Sita berperasaan perempuan Makalah Workshop on Old Javanese Ramayana: Texts, Culture, and History
Titik Pudjiastuti (FIB-UI)
ANRC, Gonda Foundation, EFEO, KITLV Jakarta Jakarta, 26--28 Mei 2009
Sita berperasaan perempuan
1. Pengantar Ramayana dalam bahasa Sansekerta berarti the path of Rama, mempunyai makna ganda sebagai perjalanan hidup atau biografi Rama dan ajaran Rama. Ramayana Sansekerta konon diciptakan oleh Walmiki yang hidup pada abad pertama Masehi. Epos agung Rama dan Sita dalam bahasa Sansekerta ini disusun dalam bentuk sanjak dua sloka, terdiri atas 24 000 bait yang dibagi ke dalam 7 buku (Toha dalam Imam Soepardi, tt: 7). Keindahan Ramayana telah menyebabkan karya agung ini diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ramayana kakawin berbahasa Jawa Kuna dikenal sejak abad ke X dan sejak abad ke XVI kisah Rama di Nusantara ditemukan dalam berbagai bahasa dan bentuk seperti di Malaya Hikayat Sri Rama,1 di Jawa Serat Rama Jarwa, Rama Keling, lakon-lakon wayang, dan lain sebagainya (Zoetmulder, 1983:288). Berkenaan dengan masa penciptaannya, Poerbatjaraka (1952: 2) dan Santoso (1980: 17) berpendapat bahwa karya pusi ini ditulis pada sekitar tahun 820—832 Çaka, pada masa Raja Dyah Balitung yang berkeraton di Mataram. Berkenaan dengan hal ini, Zoetmulder (1983: 294) berbeda pendapat, menurutnya baik secara kronologis maupun geografis Ramayana Jawa Kuna adalah satu-satunya kakawin yang ditulis pada masa sebelum jaman mpu Sindok. Ditilik dari prototip, kosa kata, tidak adanya prolog (manggala) di bagian awal, dan masih mempertahankan sifat Indianya, seperti latar cerita adalah India bukan Jawa, menunjukkan bahwa Ramayana kakawin Jawa Kuna ditulis di Jawa Tengah. Dibandingkan dengan Ramayana Sansekerta, Ramayana kakawin Jawa Kuna jauh lebih pendek, karena Ramayana Jawa Kuna hanya disusun dalam 2830 bait yang dibagi ke dalam 26 pupuh. Perbedaan lainnya adalah dalam Ramayana Sansekerta Sita setelah kembali ke Ayodya berpisah lagi dengan Rama tetapi dalam Ramayana Jawa Kuna Sita terus berkumpul bersama Rama. Berdasarkan hal ini Poerbatjaraka (1952: 3) menyatakan bahwa Ramayana Jawa Kuna jelas tidak bersumber pada Ramayana Walmiki.
1
Lihat Hikayat Sri Rama. Suntingan Naskah disertai Telaah, Amanat dan Struktur karya Achadiati Ikram, Jakarta: Universitas Indonesia, 1980.
Keindahan Ramayana Kakawin Jawa Kuna 2 telah lama menarik perhatian para peneliti, diantaranya Kern (1900) menerbitkan edisi kritis Ramayana Kakawin, Juynboll (1922 – 1936) membuat terjemahan Ramayana Kakawin ke dalam bahasa Belanda, sedangkan Hooykaas (1955) dan Uhlenbeck (1989) membicarakan masalah interpolasi dalam Ramayana Kakawin. Zoetmulder (1974) menyajikan ringkasan cerita dan memberikan ulasan mengenai prototip, waktu penulisan dan pengarang Ramayana Jawa Kuna dan Soewito Santoso (1980) menyajikan suntingan teks Ramayana Kakawin. Meskipun sampai kini teks Ramayana Kakawin Jawa kuna masih tetap menarik perhatian para peneliti Jawa Kuna dan kajian-kajian teks masih terus dilakukan. tetapi pada kesempatan ini saya akan membicarakan tokoh Sita. Zoetmulder (1982: 1496) mengatakan Ramayana adalah The story of Rama 'kisah Rama' dan bukan kisah Rama dan Sita. Padahal inti keindahan cerita Ramayana adalah kisah cinta kedua mahluk ini. Sebagai pasangan Rama seorang manusia titisan dewa,3 tentunya Sita bukan manusia biasa, tetapi andaikata seorang manusia, kiranya Sita adalah manusia pilihan. Jika demikian, siapa dan bagaimanakah Sita sebenarnya ? Meskipun fokus pembicaraan ini adalah Sita, seorang manusia perempuan, tetapi perlu saya sampaikan lebih dahulu bahwa pembicaraan ini bukan didasarkan pada paham feminis yang mempermasalahkan persamaan hak perempuan dengan laki-laki dihadapan hukum (Ikram, 1997: 196) atau usaha untuk membaca Sita dari sudut pandang perempuan, melainkan hanya untuk melihat pencitraan Sita dalam puisi agung Ramayana. Untuk mengetahui hal itu, saya menggunakan teks Ramayana kakawin yang disunting oleh Soewito Santoso (1980) sebagai bahan kajian.
