BAB II SEKOLAH INKLUSI DAN METODE PEMBELAJARAN A. Sekolah Inklusi 1. Pengertian Sekolah Inklusi Sebelum mengetahui pengertian sekolah inklusi, ada baiknya kita mengetahui tentang pendidikan inklusi terlebih dahulu. Sebelum sistem pendidikan inklusi dilakukan telah terlebih dahulu dilakukan sistem pendidikan luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus. Menurut Ahmad Wasita, sistem pendidikan luar biasa bagi anak berkebutuhan khusus adalah bersifat eksklusi yaitu anak berkebutuhan khusus dibedakan sekolahnya atau dipisahkan dari anak normal. 1 Lebih lanjut, Ahmad Wasita mengatakan, “sejalan dengan perkembangan dan riset yang dilakukan oleh beberapa ahli, muncullah sistem pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus. Akhirnya, istilah ini pun popular dalam dunia pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan luar biasa (PLB).”2 Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, di antaranya menurut pendapat Aphroditta M. pendidikan inklusi adalah, “ pelayanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersamasama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang
1
Ahmad Wasita, Seluk-beluk Tunarungu & Tunawicara serta Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2012), hlm. 77. 2
Ahmad Wasita, Seluk-beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm.78.
23
24
dimilikinya.”3 Sapon-Sevin sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wasita mendefinisikan: Pendidikan inklusi adalah sebagai sistem layanan PLB yang mempersyaratkan agar semua anak luar biasa dilayani di sekolahsekolah terdekat di kelas biasa bersama teman-teman seusianya. Oleh karena itu, beliau menekankan adanya restrukturisasi di sekolah sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus setiap anak, artinya kaya dalam sumber dan dukungan dari semua guru dan siswa. 4 Staub dan Peck dalam Sunardi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wasita menyatakan pendidikan inklusi adalah, “penempatan Anak Luar Biasa (ALB) tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas biasa. Definisi ini secara jelas menganggap bahwa kelas biasa merupakan penempatan yang relevan bagi semua Anak Luar Biasa, bagaimanapun tingkatnya.”5 Menurut Dedy Kustawan dan Budi Hermawan pendidikan inklusi adalah sebagai strategi untuk mencapai tujuan pendidikan untuk semua (education for all). Pendidikan tersebut harus memenuhi kebutuhankebutuhan pendidikan secara individual yang beragam dalam jalur utama pendidikan (pendidikan biasa).6 Berdasarkan yang tertulis dalam Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif (pensif) bagi peserta didik yang memiliki 3
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orangtua & Guru untuk Anak dengan Disgrafia (Kesulitan Menulis) (Yogyakarta: Javalitera, 2012), hlm. 69. 4
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 78-79.
5
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 79.
6
Dedy Kustawan & Budi Hermawan, Model Implementasi Pendidikan Inklusif Ramah Anak (Jakarta: Luxima Metro Media, 2012), hlm. 10.
25
kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, “pendidikan inklusi adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya.”7 Berdasarkan uraian di atas, jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah sebuah sistem pelayanan pendidikan yang mempersyaratkan agar anak luar biasa/anak berkebutuhan khusus dapat dididik di sekolah biasa (reguler) bersama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya. Sekolah inklusi terdiri dari dua kata yaitu “sekolah dan inklusi”. Kata “sekolah” berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia adalah, “bangunan atau lembaga tempat belajar menurut tingkatannya”8, sedangkan kata “inklusi” menurut Ormrod sebagaimana dikutip oleh Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari adalah, “praktek yang mendidik semua siswa, termasuk yang mengalami hambatan yang parah ataupun majemuk, di sekolah-sekolah reguler yang biasa dimasuki anak-anak non berkebutuhan
7
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. 8
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar (Jakarta, 2011), hlm. 480.
26
khusus.”9 Kemudian menurut Stubbs sebagaimana dikutip oleh Endis Firdaus, “inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahannya dari budaya, kurikulum dan komunitas sekolah setempat.”10 Menurut Smith, J.D. sebagaimana dikutip oleh Ery Wati, “inklusi dapat berarti penerimaan anak-anak yang memiliki hambatan ke dalam kurikulum, lingkungan interaksi sosial dan konsep diri (visi-misi) sekolah.”11 Adapun jika kedua kata itu (sekolah dan inklusi) digabungkan, maka sekolah inklusi menurut Stainback dan Stainback dalam Sunardi sebagaimana yang dikutip oleh Ahmad Wasita memiliki pengertian: Sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat bagi setiap anak diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu, baik dengan guru dan teman sebayanya maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan individunya terpenuhi. 12 Sementara menurut Stubbs sebagaimana dikutip oleh Endis Firdaus, “sebuah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi merupakan sekolah yang memperhatikan pengajaran dan pembelajaran, 9
Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari, “Sikap Guru Terhadap Pendidikan Inklusi Ditinjau dari Faktor Pembentuk Sikap” (Surabaya: Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pendiidkan Universitas Airlangga, No. 01, Februari, II, 2013), hlm. 3. 10
Endis Firdaus, “Pendidikan Inklusif dan Implementasinya di Indonesia”, Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Pendidikan, yang diselenggarakan oleh Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED) Purwokerto, 24 Januari 2010. 11
Ery Wati, “Manajemen Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Negeri 32 Kota Banda Aceh” (Banda Aceh: Jurnal Ilmiah DIDAKTIKA UIN Ar-Raniry, No. 2, Februari, XIV, 2014), hlm. 372. 12
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 79.
27
pencapaian, sikap dan kesejahteraan setiap anak.” Lebih lanjut dikatakan, “sekolah yang efektif adalah sekolah yang mempraktekkan pendidikan inklusi.”13 Menurut Tarmansyah sebagaimana dikutip oleh Rona Fitria, “sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua murid di kelas yang sama”. 14 Menurut Nunung Apriyanto sekolah inklusi adalah, “sekolah reguler yang mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama.” 15 Berdasarkan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi oleh Departemen Pendidikan Nasional Pendidikan Luar Biasa (Depdiknas PLB), sebagaimana dikutip oleh Ery Wati, yang berbunyi: Sekolah inklusi adalah sekolah yang menampung semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak, menantang tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa, maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil. Lebih dari itu sekolah inklusi merupakan tempat bagi semua anak diterima, menjadi bagian dari kelas maupun dengan anggota masyarakat lainnya agar kebutuhan individu dapat terpenuhi. 16 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa sekolah inklusi adalah sekolah yang menyelenggarakan pendidikan inklusi di mana sekolah tersebut menampung semua murid baik murid yang normal maupun murid yang mempunyai kebutuhan khusus di kelas yang sama.
13
Endis Firdaus, “Pendidikan Inklusif dan Implementasinya....”
14
Rona Fitria, “Proses Pembelajaran dalam Setting Inklusi di Sekolah Dasar” (Padang: Jurnal Ilmiah Pendidikan Khusus Universitas Negeri Padang, No. 1, Januari, I, 2012), hlm. 92. 15
Nunung Apriyanto, Seluk-Beluk Tunagrahita dan Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 82. 16
Ery Wati, “Manajemen Pendidikan Inklusi Di Sekolah Dasar Negeri...”, hlm. 372-373.
