SITOGENETIKA DAN PERANANNYA DALAM KEGANASAN HEMATOLOGI
Tinjauan Pustaka Karya Ilmiah Hematologi
Oleh : Yunika Puspa Dewi 11/326437/PKU/12910
Kepada PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2015 1
SITOGENETIKA DAN PERANANNYA DALAM KEGANASAN HEMATOLOGI
Tinjauan Pustaka Karya Ilmiah Hematologi
Dipresentasikan pada tanggal : 4 Februari 2015
Oleh : Yunika Puspa Dewi 11/326437/PKU/12910
Pembimbing
dr. Tri Ratnaningsih, M.Kes, SpPK(K) NIP. 19731110 199903 2 001
Mengetahui,
Kepala Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM
Ketua Program Studi Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM
Prof. dr. Budi Mulyono, MM, SpPK-K NIP.19521226 197903 1 003
dr. Umi S Intansari, M.Kes, SpPK-K NIP.19700110 199702 2 001 2
Cytogenetic and Its Application on Hematologic Malignancies Yunika Puspa Dewi, Tri Ratnaningsih Department of Clinical Laboratory, Faculty of Medicine, University of Gadjah Mada Yogyakarta ABSTRACT
Background: The diagnosis of hematopoietic neoplasms is one of the more challenging areas of pathology, requiring correlation of clinical, morphologic, immunophenotypic and cytogenetic data for meaningful classification. The rational classification of hematopoietic neoplasms is based on the separation of diseases with distinct clinicopathologic features. Recurrent chromosomal abnormalities that correlate with morphologic, clinical and/or immunophenotypic subsets of hematologic maaignancies provide further objective criteria for distinction. This review will discuss about cytogenetic itself, both conventional and molecular methods and its application on hematologic malignancies. Discussion: Cytogenetics is the study of the structure and properties of chromosomes, chromosomal behaviour during somatic cell division in growth and development (mitosis) and germ cell division in reproduction (meiosis), chromosomal influence on the phenotype and the factors that cause chromosomal changes. In Cytogenetics, there are two main methods; classical methods like karyotyping using GTG banding technique and molecular methods like fluorescent in situ hybridization (FISH). Recognizing the association between certain cytogenetic abnormalities and specific morphologic and clinical features, the World Health Organization (WHO) has re-classified tumour of hematopoeitic and limphoid tissues based on cytogenetics. Some cytogenetic abnormalities are not specific to either morphologic subsets of disease or associated with specific clinical features; however, they remain valuable independent prognostic variables. Such findings have been used to stratify patients with MDS, chronic lymphocytic leukemia (CLL) and precursor B -cell acute lymphoblastic leukemia (ALL) into favorable and unfavorable prognostic categories, thus allowing for varied intensities of therapy. Conclusion: Application of cytogenetic analysis for the identification of specific lesions and insurance of products specific for given type of hematologic malignancies, could move us to a period of personalised, molecularly targeted therapy against malignant molecules of each single patient. Keywords: cytogenetics – FISH – kariotyping – chromosome – hematologic malignancies - leukemia
3
Sitogenetika dan Peranannya dalam Keganasan Hematologi Yunika Puspa Dewi, Tri Ratnaningsih Bagian Laboratorium Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
INTISARI
Pendahuluan: Diagnosis keganasan hematologi adalah salah satu bagian yang paling menantang bagi ahli patologi, karena membutuhkan korelasi klinis, pemeriksaan morfologi, immunophenotyping dan sitogenetika sumsum tulang untuk dapat menegakkan diagnosis. Klasifikasi keganasan hematologi yang rasional berdasarkan pada gambaran klinis dan laboratoris. Abnormalitas kromosom berulang yang berhubungan dengan morfologi, gambaran klinis dan / atau immunophenotypic pada keganasan hematologi memberikan kriteria objektif lanjut untuk penegakkan diagnosis. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teknik sitogenetika itu sendiri baik yang konvensional maupun molekular dan peranannya dalam penatalaksanaan keganasan hematologi Pembahasan: Sitogenetika adalah ilmu tentang struktur dan sifat kromosom, perilaku kromosom selama pembelahan sel somatik dalam pertumbuhan dan perkembangan (mitosis) dan pembelahan sel germinal dalam reproduksi (meiosis), kromosom mempengaruhi fenotip dan faktor-faktor yang menyebabkan perubahan kromosom. Analisis sitogenetika, ada dua metode utama; metode klasik seperti karyotyping menggunakan teknik banding GTG dan metode molekuler seperti fluorescent in situ hybridization (FISH). Menyadari hubungan antara kelainan sitogenetik tertentu dan morfologi dan gambaran klinis tertentu, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah kembali mengklasifikasikan tumor hematopoeitic dan jaringan limphoid berdasarkan sitogenetika. Beberapa abnormalitas sitogenetika tidak spesifik terhadap gambaran sumsum tulang penyakit tertentu ataupun dengan gambaran klinis yang spesifik; Namun, abnormalitas sitogenetika tetap merupakan variabel prognostik independen yang berharga. Temuan abnormalitas sitogenetika tersebut telah digunakan untuk stratifikasi pasien dengan MDS, leukemia limfositik kronis (CLL) dan leukemia limfoblastik akut (ALL) precursor sel B dalam kategori prognostik yang menguntungkan dan tidak menguntungkan, sehingga memungkinkan untuk menentukan intensitas terapi tergantung kategori prognostiknya. Kesimpulan:. Penerapan analisis sitogenetik untuk identifikasi lesi spesifik dan kepastian dari produk spesifik untuk jenis keganasan hematologi tertentu, semakin mendekatkan kita pada masa personalised, molecularly targeted therapy terhadap molekul ganas setiap pasien. Kata kunci: sitogenetika – FISH – kariotipe – kromosom – keganasan hematologi - leukemia
