Hematologi dan Onkologi “Ca Colorectal” Mangara Wahyu Charros 102009232 Fakultas KedokteranUniversitas Kristen Krida Wacana (UKRIDA) Jalan Arjuna Utara No 6 – Jakarta Barat 11470
[email protected]
PENDAHULUAN Saat ini kanker masih merupakan salah satu masalah kesehatan di Indonesia. Masyarakat masih berpendapat bahwa kanker merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Meskipun organisasi kesehatan dunia WHO telah menyatakan bahwa sepertiga penyakit kanker dapat disembuhkan dan sepertiga lainnya dapat dilakukan usaha pencegahan dan sepertiga lainnya dapat dilakukan pengurangan penderitaan.1 Tujuan dari pengobatan kanker adalah mencapai kesembuhan. Kesembuhan sangat ditentukan oleh jenis kanker dan stadium penyakit saat diagnosis dibuat. Banyak penderita kanker lanjut baru dating ke dokter, sehingga kesembuhan tidak dapat dicapai. Keadaan ini terjadi karena kewaspadaan terhadap penyakit kanker masih rendah. Pemahaman tentang perkembangan penyakit ini belum banyak diketahui. Kanker kolorektal adalah kanker usus besar yang tersebar diseluruh dunia. Kanker kolorektal ini sering ditemukan dalam masyarakat dan merupakan salah satu kanker yang dapat disembuhkan dan dicegah perkembangannya. Teknologi dan kemampuan untuk menemukannya dalam stadium dini telah banyak dimiliki oleh
Rumah Sakit di Indonesia. Sudah selayaknya kita berusaha meningkatkan pemahaman tentang penyakit ini sehingga upaya menemukan kasus dalam stadium dini dapat tercapai. Tujuan dari pengobatan kanker adalah mencapai kesembuhan. Kesembuhan sangat ditentukan oleh jenis kanker dan stadium penyakit saat diagnosis dibuat. Banyak penderita kanker lanjut baru datang ke dokter, sehingga kesembuhan tidak dapat dicapai. Keadaan ini terjadi karena kewaspadaan terhadap penyakit kanker masih rendah. Pemahaman tentang perkembangan penyakit ini belum banyak diketahui. Insidens kanker kolorektal di Indonesia cukup tinggi, demikian juga angka kematiannya.Pada tahun 2002 kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada kasus kanker yang terdapat pada pria, sedangkan pada wanita kanker kolorektal menduduki peringkat ketiga dari semua kasus kanker.Meskipun belum ada data yang pasti, tetapi dari berbagai laporan di Indonesia terdapat kenaikan jumlah kasus. Data dari Depkes didapati angka 1,8 per 100.000 penduduk di negara barat, perbandingan insiden laki-laki : perempuan = 3 : 1, kurang dari 50 % ditemukan di rektosigmoid, dan merupakan penyakit usia lanjut. Eropa sebagai salah satu negara maju dengan angka insiden kanker kolorektal yang tinggi.Pada tahun 2004 terdapat 2.886.800 insiden dan 1.711.000 kematian karena kanker, kanker kolorektal menduduki peringkat kedua pada angka insiden dan mortalitas.
Definisi Kanker Kolorektal Kanker kolorektal ditujukan pada tumor ganas yang berasal dari mukosa kolon atau rektum. Kebanyakan kanker kolorektal berkembang dari polip, oleh karena itu polpektomi kolon mampu menurunkan kejadian kanker kolorektal. Polip kolon dan kanker pada stadium dini terkadang tidak menunjukkan gejala. Secara histopatologis, hampir semua kanker usus besar adalah adenokarsinoma (terdiri atas epitel kelenjar) dan dapat mensekresi mukus yang jumlahnya berbeda-beda. Tumor dapat menyebar melalui infiltrasi langsung ke struktur yang berdekatan, seperti ke dalam kandung kemih, melalui pembuluh limfe, dan melalui aliran darah, biasanya ke hati karena kolon mengalirkan darah ke sistem portal.1
Anatomi Kolon dan Rektum Usus besar atau kolon berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 m (5 kaki) yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil, yaitu sekitar 6,5 cm (2,5 inci), tetapi makin dekat anus diameternya semakin kecil.1 Usus besar terdiri dari 6 bagian, yaitu sekum, kolon ascenden, kolon transversum, kolon descenden, kolon sigmoid dan rektum. Berbeda dengan mukosa usus halus, pada mukosa kolon tidak dijumpai vili dan kelenjar biasanya lurus-lurus dan teratur. Sekum Merupakan kantong yang terletak di bawah muara ileum pada usus besar. Panjang dan lebarnya kurang lebih 6 cm dan 7,5 cm. Sekum terletak pada fossa iliaka kanan di atas setengah bagian lateralis ligamentum inguinal. Biasanya sekum seluruhnya dibungkus oleh peritoneum sehingga dapat bergerak bebas, tetapi tidak mempunyai mesenterium; terdapat perlekatan ke fossa iliaka di sebelah medial dan lateral melalui lipatan peritoneum yaitu plica caecalis, menghasilkan suatu kantong peritoneum kecil, recessus retrocaecalis.2
