TINGKAT PENDAPATAN YANG DIPEROLEH JURAGAN KAPAL IKAN DI DESA BEBA KECAMATAN GALESONG UTARA KABUPATEN TAKALAR Hasrullah Liong Misi
[email protected] Dosen Tetap Manajemen STIE AMKOP Makassar
I. Latar belakang Indonesia dianugerahi laut yang begitu luas dengan berbagai sumber daya ikan di dalamnya. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang besar. Panjang pantai Indonesia mencapai 95.181 km (World Resources Institute, 1998 dalam Yusri, 2010) dengan luas wilayah laut 5,4 juta km2, mendominasi total luas teritorial Indonesia sebesar 7,1 juta km2. Potensi tersebut menempatkan Indonesia sebagai negara yang dikaruniai sumber daya kelautan yang besar termasuk kekayaan keanekaragaman hayati dan non hayati kelautan terbesar. Indonesia memiliki sumberdaya perikanan meliputi, perikanan tangkap di perairan umum seluas 54 juta hektar dengan potensi produksi 0,9 juta ton/tahun. Budidaya laut terdiri dari budidaya ikan (antara lain kakap, kerapu, dan gobia), budidaya moluska (kekerangan, mutiara, dan teripang), dan budidaya rumput laut, budidaya air payau (tambak) yang potensi lahan pengembangannya mencapai sekitar 913.000 ha, dan budidaya air tawar terdiri dari perairan umum (danau, waduk, sungai, dan rawa), kolam air tawar, dan mina padi di sawah, serta bioteknologi kelautan untuk pengembangan industri bioteknologi kelautan seperti industri bahan baku untuk makanan, industri bahan pakan alami, benih ikan dan udang serta industri bahan pangan. Besaran potensi hasil laut dan perikanan Indonesia mencapai 3000 triliun per tahun, akan tetapi yang sudah dimanfaatkan hanya sekitar 225 triliun atau sekitar 7,5% saja. Peluang pengembangan usaha kelautan dan perikanan Indonesia masih memiliki prospek yang baik. Pengembangan usaha kelautan dan perikanan dapat digunakan untuk mendorong pemulihan ekonomi diperkirakan sebesar US$82 miliar per tahun.Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi penghasil produk perikanan terbesar dunia, karena kontribusi perikanan terus mengalami kenaikan. Di samping itu potensi-potensi lainnya mulai perlu dikelola, seperti sumber daya yang tidak terbaharukan, agar dapat memberikan kontribusi yang nyata bagi pembangunan. Untuk mengoptimalkan pemanfaatan potensi sumber daya kelautan dan perikanan dan menjadikan sektor ini sebagai prime mover pembangunan ekonomi nasional, diperlukan upaya percepatan dan terobosan dalam pembangunan kelautan dan perikanan
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
2 yang didukung dengan kebijakan politik dan ekonomi serta iklim sosial yang kondusif. Sumber daya perikanan laut adalah salah satu potensi sumber daya laut di indonesia yang sejak dulu telah dimanfaatkan penduduk. Laut Indonesia memiliki angka potensi lestari yang besar, yaitu 6,4 juta ton per tahun. Yang dimaksud dengan potensi lestari adalah potensi penangkapan ikan yang masih memungkinkan bagi ikan untuk melakukan regenerasi hingga jumlah ikan yang ditangkap tidak mengurangi populasi ikan. Salah satu wilayah Indonesia yang memiliki potensi laut yang cukup besar adalah Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi Selatan memiliki perairan laut dengan panjang pantai sekitar 2.500 km dengan potensi sumberdaya perikanan tangkap yang besar dengan berbagai jenis ikan yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Potensi perikanan Sulawesi Selatan untuk daerah penangkapan 12 mil dari pantai sebesar 620.480 ton/tahun dan 80.072 ton/tahun untuk zona ekonomi eksklusif (ZEE), daerah penangkapan 12-200 mil dari pantai. Potensi perikanan laut