4
PENDAHULUAN Kanker adalah penyakit genetik yang dapat berkembang dari mutasi bawaan kemudian diikuti oleh mutasi yang diperoleh atau dari akumulasi mutasi. Onkogen dan gen supresor tumor mengontrol proliferasi sel dengan kematian sel atau pembelahan sel, sedangkan gen pengendali mengendalikan laju mutasi. Sel dengan gen pengendali cacat mungkin mempunyai mutasi pada semua gen, termasuk onkogen dan gen supresor tumor1,2. Keganasan hematologi adalah kelompok neoplasma yang berasal dari sel sumsum tulang ganas. Jenis kanker ini mempengaruhi darah tepi, sumsum tulang, hati, limpa dan kelenjar getah bening. Variasi dalam kelompok gangguan ini disebabkan oleh kompleksitas dalam hematopoiesis dan sistem imunologi. Abnormalitas kromosom tidak acak merupakan tanda umum dari banyak keganasan hematologi dan merupakan komponen kunci dari patogenesisnya. Dengan demikian, analisis kromosom rutin sangat penting dalam pemeriksaan laboratorium untuk kasus yang dicurigai adanya gangguan mielodisplastik atau mieloproliferatif, leukemia, dan limfoma. Pemeriksaan sitogenetika dapat memberikan (1) konfirmasi diagnosis; (2) informasi yang berguna untuk klasifikasi, staging dan prognosi; (3) informasi untuk memilih terapi yang tepat; dan (4) bukti remisi atau kambuh. Dalam evaluasi kelenjar getah bening, sitogenetika dapat membedakan proses reaktif dari kondisi ganas3,4. Dulu keganasan hematologi diklasifikasikan berdasarkan morfologi menurut klasifikasi French-American-British (FAB). Dengan berjalannya waktu, banyak klasifikasi dikembangkan namun yang paling diterima adalah klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2008. Klasifikasi ini mengintegrasikan pemeriksaan morfologi, imunofenotipe, dan sitogenetika. Sitogenetika konvensional seperti karyotyping menggunakan teknik banding GTG dan metode molekuler seperti fluorescent in situ hybridization (FISH) merupakan baku emas5,1. Tinjauan pustaka ini akan membahas mengenai teknik sitogenetika itu sendiri baik yang konvensional maupun molekular dan peranannya dalam penatalaksanaan keganasan hematologi. PEMBAHASAN Sitogenetik adalah ilmu tentang kromosom dan penyakit terkait yang disebabkan oleh abnormalitas jumlah dan/atau struktur kromosom. Kromosom tidak dapat dilihat dengan mikroskop cahaya, tetapi selama metafase atau akhir profase, kromosom memadat sehingga dapat dianalisis2,6,7. Kromatin adalah material yang tercat gelap pada inti sel. Pada saat interfase, kromatin berbentuk benang irregular dan longgar yang diebut reticulum kromatin. Pada saat sel membelah, kromatin akan memadat menjadi benang yang lebih pendek dan tebal yang disebut kromosom. Pada sel diploidi normal, ada 46 kromosom (23 pasang), dimana setiap pasang berasal dari ayah dan ibu7. 5
Sejarah Kontribusi sitogenetika pada pengetahuan kita tentang kanker berkembang selama empat dekade ini dan dapat dibagi menjadi tiga era1. Era pertama dimulai dengan suksesnya kultur kromosom invitro dan identifikasi jumlah kromosom manusia. Meskipun Profesor Walther Flemming pada tahun 1876 telah mendeskripsikan kromosom, baru sekitar 80 tahun kemudian jumlah kromosom manusia yang benar dalam sel (46) dijelaskan oleh Tjio dan Levan3,2,8. Kemudian era pita, yang termasuk klasifikasi kromosom menggunakan teknik banding dengan resolusi tinggi1. "Era banding" dari akhir 1960-an dan 1970-an meningkatan visualisasi kromosom manusia melalui pembentukan pola pita yang unik pada setiap kromosom. Perkembangan quinacrine banding, Giemsa banding, C-banding menggunakan barium hidroksida dan reverse banding menggunakan acridine orange meningkatkan kemampuan laboratorium sitogenetika untuk dapat menentukan kelainan kromosom numerik dan struktural lebih akurat3,6,8. Kelainan sitogenetika pertama terkait dengan jenis keganasan tertentu digambarkan oleh Nowell dan Hungerford pada tahun 1960. Kromosom penanda, bernama kromosom Philadelphia, dikaitkan dengan chronic myelogenous leukemia (CML). Memanfaatkan teknik banding yang lebih baik, Janet Rowley di University of Chicago kemudian mengidentifikasi penanda ini sebagai turunan kromosom 22 yang berasal dari translokasi antara kromosom 9 dan 22 [t (9; 22) (q34;q11.2)]. Limfoma Burkitt adalah keganasan limfoid pertama yang diidentifikasikan kelainan kromosomnya [t (8; 14) (q24;q32)]3,2. Era ketiga sudah ada lebih dari satu dekade, ditandai dengan ditemukannya in situ hybridization (ISH) dan berbagai pengembangannya1. Metode ini menggunakan probe DNA berlabel biotin yang dideteksi dengan cara hibridisasi menggunakan streptavidin-horseradish peroksidase dan diaminobenzidin diikuti oleh visualisasi menggunakan mikroskop cahaya. Sedikit modifikasi dari prosedur ISH enzimatik ini, dikenal sebagai Chromogenic in situ hybridization (CISH), menggunakan probe DNA berlabel fluoresen. Teknik ini, dikenal sebagai fluoresensi in situ hybridization (FISH), awalnya menggunakan probe DNA fluorophore tunggal3. Perbaikan dalam teknik sitogenetik selama 30 tahun terakhir telah memungkinkan deteksi yang semakin sensitif terhadap kelainan kromosom pada keganasan hematologi. Salah satu kemajuan yang paling signifikan dalam diagnostik sitogenetika leukaemia adalah penggunaan interphase FISH. Ketersediaan probe komersial berkualitas baik untuk karakteristik gen fusi pada leukemia berperan dalam kesuksesan ini4. Sekarang kita memasuki era genom dari microarray genomic resolusi tinggi dan komparasi hibridisasi genom1. Pada abad ke-21 ini, sitogenetika klinis dalam persimpangan jalan karena perkembangan teknologi diagnostik yang semakin maju sehingga mengaburkan perbedaan antara genetika molekuler dan analisi sitogenetika3. 