SYAWWAAL - 06
Bila Ramadhan menjelang usai, kita dihadapkan dengan berbagai pemberitaan yang sangat menyedihkan dan memilukan hati kita semua, dimana banyak sekali kejadian masyarakat kita yang menjadi korban karena berdesakan untuk memperebutkan zakat atau sedekah yang akan diberikan oleh pihak tetentu, apakah orang kaya atau pejabat atau suatu kelompok masyarakat. Begitu juga nanti, sebentar lagi ketika pembagian daging hewan kurban saat Iedul Adha. Ketakutan akan tidak kebagian apa yang sedang dibagikan, apakah itu uang, beras, minyak, daging dan lain sebagainya. Mengapa dahulu sekali, hal seperti ini nyaris tidak terdengar? Apakah sekarang lebih miskin?
Situasi yang menyedihkan pada berbagai kesempatan di berbagai tempat di negeri ini.
Ketika saya kecil dahulu [50-60 tahun silam], hidup di kota kecil pula [walaupun sudah tua kotanya], pelaksanaan ajaran agama berupa zakat fitrah, zakat maal dan pembagian daging kurban telahpun berlangsung sesuai ketentuan syariat agama. Mungkin orang kayanya belum kaya sekali, dan perbedaan antara si miskin dengan si kaya tidaklah begitu mencolok. Zakat fitrah umumnya diantarkan sendiri oleh keluarga yang mengeluarkan zakat fitrah kepada yang berhak menerimanya, mungkin masih ada hubungan kekerabatan, atau kenalan yang lebih pantas untuk menerimanya. Begitu pula dengan zakat maal, dan juga pembagian daging kurban. Walaupun jumlahnya tidaklah banyak seperti sekarang ini, tetapi tidak ada yang mengantri apalagi sampai berebut untuk memperolehnya. Mereka tetap berdiam diri di rumah, dan kesemuanya akan diantar ke rumah mereka. Orang yang merasa berhak menerima itu semua, tetap tinggal di rumahnya. Hampir tidak terlihat, siapa yang tangan di atas, dan siapa pula yang tangan di bawah. Sehingga tidak menimbulkan rasa lebih mulia bila tangannya di atas, apalagi keinginan untuk dilihat orang lain [apalagi dilihat oleh masyarakat] bahwa tangannya di atas. Apakah memang telah terjadi perubahan konstelasi di masyarakat, ataukah perubahan pada kemampuan dalam menghayati ajaran-ajaran agama, atau ada berbagai hal yang saling memengaruhi sehingga terasakan perubahan yang sangat diametral? Ataukah telah tumbuh kesenjangan yang jauh antara di kaya dan si miskin? Atau sebagian orang sudah tidak lagi memiliki rasa malu untuk dikatakan miskin? Bahkan predikat miskin sudah dijadikan sebagai komoditi? Atau sebagian lagi orang ingin menunjukkan eksistensi keberadaan kekayaan dan kemakmurannya sebagai suatu strata baru di masyarakat? “Dalamnya laut dapat diduga, dalamnya hati siapa yang tahu” kata bijak yang sudah jarang terdengar lagi saat ini.