28
2. Karakteristik Sekolah Inklusi Menurut Ahmad Wasita, “karakteristik terpenting dari sekolah inklusi adalah satu komunitas yang kohesif, menerima, dan responsif terhadap kebutuhan individual setiap murid.”17 Oleh karena itu, SaponSevin dalam Sunardi sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wasita menyebutkan ada lima profil pembelajaran di sekolah inklusi: a. Pendidikan inklusi berarti menciptakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan. b. Pendidikan inklusi berarti penerapan kurikulum yang multilevel dan multi modalitas. c. Pendidikan inklusi berarti menyiapkan dan mendorong guru untuk mengajar secara interaktif. Perubahan dalam kurikulum berkaitan erat dengan perubahan metode pembelajaran. Model kelas tradisional yang menempatkan satu atau seorang guru yang berjuang secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan semua anak harus diganti dengan model pembelajaran bersama, siswa-siswa bekerja sama, saling mengajar, dan secara aktif berpartisipasi dalam pendidikannya sendiri dan pendidikan teman-temannya. d. Pendidikan inklusi berarti penyediaan dorongan bagi guru dan kelasnya secara terus-menerus dan penghapusan hambatan yang berkaitan dengan isolasi profesi. Aspek terpenting dari pendidikan inklusi meliputi: 1) pengajaran dengan tim 2) kolaborasi dan konsultasi 3) berbagai cara mengukur keterampilan, pengetahuan, dan 4) bantuan individu yang bertugas mendidik sekelompok anak. e. Pendidikan inklusi berarti melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses perencanaan.18 3. Tujuan Sekolah Inklusi Tujuan sekolah inklusi merupakan manifestasi dari tujuan pendidikan inklusi itu sendiri. Sujarwanto sebagaimana dikutip oleh Mohammad Takdir Ilahi menyebutkan tujuan sekolah inklusi: 17
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 80.
18
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 80-81.
29
a. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya; b. Mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keanekaragaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik. 19
Menurut Aphroditta M. salah satu tujuan pendidikan inklusi adalah, “untuk mendorong terwujudnya partisipasi penuh difabel dalam kehidupan masyarakat. Namun, dalam praktiknya sistem pendidikan inklusi di Indonesia masih menyisakan tarik ulur antara pihak pemerintah dan praktisi pendidikan, dalam hal ini para guru.”20 Cartwright dalam Astuti, dkk sebagaimana dikutip oleh Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari menyebutkan tujuan pendidikan inklusi: Pendidikan inklusi merupakan praktek yang bertujuan untuk pemenuhan hak asasi manusia atas pendidikan, tanpa adanya diskriminasi, dengan memberikan kesempatan pendidikan yang berkualitas kepada semua anak tanpa perkecualian, sehingga semua anak mempunyai kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama.21 Berdasarkan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi oleh Depdiknas, Dirjen Mandikdasmen dan Direktorat PLB sebagaimana dikutip oleh Syafrida Elisa dan Aryani Tri Wrastari pendidikan inklusi juga bertujuan untuk, “mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar serta mampu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah 19
Mohammad Takdir Ilahi, Pendidikan Inklusif (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),
hlm. 39-40. 20
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orangtua & Guru untuk Anak dengan Disgrafia...,
21
Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari, Sikap Guru Terhadap Pendidikan..., hlm. 3.
hlm. 71.
30
dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah pada seluruh warga negara.”22 Tarmansyah sebagaimana dikutip oleh Tiara Puspitarini menyebutkan: a. Tujuan yang ingin dicapai oleh anak dalam kegiatan belajar dalam pendidikan inklusi antara lain: Berkembangnya kepercayaan pada diri anak, merasa bangga pada diri sendiri atas prestasi yang diperolehnya. 1) Anak dapat belajar secara mandiri, dengan mencoba memahami dan menerapkan pelajaran yang diperolehnya disekolah ke dalam kehidupan sehari-hari. 2) Anak mampu berinteraksi secara aktif bersama teman-temannya, guru, sekolah dan masyarakat. 3) Anak dapat belajar untuk menerima adanya perbedaan, dan mampu beradaptasi mengatasi perbedaan tersebut. b. Tujuan yang ingin dicapai oleh guru-guru dalam pelaksanaan pendidikan inklusi antara lain adalah: 1) Akan memperoleh kesempatan belajar dari cara mengajar dengan setting inklusi. 2) Terampil dalam melakukan pembelajaran kepada peserta didik yang memiliki latar belakang beragam. 3) Mampu mengatasi berbagai tantangan dalam memberikan layanan kepada semua anak. 4) Bersikap positif terhadap orang tua, masyarakat, dan anak dalam situasi beragam. 5) Mempunyai peluang untuk menggali dan mengembangkan serta mengaplikasikan berbagai gagasan baru melalui komunikasi dengan anak dilingkungan sekolah dan masayarakat.23 4. Manfaat Sekolah Inklusi Manfaat dari adanya sekolah inklusi sebagaimana disebutkan oleh Aphroditta M., : Sekolah inklusi merupakan sekolah yang ideal, baik bagi anak dengan maupun tanpa berkebutuhan khusus. Lingkungan yang tercipta sangat mendukung terhadap anak dengan berkebutuhan khusus. Mereka dapat belajar dari interaksi spontan teman-teman sebayanya, terutama dari 22
23
Syafrida Elisa & Aryani Tri Wrastari, Sikap Guru Terhadap Pendidikan..., hlm. 3.
Tiara Puspitarini, “Manajemen Pembinaan Kurikuler Peserta Didik di Sekolah Inklusi SD Negeri Gejayan Tahun Ajaran 2011/2012”, Skripsi Sarjana Manajemen Pendidikan, (Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta, 2012), hlm. 12-13.
31
aspek sosial dan emosional. Sedangkan bagi anak yang tidak berkebutuhan khusus memberi peluang kepada mereka untuk belajar berempati, bersikap membantu, dan memiliki kepedulian. Di samping itu bukti lain yang ada mereka yang tanpa berkebutuhan khusus memiliki prestasi yang baik tanpa merasa terganggu sedikitpun. 24 Menurut N. Praptiningrum, “keuntungan dari sekolah inklusi sebagai penyelenggara pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus maupun anak normal dapat saling berinteraksi secara wajar sesuai dengan tuntutan
kehidupan
sehari-hari
dimasyarakat,
dan
kebutuhan
pendidikannya dapat terpenuhi sesuai potensinya.”25 5. Siswa di Sekolah Inklusi Siswa di sekolah inklusi terdiri dari siswa biasa (normal) dan siswa berkebutuhan khusus. Siswa normal adalah anak yang mempunyai pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan emosi yang normal sesuai dengan tugas pertumbuhan dan perkembangan pada anak seusianya, sedangkan siswa berkebutuhan khusus adalah anak yang mempunyai kebutuhan khusus (anak berkebutuhan khusus). Menurut Aphroditta M, anak berkebutuhan khusus adalah, “anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik.”26 Anak berkebutuhan khusus adalah Anak yang secara signifikan mengalami kelainan/penyimpangan (fisik, mental-intelektual, sosial dan 24
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orangtua & Guru untuk Anak dengan Disgrafia..., hlm. 71-72. 25
N. Praptiningrum, “Fenomena Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif Bagi Anak Berkebutuhan Khusus” (Tanpa Kota: Jurnal Pendidikan Khusus, No. 2, Nopember, VII, 2010), hlm. 34. 26
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orang Tua dan Guru untuk Anak dengan Disleksia (Kesulitan Membaca) (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 43.