6
Teknik sitogenetika Sitogenetika konvensional Analisis sitogenetika konvensional merupakan prosedur rutin dalam mendeteksi kelainan kromosom baik dalam jumlah maupun struktur. Pengambilan dan penyimpanan spesimen Sumsum tulang merupakan spesimen terbaik untuk analisis kromosom. Pengambilan 1-2 ml aspirasi sumsum tulang cukup memadai dalam banyak kasus; akan tetapi jumlah sampel yang lebih sedikit dapat diterima jika sumsum tulang hiperseluler. Jika aspirasi sumsum tulang tidak dapat diperoleh, biopsi sumsum tulang dapat digunakan. Pada pasien dengan jumlah leukosit lebih dari 10.000 x 109/L dan setidaknya 10% sel blas, kultur spesimen darah tepi tanpa phytohemagglutinin (PHA) dapat digunakan. Phytohemagglutinin akan merangsang pembelahan sel normal yang berpotensi mengganggu analisis pembelahan sel kanker yang spontan. Untuk limfoma digunakan spesimen kelenjar getah bening3,9,10. Heparinisasi segera pada sampel aspirasi sumsum tulang sangat penting, karena adanya bekuan dapat mempersulit memprosesan spesimen dan mungkin, dalam kasus yang ekstrim, membuat sampel tidak dapat digunakan untuk analisis sitogenetika7. Pengiriman spesimen aspirasi sumsum tulang harus dalam wadah steril yang mengandung pengawet -free sodium heparin, medium kultur jaringan seperti RPMI 1640 dilengkapi dengan heparin, atau Hank’s balanced salt solution (HBSS) yang mengandung heparin. Jika ada kemungkinan keterlambatan dalam pengiriman, spesimen harus disimpan dalam media kultur jaringan yang steril untuk menjaga kelangsungan hidup sel. Sampel dapat disimpan pada suhu 4oC selama tidak lebih dari 3 hari. Semakin lama penundaan semakin besar kemungkinan hasil negatif palsu. Spesimen dengan angka leukosit yang tinggi dan spesimen ALL sangat rentan dan harus segera diproses tanpa penundaan 3. Pemprosesan spesimen dan kultur jaringan Kultur jaringan yang baik membutuhkan kepadatan sel yang optimal, untuk spesimen sumsum tulang adalah sekitar 10 6/mL sel. Untuk menentukan pengenceran yang tepat harus memastikan kepadatan sel, ada dua metode yang umum digunakan. Pertama, hemositometer dapat digunakan untuk menghitung jumlah sel, dan yang kedua menggunakan jumlah leukosit untuk menentukan jumlah tetes suspensi sumsum tulang untuk ditambahkan dalam 10 mL media kultur jaringan. Pengetahuan tentang gejala klinis dan diagnosis yang dicurigai sangat membantu dalam menentukan tipe dan jumlah kultur yang harus dibuat3,9.
7
Pemanenan kultur, pembuatan dan pengecatan preparat Pemanenan spesimen membutuhkan kultur dalam mitotic spindle inhibitor, seperti Colcemid (0,05 mg/ml) untuk mengumpulkan kromosom dalam tahap metafase, kemudian menambahkan larutan hipotonik (0,075 M KCl), dan inkubasi pada 37◦C selama 10-15 menit. Kemuadian diikuti dengan beberapa langkah fiksasi menggunakan larutan metanol : asam asetat glasial (3:1). Dengan tiap langkah fiksasi, pelet sel "dibersihkan," untuk memastikan suspensi sel yang optimal dengan sedikit atau tanpa latar belakang pada saat preparat dibuat. Setelah 4-5 langkah fiksasi, sel disuspensi kembali ke dalam larutan fiksatif dan dapat disimpan pada suhu -20◦C3,10. Teknik pembuatan preparat bervariasi untuk masing-masing laboratorium. Tujuannya adalah untuk membuat preparat dengan kromosom yang menyebar sehingga dapat dianalisis dengan baik. Pembersihan slide dengan etanol 95% sebelum pembuatan preparat membantu pembuatan preparat yang merata sehingga meningkatkan kualitas preparat. Selain itu, kelembaban optimal (45-55%) dan suhu lingkungan (70-75◦F) juga penting3. Berbagai macam cat dapat digunakan untuk memvisualisasi kromosom di bawah mikroskop10:
Q-banding Teknik ini tidak membutuhkan perlakuan awal akan tetapi membutuhkan mikroskop fluoresensi. Caspersson dkk (1970) menemukan salah satu dari teknik banding yang pertama, yaitu pengecatan kromosom menggunakan fluorokrom seperti quinacrine mustard orquinacrine dihydrochloride7.
G-banding G-bands dihasilkan dari pengecatan kromosom menggunakan Giemsa. Sebelum dilakukan pengecatan, kromosom terlebih dahulu dipaparkan dengan senyawa (biasanya tripsin), yang mengubah struktur protein. Ini merupakan metode banding yang paling banyak digunakan, karena metode ini mempunyai resolusi yang lebih baik dibandingkan Q-banding, permanen dan tidak membutuhkan mikroskop fluorensen7.
R-banding R-bands merupakan kebalikan dari G-bands. Modifikasi metode dari Dutrillaux dan Lejeune (1971) membutuhkan denaturasi panas pada Earle’s balanced salt solution (87ºC), merupakan metode yang banyak digunakan7.
