilai perubahan total padatan terlarut rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
2.75
3
3.05
.75
3.5
3.225
3
2.725
Coating
2.45
2.5
3.25
3.25
3
3
3
2.75
Tidak
Kontrol
2.725
3.075
3.825
3.775
3.325
3
3
2.6
dikemas
Coating
2.85
3.025
3.725
4
3
3
3
2.675
Dikemas
ruang
193
Lampiran 3.d. Data nilai perubahan derajat keasaman rata-rata tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
4.475
4.618
4.685
4.605
4.605
5.36
4.64
4.295
Coating
4.52
4.64
4.64
4.63
4.575
4.995
4.525
4.525
Tidak
Kontrol
4.393
4.573
4.69
4.625
4.645
5.345
4.68
5.31
dikemas
Coating
4.475
4.605
4.663
4.598
4.595
5.02
4.575
4.53
Dikemas
ruang
Lampiran 3.e. Data nilai kecerahan rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
52.79
50.38
48.71
47.80
50.08
52.84
51.43
52.99
Coating
54.52
53.73
49.69
50.64
50.41
50.48
51.00
49.44
Tidak
Kontrol
51.58
52.63
51.01
50.98
47.53
53.89
53.40
54.53
dikemas
Coating
54.88
55.98
47.39
50.56
50.22
51.80
52.91
61.07
Dikemas
ruang
194
Lampiran 3.f. Data nilai a rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
15.31
31.14
33.97
37.73
36.74
40.66
37.59
41.61
Coating
16.83
27.94
36.45
36.25
37.25
38.6
38.2
37.79
Tidak
Kontrol
23.49
35.35
36.95
40.22
38.31
41.18
40.50
43.31
dikemas
Coating
12.09
24.25
40.14
35.63
37.58
39.26
39.22
34.9
Dikemas
ruang
Lampiran 3.g. Data nilai b rata-rata warna tomat dengan perlakuan suhu ruang, pelapisan dengan gel, dan pengemasan. Perlakuan
Rata-rata susut bobot tomat (%) Hari ke-
Suhu
0
3
6
9
12
15
18
21
Kontrol
39.89
35.36
33.97
34.04
34.97
35.83
33.67
39.96
Coating
39.4
38.46
35.09
37.42
35.10
33.97
34.49
33.65
Tidak
Kontrol
39.65
36.12
37.73
36.95
32.71
38.16
38.57
36.58
dikemas
Coating
39.89
40.96
32.21
37.60
37.12
35.77
35.29
46.22
Dikemas
ruang
195
Jurnal Skripsi 2007 Fakultas Teknologi Pertanian, IPB
APLIKASI GEL LIDAH BUAYA (Aloe vera L.) SEBAGAI EDIBLE COATING PADA PENGAWETAN TOMAT (Lycopersicon esculentum Mill.) Slamet Budijanto1) dan Andiny Kismaryanti2) 1)
Dosen Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan. Institut Pertanian Bogor 2) Sarjana Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Abstrak Permintaan akan produk sayuran dan buah yang semakin meningkat, menuntut adanya sayuran dan buah segar yang memiliki kualitas yang baik. Kualitas tersebut hanya mungkin dipenuhi melalui penanganan pasca panen yang baik serta upaya untuk memeperpanjang tingkat kesegaran. Salah satu usaha yang dapat dilakukan adalah dengan enggunaan edible coating. Aloe vera dilaporkan banyak mengandung senyawa bioaktif seperti antimikroba serta memiliki sifat pembentukan gel yang baik, sehingga berpotensi untuk dijadikan sebagai edible coating. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mempelajari aplikasi Aloe vera gel sebagai edible coating pada tomat. Berdasarkan pengamatan, Aloe vera edible coating pada tomat segar dapat menghambat penurunan mutu tomat akibat proses pematangan yang cepat setelah panen. Aplikasi ini lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen. Formulasi yang paling baik untuk digunakan sebagai edible coating adalah gel lidah buaya murni tanpa penambahan apapun. Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Penyimpanan pada suhu dingin (1°C) tidak membuat tomat yang telah dilapisi dengan gel lidah buaya dan dikemas dengan plastik PVC mengalami chilling injury. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa. Kata kunci:
PENDAHULUAN Latar Belakang Sayuran merupakan sumber vitamin, mineral, dan serat gizi yang dibutuhkan oleh masyarakat. Seiring dengan perkembangan jaman, kesadaran masyarakat akan kesehatan serta pentingnya nilai gizi dalam makanan yang mereka konsumsi semakin meningkat. Kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat menyebabkan kebutuhan akan sayuran meningkat juga. Peningkatan ini dapat dilihat dari semakin tingginya permintaan akan sayuran yang bermutu tinggi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat baik di dalam maupun di luar negeri. Pasar luar negeri dan pasar modern (supermarket, hypermarket, hotel dan
restoran) menuntut adanya sayuran segar yang bermutu tinggi, yakni memiliki penampakan baik, relatif tahan lama, dan tidak cepat layu selama penyimpanan. Kualitas sayuran tersebut hanya mungkin dipenuhi dengan adanya penanganan pasca panen yang baik termasuk usaha untuk dapat memperpanjang tingkat kesegaran. Ada berbagai cara yang dapat dilakukan untuk menghambat kerusakan sayuran antara lain dengan cara melakukan modifikasi kemasan sayuran dan penyimpanan dengan suhu rendah. Salah satu cara yang juga dapat dilakukan untuk memperpanjang masa simpan sayuran, namun tetap dapat mempertahankan mutu, adalah dengan mengaplikasikan edible film pada
sayuran tersebut. Edible film sangat berpotensi untuk meningkatkan shelf life dari sayuran karena secara teori pengaplikasian edible film akan membentuk suatu coating yang mampu berperan sebagai barrier agar tidak kehilangan kelembaban, bersifat permeabel terhadap gas-gas tertentu, serta mengontrol migrasi komponen-komponen larut air yang dapat menyebabkan perubahan pigmen dan komponen nutrisi sayuran (Krochta, et al., 1994). Pengaplikasian edible coating yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pembuatan edible film yang berasal dari gel tanaman Aloe vera. Aloe vera merupakan tanaman serbaguna yang akhir-akhir ini, selain digunakan sebagai bahan baku industri shampoo (kosmetik), juga mulai diolah menjadi aneka produk makanan. Aloe vera juga telah dilaporkan mengandung beberapa senyawa bioaktif yang bersifat antimikroba dan dapat menyembuhkan luka jaringan sehingga diharapkan pada pengaplikasian gel Aloe vera sebagai edible coating mampu mempertahankan mutu serta memperpanjang masa simpan sayuran tersebut. Aplikasi gel Aloe vera sebagai edible coating telah dicoba sebelumnya pada buah anggur dengan menggunakan gel Aloe vera yang dilarutkan dengan sejumlah air (Valverde, et al., 2005). Sayuran yang akan dijadikan sebagai objek penelitian ini adalah sayuran tomat karena mudah untuk ditanam, bersifat responsif terhadap berbagai perlakuan eksperimen, dan sangat berpotensi untuk dikomersialkan baik didalam maupun luar negeri.
