SISTEM PROTEKSI KEBAKARAN PASIF KAITANNYA DENGAN ASPEK KESELAMATAN JIWA (Passive fire protection and life safety) Oleh : Suprapto Pusat Litbang Permukiman E-mail :
[email protected]
Abstrak Sejauh mana sistem proteksi pasif (SPP) terkait dengan aspek penyelamatan jiwa (life safety) dapat ditelusuri lewat kurva suhu-waktu. Dengan mengingat bahwa penyelamatan jiwa secara efektif dilakukan pada tahap sebelum flashover (pre-flashover stage) maka pengendalian lewat SPP dilakukan untuk meminimasi intensitas kebakaran, menjamin berfungsinya pembatas api dan asap kebakaran (fire & smoke barriers) agar penghuni bisa menggunakan sarana jalan keluar secara aman terhindar dari sebaran api dan asap. Implementasinya adalah pertimbangan sifat bahan bangunan terhadap api dan ketahanan api komponen struktur bangunan, penerapan sistem kompartemenisasi, dan perlindungan bukaan. Termasuk pula pengaturan jarak bangunan serta penerapan sistem pengendalian asap. Ketentuan mengenai keselamatan jiwa (life safety) mengacu kepada NFPA 101-Life Safety Code sedang ketentuan mengenai SPP mengacu pada SNI 03-1736-2000 yang pada saat ini sudah saatnya direvisi.
Kata kunci :
SPP, kurva suhu-waktu, pre-flashover, intensitas kebakaran, kompartemenisasi
Abstract To what extent passive fire protection (SPP) is quite related to life safety aspects can be scrutinized through time-temperature curve. Considering that evacuating people shall only be effectively conducted before the onset of flashover, hence control by SPP aims at minimizing fire intensity and ensuring fire and smoke barriers to be in function so that people can be protected against fire and smoke hazards. Consideration on the use of incombustible materials, fire resistive structural components compartmentation systems, and opening protection, are parts of the SPP implementation. This also include determining safe separation distance between buildings and smoke control systems. Requirements pertaining life safety refer to the NFPA 101-Life Safety Code and national standards for SPP is contained in the SNI 03-1736-2000 which is currently subject to be revised.
Keywords :
SPP, time-temperature curve, pre-flashover stage, fire intensity, compartmentation
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
104
PENDAHULUAN Berbeda dengan sistem proteksi aktif, sistem pasif masih kurang dikenal atau difahami sehingga kurang diperhatikan khususnya dalam perancangan suatu bangunan atau fasilitas industri. Hal-hal yang menyangkut penggunaan bahan mudah terbakar (combustible materials), kompartemenisasi, kontruksi tahan api (fire-rated construction) , persyaratan pintu dan tangga kebakaran, pemakaian bahan penghambat api dsb merupakan beberapa contoh dari sistem proteksi pasif. Meningkatnya tuntutan persyaratan aman kebakaran dan sistem evakuasi yang aman terutama pada bangunan tinggi maka sistem proteksi pasif sebenarnya semakin diperlukan. Pengamatan terhadap sejumlah kejadian kebakaran menunjukkan bahwa pemakaian bahan mudah terbakar dan tidak adanya konstruksi pembatas tahan api sering mengakibatkan tingginya intensitas kebakaran yang terjadi dan cepatnya penyebaran kebakaran sehingga upaya evakuasi sulit dilakukan dan kerapkali peralatan proteksi yang ada menjadi tidak berdaya atau belum sempat difungsikan. Disamping itu sistem proteksi pasif merupakan indikator apakah bangunan telah diperhitungkan sistem proteksi-nya dari sejak awal tahap perencanaan. Dikaitkan dengan aspek keselamatan jiwa yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini, sistem proteksi pasif sangat diperlukan dalam menjamin efektivitas tindakan penyelamatan, sehingga rancangan sarana jalan ke luar sebagai salah satu aspek penting dalam life safety tidak dapat dipisahkan dari peran sistem proteksi pasif.
105
PENGERTIAN DAN TUJUAN SISTEM PROTEKSI PASIF Sistem Proteksi Pasif (SPP) adalah sistem perlindungan bangunan terhadap kebakaran melalui pertimbangan sifat termal bahan bangunan, penerapan sistem kompartemenisasi dalam bangunan, serta persyaratan ketahanan api struktur bangunan. Termasuk pula dalam sistem pasif ini hal-hal yang menyangkut pengaturan tapak bangunan (site plan), persyaratan akses ke bangunan, perancangan arsitektur dan penataan ruang bangunan dan sistem pengendalian asap. Namun pada beberapa ketentuan, persyaratan mengenai akses ke bangunan dan sistem pengendalian asap diatur tersendiri. Selanjutnya dalam bahasan ini SPP ditekankan pada pertimbangan sifat bahan terhadap api (material fire properties), persyaratan sruktur tahan api, kompartemenisasi dan perlindungan bukaan sebagai unsur pembentuk pembatas api (fire barrier), serta sistem pembatas asap untuk pencegahan aliran asap masuk ruangan hunian (smoke barrier). Mengacu ke KEPMENEG PU no 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Pengamanan Terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung dan Lingkungan, maka Sistem Proteksi Pasif (Bab IV) ditekankan kepada aspek bahan bangunan dan konstruksi yang meliputi persyaratan sebagai berikut : a. Ketahanan api dan stabilitas b. Kompartemenisasi dan pemisahan c. Perlindungan pada bukaan Dalam Kepmen ini, pengaturan mengenai tapak bangunan termasuk akses pemadam kebakaran ke lingkungan Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
bangunan diatur tersendiri dalam Bab II, sarana penyelamatan termasuk evakuasi diatur dalam Bab III sedangkan sistem kontrol asap tercantum sebagai bagian dari sistem proteksi aktif (SPA) pada Bab V Bagian 5 yang terdiri atas sistem deteksi asap dan sistem pembuangan asap. SPP bertujuan untuk : a. Melindungi bangunan dari keruntuhan serentak akibat kebakaran b. Meminimasi intensitas kebakaran apabila terjadi (agar flashover tidak terjadi) c. Memberi waktu bagi penghuni untuk menyelamatkan diri d. Menjamin keberlangsungan fungsi gedung, namun tetap aman e. Melindungi keselamatan petugas pemadam kebakaran saat operasi pemadaman dan penyelamatan
PROTEKSI PASIF SEBAGAI UNSUR POKOK DALAM SISTEM PROTEKSI TOTAL Paradigma baru proteksi kebakaran memunculkan sistem proteksi total (SPT)
sebagai upaya yang efektif dalam pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran baik pada bangunan maupun industri. SPT terdiri atas sistem proteksi aktif, sistem proteksi pasif dan fire safety management. Sistem proteksi aktif (SPA) merupakan sistem yang menggunakan energi dalam pengoperasiannya (energized systems), sistem pasif merupakan built-in system, sedang fire safety management (FSM) lebih merupakan sebagai human-oriented systems. Dibandingkan dengan SPA dan FSM, sistem proteksi pasif memiliki rentang tanggung jawab terpanjang ditinjau dari historis perkembangan kebakaran yang ditunjukan dalam kurva suhu-waktu (time temperature curve), sebagaimana diperlihatkan pada Gambar-1. Pada gambar tersebut diperlihatkan pula mengenai tahap-tahap pertumbuhan, sifat api, tindakan yang perlu dilakukan penghuni, jenis pendeteksian dan peran sistem proteksi baik aktif maupun pasif.
Gb 1. Kurva suhu - waktu, indikasi bahaya dikaitkan dengan intensitas kebakaran serta pengendalian baik dgn sistem aktif maupun pasif <1> Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
106
SPP DAN ASPEK KESELAMATAN JIWA (LIFE SAFETY) Sesuai dengan tujuan-nya SPP memiliki peran sangat penting dalam menunjang aspek keselamatan jiwa (life safety). Dimana posisi sebenarnya dari life safety dan bagaimana peran SPP dapat dilihat pada Gmb-1. Terlihat bahwa tindakan penyelamatan (escape) harus dilakukan pada tahap sebelum flashover. Bila flashover terjadi dengan temperatur ruangan mencapai 500-600oC maka kondisi ruangan menjadi tak tertahankan (untenable) dan evakuasi penghuni tidak mungkin terlaksana (Gmb-2). Pada tahap sebelum flashover atau pre-flashover ini kebakaran masih dalam tahap pertumbuhan, api dikendalikan oleh bahan bakar; jumlah dan sifat terbakar bahan berperan penting dalam hal ini. Dengan intensitas kebakaran yang belum parah (low severety), ditandai dengan temperatur kebakaran dan produksi asap yang relatif rendah maka tindakan penyelamatan masih dimungkinkan. Waktu dalam hal ini merupakan unsur yang paling pokok sesuai dengan persamaan sebagai berikut (Drysdale, 1985) : tp
+ ta
+ trs < tu
(1) dengan
tp = waktu dari saat penyulutan hingga saat kebakaran terdeteksi ta = waktu tunda antara saat kebakaran terdeteksi hingga aktivitas penyelamatan mulai trs = waktu pindah ke lokasi yang relatif aman tu = waktu dari saat penyulutan hingga kondisi ruangan menjadi tak tertahankan Meskipun tp bisa direduksi dengan sistem alarm otomatik sensitif, namun tetap keberhasilan penyelamatan kebakaran sangat tergantung pada sejauh mana kecepatan pertumbuhan kebakaran, dalam hal ini unsur tu. Oleh karena itu waktu pencapaian flashover menjadi sangat penting. Pada beberapa kasus berkisar antara 3 hinggga 5 menit! Dalam hal ini penting dipertimbangkan unsur bahan bangunan termasuk bahan interior bangunan. Penggunaan bahan tidak mudah terbakar (non combustible) sangat dianjurkan atau penggunaan bahan penghambat api apabila penggunaan bahan combustible tidak dapat dihindarkan. Intensitas kebakaran hingga flashover terjadi dipengaruhi oleh beberapa parameter antara lain ukuran bukaan, ukuran dan bentuk ruangan, kecepatan pembakaran, nilai pelepasan kalor bahan bakar dalam ruangan dan penempatan serta lokasi bahan bakar.
Gb 2. Flashover pada bangunan pusat perbelanjaan 107
Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
Hal-hal menyangkut perilaku bahan bangunan dikaitkan dengan sifatnya terhadap api yang menunjang terhadap intensitas kebakaran merupakan bagian dari SPP khususnya dikaitkan dengan aspek life safety. Hal kedua yang memerlukan peran SPP adalah dalam menunjang fungsi konstruksi pemisah khususnya bagi eksit dan komponenkomponen-nya. Agar penghuni dapat
menyelamatkan diri secara aman maka konstruksi sarana jalan ke luar harus benar-benar mampu berfungsi sebagai fire & smoke barriers. Tingkat ketahanan api (fire resistance) yang cukup, sistem kompartemenisasi dan perlindungan bukaan merupakan persyaratan yang harus dipenuhi dalam merancang sarana jalan ke luar yang aman sebagai unsur pokok dalam life safety.
Gb 3. Kurva suhu-waktu untuk berbagai harga beban api dan faktor bukaan
PERSYARATAN PENGGUNAAN BAHAN BANGUNAN Bahan bangunan mempengaruhi intensitas kebakaran. Oleh karena itu agar kebakaran yang mungkin terjadi dapat diminimasi intensitasnya, maka pemakaian bahan bangunan harus mempertimbangkan persyaratan berikut : a. Pertimbangan klas mutu bahan (mudah terbakar – semi mudah
terbakar – menghambat api – semi menghambat api – sukar terbakar) termasuk pula disini bahan interior atau lapis penutup
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
b. Unsur kρc atau inersia termal bahan mempengaruhi sifat tersulutnya suatu bahan c. Jumlah dan perletakan bahan mudah terbakar dalam suatu ruangan menentukan beban api (fire / fuel load) dalam ruangan tersebut d. Beban api dan faktor bukaan menentukan intensitas kebakaran dalam ruangan (Lihat Gmb-3) e. Penggunaan bahan penghambat api (fire retardant materials) untuk meningkatkan klas mutu bahan, apabila pemakaian bahan mudah terbakar tidak dapat dihindari 108
f.
Pertimbangan beban api sesuai dengan klas penggunaan bangunan g. Integrasi dengan sistem aktif dan fire safety management membentuk sistem proteksi total (total fire protection)
KONSTRUKSI PELINDUNG UNTUK EKSIT Setelah upaya meminimasi intensitas kebakaran agar kebakaran yang terjadi tidak parah saat dilakukan evakuasi, maka selanjutnya bagaimana agar jalur evakuasi aman terhadap kemungkinan penjalaran kebakaran dan juga kemungkinan keruntuhan akibat panas tinggi. Dalam hal ini Life Safety Code (NFPA 101) banyak mengatur mengenai
sarana jalan ke luar (means of egress). Sarana jalan ke luar adalah jalur menerus yang tidak terhalangi dari setiap titik ruangan dalam bangunan ke halaman luar bangunan (tentunya di lantai dasar). Sarana jalan ke luar terdiri atas akses ke eksit (exit access), eksit dan pelepasan eksit (exit disharge). Sedangkan eksit (exit) diartikan sebagai bagian dari sarana jalan ke luar yang dipisahkan dari ruang-ruang lainnya dalam bangunan lewat konstruksi tahan api atau peralatan proteksi kebakaran agar terwujud jalan ke luar yang aman menuju ke pelepasan eksit. Sarana jalan ke luar dengan komponen-komponen nya digambarkan pada Gmb-4
A- E + sarana A- C Pintu C Kotak C-D Pintu D Kotak D-E D-E Pintu E
: : : : :
means of egress exit access door to stairway eksit door to exit ischarge : exit discharge : exit passageway : exterior exit door
Travel distance : A ke E Apabila eksit dalam konstruksi tahan api sesuai ketentuan, maka travel distance adalah dari A ke C
Gb 4 . Komponen sarana jalan ke luar (means of egress) Sejauh mana SPP berperan dalam hal ini dapat dilihat dari persyaratan dasar namun pokok pada sarana jalan ke luar
109
berdasarkan NFPA 101 Bab 2 yang disusun dalam Tabel berikut.
Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
Tabel- 1 Exit & Egress
Fundamental requirement of exiting sytem (NFPA 101, Chapter 2) No 1
2
3
4
5
6 7
8
Persyaratan sarana jalan ke luar Setiap bangunan (baru maupun lama) harus dilengkapi dengan sarana jalan ke luar dan kelengkapan lainnya untuk menjamin penyelamatan segera dari penghuni atau sarana lain yang menjamin tingkat kesela-matan yang tinggi saat terjadi kebakaran dan keadaan darurat lainnya Bangunan harus dikonstruksi, diatur dan dioperasikan sedemikian rupa agar terhindar dari bahaya yang mengancam keselamatan jiwa penghu-ni akibat asap, nyala api dan rasa panik saat harus melakukan evakuasi atau harus bertahan di tempat dalam bangunan bila terjadi kebakaran atau keadaan darurat ( emergency) lainnya Setiap bangunan harus dilengkapi dengan eksit dan pengaman lainnya yang sesuai dalam jumlah cukup, terpasang di lokasi yang tepat, disesuaikan dengan sifat hunian dan kemampuan penghuni sedemi-kian hingga menjamin tingkat keamanan yang memenuhi Eksit harus diatur dan dipelihara untuk menjamin jalur evakuasi aman tanpa hambatan dari setiap bagian bangunan pada setiap saat. Pintu dalam keadaan tidak terkunci agar tidak menghalangi tindakan penyelamatan dari dalam.
Peran SPP Konstruksi jalan ke luar yang aman Struktur tahan api
Setiap eksit harus mudah dilihat atau setiap rute ke eksit harus mudah diketahui sedemikian rupa sehingga setiap penghuni yang secara fisik dan mental mampu akan segera mengetahui arah penyelamatan dari setiap titik lokasi dalam bangunan. Rancangan sistem pencahayaan buatan dalam bangunan harus pula memasukkan untuk fasilitas eksit sesuai ketentuan yang berlaku Apabila ukuran, pengaturan ataupun pemanfaatan bangunan tidak memungkinkan kebakaran dapat terdeteksi, maka bangunan perlu dilengkapi dengan fasilitas alarm kebakaran yang memenuhi syarat. Alarm tersebut selain untuk memberi tahu penghuni juga sebagai tanda untuk memulai prosedur emergency. Sekurang-kurangnya 2 (dua) jalan ke luar harus disediakan dalam bangunan, setiap bagian bangunan atau area dimana karena ukuran, jenis penggunaan atau pengaturan akan membahayakan penghuni yang hanya
Exit signs
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
Struktur tahan api Penerapan sistem kompartemenisasi
Konstruksi tahan api utk sarana
jalan ke luar
Exit signs
Konstruksi tahan
api
Sistem
kompartemenisasi
Sistem kontrol
asap
Travel distance Exit signs Fire alarm systems Fire & emergency response procedure Penempatan dan jumlah eksit sesuai beban hunian 110
No
9
Persyaratan sarana jalan ke luar memakai 1 (satu) sarana jalan ke luar, sementara asap dan api menghalangi jalan tersebut.
Peran SPP Kompartemenisasi Sistem kontrol
Jalur vertikal eksit dan bukaan-bukaan vertikal lainnya antar lantai bangunan harus dilindungi atau diproteksi sesuai ketentuan untuk menjamin keselamatan penghuni yang menggunakannya dan mencegah penjalaran api serta asap lewat bukaan vertikal dari lantai ke lantai sebelum penghuni masuk ke dalamnya untuk evakuasi
Kompartemenisasi Perlindungan bukaan
Selanjutnya peran SPP terlihat nyata apabila memperhatikan ketentuan – ketentuan mengenai eksit sebagaimana tercantum dalam NFPA 101 section 5-1.3 sebagai berikut. Apabila eksit disyaratkan harus diletakkan terpisah dari bagian atau ruang-ruang lain dalam bangunan dengan konstruksi aman kebakaran, maka konstruksi pelindung / pemisah tersebut harus memenuhi : a. Memiliki ketahanan minimal 1 jam apabila eksit menghubungkan 3 lantai atau kurang, di atas atau di bawah lantai pelepasan eksit (exit discharge) b. Memiliki ketahanan api sekurangkurangnya 2 jam apabila eksit tsb menghubungkan 4 – 5 lantai, baik di atas atau di bawah lantai pelepasan eksit. c. Eksit harus dibuat dari bahan-bahan yang tidak mudah terbakar (non combustible) dan ditopang dengan konstruksi yang memiliki ketahanan api minimal 2 jam d. Apabila konstruksi pemisah tersebut memiliki bukaan maka harus dilindungi dengan pintu kebakaran yang dilengkapi dengan self closing devices. e. Bukaan di dalam konstruksi pelindung eksit harus dibatasi hanya untuk keperluan akses masuk ke dalam kontruksi pelindung eksit dari ruang-ruang hunian normal dan dari 111
f.
asap
koridor, dan dari konstruksi pelindung eksit ke luar. Penembusan ke dalam konstruksi pelindung eksit dan bukaan-bukaan melewati susunan konstruksi pelindung eksit tidak diperbolehkan kecuali untuk pintu-pintu eksit yang disyaratkan, saluran udara dan peralatan yang diperlukan untuk sistem presurisasi independen pada tangga, pipa sprinkler, slang kebakaran dan jaringan listrik yang melayani tangga. Tidak boleh ada penembusan atau bukaan komunikasi antar konstruksi pelindung eksit yang berdekatan.
PERSYARATAN KOMPONEN STRUKTUR BANGUNAN Perancangan struktur bangunan aman kebakaran harus memperhitungkan halhal berikut : a. Tipe konstruksi yang dirancang sesuai jenis bahan pembentuknya (A,B atau C) b. Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan (fire rated construction), untuk mencapai tingkat ketahanan api (TKA), yang mencakup : unsur stabilitas struktur (stability) unsur ketahanan terhadap retakan akibat panas (integration) Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
unsur ketahanan terhadap penetrasi panas (insulation) Persyaratan sistem kompartemenisasi dan pemisahan, meliputi : ukuran maksimum kompartemen persyaratan pemisahan kombinasi dengan sistem proteksi aktif
c.
d. Persyaratan perlindungan pada bukaan e. Integrasi dengan sistem proteksi aktif Adapun kriteria kegagalan (failure criteria) untuk elemen konstruksi bangunan kaitannya dengan ketahanan api, dapat dilihat pada Tabel berikut.
Tabel-2 Kriteria kegagalan elemen konstruksi bangunan Elemen Konstruksi Partisi Dinding pemikul Lantai / plafond Balok (beam) Kolom Kaca tahan api
Stabilitas
X X X X
Integritas
Insulasi
X X X
X X X
X
(Buchanan : Fire Engineering Design Guide, 1994)
Gb 5. Uji pintu kebakaran dengan tungku vertikal Pada tahap pasca flashover, hasil perkalian beban api, faktor ventilasi dan faktor konversi (ditentukan berdasarkan jenis atau tipe konstruksi) menghasilkan apa yang disebut Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
Gb 6. Uji ketahanan api dinding
dengan keparahan kebakaran ekivalen (equivalent fire severity) yang merupakan ukuran tingkat keparahan akibat kebakaran.
112
KOMPARTEMENISASI Kompartemenisasi dimaksudkan untuk membatasi kebakaran di suatu ruangan agar tidak menjalar ke ruangan ruangan
lainnya dalam bangunan tersebut. Menurut KEPMEN PU 10/KPTS/2000 ukuran kompartemenisasi ditentukan berdasarkan jenis penggunaan bangunan dan tipe konstruksi sebagaimana diperlihatkan pada Tabel-3 berikut :
Tabel-3 Ukuran kompartemenisasi URAIAN Klas 5 atau 9b
Maks Maks Maks Maks
luas lantai volume luas lantai volume
Tipe konstruksi bangunan Tipe-A Tipe-B Tipe-C 8000 m2 5500 m2 3000 m2 48000 m3 33500 m3 18000 m3 2 2 5000 m 3500 m 2000 m2 3 3 30000 m 21500 m 12000 m3
Klas 6,7,8 dan 9a (kecuali daerah perawatan pasien) Keterangan : Bangunan klas 5 : Bangunan kantor Bangunan klas 6 : Bangunan perdagangan Bangunan klas 7 : Bangunan gudang / tempat penyimpanan Bangunan klas 8 : Bangunan industri / lab / pabrik Bangunan klas 9a: Bangunan perawatan kesehatan Bangunan klas 9b: Bangunan pertemuan / sekolah Konstruksi tipe A : konstruksi tahan api Konstruksi tipe B : konstruksi semi tahan api Konstruksi tipe C : konstruksi dari bahan mudah terbakar Contoh penerapan kompartemenisasi dapat dilihat pada gambar berikut :
Gb 7. Kompartemenisasi pada bangunan rumah gandeng
113
Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
Gb 8. Kompartemenisasi pada suatu ruangan (ruang mesin) yang memperlihatkan cara perlindungan pada setiap lubang penembusan dengan penyetop api ( fire stopping) PERLINDUNGAN PADA BUKAAN Untuk menunjang kompartemenisasi maka pada setiap bukaan harus dilindungi terhadap penyebaran api atau asap kebakaran melalui pemasangan
penyetop api (fire stopping) maupun damper api / asap pada ducting atau sistem saluran udara. Contoh-contoh terdapat pada gambar-gambar berikut .
Gb 9. Penutup lubang di dinding Gb 10. Fire stopping
PERSYARATAN SISTEM PROTEKSI PASIF DALAM SNI 03-1736-2000 Persyaratan sistem proteksi pasif sesuai SNI no 03-1736-2000 meliputi : Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
Gb 11. Damper api di duct AC
a. Persyaratan kinerja sistem pasif b. Persyaratan penggunaan bahan bangunan c. Persyaratan ketahanan api komponen struktur bangunan d. Persyaratan kompartemenisasi dan pemisahan 114
e. Persyaratan perlindungan bukaan atau penembusan ruangan
pada dalam
(1)
Persyaratan kinerja sistem proteksi pasif meliputi : a. Temperatur lapisan gas panas dalam ruang tidak melebihi 500oC dan fluks kalor ke lantai tidak melebihi 20kW/m2 atau tidak terjadi flashover b. Kebakaran dibatasi lokasi dan penjalarannya c. Struktur tetap stabil sampai batas waktu yang aman untuk penyelamatan penghuni d. Stabilitas struktur bangunan harus memperhitungkan : Fungsi bangunan Beban api Intensitas kebakaran yang bakal terjadi Potensi bahaya kebakaran Ketinggian bangunan Kedekatan dengan bangunan lainnya Sistem proteksi aktif terpasang Ukuran / dimensi kompartemen kebakaran Respons pemadam kebakaran Elemen bangunan lain yang mendukung Evakuasi penghuni bangunan e. Produksi asap tidak mengurangi jarak pandang khususnya di jalur evakuasi f. Pembatasan beban api sesuai penggunaan atau fungsi bangunan
(2)
KETENTUAN DAN STANDAR TEKNIS TERKAIT DENGAN SPP Ketentuan tentang sistem proteksi pasif dicakup dalam beberapa peraturan dan standar sebagai berikut :
115
(3) (4)
(5)
KEPMENEG PU no 11/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis Manajemen Pengamanan Kebakaran di Perkotaan Perda no 03 tahun 1992 tentang Penanggulangan Kebakaran di Wilayah DKI Jakarta Raya (beberapa pasal) SNI no 03-1736-2000 tentang Standar Perencanaan Sistem Proteksi Pasif SNI no 03-1735-2000 tentang Tatacara Perencanaan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung SNI no 03-1746-2000 tentang Tatacara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar untuk Penyelamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung.
Beberapa hal yang masih perlu direvisi atau di-update khususnya dalam standar sistem proteksi pasif adalah : (1) Pembagian klas atau tipe konstruksi (pada standar terbagi menjadi klas A – B dan C), bagaimana dengan konstruksi kayu (2) Penentuan klas bahan bangunan dikaitkan dengan tingkat penyebaran api (3) Spesifikasi bahan penghambat api (4) Spesifikasi bahan pelapis struktur baja dan ketebalan-nya (5) Spesifikasi bahan penyetop api dan damper api Selanjutnya dengan mengingat usia SNI 03-1736-2000 sudah 6 tahun maka perlu di tinjau ulang untuk direvisi atau disempurnakan lagi substansinya. Substansi di standar ini pun belum berkorespondensi dengan standarstandar pendukung lainnya seperti standar-standar metoda uji Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
(combustibility, ignitability, flame spread, konduktivitas bahan dll) dan standarstandar uji tersebut-pun harus pula di update.
KESIMPULAN & SARAN (1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
Sistem proteksi pasif (SPP) memiliki peran strategis dalam pencegahan dan penanggulangan kebakaran karena menjangkau seluruh upaya pengendalian dari sejak tahap penyulutan hingga tahap surut dalam kurva pertumbuhan api. Dikaitkan dengan aspek keselamatan jiwa (life safety) yang secara efektif harus dilakukan pada tahap pre-flashover, SPP berperan dalam pengaturan pemakaian bahan bangunan dan interior bangunan dalam upaya meminimasi intensitas kebakaran serta menunjang terhadap tersedianya sarana jalan ke luar aman kebakaran termasuk penyediaan eksit. Dengan meningkatnya tuntutan akan sistem proteksi total (total fire safety) menghadapi kompleksitas masalah kebakaran maka sistem proteksi pasif perlu lebih diapresiasi. Sistem proteksi pasif memberikan indikasi apakah sistem proteksi kebakaran telah direncanakan semenjak tahap awal perencanaan bangunan tersebut. SNI 03-1736-2000 mengenai perencanaan sistem proteksi pasif untuk pencegahan kebakaran pada bangunan gedung harus lebih ditingkatkan sosialisasinya, disusun pedoman teknisnya dan sudah saatnya direvisi. Dalam rangka pengembangan sistem proteksi pasif maka perlu
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
(7)
disusun atau di-update standarstandar menyangkut metoda uji, spesifikasi bahan dan listing TKA dari berbagai jenis bahan, komposisi dan spesifikasinya. Perlu disusun pedoman atau petunjuk teknis mengenai penerapan sistem kompartemenisasi disesuaikan dengan jenis atau klas penggunaan bangunan.
