BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.1.1. Penyebaran Penyakit DBD Kasus di Indonesia pertama sekali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian sebanyak 24 orang. Beberapa tahun kemudian penyakit ini menyebar di berbagai propinsi di Indonesia pada tahun 1996 berjumlah 45.548 kasus dengan angka kematian sebanyak 1.234 orang, pada tahun 1998 berjumlah 72.133 kasus dengan angka kematian sebanyak 1.414 orang, terjadi peningkatan hingga 5 Maret 2004 berjumlah 26.015 kasus dengan jumlah kematian sebanyak 398 orang (Depkes, 2005). Menurut
Depkes RI, meskipun angka kejadian luar biasa DBD di
Indonesia dapat di tekan, masih ada beberapa Kabupaten dengan jumlah kasus yang tinggi dan cukup memprihatinkan. Di Kabupaten Padang Sumatera Barat pada September 2008 tercatat 554 kasus dengan 40 orang diantaranya meninggal dunia (Ningsih, 2008). Kemudian di Kabupaten Bogor terdapat 407 kasus dengan 34 diantaranya meninggal dunia (Rahayu, 2008). Begitu juga halnya dengan Kecamatan Gunung Meriah Kabupaten Aceh Singkil, terdapat 385 orang terinfeksi dan 45 diantaranya meninggal dunia (Dinkes Aceh Singkil, 2008).
2.1.2. Siklus Penularan DBD Umumnya ditularkan melalui gigitan nyamuk aedes aegypti atau aedes albopictus betina. Nyamuk ini mendapatkan virus dengue pada saat menghisap darah penderita DBD atau orang tanpa gejala yang membawa virus itu dalam
Universitas Sumatera Utara
darahnya (carier). Virus dengue memperbanyak diri dan menyebar ke seluruh tubuh nyamuk hingga ke air liurnya. Jika nyamuk ini menggigit orang lain, maka virus dengue akan dipindahkan melalui air liur nyamuk. Dalam waktu kurang dari 7 hari seseorang tersebut akan menderita penyakit DBD. Virus dengue memperbanyak diri di dalam tubuh manusia, setelah satu minggu akan menyerang orang lain di berbagai wilayah (UKS pusat Jakarta, 1996). Kandun (2009) menjelaskan, resiko penularan penyakit DBD meningkat setelah hujan karena tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor penular virus dengue biasanya bertambah. Selain itu, perubahan iklim telah mengakibatkan siklus penularan virus dengue lebih pendek, sehingga
virus
penyebab penyakit DBD itu lebih cepat menyebar.
2.1.3. Fase Penyakit DBD Demam Berdarah Dengue bisa mengancam setiap saat dan tak lagi kenal musim. Nadesul (2009) mengatakan, pihak medis belum mampu melawan virus dengue sebab obat untuk virus ini belum ditemukan. Gejala demam bisa terjadi secara mendadak dan berlangsung selama 2-7 hari yang biasa disebut demam pelana kuda, sebab suhu tubuh penderita turun naik (3 hari panas, hari ke 4 turun dan naik lagi pada hari ke 5). Fase infeksi dengue terbagi tiga, yaitu fase demam, kritis dan penyembuhan. Pada fase demam dapat dilakukan terapi demam seperti pemberian obat penurun panas, kompres hangat dan
terapi suportif melalui
pemberian oralit, larutan gula garam, jus buah dan susu. Tidak harus jus jambu, yang penting pastikan penderita mendapat asupan cairan dengan cara minum. Jika
Universitas Sumatera Utara
penderita dapat buang air kecil dalam 4-6 jam, itu merupakan indikator bahwa cairannya sudah cukup, namun harus dipantau setiap 4-6 jam suhu tubuhnya. Dari ketiga fase tersebut, yang paling krusial adalah penanganan pada fase kritis. Fase ini biasanya terjadi pada hari ke-4 dan ke-5 perjalanan penyakit, dan berlangsung 24-48 jam. Obat antidemam tidak lagi diberikan pada fase ini.