Alat Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah wearing blend, timbangan digital halus, baskom, kulkas, sendok pengaduk, sendok makan, sumpit, sarung tangan plastik, masker, bunsen, gelas plastik, wadah styrofoam, plastik pembungkus, talenan plastik, wadah ukuran besar, pisau, saringan, neraca analitik, inkubator 30 °C, penetrometer, chromameter Minolta CR-300, pH-meter, refraktometer, tabung reaksi, cawan petri, pipet volumetrik. Metode Penelitian ini dilakukan beberapa tahap yaitu (1) percobaan pembuatan gel Aloe vera (2) pengujian umur simpan gel terhadap mutu coating, (3) formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat, serta (4) penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. 1.
Pembuatan gel dari pelepah daun Aloe vera L. Tahap percobaan ini bertujuan mengembangkan cara pembuatan gel dengan sifat coating yang baik. Pada tahap ini, dilakukan pembuatan gel Aloe vera berdasarkan pembuatan minuman Aloe vera menurut He et al. (2003) dan memodifikasinya dengan memberikan berbagai perlakuan seperti pencucian, pemanasan, serta penambahan asam. Optimasi teknik pencucian dilakukan untuk menghilangkan lendir berwarna kuning yang dapat menurunkan mutu gel, seperti terjadinya perubahan warna gel menjadi lebih kuning dan timbulnya bau tidak sedap. Perlakuan pemanasan dengan suhu 80°C selama 5 menit dan penambahan asam sitrat sebanyak 4% yang juga disertai pemanasan dilakukan untuk mengurangi jumlah mikroba awal gel Aloe vera. Parameter yang diamati adalah penampakannya secara fisik, meliputi warna, bau, serta kekentalan.
2.
Pengujian pengaruh umur simpan gel Aloe vera L. Untuk aplikasi coating pada tomat. Percobaan ini bertujuan mengetahui daya tahan gel selama penyimpanan pada suhu <10°C dalam refrigerator hingga 7 hari. Selain itu, percobaan ini juga dilakukan untuk
Tujuan Penelitian ini bertujuan mempelajari pembuatan edible film dari gel tanaman lidah buaya ( Aloe vera L. ) dan pengaruhnya terhadap tomat serta untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang masa simpan tomat tersebut. METODOLOGI Bahan Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tomat segar (Lycopersicon esculentum Mill.), daun lidah buaya (Aloe vera L.), klorin, air matang, alkohol 70%, aquades, sorbitol, gliserol, isolat protein, aquades, media PCA, PDA, asam tartarat, serta larutan pengencer.
mengetahui pengaruh penyimpanan gel tersebut terhadap mutu coating gel yang diaplikasikan pada buah tomat segar. Coating dilakukan dengan metode pencelupan (dipping). Parameter yang diamati adalah susut bobot dan penurunan tingkat kesegaran yang terjadi pada tomat selama penyimpanan pada suhu ruang. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS. 3.
4.
Formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat. Tahap ini bertujuan melihat pengaruh coating gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein, gliserol, dan sorbitol yang diaplikasikan pada buah tomat, sehingga dihasilkan edible coating yang baik. Buah tomat segar dicelupkan ke dalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 2 ml/45 ml ISP. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran buah tersebut. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel Univariate Analysis of Variance dan uji lanjut Duncan yang dibantu dengan media pengolahan SPSS. Formula gel terbaik yang didapatkan dari tahapan ini akan digunakan pada tahap selanjutnya. Formulasi gel Aloe vera L. untuk aplikasi coating pada tomat. Tahapan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih hasil penelitian tahap tiga di atas. Setelah dicelup ke dalam larutan coating, buah tomat tersebut dikemas dalam styrofoam dan
dibungkus dengan plasticized PVC, kemudian disimpan pada suhu ruang serta suhu 1°C. Pengamatan dilakukan terhadap susut bobot, perubahan warna, tekstur, perubahan kandungan gula (°B), perubahan pH, dan total mikroba selama penyimpanan. Data dari hasil pengukuran tersebut kemudian diuji secara statistik menggunakan tabel ANOVA metode Duncan, dan dibantu dengan media pengolahan SPSS. a. Susut bobot Pengukuran susut bobot dilakukan secara gravimetri, yaitu membandingkan selisih bobot sebelum penyimpanan dengan sesudah penyimpanan. Rumus : % Susut bobot = a - b x 100% a a = bobot awal b = bobot akhir b. Kelunakan tekstur Tingkat kelunakan tekstur tomat diukur dengan alat penetrometer semi-digital dengan menggunakan probe tertentu. Permukaan buah tomat akan ditusuk jarum probe dengan kecepatan dan berat yang tetap selama 10 detik, sehingga kedalaman lubang yang diakibatkan oleh penusukan tersebut akan menyatakan kelunakan tekstur buah tomat tersebut. c. Warna Warna permukaan buah tomat selama penyimpanan diukur dengan kromameter Minolta CR-300. Skala yang digunakan adalah skala L*a*b dan Yxy dengan ulangan pengukuran sebanyak tiga kali setiap sampel. d. Derajat keasaman (pH) Pengukuran derajat keasaman menggunakan pH meter. Sebelum digunakan alat distandardisasi dahulu dengan menggunakan larutan buffer pH 4. Sekitar 25 ml sampel dimasukkan ke dalam gelas piala. Elektroda pH meter dicelupkan ke dalam sampel, kemudian dilakukan pembacaan pH sampel setelah dicapai nilai yang tetap.
