perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012
SKRIPSI
Disusun Oleh :
Yazied Hussain Arrachim K5108078
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user Juli 2012
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN KEASLIAN PENULISAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini Nama
: Yazied Hussain Arrachim
NIM
: K5108078
Jurusan/ Program Studi
: P.I.P/ Pendidikan Luar Biasa
menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “AKSESIBILITAS BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM LINGKUP PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2012” ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.
Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.
Surakarta, 19 Juli 2012 Yang membuat pernyataan
Yazied Hussain Arrachim K5108078
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan
Disusun Oleh :
Yazied Hussain Arrachim K5108078
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA Juli 2012
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui sebagai salah satu syarat penyusunan Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, pada : Hari
: Kamis
Tanggal
: 19 Juli 2012
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. Gunarhadi, MA, Ph.D
Priyono, S.Pd, M.Si
NIP. 19550210 198203 1 004
NIP 19710902 200501 1001
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan telah diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Pada Hari : Tanggal
:
Tim Penguji Skripsi: Ketua
: Drs. Hermawan, M. Si
……………………
Sekretaris
: Dewi Sri Rejeki, S.Pd, M.Pd
……………………
Anggota 1
: Drs. Gunarhadi MA, Ph.D
……………………
Anggota II
: Priyono, S.Pd, M. Si
……………………
Disahkan Oleh : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret a.n Dekan Pembantu Dekan I
Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M. Si NIP. 19660415 199103 1 002 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
Yazied Hussain Arrachim. AKSESIBILITAS BAGI ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS DALAM LINGKUP PENDIDIKAN INKLUSI DI SEKOLAH DASAR INKLUSI DI KABUPATEN SRAGEN TAHUN 2012. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Juli, 2012. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana kualitas aksesibilitas yang telah diperoleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012. Penelitian ini menggunakan metode diskriptif kualitatif. Sumber data yang digunakan adalah informan, tempat dan peristiwa serta arsip dan dokumen. Teknik pengumpulan data melalui kuisoner, wawancara, observasi, dan analisis dokumen. Teknik sampling (cuplikan) yang digunakan adalah teknik purposive sampling. Validitas data yang digunakan adalah uji validitas tes dan reliabilitas tes dengan menggunakan rumus korelasi product moment pearson. Analisis data yang digunakan adalah analisa data yang bersifat kualitatif dengan model deskriptif. Data hasil penelitian menunjukkan rata – rata skor pengukur tingkat aksesibilitas yang diperoleh dari responden guru 3,35 (sedang) dan rata – rata skor pengukur tingkat aksesibilitas dari responden siswa ABK 3,44 (Sedang), sehingga diperoleh skor rata – rata total 3,39 (Sedang) sebagai nilai rata – rata total yang diperoleh dari responden guru dan responden siswa ABK, yang menunjukkan bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel. Kata kunci : Aksesibilitas, Anak Berkebutuhan Khusus, Pendidikan Inklusi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
Yazied Hussain Arrachim. ACCESIBILITY FOR CHILDREN WITH SPECIAL NEEDS WITHIN THE SCOPE OF INCLUSIVE EDUCATION IN PRIMARY SCHOOL OF SRAGEN REGENCY IN THE YEARS 2012. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty of Surakarta Sebelas Maret University. July. 2012. The purpose of this study was to determine the extent quality of the accessibility of that has gained a child with special needs in inclusive primary school of Sragen regency at 2012. This study used a qualitative descriptive method. Techniques of data collection through questionnaires, interviews, observation, and document analysis. Sampling technique used was purposive sampling technique. The validity of the data used is the test validity and reliability tests using Pearson product moment correlation formula. Analysis of the data used is a qualitative data analysis with descriptive models. Data showed the average score gauges the level of accessibility provided by the teacher respondents is 3,35 (medium) and the average score gauges the level of accessibility of children with special needs student respondents is 3,44 (Medium), to obtain total average scores is 3,39 (Medium) as the total average obtained from the teacher respondents and children with special needs student respondents, which shows that accessibility for children with special needs within the scope of inclusive education in primary schools of Sragen Regency inclusion in the year 2012 is quite accessible. Key Words : Accessibility, Children With Special Needs, Inclusive Education
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
” Tak ada yang jatuh dari langit dengan cuma – cuma, semua didapat dari usaha dan do’a ’’
(penulis)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Seiring syukurku pada-Mu YA ALLAH, ku persembahkan karya ini untuk: Bapak dan Ibu tercinta yang telah memberikan segalanya, dukungan, motivasi terutama do‟a semoga Allah SWT memberikan kebaikan dan kemuliaan di dunia dan akhirat Ambarwati yang selalu jadi sumber semangat yang tak pernah habis Kakak dan adik tercinta yang selalu memberiku semangat Rekan – rekan liga ngangkruk sebagai tempat melepas penat Sahabatku Dessi, Retno, Ridwan, Albiz yang sudah bersedia membagi tawa denganku Bapak dan Ibu Dosen PLB yang telah banyak memberikan ilmu Teman-teman PLB angkatan 2008 Almamater
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Alhamdulillah, dipanjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya, taufiq dan hidayahNya, penulisan skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis merasa memperoleh suatu kebahagiaan tersendiri. Meskipun demikian tidak berarti penulisan ini tanpa hambatan, namun setidaknya pula hambatan tersebut dapat diantisipasi dan diatasi. Hal tersebut tidak lain berkat dorongan, motivasi, dan saran dari berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh sebab itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada yang terhormat : 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatulah, M.Pd, Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini 2. Prof. Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si, Pembantu Dekan 1 Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini 3. Drs. Amir Fuady, M.Hum, Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan ijin penelitian guna menyusun skripsi ini. 4. Drs. Rusdiana Indianto, M.Pd, Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan FKIP UNS Surakarta, yang telah memberikan ijin penyusunan skripsi 5. Drs. Hermawan, M. Si, Ketua Program Studi Pendidikan Khusus FKIP UNS yang telah memberikan ijin untuk menyusun skripsi 6. Priyono, S.Pd, M.Si, Sekretaris Program Studi Pendidikan Luar Biasa Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta sekaligus selaku dosen pembimbing II yang telah membimbing dengan profesional dalam penulisan skripsi 7. Drs. Gunarhadi MA, P.hD selaku Pembimbing I yang dengan sabar telah memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi sehingga skripsi ini dapat commit to user terselesaikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8. Seluruh kepala sekolah SD inklusi yang ada di Kabupaten Sragen atas ijin untuk melakukan penelitian di sekolah 9. Segenap Bapak/Ibu dosen Program Studi Pendidikan Khusus yang telah memberikan bekal ilmu pengetahuan, sehingga peneliti mampu menyelesaikan penulisan skripsi ini 10. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti demi lancarnya penulisan skripsi ini yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa masih ada kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi majunya ilmu pendidikan di sekitar kita.
Surakarta, 19 Juli 2012
Penulis
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................
ii
HALAMAN PENGAJUAN .............................................................................
iii
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................
iv
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................
v
ABSTRAK .......................................................................................................
vi
ABSTRACK.....................................................................................................
vii
HALAMAN MOTTO ......................................................................................
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN ......................................................................
ix
KATA PENGANTAR .....................................................................................
x
DAFTAR ISI ...................................................................................................
xi
DAFTAR TABEL ............................................................................................
xiv
DAFTAR BAGAN .........................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................
xvi
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................... .
1
A. Latar Belakang Masalah .............................................................
1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................
4
C. Pembatasan Masalah ...................................................................
5
D. Rumusan Masalah ......................................................................
5
E. Tujuan Penelitian .......................................................................
5
F. Manfaat Penelitian .....................................................................
6
BAB II KAJIAN TEORI....................................................................... .......
7
A. Tinjauan Pustaka.........................................................................
7
1. Tinjauan Tentang Aksesibilitas................................... ..........
7
2. Tinjauan Tentang Anak berkebutuhan khusus.....................
10
a. Tunanetra……………………………………………….
11
b. Tunarungu………………………………………………
12
c. Tunagrahita…………………………………………….. commit to user d. Tunadaksa………………………………………………
13 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Tunalaras………………………………………………..
16
3. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi…………………........
17
a. Pengertian Pendidikan inklusi ...................................... b. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi.............
17 20
c. Sarana Prasarana dan Komponen Pendidikan Inklusi ...
21
d. Model Pendidikan Inklusi ……………………............. B. Kerangka Berpikir ......................................................................
25 28
C. Hipotesis......................................................................................
28
BAB III METODOLOGI PENELITIAN....................................................... .
29
A. Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................
29
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian..................................................
30
C. Data dan Sumber Data ...............................................................
30
D. Teknik Pengambilan Sampel.......................................................
31
E. Teknik Pengumpulan Data .........................................................
31
F. Uji Validitas…………………………………………………….
33
G. Tekhnik Analisis Data………………………………… .............
37
H. Rancangan Penelitian…………………………………………..
38
BAB IV HASIL PENELITIAN ..................................................................... .
40
A. Deskripsi Data………………………………………………….
40
1. Deskripsi Lokasi Penelitian……….……………………….
40
2. Deskripsi Responden Penelitian……….………………….
41
a. Responden Guru………………………………………
42
b. Responden Siswa ABK………………….……………
43
3. Data Hasil Penelitian ………………………………………
45
B. Hasil Analisis Data …………………………………………...
49
BAB V KESIMPULAN, IMPIKASI DAN SARAN.......................................
56
A. Kesimpulan……………………………………………………..
56
B. Implikasi ………………………………………………………
56
C. Saran…………………………………………………………...
57
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... commit to user
58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 3.1 Jadwal penelitian ..............................................................................
29
Tabel 3.2 Koefisien reliabilitas dari Strand, B.N dan Wuilson R. ...................
37
Tabel 4.1 Daftar SD inklusi di Kabupaten Sragen ...........................................
41
Tabel 4.2 Daftar persebaran responden guru.......................................... .........
42
Tabel 4.3 Daftar responden guru ......................................................................
43
Tabel 4.4 Daftar responden siswa ABK ...........................................................
44
Tabel 4.5 Skor skala penilaian .........................................................................
45
Tabel 4.6 Perbandingan hasil antar responden .................................................
55
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN Halaman Bagan 2.1 Kerangka Berpikir .........................................................................
commit to user
28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1. Kisi-kisi Try Out Guru ................................................................
61
Lampiran 2. Soal Try Out Guru .......................................................................
62
Lampiran 3. Kisi-kisi Try Out ABK
.............................................................
65
Lampiran 4. Soal Try Out ABK .......................................................................
66
Lampiran 5. Perhitungan Reliabilitas...............................................................
68
Lampiran 6. Perhitungan Validitas ..................................................................
69
Lampiran 7. Kisi-kisi kuisoner Guru ..............................................................
94
Lampiran 8. Soal kuisoner Guru ......................................................................
95
Lampiran 9. Kisi-kisi kuisoner ABK ..............................................................
98
Lampiran 10. Soal kuisoner ABK ....................................................................
