SISTEM PEMBAGIAN HARTA WARISAN PADA MASYARAKAT ISLAM DI DESA PALALAKKANG KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR (Studi Kasus Tahun 2012-2015)
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar Sarjana Hukum Islam Jurusan Peradilan Agama pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar
Oleh: MUSTARI HARIS NIM : 10100112077
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR 2016
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Mustari Haris
NIM
: 10100112077
Tempat/Tgl. Lahir
: Pa’la’lakkang, 10 November 1993
Jurusan
: Peradilan Agama
Fakultas
: Syariah dan Hukum
Alamat
: Dusun Minasanta Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar
Judul
: Sistem Pembagian harta warisan pada masyarakat Islam di desa Pa’la’lakkang kecamatan galesong kab.Takalar (Studi kasus tahun 2012-2015). Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa skripsi ini
benar adalah hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.
Makassar, 29 Februari 2016 Penyusun,
MUSTARI HARIS NIM : 10100112077
ii
PENGESAHAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul, “Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar (Studi Kasus Tahun
2012-2015)”, yang disusun oleh Mustari Haris NIM: 10100112077,
mahasiswa Jurusan Peradilan Agama pada Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar, telah diuji dan dipertahankan dalam sidang munaqasyah yang diselenggarakan pada hari Senin, tanggal 29 Februari 2016 M, bertepatan dengan 20 Jumadil Awal 1437 H, dinyatakan telah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana dalam Ilmu Syari’ah dan Hukum, Jurusan Peradilan Agama (dengan beberapa perbaikan). Makassar, 29 Februari 2016 M. 20 Jumadil Awal 1437 H. Ketua
DEWAN PENGUJI : Prof. Dr. Darussalam, M.Ag.
(……………………...)
Sekretaris
: Dr. Hj. Patimah, M.Ag.
(……………………...)
Munaqisy I
: Dr. Supardin, M.HI.
(……………………...)
Munaqisy II
: Dr. Alimuddin, M.Ag.
(……………………...)
Pembimbing I
: Dr. Muhammad Sabri, M.Ag.
(……………………...)
Pembimbing II
: Drs. H. M. Jamal Jamil, M.Ag.
(……………………...)
Diketahui oleh: Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Alauddin Makassar,
Prof. Dr. Darussalam, M.Ag. NIP. 19621016 199003 1 003
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kehadirat Allah swt, yang telah memberikan kekuatan lahir dan bathin untuk berlindung serta bertawakkal kapadanya dengan jalan mensyukuri segala nikmat yang telah di berikannya kepada kita semua, khususnya nikmat sehat dan rezeki sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar (Studi Kasus Tahun 2012-2015)”. Shalawat dan salam diperuntukkan bagi junjungan Nabi Muhammad saw yang telah membimbing kita dengan ucapan, sikap dan keteladanan. Kebesaran jiwa dan kasih sayang yang tak bertepi, doa yang tiada terputus dari kedua orang tuaku yang tercinta, Ayahanda Abdul Haris Daeng Bantang dan Ibunda Rahmawati Daeng Tanang (Almh), yang senantiasa memberikan penulis curahan kasih saying, nasihat, perhatian, bimbingan serta doa restu yang selalu diberikan sampai saat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Saudarasaudariku yang tercinta: Muhammad Arif, Muhammad Asram, Hasmawati, dan Sinta. Serta kakak ipar beserta keponakan-keponakan penulis, terima kasih atas perhatian, kejahilan dan kasih sayangnya selama ini dan serta berbagai pihak yang tulus dan ikhlas memberikan andil sejak awal hingga usainya penulis menempuh pendidikan di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi (S1) pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
iv
v
Dalam menyusun skripsi ini tidak sedikit kekurangan dan kesulitan yang dialami oleh penulis, baik dalam kepustakaan, penelitian lapangan, maupun hal-hal lainnya. Tetapi berkat ketekunan, bimbingan, petunjuk serta bantuan dari pihak lain akhirnya dapatlah disusun dan diselesaikan skripsi ini menurut kemampuan penulis. Kendatipun isinya mungkin terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, baik mengenai materinya, bahasanya serta sistematikanya. Penulis menyadari bahwa skripsi ini disusun dan diselesaikan berkat petunjuk, bimbingan dan bantuan dari pihak lain. Oleh karena itu, sudah pada tempatnyalah penulis menghanturkan ucapan penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah rela memberikan, baik berupa moril maupun berupa materil dalam proses penyusunan dan penyelesaian skripsi ini. Penghargaan dan ucapan terima kasih yang terdalam dan tak terhingga terutama kepada yang terhormat : 1. Bapak Prof. Dr. H. Musafir Pababbari, M.SI. selaku Rektor UIN Alauddin Makassar; 2. Bapak Prof. Dr. Darussalam Syamsuddin, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar beserta jajarannya; 3. Bapak Dr. Supardin M.HI. selaku Ketua Jurusan Peradilan Agama UIN Alauddin Makassar beserta ibu Dr. Hj.Fatimah, M.Ag. selaku Sekertaris Jurusan Peradilan Agama; 4. Bapak Dr. Muhammad Sabri AR, M.Ag. selaku pembimbing I dan Bapak Drs. H. M. Jamal Jamil. M.Ag selaku pembimbing II. Kedua beliau, di tengah kesibukan dan aktifitasnya bersedia meluangkan waktu, tenaga dan
vi
pikiran untuk memberikan petunjuk dan bimbingan dalam proses penulisan dan penyelesaian skripsi ini; 5. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staf akademik dan pegawai Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar; 6. Semua instansi terkait dan responden yang telah bersedia membantu dan memberikan data kepada penulis, baik Kepala Desa Pa’la’lakkang, Tokoh Agama dan Tokoh Masyarakat Desa Pa’la’lakkang
yang telah
memberikan masukan dan saran selama penyusunan skripsi ini; 7. Kepada Teman-Teman Seperjuangan SMA. Negeri 1 Galesong Utara Khususnya Kelas XII.IPA.1 Angkatan 2012, yang selalu memberi semangat kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 8. Bapak Ir. H. Gassing Rapi dan Ir. Hj. Darmawati yang selama ini memberikan semangat beserta bantuan materil selama penulis kuliah. 9. Seluruh teman kuliah Jurusan Peradilan Agama Angkatan 2012 Khususnya Kelas Peradilan B, terima kasih atas kesetiakawanan, dukungan dan motivasinya selama ini; 10. Kepada teman-teman The Rempong Community yang selalu memberi semangat selama penyusunan skripsi ini; 11. Kepada teman-teman seperjuangan KKN Profesi Angkatan VI Kecamatan Tompobulu Kabupaten Bantaeng, Terkhusus Posko Desa Bonto Tappalang yakni Muh Nasharuddin Chamanda, Syahrin Rusman, Syamsuarni Rasab, Nurul Fadhliyah, St.Nur.Aisyah Mufhlihah yang selalu mendukung di setiap kesulitan selama penyusunan skripsi ini;
vii
Atas segala bantuan, kerjasama, uluran tangan yang telah diberikan dengan ikhlas hati kepada penulis selama menyelesaikan studi hingga rampungnya skripsi ini. Begitu banyak bantuan yang telah diberikan bagi penulis, namun melalui doa dan harapan penulis, Semoga jasa-jasa beliau yang telah diberikan kepada penulis mendapat imbalan pahala yang setimpal dengannya dari Allah swt. Akhirnya dengan penuh rendah hati penulis mengharap tegur sapa manakala terdapat kekeliruan menuju kebenaran dengan mendahulukan ucapan terima kasih yang tak terhingga Samata,29 Februari 2016 Penulis
Mustari Haris NIM: 10100112077
DAFTAR ISI JUDUL ...........................................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................................
ii
PENGESAHAN .............................................................................................
iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................
iv
DAFTAR ISI ...................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL .........................................................................................
x
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................
xi
ABSTRAK ..................................................................................................... xvii BAB I : PENDAHULUAN............................................................................. 1-12 A. Latar Belakang Masalah ...............................................................
1
B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus .........................................
6
C. Rumusan Masalah ........................................................................
9
D. Kajian Pustaka ..............................................................................
9
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian...................................................
10
BAB II : TINJAUAN TEORETIS ............................................................... 13-62 A. Sistem Kewarisan Islam ................................................................
13
1. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan ...............................
14
2. Sebab, Rukun, Syarat, dan Penghalang Kewarisan ................
25
3. Ahli Waris dan Bagian-Bagiannya .........................................
43
B. Sistem Kewarisan Adat 1. Harta Warisan Menurut Adat ..................................................
52
2. Sistem Keturunan ....................................................................
55
3. Sitem Kewarisan .....................................................................
58
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN .................................................. 63-73 A. Jenis dan Lokasi Penelitian ...........................................................
viii
63
ix
B. Pendekatan Penelitian ...................................................................
65
C. Sumber Data ..................................................................................
66
D. Metode Pengumpulan Data ..........................................................
67
E. Instrumen Penelitian .....................................................................
68
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data .........................................
69
G. Pengujian Keabsahan Data ............................................................
70
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...........................74-100 A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ............................................
74
1. Kondisi Geografis ...................................................................
74
2. Perekonomian Masyarakat Desa .............................................
75
3. Keadaan Sosial ........................................................................
76
B. Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Kurung waktu 2012-2015 .............................................................
78
C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar .....................................
90
D. Dampak Yang Di Timbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar .....................................
96
BAB V : PENUTUP ...................................................................................... 101- 102 A. Kesimpulan .................................................................................. 101 B. Implikasi Penelitian ...................................................................... 102 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 103 LAMPIRAN .................................................................................................... 106 DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENELITI ................................................. 110
DAFTAR TABEL TABEL I. STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA PALALAKKANG………………..
75
TABEL II. DAFTAR JUMLAH PEMELUK AGAMA DESA PALALAKKANG…….
77
TABEL III. DAFTAR SARANA UMUM DESA PALALAKKANG.………………….
77
TABEL IV. DAFTAR KASUS PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI DESA PALALAKKANG KECAMATAN GALESONG KAB. TAKALAR…….
79
x
PEDOMAN TRANSLITERASI 1. Konsonan Huruf Arab
Nama
Huruf Latin
ا
Alif
Tidak dilambangkan
ب
ba
b
Be
ت
ta
t
Te
ث
sa
s
es (dengan titik di atas)
ج
jim
j
Je
ح
ha
h
ha (dengan titk di bawah)
خ
kha
kh
ka dan ha
د
dal
d
De
ذ
zal
z
zet (dengan titik di atas)
ر
ra
r
Er
ز
zai
z
Zet
س
sin
s
Es
ش
syin
sy
es dan ye
ص
sad
s
es (dengan titik di bawah)
ض
dad
d
de (dengan titik di bawah)
ط
ta
t
te (dengan titik di bawah)
xi
Nama Tidak dilambangkan
xii
ظ
za
z
zet (dengan titk di bawah)
ع
„ain
„
apostrop terbalik
غ
gain
g
Ge
ف
fa
f
Ef
ق
qaf
q
Qi
ك
kaf
k
Ka
ل
lam
l
El
م
mim
m
Em
ن
nun
n
En
و
wau
w
We
ه
ha
h
Ha
ء
hamzah
,
Apostop
ي
ya
y
Ye
Hamzah yang terletak di awal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi tanda apapun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda ( ). 2. Vokal Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Vokal tungggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat, transliterasinya sebagai berikut :
xiii
Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
Fathah
A
A
Kasrah
i
I
Dammah
u
U
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara harakat dan huruf, transliterasinya berupa gabungan huruf, yaitu : Tanda
Nama
Huruf Latin
Nama
fathah dan ya
ai
a dan i
fathah dan wau
au
a dan u
3. Maddah Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf, transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu :
Harkat dan Huruf
Nama
Huruf dan Tanda
Nama
fathah dan alif atau ya
a
a dan garis di atas
kasrah dan ya
i
i dan garis di atas
dammah dan wau
u
u dan garis di atas
xiv
4. Ta Marbutah Transliterasi untuk ta marbutah ada dua, yaitu: ta marbutah yang hidup atau mendapat harkat fathah, kasrah, dan dammah, yang transliterasinya adalah [t]. Sedangkan
ta marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun
transliterasinya adalah [h]. Kalau pada kata yang berakhir dengan ta marbutah diikuti oleh kata yang menggunakan kata sandang al- serta bacaan kedua kata itu terpisah, maka ta marbutah itu transliterasinya dengan [h]. 5. Syaddah (Tasydid) Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda tasydid (
), dalam transliterasinya ini dilambangkan dengan
perulangan huruf (konsonan ganda) yang diberi tanda syaddah. Jika huruf kasrah
(ي
ي
ber-tasydid di akhir sebuah kata dan didahului oleh huruf
), maka ia ditransliterasikan seperti huruf maddah (i).
6. Kata Sandang Kata sandang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan huruf
( الalif
lam ma’arifah). Dalam pedoman transliterasi ini, kata sandang ditransliterasi seperti biasa, al-, baik ketika ia di ikuti oleh huruf syamsiah Maupun huruf qamariah. Kata sandang tidak mengikuti bunyi huruf langsung yang mengikutinya. Kata sandang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya dan dihubungkan dengan garis mendatar (-).
xv
7. Hamzah Aturan transliterasi huruf hamzah menjadi apostrop ( ) hanya berlaku bagi hamzah yang terletak di tengah dan akhir kata. Namun, bila hamzah terletak di awal kata, ia tidak dilambangkan, karena dalam tulisan Arab ia berupa alif. 8. Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia Kata,istilah atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata,istilah atau kalimat yang sudah lazim dan menjadi bagian dari perbendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis menurut cara transliterasi di atas. Misalnya kata Al-Qur’an (dari alQur‟an), sunnah,khusus dan umum. Namun, bila kata-katatersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, maka mereka harus ditransliterasi secara utuh. 9. Lafz al-Jalalah
()هللا
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya atau berkedudukan sebagai mudaf ilaih (frase nominal), ditransliterasi tanpa huruf hamzah. Adapun ta marbutah di akhir kata yang disandarkan kepada lafz a-ljalalah, ditransliterasi dengan huruf [t]. 10. Huruf Kapital Walau sistem tulisan Arab tidak mengenal huruf kapital (All caps), dalam transliterasinya huruf-huruf tersebut dikenai ketentuan tentang penggunaan huruf kapital berdasarkan pedoman ejaan Bahasa Indonesia yang berlaku
xvi
(EYD). Huruf kapital, misalnya, digunakan untuk menuliskan huruf awal nama dari (orang, tempat, bulan) dan huruf pertama pada permulaan kalimat. Bila nama diri didahului oleh kata sandang (al-), maka yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Jika terletak pada awal kalimat, maka huruf A dari kata sandang tersebut menggunakan huruf kapital (AL-). Ketentuan yang sama juga berlaku untuk huruf awal dari judul referensi yang didahului oleh kata sandang al-, baik ketika ia ditulis dalam teks maupun dalam catatan rujukan (CK,DP, CDK, dan DR).
ABSTRAK Nama
: MUSTARI HARIS
Nim
: 10100112077
Judul Skripsi
: Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Islam Di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar (Studi Kasus Tahun 2012-2015).
Pokok masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar kurung waktu tahun 2012-2017?. Pokok masalah tersebut selanjutnya di-breakdown ke dalam beberapa submasalah atau pernyataan penelitian, yaitu: 1) bagaimana pandangan hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar?, 2) apa dampak yang ditimbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar? Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan (field research), tergolong kualitatif dengan pendekatan penelitian yang digunakan adalah: pendekatan Syar’i, legalitas formal, dan sosiologis. Adapun sumber data penelitian ini adalah Masyarakat Islam Desa Palalakkang, Kepala Desa, dan tokoh Masyarakat Desa Palalakkang. Selanjutnya, metode pengumpulan data yang digunakan adalah observasi, dan interview atau wawancara. Lalu teknik pengolahan dan analisis data dilakukan dengan melalui tiga metode yaitu: deduktif, induktif dan komparatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar kurung waktu tahun 2012-2017 kebanyakan masyarakatnya menggunakan sistem hukum adat. Dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, bertentangan dengan ayat-ayat kewarisan akan tetapi asas asitinaja yang berlaku di desa tersebut menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam praktik kewarisan, karena budaya asitinaja mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilai-nilai kearifan lokal (al-‘urf) yang diakomodir dalam Islam. Dan berbicara tentang dampak yang ditimbulkan dalam sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, kebanyakan dampak positif dibandingkan dampak negatif. Implikasi penelitian ini adalah: 1) Pembagian harta warisan di Desa Palalakkang yang menggunakan sistem hukum adat, seharusnya tidak membedabedakan atau mengutamakan antara masing-masing ahli waris. Intinya disini di bagi secara adil dan tidak memihak kepada salah satu ahli waris. 2) Perlu di adakan sosialisasi mengenai sistem pembagian harta warisan secara hukum Islam atau syariat xvii
xviii
Islam di Desa palalakkang, karena selama ini masyarakat di Desa tersebut masih belum paham tentang pembagian harta warisan sesuai dengan hukum Islam, ini disebabkan lebih awalnya agama-agama lain masuk di desa tersebut seperti Hindu, Buddah dan sebagainya di banding agama Islam. 3) Dalam Pembagian Harta Warisan di Desa Palalakkang dilakukan secara musyawarah, dan tidak secara tertulis. Untuk menghidari dampak negatif yang kemungkinan besar akan terjadi, maka penulis menyarankan, demi untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari, bagi pihak yang bersangkutan agar hendaknya ditetapkan dalam bentuk tertulis, agar bisa dijadikan sebagai alat bukti jika dikemudian hari ada ahli waris yang menuntut.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Agama Islam adalah sebagai sistem kehidupan ( way of life ). Agama ini merupakan sebuah aturan yang lengkap dan sempurna, yang mengatur berbagai macam aspek kehidupan untuk mencapai kemaslahatan umat baik di dunia maupun di akhirat. Salah satu syariat yang diatur di dalam ajaran agama Islam adalah tentang hukum waris, yakni suatu hukum yang mengatur peninggalan harta seseorang yang telah meninggal dunia, diberikan kepada yang berhak, seperti keluarga dan masyarakat yang lebih berhak.1 Di dalam Kompilasi Hukum Islam di jelaskan tentang pengertian hukum kewarisan yang terdapat pada pasal 171 (a). adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan ( tirkah ) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masingmasing.2 Cara pembagian harta warisan di dalam Islam telah diatur secara detail. Al-Quran menjelaskan secara rinci mengenai hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Pembagian masing-masing ahli waris baik dari laki-laki maupun perempuan telah di tentukan dalam QS. Al-Nisa/4: 7.
1
Mircealisz, Hukum Waris, http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_waris, Diakses pada 17
Mei 2015 2
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, (tt:permata press;tt) h.53
1
2
Terjemahnya: “ Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang Telah ditetapkan.”3 Di dalam Al-Qur’an juga di jelaskan bahwa bagian ahli waris laki-laki lebih banyak daripada bagian perempuan, yakni ahli waris laki-laki dua kali bagian ahli waris perempuan. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS. AlNisa/4:11
Terjemahnya: “ Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari 3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Jakarta: CV. Darus Sunnah Jatinegara,2007) h.79
3
dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagianpembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.4 Allah swt. Menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman yang mentaati ketentuannya dalam pembagian harta warisan dan ancaman bagi mereka yang menginkarinya. Sebagaimana firman Allah swt. dalam QS Al-Nisa/4:13-14.
Terjemahnya: ”(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar.”“ Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”5
4
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.h.79
5
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h.80
4
Ayat di atas secara jelas menunjukkan perintah Allah swt. Agar umat Islam dalam melaksanakan pembagian harta warisan berdasarkan hukum yang ada dalam Al-Quran. Bagi umat Islam melaksanakan ketentuan yang berkenaan dengan hukum kewarisan merupakan suatu kewajiban yang harus dijalankan, Karena ini merupakan suatu bentuk keimanan dan ketakwaan kepada Allah dan Rasul-Nya. Pembagian harta warisan juga dapat dilakukan dengan cara bagi rata, sebagaimana yang telah ditentukan di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 183 bahwa: “ para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan setelah masing-masing menyadari bagiannya.”6 Di Indonesia ada bermacam-macam atau beragam adat, budaya serta latar belakang yang melandasi kehidupan masyarakatnya. Begitupula dalam hukum waris berdasarkan adat sangatlah beragam bergantung pada sifat kedaerahan. Banyaknya jumlah suku bangsa di Indonesia, banyak pula jumlah hukum waris adat yang ada. Pada masyarakat Kabupaten Takalar khususnya yang berada di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong. Dalam pembagian harta warisan, Sebagian
besar
masyarakatnya
menggunakan
pembagian
harta
warisan
berdasarkan sistem adat. Sistem Pembagian warisan secara adat di Desa Palalakkang tidak memperhitungkan ayah dan ibu dari pewaris untuk di masukkan kedalam ahli waris. Sementara di dalam QS. Al-Nisa/4:13-14. sudah jelas bahwa ada bagian Ayah dan Ibu dari pewaris.