e. Total Padatan Terlarut (TPT) Pengukuran total padatan terlarut (TPT) menggunakan Hand Refractometer (0-39˚Brix). Sebelum digunakan alat dibersihkan terlebih dahulu dengan alkohol dan dilap hingga kering. Sampel yang akan diukur kemudian diletakkan secukupnya pada tempat pembacaan. Kemudian nilai TPT ditunjukkan oleh angka yang didapat pada batas garis biru dan putih. f. Uji Mikrobiologi Sampel di-swab dengan luas permukaan tertentu, kemudian hasil swab tersebut dimasukkan kedalam larutan pengencer sebanyak 10 ml. Sebanyak 1 ml sampel yang telah diencerkan dimasukkan ke dalam masing-masing dua cawan petri (duplo) steril yang selanjutnya dituangkan media PCA steril (untuk total uji total mikroba) dan APDA steril (untuk uji kapang-khamir) yang telah didinginkan hingga suhunya 47-50 °C sebanyak 10-15 ml dan digoyangkan secara mendatar diatas meja supaya contoh menyebar rata. Cawan berisi agar yang sudah membeku diinkubasi dengan posisi terbalik pada suhu 30°C selama 2 hari. Total bakteri ditetapkan dengan SPC (Standard Plate Count). Koloni per cm2 = Jumlah koloni/cawan x 10 x 1 n n = luas permukaan yang di-swab (cm2)
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Pembuatan gel dari pelepah daun Aloe vera L. Tahap pembuatan edible coating dari gel lidah buaya ini dimulai dari pemilihan (sortasi) pelepah daun lidah buaya. Pemilihan pelepah daun ini berdasarkan penampakan fisiknya antara lain, tingkat kematangan yang dapat dilihat dari warna daun yang sudah hijau (tidak kuning), ukuran daun, ada atau tidaknya kotoran atau penyakit, serta kerusakan fisik seperti patah atau luka pada jaringan luar daun. Pelepah daun ini harus sudah diproses dalam jangka waktu
36 jam setelah dipanen untuk menghindari degradasi komponenkomponen bioaktif yang terkandung didalamnya (Roberts, 1997). Setelah disortasi, tahapan selanjutnya adalah mencuci pelepah daun tersebut untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang menempel pada permukaan daun. Kemudian, pelepah daun lidah buaya ini direndam dalam larutan klorin dengan konsentrasi 200 ppm selama 30 menit. Tahap perendaman berfungsi untuk mengurangi cemaran mikroba pada permukaan daun sehingga diharapkan tidak akan ada kontaminasi silang ke dalam gel lidah buaya yang akan dihasilkan. Setelah direndam, daun lidah buaya tersebut dibilas dengan air matang untuk menghilangkan sisa-sisa larutan klorin yang menempel, sehingga tidak ada lagi bau klorin yang menyengat. Di beberapa negara selain Indonesia, seperti USA dan Uni Eropa tidak memperbolehkan senyawa klorin digunakan sebagai bahan pencuci untuk komoditi pangan, oleh karena itu senyawa klorin ini sebaiknya diganti dengan desinfektan pencuci lainnya yang diperbolehkan FDA, seperti penggunaan asam sitrat dan senyawa anti-mikroba alami lainnya, untuk mencuci pelepah daun lidah buaya. Hal ini akan menjadi sangat penting apabila komoditi pangan yang dilapisi dengan gel lidah buaya ini diekspor ke negara-negara yang sangat ketat peraturannya mengenai syarat keamanan seperti penggunaan desinfektan klorin untuk digunakan sebagai pencuci produk pangan tersebut. Tahapan selanjutnya adalah trimming dan filleting daun lidah buaya. Pada proses ini, bagian pangkal, ujung, serta sisi-sisi daun yang berduri, dan semua kulit daun dibuang dengan menggunakan pisau. Pembuangan bagian-bagian tersebut perlu dilakukan untuk menghilangkan yellow sap (senyawa anthraquinone beserta turunannya) dan dari proses ini diharapkan hasil potongan gel lidah buaya tanpa kulit yang bersih. Namun, seringkali yellow sap ini masih belum hilang secara sempurna sehingga dapat mengkontaminasi gel lidah buaya yang dihasilkan. Oleh karena itu, ada 2 hal yang harus dilakukan, yakni dengan membasuh ujung-ujung bekas sayatan selama tahap filleting, serta membilas
larutan gel (Blanshard dan Mitchell, 1979). Terbentuknya endapan menyebabkan kekentalan larutan gel menjadi berkurang drastis sehingga tidak lagi dapat membentuk lapisan edible coating yang baik. B. Pengujian pengaruh umur simpan gel Aloe vera L. Untuk aplikasi coating pada tomat. Komposisi komponenkomponen bioaktif yang terkandung dalam gel lidah buaya tergantung pada musim,iklim, serta tanah tempat tanaman ini ditanam. Satu faktor penting yang harus diperhatikan adalah penanganan pelepah daun pasca panen karena proses dekomposisi komponen didalamnya sudah dimulai sejak pelepah daun tersebut dipotong dari tanaman induknya. Proses dekomposisi ini terjadi akibat reaksi enzimatis dan aktivitas mikroba alami yang ada pada daun tersebut (Coats, 1979). Pada larutan gel yang telah diekstraksi, kehilangan aktivitas berbagai komponen bioaktif yang terkandung dalam lidah buaya menjadi lebih sedikit bila dibandingkan ketika komponen tersebut masih ada di dalam bentuk pelepah daunnya (He et al., 2003). Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan pengujian penyimpanan larutan gel yang telah diekstraksi dari lidah buaya terhadap mutu coating yang dihasilkan ketika diaplikasikan pada buah tomat. Penyimpanan gel dilakukan pada suhu <10°C selama 7 hari. Tomat-tomat tersebut kemudian disimpan pada suhu ruang dan diamati selama 4 hari. Parameter yang diamati pada tomat untuk melihat mutu coating yang dihasilkan adalah susut bobot.