DAFTAR PUSTAKA A.H (1994),” Fire Engineering Design Guide,” Centre
1. Buchanan,
for Advanced Engineering, University of Canterbury, New Zealand 2. Drysdale, Dougal (1985), “ An Introduction to Fire Dynamics,” John Wiley & Sons, pp 278 – 303 3. KEPMENEG PU no 10/KPTS/2000 tentang Ketentuan Teknis
Pengamanan terhadap Bahaya Kebakaran pada Bangunan dan Lingkungan, 2000
4. KEPMENEG tentang
PU
no
11/KPTS/2000
Ketentuan Teknis Manajemen Pengamanan Kebakaran di Perkotaan, 2000 5. NFPA 101 (1994),” Life Safety Code Handbook,” National Fire Protection Association Inc, Quincy, Massachusetts, USA 6. Patterson, James (1993),” Simplified Design for Building Fire Safety,” John Wiley and Sons, pp 157 – 211. 7. Perda no 03 tahun 1992 tentang Penanggulangan Kebakaran di Wilayah DKI Jakarta Raya (beberapa pasal) 8. SNI no 03-1736-2000 tentang Standar Perencanaan Sistem Proteksi Pasif 116
9. SNI no. 03 – 1735 - 2000 tentang Tatacara Perencanaan Akses Lingkungan untuk Pencegahan Bahaya Kebakaran pada Bangunan Gedung 10. SNI no 03-1746-2000 tentang Tatacara Perencanaan dan Pemasangan Sarana Jalan Keluar
117
untuk Penyelamatan Kebakaran pada Bangunan Gedung 11. Suprapto (2004),” Sistem Proteksi
Pasif, kurang diperhatikan namun sangat penting,” IFFC Bulletin, edisi Perdana, 2005
Sistem Proteksi Kebakaran …(Suprapto)
NATRIUM SILIKAT SEBAGAI BAHAN PENGHAMBAT API AMAN LINGKUNGAN Oleh : Achmad Hidajat Effendi Pusat Litbang Permukiman E-mail :
[email protected]
Abstrak
Penelitian bahan penghambat api aman lingkungan dengan bahan dasar silika, dimaksudkan untuk meneliti keampuhan bahan penghambat api yang terbuat dari bahan kimia natrium silikat (Na2SiO3.2H2O) . Dari bahan penghambat api natrium silikat ini, akan diteliti komposisi campuran yang terbaik terhadap kinerja api dan kemudahan dalam pengerjaan atau pelaburan, serta akan diteliti pula berapa berat lapisan yang optimum per m2. Penelitian dilakukan dengan metode eksperiman dengan alat uji yang digunakan adalah, uji jalar api pada permukaan bahan (JIS A 1321-1994 nomor 605). Pada percobaan ini akan dilakukan pula hipotesis uji dari perlakuan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah terhadap ketentuan uji jalar api pada permukaan bahan, yaitu apakah terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan meranti merah ditinjau dari kenaikan temperatur (td θ) dan kepadatan asap (CA). Hasil uji menunjukkan, bahwa besarnya nilai berat lapisan bahan penghambat api yang diserap oleh kayu tidak berpengaruh terhadap kinerja api, artinya semakin berat lapisan bahan penghambat api natrium silikat yang diserap kayu, semakin tinggi nilai kenaikan temperatur (td θ) dan kepadatan asap (CA), hal ini dibuktikan oleh komposisi campuran 1 : 1 pada kayu borneo dan meranti merah. Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat yang baik terhadap kinerja api dan mudah dalam pengerjaan, adalah 7 : 1 hingga 10 : 1 dengan berat lapisan optimum per m2 sekitar 0,7 kg. Kayu borneo dan meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, termasuk ke dalam bahan mutu 4 (Agak menghambat api), sebaliknya kayu borneo dan meranti merah diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat dengan komposisi campuran 10 : 1 dan 7 : 1 menunjukkan peningkatan mutu bahan, menjadi mutu 2 (Sukar terbakar).
Kata Kunci : bahan penghambat api, natrium silikat, kayu borneo, kayu meranti merah, kenaikan temperatur, densitas asap, sukar terbakar, menghambat api.
agak
Abstract
This research aims at investigating the effectiveness of fire retardant siliceous based materials which is made of natrium silicate (Na 2SiO3.2H2O). Factors related to selection of mixed composition with respect to fire such as the easiness in processing or coating as well as the optimum weight of coating per m2 are investigated. Experimental method is used in this research with equipment used in this experiment include Fire Propagation Test Apparatus (based on JIS A 1321, 1994, # 605). Experiment is done on Borneo and Red Meranti Wood and comparison is done on the result of test undertaken on these Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
118
types of wood which are treated with siliceous based fire retardant materials. Investigation also reveals that the more natrium silicate absorbed by the wood will increase the temperature rise (td θ) and smoke developed index. Experiment on mixture composition of 1 : 1 on both woods has proven it. The best mixture of siliceous based fire retardant against fire while ensuring ease workmanship is under the ratio 7 : 1 up to 10 : 1, with the layer optimum weight per m2 is approximately 0.7 kg. Using this type of fire retardant has proven the increase in the quality of Borneo wood and Red Meranti wood from quality class 4 (Semi fire retardant) to become quality class 2 (Semi non combustible).
Keywords :
fire retardant materials, natrium silicate, borneo wood, red meranti wood, temperature rise, smoke developed index, semi non combustible, semi fire retardant.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Akhir-akhir ini kebutuhan akan kayu semakin meningkat tidak hanya segi kwantitas melainkan juga segi kwalitas, dilain pihak kebutuhan kayu yang berkwalitas tidak dapat memenuhi laju permintaan yang terus meningkat, akibat langsung adalah semakin mahalnya harga kayu, sehingga sebagian masyarakat banyak yang menggunakan kayu dengan kwalitas yang lebih rendah dengan usia pakai yang relatif pendek. Kiranya perlu menjadi bahan pemikiran bersama, bagaimana cara memenuhi kebutuhan kayu berkwalitas tanpa merusak eko sistem lingkungan atau tidak sematamata melakukan penebangan, namun mencari solusi melalui penelitian, misalnya menciptakan kayu sintetis. Salah satu cara tradisional untuk meningkatkan usia pakai kayu adalah dengan proses pengawetan yang sekaligus dapat berfungsi meningkatkan ketahanan kayu terhadap api, melalui cara perlakuan bahan penghambat api terhadap kayu. 119
Kayu dan bahan berbasis kayu merupakan bahan yang mudah terbakar, oleh karena itu untuk meningkatkan ketahanan kayu diperlukan bahan penghambat api. Bahan penghambat api adalah suatu bahan senyawa kimia yang berfungsi untuk mencegah timbulnya penyalaan dan penjalaran api pada permukaan suatu bahan termasuk kayu dan bahan berbasis kayu. Selaras dengan Surat Keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 02/KPTS/1985, yang menyatakan bahwa suatu langkah dapat dilakukan agar bangunan rumah dan gedung dapat memenuhi ketentuan ketahanan terhadap api, yaitu dengan penggunaan bahan penghambat api pada bahan bangunan yang membentuk struktur utamanya.
Permasalahan Sejalan dengan pesatnya perkembangan pengetahuan dan perekonomian masyarakat akhir-akhir ini, ditandai dengan meningkatnya kebutuhan akan perumahan yang sehat, berdampak terhadap peningkatan kebutuhan kayu sebagai salah satu bahan bangunan utama. Sedangkan sumber daya kayu Natrium Silikat …(Achmad H.E)
saat ini sudah semakin terbatas, sehingga pengendalian dan pengawasan Pemerintah dalam sektor perkayuan semakin ketat. Sementara itu data statistik kebakaran menunjukkan bahwa bangunan rumah tinggal yang terbakar dengan jenis konstruksi bangunan kayu menduduki peringkat pertama, hal ini akibat sifat kayu yang sangat rentan terhadap bahaya kebakaran.
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah untuk memperoleh komposisi campuran, berat lapisan yang optimum per m2, dan kinerja kehandalan bahan penghambat api natrium silikat terhadap api.
Lingkup Penelitian
Lingkup bahasan dalam penelitian ini, yaitu pembuatan komposisi campuran dan pelapisan bahan penghambat api natrium silikat serta pengujian laboratorium, tentang uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan meranti merah.
TINJAUAN PUSTAKA Pengertian dan Mekanisme Perilaku Bahan Penghambat Api Bahan penghambat api adalah senyawa kimia yang diberikan kepada suatu bahan melalui perlakuan (treatment) tertentu, sehingga bahan tersebut meningkat daya tahannya terhadap api. R. Friedman menyatakan bahwa bahan penghambat api adalah bahan kimia yang dapat mengubah sifat terbakarnya suatu bahan, bila diterapkan pada suatu bahan, maka bahan tersebut menjadi lebih lama tersulut (ignited), dan bila tersulut bahan akan terbakar secara perlahan, dibandingkan dengan bahan yang tidak diberi perlakuan bahan penghambat api.1) Pendapat Lyons Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
bahan penghambat api adalah bahan yang mampu menurunkan sifat kemampuan menyala, membuat lambat terbakar dan tidak menyebarkan api secara cepat.2) Beberapa jenis bahan penghambat api mampu menahan nyala lanjut dari terbakarnya kayu. Tetapi perlu diingat bahwa tidak satupun bahan penghambat api dapat mencegah pembakaran (combustion), terutama bila dihadapkan pada pancaran panas radiasi atau pada kondisi dimana konsentrasi oksigen cukup tinggi. Dalam mekanisme proses menghambat api, terdapat sedikitnya empat pola, yaitu sebagai berikut : 1. Bahan penghambat api membentuk pengarangan dan mengurangi pembentukan gas-gas mudah menyala (flammable), misalnya bahan yang mengandung karbon, hidrogen dan oksigen, terurai membentuk arang dan uap air serta gas-gas mudah menyala, seperti CO, H2 dan gas-gas hidrokarbon. Bahan penghambat api yang efektif akan membentuk lebih banyak arang dan uap air. 2. Bahan penghambat api melepas gasgas yang memperlambat atau memadamkan reaksi-reaksi pembakaran melalui pengenceran (dilution) dan pendinginan, kemudian menghentikan secara kimia berlangsungnya reaksi rantai, perilaku semacam ini umumnya ditunjukkan oleh bahan penghambat api dari jenis halogen. Selanjutnya bahan penghambat api terurai secara endotermis, serta menyerap kalor yang tanpa kehadiran bahan penghambat api bisa merusak bahan dasarnya, misalnya hidrasi alumina (Al2O3.3H2O) atau kapur padam 120
(CaCO3) yang dapat dicampur dengan plastik. Bila dipanasi, akan terurai dengan menyerap kalor dan melepas H2O atau CO2 yang akan mendinginkan nyala api, sebagai berikut : (Al2O3.3H2O)pdt (CaCO3)pdt
(Al2O3)pdt + 3H2Ogas H = +162 KJ (CaO)pdt + CO2 gas H = +178 KJ
Kemudian bahan penghambat api membentuk suatu lapisan diatas permukaan bahan, seperti lapisan kaca atau busa yang pada batas-batas tertentu mampu mengisolasi permukaan bawah terhadap nyala api dari atas. Bahan penghambat api sering digunakan sebagai bahan additive (tambahan) pada bahan bangunan organik sintetik maupun organik alami dengan maksud meningkatkan kekuatannya termasuk terhadap api.
Jenis dan Macam Penghambat Api
Bahan
Bahan kimia yang biasa digunakan sebagai bahan penghambat api antara lain jenis garam monoammonium dan diammonium phospat, ammonium sulfat, seng khlorida, sodium tetraborat dan asam borat yang tersusun dalam suatu formula tertentu. Secara keseluruhan bahan penghambat api berpusat pada enam unsur kimia yaitu phospor, antimon, khlor, brom dan nitrogen. Ion-ion positif dari garam yang paling efektif adalah ammonium (NH4), sodium potasium dan zinc. Sedangkan ion-ion negatif adalah phospat (PO4)-3, borat (BO2)-1, silikat (SiO3)-2, Sulfat (SO4)-2 dan sulfanat (NH2SO3)-4 . Komponen-komponen organik yang mengandung phospor, boron, halogen atau nitrogen 121
(umumnya sebagai NH2) juga digunakan sebagai bahan peresap untuk kayu. Salah satu contoh bahan penghambat api adalah minalit yang terdiri atas campuran diammonium phospat, ammonium sulfat, boraks dan asam borat dengan perbandingan 1:6:1:2. Zat additive sering ditambahkan untuk mencegah karat, misalnya sodium dichromat. Sedangkan untuk mencegah kelunturan ditambahkan beberapa bahan seperti melamine, urea, asam phospor dan formaldehyde. Keuntungan bahan tersebut disamping membuat bahan yang diberi perlakuan menjadi tahan terhadap api, juga merupakan bahan pengawet. Selain itu dapat pula meningkatkan kayu terhadap pelapukan yang disebabkan oleh kelembaban dan air. Kerugiannya bahan menjadi bersifat korosif terutama terhadap logam.
Kegunaan atau Fungsi Natrium Silikat Natrium silikat digunakan sebagai bahan pelindung kayu dan batu berpori ( porous stone ) zat pengikat untuk pigment, perekat stone ware , water proofing walls (dinding tahan air), karton/ kertas pembungkus yang dilapisi lemak / lilin), pelapis batang las, bahan pengisi untuk sabun, sebagai katalis untuk gasolin dengan nilai oktan tinggi dan akan diuji coba sebagai bahan penghambat api.
_____________________________ 1)
Fridman, Raymond, Principles of Fire Protection Chemistry, (Association, 1996), p. 126-128.. 2) Lyons, J.W, The Chemistry and Uses of Fire Retardants, (New York : John Wiley and Sons Inc., 1995).
