1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu bencana alam yang mengancam Indonesia adalah erupsi gunungapi. Seperti gempa bumi, persebaran dan perilaku gunungapi dikontrol oleh geometri global dari lempeng tektonik (Smith, 1996). Letak Indonesia yang berada pada zona subduksi lempeng menyebabkan tingginya aktivitas vulkanik. Aktivitas vulkanik tersebut mengancam masyarakat yang berada pada sekitar gunungapi. Gunung Merapi merupakan salah satu gunungapi aktif yang berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Aktivitas vulkanik yang ditimbulkan oleh Gunung Merapi sangat bervariasi mulai dari aktivitas endogen yang menghasilkan erupsi berupa awan panas, abu vulkanis, aliran piroklastik, dan aliran lava. Aktivitas eksogen yang ditimbulkan adalah potensi lahar yang mungkin terjadi akibat penumpukan material di lereng. Material tersebut bersifat labil sehingga ketika terjadi hujan berpotensi terjadi bencana lahar di sungaisungai yang berhulu di Gunung Merapi. Erupsi Merapi 2010 mengeluarkan banyak material piroklastik. Material proklastik yang dikeluarkan akan ditampung oleh sungai dan areal sekitarnya. Ketika hujan tiba material tersebut akan terbawa sehingga menyebabkan aliran lahar. Aliran lahar dapat terjadi pada saat atau baru saja meletus jika ada hujan lebat dan lama di kawasan puncak dan lereng Gunung Merapi. Lahar juga dapat terjadi dalam rentang waktu tertentu setelah kejadian erupsi yang bergantung oleh banyaknya material yang diendapkan.
2
Kabupaten Magelang merupakan kabupaten yang memiliki beberapa sungai yang berhulu di Merapi. Sungai-sungai tersebut diantaranya Sungai Putih (dikenal dengan Kali Putih), Sungai Lamat, Sungai Pabelan, Sungai Semawo dan Sungai Trisik. Ancaman bencana lahar pada tiap-tiap sungai berbeda-beda. Kejadian bencana lahar yang merusak terjadi di aliran Kali Putih dan Kali Pabelan. Kejadian banjir lahar hujan akhir tahun 2010 dan awal tahun 2011, telah merusak sejumlah permukiman di Kabupaten Magelang. Kecamatan yang terdampak bencana lahar tersebut adalah
Kecamatan Srumbung, Kecamatan
Dukun, Kecamatan Salam, Kecamatan Ngluwar, Kecamatan Muntilan, dan Kecamatan Mungkid. Kejadian banjir lahar selama tahun 2010-2011 dilihat pada Tabel 1.1 dibawah. Puncak kejadian banjir lahar terjadi pada bulan Januari. Terdapat dua belas kali kejadian lahar, termasuk kejadian yang menghancurkan pemukiman penduduk di Kabupaten Magelang. Tabel 1.1 Jumlah Kejadian Banjir lahar di Kali Putih Tahun 2010
2011
Bulan November Desember Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Jumlah
Sumber : (Lisditya, 2011).
Jumlah Kejadian 1 2 12 2 10 2 29
3
Kerusakan pada sektor permukiman yang disebabkan terjangan bencana lahar di Kabupaten Magelang dapat dilihat pada gambar 1.1 berikut :
Dukun Srumbung Rusak Ringan
Mungkid
Rusak Sedang Muntilan
Rusak Berat
Ngluwar Salam
0
100
200
300
400
Jumlah Rumah Rusak
Sumber : Rekompak, 2011
Gambar 1.1 Grafik Jumlah Kerusakan Rumah akibat bencana lahar di Kabupaten Magelang
Pada gambar 1.1 tersebut dapat dilihat bahwa kerusakan permukiman yang terbesar berada pada Kecamatan Salam. Jumlah rumah yang mengalami rusak berat mencapai 333 unit rumah. Sebagian besar rumah yang rusak merupakan bangunan rumah disekitar Kali Putih. Banyaknya rumah terdampak terjangan banjir lahar tersebut menyebabkan warga terdampak mencari tempat aman untuk berlindung. Selain itu korban banjir lahar tersebut tidak dapat memenuhi kebutuhan mereka sendiri karena penghidupan mereka rusak. Keadaaan tersebut membuat mereka rentan terhadap gangguan-gangguan yang mungkin timbul seperti gangguan keamanan dan gangguan kesehatan. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana dalam Pasal 6 menyebutkan bahwa tanggung jawab pemerintah adalah
4
penjaminan pemenuhan hak masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana secara adil dan sesuai dengan standar pelayanan minimum. Adapun yang dimaksud pemenuhan kebutuhan dasar, terdapat dalam pasal 53 meliputi bantuan penyediaan : 1. kebutuhan air bersih dan sanitasi; 2. pangan; 3. sandang; 4. pelayanan kesehatan; 5. pelayanan psikososial; dan 6. penampungan dan tempat hunian. Penanganan masyarakat dan pengungsi yang terkena bencana dilakukan dengan kegiatan meliputi pendataan, penempatan pada lokasi yang aman, dan pemenuhan kebutuhan dasar, oleh karena itu korban yang bertahan dari bencana merupakan tanggung jawab dari pemerintah. Mereka membutuhkan berbagai kebutuhan untuk bertahan hidup salah satunya adalah tempat tinggal untuk berlindung. Pada masa awal setelah kejadian bencana warga terdampak langsung diungsikan ke tempat pengungsian yang diakomodir oleh pemerintah. Setelah selang beberapa waktu (sekitar 7 bulan) warga terdampak tersebut kemudian dipindahkan kehunian sementara (huntara) yang dibangun oleh pemerintah. Sudah hampir dua tahun para korban menempati hunian sementara tersebut. Dalam jangka waktu yang hampir dua tahun tersebut masyarakat menempati huntara yang dindingnya terbuat dari anyaman bambu. Warga terdampak sebagian besar
5
menempati huntara secara tetap karena sudah tidak memiliki tempat tinggal lain. Namun terdapat pula warga terdampak bencana lahar tersebut yang meninggalkan huntara.