2. Siapakah Sita ?
2
Mengenai keindahan Ramayana, Poerbatjaraka (Kapustakan Djawi, Djambatan, 1952: 4) menyatakan kekagumannya dengan mengatakan: serat Ramayana punika sae sanget, kathah piwulangipun, sae-sae rerengganipun, tur basanipun bregas. Sajeg kula gesang dereng nate maos serta Jawi ingkang saenipun bab basa, rerenggan lsp kados serat Ramayana (kitab Ramayana ini bagus sekali, ajarannya banyak, hiasan/syairnya indah -indah, dan bahasanya bagus. Sejak saya hidup belum pernah membaca kitab Jawa yang keindahan bahasa, hiasan/syair, dan lain sebagainya seperti Ramayana) 3 Dalam RK sargah II: 30 disebutkan bahwa Rama adalah manifestasi Narayana, pengejawantahan Wisnu.
Dalam bahasa Sansekerta sita berarti warna putih, sejuk, atau dingin sekali (Zoetmulder, 1995: 1105). Dalam Ramayana Sansekerta Sita disebutkan sebagai putri Dewi Pertiwi yang ditemukan dan kemudian diaku anak oleh Raja Janaka dari Kerajaan Manthili (Lal, 1995:32). Dalam Ramayana versi pedalangan (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1996/1997: 8), Sita disebutkan sebagai putri Rahwana dengan istrinya Dewi Tara. Lalu bagaimanakah citra Sita dalam Ramayana Kakawin Jawa Kuna, dewikah (goddess) atau mahluk, khususnya manusia perempuan ? Untuk menjawab pertanyaan ini, berikut adalah gambaran Sita yang terdapat dalam teks Kakawin Ramayana Jawa Kuna
2.1 Sita adalah dewi Kata dewi dalam bahasa Sansekerta ‘devi’ berarti female deity atau goddess (Zoetmulder, 1995: 216). Dalam teks Ramayana kakawin, gambaran bahwa Sita bukan manusia biasa tetapi titisan dewi, terlihat pada tanda-tanda ‘kedewian’ yang dimiliknya, antara lain : 2.1.1 Ari-ari Sita berbentuk gendewa II: 51
sita seden nya metu nuni laras dulur nya, gandewa dibya yatika pinakaryyari* nya when Sita was born (formerly), her afterbirdh was (in the form of) an excellent bow
2.1.2. Sita tidak mati meskipun masuk ke dalam api Dalam kesusastraan epik Veda dan Sansekerta, tindakan seorang istri yang melakukan upacara membakar diri dalam api pengorbanan untuk mendukung dan menolong suaminya di akherat disebut sati. Dalam teks-teks kakawin Jawa Kuna sati dilakukan oleh para perempuan untuk mengikuti kematian suaminya (Creese, 2004: 214). Dalam budaya Jawa sati dikenal dengan istilah bela pati Setelah Rama menang dan Rahwana dapat dikalahkan, dengan penuh rindu Sita cepatcepat ingin menemui Rama, tetapi setelah berhadapan dengan Rama, Sita kecewa karena ternyata Rama tidak menerimanya dan bahkan menganggap Sita kotor. Karena itu Sita harus membersihkan diri terlebih dadulu. Sita merasa terhina tetapi ia paham pada maksud Rama, Oleh karena itu, ia kemudian memerintahkan Laksmana untuk membuat api pengorbanan. Upacara membakar diri yang dilaksanakan Sita dihadapan suami dan rakyatnya bukan sebagai sati
melainkan untuk membuktikan dirinya bahwa ia masih bersih meskipun telah lama di tangan musuh. Kebersihan dirinya terbukti, karena setelah Sita masuk ke dalam api pengorbanan ia tidak mati bahkan muncul dari dalam api dengan duduk di atas teratai emas dan diiringi oleh para dewa.