ini baru termanfaatkan sekitar 56% yaitu 14.468 ton setiap tahunnya (Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan, 2012). Salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan yang menjadikan sektor perikanan sebagai sektor andalan bagi pertumbuhan ekonominya adalah Kabupaten Takalar yang berbasis di Soreang Desa Tamalate dan Desa Tamasaju Kecamatan Galesong Utara. Di Galesong Utara inilah menjadi pusat atau markasnya para penangkap ikan dengan menggunakan kapal Rengge yang berukuran besar mencapai 17 x 4 meter. Hasil tangkapan para nelayang rengge ini tidak hanya bisa dinikmati oleh masyarakat di kabupaten Takalar semata, namun, karena keberadaannya yang sudah terkenal, sehingga para penjual ikan dari segala penjuru siap menampung hasil tangkapan kapal rengge ini seperti dari Makassar, Kabupaten Jeneponto, Bantaeng, Sinjai, Pinrang, Polman, dan masih banyak lagi lainnya. Sebagai simbol bahwa daerah ini menjadi markas atau bazisnya kapal rengge terlihat pada saat bulan purnama, di mana saat itu ratusan kapal rengge sandar di dermaga muara tanjung yang merupakan pertemuan aliran sungai jeneberang dengan laut atau pantai galesong. Para nelayan menyakini bahwa saat bulan purnama ikan kurang sehingga para kapal rengge tidak beraktivitas melakukan pencarian ikan dan hanya dimanfaatkan oleh para sawi kapal untuk memberikan perawatan kepada kapal renggenya. Besarnya peranan awak kapal penangkap ikan (Sawi Kapal) terkadang tidak sebanding dengan pendapatan yang mereka peroleh. Sebab, sistem bagi hasil yang dilakukan oleh para juragan kapal (pemilik kapal) juga cenderung kurang menguntungkan nelayan buruh (sawi kapal). Pola bagi hasil adalah alternatif yang rata-rata masyarakat nelayan untuk mengurangi resiko. Pola bagi hasil juga akan dapat mengurangi resiko bagi pemilik kapal serta menjaminnya tidak Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
memberi upah yang tidak sepadan bilamana hasil tangkapannya sedang buruk. Hal ini terjadi karena penghasilan nelayan yang tidak dapat ditentukan kepastiannya, tergantung dari jumlah ikan yang ditangkap dan hasil penjualan yang dilakukan. Hasil pengamatan pada prapenelitian menunjukkan bahwa distribusi pendapatan dari pola bagi hasil tangkapan sangatlah timpang diterima antara pemilik dan awak kapal. Secara umum hasil bagi bersih yang diterima awak kapal dan pemilik kapal adalah setengah-setengah. II. Pembahasan. 5.1. Deskripsi Mengenai Kapal Rengge Telah diuraikan pada bab sebelumnya bahwa Desa Tamasaju merupakan desa yang mayoritas wilayahnya berada di pesisi pantai sehingga sebagian besar penduduk yang ada di desa tersebut berprofesi sebagai nelayan. Hal ini juga ditunjang keberadaan dermaga dan pelelangan ikan yang menjadi basis bongkar muat para nelayan dan sebagai tempat transaksi perdagangan atau jual beli ikan, tepatnya yang berada di Dusun Beba. Potensi wilayah yang dimiliki serta ketersediaan sumber daya manusia yang mayoritas lebih dominan ingin berlaut dibandingkan berprofesi sebagai petani menjadi alasan bagi mereka yang berkelebihan dana untuk menyediakan kapal penangkap ikan yang lebih dikenal dengan istilah kapal rengge. Rengge merupakan pukat atau jarring penangkap ikan yang digunakan di Makassar, dengan ukuran hingga 40 x 350 meter, dilengkapi dengan bolabola pelampung sehingga bobotnya bisa mencapai hingga 1000 Kg atau 1 ton. Dengan bobot tersebut, sehingga agar jarring tersebut efektif digunakan untuk menangkap ikan, maka dibuatlah kapal yang didesain dengan bentuk dan ukuran yang dapat mengimbangi jaring atau pukat tersebut sehingga disebutlah kapal rengge, karena dilengkapi dengan rengge. Kapal rengge merupakan kapal besar penagkap ikan utama yang dikelola sebagian besar penduduk di Galesong Utara, selain kapal Rere (sejenis kapal rengge tetapi ukurannya sedikit kecil), Jolloro’, dan perahu lepalepa (perahu kecil yang digunakan nelayan mencari ikan, umumnya digunakan