Gambar 1.2. Huntara Jumoyo (kiri) dan Huntara Mancasan (kanan) Warga yang meninggalkan huntara merasa tidak betah tinggal di huntara karena dinding yang terbuat dari anyaman bambu terlalu longgar. Hal tesebut menyebabkan angin malam mudah masuk dan ketika turun hujan air juga membasahi ruangan huntara (www.mediaindonesia.com diakses pada tanggal 13 November 2012, 20.12 WIB). Warga yang terpaksa harus bertahan di huntara
menyiasati hal tersebut dengan jalan melapisi dinding huntara dengan plastik hitam. Alasan lain warga meninggalkan huntara adalah terkait dengan jarak huntara ke sawah dan ladang yang terlalu jauh. Mereka keberatan dengan biaya yang harus dikeluarkan karena bolak-balik dari huntara ke sawah ladang, sedangkan penghasilan dari bersawah dan berladang tidak menentu. Warga yang tinggal di huntara sebenarnya akan dipindahkan ke hunian tetap yang sedang di bangun di beberapa tempat di Kabupaten Magelang. Hunian tetap tersebut sedang dalam proses pembangunan, sehingga sebelum hunian tetap
6
siap digunakan warga tetap tinggal di hunian sementara. Pembangunan hunian tetap dapat berupa pembangunan mandiri atau kelompok. Jika pembangunan mandiri warga terdampak sudah memiliki tempat dan tanah sendiri sehingga setelah disurvei memenuhi persyaratan maka masyarakat boleh segera membangun dan mendapatkan bantuan dari pemerintah. Pembangunan hunian tetap secara kelompok memberikan ruang partisipasi yang besar terhadap masyarakat sendiri.
Mereka dibebaskan untuk menentukan desain dan
pembangunan hunian tetap dan masih dipandu oleh fasilitator. Pemenuhan kebutuhan hunian bagi warga terdampak perlu dianalisis karena mempertemukan dimensi antara kebutuhan warga terdampak akan tempat tinggal dan dan kemampuan penyediaan kebutuhan hunian dalam hal ini pemerintah. Dari uraian latar belakang diatas dapat diketahui pentingnya analisis kebutuhan hunian bagi warga terdampak bencana lahar, sehingga ke depannya dapat menjadi rekomendasi untuk penyediaan hunian yang memadai bagi warga terdampak bencana lahar. 1.2 Permasalahan Penelitian Banjir lahar yang memiliki daya rusak yang besar menyebabkan kerusakan pada permukiman. Setelah terjadinya bencana bencana lahar, aktivitas ditekankan pada pemulihan kondisi warga terdampak. Pemerintah mempunyai kewajiban untuk menjamin kebutuhan warganya terlebih yang telah terkena bencana. Seperti yang tercantum dalam UU No 24 Tahun 2007, pemerintah mempunyai kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar dari warga terdampak meliputi kebutuhan air
7
bersih dan sanitasi; pangan; sandang; pelayanan kesehatan; pelayanan psikososial; dan penampungan dan tempat hunian. Terdapat pula standar minimum untuk aksi kemanusiaan yang disusun oleh Proyek Sphere yang disebut dengan Piagam Kemanusiaan dan Standar Minimum. Proyek Sphere ini disusun berdasarkan falsafah yaitu yang pertama, mereka yang terkena bencana atau konflik memiliki hak asasi untuk hidup bermartabat dan, oleh sebab itu berhak untuk mendapatkan bantuan; dan kedua, bahwa semua langkah yang memungkinkan harus diambil untuk meringankan beban penderitaan manusia akibat bencana atau konflik. Salah satu dari standar minimum tersebut adalah hunian dan permukiman. Dasar dari adanya sandar tersebut adalah bahwa setiap manusia memiliki hak terhadap perumahan yang layak. Hunian merupakan unsur yang amat menentukan untuk memastikan keberlangsungan hidup pada tahap awal suatu situasi bencana. Lebih dari sekedar pertahanan hidup, hunian diperlukan untuk memenuhi kebutuhan akan keamanan, keselamatan pribadi dan perlindungan dari iklim dan untuk mendorong ketahanan dari kesehatan yang lemah dan penyakit (Proyek Sphere, 2012). Standar ini merupakan standar internasional yang dapat mendeskripsikan bagaimana seharusnya standar bantuan yang dapat dikatakan layak untuk masyarakat terdampak bencana. Masyarakat terdampak bencana lahar telah bertempat tinggal di tempat pengungsian dan disediakan bangunan huntara oleh pemerintah. Sekarang pembangunan hunian tetap pun juga sudah mulai berjalan. Masyarakat tentunya memiliki kebutuhan tersendiri bagaimana seharusnya bantuan hunian itu.