Di satu sisi, ada sesuatu yang sangat menggembirakan sekali, yaitu meningkatnya kesadaran ummat dalam melaksanakan syariat agama, yang bisa kita saksikan dengan berbagai spanduk dan baliho yang mengajak untuk mengumpulkan zakat, infaq dan sodaqoh, banyaknya penjual hewan ternak qurban di berbagai lokasi, terutama di pinggiran bahkan pusat kota. Pemandangan seperti itu, belumlah kita lihat – setidaknya seperempat abad silam – ketika saya baru masuk ke Jakarta. Di sisi lain, entah motif apa yang mendorongnya, terjadi perubahan pada pola penyampaiannya, yang semula tenang berbenuk operasi senyap, sekarang dilakukan dengan mengumpulkan masyarakat [baik dengan terlebih dahulu membagikan kupon atau tidak] untuk mengambil apa yang menjadi haknya. Dan pelaksanaan – yang umumnya menunggu penuh membludaknya masyarakat, seperti bis antar kota yang mau berangkat bila telah penuh penumpangnya – telah menyebabkan berbagai kericuhan. Setidaknya ada 3 [tiga] hal [mungkin juga ada yang lainnya, sila ditambahkan], yang dapat ditengarai berinterferensi, berinteraksi dan saling tumpang tindih dengan effek saling memperkuat atas terbentuknya situasi yang seperti itu, yaitu 1. Berkurangnya [atau bahkan sudah hilang] rasa malu untuk digolongkan sebagai orang miskin, bahkan ada juga yang mencitrakan diri sebagai orang miskin; 2. Ada unsur riya yang berlindung dibalik tabir syiar [mugkin hanya dugaan saya semata, semoga tidak]. Antara riya dan syiar ini mungkin hanya dipisahkan oleh benang tipis yang sulit terlihat pula; 3. Hilangnya pola pikir dan sikap kelimpah-ruahan pada masyarakat, dan sebagai gantinya justru pola pikir keterbatasan dan kekurangan yang selalu ada di benaknya;
ma·lu a 1 merasa sangat tidak enak hati (hina, rendah, dsb) karena berbuat sesuatu yang kurang baik (kurang benar, berbeda dengan kebiasaan, mempunyai cacat atau kekurangan, dsb): ia – krn kedapatan sedang mencuri uang; aku -- menemui tamu karena belum mandi; 2 segan melakukan sesuatu karena ada rasa hormat, agak takut, dsb: murid yang merasa bersalah itu -- menemui gurunya; tidak usah -- untuk menanyakan masalah itu kepada ulama; 3 kurang senang (rendah, hina, dsb): ia berasa -- berada di tengah-tengah orang penting itu;-- bertanya sesat di jalan ( -- berdayung perahu hanyut; -- makan perut lapar), pb kalau tidak mau berikhtiar, tidak akan mendapat kemajuan; -- kalau anak harimau menjadi anak kucing (kambing), pb tidak sepatutnya kalau anak orang baik-baik atau pandai menjadi jahat atau bodoh; -- tercoreng pada kening, pb malu yang tidak dapat dihilangkan lagi karena sudah diketahui orang banyak; tidak tahu -- , ki tidak bermalu; tidak pernah merasa malu; -- besar malu yang amat sangat; -- mata segan; hormat; ma·lu-ma·lu a 1 tampaknya sangat malu; merasa malu: jangan -, pilihlah makanan yang kausukai dan makanlah sampai kenyang; 2 agak malu: ia masih - menemui tunangannya; - bahasa ki agak malu sedikit; - kucing berpura-pura malu; ber·ma·lu v mempunyai rasa malu: perbuatan yg tidak -; me·ma·lui v 1 merasa malu terhadap (kepada): mereka tidak lagi - jagoan yg sudah tua itu; 2 menaruh hormat pada; menyegani: ia sangat - guru-guru yang pernah mengajarnya; me·ma·lu·kan v 1 menjadikan (menyebabkan, memberi) malu: kelakuan anak itu sangat - keluarganya; 2 menganggap malu; malu tentang sesuatu: ia - tindakannya; mem·per·ma·lu·kan v membuat jadi malu; pe·ma·lu n (orang) yang mudah merasa (yg mempunyai sifat) malu: gadis - itu selalu menunduk jika diajak berbicara; ke·ma·lu·an 1 v mendapat malu: terpaksa kita kabulkan kehendaknya, supaya kita jangan -; 2 n hal malu; sesuatu yg menyebabkan malu; 3 n alat kelamin (laki-laki atau perempuan); ke·ma·lu-ma·lu·an a agak malu; tersipu-sipu: ia mengulurkan tangannya dng –
[sumber KBBI]
Berkenaan dengan sudah hilangnya [paling tidak berkurangnya ya] rasa malu, antara lain bisa kita saksikan juga ketika pembagian BALSEM beberapa waktu silam, banyak orang yang menuntut untuk memperoleh, dan menuntut agar dimasukkan dalam daftar kepada pihak Kelurahan atau Kecamatan [agar kalau ada lagi, sudah bisa menerima]. Dan juga pada berbagai kesempatan lainnya. Sebagian ummat sudah tidak lagi memperhatikan sabda Rasulullah saw “Sifat malu itu sebagian dari iman”, yang digolongan sebagai muttafaq alaih. Mungkin karena tidak menyadari dan tidak faham. Malu yang bagaimanakah menurut pengertian dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami kutipkan diatas, yang digolongkan sebagai malu yang digolongkan bagian dari iman tersebut?. Anda bisa merasakannya sendiri. Di Madura ada parikan yang mengatakan “Mun todhus tona, mun tak todhus tadek malona”, yang kalau diterjemahkan, ada dua kata yang berbeda tetapi sama-sama berarti malu [Kalau malu rugi. Kalau tidak malu tidak punya malu – atau malu-maluin]. Bisa merasakan arti maksudnya kan ya. Memang hal-hal yang bersifat seperti ini, agak sulit untuk didefinisikan secara eksak. Pernahkah anda mendengar suatu cerita undeground tentang penguasa masa lalu, yang menawarkan kepada tukang pijat langganannya “Kamu mau minta apa?”. Sang tukang pijat menjawab “Malu pak”. Dan sang penguasa malah balik mengatakan “Wah, kalau itu saya sudah tidak punya”. Andapun bisa menafsirkan sendiri arti maksud dialog tersebut. Bukan dalam hal mengungkapkan kemiskinan dirinya, rasa malu itu sudah berkurang bahkan hilang, bahkan juga pada hal-hal yang lainnya. Bukan saja tidak malu, malah ada yang membanggakannya, secara tidak sadar, bahwa yang dilakukan dan dibanggakannya adalah sesungguhnya sesuatu yang memalukan.