Tata
laksana yang umum dilakukan adalah dengan mencatat tanda vital serta asupan dan keluaran cairan; memberikan oksigen pada kasus yang disertai shock; menghentikan perdarahan, kecuali kalau hanya mimisan tidak masalah; serta menghindari tindakan yang tidak perlu (misalkan pemberian obat atau zat-zat yang bisa menimbulkan traumatik). Pada fase kritis umumnya penderita tidak bisa makan dan minum karena tidak nafsu makan atau muntah-muntah. Jadi harus benar-benar dirawat.. Pada fase itu jumlah cairan juga tetap harus mencukupi agar terhindar dari risiko perdarahan. Jika penderita tidak dapat makan dan minum melalui
mulut
(apalagi
terjadi
syock),
maka
dokter
biasanya
akan
mengindikasikan pemberian cairan infus. Adapun pertanda dehidrasi berupa kulit, bibir dan lidah menjadi kering; tampak kehausan, sudah lama tidak buang air kecil, dan kelenturan kulit menurun, bila kulit dinding perut dicubit tidak bisa membal kembali. Adapun tanda-tanda kalau sudah terancam syock: nadi cepat namun melemah, berkeringat dan kulit dingin. Hal lain yang tak kalah penting dalam penanganan DBD adalah pemeriksaan darah di laboratorium medis. Ini penting untuk mengetahui terjadinya kebocoran plasma darah. Selama ini yang sering disebut-sebut dalam DBD adalah penurunan kadar trombosit. Padahal, penderita juga mengalami
Universitas Sumatera Utara
penurunan jumlah sel darah putih. Jadi untuk mengetahui kebocoran plasma, pemeriksaan darah harus dilakukan dengan lengkap
2.1.4. Pengetahuan tentang Pencegahan DBD 1. Pengetahuan Pengetahuan adalah informasi atau maklumat yang diketahui atau disadari oleh seseorang. Pengetahuan termasuk sebuah ilmu, tetapi tidak dibatasi pada deskripsi, hipotesis, konsep, teori, prinsip dan prosedur yang secara Probabilitas Bayesian adalah benar atau berguna. Dalam pengertian lain, pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan diperoleh manusia melalui pengamatan inderawi. Pengetahuan muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya. Misalnya ketika seseorang mencicipi masakan yang baru dikenalnya, ia akan mendapatkan pengetahuan tentang bentuk, rasa, dan aroma masakan tersebut. Tingkat pengetahuan manusia, jika dilihat dari sudut jasmani-inderawi, biasanya berupa pengalaman dan pengenalan manusia yang disebut konkret, maksudnya terikat pada tempat dan waktu tertentu. Namun berkat ingatan inderawi dan kemampuannya mengadakan perbandingan, kekhususan manusia yang lebih lanjut ialah bahwa dalam pengetahuannya-Ia dapat melepaskan diri dari keadaan kini dan di sini. Pengalamannya, yaitu menarik sesuatu yang umum dari pengetahuan konkret yang mendahuluinya. Pengetahuan itu diberi nama abstraksi dan hasilnya ialah pengetahuan abstrak.
Universitas Sumatera Utara
2. Pencegahan Pencegahan merupakan segala upaya yang dilakukan untuk menghindari suatu keadaan yang tidak disenangi, mengatasi masalah-masalah kesehatan dan sebagai upaya untuk menghindari rasa takut. Tindakan itu diucapkan dan dikerjakan, serta ditujukan ke dunia sekitar, dan ditangkap oleh dunia tersebut, yakni dunia manusia, dunia sesama manusia serta dunia manusia dan sekitarnya. Dengan demikian gejala pencegahan sebagai tindakan terhadap keadaan yang tidak menguntungkan dengan harapan keadan yang tidak menguntungkan tersebut tidak muncul atau bahkan hilang dari dunia sekitar. Proses ini menjadi jelas dalam upaya setiap tindakan untuk menyusun beberapa model. Model tersebut bermaksud menghadirkan pencegahan secara umum maupun pencegahan secara ilmiah. Ada dua macam pencegahan yang pada dasarnya saling melengkapi yaitu: a. Pencegahan akan semakin mendekati apa yang menjadi objek ilmiah, mendekati objek ilmiah tersebut ataupun mau merubah objek yang secara ilmiah tertuju kepadanya. Agar pencegahan itu semakin berhasil, si peneliti membuat/menerangkan suatu model yang nyata. Seringkali model itu sangat memperkecil ukuran kenyataan tertentu dan seringkali juga sangat memperbesar kenyataan tertentu lain yang adanya diandaikan. Dan upaya ini selalu dilakukan dengan amat menyederhanakan kenyataan yang dihadapi. Yang diharapkan ialah suatu keadaan yang berdasarkan pencegahan. b. Pencegahan akan semakin tertuju pada apa yang menjadi objek ilmiah, seolah hendak merusak/menghancurkan susunan objek yang dicegah sedalamdalamnya. Dengan begitu, diharapkan akan didapatkan suatu perubahan keadaan yang semakin membaik/memburuk.
