SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh MUCHAMAD ALI RIDHO NIM : 21210008
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Hukum Islam
Oleh MUCHAMAD ALI RIDHO NIM : 21210008
JURUSAN AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH FAKULTAS SYARI’AH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA 2015
i
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO Pastikan ada jalan untuk meraih kesuksesan.
PERSEMBAHAN Untuk orang tuaku, para dosenku, saudara-saudaraku, Sahabat-sahabat seperjuanganku.
v
ABSTRAK
Ali, Muchamad. 2015. SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG. Skripsi. Jurusan Syari‟ah. Program Studi Al Ahwal Asy Syakhshiyyah. Instutut Agama Islam Negeri Salatiga. Dosen Pembimbing Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. Kata kunci: Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim Desa Kalongan Waris merupakan salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati.Kewarisan yang ada di dalam Al Qur‟an adalah bagian laki-laki dua berbanding satu dengan bagian perempuan. Dalam pembagian waris apabila perempuan mendapatkan lebih banyak daripada lakilaki, apakah kewarisan sudah sesuai dengan hukum sayri‟at Islam. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut, kenapa pembagian harta waris di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur untuk perempuan mendapatkan lebih banyak dibandingkan laki-laki, bagaimana jika ditinjau menurut hukum waris Islam. Metode yang dilakukan adalah metode kualitatif. Peneliti menggunakan penelitian lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan ditengahtengah masyarakat. Dalam hal ini data yang ingin diperoleh adalah adanya pembagian harta waris untuk perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Teknik pengumpulan data dengan menggunakan interview (wawancara) kemudian data ditranskip menjadi data yang lengkap. Masyarakat muslim di Desa Kalongan dalam hal melakukan pembagian harta waris selalu dengan jalan musyawarah, dan itu sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dilakukan di masyarakat tersebut. Untuk hasil perolehan harta waris yang diperoleh masing-masing ahli waris jelaslah berbeda dengan apa yang ada dalam Al Qur‟an. Faktor penyebab pembagian harta waris untuk anak perempuan lebih banyak daripada laki-laki dikarenakan kesadaran masyarakat sangat kecil dalam menerapkan hukum Islam, hukum Islam di anggap sulit, pembagian harta waris dengan jalan musyawarah dilakukan turun-temurun dan sudah menjadi kebiasaan. Dalam hal pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan yang dilakukan dengan cara musyawarah dan disaksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. Bila ditinjau dari sisi Kompilasi Hukum Islam pada Bab III Besarnya Bahagian Pasal 183 yang menjelaskan para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. Penjelasan pasal tersebut sangat jelas bahwa mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian harta waris itu sangatlah dimungkinkan, setelah masing-masing ahli waris menyadari bagiannya.
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Wr. Wb. Ya Allah, dzat yang maha segalanya. Alhamdulillahi robbil’alamin, segala puji dan Syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Taufiq serta Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Kalongan (Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang)” Sholawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi utusanMu Muhammad Rasul KekasihMu sang pembawa risalah Uswatun Khasanah beserta keluarga dan para sahabatnya. Mudah-mudahan kita diakui sebagai umatnya dan mendapat syafaat di yaumul qiyamah kelak. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi syarat dan tugas untuk memperoleh gelar Sarjana Syari‟ah (S.Sy) di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga. Skripsi ini berjudul “Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Kalongan (Studi Kasus di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang)” Penulis skripsi ini pun tidak akan dapat terselesaikan tanpa bantuan dari berbagai pihak yang telah berkenan membantu penulis menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. Rektor IAIN Salatiga. 2. Dra. Siti Zumrotun, M.Ag. Dekan Fakultas Syari‟ah vii
3. Syukron Ma‟mun, M.Si. Ketua Jurusan Al Ahwal Asy Syakhshiyyah IAIN Salatiga. 4. Dr. H. Muh. Irfan Helmy, Lc., M.A. Dosen Pembimbing yang telah memberikan bantuan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 5. Bapak dan Ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membekali berbagai ilmu pengetahuan, sehingga penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini. 6. Karyawan-karyawati IAIN Salatiga yang telah memberikan layanan serta bantuan. 7. Bapak Munawar dan Ibu Sri Sutiah tercinta yang telah mengasuh, mendidik, membimbing penulis, baik moral maupun spiritual. 8. Bapak Yarmuji Kepala Desa Kalongan beserta stafnya yang telah memberikan ijin penelitian di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur. 9. Bapak dan Ibu yang ada di Desa Kalongan yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini. 10. Semua pihak yang telah membantu dalam penulisan ini. Skripsi ini masih jauh dari sempurna, maka penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi penulis khususnya serta para pembaca pada umumnya. Salatiga, 19 September 2015
MUCHAMAD ALI RIDHO viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ..............................................................................................i NOTA PEMBIMBING .........................................................................................ii PENGESAHAN ....................................................................................................iii PERNYATAAN KEASLIAN ..............................................................................iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN ........................................................................v ABSTRAK ............................................................................................................vi KATA PENGANTAR .........................................................................................vii DAFTAR ISI .........................................................................................................ix A. Latar Belakang Masalah ....................................................................................1 B. Rumusan Masalah .............................................................................................3 C. Tujuan Penelitian ..............................................................................................3 D. Telaah Pustaka ..................................................................................................5 E. Kerangka Teori ..................................................................................................6 F. Metode Penelitian ..............................................................................................7 1. Jenis Penelitian ............................................................................................7 2. Pendekatan Penelitian .................................................................................8 3. Sumber Data ................................................................................................8 4. Metode Pengumpulan Data .........................................................................9 5. Metode Analisis Data ................................................................................9 G. Sistematika Penulisan .....................................................................................10 BAB II : KAJIAN PUSTAKA A. Pengertian Waris .............................................................................................12 B. Dasar Hukum ..................................................................................................13 C. Syarat dan Rukun Pembagian Warisan ...........................................................17 D. Sistem Pembagian Warisan Berdasarkan Pengelompokan Ahli Waris dan Haknya Masing-masing ..................................................................................20 BAB III : PAPARAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Masyarakat di Desa ...........................................................39 1. Letak Geografis .........................................................................................39 2. Struktur Organisasi Desa Kalongan ..........................................................40 3. Jumlah Penduduk Desa Kalongan .............................................................41 B. Kewarisan Menurut Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ..........................45 C. Bagian Waris Untuk Anak Perempuan Dalam Hukum Islam .........................48 BAB IV : PEMBAHASAN A. Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ........51 B. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Memilih Sistem Pembagian Harta Waris Dengan Jalan Musyawarah ..........................58 C. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...............................................................................60 BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................................................67 1. Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ..............67 ix
2. Faktor Penyebab Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan ...................................................................................................67 3. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan .....................................................67 B. Saran-Saran .....................................................................................................68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Biodata Penyusun 2. Nota Dosen Pembimbing Skripsi 3. Lembar Konsultasi 4. Surat Ijin Penelitian
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kewarisan sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, bahwa setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum, apabila seorang meninggal dunia meninggalkan harta peninggalan dan ahli waris, tentunya harta peninggalan tersebut akan berpindah kepada ahli waris yang ada. Manusia di dalam perjalannya di dunia mengalami 3 peristiwa yang penting: waktu ia dilahirkan, waktu ia kawin, waktu ia meninggal dunia. (Afandi, 1997: 5) Setiap mahluk pasti mati. Tiada orang yang mengetahui kapan dia mati karena waktu kematian merupakan salah satu yang dirahasiakan Allah. Kematian merupakan salah satu sebab terjadinya pewarisan, hal ini menyangkut tata cara dan pemindahan harta benda dari pewaris kepada ahli waris. Kewarisan pada dasarnya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari hukum, sedang hukum adalah bagian dari aspek ajaran Islam yang pokok. (Rohman, 1995: 9) Dalam pandangan Islam kewarisan itu merupakan salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah wafat. Allah menentukan ketentuan tentang kewarisan ini adalah karena menyangkut 1
tentang harta yang di satu sisi kecenderungan manusia dapat menimbulkan persengketaan dan disisi lain Allah tidak menghendaki manusia memakan harta yang bukan haknya. (Syarifudin, 2003: 147) Sebagai umat Islam harus taat dan patuh terhadap hukum Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan dan kebutuhan manusia, baik dalam hubungannya dengan Allah swt, hubungan sesama manusia dan hubungannya dengan alam sekitarnya, sehingga lahir aturan-aturan bagi manusia, seperti diantaranya hukum keluarga yang membahas mengenai perkawinan dan kewarisan. Hukum kewarisan adalah bagian dari hukum keluarga yang memegang peranan penting yang berlaku dalam masyarakat. Masalah warisan berkaitan dengan aturan-aturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda dari seorang manusia kepada keturunannya. Jadi dalam hal ini masalah warisan erat kaitannya dengan masalah harta kekayaan. Hukum Islam telah meletakkan aturan kewarisan dan hukum mengenai harta benda dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Islam menetapkan hak milik seseorang atas harta, baik laki-laki maupun perempuan pada waktu masih hidup ataupun perpindahan harta kepada ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Berdasarkan observasi pendahuluan yang dilakukan di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang, dalam hal membagi harta waris selalu dengan jalan musyawarah dan anak terakhir mendapat pembagian harta waris lebih banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain, 2
meskipun anak yang terakhir itu adalah seorang perempuan dan mempunyai saudara kandung yang lain yaitu laki-laki. Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti penelitian ini lebih lanjut, kenapa pembagian harta waris di Desa Kalongan untuk perempuan mendapatkan lebih banyak dibandingkan laki-laki, bagaimana jika ditinjau menurut hukum waris Islam. Peneliti bermaksud akan melakukan penelitian yang berjudul SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARIS MASYARAKAT MUSLIM DI DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan? 2. Faktor apa yang mempengaruhi masyarakat muslim di Desa Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan jalan musyawarah? 3. Apakah sistem pembagian waris masyarakat muslim di Desa Kalongan sesuai dengan hukum Islam? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui bagaimana sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan. 2. Untuk mengetahui faktor apa yang mempengaruhi masyarakat muslim di Desa Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan jalan musyawarah.
3
3. Untuk mengetahui apakah sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan sesuai dengan hukum Islam. D. Kegunaan Hasil Penelitian Penelitian ini layak dan perlu dilaksanakan supaya dapat bermanfaat sebagai bahan wacana bagi semua pihak apalagi yang berkepentingan dalam rangka untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang hukum kewarisan dalam Islam. E. Penegasan Istilah 1. Warisan adalah istilah menurut bahasa Indonesia yang mengandung arti harta peninggalan, pusaka, surat-surat wasiat. (Purwadarta, 1983: 148) 2. Ahli Waris adalah orang yang akan mewarisi harta peninggalan lantaran mempunyai hubungan sebab-sebab untuk mempusakai seperti adanya ikatan perkawinan, hubungan darah (keturunan), hubungan hak perwalian dengan si muwaris. (Abdullah, 1960: 57) 3. Muwaris adalah orang yang meninggal dunia, baik mati hakiki maupun mati hukmi. Mati hukmi ialah suatu kematian yang dinyatakan oleh keputusan hakim atas dasar beberapa sebab, walaupun ia sesungguhnya belum mati sejati. (Rahman, 1981: 37) 4. Pembagian adalah Suatu kegiatan akal budi yang tertentu. Dalam kegiatan itu akal budi menguraikan “membagi”, “menggolongkan”, dan menyusun pengertian-pengertian
dan
barang-barang
tertentu.