6
Tim permata press, Kompilasi Hukum Islam, h.57
5
Selain itu di dalam sistem pembagian harta warisan di Desa Palalakkang juga menggunakan cara bahwa anak laki-laki pertama dia berhak mendapat banyak warisan dari saudara-saudari yang lainnya. Tidak kalah lagi dengan Anak Bungsu perempuan yang harus mendapatkan warisan berupa tanah dan bangunannya. Sebagai Gambaran tentang Sistem Pembagian
Harta Warisan pada
Masyarakat Islam di Desa Palalakkang terjadi pada Keluarga Abdul Haris Daeng Bantang dengan Rincian Pewaris dan Ahli waris serta tirkah atau warisan sebagai berikut:
Rahmawati Daeng Tanang ( Pewaris ) Abdul Haris Daeng Bantang ( Duda/ Suami Pewaris ) Muhammad Arif ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Asran ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Hasmawati ( Anak Perempuan dari pewaris ) Mustari ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Sinta ( Anak Perempuan dari pewaris )
Harta yang ditinggalkan adalah Tanah beserta bangunan yang terletak di Dusun Minasanta Desa Palalakkang. Ini dibagikan secara Hukum Adat atau kebiasaan dengan Hasil Pembagian Tanah beserta bangunan tersebut mutlak di dapat oleh Anak Bungsu Perempuan dari pewaris yakni Sinta. Melihat adanya sistem yang demikian pada masyarakat Kabupaten Takalar. khususnya di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong, dalam pembagian warisan, Karena mengingat sifat masyarakat Desa Palalakkang Kecamatan Galesong tersebut menganut sistem kekeluargaan, maka penulis tertarik melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi dengan judul : Sistem
6
Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Islam Di Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. ( Studi Kasus Tahun 2012-2015 ) B.
Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus 1. Fokus Penelitian Judul penelitian ini adalah ”Sistem Pembagian Harta Warisan Pada
Masyarakat Islam di Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar”. Jadi dalam penelitian ini fokus pada sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Disertai dengan pandangan hukum Islam dan dampak yang ditimbulkan dalam sistem pembagian harta warisan tersebut. Dan untuk menghindari adanya kesalah pahaman terhadap judul penelitian ini, maka berikut ini dikemukakan beberapa pengertian yakni sebagai berikut: a. Sistem Sistem adalah perangkat atau unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Sedangkan di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia sistem adalah sebagian atau alat yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu.7 b. Pembagian Pembagian adalah proses, cara, perbuatan membagi atau membagikan. c. Harta Harta adalah kekayaan, semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud, yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. 7
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.(Jakarta Timur: PT.Balai Pustaka,1976) h.1134
7
d. Warisan Warisan adalah sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, dan harta pusaka. e. Masyarakat Masyarakat adalah kumpulan dari sejumlah orang dalam suatu tempat yang menunjukkan adanya pemilikan atas norma-norma hidup bersama walaupun didalamnya terdapat lapisan atau lingkungan sosial. Secara geografis dan sosiologis dapat dibedakan menjadi masyarakat perkotaan dan masyarakat pedesaan. Sedangkan pengertian Masyarkat di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah pergaulan hidup manusia atau sehimpunan orang yang hidup bersama di suatu tempat dengan ikatan aturan-aturan yang tertentu.8 f. Islam Islam adalah agama yang diajarkan oleh Nabi Muhammad saw. Berpedoman kepada kitab suci Al-Qur’an yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT. g. Harta warisan Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.9
8
W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia.h. 751
9
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, h.53.
8
Dalam ajaran Islam semua harta peninggalan orang yang mati baik yang bersifat kebendaan atau hak disebut dengan istilah “tarikah/tirkah”.tarikah ini tidaklah otomatis menjadi harta warisan yang akan diwariskan kepada ahli waris. Harta warisan ialah hak milik seseorang yang meninggal dunia, yang dapat dimanfaatkan secara bebas (tasaruf) semasa hidupnya, setelah dikurangi biaya jenazah (tajhiz al mayyit), utang, dan wasiat.10 Harta warisan dalam Islam adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, pembayaran utang, dan pembagian untuk kerabat.11 h. Masyarakat Islam Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Masyarakat Islam Desa Palalakkang Kecamatan Galesong adalah Masyarakat yang beragama Islam yang tinggal di wilayah Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi-Selatan. 2. Deskripsi Fokus Penelitian ini dilaksanakan di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Dan mengambil batasan objek penelitian dari kalangan masyarakat Desa Palalakkang serta tokoh masyarakat yang mengetahui tentang Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
10
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan ,(Jakarta: Raja Grafindo Persada,2012)
11
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris, (Bandung: Yrama Widya,2013) h.11
h.57
9
C. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dapat dirumuskan Pokok Permasalahan dalam Penelitian ini yakni Bagaimana Sistem Pembagian
Harta Warisan pada
Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Kurung waktu 2012-2015 ? Adapun Sub Masalah dalam penelitian ini yakni: 1. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar? 2. Apa dampak yang di timbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar? D. Kajian Pustaka Eksistensi kajian pustaka dalam poin ini dimakasudkan memberi pemahaman serta penegasan bahwa terdapat beberapa buku menjadi rujukan dan tentunya relevan atau terkait dengan judul skripsi penulis yakni: Sistem Pembagian
Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Buku yang menjadi rujukan dalam Pembuatan skripsi ini yakni sebagai berikut: 1. Muhammad Athoillah.2013.Fikih Waris: Metode pembagian waris praktis. Cet. I; Bandung: Yrama Widya. Buku ini berisi
tentang penjelasan
mengenai metode pembagian warisan secara praktis yang sangat berkaitan dengan karya tulis ini.
10
2. Hiksyani Nurkhadijah. 2013. Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Makassar: Universitas Hasanuddin. Skripsi ini berisi tentang sistem pembagian harta warisan masyarakat ammatoa, dengan meninjau sistem kekerabatan masyarakat amma toa, beda hal nya dengan karya tulis ini dimana meninjau Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar dengan meninjau pandangan hukum Islam serta dampak yang ditimbulkan dari hasil pembagian tersebut. 3. Amin
Husein
Nasution.2012. Hukum Kewarisan:
Suatu
analisis
Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Cet. II; Jakarta: Raja Grafindo Persada. Buku ini berisi tentang Hukum Kewarisan Islam serta Kompilasi Hukum Islam 4. Dewi Wulansari.2012.Hukum Adat Indonesia : Suatu Pengantar. Cet. II; Bandung: Rafika Aditama. Buku ini berisi tentang Hukum Waris Adat. Selain buku-buku di atas, tentunya masih banyak lagi literatur-literatur yang peneliti gunakan dalam penulisan skripsi ini. E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengemukakan secara deskriptif tentang: 1. Sistem Pembagian
Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa
Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
11
2. Pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. 3. Dampak yang di timbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Adapun kegunaan penelitian ini adalah sebagaiberikut: 1. Segi Praktis a. Dapat memberikan informasi dan saran yang berfungsi sebagai masukan bagi masyarakat luas dalam hal Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. b. Dapat memberikan Informasi tentang pandangan Hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. c. Dapat memberikan informasi terhadap dampak yang di timbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. 2. Segi Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumbangan yang berguna bagi pengembang ilmu pengetahuan hukum kewarisan, khususnya Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
sebagai bahan
pemikiran dan khasanah kepustakaan di bidang Hukum khususnya hukum
12
perdata. Selain itu penelitian ini dapat menjadi acuan atau perbandingan bagi para peneliti yang ingin mengadakan penelitian yang sejenis.
BAB II TINJAUAN TEORETIS SISTEM KEWARISAN A. Sistem Kewarisan Islam Sebelum diuraikan lebih lanjut mengenai
Sistem Pembagian
Harta
Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, maka terlebih dahulu penulis akan menguraikan beberapa istilah yang berkaitan dengan judul penulis menurut pandangan para ahli dan peraturan perundang-undangan serta berdasarkan sumber-sumber Hukum Islam yang mengaturnya. Hal ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari kesalahpahaman
dan
memberikan
pembatasan
yang
jelas
serta
untuk
memudahkan dalam memahami skripsi ini. A. Ruang Lingkup Hukum Kewarisan Islam Syariat Islam telah menetapkan ketentuan mengenai waris dengan sangat sistematis, teratur, dan penuh dengan nilai-nilai keadilan. Dalam hal ini mencakup hak-hak kepemilikan bagi setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang dibenarkan oleh hukum serta mengenai hak-hak kepemilikan seseorang setelah meninggal dunia yang harus diterima
oleh kerabat dan
nasabnya, dewasa atau anak kecil, semua mendapat hak secara legal. Kewarisan Islam di Indonesia telah diatur dalam berbagai sumber hukum Islam dan peraturan perundang-undangan, sehingga materi mengenai kewarisan Islam begitu luas. Oleh karena itu, untuk lebih
memudahkan dalam
memahaminya maka penulis hanya akan menulis hal-hal penting yang berkaitan dengan Kewarisan Islam.
13
14
1. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam Kata waris berasal dari bahasa Arab yaitu warasa-yarisu-warisan yang berarti berpindahnya harta seorang kepada seseorang setelah meninggal dunia. Adapun dalam Al-Qur‟an ditemukan banyak kata
warasa
yang berarti
menggantikan kedudukan, memberi atau menganugerahkan, dan menerima warisan. Sedangkan al-miras menurut istilah para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup baik yang ditinggalkan itu berupa harta, tanah atau apa saja yang berupa hak milik legal secara syar‟i.1 Dalam literatur hukum Islam ditemui beberapa istilah untuk menamakan hukum Kewarisan Islam seperti: faraid, fiqih mawaris, dan Hukm al-mawaris. Menurut Mahalliy, lafazh faraid merupakan jamak (bentuk plural) dari lafazh faridhah yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan muqaddarah yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas. Di dalam Kamus Istilah Fiqih Faraidh adalah ilmu yang membicarakan tentang cara membagi harta peninggalan seseorang (yang meninggal dunia) kepada ahli waris yang berhak menerimanya (karena keturunan, perkawinan, walak, Islam).2 Di dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-qur‟an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkann bagian yang tidak ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan faraid.
1.
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 17. 2
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. (Jakarta: PT.Pustaka Firdaus, 1994) h.74
15
Kewarisan (al-miras) yang disebut sebagai faraidh berarti bagian tertentu dari harta warisan sebagaimana telah diatur dalam nash Al-Qur‟an dan al- hadits. Jadi, pewarisan adalah perpindahan hak dan kewajiban tentang kekayaan seseorang yang telah meninggal dunia terhadap orang-orang yang masih hidup dengan bagian-bagian yang ditetapkan dalam nash-nash baik al-qur‟an dan alhadits.3 Penggunaan kata “hukum” awalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang mengandung arti “dasar hukum yang menjadi rujukan”. Penggunaan kata hukum diawalnya mengandung arti seperangkat aturan yang mengikat dan menggunakan kata Islam dibelakang mengandung arti dasar hukum yang menjadi rujukan. Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu Allah dan sunnah nabi tentang hak ikhwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.4 Dengan demikian dengan segala titik lemahnya, hukum kewarisan Islam itu dapat diartikan dengan
seperangkat peraturan tertulis berdasarkan wahyu
Allah dan sunnah Nabi tentang hal ikhwal peralihan harta atau berwujud harta dari yang telah mati kepada yang masih hidup, yang diakui dan diyakini berlaku dan mengikat untuk semua yang beragama Islam.
3
Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia. h. 17-18.
4
Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta:Kencana, 2008) h.6
16
Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan pula mengenai pengertian Hukum Kewarisan, yaitu
hukum yang mengatur tentang pemindahan hak
pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris,menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.5 Sumber Hukum Kewarisan Islam yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi (AlHadits). Ayat-ayat Al-Qur‟an dan Sunnah Nabi yang secara langsung mengatur tentang kewarisan itu adalah sebagai berikut: a. Ayat-ayat al-Qur’an: 1) QS. Al-Nisa/4: 7
Terjemahnya: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabat karib; dan bagian perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.”6 Tentang sebab Asbabun-Nuzul QS. Al-Nisa/4: 7 yaitu: “sebelum Islam masuk ke tengah-tengah masyarakat, kebiasaan orang jahiliah tidak member harta warisan kepada anak perempuan dan anak lakilaki yang belum dewasa. Pada waktu itu seorang sahabat anshar yang bernama aus bin tsabit meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak perempuan dan seorang anak laki-laki yang belum dewasa. Oleh sebab itu datanglah dua orang anak pamannya yang bernama Khalid dan arfathah sebagai ashabah. Kedua anak pamannya tersebut mengambil seluruh harta
5
Cik Hasan Bisri, Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam sistem hukum Nasional. (Jakarta: Wacana Ilmu, 1999) h. 195 6
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 79
17
warisan aus bin tsabit. Peristiwa itu mendorong istri aus untuk dating menghadap rasulullah saw. guna mengadukan permasalahan tersebut. Sehubungan dengan itu rasulullah saw. bersabda: “aku belum tahu apa yang harus aku perbuat”. Rasulullah saw. bersabda demikian karena wahyu tentang masalah itu belum diturunkan dari Allah swt. Sesaat kemudian Allah swt. Menurunkan ayat ke 7-8 sebagai cara membagikan harta warisan menurut Islam. Dengan demikian jelaslah sekarang tentang cara pembagian hak warisan menurut Islam dan adab kesopanannya membagikan hak waris.”7 (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban dalam kitab Fara-idl dari Kalabi dari Abi Shalih dari Ibnu Abbas) 2) QS. Al-Nisa/4: 11
Terjemahnya: “Allah mensyari‟atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibubapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sudah dibayar utangnya. Tentang orang-orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih 7
A. Mudjab Mahali. ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat AlBaqarah-An-Nas. (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002),h. 209.
18
dekat (banyak manfaatnya bagimu) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.” 8 3) QS. Al-Nisa/4: 12
Terjemahnya: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan istriistrimu, jika mereka tidak meninggalkan anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu ada mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utangutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggal seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing di antara saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah yang menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang
8
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 79
19
benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha penyantun.” 9 4) QS. Al-Nisa/4: 13
Terjemahnya: “(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah; barangsiapa taat kepada Allah dan rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai sedangkan mereka kekal di dalamnya dan itulah kemenangan yang besar.”10 5) QS. Al-Nisa/4: 14
Terjemahnya: “Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuannya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam neraka sedangkan ia kekal di dalamnya; baginya siksa yang menghinakan.” 11 Tentang Asbabun Nuzul QS. Al-Nisa/4: 11-14 yaitu: “pada suatu waktu Rasulullah saw. Yang disetai abu bakar Shiddik dating menziarahi jabir bin abdillah, yang ketika itu sedang sakit keras dikampung bani salamah dengan berjalan kaki. Pada waktu Rasulullah saw. Dan abu bakar datang, jabir bin abdillah sedang dalam keadaan tidak sadar. Kemudian Rasulullah saw. Segera mengambil air wudhu dan meneteskan beberapa tetes air wudhu tersebut keatas tubuh jabir bin abdillah, sehingga dia sadar. Kemudian setelah sadar jabir berkata: “wahai Rasulullah apakah 9
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 79-80
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 80
11
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 80
20
yang kamu perintahkan kepadaku tentang harta kekayaan?”. Sehubungan dengan pertanyaan jabir bin abdillah itu allah swt. Menurunkan ayat ke 1114 yang dengan tegas memberikan hukum warisan dalam Islam. 12 (HR. Enam orang Imam hadis dari jabir bin abdillah). 6) QS. Al-Nisa/4: 176
Terjemahnya: “Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah: Allah menfatwakan kepadamu tentang kalalah yaitu jika seseorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai seorang saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkannya; dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara lakilaki dan perempuan, maka bagian seorang laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” 13 Tentang Asbabun Nuzul QS. Al-Nisa/4: 176 yaitu: “pada suatu waktu Rasulullah saw. Menjenguk jabir yang sedang menderita sakit.14 Jabir bin abdillah ra. Berkata, “ayat ini ditunjukkan kepadaku ketika aku sakit, Rasulullah saw. Menjengukku, akupun bertanya, “wahai Rasulullah, bolehkah aku berwasiat kepada para saudara perempuanku dengan sepertiga hartaku?” Rasulullah saw. Menjawab, “boleh.” Kemudian
12
A. Mudjab Mahali. ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat AlBaqarah-An-Nas. H.212 13
14
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 107
A. Mudjab Mahali. ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat AlBaqarah-An-Nas. h. 289
21
beliau pulang. Tak berapa lama, beliau kembali datang dan bersabda, “aku yakin bahwa kamu tidak akan wafat karena sakitmu ini. Allah telah menurunkan wahyu tentang masalahmu ini, yaitu hak waris adalah dua sepetiga bagian dari harta.”15 (HR. Muslim dan Nasa’i). b. Hadits Hadits Nabi Muhammad SAW pada Kitab Fara‟idh Sohih Al Bukhori yang secara langsung mengatur kewarisan adalah: 1) Hadits Nomor 6238
س ٍ س ع َِْ اَ ِت ٍْ ِٔ عَِ ات ِِْ َعثَّا ِ ُٗ َح َّدشََْا ٍُ ْسيِ ٌُ ْت ِِ اِ ْت َسا ِٕ ٍْ ٌَ َح َّدشََْا ٍَُْٕٗةٌ َح َّدشََْا اتِ طَا َُ٘ َٖض تِأ َ ْٕيَِٖا فَ ََا تَقِ ًَ ف َ ِصيَّى هللا َعيَ ٍَْٔ َٗ َسيَّ ٌَ اَ ْى ِحق٘ ْاىفَ َسائ َ ُ قَا َه َزسُْ٘ َه هللا:قَا َه ِِلَْٗ ىَى َز ُج ٍو َذ َم ٍس Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Muslim bin Ibrahim telah menceritakan kepada kami Wuhaib telah menceritakan kepada kami Ibnu Thawus dari ayahnya dari Ibnu 'Abbas mengatakan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Berikanlah bagian fara`idh (warisan yang telah ditetapkan) kepada yang berhak, maka bagian yang tersisa bagi pewaris lelaki yang paling dekat (nasabnya)."16 2) Hadits Nomor 6243
ُ ٍَح َّدشََْا قُرَ ٍْثَُٔ َح َّدشََْا اىَّي :ة ع َِْ اَتًِ ُٕ َس ٌْ َسجَ أََُّّ قَا َه ٍ ْس ع َِْ ا ْت ِِ ِش ِٖا ِ ٍِّب ع َِْ ات ِِْ ْاى َُ َس َ َصيَّى هللاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ فِى َجٍِْ ِِْ اِ ٍْ َسأَ ٍج ٍِ ِْ تَ ِْ ًْ ىَحْ ٍَاَُ َسق ظ ٍٍَِّرًا َ هللا َ َق ِ ضى َزسُْ٘ ُه