Universitas Sumatera Utara
2.2. Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) 2.2.1. Pengendalian Lingkungan Kecenderungan penyebaran penyakit DBD berkaitan erat dengan semakin meningkatnya kepadatan, sanitasi lingkungan yang buruk serta mobilitas penduduk yang tinggi, baik yang menggunakan sarana transportasi di dalam kota maupun antar daerah. Disamping itu banyaknya pembangunan perumahan baru juga memberikan tempat bagi berkembang biaknya nyamuk aedes.aegypti. Hasil survey yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan di 9 kota, menunjukkan bahwa nyamuk aedes aegypti ditemukan pada satu diantara tiga rumah atau tempat umum yang diperiksa. Tempat perindukan nyamuk ini yang paling potensial adalah tempat penampungan air seperti bak mandi/WC, tempayan, drum dan kaleng-kaleng bekas yang tidak terpakai. Dalam pemberantasan penyakit DBD yang dilakukan oleh pemerintah saat ini adalah dengan cara membuat strata desa yaitu desa endemis dan non-endemis, intervensi yang dilakukan sesuai dengan strata tersebut. Untuk desa endemis, diadakan penyuluhan untuk masyarakat dengan pembentukan kader, pertemuan lintas sektoral dan juga pemutaran film. Untuk desa nonendemis, kegiatan yang dilakukan adalah pengamatan penderita dan partisipasi masyarakat dalam PSN yang merupakan kegiatan yang sangat murah sambil membudayakan hidup bersih.
2.2.2. Pengendalian Biologis Karena upaya pengendalian DBD yang belum memberikan hasil memadai, maka diperlukan cara lain untuk membantu program pemberantasan vektor DBD, antara
lain dengan Teknik Jantan Mandul yang lebih dikenal
dengan Teknik Serangga Mandul (TSM), yaitu suatu teknik pengendalian vektor
Universitas Sumatera Utara
yang potensial, ramah lingkungan, efektif, spesies spesifik dan kompatibel dengan teknik lain. Prinsip dasar TSM sangat sederhana, yaitu membunuh serangga dengan serangga itu sendiri (autocidal technique). Teknik ini meliputi iradiasi terhadap koloni serangga vektor pada berbagai stadium dan kemudian secara periodik dilepas kelapangan (lingkungan) atau lokasi yang diperkirakan serangga vektor cukup potensial,tingkat kebolehjadian teknik ini dari perkawinan antara serangga mandul dan serangga fertil menjadi makin besar dari generasi pertama ke
generasi
berikutnya. Hal ini berakibat makin menurunnya persentase
fertilitas populasi serangga di
lapangan
yang secara teoritis terjadi pada
generasi ke-4 atau ke-5 menjadi titik terendah dimana populasi serangga menjadi nol. TJM atau Teknik Jantan Mandul merupakan teknik pemberantasan serangga dengan
jalan
memandulkan
serangga
jantan.
Kemandulan
adalah
ketidakmampuan suatu organisme untuk menghasilkan keturunan. Gejala kemandulan akibat radiasi pada nyamuk jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin. Dasar teorinya adalah bila serangga betina hanya kawin satu kali dalam perkawinan tersebut dengan serangga jantan yang mandul, maka keturunan tidak akan terbentuk. Serangga jantan mandul dilepas di lapangan dengan harapan bisa bersaing dengan jantan normal alam dalam berkopulasi dengan serangga betina. Serangga betina yang telah berkopulasi dengan jantan mandul dapat bertelur, tetapi telurnya tidak dapat menetas. Apabila pelepasan serangga jantan mandul dilakukan secara terus menerus, maka populasi serangga dilokasi pelepasan menjadi sangat rendah. Dalam perkembangan selanjutnya TJM ini dikenal sebagai TSM karena berdasarkan pelaksanaan praktis untuk memisahkan serangga vektor jantan dan betina yang akan diradiasi tidaklah mudah, sehingga serangga mandul
Universitas Sumatera Utara
yang diradiasi dan dilepas di lapangan tidak hanya jantan tetapi juga betina. Dengan pelepasan serangga betina mandul bersama-sama jantan mandul, maka diharapkan bahwa kemungkinan terjadinya perkawinan antara jantan fertil dengan betina fertil berkurang. Pelaksanaan TSM dapat dilakukan dengan 2 metoda yaitu: 1. Metoda yang meliputi pembiakan masal dilaboratorium, pemandulan dan pelepasan serangga mandul ke lapangan. 2. Metoda pemandulan langsung terhadap serangga lapangan.
2.2.3. Pengendalian Kimiawi Selain fogging dan abatisasi, efektivitas Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk telah dilakukan terhadap jentik Aedes aegypti pada berbagai tipe penampungan air (TPA), yaitu drum (metal), bak mandi, gentong (tempayan) dan TPA lain terbuat dari bahan plastik. Penebaran B. thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk 0,1 mg untuk TPA dengan volume air 20 liter dilakukan tiga kali penebaran dengan interval waktu 2 minggu. Efektivitas B. thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk terhadap jentik Aedes aegypti pada berbagai TPA berlangsung 2 minggu. Penurunan jumlah TPA positif mengandung jentik Aedes aegypti sebesar 78,0 – 100% dan toksisitas residual B. thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk terhadap jentik B, thuringiensis H-14 galur lokal lebih besar 80% (87,40 - 100%) masing-masing setelah penebaran B. thuringiensis H-14 galur lokal I, II dan III pada evaluasi hari ke-14. Bacillus thuringiensis H-14 galur lokal formulasi bubuk dapat digunakan sebagai agen pengendali vektor.