Gambar 2.1. Anatomi Kolon dan Rektum
Kolon ascenden Bagian ini memanjang dari sekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah kanan abdomen. Panjangnya 13 cm, terletak di bawah abdomen sebelah kanan, dan di bawah hati membelok ke kiri. Lengkungan ini disebut fleksura hepatica (fleksura coli dextra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum. Kolon Transversum Merupakan bagian usus besar yang paling besar dan paling dapat bergerak bebas karena tergantung pada mesokolon, yang ikut membentuk omentum majus. Panjangnya antara 45-50 cm, berjalan menyilang abdomen dari fleksura coli dekstra sinistra yang letaknya lebih tinggi dan lebih ke lateralis. Letaknya tidak tepat melintang (transversal) tetapi sedikit melengkung ke bawah sehingga terletak di regio umbilikalis.2
Kolon descenden Panjangnya lebih kurang 25 cm, terletak di bawah abdomen bagian kiri, dari atas ke bawah, dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung dengan sigmoid, dan dibelakang peritoneum. Kolon sigmoid Disebut juga kolon pelvinum. Panjangnya kurang lebih 40 cm dan berbentuk lengkungan huruf S. Terbentang mulai dari apertura pelvis superior (pelvic brim) sampai peralihan menjadi rektum di depan vertebra S-3. Tempat peralihan ini ditandai dengan berakhirnya ketiga taeniae coli, dan terletak + 15 cm di atas anus. Kolon sigmoideum tergantung oleh mesokolon sigmoideum pada dinding belakang pelvis sehingga dapat sedikit bergerak bebas..2 Rektum Bagian ini merupakan lanjutan dari usus besar, yaitu kolon sigmoid dengan panjang sekitar 15 cm. Rektum memiliki tiga kurva lateral serta kurva dorsoventral. Mukosa dubur lebih halus dibandingkan dengan usus besar (Saladin, 2008). Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvic dan terfiksir, sedangkan 1/3 bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini dipisahkan oleh peritoneum reflectum dimana bagian anterior lebih panjang dibanding bagian posterior. Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal, dikelilingi oleh spinkter ani (eksternal dan internal ) serta otot-otot yang mengatur pasase isi rektum ke dunia luar.2
Fungsi Kolon dan Rektum Usus besar atau kolon mengabsorbsi 80% sampai 90% air dan elektrolit dari kimus yang tersisa dan mengubah kimus dari cairan menjadi massa semi padat. Usus besar hanya memproduksi mukus. Sekresinya tidak mengandung enzim atau hormon pencernaan. Sejumlah bakteri dalam kolon mampu mencerna sejumlah
kecil selulosa dan memproduksi sedikit kalori nutrien bagi tubuh dalam setiap hari. Bakteri juga memproduksi vitamin K, riboflavin, dan tiamin, dan berbagai gas. Usus besar mengekskresi zat sisa dalam bentuk feses .3 Fungsi utama dari rektum dan kanalis anal ialah untuk mengeluarkan massa feses yang terbentuk dan melakukan hal tersebut dengan cara yang terkontrol. Fungsi rektum berhubungan dengan defekasi sebagai hasil refleks. Apabila feses masuk ke dalam rektum, terjadi peregangan rektum sehingga menimbulkan gelombang peristaltik pada kolon descendens dan kolon sigmoid mendorong feses ke arah anus, sfingter ani internus dihambat dan sfingter ani internus melemas sehingga terjadi defekasi. Feses tidak keluar secara terus menerus dan sedikit demi sedikit dari anus berkat adanya kontraksi tonik otot sfingter ani internus dan externus .4
Epidemiologi Kanker Kolorektal Distribusi dan Frekuensi
Sekitar 75% dari kanker kolorektal terjadi pada orang yang tidak memiliki faktor risiko tertentu. Sisanya sebesar 25% kasus terjadi pada orang dengan faktor-faktor risiko yang umum, sejarah keluarga atau pernah menderita kanker kolorektal atau polip, terjadi sekitar 15-20% dari semua kasus. Faktor-faktor risiko penting lainnya adalah kecenderungan genetik tertentu, seperti Hereditary Nonpoliposis Kolorektal Cancer (HNPCC; 4-7% dari semua kasus) dan Familial Adenomatosa Poliposis (FAP, 1%) serta Inflammatory Bowel Disease (IBD; 1% dari semua kasus).