99
Lampiran 11. Distribusi Frekuensi Responden Guru ...................................... 101 Lampiran 12. Distribusi Frekuensi Respoden Siswa ABK ............................. 108 Lampiran 13. Dokumentasi Penelitian ............................................................. 114
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Permasalahan aksesibilitas sebenarnya sudah lama didengungkan oleh para aktivis gerakan penyandang ketunaan di Indonesia, karena hal itu merupakan salah satu bentuk perlakuan diskriminasi yang utama terhadap para penyandang ketunaan, hingga akhirnya pemerintah mengeluarkan beberapa peraturan atau kebijakan untuk penyediaan fasilitas yang aksesibel bagi para penyandang ketunaan. Pada tahun 1997 muncullah Undang – Undang No.4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat yang kemudian ditindaklanjuti dengan beberapa keputusan menteri yang menyangkut tentang akses fasilitas bangunan fisik yaitu Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468 Tahun 1998 tentang Aksesibilitas, berisi Petunjuk Teknis untuk bangunan dan lingkungan yang aksesibel bagi para penyandang ketunaan. Selanjutnya Keputusan Menteri Transportasi No.KM 71 tahun 1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat pada Fasilitas Transportasi Umum, petunjuk aksesibilitas fasilitas transportasi darat, laut, dan udara bagi penyandang cacat. Sejauh ini persepsi masyarakat tentang aksesibilitas hanya mencakup pada individu yang memiliki ketunaan fisik saja. Padahal individu dengan ketunaan atau gangguan intelegensi dan emosional juga membutuhkan suatu aksesibilitas untuk lebih memudahkan mereka dalam kehidupan. Permasalahan tentang aksesibilitas untuk penyandang ketunaan sekarang menjadi sangat kompleks karena pemerintah selalu menunda untuk merealisasikannya. Jadi masalah aksesibilitas, baik aksesibilitas dalam fasilitas umum maupun dalam hal pendidikan yang ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang berada dalam lingkup sekolah inklusi belum terwujud dengan baik. Aksesibilitas dalam hal pendidikan, khususnya dalam lingkup pendidikan inklusi bagi anak berkebutuhan khusus sampai saat inipun dirasa masih kurang. user – sekolah inklusi yang belum Hal tersebut dikarenakan masih commit banyak tosekolah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mampu menyediakan sarana aksesibilitas yang dapat memudahkan anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan persamaan kesempatan untuk lebih mempermudahkan mereka dalam segala kegiatan pembelajarannya disekolah. Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus (ABK) di sekolah tidak kalah pentingnya dengan aksesibilitas fisik pada tempat umum. Dalam hal ini aksesibilitas yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memudahkan anak berkebutuhan khusus dalam upaya mewujudkan pemenuhan kebutuhan yang mampu membantu anak mencapai potensi maksimalnya. Wujud aksesibilitas bagi ABK di sekolah dapat berupa tulisan braile pada pegangan pintu bagi siswa tunanetra untuk mengetahui ruang apa yang hendak dimasukinya tersebut, untuk siswa tunarungu dapat berupa running text yang dipampang di sekolah untuk memudahkan siswa tunarungu untuk mengetahui informasi yang ada. Bagi siswa tunagrahita dapat diwujudkan dengan menghindari adanya sudut lancip pada bangunan, bagi siswa tuna daksa wujud aksesibilitas dapat berupa diperbanyaknya bidang miring yang ada di sekolah sehingga memudahkan kursi roda untuk berjalan diatasnya. Sedangkan bagi siswa tunalaras bias berupa disediakannya terapis khusus untuk mengontrol tingkah laku anak. Pada dasarnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus disediakan dalam tiga macam lembaga pendidikan, yaitu Sekolah Luar Biasa (SLB), Sekolah Dasar Luar
Biasa (SDLB), dan
Pendidikan
Terpadu. SLB sebagai wadah
pendidikan khusus tertua lebih fokus untuk menampung anak dengan jenis kecacatan yang sejenis, sehingga ada SLB - A untuk penyandang Tunanetra, SLB – B untuk penyandang Tunarungu, SLB – C untuk penyandang Tunagrahita, SLB – D untuk penyandang Tunadaksa, SLB – E untuk penyandang Tunalaras, dan SLB Tunaganda untuk penyandang lebih dari satu kecacatan. Berbeda halnya dengan SDLB, SDLB menampung berbagai jenis anak berkelainan, yang mendapatkan layanan pendidikan ditempat tersebut tidak hanya difokuskan pada satu jenis kecacatan layaknya di SLB sehingga tidak menutup kemungkinan terdapat anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, dan/atau tunaganda yang mendapatkan layanan pendidikan disana. Sedangkan pendidikan commit user terpadu adalah sekolah reguler yang jugatomenampung anak berkebutuhan khusus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
untuk diberikan layanan pendidikan, dengan kurikulum, guru, sarana dan prasarana pendidikan, dan kegiatan belajar mengajar yang relatif sama. Keterbatasan SLB di Kabupaten Sragen yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan kota atau pusat Kabupaten Sragen itu sendiri mengharuskan pelayanan bagi ABK tidak hanya di SLB saja. Sekolah reguler pun harus siap menampung siswa ABK yang bertempat tinggal di lokasi sekitar sekolah, dikarenakan sulitnya bagi ABK untuk mengakses pendidikan di SLB. Dengan hal ini, mau tidak mau pihak pemerintah Kabupaten harus menyediakan wadah sekolah reguler yang dapat mencakup siswa ABK untuk bersekolah di dalamnya. Dengan demikian pelayanan bagi ABK tidak hanya berpusat di SLB saja. Namun bagi sekolah inklusi yang menampung siswa ABK didalamnya juga tidak bias sembarangan memberikan pelayanan bagi ABK yang bersekolah disana, perlu suatu wujud aksesibilitas yang dapat memudahkan siswa dalam segala kegiatan siswa di sekolah mulai dari kegiatan pembelajaran, interaksi sosial, serta pembekalan suatu keterampilan harus dibekalkan kepada sekolah yang menampung siswa ABK didalamnya. Dengan mulai diselenggarakannya program pendidikan inklusi di yang ditujukan untuk mengakomodasi anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu menjangkau SLB, pemerintah Kabupaten Sragen pun mulai menunjuk beberapa sekolah untuk menjalankan program pendidikan inklusi. Sejalan dengan hal itu pihak pemerintah pun memberikan suatu anggaran khusus yang kaitannya mengenai pelaksanaan program pendidikan inklusi tersebut. Dengan adanya anggaran khusus dari pemerintah tersebut, diharapkan sekolah – sekolah inklusi dapat memberikan suatu layanan pendidikan yang baik bagi anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusi. Sekolah inklusi berbeda dengan SLB yang hanya menerima siswa dengan jenis kelainan yang homogen, sekolah inklusi menerima siswas dengan berbagai macam ketunaan sehingga pihak sekolah diharuskan dapat mengakomodasi kebutuhan anak berkebutuhan khusus sesuai dengan karakteristik mereka masing – masing. Dengan kata lain sekolah inklusi haruslah menyediakan aksesibilitas untuk setiap karakter keterbatasan anak commit to user berkebutuhan khusus.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi memegang peranan yang sangat penting. Apabila sebagian besar aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dapat terpenuhi dapat menjadi suatu hal yang mendukung berjalannya suatu pendidikan inklusi yang baik. Akan tetapi bila sebagian besar aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah inklusi belum bias terpenuhi dengan baik, maka hal tersebut dapat menghambat jalannya proses belajar, interaksi sosial, dan pembentukan karakter siswa. Oleh karena itu, pemenuhan aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi sangatlah penting guna berjalannya program pendidikan inklusi yang baik bagi anak berkebutuhan khusus. Dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, khususnya di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen terdapat banyak faktor yang mempengaruhi kualitas layanan pendidikan yang dapat diberikan. Faktor penghambat dan faktor pendukung inilah yang memegang peranan penting pada proses pelaksanaan suatu layanan pendidikan, dengan pengadaan aksesibilitas yang baik bagi anak berkebutuhan khusus terutama yang masih dalam usia sekolah, diharapkan kualitas pendidikan yang didapatkan anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah inklusi sesuai dengan apa yang dibutuhkannya. Berdasarkan hal tersebut, peneliti berniat untuk melakukan studi tentang : Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012.
B. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka dapat diidentifikasikan permasalahannya sebagai berikut: 1. Aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus terutama dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen masih perlu ditingkatkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Terdapat banyak faktor penghambat dan faktor pendukung yang mempengaruhi kualitas layanan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen.
C. Pembatasan Masalah Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Subyek penelitian ini adalah siswa dan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. 2. Obyek penelitian ini adalah aksesibilitas bagi anak bekebutuhan khusus dalam layanan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen serta faktor penghambat dan faktor pendukungnya.
D. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah terurai di atas, maka masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apa saja wujud aksesibilitas yang didapat oleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 ? 2. Apa saja faktor penghambat dan faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 ?
E. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui sejauh mana kualitas aksesibilitas yang telah diperoleh anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012. 2. Untuk mengetahui apa saja faktor penghambat dan faktor pendukung penyelenggaraan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Menambah pengetahuan dalam bidang pendidikan luar biasa tentang peran penting
aksesibilitas
bagi
anak
berkebutuhan
khusus
dalam
penyelenggaraan pendidikan inklusi. 2. Sebagai gambaran sekaligus memberi informasi pada pemerintah Kabupaten Sragen mengenai proses pelaksanaan pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. 3. Dengan
informasi
tersebut,
diharapkan
kendala-kendala
dalam
penyelenggaraan sekolah inklusi di Kabupaten Sragen dapat terjembatani dengan baik dan anak berkebutuhan khusus dapat mengakses pendidikan dengan lebih leluasa.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. Tinjauan Tentang Aksesibilitas Kata aksesibilitas berasal dari bahasa Inggris (accessibility) yang artinya kurang lebih kemudahan. Jadi aksesibilitas dapat kita pahami sebagai kemudahan yang diberikan pada penyandang cacat untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai kompensasi dari tidak berfungsinya bagian – bagian tubuh si penyandang cacat (Tangkesalu, 2005). Sejauh ini masyarakat hanya mengetahui bahwa kata aksesibilitas hanya berkaitan dengan penyandang ketunaan fisik saja. Hal ini dikarenakan banyak tenaga ahli yang hanya memperhatikan aksesibilitas bagi penyandang ketunaan fisik saja sedangngkan bagi penyandang kecacatan intelejensi dan emosi masih kurang diperhatikan. Seperti pengertian aksesibilitas menurut Undang-Undang No 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat Pasal 1 ayat 4 „Aksesibilitas‟ adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan‟. Dalam hal ini undang undang tersebut dimaksudkan untuk tujuan berusaha mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan agar penyandang cacat dapat sepenuhnya hidup bermasyarakat. Tujuan tersebut diwujudkan dengan janji Undang Undang tersebut memberikan kemudahan kemudahan aksesibilitas yang menjamin tujuan tersebut diantaranya dengan adanya fasilitas ramah difabel berupa alat transportasi, sarana pendidikan, lapangan kerja, maupun tempat rekreasi ataupun ruang terbuka public termasuk sekolah yang dapat mereka manfaatkan dengan nyaman. Setidaknya terdapat empat azas yang dapat menjamin kemudahan atau aksesibilitas difabel tersebut yang mutlak mestinya harus dipenuhi oleh pemerintah yakninya: 1. Azas kemudahan, artinya setiap orang dapat mencapai semua tempat atau commit to user bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Azas kegunaan, artinya semua orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan. 3. Azas keselamatan, artinya setiap bangunan dalam suatu lingkungan terbangun harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang termasuk difabel. 4. Azas kemandirian, artinya setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Pada umumnya dalam lingkungan ruang publik kebutuhan akan aksesibilitas terbagi menjadi tiga kategori yaitu : 1. Kecacatan fisik, yang mencakup mereka yang menggunakan kursi roda, semiambulant, dan mereka yang memiliki hambatan manipulatoris yaitu kesulitan gerak otot 2. Kecacatan sensoris (alat indra) yang meliputi orang tunanetra, tunarungu, dan tunawicara. 3. Kecacatan intelektual / mental (tunagrahita,tunalaras).
Aksesibilitas diharapkan mengedepakan kebutuhan seseorang sesuai dengankecacatan yang dimiliki. Karena setiap penyandang ketunaan pastilah memiliki keterbatasan yang berbeda – beda pula seperti bagi penyandang tuna daksa pasti akan mengalami kesulitan dalam hal perubahan tingkat ketinggian permukaan yang mendadak seperti pada tangga atau parit, tidak adanya pertautan landai antara jalan dan trotoar, tidak cukupnya ruang untuk lutut di bawah meja atau wastafel, tidak cukupnya ruang untuk berbelok, lubang pintu dan koridor yang terlalu sempit, permukaan jalan yang tidak rata atau berlubang (misalnya karena adanya bebatuan) menghambat jalannya kursi roda dan masih banyak lagi. Sedangkan hambatan yang bias dialami oleh tuna netra antara lain, tidak adanya petunjuk arah atau ciri-ciri yang dapat didengar atau dilihat dengan penglihatan terbatas yang menunjukkan nomor lantai pada gedung-gedung bertingkat, commit to user rintangan – rintangan kecil seperti jendela yang membuka ke luar atau papan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
reklame yang dipasang di tempat pejalan kaki, cahaya yang menyilaukan atau terlalu redup. lift tanpa petunjuk taktual (dapat diraba) untuk membedakan bermacam-macam tombol, atau petunjuk suara untuk menunjukkan nomor lantai dan masih banyak lagi.Hambatan yang dapat dialami penyandang tunarungu antara lain : tidak mungkin dapat memahami pengumuman melalui pengeras suara, kesulitan membaca bibir di tempat dengan pencahayaan yang buruk, tidak dapat mendengar bunyi tanda bahaya. sedangkan bagi para penyandang tunagrahita yang memiliki masalah dengan keintelektualannya akan mengalami kesulitan mencari jalan di dalam lingkungan baru jika di sana tidak terdapat petunjuk jalan yang jelas dan baku.
Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi semua pengguna tanpa terkecuali (Lubis, 2009). Dari pengertian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa aksesibilitas bukan hanya milik para penyandang ketunaan fisik saja melainkan bagi semua orang dengan ketunaan apapun, dan dalam aspek apapun tanpa terkecuali termasuk dalam aspek pendidikan. Bagi anak berkebutuhan khusus yang berada dalam lingkup layanan pendidikan inklusi, wujud dari aksesibilitas bagi mereka adalah segala sesuatu yang lebih memudahkan mereka guna mendapatkaan hak dan pelayanan yang benar – benar mereka butuhkan dari dalam lingkungan sekolah untuk dapat membantu membantu mengembangkan potensi maksimal yang dimiliki. Dalam hal pendidikan hal ini dapat berupa wujud sebuah layanan pendidikan yang lebih memudahkan mereka mencapai potensi maksimal yang commit to user dimiliki. Wujud aksesibilitas dalam sekolah inklusi haruslah mencakup semua
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jenis ketunaan dari anak berkebutuhan khusus sehingga sekolah dapat menampung anak berkebutuhan khusus tidak hanya dari satu jenis ketunaan saja. Penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang berbeda dengan layanan pendidikan bagi anak normal pada umumnnya menyebabkan anak berkebutuhan khusus memerlukan suatu bentuk layanan khusus yang dapat memudahkan anak dalam kegiatan pembelajarannya, mulai dari aspek keselamatan, kemandirian, hingga proses pembelajaran harus aksesibel. Aksesibilitas dalam pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus memegang peranan yang penting dalam tingkat keberhasilan belajar anak berkebutuhan khusus. Semakin baik tingkat aksesibilitas yang mampu disediakan penyelenggara pendidikan, dapat diartikan semakin baik pula hasil belajar yang diperoleh anak berkebutuhan khusus dalam pendidikannya. Begitu pula jika tingkat aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus kurang baik, bukan tidak mungkin hasil belajar yang dicapai anak berkebutuhan khusus juga tidak maksimal. Dengan demikian dapat diartikan aksesibilitas dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus sangat menentukan tercapainya tujuan pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.