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
4 oleh nelayan yang tidak menjadi AB (sawi atau pekerja) kapal rengge atau kapal rere). Kapal rengge merupakan kapal penangkap ikan utama bagi masyarakat di Kabupaten Takalar, hal ini dikarenakan ukurannya yang besar sehingga daya tampung ikan hasil tangkapan juga banyak. Karena fisiknya yang besar, sehingga biaya pengadaan 1 unit kapal rengge juga besar, bahkan bisa mencapai hingga Rp. 150 juta. Tak heran jika pemilik kapal rengge juga terbatas hanya dari kalangan golongan masyarakat ekonomi menengah ke atas. Kapal rengge terbuat dari kayu pilihan dan dibuat di pusat pembuatan Kapal di Tana Beru, Bulukumba oleh para pengrajin handal dan profesional. Kapal rengge umumnya memiliki panjang antara 14 s/d 17 Meter dengan lebar Dek mencapai 4 s/d 5 meter. Daya angkut maksimal mencapai 15 ton. Dalam operasionalnya, sebuah kapal rengge memiliki 15 hingga 17 personil ABK (Sawi) yang terdiri dari seorang nahkoda kapal dan selebinya adalah buruh kapal (nelayan) yang masing-masing memiliki tugas atau tanggungjawab mulai dari juru kemudi hingga juru masak dan petugas kebersihan kapal. Kapal rengge umumnya dilengkapi dengan pukat atau jaring penangkap ikan serta sebuah atau 2 buah perahu kecil sampan/lepa-lepa yang digunakan untuk penerangan pada saat ikan ditaburi umpan atau pakan. Sebuah kapal rengga harus juga dilengkapi dengan mesin mendorong kapal dengan bobot antara 30PK hingga 50PK, jika pemilik kapal mampu bahkan bisa menggunakan mesing ganda yang berfungsi sebagai pendorong pembantu kapal saat lagi bermuatan maksimal agar kecepatan kapal bertambah. Selain itu, kapal rengge juga harus dilengkapi dengan mesin penarik pukat yang berfungsi untuk menarik pukat dengan cepat saat pukat atau jarring telah dianggap siap menjaring banyak ikan di laut pasca pemberian pakan atau umpan. Pada sisi depan kapal rengge, dilengkapi dengan peti atau boks paten yang memang telah dirancang hingga ke dasar lambung atau perut kapal yang berfungsi untuk menampung ikan hasil tangkapan dimana boks atau peti itu Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
juga yang difungsikan sebagai penampung es balok yang memang disiapkan. Mengingat bahwa operasional kapal rengge dalam sekali berlayar butuh waktu antara 4 sampai 7 hari. Di sisi bagian belakang kapal rengge terdapat anjungan seperti kamar yang menjulur hingga ke belakang melampaui lambung kapal sebagai pusat kendali kapal atau tempat para sawi beristirahat. Biasanya berukuran 2 x 4 meter dengan tinggi hingga 2 meter. Di atas kamar tersebut di desain sedemikian rupa sehingga juga dapat digunakan sebagai tempat para sawi atau awak kapal bercanda atau juga biasanya digunakan oleh juru kemudi dan nahkoda memantau keadaan perairan di laut. Di bagian bawah kamar tersebut tepatnya di lambung bawah kapal merupakan tempat mesin kapal dan pusat kendali kapal dimana bagian masinis beroperasi. Kapal juga di lengkapi dengan sebuah jangkar dan tali yang digunakan saat kapal lagi berlabuh di laut atau berdermaga. kelengkapannya diuraikan pada tabel 4 berikut ini : Tabel 4 Anggaran pengadaan kapal rengge beserta fasilitas pendukungnya No.