Tempat dan Waktu Penyakit kanker kolorektal paling banyak ditemukan di Amerika Utara, Australia, Selandia Baru dan Eropa. Kanker kolorektal paling sedikit dijumpai di Afrika. Kanker kolorektal merupakan penyebab kematian keempat terbanyak dari seluruh pasien kanker di Amerika Serikat. Lebih dari 150.000 kasus terdiagnosis setiap tahunnya dan angka kematiannya mencapai 60.000. Pasien kanker kolorektal di
Amerika Serikat umumnya berusia di atas 60 tahun dengan angka kematian tertinggi pada usia 55 tahun .Pada kebanyakan kasus kanker, terdapat variasi geografik pada insidens yang ditemukan, yang mencerminkan perbedaan sosial ekonomi dan kepadatan penduduk, terutama antara negara maju dan berkembang.4,5 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi kejadian kanker kolorektal yaitu: Umur Kanker kolorektal sering terjadi pada usia tua. Lebih dari 90% penyakit ini menimpa penderita di atas usia 40 tahun, dengan insidensi puncak pada usia 60-70 tahun (lansia). Kanker kolorektal ditemukan di bawah usia 40 tahun yaitu pada orang yang memiliki riwayat kolitis ulseratif atau poliposis familial.1 Faktor Genetik Meskipun sebagian besar kanker kolorektal kemungkinan disebabkan oleh faktor lingkungan, namun faktor genetik juga berperan penting. Ada beberapa indikasi bahwa ada kecenderungan faktor keluarga pada terjadinya kanker kolorektal. Risiko terjadinya kanker kolorektal pada keluarga pasien kanker kolorektal adalah sekitar 3 kali dibandingkan pada populasi umum. Banyak kelainan genetik yang dikaitkan dengan keganasan kanker kolorektal diantaranya sindrom poliposis. Namun demikian sindrom poliposis hanya terhitung 1% dari semua kanker kolorektal. Selain itu terdapat Hereditary Non-Poliposis Kolorektal Cancer (HNPCC) atau Syndroma Lynch terhitung 2-3% dari kanker kolorektal4. Faktor Lingkungan Kanker kolorektal timbul melalui interaksi yang kompleks antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Sejumlah bukti menunjukkan bahwa lingkungan berperan penting pada kejadian kanker kolorektal. Risiko mendapat kanker kolorektal meningkat pada masyarakat yang bermigrasi dari wilayah dengan insiden kanker kolorektal yang rendah ke wilayah dengan risiko kanker kolorektal yang tinggi. Hal ini menambah bukti bahwa lingkungan sentrum perbedaan pola makanan berpengaruh pada karsinogenesis.4
Faktor Makanan Makanan mempunyai peranan penting pada kejadian kanker kolorektal. Mengkonsumsi serat sebanyak 30 gr/hari terbukti dapat menurunkan risiko timbulnya kanker kolorektal sebesar 40% dibandingkan orang yang hanya mengkonsumsi serat 12 gr/hari. Orang yang banyak mengkonsumsi daging merah (misal daging sapi, kambing) atau daging olahan lebih dari 160 gr/hari (2 porsi atau lebih) akan mengalami peningkatan risiko kanker kolorektal sebesar 35% dibandingkan orang yang mengkonsumsi kurang dari 1 porsi per minggu.