5. Tinjauan Tentang Anak Berkebutuhan Khusus Anak berkebutuhan khusus atau yang pada masa lampau disebut anak cacat memiliki karakteristik khusus dan kemampuan yang berbeda dengan anakanak pada umumnya. Tipe anak berkebutuhan khusus bermacam-macam dengan penyebutan yang sesuai dengan bagian diri anak yang mengalami hambatan baik telah ada sejak lahir maupun karena kegagalan atau kecelakaan pada masa tumbuh-kembangnya. Karakteristik anak berkebutuhan khusus dan hambatan yang mereka alami seringkali menyulitkan mereka mengakses layanan publik, seperti fasilitas di tempat umum yang tidak aksesibel bagi mereka, hingga layanan tumbuh – kembang dan pendidikan yang relatif membutuhkan usaha dan biaya ekstra. Perbedaan karakteristik siswa ABK disbanding anak – anak pada umumnya commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
membutuhkan bentuk penanganan dan layanan khusus yang sesuai dengan kondisi mereka. Kondisi mereka yang berbeda bukan menjadi alasan untuk menghindari atau membuang mereka, melainkan justru membuahkan kesadaran untuk menghargai keragaman individu dan memberi perhatian dan layanan seideal yang seharusnya mereka terima. Sebagaimana dinyatakan dalam Deklarasi Bandung: Indonesia menuju Pendidikan Inklusi 2004 menyatakan bahwa keberadaan anak berkelainan dan anak berkebutuhan khusus lainnya di Indonesia berhak mendapatkan kesamaan hak dalam berbicara, berpendapat, memperoleh pendidikan, kesejahteraan dan kesehatan, sebagaimana yang dijamin oleh UUD 1945; serta mendapatkan hak dan kewajiban secara penuh sebagai warga negara. Macam dan karakteristik anak berkebutuhan khusus yang berada di tengah masyarakat kita antara lain : a. Tunanetra Menurut Supartinah (1995) “ Anak tunanetra tidak hanya anak yang tidak mampu melihat sama sekali (buta), tetapi juga anak yang hanya mampu melihat dalam keterbatasan (low vision)” (hlm. 16). Gangguan penglihatan atau kebutaan berarti adanya kerusakan pada mata seseorang, sehingga menyebabkan kemampuan indera penglihatan seseorang tidak dapat berfungsi dengan baik atau bahkan tidak dapat berfungsi sama sekali. Kaufman dan Hallahan mendefinisikan makna tunanetra sebagai individu yang memiliki lemah penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena keterbatasan penyandang tunanetra dalam hal penglihatan, maka dalam proses pembelajarannya lebih menekankan pada alat indera yang lain yaitu indera perabaan dan pendengaran. Oleh karena itu, prinsip yang harus diperhatikan dalam dalam memberikan pengajaran kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan hendaknya bersifat faktual dan bersuara. Contohnya, tulisan Braille, gambar timbul dan model benda nyata. Sedangkan media bersuara dapat menggunakan tape recorder dan piranti lunak (software) JAWS. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Melalui pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa yang termasuk dalam klasifikasi tunanetra adalah seseorang yang memiliki kemampuan penglihatan tidak seperti orang awas pada umumnya. b. Tunarungu Tunarungu
adalah
individu
yang
memiliki
hambatan
dalam
pendengaran permanen maupun temporer (tidak permanen). Soemantri (1996) menyatakan bahwa “Tunarungu dapat diartikan sebagai suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang tidak dapat menangkap berbagai rangsangan, terutama melalui indera pendengaran” (hlm. 74). Menurut Dwidjosumarto (1990) “seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu”. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) dan kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah mereka yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aid) (hlm. 1). Tunarungu
di
pendengaran, Menurut
klasifikasikan
berdasarkan
tingkat
gangguan
Moores dalam Soemantri (1996) tentang Anak
Tunarungu : Orang tuli adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 70 dB ISO atau lebih sehingga ia tidak mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau menggunakan alat bantu mendengar. Orang kurang dengar adalah seseorang yang kehilangan kemampuan mendengar pada tingkat 35 dB sampai 69 dB ISO sehingga ia mengalami kesulitan untuk mengerti pembicaraan orang lain melalui pendengarannya sendiri, tanpa atau dengan alat bantu mendengar (hlm. 27). Dengan adanya hambatan pendengaran pada individu tunarungu berakibat terjadinya hambatan dalam berbicara. Sehingga, tunarungu identik dengan tunawicara. Individu tunarungu menggunakan bahasa isyarat untuk berkomunikasi melalui abjad commit jari yang to sudah user dipatenkan secara internasional.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saat ini di SLB bagian B tengah mengembangkan metode komunikasi total, yaitu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.
c. Tunagrahita Tunagrahita adalah individu yang memiliki tingkat kecerdasan di bawah rata – rata dan disertai dengan ketidakmampuan dalam adaptasi perilaku yang muncul siring masa tumbuh kembangnya. Menurut Soemantri (1996), anak tunagrahita merupakan kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata – rata, yang ditandai dengan keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi social (hlm
38). Sedangkan menurut Munzayanah (2000), anak
tunagrahita adalah anak yang mengalami hambatan dalam bidang intelektual serta seluruh kepribadiannya, sehingga mereka mengalami kesulitan dalam penyesuaian diri dengan lingkungan sekitarnya (hlm. 13). Amin (1995) mengemukakan: Anak Tunagrahita adalah mereka yang kecerdasannya berada di bawah rata- rata, disamping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan. Mereka kurang cakap dalam memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan hanya dalam satu hal tetapi hampir dalam segala-galanya, lebih-lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbolsimbol, berhitung dan dalam semua pelajaran yang bersifat teoritis. Dan juga mereka kurang atau terhambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan (hlm. 11). Somantri (2007), mengelompokkan tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensinya yang diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler, yaitu: 1) Anak tunagrahita Ringan Disebut moron atau debil, yang memiliki IQ antara 68-52 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 69-55 (menurut Skala Weschler), mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. 2) Anak tunagrahita sedang Disebut imbesil , yang memiliki IQ antara 51-36(menurut Skala Binet) atau IQ antara 54-40 (menurut Skala Weschker). Anak terbelakang mental commit to user sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
lebih 7 tahun. mereka masih dapat dididik mengurus dirinya sendiri, melindungi dirisendiri dari bahaya seperti berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,menghindari kebakaran dan sebagainya. 3) Tunagrahita berat Disebut Idiot yang memilki IQ antara 32-20 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 39-25 (menurut Skala Weschler). Mereka tidak dapat dididik mengurus dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan bantuan total seperti mandi, berpakaian, makan, minum dan lain-laindan memerlukan perlindung dari bahaya seumur hidup. Apalagi anak tunagrahita sangat berat yang memilki IQ di bawah 19 (menurut Skala Binet) atau IQ di bawah 24 (menurut Skala Weschler), ia sangat memerlukan bantuan total seumur hidupnya (hlm. 106). Menurut Efendi (2006) yang mengklasifikasikan anak tunagrahita untuk keperluan pendidikan yaitu: “Idiot kecerdasannya sekalipun sudah berusia lanjut tidak lebih dari anak normal berusia 3 tahun. Imbisil kecerdasan maksimal tak lebih dari kecerdasan anak normal usia 7 tahun. Debil perkembangan kecerdasannya antara setengah hingga tiga perempat kecepatan anak normal atau pada usia dewasa kecerdasannya maksimal kira-kira sama dengan anak normal usia 12 tahun. Moron kecerdasan maksimal tak lebih dari kecerdasan anak normal usia 16 tahun” (hlm. 90). Somantri (2007), mengelompokkan tunagrahita berdasarkan tingkat intelegensinya yang diukur dengan tes Stanford Binet dan Skala Weschler, yaitu: 1) Anak tunagrahita Ringan Disebut moron atau debil, yang memiliki IQ antara 68-52 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 69-55 (menurut Skala Weschler), mereka masih dapat belajar membaca, menulis dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik, anak terbelakang mental ringan pada saatnya akan dapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri. 2) Anak tunagrahita sedang Disebut imbesil , yang memiliki IQ antara 51-36(menurut Skala Binet) atau IQ antara 54-40 (menurut Skala Weschker). Anak terbelakang mental sedang bisa mencapai perkembangan Mental Age (MA) sampai kurang lebih 7 tahun. mereka masih dapat dididik mengurus dirinya sendiri, melindungi dirisendiri dari bahaya seperti berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan,menghindari kebakaran dan sebagainya. 3) Tunagrahita berat Disebut Idiot yang memilki IQ antara 32-20 (menurut Skala Binet) atau IQ antara 39-25 (menurut Skala Weschler). Mereka tidak dapat dididik mengurus dirinya sendiri, sehingga ia memerlukan bantuan total seperti mandi, berpakaian, makan, commitminum to user dan lain-laindan memerlukan perlindung dari bahaya seumur hidup. Apalagi anak tunagrahita sangat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berat yang memilki IQ di bawah 19 (menurut Skala Binet) atau IQ di bawah 24 (menurut Skala Weschler), ia sangat memerlukan bantuan total seumur hidupnya (hlm. 106). Karena individu tunagrahita memiliki keterbatasan dalam kemampuan intelejensia dan perilaku sosialnya, maka pembelajaran bagi anak tunagrahita lebih dititikberatkan pada kemampuan bina diri dan sosialisasi. d. Tunadaksa Anak tunadaksa sering disebut dengan istilah anak cacat tubuh, cacat fisik, dan cacat ortopedi. Istilah tunadaksa berasal dari kata “tuna” yang berarti rugi atau kurang dan ”daksa” yang berarti tubuh. Tunadaksa adalah anak yang memiliki anggota tubuh tidak sempurna, sedangkan istilah cacat tubuh dan cacat fisik dimaksudkan untuk menyebut anak cacat pada anggota tubuhnya, bukan cacat indranya. Selanjutnya istilah cacat ortopedi terjemahan dari bahasa Inggris orthopedically handicapped. Orthopedic mempunyai arti yang berhubungan dengan otot, tulang, dan persendian. Dengan demikian, cacat ortopedi kelainannya terletak pada aspek otot, tulang dan persendian atau dapat juga merupakan akibat adanya kelainan yang terletak pada pusat pengatur sistem otot, tulang dan persendian. Menurut Somantri (2007) “tuna daksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan olah penyakit, kecelakaan, atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir”(hlm.126). Efendi (2006) juga menyatakan bahwa “anak tuna daksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit atau pertumbuhan yang tidak sempurna” (hlm.114). Oleh karena itu pembelajaran bagi tunadaksa hendaknya disesuaikan dengan karakteristik mereka juga, dengan cara meminimalisir aktivitas pembelajaran yang menggunakan aktivitas motorik serta mengakomodasi dan menyesuaikan fasilitas sekolahcommit dengantokebutuhan anak tunadaksa sendiri. user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
e. Tunalaras Banyak istilah yang berbeda-beda digunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mempunyai masalah berat dalam hubungan sosial, interpersonal dan intrapersonal (seperti berfikir, berperasaan, bersikap). Belum ada definisi yang dapat diterima secara umum tentang anak-anak yang mengalami gangguan emosional dan gangguan perilaku. Banyak ahli atau kelompok-kelompok profesi yang menangani anak-anak semacam ini merasa bebas untuk menyusun berbagai macam definisi berdasarkan maksud-maksud profesinya. Ada beberapa alasan mengapa belum ada definisi yang
jelas
tentang kelainan perilaku tersebut. Pertama, adanya masalah tentang alat ukur yang dapat digunakan. Kedua, belum ada kesepakatan yang jelas tentang bagaimana keadaan kesehatan mental yang baik. Ketiga, berbagai macam teori yang berbeda-beda tentang gangguan emosional dalam terminologi dan definisi mereka. Berdasarkan masalah-masalah diatas telah banyak usaha untuk menyusun definisi gangguan emosional tersebut. Anak tuna laras adalah anak yang mengalami hambatan emosi dan tingkah laku sehingga kurang dapat atau mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan baik terhadap lingkungannya dan hal ini akan mengganggu situasi belajarnya (Somantri, 2007). Pokok kajian dalam bahasan ini adalah anak yang mengalami gangguan tingkah laku yang memerlukan layanan pendidikan luar biasa. Dalam dunia pendidikan luar biasa, anak yang mengalami masalah tingkah laku disebut anak tunalaras yang di dalamnya mencakup anak yang mengalami gangguan emosi (emosional disturbance) dan anak dengan gangguan perilaku (behavioral disorder). Tunalaras adalah individu
yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. Definisi anak tuna laras atau emotionally handicapped atau behavioral disorder lebih terarah berdasarkan definisi dari (Bower, 1981) yang menyatakan bahwa anak dengan hambatan emosional atau kelainan perilaku, apabila menujukkan adanya satu atau lebih commit user belajar bukan disebabkan karena dari lima komponen berikut ini: tidak to mampu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
faktor intelektual, sensori atau kesehatan; tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan guru-guru; bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya; secara umum mereka selalu dalam keadaan tidak gembira atau depresi; dan bertendensi ke arah simptom fisik seperti merasa sakit atau ketakutan yang berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah (Delphie, 2006). Individu tunalaras biasanya menunjukan perilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku di sekitarnya. Dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh anak tunalaras dalam hal mengendalikan emosi dan kontrol sosialnya, secara tidak langsung akan berimbas pada kemampuan anak dalam menerima pelajaran. Oleh karena itu anak tunalaras termasuk dalam kelompok anak yang memerlukan layanan khusus dalam hal pendidikannya.
