Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi (KNSI) 2015 | Universitas Klabat, Sulawesi Utara, 26-28 Februari 2015
SISTEM INFORMASI UGAHARI1 ATAU INFRASTRUKTUR INFORMASI? MENCARI STRATEGI IMPLEMENTASI INISIATIF eGOVERNMENT DI INDONESIA2 Fathul Wahid Jurusan Teknik Informatika, Universitas Islam Indonesia Jalan Kaliurang Km. 14,5 Yogyakarta
[email protected] Abstrak Tulisan ini mendiskusikan dua strategi implementasi inisiatif eGovernment yang diharapkan memberikan dampak yang signifikan: pengembangan sistem informasi ugahari (frugal information system) atau pembangunan infrastruktur informasi (information infrastructure). Strategi tersebut didasarkan pada data dari beragam inisiatif eGovernment in Indonesia, yang dibingkai dengan studi literatur. Ilustrasi empiris kedua strategi tersebut diberikan dalam tulisan ini. Kata kunci: eGovernment, sistem informasi ugahari, infrastruktur informasi, dampak. 1. Pendahuluan Diskusi dampak teknologi informasi (TI) dalam sektor publik atau pemerintahan merupakan salah satu fokus studi eGovernment [11, 14, 24]. Aplikasi dan studi eGovernment telah berkembang cukup pesat dalam lebih dari satu dekade terakhir. Sebagai contoh, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara periodik melalui survei perkembangan implementasi eGovernment di banyak negara [19, 20]. Survei mengindikasikan bahwa pemerintah di banyak negara, termasuk Indonesia, mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk mendukung inisiatif tersebut. Namun demikian, studi terdahulu menemukan bahwa tidak semua inisiatif eGovernment memberikan dampak seperti yang diharapkan. Beberapa inisiatif memberikan dampak cukup signifikan, beberapa yang lain gagal, baik sebagian maupun total, dalam menjalankan misinya [10]. Pemahaman yang baik tentang dampak akan memudahkan dalam melakukan evaluasi atas setiap inistiatif yang diimplementasikan. Meskipun tidak semua dampak dapat diukur dengan mudah [7], namun, hampir dapat dipastikan, tanpa memberikan dampak, terutama bagi masyarakat luas, inisiatif eGovernment tidak akan lestari (sustainable). Kelestarian adalah konsiderans penting dalam setiap inisiatif eGovernment [14]. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah: bagaimana membangun inisiatif eGovernment yang berdampak? Makalah singkat ini dimaksudkan sebagai diskusi awal untuk menjawab
pertanyaan ini. Sebelum diskusi lebih lanjut, diperlukan pemahaman yang sama atas definisi eGovernment. Hal ini diperlukan karena terdapat beragam perspektif yang dapat digunakan [6, 11, 22, 24]. 2. Landasan Konseptual 2.1 Melihat kembali definisi eGovernment Beragam definisi eGovernment dapat ditemukan di literatur. Secara umum, ada tiga macam definisi [6]. Pertama, eGovernment sering dihubungkan dengan pemanfaatan TI (beberapa definisi bahkan menyebutkan Internet) untuk memberikan layanan kepada publik (online service delivery). Ini adalah definisi yang cenderung teknikal. Penekanan pada penggunaan Internet ini bahkan dapat membimbing kepada arah yang salah. Dalam banyak konteks, definisi yang harus memasukkan Internet, bahkan perlu dikritisi. Melihat eGovernment hanya dari kacamata ini dapat menghasilkan ‘potret yang kabur’. Karenanya, definisi yang kedua mengaitkan eGovernment dengan perubahan organisasi (organizational change). Ada perubahan pola pikir dalam memberikan layanan kepada publik. Transparansi dan akuntabilitas pemerintah adalah beberapa kata kunci yang dijadikan tujuan. Pengembangan aplikasi atau sistem informasi hanyalah bagian kecil dari perubahan organisasi. Tanpa perubahan organisasi, tidak jarang inisiatif eGovernment ‘mangkrak’ dan memberikan manfaat yang minimal. Dalam konteks ini, eGovernment bukan lagi sebongkah artifak TI, an sich, tetapi juga dibungkus dengan beragam elemen terkait, termasuk manusia pengawalnya. eGovernment adalah sebuah ensambel (ensemble) [15]. Perampingan birokrasi, penyederhaan
_________________ 1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ugahari diartikan sebagai sederhana, sahaja, sedang, atau pertengahan. Istilah ‘sistem informasi ugahari’ dipilih untuk menerjemahkan ‘frugal information system’ [29] yang akan didiskusikan dalam tulisan ini. 2 Ide awal tulisan ini didiskusikan pada sebuah seminar di Universitas Sanata Dharma, Yogayakarta, pada 4 November 2014.