XXIV: 192 Atha ri tedun niran paramasatya ri san hyang Apuy nda tan agesen manah nin umulat juga sirnna geseng when the ultimate loyal one dived into the fire she was not burnt, but the hearts of those looking on, were ablazed and and turned to ashes XXIV: 193.
Pada ta mulat rikan aputy apurwwa dilah nya murub kathamapi mogha yan padhem ah-o tuhu satya sira, temahan ikan apuy kanaka pankaya tunjun emas dadi dala tan dilah kukus arum temahanya sari they were looking at the fire which flamed up as never before, but suddenly it went out. Ah well, she was truly faitful, the pyre had changed into a golden lotus, the fire became the petals and the sweet smelling smoke the pollen
Dalam Ramayana Kakawin Jawa Kuna Sita melakukan upacara bakar diri sebanyak 2 kali. Pertama, berupa sati dilakukan Sita untuk mengikuti Rama setelah Rahwana mengatakan kepadanya bahwa Rama sudah mati, tetapi upacara itu batal, karena sebelum Sita masuk ke dalam api Wibisana mengatakan hal yang sebenarnya bahwa Rama masih hidup. Dan yang kedua adalah upacara bakar diri yang dilakukan Sita untuk membuktikan kebersihan dirinya.
2.1.3 Sita Titisan Sri (istri dewa Wisnu) Ketika Sita keluar dari perapian, ia diiringkan oleh dewa Api, dewa Indra dan dewa Syiwa. Ketiga dewa ini menasihati Rama agar mau menerima Sita kembali, karena Sita masih suci walaupun telah lama ditawan musuh. Selain itu, Syiwa juga menegaskan kepada Rama bahwa mereka berdua adalah pasangan dewa dan dewi, Wisnu dan Sri, Sita adalah Sri, istri Wisnu. Karena itu sudah sepatutnya diterima kembali oleh Rama
XXIV: 200
San Ramenujaran bharata winarah ryyaqwak niran dewata, he Narayana he Raghutma taman bedhekwawaktat hidep, san hyan Wisnu keta kita priyatama Sita sira Sri-maya God (Syiwa) told Rama that he was fact a deity: Hey Narayana you must know that you are both (are deities) You are God wisnu and your consort Sita is in fact the goddes Sri
2.2. Sita sebagai manusia perempuan Selain sebagai dewi (goddess) Sita juga dicitrakan sebagai manusia, khususnya manusia perempuan. Kata manusia dalam bahasa Indonesia berarti mahluk yang berakal budi (KBBI Pusat Bahasa, 2008: 877), kamanusan dalam bahasa Sansekerta berkonotasi pada pengertian mudah terharu atau dikuasai emosi (Zoetmulder, 1995: 648), sedangkan kata perempuan dalam bahasa Jawa Kuna dari kata mpu, empu, ampu artinya orang yang terhormat, ‘tuan’, ‘yang mulia’ (Zoetmulder, 1995: 673). Adapun kata citra dalam bahasa Sansekerta, berarti menarik perhatian, unggul, baik sekali, yang menyolok, bercahaya, terang dan lain sebagainya (Monier Williams, 1988: 396). Dalam bahasa Jawa kuna citra berarti beraneka warna, berwarna, cemerlang, perwujudan yang cemerlang atau luar biasa, lukisan, gambar, sketsa dan surat (Zoetmulder, 1995, I: 176). Untuk melihat citra Sita sebagai manusia perempuan dalam Ramayana Kakawin Jawa Kuna, berikut ini adalah gambarannya yang termuat dalam karya puisi tersebut.