Jenis Fasilitas/kelengkapan
Harga pengadaan
1. Kapal Rengge
Rp. 350.000.000,-
2. Pukat/Jaring (Rengge)
Rp. 150.000.000,-
3. Mesin Pendorong Utama 40PK
Rp. 150.000.000,-
4. Mesin Ganda 20 PK
Rp.
25.000.000,-
5. Mesin penarik rengge/pukat
Rp.
6.000.000,-
6. Sampan/Lepa-lepa
Rp.
7.000.000,-
7. Jangkar
Rp.
2.000.000,-
8. Keranjang Ikan 100 buah
Rp.
1.500.000,-
9. Mesin diesel Genset
Rp.
17.000.000,-
10. 15 buah lampu sorot
Rp.
2.250.000,-
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
6 11. 6 buah ban mobil bekas Total biaya pengadaan
Rp.
900.000,-
Rp. 711.650.000,-
Sumber : Data Primer, Hasil wawancara pemilik kapal, 2016 Berdasarkan tabel 4 tersebut diketahui anggaran pengadaan 1 unit kapal Rengge beserta fasilitas pendukung operasionalnya mencapai Rp. 711.650.000,5.2. Biaya Operasional Setelah memahami mengenai kapal rengge dengan beberapa fasilitas pendukung operasionalnya, ada baiknya untuk kita menganalisis biaya-biaya yang harus dikeluarkan dalam sekali beroperasi. Untuk memperoleh laba yang maksimal, tentunya pihak pemilik kapal berupaya untuk meminimalisisr biaya operasional atau biaya- biaya yang harus dikeluarkan pada operasional kapal Rengge. Pada Umumnya, Kapal rengga beroperasi dalam sebulan maksimal 3 kali atau dengan kata lain bahwa dalam sebulan aktivitas penangkapan dapat dacapai 3 sampai 4 kali sebelum terbitnya bulan purnama. Dalam sekali beroperasi, biasanya membutuhkan waktu antara 4 hingga 7 hari, tergantung dari keberuntunga. Jika keberuntungan berpihak, maka waktu yang dibutuhkan juga relatif singkat sebab cuma butuh rentangan jaring sebanyak 2 kali di daerah kumpulan ikan, namun jika keberuntungan tidak berpihak, perentangan jaring di laut bisa dilakukan hingga 4 kali. Hasil tangkapan dalam sekali berlayar atau beroperasi juga tidak menentu, jika beruntung hasil tangkapan bisa mencapai 100 keranjang dengan jenis ikan berkelas seperti ikan katombo, Layang, Banyar, Cakalang. Sedangkan jika kurang beruntung hasil tangkapan biasanya hanya mencapai 40 – 50 keranjang, belum lagi jika hasil tangkapan hanya ikan-ikan kelas menengah seperti bête-bete, tmbang, dan sibula. Berikut akan diuraikan biaya operasional dikeluarkan oleh pemilik kapal Rengge dalam sekali periode (sebulan, sebelum bulan purnama), yang tersaji dalam tabel 5 berikut ini : Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
Tabel 5 Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk operasional kapal Rengge Dalam sekali periode No.
Jenis biaya
Jumlah biaya (Rp)
1. Biaya pembelian es balok 300 balok @ Rp. 15.000,-
4.500.000,-
2. Biaya pembelian Solar 600 liter @ Rp. 6.450,-
3.225.000,-
3.