4.5 4 Susut bobot (%)
bagian pangkal gel yang telah didapatkan dengan air matang. Yellow sap penting untuk dihilangkan karena jika gel yang telah dihasilkan masih tercemar oleh yellow sap ini maka warna gelnya akan berubah menjadi kekuningan, baunya menjadi tidak sedap, memiliki efek laxative, serta dapat mempengaruhi umur simpan dari gel tersebut. Pada tahap percobaan ini belum diopltimalkan cara mendapatkan gel lidah buaya dengan rendemen yang sesedikit mungkin. Hal ini cukup penting mengingat banyaknya kandungan senyawa bioaktif dalam gel lidah buaya tersebut yang dapat mempengaruhi mutu dari coating gel yang dihasilkan, sehingga kehilangan lendir (tidak berwarna) dan terbuangnya bagian mucilage gel lidah buaya selama proses trimming dan filleting perlu diminimalisasi. Potongan gel lidah buaya yang dihasilkan dari tahapan di atas kemudian dihancurkan dengan menggunakan wearing blender selama tidak lebih dari 10 menit. Jika proses penghancuran berlangsung terlalu lama maka akan terjadi reaksi pencoklatan enzimatis dalam gel lidah buaya tersebut dan warnanya akan menjadi berubah. Dari tahap ini, didapatkan larutan gel lidah buaya yang sudah siap untuk dijadikan coating. Larutan gel lidah buaya tersebut kemudian dikemas dan disimpan pada suhu dingin (5°C). Pada tahap ini, dilakukan juga percobaan pemanasan dan penambahan asam sitrat pada larutan gel lidah buaya yang telah dihasilkan dengan tujuan untuk mereduksi mikroba yang terdapat dalam larutan gel tersebut sehingga dapat memperpanjang umur simpannya. Perlakuan pemanasan dilakukan pada suhu 80°C selama 5 menit dan perlakuan penambahan asam sitrat sebanyak 4% dilakukan setelahnya. Berdasarkan pengamatan, pada gel dengan perlakuan pemanasan dan perlakuan penambahan asam yang disertai pemanasan, terdapat endapan dan terjadi perubahan warna larutan gel menjadi kecoklatan. Endapan ini terjadi akibat pemanasan sehingga meyebabkan degradasi komponen polisakarida karena putusnya ikatan ionik yang mendukung struktur polisakarida tersebut. Warna coklat terbentuk karena proses pemanasan mempercepat reaksi pencoklatan enzimatis yang terjadi pada
3.5 3
Tomat utuh kontrol 1 Tomat utuh kontrol 2
2.5
Tomat utuh dgn aloe 1
2
Tomat utuh dgn aloe 2
1.5 1 0.5 0 1
2
3
Hari ke-
Gambar 1. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (1 hari) terhadap persentase susut bobot tomat.
3.5
Susut bobot (%)
3 2.5 Tomat utuh kontrol 1 2
Tomat utuh kontrol 2 Tomat utuh dgn aloe 1
1.5
Tomat utuh dgn aloe 2 1 0.5 0 1
2
3
Hari ke-
Gambar 2. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (2 hari) terhadap persentase susut bobot tomat. 1.4
Susut bobot (%)
1.2 1 Tomat utuh kontrol 1 0.8
Tomat utuh kontrol 2
0.6
Tomat utuh dgn aloe 1 Tomat utuh dgn aloe 2
0.4 0.2 0 1
2
3
Hari ke-
S u su t b o b o t (% )
Gambar 3. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (6 hari) terhadap persentase susut bobot tomat.
2 1.8 1.6 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0
tomat kontrol 1 tomat kontrol 2 tomat aloe 1 tomat aloe 2
1
2
3
Hari ke-
G ambar 4. Grafik pengaruh umur simpan gel lidah buaya (7 hari) terhadap persentase susut bobot tomat. Berdasarkan keempat grafik diatas, dapat diketahui bahwa semakin lama larutan gel lidah buaya disimpan maka kualitas gel tersebut sebagai edible coating akan semakin menurun. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya kemampuan gel tersebut untuk menahan laju kehilangan bobot yang terjadi. Gambar 1 memperlihatkan bahwa susut bobot yang terjadi pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan tomat yang tidak dilapisi (kontrol). Kemudian, pada Gambar 2 - 4 mulai terlihat bahwa kemampuan coating gel untuk menahan susut bobot pada tomat yang dilapisi
mulai berkurang karena susut bobot tomat yang dilapisi tersebut ternyata menjadi lebih tinggi daripada kontrolnya. Sehingga, dari hasil percobaan di atas dapat disimpulkan bahwa penyimpanan gel berpengaruh terhadap mutu coating yang dihasilkan dan coating gel yang paling baik untuk diaplikasikan pada tomat adalah gel yang langsung digunakan segera setelah diekstrak dari pelepah daun yang baru dipanen. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pada suhu ruang perlakuan pelapisan tomat dengan menggunakan gel lidah buaya pada Gambar 1 tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi. C. Formulasi gel Aloe vera L. Untuk alpikasi coating pada tomat. Tahap percobaan ini dilakukan berdasarkan hasil tahapan percobaan sebelumnya yang menyatakan bahwa edible coating dari gel lidah buaya tidak cukup efektif untuk diaplikasikan pada tomat yang disimpan pada suhu ruang, sehingga diperlukan adanya penambahan zat-zat tertentu yang diperkirakan mampu memperbaiki kinerja coating dari gel lidah buaya tersebut. Zat-zat yang akan ditambahkan antara lain isolat protein kedelai, gliserol, dan sorbitol. Pada tahap percobaan ini, buah tomat segar dicelupkan kedalam empat formula larutan coating yang berbeda, yakni (a) larutan gel Aloe vera murni (tanpa penambahan), (b) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1%, (c) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan gliserol 2%, serta (d) larutan gel Aloe vera dengan penambahan isolat protein 1% dan sorbitol 1 ml. Pengamatan dilakukan terhadap parameter susut bobot buah tomat selama penyimpanan pada suhu ruang dan melihat penurunan tingkat kesegaran pada buah tersebut secara visual.