32
emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusianya sehingga mempunyai kekhususan dari segi kebutuhan layanan kesehatan, kebutuhan pendidikan khusus, pendidikan layanan khusus, pendidikan inklusi, dan kebutuhan akan kesejahteraan sosial dan bantuan sosial. Dengan kata lain, anak berkebutuhan khusus adalah anak-anak yang untuk memperoleh perkembangan memerlukan penanganan khusus yang berkaitan dengan kekhususannya. Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus pada anak.27 Menurut B. Anggara sebagaimana dikutip oleh Afan S Nur, anak berkebutuhan khusus adalah, “anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi, atau fisik,”28 sementara menurut Aqila Smart anak berkebutuhan khusus adalah, “anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya.”29 Menurut Mohammad Effendi anak berkebutuhan khusus adalah, “anak yang memiliki kelainan atau penyimpangan dari rata-rata anak normal dalam aspek
fisik,
mental dan sosial,
sehingga untuk
pengembangan potensinya perlu layanan pendidikan khusus sesuai dengan karakteristiknya.”30 Menurut Bandi Delphie, “anak berkebutuhan khusus merupakan istilah lain untuk menggantikan kata ‘anak luar biasa (ALB)’
27
A. Dayu P., Mendidik Anak ADHD (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 13.
28
Afan S Nur, “Strategi Guru dalam Mengajarkan Pendidikan Agama Islam pada Anak Berkebutuhan Khusus di Sekolah Inklusif SD Suryo Bimo Kresno Purwoyoso Ngalian Semarang”, Skripsi Sarjana Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: Institut Agama Islam Negeri Walisongo, 2013), hlm. 14. 29
30
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan Kiamat (Yogyakarta: Kata Hati, 2012), hlm. 33.
Mohammad Efendi, Pengantar Psikopedagogik Anak Berlainan (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2006), hlm. 26.
33
yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara satu dan lainnya.”31 Heward dan Orlansky, sebagaimana dikutip oleh Emirfan TM menyatakan: Anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang secara signifikan mengalami kelainan atau penyimpangan (fisik, mentalintelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan khusus. Jadi, mereka memiliki karakteristik khusus dan mereka memang perlu diperlakukan secara khusus. Mereka juga membutuhkan program dan strategi pembelajaran secara khusus pula. Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. 32 Berdasarkan yang tertulis dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009, siswa berkebutuhan khusus tersebut adalah, “siswa yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berhak mengikuti pendidikan secara inklusi pada satuan pendidikan tertentu sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.”33 Lebih lanjut, tertulis bahwa siswa sebagaimana dimaksud terdiri dari tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, 31
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Tunagrahita (Bandung: Refika Aditama, 2006),
hlm. 1. 32
Emirfan TM, Panduan Lengkap Orang Tua dan Guru untuk Anak dengan Diskalkulia (Kesulitan Menghitung), (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 13. 33
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
34
berkesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan obat-obat terlarang dan adiktif, memiliki kelainan lainnya, serta tunaganda. 34 Menurut Aphroditta M., “tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. Tunarungu adalah individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran, baik permanen maupun tidak permanen.”35 Menurut Ahmad Wasita, “tunawicara adalah kesulitan berbicara yang disebabkan tidak berfungsinya dengan baik organ-organ bicara, seperti langit-langit, pita suara.”36 Nunung Apriyanto mendefinisikan: Tunagrahita adalah anak yang secara signifikan memiliki kecerdasan di bawah rata-rata anak pada umumnya dengan disertai hambatan dalam penyesuaian diri dengan lingkungannya. Mereka mengalami keterlambatan dalam segala bidang, dan itu sifatnya permanen, rentang memori mereka pendek terutama yang berhubungan dengan akademik, kurang dapat berpikir abstrak dan pelik.”37 Tunadaksa adalah individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainan neuro-muskular dan struktur tulang yang bersifat bawaan, sakit, atau akibat kecelakaan. Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Individu tunalaras biasanya menunjukkan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan atauran yang berlaku di sekitarnya. Anak yang mengalami kesulitan belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara, dan menulis yang dapat mempengaruhi kemampuan berpikir, membaca, berhitung, dan berbicara yang disebabkan karena gangguan
34
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif (Pensif) bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. 35
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak dengan Disleksia...., hlm. 44-45. 36
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 20.
37
Nunung Apriyanto, Seluk-Beluk Tunagrahita & Strategi Pembelajarannya..., hlm. 21.
35
persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, disleksia, dan afasia perkembangan. 38 Menurut Mubiar Agustin anak lamban belajar (slow learner) adalah, “anak dengan tingkat penguasaan materi yang rendah, padahal materi tersebut
merupakan prasyarat
bagi kelanjutan dipelajaran
berikutnya, sehingga mereka harus sering mengulang.”39 Menurut Adriana S. Ginanjar gangguan Autistik adalah, “masalah perkembangan anak yang amat kompleks, yang ditandai oleh tiga ciri utama yaitu masalah pada interaksi sosial timbal balik, masalah pada komunikasi, dan pola tingkah laku repetitif (berulang) serta minat yang sempit.”40 Menurut Johnston dan Magrab, sebagaimana dikutip oleh Bandi Delphie tunaganda adalah, “mereka yang mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau hubungan pribadi di masyarakat. ”41 Adapun jenis kelainan lainnya seperti ADHD dan ratardasi mental. Menurut Arga Paternotte dan Jan Buitelaar, “ADHD adalah suatu gangguan neuro-biologis di dalam otak yang dapat secara parah mengancam tumbuh kembang seorang anak. Anak ADHD adalah anak 38
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orang Tua & Guru untuk Anak dengan Disleksia.... hlm. 46-47. 39
Mubiar Agustin, Permasalahan Belajar dan Inovasi Pembelajaran (Bandung: Refika Aditama, 2011), hlm. 38. 40
Adriana S. Ginanjar, Panduan Praktis Mendidik Anak Autis Menjadi Orang Tua Istimewa (Jakarta: Dian Rakyat, 2008), hlm. 23. 41
Bandi Delphie, Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus dalam Setting Pendidikan Inklusi (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 136.
36
yang luar biasa banyak gerak dan sering kali tidak dapat dikendalikan, tidak tenang, dan tidak dapat berkonsentrasi.”42 Kemudian ada juga anak dengan kelainan Ratardasi Mental. Menurut Adriana S. Ginanjar ratardasi mental yaitu, “keterlambatan perkembangan yang meluas pada aspek kognitif dan sosial.”43 6. Kurikulum Di Sekolah Inklusi Menurut David D. Smith kurikulum di sekolah inklusi harus cukup fleksibel sehingga setiap siswa dapat tertantang meraih yang terbaik. 44 Kurikulum fleksibel yakni mengakomodasi anak dengan berbagai latar belakang dan kemampuan, maka kurikulum tingkat satuan pendidikan akan lebih peka mempertimbangkan keragaman anak agar pembelajarannya relevan dengan kemampuan dan kebutuhannya. Sekolah reguler yang menyelenggarakan pendidikan inklusif ramah anak harus mampu mengembangkan kurikulum sesuai dengan tingkat, perkembangan, dan karakteristik anak agar lulusan memiliki kompetensi untuk bekal hidup (life skill).45 Berdasarkan kesepatan Salamanca sebagaimana diterjemahkan oleh Dedy Kustawan dan Budi Hermawan disebutkan, “kurikulum yang dibuat secara nasional harus memberikan kebebasan kepada sekolah untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian yang dibutuhkan sesuai dengan perbedaan kemampuan dan minat yang dimiliki oleh masing-masing
42
Arga Paternotte & Jan Buitelaar, ADHD Attention Deficit Hyperactivity Disorder (Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas), terjemahan Julia Maria Tiel (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. xv. 43
Adriana S. Ginanjar, Panduan Praktis Mendidik Anak Autis..., hlm. 29.
