SISTEM VULKANISME DAN TEKTONIK LEMPENG I. Mekanisme Pelelehan Batuan Suatu batuan tersusun atas campuran dari beberapa mineral dan cenderung dapat meleleh pada suatu kisaran suhu tertentu ketimbang pada suatu suhu yang absolut. Pada saat awal pelelehan batuan disebut sebagai Solidus Temperature dan pada tahap akhir pelelehan disebut sebagai Liquidus Temperature. Terdapat 3 proses utama yang menyebabkan melelehnya batuan oleh bumi, yaitu : A. Pemanasan batuan dan penaikkan suhunya B. Pengurangan tekanan yang terperangkap pada batuan pada saat pergantian fase C. Merubah komposisi batuan, biasanya dengan penambahan air. Batuan yang “Kering” cenderung membutuhkan suhu yang lebih besar daripada batuan yang “Basah”. Jadi pada saat proses penambahan air, disaat suhu batuan “Kering” tersebut sudah tinggi, maka batuan tersebut dapat meleleh.
Gambar 2.1. Grafik Tekanan dan suhu batuan pada saat pelelehan.
II. Sistem Vulkanisme dan tektonik Lempeng Seperti yang kita ketahui, di dunia ini merupakan terdapat “Cincin Api” yang mengitari seluruh dunia. Hal ini disebabkan persebaran gunung api yang merata diseluruh dunia. Selain itu juga terdapat pemekaran samudera, atau yang disebut sebagai Mid Oceanic Ridge, Hal ini disebabkan oleh arus konveksi magma di mantel bumi yang menyebabkan pergerakan lempeng bumi. MOR biasanya terbentuk pada lantai samudera pada kedalaman 1-4 km. Pada juni 1993, Hidrofon
mendeteksi aktivitas seismic di Juan de Fuca Ridge (400 km dari barat Oregon, USA) yang disebabkan oleh erupsi bawah laut sepanjang 3,8 km dengan lebar 500 m.
Gambar 2.2.1. Pergerakan Magma secara konveksi pada mantel bumi Sumber : http://tigabatu.files.wordpress.com/2012/05/arus-konfeksi-mantel-bumi.jpg Vulkanisme yang terjadi pada MOR disebabkan 2 lempeng yang saling menjauh atau yang biasa disebut Divergen atau Spreading Center yang menjadi tempat MOR berada, tapi ini menandakan bahwa pergerakan material mantel ke permukaan terjadi disini. Kemudian terdapat zona Konvergen dimana 2 lempeng saling bertumbukan dan salah satunya menyusup dibawah lempeng lainnya. Hal ini disebut dengan subduksi. Biasanya gunung api aktif dan eksplosif terbentuk dizona konvergen, hal ini dikarenakan batuan lempeng yang meleleh naik keatas permukaan dan mendorong batuan diatasnya sehingga terbentuk gunung. “Cincin Api” yang ada didunia pun juga didominasi oleh gunung api yang terbentuk dari zona konvergen. 88% Magma yang dihasilkan oleh bumi ke permukaan sebagian besar dibentuk oleh MOR (62%) dan sisanya yaitu pada daerah Subduksi (26%) dan sisanya terbentuk yang dikenal dengan Hotspot (12%). Hotspot merupakan awal dari pemekaran lempeng, yang biasanya terbentuk bukan diantara 2 lempeng namun terletak di tengah lempeng.