Natrium Silikat …(Achmad H.E)
Silikat hidrat dari alumina (aquagel) digunakan dengan cara yang sama untuk beton tahan air. Semen tahan asam dibuat dari campuran bubuk semen dengan larutan natrium silikat, selain itu dipakai untuk melapisi tankitanki bahan kimia.3)
Natrium Silikat Sebagai Bahan Penghambat api Natrium silikat atau sodium silikat atau waterglass yaitu garam yang larut dalam air dengan komposisi sodium meta silikat (Na2SiO3 atau Na2SiO3.9H2O), bentuk lain dari silikat adalah sesquisulikat (3Na2O.2SiO3). Natrium silikat biasanya digunakan sebagai bahan detergent, mempunyai sifat pengemulsi dan dapat menambah kekuatan serta memiliki sifat adhesive yang baik. Bentuk padat dari natrium silikat terlihat seperti gelas dan larut dalam air panas, meleleh pada temperatur 1018ºC. Bahan natrium silikat ini diperoleh dengan melelehkan pasir, batubara dan soda. Campuran dilarutkan dalam air dan dididihkan dalam waktu lama, reaksi yang terjadi yaitu : Na2CO3+ nSiO2 Na2OnSiO2 + CO2. Macam-macam larutan silikat dapat dibedakan dari perbandingan silika terhadap alkali. Perbedaan ini berdasarkan perbandingan persen berat dan tidak menunjukkan bentuk senyawa. Natrium silikat atau larutan yang mengandung 1 mol Na2O untuk 3,22 mol SiO2 mempunyai perbandingan persen berat 3,22 % SiO2 / 1% Na2O dan ditunjukan sebagai natrium silikat dengan perbandingan 3,22. Di dalam sistem Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
natrium, persen berat dan mol hampir sama, tetapi tidak sama di dalam sistem kalium. Silikat gelas dengan perbandingan 3,22 kadang-kadang ditunjukan sebagai larutan yang netral, sedangkan ratio 2 bersifat alkali. Potasium silikat dibuat dengan cara yang sama atau dari larutan kompleks gelas dengan menggunakan kedua sodium dan potasium karbonat, dimana potasium silikat lebih larut daripada sodium silikat. Menurut Kasil (Philadelphia Quarts Co.) serbuk halus potasium silikat mengandung 70 % SiO2 dan 28,4 % K2O digunakan dalam ceramic coating dan refractory cements.4) Menurut Corlok (Pencylvania Chemical Corp.) potasium silikat yang bebas dari fluorida dan senyawa-senyawa sodium digunakan sebagai semen (perekat) untuk tanki-tanki asam, karena zat ini tahan asam kuat, pengoksidasi, dan mempunyai daya rekat yang baik.5) Menurut Quram (Philadelphia Quarts Co.) sebagai pengganti sodium dapat digunakan juga ammonium. Dimana ammonium silikat berbentuk serbuk putih atau larutan opalecent, digunakan sebagai pengikat untuk refractory ceramic.6) Natrium silikat diperdagangkan dalam bentuk cairan kental atau serbuk.
_____________________________ 3)
Nande Maryuani Momon, Penelitian Pendahuluan Penggunaan Water Glass pada Bahan Bangunan Bersemen, (Bandung: Jurnal Penelitian Pemukiman No. ISSN 0215-0778, Vol. IX No. 11-12, 1993), hlm. 41. 4) Ibid. 5) Ibid., hlm. 42. 6) Ibid., hlm. 43.
122
BAHAN, PERALATAN DAN METODE PENELITIAN Bahan Dalam penelitian natrium silikat sebagai bahan penghambat api aman lingkungan ini, bahan yang digunakan adalah : 1. Kayu Borneo (Pterospermum spp.) dan kayu Meranti (Shorea spp.); 2. Natrium silikat sebagai bahan penghambat api.
Peralatan Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini, adalah : 1. Alat uji jalar api pada permukaan bahan; 2. Timbangan digital; 3. Jangka sorong; 4. Beaker glass; 5. Gelas ukur; 6. Ember plastik, dan lain-lain.
Metode Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode eksperimental. Percobaan di laboratorium dilakukan untuk memperoleh campuran bahan penghambat api dari bahan natrium silikat, kemudian dilakukan pelaburan pada kayu borneo dan kayu meranti merah untuk memperoleh berat lapisan per m2 hingga optimum, selanjutnya untuk memperoleh hasil kinerja bahan penghambat api natrium silikat terhadap kenaikan temperatur dan densitas atau kepadatan asap hasil pembakaran, dilakukan dengan menggunakan alat uji jalar api pada permukaan bahan, dengan standar uji JIS A 1321 -1994. Analisis data hasil uji pada penelitian ini akan dilakukan hipotesis uji dari perlakuan dua jenis kayu borneo dan kayu meranti merah terhadap ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan 123
bahan. Apakah terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah ditinjau dari kenaikan temperatur (tdθ) dan kepadatan asap (CA).
RANCANGAN PERCOBAAN Dalam rancangan percobaan ini, bahan penghambat api natrium silikat diencerkan dengan air, dengan komposisi campuran, sebagaimana terdapat pada tabel 1, dibawah ini. Tabel 1. Komposisi campuran bahan penghambat api No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Na2SiO3 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
H2O 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Keterangan : 0 tidak diencerkan.
Untuk mengetahui kinerja kayu borneo dan meranti merah terhadap kenaikan temperatur dan kepadatan asap dari uji jalar api pada permukaan bahan, maka kedua kayu tersebut diberi perlakuan bahan penghambat api sebagaimana tabel 1 diatas, dan tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api. Kedua perlakuan tersebut terdapat pada tabel 2, tabel 3 dan tabel 4, berikut ini.
Natrium Silikat …(Achmad H.E)
Tabel 2. Hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan meranti merah tanpa bahan penghambat api No.
Sampel
1. 2. 3.
Kenaikan Kepadatan temperatur asap td θ (ºC.menit) (CA) 108,75 142,00 186,25 152,00 165,00 147,00 153,33 147,00 236,75 165,00 305,00 172,00 261,25 166,00 267,67 167,67
Borneo1 Borneo2 Borneo3 Rata2 : 4. Meranti1 5. Meranti2 6. Meranti3 Rata2 : Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang
Permukiman.
Tabel 3. Hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dengan perlakuan bahan penghambat api
No.
Sampel
Rata-rata Kenaikan berat temperatur lapisan td θ (gram) (ºC.menit) 34,90 00,00 100,67 130,00 52,43 92,50 67,63 77,92 50,90 74,58 56,50 86,67 65,73 84,58 49,63 59,58 49,00 67,50 57,37 65,42 46,23 52,92
1. Borneo 1: 0 2. Borneo 1: 1 3. Borneo 1: 2 4. Borneo 1: 3 5. Borneo 1: 4 6. Borneo 1: 5 7. Borneo 1: 6 8. Borneo 1: 7 9. Borneo 1: 8 10. Borneo 1: 9 11. Borneo 1:10 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang
Kepadatan asap (CA) 0,83 80,00 69,67 36,00 22,00 41,00 29,17 27,67 32,00 41,67 19,33
Permukiman.
Tabel 4. Hasil uji jalar api pada permukaan kayu meranti merah dengan perlakuan bahan penghambat api No.
Sampel
RataKenaikan Keparata temperatur datan berat td θ asap (CA) lapisan (ºC.menit) (gram) 29,40 00,00 00,00 103,47 197,08 105,33 85,57 98,35 52,83 77,40 47,08 39,33 85,17 31,25 75,33 74,97 110,83 44,50 66,50 40,83 46,33 49,00 14,17 38,67 68,07 18,33 39,00 73,57 37,50 46,83 69,90 54,17 47,67
1. Meranti 1: 0 2. Meranti 1: 1 3. Meranti 1: 2 4. Meranti 1: 3 5. Meranti 1: 4 6. Meranti 1: 5 7. Meranti 1: 6 8. Meranti 1: 7 9. Meranti 1: 8 10. Meranti 1: 9 11. Meranti 1:10 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang
Permukiman.
Untuk mengetahui pengaruh penambahan bahan penghambat api natrium silikat (rata-rata berat lapisan) terhadap kayu borneo dan kayu meranti sebagai variabel, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap atau densitas asap, terdapat pada tabel 5 dan tabel 6, sebagai berikut : Tabel 5. Uji hipotesis terhadap kenaikan temperatur kayu borneo dan meranti merah dengan perlakuan bahan penghambat api Komposisi
Kenaikan temperatur kayu borneo (ºC.menit) 130,00 92,50 77,92 74,58 86,67 84,58 59,58 67,50 65,42 52,92
Kenaikan temperatur kayu meranti (ºC.menit) 197,08 98,35 47,08 31,25 110,83 40,83 14,17 18,33 37,50 54,17
1:1 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 1:7 1:8 1:9 1 : 10 Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang
Permukiman.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
124
Tabel 6. Uji hipotesis terhadap kepadatan (densitas) asap kayu borneo dan meranti merah dengan perlakuan bahan penghambat api Komposisi 1:1 1:2 1:3 1:4 1:5 1:6 1:7 1:8 1:9 1 : 10
Kepadatan Kepadatan (densitas) asap (densitas) asap kayu borneo kayu meranti (CA) (CA) 80,00 105,33 69,67 52,83 36,00 39,33 22,00 75,33 41,00 44,50 29,17 46,33 27,67 38,67 32,00 39,00 41,67 46,83 19,33 47,67
Sumber : Hasil Penelitian Pusat Litbang
Permukiman.
PEMBAHASAN Berdasarkan tabel 2, hasil uji sifat jalar api pada permukaan kayu borneo tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, diperoleh hasil kenaikan temperatur atau luas kurva temperatur vs waktu dan biasa disebut td θ, ratarata sebesar 153,33ºC.menit, dengan kepadatan asap atau densitas rata-rata (CA) 147. Kemudian kayu meranti merah tanpa dilapis bahan penghambat api natrium silikat diperoleh hasil kenaikan temperatur rata-rata sebesar 267,67ºC.menit, dan kepadatan asap (CA) rata-rata sebesar 167,67. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, kedua jenis kayu borneo dan meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, termasuk ke dalam mutu bahan agak menghambat api (M4). Evaluasi hasil uji jalar api pada permukaan kayu borneo dan kayu meranti merah pada tabel 3 dan 4, yang 125
diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, baik kayu borneo maupun kayu meranti, menunjukkan hasil yang terbaik ditinjau dari kinerja ketahanan api. Untuk kayu borneo, ratarata berat lapisan natrium silikat yang diserap sebesar 34,90 gram, dan ratarata kenaikan temperatur 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) 0,83. Kemudian untuk kayu meranti, rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap 29,40 gram, dengan rata-rata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dan rata-rata kepadatan asap atau densitas asap (CA) adalah 0. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, kedua jenis kayu borneo dan meranti merah dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 1 : 0, termasuk ke dalam mutu bahan tidak terbakar (M1). Berdasarkan hasil uji terhadap sebelas komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat dengan air, ternyata komposisi yang terbaik untuk kayu borneo adalah 10 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh hasil rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap oleh kayu borneo sebesar 46,23 gram, dengan kenaikan temperatur rata-rata 52,92ºC.menit dan rata-rata kepadatan asap (CA) sebesar 19,33. Kemudian komposisi yang terbaik untuk kayu meranti merah yaitu 7 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh hasil rata-rata berat lapisan natrium silikat yang diserap kayu meranti merah sebesar 49,00 gram, dengan rata-rata kenaikan temperatur sebesar 14,17ºC.menit, dan rata-rata Natrium Silikat …(Achmad H.E)
kepadatan asap (CA) adalah sebesar 38,67. Berdasarkan ketentuan uji sifat jalar api pada permukaan, jenis kayu borneo dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 10 : 1, dan kayu meranti merah dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 7 : 1, termasuk ke dalam mutu bahan sukar terbakar (M2).
Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh harga-harga sebagai berikut : _ xB = 79,17 dan s2B = 474,18 _ XM = 64,96 dan s2M = 3148,60
Pada penelitian ini dilakukan pula perhitungan uji hipotesis dengan maksud untuk mengetahui perbedaan rata-rata variabel, kayu borneo dan kayu meranti merah yang dilapis bahan penghambat api natrium silikat, dengan komposisi campuran bahan penghambat api dengan air, dari 1 : 1 hingga 10 : 1.
n1 + n2 - 2 s = 42,56. Berdasarkan rumus statistik uji diatas, maka diperoleh harga t hitung = 0,75. Dengan mengambil taraf kepercayaan α = 5 % dan derajat kebebasan dk = 18, maka dari tabel distribusi t diperoleh harga t tabel = 2,10.
Hipotesis
Kriteria pengujian Hipotesis diterima, jika :
yang
dikemukakan
adalah
Tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap. Alternatif : Terdapat perbedaan perilaku
bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, ditinjau dari kenaikan temperatur dan kepadatan asap. Perhitungan hipotesis kenaikan temperatur :
ditinjau
dari
Dalam perhitungan ini diperlukan harga rata-rata dari tabel 5 dan tabel 6, sebagai berikut : _ (x) dan nilai varian (s2) untuk variabel kenaikan temperatur, statistik uji yang digunakan adalah statistik uji t, dengan rumus sebagai berikut : _ _ xB - xM t = ____________ s√ 1/n1+ 1/n2 Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
2
S =
(n1 – 1) s2B + (n2 – 1) s2M
- t tabel
126
Setelah dilakukan perhitungan, maka diperoleh harga-harga sebagai berikut : _ xB = 39,85 dan s2B = 398,27 _ XM = 48,58 dan s2M = 632,97 2
S =
(n1 – 1) s2B + (n2 – 1) s2M n1 + n2 - 2
s = 22,71. Berdasarkan rumus statistik uji diatas, maka diperoleh harga t hitung = 0,86. Dengan mengambil taraf kepercayaan α = 5 % dan derajat kebebasan dk = 18, maka dari tabel distribusi t diperoleh harga t tabel = 2,10. Kriteria pengujian Hipotesis diterima, jika : - t tabel
t
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan meranti merah ditinjau dari kepadatan asap (CA).
KESIMPULAN Kayu borneo tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, berdasarkan uji jalar api permukaan diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 153,33ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 147;
127
Kayu meranti merah tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, berdasarkan uji jalar api permukaan diperoleh rata-rata kenaikan temperatur 267,67ºC.menit, dengan kepadatan asap (CA) ratarata sebesar 167,67; Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah, tanpa diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat termasuk ke dalam mutu bahan agak menghambat api (M4); Kayu borneo dan kayu meranti merah diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, berdasarkan uji jalar api permukaan untuk kayu borneo diperoleh ratarata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 0,83, sedangkan untuk kayu meranti merah rata-rata kenaikan temperatur sebesar 00,00ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 0,00;
Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan kedua jenis kayu borneo dan meranti merah, diberi perlakuan bahan penghambat api natrium silikat, dengan perbandingan 1 bagian berat natrium silikat dengan 0 bagian berat air, termasuk ke dalam mutu bahan tidak terbakar (M1);
Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat dengan air untuk kayu borneo adalah 10 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 52,92ºC Natrium Silikat …(Achmad H.E)
menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 19,33; Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat, dengan air untuk kayu meranti merah adalah 7 bagian berat natrium silikat berbanding 1 bagian berat air, diperoleh rata-rata kenaikan temperatur sebesar 14,17ºC.menit dengan kepadatan asap (CA) sebesar 38,67; Berdasarkan ketentuan uji jalar api permukaan jenis kayu borneo dengan komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat 10 : 1 dan kayu meranti merah dengan komposisi 7 : 1, termasuk ke dalam mutu bahan sukar terbakar (M2); Komposisi campuran bahan penghambat api natrium silikat yang baik terhadap kinerja api dan mudah dalam penerapan, adalah 7 : 1 dan 10 : 1, dengan berat lapisan optimum per m2 sebesar 0,7 kg; Sesuai hasil perhitungan hipotesis uji, tidak terdapat perbedaan perilaku bahan penghambat api natrium silikat terhadap kayu borneo dan kayu meranti merah, baik ditinjau dari kenaikan temperatur maupun dari kepadatan asap.