1
Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi (KNSI) 2015 | Universitas Klabat, Sulawesi Utara, 26-28 Februari 2015
prosedur, pembukaan kanal komunikasi adalah beberapa contoh perubahan organisasi. Kelompok definisi yang ketiga terkait dengan kata kunci ‘pemerintahan yang baik’ (better government). Beberapa contoh initiatif dalam konteks ini adalah pembuatan peraturan atau undang-undang pendukung, perlindungan privasi, dan sejenisnya. Pilihan perspektif yang tercermin dalam definisi di atas dalam mengembangkan inisiatif eGovernment akan mempengaruhi fokus dan pada akhirnya dampak yang dihasilkan.
praktik, termasuk penggunaan aplikasi open source, pemanfaatan sumber daya yang sudah tersedia, pelibatan mahasiswa dalam pengembangan sistem ketika kerja praktik, dan simplifikasi proses. Strategi implementasi ini, selain cepat memberikan dampak, juga mengurangi resistensi. Berikut adalah beberapa contohnya dalam konteks Indonesia, untuk memberikan ilustrasi. Kabupaten Sragen, misalnya, mendistribusikan beragam layanan sampai tingkat kecamatan, dan menyambungkan kantor kelurahan dengan jaringan lokal dengan bantuan gelombang radio (WaveLAN). Server yang digunakan sangat jauh dari memadai. Aplikasi yang digunakan untuk komunikasi antarkantor sampai pada tingkat desa menggunakan Kantaya yang dikembangkan oleh BPPT. Beberapa aplikasi juga dikembangkan oleh tim internal. Pengadaan sistem untuk pencetakan KTP, ketika program eKTP belum dicanangkan oleh pemerintah pusat, bahkan bekerjasama dengan pihak ketiga dengan sistem ‘bagi hasil’. Pada tahap awal perkembangannya ketika banyak penghargaan yang didapatkan, koneksi Internet yang digunakan bahkan hanya 128 kbps, dengan sistem penjadwalan akses antarkantor. Hal serupa dilakukan oleh Kabupaten Jembrana. Komunikasi data antara kantor kabupaten dengan kecamatan menggunakan gelombang radio. Beberapa aplikasi yang dikembangkan sendiri berdasar Kantaya, termasuk SMS gateway yang digunakan untuk mendukung komunikasi internal dan menyerap aspirasi masyarakat. Anggaran yang dialokasikan untuk mendukung inisiatif eGovernment pun sangat kecil, mengingat Jembara adalah salah satu kabupaten termiskin di Bali. Aplikasi untuk mendukung Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu yang memungkinkan pelacakan status pengajuan perijinan dengan mudah, juga dikembangkan sendiri. Di Kota Yogyakarta, sebagai contoh lain, juga menggunakan beberapa aplikasi untuk mendukung inisiatif eGovernment yang dapat dikategorikan sebagai ugahari. Aplikasi untuk layanan penjaringan aspirasi publik melalui Unit Pelayanan Informasi dan Keluhan (UPIK) yang banyak mendapat perhargaan tersebut, tidak sangat canggih. Bahkan dalam operasinya juga ‘hanya’ melibatkan energi terbatas dari para operator di tiap kantor/dinas. Setiap inisiatif eGovernment di atas telah memberikan beragam dampak yang signifikan, seperti peningkatan transparansi, efisiensi proses bisnis, dan partisipasi publik. Namun demikian, keberhasilan strategi ini, juga ditentukan oleh perubahan organisasi dan dukungan pemimpin [5, 26].