15
Ahmad Hatta. Tafsir Qur‟an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah. (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011) h.105 16
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) (Makassar: UNHAS,2013) h. 18
22
ْ ٍَِّضى ىََٖا تِا ْى ُغ َّس ِج ذُ ُ٘ف َ َد فَق َ َتِ ُغ َّس ٍج َع ْث ٍد اَْٗ اَ ٍَ ٍح شُ ٌَّ اِ َُّ ْاى ََسْ أَجَ اىَّرِ ًْ ق ِضى َزسُْ٘ ُه هللا صثَرَِٖا َ صيَّى هللاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ تِأ َ َُّ ٍِ ٍْ َساشََٖا ىِثَِْ ٍَْٖا َٗ َشْٗ ِجَٖا َٗ اَ َُّ ْاى َع ْق َو َعيَى َع َ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Qutaibah telah menceritakan kepada kami Al Laits dari Ibnu Syihab dari Ibnul Musayyab dari Abu Hurairah bahwasanya ia mengatakan; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam menetapkan tentang janin wanita dari Bani lahyan yang keguguran dengan ghurrah (pembayaran diyat dengan satu budak atau budak perempuan), kemudian wanita yang beliau putuskan membayar ghurrah meninggal, maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam memutuskan bahwa warisannya untuk anak laki-lakinya dan suaminya, sedang diyatnya bagi 'ashobahnya.”17 3) Hadits Nomor 6248
َِْ ح ع َ ًص ٍْ ٍِ ع َِْ اَ ِت ِ َح َّدشََْا ٍَحْ َُْ٘ ٍد أَ ْخثَ َسَّا ُعثَ ٍْ ِد هللاِ ع َِْ اِ ْس َسائِ ٍْ َو ع َِْ اَتًِ َح ٍ ِ صاى صيَّى هللاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسيَّ ٌَ اََّّا اَْٗ ىَى تِا َ ِ قَا َه َزسُْ٘ َه هللا:ض ًَ هللاُ َع ُْْٔ قَا َه ِ اَتًِ ُٕ َس ٌْ َسجَ َز َ ٍَ ِْ ََ َْاى َُ ْإ ٍِ ِْ ٍَِْ ٍِ ِْ اَ ّْفُ ِس ِٖ ٌْ ف ك َم ًّّل َ صثَ ِح َٗ ٍَ ِْ ذَ َس َ اخ َٗذَ َسكَ ٍَ ًاًل فَ ََاىُُٔ ِى ََ َ٘اىًِ ع َِِ ْاى َع ضٍَاعًا فَأََّّا َٗىٍُُِّٔ فَ ََلُ ْدعَى ىَُٔ ْاى َنوُّ ْاى ِعٍَا ُه َ َْٗا Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Mahmud telah mengabarkan kepada kami Ubaidullah dari Israil dari Abu Hushain dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliallahu 'anhu mengatakan; Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda: "Saya lebih berhak menanggung urusan orang-orang mukmin daripada mereka sendiri, maka siapa mati dan meninggalkanharta maka hartanya untuk ahli warisnya yang ashabah, dan barangsiapa meninggalkan hutang atau anak yang terlantar, saya walinya,
17
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) h.18
23
maka hendaknya memanggil saya untuk menanggung hutangnya dan anakanaknya."18 4) Hadits Nomor 6244
َِْ َح َّدشََْا تِ ْش ُس ْت ِِ َخاىِ ٍد َح َّدشََْا ٍُ َح ََّ ُد ت ُِْ َج ْعفَ ٍس ع َِْ ُش ْعثَحَ ع َِْ ُسيَ ٍْ َََِ ع َِْ ئِ ْت َسا ِٕ ٍْ ٌَ ع ٌَ َّصيَّى هللاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسي َ ِضى فِ ٍَْْا ٍُ َعا ُذ ْت ِِ َجثَ ٍو َعيَى َع ْٖ ِد َزسُْ٘ َه هللا َ َْاِلَ ْس َ٘ ِد قَا َه ق ُ ََ ٍْ َد شُ ٌَّ قَا َه ُسي ُ ْاَىِّْصْ فَ ىِ َْل ْتَْ ِح َٗ اىِّْص ضى فِ ٍَْْا َٗىَ ٌْ ٌَ ْر ُمسْ َعيَى َع ْٖ ِد َ َاُ ق ِ ف ىِ َْلُ ْخ ٌَ َّصيَّى هللاُ َعيَ ٍْ ِٔ َٗ َسي َ َِزسُْ٘ ِه هللا Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Bisyr bin Khalid telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja'far dari Syu'bah dari Sulaiman dari Ibrahim dari Al Aswad mengatakan; ' Mu'adz bin Jabal memutuskan bagi kami dimasa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam untuk anak perempuan mendapat separoh, saudara perempuan mendapat separoh, ' kemudian Sulaiman mengatakan; 'ia memutuskan ditengah-tengah kami' tanpa menyebut di masa Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam.”19 5) Hadits Nomor 6266
ًِّ اش ًِ ع َِْ اَ ِتً ُٕ َس ٌْ َسجَ َع ِِ اىَّْ ِث ِ َح َّدشََْا اَتُ٘ ْاى َ٘ىِ ٍْ ِد َح َّدشََْا ُش َع ٍْثَحُ ع َِْ َع ِديٍّ ع َِْ اَ ِتً َح ك ٍَ َاًل فَيِ َ٘زشَرَُٔ ٍَ ِْ ذَ َسكَ َم َّّل فَاِىَ ٍَْْا َ صيَّى هللا َعيَ ٍَْٔ َٗ َسيَّ ٌَ قَا َه ٍَ ِْ ذَ َس َ Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abul Walid telah menceritakan kepada kami Syu'bah dari 'Adi dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa meninggalkan harta,
18
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) h. 19
19
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) h.19
24
maka bagi ahli warisnya, dan barangsiapa meninggalkan tanggungan, maka kami yang menjaminnya."20 6) Hadits Nomor 6267
ِِ ب ع َِْ َعيِ ًٍّ ْت ِِ ُح َس ٍْ ِِ ع َِْ َع َْ ِسٗ ْت ٍ ْج ع َِْ ات ِِْ ِشَٖا ِ َح َّدشََْا اَتُ٘ عَا ٍ ٌص ٌِ ع َِْ ات ِِْ ُج َس َصيَّى هللا َعيَ ٍَْٔ َٗ َسيَّ ٌَ قَا َه ًل َ ً َّ ض ًَ هللاُ َع ُْْٖ ََا اَ َُّ اىَّْ ِث ِ ُع ْص ََاَُ عَِ أ ُ َسا ٍَحَ ْت ِِ َذ ٌْ ٍد َز ُ ٌَ ِس )ٍٔز ْاى َُ ْسيِ ٌُ ْاى َنافِ َس َٗ ًَل ْاى َنافِ ُس ْاى َُ ْسيِ ٌَ (ٍرفق عي Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Abu 'Ashim dari Ibnu Juraij dari Ibnu Syihab dari Ali bin Husain dari Amru bin Utsman dari Usamah bin Zaid radliallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, dan orang Kafir tidak mewarisi orang muslim."21 Selain menurut Al-Qur‟an dan Al-Hadist, hukum kewarisan Islam di Indonesia juga bersumber dari Kompilasi Hukum Islam dalam Buku II mengenai Hukum Kewarisan yang mencakup Ketentuan Umum, Ahli Waris, Besarnya Bahagian, Aul dan Rad, Wasiat, dan Hibah. c.Al-Ijma Al-Ijma adalah kaum muslimin menerima ketentuan hukum warisan yang terdapat di Al-Qur‟an dan Al-Sunnah sebagai ketentuan hukum yang harus dilaksanakan dalam upaya mewujudkan keadilan dalam masyarakat. Di dalam Kamus Istilah Fiqih Ijma‟ adalah kesepakatan, kebulatan, pendapat para sahabat
20
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) h. 20 21
Arwini Muslimah, A. Analisis putusan Hakim tentang hak waris karena beda Agama (Studi Kasus putusan Mahkamah Agung, No.16 K/AG/2010) h. 21
25
atau para ulama dalam berijtihad atau suatu hukum.22 Karena telah diterima secara sepakat, maka tidak ada alas an untuk menolaknya. 23 d.Al-Ijtihad Al-Ijtihad yaitu pemikiran para sahabat atau ulama yang memiliki cukup syarat dan kriteria sebagai mujtahid untuk menjawab persoalan-persoalan yang muncul dalam pembagian harta warisan. Ijtihad dalam Istilah Fiqih adalah suatu usaha yang dilakukan para ahli untuk menetapkan suatu hukum syar‟i dilakukan dengan sungguh-sungguh, mengerahkan segala daya kemampuan rohani dan akal pikiran yang rasional, menggali masalah keIslaman dengan berdasarkan AlQur‟an dan Hadits (yang shahih dan hasan) serta dengan Qiyas atau analog yang tepat. 24 Yang dimaksud disini ijtihad dalam menerapkan hukum, bukan untuk mengubah pemahaman atau ketentuan yang ada.25 2. Sebab, Rukun, Syarat dan Penghalang Kewarisan a. Sebab-Sebab menerima warisan Sebab-sebab menerima warisan yang disepakati ada tiga yaitu kekerabatan (hubungan nasab), pernikahan dan wala (pemerdekaan). 1. Hubungan Al-Qarabah (kekerabatan) Hubungan al-qarabah atau disebut juga hubungan nasab (darah) yaitu,setiap hubungan persaudaraan yang disebabkan kelahiran (keturunan), baik
22
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. H.115
23
Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng. FIKIH II. (Makassar: Alauddin Press, 2010)h.179 24
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. H.117
25
Sabri Samin dan Andi Nurmaya Aroeng. FIKIH II. h.179
26
yang dekat maupun yang jauh. Qarabah (Istilah Fiqih) adalah kerabat, sanad keluarga. Ada Qarabah ba’idah (kerabat jauh) dan ada Qarabah Qaribah (kerabat dekat). 26 Hubungan darah adalah menyebabkan terjadinya waris mewarisi. 27 Hubungan nasab ini mencakup anak keturunan mayat (furu al mayt) dan leluhur serta anak keturunannya (furu ushuli). Mereka akan mendapatkan warisan dengan bagian fardh saja seperti ibu, atau fardh dengan ashabah seperti bagian ayah atau ashabah saja seperti saudara laki-laki atau dengan sebab rahm (dzawil arham) seperti paman seibu.28 Allah berfirman dalam QS.Al-Anfal/8:75.
Terjemahnya: “Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di dalam kitab allah. Sesungguhnya allah maha mengetahui segala sesuatu”.29 Dengan demikian, hubungan nasab ini mencakup kepada ayah dan ibu, anak-anak, saudara, paman (saudara lelaki ayah) dan siapa saja yang ada hubungan nasab dengan mereka.30
26
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. h. 271.
27
A Assaad Yunus. Pokok-Pokok Hukum Kewarisan Islam (Faraidh).(Jakarta: PT. AlQushwa, 1992) h. 25. 28
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.20.
29
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya.h. 274.
30
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.21.
27
2. Hubungan Pernikahan Hubungan pernikahan disini adalah hubungan kewarisan yang disebabkan akad nikah yang sah. Dengan sebab akad tersebut, suami mewarisi harta si istri dan si istri mewarisi harta si suami, walaupun belum pernah melakukan hubungan badan dan berkhalwat (tinggal berdua). Hal ini berdasarkan firman Allah swt. Dalam QS. Al-Nisa/4:12.
ُ َْٗىَ ُن ٌْ ِّص . . . ٌْ ف ٍَا ذ ََسكَ اَ ْش َٗا ُج ُن Terjemahnya: “Dan bagimu ( suami-suami ) seperdua dari harta yang di tinggalkan oleh istri-istrimu….”31
. . . ٌْ َُٗىَٖ َُِّ اىسُّ تُ ُع ٍِ ََّا ذ ََس ْمر
Terjemahnya: “…. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan…”32 Para fukaha sepakat bahwa istri yang dicerai suami yang dalam masa Iddah raj’iyah dapat mewarisi (menerima waris harta peninggalan suaminya). Adapun istri yang di Thalak ba’in oleh suami yang dalam keadaan sehat tidak mewarisi harta peninggalan suami walaupun (suami wafat) dalam masa iddah. Namun apabila istri di talak ketika suami sakit parah (karena menghindar untuk memberi waris kepada istri maka para ulama berbeda pendapat. Ulama hanafiyah berpendapat bahwa istri tersebut mewarisi harta suami apabila ketika suami wafat, iddahnya belum habis; bahkan menurut ulama malikiyah istri mewarisi harta suami walaupun sudah habis masa iddahnya dan sudah menikah dengan laki-laki
31
32
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.21.
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.21.
28
lain, sedangkan menurut ulama hambali istri dapat mewarisinya sekalipun sudah habis iddah, asalakan belum menikah dengan laki-laki lain berdasarkan pandangan Abi Salmah Ra. Bahwa abdurrahman bin auf menceraikan isterinya (talak tiga) ketika ia sakit kemudian usman bin affan memberikan warisan abdurrahman kepada isterinya setelah habis masa iddah nya. Sedangkan ulama Syafi‟iyah tidak memperbolehkan memberikan warisan kepada istri yang di talak ba‟in sekalipun iddah belum habis, karena al-baynunah (talak ba‟in) memutuskan hubungan suami istri yang menjadi sebab menerima waris. Adapun nikah fasid yang telah disepakati seperti nikah tanpa saksi, nikah batal seperti nikah mut‟ah tidak termasuk nikah syar‟i maka pernikahan tersebut tidak menjadi sebab saling mewarisi; sedangkan nikah fasid yang mukhtalaf (tidak disepakati) seperti nikah tanpa wali, maka menurut sebagian ulama boleh saling mewarisi antara suami istri karena syubhat al khilaf dan menurut ulama lainnya tidak saling mewarisi karena pernikahan tersebut fasad (cacat hukum).33 3. Hubungan Wala‟ Hubungan wala‟ yang juga disebut wala’ al itqi atau wala’ an-ni’mah yaitu hubungan kekerabatan
(kerabat
hukmi)
yang disebabkan
karena
memerdekakan hambanya, maka ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan hamba tersebut dengan sebab itu si tuan berhak mewarisi hartanya karena ia telah berjasa memerdekakannya dan mengembalikan nilai kemanusiaannya. Hukum Islam memberikan hak waris kepada tuan yang memerdekakannya, bila budak itu tidak meninggalkan ahli waris sama sekali, baik berdasarkan hubungan
33
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.22
29
kekerabatan maupun hubungan pernikahan (suami-istri).
34
Sebaliknya jika
seseorang tuan tidak meninggalkan ahli waris dan tidak meninggalkan ulul arhaam, tetapi meninggalkan seseorang hamba yang ia merdekakan, maka hartanya diberikan kepada hambanya itu sesuai sabda Nabi Muhammad Saw.
ْ َٗىَ ٌْ ىَ ْرس.ً.س اَ َُّ َزج ًُّل ذُ ُ٘فِّ َى َعيَى َع ْٖ ِد َزسُْ٘ ِه هللاِ ص ازشًا اِ ًَّل َع ْثدًا ٍ َع ِِ ا ْت ِِ َعثَّا ِ َٗ ُك ُُُٕٔ َ٘ اَ ْعرَقَُٔ فَا َ ْعطَآُ ٍِ ْى َساش Artinya: “Dari Ibnu abbas: bahwasanya seseorang laki-laki mati di zaman rasulullah saw; dengan tidak meninggalkan ahli waris kecuali seorang hamba yang ia telah merdekakan, maka rasulullah berikan padanya peninggalan itu. 35 (HR.Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah) Pewarisan dengan sebab wala‟ ini berdasarkan hadis Nabi:
ق َ َاَِّ ََا ْاى َ٘ ًَل ُء ىِ ََ ِْ اَ ْعر Artinya: “Sesungguhnya wala‟ itu milik yang memerdekakannya. 36 ” (HR. AlBukhari dan Muslim). Di samping tiga sebab pewarisan tersebut ulama Syafi‟iyah dan ulama malikiyah menambahkan sebab ke empat yaitu jihat al-Islam (hubungan saudara agama) dalam pelaksanaanya apabila tidak ada ahli waris dengan tiga sebab diatas, maka harta warisan atau sisa warisan yang tidak di habiskan oleh ahli waris
34
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 22
35
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.23.
36
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.23.
30
(„Ashabah), maka diserahkan kepada baitul maal (kas negara), berdasarkan hadis Nabi saw.
ُ از َ از )ٓازشُُٔ (زٗآ ات٘ داٗد ٗغىس ِ َٗ ُْْٔ ز ىَُٔ اَ ْعقَ ُو َع ِ َٗ ز ٍَ ِْ ًَل ِ َٗ اَِّّ ََا Artinya: “Aku mewarisi orang yang tidak punya ahli waris, aku menahannya dan aku mewarisinya”37 (HR. Abu Daud dan yang lainnya). Hadis tersebut menjelaskan bahwa Nabi Saw. Sedikitpun tidak mewarisi harta peninggalan mayat untuk dirinya sendiri tetapi digunakan untuk kemaslahatan orang-orang Islam atau disaerahkan ke baitul maal (kas negara). b. Rukun dan Syarat Pewarisan Rukun waris ada tiga yaitu Al-Muwarrits (pewaris), Al-Warits (ahli waris), dan Al-Mauruts (harta warisan). 1. Al-Muwarits (Pewaris) Al-muwarits (pewaris) adalah mayat yang meninggalkan harta atau hak yang dapat diwarisi oleh ahli waris.38 Sedangkan di dalam kompilasi hukum Islam telah dijelaskan di dalam pasal 171.b. bahwa Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.39
37
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.23.
38
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 17.
39
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan.h. 35.
31
2. Al-Warits (Ahli waris) Al-Warits (ahli waris) yaitu orang yang berhak mendapat bagian dari tirkah (warisan) mayat yang dikarenakan ada salah satu sebab yang tiga yaitu ikatan nasab (darah/kekerabatan/keturunan), ikatan perkawinan ataupun ikatan wala‟ (memerdekakan hamba sahaya), walaupun pada kenyataannya ada ahli waris yang tidak mendapat bagian dikarenakan terhijab (terhalang) atau sebab yang melarangnya. 40 Diartikan juga bahwa ahli waris41 adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau perkawinan dengan pewaris, beragama islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. 3. Al-Mauruts (harta warisan) Al-mauruts yang disebut juga dengan tirkah (tarikah), mirats, irst atau turats yaitu suatu yang ditinggalkan oleh mayat, baik berupa harta atau hak yang memungkinkan untuk diwariskan seperti hak qishash, hak menahan benda yang dijual agar harganya (uangnya) diserahkan; hak menahan barang gadai agar hutang gadainya dibayar dan hak utang-piutang lainnya seperti pembayaran kredit, mahar yang belum dibayarkan suami dsb. 42 Diartikan juga bahwa harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang brupa harta benda yang menjadi miliknya atau hak-haknya.43
40
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 18
41
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan.h. 35.
42
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 18
43
Amin Husein Nasution, Hukum Kewarisan.h. 35
32
Adapun syarat pewarisan ada tiga yaitu: a. Wafatnya pewaris Wafatnya pewaris berdasarkan firman Allah swt. Dalam QS.Al-Nisa/4:176
ٌ ْس ىَُٔ َٗىَ ٌد َّٗىَُٔ ا ُ ْخ ُ ْد فَيََٖا ِّص ك َ ف ٍَا ذَ َس َ َاِِّ َْ ُس ٌؤا َٕي َ ٍَل ى Terjemahnya: “ jika seorang meninggal dunia, ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan.”44 Ada tiga kategori matinya pewaris yaitu: 1. Mati hakiki adalah kematian yang benar-benar terjadi yang dapat dilihat dengan penglihatan kasat mata, berdasrkan pendengaran (berita), atau dengan persaksian dua orang yang dapat dipercaya atau dengan bukti lainnya; 2. Mati hukmi yakni kematian atau putusan hakim seperti orang murtad dan orang yang menghilang dan pencariannya sudah melewati batas waktu yang ditentukan, maka ia dihukumi sudah meninggal berdasarkan dugaan yang disejajarkan dengan keyakinan (kepastian); 3. Mati taqdiri yakni kematian yang disebabkan atau diikutkan kepada orang lain misalnya seorang wanita hamil disiksa kemudian lahirlah janin dalam keadaan mati dan ia berhak atas diyat, sebab ia mati karena ibu yang mengandungnya disiksa. Dalam hal ini ulama ikhtilaf, menurut abu hanifah, janin tersebut dapat mewarisi dan juga dapat mewariskan (sebagai pewaris), karena ia diperkirakan masih hidup ketika ibunya meninggal dan ia mati dengan sebab kematian ibunya; jumhur ulama berpendapat bahwa janin tersebut tidak menerima waris karena ia belum tentu hidup dan tidak mewariskan, kecuali harta diyatnya. 44
Mohammad Athoillah,Fikih Mawaris,h.18.
33
b. Hidupnya ahli waris Ahli waris diketahui masih hidup secara hakiki dengan menyaksikan langsung, atau ada berita yang sudah masyhur atau dengan persaksian dua orang yang dapat dipercaya. Adapun secara hukum, contohnya janin mewarisi harta warisan jika jelas keberadaannya ketika orang yang mewariskan hartanya meninggal dunia, walaupun janin tersebut belum bernyawa, dengan syarat bayi tersebut lahir dalam keadaan hidup. Ali-al shabuni menjelaskan bahwa dalam pewarisan disyaratkan adanya kepastian masih hidupnya ahli waris pada waktu pewaris wafat. Berhubung ahli waris adalah orang yang menggantikan kedudukan pewaris dan kepemilikan harta berpindah kepadanya melalui proses pewarisan, maka ketika pewaris wafat ia harus benar-benar dalam keadaan hidup. Dengan demikian, ia benar-benar layak menerima kedudukan sebagai pengganti. Karena, bila sudah mati, ia tidak layak menerima sesuatu, baik melalaui proses kewarisan maupun yang lain. Berdasarkan syarat ini dapat diketahui, bahwa jika ada dua orang atau lebih yang mempunyai hubungan kerabat yang saling mewarisi sifat wafat dan tidak diketahui secara pasti siapa diantara mereka wafat lebih dahulu, maka mereka tidak dapat mewarisi dan tidak memperoleh harta peninggalan yang lain. Seperti ayah dan anak yang wafat dalam kecelakaan pesawat terbang, kapal laut, atau tertimpa bangunan yang roboh, maka mereka tidak saling mewarisi dan tidak berhak memperoleh harta warisan yang lain. Oleh karena itu, tirkah (harta
34
peninggalan mayat) diberikan kepada ahli waris yang benar-benar masih dapat dipastikan masih hidup.45 c. Adanya hubungan kewarisan Makna mengetahui tentang sebab menerima warisan adalah mengetahui hubungan antara si mayat dan ahli warisnya. Apakah ahli waris ada hubungan darah, perkawinan, atau wala‟ (pemerdekaan) dengan pewaris? Ahli waris harus diketahui pasti baik dari kedekatan kekerabatannya, bagian-bagiannya serta hajib (yang menghalangi) dan mahjub (terhalang) untuk mendapat warisan. Ketiga rukun dan syarat tersebut harus terpenuhi. Jika salah satu rukun dan syaratnya tidak ada, maka tidak akan terjadi pewarisan, karena pada dasarnya pewarisan adalah pemindahan kepemilikan harta atau hak (tirkah) seseorang (pewaris) kepada orang lain (ahli waris) karena ada sebab pewarisan (hubungan darah, ikatan perkawinan, dan pemerdekaan). Ahli waris akan mendapatkan warisan dengan bagian pasti (fardh), ashabah ataupun kerahiman (belas kasihan) untuk dzawil arham. Jika ada pewaris dan tidak ada harta peninggalan (mauruts), maka tidak terjadi pewarisan, sekalipun ada ahli waris karena tidak harta yang dibagikan. Ada pewaris dan harta tetapi tidak ada ahli waris karena pewaris hidup sebatang kara maka harta pewaris tidak akan dibagikan dengan cara waris, tetapi diserahkan kepada baitul maal (negara).46
45
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 19
46
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 20.