44
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan Penerapan Pembelajaran, terjemahan Enrica Denis (Bandung: Nuansa Cendekia, 2013), hlm. 400. 45
107.
Dedy Kustawan & Budi Hermawan, Model Implementasi Pendidikan Inklusif..., hlm.
37
anak.”46 Menurut Aphroditta M., “modifikasi kurikulum dilakukan terhadap alokasi waktu, isi/materi kurikulum, proses belajar-mengajar, sarana prasarana, lingkungan belajar dan pengelolaan kelas.” 47 B. Metode Pembelajaran Pada bagian ini akan diterangkan tentang metode pembelajaran secara umum dan metode pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. 1. Pengertian Metode Pembelajaran Menurut M. Subana & Sunarti, metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang mempunyai arti jalan atau cara, sedangkan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan menerangkan bahwa metode artinya cara memikirkan dan memeriksa suatu hal menurut rencana tertentu. Adapun dalam dunia pengajaran, metode adalah rencana penyajian bahan yang menyeluruh dengan urutan yang sistematis berdasarkan pendekatan tertentu.48 Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno, “metode pembelajaran adalah cara-cara menyajikan bahan pelajaran kepada siswa untuk tercapainya tujuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, salah satu keterampilan guru yang memegang peranan penting dalam pengajaran
46
Dedy Kustawan & Budi Hermawan, Model Implementasi Pendidikan Inklusif..., hlm.
47
Aphroditta M., Panduan Orang Tua dan Guru untuk Anak Disgrafia..., hlm. 76-77.
106.
48
M. Subana & Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm. 20.
38
adalah
keterampilan
memilih
metode,”49
sedangkan
Thoifuri
mendefinisikan: Cara yang ditempuh guru dalam menyampaikan bahan ajar kepada siswa secara tepat dan cepat berdasarkan waktu yang telah ditentukan sehingga diperoleh hasil yang maksimal. Dari makna tersebut terdapat unsur tepat yakni sesuai dengan karakteristik mata pelajaran, dan unsur cepat menunjukkan bahwa metode terikat dengan target hasil yang sudah ditentukan waktunya, bahkan lebih cepat hasil yang diperoleh maka lebih baik. 50 Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya mendefinisikan: Suatu pengetahuan tentang cara-cara mengajar yang dipergunakan oleh seorang guru atau instruktur. Pengertian lain adalah teknik penyajian yang dikuasai guru untuk mengajar atau menyajikan bahan pelajaran kepada siswa di dalam kelas, baik secara idividual atau secara kelompok/klasikan, agar pelajaran itu dapat diserap, dipahami dan dimanfaatkan oleh siswa dengan baik. makin baik metode mengajar, makin efektif pula pencapaian tujuan. 51 Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran adalah cara yang dilakukan oleh guru untuk menyampaikan bahan pelajaran kepada siswa dengan menggunakan pendekatan tertentu untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. 2. Prinsip-prinsip dalam Memilih Metode Pembelajaran Menurut W. James Popham & Eva L. Baker, “mengajar secara efektif sangat bergantung pada pemilihan dan penggunaan metode mengajar yang serasi dengan tujuan mengajar. Guru-guru yang telah
49
Pupuh Fathurrohman & M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar Mengajar (Bandung: Refika Aditama, 2009), hlm. 55. 50
Zaenal Mustakim, Strategi & Metode Pembelajaran (Pekalongan: STAIN Press, 2009),
hlm. 113. 51
Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, Strategi Belajar Mengajar (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 52.
39
berpengalaman umumnya sependapat, bahwa masalah ini sangat penting bagi para calon guru karena menyangkut kelancaran tugasnya.”52 Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain menyebutkan: Metode mengajar yang digunakan guru dalam setiap pertemuan kelas bukanlah asal pakai, tetapi setelah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan tujuan instruksional khusus. Jarang sekali terlihat guru merumuskan tujuan hanya dengan satu rumusan, tetapi pasti guru merumuskan lebih dari satu tujuan. Karenanya, guru pun selalu menggunakan metode lebih dari satu. Pemakaian metode yang satu digunakan untuk mencapai tujuan yang satu, sementara penggunaan metode yang lain, juga digunakan untuk mencapai tujuan yang lain. 53 Menurut Pupuh Fathurrohman dan M. Sobry Sutikno prinsip yang perlu diperhatikan dalam memilih metode pembelajaran: a. Prinsip motivasi dan tujuan belajar. Motivasi memiliki kekuatan sangat dahsyat dalam proses pembelajaran. Belajar tanpa motivasi seperti badan tanpa jiwa, atau laksana mobil tanpa bahan bakar. b. Prinsip kematangan dan perbedaan individual. Belajar memiliki masa kepekaan masing-masing dan tiap anak memiliki tempo kepekaan yang tidak sama. c. Prinsip penyediaan peluang dan pengalaman praktis. Belajar dengan memperhatikan peluang sebesar-besarnya bagi partisipasi anak didik dan pengalaman langsung oleh anak jauh memiliki makna ketimbang belajar verbalistik. d. Integrasi pemahaman dan pengalaman. Penyatuan pemahaman dan pengalaman menghendaki suatu proses pembelajaran yang mampu menerapkan pengalaman nyata dalam suatu daur proses belajar. Prinsip belajar ini didasarkan pada asumsi bahwa pengalaman mendahului proses belajar dan isi pengajaran atau makna sesuatu harus berasal dari pengalaman siswa sendiri. e. Prinsip fungsional. Belajar merupakan proses pengalaman hidup yang bermanfaat bagi kehidupan berikutnya. Setiap belajar yang bermanfaat bagi kehidupan berikutnya. Setiap belajar nampaknya tidak bisa lepas dari nilai manfaat, sekalipun bisa berupa nilai manfaat teoritik atau praktis bagi kehidupan sehari-hari.
52
W. James Popham & Eva L. Baker, Teknik Mengajar Secara Sistematis, alih bahasa Amirul Hadi, dkk (Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 141. 53
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 85-86.
40
f. Prinsip menggembirakan. Belajar merupakan proses yang terus berlanjut tanpa henti, tentu seiring kebutuhan dan tuntutan yang terus berkembang. Berkaitan dengan kepentingan belajar yang terusmenerus, maka metode mengajar jangan sampai memberi kesan memberatkan, sehingga kesadaran belajar pada anak cepat berakhir. 54 3. Macam-macam Metode Pembelajaran Secara garis besar metode diklasifikasikan menjadi dua, yaitu konvensional dan inkonvensional. Metode konvensional meliputi metode di bawah ini: a. Metode Pembiasaan Metode pembiasaan adalah metode yang mengutamakan proses untuk membuat seseorang menjadi terbiasa. Metode pembiasaan hendaknya diterapkan pada peserta didik sedini mungkin, sebab ia memiliki daya ingat yang kuat dan sikap yang belum matang, sehingga mudah mengikuti, meniru dan membiasakan aktivitasnya dalam kehidupan sehari-hari. b. Metode Keteladanan Metode keteladanan adalah metode yang digunakan untuk mewujudkan tujuan pengajaran dengan memberi keteladanan yang baik pada siswa agar dapat berkembang fisik, mental dan kepribadiannya secara benar. 55
54
Pupuh Fathurrohman & M. Sobry Sutikno, Strategi Belajar..., hlm. 56-59.
55
Zaenal Mustakin, Strategi & Metode..., hlm. 118-119.