Universitas Sumatera Utara
Selain itu dengan teknik radiasi, pengendalian nyamuk vektor dapat dilakukan dengan cara radiasi ionisasi yang dikenakan pada salah satu stadium perkembangannya. Radiasi untuk pemandulan ini dapat menggunakan sinar gamma, sinar X atau neutron, namun dari ketiga sinar tersebut yang umum digunakan adalah sinar gamma. Sinar gamma dapat berasal dari Cobalt-60 yang mempunyai waktu paruh 3,5 tahun atau cesium-137 dengan waktu paruh 30 tahun. Untuk mendapatkan vektor mandul dengan radiasi secara teoritis dapat dilakukan pada stadium telur, larva, pupa atau dewasa. Hasil optimum dapat diperoleh dengan memilih stadium yang paling tepat untuk diradiasi. Stadium pupa merupakan stadium perkembangan dimana terjadi transformasi/perkembangan organ muda menjadi organ dewasa. Pada stadium ini umumnya spermatogenesis dan oogenesis sedang berlangsung, sehingga dengan radiasi dosis rendah (65-70 Gy) sudah dapat menimbulkan kemandulan. Dari hasil penelitian Yan Danielle tahun 2005 menunjukkan bahwa pada dosis 65 Gy yang dilakukan pada stadium pupa nyamuk aedes aegypti sudah bisa memandulkan 98,53% dan 100% dengan radiasi 70 Gy. Umur pupa pada saat diradiasi memiliki kepekaan yang berbedabeda, semakin tua, kepekaannya terhadap radiasi akan semakin menurun. Radiasi ionisasi secara umum dapat menimbulkan berbagai akibat terhadap nyamuk vektor, baik kelainan morfologis maupun kerusakan genetis. Derajat kelainan atau kerusakan yang terjadi akibat radiasi ionisasi tergantung kepada berbagai faktor yaitu faktor teknik radiasi (macam sinar, cara pemberian dosis dan laju dosis), faktor lingkungan (suhu, atmosfir dan faktor biologi) (perbedaan spesies dan variasi sel/jaringan).
Universitas Sumatera Utara
Gejala-gejala kemandulan akibat radiasi pada vektor jantan disebabkan karena terjadinya aspermia, inaktivasi sperma, mutasi letal dominan dan ketidakmampuan kawin. Selain digunakan dalam pemandulan vektor, teknik nuklir juga bisa digunakan sebagai penanda vektor. Karena radioisotop (seperti P32) dapat memancarkan sinar radioaktif, sehingga dipakai sebagai penanda keberadaan nyamuk aedes aegypti di lapangan. Penandaan vektor dianggap penting terutama untuk mempelajari bionomik (interaksi organisme dengan lingkungan) nyamuk di lapangan, seperti mempelajari jarak terbang, pola pemencaran, umur nyamuk, pemilihan hospes, siklus gonotrofi (siklus pematangan sel gamet) dan aspek bionomik yang lain. Dengan demikian penandaan nyamuk aedes aegypti dengan radioisotop dianggap sebagai cara penandaan paling tepat dan mudah, untuk mempelajari penyebaran dan jarak terbang nyamuk. Data ini sangat berguna untuk menunjang keberhasilan TSM dan penerapanya di lapangan. (Depkes, 1997).
2.3. Dampak Demam Berdarah Dengue (DBD) Faktor fisiologis yang menjadi dampak DBD adalah rusaknya komposisi darah dan keinefektifan sel-sel pembuluh darah yang mengakibatkan terjadinya perdarahan, dehidrasi dan terjadi renjatan/syok. Pada faktor psikologis, DBD mengakibatkan rasa cemas penderita meningkat akibat gejala-gejala yang timbul. Wabah DBD menimbulkan rasa panik yang luar biasa pada masyarakat sehingga partisipasi yang pada awalnya rendah, konstan meningkat untuk mencegah terjadinya masalah yang lebih besar (Tantono, 1999 dalam Umami, 2001).
Universitas Sumatera Utara
2.4. Hubungan Pengetahuan dan Pencegahan Demam Berdarah Dengue (DBD) Pemberantasan dan pencegahan kasus DBD di masyarakat memerlukan perhatian dari petugas kesehatan dan juga peran serta masyarakat. Pelaksanaan program penanggulangan DBD sesuai dengan kebijakan Pemerintah akan sangat mempengaruhi penanggulangan dan pencegahan penyakit DBD.(Danim. S, 2003 dalam Rika,2007).
Universitas Sumatera Utara