35
c. Sebab-sebab Penghalang Menerima warisan Sebab-sebab yang menghalangi untuk mendapatkan warisan yang telah disepakati oleh para fukaha ada tiga yaitu: 1. Hamba Sahaya (al-riq) Al-riq secara etimologis adalah al’-ubudiyah artinya penghambaan.47 Alriq dalam terminologi ulama fikih adalah kelemahan secara hukmi yang ada pada diri manusia disebabkan kekafiran. Pada dasarnya manusia adalah makhluk lemah yang disifatkan pada seorang hamba. Dia tidak dapat memiliki sesuatu, bahkan dia dimiliki dan diatur oleh tuannya. Ia tidak dapat mengatur dirinya dan dia tidak bisa bebas, tidak merdeka. Dia dapat di jual, dihibahkan, diwariskan bagaikan harta dia dan yang dimilikinya adalah milik tuannya sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih:
ْ اَ ْى َع ْث ُد َٗ ٍَا ٍَيَ َن ِٓ د ٌَ ُدُٓ ىِ َسٍِّ ِد Artinya: “Hamba sahaya dan apasaja yang dimilikinya menjadi hak milik tuannya”48 Hamba sahaya tidak memiliki kepemilikan harta berdasarkan sabda Nabi saw.
ٍَ ِْ تَا َع َع ْثدًا ىَُٔ ٍَا َه فَ ََاىَُٔ ىِ ْيثَائِ ِع اًِلَّ اَ ُْ ٌَ ْشرَ ِسطَ ْاى َُ ْثرَا ُع Artinya: “Barangsiapa menjual seorang hamba sahaya, maka harta hamba sahaya tersebut menjadi milik si penjual kecuali si pembeli mensyaratkannya.”49
47
48
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 24.
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 24.
36
(Hadis riwayat al-bukhari dan muslim) Jika hamba sahaya tidak mempunyai hak milik, maka ia tidak berhak menerima harta warisan. Kalaupun ia diberi warisan, tentunya harta tersebut milik tuannya yang tidak memiliki hubungan apa-apa dengan si mayat. Seorang hamba jangankan memiliki harta, dia sendiri juga milik tuannya sehingga jika ia mewarisi harta kerabatnya, maka tentu harta tersebut dimiliki oleh tuannya. Hal ini tidak dibenarkan syara karena seorang tuan mendapatkan harta peninggalan yang tidak ada hubungan kekerabatan dengan pewaris atau sebab menerima waris lainnya. Semua jenis hamba sahaya tidak dapat mewarisi harta, baik hamba qinnun (hamba biasa), mudabbar (budak yang dijanjikan merdeka sesudah tuannya wafat) maupun mukatab (budak yang akan dimerdekakan oleh tuannya dengan syarat membayar uang dalam jumlah tertentu). Dia menjadi penghalang penerima waris. 2. Pembunuhan Para fukaha sepakat bahwa pembunuhan merupakan salah satu sebab penghalang seseorang mendapat warisan.50 Ahli waris yang membunuh pewaris tidak akan menerima harta peninggalannya berdasarkan hadis Nabi saw.
ٌ ْس ىِقَاذِ ٍو ٍِ ٍْ َس )از (زٗآ ٍاىل فً اٍ٘اطأ َ ٍَى Artinya: “bagi seorang pembunuh tidak ada hak mewarisi”51
49
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 24.
50
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 25.
37
Dalam hadis lain disebutkan:
)ْٓس ىِيقَاذِ ِو ٍِ ِْ ذِسْ َم ِح ْاى ََ ْقطُْ٘ ِه َش ًْ ٌء(صححٔ اٌِ عٍد اه ٌسٗغٍس َ ٍَى Artinya: “bagi seorang pembunuh tidak ada hak mewarisi sedikitpun dari peninggalan (tirkah) orang yang dibunuh”52 (Hadis ini disahihkan oleh Ibn Abdil Bar dan yang lainnya). Seorang pembunuh tidak akan mendapatkan warisan dari pewarisnya karena tindakan tersebut merupakan perbuatan biadab yang akan mendatangkan kerusakan dan kekacauan di muka bumi ini. Di samping itu, pada dasarnya motivasi pembunuhan adalah untuk segera mendapatkan harta warisan dengan cara diharamskan. Jika pembunuhan tidak menjadi sebab gugurnya hak waris maka tentu akan banyak orang yang melakukan perbuatan tersebut untuk segera mendapatkan warisan dari kerabatnya. Oleh karena pembunuhan tergesa-gesa ingin mewarisi harta melalui jalan pembunuhan, maka gugurlah haknya untuk memperoleh warisan. Sebagaimana diungkapkan dalam qaidah fiqhiyyah:
ِٔ ِّة تِ ِحسْ ٍَا َ ٍَِ ِِ ا ْسرَ ْع َج َو اى َّش ٍْ َئ قَ ْث َو أَ َٗاِّ ِٔ ُعْ٘ ق Artinya: “Barang siapa tergesa-gesa ingin memperoleh sesuatu sebelum waktunya, maka ia terkena sanksi tidak mendapatkannya.”53 Seorang pembunuh tidak akan mewarisi dari ahli waris yang dibunuh. Sebaliknya, ahli waris yang dibunuh akan mendapatkan waris dari orang yang
51
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 25.
52
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 25.
53
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 25.
38
membunuhnya. Misalnya, seorang anak melukai ayahnya dengan luka yang akan menghantarkan kematiannya, kemudian anak tersebut lebih dahulu meninggal, maka ayahnya akan mendapatkan warisan dari anak yang melakukan pembunuhan tersebut. Para ulama madzhab berbeda pendapat tentang jenis pembunuh yang menjadi penghalang menerima warisan, yakni: a. Ulama Hanafiyah Ulama
hanafiyah
berpendapat
bahwa
pembunuhan
yang
dapat
menghalangi seseorang mendapatkan harta warisan adalah pembunuhan yang diharamkan yaitu pembunuhan yang mewajibkan qishash atau kifarat. Pembunuhan yang diharamkan ini meliputi pembunuhan yang disengaja; pembunuhan yang menyerupai disengaja, dan pembunuhan karena salah sasaran, mereka berpegang pada kaidah, “setiap pembunuhan yang mewajibkan kaffarat menggugurkan hak kewarisan. jika tidak mewajibkan kafarat, maka tidak menggugurkan hak kewarisannya.” b. Ulama Malikiyah Ulama Malikiyah berpendapat bahwa pembunuhan yang menggugurkan hak kewarisan adalah pembunuhan yang disengaja saja, baik langsung ataupun tidak langsung, termasuk didalamnya orang yang memerintahkan, menyertai pembunuhan, orang yang menaruh racun pada makanan dan minuman, saksi palsu yang menyebabkan orang dihukum mati pewaris, orang yang memaksa membunuh orang terpelihara darahnya, orang yang menggali sumur bagi pewaris dan orang yang menyimpan batu ditengah jalan yang menyebabkan pewaris
39
meninggal. Adapun pembunuhan karena salah sasaran (al-khatha’) tidak menggugurkan hak menerima waris. c. Ulama Syafi‟iyah Ulama Syafi‟iyah berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan, baik langsung ataupun tidak langsung menggugurkan hak menerima waris, termasuk ada tujuan untuk kemaslahatan atau tidak seperti memukulnya seorang ayah kepada anaknya, seorang suami kepada istrinya, seorang guru pada muridnya, terpaksa atau tidak, membunuh dengan hak ataupun tidak baik dilakukan oleh orang mukalaf atau bukan. Semua pembunuhan pewaris tersebut menghalangi menerima warisan, berdasarkan keumuman hadis “Laysa Lilqatili syaitun” artinya bagi orang yang membunuh pewaris tidak berhak mewarisi sedikitpun. (HR. Tirmidzi dan yang lainnya). d. Ulama Hanabilah Ulama Hanabila berpendapat bahwa pembunuhan yang menggugurkan hak waris adalah pembunuhan terhadap pewaris yang tidak ada hak (bi ghayri haqq) yakni setiap pembunuhan yang menyebabkan hukuman qishash, diyat, atau kafarat atau dengan kata lain jenis pembunuhan sengaja (al’amdu), semi sengaja (syibh al-‘amdu), dan salah sasaran (al-khatha’), termasuk pembunuhan yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila dan orang tidur. 3. Perbedaan Agama Ulama hanafiyah, malikiyah, syafi‟iyah, dan hanabilah sepakat bahwa perbedaan agama antara pewaris dengan ahli waris menjadi penghalang menerima warisan. Seorang muslim tidak dapat mewarisin orang kafir, dan sebaliknya orang
40
kafir tidak dapat mewarisi orang Islam, baik dengan sebab hubungan darah (qarabah), maupun perkawinan (suami istri) Rasulullah saw.54
ُ ًلَ ٌَ ِس )ٍٔز ْاى َُ ْسيِ ٌُ ْاى َنافِ َس َٗ ًَل ْاى َنافِ ُس ْاى َُ ْسيِ ٌَ (ٍرفق عي Artinya: “Orang muslim tidak mewarisi orang kafir, demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang muslim”55 (Muttafaq „alaih) Diriwayatkan dari Ibnu „Amr Ra., bahwasanya Nabi bersabda:
ُ ًلَ ٌَرَ َ٘ا َز ز اَ ْٕ ُو ٍِيَّرَ ٍْ ِِ َش َرى Artinya: “tidak saling mewarisi antara orang-orang yang berbeda agama”56 Sementara itu ada sebagian ulama berpendapat bahwa orang Islam boleh mewarisi harta peninggalan orang kafir, tetapi orang kafir tidak boleh mewarisi harta warisan orang muslim. Mereka berargumentasi bahwa Islam adalah agama yang tinggi dan tidak ada agama lain yang lebih tinggi daripada agama Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Muad‟z bin jabal. Meskipun demikian, yang benar adalah pendapat pertama yang merupakan pendapat jumhur ulama, karena didasarkan pada nash dan hadis yang jelas. Di samping itu ide dasar dari kewarisan adalah saling membantu dan tolong-menolong yang hal ini boleh terjadi pada yang berbeda agama.
54
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 27.
55
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 27.
56
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 27.
41
Adapun selain Islam dikelompokkan menjadi satu agama, yakni kafir. Oleh karena itu, orang yahudi dapat mewarisi harta kerabatnya yang beragama kristen, demikian juga sebaliknya. Orang-orang kafir saling mewarisi satu sama lain meskipun agama dan aliran mereka berbeda-beda, karena mereka sama-sama dalam kesesatan dan kekeliruan. Sebagian ulama berpendapat bahwa murtad (keluar dari agama Islam) merupakan sebab gugurnya hak seseorang memperoleh harta warisan, karena murtad sudah termasuk kategori perbedaan agama. Hanya saja, para ulama telah berijma‟ bahwa orang yang murtad tidak boleh menerima menerima warisan dari kerabatnya yang muslim. Sementara itu mazhab hanafi berpendapat bahwa harta peninggalan orang yang murtad menjadi hak milik ahli warisnya yang beragama Islam. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, dan Ibnu Mas‟ud.57 Para pengikut madzhab Hambali Ra. Memberikan pengecualian dalam dua perkara yaitu: a. Warisan disebabkan wala‟. Perbedaan agama tidaklah mengahalangi mendapatkan harta warisan bahkan tuan yang pernah memerdekakannya berhak menerima harta warisan dari hamba yang dulu pernah ia merdekakan walaupun agamanya berbeda. b. Apabila seorang kafir masuk Islam sebelum pembagian harta warisan, maka ia mendapatkan bagian dari harta warisan kerabatnya yang muslim untuk mengokohkan ke Islamannya.
57
Mohammad Athoillah, Fikih Mawaris.h. 28.
42
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Ra. Juga memberikan pengecualian dalam tiga permasalahan yaitu: a. Adanya perbedaan Islam yang sebenarnya dengan Islam yang pura-pura (munafik), beliau berkata, “tidak ada penghalang saling mewarisi antara seorang muslim dan munafiq. Sebab, seorang munafik dihukumi muslim secara zhahir. b. Seorang muslim mendapat warisan dari kerabatnya yang kafir dzimmi, namun tidak sebaliknya. c. Jika seorang murtad meninggal atau terbunuh dalam keadaan seperti itu, maka kerabatnya yang muslim mendapat bagian harta warisannya. Pendapat paling benar menurut al-Utsmain adalah tidak ada pengecualian dalam maslah ini karena dalil yang menunjukkan larangan saling mewarisi antara pemeluk agama yang berbeda bersifat umum, dan tidak ada satu pun dalil shahih yang mengecualikannya. Hanya saja seorang munafik jika tidak jelas keunafikannya, maka kita wajib menghukuminya secara zhahir, yakni ia dianggap seorang muslim, sehingga ia berhak menerima harta warisan dari kerabatnya yang muslim. Di dalam kompilasi hukum Islam disebutkan bahwa seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dihukum karena: 1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
43
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat. 3. Ahli waris dan bagian-bagiannya. Di dalam al-qur‟an, kata furudh muqaddarah ( yaitu pembagian ahli waris secara fardh yang telah ditentukan jumlahnya) merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu separuh (1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6). Ashabul Al-Furudh adalah sekelompok orang-orang yang menerima bagian harta warisan dengan ketentuan yang telah di tetapkan secara jelas oleh syara‟ atau dengan kata lain dapat disebut dzawil faraid yaitu keberadaan para orang dalam setiap kondisi “peristiwa kewarisan” tanpa dapat memilih atau berkurang dan bertambah. Kelompok orang tersebut adalah ayah, ibu, kakek, nenek shahihah (seterusnya ke atas), anak perempuan, cucu perempuan, pancar laki-laki (seterusnya menurun), saudari kandung, saudari tunggal ayah, saudari tunggal ibu (Ashabul Furudh Nasabiyah : kelompok orang yang berdasar hubungan sedarah) dan dua orang lainnya yakni suami dan istri (Ashabul Furudh Sababiyah : hubungan sebab perkawinan) Bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur‟an untuk Ashab Furudh ini ada enam macam, yaitu : 1. Setengah ( ) 2. Seperempat ( ) 3. Seperdelapan ( ) 4. Dua per tiga ( )
44
5. Sepertiga ( ) 6. Seperenam ( ) A. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Setengah atau Ashab Furudh yang berhak mendapatkan setengah ( ) dari harta waris peninggalan pewaris ada lima, satu dari golongan laki-laki dan empat lainnya dari golongan perempuan.58 Kelima Ashab Furudh tersebut adalah : (1) duda,(2) anak perempuan, (3) cucu perempuan keturunan laki-laki, cicit perempuan keturunan cucu laki-laki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah, (4) saudara perempuan sekandung, (5) saudara perempuan seayah. Penjelasan sebagai berikut : 1. Duda, seorang duda berhak untuk mendapatkan setegah harta warisan, dengan syarat apabila istrinya tidak mempunyai anak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan, baik anak keturunan itu dari duda tersebut ataupun dari bekas dudanyayang terdahulu. selain anak, mencakup pula keturunan janda seterusnya yang tidak terselingi oleh perempuan, yakni cucu laki-laki keturunan anak lakilaki, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, cicit laki-laki keturunan cucu lakilaki dari anak laki-laki, dan seterusnya ke bawah.59 2. Anak perempuan kandung (bukan anak tiri ataupun anak angkat) mendapat bagian setengah dengan dua syarat : • Anak perempuan itu adalah anak tunggal.
58
Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. (Makassar:Alauddin Press, 2013) h. 93.
59
Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. h. 94
45
• Pewaris tidak mempunyai anak laki-laki, baik yang berasal dari ibu anak perempuan tersebut maupun dari janda pewaris yang lain. Dengan kata lain anak perempuan tersebut tidak mempunyai saudara laki-laki satu pun. 3. Seorang cucu perempuan dari pancar laki-laki dan akan mendapat separuh, dari harta pewaris dengan tiga syarat : • Apabila ia tidak mempunyai saudara laki-laki (cucu laki-laki dari anak laki-laki) • Apabila hanya seorang (tidak ada cucu perempuan dari keturunan lakilaki lain) • Apabila pewaris tidak meninggalkan anak perempuan maupun anak lakilaki. Cucu perempuan dari anak laki-laki sama kedudukannya dengan anak kandung perempuan bila anak perempuan tidak ada. Seorang cucu perempuan dari anak laki-laki hanya menjadi penghalang (hijab) bagi saudara laki-laki atau saudara perempuan seibu dari pewaris. Cucu perempuan dari anak laki-laki menjadi terhalang (mahjub hirman) apabila pewaris meninggalkan anak laki-laki atau anak perempuan dua orang atau lebih, kecuali jika cucu perempuan tersebut bersama dengan cucu laki-laki yang sederajat. 4. Saudara perempuan sekandung akan mendapat separuh harta warisan dengan tiga syarat : • Pewaris tidak meninggalkan anak laki-laki, atau cucu laki-laki dari pancar laki-laki • Ia hanya seorang diri (tidak mempunyai saudara) • Pewaris tidak meninggalkan ayah atau kakek. 5. Saudara perempuan seayah memperoleh setengah dengan lima syarat : • Apabila ia hanya seorang diri • Ia tidak mempunyai saudara laki-laki
46
• Pewaris tidak meninggalkan saudara perempuan sekandung • Pewaris tidak meninggalkan ayah atau kakek • Pewaris tidak mempunyai ayah atau kakek, dan tidak pula mempunyai keturunan (anak, cucu, cicit, dan seterusnya), baik keturunan laki-laki ataupun keturunan perempuan, dengan syrat tidak bercampur unsure perempuan di dalamnya. B. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Seperempat atau Ashab Furudh yang berhak mendapat seperempat ( ) bagian dari harta peninggalan pewaris hanya ada dua, yaitu duda dan janda.60 1. Seorang duda berhak memperoleh seperempat warisan istrinya apabila almarhumah istrinya meninggalkan anak atau cucu, baik anak itu dari darah daginganya atau berasal dari suami sebelumnya. 2. Janda mendapat bagian seperempat dari harta peninggalan suaminya, jika almarhum tidak meninggalkan anak atau cucu, baik anak itu lahir dari rahimnya, atau dari rahim istri lainnya. Janda tidak dapat menghalangi (hajib) ahli waris lain, dan juga tidak dapt terhalang total (hajib hirman), dan hanya dapat menjadi hijab nuqshan apabila pewaris meninggalkan anak atau cucu. C. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Seperdelapan atau Ahli waris yang memperoleh bagian seperdelapan dari harta peninggalan hanya istri (seorang istri ataupun lebih) apabila almarhum suaminya
60
Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. h. 97
47
meninggalkan anak atau cucu, baik anak tersebut lahir dari rahimnya atau dari rahim istri yang lain.61 D. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Dua Per Tiga atau Ahli waris yang berhak mendapat
bagian dari harta peninggalan ada
empat, yang terdiri dari perempuan, yaitu : 1. Dua orang atau lebih anak perempuan. Dua anak perempuan atau lebih, menghijab cucu perempuan dari anak laki-laki, kecuali cucu perempuan dari anak laki-laki itu bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki pewaris, maka mereka memperoleh sisa dengan dua berbanding satu. Seorang anak perempuan atau lebih, menghijab saudara seibu baik lakilaki maupun perempuan. 2. Dua orang atau lebih cucu perempuan dari anak laki-laki, dengan syarat: a. Pewaris tidak meninggalkan anak baik laki-laki maupun perempuan. b. Pewaris tidak mempunyai dua orang anak perempuan c. Dua atau lebih cucu perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki dari anak laki-laki pewaris. Dasar hukum yang digunakan sama dengan dalil yang diterapkan kepada anak perempuan, oleh karena cucu perempuan dari pancar laki-laki dipandang sama dengan anak perempuan, apabila tidak ada anak perempuan. 3. Dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung, dengan syarat : a. Pewaris tidak meninggalkan anak, laki-laki maupun perempuan, atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan dari pancar laki-laki. b. Pewaris tidak pula meninggalkan ayah atau kakek shahih
61
Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. h. 98
48
c. Dua saudara perempuan itu tidak bersama dengan saudara laki-laki sekandung pula. 4. Dua orang atau lebih saudara perempuan seayah, dengan syarat : a. Pewaris tidak meninggalkan anak, laki-laki maupun perempuan, atau cucu, baik laki-laki maupun perempuan dari pancar laki-laki. b. Pewaris tidak pula meninggalkan ayah atau kakek shahih. c. Dua saudara perempuan seayah itu tidak bersama dengan saudara lakilaki seayah pula. d. Pewaris tidak meninggalkan saudara kandung (laki-laki maupun perempuan) E. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Sepertiga atau Ahli waris Ashab Al-furud yang berhak mendapat bagian sepertiga hanya dua orang, yaitu ibu, dan dua saudara (baik laki-laki atau perempuan) yang seibu. 1. Seorang ibu berhak memperoleh sepertiga bagian dari harta dengan syarat : • Pewaris tidak meninggalkan anak atau cucu laki-laki dari pancar laki-laki • Pewaris tidak meninggalkan pula dua saudara atau labih (laki-laki atau perempuan) baik saudara sekandung, atau seayah, atau seibu. Ibu masih mempunyai bagian yang disebut dengan istilah tsuluts al-baaqi (
dari sisa). Bagian ibu ini dinamakan masalah al-Gharrawain atau masalah
Umariatain. Bagian ibu ini merupakan hasil ijtihad Umar bin Khattab yang selanjutnya diikuti oleh sejumlah ulama, kecuali Ibnu Abbas yang berpendapat bagian ibu tetap
dari seluruh warisan.