41
c. Metode Penghargaan Metode penghargaan adalah metode yang mengedepankan kegembiraan dan positif thinking, yaitu memberikan hadiah pada anak didik, baik yang berprestasi akademik maupun yang berperilaku baik. penghargaan/hadiah dianggap sebagai media pengajaran yang preventif dan representatif untuk membuat senang dan menjadi motivator belajar anak didik. d. Metode Hukuman Metode hukuman adalah lawan dari metode penghargaan. Pelaksanaannya adalah sebagai jalan terakhir dengan prinsip tidak menyakiti secara fisik, melainkan bersifat akademik dan edukatif dengan tujuan menyadarkan siswa dari kesalahan yang diulang-ulang. e. Metode Ceramah Metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru dengan penuturan atau penjelasan lisan secara langsung terhadap siswa. Meski metode ini lebih banyak menuntut keaktifan guru daripada anak didik, tetapi metode ini tetap tidak bisa ditinggalkan begitu saja dalam kegiatan pembelajaran. 56 f. Metode Latihan Metode latihan yaitu suatu cara belajar untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan tertentu, serta sebagai sarana untuk memelihara kebiasaan-kebiasaan baik. Selain itu, metode ini dapat digunakan untuk
56
Zaenal Mustakin, Strategi & Metode..., hlm. 119-120.
42
memperoleh
suatu
ketangkasan,
ketepatan,
kesempatan,
dan
keterampilan. g. Metode Bercerita Metode bercerita adalah suatu cara mengajar dengan bercerita. Pada hakikatnya metode bercerita sama dengan metode ceramah, karena informasi disampaikan melalui penuturan atau penjelasan lisan dari seseorang kepada orang lain. h. Metode Tanya Jawab Metode tanya jawab adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui bentuk pertanyaan yang perlu dijawab oleh anak didik. Dengan metode ini, antara lain dapat dikembangkan keterampilan mengamati, menginterpretasi,
mengklasifikasikan,
membuat
kesimpulan,
menerapkan dan mengkomunikasikan. i. Metode Demonstrasi Metode demonstrasi adalah cara penyajian pelajaran dengan meragakan atau mempertunjukkan kepada siswa suatu proses, situasi, atau benda tertentu yang sedang dipelajari, baik sebenarnya ataupun tiruan, yang sering disertai dengan penjelasan lisan. j. Metode Karyawisata Metode karyawisata adalah suatu cara penguasaan bahan pelajaran oleh para anak didik dengan jalan membawa mereka langsung ke objek yang terdapat di luar kelas atau di lingkungan kehidupan nyata, agar mereka dapat mengamati atau mengalami secara langsung.
43
k. Metode Diskusi Metode diskusi adalah cara penyajian pelajaran, dimana siswa dihadapkan kepada suatu masalah yang bisa berupa pernyataan atau pertanyaan yang bersifat problematis untuk dibahas dan dipecahkan bersama. 57 l. Metode eksperimen Metode eksperimen (percobaan) adalah cara penyajian pelajaran di mana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri sesuatu yang dipelajari. Dalam proses belajar mengajar dengan metode percobaan ini siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek, menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan sendiri mengenai suatu objek, keadaan, atau proses sesuatu. m. Metode Tugas dan Resitasi Metode resitasi adalah metode penyajian bahan di mana guru memberikan tugas tertentu agar siswa melakukan kegiatan belajar. Masalahnya tugas yang dilaksanakan oleh siswa dapat dilakukan di dalam kelas, di halaman sekolah, di laboratorium, di perpustakaan, di bengkel, di rumah siswa, atau di mana saja asal tugas itu dapat dikerjakan.58
57
58
Zaenal Mustakin, Strategi & Metode..., hlm. 119-126
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar Edisi Revisi (Jakarta: Rineka Cipta, 2013), hlm. 84-85.
44
n. Metode Sosiodrama Metode sosiodrama adalah bentuk metode mengajar dengan memerankan perilaku dalam hubungannya dengan tugas yang diberikan kepada tiap-tiap pemeran sesuai dengan naskah (scenario) yang telah disusunnya.59 Adapun untuk penjelasan metode pembelajaran inkonvensional Zaenal Mustakim memberikan penjelasan: a. Metode Pengajaran Modul Metode pengajaran modul adalah suatu metode pengajaran yang menggunakan modul yaitu suatu satuan bahasan tertentu yang disusun secara sistematis, operasional, dan terarah untuk digunakan oleh peserta didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. b. Metode Pengajaran Berprogram Metode pengajaran berprogram adalah metode pengajaran yang memungkinkan siswa untuk mempelajari materi tertentu, terbagi atas bagian-bagian kecil yang dirangkai secara berurutan untuk mencapai tujuan tertentu pula. c. Metode Pengajaran Unit Metode pengajaran unit adalah suatu sistem pengajaran yang berpusat pada suatu masalah dan dipecahkan secara keseluruhan sehingga mempunyai arti. d. Metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) Metode CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif) adalah metode pengajaran yang menuntut keaktifan dan partisipasi subyek didik seoptimal mungkin sehingga siswa mampu mengubah tingkah lakunya secara lebih efektif dan efesien. e. Metode KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) adalah konsep kurikulum yang menekankan pada pengembangan kemampuan melakukan tugas-tugas dengan standar performance tertentu (kompetensi), sehingga hasilnya dapat dirasakan oleh peserta didik, berupa penguasaan terhadap seperangkat kompetensi tertentu. f. Metode KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
59
Ahmad Susanto, Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar (Jakarta: Kencana, 2013), hlm. 286.
45
KTSP merupakan kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan, terdiri dari guru, kepala sekolah, Komite Sekolah dan Dewan Pendidikan. 60 4. Metode Pembelajaran untuk Anak Berkebutuhan Khusus Dalam sekolah inklusi, dilakukan modifikasi terhadap metode pembelajaran. Menurut David D. Smith, “guru bisa jadi tidak yakin tentang cara membuat perubahan materi, metode, harapannya sehingga mereka dapat memberikan pengajaran yang layak kepada siswa dengan kebutuhan yang berbeda.”61 Lombardi sebagaimana dikutip oleh David D. Smith menyatakan: Metode pengajaran yang diketahui oleh guru kelas umum yang paling efektif bagi siswa-siswa tanpa hambatan dapat juga efektif bagi siswasiswa penyandang hambatan. Pengajaran yang baik, dalam banyak hal, adalah pengajaran yang tanpa memandang ciri-ciri tertentu pembelajar. Dia juga tahu, bahwa sebagian modifikasi pengajaran telah dibuktikan terutama efektif bagi siswa-siswa penyandang hambatan di kelas umum. Metode pengajaran yang baik tidak mempunyai batas. Meskipun suatu kelas inklusi berfokus pada individu, ada beberapa modifikasi pengajaran yang umum terutama yang disesuaikan dengan siswa penyandang masalah-masalah belajar. Modifikasi tersebut meliputi, pemakaian pengembangan organisasi, kosakata sebelum pengajaran, pengulangan materi pelajaran organisasi mapan (Advance Organizers), beberapa kata kunci sebelum mengajar (Preteaching Key Vocabularies), sedia mengulang pembelajaran (Providing Repetition of Instruction), tinjau ulang konsep utama (Previewing Major Concept), penyesuaian penggunaan waktu (Making Time Adjustment), penggunaan manipulasi (Using Manipulate), menyediakan umpan balik koreksi (Providing Corrective Feedback), kelompok kerjasama (Cooperative Group), tutor teman sebaya (Peer Tutoring), instruksi bahasa yang menyeluruh (Whole Language Instruction), pengajaran unit (Unit Teaching), prosedur modifikasi perilaku (Behavioral Modification Procedures).62
60
Zaenal Mustakim, Strategi & Metode Pembelajaran..., hlm. 134-137.