Menurut Daldiyono et al. (1990), dikatakan bahwa serat makanan terutama yang terdiri dari selulosa, hemiselulosa dan lignin sebagian besar tidak dapat dihancurkan oleh enzim-enzim dan bakteri di dalam tractus digestivus. Serat makanan ini akan menyerap air di dalam kolon, sehingga volume feses menjadi lebih besar dan akan merangsang syaraf pada rektum, sehingga menimbulkan keinginan untuk defekasi. Dengan demikian tinja yang mengandung serat akan lebih mudah dieliminir atau dengan kata lain transit time yaitu kurun waktu antara masuknya makanan dan dikeluarkannya sebagai sisa makanan yang tidak dibutuhkan tubuh menjadi lebih singkat. Waktu transit yang pendek, menyebabkan kontak antara zat-zat iritatif dengan mukosa kolorektal menjadi singkat, sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit di kolon dan rektum. Di samping menyerap air, serat makanan juga menyerap asam empedu sehingga hanya sedikit asam empedu yang dapat merangsang mukosa kolorektal, sehingga timbulnya karsinoma kolorektal dapat dicegah. Poliposis Familial Poliposis Familial diwariskan sebagai sifat dominan autosom. Insiden pada populasi umum adalah satu per 10.000. Jumlah total polip bervariasi 100-10.000 dalam setiap usus yang terserang. Bentuk polip ini biasanya mirip dengan polip adenomatosun bertangkai atau berupa polip sesil, akan tetapi multipel tersebar pada mukosa kolon. Sebagian dari poliposis ini asimtomatik dan sebagian disertai keluhan sakit di abdomen, diare, sekresi lendir yang meningkat dan perdarahan
kecil yang mengganggu penderita. Polip cenderung muncul pada masa remaja dan awal dewasa dan risiko karsinoma berkembang di pasien yang tidak diobati adalah sekitar 90% pada usia 40 tahun. Polip Adenoma Polip Adenoma sering dijumpai pada usus besar. Insiden terbanyak pada umur sesudah dekade ketiga, namun dapat juga dijumpai pada semua umur dan laki-laki lebih banyak dibanding dengan perempuan. Polip adenomatosum lebih banyak pada kolon sigmoid (60%), ukuran bervariasi antara 1-3 cm, namun terbanyak berukuran 1 cm. Polip terdiri dari 3 bagian yaitu puncak, badan dan tangkai. Polip dengan ukuran 1,2 cm atau lebih dapat dicurigai adanya adenokarsinoma. Semakin besar diameter polip semakin besar kecurigaan keganasan. Perubahan dimulai dibagian puncak polip, baik pada epitel pelapis mukosa maupun pada epitel kelenjar, meluas ke bagian badan dan tangkai serta basis polip. Risiko terjadinya kanker meningkat seiring dengan meningkatnya ukuran dan jumlah polip. Adenoma Vilosa Adenoma vilosa jarang terjadi, berjumlah kurang dari 10% adenoma kolon. Terbanyak dijumpai di daerah rectosigmoid dan biasanya berupa massa papiler, soliter, tidak bertangkai dan diameter puncak tidak jauh berbeda dengan ukuran basis polip. Adenoma vilosa mempunyai insiden kanker sebesar 30-70%. Adenoma dengan diameter lebih dari 2 cm, risiko menjadi kanker adalah 45%. Semakin besar diameter semakin tinggi pula insiden kanker.6 Kolitis Ulserosa Perkiraan kejadian kumulatif dari kanker kolorektal yang berhubungan dengan kolitis ulserosa adalah 2,5% pada 10 tahun, 7,6% pada 30 tahun, dan 10,8% pada 50 tahun.Kolitis ulserosa dimulai dengan mikroabses pada kripta mukosa kolon dan beberapa abses bersatu membentuk ulkus. Pada stadium lanjut timbul pseudopolip yaitu penonjolan mukosa kolon yang ada diantara ulkus. Perjalanan penyakit yang sudah lama, berulang-ulang, dan lesi luas disertai adanya
pseudopolip merupakan resiko tinggi terhadap karsinoma. Pada kasus demikian harus dipertimbangkan tindakan kolektomi. Tujuannya adalah mencegah terjadinya karsinoma (preventif) dan menghindari penyakit yang sering berulangulang. Karsinoma yang timbul sebagai komplikasi kolitis ulserosa sifatnya lebih ganas, cepat tumbuh dan metastasis.
Gambaran Klinis Kanker Kolorektal Karsinoma kolon dan rektum dapat menyebabkan ulserasi, atau perdarahan, menimbulkan obstruksi bila membesar, atau menembus (invasi) keseluruh dinding usus dan kelenjar-kelenjar regional. Kadang-kadang bisa terjadi perforasi dan menimbulkan abses di peritonium. Keluhan dan gejala tergantung juga dari lokasi dan besarnya tumor.7 Karsinoma Kolon Sebelah Kanan Penting untuk diketahui bahwa umumnya pasien dengan karsinoma pada sekum atau pada ascending kolon biasanya memperlihatkan gejala nonspesifik seperti kekurangan zat besi (anemia). Kejadian anemia ini biasanya meningkatkan kemungkinan terjadinya karsinoma kolon yang belum terdeteksi, yang lebih cenderung berada di proksimal daripada di kolon distal. Beberapa tanda gejala yang terlihat yaitu berat badan yang menurun dan sakit perut pada bagian bawah yang relatif sering, tetapi jarang terjadi pendarahan di anus. Pada 50-60% pasien terdapat massa yang teraba di sisi kanan perut. Karsinoma kolon sebelah kiri Jika karsinoma terletak pada bagian distal, maka kemungkinan besar akan ada gangguan pada kebiasaan buang air besar, serta adanya darah di feses. Beberapa karsinoma pada transversa kolon dan kolon sigmoid dapat teraba melalui dinding perut (Jones, 1990). Karsinoma sebelah kiri lebih cepat menimbulkan obstruksi, sehingga terjadi obstipasi. Tidak jarang timbul diare paradoksikal, karena tinja yang masih encer dipaksa melewati daerah obstruksi partial.7
Karsinoma Rektum Sering terjadi gangguan defekasi, misalnya konstipasi atau diare. Sering terjadi perdarahan yang segar dan sering bercampur lendir, berat badan menurun. Perlu diketahui bahwa rasa nyeri tidak biasa timbul pada kanker rektum. Kadangkadang menimbulkan tenesmus dan sering merupakan gejala utama.