Ibu tidak dapat terhalang total (mahjub hirman), kecuali dapat berkurang bagiannya (mahjub nuqshan) apabila pewaris meninggalkan anak atau cucu ataukah saudara dua orang atau lebih.
49
Ibu menjadi hajib (penghalang) bagi nenek (ibunya ibu) seterusnya ke atas, dan nenek (ibunya ayah) seterusnya ke atas. 2. Saudara seribu (baik laki-laki maupun perempuan) berhak memperoleh sepertiga dengan syarat : • Bila pewaris tidak meninggalkan anak (baik laki-laki ataupun perempuan), atau cucu dari pancar laki-laki, juga tidak mempunyai ayah atau kakek. • Jumlah saudara seibu itu dua orang atau lebih.
F. Ashab Furudh Yang Berhak Mendapat Seperenam atau Adapun Ashab al-Furudh yang berhak mendapat seperenam bagian dari harta peninggalan ada tujuh orang, yaitu : ayah, kakek (bapak dari ayah), ibu, cucu perempuan pancar laki-laki, saudara perempuan seayah, saudara seibu, dan nenek shahih.62 1. Ayah Ayah akan mendapat seperenam ( ) bagian dari harta peninggalan apabila pewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Akan tetapi bila pewaris meninggalkan anak perempuan atau cucu permpuan pancar laki-laki, maka ayah memperoleh seperenam ditambah sisa setelah anak atau cucu perempuan tersebut mengambil bagiannya. Ayah dapat menjadi hajib bagi kakek shahih, nenek shahih, saudara, keponakan, paman, dan saudara sepupu. 2. Kakek (bapak dari ayah) atau disebut kakek shahih
62
Abdillah Mustari. Hukum Kewarisan Islam. h.101
50
Kakek Shahih akan mendapat
bagian dari harta peninggalan apabila
pewaris mempunyai anak laki-laki atau cucu laki-laki dari anak laki-laki. Akan tetapi bila pewaris meninggalkan anak perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, maka kakek memperoleh
ditambah sisa setelah anak atau cucu
perempuan tersebut mengambil bagiannya. Ia menduduki status ayah apabila tidak ada ayah atau saudara laki-laki/perempuan sekandung atau seayah. Kakek shahih dapat menjadi hajib bagi saudara seibu, keponakan, paman, dan saudara sepupu (misan). Dasar hukum kedudukan kakek ini sama dengan dasar hukum ayah, juga disebutkan oleh Rasulullah SAW, yang artinya “telah berkata Ma‟qil bin Yassar al-Muzani bahwa Rasulullah telah hukumkan kakek dapat ” (HR.Ahmad dan Abu Daud) 3. Ibu Ibu akan mendapat
apabila :
• Pewaris mempunyai anak laki-laki atau perempuan, dan atau cucu lakilaki dari pancar laki-laki • Bila pewaris meninggalkan dua orang saudara atau lebih, baik saudara laki-laki ataupun perempuan, baik sekandung, seayah, maupun seibu. 4. Cucu perempuan dari anak laki-laki seorang atau lebih akan mendapat bagian
apabila pewaris meninggalkan seorang anak perempuan yang
memperoleh dan cucu perempuan tersebut mendapat
sebagai pelengkap .
Adapun dasar hukum diambil dari hadits Nabi SAW yang artinya “Telah berkata „Abdillah bin Mas‟ud : Rasulullah SAW, pernah hukumkan untuk seorang anak perempuan separuh, dan untuk seorang cucu perempuan
51
buat mencukupkan dan selebihnya itu buat saudara perempuan” (HR. AlJamaah kecuali Muslim dan al Tirmidzi dari Ibnu Mas‟du). 5. Saudara perempuan seayah memperoleh dari harta peninggalan pewaris apabila pewaris mempunyai seorang saudara kandung perempuan. Hal ini hukumnya sama dengan keadaan cucu perempuan dari pancar laki-laki bersama dengan anak perempuan. Saudara perempuan seayah terhalang (mahjub) oleh karena adanya salah satu di antara anak laki-laki, cucu laki-laki dari pancar laki-laki, ayah, saudara laki-laki, sekandung, dan atau dua orang atau lebih saudara perempuan sekandung. 6. Saudara laki-laki atau perempuan seibu memperoleh bagian seperenam dengan syarat : a. Hanya seorang diri b. Pewaris tidak meninggalkan ahli dari unsurushul al-mayyit (hubungan nasab garis lurus ke atas seperti ayah, kakek dan seterusnya) atau furu‟ al mayyit (hubungan nasab garis lurus ke bawah seperti anak, laki-laki ataupun perempuan). 7. Nenek Shahih Nenek shahih adalah nenek yang berhubungan nasabnya sampai kepada pewaris dan tidak diselingi oleh kakek ghairu shahih, nenek tersebut adalah : a. Nenek sebelah ibu, mendapat
jika pewaris tidak meninggalkan ibu
b. Nenek sebelah ayah, seorang atau lebih dapat meninggalkan ayah dan tidak pula meninggalkan ibu.
jika pewaris tidak
Adapun dasar hukum diambil dari sebuah hadits Nabi saw, yang artinya: ”Dari Buraidah : Bahwasanya Nabi saw., telah diberi bagi nenek , apabila tidak ada ibu” (HR. Abu Dawud)
52
B. Sistem Kewarisan Adat 1. Harta Warisan menurut Adat Menurut pengertian umum
warisan adalah semua harta benda yang
ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia (pewaris) baik yang sudah terbagi maupun yang belum terbagi atau memang tidak terbagi. Jadi, harta warisan ini adalah harta kekayaan seorang pewaris karena telah wafat dan apakah harta kekayaan orang itu akan dibagi atau tidak dibagi. Harta yang dapat dibagi maksudnya harta warisan itu terbagi-bagi kepemilikannya kepada para ahli warisnya, dan suatu pemilikan atas harta warisan tidak berarti pemilikan mutlak perseorangan tanpa fungsi sosial. Adat (Istilah Fiqih) adalah himpunan kaidah sosial dalam masyarakat luas, tidak termsuk hukum syara‟ (Agama), kaidah-kaidah tersbut ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seoleh kehendak atau peraturan warisan nenek moyang mereka, bahkan seolah suatu keharusan yang bersumber dari tuhan. 63 Menurut hukum adat suatu pemilikan atas harta warisan masih dipengaruhi sifat kerukunan dan kebersamaan, masih dipengaruhi oleh rasa kebersamaan keluarga dan keutuhan tali persaudaraan. Dilingkungan masyarakat adat yang asas pewarisannya individual, apabila pewaris wafat maka para ahli waris berhak atas bagian warisannya. Disamping itu, ada warisan yang tidak dapat dibagikan penguasaan atau kepemilikannya
63
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. h.3
53
karena sifat benda, keadaan dan gunanya tidak dapat dibagi dan dimanfaatkan untuk kepentingan bersama.64 Macam-macam harta warisan dalam Adat yaitu sebagai berikut 1.
Harta Asal Harta asal adalah semua harta kekayaan yang dikuasai dan dimiliki oleh
pewaris sejak pertama masuk kedalam perkawinan dan kemungkinan bertambah sampai akhir hayatnya. Harta asal itu terdiri dari : a. Harta Peninggalan Harta peninggalan di kelompokkan menjadi dua yaitu Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi dan harta peninggalan yang dapat terbagi. 1. Peninggalan yang tidak dapat dibagi Biasanya berupa benda pusaka peninggalan turun-temurun dari leluhur dan merupakan milik bersama keluarga. 2. Peninggalan yang dapat terbagi Akibat adanya perubahan-perubahan dari harta pusaka menjadi harta kekayaan keluarga serumah tangga yang dikuasai dan dimiliki oleh ayah dan ibu karena melemahnya pengaruh kekerabatan, maka dimungkinkan untuk terjadinya pembagian, bukan saja terbatas pembagian hak pakai, tetapi juga pembagian hak miliknya menjadi perseorangan. Terbaginya harta peninggalan dapat terjadi ketika pewaris masih hidup atau sesudah wafat. Ketika pewaris masih hidup terdapat
64
h.156.
Anandasasmita, Komar. Pokok-pokok Hukum Waris. (Bandung:IMNO Unpad)1984,
54
pemberian dari sebagian harta yang akan ditinggalkan pewaris kepada ahli waris untuk menjadi bekal kehidupan para ahli waris selanjutnya. 2. Harta Bawaan Harta bawaan dapat berarti harta bawaan dari suami maupun isteri, karena masing-masing suami dan isteri membawa harta sebagai bekal ke dalam ikatan perkawinan yang bebas dan berdiri sendiri. Harta asal dapat di lihat sebagai harta bawaan yang isinya berupa harta peninggalan (warisan). Harta bawaan yang masuk menjadi harta perkawinan yang akan menjadi harta warisan. 3. Harta Pemberian Harta pemberian adalah juga harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih payah bekerja sendiri melainkan karena hubungan atau suatu tujuan. Pemberian dapat dilakukan oleh seorang atau sekelompok orang kepada seseorang atau suami isteri bersama atau sekeluarga rumah tangga. Pemberian dapat terjadi secara langsung dapat pula melalui perantara, dapat berupa benda bergerak maupun tidak bergerak. Dapat pula terjadi pemberian sebelum terjadinya pernikahan atau setelah berlangsungnya pernikahan. 4. Harta Pencarian Harta Pencarian adalah harta yang didapat suami isteri selama perkawinan berlangsung berupa hasil kerja suami ataupun isteri.
55
5. Hak Kebendaan Apabila seseorang meninggal dimungkinkan pewaris mewariskan harta yang berwujud benda, dapat juga berupa hak kebendaan. Sesuai dengan sistem pewarisannya ada hak kebendaan yang dapat terbagi ada pula uyang tidak terbagi. Harta yang dapat diwariskan menurut hukum waris adat adalah harta yang berwujud benda dan harta yang tidak berwujud benda. Harta yang berwujud benda ialah seperti sebidang tanah, bangunan rumah, alat perlengkapan pakaian adat, barang perhiasan wanita, perabot rumah tangga, alat-alat dapur, alat transportasi seperti sepeda, gerobak, atau sepeda motor, mobil, kemudian alat-alat pertanian, senjata (termasuk yang berasal dari harta pusaka), harta bersama (pencarian bersama) orang tua, istri, atau suami, harta bawaan, ternak dan sebagainya. Sedangkan yang dimaksud dengan harta tidak berwujud adalah seperti berupa kedudukan atau jabatan adat, gelar-gelar (adat), hutang-hutang, ilmu-ilmu gaib, pesan keramat atau perjanjian dan sebagainya.65 2. Sistem Keturunan Istilah sistem keturunan sangat erat hubungannya dengan sistem kewarisan.
Sistem keturunan
pada garis besarnya mengatur mengenai cara
penarikan garis keturunan yang menentukan siapa kerabat dan bukan kerabat.
65
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: Refika Aditama,2009) h.76.
56
Cara penarikan garis ini berbeda-beda pada setiap daerah. Penarikan garis keturunan yang berbeda-beda tersebut selanjutnya akan menentukan bentuk perkawinan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh para anggota masyarakat adatnya. Demikian pula dalam hukum kewarisannya siapa pewaris dan ahli waris, serta cara atau sistem kewarisannya juga sangat ditentukan oleh sistem keturunan
yang berlaku pada masing-masing masyarakat adat
tersebut.Kita dapat membagi jenis-jenis keturunan berdasarkan sifatnya, yakni: Garis keturunan lurus keatas dan kebawah, yakni seseorang yang merupakan langsung keturunan dari orang yang lain, misalnya antara bapak dan anak atau antara kakek, bapak dan anak, cucu, cicit dan seterusnya lurus kebawah. Garis keturunan menyimpang atau bercabang, yakni apabila antara kedua orang atau lebih itu terdapat adanya ketunggalan leluhur, misalnya bapak ibunya sama (saudara sekandung), atau sekakek nenek dan lain sebagainya.66 Penentuan garis keturunan ini adalah bagian dari sistem kekerabatan yang menunjukkan apakah seseorang tersebut masuk kedalam keluarga yang sama dengan ibu dan bapaknya atau hanya dengan salah satu pihak, ibu atau bapak saja. Dalam masyarakat adat, sistem kekerabatan dalam arti penarikan garis keturunan tersebut, dapat dibagi menjadi dua, yakni menarik garis keturunan dari salah satu pihak saja (unilateral), dan menarik garis keturunan dari kedua belah pihak (Bilateral). Selanjutnya unilateral dapat dibedakan menjadi dua pula, yakni
66
4.
Muhammad Bushar, Pokok-pokok Hukum Adat. (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), h.
57
yang menarik garis keturunan hanya dari pihak laki-laki (Patrilineal) saja, dan yang menarik garis keturunan hanya dari pihak perempuan (Matrilineal) saja.67 a. Patrilineal Sistem kekerabatan Patrilineal ialah sistem kekerabatan yang penghubung garis keturunannya adalah laki-laki, dan anak yang lahir dalam sistem ini hanya menjadi keluarga dari ayah dan segenap keluarga ayahnya atau satu klan dengan ayah. Bentuk penarikan garis keturunan hanya dari pihak laki-laki seperti ini disebut juga Patrilineal murni seperti yang berlaku di tanah Batak. Bentuk lain dari sistem kekerabatan Patrilineal adalah Patrilineal beralihalih (alternerend). Pada Patrilineal beralih-alih penghubung garis keturunan dapat berganti-ganti, yakni bisa dari pihak laki-laki atau pihak perempuan. Dengan demikian sifatnya tidak murni menarik garis penghubung dari pihak laki-laki. b. Matrilineal Dalam sistem kekerabatan Matrilineal, penghubung garis keturunan dari suatu keluarga adalah perempuan. Anak yang lahir dalam perkawinan ini hanya menjadi keluarga dari ibu dan segenap keluarga ibunya atau dengan perkataan lain anak tersebut hanya akan satu klan dengan ibu dan keluarga ibunya saja. Hubungan antara anak dengan keluarga dari pihak ibu jauh lebih erat dan juga dianggap lebih penting daripada hubungan antara anak dengan keluarga pihak
67
Soebakti Poesponoto. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. (Jakarta:Pradnya Paramita. 1960. h.125.
58
bapak.
Karena kelak anak-anak yang lahir dalam perkawinan pada sistem
kekerabatan Matrilineal akan menjadi penerus klan ibunya. Prinsip keturunan adalah bahwa ikatan-ikatan kekerabatan dasar berjalan melalui garis wanita. kaum wanitalah, bukan laki-laki, yang merupakan penerus kelompok matrilineal.68 c. Bilateral Pada sistem kekerabatan Bilateral atau Parental, penarikan garis keturunan dilakukan dari kedua belah pihak yakni melalui garis ayah dan ibu. Setelah perkawinan, suami dan istri secara bebas memutuskan dimana mereka akan bertempat tinggal. Kemudian anak yang lahir dari bentuk perkawinan dalam sistem Bilateral ini akan masuk kedalam keluarga ayah dan ibu serta segenap keluarga ayah dan ibunya secara serentak. 3. Sistem Kewarisan Dalam hukum waris adat disebutkan tiga macam sistem kewarisan, yaitu: sistem kolektif, sistem mayorat, dan sistem individual. Lebih jelas masing-masing sistem kewarisan tersebut dijelaskan berikut ini: a. Sistem Pewarisan Kolektif Yang dimaksud dengan sistem kolektif adalah apabila para ahli waris mendapat harta peninggalan yang diterima mereka secara kolektif (bersama) dari pewaris yang tidak terbagi-bagi secara perorangan.69
68
Mulyani Rasyid, Antroplogi Hukum, (Makassar: tp. 2015) h. 72
59
Pewarisan dengan sistem kolektif adalah dimana harta peninggalan diteruskan dan dialihkan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris sebagai kesatuan yang tidak terbagi penguasaan dan kepemilikannya. Setiap ahli waris berhak untuk mengusahakan dan menggunakan serta mendapatkan hasil dari harta peninggalan tersebut. Cara penggunaan untuk kepentingan dan kebutuhan masing-masing ahli waris diatur bersama atas musyawarah mufakat oleh para ahli waris yang berhak atas harta peninggalan tersebut. Ada kemungkinan sistem kewarisan kolektif ini berubah ke sistem kewarisan individual, apabila para ahli waris menghendakinya. Kebaikan dari sistem waris secara kolektif ini adalah apabila fungsi harta warisan tersebut diperuntukkan untuk kelangsungan hidup keluarga tersebut untuk masa sekarang dan masa yang akan datang, tolong menolong atara yang satu dengan yang lain dibawah pimpinan kepala kerabat yang bertanggun jawab penuh untuk memelihara, membina dan mengembangkan. Kelemahan sistem waris kolektif adalah menumbuhkan cara berfikir yang kurang terbuka bagi orang luar. Karena tidak selamanya suatu kerabat memiliki pemimpin yang dapat diandalkan dan aktivitas hidup yang mulai berkembang dari ahli waris. b. Sistem Pewarisan Mayorat Yang dimaksud dengan sistem mayorat adalah apabila harta pusaka yang tidak terbagi-bagi dan hanya dikuasai oleh anak tertua, artinya hak pakai, hak mengelolah, dan hak memungut hasilnya dikuasai oleh anak tertua dengan hak
69
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h.74.
60
dan kewajiban mengurus dan memelihara adik-adiknya yang laki-laki dan perempuan hingga mereka dapat hidup mandiri.70 Sistem pewarisan mayorat sebenarnya termasuk dalam kewarisan yang bersifat kolektif, tetapi penerusannya dan pengalihan hak penguasaan atas harta warisan yang tidak terbagi itu dilimpahkan kepada anak tertua yang bertugas sebagai pemimpin yang menggantikan kedudukan ayah atau ibu sebagai kepala keluarga. Anak tertua sebagai penerus tanggung jawab orang tua yang telah wafat, wajib mengurus dan memelihara saudara-saudaranya yang lain terutama bertanggung jawab atas harta warisan dan kehidupan adik-adiknya yang masih kecil sampai mereka dapat memiliki rumah tangga sendiri dan berdiri sendiri dalam suatu wadah kekerabatan mereka yang turun-temurun. Sama halnya dengan sistem kolektif yang dimana setiap ahli waris dari harta bersama tersebut memiliki hak memakai dan menikmati harta tersebut secara bersama-sama. Kelemahan dan kelebihan sistem pewarisan secara mayorat ini terdapat pada kepemimpinan anak tertua dimana dalam hal ini kedudukannya sebagai pengganti orang tua yang telah wafat dalam mengurus harta kekayaannya dan memanfaatkannya guna kepentingan seluruh ahli waris. Anak tertua yang memiliki tanggung jawab penuh akan dapat mempertahankan kautuhan dan kerukunan keluarganya sampai seluruh ahli waris dapat membentuk keluarga sendiri.
70
Dewi Wulansari. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h.75.
61
c. Sistem Kewarisan Individual Yang dimaksud dengan sistem individual ialah apabila harta warisan dibagi-bagi dan dapat dimiliki secara perorangan sebagai hak milik yang berarti setiap ahli waris berhak memakai, mengolah, dan menikmati hasilnya atau juga mentransaksikan, terutama setelah pewaris wafat.71 Pewarisan dengan sistem individual atau perseorangan adalah sistem pewarisan dimana setiap waris mendapatkan pembagian untuk dapat menguasai dan atau memiliki harta warisan menurut bagiannya masing-masing. Setelah harta warisan itu
dibagi, maka masing-masing ahli waris dapat menguasai dan
memiliki bagian harta warisannya untuk diusahakan, dinikmati maupun dijual kepada sesama ahli waris, anggota kerabat, tetangga ataupun orang lain. Sistem ini banyak berlaku di kalangan sistem kekerabatan Parental, atau dikalangan masyarakat yang kuat dipengaruhi hukum Islam. Adapun faktor yang menyebabkan pembagian sistem individual ini dilakukan, yaitu karena tidak ada lagi yang ingin memiliki harta secara bersama, karena para ahli waris yang tidak lagi berada dalam satu lingkungan yang sama atau dirumah orang tua dan masingmasing para ahli waris sudah berpencar sendiri-sendiri. Kebaikan sistem pewarisan secara individual adalah dengan kepemilikan masing-masing ahli waris, maka dapat dengan bebas menguasai dan memiliki harta bagiannya untuk
71
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h.75.