2.2 Dampak eGovernment Dampak eGovernment secara umum dapat dilihat dari dua perspektif yang saling terkait: keluasan (breadth) dan kedalaman (depth) [24]. Yang pertama terkait dengan bidang yang dikenai dampak oleh inisiatif eGovernment, seperti ekonomi [2], sosial [4]), atau pemangku kepentingan (seperti, wanita [1], lembaga-lembaga pemerintah [21], dan pembayar pajak [12]). Yang kedua terkait dengan tingkat dampak yang lebih generik dan dapat dibandingkan antara satu inisiatif dengan lainnya. Contohnya adalah efisiensi [12, 21] dan transparansi [13]. Makalah ini tidak mendiskusikan konsep dampak dengan lebih detil. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari beberapa kabupaten/kota di Indonesia dan di tingkat nasional dalam beberapa tahun terakhir3, paling tidak terdapat dua strategi implementasi eGovernment yang teridentifikasi dan sesuai untuk konteks Indonesia. Strategi tersebut adalah, pertama, dengan mengembangkan sistem informasi ugahari (frugal information systems) dan kedua, dengan mengembangkan infrastruktur informasi (information infrastructure). Setiap strategi dijelaskan secara singkat dalam bagian berikut untuk memancing diskusi lanjutan. 4. Strategi Implementasi 4.1 Sistem informasi ugahari Konsep sistem informasi ugahari (frugal information systems) dalam literatur sistem informasi pertama kali diperkenalkan oleh Watson, et al. [29]. Mereka mendefinisikan sistem informasi ugahari sebagai “sistem informasi yan dikembangkan dan digunakan dengan sumber daya yang minimal untuk memenuhi tujuan utama klien”. Definisi ini mengandung dua karakteristik sistem informasi ugahari: sumber daya yang digunakan minimal (waktu, sumber daya, dan lingkup terbatas) dan pemenuhan tujuan utama klien (dalam konteks ini lembaga pemerintah). Konseptualisasi sistem informasi ugahari, salah satunya, dapat dilihat di Watson, et al. [29], yang juga menawarkan beberapa prinsip desain dan
4.2 Infrastruktur informasi Strategi implementasi yang kedua adalah dengan membangun infrastruktur informasi (II) yang terintegrasi.Terdapat beberapa dimensi yang harus
3 Hasil penelitian ini sudah dipublikasikan dalam beberapa tulisan [5, 23, 25, 27, 28].
2
Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi (KNSI) 2015 | Universitas Klabat, Sulawesi Utara, 26-28 Februari 2015
dipenuhi untuk disebut sebagai infrastruktur informasi, seperti dirangkum pada Tabel 1. Internet adalah sebuah contoh II global. II harus bisa tergabung/tercangkok dengan infrastruktur lainnya. (community of practice). Biasanya II dibangun secara bertahap dan ‘baru terlihat’ jika ada masalah. Kalau II berjalan mulus, banyak orang lupa akan keberadaannya. Perspektif II dapat digunakan untuk membingkai rumusan strategi implementasi, terutama untuk inisiatif eGovernment yang kompleks dan melibatkan banyak aktor. Contoh inisiatif eGovernment yang menggunakan perspektif II, meskipun tidak secara eksplisit disebut demikian, adalah sistem eProcurement [25]. Implementasi eProcurement di Indonesia di bawah koordinasi oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) dan dimulai 2007. Sistem eProcurement telah terbukti tumbuh menjadi II
Karenanya, II harus dibangun di atas infrastruktur (teknis dan non-teknis) lain yang sudah ada (installed base). II juga harus mempertimbangan praktik yang sudah ada dan pihak-pihak yang terkait pemerintah yang handal. Semua karakteristik II dapat disematkan pada sistem eProcurement ini. Misalnya, sistem ini dibangun bertahap (teknis dan non-teknis), melibatkan banyak pihak (seperti Lembaga Sandi Negara, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan [BPKP], Direktorat Jenderal Pajak, dan praktisi pengadaan barang/jasa di lapangan). Bahkan sistem eProcurement yang sudah ada sebelumnya di Surabaya (2005) juga diperhatikan, dan LKPP tidak asal menerapkan strategi ‘bumi hangus’. Terdapat banyak faktor yang berpilin-terjalin di sini, seperti faktor teknis, legal, dan managerial. Presentasi lebih detil kasus ini dapat ditemukan di [25].