61
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 400.
62
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 401-402.
46
Pedoman dalam pelaksanaan pembelajaran di sekolah inklusi oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa 2007 berbunyi: a. Melaksanakan apersepsi b. Menyajikan materi/bahan pengajaran c. Mengimplementasikan metode, sumber/media belajar, dan bahan latihan yang sesuai dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa, serta sesuai dengan tujuan pembelajaran d. Mendorong siswa untuk terlibat secara aktif e. Mendemonstrasikan penguasaan materi pelajaran dan relevansinya dalam kehidupan f. Membina hubungan antar pribadi antara lain: (1) bersikap terbuka, toleran, dan simpati terhadap siswa; (2) menampilkan kegairahan dan kesungguhan; (3) mengelola interaksi antar pribadi. 63 Kemudian dalam Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusi oleh Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Mandikdasmen Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa 2007 disebutkan lagi, sebagaimana yang ditulis oleh Rafa Ramdhani, “proses pembelajaran dilaksanakan sesuai dengan karakteristik belajar peserta didik. Sistem pelaksanaannya mengacu pada buku pedoman pembelajaran.”64 Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa untuk menggunakan metode pembelajaran di sekolah inklusi maka seorang guru harus memilih metode yang bukan hanya efektif untuk anak normal tetapi juga efektif untuk anak berkebutuhan khusus. Untuk menentukan metode yang efektif
63
Dasep Dadali, “Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif”, http://www.scribd.com/doc/101514501/pedoman-umum-inklusi#scribd. (30 Juli 2012). Diakses, 08 Maret 2016. 64
Rafa Ramdhani, “Prosedur Operasi Standar Pendidikan Inklusi”, http://www.scribd.com/doc/146913300/Prosedur-Operasi-Standar-Pendidikan-Inklusi#scribd. ( 10 Juni 2013). Diakses, 24 Februari 2016.
47
guru harus mengacu pada buku-buku yang berisi tentang pedoman pembelajaran. Metode yang digunakan untuk siswa tunanetra hampir sama dengan siswa normal, hanya yang membedakan ialah adanya beberapa modifikasi dalam pelaksanaannya, sehingga para tunanetra mampu mengikuti kegiatan pembelajaran yang bisa mereka ikuti dengan pendengaran atau perabaan. Menurut Ardhi Wijaya, “ada beberapa metode yang dapat dilaksanakan dengan menggunakan fungsi pendengaran dan perabaan, tanpa harus menggunakan penglihatan. Adapun metode-metode tersebut ialah metode ceramah, metode tanya jawab, metode diskusi, metode sorogan, metode bandongan, metode drill.”65 Metode pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus tunarungu dapat dilakukan dengan metode pembelajaran Bina Komunikasi Persepsi Bunyi dan Irama (BKPBI). Subarto sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wasita mengatakan: BKPBI adalah pembinaan dalam penghayatan bunyi yang dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja sehingga sisa-sisa pendengaran dan perasaan vibrasi yang dimiliki anak-anak tunarungu dapat dipergunakan sebaik-baiknya untuk berintegrasi dengan dunia sekelilingnya yang penuh bunyi. Pembinaan dengan sengaja maksudnya adalah terencana tujuan, metode dan waktu yang sudah ditentukan. Sedangkan pembinaan yang tidak sengaja maksudnya adalah disesuaikan atau tergantung pada kondisi lingkungan saat pembelajaran di kelas. misalnya, saat pembelajaran di kelas terdengar bunyi motor maka anak diminta untuk menirukan suara motor kemudian kembali lagi ke pembelajaran semula. 66
65
Ardhi Wijaya, Seluk Beluk Tunanetra & Strategi Pembelajarannya (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 63-66. 66
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 39-40.
48
David D. Smith menambahkan beberapa cara bagi guru dalam melakukan pembelajaran untuk anak tunarungu di sekolah inklusi: a. Berusaha memberikan tempat duduk yang istimewa bagi anak di depan ruangan. b. Berikan anak kesempatan yang sama seperti yang dilakukan pada anak lain dalam berbicara. c. Usahakan mengulang suatu pertanyaan atau pernyataan jika anak nampak tidak mengerti. d. Tekankan ucapan yang jelas bagi semua siswa. e. Ingatlah anak dengan hambatan pendengaran mengalami kelelahan lebih cepat dibandingkan anak lainnya. Anak bekerja lebih keras dalam mendengar dan memahami suatu materi. f. Periksa ekspresi wajah si anak untuk memastikan Anda telah mengadakan kontak sebelum bicara padanya. g. Pertimbangkan penggunaan sistem kawan yang membantu proses mendengarkan (buddy system). Kawan-kawan yang dapat membantu anak ini dalam aktivitas yang banyak bergantung pada pendengarannya. 67 Biasanya anak yang memiliki masalah dengan pendengaran maka perkembangan berbicaranya juga akan terhambat. Karena itu banyak anak berkebutuhan khusus tunarungu juga sekaligus menjadi tunawicara. Maka dari itu, dalam setiap pembelajaran bagi tunarungu juga ditekankan pada aspek berbicara untuk membantu perkembangan berbicara mereka. Sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Wasita ketunarunguan dapat mengakibatkan, “miskinnya kosa kata dan berlanjut pada ketidakmampuan dalam mengembangkan kata-kata atau berbicara atau berkomunikasi. Oleh karena itu, strategi pendidikan dan pembelajaran pada anak tunarungu terutama pendekatan komunikasi difokuskan pada kemampuan berbicara atau mengedepankan metode oral.” 68 67
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 291.
68
Ahmad Wasita, Seluk-Beluk Tunarungu & Tunawicara..., hlm. 71.
pengembangan
49
David D. Smith memberikan alternatif untuk anak tunarungu yang juga kemampuan komunikasinya terhambat yaitu dengan menggunakan: a. Metode manual Metode manual memiliki dua komponen dasar yaitu bahasa isyarat dan finger spelling (pelengkap bahasa isyarat) b. Metode oral Dalam program bagi siswa-siswa tunawicara yang ditekankan pada penggunaan bahasa oral, siswa-siswa tidak didorong untuk menggunakan komunikasi manual. Metode oral difokuskan pada pemanfaatan pendengaran yang tersisa (residual hearing) yang mungkin masih dimiliki siswa melalui pertolongan alat bantu dengar dan pelatihan khusus. Penekanannya pada meningkatkan sensitifitas terhadap suara serta meningkatkan kemampuan dalam membedakan berbagai suara yang berbeda. c. Metode komunikasi total Menurut Denton sebagaimana dikutip oleh David D. Smith, dengan komunikasi total berarti hak setiap anak yang tunawicara untuk bisa belajar menggunakan segala bentuk komunikasi agar dia memiliki kesempatan penuh mengembangkan kemampuan bahasa pada usia sedini mungkin. Konsep ini meliputi pengenalan suatu simbol sistem ekspresif yang dapat diterima pada pra sekolah usia antara satu sampai lima tahun. Komunikasi total memuat spektrum model bahasa yang lengkap: membedakan gerakan/mimik tubuh anak (child-devised gesture), bahasa isyarat yang formal, belajar berbicara, membaca ucapan (speechreading), isyarat jari tangan (finger spelling), serta belajar membaca dan menulis. 69 Menurut Aqila Smart metode pembelajaran untuk anak tunagrahita adalah dengan menggunakan sistem lesson study, di mana dalam pelaksanaannya ada tiga langkah yang harus dilaksanakan yaitu menyusun rencana pembelajaran, melaksanakan praktik pembelajaran, evaluasi dan tindak
lanjut.
