SISTEM JARINGAN PENGIMBAS – TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016
OLEH NAMA NUPTK KABUPATEN PROPINSI
: AGUS JUNAEDI, S.Pd. : 7151760662200013 : BANYUASIN : SUMATERA SELATAN
PEMERINTAHAN KABUPATEN BANYUASIN DINAS PENDIDIKAN SATDIK NONFORMAL SANGGAR KEGIATAN BELAJAR JL. KH. Sulaiman Kelurahan Kedondong Raye, Pangkalan Balai Banyuasin 30753
i
SURAT PERNYATAAN Saya yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: Agus Junaedi, S.Pd.
NUPTK
: 7151760662200013
Jabatan
: Pamong Belajar
Unit Kerja
: SPNF SKB Kabupaten Banyuasin
menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa naskah simposium yang berjudul “Sistem Jaringan Pengimbas – Terimbas dalam Mengoptimalkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016” disusun berdasarkan observasi literatur. Karya tulis ini belum pernah saya ajukan untuk lomba tingkat nasional. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam karya tulis ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Banyuasin, 14 November 2016 Pamong Belajar,
AGUS JUNAEDI, S.Pd.
ii
LEMBAR PENGESAHAN Karya tulis ilmiah yang berjudul “SISTEM JARINGAN PENGIMBAS - TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016”
DISUSUN OLEH : AGUS JUNAEDI, S.Pd.
diajukan untuk melengkapi persyaratan Simposium GTK Kemdikbud Tahun 2016 dan dinyatakan telah mendapat pengesahan sebagai karya tulis.
:
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penyusunan naskah simposium berjudul “Sistem Jaringan Pengimbas – Terimbas dalam Mengoptimalkan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016” dapat diselesaikan tepat waktunya. Karya Tulis ini diajukan sebagai peran serta Pamong Belajar untuk mengikuti simposium guru dan tenaga kependidikan tahun 2016. Semoga naskah yang telah diajukan diterima oleh berbagai pihak sehingga dapat mengoptimalkan pendidikan inkusi di seluruh sekolah yaitu PAUD/TK, SD, SMP dan SMA/SMK sederajat. Sistem Jaringan Pengimbas – Terimbas dibutuhkan sebagai bentuk dukungan pengoptimalan pendidikan inklusi secara masif. Untuk itu, atas dukungan, kerjasama, dan bantuan yang diberikan, saya sampaikan terima kasih. Mudah-mudahan naskah yang saya susun ini dapat memberikan manfaat bagi anak berkebutuhan khusus, pedidik dan tenaga kependidikan serta pemangku kebijakan untuk merubah SLB menjadi sekolah inklusi.
Banyuasin, 14 November 2016 Penulis,
AGUS JUNAEDI, S.Pd.
iv
DAFTAR ISI Halaman Sampul ... ........................................................................... Surat Pernyataan ... ........................................................................... Lembar Pengesahan .......................................................................... Kata Pengantar ....... ........................................................................... Daftar Isi …………………………………………………………………… Daftar Gambar ........ ...........................................................................
i ii iii iv v vi
I. PENGANTAR .... ........................................................................... II. MASALAH .......... ........................................................................... III. PEMBAHASAN DAN SOLUSI ........................................................ IV. . KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS .................................... DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... Lampiran
1 2 3 10 12
v
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Contoh struktur organisasi sekolah inklusi .......................
5
Gambar 2. Contoh alur sekolah pengimbas-terimbas pendidikan inklusi.. 9
vi
I.
PENGANTAR
Anak berkebutuhan khusus (ABK) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka, contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuhan biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB). (Dr. Mujito dkk, 2012 : 25-26).
Dari definisi diatas telah jelas menyatakan bahwa kebutuhan anak ABK wajib difasilitasi dikarenakan kemampuan dan potensi anak bisa digali jika pendidik mampu memahami karakteristik dan hambatannya. Pendidik harus lebih kerja keras dalam memahami akan kecerdasan, sosial emosional, bahasa, seni dan nilai moral agama ABK mengingat hambatan yang dihadapi jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya. Hambatan ini bisa disebabkan oleh ketidaksempurnaan fisik atau gangguan psikologis anak.