Biaya pembelian 10 tabung gas elpiji 3 Kg @ Rp. 17.000
170.000,-
4. Biaya Pengadaan Air Bersih 300 litar 5. Beras 100 liter @ Rp. 8.000,6. Rokok 10 Pak
75.000,800.000,1.200.000,-
7. Obat-obatan
150.000,-
8. Biaya tak terduga
3.000.000,-
Total Biaya (cost)
13.120.000,-
Biaya rata-rata yang dikeluarkan 3 kali beroperasi
4.373.333,33
Pembulatan biaya dalam sekali beroperasi
4.400.000,-
Sumber : Data primer Hasil Wawancara dengan Dg. Tawang (pemilik kapal rengge), 2016 Dari tabel 5 tersebut memberikan penjelasan bahwa musim (3 kali beroperasi sebelum terbitnya bulan purnama) Rengge harus mengeluarkan biaya sebesar Rp. 13.120.000,dirata-ratakan dalam sekali beroperasi, dibutuhkan biaya 4.400.000,-
dalam sekali pemilik kapal sehingga jika sebesar Rp.
5.3. Analisis tingkat pendapatan dan Margin Keuntungan usaha Industri Batu Merah. 1.
Analisis Pendapatan
Untuk mengetahui tingkat pendapatan atau perolehan laba yang diperoleh pemilik kapal Rengge dalam semusim dari hasil penjualan ikan digunakan analisis pendapatan dengan formulasi sebagai berikut : Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
8 π = TR – TC dimana : π
= Pendapatan
TR = Total revenue, yaitu pendapatan yang diproleh dari hasil penjualan ikan TC = Total Cost (jumlah keseluruhan biaya yang dikeluarkan)
Untuk menentukan pendapatan, penjualan ikan didasarkan atas asumsi-asumsi jenis dan kuantitas ikan yang diproleh dikarenakan hasil tangkapan tidak bersifat mutlak pada satu jenis ikan serta jumlah yang diperoleh dalam sekali operasi. Berikut adalah tabel 6 yang memberikan gambaran pendapatan yang diperoleh pemilik kapal Rengge dari hasil penjualan ikannya berdasarkan asumsi rata-rata jenis dan kuantitas ikan selama satu periode musim penangkapan (1 bulan sebelum bulan purnama). Tabel 6 Pendapatan hasil penjualan ikan dalam 1 periode Pendapa tan (Rp)
Uraian Hasil penjualan ikan pada ret pertama - Asumsi 25 keranjang ikan Katombo/Banyar/ Layang @ Rp. 400.000,- Asumsi 35 keranjang ikan Sibula @ Rp. 150.000,- Asumsi 30 keranjang ikan Tembang @ Rp. 100.000,-
10.000.0 00,5.550.00 0,3.000.00 0,-
Hasil penjualan ikan pada ret Kedua - Asumsi 30 Keranjang Ikan Katombo @ 400.000,-
12.000.0 00,-
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
- Asumsi 35 Keranjang ikan Cakalang @ Rp. 300.000,-
10.500.0 00,-
Hasil penjualan ikan pada ret Ketiga - Asumsi 20 Keranjang Ikan Cakalang @ 300.000,- Asumsi 40 Keranjang ikan Tembang @ Rp. 100.000,- Asumsi 25 Keranjang ikan Bete-bete @ Rp. 150.000,Total Pendapatan (revenue) Rata-rata Pendapatan dalam 1 ret (1x beroperasi) Pembulatan pendapatan dalam 1 ret
6.000.00 0,4.000.00 0,3.750.00 0,54.800.0 00,18.266.6 66.67 18.270.0 00,-
Sumber : Data primer hasil pengamatan dan wawancara, 2016 -
Berdasarkan table 6 tersebut, dapat diketahui : TR/Total Revenue, total pendapatan yang diperoleh Pemilik kapal rengge dari hasil penjualan ikan Rp. 54.800.000,-
-
TC/Total Cost yaitu total biaya yang harus dikeluarkan Rp. 13.120.000,Maka π π
π = =
= TR – TC Rp. 54.800.000,- – Rp. 13.120.000,Rp. 41.680.000,-
Dari hasil perhitungan tersebut, maka diketahui bahwa tingkat pendapatan yang diterima oleh pemilik kapal Rengge dalam semusim sebesar 41.680.000,- dengan asumsi bahwa kondisi baik kapal, maupun cuaca dalam keadaan normal. (Total revenue tersebut bisa mencapai 2 hingga 3 kali lipat, namun bisa juga mengalami kerugian tergantung dari keberuntungan serta faktor cuaca yang tak dapat diprediksi kondisinya).