Penguraian
dan
penyusunan itu diadakan menurut kesamaan dan perbedaannya. (Alex, 1983: 2) 4
F. Telaah Pustaka Dalam skripsi Abdul Wahid yang berjudul Pembagian Waris Antara Laki-laki dan Perempuan di Indonesia (Studi Analisis Pemikiran Munawir Sjadzali) membahas tentang konsep waris yang ditawarkan Munawir S jadzali dalam soal pembagian waris yang berkembang di Indonesia adalah pembagian waris yang seimbang antara laki-laki dan perempuan tanpa ada diskriminasi jender tetapi lebih mengutamakan keadilan sosial. Skripsi ini berbeda dengan pembahasan peneliti yang mengangkat judul Sistem Pembagian Harta Waris. Sistem pembagian harta waris lebih fokus terhadap besarnya bagian ahli waris perempuan yang lebih banyak daripada laki-laki. Skipsi yang berjudul Pelaksanaan Hukum Waris Dalam Masyarakat Islam (Studi Kasus Atas Pelaksanaan Pembagian Waris Di Kelurahan Tingkir Lor Kecamatan Tingkir Kota Salatiga). Yang ditulis oleh Muhammad Ali As‟ad fokus terhadap pelaksanaan hukum waris 1:1 antara laki-laki dan perempuan adapun pelaksanaannya setiap pembagian warisan dalam satu keluarga di saksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat dan hasil perolehannya 1:1 antara laki-laki dan perempuan. Dan pembahasan peneliti sistem pembagian harta waris untuk hasil yang diperoleh perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Meskipun peneliti menyinggung tentang pelaksanaan pembagian warisan yang dihadiri oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat tidak ada kesamaan antara pembagian harta waris antara laki-laki dan perempuan 1:1 dengan pembagian harta waris perempuan mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki. 5
G. Kerangka Teori Hukum kewarisan menduduki tempat amat penting dalam Islam. Masalah-masalah
yang
menyangkut
tentang
kewarisan
sudah
ada
ketentuannya. Dalam al-Qur'an dan al-Hadits terdapat lima asas hukum kewarisan yang terangkum dalam doktrin ajaran agama Islam, Asas-asas tersebut adalah sebagai berikut: (Syarifudin, 2004: 17) 1. Asas Ijbari Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. 2. Asas Bilateral Asas bilateral ini mengandung arti bahwa harta warisan beralih kepada atau melalui dua arah. Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki pihak kerabat garis keturunan perempuan. 3. Asas Individual Asas ini mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi dan dimiliki secara perorangan. 4. Asas Keadilan Berimbang Artinya
keseimbangan
antara
hak
dan
kewajiban,
keseimbangan antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaan. 5. Asas Semata Akibat Kematian
6
dan
Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Dari kelima asas tersebut di atas, asas keadilan berimbang merupakan titik permasalahan yang selalu diartikan berbeda di kalangan masyarakat, bahwa yang disebut dengan adil dalam pembagian warisan itu ialah bahwa anak perempuan mendapat lebih banyak dari anak laki-laki. Padahal dalam Kompilasi Hukum Islam bagian laki-laki dan perempuan sangatlah berbeda. BAB III Besarnya Bahagian pasal 176 Kompilasi Hukum Islam (KHI) menjelaskan: “Anak perempuan bila hanya seorang ia mendapat separoh bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian, dan apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki adalah dua berbanding satu dengan anak perempuan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 54) Dari pasal tersebut sangat jelas bahwa bagian anak laki-laki lebih banyak daripada bagian anak perempuan yaitu dua kali bagian dari anak perempuan. Misalnya anak laki-laki mendapatkan harta warisan Rp 1.000.000,00 maka anak perempuan mendapatkan Rp. 500.000,00. H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Dalam penelitian ini jenis yang digunakan adalah penelitian lapangan (field research), yakni penelitian yang dilakukan ditengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini data yang ingin diperoleh adalah adanya niat
7
dalam membagi harta waris perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. 2. Pendekatan Penelitian Dalam
penulisan
ini
penyusun
menggunakan
pendekatan
Sosiologis, yaitu dengan mendeskripsikan masalah-masalah sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat. Penulis mencoba mendeskripsikan masalah-masalah mengenai kewarisan yang terjadi di Desa Kalongan melalui pengumpulan, penyusunan, dan menganalisa data, kemudian dijelaskan. 3. Sumber Data Dalam penelitian ini untuk memperoleh informasi data dari beberapa literature buku maupun jurnal sebagai bahan teoritik dan memperoleh sumber informasi riil dari proses data observasi dan wawancara yang peneliti lakukan secara langsung yang kemudian dianalisis. Dengan kata lain sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah: a. Sumber Data Primer Yaitu sumber data yang berkaitan langsung dengan objek riset. Data primer dalam penelitian ini adalah perilaku masyarakat kalongan yang diperoleh dari hasil wawancara dan hasil observasi. b. Sumber Data Skunder Sumber data skunder adalah sumber data yang mendukung dan melengkapi sumber-sumber data primer. Data skunder dalam penelitian ini 8
adalah buku-buku jurnal dan penelitian orang lain yang berkaitan dengan sistem pembagian harta waris. 4. Pengumpulan Data a. Wawancara Wawancara adalah metode pengumpulan data dengan tanya jawab yang dikerjakan dengan sistematik dan berlandaskan pada tujuan penelitian. (Hadi, 1992: 193) Wawancara dilakukan kepada orang-orang yang melakukan pembagiaan waris anak perempuan mendapat lebih banyak daripada laki-laki. Di samping informan umum atau masyarakat umum ataupun kultur yang mempengaruhi praktek pembagian waris anak perempuan mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki. b. Observasi Observasi disebut juga pengamatan, yang meliputi kegiatan pemusatan perhatian terhadap sesuatu obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. (Moeloeng, 2002: 146) Maksud dari penggunaan metode ini adalah peneliti mengamati fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat yang menjadi objek penelitian, terutama faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan sistem waris anak perempuan mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki. 5. Analisis Data Penulis menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif yaitu: Prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata- kata
9
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang teramati. (Moeloeng, 2002: 3) Analisis deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan tentang sistem pembagian harta waris di masyarakat Kalongan. Yang kemudian diuraikan sebagai sebuah narasi, kemudian diperhatikan sisi-sisi data yang harus dan memang memerlukan analisis lebih lanjut. I. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam pembahasan skripsi ini penyusun akan menguraikan sistematikanya yaitu dengan membagi seluruh materi menjadi lima bab dan masing-masing bab terdiri dari sub bab. Adapun kelima bab yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
: Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, kerangka teoritik, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II
: Bab ini merupakan landasan teori yang menguraikan tentang kajian teoritik tentang waris dalam Islam yang terdiri atas: pengertian waris, dasar hukum, syarat dan rukun waris kemudian
tentang
pembagian
harta
waris
berdasarkan
pengelompokan ahli waris dan haknya masing-masing. BAB III
: Bab ini memuat tentang gambaran umum masyarakat di Desa Kalongan, kewarisan menurut masyarakat muslim di Desa Kalongan dan bagian waris untuk perempuan dalam hukum Islam. 10
BAB IV
: Sistem pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan, faktor yang mempengaruhi masyarakat muslim Desa Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan musyawarah dan analisis hukum Islam terhadap sistem pembagian harta waris di Desa Kalongan.
BAB V
: Penutup, kesimpulan dilanjutkan dengan saran-saran.
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Waris Waris berasal dari bahasa Arab al-mirats; bentuk masdar dari kata waratsa, yaritsu, irtsan, mirasatun. Artinya menurut bahasa adalah berpindah sesuatu dari seseorang kepada orang lain atau dari satu kaum kepada kaum yang lain. (Ash-Shabuni, 1995: 33)
Ilmu waris disebut juga dengan ilmu
faraidh bentuk jamak dari kata faridhah, artinya ketentuan-ketentuan bagian ahli waris yang diatur secara rinci di dalam al-Qur'an. (Rofiq, 2001: 1) Hukum waris sering dikenal dengan istilah faraidh, bentuk jamak dari kata tunggal faridhah, artinya ketentuan. menurut syariat, faraidh berarti bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris. Ilmu yang membahas tentang halhal yang berkenaan harta warisan ini disebut dengan ilmu faraidh. Dalam KHI pasal 171 huruf a Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: “Hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 52) Pewarisan adalah merupakan salah satu bagian dari fiqih atau ketentuan yang harus dipatuhi oleh umat Islam dan dijadikan pedoman dalam menyelesaikan harta peninggalan seseorang yang telah mati. (Syarifuddin, 2003: 151) Pewarisan adalah proses perpindahan harta yang dimiliki seseorang
12
yang telah meninggal dunia kepada pihak penerima yang jumlah dan ukuran bagiannya telah ditentukan. (Shahrur, 2004: 334) Jadi apabila ada seseorang meninggal dunia, maka secara otomatis akan terjadi pengoperan harta benda dari pewaris kepada ahli waris. Namun ada hakhak yang harus dilaksanakan sebelum itu. Hak-hak yang berhubungan dengan harta peninggalan itu secara tertib adalah sebagai berikut: (Basyir, 1999: 12) 1. Hak-hak yang menyangkut kepentingan pewaris sendiri, yaitu biaya-biaya penyelenggaraan jenazahnya, sejak dimandikan sampai dimakamkan. 2. Hak-hak yang menyangkut kepentingan para kreditur 3. Hak-hak yang menyangkut kepentingan orang-orang yang menerima wasiat 4. Hak-hak ahli waris Dari uraian di atas dapat ditegaskan bahwa sebelum harta warisan dibagikan, perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelunasan wasiatnya harus dilaksanakan. Ini dimaksudkan agar orang yang meninggal dunia tersebut tidak terhalang oleh tanggung jawabnya yang belum selesai. B. Dasar hukum Adapun yang menjadi dasar hukum dari kewarisan adalah: Al-Qur‟an, As-Sunnah, Al-Ijma‟ dan Al-ijtihad. 1. Al-Qur‟an a. Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 7
13
ِ ِ صيب ِِمَّا تَرَك الْوالِ َد ِان و ْاْلَقْ ربو َن ولِلن ِ ِ ِ يب ِِمَّا تَ َرَك الْ َوالِ َد ِان َو ْاْلَقْ َربُو َن ِِمَّا قَ َّل ٌ ِّساء نَص َ َ ٌ َل ِّلر َجال ن َ َ َُ َ ِ ِ ﴾٧:وضا ﴿النساء ً مْنوُ أ َْو َكثَُر نَصيبًا َم ْف ُر 7. Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. (Q.S. An-Nisa’: 7) b. Q.S. An-Nisa ayat 11
ِ ي ِ ْ َْي فَِإ ْن ُك َّن نِساء فَو َق اثْنَت ِ ْ َظ ْاْلُنْثَي َّ ِوصي ُكم اللَّوُ ِِف أ َْوََل ِد ُكم ل ِّ لذ َك ِر ِمثْل َح ْي فَلَ ُه َّن ثُلُثَا ُ ْ ًَ ْ ُ ُ ِ اح َد ًة فَلَها النِّصف وِْلَب وي ِو لِ ُك ِّل و ِ ما تَرَك وإِ ْن َكانَت و س ِِمَّا تَ َرَك إِ ْن ُّ اح ٍد ِمْن ُه َما ْ ََ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ُ الس ُد ث فَِإ ْن َكا َن لَوُ إِ ْخ َوةٌ فَِِل ُِّم ِو ُ َُكا َن لَوُ َولَ ٌد فَِإ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَوُ َولَ ٌد َوَوِرثَوُ أَبَ َواهُ فَِِل ُِّم ِو الثُّل ِ ِ ٍ ِ ِ ِ الس ُد ب لَ ُك ْم ُ س م ْن بَ ْعد َوصيَّة يُوصي ِبَا أ َْو َديْ ٍن آبَا ُؤُك ْم َوأَبْنَا ُؤُك ْم ََل تَ ْد ُرو َن أَيُّ ُه ْم أَقْ َر ُ ُّ ِ ِ ِ ِ ِ َ نَ ْف ًعا فَ ِر ﴾١١ :يما ﴿النساء ً يما َحك ً يضةً م َن اللَّو إ َّن اللَّوَ َكا َن َعل 11. Allah mensyariatkan (mewajibkan) kepadamu tentang (pembagian warisan untuk) anak-anakmu, (yaitu) bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan. Dan jika anak itu semuanya perempuan yang jumlahnya lebih dari dua, maka bagian mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Jika dia (anak perempuan) itu seorang saja, maka dia memperoleh setengah (harta yang ditinggalkan). Dan untuk kedua ibu-bapak, bagian masing-masing seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika dia (yang meninggal) mempunyai anak. Jika dia (yang meninggal) tidak mempunyai anak dan dia diwarisi oleh kedua ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga. Jika dia (yang meninggal) mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah (dipenuhi) wasiat yang di buatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih banyak manfaatnya 14