Patologi Kanker Kolorektal Karsinoma kolorektal adalah penyakit yang berasal dari sel epitel yang karena faktor herediter atau mutasi somatik memicu terjadinya pembelahan sel tanpa batas. Biar apapun precursornya, alterasi pada set genetik yang membawa kepada malignan kolorektal. Model yang dibina oleh Fearon dan Vogelstain sangat diterima sebagai prototype sekuens perkembangan kanker kolorektal. Dasar patologik bagi model ini adalah adenoma-carcinoma sekuens. Kejadian karsinoma tanpa bukti adenomatues precursor mencadangkan bahwa ada beberapa lesi displastik dapat digenerasi menjadi malignan tanpa melalui tahapan polipoid. Secara
molekular
karsinogenesis,
telah
muncul
beberapa
studi
yang
mencadangkan mekanisme evolusi kanker. Ada 2 alur patogenetik yang membawa kepada perkembangan kanker kolorektal. Kedua-duanya ada mutasi multiple tetapi yang membedakannya adalah gen yang terlibat dan mekanisme akumulasi mutasi. Alur pertama adalah APC/ β-catherin, diakibatkan oleh instabilitas kromosom yang menyebabkan akumulasi mutasi dalam satu siri onkogen dan gen tumor suppressor. Evolusi molekular dalam alur ini berlaku secara satu siri tahapan identifikasi morfologi. Pertama adalah kolon yang normal, menjadi mukosa yang beresiko, kemudian menjadi adenoma dan berkembang menjadi karsinoma. Alur kedua pula adalah alur instabilitas mikrosatelite. Alur ini dikarakteristik oleh lesi genetik pada DNA mismatch repair genes. Seperti dalam alur pertama, juga ada akumulasi mutasi, tetapi pada alur kedua melibatkan gen yang berbeda, tidak ada adenoma-carcinoma sekuens atau tahapan identifikasi morfologi. Defek DNA
repair yang disebabkan oleh inaktivasi DNA mismatch repair genes menginisiasi permulaan kanker kolorektal. Mutasi inheritan dalam gen yang terlibat dalam DNA repair bertanggungjawab untuk familial sindrom. Pada umumnya, dalam perjalanan penyakit, pertumbuhan adenokarsinoma usus besar sebelah kanan dan kiri berbeda. Adenokarsinoma usus besar kanan (sekum, kolon ascenden, transversum sampai batas fleksura lienalis), tumor cenderung tumbuh eksofitik atau polipoid. Pada permulaan, massa tumor berbentuk sesil, sama seperti tumor kolon kiri. Akan tetapi kemudian tumbuh progresif, bentuk polipoid yang mudah iritasi dengan simtom habit bowel: sakit di abdomen yang sifatnya lama. Keluhan sakit, sering berkaitan dengan makanan/minuman atau gerakan peristaltik dan kadang-kadang disertai diare ringan. Berat badan semakin menurun dan anemia karena adanya perdarahan kecil tersembunyi. Konstipasi jarang terjadi, mungkin karena volum kolon kanan lebih besar. Suatu saat dapat dipalpasi massa tumor di rongga abdomen sebelah kanan.
Karsinoma usus besar kiri (kolon transversum batas fleksura lienalis, kolon descenden, sigmoid dan rektum) tumbuh berbentuk cincin menimbulkan napkinring. Pada permulaan, tumor tampak seperti massa berbentuk sesil, kemudian tumbuh berbentuk plak melingkar yang menimbulkan obstipasi. Kemudian bagian tengah mengalami ulserasi yang menimbulkan gejala diare, tinja campur lendir dan darah, konstipasi dan tenesmus mirip dengan sindrom disentri.