8
C-banding C-bands mengidentifikasi regio heterokromatik dari kromosom. Metode asli oleh Arrighi dan Hsu (1971) melibatkan perlakuan slide dengan asam klorida 0.2 N hydrochloric acid diikuti RNAse dan natrium hidroksida7
T-banding Metode ini mengecat regio telometrik (akhir) dari kromosom. Dutrillaux (1973), untuk menghasilkan T-bands memperlakukan slide buffer fosfat atau larutan Earle’s balanced salt kemudian dicat menggunakan larutan mixed Giemsa7 Pada tahap metafase dari siklus sel, kromosom memadat sehingga gambaran kromosom
secara detail dapat dikenali. Gambaran Kromosom ditandai dengan ukuran, posisi sentromer, dan pola pita3. Prosedur standar untuk menganalisa kromosom adalah topografi (atau digitalisasi di computer) seluruh apusan metaphase, memotong kromosom satu per satu (manual atau secara digital) dan meyusun kromosom sesuai standar kariotipe dimana setiap kromosom homolog dipasangkan dan disusun berurutan10. Panduan analisis mikroskopik sumsum tulang Pada sebagian besar kasus, sel-sel normal dan ganas akan ada dalam spesimen. Tujuannya, oleh karena itu, adalah untuk mengidentifikasi sel-sel ganas yang berpotensi membawa satu atau lebih kelainan kromosom. Dalam menganalisis berdasarkan proporsi sel normal dan abnormal diperlukan perhatian khusus, karena juga dipengaruhi oleh kondisi kultur sel serta kesalahan pengambilan sampel3. Analisis kromosom memerlukan pemeriksaan 20 sel metafase. Suatu kelainan klonal sebagaimana dimaksud dalam An International System of Human Cytogenetic Nomenclature (ISCN) 2009 terdiri dari dua atau lebih sel dengan penambahan kromosom yang sama atau penataan ulang struktur, atau tiga sel dengan delesi kromosom yang sama. Jika kelainan sel tunggal diidentifikasi, proses tersebut tidak dapat didefinisikan sebagai klonal; Namun, jika abnormalitas itu merupakan karakteristik yang berhubungan dengan gangguan hematolymphoid tertentu atau diamati pada pasien yang menunjukkan hal itu sebagai bagian dari klon abnormal dari analisis sebelumnya, diperlukan pemeriksaan lebih lanjut3. Nomeklatur kariotipe dan sitogenetika Kariotipe adalah nomenklatur normal dimana kromosom ditata secara berpasangan (homolog) secara sistematik untuk mendeskripsikan kromosom normal atau abnormal7 atau gambar representasi 9
dari 46 kromosom dalam setiap sel (Gambar 1). Kromosom diklasifikasikan berdasarkan ukuran dan posisi sentromer menjadi tujuh kelompok. Dalam masing-masing kelompok, homolog kromosom individu dipasangkan satu sama lain berdasarkan pola pita yang sama3. Kromosom mempunyai lengan pendek yang disebut p dan lengan panjang yang disebut q, yang dipisahkan oleh sentromer. Dalam menunjukan posisi pita tertentu, empat item harus ada: nomor kromosom, simbol lengan, nomor region, dan nomor pita dalam region. Sebagai contoh 1q23 berarti kromosom nomer 1, lengan panjang regio 2 dan pita 32.
Gambar1. Kariotipe sumsum tulang normal3 Upaya pertama untuk standarisasi nomeklatur kromosom adalah usulan Standard System of Nomenclature of Human Mitotic yang dipresentasikan pada Konferensi Denver tahun 1960, sedangkan revisi terbaru dari ICSN tahun 2009 baru dipublikasikan3. Kelainan kromosom terdiri dari dua jenis, numerik dan struktural. Jumlah kromosom normal adalah 46, disebut sel diploidi. Jika lebih atau kurang dari 46 kromosom, sel ini disebut aneuploidi. Jika lebih dari 46 kromosom, disebut hiperdiploidi; jika kurang dari 45 kromosom, disebut hipodiploidi. Tambahan kromosom ini disebut trisomi, sementara kehilangan kromosom disebut monosomi. Hal ini digambarkan dalam disain kariotipe sebagai "+" atau "-”3,2. Kelainan struktural digambarkan dari jenis kelainan dan breakpoints yang terlibat. Breakpoints dapat terletak dalam sebuah pita kromosom atau di persimpangan antara dua pita kromosom. Sebuah pita kromosom adalah bagian dari kromosom yang dapat jelas dibedakan dari segmen yang berdekatan yang mungkin terang atau lebih gelap tergantung pada teknik banding. 10
Setiap pita, pada resolusi yang lebih baik, dibagi lagi menjadi sub pita. Pita dan sub pita diberi nomor sesuai letaknya dari sentromer3. Tabel1. Kelainan kromosom struktural pada keganasan3 Tipe kelaian Perubahan Translokasi Pertukaran dua segmen kromosom distal dari breakpoint pada ke dua kromosom; dapat seimbang maupun tidak seimbang. Inversi Inversi 180o dari segmen kromosom antara dua breakpoint Perisentrik: breakpoint pada lengan p dan q Parasentri: kedua breakpoint pada lengan yang sama Delesi Hilangnya segmen kromosom Terminal – hilangnya segmen distal dari breakpoint tunggal Intersisial – hilangnya segmen antara dua breakpoint Add Kromosom dengan penambahan segmen kromosom Isokromosom Lengan kromosom identik dengan sentromer tunggal Adanya kelainan klon multipel, buruknya kualitas metafase dan indek mitosis yang rendah merupakan masalah utama dalam analisis sitogenetika konvensional untuk keganasan hematologi. Akibatnya, proporsi yang signifikan (15% -20%) dari kariotipe sumsum tulang pada pasien leukemia dilaporkan sebagai tidak ada kelainan dengan analisis sitogenetika konvensional. Untuk mengatasi keterbatasan ini dan untuk mengidentifikasi perubahan submikroskopik, FISH dikembangkan11. Analisis Sitogenetika molekuler Prinsip dasar Fluorescence In Situ Hybridization (FISH) Analisis sitogenetika konvensional dari sumsum tulang atau kultur darah leukemia memungkinkan penentuan kelainan kromosom dalam tingkat genom; Namun, kadang-kadang terhambat oleh indek mitosis yang rendah, morfologi kromosom yang jelek, kompleksitas kariotipe, dan normal kariotipe. Fluoresensi in situ hybridization dapat mengatasi masalah ini dengan menarget sekuens asam nukleat spesifik dengan cepat dan sensitif3. Salah satu kemajuan terbesar teknik FISH adalah kemampuan untuk menggunakan sel yang tidak membelah sebagai target (interfase FISH), yang memungkinkan untuk identifikasi kelainan kromosom numerik dan struktural dalam sejumlah besar inti sel. Interfase FISH adalah metode pilihan untuk mendeteksi sisa penyakit pada pasien dengan keganasan hematologi atau setelah transplantasi sumsum tulang alogenik12,11. Prinsip dasar FISH adalah molekul DNA untai tunggal akan mengenali dan mengikat urutan komplementer pada kromosom metafase atau interfase inti sel. Probe dan DNA target dimasukan dalam larutan formamida panas untuk mendenaturasi DNA untai ganda, diikuti oleh penempelan probe pada DNA terget dan inkubasi pada 37◦C. Selama proses inkubasi, terjadi penempelan probe ke DNA target sesuai pasangan basa komplementernya. Sebuah mikroskop fluoresensi dilengkapi 11
dengan filter yang sesuai kemudian digunakan untuk mendeteksi probe hibridisasi pada target, sinyal yang muncul berwarna cerah3,2,11,10,7. Indikasi klinis FISH pada keganasan hematologi Indikasi umum FISH pada keganasan hematologi meliputi berikut: (1) konfirmasi kelainan kromosom yang terdeteksi sitogenetika konvensinal dan penetapan pola sinyal FISH untuk memantau perkembangan penyakit, (2) deteksi kelainan kromosom ketika gejala klinis dan morfologi sugestif kelainan kromosom spesifik [misalnya, t (11; 14) dalam limfoma sel mantel], (3) karakterisasi penyimpangan genetik menggunakan panel probe spesifik penyakit untuk stratifikasi risiko dan manajemen terapi, seperti pada limfoblastik akut leukemia (ALL), leukemia limfositik kronis (CLL), dan sel plasma mieloma (PCM), (4) deteksi translokasi samar atau bertutupi ketika analisis kromosom tidak meyakinkan atau menghasilkan kariotipe normal [seperti t(12; 21 ) pada ALL atau t(4; 14) pada mieloma], (5) deteksi limfoma terkait translokasi pada jaringan parafin, (6) kuantisasi penyakit residual minimal dan deteksi remisi dan kambuh sitogenetik melalui analisis dari sejumlah besar sel baik yang membelah mapupun, (7) deteksi cepat fusi gen PML/RARA pada leukemia promyelocytic akut, di mana diagnosis cepat diperlukan untuk pengobatan yang tepat 3,13. Tipe probe FISH yang secara rutin digunakan dalam keganasan hematologi Ada ke tiga tipe probe yang banyak digunakan dalam klinis: centromere enumeration probes (CEPs), locus-specific identifier (LSI) probes, dan whole-chromosome paint (WCP) probes3,12.