Kita sama-sama mengenal Hadits “tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah” yang artinya bahwa posisi memberi lebih baik dari pada posisi menerima. Dan secara tersirat, hal itu mengharapkan agar semua orang berusaha untuk bisa berada dalam posisi memberi, apakah dalam bentuk bantuan tenaga, benda atau bahkan juga pemikiran [walau tidak lewat tangan, ya]. Tetapi yang kita saksikan, betapa banyak yang dengan senang hati memposisikan tangannya untuk berada di bawah, baik yang kelas recehan yang gemerincing bunyinya maupun kelas bongko’an yang masih teratur rapi dengan nomer seri yang runut dan bersambung pula. Ini dari sisi penerima, atau yang tangan di bawah. Di sisi lainnya, bagi yang tangan di atas, juga kita diperkenalkan pada “jika tangan kanan memberi, jangan sampai tangan kiri mengetahuinya”, [Hadits dari Abu Hurairah, Bukhori – Muslim]yang kalau diekstrapolasi akan bertambah menjadi “apalagi orang lain, dan khalayak ramai”. Walau ada orang yang memberikan sumbangan tertentu tidak menunjukkan jati-dirinya melainkan dengan menyebut “hamba Allah” – entah karena sumbangannya terlalu besar, atau memang betul-betul ingin menyembunyikannya. Tetapi banyak pula, yang dilakukan secara meriah, demi syiar agama, yang memang sesuatu yang sangat dianjurkan. Di sisi lainnya lagi, ada larangan untuk berbuat riya – yang seakar kata dengan ru’yat – yaitu memperlihatkan amal perbuatan kita, yang seharusnya bisa disembunyikan, walau itu suatu amalan baik. Seakan ada kontradiksi antara larangan berbuat riya dengan anjuran untuk melakukan syiar. Dan antara syiar dan riya sepertinya juga dibatasi oleh sesuatu yang tipis dan sulit terlihat pula. “Terpeleset sedikit” dari maunya syiar bisa menjadi riya. Tentunya beda pula dengan maksud ayat dalam surah Adh-Dhuha QS ۡ “ َوأَ َّما ِب ِنعۡ َم ِة َر ِب َك فَ َحدDan terhadap nikmat Tuhanmu maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya”. 93:11 ِث
Kalau ayat tersebut, jelaslah yang hendaknya disebut-sebut itu nikmat Tuhan yang kita terima dengan cara bersyukur, bukan nikmat [pemberian] kita kepada orang lain. Saya tidak tahu apakah ada deskripsi atau uraian yang mudah dipahami untuk membedakan antara suatu perbuatan, tergolong sebagai riya [yang dilarang] atau tergolong sebagai syiar [yang dianjurkan] oleh agama. Dalam upaya mencari yang membedakan antara keduanya, timbul pikiran, walau amalannya atau perbuatannya sama, tergantung pada dampaknya, bisa menjadi riya atau menjadi syiar. Kalau dampaknya menjadikan terkenal sesuatu entiti selain Allah swt, Rasul-Nya dan agama Islam bisa jadi itu riya. Hanya bila kegiatan itu mengagungkan Allah swt, Rasul-nya dan agama Islam itu sendiri, barulah itu syiar. [Semoga Allah swt mengampuniku dan memberi pentunjuk-Nya bila yang saya sebutkan itu kurang benar, apalagi bila salah]. Mungkin saya salah. Tetapi, hendaklah tetap melakukan kegiatan dengan berpegang pada kata-bijak “janganlah takut berbuat karena takut salah, tetapi takutlah berbuat salah”. Dalam menjelang pemilihan umum dan pemilihan presiden tahun 2014 nanti, akanlah banyak kegiatan untuk “mensyiarkan” atau “meriyakan“ partai atau calon legislatif dan juga calon presiden serta calon wakil presiden. Apakah riya itu bisa diidentikkan dengan kata yang semakin populer saat ini, yaitu pencitraan diri atau golongan?. Melakukan sesuatu agar terlihat oleh masyarakat dan kemudian kredibilitasnya akan meningkat, sehingga kemudian sebagian rakyat akan memilihnya? Atau penggolongan suatu kegiatan sebagai riya itu berdasarkan apa yang diniatkan, dimana niat itu sendiri tidak bisa diketahui oleh orang lain? Entahlah.