2.5 Kontrol Aloe 100
Susut bobot (% )
2
Aloe isp Aloe isp gliserol
1.5
Aloe isp sorbitol Linear (Kontrol)
1
Linear (Aloe isp gliserol) Linear (Aloe isp)
0.5
Linear (Aloe 100) Linear (Aloe isp sorbitol)
0 0
2
4
6
8
10
12
Per 3 hari
Gambar 5. Grafik perbandingan persentase susut bobot tomat pada berbagai formula edible coating. Grafik di atas menunjukkan bahwa garis regresi formula (a) berada pada urutan paling bawah yang berarti bahwa formula coating yang terbaik untuk menahan susut bobot tomat adalah dengan menggunakan gel lidah buaya murni. Tetapi, jika dilihat lebih jelas, garis regresi formula (a) dan (b) hampir berhimpit bila dibandingkan dengan garis regresi formula yang lain. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji statistik untuk mengetahui apakah ada perbedaan di antara kedua formula tersebut. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam dan uji lanjut Duncan yang telah dilakukan, ternyata, formula (a) dan (b) berbeda nyata terhadap formula (c), (d), dan kontrol. Formula (a) dan (b) tidak berbeda nyata satu sama lain, tetapi formula (a) lebih baik daripada formula (b) jika dilihat dari urutan pada hasil uji lanjut Duncan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa formula gel lidah buaya murni lebih mampu menahan laju kehilangan bobot daripada formula gel lidah buaya yang telah ditambahkan dengan isolat protein kedelai. Selain itu, ditinjau dari keterjangkauan, gel murni lidah buaya lebih mudah didapatkan dan diproses, bila dibandingkan dengan harus formula lainnya yang harus menambahkan bahan-bahan yang tidak bisa dibeli di sembarang tempat dan tidak terjangkau harganya. Formula dengan penambahan sorbitol lebih besar susut bobotnya bila dibandingkan dengan penambahan gliserol, hal ini dikarenakan sifat plasticizer sorbitol yang lebih baik sehingga kekentalan larutan pun menjadi berkurang lebih banyak bila dibandingkan dengan gliserol. Kekentalan larutan gel untuk coating berkurang karena aktivitas plasticizer tersebut yang mampu mengurangi ikatan hidrogen internal pada gel lidah buaya
sehingga lapisan yang terbentuk menjadi lebih tipis dan tidak dapat lagi menahan laju kehilangan bobot tomat tersebut. Pada tahap sebelumnya, telah disimpulkan bahwa perlakuan pelapisan tomat dengan gel lidah buaya tidak berbeda nyata dengan tomat yang tidak dilapisi selama disimpan pada suhu ruang, tetapi pada tahap ini diketahui bahwa tomat dengan pelapisan berbeda nyata dengan tomat tanpa pelapisan. Hal ini mungkin terjadi karena perbedaan varietas dan umur sampel tomat yang digunakan. Tomat yang digunakan pada tahap sebelumnya sudah memiliki tingkat kematangan yang tinggi (warnanya lebih merah) ketika akan dilapisi dengan gel, sedangkan tomat yang digunakan pada tahap ini tingkat kematangannya lebih rendah (warnanya masih kuningkehijauan). Oleh karena itu, respirasi pada tomat yang kematangannya sudah tinggi sulit untuk dibendung oleh lapisan gel lidah buaya tersebut sehingga menyebabkan susut bobotnya pun menjadi sulit untuk ditahan. Penurunan tingkat kesegaran juga diamati secara visual. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, beberapa ulangan sampel tomat kontrol serta tomat yang dilapisi dengan formula (b), (c), (d), mengalami kerusakan fisik internal yang dimulai pada hari penyimpanan ke-20, namun kerusakan ini tidak terjadi pada tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya murni. Kerusakan internal pada tomat biasanya disertai dengan adanya guratan-guratan pada permukaan buah yang merupakan pertanda bahwa jaringan buah kehabisan air. Keadaan jaringan yang kehabisan air ini akan semakin berkurang seiring dengan semakin matangnya buah tersebut, tetapi kerusakan internal yang cukup serius tetap terjadi. Kerusakan permanen pada jaringan lokular ini menyebabkan jaringan tersebut gagal membuat dirinya menjadi sel-sel yang lebih bersifat gelatinous yang pada umumnya normal terjadi selama pematangan buah. Kemudian pada jaringan lokular yang tidak terlalu rusak, proses gelatinisasi sel ini berlangsung tidak sempurna sehingga akan membentuk benang-benang tebal berwarna gelap pada jaringan tersebut (Mohsenin, 1962).