bagimu. Ini adalah ketetapan Allah. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Mahabijaksana. (Q.S An Nisa’, 11) c. Q.S. an-Nisa ayat 12
ِ الربُ ُع ِِمَّا تَ َرْك َن ُّ اج ُك ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن ََلُ َّن َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن ََلُ َّن َولَ ٌد فَلَ ُك ُم ُ ص ْ َولَ ُك ْم ن ُ ف َما تَ َرَك أ َْزَو ِ ٍِ ِ ِ الربُ ُع ِِمَّا تَ َرْكتُ ْم إِ ْن ََلْ يَ ُك ْن لَ ُك ْم َولَ ٌد فَِإ ْن َكا َن ُّ ْي ِِبَا أ َْو َديْ ٍن َوََلُ َّن َ م ْن بَ ْعد َوصيَّة يُوص ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ ث ُ ور ُ ُلَ ُك ْم َولَ ٌد فَلَ ُه َّن الث ُُّم ُن ِمَّا تَ َرْكتُ ْم م ْن بَ ْعد َوصيَّة ت َ ُوصو َن ِبَا أ َْو َديْ ٍن َوإ ْن َكا َن َر ُج ٌل ي ِ ِ َخ أَو أُخت فَلِ ُك ِّل و ك ُّ اح ٍد ِمْن ُه َما َ س فَِإ ْن َكانُوا أَ ْكثَ َر ِم ْن ََٰذل ٌ ْ ْ ٌ َك ََللَةً أَ ِو ْامَرأَةٌ َولَوُ أ َ ُ الس ُد ِ ِ ِ ِ ٍِ ِ ِ ِ َ وص َٰى ِبَا أ َْو َديْ ٍن َغْي َر ُم ُض ٍّار َوصيَّةً م َن اللَّو َواللَّو َ ُفَ ُه ْم ُشَرَكاءُ ِِف الثُّلُث م ْن بَ ْعد َوصيَّة ي ِ ِعل ﴾١٢:يم ﴿النساء ٌ يم َحل ٌ َ 12. Dan bagianmu (suami-suami) adalah seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika mereka (istri-istrimu) itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya setelah (dipenuhi) wasiat yang mereka buat atau (dan setelah dibayar) hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan (setelah dipenuhi) wasiat yang kamu buat atau (dan setelah dibayar) hutang-hutangmu. Jika seseorang menninggal, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau seorang saudara perempuan (seibu), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam bagian yang sepertiga itu, setelah (dipenuhi wasiat) yang dibuatnya atau (dan setelah dibayar) hutangnya dengan tidak menyusahkan (kepada ahli waris). Demikianlah ketentuan Allah. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisa: 11)
15
d. Q.S. an-Nisa: 33
ِ َّ ِ ِ وى ْم ْ ين َع َق َد ُ ُت أَْْيَٰنُ ُك ْم فََات َ الْ َٰول َدان َو ْاْلَقْ َربُو َن ۚ َوالذ ٍ ﴾٣٣ :يدا ﴿النساء ً َعلَ َٰى ُك ِّل َش ْىء َش ِه
ِ ِ ِل ِِمَّا تَ َرَك َ َول ُك ٍّل َج َع ْلنَا َم َٰو ِ َن صيبَ ُه ْم ۚ إِ َّن ال َٰلّ وَ َكا َن
33. Dan untuk masing-masing (laki-laki dan perempuan) Kami telah menetapkan para ahli waris atas apa yang ditinggalkan oleh kedua orang tuanya dan karib kerabatnya. Dan orang-orang yang telah kamu bersumpah setia dengan mereka, maka berikanlah kepada mereka bagiannya. Sungguh, Allah Maha Menyaksikan segala sesuatu. (Q.S. AnNisa: 33) 2. Al-hadits a. Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim 321. Nabi saw. Bersabda: "Berilah bagian-bagian tertentu kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu sisanya untuk orang lakilaki yang utama (dekat kekerabatannya)”. (Shahih, Muttafaq Alaih) b. Riwayat al-Bukhari dan Muslim 322. Orang-orang muslim tidak berhak mewarisi orang-orang kafir, dan orang kafir tidak berhak mewarisi orang-orang muslim". (Shahih, Muttafaq Alaih) c. Riwayat Imam Bukhari dan Muslim 312. Rasulullah saw datang menjengukku pada tahun Haji Wada' diwaktu aku menderita sakit keras. Lalu aku bertanya kepada beliau: wahai Rasulullah saw aku sedang menderita sakit keras, bagaimana menurutmu, aku ini orang berada dan tidak ada yang mewarisi hartaku selain anak perempuan, apakah aku sedekahkan (wasiatkan) dua pertiga? "jangan" jawab Rasulullah aku bertanya: "sepertiga?" jawab Rasulullah" sepertiga, sepertiga adalah banyak atau besar sedang jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan yang cukup adalah lebih baik dari pada meninggalkan mereka dalam keadaan miskin yang meminta-minta kepada orang banyak. (Shahih, Muttafaq Alaih) 3. Al-ijma' Artinya kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah sebagai ketentuan hukum yang 16
harus dilaksanakan dalam mengupayakan dan mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Karena telah diterima secara mufakat, maka tidak ada alasan untuk menolaknya. (Ismail, 1992: 22) 4. Al-ijtihad Yaitu pemikiran para ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab berbagai persoalan-persoalan yang muncul. Yang dimaksud disini adalah ijtihad dalam menetapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada, misalnya bagaimana jika dalam pembagian warisan terjadi kekurangan harta, diselesaikan dengan cara aul atau dan lain-lain. (Ismail, 1992: 33) C. Syarat dan Rukun Pembagian Warisan Syarat-syarat warisan ada tiga macam: (Basyir, 1999:16) 1. Pewaris benar-benar telah meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan telah meninggal; misalnya orang yang tertawan dalam peperangan dan orang hilang (mafqud) yang telah lama meninggalkan tempat tanpa diketahui hal ihwalya. Menurut pendapat ulama Malikiyah dan Hanbaliyah, apabila lama meninggalkan tempat itu sampai berlangsung selama 4 tahun, sudah dapat dinyatakan mati. Menurut pendapat ulamaulama madzhab lain, terserah kepada itjtihad hakim dalam melakukan pertimbangan-pertimbangan dari berbagai macam segi kemungkinannya. 2. Ahli waris benar-benar masih hidup ketika pewaris meninggal, atau dengan keputusan hakim dinyatakan masih hidup disaat pewaris meninggal. Dengan demikian apabila dua orang yang saling mempunyai hak waris satu 17
sama lain meninggal bersama-sama atau berturut, tetapi tidak dapat diketahui siapa yang mati lebih dulu, maka diantara mereka tidak terjadi waris-mewaris. Misalnya orang-orang yang meninggal dalam suatu kecelakaan penerbangan, tenggelam, kebakaran dan sebagainya. 3. Benar-benar dapat diketahui adanya sebab warisan pada ahli, atau dengan kata lain, benar-benar dapat diketahui bahwa ahli waris bersangkutan berhak waris; syarat ketiga ini disebutkan sebagai suatu penegasan yang diperlukan. Terutama dalam pengadilan meskipun secara umum telah disebutkan dalam sebab-sebab warisan. Adapun hal-hal yang menyebabkan seseorang berhak mewaris ada tiga hal, (Ash-Shabuni, 1994: 55) yaitu: 1. Kekerabatan sesungguhnya, yakni hubungan nasab; orang tua, anak dan orang-orang yang bernasab dengan mereka. 2. Pernikahan, yaitu akad nikah yang sah yang terjadi antara suami dan istri. 3. Perbudakan, yaitu kekerabatan berdasarkan hukum. Sebab memberinya warisan karena memerdekakan budak, dan sebab itu ia berhak mewarisi. Qawl qadim dan qawl jadid tentang waris hanya satu topik, yaitu pewarisan harta seorang hamba yang telah dimerdekakan. (Mubarok, 2002: 283) Di samping itu terdapat beberapa sebab yang menghalangi sesorang mendapat warisan dari si mati, padahal semestinya yang bersangkutan
18
berhak atas warisan tersebut. Dalam hal ini dapat dilihat adanya empat sebab: (Sudarsono, 2002: 299) 1. Berbeda agama, seorang muslim tidak dapat menjadi ahli waris bagi orang kafir, demikian juga sebaliknya. 2. Pembunuhan, apabila seseorang dengan sengaja membunuh sesorang yang ia akan menjadi ahli warisnya. 3. Perhambaan, seorang hamba selama belum merdeka tidak dapat menjadi ahli waris maupun menjadi pewaris bagi harta peninggalannya untuk diwarisi. 4. Tidak tentu kematiannya, apabila ada dua orang yang memiliki hubungan mewaris, padahal mereka tertimpa musibah seperti mengalami kecelakaan mobil atau tenggelam bersama, sehingga keduanya meninggal bersama, jika tidak dapat diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu, maka dalam keadaan demikian tidak dapat seseorang menjadi ahli waris bagi yang lain. Setelah seseorang jelas sebab mendapatkan warisan dan terbebas dari halangan, selanjutnya adalah pembahasan mengenai rukun mewaris. Menurut hukum Islam, warisan memiliki beberapa unsur. Adapun rukun pembagian warisan tersebut adalah sebagai berikut: (Sudarsono, 2001: 304) 1. Muwarrits (orang yang mewariskan) yakni adanya orang yang meninggal dunia atau si pewaris.
19
2. Warits (orang yang berhak mewaris; disebut ahli waris) yakni adanya ahli waris yang ditinggalkan si pewaris yang masih hidup dan berhak menerima pusaka si pewaris. 3. Mauruts miratsatan tirkah (harta warisan) yakni adanya harta pusaka atau peninggalan si mati yang memang nyata-nyata miliknya. D. Sistem Pembagian Warisan Berdasarkan Pengelompokan Ahli Waris dan Haknya Masing-Masing Ahli waris dapat digolongkan menjadi beberapa golongan atas dasar tinjauan dari segi kelaminnya dan dari segi haknya atas harta warisan. Dari segi jenis kelaminnya, ahli waris dibagi menjadi dua golongan, yaitu ahli waris laki-laki dan ahli waris perempuan. (Basyir, 1999: 24) Sedangkan dari segi haknya atas harta warisan, ahli waris dibagi menjadi tiga golongan, yaitu: dzawil furudl, ashabah dan dzawil arham (Kompilasi Hukum Islam). 1. Dari segi jenis kelaminnya a. Ahli waris laki-laki, terdiri dari: (Basyir, 1999: 24) 1) Ayah. 2) Kakek (bapak dari ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. 3) Anak laki-laki. 4) Cucu laki-laki (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 5) Saudara laki-laki kandung (seibu seayah). 6) Saudara laki-laki seayah. 7) Saudara laki-laki seibu. 20
8) Kemenakan laki-laki kandung (anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 9) Kemenakan laki-laki seayah (anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 10) Paman kandung (saudara laki-laki kandung ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. 11) Paman seayah (saudara laki-laki seayah ayah) dan seterusnya ke atas dari garis laki-laki. 12) Saudara laki-laki sepupu kandung (anak laki-laki dari paman kandung) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. Termasuk di dalamnya anak paman ayah, anak paman kakek dan seterusnya, dan anak-anak keturunannya dari garis laki-laki. 13) Saudara sepupu laki-laki seayah (anak laki-laki paman seayah) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 14) Suami. 15) Laki-laki yang memerdekakan budak (mu‟tiq). b. Ahli waris perempuan, terdiri dari: (Basyir, 1999: 25) 1) Ibu. 2) Nenek (ibunya ibu) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan. 3) Nenek (ibunya ayah) dan seterusnya ke atas dari garis perempuan, atau berturut-turut dari garis laki-laki kemudian sampai kepada nenek, atau berturut-turut dari garis laki-laki bersambung dengan berturutturut dari garis perempuan. 21
4) Anak perempuan. 5) Cucu perempuan (anak dari anak laki-laki) dan seterusnya ke bawah dari garis laki-laki. 6) Saudara perempuan kandung. 7) Saudara perempuan seayah. 8) Saudara perempuan seibu. 9) Isteri. 10) Perempuan yang memerdekakan budak (mu‟tiqah). 2. Dari segi haknya atas dasar harta warisan a. Ahli waris dzawil furudl Ahli waris dzawil furudl disebutkan dalam pasal 192 KHI. Kata dzawil furudl berarti mempunyai bagian. Dengan kata lain mereka adalah ahli waris yang bagiannya telah ditentukan di dalam syariat. (Afdol, 2003: 99) Ahli waris dzawil furudl ialah ahli waris yang mempunyai bagian-bagian tertentu sebagaimana disebutkan dalam Al-qur‟an atau Sunnah Rasul. Sebagaimana telah disebutkan, bagian-bagian tertentu itu ialah: 2/3, ½, 1/3, ¼, 1/6, dan 1/8. (Basyir, 1999: 25) Ahli dzawil furudl itu antara lain adalah: (Syarifudin, 2004: 225) 1) Anak perempuan. Bagian anak perempuan adalah sebagai berikut: a) ½ bila ia sendirian (tidak bersama anak laik-laki). b) 2/3 bila anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama anak laki-laki. 22