Meninjau dari definisi diatas SLB merupakan solusi yang dibuat sebagai wadah lembaga pendidikan untuk mengembangkan potensi ABK, akan tetapi jumlah SLB saat ini masih jauh dari kata cukup yaitu hanya 1.962 lembaga atau 28.493 Rombel. (Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB), 2015 : 1).
Sedangkan jumlah anak
berkebutuhan khusus di Indonesia diperkirakan kurang lebih 4,2 juta. Ketimpangan yang jauh ini maka pemerintah mulai tahun 2009 dengan mengembangkan pendidikan yang berbasis pembauran (inklusif).
1
Dalam Permendiknas No 70 tahun 2009 pasal 1, yang dimaksud
dengan
pendidikan
inklusif
adalah
sistem
penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Definisi
tersebut
jelas
bahwa
ABK
diharapkan
bisa
mendapatkan pelayanan pendidikan diluar SLB yaitu sekolah umum tanpa harus dikelompokkan pada satu tempat (segresi). Dengan demikian pelayanan pendidikan inklusi sangat perlu dioptimalkan mengingat selain ketimpangan jumlah ABK dengan SLB cukup besar maupun pelaksanaan pendidikan tanpa segresi. Berdasarkan uraian tersebut maka penulis mengangkat karya tulis dengan judul Sistem Jaringan
–
Pengimbas
Terimbas
dalam
Mengoptimalkan
Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Tahun 2016. II.
MASALAH Berdasarkan
uraian
tersebut
diatas
maka
penulis
menarik
permasalahan, yaitu : 1. tidak adanya sistem yang dibangun secara masif dalam pendidikan inklusi; 2. belum adanya peran SLB pada pendidikan inklusi disekolah umum; 3. belum tersosialisasi dengan baik kepada sekolah agar melakukan pendidikan inklusi; dan 4. keberadaan SLB sebagai sekolah khusus ABK (segresi).
2
III.
PEMBAHASAN DAN SOLUSI Pendidikan inklusi merupakan salah satu solusi dalam menyelesaikan permasalahan tentang hak setiap orang memperoleh pendidikan terutama ABK. Pendidikan inklusi ini hadir dikarenakan banyaknya keterbatasan sarana dan prasarana yang disediakan pemerintah dalam layanan pendidikan khusus (LPK). Hal ini cukup jelas terlihat dari ketimpangan yang cukup besar antara jumlah SLB dengan jumlah ABK. Ketimpangan ABK dan SLB bisa dilihat berdasarkan
data
Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) Tahun 2015/2016 jumlah SLB hanya 1.962 lembaga atau 28.493 Rombel. Sedangkan jumlah ABK di Indonesia diperkirakan kurang lebih 4,2 juta, berarti jika menggunakan standar ideal 36 orang/rombel, maka dibutuhkan 117.000 rombel atau 9.700 lembaga SLB dengan jumlah 12 rombel/sekolah. Berarti menjadi PR pemerintah untuk pemenuhan LPK untuk seluruh hak pendidikan ABK maka harus disediakan 7.738 lembaga SLB lagi. Hal ini tentunya membutuhkan anggaran biaya yang cukup besar dalam pendirian satuan pendidikan. Perlu menjadi perhatian bagi pemerintah tentang pendidikan inklusi yaitu membaurkan ABK dengan anak lain tanpa diskriminasi, seperti tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 11 ayat 1 adalah Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Sebaiknya pemerintah lakukan dalam keterbatasan SLB dan cara menjalankan undang-undang tersebut yaitu memberdayakan terlebih dahulu peran SLB sebagai calon pendamping sekolah inklusi
3
pada sekolah umum melalui pendidikan inklusi. Pendidikan ini dilakukan karena jumlah sekolah di Indonesia bisa memfasilitasi semua ABK yang diperkirakan 4,2 juta jiwa tersebut. Jumlah lembaga pendidikan yaitu TK : 74.982 lembaga, SD : 148. 272 lembaga, MI : 23.678 lembaga, SMP : 35.488 lembaga, MTs : 16.283, SMA : 12.409 lembaga, MA : 96.704 lembaga, dan SMK : 11.726 lembaga (Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sampai tahun 2014, dikutip dan dipublikasikan oleh Statistik Indonesia tahun 2016).