sehingga buah tersebut akan menyusut beratnya. Menurut Wills (1981), faktor yang mempengaruhi kehilangan air pada buah antara lain adalahh luas berbanding volume buah tersebut, lapisan alami permukaan buah, dan kerusakan mekanis pada kulit buah. Pemberian perlakuan pelapisan yang dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan diharapkan dapat menekan laju kehilangan bobot yang terjadi. Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
10 S u s u t b o b o t (% )
D. Penentuan umur simpan tomat segar dengan perlakuan Aloe vera gel coating, pengemasan, dan suhu. Sayuran dan buah-buahan melangsungkan proses kehidupannya dengan melakukan respirasi. Proses respirasi ini tidak hanya berlangung ketika mereka berada di pohon saja, tetapi juga setelah dipanen mereka terus melakukan respirasi. Proses respirasi yang terus berlangsung setelah buah atau sayuran dipanen ini menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang dapat mempengaruhi kualitas buah atau sayuran itu sendiri. Oleh karena itu, untuk mempertahankan mutu buah atau sayuran harus dilakukan penanganan pasca panen yang tepat, agar kerusakan tomat selama penyimpanan dapat diminimalkan. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga mutu buah agar tetap baik adalah dengan menggunakan kemasan, edible coating, dan penyimpanan buah tersebut pada suhu optimumnya. Tahapan percobaan ini bertujuan mengetahui pengaruh kemasan dan kondisi suhu penyimpanan yang paling optimum untuk buah tomat segar yang telah di-coating dengan formula larutan terpilih dari tahap percobaan sebelumnya. Tomat segar dicelup ke dalam larutan gel lidah buaya murni kemudian diletakkan pada styrofoam berukuran kecil dan dikemas dengan kemasan plasticized PVC. Setelah itu, tomat-tomat, baik yang telah dilapisi maupun tidak, dan tomattomat, baik yang dikemas maupun tidak setelah pencelupan ke dalam larutan gel, disimpan pada suhu ruang dan suhu 1°C. Parameter yang diamati antara lain susut bobot, perubahan warna, kekerasan tekstur, perubahan °Brix (total gula), dan perubahan pH (kadar keasaman). Hasil yang didapatkan dari percobaan ini akan dianalisis dengan menggunakan analisis ragam dan uji lanjut Duncan. 1. Susut Bobot Respirasi yang terjadi pada buah merupakan proses biologis dimana oksigen diserap untuk membakar bahan-bahan organik dalam buah untuk menghasilkan energi dan diikuti oleh pengeluaran sisa pembakaran berupa gas karbondioksida dan air. Air, gas yang dihasilkan, dan energi berupa panas akan mengalami penguapan
8
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
6
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
4
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
2
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
Waktu penyimpanan (hari)
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 6. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap persentase susut bobot tomat selama penyimpanan. Pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa susut bobot yang dialami oleh buah tomat meningkat selama penyimpanan. Hal ini terjadi karena tomat merupakan buah yang memiliki pola respirasi klimakterik. Pada buah yang bersifat klimakterik, respirasi akan terus meningkat seiring dengan semakin matangnya buah tersebut sehingga mengakibatkan susut bobot buah juga semakin meningkat terutama ketika buah tersebut telah mencapai puncak klimakteriknya. Pada suhu ruang di hari ke-21 memiliki susut bobot yang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu dingin (1°C). Perbandingan nilai susut bobot antara tomat yang disimpan pada suhu ruang dan suhu dingin ini, membuktikan bahwa suhu dingin dapat mempertahankan tomat dari kehilangan bobot akibat proses respirasi dan transpirasi. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan suhu berbeda nyata terhadap susut bobot. Susut bobot yang dialami tomat yang
dengan pengemasan dan perlakuan suhu rendah yang tepat. 2.
Kelunakan Tekstur Nilai kelunakan tekstur akan semakin bertambah seiring dengan proses pematangan buah, sehingga dapat mengakibatkan penurunan mutu dari buah tomat yang disimpan. Nilai kelunakan yang rendah menunjukkan bahwa buah masih keras dan belum terlalu matang, sedangkan nilai kelunakan yang tinggi menunjukkan bahwa buah sudah semakin matang. Penurunan nilai kekerasan ini terjadi akibat degradasi pektin yang tidak larut air (protopektin) dan berubah menjadi pektin yang larut dalam air. Hal ini mengakibatkan menurunnya daya kohesi dinding sel yang mengikat dinding sel yang satu dengan dinding sel yang lain (Winarno, 1981).
Nilai kelunakan tomat (mm/10 sec)
dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat dengan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, penyimpanan pada suhu dingin memiliki susut bobot yang paling kecil daripada keempat perlakuan lainnya diatas. Hal ini berarti bahwa perlakuan tersebut mampu menghambat respirasi dengan baik sehingga penyusutan pada bobot buah pun dapat dihambat pula. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya dan disimpan pada suhu ruang tidak berbeda nyata dengan tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Kedua perlakuan ini berbeda nyata dengan keempat perlakuan yang telah disebutkan diatas. Selain itu, perlakuan ini juga berbeda nyata dengan tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dikemas di suhu ruang serta tomat kontrol yang disimpan pada suhu ruang.ini tidak berbeda nyata satu dengan yang lainnya, tetapi berbeda nyata dengan tomat yang dilapisi gel lidah buaya, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin tidak berbeda nyata dengan tomat yang hanya dilapisi dengan gel saja, tomat kontrol yang disimpan pada suhu dingin, serta tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya namun disimpan pada suhu ruang. Tomat yang tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu ruang memilki susut bobot yang terbesar. Berdasarkan hasil percobaan ini dapat disimpulkan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan adanya pengemasan, baik pada suhu ruang maupun suhu dingin. Begitu pula dengan perlakuan suhu, penyimpanan tomat pada suhu yang berbeda berpengaruh nyata terhadap susut bobot jika dikombinasikan dengan kemasan dan gel lidah buaya, dimana pada suhu yang lebih rendah susut bobot dapat dihambat. Hal ini berarti bahwa gel lidah buaya mampu membentuk lapisan yang cukup baik untuk menghambat proses respirasi dan tranpirasi, terutama jika dikombinasikan
25
Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang)
20
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang) Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
15
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
10
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
5
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0 0
10
20
Waktu penyimpanan (hari)
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 7. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kelunakan tekstur tomat selama penyimpanan. Gambar 7 menunjukkan bahwa kelunakan tekstur tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Berdasarkan pengamatan, kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses metabolisme dan aktivitas enzim dalam proses pemecahan pektin dan hemiselulosa menjadi terhambat. Tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil bila dibandingkan dengan perlakuan sebelumnya. Selanjutnya, tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih
yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kelunakan tekstur. Hal ini menunjukkan bahwa pelapisan dengan gel lidah buaya mampu mereduksi kerja enzim yang dapat mengubah protopektin menjadi pektin larut air sehingga dapat menahan laju kelunakan tekstur yang terjadi. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin. Perlakuan pelapisan dan pengemasan dapat menutup stomata buah dengan tepat sehingga menghambat laju respirasi. Suhu dingin dapat mempertahankan keutuhan dinding sel dan turgor sel lebih baik sehingga kekerasan buah dapat dipertahankan. 3. Total Gula. Secara umum total padatan terlarut (total gula) mengalami peningkatan pada tahap pematangan buah tomat. Hal ini disebabkan karena terhidrolisisnya pati menjadi glukosa, fruktosa, dan sukrosa, setelah itu akan terjadi fase penurunan total padatan terlarut karena telah melewati batas kematangannya. Nilai total padatan terlarut yang tinggi menunjukkan bahwa buah lebih cepat mengalami proses perombakan pati yang menandai proses pematangan juga berlangsung cepat (Wolfe, 1993). Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang) Total padatan terlarut (%B)
kecil daripada tomat kontrol kemas yang disimpan pada suhu ruang. Kemudian, tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol tanpa kemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang mengalami kelunakan tekstur yang lebih kecil daripada tomat kontrol yang dikemas dan disimpan pada suhu dingin. Selain itu, tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin lebih kecil kelunakan teksturnya daripada tomat yang dilapisi dengan gel, dikemas, dan disimpan pada suhu ruang. Tomat yang dilapisi dengan gel lidah buaya, baik yang disimpan pada suhu ruang maupun suhu dingin, dengan tomat yang juga dilapisi gel dan dikombinasikan dengan kemasan dan penyimpanan suhu dingin memiliki nilai kelunakan tekstur yang tampaknya tidak berbeda antara satu dengan yang lainnya. Hasil analisis ragam telah dilakukan dan hasilnya menunjukkan bahwa pada hari ke-0, perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu berbeda tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kelunakan tekstur yang terjadi pada tomat. Sedangkan, pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kelunakan tekstur jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kelunakan tekstur lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kelunakan tekstur paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan
4.5
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang)
4 3.5
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
3
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
2.5 2
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
1.5 1
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0.5 0 0
10
20
Waktu penyimpanan (hari)
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 8. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan total padatan terlarut tomat selama penyimpanan. Gambar 8 menunjukkan bahwa waktu penyimpanan berpengaruh terhadap total padatan terlarut yang
terjadi pada buah tomat. Pengamatan selama 21 hari pada suhu ruang dan 28 hari pada suhu dingin memperlihatkan bahwa total padatan terlarut akan meningkat hingga buah mencapai puncak fase klimakteriknya dan akan menurun kembali setelah puncak klimakterik berakhir. Berdasarkan pengamatan dan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, baik pada penyimpanan hari ke-0 maupun hari ke-21, maka dapat disimpulkan bahwa perlakuan yang diberikan pada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap perubahan total padatan terlarut. Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), buah tomat tergolong dalam buah-buahan klimakterik yang selama pertumbuhan dan pematangan sel kenaikan kandungan gulanya sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Derajat Keasaman Nilai pH pada buah berkaitan dengan asam organik yang terkandung didalamnya. Penurunan keasaman ditandai dengan kenaikan nilai pH. Nilai pH yang rendah berarti asam-asam organik yang terdapat di dalam buah masih dalam keadaan baik. Kenaikan nilai pH ini disebabkan oleh menurunnya pembentukan asam-asam dan penurunan kandungan asam organik selama penyimpanan. Perubahan keasaman tomat berbeda tergantung pada tingkat kematangan dan suhu penyimpanan (Winarno dan Aman, 1981).
Derajat keasam an (pH))
4.
6
Tomat kontrol yang dikemas (suhu ruang)
5
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu ruang)
4
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
3
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
2
Tomat kontrol yang dikemas (suhu dingin)
1
Tomat dengan aloe yang dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
Waktu penyimpanan (hari)
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 9. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan derajat keasaman tomat selama penyimpanan. Gambar 17a menunjukkan bahwa derajat keasaman (pH) tomat akan semakin bertambah seiring dengan semakin matangnya tomat tersebut. Tomat diberi perlakuan pelapisan,
pengemasan, dan penyimpanan pada suhu yang berbeda untuk melihat pengaruhnya terhadap penghambatan kenaikan pH. Kenaikan pH yang terjadi pada tomat-tomat yang disimpan di suhu ruang lebih besar bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan di suhu dingin. Hal ini berarti bahwa pada suhu dingin proses respirasi dapat dihambat selama penyimpanan sehingga kenaikan juga dapat dihambat. Hasil analisis ragam yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan kepada tomat-tomat tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH pada penyimpanan hari ke-0. Sedangkan, pada hari penyimpanan ke-21 menunjukkan bahwa pada suhu dingin pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH yang dialami oleh tomat tersebut. Pada suhu ruang, pelapisan tomat dengan gel lidah buaya berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH. Pengemasan tomat tidak berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika dikombinasikan dengan pelapisan gel lidah buaya, tetapi berpengaruh nyata pada tomat yang tidak dilapisi gel lidah buaya, baik pada penyimpanan suhu ruang maupun suhu dingin, dimana pengemasan mampu menghambat kenaikan pH lebih baik daripada yang tidak dikemas. Perlakuan suhu berpengaruh nyata terhadap kenaikan pH jika tomat tidak dilapisi dengan gel lidah buaya, dimana suhu dingin mampu menghambat kenaikan pH lebih baik dari suhu ruang. Perlakuan yang mengalami kenaikan pH paling besar adalah tomat tanpa pelapisan dan tanpa kemasan yang disimpan pada suhu ruang. Sedangkan, perlakuan yang mengalami kenaikan pH yang paling kecil adalah tomat yang dilapisi, dikemas, dan disimpan pada suhu dingin. Berdasarkan hasil percobaan di atas dapat disimpukan bahwa pelapisan tomat dengan gel lidah buaya dapat menghambat kenaikan pH. Perlakuan pelapisan ini akan lebih optimal jika dikombinasikan dengan pengemasan dan suhu penyimpanan dingin. 5.
Warna Pengamatan terhadap perubahan warna pada semua sampel tomat dilakukan dengan menggunakan
N ilai a
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang) Tomat kontrol dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin) 0
5
10
15
20
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Waktu penyimpanan (hari)
Gambar 10. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna merah tomat selama penyimpanan.
N ila i b
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) 60
Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
50
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
40 30
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
20
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
10
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
Waktu penyimpanan (hari)
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 11. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap perubahan warna kuning tomat selama penyimpanan.
Tomat kontrol dikemas (suhu ruang) Tomat dengan aloe dikemas (suhu ruang)
70 N i l a i k e c e r a h a n (s k a l a L )
chromameter. Interpretasi data mengenai warna diterjemahkan melalui skala L*a*b. L menyatakan nilai kecerahan warna tomat, skala a menyatakan warna merah-kuning, sedangkan skala b menyatakan warna kuning-biru. Selama pematangan buah tomat, nilai a akan semakin meningkat dan nilai b akan semakin menurun. Hal ini terjadi karena seiring dengan proses pematangannya, buah tomat akan memproduksi lebih banyak likopen sehingga produksi akan karoten dan xantofil menjadi berkurang dan menyebabkan warna tomat menjadi semakin merah (Hulme, 1971).