Tabel 1. Dimensi infrastuktur informasi Dimension of II Embeddedness
Description An II is said to be embedded if it “is sunk into, inside of, other structures, social arrangements and technologies” [18:113]. Transparency According to Star and Ruhleder [18:113], the transparency of an II should be understood “in the sense that it does not have to be reinvented each time or assembled for each task, but invisibly supports those tasks”. Reach and scope An II has reach and scope beyond a single event or one-site practice [18]. Learned as part of According to Star and Ruhleder [18], new participants acquire a naturalized familiarity with an II membership as they become members. The potential adopters then see an II as an object about which they will learn. Links with conventions As a socio-technical artefact [8], II both shapes and is shaped by the conventions of a community of practice of practice [18]. Thus, an II is enacted, reproduced, and changed through daily use [3]. Embodiment of Hanseth and Lyytinen [9:16] defined standards as “shared and agreed upon specifications among standards a set of communities”. The standards allow an II to be plugged into other structures in a standardized fashion [18]. Built on an installed Star and Ruhleder [18] argued that II did not grow de novo, from scratch. Rolland [16:583] base defined an installed base as “the interconnected practices and technologies that are institutionalized in the organization”. The definition implies that there are technical and nontechnical (i.e., legal and managerial) installed bases. Becomes visible upon Star and Ruhleder [18] argued that an II, which normally possesses an invisible quality when it is breakdown working, becomes visible when it breaks, such as when the eProcurement server is down. Fixed in modular Star [17] argued that since II is large, layered, and complex, changing it takes time, negotiation, increments and adjustment. Hanseth and Lyytinen [9] used the term ‘evolving’ to refer to this dimension. II’s evolution is path dependent and can be both linear and non-linear [9]. Catatan: Ringkasan ini disalin dari Wahid [25].
Sampai dengan akhir Oktober 2014, sistem eProcurement telah digunakan oleh 731 lembaga pemerintah, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Sistem ini telah melayani 344.599 lelang dengan nilai Rp 484,7 triliun. Beberapa dampak dari implementasi sistem eProcurement adalah transparansi proses pengadaan dan penghematan anggaran pengadaan yang mencapai Rp 55,7 triliun atau sebesar 10,3% lebih rendah dibandingkan nilai pagu (http://reportlpse.lkpp.go.id). Di tingkat pemerintah kabupaten/kota, dampak serupa juga teridentifikasi, di samping dampak lainterkait dengan proses pengadaan yang lebih nyaman dan bebas ‘teror’.
6. Penutup Tulisan singkat ini menjelaskan dengan singkat dua strategi implementasi yang sudah terbukti berhasil diterapkan di Indonesia. Pengembangan sistem informasi ugahari sesuai untuk konteks di mana keterhubungan antaraktor atau antarlembaga tidak sangat interdependen. Perspektif infrastruktur informasi dibutuhkan untuk inisiatif yang memerlukan kerjasama antarlembaga berbeda dan perubahan proses bisnis yang signifikan, seperti eProcurement. Tanpa melupakan keunikan konteks implementasi, kedua strategi ini dapat diadaptasi (tidak hanya diadopsi tanpa perubahan) untuk konteks lain. Ilustrasi yang diberikan diharapkan 3
Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi (KNSI) 2015 | Universitas Klabat, Sulawesi Utara, 26-28 Februari 2015
cukup untuk memberi gambaran awal bagaimana kedua kedua strategi ini digunakan dalam konteks nyata. Selain itu, ilustrasi juga diharapkan membuka diskusi lanjutan yang lebih produktif.
[12] Kettani, D., and Mahdi, A.E., "Back office integration issues in developing country context: lessons learned from a case study in Morocco", Proceedings of the 2nd International Conference on Theory and Practice of Electronic Governance (ICEGOV '08), 2008, pp. 367-372. [13] Kettani, D., Moulin, B., Gurstein, M., and Mahdi, A.E., "E-Government and local good governance: A pilot project in Fez, Morocco", The Electronic Journal on Information Systems in Developing Countries, 35(1), 2008, pp. 1-18. [14] Kumar, R., and Best, M.L., "Impact and sustainability of e-government services in developing countries: Lessons learned from Tamil Nadu, India", The Information Society, 22(1), 2006, pp. 1-12. [15] Orlikowski, W.J., and Iacono, C.S., "Research commentary: Desperately seeking the "IT" in IT research—A call to theorizing the IT artifact", Information Systems Research, 12(2), 2001, pp. 121-134. [16] Rolland, K.H., "Challenging the installed base: Deploying a large-scale IS in a global organization", in (Hansen, H.R., Bichler, M., and Mahrer, H., eds.): Proceedings of the 8th European Conference of Information Systems, 2000, pp. 583-590. [17] Star, S.L., "This is not a boundary object: Reflections on the origin of a concept", Science, Technology, & Human Values, 35(5), 2010, pp. 601-617. [18] Star, S.L., and Ruhleder, K., "Steps toward an ecology of infrastructure: Design and access for large information spaces", Information Systems Research, 7(1), 1996, pp. 111-134. [19] United Nations, Global E-government Readiness Report 2005: From E-government to E-inclusion, United Nations, New York, 2005. [20] United Nations, United Nations e-Government Survey 2010: Leveraging E-government at a Time of Financial and Economic Crisis, United Nations, New York, 2010. [21] Waema, T.M., and Mitullah, W., "Egovernance and governance: A case study of the assessment of the effects of integrated financial management system on good governance in two municipal councils in Kenya", Proceedings of the 1st International Conference on Theory and Practice of Electronic Governance (ICEGOV '07), 2007, pp. 263-268. [22] Wahid, F., "The current state of research on eGovernment in developing countries: A literature review", in (Scholl, H.J., Janssen, M., Wimmer, M.A., Moe, C.E., and Flak, L.S., eds.): EGOV 2012, Lecture Notes in Computer Science, Springer- Verlag, Berlin Heidelberg, 2012, pp. 1-12.