Pola pikir atau sikap kelimpah-ruahan yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai abundance mentality atau abundance mindset, sepertinya menjadi bagian yang paling jarang kita singgung dalam pembicaraan keseharian, apalagi dalam konteks keagamaan, khususnya agama Islam. Berbeda dalam pembahasan secara umum, entah siapa yang memulainya, tetapi rupanya terutama setelah Stephen R. Covey menulis dalam bukunya yang berjudul The Seven Habits of Highly Effective People, di tahun 1989 tentang tujuh hal yang perlu dimiliki oleh seseorang, dimana dia menyampaikan gagasan yang disebut abundance mentality or abundance mindset, sebuah konsep yang dijadikan dasar untuk diyakini seseorang ialah ketersediaan secara melimpah-ruah berbagai hal yang kita perlukan [resources] maupun keberhasilan yang bisa diperoleh, sehingga kita bisa berbagi [share] dengan yang lain. Sebagaimana kita mengetahui, buku Steven R. Covey The Seven Habits of Highly Effective People tersebut sejak dekade terakhir abad XX menjadi bahan pelatihan bagi para eksekutif perusahaan dan juga organsasi lain, bahkan juga di Indonesia. Bahkan juga dikembangkan dengan versi untuk anak sekolah, dan diajarkan kepara para murid sejak Sekolah Dasar. Secara ringkas suatu sumber memgkristalkan pola pikir kelimpah-ruahan tersebut sebagai berikut Abundance Mentality - You must know and believe that there is plenty out there for everybody. Many people don’t: They think that to succeed themselves, others must fail. They harbor secret hopes that other people must suffer misfortune - not terrible misfortune, but acceptable misfortune that will keep them in their place. The Abundance Mentality recognizes that possibilities for growth and success are potentially limitless, and sees in others the opportunity to complement its own strengths.
Perkiraanku, bilamana sebagian besar bangsa kita – yang mayoritas adalah pemeluk agama Islam ini – memahami konsep abundance mentality [sikap kelimpah-ruahan] ini, maka mungkin rebutan sodaqoh, zakat, pembagian sembako, dan pembagian daging kurban yang hampir kita saksian pada setiap kesempatan, tidaklah perlu terjadi. Apakah sikap kelimpah-ruahan [abundance mentality] ini bukan bagian dari ajaran agama Islam? Coba simak rangkaian kalimat-kalimat dalam bahasa asing berikut ini INGGRIS – YUSUF ALI : To thee have We granted the Fount (Of Abundance). (1) Therefore to thy Lord turn in Prayer and Sacrifice. (2) For he who hateth thee He will be cut off (from Future Hope). (3) INGGRIS – PICKTHAL : Lo! We have given thee Abundance; (1) So pray unto thy Lord, and sacrifice. (2) Lo! it is thy insulter (and not thou) who is without posterity. (3) MALAYSIA : Sesungguhnya Kami telah mengurniakan kepadamu (wahai Muhammad) kebaikan yang banyak (di dunia dan di akhirat). (1) Oleh itu, kerjakanlah sembahyang kerana Tuhanmu semata-mata dan sembelihlah korban (sebagai bersyukur). (2) Sesungguhnya orang yang bencikan engkau, Dialah yang terputus (dari mendapat sebarang perkara yang diingininya). (3) Dari manakah asalnya? Tidak lain adalah dari firman Allah swt al-Quran surah al-Kautsar QS 108:1-3, yang sedari kecil sudah dihafalkan di luar kepala oleh anak-anak muslim, bahkan karena saking pendeknya seringkali jadi pilihan bacaan ketika shalat.