DAFTAR PUSTAKA 1. Friedman,
Raymond,
1996,
Principles of Fire Protection Chemistry, Association, New York.
2. Lyons, J.W., 1995, The Chemistry and Uses of Fire Retardant, John Wiley and Sons Inc., New York. 3. Nande
Maryuani
Momon,
1993,
Penelitian Pendahuluan Penggunaan Water Glass pada Bahan Bangunan Bersemen, Jurnal Penelitian
Pemukiman, No. ISSN 0215-0778, Vol. IX, No. 11-12, NopemberDesember, Bandung, hlm. 41. 4. Pusat Litbang Permukiman, 1998,
Laporan Akhir Penelitian Bahan Penghambat Api Aman Lingkungan dengan Bahan Dasar Silika, Proyek
Litbang Teknologi Bangunan Perumaham dan Permukiman, Bandung. 5. Sudjana, Prof., Dr., M.A., M.Sc., 1992, Metoda Statistika, Penerbit Transito Bandung.
Natrium silikat atau water glass sebagai bahan penghambat api, memiliki kehandalan untuk mencegah penjalaran dan mampu memadamkan api, disamping bahan tersebut tidak beracun juga aman terhadap lingkungan.
Jurnal Permukiman Vol.2 No.2 September 2007
128
FULL COST RECOVERY (FCR) SEBAGAI PENENTU KERJA SAMA PERUSAHAAN AIR MINUM DENGAN SWASTA Oleh : Tibin R Prayudi Pusat Litbang Permukiman E-mail:
[email protected]
Abstrak Kerja sama pengelolaan Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) dengan pihak swasta perlu dilaksanakan karena berdasarkaan informasi yang dikumpulkan sebagian besar kinerja PDAM dalam kondisi tidak sehat. Kerja sama dengan swasta dalam rangka meningkatkan kinerja perusahaan air minum akan menghasilkan Full Cost Recovery (FCR) < 1, yaitu dengan membandingkan total pengeluaran terhadap total pendapatan. Total pengeluaran lebih kecil dari total pendapatan merupakan keuntungan yang diperoleh swasta. Metode penelitian secara deskriptif komparatif, dimulai dengan menghitung nilai Full Cost Recovery masing-masing PDAM dan membandingkannya dengan standar dan dilakukan pendekatan perusahaan air minum menerapkan strategi operasi bahwa air yang terjual harus 80 % sedangkan jumlah 20 % digunakan untuk operasional instalasi. Penelitian dengan strategi tersebut bisa meningkatkan Full Cost Recovery (FCR) lebih kecil dari satu,contohnya FCR PDAM Kota Semarang semula 1,23 menjadi 0,94 dan FCR PDAM Kota D.I.Yogyakarta, semula 1,04 menjadi 0,79. Untuk memperkecil nilai FCR, strategi penjualan air 80 % dari total produksi air lebih perlu diikuti oleh strategi lain misalnya seperti pengurangan biaya operasional non karyawan. Pola kerja sama melaksanakan strategi penjualan air 80 % dari total produksi air yang merupakan penerapan sebagian tugas perusahaan air minum maka dipilih kontrak manajemen sebagai pola kerja samanya. Kerja sama penanganan kawasan atau daerah yang belum terdapat jaringan penyediaan air minum dilakukan dengan konsesi. Resiko yang dihadapi swasta dalam melakukan kerja sama berupa pengeluaran biaya investasi yang tidak kembali, jumlah pelanggan yang tidak sesuai dengan rencana dan tarif pemakaian air minum yang tidak sesuai.
Kata Kunci : Full Cost Recovery (FCR), PDAM, Kontrak Manajemen, Konsesi Abstract Private sector participation on Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) must be done because most of PDAM are inefficiency operations. Private sector participation occurs when full cost recovery bellows 1.00, its mean that total operations costs compare to total revenue bellows 1.00. Achieving full cost recovery can be an important measures ,therefore , of a PDAM ability to improve and expand service.Analysi ratio has been used for this study and the results were compared with existing references using comparative descriptive method. Strategy on 80 % water sales from total production would be increase FCR bellow 1.00, like PDAM Kota Semarang, from the beginning FCR is 1,23 change to 0,94, and PDAM Kota D.I.Yogyakarta, from the beginning FCR is 1.04 change to 0,79. Strategy on 80 % water sales from total production would be follows by others strategy like decrease on non personal operation cost. Private sector participation on Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
184
strategy 80 % water sales from total production could be done by Management Contract, and Concessions Agreements applied on location with no network water supply. The risk that private firms will receive was investment cost lost,total of customer and drinking water tariff.
Key Words : Full Cost Recovery (FCR),PDAM,Management Contract, Concessions.
[
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pada saat ini kondisi kinerja Perusahaan Daerah Air Minum berada dibawah kinerja yang disyaratkan, menurut pendapat Kasubdit Investasi Air Minum, Dit.PAM, Ditjen Cipta Karya, Ir.Tamin M Zakaria Amin,MSc, pada Buletin Cipta Karya, Edisi No 1/V/Januari 2007, hal 25, data kinerja PDAM saat ini tercatat 17 % sehat, 44 % kurang sehat dan 39 % sakit, dengan jumlah penyelenggara pengembang Sarana Penyediaan Air Minum (SPAM) terdiri dari 312 PDAM, 3 UPT/BPAM dan 3 swasta. Sedangkan program pemerintah dalam Penyediaan Air Minum (PAM) telah dituangkan dalam RPJM 2009, yang menargetkan pelayanan nasional 40 % dengan penduduk perkotaan terlayani 66 % dan penduduk perdesaan 30 %. Disamping itu pada program MDGs 2015, yang menargetkan separuh proposi penduduk bisa mengakses air minum. Departemen PU dalam menyehatkan Sarana Penyedia Air Minum telah mengeluarkan Peraturan Menteri PU nomor 20/PRT/M/2006, tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM). Permen tersebut mengarah pada kebijakan aspek kelembagaan, peraturan dan perundang-undangan, pendanaan, kualitas dan keberlanjutan air baku, peranserta 185
masyarakat, serta peningkatan cakupan dan kualitas pelayanan. Dari segi pendanaan diupayakan kerja sama dengan pihak swasta sehingga industri air minum dapat menarik (industry attractiveness) di mata investor.Pola Kerjasama yang didorong berupa pola Build, Operation, Transfer (BOT) atau konsesi terutama untuk daerah perkotaan. Dari latar belakang tersebut akan dilakukan penelitian mengenai full cost recovery (FCR) sebagai penentu kerja sama Perusahaan Air minum dengan perusahaan swasta.
Maksud dan Tujuan Menilai full cost recovery (FCR) Perusahaan Air Minum/PDAM, sehingga diperoleh hasil yang menentukan untuk melaksanakan kerja sama dengan swasta dimana hasilnya merupakan masukan penilaian untuk pihak swasta dalam kerja sama pengelolaan PDAM.
Kajian Pustaka Pola Perjanjian Kerja Sama Pola investasi Perjanjian Kerja sama mempunyai beberapa bentuk perjanjian, seperti kontrak Manajemen, kontrak dengan Leasing, Build,Own,Operate and Transfer, Konsesi sampai Joint Venture.
Kontrak Manajemen
Kontrak manajemen adalah bentuk kerja sama pemerintah dengan swasta untuk melaksanakan tugas pekerjaan tertentu, yang dilakukan selama waktu kontrak antara 5 sampai 7 tahun. Pekerjaan Ful Cos Recovery … (Tibin R.P)
yang dikontrakkan merupakan sebagian dari tugas pemerintah, jadi tugas yang akan dilaksanakan swasta sudah disediakan pemerintah. Aset infrastruktur dimiliki pemerintah sehingga pemerintah bertanggung jawab dalam modal dan pengeluaran untuk pengembangan aset. Pihak swasta hanya bertanggung jawab pada operasi pekerjaan yang diberikan oleh pemerintah. Pembayaran kepada swasta biasanya berdasarkan pada biaya per unit layanan ditambah biaya marginnya.
BOOT, BOOT, yang merupakan suatu pola kerja sama di mana pihak swasta to Build / membangun, Own / memiliki, Operate / operasi dan Transfer/ menyalurkan suatu investasi BOOT dilaksanakan biasanya pada konstruksi fasilitas yang baru, seperti investasi pada pengolahan air minum. Waktu kerja sama BOOT antara 20 atau 30 tahun. Setelah berakhir kontrak, swasta mengembalikan atau menjual aset yang sudah dibangun kepada pemerintah, bergantung pada perjanjian.
Konsesi Tidak seperti pola BOOT yang biasanya diterapkan untuk fasilitas tertentu, pada suatu perjanjian konsesi biasanya pihak swasta diminta melaksanakan pelayanan fasilitas infrastruktur dalam suatu wilayah tertentu, termasuk seluruh operasi, perbaikan, penarikan tagihan dan aktifitas manajemen lainnya. Pelaksana konsesi bertanggung jawab juga pada investasi yang diperlukan untuk membangun, meningkatkan atau mengembangkan sistem PAM. Dibandingkan dengan pola BOOT, perjanjian konsesi lebih memberi Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
kesempatan kepada swasta untuk mengembangkan pelanggannya, meningkatkan investasi, mengelola aset yang ada, dan yang paling penting mengurangi kehila-ngan dalam jaringan distribusi, seperti jaringan air minum. Pemerintah bertang-gung jawab dalam mengatur harga pelayanan, kualitas dan mengontrol aset setelah perjanjian konsesi berakhir. Pihak pemerintah biasanya harus menjamin suatu target pelayanan yang akan dicapai, misalnya jumlah air yang akan diolah, sedangkan swasta menanggung resiko bila permintaan tidak tercapai. Jadi pelaksana konsesi bertang-gung jawab pada suatu sistem termasuk operasi dan perawatan, investasi dan pengembangannya. Pelaksana konsesi menerima pembayaran langsung dari pelanggan dan menerima resiko terhadap biaya yang tidak terganti oleh pendapatannya. Waktu konsesi yang lama sekitar 25 sampai 30 tahun memberi waktu ke pelaksana konsesi untuk recovery biaya yang diinvestasikan. Pinalti atau denda dijatuhkan bila target yang sudah dikontrakkan tidak tercapai. Dalam kontrak konsesi, tarif dan biaya pemasangan sambungan merupakan sumber utama pendapatan untuk pelaksana konsesi. Bila tarif dan pendapatan tidak cukup untuk biaya recovery menimbulkan resiko pada persetujuan konsesi. Intinya, yang menarik pelaksana konsesi melakukan kontrak apabila isi kontrak dapat menimbulkan keuntungan untuk pelaksana konsesi.
192
Indikator Pendorong Bekerja Sama
Swasta
-
Salah satu indikator pendorong swasta bekerja sama untuk mengelola perusahaan air minum adalah biaya recovery. Menurut Laporan United Nations Global Water Supply and Sanitation Assessment 2000, menyatakan bahwa kendala utama dalam pengembangan perusahaan air minum adalah keterbatasan biaya recovery atau disebut juga dengan Full Cost Recovery (FCR).
-
Full Cost Recovery (FCR) akan dihasilkan bila pendapatan perusahaan air minum menutupi biaya operasional dan biaya lainnya, seperti penyusutan, pajak dan biaya bunga pinjaman. Keuangan perusahaan air minum yang kuat dapat mendukung efisiensi operasi dan pelayanan yang sesuai standar sehingga dapat menumbuhkan kepuasan pelanggan, tingginya kemauan pelanggan untuk membayar tagihan dan kesempatan untuk perusahaan melakukan investasi kembali. Secara teknis nilai Full Cost Recovery (FCR) < 1, artinya perbandingan antara biaya operasi dan perawatan terhadap pendapatan lebih kecil dari satu, atau perbandingan antara biaya operasi dan perawatan + biaya penyusutan + biaya pajak + biaya bunga pinjaman terhadap pendapatan lebih kecil dari satu.
-
Resiko Kerja Sama Resiko yang dihadapi swasta dalam melaksanakan kerja sama pengelolaan infrastruktur seperti :
-
resiko pada konstruksi (biaya pembangunan baru infrastruktur atau renovasi) resiko pada komersial ( resiko permintaan produk atau adanya pesaing) resiko terhadap keuangan (perubahan bunga pinjaman) resiko tidak terbayarnya tagihan dari pelanggan resiko dari lembaga regulasi (standar yang harus dicapai) resiko politik (ketidak stabilan politik) resiko dari karyawan resiko sumber air (kualitas, kuantitas, prioritas kebutuhan)
Menurut pendapat Ostrom, Schroeder dan Urjune, dalam Final Report Guidelines for Local Government Infrastructure Financing Manual. SGS Economic and Planning Pty.Ltd. Melbourne, Sidney. 2002, bahwa pencapaian hasil kerjasama dengan swasta akan bergantung pada politik yang terjadi. Kondisi politik dapat mempengaruhi ketidakmenarikan swasta terhadap keuntungan yang kemungkinan dicapai. Tantangan dari karyawan perusahaan air minum akan timbul karena mereka merasa akan kehilangan pekerjaan, karena salah satu penyebab tidak sehatnya perusahaan air minum adalah kelebihan karyawan. Sumber air yang berasal antara air tanah dan air permukaan harus diperhitungkan secara benar pada kerja sama, karena pengolahan air permukaan memerlukan biaya operasi yang besar dibanding pengolahan air tanah.