2) Cucu perempuan. Bagian cucu perempuan adalah: a) ½ bila ia sendirian saja. b) 2/3 bila ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama cucu lakilaki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak. c) 1/6 bila bersamanya ada anak perempuan seorang saja. 3) Ibu. Bagian ibu ada tiga,yaitu: a) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu dari pewaris atau bersama dengan dua orang saudara atau lebih. b) 1/3 bila ia tidak bersama anak atau cucu, tetapi hanya bersama ayah. c) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama dengan suami atau istri. 4) Ayah. Bagian ayah adalah: a) 1/6 bila ia bersama dengan anak atau cucu laki-laki. b) 1/6 dan kemudian mengambil sisa harta bila ia bersama dengan anak atau cucu perempuan. 5) Kakek. Sebagai ahli waris dzawil furudl bagian kakek sama dengan ayah, karena ia adalah pengganti ayah waktu ayah sudah tidak ada. Bagiannya adalah sebagai berikut: a) 1/6 bila bersamanya ada anak atau cucu laki-laki. b) 1/6 bagian dan mengambil sisa harta bila ia bersama anak atau cucu perempuan. 6) Nenek (ibu dari ibu atau ibu dari ayah). Bagian nenek adalah: 23
a) 1/3 bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu. b) 1/6 bila pewaris meninggalkan anak atau cucu. 7) Saudara perempuan kandung. Mendapat bagian yaitu: a) ½ bila ia hanya seorang tidak ada bersamanya saudara laki-laki. b) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada bersamanya saudara laki-laki kemudian di antara mereka berbagi sama banyak. 8) Saudara perempuan seayah. Bagiannya adalah: a) ½ bila ia hanya seorang diri dan tidak ada saudara laki-laki seayah. b) 2/3 bila ada dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki seayah. c) 1/6 bila ia bersama seorang saudara kandung perempuan. 9) Saudara laki-laki seibu. Bagiannya adalah: a) 1/6 bila ia hanya seorang. b) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama banyak. 10) Saudara perempuan seibu. Bagiannya adalah: a) 1/6 bila ia hanya seorang. b) 1/3 bila ia lebih dari seorang dan di antara mereka berbagi sama banyak. 11) Suami. Bagian suami adalah: a) ½ bila tidak ada anak atau cucu. b) ¼ bila ada bersamanya anak atau cucu. 12) Istri. Bagian istri adalah: 24
a) ¼ bila tidak ada bersamanya anak atau cucu dari pewaris. b) 1/8 bila ia bersama dengan anak atau cucu dalam kewarisan. b. Ahli waris „ashobah Ahli waris „ashobah ialah ahli waris yang tidak ditentukan bagiannya, tetapi akan menerima seluruh harta warisan jika tidak ada ahli waris dzawil furudl sama sekali; jika ada dzawil furudl, berhak atas sisanya, dan apabila tidak ada sisa sama sekali, tidak mendapat bagian apapun. (Basyir, 1999: 26) Menurut Al-Mahaliy, Ulama golongan Ahlu Sunnah membagi ashabah itu kepada tiga macam yaitu ashabah bi nafsihi, ashabah bi ghairihi dan ashabah ma‟a ghairihi. (Syarifudin, 2004: 232) 1) Ashabah bi Nafsihi Ashabah bi nafsihi adalah ahli waris yang berhak mendapat seluruh harta atau sisa harta dengan sendirinya, tanpa dukungan ahli waris lain. Ashabah bi nafsihi itu seluruhnya adalah laki-laki yang secara berurutan adalah: anak, cucu (dari garis laki-laki), ayah, kakek, saudara kandung, saudara seayah, anak saudara kandung, anak saudara seayah, paman kandung, paman seayah, anak paman kandung dan anak paman seayah. a) Anak laki-laki Anak laki-laki, baik sendirian atau lebih, berhak atas seluruh harta bila tidak ada ahli waris yang lain atau sisa harta setelah diberikan lebih dahulu hak ahli waris dzawil furudl yang 25
berhak. Dengan adanya anak laki-laki sebagai ashabah, maka ahli waris lain yang dapat mewaris bersama anak laki-laki (sebagai dzawil furudl) ayah, ibu atau nenek, suami atau istri. Bila anak laki-laki terdiri dari beberapa orang mereka berbagi sama banyak. b) Cucu laki-laki (melalui anak laki-laki) Cucu laki-laki mewarisi sebagai ahli waris ashabah bila anak sudah meninggal, baik anak itu adalah ayahnya atau saudara dari ayahnya. Kewarisan cucu laki-laki sama dengan kewarisan anak laki-laki. Ia dapat mewaris bersama dengan ahli waris yang dapat mewaris bersama anak laki-laki dan menutup orang yang ditutup oleh anak laki-laki. c) Ayah Ayah sebagai ahli waris ashabah bila pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki. Dengan kehadiran anak atau cucu laki-laki ayah hanya akan menerima sebagai dzawil furudl sebesar 1/6. Ahli waris yang dapat mewaris bersama ayah sebagai dzawil furudl adalah anak perempuan, cucu perempuan, ibu, suami atau istri. d) Kakek Kakek berkedudukan sebagai ahli waris ashabah bila dalam susunan ahli waris tidak ada anak atau cucu laki-laki dan tidak ada pula ayah. Pada umumnya kewarisan kakek sama dengan ayah, karena hak kewarisan kakek merupakan perluasan dari pengertian 26
ayah. Oleh karena itu, kedudukan kakek adalah sebagai pengganti ayah apabila ayah sudah meninggal lebih dahulu, baik sebagai ahli waris dzawil furudl atau ashabah. Ia akan menutup orang-orang yang ditutup oleh ayah dan dapat mewaris dengan orang-orang yang dapat mewaris bersama ayah. Dalam keadaan tertentu kakek tidak berkedudukan sebagai ayah, yaitu dalam hal-hal sebagai berikut: (Syarifudin, 2004: 236) (1) Kakek tidak menutup hak kewarisan saudara (menurut jumhur ulama), sedangkan ayah menutup kedudukan saudara kecuali menurut paham ulama Hanafiyah. (2) Kakek tidak dapat mengalihkan hak ibu dari sepertiga harta kepada sepertiga harta dalam kasus gharawain. (3) Menurut Ibnu Qudamah kakek tidak dapat menutup hak nenek (ibu dari ayah) karena keduanya sama berhak menerima warisan, kecuali menurut pendapat ulama Zhahiri dan Hanbali. e) Saudara kandung laki-laki Saudara kandung laki-laki menjadi ahli waris ashabah bila ia tidak mewarisi bersama anak atau cucu laki-laki dan tidak juga ayah. Saudara dapat mewarisi bersama kakek menurut jumhur ulama. Menurut ulama Hanafi dan Zhahiri, saudara tidak dapat mewaris bersama kakek, karena kakek dalam kedudukannya sebagai pengganti ayah menutup kedudukan saudara. (Syarifudin, 2004: 237) 27
Bila saudara kandung laki-laki sendirian, ia berhak atas semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain ia memperoleh sisa harta sesudah dibagikan terlebih dahulu hak dzawil furudl yang ada. Jika saudara ada beberapa orang atau bersama dengan kakek mereka berbagi sama banyak. (Syarifudin, 2004: 237) f) Saudara laki-laki seayah Saudara laki-laki seayah berkedudukan sebagai ashabah, dengan syarat tidak ada anak laki-laki, cucu laki-laki, ayah, saudara kandung laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan dan saudara kandung perempuan dan saudara seayah perempuan yang bersama menjadi ashabah bi ghairihi bersama saudara seayah laki-laki. Pada umumnya hak kewarisan saudara seayah laki-laki sama dengan kedudukan saudara kandung laki-laki, karena ia menempati kedudukan saudara kandung laki-laki, kecuali dalam hal: (1) Saudara kandung laki-laki dapat mengajak saudara kandung perempuan menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi, sedangkan saudara seayah laki-laki tidak dapat berbuat demikian.
28
(2) Saudara kandung laki-laki dapat berserikat dengan saudara seibu dalam kasus musyarakah sedangkan saudara seayah lakilaki tidak dapat. g) Anak saudara kandung laki-laki Anak saudara kandung laki-laki dapat menjadi ahli waris ashabah bila tidak ada anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara kandung laki-laki dan saudara kandung seayah laki-laki. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, saudara perempuan kandung atau seayah, ibu atau nenek, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan. Kewarisan anak saudara kandung laki-laki adalah sebagaimana kewarisan saudara kandung laki-laki dalam segala bentuknya. h) Anak saudara seayah laki-laki Anak saudara seayah laki-laki dapat menjadi ahli waris ashabah bila tidak mewarisi bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak saudara laki-laki kandung. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan. i) Paman kandung Paman kandung adalah saudara kandung dari ayah. Paman kandung dapat menjadi ahli waris ashabah bila tidak mewarisi bersamanya anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara 29
laki-laki kandung atau seayah dan anak laki-laki dari saudara lakilaki kandung atau seayah. Ia dapat mewaris bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri. Bila ahli waris hanyalah paman sendirian, maka ia dapat mengambil semua harta dan bila ia bersama dengan ahli waris lain yang berhak ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan hak ahli waris dzawil furudh. Jika ia ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak. j) Paman seayah Paman seayah adalah saudara seayah dari ayah. Ia berhak atas warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu laki-laki, ayah atau kakek, saudara lakilaki kandung atau seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan paman kandung. Paman seayah bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri. k) Anak paman kandung Anak paman kandung berhak atas warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu lakilaki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak 30
laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan paman kandung atau seayah. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua harta, sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya yang berhak, ia mengambil sisa harta sesudah dibagikan kepada ahli waris. Bila ia ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak. l) Anak paman seayah Anak paman seayah berhak atas warisan secara ashabah bila sudah tidak ada di antara ahli waris itu anak atau cucu lakilaki, ayah atau kakek, saudara laki-laki kandung atau seayah, anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung atau seayah dan anak paman kandung pewaris. Paman seayah bersama anak atau cucu perempuan, ibu atau nenek, saudara perempuan kandung atau seayah, suami atau istri, saudara seibu laki-laki atau perempuan, suami atau istri. Bila ia sendiri, ia dapat mengambil semua harta warisan tersebut dan sedangkan bila ia bersama ahli waris lainnya yang berhak, ia mengambil sisa harta itu dan bila ia ada beberapa orang, maka mereka berbagi sama banyak. 2) Ashabah bi Ghairihi Yang dimaksud dengan ashabah bi ghairihi disini adalah seseorang yang sebenarnya bukan ashabah karena ia adalah perempuan, namun karena ada bersama saudara laki-lakinya maka ia menjadi ashabah. Mereka sebagai ashabah berhak atas sisa harta bila hanya mereka yang menjadi ahli waris, atau berhak atas sisa harta 31
setelah dibagikan kepada ahli waris furudl yang berhak. Kemudian di antara mereka berbagi dengan bandingan laki-laki mendapat sebanyak dua bagian perempuan. (Syarifudin, 2004: 243) Ahli waris perempuan baru dapat diajak menjadi ashabah oleh saudara laki-lakinya bila ia sendiri adalah ahli waris yang berhak, jika tidak berhak maka keberadaan saudaranya itu tidak ada artinya. Seumpama anak saudara yang perempuan bukan ahli waris sedangkan anak saudara yang laki-laki atau saudara dari anak perempuan itu adalah ashabah. Dalam hal ini anak saudara yang laki-laki itu tidak berdaya untuk menolong saudaranya yang permpuan itu. (Syarifudin, 2004: 243) Yang berhak menjadi ahli waris ashabah bi ghairihi itu adalah: (Syarifudin, 2004: 244) a) Anak perempuan bila bersama dengan anak laki-laki atau anak laki-laki dari anak laki-laki. Bila ahli waris hanya mereka berdua, keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain yang lain mereka mendapat sisa harta. b) Cucu perempuan bersama dengan cucu laki-laki atau anak lakilaki dari cucu laki-laki. Cucu perempuan itu dapat menjadi ashabah oleh laki-laki yang sederajat dengannya atau yang berada satu tingkat di bawahnya. Jika ahli waris hanya mereka saja, maka mereka berhak atas seluruh harta, sedangkan jika bersama mereka
32