Stadium Kanker Kolorektal Setelah melakukan biopsi-endoskopi dan bedah, kanker dapat diklasifikasikan. Staging secara umum sangat penting sebagai indikator prognostik. Secara umum kanker dapat dikategorikan dari stadium 1 hingga 4, tetapi untuk kanker kolorektal , dengan lebih spesifik stagingnya dikenali sebagai Dukes. Maka, stadium 1 hingga 4 berkorelasi dengan staging Duke dari A hingga D.
Tabel 2.1. Stadium Kanker Kolorektal Stadium kanker kolorektal Dukes TNM Derajat Deskripsi Histopatologi A T1N0M0 I Kanker terbatas pada mukosa/submukosa B1 T2N0M0 I Kanker mencapai muskularis B2 T3N0M0 II Kanker cenderung untuk masuk atau melewati lapisan serosa C TxN1M0 III Tumor melibatkan Kelenjar Getah Bening Regional D TxNxM1 IV Metastasis
Prognosis dari pasien kanker kolorektal berhubungan dengan dalamnya penetrasi tumor ke dinding kolon, keterlibatan kelenjar getah bening regional atau metastasis jauh. Semua variabel ini digabung sehingga dapat ditentukan sistem staging yang awalnya diperhatikan oleh Dukes.
Gambar 2.2 Stadium Kanker Kolorektal Diagnosis Kanker Kolorektal Anamnesis Meliputi perubahan pola kebiasaan defekasi, baik berupa diare ataupun konstipasi (change of bowel habit), perdarahan per anum (darah segar), penurunan berat badan, faktor predisposisi (risk factor), riwayat kanker dalam keluarga, riwayat polip usus, riwayat kolitis ulserosa, riwayat kanker payudara/ovarium, uretero sigmoidostomi, serta kebiasaan makan (rendah serat, banyak lemak).7
Pemeriksaan Fisik Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah adanya perubahan pola buang air besar (change of bowel habits), bisa diare bisa juga obstipasi. Semakin distal letak tumor semakin jelas gejala yang ditimbulkan karena semakin ke distal feses semakin keras dan sulit dikeluarkan akibat lumen yang menyempit, bahkan bisa disertai nyeri dan perdarahan, bisa jelas atau samar. Warna perdarahan sangat bervariasi, merah terang, purple, dan kadang kala merah kehitaman. Makin ke distal letak tumor warna merah makin pudar. Perdarahan sering disertai dengan lendir, kombinasi keduanya harus dicurigai adanya proses patologis pada kolorektal. Selain itu, pemeriksaan fisik lainnya yaitu adanya massa yang teraba pada fossa iliaka dextra dan secara perlahan makin lama makin membesar. Penurunan berat badan sering terjadi pada fase lanjut, dan 5% kasus sudah metastasis jauh ke hepar.8 Pemeriksaan Laboratorium Meliputi pemeriksaan tinja apakah ada darah secara makroskopis/mikroskopis atau ada darah samar (occult blood) serta pemeriksaan CEA (carcino embryonic antigen). Kadar yang dianggap normal adalah 2,5-5 ngr/ml. Kadar CEA dapat meninggi pada tumor epitelial dan mesenkimal, emfisema paru, sirhosis hepatis, hepatitis, perlemakan hati, pankreatitis, kolitis ulserosa, penyakit crohn, tukak peptik, serta pada orang sehat yang merokok. Peranan penting dari CEA adalah bila diagnosis karsinoma kolorektal sudah ditegakkan dan ternyata CEA meninggi yang kemudian menurun setelah operasi maka CEA penting untuk tindak lanjut.7 Double-Contrast Barium Enema Pemeriksaan dengan barium enema dapat dilakukan dengan Single contras procedure (barium saja) atau Double contras procedure (udara dan barium). Kombinasi udara dan barium menghasilkan visualisasi mukosa yang lebih detail. Akan tetapi barium enema hanya bisa mendeteksi lesi yang signifikan (lebih dari 1 cm).42 DCBE memiliki spesifisitas untuk adenoma yang besar 96% dengan nilai prediksi negatif 98%. Metode ini kurang efektif untuk mendeteksi polips di