َ ِإنَّا أ َ ۡع )٣( ) ِإ َّن شَا ِنئ ََك ه َُو ۡٱۡل َ ۡبت َُر٢( ص ِل ِل َر ِب َك َو ۡٱن َح ۡر َ َ) ف١( ط ۡينَ ٰـ َك ۡٱلك َۡوث َ َر Tetapi mengapa konsep kelimpah-ruahan ini bagi kita seakan merasa baru dan takjub dengannya?
Mungkinkah karena terjemahan yang beredar [Terjemah dari Departemen Agama RI yang juga diperbanyak oleh Kerajaan Saudi Arabia dan diedarkan secara percuma], adalah INDONESIA : Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu sebuah sungai di surga. (1) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah. (2) Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus. (3)
ۡٱلك َۡوث َ َر
sebagai “sebuah sungai di surga”, bukan suatu “kebaikan yang banyak (di dunia dan di akhirat)” atau the Fount (Of Abundance) atau thee Abundance. Sebagai seorang awam, sama sekali tidak bermaksud untuk menyalahkan apalagi menghujat hasil kerja keras para ulama dan cendekia kita di masa lalu, tetapi marilah kita mengkritisi berbagai produk masa lalu untuk menemukan hal-hal yang bermanfaat bagi ummat, saat ini dan dimasa mendatang. Dengan al-Kautsar diartikan sebagai “sebuah sungai di surga” maka seakan tidak memiliki dampak atau pengaruh dalam pengelolaan kehidupan ummat ini ketika di dunia, selain sebagai janji akan apa yang akan kita temui di surga kelak, seperti berbagai hal lainnya yang bersifat kenikmatan lainnya. Tetapi, dengan al-Kautsar diartikan sebagai “berupa karunia kelimpah-ruahan” yang disediakan Allah swt di dunia ini, yang diharapkan akan dapat menumbuhkan sikap dan pola pikir kepada ummat, bahwa karena Allah swt menyediakannya secara melimpah-ruah, manusia tidak akan kekurangan apapun, asal tidak rakus. Memiliki pola pikir dan sikap kelimpah-ruahan, akan menimbulkan perilaku yang berbeda sekali dengan perilaku seseorang [apalagi segerombolan orang] yang memiliki sikap bahwa apa yang ada tidak akan mencukupi, sehingga harus diperebutkan dan diperjuangkan untuk memperolehnya. Bahkan dengan cara yang membahayakan diri orang lain, dan membahayakan dirinya sendiri. Seperti yang sering kita lihat.
Betapa sering kita lihat di tayangan berita televisi, keadaan menjadi berbeda dengan biasanya, bila masyarakat merasa akan ada kekurangan dalam penyediaan sesuatu, misalnya BBM. Atau suatu hal lain, yang bahkan dapat menimbulkan keadaan chaos, yang diistilahkan sebagai rush, dimana-mana orang berbondong-bondong mengambil uang dari ATM dan bank dalam jumlah diluar kebutuhan normalnya sehingga persediaan sesaat uang tunai di tempat itu menjadi habis. Dan bila itu tersebar, maka akan menimbulkan eskalasi dan memperluas wilayah yang kacau. Atau membeli sesuatu barang, yang biasanya sebanyak kebutuhan sebulan, tetapi karena ada issue akan timbul kelangkaan, mereka memborong sebanyak yang bisa dibeli sehingga kosonglah rak-rak dan gudang supermarket, dan ini akan memicu nafsu orang lain untuk berbuat serupa. Dan bertambah kacaulah, hanya karena rasa khawatir akan adanya kekurangan. Apalagi bila ada yang memborong untuk menimbun, guna memperoleh keuntungan pribadi. Bahkan gunungan dari Sultan atau penguasa lainnya, yang memang sengaja dianugerahkan ke rakyatnya, sudah diperebutkan ketika belum selesai dikirab. Hanya sekedar memperebutkan kepercayaan akan memperoleh berkah. Akankah memang membawa berkah? Apalagi bila dilakukan dengan cara yang menyalahi aturan? Bukankah malah jadi petaka? Takut tidak kebagian. Kekurangan sesuatu, memang selalu ditakutkan oleh manusia dan itu menyebabkan timbulnya pola pikir atau mental akan scarcity. Dan kelangkaan akan sesuatu, memang sebagai cobaan atau ujian kepada manusia, sebagaimana difirmankan dalam surah al-Baqarah QS 2:155, yang populer dikala krismon dulu
)١١١( َص ٰـ ِب ِرين ِ ف َو ۡٱل ُجوعِ َون َۡقص ِمنَ ۡٱۡل َ ۡم َوٲ ِل َو ۡٱۡلَنفُ ِس َوٱلث َّ َم َرٲ ِ َولَن َۡبلُ َونَّكُم ِبش َۡىء ِمنَ ۡٱلخ َۡو َّ تۗ َو َب ِش ِر ٱل
Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.