Referensi [1] AL-Rababah, B.A., and Abu-Shanab, E.A., "eGovernment and gender digital divide: The case of Jordan", International Journal of Electronic Business Management, 8(1), 2010, pp. 1-8. [2] Alshawi, S., and Alalwany, H., "E-government evaluation: Citizen's perspective in developing countries", Information Technology for Development, 15(3), 2009, pp. 193-208. [3] Bygstad, B., "Information infrastructures as organization: A critical realist view", The 29th International Conference of Information Systems (ICIS), Paris, France, 2008. [4] De’, R., "Evaluation of e-Government systems: Project assessment vs development assessment", in (M. A. Wimmer Et Al., ed.: LNCS, Springer, Berlin, 2006, pp. 317-328. [5] Furuholt, B., and Wahid, F., "E-government challenges and the role of political leadership in Indonesia: The case of Sragen", Proceedings of the 41st Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2008, 2008, [6] Grönlund, Å., "Ten years of e-Government: The ‘end of history’ and new beginning", in (Wimmer, M.A., Chappelet, J.-L., Janssen, M., and Scholl, H.J., eds.): EGOV 2010, Lecture Notes in Computer Science, Springer, Berlin, 2010, pp. 13-24. [7] Gupta, M., and Jana, D., "E-government evaluation: A framework and case study", Government Information Quarterly, 20(4), 2003, pp. 365-387. [8] Hanseth, O., "From systems and tools to networks and infrastructures. Toward a theory of ICT solutions and its design methodology implications", in (Editor, 'ed.'^'eds.'): Book From systems and tools to networks and infrastructures. Toward a theory of ICT solutions and its design methodology implications, 2002 [9] Hanseth, O., and Lyytinen, K., "Design theory for dynamic complexity in information infrastructures: The case of building internet", Journal of Information Technology, 25(1), 2010, pp. 1-19. [10] Heeks, R., "Information systems and developing countries: Failure, success and local improvisations", The Information Society, 18(2002, pp. 101-112. [11] Heeks, R., and Bailur, S., "Analyzing egovernment research: Perspectives, philosophies, theories, methods, and practice", Government Information Quarterly, 24(2), 2007, pp. 243-265. 4
Prosiding Konferensi Nasional Sistem Informasi (KNSI) 2015 | Universitas Klabat, Sulawesi Utara, 26-28 Februari 2015
[23] Wahid, F., "Institutionalization of public systems in developing countries: A case study of eProcurement in Indonesian local government", Proceedings of the Transforming Government Workshop 2012, 2012, [24] Wahid, F., "Themes of research on eGovernment in developing countries: Current map and future roadmap", Proceedings of the 46th Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2013, 2013, [25] Wahid, F., "A triple-helix model of sustainable government information infrastructure: Case study of the eProcurement system in the Indonesian public sector", Proceedings of the 21st International Conference on Information Systems Development (ISD 2012), 2012, [26] Wahid, F., and Sæbø, Ø., "Understanding eParticipation services in Indonesian local government", in (Linawati, Mahendra, M.S., Neuhold, E.J., Tjoa, A.M., and You, I., eds.): Information & Communication TechnologyEurAsia Conference, Springer, Berlin, 2014, pp. 328-337. [27] Wahid, F., and Sein, M.K., "Institutional entrepreneurs: The driving force in institutionalization of public systems in developing countries", Transforming Government: People, Process and Policy, 7(1), 2013, [28] Wahid, F., and Sein, M.K., "Steering institutionalization through institutional work: The case of an eProcurement system in Indonesian local government", Proceedings of the 47th Hawaii International Conference on System Sciences (HICSS) 2014, 2014, [29] Watson, R.T., Kunene, K.N., and Islam, M.S., "Frugal information systems (IS)", Information Technology for Development, 19(2), 2013, pp. 176-187.
5