ada ahli waris furudl, mereka mengambil sisa harta sesudah pembagian dzawil furudl. c) Saudara perempuan kandung bersama saudara laki-laki kandung Saudara perempuan kandung menjadi ashabah karena keberadaan saudara laki-laki kandung (saudara laki-lakinya) saat mewarisi harta. Bila ahli waris hanya mereka saja, keduanya mengambil semua harta dan bila ada ahli waris lain bersamanya, mereka mengambil sisa harta yang tinggal. d) Saudara seayah perempuan bersama saudara seayah laki-laki Saudara seayah perempuan menjadi ahli waris ashabah bila diajak menjadi ashabah oleh saudaranya yang laki-laki. Ia mengambil seluruh harta bila ahli waris yang berhak hanyalah mereka berdua. Bila ada ahli waris lain yang mewarisi secara dzawil furudl maka mereka mengambil sisa harta yang tinggal. 3) Ashabah ma‟a Ghairihi Ashabah ma’a Ghairihi berarti ashabah karena bersama dengan orang lain. Orang yang menjadi ashabah ma’a ghairihi itu sebenarnya bukan ashabah, tetapi karena kebetulan bersamanya ada ahli waris lain yang juga bukan ashabah, ia dinyatakan sebagai ashabah sedangkan orang yang menyebabkannya menjadi ashabah itu tetap bukan ashabah. (Syarifudin, 2004: 247) Ashabah ma’a Ghairihi khusus berlaku untuk saudara perempuan kandung atau seayah pada saat bersamanya ada anak 33
perempuan. Anak perempuan tersebut menjadi ahli waris furudl, sedangkan saudara perempuan menjadi ashabah. Kasus khusus ini timbul pada waktu seseorang minta fatwa kepada Ibnu Mas‟ud tentang ahli waris yang terdiri dari anak perempuan, cucu perempuan dan saudara perempuan. Ibnu Mas‟ud memutuskan berdasarkan apa yang dilihatnya dari Nabi yang menyelesaikan kasus yang sama, bahwa untuk anak perempuan adalah ½ untuk cucu perempuan adalah 1/6 dan sisanya untuk saudara perempuan. (Syarifudin, 2004: 247) c. Ahli waris dzawil arham Ahli waris dzawil arham ialah orang-orang yang dihubungkan nasabnya dengan pewaris karena pewaris sebagai leluhur yang menurunkannya ahli waris yang mempunyai hubungan family dengan pewaris, tetapi tidak termasuk golongan waris dzawil furudl dan ashabah. (Ghofur, 2002: 27) Yang termasuk ahli waris dzawil arham ialah: (Basyir, 1999: 27) 1) Cucu laki-laki atau perempuan, anak-anak dari anak perempuan. 2) Kemenakan laki-laki atau perempuan, anak-anak saudara perempuan kandung, seayah atau seibu. 3) Kemenakan perempuan, anak-anak perempuan saudara laki-laki kandung atau seayah. 4) Saudara sepupu perempuan, anak-anak perempuan paman (saudara laki-laki ayah). 5) Paman seibu (saudara laki-laki ayah seibu). 34
6) Paman, saudara laki-laki ibu. 7) Bibi, saudara perempuan ayah. 8) Bibi, saudara perempuan ibu. 9) Kakek, ayah ibu. 10) Nenek buyut, ibu kakek. 11) Kemenakan seibu, anak-anak saudara laki-laki seibu. Tentang hak waris dzawil arham ini para ulama tidak sependapat, ada yang memasukkan mereka sebagai ahli waris dan ada yang tidak. Di antara sahabat Nabi yang tidak memasukkan dzawil arham sebagai ahli waris adalah Zaid bin Tsabit, yang diikuti pula oleh para tabi‟in seperti Sa‟id bin Musayah dan Sa‟id bin Jubair. Ulama‟ Dhahiriyah, Imam Malik dan Imam dan Imam Syafi‟i menganut pendapat ini. (Basyir, 1999: 28) Kebanyakan sahabat nabi memasukkan dzawil-arham sebagai ahli waris, seperti „Umar, „Ali, Ibnu Mas‟ud, Ibnu Abbas dan lainlain, yang diikuti pula oleh para tabi‟in seperti „Alqamah, Syurah, Ibnu sirin, dan lain-lain. Iman Abu Hanifah, Ahmad bin Hambal dan kebanyakan ulama menyokong pendapat ini. Ulama‟ mutakhir madzhab Maliki dan Syafi‟i menganut pendapat ini juga. (Afdol, 2003: 98) Adanya hijab dalam ilmu faraidh yaitu untuk lebih memperjelas siapasiapa ahli waris yang terhalang untuk mendapatkan warisan.
35
Hijab artinya halangan yang merintangi untuk mendapatkan warisan bagi sebagian ahli waris, karena ada ahli waris yang lebih dekat hubungannya dengan yang meninggal dunia. Sedang ahli waris yang terhalang tersebut dinamakan mahjub. Hijab itu ada dua macam. (Rahman, 1981: 128) 1. Hijab Nuqsan yaitu mengurangi bagian ahli waris, karena ada ahli waris lain yang bersama-sama, seperti bagian suami setengah jika istri yang meninggal tidak meninggalkan anak, akan tetapi jika ada anak bagiannya menjadi berkurang yakni seperempat bagian. 2. Hijab Hirman yaitu dinding yang menghalangi untuk mendapatkan warisan. Misalnya kakek terhalang oleh bapak, cucu laki-laki terhalang oleh anak laki-laki. Adapun ahli waris yang terhalang oleh sebagian ahli waris lain yang lebih dekat lagi ialah. 1. Kakek terhalang oleh bapak atau kakek yang lebih dekat. 2. Nenek terhalang oleh Ibu. 3. Cucu terhalang oleh anak laki-laki. 4. Saudara sekandung terhalang oleh bapak, anak, cucu laki-laki dan anak laki-laki. 5. Saudara sebapak terhalang oleh bapak, anak, cucu laki-laki, anak lakilaki dan saudara sekandung. 6. Saudara seibu terhalang oleh anak laki-laki atau perempuan, cucu laki-laki atau perempuan, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung dan saudara laki-laki sebapak. 36
7. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara lakilaki sekandung dan saudara laki-laki sebapak. 8. Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak terhalang oleh anak lakilaki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak dan saudara sekandung. 9. Saudara sekandung dari bapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu lakilaki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung dan anak dari saudara sebapak. 10. Saudara sebapak dari bapak terhalang oleh anak laki-laki, cucu lakilaki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung, anak dari saudara sebapak dan saudara kandung dari bapak. 11. Anak dari paman sekandung terhalang oleh anak laki-laki, cucu lakilaki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung, anak dari saudara sebapak, saudara kandung dari sebapak, saudara kandung dari bapak, saudara sebapak dari bapak. 12. Anak lebih dari saudara laki-laki sekandung terhalang oleh anak lakilaki, cucu laki-laki dari anak laki-laki, bapak, kakek, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki sebapak, anak saudara sekandung, anak
37
dari saudara sebapak, saudara kandung dari bapak, saudara sebapak dari bapak dan anak dari paman sekandung. 13. Cucu perempuan dari anak laki-laki terhalang oleh anak laki-laki.
38
BAB III PAPARAN HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Masyarakat di Desa Kalongan 1. Letak geografis Desa Kalongan terletak di Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang. Jarak Desa Kalongan dengan Kota Ungaran kira-kira kurang lebih 2 kilo untuk sampai di desa tersebut. Dari Kota Ungaran untuk sampai di desa tersebut banyak sekali dijumpai bukit-bukit dan pohon-pohon karet. Desa Kalongan merupakan salah satu desa dari berberapa desa yang ada di Kecamatan Ungaran Timur yang termasuk desa yang berada di dataran tinggi. Disamping desanya yang berada di dataran tinggi Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur juga tergolong luas karena desa tersebut terbagi menjadi 13 Dusun yakni: Dusun Dampu, Dusun Kajangan, Dusun Bandungan, Dusun Sepete, Dusun Sigude, Dusun Bulu, Dusun Mendiro, Dusun
Kalongan,
Dusun
Glepung,
Dusun
Tompogunung,
Dusun
Rejowinangun, Dusun Pringkurung, Dusun Ngaliyan. Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar mata pencahariannya adalah petani. Bahasa yang digunakan setiap hari masyarakat kalongan adalah bahasa Indonesia dan Jawa. Mengenai rasa sosial masyarakat di Desa Kalongan sama seperti halnya masyarakat pada umumnya, ketogong royongan di desa ini masih terjaga dengan baik.
39
2. Struktur Organisasi Desa Kalongan Struktur organisasi dan tata kerja Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang adalah sebagai berikut:
SUSUNAN ORGANISASI DAN TATA KERJA PEMERINTAHAN DESA
DESA KALONGAN KECAMATAN UNGARAN TIMUR KABUPATEN SEMARANG KEPALA DESA YARMUJI, A.Md
KASI PEMERINTAHAN ABU YAHMIN
AFIFUDIN
MUNTASIR
KASI KEUANGAN
KASI UMUM
SISWADI
NASIKUN
KAUR PEMERINTAHAN
ROHADI
MURSID
ASRO
SHODIQ
BAHRODIN
KAUR PEMBANGUNAN
SANYOTO
IMAM S
QOMARUDIN
DAMAN H
KAUR KEMASYARAKATAN
SANTOSA
SUNOTO
SUNARNO
UT ISMAN IM AM S
DAMPU
KAJANGAN
BANDUNGAN
SEPETE
SIGUDE
BULU
MENDIRO
KALONGAN
GLEPUNG
Sumber: bagan struktur organisasi kantor Kepala Desa Kalongan
40
TOMPOGUNUNG
REJOWIN ANGUN
PRIN GKURUNG
NGALIYAN
3. Jumlah Penduduk Desa Kalongan Jumlah penduduk Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang 9.427 Jiwa dengan jumlah laki-laki 4.662 dan perempuan 4.765 Jiwa. Untuk lebih jelas dan rinci diklasifikasikan jumlah penduduk berdasarkan usia dan jenis kelamin lihat tabel berikut: Tabel 1 Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin NO
KELOMPOK UMUR/TAHUN
LAKILAKI
PEREMPUAN JUMLAH
1
0<1
527
552
1,079
2
1>5
521
394
915
3
6 - 10
468
482
950
4
11 - 15
385
405
790
5
16 - 20
377
375
752
6
21 - 25
476
468
944
7
26 - 30
488
492
980
8
31 - 40
482
452
934
9
41 - 50
340
404
744
10
51 - 60
278
383
661
11
61 - keatas
320
358
678
4,662
4,765
9,427
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Kalongan Agustus 2015
41
a. Keadaan Desa Kalongan berdasarkan mata pencaharian Mata pencaharian di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang sebagaian besar adalah petani. Adapun jumlah penduduk berdasarkan mata percaharian mereka dapat dilihat pada tabel di bawah: Tabel 2 Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Mata Pencaharian NO
JENIS PEKERJAAN
LAKILAKI
PEREMPUAN JUMLAH
1
PNS
73
53
126
2
TNI
21
2
23
3
POLRI
11
8
19
4
PEGAWAI SWASTA
217
166
383
5
PENSIUNAN
49
24
73
6
PENGUSAHA
55
57
112
429
153
582
303
1,795
2,098
365
264
629
7 8
BURUH BANGUNAN BURUH INDUSTRI
9
BURUH TANI
10
PETANI
1,553
981
2,534
11
PETERNAK
1,049
299
1,348
12
NELAYAN
0
0
0
13
LAIN-LAIN
537
963
1,500
4,662
4,765
9,427
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Kalongan Agustus 2015
42
b. Keadaan Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam masyarakat, dalam rangka peningkatan sumber daya manusia. Pendidikan di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur dapat juga dilihat pada Tabel: Tabel 3 Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Pendidikan
NO
JENIS PENDIDIKAN
LAKILAKI
PEREMPUAN JUMLAH
1
Tidak Sekolah
596
596
1,192
2
TK / Play Group
108
129
237
5
Tamat SD
2,273
2,427
4,700
6
Tamat SLTP
989
987
1,976
7
Tamat SLTA
631
553
1,184
8
Tamat Akademi Diploma
43
51
94
9
Sarjana Keatas
22
22
44
4,662
4,765
9,427
JUMLAH
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Kalongan Agustus 2015
43
c. Keadaan Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Keagamaan Setiap orang dalam memilih suatu agama itu merupakan hak asasi manusia. Mayoritas agama di Desa Kalongan adalah agama Islam, jumlah pemeluk agama Islam adalah 9,075. Berikut tabel jumlah penduduk Desa Kalongan berdasarkan agama: Tabel 4 Jumlah Penduduk Desa Kalongan Berdasarkan Agama
NO
KELOMPOK AGAMA
LAKI-LAKI
PEREMPUAN
JUMLAH
4,487
4,588
9,075
1
ISLAM
2
KATHOLIK
48
10
58
3
KRISTEN
127
167
294
4
HINDU
-
-
-
5
BUDHA
-
-
-
6
KHONGHUCU
-
-
-
JUMLAH
4,662
4,765
9,427
Sumber: Data monografi kependudukan Desa Kalongan Agustus 2015
44
B. Kewarisan menurut Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Pengetahuan masyarakat tentang hukum waris sebagian besar masyarakat mengetahui tentang hukum waris. Sangat sedikit yang tidak tahu tentang hukum waris rata-rata mereka mengetahui tentang hukum waris. Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar penduduknya beragama Islam jadi untuk mengetahui hukum waris Islam mereka banyak belajar dengan tokoh agama. Tanggapan tentang hukum waris Islam, sebagian besar masyarakat belum paham tentang hukum Islam, sehingga sangat jarang sekali masyarakat menerapkan hukum Islam, mereka lebih memilih pembagian warisan secara musyawarah. Karena secara turun-temurun masyarakat di desa tersebut dalam hal membagi waris selalu dengan jalan musyawarah, dianggap dengan jalan musyawarah itu pembagian warisan akan selesai dengan pembagian yang adil dan tidak ada yang merasa dirugikan. Pengetahuan masyarakat tentang dasar hukum waris yang dilaksanakan di desa tersebut atas dasar ahli waris satu dengan ahli waris yang lain telah bersepakat dengan melalui pertimbangan-pertimbangan hingga menghasilkan suatu kesepakatan yang di akui dan di jaga oleh seluruh ahli waris yang ada. Pengetahuan masyarakat tentang dasar hukum Islam, sebagian besar masyarakat mengetahui tentang dasar hukum Islam yaitu al-Qur‟an dan alHadis. Sedangkan dasar hukum kewarisan tentang al-ijma‟ dan al-ijtihad mereka sebagian besar belum mengetahui tentang itu.