2.2.1. Dikuasai emosi Pada umumnya perempuan seringkali dianggap sebagai mahluk yang mudah terpancing emosinya. Emosi dalam bahasa Indonesia dimaknai sebagai luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat, atau keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis (seperti: kegembiraan, kesedihan, keharuan, kecintaan) dan keberanian yang bersifat subyektif (KBBI, 2008: 368). Sebagai manusia perempuan gambaran emosi dalam diri Sita tampak jelas, diantaranya:
2.2.1.1 Sita Senang pada sesuatu yang indah Ketika Sita melihat kijang cantik jelmaan raksasa Marica. Sita langsung tertarik dan ingin sekali memilikinya, Sita berpikir alangkah indah bulu kijang yang berkilau seperti emas itu, pastilah
lembut dan enak jika dijadikan sebagai alas duduk (II: 40). Emosi Sita yang sangat menginginkan kijang emas itu digambarkan dalam teks sebagai hatinya sampai bergetar (II: 41)
II: 40 marakatawarna ramya makiris ta gigirnya katon ikana wulu nyawak nya malenis ya kabeh mas aban teka ya maso ri san janakarajasuta ya marin kadi giniran-giran hati niradbhuta de nya jenek his back was shining brightly, beautiful and smooth, the coat of his body was radiant. he came near the place where Janakarajasuta was resting. she became exiting and surprised because (the deer) was so tame II: 41 ininet-inet nirahyu kulitnya kemul-kemula, apan alenis katon kanaka rambut alembut alit hati nira tibra de nira harep ri hayu nya katon dadi ta makon makoliha rikan mrega ratnamaya she tought that the coat of the deer would be nice to make a stole, because it was shiny, with gold coloured fur, smooth and fine. her heart was thrilled by her disire to possess what she was. so she asked (rama) to obtain the golden deer for her
2.2.1.2. Sita Tidak dapat menahan amarah Emosi Sita yang berkenaan dengan ketidakmampuan menahan amarah, terjadi ketika ia memerintahkan Laksmana untuk menolong Rama yang dikiranya dalam bahaya tetapi Laksmana tidak mau menurut perintahnya. Mendengar penolakan Laksmana Sita menjadi sangat marah, sehingga keluarlah kata-kata kasar, hinaan dan tuduhannya kepada Laksamana. Kemarahan Sita kepada Laksmana tergambar sebagai berikut: II: 57
ikana anen-anenmu ri siran Raghuputra nihan, mati sira de nikan mrega sdenya sabhagya temen, sumiliha taku rin Janakarajasutaku basa, syapa sarananya tan hana waneh aku linmu nihan
you think about Raghuputra like this. let him be killed by the deer. it will be very lucky ! I will take this place and marry Janarajasuta. who will be her protector, no one else except me! You said this to yourself, did not you?
II: 58 Adhama wimuda Laksmana walinmu manahku kala menana makambeka n hala mataku mahalwana weh, aku tak anen-anen laki waneh sira tunggal atah makahulunaku tan hana waneh raghuputra juga Debased and foolish Laksmana, do you think I am wicked, capable of thinking such evil, such lewdness? I do not have any intention of marrying again, just this once. I will only serve Raghuputra, nobody else. 59
yan alalisan bhatara pejahata siran siniwi, raghuputra sora rin samara pan duk ikan harina, pegatakenankwa tekana gulunkwa turun apunya tumutura taku rin priya tamag wegilata ri ko If my lord and master died, if Ragusuta is killed in battle buted by the deer, I will severe my neck and burn myself, I will follow my husband, I will not take refuge with you
2.2.2. Sita Perempuan yang setia Kesetiaan Sita kepada suaminya sangat kental terlihat dalam bait-bait yang menceritakan keadaan Sita ketika berada dalam sekapan Rahwana di Alengka. Disebutkan Sita yang sangat mencintai Rama, sangat menderita karena dipisahklan oleh jarak yang jauh. Tubuhnya kurus kering karena tidak pernah mau makan, Sita juga selalu tidur di lantai di luar istana, tak pernah bersolek atau menyisir rambutya, dan senantiasa menangis karena
teringat kepada Rama.