Perencanaan
dilakukan
dengan
menentukan
topik
pembelajaran dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi persoalanpersoalan yang ada. Langkah selanjutnya adalah menyusun dan mengembangkan model yang sesuai dengan kebutuhan anak berkebutuhan 69
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 283-286.
50
khusus. Tahap pembelajaran dilakukan oleh seorang guru dalam kelompok, sementara anggota yang lain mengamati dan memberi masukan. Setelah itu, dilakukan diskusi dan pembahasan mengenai berbagai hal yang telah dilakukan dalam pembelajaran. 70 Kita tahu, bahwa anak tunalaras memiliki hambatan emosi dan tingkah laku atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Berdasarkan hal tersebut, metode yang dapat digunakan untuk anak tunalaras adalah metode pembelajaran yang banyak variasi. Sebab situasi yang monoton dapat memperarah gangguan perilaku mereka. 71 Menurut Aphroditta M., metode yang dapat digunakan untuk anak berkesulitan belajar: Metode untuk menangani anak-anak dengan kesulitan belajar sebenarnya bisa dimulai dengan mengenali kelebihan mereka miliki untuk mengatasi kekurangannya. Pemanfaatan gaya belajar yang menjadi unggulan mereka akan sangat membantu mengoptimalkan potensi dan mengatasi kelemahan yang mereka miliki. Ciptakan suasana belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar. Berilah pujian ketika anak berhasil melakukan tugasnya, bantu, dan dukung untuk mengembankan kepercayaan diri dan kemandirian dalam belajar.72 Cara lain yang dapat digunakan untuk membantu siswa berkesulitan belajar menurut David D. Smith: a. Mencari dan memantapkan kekuatan siswa b. Menyediakan struktur dan petunjuk yang jelas, serta memastikan bahwa siswa memahami harapan anda.
70
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan..., hlm. 98-99.
71
Aqila Smart, Anak Cacat Bukan..., hlm. 126.
72
Aphroditta M., Panduan Lengkap Orangtua & Guru untuk Anak dengan Disleksia...., hlm. 53-54.
51
c. Bersikap fleksibel dengan prosedur di ruang kelas (misalnya, mengizinkan pemakaian tape recorder dan kalkulator). d. Menggunakan materi yang dapat dikoreksi sendiri (self-correcting materials), yang memungkinkan adanya umpan balik langsung. e. Menggunakan komputer dan teknologi lainnya. f. Siswa dan kesulitan belajar sering memerlukan waktu untuk tumbuh dewasa-bersabarlah. 73 . Menurut Mubiar Agustin metode yang dapat digunakan untuk mengatasi anak slow learner: a. Pahami bahwa anak membutuhkan lebih banyak pengulangan, 3 sampai 5 kali, untuk memahami suatu materi dibandingkan anak lain dengan kemampuan rata-rata. b. Anak slow learner yang tidak berprestasi dalam akademik dasar dapat memperoleh manfaat melalui kegiatan tutorial di sekolah atau privat. c. Adalah masuk akal dan dapat dibenarkan untuk memberi mereka kelas yang lebih singkat dan tugas yang lebih sederhana. d. Berusahalah untuk membantu anak membangun pemahaman dasar mengenai konsep baru daripada menuntut mereka menghafal materi dan fakta yang tidak berarti bagi mereka. e. Gunakan demonstrasi dan petunjuk visual sebanyak mungkin, jangan sampai membingungkan mereka dengan terlalu banyak verbalisasi. f. Jangan memaksa anak slow learner bersaing dengan anak yang berkemampuan lebih tinggi. g. Konsep yang sederhana yang diberikan pada anak pada permulaan unit instruksi dapat membantu penguasaan materi selanjutnya. h. Anak sebaiknya diberi tugas, terutama dalam pelajaran sosial dan ilmu alam, yang terstruktur dan konkret. i. Tekankan hal-hal setelah belajar, berikan intensif dan motivasi yang bervariasi. j. Berikan banyak kesempatan bagi anak untuk bereksperimen dan mempraktikkan konsep baru dengan materi yang konkret atau situasi yang menstimulasi. k. Pada awal setiap unit, kenalkan anak dengan materi-materi yang familiar. l. Sederhanakan petunjuk dan yakin bahwa petunjuk itu dapat dimengerti. m. Penting bagi guru untuk mengetahui gaya belajar masing-masing anak. 74 73
David D. Smith, Sekolah Inklusif Konsep dan..., hlm. 90.
74
Mubiar Agustin, Permasalahan Belajar & Inovasi..., hlm. 41.
52
Adriana S. Ginanjar menyebutkan metode untuk mengatasi anak autis: Ada banyak cara untuk mengembangkan kecerdasan anak autis. Agar kemampuan-kemampuan anak dapat berkembang optimal, metode yang digunakan tentunya harus disesuaikan dengan gaya belajar dan bakat yang dipunyai anak. Pada awalnya anak harus mengikuti terapi individual agar dapat dilatih untuk menguasai kemampuan preakademik dan kemampuan akademik dasar.75 Bandi Delphie menambahkan metode yang dapat digunakan untuk mengatasi anak autis: Metode pembelajaran khusus mengacu pada teori-teori belajar hasil penelitian terhadap perilaku anak autistik dengan penggunaan strategi pembelajaran postif. Strategi tersebut lebih menekankan pada perilaku dan perhatian positif saat anak autistik melaksanakan tugas-tugas belajar. Pertama kali kita harus memperhatikan apakah anak autistik itu telah menguasai terhadap konsep yang harus ia kerjakan. Dalam melaksanakan tugas, anak yang bersangkutan diberi penguatan tertentu (reinforcers) jika ia berhasil melaksanakan tugasnya. Penguatan bisa berupa hadiah yang menarik hati anak karena dapat berfungsi sebagai penguatan perilaku (sensory reinforcers).76 Menurut A. Dayu P. metode yang dapat digunakan untuk mengatasi anak ADHD: Kemudian, teknik mengajar yang dapat membantu siswa ADHD fokus dan meningkatkan konsentrasinya pada materi pelajaran dan tugas-tugas yang Anda berikan bisa sangat bermanfaat bagi seluruh kelas. a. Memulai pelajaran - Beri tanda bahwa pelajaran akan dimulai dengan kode bunyi/suara yang jelas - Buat daftar kegiatan pelajaran dipapan - Saat akan memulai, terangkan pada siswa mengenai hal-hal yang akan dipelajari dan harapan Anda. Katakan dengan jelas materi apa saja yang mereka perlukan. - Bangun kontak mata dengan siswa penderita ADHD. b. Saat mengajar 75
Adriana S. Ginanjar, Panduan Praktis Mendidik Anak Autis..., hlm. 99.
76
Bandi Delphie, Pendidikan Anak Autistik (Klaten: PT Insan Sejati, 2009), hlm. 97-98.