8
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah di uraikan, maka diperoleh pertanyaan penelitian yang diperinci dengan beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Bagaimana kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam? 2. Bagaimana penyediaan kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam? 3. Bagaimana pemenuhan kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam? 1.3 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai analisis kebutuhan hunian belum banyak dilakukan. Setiap penelitian memiliki ciri tersendiri, penelitian dilakukan oleh penulis pada dasarnya berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu. Perbedaan dari penelitianpenelitian terdahulu dengan penelitian yang akan dilakukan penulis tercantum pada Tabel 1.2 dibawah ini :
9
Tabel 1.2. Keaslian Penelitian No.
Peneliti
Judul Penelitian
Tujuan
1.
Junawan Priyono dan Bambang Budi Wiranto, 2010
Penyelesaian Permasalahan a. Barak dan Shelter Penyintas Tsunami 26 Desember 2004 di Nangroe Aceh Darussalam b.
2.
Mitchell Sipus, 2010
3.
Muhubbuddin Usamah dan Katharine Haynes, 2011
An Assessment of Sphere Humanitarian Standards for Shelter and Settlement Planning in Kenya's Dadaab Refugee Camps An Examination of Resettlement Program at Mayon Volcano : What we can learn for suitable volcanic risk reduction
Mengetahui strategi BRR dalam menyelesaikan masalah huntara yang sudah setengah jalan pada saat diambil alih Mengetahui hikmah ajar yang bisa dipetik dari penuntasan permasalahan huntara di Aceh
Menginvestigasi kemampuan Standar Sphere dalam permukiman Dadaab dengan menggunakan inisiatif shelter sebagai studi kasus Menginvestigasi program pemukiman kembali untuk masyarakat terdampak erupsi Gunung Mayon, Filipina
Metode
Hasil Penelitian
Menggunakan deskriptif Analitik dengan memaparkan, menganalisa dan menarik hikmah ajar dari kebijakan penanganan huntara yang dilakukan oleh BRR
Permasalahan di barak Hikmah ajar yang bisa dipetik, 1) perlu kesamaan visi dalam penanganan huntara, 2) penanganan huntara harus direncanakan sejak awal, 3) harus segera dilakukan pendataan pengungsi, 4) verifikasi harus segera dilakukan dan segera sitetapkan bantuan perumahan untuk korban, 5) segera dilakukan pemindahan ke rumah bantuan, 6) penghuni yang sudah tidak tinggal di barak harus dicatat keberadaannya, 7) perlunya pemahaman yang benar bagi petugas lapangan Sphere tidak menyediakan alat yang diperlukan untuk menghadapi dinamika sosial ekonomi yang matang dalam hunian yang berjangka waktulama
Kualitatif
Menggunakan metode kualitatif, yaitu wawancara terstruktur, observasi partisipan, dan workshop partisipatif
Proses pemilihan site dan perencanaan didasarkan pada penilaian ancaman bencana yang dilakukan oleh badan pemerintah. Desain juga diperhitungkan akan ancaman bencana yang ada sehingga masyarakat merasa lebih aman. Pemukiman kembali ini tidak dipertimbangkannya penghidupan masyarakat dalam proses pemukiman kembali. Pemukiman kembali berdampak pada hilangnya hubungan masyarakat yang telah ada sebelumnya sehingga perlu membangun kembali hubungan
10
4.
Harry Priyanto Putro, 2012
Pembangunan Huntara Pasca Bencana Merapi Di Kabupaten Sleman.
a.
b.
5.