Gambar2. (A) centromere enumeration probes (CEPs), (B) whole-chromosome paint (WCP) probes,( C) locus-specific identifier (LSI) probes14.
12
Kelebihan FISH adalah dapat (1) dilakukan pada sel metafase atau interfase (sel yang tidak membelah), (2) menargetkan genetik aberasi yang menujukan gen kandidat yang terlibat dalam leukemogenesis, (3) menilai penyimpangan kromosom, fenotipe selular, dan morfologi jaringan secara bersamaan menggunakan jaringan parafin, (4) mendetekti kelainan secara cepat, sangat spesifik, sensitif, dan reprodusibel secara objektif, (5) secara simultan menilai beberapa target genom, (6) memberikan resolusi superior (interfase FISH> 20 kb, metafase FISH> 100 kb) dibandingkan dengan sitogenetika konevensional (> 10 Mb), dan (7) mendeteksi kelainan kromosom samar tertentu. Sedangkan keterbatasan FISH adalah sebagai berikut: (1) ketidakmampuannya untuk memberikan penilaian kromosom secara umum; (2) diperlukan informasi klinis atau diagnosis banding untuk memandu penentuan probe yang akan digunakan, dan (3) diperlukan untuk mikroskop fluoresensi berkualitas tinggi dengan beberapa filter, kamera CCD yang dapat mendeteksi emisi cahaya rendah, dan perangkat lunak pencitraan yang canggih3. Keganasan hematologi French American British (FAB) mengusulkan skema klasifikasi keganasan mieloid dan limfoid menjadi subkelompok yang bermakna pada tahun 1976, yang terutama berdasarkan pada morfologi jaringan. Revised European–American Classification of Lymphoid Neoplasms (REAL) pada tahun 1994 memperluas dasar klasifikasi keganasan limfoid dengan memasukkan morfologi, imunologi, dan genetik; gejala klinis dan perjalanan penyakit. Pada tahun 1997, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis edisi pertama: klasifikasi berdasarkan kombinasi morfologi dan sitogenetik. Edisi terbaru (edisi ke-4) diterbitkan pada tahun 2008 mengkategorikan keganasan hematolymphoid berdasarkan gambaran klinis dan biologis, morfologi, imunofenotipe, kelainan sitogenetik, dan mutasi genetik molekuler3. Tabel2. Peran sitogenetika dalam keganasan hematologi15
13
Chronic Myeloproliferative Diseases (MPDs) Sampai sekarang, selain CML, tidak ada kategori dalam grup ini yang mempunyai perubahan genetic spesifik; akan tetapi aktivasi jalur sinyal transduksi tirosin kinase sering dikaitkan dengan patogenesisnya1.
Chronic Myelogenous Leukemia (CML) Dalam klasifikasi WHO, kriteria diagnostik untuk CML adalah adanya kromosom "Philadelphia" (Ph) penataan ulang [t (9;22) (Q34; q11.2)], melibatkan Breakpoint Cluster Region dan Ableson onkogen (BCR dan ABL1). Pada saat diagnosis, sekitar 90-95% pasien CML ditemukan kromosom Philadelphia. Meskipun keterlibatan kromosom 9 atau kromosom 22 mungkin tersembunyi dan kariotipe terlihat normal ("Ph negatif CML"), gen BCR/ABL1 hibrid selalu ada (jika tidak, penyakit bukan CML)1. Dengan ditemukannya BCR-ABL1 tyrosine kinase inhibitors (TKIs), maka selain sebagai penanda diagnosis, kromosom Ph juga dapat digunakan untuk memantau respon terapi. Kategori respon berdasarkan sitogenetika adalah respon sitogenetika minimal, dengan ditemukan 36% sampai 95% kromosom Ph; respon sitogenetika parsial, dengan ditemukan 1% sampai 35% kromosom Ph; respon sitogenetika mayor, dengan ditemukan 0% sampai 35% kromosom Ph; dan respon sitogenetika sempurna dengan ditemukan 0% kromosom Ph2,16,17.
Gambar 3. Pasien CML dengan kromosom Ph yang tertutupi. Analisis FISH memperlihatkan adanya fusi gen BCR dan ABL1 pada kromosom 22. Probe BCR/ABL dual color, dual fusion – merah: sinyal terlihat pada kromosom 9q34, hijau: pada kromosom 22q11.25. 14
Chronic Neutrophilic Leukemia (CNL) Tidak adanya kromosom Philadelphia merupakan kriteria diagnostik untuk CNL. Bila ada translokasi BCR / ABL1, bahkan dalam bentuk chimeric atau samar, diagnosis CNL tidak dapat ditegakkan dan kasus ini harus dianggap CML. Kelainan yang paling sering adalah trisomi kromosom 8 dan 9 dan delesi kromosom 22q dan 11q1.