Keberhasilan Kerja Sama
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
192
Keberhasilan kerjasama dengan swasta tidak hanya diukur dari pencapaian efisiensi pelayanan tetapi juga pencapaian dalam tujuan sosial yaitu untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat. Ir.Tamin M Zakaria Amin,MSc, pada Buletin Cipta Karya, Edisi No 1/V/Januari 2007, hal 25, berpendapat bahwa tujuan pencapaian RPJMN 2009, maupun Millenium Development Goals (MDGs) 2015 terrealisasi, dapat mewujudkan : 1. Semakin banyak masyarakat Indonesia yang memperoleh akses air minum yang berkelanjutan sesuai target RPJMN maupun MDG. 2. PDAM-PDAM berkinerja sehat. 3. Operator swasta, koperasi, maupun kelompok masyarakat memperoleh profit yang wajar sehingga bisa berkelanjutan. 4. Masyarakat mendapat pelayanan yang sesuai yang ditentukan PP nomor 16 tahun 2005 dan tentunya dengan tarif air yang terjangkau. Peranan antara pemerintah dan swasta dalam pola kerja sama pengelolaan infrastruktur yang menyangkut kepemilikan, lama perjanjian, dasar kompensasi, tanggung jawab, resiko dan sektornya tercantum pada tabel 1. Jumlah infrastruktur yang dikerjasamakanberdasarkan pengalaman negara Australia tercantum pada tabel 2
Metode Penelitian Sumber data yang dianalisis berasal dari data PERPAMSI tahun 2003, dan PDAM yang diteliti dipilih dari beberapa PDAM yang terdaftar pada PERPAMSI. Data dianalisis menggunakan teknik analisis ratio. Dilakukan penentuan asumsi pencapaian operasi yang optimal agar FCR memenuhi persyaratan lebih kecil dari 1. Hasil analisis di bahas menggunakan metode deskriptif komparatif dan dibandingkan dengan ketentuan yang ada yang tercantum dalam kajian pustaka. Tabel 1. Pola Kerja Sama Pemerintah dengan Swasta No
Karakteristik
BOO, BOOT,BOT
1. 2.
Kepemilikan Infrastruktur Lama perjanjian
Pemerintah 20-30 tahun
3.
Dasar kompensasi untuk Swasta
Pemerintah menjamin pembelian pada batas minimum produk
4.
Penanggungjawab pengumpulan pendapatan (seperti invoice, pelaksana pengumpulan)
Pemerintah
5. 6.
7.
Penanggung jawab investasi modal Resiko komersial : - Konstruksi - Operasi - Pasar Sektor yang sesuai dikerja samakan
KONSESI Pemerintah 20-30 tahun Sama seperti BOO,BOT Swasta
KONTRAK MANAJEMEN Pemerintah 5-10 thn Pembayaran sesuai kontrak Pemerintah
Pemerintah Swasta Swasta Swasta Pemerintah dan Swasta (ada jaminan jumlah pelanggan minimum) Fasilitas yang baru (seperti jalan toll)
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
Swasta Swasta Swasta Swasta Jaringan prioritas infrastruktur
Swasta Pemerintah Pemerintah
Rendahnya WTP (willingness to pay,
192
(seperti jaringan air minum)
kemampuan untuk membayar)
Sumber : SGS Economic and Planning Pty Ltd, Infrastructure Financing Manual
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
192
Tabel.2.Jumlah Infrastruktur yang dikerja-samakan dengan Swasta di Australia No 1 2 3
Pola kerja sama
Jalan/tranportasi
Pengolahan Air Minum/Pengolahan Air Limbah
Drainase
61 2 0
28 2 0
44 1 0
Servis/manajemen BOOT, BOO,BOT Konsesi
Sumber : SGS Economic and Planning Pty Ltd, Infrastructure Financing Manual
ANALISIS DAN PEMBAHASAN Data Lapangan
PDAM yang diteliti meliputi PDAM Kota Bogor, Cirebon, Bandung, Tangerang, Semarang dan D.I.Yogyakarta. Data PDAM yang diperlukan meliputi total produksi air, total air terjual, hasil penjualan air, hasil penjualan non air, biaya operasional yang merupakan total dari biaya karyawan dan non karyawan, biaya penyusutan, bunga pinjaman, dan pajak, seperti tercantum pada tabel 3 dan tabel 4.
Penilaian Full Cost Recovery Sebelum melakukan penilaian Full Cost Recovery, pterlebih dahulu dilakukan perhitungan persentase air yang terjual yaitu total air terjual dibagi total produksi air dikali 100 %, total pendapatan dihitung dengan menjumlahkan hasil penjualan air ditambah hasil penjualan non air dan total pengeluaran dihitung dengan menjumlahkan biaya operasional ditambah biaya penyusutan ditambah pembayaran bunga ditambah pajak, hasilnya seperti pada tabel 5. Hasil perhitungan persentase air terjual menjadi dasar dalam penentuan operasi perusahaan air minum apakah sudah optimal atau belum. Menurut asumsi penulis, operasi Perusahaan Air Minum akan optimal apabila 80 % dari total air Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
yang diproduksi bisa dijual kepada konsumen dan 20 % dipakai untuk keperluan instalasi. Dari tabel 5, persentase air terjual dari enam PDAM hanya PDAM Kota Cirebon yang berada di atas 80 %, yang lainnya di bawah 80 %. Dari total pengeluaran dan total pendapatan masing-masing PDAM dihitung nilai Full Cost Recovery-nya, dengan rumusan total pengeluaran/total pendapatan. Nilai Full Cost Recovery harus < 1, agar perusahaan bisa memperoleh keuntungan, sehingga akan ada investasi yang baru. Dari hasil perhitungan seperti tercantum pada tabel 6, ternyata nilai Full Cost Recovery masing-masing PDAM lebih besar dari satu, paling kecil PDAM Kota D.I.Yogyakarta sebesar 1,04 dan yang terbesar PDAM Kota Bandung sebesar 2,78. Dengan menggunakan asumsi air terjual sekitar 80 % dari air yang diproduksi, maka total pendapatan berubah dari total pendapatan seperti yang tercantum pada tabel 5 menjadi total pendapatan seperti pada tabel 6. Nilai Full Cost Recovery setelah asumsi 80 % air terjual menjadi berubah seperti tercantum pada tabel 6, yaitu dari enam PDAM, empat PDAM, yaitu PDAM kota Bogor, Cirebon, Bandung dan Tangerang nilai Full Cost Recovery-nya berubah 192
walaupun masih lebih besar dari satu. Dua PDAM, yaitu PDAM Kota Semarang
dan D.I.Yogyakarta, nilai Full Cost Recovery-nya lebih kecil dari satu.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, ternyata bahwa kebijakan pada asumsi air terjual menjadi 80 % dari air yang diproduksi masih menghasilkan nilai Full Cost Recovery di atas satu, sehingga perlu ditambah dengan kebijakan lain yang dapat mengurangi biaya pengeluaran, salah satunya mengurangi biaya operasi non karyawan.
Pola Kerja Sama dengan Swasta Berdasarkan kajian pustaka, untuk meningkatkan kinerja PDAM, pola kerja samanya dengan swasta dilakukan melalui kontrak manajemen, karena dengan kontrak manajemen, swasta dapat melaksanakan tugas pada bidang tertentu yang dianggap akan menambah pendapatan perusahaan, seperti dengan asumsi di atas, yaitu swasta ditugaskan untuk menangani strategi penjualan air optimal pada 80 % dari air yang diproduksi. Secara keseluruhan infrastruktur PDAM tetap dimiliki oleh PDAM, sedangkan swasta dapat berinvestasi untuk membangun infrastruktur yang mendukung tugasnya, dimana pada akhir kontrak hasil investasi swasta bisa menjadi milik PDAM. Untuk menangani pelayanan air minum pada daerah yang belum ada jaringan infrastrukturnya, berdasarkan kajian pustaka, dilakukan secara konsesi dengan memperhatikan jumlah investasi yang harus dikeluarkan, jumlah pelanggan dan biaya pemasangan sambungan serta tarif pemakaian air minum. Tabel 3. Total Produksi Air, Total Air Terjual, Hasil Penjualan Air, dan Hasil Penjualan Non Air. No
PDAM Kota
(1) 1 2 3 4 5 6
(2) Bogor Cirebon Bandung Tangerang Semarang DI. Yogyakarta
Total Produksi Air (m3) (3) 24022377 22449959 77775241 1169484 49185471 18108648
Total Air Terjual (m3) (4) 16258721 19650201 39783187 730673 30133641 11237665
Hasil Penjualan Air (x 1 juta rupiah) (5)
Hasil Penjualan Non Air (x 1 juta rupiah) (6)
13.819,9 9.721,9 27.014,5 1.362,1 29.428,8 6.296,3
2.018,3 795,9 768,9 1.387,6 1.664,5 636,6
Sumber : Laporan Perpamsi, 2003 Tabel 4.Biaya Operasional, Biaya Penyusutan, Bunga Pinjaman, dan Pajak (x satu juta rupiah) Biaya Biaya Pembayaran bunga PDAM Kota Pajak Operasional Penyusutan pinjaman jangka panjang
No (1)
(2)
(3)
(4) 4.328,2
(5) 3.137,8
(6) 333,2
644,9
284,2
1
Bogor
14.577,9
2
Cirebon
11.532,9
1.586,8
45.434,2
19.052,1
3.656,8
2.104,5
65,1
26.404,1
8.510,4
2.730,1
546,5
4.445,6
1.693,0
885,9
216,1
3 4
Bandung Tangerang
5
Semarang
6
DI.Yogyakarta
12.832,5
-
Sumber : Laporan Perpamsi, 2003
Tabel 5. Persentase Air Terjual, dan Total Pendapatan dan Total Pengeluaran
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
192
No
PDAM Kota
(1)
(2)
1 2 3 4 5 6
Persentase Air Terjual (%) (3)
Bogor Cirebon Bandung Tangerang Semarang DI. Yogyakarta
Total Pendapatan (x 1 juta rupiah)
67,68 87,53 51,15 62,48 61,27 62,06
Total Pengeluaran (x 1 juta rupiah)
(4)
(5)
15.838,2 10.517,9 27.783,4 2.749,7 31.093,3 6.932,9
22.377,3 14.049,1 77.318,9 5.826,5 38.191,2 7.240,7
Sumber : Hasil perhitungan penulis
Tabel 6. Full Cost Recovery sebelum asumsi Air Terjual 80 %, Pendapatan dengan asumsi AirTerjual 80 % dan Full Cost Recovery pada asumsi Air Terjual 80 %
No
PDAM Kota
(1)
(2)
Full Cost Recovery (FCR) sebelum Asumsi Air Terjual 80 %
Pendapatan dengan Asumsi Air Terjual 80 % Dari Total Produksi Air
Dari Total Produksi Air
(x 1 juta rupiah)
Full Cost Recovery (FCR) pada Asumsi Air Terjual 80 % dari total Produksi Air
(3)
(6) 1,18
1
Bogor
1,41
(5) 18.880,4
2
Cirebon
1,33
10.517,9
1,33
43.535,1
1,77
3
Bandung
2,78
4
Tangerang
2,12
3.585,8
1,62
1,23
40.746,2
0,94
1,04
9.055,7
0,79
5 6
Semarang DI.Yogyakarta
Sumber : Hasil perhitungan penulis
Kesimpulan Dari perhitungan Full Cost Recovery terhadap enam sampel PDAM, sebelum dilakukan strategi air terjual sebesar 80 % dari total produksi air, masing-masing PDAM menghasilkan nilai full cost recovery (FCR) lebih besar dari 1, artinya pendapatan lebih kecil dari biaya pengeluaran, sehingga perusahaan tidak mendapat keuntungan. Setelah penerapan strategi menjual air 80 % dari total produksi air, nilai Full Cost Recovery masing-masing PDAM berubah bertambah kecil, misalnya seperti PDAM D.I.Yogyakarta dari 1,04 menjadi 0,79, PDAM Kota Semarang dari 1,23 menjadi 0,94, PDAM Kota Bandung dari 2,78 menjadi 1,77, dan PDAM Kota Tangerang dari 2,12 menjadi 0,94. Untuk PDAM Kota Cirebon tidak terjadi perubahan nilai FCR karena dari Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
sejak awal, air yang terjual sudah 80 % dari total produksi sehingga diasumsikan tidak mengikuti strategi operasional. Nilai FCR PDAM bisa diminimalkan lagi oleh manajemen perusahaan air minum melalui pemberian sebagian tugasnya kepada pihak swasta secara kontrak manajemen, misalnya pembacaan meter air, penagihan pemakaian air, pecatatan keuangan atau tugas yang lainnya. Bentuk kerja sama dengan konsesi 192
diterapkan pada pengembangan lokasi/wilayah yang belum terdapat fasilitas pengolahan air minum, swasta harus mengeluarkan dana investasi, pendapatan yang akan diperoleh swasta berasal dari biaya pemasangan sambungan, jumlah pelanggan, dan tarif pemakaian air minum.
Daftar Pustaka 1. ------- Laporan Perpamsi. 2003. 2. Tamin M. Zakaria Amin. Identifikasi Pola Investasi Air Minum di Daerah.
Jurnal Permukiman Vol.2 No. 2 September 2007
Buletin Cipta Karya. Edisi 1/V/Januari 2007.Halaman 2-5.