6. Tinjauan Tentang Pendidikan Inklusi a. Pengertian Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi adalah termasuk hal yang baru di Indonesia. Ada beberapa pengertian mengenai pendidikan inklusi, diantaranya pendidikan inklusi merupakan sebuah pendekatan yang berusaha mentransformasi sistem pendidikan dengan meniadakan hambatan-hambatan yang dapat menghalangi setiap siswa untuk berpartisipasi penuh dalam pendidikan. Hambatan yang ada bisa terkait dengan masalah etnik, gender, status sosial, kemiskinan dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan inklusi adalah layanan pendidikan anak berkebutuhan khusus yang dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk memaksimalkan potensinya. Sekolah inklusi adalah sekolah reguler yang mengkoordinasi dan mengintegrasikan siswa reguler dan siswa penyandang cacat dalam program yang sama, dari satu jalan untuk menyiapkan pendidikan bagi anak penyandang cacat adalah pentingnya pendidikan inklusi. Tidak hanya memenuhi target pendidikan dasar, akan tetapi lebih banyak keuntungannya tidak hanya memenuhi hak-hak asasi manusia dan hak-hak anak berkebutuhan khusus tetapi lebih penting lagi commit to user bagi kesejahteraan anak, karena pendidikan inklusi mulai dengan merealisasikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perubahan keyakinan masyarakat yang terkandung di mana akan menjadi bagian dari keseluruhan. Dengan demikian anak berkebutuhan khusus merasa tenang, percaya diri, merasa dihargai, dilindungi, disayangi, bahagia dan bertanggung jawab. Pendidikan inklusi terjadi pada semua lingkungan sosial anak, Pada keluarga, pada kelompok teman sebaya, pada sekolah, pada institusi-institusi kemasyarakatan lainnya. Sebuah masyarakat yang melaksanakan pendidikan inklusi berkeyakinan bahwa hidup dan belajar bersama adalah cara hidup yang terbaik, yang menguntungkan semua orang, karena tipe pendidikan ini dapat menerima dan merespon setiap kebutuhan individual anak. Sri Widati, dkk (2010) menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat memberikan kesempatan akses yang seluas – luasnya bagi seluruh anak berkebutuhan khusus untuk memperoleh pendidikan sesuai dengan kebutuhan mereka tanpa diskriminasi. Dengan diterapkannya pendidikan inklusif memungkinkan anak berkebutuhan khusus bersekolah di sekolah manapun sesuai dengan keinginannya (hlm. 194). Baihaqi dan Sugiarmin (2006) menyatakan bahwa hakikat inklusif adalah mengenai hak setiap siswa atas perkembangan individu, sosial, dan intelektual. Para siswa harus diberi kesempatan untuk mencapai potensi mereka. Untuk mencapai potensi tersebut, sistem pendidikan harus dirancang dengan memperhitungkan perbedaan-perbedaan yang ada pada diri siswa. Bagi mereka yang memiliki ketidakmampuan khusus dan/atau memiliki kebutuhan belajar yang luar biasa harus mempunyai akses terhadap pendidikan yang bermutu tinggi dan tepat. Dengan demikian, jika dipakai pengertian di atas, dengan pendidikan inklusif, semua anak berkebutuhan pendidikan khusus harus belajar di kelas yang sama dengan teman – teman sebayanya (hlm. 75). Hal ini sejalan dengan Praptiningrum (2010) yang menyatakan bahwa pendidikan inklusi merupakan suatu system layanan pendidikan khusus yang mensyaratkan agar semua ABK dilayani di sekolah terdekat di kelas biasa bersama teman – teman seusisanya. Hallahan (2009) mengemukakan pengertian pendidikan inklusif sebagai pendidikan yang menempatkan semua peserta didik berkebutuhan khusus dalam user sekolah reguler sepanjang hari. commit Dalam topendidikan seperti ini, guru memiliki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tanggung jawab penuh terhadap peserta didik berkebutuhan khusus tersebut (hlm. 53). Pengertian ini memberikan pemahaman bahwa pendidikan inklusif menyamakan anak berkebutuhan khusus dengan anak normal lainnya. Untuk itulah, guru memiliki tanggung jawab penuh terhadap proses pelaksanaan pembelajaran di kelas. Dengan demikian guru harus memiliki kemampuan dalam menghadapi banyaknya perbedaan dan keragaman karakteristik peserta didik. Senada dengan pengertian yang disampaikan Hallahan, dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 70 Tahun 2009 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya. Pengertian pendidikan dalam Permendiknas di atas memberikan penjelasan secara lebih rinci mengenai siapa saja yang dapat dimasukkan dalam pendidikan inklusif. Perincian yang diberikan pemerintah ini dapat dipahami sebagai bentuk kebijakan yang sudah disesuaikan dengan kondisi Indonesia, sehingga pemerintah memandang perlu memberikan kesempatan yang sama kepada semua peserta didik dari yang normal, memilik kelainan, dan memiliki kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan. Dengan demikian pemerintah mulai mengubah model pendidikan yang selama ini memisah-misahkan peserta didik normal ke dalam sekolah reguler, peserta didik dengan kecerdasan luar biasa dan bakat istimewa ke dalam sekolah (baca: kelas) akselerasi, dan peserta didik dengan kelainan ke dalam Sekolah Luar Biasa (SLB). Rumusan mengenai pendidikan inklusif yang disusun oleh Direktorat Pendidikan Sekolah Luar Biasa (PSLB) Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Mandikdasmen) Kementrian Pendidikan Nasional (Kemendiknas) mengenai pendidikan inklusif menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem layanan pendidikan yang mensyaratkan anak berkebutuhan khusus belajar di sekolah-sekolah terdekat di kelas biasa bersama-sama teman seusianya. commit to user Sekolah penyelenggara pendidikan inklusif adalah sekolah yang menampung
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
semua murid di sekolah yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang layak dan menantang, tetapi disesuaikan dengan kemampuan dan kebutuhan setiap murid maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak berhasil (“ Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif ” hlm. 4). b. Landasan Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi Landasan yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif di Indonesia yaitu landasan filosofis, landasan yuridis, dan landasan empiris. Secara terperinci, landasan-landasan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Landasan Filosofis Secara filosofis, penyelenggaraan pendidikan inklusif dapat dijelaskan sebagai berikut: Bangsa Indonesia adalah bangsa yang berbudaya dengan lambang negara Burung Garuda yang berarti Bhinneka Tunggal Ika. Keragaman dalam etnik, dialek, adat istiadat, keyakinan, tradisi dan budaya merupakan kekayaan bangsa yang tetap menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) 2. Landasan Yuridis Secara yuridis, pendidikan inklusif dilaksanakan berdasarkan atas: 1) UUD 1945 2) UU Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang Cacat 3) UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia 4) UU Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 5) UU Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 6) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan 7) Surat Edaran Dirjen Dikdasmen No. 380/C.C6/MN/2003 Tanggal 20 Januari 2003 Perihal Pendidikan Inklusif : Menyelenggarakan dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mengembangkan di setiap Kabupaten/Kota sekurang-kurangnya 4 (empat) sekolah yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK. 8) Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70 tahun 2009 Tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa 3. Landasan Empiris 1) Landasan empiris yang dipakai dalam pelaksanaan pendidikan inklusif yaitu: 1) Deklarasi Hak Asasi Manusia 1948 (Declaration of Human Rights) 2) Konvensi Hak Anak 1989 (Convention of The Rights of Children) 3) Konferensi Dunia Tentang Pendidikan untuk Semua 1990 (World Conference on Education for All) 4) Resolusi PBB nomor 48/96 Tahun 1993 Tentang Persamaan Kesempatan Bagi Orang Berkelainan (the standard rules on the equalization of opportunitites for person with dissabilities) 5) Pernyataan
Salamanca
Tentang
Pendidikan
Inklusi
1994
(Salamanca Statement on Inclusive Education) 6) Komitmen Dakar mengenai Pendidikan Untuk Semua 2000 (The Dakar Commitment on Education for All) 7) Deklarasi Bandung 2004 dengan komitmen “Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” c. Sarana Prasarana dan Komponen Pendidikan Inklusi Menurut direktorat manajemen pendidikan dasar dan menengah No. 9. Th.II/2008, terdapat berbagai perbedaan dalam konsep dan model pendididikan inklusi dengan pendidikan noninklusi, oleh karena itu komponen dan syarat yang harus dipenuhi suatu sekolah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi juga berbeda dengan sekolah regular noninklusi. Komponen pendidikan yang perlu dikelola dalam penyelenggaraan suatu sekolah inklusi, antara lain: manajemen kesiswaan, manajemen kurikulum, manajemen tenaga kependidikan, manajemen sarana dan prasarana, manajemen keuangan/dana, manajemen lingkungan commit to user layanan Khusus (hlm. 6–9). (hubungan sekolah dan masyarakat), manajemen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Manajemen kesiswaan merupakan salah satu komponen pendidikan inklusi yang perlu mendapat perhatian dan pengelolaan lebih. Hal ini dikarenakan kondisi peserta didik pada pendidikan inklusi yang lebih majemuk daripada kondisi peserta didik pada pendidikan reguler. Tujuan dari manajemen kesiswaan ini tidak lain agar kegiatan belajar mengajar di sekolah dapat berjalan lancar, tertib, dan teratur, serta mencapai tujuan yang diinginkan. Pendidikan inklusi masih menggunakan kurikulum standar nasional yang telah ditetapkan pemerintah. Namun dalam pelaksanaan di lapangan, kurikulum pada pendidikan inklusi disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik peserta didik. Berdasarkan Permendiknas Nomor 70 Tahun 2009 pasal 7, Pemerintah menyatakan bahwa kurikulum yang dipakai satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang mengakomodasi kebutuhan dan kemampuan peserta didik sesuai dengan bakat, minat dan potensinya. Menurut direktorat manajemen pendidikan dasar dan menengah No. 9. Th.II/2008, berikut ini adalah model kurikulum yang digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi : 1. Model kurikulum reguler 2. Model kurikulum reguler dengan modifikasi 3. Model kurikulum Program Pembelajaran Individual (PPI) (hlm. 19). Model kurikulum reguler, yaitu kurikulum yang mengikutsertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk mengikuti kurikulum reguler sama seperti kawan-kawan lainnya di dalam kelas yang sama. Model kurikulum reguler dengan modifikasi, yaitu kurikulum yang dimodifikasi oleh guru pada strategi pembelajaran, jenis penilaian, maupun pada program tambahan lainnya dengan tetap mengacu pada kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Di dalam model ini bisa terdapat siswa berkebutuhan khusus yang memiliki PPI. Model kurikulum PPI yaitu kurikulum yang dipersiapkan guru program PPI yang dikembangkan bersama tim pengembang yang melibatkan guru kelas, guru pendidikan khusus, kepala sekolah, orang tua, dan tenaga ahli lain yang terkait. Kurikulum PPI atau dalam bahasa Inggris Individualized Education commit to user kentara dari pendidikan inklusi. Program (IEP) merupakan karakteristik paling
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Konsep pendidikan inklusi yang berprinsip adanya persamaan mensyaratkan adanya penyesuaian model pembelajaran yang tanggap terhadap perbedaan individu. Maka PPI atau IEP menjadi hal yang perlu mendapat penekanan lebih. Stephens (1982) menyatakan bahwa “IEP merupakan pengelolaan yang melayani kebutuhan unik peserta didik dan merupakan layanan yang disediakan dalam rangka pencapaian tujuan yang diinginkan serta bagaimana efektivitas program tersebut akan ditentukan” (hlm. 27). Manajemen sarana dan prasarana mengorganisasikan,
mengarahkan,
sekolah bertugas merencanakan,
mengkordinasikan,
mengawasi,
mengevaluasi kebutuhan dan penggunaan sarana dan prasarana
dan
agar dapat
memberikan sumbangan secara optimal pada kegiatan belajar mengajar khususnya bagi anak berkebutuhan khusus. Adapun sarana dan prasarana yang wajib dipenuhi oleh suatu sekolah inklusi antara lain : 1.
Kepala Sekolah Kepala sekolah bertugas sebagai manajer, administrator, edukator, dan supervisor.
2.
Wakil Kepala Sekolah Tugas Wakil Kepala sekolah adalah membantu tugas kepala sekolah, dan dalam hal tertentu mewakili kepala sekolah baik di dalam maupun ke luar, bila kepala sekolah berhalangan.
3. Tata Usaha Ruang lingkup tugas Tata Usaha adalah membantu kepala sekolah dalam menangani pengaturan: administrasi kepesertadidikan administrasi kurikulum administrasi ketenagaan administrasi sarana-prasarana administrasi keuangan administrasi hubungan dengan masyarakat administrasi kegiatan pembelajaran commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Guru Pembimbing Khusus (GPK) Guru Pembimbing Khusus adalah guru yang berkualifikasi
sarjana (S1)
pendidikan
dan
sebagai
luar biasa (ortopedagog) yang
pendamping,
dan
bekerja
memiliki tugas
fungsi
sama dengan guru kelas atau guru
bidang studi dalam memberikan assesment, menyusun
program pengajaran
individual. Disamping itu, GPK bertugas memberikan layanan
pendidikan
bagi anak berkebutuhan khusus pada sekolah inklusif. 5. Guru Kelas Guru kelas adalah guru yang sekolah dasar
atau
mengikuti kelas pada satuan pendidikan
yang sederajat,
yang
bertugas melaksanakan
pembelajaran seluruh mata pelajaran pada satuan pendidikan tersebut, kecuali pendidikan agama dan olahraga. 6. Guru Mata Pelajaran Guru mata pelajaran adalah guru yang bertanggung jawab melaksanakan pembelajaran untuk mata pelajaran tertentu pada satuan pendidikan sekolah dasar dan yang sederajat. 7. Tenaga Ahli Tenaga ahli pada sekolah inklusif adalah tenaga professional pada disiplin ilmu tertentu yang
relevan dengan kebutuhan pembelajaran pada sekolah
inklusif. Tenaga ahli tersebut
antara
lain pedagog, psikolog, psikiater,
dokter spesial, serta rohaniwan.
Pihak sekolah hendaknya menyesuaikan sekolah mereka dengan kebutuhan dari anak berkebutuhan khusus yang berada di sekolah seperti tulisan braile pada pegangan pintu bagi siswa tunanetra untuk mengetahui ruang apa yang hendak dimasukinya tersebut, untuk siswa tunarungu dapat berupa running text yang dipampang di sekolah untuk memudahkan siswa tunarungu untuk mengetahui informasi yang ada. Bagi siswa tunagrahita dapat diwujudkan dengan menghindari adanya sudut lancip pada sudut banguna agar tidak membahayahkan siswa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam pendidikan inklusi terdapat komponen manajemen layanan khusus. Manajemen layanan khusus ini mencakup manajemen kesiswaan, kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pendanaan dan lingkungan. Kepala sekolah dapat menunjuk stafnya, terutama yang memiliki dasar pendidikan PLB, untuk melaksanakan manajemen layanan khusus ini.