45
Masyarakat dalam memahami ayat-ayat al-Quran tentang hukum waris, sebagian besar mereka mengetahui di dalam ayat al-Qur‟an terdapat dasar hukum waris. Dan tentang kewajiban yang tercantum dalam al-Qur‟an untuk membagi harta waris seperti apa yang ada dalam ilmu faraidh mereka sebagian besar tidak mengetahui secara rinci bagaimana perhitungan-perhitungan yang ada dalam ilmu Faraidh karena dalam membagi harta waris mereka lebih memilih dengan cara musyawarah meskipun hasil yang diperoleh sangatlah berbeda dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur‟an. Pengetahuan masyarakat tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Mereka sebagian besar tidak mengetahui adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sangat sedikit sekali yang mengetahui akan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sangat sedikit sekali masyarakat yang paham akan itu jadi masyarakat tidak mengetahui secara jelas apa isi yang terkandung dalam kompilasi hukum Islam. Pengetahuan tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam hal warisan, masyarakat sebagian besar mengetahui sebelum dilaksanakannya pembagian harta waris ada hak-hak yang harus dilaksanakan yaitu menyangkut; penguburan jenazah, melunasi hutangnya apabila pada masa hidupnya orang yang meninggal dunia itu mempunyai hutang, melaksanakan wasiat dan hak-hak ahli waris. Pengetahuan masyarakat terhadap rukun warisan sebagian besar mereka mengetahui. Adanya orang yang meninggal dunia, kemudian orang yang akan
46
mewarisi harta peninggalan tersebut dan harta benda yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia atau mati. Pengetahuan
masyarakat
tentang
sebab
seseorang
tidak
bisa
mendapatkan warisan dari keluarga muslim seperti perbudakan, pembunuhan, murtad dan orang kafir. Sebagian besar masyarakat tidak mengetahui halanganhalangan seseorang untuk mendapatkan warisan. Sangat sedikit sekali masyarakat yang mengetahui tentang halangan-halangan tersebut. Pengetahuan masyarakat tentang wasiat, masyarakat sebagian besar mengetahui bahwa wasiat itu paling banyak sepertiga dan wasiat itu akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Sangat sedikit yang tidak mengetahui tentang wasiat. Tentang anak perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak daripada laki-laki. Mereka menganggap bahwa anak perempuan memang lebih pantas mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan saudarasaudaranya. Karena anak perempuanlah yang lebih mengerti keadaan orang tuanya di bandingkan dengan saudara-saudaranya. Anak perempuan adalah anak yang menjaga orang tua semasa hidupnya. Masyarakat di Desa Kalongan sebagian besar mengetahui bahwa dalam hukum waris Islam terdapat perbedaan pembagian harta waris untuk laki-laki dan perempuan, perempuan mendapatkan separoh bagian daripada laki-laki, bagian laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Misalnya lakilaki mendapatkan Rp. 2.000.000,00 perempuan hanya mendapatkan Rp. 1.000.000,00. 47
C. Bagian Waris Untuk Perempuan Dalam Hukum Islam Warisan adalah termasuk hak milik yang paling menonjol. Di dalam warisan terdapat dua hak dasar yaitu: hak kesinambungan dan hak mengelola barang milik. Arti hak kesinambungan adalah kelestarian hak milik selama masih ada barang milik. (Qardhawi, 2004: 336) Tentang siapa-siapa yang menjadi ahli waris, kompilasi hukum Islam mengelompokkan kelompok ahli waris yang terdiri dari menurut hubungan darah dan menurut hubungan perkawinan: BAB II Ahli Waris Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berbunyi: 1. Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari: a. Menurut hubungan darah: -
Golongan laki-laki terdiri dari: ayah, anak laki-laki, paman dan kakek.
-
Golongan perempuan terdiri dari: ibu, anak perempuan, saudara perempuan, saudara perempuan dari nenek.
b. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari: duda atau janda. 2. Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya: anak, ayah, ibu, janda atau duda. Dalam hukum Islam apabila ahli waris semua ada baik dari garis keturunan laki-laki maupun perempuan, maka yang mendapat bagian harta waris hanyalah: 1. Suami atau istri 48
2. Ibu 3. Bapak 4. Anak laki-laki 5. Anak perempuan Ketentuan bagian yang harus diterima ahli waris perempuan jika dilihat lebih dekat lagi adalah sebagai berikut: 1. Istri a. ¼ jika mayat tidak meninggalkan anak. b. 1/8 jika mayat meninggalkan anak. 2. Anak perempuan a. ½ jika sendirian. b. 2/3 jika banyak (dua keatas). c. Ashabah jika bersama-sama dengan saudara laki-lakinya. Ahli waris perempuan sebagai ashabah Bi al-Ghair, menjadi ashabah karena (dengan) waris yang lain. 3. Cucu perempuan (dari anak laki-laki) a. ½ jika seorang diri. b. 2/3 jika saudara perempuannya banyak. c. Ashabah bersama cucu laki-laki. d. 1/6 jika bersama-sama anak perempuan. 4. Ibu a. 1/6 jika mayat meninggalkan anak, cucu, 2 saudara atau lebih. b. 1/3 jika waris hanya ibu dan bapak. 49
c. 1/3 dari sisa jika masalah gharawain. 5. Nenek a. 1/6 baik ada ahli waris lain atau tidak. b. 1/6 dibagi rata bila nenek lebih dari satu orang. 6. Saudara perempuan sekandung a. ½ bila hanya sendirian. b. 2/3 jika mereka lebih dari seorang. c. Menjadi ashabah bersama saudara laki-laki sekandung. d. Ashabah bersama anak perempuan atau cucu perempuan. 7. Saudara perempuan sebapak a. ½ bila hanya sendirian. b. 2/3 bila saudara perempuan lebih dari seorang. c. 1/6 bersama seorang saudara perempuan seibu sebapak. Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB III Besarnya Bahagian Pasal 182 berbunyi: “Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan anak dan ayah, sedang ia mempunyai satu saudara perempuan kandung atau seayah, maka ia mendapat separoh bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian. Bila saudara perempuan tersebut bersama-sama dengan saudara laki-laki kandung atau seayah, maka bagian saudara laki-laki dua berbanding satu dengan saudara perempuan”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 55) Dari semua ahli waris perempuan di atas, bagian yang diterima ahli waris perempuan untuk setiap harta waris tidak selalu tetap, tergantung keadaan apabila bersama-sama dengan ahli waris lainnya yang juga mempunyai hak waris. 50
BAB IV PEMBAHASAN
A. Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Apa yang terjadi pada masyarakat kalongan dalam membagi harta waris selalu dengan jalan musyawarah. Penjelesan dari Bapak Sanyoto selaku kepala dusun saat diwawancarai oleh peneliti menjelaskan sebagai berikut. Masyarakat Kalongan dalam membagi harta waris kebanyakan memilih pembagian warisan dengan musyawarah dan disaksikan oleh tokoh masyarakat. Setelah semua ahli waris yang ada mengambil pertimbangan-pertimbangan yang matang dan disetujui oleh semua ahli waris yang ada. Setelah dilakukan kesepakatan antara semua ahli waris itu di anggap sah karena semuanya telah bersepakat. Setelah selesai dilakukannya pembagian warisan ahli waris diminta membuat surat pernyataan yang isinya bersepakat sudah melakukan kesepakatan antara semua ahli waris untuk mencegah semisal terjadi permasalahan dihari kemudian. Pembagian waris di masyarakat kalongan tidaklah sesulit seperti apa yang telah dijelaskan oleh hukum waris Islam. Orang-orang yang berhak menerima harta warisan hanyalah keluarga terdekat dari pewaris, yaitu: suami atau istrinya yang meninggal dunia, anak-anak, dan saudara-saudaranya. Saudara-saudara dari pewaris itu ikut mendapatkan harta waris jika pewaris tidak mempunyai anak semasa hidupnya. Dari keterangan Bapak Sanyoto, masyarakat cenderung memilih membagi harta waris dengan jalan musyawarah dan besarnya perolehan untuk masing-masing ahli waris itu yang menentukan adalah mereka sendiri, tokoh agama dan tokoh masyarakat di undang hanya sebatas menyaksikan dan sebagai saksi-saksi bahwa telah dilakukannya pembagian warisan. Menurut masyarakat pembagian warisan di Desa Kalongan tidaklah sesulit seperti apa yang ada dalam hukum Islam.