No
3. Technical
Report, Regional Assessment Survey and Workshop on Full Cost Recovery for Water Utilities in Southeast Asia. USAID,USAEP, SEAWUN, OECD.2004
4. Final Report Guidelines for Local
Government Infrastructure Financing Manual. SGS Economic and Planning Pty.Ltd. Melbourne, Sidney. 2002
192
ANALISIS KURVA PERMINTAAN RUMAH SUSUN SEDERHANA SEWA DI JAKARTA Oleh: Rudy Ridwan Efendi Pusat Litbang Permukiman E-mail:
[email protected]
Abstrak Penelitian ini mencoba menganalisis permintaan akan rumah susun sederhana sewa sebagai salah satu faktor penting dalam penetapan harga sewa. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perkiraan kurva permintaan rumah susun sederhana sewa dengan satuan rumah susun yang disewakan seluas 21m2. Metode analisis yang digunakan untuk mengetahui kurva permintaan adalah dengan survey langsung dengan menggunakan kuesioner kepada para penghuni rumah susun sederhana sewa di Jakarta yaitu di 3 rumah susun sewa dengan jumlah sampel 219 penghuni. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kurva permintaan rumah susun sederhana sewa mengikuti persamaan: P (Rp) = 35,361.70 – 2,965.29Qunit
Kata Kunci :Rumah Susun Sederhana Sewa, Kurva Permintaan, Penetapan Sewa Abstract This study tries to analyse demand on Rental-Low-cost Multistorey Housing as an important factor that effects the decision in pricing. The objective of study is finding out the estimation of demand curve on Rental-Low-cost Multistorey Housing that has dwelling unit size 21m2. Method of analysis used to find out the estimation of demand curve done by direct survey method used questionnaire to the dwellers of Rental-Low-cost Multistorey Housing in Jakarta. The sample size is 3 Rental-Low-cost Multistorey Housing and 219 dwellers. The result of study found that the estimation price based on demand curve is P (Rp) = 35,361.70 – 2,965.29Qunit
Key words: Rental-Low-Cost-Multistorey Housing, Demand curve, Pricing PENDAHULUAN Jakarta merupakan pusat segala kegiatan ekonomi, dimana sekitar 70% uang beredar. Sebagai ibu kota, Jakarta sangat terbuka bagi semua warga negara, sehingga laju pertumbuhan penduduk di Jakarta termasuk tinggi. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, kota yang memiliki luas 650 km 2 ini berpenduduk sebanyak 8,3 juta jiwa. (BPS, 2006). Dengan jumlah penduduk 193
yang semakin bertambah tersebut, Jakarta menghadapi masalah utama dalam sektor perumahan dan permukiman. Untuk menanggulangi permasalahan ini, Pemerintah DKI mencoba membuat alternatif penyediaan perumahan yaitu dengan penyediaan rumah susun sewa yang diperuntukkan bagi masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah yang dirintis sejak tahun 1984. Ada tiga Analisis Kurva Permintaan… (Rudy R.E)
golongan masyarakat yang menjadi sasaran penyediaan rumah susun sewa ini, yaitu masyarakat dengan tingkat sosial ekonomi rendah yang tidak memiliki pendapatan yang tetap dan pekerjaan yang menentu, masyarakat yang bertempat tinggal tidak menetap, berpindah mengikuti tempat kerja, dan masyarakat yang belum mendapat kesempatan untuk memiliki perumahan yang dibangun oleh Perumnas dan perusahaan pembangunan perumahan yang kepemilikannya dengan KPR-BTN( Pemda DKI, 1995). Sampai dengan tahun 2003, Pemerintah DKI melalui PD Pembangunan Sarana Jaya (BUMD 100% milik Pemda DKI) dan Unit Pelayanan Teknis Pengelolaan Rumah Susun Dinas Perumahan DKI, telah membangun dan mengelola kurang lebih 30 lokasi rumah susun yang tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Disamping Pemerintah DKI, lembaga lain yang bergerak dalam pembangunan rumah susun adalah Perum Perumnas. Sejak awal pendiriannya Perum Perumnas mengemban dua misi, misi sosial dan misi profit. Dengan misi sosial Perumnas mempelopori pembangunan rumah-rumah sederhana dan sangat sederhana (RS dan RSS) yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah. Rumah susun yang dibangun dan dikelola oleh perumnas sebagian besar sistem kepemilikannya sewa-beli. Sedangkan yang sistem sewa antara lain Rusunawa Cengkareng, Rusunawa Kemayoran dan Rusunawa Pasar Jum‟at. Dalam pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa atau disingkat RUSUNAWA, penetapan harga sewa merupakan faktor penting, karena dari pungutan sewa ini seharusnya seluruh biaya pengoperasian dan pemeliharaan Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
RUSUNAWA dapat tertutupi. RUSUNAWA merupakan bentuk hunian yang diperuntukkan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sehingga dalam menetapkan harga sewanya selalu mengutamakan aspek keterjangkauan. Hal ini seringkali menyebabkan timbulnya gejolak berupa protes dari warga apabila ada kenaikan harga sewa. Sekarang ini, RUSUNAWA khususnya yang ada di Jakarta, sudah tidak hanya dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, tetapi juga dihuni oleh kelompok masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Disamping itu, banyak terjadi kasus penyewaan kembali oleh penyewa asli kepada orang lain dengan harga sewa yang lebih mahal dari harga sewa resmi. Berdasarkan hal ini, sebenarnya harga sewa RUSUNAWA dapat dikaji berdasarkan pertimbangan pasar dan permintaan. Berdasarkan pendekatan marketing, penetapan harga suatu produk atau jasa dipengaruhi oleh faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal perusahaan. Faktor-faktor internal perusahaan antara lain tujuan perusahaan, biaya, dan pertimbangan organisasi. Sedangkan faktor-faktor eksternal perusahaan yang mempengaruhi penetapan harga adalah sifat pasar dan permintaan, persaingan dan unsur-unsur lingkungan lainnya. Dari faktor-faktor tersebut ada 2 faktor penting yang sangat berpengaruh dalam penetapan harga, yaitu faktor biaya dan permintaan terhadap produk atau jasa itu. Faktor biaya ini dapat memberikan informasi tentang batas bawah harga sewa yang dapat ditetapkan. Sementara permintaan dapat memberikan informasi tentang
194
batas atas harga yang dapat ditetapkan (Kotler, 2004). Pada prinsipnya Pengelola RUSUNAWA dapat menetapkan harga setinggi mungkin untuk memperbesar laba yang diharapkan. Namun semakin tinggi harga maka jumlah masyarakat yang ingin tinggal di RUSUNAWA akan berkurang atau dengan kata lain permintaan berkurang. Oleh karena itu ada batas harga maksimum dimana permintaan akan RUSUNAWA maksimum. Batas harga maksimum ini dapat ditentukan oleh taksiran kurva permintaan. Kurva permintaan menunjukkan hubungan antara harga yang ditetapkan dengan permintaan yang dihasilkan. Kurva permintaan dapat digunakan untuk menentukan harga bila diketahui persamaan biaya pengelolaan. Untuk memberikan penjelasan penggunaan kurva permintaan ini, akan digunakan hasil studi yang telah dilakukan mengenai persamaan biaya pengelolaan RUSUNAWA Pasar Jum‟at yang dikelola oleh Perumnas. Hasil studi menghasilkan bahwa biaya pengelolaan RUSUNAWA Pasar Jumat mengikuti persamaan Biaya Total (Rp) = 9.608.274,45 + 53.969,25 unit. Ini berarti bahwa rata-rata Perumnas mengeluarkan uang sebesar Rp. 9.608.274,45 setiap bulannya untuk biaya tetap. Untuk setiap 1 unit satuan rumah susun yang disewa penghuni, Perumnas mengeluarkan biaya sebesar Rp. 53.969,25 setiap bulannya (Effendi, 2005). Berdasarkan permasalahan diatas, penelitian ini mencoba mengetahui taksiran kurva permintaan untuk RUSUNAWA di Jakarta dengan unit yang disewakan seluas 21m2. Kemudian taksiran kurva permintaan tersebut akan 195
digunakan untuk mencari harga sewa optimum untuk RUSUNAWA Pasar Jum‟at yang dikelola oleh Perumnas.
TINJAUAN TEORITIS Kotler mengemukakan konsep penetapan harga, dimana dinyatakan bahwa penetapan harga oleh perusahaan dipengaruhi oleh faktorfaktor internal dan eksternal perusahaan. Faktor-faktor internal adalah tujuan pemasaran (marketing objectif), strategi bauran pemasaran (marketing mix strategy), biaya (cost), dan pertimbangan organisasi (organizational considerations). Sedangkan faktor-faktor eksternal perusahaan yang mempengaruhi penetapan harga adalah sifat pasar dan permintaan (nature of the market and demand), persaingan (competition) dan unsur-unsur lingkungan lainnya (other environmental factors) (Kotler, 2004). Pembahasan dalam tulisan ini akan lebih ditekankan pada faktor eksternal, yaitu pasar dan permintaan. Setiap harga yang ditetapkan perusahaan akan menghasilkan tingkat permintaan yang berbeda. Hubungan antara harga yang ditetapkan dan tingkat permintaan yang dihasilkan ditunjukkan dengan kurva permintaan. Dalam keadaan normal permintaan dan harga mempunyai hubungan terbalik, dimana apabila harga naik, permintaan akan menurun dan sebaliknya apabila harga turun, permintaan akan naik. Dalam pengertian yang umum, pasar itu ada karena adanya pertukaran antara penjual dan pembeli. Menurut James B. Kau, pengertian yang lebih sesuai untuk pasar real estat adalah “a real estate
market as a geographic area where the price tends toward uniformity. This uniformity reflects adjusments for Analisis Kurva Permintaan… (Rudy R.E)
differences in quality, quantity and transportation cost”. Kau juga menekankan bahwa real estate market
ini masih luas sehingga dapat dibagi lagi menjadi housing market, dan
commercial
and
industrial
market
Kemudian masing-masing ini dapat dibagi lagi menjadi sub-sub-market, misalnya untuk housing market dapat dibagi lagi menjadi rumah tunggal, apartemen, kondominium. (Kau, 1985). Dengan demikian dalam membahas pasar real estat harus dapat didefinisikan dimana wilayah geografisnya dan lebih spesifik jenis real estatnya. Menurut James B. Kau, permintaan (demand) ini berdasarkan keinginan (wants) hasrat (desires) dan kesukaan (preferences) konsumen atau user. Konsumen disini bisa dianggap sebagai penyewa (tenant) yang ingin menyewa tempat tinggal. Bagi investor mengetahui permintaan penyewa ini sangat penting karena sangat berhubungan dengan harga dan nilai. Jumlah tempat tinggal yang seorang penyewa mampu (able) dan ingin (willing) sewa/beli pada tingkat harga yang berbeda-beda dalam suatu periode waktu itulah yang disebut permintaan. Jika jumlah rumah yang diinginkan semua penghuni pada setiap tingkat harga tersebut digabung, maka didapatlah skedul permintaan atau kurva permintaan. Untuk menganalisa permintaan rumah sewa, harga sewa dan permintaan paling tepat dinyatakan dalam ukuran luas (kaki, atau meter persegi) per bulan (Kau, 1985). Sehingga dalam penyusunan kuesioner, pertanyaan diarahkan untuk mengetahui keinginan atau minat responden untuk menyewa satuan rumah susun dengan luas 21 m2 pada beberapa tingkat harga.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
Metode untuk menaksir permintaan, menurut Lincolin Arsyad dapat dikelompokkan menjadi 2, metode langsung dan tidak langsung. Metode langsung adalah metode yang langsung melibatkan konsumen yaitu melalui wawancara dan survey, pasar simulasi dan eksperimen pasar terkendali. Sedangkan penaksiran permintaan tidak langsung dilakukan dengan adanya datadata yang telah dikumpulkan sehingga dapat dicari hubungan statistik antara variabel dependen dan variabel independennya. Lebih jauh Lincolin Arsyad menjelaskan bahwa metode penaksiran permintaan secara langsung dilakukan dengan menanyakan langsung kepada para pembeli atau pembeli potensial berapa kenaikan atau penurunan jumlah produk yang mereka beli jika harganya (atau salah satu variabel independen) berubah. Pertanyaan-pertanyaan ini dapat sampaikan melalui kuesioner yang ditujukan kepada suatu sampel pembeli. Responden diarahkan untuk menjawab pertanyaan dengan jawaban yang telah ditentukan probabilitas pembelian nyatanya sebagai berikut: Jawaban Sama sekali tidak Sepertinya tidak Barangkali Sepertinya Ya Sangat suka Pasti Ya
Probabilitas pembelian nyata 0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 1
Kemudian nilai kuantitas yang diharapkan pada suatu tingkat harga dihitung dengan persamaan: E(Q) = f1(p1)+f2(p2)+f3(p3)+f4(p4)+f5(p5)+ f6(p6)…..(1) Dimana: E(Q)= kuantitas yang diharapkan pada tingkat harga tertentu
196
f1 = jumlah jawaban responden pada jawaban “sama sekali tidak” (p1)= probabilitas untuk jawaban “sepertinya tidak” f2 = jumlah jawaban responden pada jawaban “sepertinya tidak” (p2)= probabilitas untuk jawaban “barangkali” f3= jumlah jawaban responden pada jawaban “sepertinya tidak” p3= probabilitas untuk jawaban “barangkali” f4= jumlah jawaban responden pada jawaban “sepertinya ya” p4= probabilitas untuk jawaban “sepertinya ya” f5= jumlah jawaban responden pada jawaban “sangat suka” p5= probabilitas untuk jawaban “sangat suka” f6 = jumlah jawaban responden pada jawaban “pasti ya” p6= probabilitas untuk jawaban “pasti ya” (Arsyad, 2000). Sampel pembeli dalam penelitian ini adalah penghuni rumah susun sewa di Jakarta dimana jumlah sampel ditentukan dengan persamaan: 2 (1,96)( ) …….(2) N presisi
Dimana:
N
= Jumlah sampel 1,96 = nilai Z pada tingkat kepercayaan 95% = standar deviasi dari populasi presisi = tingkat akurasi (Wright, 1979)
PELAKSANAAN PENELITIAN Dalam penelitian ini populasinya adalah seluruh penghuni rumah susun sewa di Jakarta. Untuk mendapatkan sampel dilakukan dengan teknik sampling dengan dua tahap (two stage sampling). 197
Pertama, karena pengelola rusunawa di Jakarta ada 3 yaitu Dinas Perumahan, PD Sarana Jaya dan Perum Perumnas, maka dipilih rumah susun sewa yang mewakili ketiga pengelolanya. Rusunawa yang menjadi sampel adalah Rusunawa Pasar Jum’at yang dikelola oleh Perumnas, Rusunawa Penjaringan yang dikelola oleh PD Sarana Jaya, dan Rusunawa Cipinang Muara yang dikelola oleh Dinas Perumahan. Ketiga rusunawa tersebut juga sekaligus mewakili 3 wilayah DKI, dimana Rusunawa Pasar Jum‟at mewakili Jakarta Selatan, Rusunawa Penjaringan mewakili Jakarta Utara dan Rusunawa Cipinang Muara mewakili wilayah Jakarta Timur. Penentuan jumlah sampel dihitung dengan persamaan 2. Untuk menentukan nilai diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan. Penelitian tentang harga sewa telah pernah dilakukan oleh Puslitbang Permukiman pada penghuni rumah susun Pasar Jum‟at, dimana didapat simpangan bakunya sebesar Rp. 33.293,-. (Puslitbang Permukiman, 2002) Dengan memasukan nilai dan presisi atau besar kesalahan paling sedikit Rp. 4500,-, maka didapat jumlah sampel sebesar: 2
(1,96)(33293 = 210 N 4500
Dengan n sampel 210 tersebut dibagi secara proporsional untuk ketiga rusunawa, sehingga masing-masing ditetapkan 70 responden. Pada pelaksanaan di lapangan kuesioner yang disebarkan melebihi jumlah tersebut dan responden yang mengisi dan mengembalikan kuesioner sebanyak 219 orang. Unit analisis dalam survey adalah Analisis Kurva Permintaan… (Rudy R.E)
individu yang bertanggung jawab atas penyewaan satuan rumah susun yang ditempatinya. Untuk menaksir kurva permintaan digunakan metode penaksiran permintaan secara langsung yaitu dengan menanyakan langsung kepada penghuni rusunawa di Jakarta (actual buyer) yang terpilih mejadi sampel penelitian tentang minat mereka menyewa unit sarusun dengan luas 21 m2, dengan 1 kamar tidur, kamar mandi dan dapur pada 7 tingkat harga yaitu : Rp. 21.000,-/bulan, Rp. 52.500,-/bulan, Rp. 105.000,-/bulan, Rp. 157.000,/bulan. Rp. 210.000,-/bulan, Rp. 262.500,-/bulan, Rp. 315.000,-/bulan. Penetapan harga-harga ini berdasarkan kisaran harga sewa yang berlaku pada saat itu di rusunawa-rusunawa yang ada di Jakarta. Jawaban responden kemudian ditentukan nilai kuantítas yang diharapkan dengan persamaan 1. Setiap harga yang diberikan dihubungkan dengan kuantitas yang diharapkan menghasilkan suatu kurva permintaan. Dengan regresi linear didapat taksiran harga berdasarkan kurva permintaan.