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa besarnya lembaga pendidikan secara keseluruhan sebanyak 322.838 lembaga, hal ini perlu dioptimalkan jika ada sebuah sistem jaringan yang dibangun oleh pemerintah. Dalam hal ini penulis menawarkan sistem jaringan pengimbas – terimbas dengan mengadopsi cara multi level marketing sebagai solusi pendidikan inklusi secara masif. Menurut Kamus Bahasa Online pengimbas berarti perolehan sesuatu sebagai akibat pengaruh sesuatu yang lain, maka yang menjadi sekolah pengimbas diperoleh dari pembinaan pihak yang dilatih pemerintah. Dari definisi akan sistem jaringan pengimbas – terimbas maka ada 4 tahap kerja yang harus dilakukan dalam mengoptimalkan pendidikan inklusi tersebut yaitu tahap pelatihan (trainer), tahap pembinaan (contruction), tahap pengembangan (expantion) dan tahap peleburan (smelter). 1. Tahap pelatihan (trainer) Tahap pelatihan merupakan langkah awal dalam proses sistem jaringan pengimbas – terimbas. Tahap pelatihan ini dikhususkan
untuk
Kepala
SLB
yang
disiapkan
sebagai
Pendamping Sekolah Inklusi. Materi yang diajarkan dalam tahap
4
pelatihan
ini
terutama
pada
merubah
struktur
organisasi
disekolah (restruktusisasi organisasi) yaitu penambahan LPK pada bidang kurikulum. Materi tentang penyusunan proposal bantuan sekolah inklusi yaitu sarana belajar ABK juga tidak kalah pentingnya diajarkan, hal ini agar bantuan bisa tepat sasaran. Contoh bantuan buku atau panduan huruf braile untuk mendampingi ABK yang tunanetra, bantuan buku atau panduan
bahasa isyarat
untuk ABK yang tunarungu dan seterusnya. Selebihnya materi tentang pendidikan inklusi, pengenalan ABK, Kebijakan Ditjen dan lain-lain juga diberikan tergantung dari kebutuhan dan waktu pelaksanaan. STRUKTUR ORGANISASI SEKOLAH INKLUSI Komite
Kepala Sekolah Kepala TU
Waka Kurikulum
Waka Kesiswaan
Tim Pengembang Kurikulum
Pembina OSIS
Koordinator Mata Pelajaran
Waka Sapras
Koordinator Laboratorium
Pembina Ektra Kurikuler
Waka Humas
PGRI Kopri
Kepala Perpustakaan
Tim Website
Pembina Tata Tertib Petugas Kebersihan
Koordinator Layanan Pendidikan Khusus (LPK) Guru
Gambar 1. Contoh struktur organisasi sekolah inklusi
5
2. Tahap pembinaan (contruction) Tahap pembinaan dilakukan dengan 3 cara yaitu pemetaan sekolah inklusi pengimbas, pendidikan dan latihan (diklat) dan kunjungan sekolah inklusi pengimbas.
Pemetaan kecamatan,
sekolah
tentunya
inklusi
harus
pengimbas
memperhatikan
dipilih letak
disetiap geografis,
ketersediaan sarana dan prasana dan sumber daya manusianya. Kemudian sekolah inklusi pengimbas ini diberikan pembinaan melalui Diklat tentang Layanan Pendidikan Khusus di Sekolah Inklusi dikhususkan bagi wakasek kurikulum. Tujuan diklat diharapkan semua
wakasek
kurikulum
mampu
merumuskan
kebutuhan
pendidikan inklusi di lembaga sekolahnya masing-masing.
Selanjutnya materi tentang guru pendamping khusus (GPK) sangat penting diajarkan dalam diklat, karena GPK memiliki tugas yaitu : 1. mendampingi /menerjemahkan dalam proses pembelajaran, 2. menyusun instrumen asesmen pendidikan khusus, 3. memberikan bimbingan secara berkesinambungan untuk anak berkebutuhan khusus, 4. memberikan konsultasi kepada orang tua yang memiliki siswa yang berkebutuhan khusus.