51
Menurut bapak samsul selaku tokoh agama pembagian waris di Desa Kalongan selalu dilakukan dengan cara musyawarah dengan dihadiri oleh semua ahli waris. Untuk berapa bagian harta waris masing-masing ahli waris ditentukan berdasarkan kesepakatan antara semua ahli waris yang ada. Dari hasil keterangan Bapak Samsul sangat jelas bahwa pembagian waris di Desa Kalongan selalu dengan jalan musyawarah. Padahal hasil yang diperoleh dari musyawarah itu belum tentu sesuai dengan hukum Islam. Mayarakat di Desa Kalongan cenderung lebih mengutamakan musyawarah dibandingkan dengan perhitungan dalam ilmu faraidh dalam hukum Islam. Selanjutnya Bapak Bayu juga mengatakan masyarakat cenderung memilih dalam pembagian warisan dengan jalan musyawarah. Dalam pembagian warisan di masyarakat kalongan, pembagiannya dilakukan dengan jalan musyawarah dan besarnya bagian yang diperoleh masing-masing ahli waris ditentukan oleh kesepakatan semua pihak. Dalam pembagian itu melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat sebagai saksi-saksi. Pembagian warisan di Desa Kalongan dengan jalan musyawarah melibatkan orang-orang selain ahli waris dimaksudkan untuk sebagai saksi bahwa telah dilaksanakanya pembagian warisan dan musyawarah itu dilaksanakan setelah pewaris meninggal dunia. Seperti apa yang dijelaskan oleh Bapak Sis sebagai berikut. Pembagian waris di masyarakat dilakukan dengan jalan musyawarah antara semua ahli waris, dengan melibatkan tokoh-tokoh agama. Yang dilaksanakan setelah pewaris meninggal dunia. Masalah berapa bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris ditentukan kesepakatan bersama, dengan memperoleh kesepakatan ahli waris untuk anak terakhir mendapatkan lebih banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain meskipun anak terakhir adalah seorang perempuan yang mempunyai saudara laki-laki. 52
Pembagian warisan dalam masyarakat kalongan pelaksanaannya melibatkan tokoh agama dan tokoh masyarakat. Akan tetapi tokoh agama dan tokoh masyarakat hanya dijadikan sebagai saksi-saksi dan para ahli waris sendiri yang menentukan berapa bagian-bagian yang diterima oleh masingmasing. Mereka cenderung mengutamakan anak terkahir meskipun anak terakhir adalah seorang perempuan. Anak perempuan itu mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Yang dikatakan oleh Bapak Sis juga seperti apa yang dikatakan oleh Gunarno, dalam pembagian waris anak perempuan mendapatkan lebih banyak daripada seorang laki-laki dan yang dikatakan Gunarno sebagai berikut. Anak terakhir memang lebih pantas mendapatkan bagian harta warisan lebih banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain meskipun dia anak perempuan dan masih memiliki saudara kandung yaitu anak laki-laki, karena anak terakhir lebih bertanggung jawab dalam mengurusi orang tuanya semasa hidupnya. Jadi sangat pantaslah mereka mendapatkan harta waris lebih banyak. Dari keterangan Gunarno jelas lebih pantas anak yang mendapatkan harta waris paling banyak itu adalah seorang perempuan daripada laki-laki. Sebab anak perempuan mendapatkan harta waris lebih banyak karena dia merupakan anak terakhir dari keluarga tersebut. Uswatun juga mengatakan sebagai berikut. Berdasarkan perasaan tidak tega melihat anak terakhir bekerja dan mengurusi orang tua, saudara-saudaranya merelakan anak terakhir mendapatkan lebih banyak harta warisan dibandingkan saudaranya yang lain. Meskipun anak yang terakhir seorang perempuan dan masih mempunyai saudara laki-laki. Saudaranya yang lain dianggap lebih suka pergi dan menetap di suatu daerah dalam mencari rizki, ada juga yang memilih tinggal di kampung halaman tetapi tidak satu rumah dengan orang tuanya, sedangkan anak terakhir harus menjaga orang tua 53
yang satu rumah dengannya, dan terikat dengan pekerjaan rumah dan mengurusi keluarga. Dari apa yang dikatakan oleh Uswatun meskipun anak terakhir seorang perempuan yang mempunyai saudara laki-laki, dia pantas mendapatkan harta waris lebih banyak daripada saudara-saudaranya. Karena saudaranya yang lain itu dalam hal mencari rizki mereka suka pergi dari kampung halaman mereka sendiri. Ada juga yang memilih tinggal di kampung halamannya sendiri tetapi tidak satu rumah dengan orang tuanya. Mereka lebih suka menetap di suatu tempat dan jarang sekali untuk pulang kerumah mereka sendiri. Sedangkan anak terakhir dia rela menjaga orang tuanya semasa hidupnya. Dalam pembagian warisan anak perempuan mendapatkan lebih banyak daripada laki-laki. Bapak Alip menjelaskan apa yang terjadi di dalam keluarganya sebagai berikut. Harta warisan adalah wujud rasa kasih dan sayang dari orang tua kepada anak-anaknya, setelah orang tuanya meninggal itu bisa dimanfaatkan dan dibagi bersama untuk mencukupi kebutuhan. Tidaklah harus anak laki-laki yang mendapatkan lebih banyak dari perempuan. Seperti yang terjadi di dalam keluarga saya, anak perempuanlah yang mendapatkan harta waris lebih banyak dibanding dengan saya, karena itu sudah menjadi kebiasaan anak terakhirlah yang mendapatkan harta waris lebih banyak dibanding dengan lainnya, dan itu sudah menjadi kesepakatan bersama semua ahli waris yang ada. Apa yang dikatakan oleh Bapak Alip tentang warisan adalah suatu wujud rasa kasih sayang dari orang tua kepada anak-anaknya, setelah orang tuanya meninggal dan itu bisa dimanfaatkan oleh keluarga Bapak Alip untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari. Pelaksanaan warisan di keluarga Bapak Alip saudara perempuan Bapak Alip yang mendapatkan harta waris paling banyak dibandingkan dengan saudaranya yang lain. Alasannya adalah 54
saudara perempuan Bapak Alip itu adalah anak yang terakhir di dalam keluarganya. Dan pembagian warisan yang seperti itu sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun di desa tersebut. Bapak Alip sebagai anak laki-laki di dalam keluarganya tidak merasa dirugikan akan hal tersebut. Keluarga Bapak Alip mencerminkan sangat menghormati anak terakhir sebagai orang yang pantas diberikan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan saudarasaudaranya yang lain. Meskipun anak yang terakhir adalah seorang perempuan. Penjelasan Ibu Tiyem dalam menjelaskan pembagian warisan yang terjadi di keluarganya bulan juli tahun 2014 lalu adalah sebagai berikut. Dalam pembagian harta warisan pada keluarga saya. Sayalah yang mendapat harta waris paling banyak dibandingkan dengan saudara-saudara saya. Saudara saya ada 4 yang pertama perempuan, kedua laki-laki, ketiga laki-laki, dan yang terakhir adalah saya. Saya yang mendapatkan paling banyak harta waris. Saya mendapatkan tanah pekarangan yang luasanya 1 hektar dan sebuah rumah untuk saya tempati. Sedangkan saudara-saudara saya masing-masing mendapatkan 1 hektar tanah pekarangan. Seperti kata saudara-saudara saya, saya berhak mendapatkan rumah beserta tanah pekarangan karena saya yang paling berjasa dalam membantu orang tua sewaktu hidupnya. Menurut keterangan dari Ibu Tiyem saudara-saudara Ibu Tiyem masing-masing mendapatkan harta waris berupa 1 hektar tanah pekarangan sedangkan Ibu Tiyem mendapatkan 1 hektar tanah pekarangan dan masih di tambah dengan rumah yang dahulu pernah dihuni oleh orang tuanya. Perbandingan pendapatan Ibu Tiyem dibanding dengan saudara-saudaranya berbeda, pendapatan Ibu Tiyem satu setengah banding satu dengan saudarasaudaranya. Menurut Ibu Tiyem adanya suatu alasan kenapa pembagian harta waris untuk dia lebih banyak dibandingkan dengan saudara-saudaranya, dikarenakan dialah yang selalu rela sehari-hari merawat orang tua semasa 55
hidupnya berbeda dengan saudara-saudaranya yang lain. Sebagai anak terakhir sepertinya Ibu Tiyem merasa tanggung jawab kepada orang tua seakan-akan dipikulkan kepadanya. Dalam pembagian harta waris seharusnya anak laki-laki yang mendapatkan harta waris lebih banyak daripada perempuan karena pada waktu kawin anak laki-laki harus membayar mahar atau mas kawin dan harus memberikan nafkah pada istri serta menyediakan rumah dengan seisinya. Menjadi tulang punggung keluarga. Sebaliknya anak perempuan pada waktu menikah dia akan menerima mahar atau mas kawin dan nafkah serta rumah beserta isinya dari suaminya. Akan tetapi dalam masyarakat Islam Indonesia sekarang ini mahar atau mas kawin itu sebagai formalitas saja. Bentuknya tidak lagi berupa uang tunai atau benda berharga tetapi hanya seperangkat alat shalat, yang sama sekali tidak mahal. Selain itu suami dan isteri sama-sama mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Seperti yang terjadi pada masyarakat Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur, dalam menjalin hubungan antara suami dan istri tidak lagi merupakan hubungan yang memberi dan yang menerima, melainkan hubungan antara dua anak manusia yang sepakat untuk hidup bersama dan membina keluarga atas dasar gotong royong, mereka sama-sama bekerja mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga. Seiring dengan kemajuan zaman daerah Ungaran adalah tempat kawasan industri yang sebagian besar pekerjanya adalah seorang perempuan. Banyak laki-laki yang memilih berdiam diri di rumah melakukan pekerjaan rumah tangga yang 56
seharusnya dikerjakan oleh seorang perempuan, sedangkan yang perempuan pergi bekerja sebagai buruh untuk mencukupi kebutuhan rumah tangga disamping itu juga menjaga orang tua. Dalam bentuk kehidupan seperti inilah kebanyakan orang tua merasa tidak tega melihat anak perempuannya. Di samping mereka bekerja sebagai buruh sesampai di rumah ia juga tetap mengerjakan pekerjaan rumah yang belum terselesaikan dan menjaga orang tuannya sampai akhir hayatnya. Berbeda dengan saudaranya yang lain, mereka memlih pergi untuk mencari pekerjaan keluar dari kampung halamanya disuatu tempat sampai mereka mendapatkan suami atau istri dan menetap disana. Banyak juga yang memillih tinggal di kampung halamannya akan tetapi tidak satu rumah dengan orang tuannya. Pembagian warisan masyarakat kalongan dengan perolehan lebih banyak untuk anak perempuan daripada laki-laki dianggap untuk pencapaian perdamaian, mereka membagi waris dengan cara musyawarah. Mereka menganggap bahwa setiap ahli waris mempunyai hak dalam bersuara di dalam musyawarah selagi tidak ada pihak yang merasa dirugikan. Walaupun hasil perolehan
dalam
musyawarah
mereka
bersepakat
anak
perempuan
mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Islam mengatur ketentuan pembagian warisan secara terperinci agar tidak terjadi perselisihan antara sesama ahli waris dalam pembagian harta warisan. Akan tetapi yang terjadi di dalam masyarakat Islam tidak semuanya membagikan dengan cara pembagian seperti itu, dalam pembagian harta warisan mereka 57
cenderung dengan melakukan jalan musyawarah dan itu sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun di masyarakat tersebut, dan untuk perolehan yang diperoleh jelaslah berbeda dengan apa yang ada dalam Al Qur‟an. B. Faktor Yang Mempengaruhi Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Memilih Sistem Pembagian Harta Waris Dengan Jalan Musyawarah Pembagian warisan di Desa Kalongan yang dilakukan oleh satu keluarga dalam membagi harta waris berdasarkan musyawarah sangat berpengaruh kepada anggota keluarga lain untuk melakukan hal yang seperti itu. Secara turun-temurun pembagian warisan di Desa Kalongan dilakukan dengan cara musyawarah. Dan berdasarkan kesepakatan semua ahli waris, kesepakatan itu benar-benar di akui dan terjaga betul-betul apa yang menjadi keputusan bersama. Meskipun dalam kesepakatan menghasilkan ahli waris perempuan memperoleh hasil lebih banyak daripada laki-laki. Padahal jelas bahwa di dalam al-Qur‟an bagian waris untuk anak perempuan separoh dari laki-laki. Bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan bagian anak perempuan. Faktor yang menyebabkan masyarakat muslim di Desa Kalongan memilih sistem pembagian waris dengan jalan musyawarah adalah sebagai berikut: 1. Kesadaran masyarakat sangat kecil dalam menerapkan hukum Islam Kesadaran masyarakat sangatlah kecil dalam menerapkan hukum Islam, bisa dilihat dari cara masyarakat dalam membagi harta waris, masyarakat selalu melakukan pembagian harta waris dengan jalan 58
musyawarah. Masyarakat lebih memilih musyawarah dalam membagi harta waris ketimbang melaksanakan dengan hukum waris Islam. 2. Hukum Islam dianggap sulit Hukum Islam dianggap sulit dimengerti oleh kaum awam. Mereka sebatas mengerti dalam pembagian harta waris bagian anak laki-laki dua berbanding satu dengan anak perempuan. Pembagian waris untuk ahli waris lainnya mereka tidak mengetahuinya. 3. Dilakukan turun temurun Pembagian warisan dengan jalan musyawarah sudah merupakan kebiasaan yang dilakukan masyarakat secara turun temurun. 4. Anak perempuan dianggap paling mengerti keadaan orang tua Anak perempuan dianggap mampu menjaga orang tua semasa hidupnya dibanding dengan saudara-saudaranya yang lain. Saudarasaudaranya yang lain selalu pergi dari kampung halamannya, ada juga satu atau dua yang memilih tinggal di kampung halamannya tetapi tidak satu rumah dengan orang tuanya. Seiring dengan kemajuan zaman anak perempuan pada masyarakat sekarang lebih memilih bekerja. Disamping bekerja mereka juga menyelesaikan pekerjaan rumah sekaligus menjaga orang tuanya semasa hidupnya. 5. Musyawarah di anggap adil Dalam pembagian harta waris masyarakat lebih memilih dengan cara musyawarah dan di dalam musyawarah setiap ahli waris berhak bersuara, dengan cara seperti itu mereka menganggap dengan musyawarah akan 59