2. Analisis Margin Keuntungan (Profitabilitas) Profitabilitas merupakan kemampuan untuk menghasilkan laba. Laba dapat diperoleh dari hasil penjualan ikan setelah dikurangi seluruh biaya-biaya yang digunakan dalam operasional kapal Rengge. Dalam prakteknya, pengelolaan kapal rengge, keuntungan yang diperoleh pemilik kapal dengan Awak Kapal memiliki metode pembagian fiftyfifty (50 – 50) setelah dikeluarkan seluruh biaya atau cost yang digunakan dalam operasional kapal rengge, termasuk mengeluarkan biaya sebesar 5% Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
10 untuk Papalele (yang membantu menjual dan menetapkan harga ikan saat pelelangan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI). Pada pihak ABK, pembagian pendapatan juga memiliki metode tersendiri, yaitu peresentase pendapatan yang diterima sebesar 50% setelah dibagi dengan pemilik kapal, akan dikeluarkan sebesar 10% untuk Punggawa Kapal (Nahkoda Kapal), sisanya itulah yang dibagi rata kepada para awak kapal sesuai dengan jumlah personil yang terlibat atau yang ikut dalam operasi kapal Rengge. Berikut akan diuraikan keuntungan (profit) yang diperoleh berdasarkan metode persentase pembagiannya. a. Keuntungan Pemilik Kapal Penjualan
= Rp.
54.800.000,-
3% dari penjualan untuk Papalele
= Rp.
1.644.000,-
Rp.
53.156.000,-
= Rp.
13.120.000,-
Rp.
40.036.000,-
Biaya operasional (cost) Total Pendapatan (TR) 50% untuk Awak Kapal
= Rp
20.018.000,-
Keuntungan Pemilik Kapal
= Rp
20.018.000,-
b. Pendapatan Punggawa Kapal (Nahkoda Kapal) 10% dari Pembagian Awak Kapal = Rp.
2.001.800,-
c. Pendapatan Awak Kapal Pembagian untuk awak kapal 10% untuk punggawa kapal Pembagian untuk Awak Kapal
= Rp. = Rp. = Rp.
20.018.000,2.001.800,18.016.200,-
Pembagian untuk Awak Kapal sebesar Rp. 18.016.200,- kemudian dibagi secara merata berdasarkan jumlah Awak Kapal termasuk di antaranya Punggawa Kapal. Jika dalam 1 unit Kapal Rengge di awaki sebanyak 15 orang termasuk seorang diantaranya Punggawa Kapal, maka Rp. 18.016.200,- dibagi 15 orang = Rp. 1.201.080,- yang berarti bahwa setiap orang awak kapal memperoleh pendapatan masing-masing sebesar Rp. 1.201.080,Tabel 5 dan Tabel 6 tersebut juga menjadi dasar untuk mengukur kemampuan pengusaha Kapal Rengge menghasilkan laba dengan menggunakan beberapa rasio antara lain : 1.
Analisis atau rasio Gross Profit Margin (GPM), Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
Rasio Gros Profit Margin mencerminkan atau menggambarkan laba kotor yang dapat dicapai setiap rupiah penjualan. Semakin tinggi gross profit margin, maka semakin baik. Rasio Gross Profit Margin diformulasikan sebagai berikut : Gross Profit Margin (GPM) =
Laba Kotor Penjualan
x 100 %
Maka : Gross Profit Margin (GPM) =
41.680.000,-
x 100 %
54.800.000,Gross Profit Margin (GPM) = 76,05% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa Gross Profit Margin (GPM) yang diperoleh sebesar 76,05% artinya bahwa kemampuan untuk menghasilkan laba pagi pelaku atau pengusaha Kapal Rengge sebesar 76,05% dari penjualan ikannya.