Pola pikir dan sikap, apalagi perilaku kelimpah-ruahan tidaklah dimiliki oleh seseorang dengan begitu saja, melainkan harus dilatihkan dan dibiasakan – semenjak dini tentu akan lebih baik – tetapi masih bisa diajarkan dan dilatihkan kapan saja. HOW TO atau bagaimana melakukannya, memang sering kali merupakan bagian yang masih samar-samar, dan harus dipelajari dengan lebih tekun, agar bisa membuat seseorang memiliki perilaku kelimpah-ruahan [dan perilaku baik lainnya] – apalagi untuk seluruh masyarakat. Barangkali, apa yang lampirkan dibawah ini dapat memberikan gagasan tentang How To nya. Dari pola pikir dan sikap, apalagi perilaku kelimpah-ruahan, pada gilirannya akan membuat seseorang untuk berperilaku berbagi [sharing], memberikan sebagian yang dimilikinya untuk pihak lain tanpa mengharapkan suatu balasan apapun. Bukankah ini kosep shodaqoh dan qurban yang dikenalkan oleh agama kita? Yang dalam kosa kata Indonesia, menjadi sedekah 1 / derma 2 dan kurban 3 [bukan korban lho]. Berbagi [sharing] memang lebih luas dari shodaqoh dan qurban, tetapi yang jelas berakar dari kedua hal tersebut, karena bukan saja untuk yang lebih “rendah” tetapi juga bisa “sesama” atau bahkan yang lebih “tinggi”, atau tanpa melihat keadaan pihak yang lainnya. Daaan, . . . . . . . . . 1
se·de·kah n 1 pemberian sesuatu kepada fakir miskin atau yang berhak menerimanya, di luar kewajiban zakat dan zakat fitrah sesuai dng kemampuan pemberi; derma; 2 selamatan; kenduri ber·se·de·kah v 1 memberi sedekah; berderma; 2 berkenduri; berselamatan; me·nye·de·kahi v 1 memberi sedekah kepada; menderma: tiap hari Jumat Ibu selalu - para pengemis; 2 mengadakan selamatan me·nye·de·kah·kan v memberi sesuatu sebagai sedekah; mendermakan 2 der·ma n pemberian (kepada fakir miskin dsb) atas dasar kemurahan hati; bantuan uang dsb (kepada perkumpulan sosial dsb 3 kur·ban n 1 persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji)
Kiranya ada hubungan kasualitas, antara perilaku kelimpah-ruahan dengan perilaku berbagi dan berkurban. Dan sebenarnya itu, sudah difirmankan oleh Allah swt 14 abad silam, bahkan juga akibat bagi yang tidak menerapkannya, yaitu dalam satu surah secara utuh, surah al-Kautsar, surah ke 108
َ ِإنَّا أ َ ۡع )٣( ) ِإ َّن شَا ِنئ ََك ه َُو ۡٱۡل َ ۡبت َُر٢( ص ِل ِل َر ِب َك َو ۡٱن َح ۡر َ َ) ف١( ط ۡينَ ٰـ َك ۡٱلك َۡوث َ َر Mohon ijin, kalau terjemahannya kita buat “kontemporer”, maka akan menjadi Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat kelimpah-ruahan. (1) Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berbagilah. (2) Sesungguhnya orang-orang yang tidak sepertimu dialah yang tidak memiliki harapan untuk masa depan.(3) Semoga Allah swt mengampuniku bilamana terjemahan di atas menyimpang dari yang dimaksudkan olehNya. Semata hanya agar kami mudah memahami, membumi dan bisa dicernak oleh benak masa kini. Kita bisa belajar dari banyak binatang seperti burung yang tidak menyimpan persediaan walau untuk esok pagi karena yakin akan ada, dan singa yang berbagi [walau baru sesama keluarga dekatnya]. Ya Allah ajarkan kepada bangsa ini perilaku kelimpah-ruahan dan sekaligus berbagi. “Ono dino yo ono sego” ۗ ِ ص ِہ ۡم ِع ۡب َرة ِۡل ُ ْو ِلى ۡٱۡل َ ۡل َب ٰـ ب ِ ص َ ََل َق ۡد َكانَ ِفى ق Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi orang-orang yang mempunyai akal. Wa Allahu a’lam. Saifuddien Sjaaf Maskoen
How to Create an Abundance Mentality Edited by PositivityBlog.com, Krystle, Eric, Sondra C and 22 others
http://www.wikihow.com/Create-an-Abundance-Mentality