d. Model Pendidikan Inklusi Pendidikan inklusi atau juga sering disebut pendidikan inklusif merupakan perkembangan baru dari pendidikan terpadu. Pada sekolah inklusi setiap anak sesuai dengan kebutuhan khususnya, semua diusahakan dapat dilayani secara optimal dengan melakukan berbagai modifikasi dan atau penyesuaian, mulai dari kurikulum, sarana-prasarana, tenaga pendidik dan kependidikan, sistem pembelajaran sampai pada sistem penilaiannya. Pendidikan inklusi mensyaratkan pihak sekolah yang harus menyesuaikan dengan tuntutan kebutuhan individu peserta didik, bukan peserta didik yang menyesuaikan dengan sistem persekolahan. Menurut Lindgren (1967) Pandangan mengenai pendidikan yang harus menyesuaikan dengan kondisi peserta didik ini sangat terkait dengan adanya perbedaan yang terdapat dalam diri peserta didik. Pandangan lama yang menyatakan bahwa peserta didiklah yang harus menyesuaikan dengan pendidikan dan proses pembelajaran di kelas lambat laun harus berubah (hlm. 503-504). Menurut Reid (2005) istilah inklusif berimplikasi pada adanya kebutuhan yang harus dipenuhi bagi semua anak dalam sekolah. Hal ini menyebabkan adanya penyesuaian –penyesuaian yang harus dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Penyesuaian pendidikan (adaptive education) dilaksanakan dengan menyediakan pengalaman-pengalaman belajar guna membantu masing-masing peserta didik dalam meraih tujuan-tujuan pendidikan yang dikehendakinya (hlm. 85). Sedangkan menurut
Morisson (2009) Penyesuaian pendidikan dapat
berlangsung tatkala lingkungan pembelajaran sekolah dimodifikasi untuk merespon perbedaan-perbedaan peserta didik secara efektif dan mengembangkan kemampuan peserta didik agar dapat bertahan dalam lingkungan tersebut (hlm. commit to user 462).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dengan melihat adanya penyesuaian terhadap kebutuhan peserta didik yang berbeda-beda, maka dalam setting pendidikan inklusif model pendidikan yang dilaksanakan memiliki model yang berbeda dengan model pendidikan yang lazim dilaksanakan di sekolah-sekolah reguler. Pendidikan inklusi pada dasarnya memiliki dua model. Pertama yaitu model inklusi penuh (full inclusion). Model ini menyertakan peserta didik berkebutuhan khusus untuk menerima pembelajaran individual dalam kelas reguler. Kedua yaitu model inklusif parsial (partial inclusion). Model parsial ini mengikutsertakan
peserta
didik
berkebutuhan
khusus
dalam
sebagian
pembelajaran yang berlangsung di kelas reguler dan sebagian lagi dalam kelaskelas pull out dengan bantuan guru pendamping khusus. Model lain misalnya dikemukakan oleh Brent dan Maria (2004) model pendidikan inklusif yang mereka sebut inklusif terbalik (reverse inclusive). Dalam model ini, peserta didik normal dimasukkan ke dalam kelas yang berisi peserta didik berkebutuhan khusus. Model ini berkebalikan dengan model yang pada umumnya memasukkan peserta didik berkebutuhan khusus ke dalam kelas yang berisi peserta didik normal (hlm. 46-48). Dengan pengandaian demikian seolah sekolah untuk anak berkebutuhan khusus secara kuantitas lebih banyak dari sekolah untuk peserta didik normal, atau bisa juga tidak. Model pendidikan inklusif seperti apapun tampaknya tidak menjadi persoalan berarti sepanjang mengacu kepada konsep dasar pendidikan inklusif. Berdasarkan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif, Model pendidikan inklusif yang diselenggarakan pemerintah Indonesia yaitu model pendidikan inklusif moderat. Pendidikan inklusif moderat yang dimaksud yaitu: 1. Pendidikan inklusif yang memadukan antara terpadu dan inklusi penuh 2. Model moderat ini dikenal dengan model mainstreaming (hlm. 6-9). Menurut Schulz (1991), model pendidikan mainstreaming merupakan model yang memadukan antara pendidikan untuk anak berkebutuhan khusus (Sekolah Luar Biasa) dengan pendidikan reguler. Peserta didik berkebutuhan khusus digabungkan ke dalam kelas reguler hanya untuk beberapa waktu saja commit to user (hlm. 20-21). Filosofinya tetap pendidikan inklusif, tetapi dalam praktiknya anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
berkebutuhan khusus disediakan berbagai alternatif layanan sesuai dengan kemampuan dan kebutuhannya. Dalam pelayanannya menurut Agustyawati dan Solicha (2009) Anak berkebutuhan khusus dapat berpindah dari satu bentuk layanan ke bentuk layanan yang lain, seperti: 1) Bentuk kelas reguler penuh Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) sepanjang hari di kelas reguler dengan menggunakan kurikulum yang sama. 2) Bentuk kelas reguler dengan cluster Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus. 3) Bentuk kelas reguler dengan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler namun dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar dengan guru pembimbing khusus. 4) Bentuk kelas reguler dengan cluster dan pull out Anak berkelainan belajar bersama anak lain (normal) di kelas reguler dalam kelompok khusus, dan dalam waktu-waktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang sumber untuk belajar bersama dengan guru pembimbing khusus. 5) Bentuk kelas khusus dengan berbagai pengintegrasian Anak berkelainan belajar di kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidang-bidang tertentu dapat belajar bersama anak lain (normal) di kelas regular 6) Bentuk kelas khusus penuh di sekolah regular Anak berkelainan belajar di dalam kelas khusus pada sekolah regular (hlm. 100). Dengan demikian, pendidikan inklusif seperti pada model di atas tidak mengharuskan semua anak berkelainan berada di kelas reguler setiap saat dengan semua mata pelajarannya (inklusi penuh). Hal ini dikarenakan sebagian anak berkelainan dapat berada di kelas khusus atau ruang terapi dengan gradasi kelainannya yang cukup berat. Bahkan bagi anak berkelainan yang gradasi kelainannya berat, mungkin akan lebih banyak waktunya berada di kelas khusus pada sekolah reguler (inklusi lokasi). Kemudian, bagi yang gradasi kelainannya sangat berat, dan tidak memungkinkan di sekolah reguler (sekolah biasa), dapat disalurkan ke sekolah luar biasa (SLB) atau tempat khusus (rumah sakit). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran merupakan alur penalaran yang didasarkan oleh tema dan masalah dalam penelitian. Kerangka pemikiran dari penelitian ini adalah: Faktor Pendukung Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Aksesibilitas Bagi ABK
Faktor Penghambat Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi
Sekolah Dasar Inklusi
Indikator Output: 1. Kemudahan 2. Kegunaan 3. Keselamatan 4. kemandirian
Bagan 2.1 Kerangka berpikir
C. Hipotesis Berdasarkan permasalahan dan kerangka pemikiran di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari permasalahan itu. Hipotesis yang dapat penulis kemukakan yaitu: terdapat banyak faktor – faktor penghambat dan pendukung yang mempengaruhi penyelenggaraan pendidikan inklusi khususnya dalam aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Dalam penelitian ini penulis memilih tempat penelitian di sekolah dasar inklusi yang berada di di Kabupaten Sragen. 2. Waktu Penelitian Seperti diuraikan di atas, penelitian ini merupakan bagian awal dari serangkaian penelitian dan pengembangan. Secara keseluruhan, jadwal kegiatan seperti pada tabel berikut: No
Kegiatan
Bulan / Minggu Maret 1 2
1.
Pengajuan judul
2.
Pengajuan
3
April
Mei
Juni
4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
x
x x
x
Proposal 3.
Pengajuan
x x
Ijin Penelitian 4.
Pengumpulan Data : a. Pengambilan
x x x
Data b. Pengolahan
x x
Data c. Analisis Data 5.
x x
Penyusunan
x x x
Laporan commit to user Tabel. 3.1 Jadwal Penelitian 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Pendekatan dan Jenis Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan oleh peneliti dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Menurut Bogy dan Tylor yang dikutip Moleong (2005) yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.(hlm. 4). Tujuan dari pendekatan kualitatif deskriptif adalah menggambarkan atau mendeskripsikan keadaan atau fenomena. Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang sesuai dengan keadaan di lapangan tanpa adanya manipulasi data atau menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan. Dalam penelitian ini diharapkan dapat menjelaskan gambaran deskriptif tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di kabupaten sragen tahun 2012.
C. Data dan Sumber Data Jenis data menunjuk data apa saja yang menjadi fokus penelitian. Data atau informasi yang penting akan digali dari beragam sumber data. “Sumber data merupakan benda, hal, atau tempat peneliti mengamati, membaca, atau bertanya tentang data” (Arikunto, 2007: 88). Sumber – sumber data dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Informan Informan yaitu orang yang benar-benar mengetahui secara mendalam tentang obyek penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi informan adalah guru, murid serta pihak – pihak yang berada didalam lingkup sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. 2. Tempat dan peristiwa Tempat dan peristiwa menjadi sumber data karena dalam pengamatan yang dilakukan harus sesuai dengan konteksnya dan setiap situasi melibatkan tempat, peristiwa, dan perilaku. Tempat dalam penelitian ini ialah seluruh commit user sekolah dasar inklusi yang berada di to Kabupaten Sragen. Sedangkan peristiwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang digunakan dalam penelitian ini yaitu aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam sekolah dasar inklusi. 3. Arsip atau dokumen Arsip atau dokumen dalam penelitian ini dapat berupa data dan profil sekolah dasar inklusi yang ada di kabupaten Sragen serta sejarah berlangsungnya program inklusi yang dijalankan disekolah.
D. Teknik Pengambilan Sampel Sugiyono (2010) menyatakan bahwa “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut” (hlm. 118). Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sampel adalah bagian dari populasi. Sampel dalam penelitian ini ialah guru dan siswa yang berda di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling atau sampe pertimbangan. Menurut Sugiyono (2009), Teknik purposive sampling ialah Teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu (hlm. 300). Teknik pengambilan sampel adalah purposive, dengan pertimbangan murid dan guru yang berada di sekolah dasar inklusi. Terdapat 5 sekolah dasar inklusi di kabupaten Sragen, setiap sekolah diambil 3 siswa dan 4 guru sebagai sampel. E. Teknik Pengumpulan Data Tekhnik pengumpulan data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini antara lain sebagai berikut : 1. Kuesioner/Angket Menurut Azwar (2011) Kuesioner (questionnaire) merupakan suatu bentuk instrument pengumpulan data yang sangat fleksibel dan relatif mudah digunakan” (hlm. 101). Data yang diperoleh lewat kuesioner adalah berupa data – data faktual. Menurut Sugiyono (2010) “Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis kepada responden commit to user (hlm. 199).
untuk dijawabnya”
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penelitian ini menggunakan angket/kuesioner yang berupa pernyataan untuk mengukur sejauh mana aksesibilitas yang dimiliki sekolah dasar inklusi di Kabupaten sragen dengan sebelumnya dilakukan uji validitas pada angket yang digunakan. Angket/kuisoner yang digunakan dibedakan menjadi 2 jenis. Yang pertama, angket untuk diisi guru memiliki 25 item pertanyaan yang didalamnya terdapat aspek – aspek yang berkaitan dengan sekolah inklusi antara lain : aksesibilitas, sarana dan prasarana, model layanan pendidikan inklusi,
model
pembelajaran
yang
digunakan
sekolah,
manajemen
sumberdaya manusia sekolah, dan sikap anggota sekolah. 2. Wawancara / Interview Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. (Moleong, 2004). Untuk memperoleh gambaran secara menyeluruh tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhana khusus yang bersekolah di sekolah dasar inklusi di kabupaten Sragen, peneliti melakukan wawancara secara mendalam (indepth interview), melalui komunikasi lisan secara langsung atau bercakap-cakap, bertatap muka dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan tertentu kepada “key informan” yang dianggap paling mengetahui praktek pelaksanaan program tersebut (hlm. 186). Dalam kegiatan ini peneliti akan melakukan wawancara dengan guru dan murid secara terpisah untuk memperjelas data yang telah diperoleh dari pengambilan angket. Poin – poin yang disinggung dalam wawancara sama dengan yang terdapat dalam kuisoner yaitu : aksesibilitas, sarana dan prasarana, model layanan pendidikan inklusi, model pembelajaran yang digunakan sekolah, manajemen sumberdaya manusia sekolah, dan sikap anggota sekolah. 3. Telaah Dokumen Peneliti juga menggunakan telaah dokumen untuk memperoleh datadata yang berkaitan dengan obyek penelitian, dengan cara mencari dokumendokumen, buku-buku dan arsip-arsip yang tersedia dan berkaitan dengan sekolah inklusi. Menurut Suwarsih (2007) Analisis dokumen yaitu ”tentang persoalan, sekolah, atau bagian sekolah, kantor atau bagian kantor, dapat commit to userdokumen : surat, memo untuk staf, dikontruksi dengan menggunakan berbagai
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
edaran, untuk orang tua atau karyawan, memo guru dan sebagainya” (hlm. 82). Dalam penelitian ini peneliti menelaah arsip – arsip yang dimiliki sekolah seperti profil sekolah, data siswa, dan data guru, serta arsip yang berkaitan dengan program inklusi. 4. Observasi Langsung Menurut Suwandi (2008), observasi adalah upaya merekam segala peristiwa dan kegiatan yang terjadi selama tindakan perbaikan berlangsung dengan atau tanpa alat bantu (hlm. 46). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Sutopo (2002), yang menyatakan bahwa metode ini digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa, tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar (hlm. 64). Peneliti mengamati keadaan sekolah untuk mengetahui bagaimana keadaan sekolah, interaksi siswa ABK di lingkungan sekolah serta masalah – masalah yang terjadi di dalam kegiatan pembelajaran maupun diluar pembelajaran yang berkaitan dengan pelaksanaan program inklusi.