memperoleh hasil yang adil. Mereka menganggap dengan jalan musyawarah semua ahli waris tidak ada yang merasa dirugikan. Meskipun hasil perolehannya berbeda dengan apa yang ada di dalam al-Qur‟an. Di dalam alQuran bagian laki-laki dua berbanding satu dengan bagian perempuan. Adapun tujuan masyarakat melakukan pembagian harta waris dengan cara musyawarah adalah untuk menciptakan kerukunan antara sesama ahli waris dalam membagi harta waris dan mereka beranggapan bahwa dengan cara musyawarah itulah mereka akan bisa saling menjaga antara ahli waris yang satu dengan ahli waris yang lain. C. Analisis Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim Di Desa Kalongan Di Negara Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara Nasional belum terbentuk, dan hingga kini ada tiga macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hukum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum adat, dan hukum perdata. (Zuhdi,1997: 195) Hukum kewarisan Islam pada dasarnya berlaku untuk umat Islam dimanapun berada di dunia ini. Sungguh pun demikian, corak suatu Negara Islam, dan kehidupan masyarakat di suatu Negara atau daerah tersebut memberi pengaruh atas hukum kewarisan di daerah itu. (Thalib, 2004: 1) Tentang ketentuan dalam hukum waris Islam, sebagaimana tercantum dalam Al Qur‟an, bahwa anak laki-laki mendapat bagian dua kali lebih besar dari yang diterima oleh anak perempuan. (Sjadzali,1997: 61)
60
Masyarakat di Desa Kalongan dalam mengartikan warisan adalah pemindahan harta benda dari pewaris kepada ahli waris yang dibagikan setelah pewaris meninggal dunia dan setelah semua hak-haknya terpenuhi selanjutnya baru dilakukan pembagian warisan. Setelah semua hak-haknya terpenuhi ahli waris bisa bersama-sama atau perseorangan mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian warisan. Seperti apa yang dijelaskan di Kompilasi Hukum Islam BAB III Besarnya Bahagian pasal 188 yang berbunyi: “Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan ”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 56) Menurut masyarakat di Desa Kalongan warisan adalah harta benda yang ditinggalkan oleh pewaris untuk ahli waris yang bernilai harganya. Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB I Ketentuan Umum pasal 171 huruf d yang berbunyi: “Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 52) Kesamaan tentang pembagian harta waris dalam hukum Islam dengan pembagian harta waris yang ada di Desa Kalongan terlihat dari sebab mendapatkan warisan yakni didahului dengan meninggalnya seseorang dan setelah semua hak-haknya terpenuhi. Perbedaan itu terlihat pada penentuan ahli waris, dimana dalam hukum Islam ada tiga kelompok orang-orang yang berhak menjadi ahli waris, yakni 61
dzawil furudl, ashabah dan dzawil arham. Sedangkan menurut masyarakat setempat yang menjadi ahli waris hanyalah suami atau istri yang ditinggalkan, anak-anak, dan saudara. Saudara orang yang meninggal dunia ikut mendapatkan bagian harta warisan jika orang yang meninggal dunia tersebut tidak mempunyai anak. Perbedaan lainnya juga nampak pada bagian untuk masing-masing ahli waris, jika dalam hukum Islam ahli waris laki-laki mendapatkan lebih banyak daripada perempuan, sedangkan
menurut
masyarakat kalongan anak terakhirlah yang mendapatkan harta waris lebih banyak dibandingkan saudaranya yang lain meskipun anak terakhir tersebut adalah seorang perempuan yang masih mempunyai saudara kandung yang lain yaitu laki-laki. Dalam hal ini yang terjadi pada masyarakat Desa Kalongan Kecamatan Ungaran
Timur
dalam
pembagian
warisan
cenderung
melakukan
pertimbangan-pertimbangan dengan jalan musyawarah. Prinsip pembagian warisan dalam Islam dimaksudkan untuk pencapaian perdamaian, sedangkan bagi
masyarakat
setempat
pembagian
harta
warisannya
berdasarkan
musyawarah, kemungkinan tidak ada yang merasa dirugikan. Kaidah-kaidah umum dirumuskan dengan tujuan memelihara jiwa Islam dalam mewujudkan ide-ide yang tinggi ke dalam norma hukum, baik mengenai kewajiban dan hak, keadilan dan kesamaan rasa tanggung jawab, memelihara maslahat dan menolak mafsadat serta kemungkinan perubahan hukum lantaran perubahan keadaan dan suasana dari waktu ke waktu. Kaidahkaidah tersebut di antaranya: 62
1. Mencegah/menghindari mafsadah/mudarat, menarik maslahah. (Zuhdi, 1997: 10) 2. Hukum-hukum itu bisa berubah sesuai dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan. (Zuhdi, 1997: 56) Adapun yang dijadikan dasar dalam menyeleksi adalah maslahat umum. Maslahat itu dapat ditinjau dari dua segi yaitu: mendatangkan manfaat untuk umat atau menghindarkan kemudaratan (kerusakan, kesulitan dan keburukan) dari kehidupan umat. Sesuatu dianggap baik oleh agama bila di dalamnya terdapat unsur manfaat dan tidak ada padanya unsur yang menolak. Begitu pula suatu tindakan dinyatakan tidak baik bila dalam tindakan itu terdapat unsur mudharat. Bila kedua unsur tersebut terdapat dalam suatu perbuatan maka yang dijadikan penilaian adalah unsur mana yang terbanyak. (Syarifudin, 1984: 64) Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB III Besarnya Bahagian Pasal 183 dijelaskan tentang pengertian yaitu sebagai berikut: “para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya”. (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 55) Penjelasan pasal di atas mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian waris itu sangatlah dimungkinkan. Dan dalam pembagian harta waris di Desa Kalongan Bapak Giono menjelaskan selain keluarga dari pewaris yang berhak mendapatkan warisan adalah anak angkat, anak angkat juga ikut mendapatkan warisan tetapi dengan cara wasiat sebelum pewaris meninggal dunia. Dan besarnya wasiat itu adalah sepertiga dari harta waris dan tidak boleh melebihi sepertiga itu. 63
Seperti apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB I Ketentuan Umum Pasal 171 huruf f yang berbunyi: “Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.” (Tim Redaksi Nuansa Aulia,2009: 52) Mengenai wasiat ada hal-hal yang membatalkan wasiat dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) BAB V WASIAT Pasal 194 yang berbunyi: 1. Wasiat menjadi batal apabila calon penerima wasiat berdasarkan putusan Hakim yang telah mempunyai hukum tetap dihukum karena: a. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat kepada pewasiat; b. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewasiat telah melakukan sesuatu kejahatan yang diancam hukuman lima tahun penjara atau hubungan yang lebih berat; c. Dipersalahkan dengan kekerasan atau ancaman mencegah pewasiat untuk membuat atau mencabut atau merubah wasiat untuk kepentingan calon penerima wasiat; d. Dipersalahkan telah menggelapkan atau merusak atau memalsukan surat wasiat dan pewasiat. 2. Wasiat menjadi batal apabila orang yang ditunjuk untuk menerima wasiat itu: a. Tidak mengetahui adanya wasiat tersebut sampai meninggal dunia sebelum meninggalnya pewasiat; b. Mengetahui adanya wasiat tersebut, tapi ia menolak untuk menerimanya; 64
c. Mengetahui adanya wasiat itu, tetapi tidak pernah menyatakan menerima atau menolak sampai ia meninggal sebelum meninggalnya pewasiat. 3. Wasiat menjadi batal apabila yang diwasiatkan musnah. Mengenai wasiat kepada ahli waris, terdapat perbedaan pendapat para ulama. Antara lain: (Ash Shiddieqy, 1988: 128) 1. Ibnu Hazm dan fukaha Malikiyah berpendapat bahwa, wasiat tidak dibolehkan sama sekali kepada ahli waris yang menerima warisan, baik para ahli waris lainnya mengizinkan maupun tidak. 2. Fukaha Syia‟ah Imamiyah berpendapat, bahwa wasiat itu diperbolehkan walaupun tidak mendapat izin dari para ahli waris lainnya. Fukaha Syafi‟iyah dan ulama Malikiyah berpendapat, wasiat kepada ahli waris yang dapat menerima warisan dibenarkan dan sah atas izin ahli waris lainnya. Dalam Kompilasi Hukum Islam BAB V Wasiat pasal 195 menjelaskan sebagai berikut: 1. Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris. 2. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. 3. Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. 4. Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi di hadapan Notaris.
65
Tentang wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Dan untuk wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Dalam hal melaksanakan wasiat masyarakat mengetahui bahwa wasiat itu di sampaikan oleh pewaris sebelum meninggal dunia dan berlaku setelah pewaris meninggal dunia. Untuk besarnya tidak boleh melebihi dari sepertiga. Seperti apa yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari semua yang telah di uraikan oleh peneliti tentang Sistem Pembagian Harta Waris Masyarakat Muslim di Desa Kalongan Kecamatan Ungaran Timur Kabupaten Semarang dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Masyarakat muslim di Desa Kalongan dalam hal melakukan pembagian harta waris selalu dengan jalan musyawarah, dan itu sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dilakukan di masyarakat tersebut. Untuk hasil perolehan harta waris yang diperoleh masing-masing ahli waris jelaslah berbeda dengan apa yang ada dalam Al Qur‟an. 2. Faktor penyebab pembagian harta waris untuk anak perempuan lebih banyak daripada laki-laki dikarenakan kesadaran masyarakat sangat kecil dalam menerapkan hukum Islam, hukum Islam di anggap sulit, pembagian harta waris dengan jalan musyawarah dilakukan turun-temurun dan sudah menjadi kebiasaan. 3. Dalam hal pembagian harta waris masyarakat muslim di Desa Kalongan yang dilakukan dengan cara musyawarah dan disaksikan oleh tokoh agama dan tokoh masyarakat. Bila ditinjau dari sisi Kompilasi Hukum Islam pada Bab III Besarnya Bahagian Pasal 183 yang menjelaskan para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, 67
setelah masing-masing menyadari bagiannya. Penjelasan pasal tersebut sangat jelas bahwa mengenai prinsip musyawarah dalam pembagian harta waris itu sangatlah dimungkinkan, setelah masing-masing ahli waris menyadari bagiannya. B. Saran-Saran Sebagai umat Islam kita dituntut untuk mengetahui ilmu kewarisan. Ilmu waris sangatlah penting untuk mencegah masalah-masalah yang timbul dalam keluarga. Karena dampak yang terjadi apabila sesama anggota keluarga saling berebut warisan itu sangatlah berbahaya. Dengan kita mengetahui ilmu waris kita dapat menciptakan perdamaian antara sesama.
68
DAFTAR PUSTAKA
Afandi, Ali. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: PT Rineka Cipta. Afdol. 2003. Penerapan Hukum Kewarisan Islam Secara Adil. Surabaya: Airlangga University Press. Anshori, Abdul Ghofur. 2002. Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ekonosia. Ash-Sahabuni, Muhammad Ali. 1994. Hukum Waris dalam Al-Qur'an. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Ash-Shiddieqy, Hasbi. 1975. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang. Basyir, Ahmad Azhar. 2004. Hukum Waris. Yogyakarta: UII Press. Departemen Agama. 2002. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Jakarta: Mekar Surabaya. Fatchur Rahman. 1981. Ilmu Waris. Bandung: PT. Al-Ma‟arif. Moleong, Lexy J. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Rofiq, Ahmad. 2001. Fiqh Mawaris. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Rohman, Ali. 1997. Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Shahrur, Muhammad. 2008. Metodologi Fiqih Islam Kontemporer. Yogyakarta: Elsaq Press. Siddik, Abdullah. 1984. Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam. Jakarta: Wijaya. Sudarsono. 1991. Hukum kewarisan dan Sistem Bilateral. Jakarta: Rineka Cipta. Sutrisno, Hadi. 1992. Metodologi Research. Yogyakarta: Andi Offset. Syah Muhammad, Ismail Dkk. 1999. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: PT. Bumi Aksara. 69
Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqih. Jakarta: Kencana. Thalib, Sayuti. 1984. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara. Tim Redaksi Nuansa Aulia. 2012. Kompilasi Hukum Islam. Bandung: CV. Nuansa Aulia. Zuhdi, Majfuk. 1991. Masail Fiqhiyah. Jakarta: CV. Haji Mas Agung.
70
LAMPIRAN-LAMPIRAN
71
72
73
74
75
76
BIODATA MAHASISWA Nama
: Muchamad Ali Ridho
Tempat/tanggal lahir : Kab. Semarang, 02 September 1987 Jenis Kelamin
: Laki-laki
Agama
: Islam
Alamat
: Genuk Barat Kelurahan Genuk Kecamatan Ungaran Barat
Nama orang tua Bapak
: Munawar
Ibu
: Sri Sutiah
Alamat
: Genuk Barat Kelurahan Genuk Kecamatan Ungaran Barat
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya, untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya
Salatiga, 29 September 2015 Penulis
Muchamad Ali Ridho
77