Much of society seems to be built on a scarcity mentality. It's a mentality that tells people that there is a lack in life, that opportunities are few and far between. This is, of course, useful for society because if people feel that there is a lack, then you can get them to buy stuff; thus, the economy and society can continue to thrive and prosper by reinforcing a scarcity mentality in people. The scarcity mentality can be quite painful for the individual and create a lot of unnecessary fear, anxiety and desperation. An abundance mentality, on the other hand, tells you that there are always new chances and opportunities. This relieves much of the pressure you may feel if you have a scarcity mentality that makes you think that you've only got one shot right now. Or it makes you feel like an utter failure just because you stumbled and things didn’t work out. An abundance mentality can help you improve your performance since with it, you’re creating a lot less pressure and anxieties within your own mind. Here are a few tips to create and reinforce your own abundance mentality.
Steps 1 Look for the symptoms of a scarcity mentality. If you have a scarcity mentality then you will probably take things too seriously. You may think to yourself: “If I fail, the sky will fall”. It won’t, though, and you know that and need to remind yourself. But you think it will, you become overly nervous and POOF! you have invited that failure because your negativity becomes an obstacle on your path to success. If it’s a game, then you may fumble with the ball. If it’s an exam, then you may not have been able to sleep and will perform poorly on the test. If it’s a date, you may come over as too needy and nervous and not as your usual, more relaxed self. Regain your empowerment by remembering all the opportunities you have been afforded and know that it is all a flow that will always continue.
Steps 2 Focus on the abundance, not on the lack. What you focus on, you will see in your world. Since you can’t take in everything around you, your reticular activation system – your focus system in the mind – will bring into focus what you focus your thoughts on. This will allow you to see the abundance in your world that you may be missing right now. If you, for instance, have a lack of money, then don’t focus on your lack. Focus and think about the abundance of possibilities in the world to make money. Soon ideas and opportunities to make that happen will start to “pop up” in your world. It’s almost a bit freaky how things that hold solutions for you – perhaps books or acquaintances – that have been there in the background for quite a while just one day suddenly jump out at you.
Steps 3 Appreciate. One quick way to revert from the pretty normal habit of thinking about what you don’t have is simply to appreciate. Appreciate your food, life, your roof, your friends and family and so on. This can not only turn a sour mood into a more positive one within minutes, but it can also help you notice opportunities you have missed or forgotten about. And it'll create a more open vibe within you, a vibe that makes it easier to focus on the abundance. So, make a habit of appreciating something in your life for a few minutes each day.
Steps 4 Get organized. When you don't feel abundant or good about yourself or life in general, that can mean you are simply not in order. Have your home clean, your clothes folded, your digital files in place, and your finances organized. Have some order and discipline, and you'll start seeing results.
Steps 5 Get an abundance vibe from other people. Since you get a scarcity mentality from, say, advertising and media, then you can change your input to change your mentality. Cut down on watching the news. Record your favourite shows and skip the commercials. Or just cut down on your TV and media consumption, period. Replace the scarcity vibe you get from that input. How do you do that? “Hang out” with people that have an abundance mentality. Read, listen to and watch personal development material. Besides reading your favourite personal development blogs, read success stories in books and magazines. Have a positive attitude to the abundance and success of your friends, family and co-workers. Hang out with people in real life who have more of an abundance mentality and less of a scarcity mentality. Be selective with what you put into your mind. Create your own environment of abundance.