F. Uji Validitas Menurut Arikunto (2002), sabuah tes dikatakan baik sebagai alat pengukur harus memenuhi persyaratan tes, yaitu memiliki :Validitas, artinya dapat diukur apa yang hendak diukur a. Reliabilitas, artinya tes yang mempunyai ketetapan, maksudnya taraf sejauh mana tes itu sama dengan dirinya sendiri, artinya bahwa hasil pengukuran dengan tes itu adalah relatif sama. b. Obyektivitas, artinya tes yang mampu menyingkirkan faktor subjektif pada individu-individu yang bersangkutan dengan tes tersebut. c. Praktisibilitas,
artinya
tes
itu
pengadministrasiannya. Tes yang praktis itu adalah tes yang : 1) Mudah dilaksanakan 2) Mudah pemeriksaannya commit to user
bersifat
praktis,
mudah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk yang jelas sehingga dapat diberikan oleh orang lain d. Ekonomis, artinya bahwa pelaksanaan tersebut tidak membutuhkan biaya yang mahal, tenaga yang banyak, dan waktu yang lama (hlm. 57) Berdasarkan pendapat tersebut tes dapat dikatakan baik jika memenuhi kriteria-kriteria
diatas
oleh
sebab
itu
dalam
penyusunan
tes
perlu
mempertimbangkan validitas, reabilitas, objektivitas, praktisibilitas dan ekonomis. 1) Validitas Tes Menurut Arikunto (2002: 145), ”sebuah instrumen dapat dikatakan valid apabila mampu mengukur apa yang diinginkan serta dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat”. Menurut Azwar (2004 : 5-6) ” tes dikatakan mempunyai validitas yang tinggi apabila alat tersebut dapat menjalankan fungsi ukurnya atau memberikan hasil ukur yang sesuai dengan maksud dilakukannya”. Sesuai dengan cara pengujiannya validitas ada dua macam yaitu : a) Validitas Eksternal Validitas yang berasal dari luar tes yang kita selidiki. b) Validitas internal Validitas yang berasal dari dalam tes yang kita selidiki validitasnya, yang berupa total skor daripada tes tersebut. Berdasarkan
pendapat,
dapat
disimpulkan
bahwa
validitas
menunjukkan sejauh mana instrument alat pengukur mampu mengukur apa yang diukur. Metode analisis data yang digunakan untuk menguji validitas tiap butir instrument menggunakan korelasi
product moment pearson. Uji
validitas digunakan dengan mengkorelasikan skor masing – masing butir dengan skor total, menggunakan rumus product moment pearson sebagai berikut : commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
rxy =
digilib.uns.ac.id
∑
∑
∑
(∑ ) ( ∑
√( ∑
(∑ ) ))
(Suharsimi Arikunto, 1998 : 164)
dimana : rxy
= Koefisien
korelasi antara X dan Y
X
= Nilai masing-masing item
Y
= Nilai total
∑XY = Jumlah perkalian antara X dan Y ∑X2
= Jumlah kuadrat X
2
∑Y
= Jumlah kuadrat Y
N
= Jumlah subyek Dari hasil perhitungan rhitung dikonsultasikan dengan rtabel pada taraf
signifikansi 5%. Jika rhitung >rtabel, maka butir tersebut valid. Selanjutnya item yang dipakai adalah item-item yang valid. Item yang tidak valid dibuang atau tidak dipakai. 2) Reliabilitas Tes Menurut Arikunto ( 2002 ), “ Reliabilitas adalah suatu instrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik” (hlm.154). Sedangkan Azwar (2004) berpendapat bahwa “ konsep reliabilitas adalah sejauh mana hasil suatu pengukuran dapat dipercaya. Beberapa pendekatan dalam menguji reliabilitas suatu tes yaitu : a) Pendekatan Reliabilitas Bentuk Paralel Reliabilitas bentuk paralel ini dilakukan dengan menyusun dua tes berdasarkan kisi-kisi dan spesifikasi yang sama. Penyusunan dua bentuk paralel tidaklah mudah dan bila dapat dilakukan bentuk paralel ini merupakan bentuk setimabi yang sangat mendekati konsep reliabilitas. b) Pendekatan ulang Pendekatan reliabilitas dengan teknik ulang ini disebut juga dengan teknik tes retest reliability. Pendekatan dilakukan dengan cara memberikan commitdisini to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tes yang akan dicari reliabilitasnya kepada sekelompok subyek, kemudian untuk selang beberapa waktu kita berikan kembali lagi tes itu kepada subyek yang sama. Hasil dari pelaksanaan dua kali pengukuran tersebut kemudian dilakukan penghitungan korelasinya. c) Pendekatan belah dua Pendekatan reliabilitas dengan teknik belah dua ini sering disebut dengan teknik gasal-genap, karena pembelahan item tes dilakukan dengan membagi tes bernomor gasal sebagai tes kedua (hlm. 4). Dalam pengujian reliabilitas untuk kuisoner dalam penelitian ini, peneliti menggunakan tekhnik belah dua. Menurut Arikunto (1998), pengujian reliabilitas instrumen dengan panjang sama digunakan rumus belah dua dari Spearman Brown. Skor dijumlahkan menjadi dua belahan, yaitu belah ganjil dan belah genap kemudian dihitung dengan menggunakan rumus product moment sebagai berikut: ∑
∑
∑
(∑ ) +*
√*
(∑ ) +
(hlm. 173) Dimana : : Korelasi antara Y1
: Belahan Ganjil
N
: Jumlah Sampel
∑
: Jumlah
Hasil perhitungan korelasi kemudian dimasukkan kedalam formula reliabilitas dari Spearman Brown sebagai berikut : r1 = dimana
:
r
: koefisien reliabilitas : koefisien korelasi antara Y1 dan Y2 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam mengartikan kategori koefisien reliabilitas tes tersebut menggunakan pedoman table koefisien reliabilitas dari Strand, B.N dan Wuilson R. (1993), yaitu : Kategori
Reliabilitas
Excellent
0,95 – 0,99
Very good
0,90 – 0,94
Acceptable
0,80 – 0,89
Poor
0,70 – 0, 79
Questionable
0,60 – 0,69
Tabel 3.2 Koefisien reliabilitas dari Strand, B.N dan Wuilson R (hlm. 11)
G. Teknik Analisis Data Tekhnik
analisa
yang
digunakan
peneliti
dalam
penelitian
ini
menggunakan tekhnik analisa gabungan antara kualitatif dan kuantitatif dengan pola deskriptif. Pada awalnya data yang didapat melalui kuisoner diolah secara kuantitatif untuk memperoleh hasil yang berupa angka – angka, yang kemudian data kuantitatif yang diperoleh tersebut diperkuat dengan data – data kualitatif yang diperoleh dari hasil observasi dan wawancara dengan pola deskriptif. Penelitian ini berbentuk penelitian deskriptif. Menurut Faisal (2001) penelitian deskriptif dimaksudkan untuk eksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti (hlm. 20). Penelitian ini berusaha memberikan gambaran tentang sejauh mana bentuk layanan dan sarana prasarana yang dimiliki sekolah dasar inklusi di kabupaten Sragen hingga faktor – faktor yang dapat menghambat dan mendukung pelaksanaan pendidikan inklusi di kabupaten Sragen. Data dalam penelitian ini nantinya sebagian besar data berupa kata-kata (kualitatif), namun begitu disertakan pula data berupa angka (kuantitatif). Data – data yang telah terkumpul selain dipaparkan juga dianalisa sesuai dengan apa yang ditemui di lapangan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang bertujuan untuk mengetahui commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bagaimana aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus yang bersekolah di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012.
H. Rancangan penelitian Adanya rancangan penelitian akan memudahkan kejelasan langkah-langkah peneliti dari awal sampai akhir. Penelitian ini dirancang dalam dua tahapan yaitu : a. Tahap pra lapangan Tahap ini adalah tahap awal dari kegiatan penelitian, kegiatannya dimulai dengan penentuan lokasi penelitian, peninjauan lokasi penelitian. Adapun penelitian ini dilaksanakan diSekolah Dasar inklusi yang berada di di Kabupaten Sragen tahun 2012. b. Tahap pelaksanaan lapangan Tahap ini dilakukan dengan pengumpulan data di lokasi penelitian serta menentukan hari pelaksanaan penelitian. Tahap ini meliputi : a. Persiapan Menyusun dan mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan peneliti agar penelitian
dapat berjalan dengan lancar, seperti
menyusun angket dan pedoman wawancara yang akan digunakan untuk mencari data di tempat penelitian. b. Pelaksanaan Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah : 1) Observasi Langsung Peneliti melakukan observasi untuk melihat secara langsung keadaan sekolah serta masalah – masalah yang ada yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan inklusi disekolah. 2) Pengisian Angket/ kuisoner Pengisian dilakukan oleh guru dan siswa yang bernaung di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. Setiap sekolah mewakilkan 4 guru dan 3 siswa sebagai responden. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3) Wawancara Peneliti melakukan wawancara dengan guru, siswa normal serta siswa ABK yang berada di Sekolah Dasar Inklusi di Kabupaten Sragen guna mempertajam informasi yang di dapatkan dari kuisoner. 4) Telaah Dokumen Peneliti melakukan telaah dokumen guna mengetahui sejarah dan profil sekolah yang dijadikan lokasi penelitian.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV HASIL PENELITIAN A. Deskripsi Data Penelitian dilaksanakan di Sragen pada bulan Mei hingga Juni 2012, dengan mengangangkat judul “Aksesibilitas Bagi Anak Berkebutuhan Khusus Dalam Lingkup Pendidikan Inklusi di Kabupaten Sragen Tahun 2012 ”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana aksesibilitas yang diberikan oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen untuk anak berkebutuhan khusus, serta mengetahui faktor – faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen pada tahun 2012 1. Deskripsi Lokasi Penelitian Kabupaten Sragen, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah. Ibukotanya terletak di Sragen, sekitar 30 km sebelah timur Kota Surakarta. Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Grobogan di utara, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di timur, Kabupaten Karanganyar di selatan, serta Kabupaten Boyolali di barat. Kabupaten ini dikenal dengan sebutan "Bumi Sukowati”, nama yang digunakan sejak masa kekuasaan Kerajaan (Kasunanan) Surakarta. Nama Sragen dipakai karena pusat pemerintahan berada di Sragen. Kabupaten Sragen terletak secara geografis antara 110.45‟ dan 111.10‟ BT serta 7.15‟ dan 7.30‟LS. Sragen berada di lembah daerah aliran Sungai Bengawan Solo yang mengalir ke arah timur. Sebelah utara berupa perbukitan, bagian dari sistem Pegunungan Kendeng. Sedangkan di selatan berupa pegunungan, lereng dari Gunung Lawu. Dalam hal pendidikan inklusi, Kabupaten Sragen terhitung baru dalam menerapkan program inklusi, dibandingkan dengan Kabupaten – Kabupaten lainnya. Hal ini dapat dilihat dari masih sedikitnya jumlah sekolah dasar inklusi yang tersebar di Kabupaten Sragen. Menurut data dari dinas pendidikan Kabupaten Sragen, hingga tahun 2012 ini terdapat 5 sekolah dasar inklusi, dan tiap – tiap sekolah dasar inklusi tersebut tersebar di berbagai kecamatan. Hal ini ditengarai untuk menyikapi terbatasnya jumlah commit to user SLB yang ada di Kabupaten Sragen yang hanya berjumlah 2 sekolah yaitu
40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang berada di Kecamatan Gemolong dan Kecamatan Sragen kota. Dengan adanya sekolah dasar inklusi yang tersebar di sebagian wilayah Kecamatan – kecamatan di Kabupaten Sragen, diharapkan pelayanan bagi anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu menjangkau keberadaan sekolah luar biasa (SLB) yang ada di Kabupaten Sragen dapat lebih terlayani dengan baik. Sekolah dasar inklusi yang berada di lingkup Kabupaten Sragen antara lain : No 1 2 3 4 5
Nama Sekolah SD N Sragen 2 SD N Doyong 2 SD N Pengkol 2 SD N Kedawung 4 SD N Karungan 1
Alamat Kecamatan Sragen Kecamatan Miri Kecamatan Tanon Kecamatan Mondokan Kecamatan Plupuh
Tabel 4.1 Daftar SD inklusi di Kabupaten Sragen.
Keberadaan sekolah yang penyebaranya terdapat dalam berbagai kecamatan inilah yang menunjukkan bahwa pihak pemerintah Kabupaten Sragen memiliki tujuan untuk memberikan suatu layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tersebar di berbagai pelosok desa. Dengan adanya sekolah – sekolah inklusi yang tersebar di berbagai Kecamatan, diharapkan pemenuhan kebetuhan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tidak mampu menjangkau keberadaan SLB dapat lebih terlayani dengan lebih baik. 2. Deskripsi Umum Responden Penelitian Responden dalam penelitian ini terdiri dari 50 orang yang masingmasing adalah 25 guru yang berada di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen, serta siswa yang termasuk anak berkebutuhan khusus (ABK) yang bersekolah di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen pada tahun 2012. Instrumen yang digunakan dalam penelitian menggunakan kuisoner yang telah di ujicobakan terlebih dahulu di SD N Jembungan 1 Banyudono Boyolali yang juga termasuk salah satu sekolah dasar inklusi di Kabupaten Boyolali. Dari 40 butir soal yang di uji cobakan dan dilalukan uji validitas dengan menggunakan rumuscommit producttomoment user pearson, terdapat 6 item soal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang tidak valid. Sedangkan dari 30 item soal yang ditujukan untuk responden siswa ABK terdapat 9 item soal yang tidak valid. Oleh karena itu, peneliti mengurangi jumlah item soal menjadi 30 item soal untuk responden Guru dan 20 item soal untuk responden siswa ABK. a) Responden Guru Sekolah Dasar Inklusi Data menunjukkan terdapat 5 Sekolah Dasar (SD) lnklusi yang berada di lingkup Kabupaten Sragen. Setiap sekolah mewakilkan 5 guru untuk menjadi responden dalam penelitian ini dengan cara mengisi angket yang telah disediakan oleh peneliti serta menjawab pertanyaan dalam kegiatan wawancara dengan peneliti. Responden yang diambil diutamakan
dari guru yang pernah mendapatkan
pelatihan tentang Inklusi atau yang di kelasnya terdapat siswa ABK. Adapun rincian nama sekolah yang diberi angket dan jumlah angket yang diberikan tiap sekolah tersebut, sebagai berikut: No
Nama sekolah
Jumlah Responden guru
1 2 3 4 5
SD N Sragen 2 SD N Doyong 2 SD N Pengkol 2 SD N Kedawung 4 SD N Karungan 1 Jumlah Tabel 4.2 Daftar persebaran responden guru.