Gambaran keadaan Sita ini menunjukkan kesetiaannya kepada suaminya, seperti yang disampaikan Hanuman kepada Rama (XI: 44) dan kesaksian para dewa (XXIV: 156) XI: 44
lawan sira sri janakatmaja makun ranten maharaja wiyoga duhkita, narendra tatah hinanen-aneng ira, lanananis rin rahinen kulem sira furthermore princess Janakatmaja is (in the dephts of) grief, my lady is despondent from separation, she thinks only of my lord, and weeps day and night
XXIV: 156
tuhu yak tamolah i musuhta kagamel aku nuni de nik, tan kawawa riya pi dewa mulat,
sira saksi suksma mulat in patibrta it is correct that I have been staying with the enemy and I was touched by him formerly, as I could not resist him, the deities saw that, they supreme witness of my faithfulness towards my husband
3. Penutup Lal (1995: xxi) mengatakan Sita adalah pasangan wanita sang Maha Agung, pengejawantahan kasih sayang dan kemuliaan. Dari uaraian di atas kita juga dapat melihat bahwa Sita memang seorang dewi. Ia adalah Sri, istri Wisnu, penjaga ketertiban dunia dari keangkaramurkaan. karena itu sejak lahirpun tanda-tanda kedewiannya telah terlihat. Selain itu, sebagai dewi ia memang tidak bisa mati karena api, ia juga senantiasa dalam penjagaan para dewa. Karena Rama adalah Wisnu yang mengejawantah ke dunia, maka Sita adalah Sri. Sebagai manusia Sita adalah symbol perempuan utama yang banyak dikagumi orang karena keteguhan hati dan kesetiaannya. Kelemahannya yang tidak dapat menahan keinginan untuk memilik (kijang kencana) maupun amarahnya (kepada Laksmana) menunjukkan bahwa ia adalah seorang manusia biasa yang memiliki emosi yang dapat muncul setiap saat tergantung pada situasi yang dihadapinya. Emosi kodrati manusia inilah yang dijadikan para dewa sebagai titik lemah Rama, agar Rama sebagai ksatria sekaligus pengejawantahan Wisnu di dunia tetap pada tugasnya menjadi penjaga keseimbangan dunia dan penghancur keangkaramurkaan yang dalam epos agung Ramayana Kakawin Jawa Kuna ini disimbolkan oleh Rahwana.
Bahan Referensi Creese, Helen, Women of the Kakawin World: Marriage and Sexuality in the Indic
Courts
of Java and Bali, Armonk, New York, London, England: M.E. Sharpe Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, Arti dan Makna tokoh Pewayangan Ramayana dalam Pembentukan dan Pemikiran Watak (Seri II), Jakarta:
Depdiknas, 1996/1997
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa, edisi keempat, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008
Ikram, Achadiati, Hikayat Sri Rama, Suntingan Naskah disertai Telaah Amanat dan Struktur, Jakarta: Universitas Indonesia, 1980 Hooykaas, C., ‘The Old-Javanese Ramayana kakawin,’ dalam BKI XVI, ‘S-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1955 Juynboll, H.,H.,’ Translation in Dutch of The Ramayana Kakawin’ dalam BKI 78—94,
1922 –
1936. Kern, H., Ramayana –Kakawin, Oudjavaansch Helldendicht, ‘S-Gravenhage, 1900. Lal, P, Ramayana, penerjemah Djokolelono, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981 Poerbatjaraka, R.,M., Ng., Kapustakan Djawi, Jakarta, Djambatan, 1952 Santoso, Soewito, Ramayana Kakawin Vol I, II, III, Singapore/New Delhi:
Institute of
Southeast Asian Studies, and International Academy of Indian Culture, 1980. Supardi, Imam,
Sita: Sejarah dan Pengorbanan serta Nilainya dalam Ramayana,
Surabaya: Penyebar Semangat, tt. Uhlenbeck, E.,M., ‘The problem of Interpolation in The Old Javanese Ramayana Kakawin’ dalam BKI 145, 1989 Williams Monier, Monier, Sanskrit-English Dictionary, Madras: Motilal Banarsidass, Zoetmulder, P.J., 1982 Old Javanese–English Dictionary with the collaboration of S.o. Robson, 2 vols, The Hague: Martinus Nijhoff ---------- 1983 Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, Jakarta: Djambatan.
1988