Steps 6 Share the wealth. One very good way to acknowledge how much you have is to share it. Do you feel like you're not making enough money? Give some away. Not enough love? Give some away. Not enough validation, appreciation, recognition? Give it all away. It's hard for something to feel scarce when you're giving it away.
Steps 7 Create win-win situations. People with a scarcity mentality tend to see every relationship is win-lose, as in: "It's either you or me, buddy, and I want it to be me." People with an abundance mentality, on the other hand, try to create mutually beneficial relationships in which both parties can win.[1] Instead of winning an argument, for example, try to reach a consensus that you both can be happy with. Instead of competing, collaborate.
Steps 8 Remind yourself. It’s very easy to slip back into your old thought patterns. You just forget about what you should be thinking about. A useful tool to keep yourself from slipping is to use external reminders. You can, for example, use written notes posted at places you can’t avoid seeing several times each day – your workspace, fridge and mirrors – or put a bracelet on your wrist. Seeing words or quotes that remind you of your new abundance mentality can help your mind snap back into the right headspace once again.
Steps 9 When you face your greatest loss, it may contain your greatest opportunity. If you lose your job and are close to losing your housing, you could sell off anything you don't like, want or immediately need to cut back on your physical possessions. That means less to move, so starting over might as well be where you always wanted to live. You have to find a way to make a living, so it might as well be entry level in whatever you always wanted to do instead of just looking for a job, any job. Shoot high. Those crises are the point in life where everything that held you back can be left behind and moving toward something better than you've ever had will make any sacrifices meaningful. It's very different being frugal and living small because you're just starting out or living a reduced lifestyle viewed as a failure. Use the chance to give yourself something that money can't buy, like time and freedom.
Tips
When the feeling of scarcity is strong, remember previous times when you had an abundance. Realize that you can recreate similar circumstances once again. Learn to face the reality of living within your means. Many people have the habit of copying and envying others with greater means. Doing so can ruin your day or your life. It's therefore important to live within your resources while looking for ways to improve them. You will be free from stress and undue competition without any satisfaction. A real-world example of the abundance mentality is the "copyleft" movement, which focuses on loosening the restrictions of traditional copyrights.[2] More and more people are licensing their work with GFDL, Creative Commons, or even releasing it into the public domain. For example, Leo Babauta, founder of the popular Zen Habits blog, decided to release all of his content into the public domain.[3] Many programmers share software and programs freely in the spirit of open source.[4]
Warnings
Don't get so carried away with an abundance mentality that you become a people pleaser who lets people take advantage of your generosity. Remember to surround yourself with people who also have an abundance mentality, who give as much as they take, or else "parasites" will drain you and eventually leave you with a scarcity mentality. Be sure also to not reach a point where you find yourself coasting through life with no goal or purpose for yourself. Remember to "seize the day".
Independence The First Three Habits surround moving from dependence to independence (i.e., self-mastery): Habit 1: Be Proactive Take initiative in life by realizing that your decisions (and how they align with life's principles) are the primary determining factor for effectiveness in your life. Take responsibility for your choices and the consequences that follow. Habit 2: Begin with the End in Mind Self-discover and clarify your deeply important character values and life goals. Envision the ideal characteristics for each of your various roles and relationships in life. Create a mission statement. Habit 3: Put First Things First Prioritize, plan, and execute your week's tasks based on importance rather than urgency. Evaluate whether your efforts exemplify your desired character values, propel you toward goals, and enrich the roles and relationships that were elaborated in Habit 2.
Interdependence The next three have to do with Interdependence (i.e., working with others): Habit 4: Think Win-Win Genuinely strive for mutually beneficial solutions or agreements in your relationships. Value and respect people by understanding a "win" for all is ultimately a better long-term resolution than if only one person in the situation had got his way. Habit 5: Seek First to Understand, Then to be Understood Use empathic listening to be genuinely influenced by a person, which compels them to reciprocate the listening and take an open mind to being influenced by you. This creates an atmosphere of caring, and positive problem solving. Habit 6: Synergize Combine the strengths of people through positive teamwork, so as to achieve goals no one person could have done alone.
Continuous Improvement The final habit is that of continuous improvement in both the personal and interpersonal spheres of influence. Habit 7: Sharpen the Saw Balance and renew your resources, energy, and health to create a sustainable, long-term, effective lifestyle. It primarily emphasizes exercise for physical renewal, prayer (meditation, yoga, etc.) and good reading for mental renewal. It also mentions service to society for spiritual renewal.