Implementasi kehadiran GPK sangat penting dilaksanakan karena bisa membantu ABK dalam menerima pelajaran dari guru di kelas. Selain itu, hadirnya GPK sangat membantu dalam kegiatan belajar mengajar guru dan siswa lain dikelas tanpa terhambat dengan hadirnya ABK.
6
Cara terakhir dalam tahapan ini yaitu kunjungan ke sekolah pengimbas oleh pendamping sekolah inklusi. Tujuan kunjungan ini yaitu untuk membimbing (konseling) dalam proses pembentukkan LPK, seperti kurikulum berbasis LPK, program kerja sekolah inklusi pengimbas dan pembimbingan GPK. Pembinaan sekolah pengimbas tentunya melihat jumlah GPK yang disiapkan yang disesuaikan dengan jumlah kelas untuk ABK, misal SD Negeri 1 Sembawa sebagai sekolah pengimbas memiliki 3 ruang di kelas I, yaitu: 1) Kelas I.A pelayanan untuk ABK tunanetra dan tunarungu; GPK tunanetra yaitu Adenarisuji, S.Pd. dan GPK tunarungu Mia Trianza, S.Pd. 2) Kelas I.B pelayanan untuk ABK tunagrahita dan tunadaksa; GPK tunagrahita yaitu Dwi Maharani, S.Pd. SD dan GPK tunadaksa Ayu Andira, S.Pd. 3) Kelas I.C pelayanan untuk ABK tunalaras dan cacat ganda; GPK tunalaras yaitu Harun Al Rasyid, S.Pd. SD dan GPK cacat ganda Emilda Sriwahyuningsih, S.Pd. 3. Tahap pengembangan (expantion) Tahap pengembangan dilakukan setelah sekolah pengimbas sudah melaksanakan pendidikan inklusi secara baik. Tugas sekolah pengimbas menjadi contoh bagi sekolah terimbas sebagai pengembangan pendidikan inklusi secara masif. Perlu diperhatikan sekolah terimbas tidak harus memiliki LPK secara keseluruhan tetapi dua atau tiga LPK sudah cukup, misal SD Negeri 1 Sembawa ini memiliki sekolah terimbas yaitu SD Negeri 2 dengan LPK tunanetra dan tunarungu, SD Negeri 3 dengan LPK tunalaras dan downsindrom, SD Negeri 4 dengan LPK tunagrahita dan tuna daksa.
7
Cara yang dilakukan dalam tahap pengembangan ini sama seperti dalam tahap pembinaan, akan tetapi yang perlu menjadi penekanan dalam tahap pengembangan yaitu kunjungan ke sekolah pengimbas jauh lebih banyak diberikan langsung (praktek). Tujuan kegiatan
ini
agar sekolah terimbas
bisa
langsung
mencontoh cara pelaksanaan LPK dalam pendidikan inklusi disekolah.
4. Tahap peleburan (smelter)
Tahap ini hanya bisa dilakukan oleh kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam mengubah SLB menjadi sekolah umum yaitu,
TK/PAUD,
SD atau SMP atau SMA
inklusi
percontohan. Jika ini tidak dilakukan maka pelaksanaan jaringan ini kurang sempurna dikarenakan pandangan masyarakat jika ABK hanya bisa menuntut di SLB saja. Untuk itu yang perlu menjadi perhatian pemerintah sebelum melebur SLB menjadi sekolah umum yaitu: 1. Sekolah pengimbas dan terimbas menjalankan LPK dengan baik; 2. Keberadaan sekolah-sekolah inklusi sudah tersosialisasi di masyarakat secara luas; 3. Kesiapan tenaga pendidik dan tenaga kependidikan di SLB untuk menjalankan kurikulum sekolah umum.