Myelodysplastic/Myeloproliferative Diseases Sampai sekarang tidak ada kelainan genetik spesifik pada kelompok penyakit ini. Ada beberapa kelainan kromosom berulang, tetapi tidak spesifik dan terlihat pada beberapa kelainan yang hampir sama1.
Chronic Myelomonocytic Leukemia Leukemia kronis myelomonocytic (CMML) adalah gangguan klonal yang ditandai dengan persisten monositosis dengan blas <20%, displasia, dan tidak adanya kromosom Philadelphia. Pada sekitar 20-40% kasus ditemukan abnormalitas klonal1.
Atypical Chronic Myeloid Leukemia (aCML) Salah satu kriteria diagnostik aCML adalah tidak adanya kromosom Philadelphia. Sekitar 80% dari pasien aCML memiliki kelainan kromosom. Kelainan sitogenetika dalam gangguan ini termasuk trisomi kromosom 8 dan 13, delesi kromosom 20q dan 12p, dan isokromosome17q. Karena tidak ada translokasi kromosom yang spesifik, diagnosis biasanya dibuat berdasarkan gambaran sumsum tulang dengan tambahan pemeriksaan sitogenetika dan pemeriksaan lainnya1.
Juvenile Myelomonocytic Leukemia(JMML) Kriteria diagnostik JMML termasuk monositosis perifer lebih dari 10 9 sel/L, blas, termasuk promonosit, <20%, tidak adanya kromosom Philadelphia. Sebagian besar kasus JMML menunjukkan adanya bukti kelainan kromosom klonal. Saat ini, tidak ada kelainan sitogenetika atau lesi genetik yang spesifik untuk JMML, tetapi sitogenetika membantu dalam menegakkan diagnosis dan digunakan sebagai penanda untuk memantau perkembangan pasien. Kelainan sitogenetik yang paling umum adalah monosomi 7, yang terlihat pada sekitar 30-40% pasien1.
15
Myelodysplastic Syndromes (MDS) Gejala klinis, pemeriksaan hematologi, histopatologi dan sitogenetika konvensional penting untuk mendiagnosis, mengklasifikasi dan menentukan prognosis MDS. Pada saat ini, kariotipe merupakan faktor paling penting dalam menentukan prognosis MDS. Hampir semua system prognostic, the International Prognostic Scoring System (IPSS) 4 dan the World Health Organization classification based Prognostic Scoring System (WPSS) 16 membutuhkan pemeriksaan sitogenetika untuk menentukan risiko. Kelaianan kromosom yang paling umum adalah delesi interstitial kromosom 5 (5q), ditemukan pada sekitar 15% kasus, dan 8 dengan del(7q) / monosomi 7 (sekitar 10%) dan trisomi 8 (sekitar 10%)1,18,16.
Gambar 4. Distribusi kelainan sitogenetika pada MDS18. Tabel 3. Abnormalitas kariotipe penting sebagai penanda prognostic pada MDS 18 Subgroup Abnormalitas sitogenetika FreMedian Progresifitas prognostik kuen- survival ke AML si % (thn) (thn) Sangat baik -Y, del(11q) 4 5.4 NR Baik Normal, del(5q), del(12q), del(20q) 72 4.8 9.4 Intermediet del(7q), +8, +9, i(17q) 13 2.7 2.5 Jelek -7, inv (3) atau t(3q) atau del(3q) 4 1.5 1.7 Sangat jelek Komplek (>3 abnormalitas) 7 0.7 0.7 Berdasarkan IPSS-R NR: not reach; OS: overall survival
OS 0.7 1 1.5 2.3 3.8
HR AML 0.4 1 1.8 2.3 3.6
16
Acute Myeloid Leukemia (AML) Secara sitogenetika, AML adalah penyakit yang sangat heterogen, dengan lebih dari 160 kelainan kromosom struktural berulang. Kelainan sitogenetika pada AML dapat diklasifikasikan ke dalam kelainan primer dan sekunder. Kelainan kromosom primer sering ditemukan sebagai kelainan kariotipe tunggal dan sering dikaitkan dengan AML subtipe tertentu. kelainan kromosom sekunder tampaknya memainkan peran penting dalam progresifitas penyakit, tetapi jarang ditemukan sebagai kelainan tunggal1. Analisis sitogenetika konvensional merupakan pemeriksaan wajib dalam mendiagnosis pasien dengan dugaan leukemia akut. Sekitar 45% dari leukemia akut memiliki kariotipe normal dengan perubahan kromosom berulang, dan sekitar 15% memiliki 3 atau lebih kelainan sitogenetika (kariotipe kompleks). Kelainan sitogenetika merupakan indikator prognostik yang sangat penting dan mengklasifikasikan menjadi 3 kelompok risiko umum: favorable, intermediate, dan adverse. Kelompok risiko favorable termasuk acute promyelocytic leukemia dengan t(15; 17). Kasus dengan t (9; 11) berkaitan dengan risiko intermediate, bersama dengan kasus yang dengan tambahan atau hilangnya seluruh kromosom Y. Kelompok risiko adverse termasuk t(6; 9), inv(3)/t(3, 3), dan kariotipe kompleks. Kasus dengan beberapa abnormalitas cenderung diamati dengan pasien yang lebih tua dan memiliki prognosis yang sangat buruk19, 20. Klasifikasi WHO:
Acute myeloid leukemia dengan abnormalitas genetika berulang o
AML dengan t(8;21)(q22;q22) (AML1atau CBFα/ETO) (sering FAB M2)
o
AML
dengan
abnormal
eosinofil;
inv(16)(p13q22)
atau
t(16;16)(p13;q22)
(CBFβ/MYH11) (sering FAB M4EO) o
Acute promyelocytic leukemia ([AML dengan t(15;17)(q22;q12)(PML/RARA) dan varian] (FAB M3).
o
AML dengan abnormalitas 11q23 (MLL)
Acute myeloid leukemia with multilineage dysplasia: abnormalitas kromosom pada subtype ini hampir sama dengan yang ditemukan pada MDS dan sering melibatkan penambahan atau delesi segmen mayor pada kromosom tertentu.