rektosigmoid-kolon. Angka kejadian perforasi pada DCBE 1/25.000 sedangkan pada Single Contras Barium Enema (SCBE) 1/10.000. 9 Fleksibel Sigmoidoskopi Fleksibel Sigmoidoskopi (FS) merupakan bagian dari endoskopi yang dapat dilakukan pada rektum dan bagian bawah dari kolon sampai jarak 60 cm (sigmoid) tanpa dilakukan sedasi. Prosedur ini sekaligus dapat melakukan biopsi. Hasilnya terbukti dapat mengurangi mortalitas akibat karsinoma kolorektal hingga 60%-80% dan memiliki sensistivitas yang hampir sama dengan kolonoskopi 60%70% untuk mendeteksi karsinoma kolorektal. Walaupun jarang, FS juga mengandung resiko terjadinya perforasi 1/20.000 pemeriksaan (BCMA, 2008). Intepretasi hasil biopsi dapat menentukan apakah jaringan normal, prekarsinoma, atau jaringan karsinoma. American Cancer Society (ACS) merekomendasikan untuk dilakukan kolonoskopi apabila ditemukan jaringan adenoma pada pemeriksaan FS. Sedangkan hasil yang negatif pada pemeriksaan FS, dilakukan pemeriksaan ulang setelah 5 tahun.10 Endoskopi dan biopsi Endoskopi dapat dikerjakan dengan rigid endoscope untuk kelainan-kelainan sampai 25 cm – 30 cm, dengan fibrescope untuk semua kelainan dari rektum sampai sekum. Biopsi diperlukan untuk menentukan secara patologis anatomis jenis tumor.7 Kolonoskopi Kolonoskopi adalah prosedur dengan menggunakan tabung fleksibel yang panjang dengan tujuan memeriksa seluruh bagian rektum dan usus besar. Kolonoskopi umumnya dianggap lebih akurat daripada barium enema, terutama dalam mendeteksi polip kecil. Jika ditemukan polip pada usus besar, maka biasanya diangkat dengan menggunakan kolonoskop dan dikirim ke ahli patologi untuk kemudian diperiksa jenis kankernya. Tingkat sensitivitas kolonoskopi dalam mendiagnosis adenokarsinoma atau polip kolorektal adalah 95%. Namun tingkat kualitas dan kesempurnaan prosedur pemeriksaannya sangat tergantung pada
persiapan kolon, sedasi, dan kompetensi operator. Kolonoskopi memiliki resiko dan komplikasi yang lebih besar dibandingkan FS. Angka kejadian perforasi pada skrining karsinoma kolorektal antara 3-61/10.000 pemeriksaan, dan angka kejadian perdarahan sebesar 2-3/1.000 pemeriksaan.11
Colok dubur Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap penderita dengan tujuan untuk menentukan keutuhan spinkter ani, ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur yang harus dinilai adalah pertama, keadaan tumor: ekstensi lesi pada dinding rektum. Kedua, mobilitas tumor untuk mengetahui prospek terapi pembedahan. Ketiga, ekstensi penjalaran yang diukur dari ukuran tumor dan karakteristik pertumbuhan primer, mobilitas atau fiksasi lesi.
Penatalaksanaan Kanker Kolorektal Pembedahan Pembedahan adalah satu satunya cara yang telah secara luas diterima sebagai penanganan kuratif untuk kanker kolorektal. Pembedahan kuratif harus mengeksisi dengan batas yang luas dan maksimal regional lymphadenektomi sementara mempertahankan fungsi dari kolon sebisanya. Untuk lesi diatas rektum, reseksi tumor dengan minimum margin 5 cm bebas tumor.12 Terapi Radiasi Terapi radiasi merupakan penanganan kanker dengan menggunakan x-ray berenergi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terdapat dua cara pemberian terapi radiasi, yaitu dengan eksternal radiasi dan internal radiasi. Pemilihan cara radiasi diberikan tergantung pada tipe dan stadium dari kanker. Eksternal radiasi (external beam therapy) merupakan penanganan dimana radiasi tingkat tinggi secara tepat diarahkan pada sel kanker. Sejak radiasi digunakan untuk membunuh sel kanker, maka dibutuhkan pelindung khusus untuk melindungi jaringan yang sehat
disekitarnya. Terapi radiasi tidak menyakitkan dan pemberian radiasi hanya berlangsung beberapa menit. Internal radiasi (brachytherapy, implant radiation) menggunakan radiasi yang diberikan ke dalam tubuh sedekat mungkin pada sel kanker. Substansi yang menghasilkan radiasi disebut radioisotop, bisa dimasukkan dengan cara oral, parenteral atau implant langsung pada tumor. Internal radiasi memberikan tingkat radiasi yang lebih tinggi dengan waktu yang relatif singkat bila dibandingkan dengan eksternal radiasi, dan beberapa penanganan internal radiasi secara sementara menetap didalam tubuh.