62
dipergunakan sebagai modal kehidupannya tanpa dipengaruhi ahli waris yang lain. Kelemahan dari sistem pewarisan secara individual ini adalah pecahnya harta warisan dan merenggangnya tali kekerabatan yang dapat menimbulkan hasrat ingin memiliki kebendaan secara pribadi dan mementingkan diri sendiri. Sistem pewarisan individual ini mengarah pada nafsu yang bersifat individualistis dan matrealistis. Yang mana akan menyebabkan timbulnya perselisihan antara para ahli waris. Demikianlah sistem kewarisan dalam hukum waris adat, namun dalam kenyataannya terlihat juga bahwa adakalanya satu keluarga dalam menentukan sistem kewarisan menggunakan sistem campuran yang mengambil ketentuan dari ketiga sistem kewarisan diatas.72
72
Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, h.76.
BAB III METODE PENELITIAN A. Jenis dan Lokasi Penelitian Menentukan jenis penelitian sebelum terjun ke lapangan adalah sangat penting. Sebab jenis penelitian merupakan paying yang akan digunakan sebagai dasar utama pelaksanaan riset. Oleh karenanya penentuan jenis penelitian didasarkan pada pilihan yang tepat karena akan berimplikasi pada keseluruhan riset. Sugiyono menyatakan pada penelitian kualitatif, pengumpulan data di lakukan pada natural setting dan teknik pengumpulan data lebih banyak pada observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan dokumentasi.1 Jenis penilitian yang digunakan adalah Penelitian lapangan (Field Research) Kualitatif. Penelitian lapangan (field research) dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau sebagai metode untuk mengumpulkan data kualitatif.2 Kirk dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia
baik dalam kawasannya maupun
dalam peristilahannya.3
1
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D 2010), h. 63. 2
(Bandung: Alfabeta,
Lexy J. Moeleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006) h.26 3
Lexy J. Moeleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, .h.4
63
64
Sedangkan sifat penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Data yang dikumpulkan adalah berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.4 Metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran, ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. Dalam penelitian ini, peneliti akan berusaha mendeskripsikan atau menganalisis pandangan hukum Islam serta dampak yang ditimbulkan tentang fenomena yang ada di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. tentang Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa tersebut. Sesuai dengan latar belakang serta rumusan masalah yang sudah diuraikan sebelumnya, maka dapat dinyatakan bahwa penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Sedangkan jenis penelitian kualitatif merupakan penelitian yang datanya dikumpulkan melalui penelitian yang menghasilkan data deskirptif berupa hasil wawancara, dokumen dan fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat Adat setempat. Oleh sebab itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan suatu gambaran yang utuh dan terorganisir dengan baik tentang kompetensikompetensi tertentu, dengan tujuan peneliti ingin memperoleh pemahaman yang
4
Lexy J. Moeleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, .h.11
65
mendalam di balik fenomena yang berhasil didapat peneliti. Sehingga penelitian ini dapat memberikan kevalidan terhadap hasil penelitian. Penelitian ini menjelaskan bagaimana Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar serta dampak yang ditimbulkan dari sistem pembagian tersebut. Di katakan penelitian deskriptif, karena dalam penelitian ini yang ingin di peroleh adalah gambaran yang lebih jelas tentang situasi-situasi sosial dengan memusatkan pada aspek-aspek tertentu dan sering menunjukkan pengaruh pada berbagai variabel.5 Serta mencari informasi yang akurat dan mencari fakta-fakta yang terjadi di lapangan kemudian menarik sebuah kesimpulan. Sedangkan lokasi penelitian dilaksanakan di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, dalam hal ini masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong. Pilihan lokasi penelitian tersebut di dasarkan pada pertimbangan penulis bahwa desa tersebut mempunyai sistem pembagian harta warisan yang sangat berbeda dengan Hukum Kewarisan Islam. Masyarakat Islam Desa Palalakkang Kecamatan Galesong memakai sistem pembagian harta warisan secara hukum Adat atau kebiasaan yang turun temurun dari nenek moyangnya. B. Pendekatan Penelitian Adapun metode pendekatan penelitian yang akan di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
5
Riduan, Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian (Bandung: Alfabeta, 2009),
h. 65.
66
a. Pendekatan Syar’i, yaitu pendekatan yang menelusuri pendekatan syariat Islam seperti Al-Qur’an dan hadis yang relevan dengan masalah yang dibahas. b. Pendekatan legalitas formal adalah Landasan hukum, yaitu pendekatan yang merujuk pada perangkat perundang-undangan yang mengatur tentang masalah yang dibahas. c. Pendekatan Sosiologis, ialah peneliti menggunakan logika-logika dan teori sosiologi baik teori klasik maupun modern untuk menggambarkan fenomena sosial keagamaan terhadap fenomena lain. 6 Yang berkaitan dengan masalah yang dibahas. C. Sumber Data
Adapun sumber data yang di gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari narasumber di lokasi penelitian yaitu Masyarakat Islam Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Sumber data primer ini adalah hasil dari wawancara terhadap pihak-pihak yang mengetahui atau menguasai permasalahan yang akan dibahas yang di dapat langsung dari lokasi penelitian. b. Data Sekunder Data sekunder merupakan semua bahan yang memberikan penjelasan mengenai sumber data primer, seperti Al-Qur’an dan Hadist, peraturan 6
h.100
Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,2002)
67
perundang-undangan (KHI), buku-buku, jurnal-jurnal, dan literatur lain yang ada hubungannya dengan skripsi ini. D. Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, metode pengumpulan data merupakan hal yang utama karena untuk mendapatkan data yang akurat. Selain itu, tanpa metode pengumpulan data peneliti tidak akan mendapatkan data yang memenuhi standar data yang diharapkan. Maka dari itu penulis melakukan penelitian dengan melalui liberary research dan field research. Penelitian pustaka atau liberary research, dengan ini peneliti berusaha menelusuri dan mengumpulkan bahan tersebut dari buku-buku dan perundangundangan (KHI) yang berkaitan dengan sistem pembagian harta warisan pada umumnya. Bahan-bahan hukum yang relevan dengan permasalahan tersebut yang diharapkan dapat memberikan petunjuk dan pemahaman tentang pembagian warisan. Jenis penelitian ini adalah
penelitian lapangan atau field research,
penelitian ini dilakukan dengan cara antara lain : 1. Observasi Observasi yaitu pengamatan langsung yang dilakukan secara sistematis dan terbuka. Metode ini penulis pergunakan dalam mengamati kasus-kasus dampak dari Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
68
2. Interview atau wawancara Interview atau wawancara yaitu penelitian yang dilakukan dengan tanya jawab. Dalam pelaksanaannya, penulis mengadakan tanya jawab terbuka dan bebas tanpa disiapkan jawabannya lebih dahulu. Dalam hal ini penulis memperoleh dari beberapa data informan secara langsung melalui wawancara dengan responden atau informan. Adapun informan dalam penelitian ini yakni, tokoh masyarakat, serta para ahli waris yang mengalami kasus pembagian harta warisan. E. Instrumen Penelitian Jenis penelitian yang dipilih adalah penelitian kualitatif yang menuntut peneliti memahami secara langsung dan mendalam terhadap fenomena yang ada di masyarakat. Dalam penelitian kualitatif, yang menjadi instrumen penelitian adalah peneliti itu sendiri. Seorang peneliti haruslah memiliki kemampuan terhadap pemahaman metode penelitian kualitatif, penguasaan wawasan terhadap bidang yang diteliti, kesiapan peneliti untuk objek penelitian. Peneliti sebagai instrumen penelitian berfungsi menetapkan fokus penelitian, memilih informan sebagai sumber data, melakukan pengumpulan data dalam hal ini peneliti memahami teknik penelitian data sehingga bisa memberikan kesimpulan atas temuannya. Dengan demikian, peneliti selain harus memiliki pengetahuan tentang metode penelitian kualitatif, juga harus disertai dengan alat ukur yang membantu dalam proses penelitian. Adapun instrument penelitian atau alat yang bisa membantu yaitu berupa notebook, konsep pertanyaan atau pedoman wawancara,
69
handphone sebagai alat untuk merekam yang bisa memuat segala hasil wawancara dari para informan, dengan mendengarkan keterangan dengan sumber data dan kamera. F. Tekhnik Pengolahan dan Analisis Data Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara atau bahan-bahan lain untuk menghindari banyaknya kesalahan dan mempermudah pemahaman. Pada bagian ini dikemukakan teknik pengelolaan dan analisis data yang digunakan. Analisis data kualitatif (Bogdan dan biklen, 1982) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceriterakan kepada orang lain.7 Dalam penelitian kualitatif ini, perlu ditegaskan teknik analisis dan interpretasi data yang digunakan.8 Untuk menganalisis data dalam penulisan ini, penulis menggunakan beberapa metode sebagai berikut : 1. Metode Deduktif, yaitu penulis menggunakan rumusan atau ketentuan yang bersifat umum untuk hal-hal yang bersifat khusus, misalnya dari suatu ayat atau dalil lainnya yang pada dhahirnya bersifat umum, kemudian penulis menggunakannya untuk hal-hal yang bersifat khusus.
7
8
Lexy J. Moeleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, .h.248
Muljono Damopolii, Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian), (Makassar: Alauddin Press, 2013), h. 17.
70
2. Metode Induktif, yaitu penulis menganalisis data yang bersifat khusus, kemudian mengambil kesimpulan yang lebih umum. 3. Metode Komparatif, yaitu penulis membandingkan beberapa data dari studi literatur dan studi lapangan yang berhubungan dengan pembahasan, setelah itu penulis mencari persamaannya atau perbedaannya, kemudian mengambil suatu kesimpulan. Seluruh data yang berhasil diperoleh atau yang telah berhasil dikumpulkan selama proses penelitian baik itu data primer maupun data sekunder dianalisis secara kualitatif kemudian disajikan secara deskriptif yaitu menuliskan, menjelaskan , dan memaparkan permasalahan yang timbul di dalam Sistem Pembagian
Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang
Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas dan terarah untuk menjawab permasalahan yang akan diteliti. G. Pengujian Keabsahan Data Di dalam pengujian keabsahan data di dalam penelitian ini menggunakan beberapa teknik pemeriksaan atau pengujian keabsahan data yaitu validityas interbal derajat kepercayaan (credibility) pada aspek nilai kebenaran, pada penerapannya ditinjau dari validitas eksternal keteralihan (transferability), dan realibilitas Kebergantungan (dependability) pada aspek konsistensi, serta obyektivitas kepastian (confirmability) pada aspek naturalis.
71
Pada penelitian ini, tingkat keabsahan lebih ditekankan pada data yang diperoleh. Melihat hal tersebut maka kepercayaan data hasil penelitian dapat dikatakan memiliki pengaruh signifikan terhadap keberhasilan sebuah penelitian. Data yang valid dapat diperoleh dengan melakukan uji kredibilitas (validityas interbal) terhadap data hasil penelitian sesuai dengan prosedur uji kredibilitas data dalam penelitian kualitatif. Adapun macam-macam pengujian kredibilitas menurut Sugiyono antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, peningkatan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif, dan membercheck. 1. Perpanjangan Pengamatan Hal ini dilakukan untuk menghapus jarak antara peneliti dan narasumber sehingga tidak ada lagi informasi yang disembunyikan oleh narasumber karena telah memercayai peneliti. Selain itu, perpanjangan pengamatan dan mendalam dilakukan untuk mengecek kesesuaian dan kebenaran data yang telah diperoleh. Perpanjangan waktu pengamatan dapat diakhiri apabila pengecekan kembali data di lapangan telah kredibel. 2. Meningkatkan Ketekunan Pengamatan yang cermat dan berkesinambungan merupakan wujud dari peningkatan ketekunan yang dilakukan oleh peneliti. Ini dimaksudkan guna meningkatkan kredibilitas data yang diperoleh. Dengan demikian, peneliti dapat mendeskripsikan data yang akurat dan sistematis tentang apa yang diamati. 3. Triangulasi
72
Ini merupakan teknik yang mencari pertemuan pada satu titik tengah informasi dari data yang terkumpul guna pengecekan dan pembanding terhadap data yang telah ada. 1. Triangulasi Sumber, Menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber. Data yang diperoleh kemudian dideskripsikan dan dikategorisasikan sesuai dengan apa yang diperoleh dari berbagai sumber tersebut. Peneliti akan melakukan pemilahan data yang sama dan data yang berbeda untuk dianalisis lebih lanjut. 2. Triangulasi Teknik, Pengujian ini dilakukan dengan cara mngecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda, misalnya dengan melakukan observasi, wawancara, atau dokumentasi. Apabila terdapat hasil yang berbeda maka peneliti melakukan konfirmasi kepada sumber data guna memperoleh data yang dianggap benar. 3. Triangulasi Waktu, Narasumber yang ditemui pada pertemuan awal dapat memberikan informasi yang berbeda pada pertemuan selanjutnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan pengecekan berulang-ulang agar ditemukan kepastian data yang lebih kredibel. 4. Analisis Kasus Negatif Melakukan analisis kasus negatif berarti peneliti mencari data yang berbeda atau bahkan bertentangan dengan data yang telah ditemukan. Bila tidak ada lagi data yang berbeda atau bertentangan dengan temuan, berarti data yang ditemukan sudah dapat dipercaya. Dengan demikian temuan penelitian menjadi lebih kredibel.
73
5. Menggunakan Bahan Referensi Bahan referensi adalah pendukung untuk membuktikan data yang telah ditemukan oleh peneliti. Bahan yang dimaksud dapat berupa alat perekam suara, kamera, handycam dan lain sebagainya yang dapat digunakan oleh peneliti selama melakukan penelitian. Bahan referensi yang dimaksud ini sangat mendukung kredibilitas data. 6. Mengadakan Membercheck Membercheck adalah proses pengecekan data yang diperoleh peneliti kepada pemberi data. Ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh data yang diperoleh sesuai dengan apa yang diberikan oleh pemberi data atau informan. Apabila data yang ditemukan disepakati oleh para pemberi data berarti datanya data tersebut valid. Pelaksanaan membercheck dapat dilakukan setelah satu periode pengumpulan data selesai, atau setelah mendapat suatu temuan, atau kesimpulan.
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Desa Palalakkang 1. Kondisi Geografis a. Letak, Luas dan Batas Desa Palalakkang Desa Palalakkang terletak diwilayah Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, jarak ibukota Kecamatan ± 1 Km dan jarak dari ibukota Kabupaten ± 20 Km. jika menggunakan kendaraan bermotor maka jarak tempuh kekota Kecamatan ± 15 menit, dan ± 1 jam menuju ibu kota kabupaten.1 Luas wilayah Desa Palalakkang adalah 174 Ha. Dengan batas wilayah sebagai berikut: Sebelah barat : Selat Makassar Sebelah selatan : Desa Galesong baru Kecamatan Galesong Sebelah utara : Desa Bontosunggu Kecamatan Galesong Utara Sebelah timur : Desa Kalukuang Kecamatan Galesong b. Struktur Organisasi Dalam struktur pemerintahan di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Di pimpin oleh Kepala Desa. Dalam menjalankan pemerintahan Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris Desa dan Kepala Urusan (Kaur). Adapun sususan pemerintahan Desa Palalakkang tahun 2015 sebagai berikut:
1
Pemerintah Kabupaten Takalar, Rencana Strategis Pembangunan Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa = RPJMDES 2011-2015) . (Takalar: Desa Palalakkang, 2011) h. 29
74
75
Tabel I STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA PALALAKKANG No.
Jabatan
Nama
1
Kepala Desa
2
Sekretaris Desa
Abbas Nojeng
3
Kaur. Pemerintahan
Syamsuardi Syam, S.IP
4
Kaur. Pembangunan
Muliati
5
Kaur. Keuangan
Sahariar
6
Kaur. Umum
Aswat
A. Gazali Dg. Ngewa
Sumber Data: Kantor Desa Palalakkang Tahun: 2015 Desa Palalakkang terdiri dari 1343 KK (Kepala Keluarga) dengan jumlah Penduduk 5.469 jiwa yang tersebar di 7 Dusun. Terdiri dari 2.682 orang laki-laki dan 2.787 orang perempuan.2 2. Perekonomian Masyarakat Desa Sumber mata pencaharian pokok Masyarakat Desa Palalakkang yaitu terdiri dari: 1. Sektor Perikanan Di lihat dari sektor perikanan. Di Desa Palalakkang terdapat nelayan yang khusus mencari telur ikan terbang (Patorani). Dimana telur ikan terbang ini sudah menjadi komsumsi masyarakat dunia. Nelayan patorani mencari telur tersebut di perairan selat Makassar dan perairan fak-fak di daerah provinsi papua pada bulan
2
Pemerintah Kabupaten Takalar, Rencana Strategis Pembangunan Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa = RPJMDES 2011-2015) . h.36
76
april sampai bulan oktober. Telur ikan terbang ini selain dijual kepasar local juga diekspor kemancanegara separti jepang, Taiwan, hongkong, korea dan singapura yang rata-rata ± 100 ton pertahun dengan harga 250/Kg. (harga tahun 2010). Selain nelayan patorani di Desa Palalakkang juga terdapat nelayan pancing (papekang) yang biasanya mendapat berbagai jenis ikan seperti ikan katamba, ikan sunu, ikan merah, dan cumi-cumi serta berbagai jenis ikan lainnya. 2. Sektor Pertanian Tanaman pertanian yang di budidayakan di Desa Palalakkang mayoritas tanaman musiman seperti padi, jagung, palawija dan sayur-sayuran, sebahagian lainnya adalah tanaman jangka panjang seperti manga, dan kelapa. Adapun luas persawahan di Desa Palalakkang adalah 87,80 Ha. 2. Keadaan Sosial Dalam hal tingkat kesejahteraan Masyarakat di Desa Palalakkang, kesenjangan ekonomi masyarakat tersebut masih di dominasi oleh keluarga miskin dan sangat miskin. Dari segi pendidikan di Desa Palalakkang masih sangat memprihatinkan. Hal ini di karenakan masih banyaknya angka putus sekolah pada tingkatan sekolah dasar (SD) dengan jumlah 275 KK. Sedangkan untuk yang sementara bersekolah yang paling banyak berada pada tingkatan SD dengan jumlah 912 KK. Sedangkan bagi yang tamat dan tidak melanjutkan sekolah berada pada tingkatan SD dengan jumlah 1446 KK. Dan untuk yang tidak pernah bersekolah berjumlah 204 KK.
77
Dari segi agama atau kepercayaan Penduduk Desa Palalakkang seluruhnya beragama Islam. Untuk jelasnya, berikut dikemukakan tabel keadaan penduduk dan penganut agama : Tabel II. DAFTAR JUMLAH PEMELUK AGAMA DESA PALALAKKANG Desa/
Jumlah
Kelurahan
penduduk
Pa’la’lakkang
5.469
Islam
Kristen
Kristen
protestan
katolik
-
-
5.469
Hindu
Budha
-
-
Sumber Data: KUA Kecamatan Galesong Tahun : 2015 Di Desa Palalakkang juga terdapat fasilitas umum seperti tempat peibadatan, sekolah, lapangan olahraga dan sebagainya. Tabel III. DAFTAR SARANA UMUM DESA PALALAKKANG No
Jenis Sarana
Jumlah
1
Puskesmas Pembantu (PUSTU)
1
2
Taman Kanak-Kanak / PAUD
3
3
TK/TPA
6
4
SD
3
5
Masjid
9
6
Lapangan Olahraga
1
Sumber Data: RPJMDES Desa Palalakkang Tahun : 2015.3
3
Pemerintah Kabupaten Takalar, Rencana Strategis Pembangunan Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa = RPJMDES 2011-2015) . h.42-46
78
B. Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Islam di Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Kurung waktu tahun 2012-2015 Berbicara tentang kewarisan, berarti berbicara mengenai adanya peristiwa penting dalam suatu masyarakat tertentu yaitu salah seorang dari anggota masyarakat tersebut ada yang meninggal dunia. Apabila orang yang meninggal tersebut memiliki harta kekayaan, maka persoalannya adalah bukan tentang kematian, melainkan harta yang ditinggalkan oleh pewaris. Pembagian harta warisan merupakan suatu perbuatan dari para ahli waris bersama-sama. Serta pembagian itu diselenggarakan dengan permufakatan atau atas kehendak bersama dari pada para ahli waris. Apabila harta warisan dibagibagi antara para ahli waris maka pembagian itu biasanya berjalan secara rukun didalam suasana ramah tamah dengan memperhatikan keadaan istimewa dari tiaptiap ahli waris, pembagian berjalan atas dasar kerukunan.4 Dalam praktek pembagian warisan keluarga di Desa Palalakkang, kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Dalam prakteknya pembagian harta warisan kebanyakan menggunakan hukum waris adat. Hukum waris adat ialah himpunan kaidah sosial dalam masyarakat luas, tidak termasuk hukum syara’ (agama). kaidah-kaidah tersebut ditaati oleh seluruh lapisan masyarakat, seolah kehendak atau peratuan warisan nenek moyang mereka, bahkan seolah suatu
4
Tolib Seriady, Intisari Hukum Adat Indonesia, (Bandung:Alfabeta, 2008) h. 296
79
keharusan yang bersumber dari tuhan. 5 sebagaimana hasil wawancara penulis dengan Bapak Kasmajaya Daeng Nappa, beliau memaparkan: “Dalam pembagian harta warisan di Desa Palalakkang, kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. menggunakan sistem adat yang berasal dari nenek moyang yang secara turun temurun di pakai di desa ini.”6 Senada halnya dengan ibu Aswat Kaur Umum Desa Palalakkang mengatakan bahwa: “kebanyakan masyarakat Desa Palalakkang menggunakan sistem waris adat dalam hal pembagian harta warisan dan masih kurang masyarakat yang mengajukan permohonan pembagian harta warisan ke pengadilan agama”7 Berdasarkan hasil interview yang menunjukkan masih banyaknya masyarakat Islam Desa Palalakkang yang menggunakan pembagian warisan secara adat, untuk lebih jelasnya dapat kita lihat tabel kasus pembagian harta warisan kurung waktu 2012-2015 di Desa Palalakkang. Tabel III DAFTAR KASUS PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI DESA PALALAKKANG KECAMATAN GALESONG KABUPATEN TAKALAR No
Nama Keluarga yang
Sistem Pembagian
Tahun Pembagian
Mengalami Kasus Pembagian
Warisan Yang di
Harta Warisan
Pakai
1
Patanring Daeng Nanra
Adat
2012
2
Abdul Haris Daeng Bantang
Adat
2012
5
M.Abdul Mujieb, dkk. Kamus Istilah Fikih. h.3
6
Wawancara dengan bapak Kasmajaya Daeng Nappa, Tanggal 10 Januari 2016
7
Wawancara dengan ibu Aswat Kaur Desa Palalakkang Tanggal 10 Januari 2016
80
3
Sappara
Adat
2012
4
Kaharuddin Daeng Jarre
Adat
2012
5
Hj. Patiama Daeng Pati
Adat
2012
6
Hj. Tadaeng
Adat
2012
7
Pakkina Daeng Kina
Adat
2013
8
Daeng Siallu
Adat
2013
Adat
2014
9
Daeng Sualle
10
Ilham Daeng Siangka’
Adat
2014
11
Daeng Tommi
Adat
2014
12
Hj. Kate’neang
Adat
2014
13
Irfan H. Unjung
Adat
2015
14
H. Nurdin Sibali
Adat
2015
15
Daeng Mawa’
Adat
2015
Dari tabel diatas bisa disimpulkan bahwa dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar kurung waktu Tahun 2012-2015 100% Menggunakan Hukum Adat. Ini disebabkan, jauh sebelumnya datangnya Islam di Desa Palalakkang, Masyarakat di Desa Palalakkang telah memiliki pedoman hidup yang tercatat dalam Lontarak yang disebut dengan Panngadakkang (aturan-aturan dan tata kehidupan). Di dalamnya dimuat tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat
81
agar tidak terjadi konflik. Tata nilai tersebut ditaati sehingga penyelesaian masalah kewarisan dapat diselesaikan secara kurtular dan secara kekeluargaan. Dalam konteks bahasa Makassar, asas kepatutan dalam bahasa Makassar disebut assitinaja. Kata ini berasal dari kata tinaja yang berarti cocok, sesuai, pantas atau patut. appasitinaja pada prinsipnya mengatur segala sesuatu agar berada pada tempatnya. Kewajiban yang dibaktikan memperoleh hak hak yang sepadan adalah sesuatu perbuatan yang patut. Banyak atau sedikit, tidak dipersoalkan dalam konsep assitinaja. Mengambil yang sedikit jika yang sedikit itu mendatangkan kebaikan, dan menolak yang banyak apabila yang banyak itu mendatangkan
kebinasaan.
8
Mengambil
hak
kewarisan
juga
harus
mempertimbangkan asas kepatutan dan keadilan demi memproteksi terjadinya kecemburuan dan konflik keluarga muslim. Budaya assitinaja (nilai kepatutan) dalam kalangan masyakat Desa Palalakkang merupakan pendekatan dalam memandang keadilan dalam format kewarisan, sehingga penerapan teks tentang kewarisan tidak kaku, karena mereka merujuk pada kepatutan (assitinaja) yang mencerminkan keadilan. Dengan kata lain, penerapan relevan dengan prinsip zhanni al-tanfidz wa qath’i al-wurud (kemutlakan teks dan elastisitas pada operasionalnya). Dengan kaidah ini ulama berupaya menangkap pesan ideal atau ruh keadilan.
8
Muhammad Yusuf, Bias Gender dalam Kewarisan Menurut Ulama Bugis (Makassar:UINAM,2013) h.324
82
Selanjutya peneliti menanyakan mengenai bagaimana cara menentukan bagian ahli waris dalam pembagian warisan di Desa Palalakkang, kecamatan Galesong, Kabupaten Takalar. kepada Bapak Syamsuddin Syam S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang beliau mengatakan: “Di Desa Palalakkang dalam hal menentukan bagian untuk para ahli waris ada dua versi, yaitu Apabila pewaris meninggal maka harta warisannya seluruhnya akan jatuh pada anak laki-laki pertama, sedangkan ahli waris yang lain tidak mendapatkan bagian, hanya saja untuk biaya hidup dalam sehari-hari menjadi tanggung jawab dari anak laki-laki pertama yang mendapatkan seluruh harta warisan tersebut sampai anak perempuannya menikah, karena setelah menikah maka anak perempuan mengikuti suaminya. Dan kebanyakan juga masyarakat dalam hal menentukan bagian disini mengutamakan “Anak Baine Bungkoa Anggapai Ballaka” maksudnya anak perempuan bungsu yang mutlak mendapatkan rumah. walaupun harta yang ditinggalkan pewaris hanya sebuah rumah saja, maka tetap anak bungsu yang mendapatkannya dan ahli waris yang lainnya tidak mendapat sepersen pun.”9 Hal senada disampaikan Bapak Kasmajaya Daeng Nappa beliau mengatakan bahwa: “Di Desa Palalakkang dalam hal menentukan bagian untuk para ahli waris ada dua versi, yaitu Apabila pewaris meninggal maka harta warisannya tetap dibagi rata, tetapi biasanya warga atau masyarakat desa palalakkang, misalnya ada barang tapi hanya rumah saja peninggalan orang tua maka yang mendapatkannya yiatu anak yang bungsu yang perempuan itu tidak di bagi rata kalau rumah, kecuali ada barang lain barulah barang lain tersebut di bagi rata semua bersaudara”10 Dalam hal pembagian harta warisan di Desa Palalakang mengutamakan anak laki-laki pertama dan anak perempuan bungsu sebagai pewaris yang paling diutamakan, dari masing-masing ahli waris yang ada. Tetapi kasus yang terjadi di
9
Wawancara dengan Bapak Syamsuddin Syam, S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang pada tanggal 10 Januari 2016 10
Wawancara dengan Bapak Kasmajaya Daeng Nappa, pada Tanggal 10 Januari 2016
83
Desa Palalakkang Kurung waktu Tahun 2012-2015 100% orang yang berkasus, meninggalkan harta warisan berupa rumah saja dan semuanya di dapatkan oleh ahli waris bungsu perempuan atau Anak Bungko Bainea. Ini disebabkan karena anak bungsu perempuan yang memiliki peranan penting dalam kehidupan seharihari untuk mengurus urusan rumah tangga, anak bungsu yang paling berperan penting apabila orang tuanya sakit di bandingkan anak laki-laki, selain itu alasan anak bungsu perempuan lebih diutamakan dalam pembagian harta warisan dibanding anak laki-laki, karena jauh sebelum orang tuanya meninggal anak lakilaki telah lebih banyak memperoleh bagian harta sebelum pembagian harta warisan karena orangtuanya telah membiayai anak laki-laki lebih banyak dibanding anak perempuan, baik itu berupa pendidikan dan pernikahan yang pembiayaannya berasal dari harta orangtuanya, sementara anak perempuan tidak memperoleh pendidikan yang tinggi, dan karenanya ia tidak memperoleh penghasilan yang memadai. Dalam pembagian harta waris memang lebih banyak menggunakan sistem kewarisan adat Mayorat karena mengingat sistem kekerabatan di Desa tersebut menganut sistem kekerabatan patrilineal dan sebagian juga menganut sistem kekerabatan matrilineal. Sementara di dalam Al-Qur’an bagian anak laki-laki dan anak perempuan adalah 2:1.dan pada tahun 1980-an misalnya Menteri Agama Republik Indonesia Munawir Syadzali, melontarkan gagasan agar dalam pembagian harta warisan umat Islam Indonesia memberikan bagian yang sama antara laki-laki dan
84
perempuan. 11 Akan tetapi gagasan tersebut ditentang keras oleh para ulama di Indonesia dengan alasan bertentangan dengan ayat-ayat Al-Quran. Sebenarnya dalam pembagian harta waris telah dijelaskan dalam AlQur’an tentang bagaimana cara membagi harta itu dengan cara syariat Islam dan secara adil, Allah berfirman dalam Al-qur’an mengenai pembagian benda pusaka untuk para ahli waris dan orang-orang yang tidak berhak menerima pembagian benda pusaka tersebut, dalam An-Nisa Ayat 11-12 dalam firmanya:
11
Munawir Syadzali, Dari Lembah Kemiskinan; Kontekstualisasi ajaran Islam (Jakarta:IPHI dan Paramadina, 1995) h.97.
85
Terjemahnya: “Allah mensyari’atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anakanakmu, yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapak, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan jika yang yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal itu tidak meninggalkan anak dan ia diwarisi oleh ibubapaknya, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sudah dibayar utangnya. Tentang orang-orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak manfaatnya bagimu) ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan istri-istrimu, jika mereka tidak meninggalkan anak. Jika istri-istrimu mempunyai anak maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar utangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu ada mempunyai anak maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar utang-utangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi meninggal seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing di antara saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dan) sesudah dibayar utangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris) (Allah yang menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah; dan Allah Maha Mengetahui Lagi Maha penyantun.”12
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya. h. 79-80
86
Tentang Asbabun Nuzul QS. Al-Nisa/4: 11-14 yaitu: “pada suatu waktu Rasulullah saw. Yang disetai abu bakar Shiddik dating menziarahi jabir bin abdillah, yang ketika itu sedang sakit keras dikampung bani salamah dengan berjalan kaki. Pada waktu Rasulullah saw. Dan abu bakar datang, jabir bin abdillah sedang dalam keadaan tidak sadar. Kemudian Rasulullah saw. Segera mengambil air wudhu dan meneteskan beberapa tetes air wudhu tersebut keatas tubuh jabir bin abdillah, sehingga dia sadar. Kemudian setelah sadar jabir berkata: “wahai Rasulullah apakah yang kamu perintahkan kepadaku tentang harta kekayaan?”. Sehubungan dengan pertanyaan jabir bin abdillah itu allah swt. Menurunkan ayat ke 1114 yang dengan tegas memberikan hukum warisan dalam Islam. 13 (HR. Enam orang Imam hadis dari jabir bin abdillah). Ayat di atas berbicara mengenai hak anak perempuan dan hak anak lakilaki dalam pembagian harta warisan yakni 2;1 dan mengatur perolehan duda dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang. Perolehan janda dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang dan perolehan saudara-saudara dalam hal kalalah dengan dua garis hukum, soal wasiat dan hutang.14 Dengan melihat pernyataan ayat tersebut diatas, maka sudah sangat jelas kedudukan ayah dan ibu sebagai ahli waris dari anak-anaknya, apabila anak meninggal dunia terlebih dahulu dari kedua orangtua nya. Dalam pembagian kewarisan Islam sudah mempunyai ketentuan bagian masing-masing ahli waris yang tertian dalam surah Al-Nisa ayat 11-12. Dan kala kita mengamati sistem pembagian kewarisan adat dengan hukum waris Islam mempunyai perbedaan yang sangat signifikan, sebab dalam hukum Islam sudah ada ketentuan yang jelas tentang bagian-bagian masing-masing ahli waris,
13
A. Mudjab Mahali. ASBABUN NUZUL: Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat AlBaqarah-An-Nas. H.212 14
Sajuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Aksara,1982) h.4
87
sedangkan dalam hukum adat yang berlaku di Desa Palalakkang, menggunakan budaya kepatutan atau asitinaja mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilai-nilai kearifan lokal (al-urf) yaitu sesuatu yang dikenal oleh orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau perbuatan, atau keadaan meniggalkan atau biasa juga disebut adat. 15 yang juga diakomodir dalam Islam. Di dalam Kamus Ilmu Ushul Fiqih Urf’ secara etimologi berasal dari kata ‘arafa, yu’rifu yang sering diartikan dengan al-ma’ruf dengan arti sesuatu yang dikenal. 16 Urf adalah suatu yang dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan atau kebiasaan atau hukum yang bersifat kedaerahan yang dapat saja bersanding dengan hukum Islam.17 Dalam masalah kasus pembagian warisan di Desa Palalakkang 100% yang mengutamakan ahli waris Bungsu sebagai pewaris tunggal dan ahli waris laki-laki tidak mendapatkan bagian dari harta warisan tersebut, apabila harta peninggalan tersebut hanya berupa rumah, sehingga menimbulkan ketidakadilan yang juga merupakan kezhaliman dalam kewarisan. Oleh karena itu asas assitinaja (kepatutan) yang telah lama berlaku di Desa Palalakkang, dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam praktik kewarisan. Kebiasaan atau budaya asitinaja mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan
15
Abdul Wahhab Khallaf. Ilmu Ushul Fiqh, (Semarang: Dina Utama, 1994) h. 123.
16
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: Amzah,2005) h. 333. 17
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih,h.334
88
mengandung nilai-nilai kearifan lokal (al-urf) yang diakomodir dalam Islam. Esensi asitinaja dalam konteks ini adalah terealisasinya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara antara ahli waris. Adapun mengenai prosedur dalam mendapatkan warisan, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi ahli waris. Sebagaimana yang dikatakan oleh Bapak Syamsuardi Syam S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang sebagai berikut : “1.Adanya pewaris, maksud dari pewaris adalah orang yang meninggalkan harta bendanya untuk oarang-orang yang berhak. 2. Orang yang akan menerima warisan. 3.Harta yang ditinggalkan.”18 Senada dengan apa yang dikatakan Bapak Kaur Pemerintahan diatas, Bapak Kasmajaya Daeng juga menjelaskan sebagai berikut: “Syarat dalam pembagian waris yaitu pertama ada pewaris, kedua ada ahli waris dan yang ketiga ada harta yang di tinggalkan.”19 Dalam hukum waris Islam terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian waris. Syarat pembagian waris itu ada tiga diantaranya adalah: “(1). Muwarrist, yaitu orang yang mewariskan hartanya atau mayyit yang meninggalkan hartanya. (2). Al- Warits atau ahli waris, yaitu oarang yang mempunyai hubungan keluarga, baik karna mempunyai hubungan darah atau sebab perkawinan atau akibat memerdekakan budak. (3) Al-Mauruts atau Al-Mirats yaitu harta peninggalan si mayit setelah di kurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan hutang dan pelaksanaan wasiat.” Dari paparan di atas diketahui terdapat kesamaan antara syarat yang diatur dengan cara syariat Islam maupun yang dipraktekkan masyarakat di Desa
18
Wawancara dengan Bapak Syamsuardi Syam, S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang, pada Tanggal 10 Januari 2016 19
Wawancara dengan Bapak Kasmajaya Daeng Nappa, pada Tanggal 10 Januari 2016
89
Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Yakni adanya orang yang meninggalkaan warisan, ahli waris dan harta yang diwariskan. Adapun halangan untuk menerima warisan dalam Syari’at Islam adalah hal-hal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris seorang mendapatkan harta peninggalan, Adupun halangan tersebut adalah: 1. Pembunuhan, Semua ulama sepakat bahwa pembunuhan dapat menghalangi seorang untuk mendapatkan hak waris. Karna tujuan dari dari pembunuhan tersebut agar ia segera memiliki harta pewaris. 2. Beda Agama, Seorang akan terhalang haknya apabila memeluk agama yang lain dari si pewaris. 3. Perbudakan Perbudakan menjadi penghalang mewrisi bukan karna setatus kemanusiaan dikarnakan ia dianggap tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum. Sedangkan di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. sesuai wawancara dengan Bapak Syamsuardi Syam S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang, beliau menjelaskan : “Mengenai halangan untuk mendapatkan warisan yang dipraktekkan yaitu pembunuhan, beda agama, dan perbudakan. Akan tetapi dalam masalah pembunuhan, ahli waris tetap mendapatkan bagian apabila dimaafkan dari ahli waris yang lain, akan tetapi hanya sebatas untuk mencukupi kebutuhan kehidupan sehari-hari serta sesuai dengan kesepakatan ahli waris yang lain.”20 Dengan pertanyaan yang sama penulis mewawancarai Bapak Kasmajaya Dg. Nappa, beliau menjelaskan: “Halangan-halangan itu jarang terjadi, hanya sebagian kecil halangan yang terjadi misalnya dalam saudara itu biasanya membunuh saudaranya sendiri (Pewaris) maka biasanya tidak mendapatkan bagian kecuali saudara yang lain dengan orang tuanya itu memaafkan kesalahan-kesalahannya, barulah
20
Wawancara dengan Bapak Syamsuardi Syam, S.IP Kaur Pemerintahan Desa Palalakkang, pada Tanggal 10 Januari 2016
90
bisa mendapatkan bagiannya. Ini sebenarnya terjadi pada keluarga saya, kebetulan om saya itu mebunuh saudaranya atau adiknya, pada saat dia di penjara akhirnya memang lama baru bisa dimaafkan tetapi setelah orang tua meninggal ada harta yang ditinggalkan atau warisan dan saudaranya sepakat memberikan warisannya maka dia tetap mendapatkan warisan tersebut.”21 Melihat paparan diatas bahwasanya terdapat sediktit perbedaan antara konsep halangan dalam mendapatkan warisan antara konsep waris hukum Islam dengan konsep yang ada di masyarakat Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, yakni mengenai halangan ahli waris karena pembunuhan. Di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, ahli waris yang terkena kasus pembunuhan tetap mendapatkan bagian dari pewaris setelah mendapatkan maaf dari ahli waris yang lain, adapun mengenai jumlah bagian ahli waris yaitu hanya sebatas kebutuhan sehari-hari dan jumlahnya sesuai dengan kesepakatan ahli waris yang lain. C. Pandangan Hukum Islam Terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Islam di Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kasbupaten Takalar Masyarakat Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, penduduknya mayoritas beragama Islam. Sehingga seluruh perbuatan dan aspek kehidupannya banyak diwarnai dengan penuh kebiasaan. Pembagia harta warisan telah membudaya dalam Masyarakat Islam di Desa Palalakkang sehingga sistem kewarisan menurut hukum Islam kurang Nampak dibandingkan sistem waris adat. Hal tersebut disebakan jauh sebelumnya datangnya Islam di Desa Palalakkang,
21
Wawancara Dengan Bapak Kasmajaya Dg. Nappa Tanggal 10 Januari 2016
91
Masyarakat di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, telah memiliki pedoman hidup yang tercatat dalam Lontarak yang disebut dengan Panngadakkang (aturan-aturan dan tata kehidupan). Di dalamnya dimuat tata nilai yang mengatur kehidupan masyarakat agar tidak terjadi konflik. Tata nilai tersebut ditaati sehingga penyelesaian masalah kewarisan dapat diselesaikan secara kurtular dan secara kekeluargaan. Bagi masyarakat Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, pemahaman mereka terhadap pembagian harta warisan mengikuti syariat yaitu sebagaimana ungkapan Bapak Muhammad Tadji Krg. Tarang yaitu: “Bura’nea ammisang anngappai rua, Bainea Ajjujung anggappai se’re” 22 maksud dari kata tersebut laki-laki memikul mendapat 2 bagian, dan perempuan menjunjung mendapat 1 bagian.( 2:1 ). Format 2:1 dalam penerapannya di Desa Palalakkang, laki-laki mendapatkan 2 bagian, apabila kedua orangtuanya sudah meninggal maka ia bertanggungjawab atas saudara perempuannya yang belum menikah. Ia bertanggungjawab terhadap keluarganya. Syarat mendapatkan dua kali lipat yaitu apabila ia bertanggungjawab memikul (ammisang) beban kebutuhan saudara perempuannya yang belum menikah. Jadi memikul berarti dibagian depan ia membawa tanggungjawab dan di belakang membawa haknya. inilah bentuk kesimbangan yang mendekati keadilan dalam budaya Makassar. Sebaliknya
jika
perempuan
mendapatkan
lebih
banyak
daripada
saudaranya yang laki-laki sebagaimana dijumpai dalam tradisi masyarakat Desa
22
Wawancara dengan Bapak Muhammad Tadji Krg. Tarang Tokoh Adat Desa Palalakkang, Pada Tanggal 05 Pebruari 2015
92
Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, yang mewariskan barang yang lebih besar nilainya seperti rumah sedangkan saudara laki-laki tidak memperoleh bagian sehingga menimbulkan ketidakadilan maka itu juga merupakan bentuk kezhaliman dalam kewarisan. Oleh karena itu, asas assitinaja (kepatutan) dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam praktek kewarisan di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Budaya assitinaja mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilai-nilai kearifan lokal (al-urf) yang diakomodir dalam Islam. Esensi assitinaja dalam konteks ini adalah terealisasinya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara ahli waris.23 Berbicara masalah pandangan hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar kurung waktu Tahun 2012-2015, Ada 15 kasus Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar yang sama persis pembagiannya. Dan dijelaskan 2 kasus Cara pembagiannya sebagai berikut: Kasus I : Sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Islam di desa Pa’la’lakkang terjadi pada Keluarga Abdul Haris Daeng Bantang dengan Rincian Pewaris dan Ahli waris serta tirkah atau warisan sebagai berikut:
23
Rahmawati Daeng Tanang ( Pewaris ) Abdul Haris Daeng Bantang ( Duda/ Suami Pewaris ) Muhammad Arif ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Asran ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Hasmawati ( Anak Perempuan dari pewaris )
Muhammad Yusuf, Bias Gender dalam Kewarisan Menurut Ulama Bugis. h.327
93
Mustari ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Sinta ( Anak Perempuan dari pewaris ) Harta yang ditinggalkan adalah Tanah beserta Bangunan yang terletak di Dusun Minasanta desa Pa’la’lakkang. Ini dibagikan secara Hukum Adat atau kebiasaan dengan Hasil Pembagian Tanah beserta bangunan tersebut mutlak di dapat oleh Anak Bungsu Perempuan dari pewaris yakni Sinta. Kasus II: Sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Islam di desa Pa’la’lakkang terjadi pada Keluarga Bapak Patanring Daeng Nanra dengan Rincian Pewaris dan Ahli waris serta tirkah atau warisan sebagai berikut:
Daeng Mutti ( Istri Pewaris ) Amir Daeng Nanring ( Anak Pertama ) Rohani Daeng Kamma ( Anak Kedua ) Rosani Daeng Ke’nang ( Anak Ketiga ) Hj. Ati ( Anak Ke empat ) Satuhang Daeng Ngoyo ( Anak Ke lima ) Juliati Daeng Ngasih ( Anak ke enam)
Harta yang ditinggalkan adalah Tanah beserta bangunan yang terletak di dusun Palalakkang Desa Palalakkang. Ini dibagikan secara hukum adat dengan hasil Pembagian tersebut mutlak di dapat oleh Juliati Daeng Ngasih sebagai anak perempuan bungsu ( Anak Bungko ). Melihat kedua kasus tersebut diatas, ini sangat bertentangan dengan ayat Qs. Al-Nisa/4:11-12. Apabila bila kasus tersebut dibagi secara sistem kewarisan Islam maka semua ahli waris mendapatkan bahagiannya masing-masing, sesuai dengan Al-Qur’an maupun Kompilasi Hukum Islam. Hasil pembagian secara Kewarisan Islam kedua kasus tersebut diatas sebagai berikut:
94
Kasus I Pewaris Rahmawati Daeng Tanang, Ahli Waris sebagai berikut:
Abdul Haris Daeng Bantang ( Duda/ Suami Pewaris ) Muhammad Arif ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Asran ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Hasmawati ( Anak Perempuan dari pewaris ) Mustari ( Anak Laki-laki dari pewaris ) Sinta ( Anak Perempuan dari pewaris
Tirkah atau harta yang ditinggalkan berupa Sebidang tanah beserta bangunannya, apabila dijual maka harganya sebesar Rp. 150.000.000 Hasil Pembagian sebagai berikut: Duda
: × 4 = 1 = x 150.000.000 = 37.500.000
3 Anak Laki-laki dan 2 anak Perempuan= 2+2+2+1+1=8 3 Anak laki-laki
= ×112.500.000= 84.375.000 : 3 = 28.125.000
2 Anak Perempuan = ×112.500.000= 28.125.000 : 2 = 14.062.500 Hasil Pembagian : Duda : 37.500.000 3 Anak laki-laki = 84.375.000 : 3 = 28.125.000/ Orang 2 Anak Perempuan = 28.125.000 : 2 = 14.062.500/ Orang Kasus II Pewaris Bapak Patanring Daeng Nanra, Ahli waris sebagai berikut:
Daeng Mutti ( Istri Pewaris/ Janda ) Amir Daeng Nanring ( Anak Pertama ) Rohani Daeng Kamma ( Anak Kedua ) Rosani Daeng Ke’nang ( Anak Ketiga ) Hj. Ati ( Anak Ke empat ) Satuhang Daeng Ngoyo ( Anak Ke lima ) Juliati Daeng Ngasih ( Anak ke enam )
95
Tirkah atau harta yang ditinggalkan berupa Tanah beserta bangunan yang terletak di dusun Palalakkang desa Palalakkang. Apabila dinilai dengan uang maka tirkahnya sebesar Rp. 120.000.000 Hasil pembagian sebagai berikut Janda
: x 8 = 1 = x 120.000.000 = 15.000.000
2 Anak laki-laki, 4 Anak Perempuan : 2+2+1+1+1+1=8 2 Anak laki-laki = ×105.000.000 = 52.500.000 : 2 = 26.250.000 4 Anak Perempuan = ×105.000.000 = 52.500.000 : 4 = 13.125.000 Hasil Pembagian : Janda
= Rp. 15.000.000
2 Anak Laki-laki = Rp. 52.500.000 : 2 = 26.250.000/ Orang 5 Anak Perempuan = Rp. 52.500.000 : 4 = 13.125.000/ Orang Melihat kasus pembagian harta warisan di Desa Palalakkang yang bertentangan dengan ayat Al-Quran yang mengatur tentang masalah kewarisan. Akan tetapi dalam kasus pembagian harta warisan di Desa Palalakkang tersebut menggunakan asas assitinaja (kepatutan) yang dapat menjadi salah satu alternatif untuk mendekati keadilan dalam praktik kewarisan. Kebiasaan atau budaya asitinaja mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilai-nilai kearifan lokal (al-urf) yang diakomodir dalam Islam. Esensi asitinajang dalam konteks ini adalah terealisasinya nilai-nilai keadilan dan terciptanya harmoni antara antara ahli waris.
96
Dalam kasus pembagian harta warisan di Desa Palalakkang tahun 2012 yang di alami Ibu Juliati Daeng Ngasi sebagai ahli waris perempuan bungsu dari 7 tujuh orang bersaudara dia yang mendapatkan harta warisan berupa rumah serta tempatnya itu dengan cara sistem adat. Akan tetapi ahli waris yang lainnya menuntut. Sebagaimana di paparkan oleh Ibu Juliati Daeng Ngasi yaitu: “Ada yang menuntut. Ada yang meminta Isi rumah tersebut atau perabot rumah tangga, ada yang meminta uang. Dan saya memberikannya karena menurut saya itu baru bisa adil dan tidak ada saling iri hati.24 Dari paparan tersebut diatas dapat di simpulkan bahwa dalam kasus Sistem Pembagian Harta Warisan di Desa Palalakkang yang dialami oleh ibu Juliati Daeng Ngasih sesuai dengan hukum Islam di karenakan dalam pembagian tersebut tidak mengakibatkan pertengkaran dari masing-masing ahli waris. Jadi, pandangan hukum Islam terhadap Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, sesuai dengan hukum Islam, karena inti dari pembagian harta warisan dalam syariat Islam sebenarnya adalah keadilan dari para ahli waris merasa puas atas hasil pembagian tersebut dan tidak ada pertengkarang dari para ahli waris. D. Dampak Yang ditimbulkan dari Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Islam di Desa Pa’la’lakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar Pengertian dampak menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah benturan, pengaruh yang mendatangkan akibat baik positif maupun negatif.
24
Wawancara dengan Ibu Juliati Daeng Ngasi, Pada Tanggal 10 Januari 2016
97
Pengaruh adalah daya yang ada dan timbul dari sesuatu (orang, benda) yang ikut membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Pengaruh adalah suatu keadaan dimana ada hubungan timbal balik atau hubungan sebab akibat antara apa yang mempengaruhi dengan apa yang dipengaruhi.25 Dampak secara sederhana bisa diartikan sebagai pengaruh atau akibat. Dalam setiap keputusan yang diambil oleh seorang atasan biasanya mempunyai dampak tersendiri, baik itu dampak positif maupun dampak negatif. Dampak juga bisa merupakan proses lanjutan dari sebuah pelaksanaan pengawasan internal. Seorang pemimpin yang handal sudah selayaknya bisa memprediksi jenis dampak yang akan terjadi atas sebuah keputusan yang akan diambil. Dari penjabaran diatas maka kita dapat membagi dampak ke dalam dua pengertian yaitu ; 1. Pengertian Dampak Positif Dampak adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. Sedangkan positif adalah pasti atau tegas dan nyata dari suatu pikiran terutama memperhatikan hal-hal yang baik. positif adalah suasana jiwa yang mengutamakan kegiatan kreatif dari pada kegiatan yang menjemukan, kegembiraan dari pada kesedihan, optimisme dari pada pesimisme. Positif adalah keadaan jiwa seseorang yang dipertahankan melalui usahausaha yang sadar bila sesuatu terjadi pada dirinya supaya tidak membelokkan fokus mental seseorang pada yang negatif. Bagi orang yang berpikiran positif 25
Kamus Besar Bahasa Indonesia . (http://pusat bahasa.diknas.go.id./kbbi/index.php. diakases pada tanggal 10 Februari 2016.
98
mengetahui bahwa dirinya sudah berpikir buruk maka ia akan segera memulihkan dirinya. Jadi dapat disimpulkan pengertian dampak positif adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya yang baik. 2. Pengertian Dampak Negatif Dalam kamus besar Bahasa Indonesia dampak negatif adalah pengaruh kuat yang mendatangkan akibat negatif. Dampak adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya. berdasarkan beberapa penelitian ilmiah disimpulkan bahwa negatif adalah pengaruh buruk yang lebih besar dibandingkan dengan dampak positifnya. Jadi dapat disimpulkan pengertian dampak negatif adalah keinginan untuk membujuk, meyakinkan, mempengaruhi atau memberi kesan kepada orang lain, dengan tujuan agar mereka mengikuti atau mendukung keinginannya yang buruk dan menimbulkan akibat tertentu. Di dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, tetap ada ditemukan dampak yang ditimbulkan dalam Sistem Pembagian Harta Warisan tersebut, sebagaimana yang di jelaskan oleh Bapak Kasmajaya Daeng Nappa dalam wawancara yaitu: “Tetap dampaknya ada, kalau dampak negatifnya selama ini yang saya lihat di desa palalakkang ini, jarang terjadi permasalahan. Tetapi tetap ada. Dan kebanyakan hukum adat yang dipakai oleh masyarakat desa palalakkang ini, artinya dampak positifnya yang ada, karena jarang terjadi perselisihan, dan
99
selalu ada persetujuan atau kesapakatan terhadap pembagian secara adat ini.”26 Dari pendapat Kasamajaya Daeng Nappa disimpulkan bahwa kebanyakan dampak positif di bandingkan dampak negatif yang timbul dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar. Ini dikarenakan dalam pembagian harta warisan seluruh ahli waris sepakat. Mengenai dampak positif dari sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, ketika semua ahli waris memperoleh bagian dari harta warisan yang di tinggalkan ada beberapa kemungkinan, yaitu dengan diberikannya semua bagian dari masingmasing ahli waris, maka seluruh ahli waris dalam hal ini anak dari pewaris, merasa benar-benar sudah mendapatkan bagian harta warisan secara adil. tidak merasa iri dengan ahli waris yang mendapatkan bagian harta warisan dalam hal ini anak bungsu perempuan yang mutlak menerima harta warisan berupa rumah beserta tempatnya walaupun harta yang di tinggalkan oleh pewaris hanya rumah tersebut. Sedangkan untuk dampak negatifnya ada beberapa kemungkinan yaitu bahwa apabila dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, terdapat unsur ketidakadilan bagi para ahli waris, ia akan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan seperti misalnya ia akan membunuh ahli waris yang mendapatkan
26
Wawancara Dengan Bapak Kasmajaya Dg. Nappa Tanggal 10 Januari 2016
100
harta warisan tersebut, karena merasa cemburu di karenakan adanya ketidakadailan. Jadi, Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, lebih banyak menimbulkan dampak positif dibandingkan dampak negatif. Karena selama ini belum di temukan pertengkaran yang di sebabkan oleh pembagian harta warisan, karena semua hasil pembagian dilakukan secara musyawarah dari masing-masing ahli waris. Hal ini disebabkan berlakunya asas asitinaja atau asas kepatutan yang mengandung makna bahwa sejatinya pembagian harta warisan mengandung nilainilai kearifan lokal (al-urf) yang diakomodir dalam Islam. yang sudah sejak lama berlaku dikawasan masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, disana masih berpegang teguh pada hukum adat yang secara turun temurun dari nenek moyangnya, menggunakan sistem hukum adat. Untuk harta berupa rumah beserta isinya, mutlak jatuh kepada anak bungsu perempuan. 2. Dalam pandangan hukum Islam terhadap Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, sesuai dengan hukum Islam, karena inti dari Pembagian Harta Warisan dalam syariat Islam sebenarnya adalah keadilan dari para ahli waris merasa puas atas hasil pembagian tersebut dan tidak ada pertengkarang dari para ahli waris. Dan di Desa Palalakkang dalam Pembagian Harta Warisan semua sesuai dengan Musyawarah dan kesepakatan dari masing-masing ahli waris. 3. Dampak yang ditimbulkan dalam Sistem Pembagian Harta Warisan pada Masyarakat Islam di Desa Palalakkang Kecamatan Galesong Kabupaten Takalar, kebanyakan dampak positif dibandingkan dampak negatif.
101
102
B. Implikasi Penelitian 1. Pembagian harta warisan di Desa Palalakkang yang menggunakan sistem hukum
adat,
seharusnya
tidak
membeda-bedakan
atau
mengutamakan antara masing-masing ahli waris. Intinya disini di bagi secara adil dan tidak memihak kepada salah satu ahli waris. 2. Perlu di adakan sosialisasi mengenai sistem pembagian harta warisan secara hukum Islam atau syariat Islam di Desa palalakkang, karena selama ini masyarakat di Desa tersebut masih belum paham tentang pembagian harta warisan sesuai dengan hukum Islam, ini disebabkan lebih awalnya agama-agama lain masuk di desa tersebut seperti Hindu, Buddah dan sebagainya di banding agama Islam. 3. Dalam Pembagian Harta Warisan di Desa Palalakkang dilakukan secara musyawarah, dan tidak secara tertulis. Untuk menghidari dampak negatif yang kemungkinan besar akan terjadi, maka penulis menyarankan, demi untuk menghindari kesalahpahaman di kemudian hari, bagi pihak yang bersangkutan agar hendaknya ditetapkan dalam bentuk tertulis, agar bisa dijadikan sebagai alat bukti jika dikemudian hari ada ahli waris yang menuntut.
DAFTAR PUSTAKA Al-Quran dan Terjemahnya. Ali, Sayuthi. Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek. Cet.I. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2002 Athoillah, Mohammad. Fikih Mawaris, Bandung: Yrama Widya, 2013 Bisri, Cik Hasan. Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Wacana Ilmu, 1999 Bushar, Muhammad. Pokok-pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita, 2006 Damopolii, Muljono. Pedoman Penulisan Karya Tulis Ilmiah (Makalah, Skripsi, Tesis, Disertasi, dan Laporan Penelitian), Makassar: Alauddin Press, 2013. Habiburrahman, Rekonstruksi Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2011 Hatta, Ahmad. Tafsir Qur’an Per Kata “Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2011 Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Cet II. Jakarta: Amzah,2009 Khallaf, Abdul Wahhab. Ilmu Ushul Fiqh. Cet.I. Semarang: Dina Utama, 1994 Komar, Anandasasmita. Pokok-pokok Hukum Waris. Bandung: IMNO Unpad, 1984 Lubis, Suhrawardi K. Dan Komis Simanjuntak. Hukum Waris Islam (Lengkap dan Praktis) Cet.IV. Jakarta: Sinar Grafika, 2014 Mahali, A.Mudjab. Asbabun Nuzul:Studi Pendalaman Al-Qur’an Surat ALBaqarah-An-Nas. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002 Mujieb, M.Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqih. Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Cet.21. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006 Mustari, Abdillah. Hukum Kewarisan Islam. Makassar:Alauddin Press, 2013
103
105
Nasution, Amin Husein. Hukum Kewarisan: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum Islam. Cet.II. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012 Nurkhadijah, Hiksyani. Sistem Pembagian Harta Warisan Pada Masyarakat Ammatoa di Kabupaten Bulukumba. Makassar: Universitas Hasanuddin, 2013 Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta Timur: PT.Balai Pustaka,1976
Poesponoto, Soebakti. Asas-asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta:Pradnya Paramita,1960 Rasyid, Mulyani. Antropologi Hukum. Makassar: tp, 2015 Riduan. Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alfabeta, 2009 Samin, Sabri dan Andi Nurmaya Aroeng. FIKIH II. Makassar: Alauddin Press, 2010 Seriady, Tolib. Intisari Hukum Adat Indonesia, Bandung:Alfabeta, 2008
Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Cet.20. Bandung: Alfabeta. 2014 Syadzali, Munawir. Dari Lembah Kemiskinan; Kontekstualisasi ajaran Islam. Jakarta:IPHI dan Paramadina, 1995. Syarifuddin, Amir. Hukum Kewarisan Islam. Jakarta: Kencana, 2008 Takalar, Pemerintah Kabupaten, Rencana Strategis Pembangunan Desa (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa = RPJMDES 2011-2015) . Takalar: Desa Palalakkang, 2011 Thalib, Sajuti. Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta: Bina Aksara,1982 Tim permata press, Kompilasi Hukum Islam, (tt:permata press:tt) Wulansari, Dewi. Hukum Adat Indonesia: Suatu Pengantar. Cet.II. Bandung: PT. Refika Aditama, 2012 Yunus, Assaad. A. Pokok-Pokok Hukum Kewarisan Islam (Faraidh). Jakarta: PT. Al-Qushwa, 1992
105
Yusuf, Muhammad. Bias Gender dalam Kewarisan Menurut Ulama Bugis Makassar:UINAM, 2013.
LAMPIRAN LAMPIRAN HASIL PENELITIAN
Keterangan: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat
Keterangan: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat
107
108
Keterangan: Wawancara dengan Tokoh Masyarakat
Keterangan: Wawancara dengan Ahli Waris Anak bungko
109
Keterangan: Harta Warisan yang ditinggalkan oleh Daeng Lurang
110
Keterangan :Harta Warisan yang di tinggalkan oleh Almh. Rahmawati Dg Tanang.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Penulis skripsi yang berjudul, “ SISTEM PEMBAGIAN MASYARAKAT PALALAKKANG
HARTA
WARISAN
ISLAM KECAMATAN
DI
PADA DESA
GALESONG
KABUPATEN TAKALAR ( Studi Kasus Tahun 2012-2015 )” bernama lengkap Mustari Haris, Nim : 10100112077, Anak ke empat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak Abdul Haris Daeng Bantang dan Ibu Rahmawati Daeng Tanang (Almarhumah) yang lahir pada tanggal 10 November 1993 di Palalakkang Kecamatan Galesong Kab. Takalar Provinsi Sulawesi Selatan. Penulis mengawali jenjang pendidikan formal di TK Pertiwi Ranting Galesong Pada tahun 1999-2000, Kemudian Melanjutkan Studi di Sekolah Dasar Negeri No.69 Galesong I kecamatan Galesong Kabupaten Takalar pada tahun 2000 sampai 2004 Kemudian Pindah dan Tamat di SD Inpres Pamandongang, pada tahun 2005 sampai 2006, Penulis menempuh pendidikan di SMP NEG 2 Galesong Selatan , di tahun 2006-2009, dengan tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikannya di SMA Negeri 1 Galesong Utara Kabupaten Takalar dari tahun 2009-2012. Dengan tahun yang sama yakni tahun 2012, penulis melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar melalui Jalur Ujian Masuk Khusus (UMK) dan lulus di Fakultas Syariah dan Hukum Jurusan Peradilan Agama hingga tahun 2016.
110
111
Selama menyandang status mahasiswa di jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah dan Hukum, penulis pernah mejadi anggota HMJ Peradilan Agama Periode 2013-2014, dan Menjadi Wakil Sekretaris di HMJ Peradilan Agamaa Periode 20142015.