Acute myeloid leukemia dan myelodysplastic syndrome atau therapy-related AML: Abnormalitas klonal sitogenetika banyak terlihat pada subkelompok ini. Abnormalitas pada 17
kelompok ini mirip dengan yang terlihat pada AML dengan displasia multilineage, MDS, sitopenia refraktori dengan displasia multilineage, atau anemia refraktori. Penyimpangan yang umum adalah translokasi atau delesi tidak seimbang yang melibatkan kromosom 5 dan / atau 7, dengan hilangnya semua atau sebagian dari lengan panjang kromosom ini.
Acute myeloid leukemia not otherwise characterized: Dasar utama klasififikasi dalam kategori ini adalah gambaran sumsum tulang dan sitogenetika dari sel leukemia dan derajat maturitasnya1.
Precursor B-Cell dan T-Cell Neoplasms Gambar dibawah berasal dari data karyotipe yang dikumpulkan dari lebih dari 4000 anak dan dewasa pasien yang termasuk dalam ALL treatment trial di Inggris masuk ke Inggris. Hal ini menunjukkan bahwa abnormalitas tertentu bervariasi sesuai dengan usia. Tingginya kasus dengan penyusunan ulang yang melibatkan gen MLL pada bayi dan proporsi ALL dengan kromosom Ph signifikan lebih tinggi pada orang dewasa serta hubungan abnormalitas ini dengan prognosis buruk pada kelompok usia tersebut sudah banyak diketahui. Gambar ini juga memperlihatkan dominasi abnormalitas sebagai faktor risiko baik: hiperdiploidi tinggi dan translokasi, t(12;21)(p13;q22); di antara pasien muda, sementara pasien dengan translokasi iAMP21 dan IGH cenderung anak yang lebih tua dan remaja8.
Gambar 5. Distribusi abnormalitas sitogenetika pada ALL berdasarkan umur. HeH: hiperploidi8. 18
Ploidi merupakan penanda prognostik penting pada ALL. Hyperdiploidi, terutama trisomi kromosom 4, 10, dan 17 (disebut “triple trisomy”), berhubungan dengan prognosis yang baik. Tingkat ketahanan hidup meningkat hingga di atas 90% pada pasien dengan penanda sitogenetika ini ditambah dengan gambaran klinis yang baik lainnya. Di sisi lain, hampir ploidi dan hipodiploidi berhubungan dengan keluaran yang buruk dan mengurangi tingkat ketahanan hidup turun hingga 20-30%21,8,22,16. Abnormalitas kromosom structural, khusunya translokasi kromosom berulang tertentu berhubungan dengan prognosis baik atau buruk. Kromosom Ph pada ALL sampai saat ini dikaitkan dengan keluaran yang buruk, tapi dengan kemoterapi intensif dan obat Imatinib Mesylate (dipasarkan oleh Novartis sebagai Gleevec / Glivec) tingkat kesembuhan telah meningkat hingga 87% 21,22.
Precursor B-Cell Acute Lymphoblastic Leukemia/Lymphoma Abnormalitas sitogenetika pada precursor B-cell lymphoblastic leukemia/lymphoma terbagi dalam kelompok sebagai berikut:
o
o
Hipodiploidi
o
Hiperdiploidi dengan <50 kromosom
o
Hiperdiploidi dengan >50 kromosom
o
Translokasi
t(9;22)(q34;q11.2); BCR/ABL1
t(variable;11q23); MLL rearranged
t(12;21)(p13;q22); TEL/AML1
t(1;19)(q23;p13.3); PBX/E2A
Pseudodiploidi1
Tabel 4. Implikasi prognostik abnormalitas genetika pada precursor B lymphoblastic leukemia anak1 Sitogenetika Perubahan genetika Frekuensi (%) Prognosis t(9;22)(q34;q11.2) BCR/ABL1 3-4 Unfavorable t(4;11)(q21;q23)a Af4/MLL 2-3 Unfavorable t(1;19)(q23;p13.3) PBX1 (PBX1/E2A) 6 (25% pre B-ALL) unfavorableb c t(12;21)(p13;q22) TEL/AML1 16-29 Favorable Hiperploidi >50 20-25 Favorable Hipoploidi 5 Unfavorable a prototype translokasi 11q23 pada precursor B-ALL; translokasi lain mungkin berhubungan dengan gen MLL b tidak semuanya unfavorable dengan terapi c terdeteksi dengan pemeriksaan smolekular 19
o
Precursor T-Lymphoblastic Leukemia/Lymphoblastic Lymphoma Abnormalitas sitogenetika pada T-ALL and T-LBL lebih jarang ditemukan daripada B-ALL. Kira-kira hanya 70% kasus T-ALL dengan kelainan kromosom dan tidak seperti pada B-ALL,
untuk T-ALL/LBL, abnormalitas sitogenetika tidak berguna untuk menentukan
risiko maupun prognosis1,8. Mature B-Cell Neoplasms Beberapa mature B-cell neoplasms memiliki karakteristik kelainan genetik yang sangat berguna dalam diagnosis banding. Penyimpangan ini termasuk t(11;14)(q13;q32) pada mantle cell lymphoma, t(14;18)(q32;q21) pada limfoma folikular, t(8;14)(q24;q32) pada limfoma Burkitt, dan t(11;18)(q21;q21) pada limfoma MALT1. Multiple Myeloma (MM) Multiple myeloma adalah penyakit heterogen dengan perjalanan penyakit serta respon terhadap terapi yang bervariasi. Multiple myeloma adalah keganasan sel plasma dengan ketidakstabilan sitogenetik dan mekanisme molekuler yang mendasari perkembangannya MM belum sepenuhnya dipahami. Multiple myeloma secara kasar dapat dibagi menjadi dua berdasarkan abnormalitas genetikanya, tumor nonhiperdiploidi yang sering memiliki translokasi kromosom yang melibatkan lokus rantai berat immunoglobulin (IGH), dan tumor hiperdiploidi yang memiliki prevalensi translokasi IGH lebih rendah dan, secara umum, memiliki prognosis lebih baik16. KESIMPULAN Abnormalitas kromosom yang didapat merupakan penyebab molekular utama keganasan hematologi. Delesi, translokasi, amplifikasi yang merupakan perubahan klonal dalam kariotipe dapat terdeteksi pada sebagian besar kasus keganasan hematologi. Teknik sitogenetika seperti sitogenetika konvensional dan FISH masih merupakan baku emas dalam mendeteksi abnormalitas tersebut. Pada abad XXI ini, tatalaksana keganasan hematologi seharusnya menggabungkan berbagai pemeriksaan mulai dari gambaran klinis, gambaran sumsum tulang, immunophenotyping dan analisis sitogenetika baik konvensional maupun molekular sesuai dengan panduan WHO sehingga tatalaksananya dapat dilakukan secara komprehensif dan semakin mendekatkan kita pada masa personalised and targeted theraph5.