Ageng S. Herianto dan Drajat Wicaksono, 2012
Sosialisasi dan Negosiasi Proses Relokasi Pengungsi Korban Erupsi Merapi di Cangkringan Yogyakarta Upaya Pengurangan Potensi
Mengeksplorasi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan huntara pasca bencana merapi di Kabupaten Sleman. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan huntara pasca bencana merapi di Kabupaten Sleman.
Pemahaman proses Negosiasi gagasan relokasi pengungsi serta memetakan potensi konflik dan negosiasi antara pemerintah dan pengungsi untuk mengurangi potensi konflik yang ada
Menggunakan metode deduktif dengan pendekatan kualitatif eksploratif yang menghasilkan data deskriptif tentang proses pembangunan huntara pasca bencana merapi
Mix Method
masyarakat yang baru dengan komunitas baru. Memaparkan program pemukiman kembali harus secara langsung mengikutsertakan warga terdampaksebagai pengambil keputusan. Berhasilnya pemukiman kembali harus memperhitungkan aspek keamanan penghidupan masyarakat, desain rumah, dan tersedianya fasilitas publik dan fasilitas kehidupan.(fasum, fasos) Perbedaan pengelolaan huntara Pemerintah dan non pemerintah (ACT). Pelaksanaan pembangunan huntara secara umum dilakukan dalam tiga tahap antara lain pematangan lahan, pekerjaan konstruksi bangunan huntara dan penyediaan fasilitas umum. Penyelesaian pembangunan huntara yang dikerjakan oleh ACT lebih cepat dibandingkan dengan yang dikerjakan oleh pemerintah. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perencanaan huntara yaitu sasaran pembangunan huntara, pendataan, penentuan lokasi, partisispasi publik, dan kesiapsiagaan. Sementara faktorfaktor yang yang mempengaruhi proses pelaksanaannya yaitu partisipasi dalam pendanaan, kondisi site, ketersediaan bahan baku dan metode pelaksanaan pekerjaan 1. Relokasi yang disampaikan oleh pemerintah dalam sosialisasi dengan pendekatan masal tidak efektif mendorong pengungsi untuk menerima gagasan tersebut 2. Benih konflik baik vertikal dan horisontal
11
Konflik
6
Muhamad Yasser, 2012
Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian proses relokasi permukiman masyarakat suku Bajau di Desa Kalumbatan Kabupaten Banggai Kepulauan
a. Mengetahui keberhasilan dalam pencapaian proses relokasi permukiman masyarakat Suku Bajau di Desa Kalumbatan b. Faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian proses relokasi permukiman
Deduktif kualitatif
7.
Isna Hayatun, 2013
Analisis Kebutuhan Hunian bagi warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang
a.
Menggunakan metode campuran dengan analisa deskriptif kualitatif dan analisa crosstab
b.
c.
Mengidentifikasi kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam Menganalisis penyediaan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam Menganalisis pemenuhan kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam
muncul ketika gagasan relokasi tidak disampaikan secara rinci 3. Sumber penghidupan dan budaya masyarakat menjadi kunci keberhasilan relokasi pengungsi dan mengurangi potensikonflik yang ada a. Secara umum proses pencapaian relokasi suku Bajau memiliki kecenderungan cukup berhasil b. Faktor yang mempengaruhi pencapaian proses relokasi adalah faktor internal (tingkat pendidikan, jenis pekerjaan,kepemilikan lahan, hubungan kekerabatan) dan faktor eksternal (sarana lingkungan, prasarana lingkungan, aksesibilitas dan dukungan pemerintah) Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan hunian belum semua kriteria sesuai antara kriteria hunian yang dibutuhkan oleh warga dengan kriteria hunian yang disediakan oleh pemerintah. Respon warga terdampak terhadap hunian tetap adalah 1) warga bersedia tinggal di hunian tetap, 2) warga bolak-balik antara hunian tetap dan rumah sebelumnya, 3) warga akan tinggal di rumah sebelumnya dan akan tinggal di hunian tetap jika situasi dan kondisi bahaya lahar, 4) warga tidak bersedia tinggal di hunian tetap. Responden terbanyak yang bersedia tinggal di hunian tetap merupakan responden yang rumahnya rusak total atau hanyut .
12
1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut : a. Mengidentifikasi kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam b. Menganalisis penyediaan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam c. Menganalisis pemenuhan kebutuhan hunian warga terdampak bencana lahar di Kecamatan Salam
1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian bagi ilmu pengetahuan: 1. Memberikan informasi mengenai pemenuhan kebutuhan tempat hunian untuk warga terdampak bencana lahar 2. Sebagai sumber informasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang kebencanaan. Manfaat penelitian bagi pembangunan negara dan bangsa: 1. Menjadi masukan bagi pemerintah sebagai pengambil keputusan dalam pemenuhan tempat hunian warga terdampak banjir lahar 2. Menjadi salah satu acuan dalam melaksanakan kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pemenuhan tempat hunian bagi masyarakat maupun instansi terkait.