60
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu ruang)
50
Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu ruang)
40 30 20
Tomat kontrol dikemas (suhu dingin)
10
Tomat dengan aloe dikemas (suhu dingin)
0 0
5
10
15
20
Waktu penyimpanan (hari)
25
30
Tomat kontrol tdk dikemas (suhu dingin) Tomat dengan aloe tdk dikemas (suhu dingin)
Gambar 12. Grafik pengaruh pelapisan dengan gel lidah buaya, pengemasan, dan suhu terhadap kecerahan warna tomat selama penyimpanan. Berdasarkan hasil yang didapatkan dari pengamatan dan analisis ragam, diketahui bahwa perlakuan yang diberikan pada tomat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap perubahan warna merah dan kuning tomat selama 21 hari. Hal ini berarti bahwa perlakuan pelapisan, pengemasan, dan penyimpanan suhu rendah tidak mampu menahan perubahan warna yang terjadi selama penyimpanan akibat pematangan. Gambar 12 menunjukkan pengaruh waktu penyimpanan terhadap perubahan nilai kecerahan pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan suhu yang berbeda. Hasil analisis ragam dan uji lanjut Duncan menyatakan bahwa pada hari penyimpanan ke-21 perlakuan suhu, pelapisan, dan pengemasan berpengaruh nyata terhadap perubahan nilai kecerahan tomat. Nilai kecerahan terendah terdapat pada tomat yang diberi perlakuan pelapisan gel lidah buaya, pengemasan, dan penyimpanan pada suhu ruang, sedangkan nilai kecerahan tertinggi terdapat pada tomat kontrol tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. Tomat yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan yang disimpan pada suhu ruang. Selain itu, kombinasi perlakuan pelapisan dan pengemasan pada suhu dingin dapat menghambat penurunan nilai kecerahan. Adanya kombinasi perlakuan pengemasan, pelapisan, dan suhu penyimpanan yang tepat akan mengurangi metabolisme komponen warna yang dapat mengurangi nilai kecerahan.
Tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin memiliki nilai kecerahan yang paling tinggi dikarenakan tomat tersebut mulai mengalami chilling injury yang menyebabkan kegagalan pematangan dan metabolisme pigmen sehingga tidak terjadi perubaha warna yang signifikan untuk merubah nilai kecerahan warna dari permukaan tomat tersebut. Chilling injury ini terjadi karena suhu yang digunakan untuk menyimpan tomat tersebut adalah 1°C. Suhu tersebut bukanlah suhu yang optimum untuk menghambat proses respirasi dan pematangan buah tomat, sehingga tomattomat yang disimpan pada suhu dingin pada tahap ini sulit untuk memproduksi pigmen dan menyebabkan nilai kecerahan warnanya masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan tomat yang disimpan pada suhu ruang. Kombinasi dengan pengemasan dan pelapisan akan melindungi tomat dari chilling injury, seperti yang terlihat pada tomat yang dilapisi gel lidah buaya, baik yang dikemas maupun tidak, memiliki nilai kecerahan yang lebih rendah daripada tomat tanpa pelapisan dan pengemasan yang disimpan pada suhu dingin. 6.
Uji Mikrobiologi Berdasarkan pengamatan, edible coating dari gel lidah buaya ini memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa. KESIMPULAN Aplikasi gel lidah buaya sebagai edible coating pada pengawetan tomat segar dapat menghambat kerusakan mutu tomat dan akan lebih efektif jika dipadukan dengan pengemasan dan penyimpanan suhu dingin daripada penyimpanan pada suhu ruang. Gel lidah buaya yang digunakan adalah gel lidah buaya yang langsung diolah segera setelah panen.
Penyimpanan pada suhu dingin mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 5 hari dan mencegah chilling injury, sedangkan penyimpanan pada suhu ruang mampu memperpanjang umur simpan tomat hingga 3 hari. Edible coating dari gel lidah buaya memiliki kemampuan mereduksi jumlah mikroba awal pada permukaan tomat, yakni sebesar 2.2 X 107 koloni/cm2 sebelum dilapisi gel lidah buaya menjadi 1.8 X 106 koloni/cm2 setelah dilapisi, sedangkan jumlah kapang dari sebesar 5.4 X 104 koloni/ cm2 menjadi 2.2 X 104 koloni/cm2, namun aktivitas anti-mikroba dan anti-kapang dari gel lidah buaya tersebut tidak mampu menghilangkan mikroba penyebab penyakit antraknosa. DAFTAR PUSTAKA
He, Qian., et al. 2003.Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007]. Krochta, J.M., Baldwin, E.A., dan M. Nisperos-Carriedo. 1994. Edible Coatings and Films to Improve Food Quality. Technomic Publishing Co. Inc. Lancaster. Basel. Mohsenin, Nuri N. 1970. Physical Properties of Plant and Animal Materials. Gordon and Birch Publishers. Australia. Muchtadi, T dan Sugiyono. 1989. Petunjuk Laboratrium Ilmu Pengetahuan Bahan Pangan. Depdikbid Dirjen PAU Pangan dan Gizi. IPB. Bogor. Robert, H.D. 1997. Aloe vera: A scientific approach. Di dalam He et al. (eds) Quality And Safety Assurance In The Processing Of Aloe vera Gel Juice. Food Control Journal. Vol 16, pp 95-104. [21 Mei 2007]. Valverde, J.M., et al. 2005. Novel Edible Coating Based on Aloe vera Gel to Maintain Table Grape Quality and Safety. Journal of Agricultural and Food Chemistry. Vol.53, pp 78077813 [20 Februari 2007].
Winarno, F.G dan M. Aman. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Budaya. Jakarta Wolfe,
T.K. dan Kipps, M.S. 1973. Production of Field Crops. A Textbook of Agronomy. McGrawHill Book Company, Inc. New York.
196