2.
Rasio Net Profit Margin (NPM), Digunakan untuk mengetahui tingkat perolehan laba bersih dari hasil penjualan setelah pajak, dengan formulasi sebagai berikut : Net Profit Margin (NPM) =
Laba Bersih Setelah Pajak Penjualan
x 100 %
Maka : Net Profit Margin (NPM) =
40.036.000,-
x 100 %
54.800.000,Net Profit Margin (NPM) = 73,05% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa nilai Net Profit Margin (NPM) yang diperoleh sebesar 73,05% artinya bahwa kemampuan Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
12 untuk menghasilkan laba pagi pelaku atau pengusaha Kapal Rengge sebesar 73,06% dari penjualan ikannya, setelah dikeluarkan pajak bagi papalele sebesar 3%. Menurut Bastian dan Suhardjono (2006 : 299) Net Margin adalah perbandingan antara laba bersih dengan penjualan. Semakin besar NPM, maka kinerja perusahaan akan semakin produktif, sehingga akan meningkatkan kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya pada perusahaan tersebut. Angka NPM dapat dikatakan baik apabila > 5 %. Berdasakan hal tersebut, menjelaskan bahwa kemampuan pengusaha kapal Rengge dalam menghasilkan laba bersih setelah pajak sangat baik sebab nilai NPM sangat jauh lebih tingg dibandingkan nilain standar NPM. 3.
Rasio Return On Assets (ROA), Digunakan untuk mengukur kemampuan pelaku usaha atau pengusaha Kapal Rengge dalam menghasilkan laba yang berasal dari aktivitas investasi dengan formulasi sebagai berikut : Return On Assets (ROA) =
Laba Bersih Total Aktiva
x 100 %
Maka : Return On Assets (ROA) =
20.018.000,-
x 100 %
711.650.000,Return On Assets (ROA) = 2,81% Berdasarkan hasil perhitungan tersebut diketahui bahwa nilai Return On Assets (ROA) yang diperoleh sebesar 2,81% artinya bahwa kemampuan untuk menghasilkan laba pagi pelaku atau pengusaha Kapal Rengge sebesar 2,81% dari total Aktiva atau nilai investasi awal sebesar Rp. 711.650.000,-
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
Menurut Lestari dan Sugiharto (2007 : 196) semakin tinggi rasio ini maka semakin baik produktivitas asset dalam memperoleh keuntungan bersih. Angka ROA dapat dikatakan baik apabila > 2 %. Berdasarkan hal tersebut, menjelaskan bahwa produkstivitas asset Kapal Rengge sangat baik sebab > 2 %. Berikut ini adalah tabel 7 yang menyajikan rekapitulasi hasil perhitungan beberapa rasio profitabilitas berdasarkan standar optimal : Tabel 7 Rekapitulasi hasil perhitungan rasio profitabilitas Rasio Gross Profit Margin (GPM) Net Profit Margin (NPM)
Return On Assets (ROA)
Pencapaian Hasil Usaha
Standar
Kolektibilitas
Semakin Tinggi
76,05
nilai GPM semakin
Baik
baik
73,05
5%
Baik
2,81
2%
Baik
Berdasarkan Tabel 7 tersebut, memberikan penjelasan bahwa secara umum berdasarkan rasio profitabilitas keuntungan yang diperoleh bagi pelaku usaha atau pengusaha/pemilik kapal Rengge dinyatakan BAIK sehingga menerima hipotesis penelitian yang menyatakan bahwa “Diduga bahwa pemilik kapal ikan memperoleh tingkat pendapatan dan margin keuntungan yang tinggi dalam satu periode penangkapan ikan di desa Tamasaju Kecamatan Galesong Utara Kabupaten Takalar”. DAFTAR PUSTAKA Alexandri, 2008. Manajemen Keuangan Bisnis. Cetakan kesatu. Penerbit Alfabeta. Bandung Ardidja, S. 2007. Kapal Penangkap Ikan. Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta Ariyanto, Mega. 2009. Pembuatan Kapal Non Baja dan Penggunaannya. Bastian. I, dan Suhardjono, 2006. Akuntansi Perbankan. Edisi 1. Salemba Empat. Jakarta. Belkaoui, A.R. 2000. Teori Akuntansi. Buku 1. Salemba Empat. Jakarta. Dendawijaya. L. 2003. Manajemen Perbankan. Ghalia Indonesia. Jakarta Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
14 Greuning, H. 2005. Standar Pelaporan Keuangan Internasional “Pedoman Praktis”. Salemba Empat. Jakarta Hanafi, M & Halim, A. Yogyakarta