HASIL DAN PEMBAHASAN Minat responden untuk menyewa unit sarusun dengan luas 21 m2, dengan 1 kamar tidur, kamar mandi dan dapur pada beberapa tingkat harga Dari survey yang dilakukan maka diperoleh minat responden untuk menyewa unit sarusun dengan luas 21 m2, dengan 1 kamar tidur, kamar mandi dan dapur dengan berbagai tingkat harga. Untuk harga Rp. 21.000,/bulan dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1. menunjukkan bahwa dengan harga sewa yang rendah yaitu Rp. Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
21.000,/bulan, sebagian besar responden cenderung berminat untuk menyewa dimana yang menjawab „pasti ya‟ 29,2%, dan „sepertinya ya‟ 20,1 %, namun dengan murahnya harga sewa ini ada responden yang cenderung menolak untuk menyewa jumlahnya cukup signifikan juga, yaitu “sama sekali tidak” 17,8% dan sepertinya tidak “18,7%.
Tabel 1 Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 21.000/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 39 41 13 44 18 64 219
Percent 17.8 18.7 5.9 20.1 8.2 29.2 100.0
Valid Percent 17.8 18.7 5.9 20.1 8.2 29.2 100.0
Cumulat iv e Percent 17.8 36.5 42.5 62.6 70.8 100.0
Hal ini menunjukkan bahwa preferensi responden terhadap rumah susun sederhana bukan semata-mata karena murahnya harga sewa, tapi ada faktorfaktor lain yang berperan. Karena apabila ditinjau dari harga tarif yang berlaku sekarang di 3 rumah susun yang menjadi sampel, harga sewa terendah adalah Rp. 30.000,- per bulan, sehingga logikanya responden seharusnya akan cenderung berminat pada tingkat harga sewa Rp. 21.000/bulan. Minat responden menyewa untuk harga sewa Rp. 52.500,-/bulan dapat dilihat pada tabel 2. Tabel 2 Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 52.500/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 42 44 18 53 20 42 219
Percent 19.2 20.1 8.2 24.2 9.1 19.2 100.0
Valid Percent 19.2 20.1 8.2 24.2 9.1 19.2 100.0
Cumulat iv e Percent 19.2 39.3 47.5 71.7 80.8 100.0
Di sini nampak bahwa terjadi penurunan minat, dimana untuk responden yang menjawab “pasti ya” menjadi 19,2 %, “sangat suka” 9,1%, dan “sepertinya ya” 24,2 %. Kemudian yang menjawab “sepertinya tidak” dan “sama sekali 198
tidak” bertambah menjadi 20,1% dan 19,2%. Pada harga sewa yang ditawarkan Rp. 105.000/bulan (lihat tabel 3.) Jumlah responden yang cenderung menolak semakin bertambah dimana yang menjawab “sama sekali tidak” bertambah menjadi 29,2% dan “sepertinya tidak” 25,1 %. Sedangkan yang menjawab “pasti ya “ hanya tinggal 8,7 %. Jawaban yang mempunyai nilai tengah-tengah, misalnya untuk “sepertinya ya” bertambah menjadi 25,1%.
Tabel 5 Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 210.000/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 96 73 18 26 2 4 219
Percent 43.8 33.3 8.2 11.9 .9 1.8 100.0
Valid Percent 43.8 33.3 8.2 11.9 .9 1.8 100.0
Cumulat iv e Percent 43.8 77.2 85.4 97.3 98.2 100.0
Untuk harga penawaran Rp.262.500/ bulan (tabel 6), jawaban responden untuk “sama sekali” tidak semakin bertambah signifikan dan sudah melebihi 50%, “sepertinya tidak” mencapai 34%, sedangkan jawaban “pasti ya” semakin sedikit menjadi 1,8% saja.
Tabel 3
Tabel 6
Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 105.000/bulan
Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 262.500/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 64 55 19 55 7 19 219
Percent 29.2 25.1 8.7 25.1 3.2 8.7 100.0
Valid Percent 29.2 25.1 8.7 25.1 3.2 8.7 100.0
Cumulat iv e Percent 29.2 54.3 63.0 88.1 91.3 100.0
Pada harga sewa yang ditawarkan Rp. 157.500/bulan (tabel 4). Jumlah responden yang cenderung menolak semakin bertambah, dimana jawaban “sama sekali tidak” menjadi 34,2%, “sama sekali tidak” 32 %. Sedangkan yang menjawab “pasti ya” tinggal 4,6%. Tabel 4 Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp. 157.500/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 75 70 24 37 3 10 219
Percent 34.2 32.0 11.0 16.9 1.4 4.6 100.0
Valid Percent 34.2 32.0 11.0 16.9 1.4 4.6 100.0
Cumulat iv e Percent 34.2 66.2 77.2 94.1 95.4 100.0
Jawaban responden semakin bertambah pada “sama sekali tidak” menjadi 43,8% dan “sepertinya tidak” 33,33% , saat harga sewa yang ditawarkan sebesar Rp.210.000/bulan (tabel 5). Sedangkan jawaban untuk “pasti ya” berkurang menjadi 1,8 % saja, “sangat suka” 0,9% dan “sepertinya ya” menjadi 11,9 %.
199
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 113 76 9 17 1 3 219
Percent 51.6 34.7 4.1 7.8 .5 1.4 100.0
Valid Percent 51.6 34.7 4.1 7.8 .5 1.4 100.0
Cumulativ e Percent 51.6 86.3 90.4 98.2 98.6 100.0
Tabel 7 Minat untuk tinggal di Rumah susun type 21 yang bertarif Rp.315.000/bulan
Valid
sama sekali tidak sepertiny a tidak Barangkali sepertiny a y a sangat suka Pasti y a Total
Frequency 140 54 7 13 1 4 219
Percent 63.9 24.7 3.2 5.9 .5 1.8 100.0
Valid Percent 63.9 24.7 3.2 5.9 .5 1.8 100.0
Cumulativ e Percent 63.9 88.6 91.8 97.7 98.2 100.0
Pada saat ditawarkan harga semakin tinggi, yaitu Rp. 315.000,-/bulan (tabel 7.), responden semakin cenderung menolak dimana jumlah jawaban “sama sekali tidak” mecapai 63,9%, dan “sepertinya tidak” 24,7 %. Secara umum, tabel 1. sd. Tabel 7 di atas menggambarkan bagaimana penghuni sangat peka terhadap perubahan harga sewa. Semakin tinggi harga sewa yang ditawarkan semakin berkurang minat penghuni untuk menyewa.
Analisis Kurva Permintaan… (Rudy R.E)
Taksiran Kurva Permintaan Jawaban-jawaban di atas dapat digunakan untuk membuat suatu kurva permintaan. Setiap harga yang ditetapkan akan menghasilkan tingkat permintaan yang berbeda. Hubungan antara harga yang ditetapkan dan
tingkat permintaan yang dihasilkan ditunjukkan dengan kurva permintaan. Hasil pengolahan data dari jawabanjawaban responden dapat dilihat pada tabel 8 yang merupakan ringkasan jawaban responden dan kuantitas yang diharapkan. Kuantitas yang diharapkan dihitung berdasarkan persamaan 1.
Tabel 8 Ringkasan Jawaban Responden Jawaban Responden Harga Kuantitas Sewa/ Sama sekali Sepertinya yang Sepertinya Sangat Barangkali Pasti Ya bulan diharapkan tidak tidak Ya suka 21000 39 41 13 44 18 64 118 52500 42 44 18 53 20 42 106 105000 64 55 19 55 7 19 76 157500 75 70 24 37 3 10 58 210000 96 73 18 26 2 4 43 262500 113 76 9 17 1 3 33 315000 140 54 7 13 1 4 26 P (Rp) = 355.361,70 – Setiap harga yang diberikan 2.965,29Q dihubungkan dengan kuantitas yang diharapkan menghasilkan suatu kurva Hubungan ini menyatakan bahwa untuk permintaan seperti pada gambar 1. meningkatkan permintaan sebesar 1 unit Dengan regresi linear didapat taksiran sarusun harga harus diturunkan sebesar harga berdasarkan kurva permintaan: Rp. 2.965,29-.
Linear Regression
300000.00
Harga/unit = 355361.70 + -2965.29 * q R-Square = 0.95
Harga/unit
200000.00
100000.00
0.00 25.00
50.00
75.00
100.00
Kuantitas
Gambar 1 : Kurva Permintaan Untuk Rusunawa dengan Sarusun Type 21 Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
200
Penetapan Harga dengan Taksiran Kurva Permintaan Seperti telah disebutkan diatas, kurva permintaan ini dapat digunakan untuk menentukan harga optimum bila diketahui persamaan biaya pengelolaan RUSUNAWA dengan bentuk persamaan TC = FV + VX, Dimana : TC= Biaya Total F = Biaya Tetap V = Biaya variabel X = jumlah unit satuan rumah susun. Dari hasil studi yang telah dilakukan diketahui persamaan biaya pengelolaan untuk RUSUNAWA Pasar Jum‟at yang dikelola oleh Perumnas adalah: Biaya Total (Rp) = 9.608.274,45 + 53.969,25 unit Ini berarti bahwa rata-rata Perumnas mengeluarkan uang sebesar Rp. 9.608.274,45 setiap bulannya untuk biaya tetap. Untuk setiap 1 unit satuan rumah susun yang disewa penghuni, Perumnas mengeluarkan biaya sebesar Rp. 53.969,25 setiap bulannya. Kegunaan taksiran kurva permintaan untuk menetapkan harga adalah dengan mencari Q (unit) pada saat MR (marginal return) = MC (marginal cost). MR adalah perubahan pendapatan untuk perubahan 1 unit yang tersewa, dimana MR mempunyai intersep yang sama dengan kurva permintaan dan berslope 2 kali lebih besar dari kurva permintaan (Arsyad, 2000: 374). Persamaan harga untuk kurva permintaan adalah P (Rp)= 355.361,70 – 2.965,29 Q, sehingga: MR (Rp)= 355.361,70 – 5.930,58 Q. Dan MC adalah perubahan biaya untuk perubahan 1 unit tersewa. Karena diketahui bahwa persamaan biaya
201
adalah linier, maka MC = biaya variabel = Rp. 53.969,25 MR = MC 355.361,70 – 5930,58 Q = 53.969,25 Q = 51 Dengan masukkan kembali Q = 51 unit ini pada persamaan harga berdasarkan taksiran kurva permintaan maka diperoleh: P = 355.361,70 – 2965,29 x 51 P = Rp. 204.131,91 Harga ini adalah harga optimum yang dapat ditetapkan di RUSUNAWA Pasar Jum‟at.
KESIMPULAN Penelitian permintaan harga susun ini menggunakan actual buyer sebagai responden sehingga penelitian menjadi bias karena mereka adalah penghuni rumah susun sewa yang sudah menikmati murahnya harga sewa. Penghuni sangat peka terhadap kenaikan harga sewa. Semakin tinggi harga sewa yang ditawarkan semakin berkurang minat penghuni untuk menyewa. Untuk itu diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan taksiran kurva permintaan untuk rusunawa yang lebih baik yaitu dengan melibatkan potential buyers, atau orang yang berminat untuk tinggal di rumah susun sewa. Walaupun demikian, penelitian ini telah menghasilkan suatu taksiran kurva permintaan untuk Rumah Susun Sederhana Sewa type 21m2, 1 kamar tidur dan dapur. Dengan taksiran kurva permintaan ini, pengelola rusunawa di Jakarta dapat menggunakannya untuk menetapkan harga sewa optimum.
Analisis Kurva Permintaan… (Rudy R.E)
DAFTAR PUSTAKA 1. Arsyad, Lincolin. (2000). Ekonomi
Manajerial: Ekonomi Mikro Terapan untuk Manajemen Bisnis. Edisi 3. Yogyakarta: BPFE.
2. BPS. (2006) Statistics Indonesia. www.bps.go.id/profile/dki.shtml. 3. Effendi, Rudy R., (2005) Analisis
Penetapan Harga Sewa Rumah Susun Sederhana Berdasarkan Pendekatan Biaya Pengelolaan (Studi Kasus Rumah Sederhana Sewa Pasar Jum‟at Jakarta). Artikel dalam Jurnal Penelitian Permukiman vol 21. no. 1, Halaman 33 – 42. Bandung: Pusat Litbang Permukiman.
4. Kau, James B. dan C.F. Sirmans. (1985). Real Estate. New York: Mc Graw-Hill.
Jurnal Permukiman Vol. 2 No. 2 September 2007
5. Kotler, Phillip dan Gary Amstrong. (2004). Principles of Marketing. Edisi 10. New Jersey: Pearson Education. 6. Pemda DKI, PD Pembangunan Sarana Jaya DKI Jakarta, (1995),
Rumah Susun/Rumah Sewa Murah: Peran dan Tantangannya. Jakarta: PD Pembangunan Sarana Jaya DKI Jakarta.
7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman. ( 2002 ) Model
Manajemen Operasional RUSUNAWA di Atas 5 Lantai: Laporan Penelitian.
Bandung: Puslitbang PermukimanDEP. KIMPRASWIL 8. Wright, Sonia R. (1979). Quantitative
Methods and Statistics: A Guide to Social Research. Beverly Hills: SAGE.
202