Adjuvant Kemoterapi Kanker kolon telah banyak resisten pada hampir sebagian besar agen kemoterapi. Bagaimanapun juga kemoterapi yang diikuti dengan ekstirpasi dari tumor secara teoritis seharusnya dapat menambah efektifitas dari agen kemoterapi. Kemoterapi sangat efektif digunakan ketika kehadiran tumor sangat sedikit dan fraksi dari sel maligna yang berada pada fase pertumbuhan banyak.12
Pencegahan Kanker Kolorektal Pencegahan Primordial Dilakukan dengan peningkatan pendidikan kesehatan kepada masyarakat dalam bentuk kampanye cara makan sehat yaitu makan seimbang baik dalam menu maupun
jumlah
makanan
yang
dikonsumsi
setiap
hari
sehingga
mengurangi/mencegah keterpaparan terhadap bahan makanan yang bersifat karsinogenik dan kokarsinogenik. Selain itu, pengaturan pola makan juga dapat menghindari obesitas, karena obesitas juga diketahui merupakan faktor risiko untuk kanker kolorektal.13 Pencegahan Primer Pencegahan primer ialah usaha untuk mencegah timbulnya kanker dengan menghilangkan dan/atau melindungi tubuh dari kontak dengan karsinogen dan
faktor-faktor lain yang dapat menimbulkan kanker. Beberapa cara yang dapat dilakukan dalam pencegahan primer kanker kolorektal yaitu: a) Menghentikan atau mengubah kebiasaan hidup yang memperbesar risiko terjadinya kanker kolorektal seperti menghindari makan makanan yang tinggi lemak (khususnya lemak hewan) dan rendah kalsium, folat, mengkonsumsi makanan berserat dengan jumlah cukup dan mengurangi konsumsi daging merah. Kebalikan dengan daging merah/daging olahan, konsumsi ikan dapat menurunkan risiko. b) Mengubah kebiasaan mengkonsumsi alkohol karena selain merusak hepar, konsumsi minuman beralkohol juga berhubungan dengan peningkatan risiko kanker kolorektal. Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan skrining. Strategi skrining pada orang yang tidak memperlihatkan gejala dianjurkan yaitu laki-laki dan perempuan berusia lebih dari 40 tahun harus menjalani pemeriksaan rektal digital (rektal toucher) setiap tahun dan orang yang berusia di atas 50 tahun harus menjalani pemeriksaan darah samar feses setiap tahun dan pemeriksaan sigmoidoskopi setiap 3 hingga 5 tahun setelah 2 kali pemeriksaan awal yang berjeda setahun. Orang yang beresiko tinggi karena memiliki riwayat keluarga terkena kanker kolorektal harus dipantau ketat dengan melakukan skrining teratur.14
DAFTAR PUSTAKA
1. Lindseth, N.G. 2006. Gangguan Usus Besar dalam Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Volume I. Edisi 6. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). 2. Widjaja, P., Wibowo, D.S. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu, 342-344, 455-460.
3. Sloane, E. 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC). 4. Abdullah, M. 2007. Tumor Kolorektal. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S. (ed). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Cetakan Kedua. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 373-378.
5. Syamsuhidajat, R. dan Jong W.D. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd Edition. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 615-681. 6. Chandrasoma, P., Clive, R., Taylor. 2005. Ringkasan Patologi Anatomi Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC), 566-569. 7. Simadibrata, R. 1997. Karsinoma Kolorektal dalam Gastroenterologi Hepatologi. Cetakan Kedua. Jakarta: Sagung Seto. 8. Corman, M.L. 2005. Carcinoma of The Colon; Colon and Rectal Surgery. 5th Edition. Lippincott Williams & Wilkins Publisher. 9. Heiken, J.P., et al. 2006. Current Colorectal Cancer Screening Recomendation. Colorectal Cancer Screening. American College of Radiology (ACR), 3-6. 10. Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ). 2006. Screening for Colorectal Cancer. In: Guide to Clinical Preventive Services. Available from: http://www.ahrq.gov/clinic/pocketgd.pdf. [Accessed 18 April 2011]. 11. British Columbia Medical Association. 2008. Detection of Colorectal Neoplasm in Asymptomatic Patients. Ministry of Health Services. Available
from:
http://www.bcguidelines.ca/pdf/colorectal_det.pdf.
[Accessed 18 April 2011].
12. Schwartz, S.I. 2005. Schwartz’s Principles of Surgery 8th Edition. United States of America (USA): The McGraw-Hill Companies, 1041-1051.
13. Soeripto. 2003. Gastro-intestinal Cancer in Indonesia. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/14728585. [Accessed on 10 April 2011] 14. Sukardja, I.G. 2000. Onkologi Klinik. Edisi 2. Surabaya: Airlangga University Press.