20
DAFTAR PUSTAKA 1.
Gersen SL, Keagle MB. The Principles of Clinical Cytogenetic. 2nd ed. Totowa, NJ: Humana Press Inc; 2005.
2.
Hardi F, Sudoyo AW. Cytogenetics in oncology : From hematologic malignancies to solid tumors. Med J Indones. 2009;18(1):69–75.
3.
Micale MA. Classical and Molecular Cytogenetic Analysis of Hematolymphoid Disorders. In: Crisan D, editor. Hematopathology: Genomic Mechanisms of Neoplastic Diseases [Internet]. Totowa, NJ: Humana Press; 2011 [cited 2015 Jan 12]. p. 39–79. Available from: http://link.springer.com/10.1007/978-1-60761-262-9
4.
Kearney L, Horsley SW. Molecular cytogenetics in haematological malignancy: current technology and future prospects. Chromosoma [Internet]. 2005 Sep [cited 2015 Jan 12];114(4):286–94. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16003502
5.
Mały E, Nowak J, Januszkiewicz-Lewandowska D. Cytogenetics in Hematooncology. In: Tirunilai PP, editor. Recent Trends in Cytogenetic Studies. InTech; 2012. p. 57–70.
6.
Smeets DFCM. Historical prospective of human cytogenetics : from microscope to microarray. Clin Biochem. 2004;37:439–46.
7.
Ponnuraj KT. Cytogenetic Techniques in Diagnosing Genetic Disorders. In: Ikehara DK, editor. Advances in the Study of Genetic Disorders [Internet]. 2011. Available from: http://www.intechopen.com/books/advances-in-the-study-of-genetic-disorders/cytogenetictechniques-in- diagnosing-genetic-disorders
8.
Harrison CJ. Cytogenetics of paediatric and adolescent acute lymphoblastic leukaemia. Br J Haematol [Internet]. 2009 Jan [cited 2015 Jan 23];144(2):147–56. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19006567
9.
Swansbury J. Cytogenetic Studies in Hematologic Malignancies. Methods in Molecular Biology: Cancer Cytogenetics: Methods and Protocols [Internet]. 2003. p. 9–23. Available from: http://www.springer.com/978-1-58829-080-9
10.
Moore CM, Best RG. Chromosome Preparation and Banding. Encyclopedia of Life sciences [Internet]. 2001;1–7. Available from: www.els.net
11.
Kolialexi A, Tsangaris GTH, Kitsiou S, Kanavakis E, Mavrou A. Impact of Cytogenetic and Molecular Cytogenetic Studies on Hematologic Malignancies. Anticancer Res. 2005;2984:2979–83.
12.
Vorsanova SG, Yurov YB, Iourov IY. Human interphase chromosomes : a review of available molecular cytogenetic technologies. Mol Cytogenet. 2010;3(1):1–15.
13.
Charles Ming-Lok Chan EP-TL. Clinical Applications of Molecular Technologies in Hematology. J Med Diagnostic Methods [Internet]. 2013 [cited 2015 Feb 2];02(04):2–7. Available from: http://www.omicsgroup.org/journals/clinical-applications-of-moleculartechnologies-in-hematology-2168-9784.1000130.php?aid=18953
21
14.
Najfeld V. Conventional and Molecular Cytogenetic Basis of Hematologic Malignancies. Hematology ed 6th [Internet]. Sixth Edit. Elsevier Inc.; p. 728–80. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/B978-1-4377-2928-3.00054-X
15.
Haematology G, Force T, Members WP, Haematology C, Force T. The role of cytology , cytochemistry , immunophenotyping and cytogenetic analysis in the diagnosis of haematological neoplasms. Clin Lab Haem. 1996;18:231–6.
16.
Simons A, Sikkema-Raddatz B, de Leeuw N, Konrad NC, Hastings RJ, Schoumans J. Genome-wide arrays in routine diagnostics of hematological malignancies. Hum Mutat [Internet]. 2012 Jun [cited 2015 Jan 29];33(6):941–8. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22488943
17.
Brien SO, Radich JP, Abboud CN, Akhtari M, Altman JK, Berman E, et al. Chronic Myelogenous Leukemia, Version 1.2014: Featured Updates to the NCCN Guidelines. J Natl Compr Canc Netw. 2013;11(11):1327–40.
18.
Nybakken GE, Bagg A. The Genetic Basis and Expanding Role of Molecular Analysis in the Diagnosis , Prognosis , and Therapeutic Design for Myelodysplastic Syndromes. J Mol Diagnostics [Internet]. American Society for Investigative Pathology and the Association for Molecular Pathology; 2014;16(2):145–58. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jmoldx.2013.11.005
19.
Betz BL, Hess JL. Acute Myeloid Leukemia Diagnosis in the 21st Century. Arch Pathol Lab Med. 2010;134:1427–33.
20.
Dohner H, Estey EH, Amadori S, Appelbaum FR, Bu T, Burnett AK, et al. Review article Diagnosis and management of acute myeloid leukemia in adults : recommendations from an international expert panel , on behalf of the European LeukemiaNet. Blood J. 2010;115(3):453–75.
21.
Szychot E, Brodkiewicz A. How Have Advances in Our Understanding Leukaemia Led to Improved Targeted Therapies. Adv Clin Exp Med. 2014;23(3):469–74.
22.
Faderi S, Kantarjian HM, Talpaz M, Estrov Z. Clinical Significance of Cytogenetic Abnormalities in Adult Acute Lymphoblastic Leukemia. J Am Soc Hematol. 1998;91(11):3995–4019.
22