53
-
Buatlah petunjuk terstruktur sesederhana mungkin. Variasi kecepatan penyampaian materi dan masukkan jenis kegiatan yang berbeda-beda. Sebagian besar siswa ADHD mampu berpartisipasi dalam permainan kompetitif dengan sangat baik. - Gunakan alat peraga, grafik, dan alat bantu visual lain. - Buatlah isyarat khusus dengan anak ADHD berupa sentuhan dibahu atau menempelkan pesan di bangku untuk mengingatkan siswa untuk tetap fokus pada tugas. - Beri siswa dengan ADHD kesempatan untuk sering istirahat. - Biarkan siswa ADHD meremas bola lunak atau mengetuk-ketuk sesuatu yang tidak berisik sebagai pelepasan energi. - Jangan menyuruh siswa penderita ADHD menjawab pertanyaan atau tampil di depan kelas/di depan banyak orang karena ini sangat sulit untuknya. c. Mengakhiri pelajaran - Ringkas semua poin penting. - Jika Anda memberi tugas tersebut, kemudian suruh seluruh kelas mengulanginya lagi, dan tulis di papan. - Spesifiklah mengenai apa yang harus dibawa pulang. 77 Menurut Santrock sebagaimana dikutip oleh Nini Subini, untuk anak dengan ratardasi mental dapat digunakan metode pengajaran: a. Sama seperti anak-anak lain yang mengalami hambatan, kita memberikan contoh yang konkret dari sebuah konsep. b. Membuat intruksi yang sederhana dan jelas sehingga mudah dipahami. c. Memberikan kesempatan anak tersebut untuk mempraktekkan apa yang mereka pelajari. d. Membiarkan mereka mengulangi setiap tahapan yang telah mereka pelajari sampai pada tingkat pemahaman. e. Membuat harapan-harapan positif untuk setiap pengetahuan yang dimiliki anak sehingga anak lebih tertarik mengikuti proses pengetahuan. f. Menghargai bahwa banyak anak dengan ratardasi mental tidak hanya membutuhkan keahlian akademis, tetapi juga banyak permintaan untuk membantu mereka dalam meningkatkan keberfungsian diri dan keahlian sosial. Mengingat mereka tidak selamanya akan mendapat bantuan orang lain. 78
77
78
A. Dayu P., Mendidik Anak..., hlm. 107-108.
Nini Subini, Panduan Mendidik Anak dengan Kecerdasan Di Bawah Rata-rata (Yogyakarta: Javalitera, 2013), hlm. 80.
54
5. Faktor Penghambat Penerapan Metode Pembelajaran Faktor yang berpengaruh dalam penerapan metode pembelajaran adalah faktor dari luar (lingkungan dan instrumen pembelajaran) dan faktor dari dalam (kondisi fisiologis dan psikologis pendidik ataupun peserta didik). Faktor tersebut akan menjadi penghambat apabila dalam kondisi yang tidak baik. a. Faktor dari Luar Faktor dari luar terdiri dari faktor lingkungan dan faktor instrumen pembelajaran. Faktor lingkungan sendiri terdiri dari lingkungan fisik/alami dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik/alami dan lingkungan sosial yang tidak baik seperti banyak suara bising atau kondisi kelas yang kurang baik, juga akan menghambat guru dalam melakukan proses pembelajaran, sedangkan instrumen belajar meliputi alat-alat praktikum, perpustakaan, kurikulum, dan sebagainya. 79 b. Faktor dari Dalam Faktor dari dalam terdiri dari kondisi fisiologis dan kondisi psikologis baik guru ataupun peserta didik. Secara umum kondisi fisiologis dan psikologis siswa mempengaruhi proses pembelajaran yang selanjutnya mempengaruhi penerapan metode pembelajaran yang digunakan guru.80 Peserta didik dalam jumlah yang cukup banyak itu tentu saja dari latar belakang kehidupan sosial keluarga dan masyarakat yang berlainan. Karenanya, anak berkumpul disekolah pun mempunyai 79
Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, SBM (Strategi Belajar Mengajar)..., hlm. 105-106.
80
Abu Ahmadi & Joko Tri Prasetya, SBM (Strategi Belajar Mengajar)..., hlm. 106-107.
55
karakteristik yang bermacam-macam. Kepribadian mereka ada yang pendiam, ada yang periang, ada yang suka bicara, ada yang kreatif, ada yang keras kepala, ada yang manja, dan sebagainya. Intelektual mereka juga dengan kecerdasan yang bervariasi. Biologis mereka dengan struktur atau keadaan tubuh yang tidak selalu sama.
81
Karena itu
perbedaan anak pada aspek fisiologis dan psikologis ini mempengaruhi kegiatan belajar mengajar. Kondisi fisiologis dan psikologis guru juga menjadi faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah metode pembelajaran. Pendidik mempunyai kepribadian yang beragam, begitu pula latar belakang pendidikannya yang memang mempengaruhi kompetensi. Pendidik yang memiliki latar belakang keguruan akan lebih mudah menerapkan berbagai metode dibandingkan dengan pendidik yang tidak memiliki pendidikan keguruan.82 6. Efektivitas Metode Pembelajaran Ketika anak didik tidak mampu berkonsentrasi, ketika sebagian besar anak didik membuat kegaduhan, ketika anak didik menunjukkan kelesuan, ketika minat anak didik semakin berkurang dan ketika sebagian besar anak didik tidak menguasai bahan yang telah guru sampaikan, ketika itulah guru mempertanyakan faktor penyebabnya dan berusaha mencari jawabannya secara tepat. Boleh jadi dari sekian keadaan tersebut, salah
81
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar (edisi revisi)..., hlm.
82
Zaenal Mustakim, Strategi & Metode Pembelajaran..., hlm. 117.
113.
56
satu penyebabnya adalah faktor metode. Karena efektivitas penggunaan metode patut dipertanyakan. Penggunaan metode yang tidak sesuai dengan tujuan pengajaran akan menjadi kendala dalam mencapai tujuan yang telah dirumuskan. Cukup banyak bahan pelajaran yang terbuang dengan percuma hanya karena penggunaan metode menurut kehendak guru dan mengabaikan kebutuhan siswa, fasilitas, serta situasi kelas. Guru yang selalu senang menggunakan metode ceramah sementara tujuan pengajarannya adalah agar anak didik dapat memperagakan salat, adalah kegiatan belajar mengajar yang kurang kondusif. Seharusnya penggunaan metode dapat menunjang pencapaian tujuan pengajaran, bukannya tujuan yang harus menyesuaikan diri dengan metode.83 Efektivitas
adalah
adanya
kesesuaian
melaksanakan tugas dengan sasaran yang dituju.
antara 84
orang
yang
Efektivitas berarti
menunjukkan taraf tercapainya tujuan, usaha dapat dikatakan efektif apabila usaha tersebut mencapai tujuan yang diinginkan. Menurut Mudhofir sebagaiman dikutip oleh Ana Rahmawati bahwa ukuran efektif dapat diukur dari beberapa jumlah siswa yang berhasil mencapai tujuan belajar dalam waktu yang telah ditentukan. 85
83
Syaiful Bahri Djamarah & Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar..., hlm. 76-77.
84
E. Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003), hlm.
82. 85
Ana Rahmawati, “Efektivitas Penggunaan Metode Pembelajaran Qira’ah Kelas VIII MTSN Tempel Sleman Yogyakarta”, Skripsi Sarjana Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009), hlm. 10.
57
Berdasarkan hal di atas, maka dikatakan bahwa efektivitas metode pembelajaran dapat dilihat dari segi proses dan segi hasil. Dari segi proses, pembelajaran atau pembentukkan kompetensi dikatakan berhasil dan berkualitas apabila seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%) peserta didik terlibat secara aktif, baik fisik, mental, maupun sosial dalam proses pembelajaran, di samping menunjukkan kegairahan belajar yang tinggi, semangat belajar yang besar, dan rasa percaya pada diri sendiri. Dari segi hasil, proses pembelajaran dikatakan berhasil apabila terjadi perubahan perilaku yang positif pada diri peserta didik seluruhnya atau setidak-tidaknya sebagian besar (75%).86
86
131.
E. Mulyasa, Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm.