BAB II GEOLOGI
BAB II GEOLOGI
2. 1
GEOLOGI REGIONAL
Tatanan tektonik lempeng Papua telah diulas oleh beberapa ahli geologi seperti Charlton (1986), Dow dkk (1988) dan Hall (2001) yang dapat dijadikan sebagai kerangka dalam menerangkan posisi dan sejarah tektonik. Konfigurasi tektonik Pulau Papua pada saat ini berada pada bagian tepi utara Lempeng Australia, yang berkembang akibat adanya pertemuan antara Lempeng Australia yang bergerak ke utara dengan Lempeng Pasifik yang bergerak ke barat. Dua lempeng utama ini mempunyai sejarah evolusi yang diidentifikasi berkaitan erat dengan perkembangan proses magmatik dan pembentukan busur gunungapi yang berasosiasi dengan mineralisasi emas porfiri dan emas epithermal (Gambar 2.1).
Gambar 2.1
Tatanan tektonik lempeng Papua (Dow dkk., 1988)
II - 7
BAB II GEOLOGI
2.1.1
Struktur dan Tektonik
Struktur geologi berupa antiklin, sinklin, sesar normal, sesar naik dan sesar mendatar. Arah umum struktur regional pada batuan sedimen adalah baratlaut-tenggara, beberapa hampir mendekati barat-baratlaut, timur-tenggara dan utara-baratlaut; selatan-tenggara terutama pada batuan Tersier. Struktur timur-timurlaut – baratbaratdaya terdapat pada batuan metamorf dan ultrabasa, sedangkan yang hampir utara-selatan pada batugamping Kuarter dan juga batuan metamorf. Sejak kala Kapur sampai Miosen Awal, diperkirakan telah terjadi kegiatan gunungapi bawah laut yang membentuk Formasi Auwewa. Kegiatan tektonik pada Oligosen Tengah menyebabkan susut laut dan pada saat tersebut batuan ultramafik, mafik dan metamorf muncul ke permukaan, sementara kegiatan gunungapi berlangsung terus. Pada Oligosen Akhir sampai Miosen Tengah terjadi sedimentasi batugamping ganggang-koral dan batugamping pelagos tufaan dalam lingkungan laut dangkal-agak dalam, membentuk Formasi Numbay. Pada Miosen Awal terjadi pengendapan sedimen turbidit Formasi Makats, yang disusul oleh susut laut pada Pliosen Akhir-Plistosen. Mulai Plistosen Awal sekeliling “Tinggian Cycloop” terjadi sedimentasi batugamping terumbu koral dalam lingkungan laut dangkal-laut terbuka agak dalam. Pengangkatan kuat pada Akhir Plistosen diikuti oleh suatu pelipatan dan penyesaran yang kuat pada Formasi Jayapura serta mempertajam pelipatan pada Formasi Makats. Kegiatan pengangkatan pada akhir pembentukan Formasi Jayapura ditandai oleh adanya julang setinggi 750 meter. Tektonik saat tersebut berpengaruh pada pembentukan Batuan Campuraduk dan Satuan Endapan Lumpur. Gejala poton yang masih aktif dan kelurusan yang diduga sesar pada sedimen klastika kasar dan batugamping koral, serta adanya terumbu terangkat berupa undak, menjadi bukti tektonika masih aktif (Suwarna dan Noya, 1995). 2.1.2
Stratigrafi
Stratigrafi regional daerah penelitian terdiri dari kelompok jalur ofiolit Irian Jaya dan batuan sedimen yang ada di sekitarnya. Penamaan ini pertama kali digunakan oleh Dow dan Sukamto, 1984, opcit Dow dkk., 1988). Batuannya terdiri dari batuan kelompok malihan Cycloop (pTmc) dan Ultramafik (um) serta batuan-batuan sedimen yang ada di sekitarnya (Gambar 2.2).
II - 8
BAB II GEOLOGI
Gambar 2.2. Peta geologi regional daerah penelitian
Kelompok malihan Cycloop (pTmc) : terdiri dari sekis, setempat gneis, filit, amfibolit, unalit, batupualam, aktinolit dan hornfel. Sekis bersusunan karbonatklorit, klorit-muskovit, muskovit-epidot, glaukofan, aktinolit-epidot klorit, kloritaktinolit-staurolit, klorit-aktinolit, aktinolit-tremolit, aktinolit-kianit, aktinolit-kuarsa dan klorit-biotit; urat – urat kuarsa setebal 50 cm.
II - 9
BAB II GEOLOGI
Mafik (m) : gabro dan diorit. Gabro sebagian terbreksikan, banyak plagioklas dan ortho-klinopiroksin, tremolit-aktinolit hasil ubahan dari piroksin, olivin mengandung inklusi piroksin. Diorit; retas dalam gabro dan ultramafik, banyak plagioklas, hornblende dan kuarsa, sedikit magnetit. Satuan batuan bersentuhan tektonik dengan satuan ultramafik, Formasi Makats, maupun Kelompok Malihan Cycloop. Formasi Numbay (Tomn) : batugamping bersisipan biomikrit, napal, batupasir halus, grewak gampingan, tuf, setempat bersisipan kalkarenit dan kalsipelit. Batugamping
dan biomikrit, berlapis baik-jelek; fosil Lepidocyclina sp.,
Amphistegina sp., Elphidium sp., Globorotalia sp., ganggang moluska, umur Oligosen-Miosen Awal. Lingkungan pengendapan diduga laut dangkal-laut dalam dekat daerah gunungapi yang giat. Bagian atasnya menjemari dengan Formasi Makats, bersentuhan tektonik dengan Satuan Ultramafik. Tebal satuan 350 m. Formasi Makats (Tmm) : grewak berselingan dengan batulanau dan batulempung; sisipan napal dan konglomerat; lensa dan buncak batugamping; bagian bawah bersisipan tufa dan breksi gunungapi. Grewak setempat gampingan, urat kalsit mengisi rekahan sampai 0,5 cm, struktur lapisan bersusun, lapisan sejajar, silangsiur dan lapisan perulangan. Konglomerat aneka bahan, batugamping, rijang lempung terkersikkan, sedimen malih, berukuran 2-15 cm. Batugamping sebagian terhablurkan, setempat kalkarenit. Tuf, bersusunan andesit-basal, berlapis baik, kumpulan fosil Globorotalia sp., Globigerinoides sp., Miogypsina sp., dan Operculina sp., menunjukkan umur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir. Lingkungan pengendapan litoral. Formasi ini berlapis baik dan terlipat kuat, setempat lapisan terbalik. Tebal sekitar 1500 m. Formasi Jayapura (Qpj) : batugamping koral – ganggang, kalsirudit, kalkarenit, setempat batugamping kapuran, batugamping napalan dan napal, berlapis jelek, setempat berstruktur terumbu; setempat berselingan dengan batugamping pelagos. Lingkungan pengendapan laut terbuka yang tak ada lagi bahan rombakan daratan; terangkat kurang lebih 700 m dari permukaan laut. Tebal 400 meter. Aluvium dan endapan pantai (Qa) : kerikil, kerakal, pasir, lanau dan lumpur di lingkungan rawa dan pantai. Endapan pantai mengandung pecahan koral Resen.
II - 10
BAB II GEOLOGI
2.2
GEOLOGI DAERAH PENELITIAN
2.2.1
Geomorfologi
Berdasarkan pengamatan kondisi lapangan dan penafsiran peta topografi, penulis membagi daerah penelitian menjadi dua satuan geomorfologi berdasarkan kriteria geomorfologi yang dibuat oleh van Zuidam (1983). Pembagian satuan geomorfologi daerah penelitian tersebut terlihat dalam Gambar 2.3, yaitu : 1. Satuan Perbukitan dan Lereng Denudasi (D1) 2. Satuan Dataran Banjir (F3)
Gambar 2.3
Satuan geomorfologi daerah penelitian
II - 11
BAB II GEOLOGI
Satuan Perbukitan dan Lereng Denudasi (D1) terletak di bagian utara, selatan, barat dan timur daerah penelitian. Satuan ini meliputi hampir 75 persen dari daerah penelitian, terletak pada topografi dengan elevasi antara 0 sampai dengan 400 meter dari permukaan laut, memperlihatkan bentuk bukit yang bergelombang, terdiri dari bukit-bukit kecil dengan relief yang bervariasi dengan puncak yang tumpul, tingkat pelapukan cukup tinggi, tebal soil 1-3 meter, vegetasi terdiri dari alang-alang, kebun dan hutan. Sedangkan pola aliran sungai di daerah ini memperlihatkan bentuk yang mendaun (dendritic) dan erosi sungai dominan vertikal di hulu dan semakin lateral ke arah hilir. Satuan Dataran Banjir (F3) meliputi sekitar 25 persen dari seluruh daerah penelitian, yang menempati bagian tengah. Daerah ini pada peta memperlihatkan kontur yang jarang, elevasi berkisar antara 0 sampai 25 meter dari muka laut, yang memperlihatkan daerah pedataran. Pola aliran sungai di daerah ini memperlihatkan bentuk berkelok (meandering) yang menunjukkan daerah dataran banjir (van Zuidam, 1983). Geomorfologi daerah penelitian memperlihatkan bentang alam berupa dataran rendah yang dikelilingi oleh pantai pada bagian timur dan perbukitan bergelombang di bagian barat, selatan dan utara. Maka ditinjau secara umum daerah penelitian mempunyai bentuk topografi datar, landai hingga bergelombang, dengan kemiringan lereng antara 0 – 30o ke arah utara dan timur, sebagaimana terlihat dalam Foto 2.1.
Foto 2.1 Satuan Dataran Banjir (F3) di bagian tengah daerah penelitian yang dikelilingi oleh Satuan Perbukitan dan Lereng Denudasi (D1) (arah foto ke baratdaya). II - 12
BAB II GEOLOGI
Daerah ini dialiri oleh dua sungai, yang bermuara ke Teluk Youtefa yakni Sungai Acai dan Sungai Kotaraja, diselingi oleh daerah rawa dan hutan sagu. Kedua sungai ini merupakan sungai permanen (perennial stream), relatif berarah baratlaut-tenggara (Foto 2.2). Sungai Acai memiliki debit yang lebih besar dibanding Sungai Kotaraja, hal ini disebabkan sumber airnya berasal dari luahan mataair yang berdebit lebih besar dibanding sumber air Sungai Kotaraja yang hanya berasal dari luahan mataair rembesan lapukan sekis dan air hujan.
Foto (2.2a). Rawa dengan latar pohon sagu (arah foto ke tenggara). Foto (2.2b) Aliran sungai Acai (arah foto ke barat). Foto (2.2c) Bagian alur sungai Acai dan Kotaraja yang telah diirigasi dan bermuara ke Teluk Youtefa (arah foto ke barat).
Lahan di daerah penelitian sebagian besar digunakan sebagai daerah pemukiman, perkantoran, pertokoan, dan pusat pendidikan. Sedangkan selebihnya terdiri dari daerah rawa, perkebunan, padang alang-alang dan hutan yang merupakan daerah pinggiran kota. 2.2.2
Stratigrafi
Stratigrafi daerah penelitian dapat dibedakan atas lima satuan yakni berturut-turut dari satuan yang paling tua sampai yang termuda adalah Satuan Sekis, Satuan Batugamping II, Satuan Perselingan Napal-Batupasir, Satuan Batugamping I dan Satuan Aluvial (Gambar 2.4).
II - 13
BAB II GEOLOGI
Gambar 2.4.
Peta geologi daerah penelitian
II - 14
BAB II GEOLOGI
2.2.2.1
Satuan Sekis
Satuan ini menempati sekitar 35% luas daerah penelitian, tersebar menerus ke arah utara di daerah Gunung Lemok hingga Pegunungan Cycloop. Satuan ini terdiri dari sekis hijau, genes, filit dan sedikit rijang (Foto 2.3). Kondisi singkapan yang teramati di lapangan; sekis dan filit terlihat umumnya hancur-hancur, coklat kehijauan, foliasi tidak beraturan; genes terlihat lebih segar, berbutir, masif, warna lapuk hitam, warna segar abu-abu kehijauan; sekis hijau dan filit, umumnya memperlihatkan pelapukan yang intensif, sedangkan genes yang teramati di lapangan relatif lebih segar. Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Cycloop (pTmc) berumur pra-Tersier (Suwarna dan Noya, 1995), dan bersentuhan tidak selaras dengan semua formasi batuan di daerah penelitian.
Foto 2.3. Singkapan sekis: hancuran batuan oleh deformasi dan pelapukan yang intensif (arah foto ke utara). 2.2.2.2
Satuan Batugamping II
Satuan ini menempati sekitar 20% daerah penelitian, tersebar terutama pada bagian barat daerah Abepura menerus ke bagian tenggara. Satuan ini terdiri dari batugamping dengan sisipan batupasir (1-3 cm). Ciri yang teramati pada batugamping adalah hancur-hancur dengan pecahan dan retakan yang memanjang membentuk blok-blok bongkah dan tidak memiliki kedudukan yang jelas (Foto 2.4), putih keabuan, membutir, berpori, kemas terbuka dan dijumpai fosil foram, red algae, nummulites dan moluska. Berdasarkan tekstur dan kenampakan fisik maka batugamping ini diendapkan pada kondisi high energy, pada lingkungan karbonat stabil. Berdasarkan kesamaan ciri litologi maka satuan ini dapat disebandingkan
II - 15
BAB II GEOLOGI
dengan Formasi Numbay (Tomn) yang berumur Eosen sampai Miosen Akhir (Suwarna dan Noya, 1995). Lingkungan pengendapan diduga laut dangkal sampai laut agak dalam dan bersentuhan tidak selaras dengan Formasi Cycloop (Satuan Sekis).
Foto 2.4. Singkapan batugamping: hancur-hancur, dan kedudukan perlapisan tidak jelas (arah foto ke timurlaut) 2.2.2.3
Satuan Perselingan Napal-Batupasir
Satuan ini menempati sekitar 20% daerah penelitian, tersebar terutama di sebelah selatan menerus ke baratdaya yakni daerah Tanahhitam dan sekitarnya. Satuan ini tersusun oleh perselingan napal dengan batupasir, sisipan batulanau dan lensa batugamping membentuk microfold dan tersesarkan (Foto 2.5).
Foto 2.5. Singkapan perselingan napal-batulanau-batupasir (arah foto ke timurlaut), singkapan napal, batupasir dan sisipan batugamping yang tersesarkan (arah foto ke selatan)
II - 16
BAB II GEOLOGI
Napal, abu-abu, ada jejak fosil, karbonat, ukuran butir <0,004 mm, tebal 5 cm - 8 cm, veinlet kalsit, arah jurus relatif timur-barat dengan kemiringan selatan-baratdaya. Batupasir, terlihat secondary structure berupa bioturbasi, kemas terbuka, sorting buruk, ukuran butir 0,062 mm - 2 mm, tebal 3 cm – 5 cm menipis ke bagian atas, struktur sedimen graded bedding. Batulanau, abu-abu, ada jejak fosil, karbonat, ukuran butir 0,004 mm – 0,062 mm, tebal 2 cm - 4 cm, arah jurus relatif timur-barat dengan kemiringan selatan-baratdaya. Batugamping, putih keabuan, membutir, tebal 3 cm - 4 cm, berpori dan kemas terbuka. Singkapan di permukaan menunjukkan perselingan didominasi oleh napal, namun berdasarkan data bor di daerah Dewi, yang berada pada satuan ini, diperoleh data perselingan didominasi oleh batupasir (Gambar 2.5). Data log bor menunjukkan perlapisan batuan secara berurut dari atas sampai paling bawah berupa : soil (1 m - 5 m), batulempung pasiran (10 m - 25 m), batupasir halus (25 m - 35 m), batupasir kasar (35 m - 55 m), napal (55 m - 65 m), batupasir kasar (65 m – 77,5 m), batupasir halus (77,5 m - 85 m), konglomerat (85 m - 100 m), napal (100 m - 110 m) dan batugamping (110 m - 125 m). Berdasarkan kesamaan ciri fisik litologi maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Makats (Tmm) yang berumur Miosen Tengah sampai Miosen Akhir (Te atas – Tf bawah) (Suwarna dan Noya, 1995) dan lingkungan pengendapan litoral – darat. Pada penampang geologi, terlihat adanya perubahan fasies dimana napal dan batupasir dari satuan ini saling menjemari dengan Satuan Batugamping II, sesuai dengan stratigrafi regional (Suwarna dan Noya, 1995).
II - 17
BAB II GEOLOGI
Gambar 2.5
2.2.2.4
Data bor daerah Dewi (Provinsi Papua, 2002)
Satuan Batugamping I
Satuan ini menempati sekitar 5 % daerah penelitian, tersebar terutama pada bagian timur sepanjang pantai Teluk Yotefa. Satuan ini tersusun terutama oleh batugamping koral, berlapis jelek dan tidak memiliki kedudukan yang jelas. Ciri lapangan dari batugamping adalah putih keabuan, mengkristal, no-porosity, kemas terbuka dan dijumpai
fosil
foram
dan
moluska.
Berdasarkan
kesamaan
ciri
litologi
II - 18
BAB II GEOLOGI
maka satuan ini dapat disebandingkan dengan Formasi Jayapura (Qpj) yang berumur Plistosen (Suwarna dan Noya, 1995), dengan lingkungan pengendapan laut terbuka dan bersentuhan tidak selaras dengan Formasi Cycloop.
2.2.2.5
Satuan Aluvial
Satuan ini menempati sekitar 20% dari luas daerah penelitian, tersebar terutama di bagian tengah yakni daerah Abepura dan Kotaraja. Satuan ini tersusun atas endapan material lepas seperti bongkah, kerakal, kerikil, pasir, lempung dan lumpur rawa. Bongkah yang terdapat di sepanjang sungai terdiri dari sekis, gabro dan batugamping, umumnya merupakan hasil sedimentasi dari material rombakan (Foto 2.6). Satuan ini diendapkan oleh aktivitas sungai, aliran air sungai membawa rombakan material dari satuan batuan yang lebih tua kemudian diendapkan pada daerah sekitar sungai. Menurut Suwarna dan Noya (1995), satuan ini berumur Holosen dan berhubungan tidak selaras terhadap satuan batuan yang lebih tua.
Foto 2.6 Endapan aluvial yang terdapat pada Sungai Kotaraja berupa bongkah, kerikil dan pasir (arah foto ke timur dan utara).
2.2.3
Struktur Geologi
Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian terdiri atas sesar normal Tanahhitam dan sesar geser mengiri (sinistral) Kotaraja. Sesar normal Tanahhitam terindikasi dengan singkapan lapangan seperti adanya dinding terjal yang telah
II - 19
BAB II GEOLOGI
tergerus sepanjang jalan raya, longsoran/gerakan tanah, seretan lipatan (dragfold), breksiasi, zona hancuran dan pemunculan mataair (Foto 2.7). Sesar ini melewati Satuan Perselingan Napal-Batupasir dan Satuan Batugamping II pada bagian tenggara menerus ke arah baratdaya daerah penelitian. Umur sesar normal ini ditentukan berdasarkan satuan termuda yang dilewatinya yakni setelah Miosen Akhir. Sesar geser Kotaraja terindikasi di lapangan dengan adanya breksiasi (Foto 2.8), serta kelurusan sungai dan topografi. Pada bagian tengah daerah tertutup oleh aluvial sehingga hanya ditarik garis titik-titik. Umur sesar geser ini diperkirakan setelah Miosen Akhir.
Foto 2.7 Breksiasi dan gerakan tanah dengan kelerengan yang besar pada Satuan Perselingan Napal-Batupasir (arah foto ke baratdaya). Foto 2.8 Hancuran dan breksiasi pada Satuan Batugamping II (arah foto ke timurlaut).
II - 20