8
SISTEM JARINGAN PENGIMBAS – TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI Sekolah Pengimbas TK Negeri 1 Sembawa
Membina Kepala SLB
Sekolah Terimbas TK N 2 Sembawa LPK Tunanetra LPK Tunarungu TK N 3 Sembawa LPK Tunalaras LPK DS
2 Tahap Construction
TK N 4 Sembawa LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa SD N 2 Mariana LPK Tunanetra LPK Tunarungu
1 Tahap Trainer
Melatih
Pemerintah
Merubah
SLB menjadi TK/PAUD/SD/SMP/SMA /SMK Inklusi Percontohan
4
SD N 3 Mariana LPK Tunalaras LPK DS
SD N 1: Mariana
Mencontoh
3 Tahap Expantion SMP N 1: Sungsang
SD N 4 Mariana LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa SMP N 2 Sungsang LPK Tunanetra LPK Tunarungu SMP N 3 Sungsang LPK Tunalaras LPK DS SMP N 4 Sungsang LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa SMA N 2 BA III LPK Tunanetra LPK Tunarungu
Tahap Smelter SMA N 1: BA III
Keterangan : LPK : Layanan Pendidikan Khusus DS : Down Sindrom
Berjalan Baik
SMA N 3 BA III LPK Tunalaras LPK DS SMA N 4 BA III LPK Tunagrahita LPK Tunadaksa
Gambar 2. Contoh alur sekolah pengimbas-terimbas dalam pendidikan inklusi
9
IV.
KESIMPULAN DAN HARAPAN PENULIS
Pendidikan inklusi merupakan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus (ABK) untuk mengikuti pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Prinsip inklusi ini
yaitu
membaurkan
ABK
dengan
anak
normal
tanpa
dikelompokkan menjadi satu (segresi).
Pendidikan inklusi merupakan solusi terbaik untuk mengatasi keterbatasan SLB yang ada saat ini yaitu 1.962 lembaga. Sedangkan jumlah ABK diperkirakan 4,2 juta jiwa harus membutuhkan 9.700 lembaga SLB jika jumlah 12 rombel. Berarti masih 7.738 lembaga SLB lagi dan tentunya membutuhkan anggaran biaya yang cukup besar dalam pendirian satuan pendidikan tersebut. Sistem jaringan pengimbas – terimbas dibangun dengan mengadopsi cara multi level marketing sebagai solusi pendidikan inklusi secara masif dengan pendekatan sekolah umum yaitu TK/PAUD, SD, SMP dan SMA/SMK. Ada 4 tahap kerja yang harus dilakukan dalam sistem jaringan ini agar bisa berjalan baik, yaitu: 1. tahap
pelatihan
(trainer);
Kepala
SLB
disiapkan
sebagai
Pendamping Sekolah Inklusi, 2. pembinaan (contruction); pemetaan sekolah inklusi pengimbas, diklat dan kunjungan sekolah inklusi pengimbas, 3. tahap pengembangan (expantion); sekolah terimbas mencontoh sekolah pengimbas. 4. tahap peleburan (smelter); kebijakan pemerintah mengubah SLB menjadi sekolah umum.
10
Jika tahapan-tahapan ini dilaksanakan dengan baik maka harapan penulis, yaitu : 1. Seluruh sekolah pengimbas dan terimbas bisa melaksanakan pendidikan inklusi, 2. Ada kebijakan pemerintah tentang perubahan SLB agar menjadi sekolah inklusi percontohan seperti, TK/PAUD, SD atau SMP atau SMA/SMK, dan 3. Seluruh ABK bisa dijumpai dan belajar disekolah-sekolah umum tanpa dikelompokkan pada satu tempat (segresi) yaitu SLB.
11
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta : Sesneg RI.
Anonimus. 2016. Statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) 2015/2016. Jakarta : Kemdikbud http://health.detik.com/read/2013/07/17/184234/2306161/1301/jumlahanak-berkebutuhan-khusus-di-indonesia-diperkirakan-42-juta
http://www.kajianteori.com/2015/12/pengertian-pendidikan-inklusi.html https://www.bps.go.id/linkTabelStatis
http://kamusbahasaindonesia.org/imbas Mudjito, dkk. 2012. Pendidikan Inklusif. Jakarta : Baduose Media.
12
LAMPIRAN
13
14
KTP PENULIS
NPWP PENULIS
15