Pemerataan
dalam
penyebaran
4 4 4 4 4 20
angket
bertujuan
untuk
mengetahui sejauh mana aksesibilitas yang ditujukan bagi para ABK serta mengetahui faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan pendidikan inklusi di masing – masing sekolah. Karena di tiap – tiap sekolah tidak selalu memiliki masalah yang sama, sehingga dengan adanya pemerataan jumlah responden di tiap – tiap sekolah dapat memberikan suatu gambaran yang lebih jelas tentang keadaan sekolah. Alasan dipilihnya responden guru yang telah mendapatkan penataran tentang pendidikan inklusi atau guru yang dikelasnya commit to user terdapat siswa ABK karena guru yang telah mendapatkan penataran
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
atau yang memiliki siswa ABK didalam kelasnya akan lebih paham tentang permasalahan – permasalahan seputar pendidikan inklusi serta kebutuhan apa saja yang diperlukan suatu sekolah untuk dapat menyediakan suatu layanan pendidikan yang baik bagi ABK. Berikut adalah daftar responden guru yang berpartisipasi dalam pengisian angket serta wawancara :
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
NAMA Instansi M SD N Sragen 2 S.A SD N Sragen 2 D.H SD N Sragen 2 S SD N Sragen 2 S SD N Doyong 2 S.K SD N Doyong 2 T SD N Doyong 2 S.A SD N Doyong 2 J SD N Pengkol 2 S.E.S SD N Pengkol 2 P SD N Pengkol 2 S.M SD N Pengkol 2 S SD N Kedawung 4 S SD N Kedawung 4 R.A.K SD N Kedawung 4 D.H SD N Kedawung 4 A.N.H SD N Karungan 1 B.R SD N Karungan 1 S SD N Karungan 1 S SD N Karungan 1 Tabel 4.3 Daftar nama responden guru
Jabatan Guru kelas Guru kelas Guru kelas Guru kelas Kepala Sekolah Guru kelas Guru kelas Guru kelas Kepala Sekolah Guru kelas Guru kelas Guru kelas Kepala Sekolah Guru kelas Guru kelas Guru kelas Guru kelas Guru kelas Guru kelas Guru kelas
Penyebaran angket untuk responden praktisi pendidikan dimulai dari SD N 2 sragen, Kemudian secara berurutan dilaksanakan di SD N Karungan 1, SD N Pengkol 2, SD N Kedawung 4, dan yang terakhir SD N Doyong 2. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Mei dan selesai bulan Juni tahun 2012. b) Responden Siswa ABK Selain melalui responden guru, guna melihat tingkat aksesibilitas dan faktor – faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan commit to user pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
peneliti menggunakan responden siswa untuk melihat permasalan serta gambaran sekolah melalui sudut pandang lain. Alas an dipilihnya responden siswa ABK adalah karena siswa ABK adalah sasaran langsung dari program pendidikan inklusi serta komponen – komponen yang terdapat didalamnya, sehingga secara otomatis siswa ABK akan memberikan informasi tentang apa saja yang mereka alami dan mereka dapatkan disekolah. Karena jumlah siswa ABK belum terlalu banyak, maka setiap sekolah mewaakilkan 3 responden siswa ABK untuk mengisi kuisoner. Adapun rincian responden ABK sebagai berikut : No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Nama D R D D U A.E H A W S N I.S L R R
Instansi SD N Sragen 2 SD N Sragen 2 SD N Sragen 2 SD N Doyong 2 SD N Doyong 2 SD N Doyong 2 SD N Pengkol 2 SD N Pengkol 2 SD N Pengkol 2 SD N Kedawung 4 SD N Kedawung 4 SD N Kedawung 4 SD N Karungan 1 SD N Karungan 1 SD N Karungan 1
Tabel 4.4 Daftar responden siswa ABK Dengan disebarkan pula angket untuk responden siswa ABK, diharapkan dapat memberikan suatu gambaran atau penjabaran dari sudut pandang siswa ABK yang dimana dalam pendidikan inklusi sebagai pihak yang menerima layanan pendidikan dalam sekolah, sehingga dapat diketahui sejauh mana aksesibilitas yang diberikan oleh suatu sekolah inklusi kepada mereka, dan juga faktor – faktor yang mendukung dan menghambat pelaksanaan pendidikan inklusi di commit to user sekolah mereka.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Data Hasil Penelitian Berdasarkan kegiatan penelitian tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar Inklusi di Kabupaten Sragen yang dilaksanakan pada rentang bulan Mei hingga Juni 2012 telah menghasilkan suatu data hasil penelitian. Data hasil penelitian didapatkan dari pemberian skor dari rentang 1 sampai 5 pada skala yang berjumlah 30 item pernyataan untuk responden guru dan 20 soal pada responden siswa ABK. Adapun rincian rentangan skor skala penilaian adalah sebagai berikut: No 1 2 3 4 5
Skor 5 4 3 2 1
Kategori Sangat Baik Baik Sedang Kurang Sangat Kurang
Tabel 4.5 Skor skala penilaian
a. Data Hasil Penelitian Responden Guru Data yang diperoleh dari responden guru meliputi perolehan rata – rata skor dari 6 komponen yang digunakan untuk mengukur tingkat aksesibilitas sebuah sekolah inklusi. Berikut perolehan skor tiap – tiap komponennya. 1. Komponen Aksesibilitas Perolehan skor tiap – tiap point dalam komponen aksesibilitas sebagai berikut: Aliran dana pemerintah 4,05 (Baik), layanan pendidikan bagi ABK 2,5 (Kurang), penyediaan GPK oleh sekolah 2,95 (Kurang), tata ruang sekolah 3,75 (Sedang), keberadaan guru lulusan PLB di sekolah 2,65 (Kurang). Berdasarkan skor dari point – point tersebut diperoleh rata – rata yang menjadi skor bagi komponen aksesibilitas. Dan rata – rata yang diperoleh adalah 3,18 (Sedang). 2. Komponen Sarana dan Prasarana Perolehan skor yang didapat sebagai berikut : program satu GPK untuk satu ABK 2,15 (Kurang), fasilitas alat bantu mobilitas commit to user 3,4 (Sedang), bantuan alat bantu ajar dari pemerintah 3,85 (Sedang),
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemenuhuan fasilitas bagi siswa ABK 3,6 (Sedang), pengaruh fasilitas bagi siswa ABK 4,2 (Baik). Rata – rata skor yang diperoleh komponen sarana dan prasarana adalah 3,44 yang termasuk kategori sedang. 3. Komponen Model Layanan Pendidikan Perolehan skor dalam komponen ini sebagai berikut : pemberian jam tambahan untuk siswa ABK 4 (Baik), pelajaran keterampilan khusus bagi ABK 2,3 (Kurang), keberadaan guru yang mengajarkan
keterampilan
khusus
di
sekolah
2
(Kurang),
pembelajaran vokasional bagi siswa ABK 2,7 (Kurang), penyamaan kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sekolah bagi siswa ABK dengan siswa normal 3,7 (Sedang). Dari hasil tersebut diperoleh rata – rata skor bagi komponen model layanan pendidikan sebesar 2,94 yang dikategorikan kurang. 4. Komponen Model Pembelajaran Perolehan skor tiap – tiap poin sebagai berikut : pemberian PPI bagi siswa ABK 3,15 (Sedang), frekuensi pemberian PPI 3,05 (Sedang), kurikulum khusus bagi ABK 2,85 (Kurang), pembedaan standar ketuntasan antara siswa ABK dengan siswa normal 3,4 (Sedang), hasil belajar siswa ABK 2,65 (Kurang). Berdasarkan hasil tersebut diperoleh hasil rata – rata 3,02 (Sedang) yang menjadi skor dari komponen model pembelajaran. 5. Komponen Manajemen Sumberdaya Manusia Perolehan skor tiap – tiap poin dalam komponen ini adalah sebagai berikut : Pengetahuan masyarakat tentang keberadaan sekolah sebagai sekolah inklusi 3,9 (Sedang), Pemberitaan informasi tentang sekolah kepada masyarakat 4 (Baik), Kerjasama sekolah dengan masyarakat dalam penjaringan ABK 3,15 (Sedang), Asal tempat tinggal siswa ABK 3,1 (Sedang), Kedekatan orang tua siswa ABK dengan sekolah 3,8 (Sedang). Berdasarkan hasil tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
diperoleh hasil rata – rata 3,59 (Sedang) yang menjadi skor dari komponen manajemen sumber daya manusia. 6. Komponen Sikap Anggota Sekolah Perolehan skor tiap – tiap poin dalam komponen ini adalah sebagai berikut : hubungan antara siswa ABK dengan guru 4,1 (Baik), hubungan antara siswa ABK dengan siswa normal 4,5 (Baik), sikap guru tentang kesadaran tanggung jawab penuh terhadap siswa ABK 4 (Baik), sikap guru tentang kelayakan layanan khusus bagi siswa ABK 3,55 (Sedang), sikap guru tentang kelayakan siswa ABK bersekolah di sekolah inklusi
3,1 (Sedang). Berdasarkan hasil
tersebut diperoleh hasil rata – rata 3,79 (Sedang) yang menjadi skor dari komponen sikap anggota sekolah. Dari hasil yang diperoleh dari komponen – komponen tersebut, diperoleh skor rata – rata tentang aksesibilitas bagi siswa ABK dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan responden guru. Dan perolehan rata – rata skor yang dari responden guru adalah 3,35 yang termasuk kategori sedang. b. Data Hasil Penelitian Responden Siswa ABK Data yang diperoleh dari responden siswa ABK meliputi perolehan rata – rata skor dari 6 komponen yang digunakan untuk mengukur tingkat aksesibilitas sebuah sekolah inklusi. Berikut perolehan skor tiap – tiap komponennya 1. Komponen Aksesibilitas Perolehan skor tiap – tiap point dalam komponen aksesibilitas sebagai berikut: layanan khusus bagi ABK 4,13 (Baik), penyediaan GPK oleh sekolah 2,8 (Kurang), tata ruang sekolah 3,3 (Sedang). Berdasarkan skor dari point – point tersebut diperoleh rata – rata yang menjadi skor bagi komponen aksesibilitas. Dan rata – rata yang diperoleh adalah 3,41 (Sedang). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Komponen Sarana dan Prasarana Perolehan skor yang didapat sebagai berikut : kelengkapan peralatan yang dimiliki sekolah 3,33(Sedang), kelengkapan fasilitas pendidikan inklusi 3,33 (Sedang), alat dan media pembelajaran bagi siswa ABK 3,53 (Sedang). Rata – rata skor yang diperoleh komponen sarana dan prasarana adalah 3,35 yang termasuk kategori sedanng. 3. Komponen Model Layanan Pendidikan Perolehan skor dalam komponen ini sebagai berikut : pemberian jam tambahan untuk siswa ABK 3,73 (Sedang), pelajaran keterampilan khusus bagi ABK 2,93 (Kurang), penyamaan kegiatan ekstrakurikuler wajib dari sekolah bagi siswa ABK dengan siswa normal 4,06 (Baik). Dari hasil tersebut diperoleh rata – rata skor bagi komponen
model
layanan
pendidikan
sebesar
3,57
yang
dikategorikan sedang. 4. Komponen Model Pembelajaran Perolehan skor tiap – tiap poin sebagai berikut :daya tangkap siswa terhadap pembelajaran dengan menggunakan kurikulum reguler 2,6 (Kurang), frekuensi pemberian PPI 3,26 (Sedang), hasil belajar siswa ABK 2,46 (Kurang). Berdasarkan hasil tersebut diperoleh hasil rata – rata 2,77 (Kurang) yang menjadi skor dari komponen model pembelajaran. 5. Komponen Manajemen Sumberdaya Manusia Perolehan skor tiap – tiap poin dalam komponen ini adalah sebagai berikut : frekuensi rapat dengan orang tua siswa ABK 3,93 (sedang), frekuensi rapat dengan orang tua siswa normal 3,93 (sedang), tentang sekolah kepada masyarakat 4 (Baik), Asal tempat tinggal siswa ABK 3,26 (Sedang), Berdasarkan hasil tersebut diperoleh hasil rata – rata 3,70 (Sedang) yang menjadi skor dari komponen manajemen sumber daya manusia. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
6. Komponen Sikap Anggota Sekolah Perolehan skor tiap – tiap poin dalam komponen ini adalah sebagai berikut : hubungan antara siswa ABK dengan sekolah 3,8 (Sedang), hubungan antara siswa ABK dengan siswa normal 3,8 (Sedang) hubungan antara siswa ABK dengan guru 3,6 (Sedang), hubungan antara siswa ABK dengan orang tua 3,46 (Sedang), kenyamanan siswa di sekolah
3,86 (Sedang). Berdasarkan hasil
tersebut diperoleh hasil rata – rata 3,6 (Sedang) yang menjadi skor dari komponen sikap anggota sekolah. Dari hasil yang diperoleh dari komponen – komponen tersebut, diperoleh skor rata – rata tentang aksesibilitas bagi siswa ABK dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan responden siswa ABK. Dan rata – rata skor yang diperoleh dari responden siswa ABK adalah 3,44 yang termasuk kategori sedang.