2005. Analisis Laporan Keuangan. AMP-YKPN.
Harmono. 2009. Manajemen Keuangan Berbasis Balance Score Card. (Pendekatan Teori, Kasus, dan Riset Bisnis). Bumi Aksara. Jakarta Henry, S. 2000. Akuntansi Basis Pengambilan Keputusan Bisnis. Salemba Empat. Jakarta Ikatan Akuntan Indonesia. 2004. Standar Akuntansi Keuangan. Penerbit Salemba Empat. Jakarta Ilham. 2013. Analisis Kelayakan Investasi pada CV. Ilham di Kabupaten Gowa. Skripsi S1 Manajemen. STIE Amkop Makassar. Lestari. M. I, dan Sugiharto. T, 2007. Kinerja Bank Devisa dan Bank Non Devisa dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Proceding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitek dan Sipil). Jurnal Vol. 2 Fakultas Ekonomi Universitas Guna Dharma Mardiyanto. H. 2009. Intisari Manajemen Keuangan. PT. Grasindo. Jakarta Martono & Harjito, A. 2003. Manajemen Keuangan. Edisi Pertama. Cetakan Ketiga. Ekonesia. Yogyakarta. Munawir, S. 2001. Analisis Kebijakan Investasi dan Porto Folio Finansial Perusahaan. Lembaga PPM dan Yayasan Lembaga Keuangan dan Investasi Indonesia. Yogyakarta Purbayanto dkk, 2004. Pedoman umum perencanaan pengelolaan dan pemanfaatan hasil tangkap sampingan pukat udang di Laut Arafura. Diterbitkan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Papua bekerjasama dengan PT. Sucofindo, Jakarta. Riyadi, 2006. Banking Assets and Liability Management. Edisi 3. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Jakarta Rosjidi. 1999. Teori Akuntansi. Edisi Pertama. LPFE-UI. Jakarta Setianto. I. 2007. Kapal Perikanan. UNDIP. Semarang Skousen, Smith., 2001. Akuntansi Intermediate, Volume Komprehensif, Jilid 2, Edisi Sembilan, Erlangga, Jakarta. Soekartawi. 2003. Teori Ekonomi Produksi. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta Sutrisno. 2000. Manajemen Keuangan (Teori, Konsep, dan Aplikasi). Edisi Pertama. Yogyakarta : EKONISIA. Syamsuddin, L. 2009. Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi Baru. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta. Syarif, H. 2008. Analisa Probabilitas Kerusakan pada Konstruksi Lambung Kapal Kayu dengan Sistem Pantek dan Sistem Overlapping Menggunakan Distribusi Weibull Warsono. 2003. Manajemen Keuangan Perusahaan. Edisi Ketiga. Bayumedia. Malang Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016
Wild, John, K.R. Subramanyam, dan Robert F. Halsey. 2005. Analisis Laporan Keuangan. Edisi Delapan, Buku Kesatu. Alih Bahasa : Yanivi dan Nurwahyu. Jakarta : Salemba Empat.
Capacity Volume 11 Nomor 2 Jun-Sep 2016