Gambar 2.2.2. Ilustrasi zona divergen dan konvergen pada lempeng
III. Sistem tektonik, proses pelelehan dan komposisi magma Setiap sistem tektonik dapat dihubungkan dengan aktivitas vulkanik serta memiliki proses pelelehan, komposisi magma dan properti fisis yang berbeda-beda. Mid-Oceanic Ridge dan Oceanic Intraplate Settin. Tipe magma yang dominan pada mid-oceanic ridge (MOR) adalah basalt, yang dihasilkan langsung dari partial melting mantel yang naik menuju rekahan pada ridge. Large Igneous Province (LIP) terbentuk ketika hot spot mantel berinteraksi dengan kerak samudra, melelehkan plume head dan menaikkan magma basalt dalam jumlah besar. Setelah vulkanisme banjiran ini, magmatisme didominasi dengan ocean island basalts (OIBs) yang berlangsung lebih lambat. Kedua sistem tektonik ini merupakan zona dimana penaikan mantel terjadi dan mekanisme yang dominan adalah pelelehan dekompresi. Gambar 2.1 dapat menjelaskan proses ini. Perlu diperhatikan bahwa geothermal gradient dari mantel cenderung lebih rendah dibandingkan temperatur solidus dari material mantel, jadi dapat dikatakan mantel solid.
Namun mantel
berkonveksi dan material dari level yang lebih dalam dan panas secara gradual terangkat menuju
daerah yang lebih dangkal dan dingin. Saat material mantel terangkat akan mengalami tekanan pembatas yang lebih rendah dan volumenya akan sedikit mengembang. Ekspansi ini tergolong adiabatik (tidak ada tambahan panas dari luar) dan menyebabkan penurunan suhu sebesar 0.51.0oC/km.
Gambar 2.2.3 Ilustrasi Hotspot dan pengaruhnya terhadap lempeng
Material ini juga bergerak menuju daerah suhu rendah sehingga memungkinkan terjadi kehilangan panas ke mantel di sekitar. Jika penaikan material mantel lambat maka kehilangan panas ke mantel sekitar akan mendominasi dan material mantel akan mendingin sehingga tidak terjadi pelelehan. Namun jika penaikan material mantel terjadi secara cepat maka konduksi panas ke mantel sekitar akan minimal sehingga akan mengikuti seperti titik A menuju titik B pada gambar 2.1. Pergerakan yang terjadi dari titik A menuju titik B menunjukkan bahwa penurunan suhu yang sedikit sedangkan penurunan tekanan yang besar sehingga sampai pada garis solidus dan pelelehan terjadi. Namun
tidak
semua
material dari mantel yang naik ke permukaan akan meleleh. Studi eksperimen pada material mantel yang dilelehkan pada tekanan tinggi menunjukkan bahwa 20-25% pelelehan material mantel
yang
umum
menghasilkan basalt
tholeiitic
seperti
yang
terbentuk pada MOR dan meninggalkan mantel
yang
sehingga
residu menyusut, mempersulit
terjadinya pelelehan lebih lanjut.
Studi
ini
mendukung bahwa magma basalt yang mendominasi daerah
tektonik
dihasilkan
oleh
ini partial
melting dari mantel.
Continental Intraplate Setting Sama seperti sistem tektonik yang pertama, sistem yang kedua ini didominasi oleh pelelehan dekompresi. Begitu pula untuk interaksi awal antara mantle plume dengan kerak benua yang menghasilkan flood basalt dan membentuk LIPs. Setelahnya, magmatisme dilanjutkan dengan
membentuk magma basalt namun interaksi dengan kerak benua membentuk berbagai komposisi magma yang variatif. Di Yellowstone, magmatismenya bimodal, membentuk magma yang bersifat basalt dan riolit. Riolit dalam volume besar terbentuk oleh pelelehan batuan kerak benua yang diakibatkan oleh transfer panas dari magma basalt yang membentuk ‘kolam’ pada dasar kerak. Contoh lain pada East African Rift Valley dimana terdapat diversitas yang tinggi. Umumnya magma yang ditemukan pada sistem ini adalah carbonatites. Carbonatites adalah magma yang mengandung mineral karbonat >50% dan telah diobservasi pada letusan Oldoinyo Lengai, gunungapi di East African Rift Valley. Lava pembentuknya tergolong memiliki suhu erupsi paling rendah (umumnya 500o-590oC pada Oldoinyo Lengai) dan memiliki viskositas terendah dari lava daratan yang diketahui, serta bersifat seperti basalt yang bersifat fluida ekstrim.