B. Hasil Analisis Data Dalam pembahasan hasil ini akan di deskripsikan tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan hasil yang diperoleh dari kuisoner yang telah disebarkan kepada responden guru seklah dasar inklusi serta responden siswa ABK. Hasil yang didapat berupa angka yang akan dideskripsikan beserta hasil observasi dan wawancara untuk memperkuat data kuantitatif yang didapat. Berdasarkan data yang diperoleh dari responden guru dan respondensiswa ABK, dapat dilihat bahwa skor tertinggi adalah 4,5 termasuk kategori Baik. Pernyataan yang mendapat skor tersebut adalah dalam komponen sikap anggota sekolah dalam point “ hubungan siswa ABK dengan siswa normal”. Hal ini menandakan bahwa di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen, siswa ABK tidak mengalami masalah berarti dalam kegiatan interaksi mereka dengan teman satu sekolah lainnya. Sedangkan skor terendah dari penilaian aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen ini commit to user adalah 2 yang termasuk kategori kurang. Nilai tersebut terdapat dalam komponen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
model layanan pendidikan dalam point “keberadaan guru yang mengajarkan keterampilan khusus”. Item pernyataan yang mendapat skor 2 ini menunjukkan bahwa sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tidak memberikan suatu pelatihan keterampilan khusus bagi ABK sebagai bekal keterampilan untuk siswa ABK setelah lepas dari sekolah kelak. Dengan diajarkannya suatu keterampilan khusus diharapkan siswa ABK dapat memiliki suatu bekal keterampilan untuk menjadi pegangan hidupnya kelak. Berikut ini adalah hasil analisa dari responden guru dan siswa ABK tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen berdasarkan susunan tiap – tiap komponennya. 1. Komponen Aksesibilitas Didalam komponen aksesibilitas terdapat point – point yang mengukur sejauh mana upaya sekolah dalam menyediakan kemudahan – kemudahan dalam penyelenggaraan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dari masalah bangunan dan tata ruang sekolah yang disesuaikan dengan penderita tunadaksa ata tuna netra hingga masalah penyediaan GPK untuk menunjang proses pembelajaran bagi siswa ABK. Beberapa hal yang membantu tuna daksa dan ditetapkan pada standar penyandang cacat Peraturan Menteri PU tahun 2007 yakninya: Ramp (bidang miring pengganti tangga bagi tuna daksa) dengan perbandingan 1 :12 sampai dengan 1 : 15 antara tinggi dan alas ramp agar memudahkan mendorong kursi roda, Lebar pintu dibuat selebar kursi roda, Toilet duduk dengan railing (tempat berpegang). Dan contoh aksesibilitas fasilitas ideal bagi tuna netra seperti dituliskannya huruf Braille pada handle tangga dan petunjuk arah. Dalam data yang diperoleh dari responden guru, komponen aksesibilitas sekolah mendapatkan rata – rata skor 3,18 (Sedang), dan dari data yang diperoleh dari responden siswa ABK, mendapatkan rata – rata skor 3,41 (Sedang) . Hal ini di karenakan rendahnya pemanfaatan dana yang telah disediakan pemerintah yang khusus dialokasikan untuk pengembangan infrastruktur pendidikan inklusi yang baik di sekolah. Hal ini dapat dilihat to user dalam perolehan skor dalam commit point “penyediaan Guru Pembimbing Khusus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(GPK) oleh sekolah” serta “keberadaan guru lulusan PLB disekolah” yang mana dalam point penyediaan GPK oleh sekolah hanya mendapatkan skor 2,95 (kurang), dan dalam poin keberadaan guru lulusan Pendidikan Luar Biasa (PLB) hanya mendapatkan skor 2,65 (kurang) serta dalam point “penyediaan GPK oleh sekolah” dari data yang diperoleh dari responden guru juga mendapatkan nilai rata – rata rendah yaitu 2,8 (Kurang). Hal ini diperkuat dengan pendapat dari “S” guru di SDN Sragen 2 yang menyatakan : “Untuk guru lulusan PLB di sekolah ini belum ada, soalnya sekolah ini masih baru dalam menerapkan inklusi”. (wawancara 5 Mei 2012). Namun adapula sekolah yang menyediakan GPK lulusan PLB untuk memberikan layanan pendidikan di Sekolahnya. “Disini ada guru inklusinya mas,tapi datangnya setiap hari Kamis. Kalau hari – hari biasa beliau mengajar di SLB Gemolong, tai kalau hari kamis mengajar di sekolah ini. Data dan absen ABK juga yang bawa beliau”. ( “S.M” SD N Karungan 1 wawancara 6 Juni 2012 ). Sedangkan menurut permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 1 menyatakan “Pemerintah kabupaten/kota wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif ”. Hal ini menunjukkan bahwa kemudahan yang dapat ditawarkan dari pihak sekolah masih belum maksimal guna memenuhi kebutuhan ABK. 2. Komponen Sarana dan Prasarana Di dalam komponen ini terdapat data yang menyangkut sejauh mana aliran dana dan bantuan dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusi, serta pengaplikasian bantuan dari pemerintah tersebut dalam penyediaan sarana dan prasarana penunjang pembelajaran inklusi yang aksesibel bagi ABK. Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden siswa ABK, diketahui dalam komponen sarana dan prasarana mendapatkan rata –rata skor 3,44 (Sedang) dan 3,35 (Sedang). Hal ini menunjukkan bahwa sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen cukup baik terutama dalam hal media commit to user pembelajaran. Hal ini sejalan dengan Sutjiono (2005) yang menyimpulkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bahwa semua guru sepakat bahwa media itu perlu dalam pembelajaran. Kalau sampai hari ini masih ada guru yang belum menggunakan media, itu hanya perlu satu hal yaitu perubahan sikap. Dalam memilih media, perlu disesuaikan dengan kebutuhan, situasi dan kondisi masing-masing. Dengan perkataan lain, media yang terbaik adalah media yang ada. Terserah kepada guru bagaimana ia dapat mengembangkannya secara tepat dilihat dari isi, penjelasan pesan dan karakteristik siswa. Namun dalam point program satu GPK untuk satu ABK hanya memperoleh rata – rata skor 2.15 (Kurang). “S.E.S”, guru SD N Pengkol 2 berkomentar “Sekolah biasanya dapat bantuan berupa peralatan, seperti komputer dan LCD, nanti setelah itu bantuan yang lain baru menyusul” (wawancara 23 mei 2012). Menurut permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 10 ayat 4 “Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu dan menyediakan tenaga pembimbing khusus bagi satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusi yang memerlukan sesuai dengan kewenangannya”. Kemudian hal tersebut diperkuat dalam ayat 5 yang berbunyi “Pemerintah dan pemerintah provinsi membantu meningkatkan kompetensi dibidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan”. Bisa disimpulkan bahwa sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah bagi sekolah hanya meliputi aspek alat bantu dan media ajar saja, namun untuk pemenuhan tenaga didik yang di khususkan untuk siswa ABK masih belum berjalan dengan baik. 3. Komponen Model Layanan Pendidikan Di dalam komponen model layanan pendidikan terdapat point – point tentang layanan pendidikan yang diberikan oleh sekolah kepada siswa ABK di sekolah sebagai bentuk akomodasi dari sekolah bagi keberadaan siswa ABK. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, diketahui komponen model memiliki skor rata – rata 2,94 (Kurang) dan 3,57 (Sedang). Point yang samasama memiliki skor rata – rata kurang adalah dalam point pengajaran keterampilan vokasional bagi siswa ABK. Di dalam point ini hanya diperoleh rata – rata 2,7 dalam hasil perolehan data dari responden guru dan 2,93 dalam commit to user data hasil responden siswa ABK. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pembekalan keterampilan khusus bagi siswa ABK kurang diperhatikan oleh sekolah. Padahal hal ini sangat penting karena dengan dibekalinya siswa ABK dengan suatu keterampilan khusus, diharapkan keterampilan tersebut dapat dijadikan sebuah pegangan untuk mengarungi hidupnya kelak. 4. Komponen Model Pembelajaran Di dalam komponen model pembelajaran mencakup tentang kurikulum yang digunakan dalam mengajar siswa ABK, frekuensi pemberian program pembelajaran individual (PPI) bagi siswa hingga Hasil belajar siswa ABK di sekolah. Berdasarkan data yang diperoleh dalam penelitian, diketahui komponen model memiliki skor rata – rata 3,02 (Sedang) dan 2,77 (Kurang). Hal yang mendasari kurang aksesibelnya model pembelajaran yang diterapkan sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen dapat diketahui dari hasil belajar siswa ABK yang kurang baik dikarenakan dalam pembelajaran bagi siswa ABK masih menggunakan kurikulum untuk sekolah reguler. Dari data yang diperoleh dari responden guru, point penerapan kurikulum yang dikhususkan bagi siswa ABK memperoleh rata – rata 2,85 (Kurang) dan dalam point hasil belajar siswa ABK mendapat rata – rata 2,65 (Kurang). Sedangkan data yang diperoleh dari responden siswa ABK, point penerapan kurikulum yang dikhususkan bagi siswa ABK memperoleh rata – rata 2,6 (Kurang) dan dalam point hasil belajar siswa ABK mendapat rata – rata 2,46 (Kurang). Siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan yang sedang namun menunjukkan prestasi belajar yang buruk karena adanya umpan balik yang tidak mendukung. Hal ini menunjukkan perlunya kajian yang lebih mendalam terhadap aspek kepribadian dan lingkungan agar siswa dapat memiliki prestasi belajar sesuai dengan potensinya (Fahmi, 2003). Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa model pembelajaran yang digunakan oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen kurang aksesibel bagi anak berkebutuhan khusus. 5. Komponen Manajemen Sumber Daya Manusia Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden commit to user siswa ABK, diketahui komponen manajemen sumberdaya manusia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
mendapatkan rata – rata skor 3,59 dari responden guru dan 3,70 dari responden siswa ABK, yang termasuk kategori sedang. Hubungan antara pihak sekolah, masyarakat dan orang tua siswa berjalan dengan baik. Menurut pendapat sukinah (2010), keterlibatan orang tua aktif terhadap pendidikan anak disekolah sangat penting dalam kaitannya dengan negosiasi dalam mencari solusi berkenaan dengan pendidikan anak baik di sekolah maupun di rumah. Dalam permendiknas no 70 tahun 2009 pasal 11 ayat 5 disebutkan “Satuan pendidikan penyelenggara pendidikan inklusif dapat bekerjasama dan membangun jaringan dengan satuan pendidikan khusus, perguruan tinggi, organisasi profesi, lembaga rehabilitasi, rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat, klinik terapi dunia usaha, lembaga swadaya masyarakat (LSM), dan masyarakat.” Didalam pelaksanaanya, kerjasama sekolah inklusi di Kabupaten Sragen dengan instansi pendidikan khusus, panti rehabilitasi serta klinik terapi masih kurang, sehingga masalah yang dialami oleh siswa ABK belum bias terselesaikan dengan baik pula. 6. Komponen Sikap Anggota Sekolah Berdasarkan data yang diperoleh dari reponden guru dan responden siswa ABK, komponen sikap anggota sekolah memiliki skor rata – rata 3,79 (Sedang) dan 3,44 (Sedang). Komponen ini merupakan komponen yang memiliki perolehan nilai rata – rata tertinggi. Di dalam komponen ini terdapat point – point yang mendeskripsikan tentang hubungan interaksi siswa ABK dengan anggota sekolah baik sesama siswa, hubungan siswa ABK dengan guru hingga keadaan psikologis yang dialami siswa ABK di sekolah secara keseluruhan. Di dalam komponen ini terdapat point yang mendapatkan nilai rata – rata tertinggi yaitu point “hubungan siswa ABK dengan siswa normal” yang mendapatkan skor rata – rata 4,5. Hal ini diperkuat dengan pendapat guru SDN Pengkol 2 “S.E.S” yang berpendapat: “Siswa ABK disekolah ini tidak dibeda – bedakan, hubungan dengan siswa yang lain juga baik saat istirahat sering bermain bersama (wawancara 23 Mei 2012). Dengan hal ini dapat disimpulkan bahwa sikap anggota sekolah yang commit dasar to user ditujukan pada siswa ABK di sekolah inklusi di Kabupaten Sragen sudah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
baik. Dengan nyamannya kondisi psikis siswa ABK saat berada di sekolah dapat mempengaruhi proses belajar anak disekolah dengan baik. Apabila siswa kusang nyaman di sekolah bukan tidak mungkin siswa akan kesulitan dalam kegiatan belajarnya atau bahkan minder dan putus sekolah. Berdasarkan hasil yang didapat dari kuisoner tentang aksesibilitas bagi ABK dalam lingkup pendidikan inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen kepada responden guru dan responden siswa ABK, diperoleh hasil sebagai berikut : No
Responden
Perolehan skor ratarata Guru 3.35 1 Siswa ABK 3.44 2 Tabel 4.6 Perbandingan hasil antar responden
Kategori Sedang Sedang
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa tingkat aksesibilitas yang dimiliki oleh sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen oleh responden guru memperoleh skor 3,35 (Sedang) termasuk dalam kategori sedang dan dinyatakan cukup aksesibel bagi siswa ABK. Sedangkan hasil yang didapat dari responden siswa ABK memperoleh skor 3,44 (Sedang) sehingga jika diambil rerata dari kedua responden diperoleh rata – rata skor 3,39 (Sedang). Dengan ini dapat disimpulkan secara garis besar bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen, diperoleh berbagai kesimpulan antara lain, lancarnya aliran dana khusus dari pemerintah, serta hubungan baik siswa ABK dengan sekolah serta individu yang berada dalamnya, merupakan faktor – faktor
yang mendukung pelaksanaan
pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen. Sedangkan hal – hal yang berkaitan dengan layanan pembelajaran bagi siswa ABK seperti minimnya lulusan PLB yang bekerja di sekolah inklusi dan ketiadaan GPK di sekolah hingga model pembelajaran yang kurang mendukung bagi siswa ABK, menjadi faktor paling utama yang menghambat berjalannya program inklusi di sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012. Ditinjau dari perolehan rata – rata skor penilaian dari penelitian tentang aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen, menghasilkan skor rata – rata 3,35 (Sedang) yang diperoleh dari responden guru dan skor rata – rata 3,44 (Sedang) yang diperoleh dari responden siswa ABK menghasilkan skor total rata – rata 3,39 (Sedang) . Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dalam lingkup pendidikan inklusi di Kabupaten Sragen tahun 2012 cukup aksesibel. B. Implikasi Berdasarkan kajian teori serta melihat hasil penelitian ini, akan disampaikan implikasi yang berguna baik secara teoritis maupun secara praktis. dalam mempelajari bagaimana menyediakan layanan dalam sekolah inklusi yang aksesibel. 1. Implikasi Teoritis Implikasi teoritis merupakan dampak atau hubungan yang berkaitan user aksesibilitas bagi ABK dalam dengan kontribusi terhadap teoricommit – teoritotentang
56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendidikan inklusi seperti, memperluas wawasan dan pengetahuan bagi pembaca mengenai layanan aksesibilitas yang baik bagi ABK dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi, serta sebagai salah satu sumber acuan/referensi bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian mengenai aksesibilitas bagi ABK di sekolah inklusi. 2. Implikasi Praktis Hasil penelitian ini secara praktis dapat menjadi masukan bagi sekolah inklusi dalam penyediaan aksesibilitas yang baik bagi anak berkebutuhan khusus khususnya sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen. Adapun implikasi praktis yang didapat oleh siswa ABK adalah, siswa ABK dapat mengetahui bagaimana bentuk pendidikan yang aksesibel baginya. C. Saran Berdasarkan kesimpulan hasil penelitian ini, peneliti memberikan saran – saran sebagai berikut: 1. Hasil rata – rata skor rendah yang diperoleh dalam komponen model layanan pendidikan dari responden guru yaitu 2,94 (Kurang), mengindikasikan bahwa sekolah dasar inklusi di Kabupaten Sragen perlu meningkatkan layanan pendidikan bagi siswa ABK seperti penambahan jam tambahan khusus bagi siswa ABK, pemberian pelajaran keterampilan khusus bagi siswa ABK, serta pemberian pembekalan keterampilan vokasional sebagai bekal keterampilan siswa ABK. 2. Rata – rata skor rendah yang diperoleh dalam komponen model pembelajaran dari responden siswa ABK yaitu 2,77 (Kurang), mengindikasikan bahwa terdapat hal – hal yang perlu di tingkatkan antara lain, perlunya
penambahan frekuensi pemberian PPI bagi
siswa ABK, pembedaan penerapan pembelajaran antara siswa ABK dengan siswa normal, sekolah hendaknya tidak menyamakan standar ketuntasan hasil belajar siswa ABK dengan siswa Normal. commit to user