Zona Subduksi – Busur Kepulauan dan Busur Benua Tipe pertama, satu lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng samudra lainnya membentuk busur kepulauan. Tipe kedua, lempeng samudra menunjam ke bawah lempeng benua membentuk busur benua atau batas aktif benua. Ilustrasinya dapat dilihat pada gambar 2.8. Busur kepulauan memiliki jenis magma yang sangat beragam, dari yang bersifat basalt hingga basalt-andesit dan andesit hingga dasit dan riolit. Namun, yang dominan adalah tipe magma andesit, kemudian basalt dan basaltandesit yang cukup umum dan riolit serta dasit yang lebih berkembang menjadi lebih jarang. Busur benua memiliki magma yang lebih beragam lagi, dan lebih banyak membentuk magma yang lebih berkembang dibandingkan busur kepulauan. Magma yang umum bersifat andesit, dengan lebih banyak dasit dan riolit serta lebih sedikit basalt dan basalt-andesit dibandingkan di busur kepulauan. Zona subduksi merupakan sistem yang dianggap tidak mungkin untuk pembentukan magma karena pada zona ini terdapat
penurunan
litosfer
samudra
yang
dingin
menyebabkan pendinginan pada mantel sekitar, dan tempat dimana material mantel turun sebagai bagian dari
sistem konveksi skala besar.
Sehingga, mekanisme pelelehan yang terjadi bukanlah karena
dekompresi atau pemanasan, namun karena pelepasan volatil (terutama air) dari lempeng litosfer yang menunjam. Lempeng ini diatasnya terdapat sedimen yang jenuh air, yang akan ikut menunjam bersama lempeng itu. Dan lebih penting lagi, batuan dari lempeng tersebut mengandung fase mineral hydrous sebagai hasil dari reaksi kimia antara batuan dan air hidrotermal yang bersirkulasi melewati batuan ketika batuan tersebut membentuk dasar samudra. Ketika lempeng menunjam, reaksi yang terjadi pada batuan menyebabkan dehidrasi pada batuan dan melepaskan air. Air ini kemudian naik menuju baji mantel yang berada di atas lempeng tersebut (gambar 2.8), sehingga mengurangi solidus dari material mantel untuk menghasilkan pelelehan (gambar 2.2).
Pada sistem busur
kepulauan, penumpukan lelehan basalt pada dasar litosfer dan didalam kerak itu sendiri akan mengakibatkan fractional crystallization, dimana cairan residu akan mengangkat basalt-andesit dan andesit yang ditemukan disana (gambar 2.8). Pada busur benua, terdapat potensi terjadinya proses yang beragam karena magma harus melewati ketebalan dari kerak benua. Meskipun magma yang dihasilkan umumnya basalt dari baji mantel, namun letusan magma di permukaan dapat beragam akibat dari interaksi magma dengan kerak benua (gambar 2.8). Disini kemungkinan besar dapat terjadi pelelehan batuan kerak, asimilasi material kerak selama magma naik, fractional crystallization (dimana kristal terbentuk dan tertinggal oleh cairan magma yang tersisa), dan pencampuran magma pada kedalaman tertentu dibawah permukaan. Namun, kepentingan relatif dari masing-masing proses ini masih menjadi perdebatan para ahli dan diskusi dalam buku ini lebih fokus pada properti fisis dari magma yang dihasilkan. Oleh karenanya, magma yang dihasilkan dapat dikarakterisasikan dengan baik berdasarkan kandungan silika magma (tabel 2.1), meskipun sebenarnya senyawa kimia lainnya pada mineral yang membentuk batuan juga penting. Intinya adalah, perbedaan komposisi kimiawi dari magma akan menghasilkan kemampuan yang sangat berbeda untuk mengandung senyawa volatil terlarut seperti air dan karbon dioksida, dan
kemampuan yang sangat berbeda untuk mengalir dalam kondisi tekanan tertentu, atau dalam kata lain mereka memiliki viskositas yang sangat berbeda.
IV. Pelelehan dan Pemisahan Lelehan di Mantel 4.1. Mantel Komposisi mantel terdiri dari berbagai macam. Ophiolite adalah bagian dari lempeng samudra yang terangkat akibat gaya tektonik dan muncul sebagai bagian dari lempeng benua akibat erosi. Ada juga xenolith sebagai hasil dari erupsi gunung api. Xenolith ditemukan dalam kimberlite yang berasal dari kedalaman 100 – 200 km. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa mantel terdiri sebagian besar dari dari batuan kristalin peridotite,. Mantel terdeformasi dengan konsep rheology, yaitu konsep di mana suatu material dapat berubah bentuk apabila dikenai suatu gaya. Mantel dapat terdeformasi dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan sifat plastis, dengan laju beberapa sentimeter per tahun. Deformasi yang lambat ini menyebabkan mantel bersifat kental (high viscousity). Namun, apabila gelombang P dan gelombang S melewati mantel, hanya gelombang P yang dijalarkan. Sifat kekentalan yang tinggi pada mantel membuat energi kinetik gelombang S berubah menjadi panas, sehingga gelombang S teredamkan. Dengan situasi seperti ini, mantel dapat dianggap sebagai sebagai cairan dengan jangka waktu yang lama dan sebagai padatan dengan jangka waktu yang singkat.
4.2. Permulaan Lelehan Ketika tekanan mulai menghasilkan lelehan, lelehan pertama terbentuk sebagai kontak di antara butiran. Semakin banyak lelehan yang dihasilkan, lelehan akan menyebar ke sepanjang kontak anatar butiran. Tidak ada koneksi dari pori-pori butiran yang satu dengan pori-pori butiran yang lain. Hal ini menyebabkan lelehan mendesak butiran untuk menempati ruang yang lebih sempit. Tekanan semakin tinggi akibat desakan lelehan, sehingga butiran akan retak dan lelehan dapat menempati ruang hasil retakan.
. Dapat dilihat di bagian (a), terdapat ruangan kosong antara butiran A, B, C, dan D. Lelehan terjadi pertama kali seperti di bagian oleh butiran B dan C (b). Lelehan terus terjadi dan semakin bertambah dan memenuhi ruangan kosong antar butiran (c). Lelehan yang terus bertambah mendesak butiran dan membuat retakan sehingga retakan tersebut dapat ditempati oleh lelehan. Butiran B dan C semakin mendekat. Retakan cenderung mempunyai cirri-ciri menyempit di satu sisi dan memanjang di satu sisi. Hal ini membuat kesempatan retakan satu bertemu dengan retakan lainnya semakin besar.
4.3. Migrasi Lelehan Lelehan yang terbentuk akan berusaha untuk bergerak ke atas. Selain densitas lelehan yang lebih kecil daripada padatan, densitas lelehan juga lebih kecil daripada butiran yang belum terlelehkan. Ada juga tekanan non-uniform dari batuan di atas memaksan lelehan untuk bergerak ke atas dari ruangan yang ditempatinya. Proses ini disebut dengan filter-pressing, ditunjukkan dengan gambar 2.11.
Laju migrasi lelehan ditentukan oleh total gaya yang berkerja, kekentalan, dan lebar retakan. Semakin banyak retakan yang terbentuk dan bergabung, semakin besar jalan untuk lelehan bergerak ke atas. Lelehan akan bergerak semakin cepat. Kompaksi dan pemisahan lelehan dapat diasumsikan sebagai gelombang yang menjalar ke beberapa tempat di mana lelehan terjadi. Lelehan yang terbentuk terakumulasi, membuat total gaya apung lelehan lebih besar daripada total gaya apung di tempat lain sehingga lelehan melaju ke atas lebih cepat. Hal ini menyebabkan terbentuknya plume, disebut sebagai diaper. Mantle plume terangkat ke dasar kerak benua dan melelehkan batuan di atasnya. Di bawah beberapa mid ocean riges (MOR), mantle plume terbelah menjadi dua dan bergerak horizontal dengan arah yang berbeda, membentuk kerak samudra.