SINTESIS MAGNETIT DARI FILTRAT HASIL DESTRUKSI TAILING PASIR TIMAH PULAU BANGKA SECARA HIDROTERMAL
DWI WAHYUDI
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013 Dwi Wahyudi NIM G44080114
ABSTRAK DWI WAHYUDI. Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal. Dibimbing oleh DEDEN SAPRUDIN dan RUDI HERYANTO. Kandungan besi dalam filtrat hasil destruksi tailing pasir timah (FDTPT) Pulau Bangka berpotensi sebagai bahan baku sintesis magnetit. Keasaman yang sangat rendah dan keberadaan unsur Ti dalam FDTPT kemungkinan dapat mengganggu proses sintesis. Penelitian diawali dengan mengamati pengaruh Ti pada sintesis magnetit dan penentuan kandungan Fe dan Ti dalam FDTPT. Selanjutnya terhadap FDTPT dilakukan penambahan NaOH dan urea untuk meningkatkan pH FDTPT. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah mol Ti/Fe di bawah 0.125 tidak mengganggu sintesis magnetit, sehingga FDTPT yang memiliki nisbah mol Ti/Fe 0.121 dapat digunakan sebagai bahan baku sintesis magnetit. Penambahan NaOH pada FDTPT tidak menghasilkan magnetit. Penggantian NaOH dengan urea menghasilkan magnetit dengan ukuran kristal rerata 64.5 nm berdasarkan persamaan Scherrer. Kata kunci: hidrotermal, magnetit, pasir timah, tailing
ABSTRACT DWI WAHYUDI. Synthesis of Magnetite from Destructed Filtrate of Tin Sand Tailings of Bangka Island by Hydrothermal Method. Supervised by DEDEN SAPRUDIN and RUDI HERYANTO. The iron content in the filtrate of tin tailings sand destruction (FTTSD) of Bangka Island is potential as raw material for synthesis of magnetite. Very low acidity and the presence of Ti in FTTSD may interfere the synthesis process. The study began by examine the effect of Ti in the magnetite synthesis and determined the Fe and Ti contents in the FTTSD. NaOH and urea were added to FTTSD to raise the pH for syntesis. The results showed that the mole ratio of Ti/Fe of less than 0.125 did not interfere the magnetite synthesis, therefore the mole ratio of Ti/Fe 0.121 could be used as raw material for the synthesis. The addition of NaOH in FTTSD did not produce magnetite. Replacement of NaOH with urea produced magnetite crystals with an average size of 64.5 nm according to Scherrer equation. Key words: hydrothermal, magnetite, tailing, tin ore
SINTESIS MAGNETIT DARI FILTRAT HASIL DESTRUKSI TAILING PASIR TIMAH PULAU BANGKA SECARA HIDROTERMAL
DWI WAHYUDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Kimia
DEPARTEMEN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal Nama : Dwi Wahyudi NIM : G44080114
Disetujui oleh
Dr Deden Saprudin, MSi Pembimbing I
Rudi Heryanto, SSi MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir Tun Tedja Irawadi, MS Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka secara Hidrotermal”. Skripsi ini disusun berdasarkan penelitian yang dilaksanakan pada bulan Mei 2012 hingga Januari 2013 di Laboratorium Kimia Analitik, Departemen Kimia, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih atas semua bimbingan, dukungan, dan kerjasama yang telah diberikan oleh Bapak Dr Deden Saprudin, MSi selaku pembimbing I dan Bapak Rudi Heryanto, SSi MSi selaku pembimbing II. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Suherman, Ibu Nunung beserta staf laboratorium analitik. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada ayah, ibu, Heru Purwadi, serta Ragil Pratiwi atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat. Terima kasih.
Bogor, Juni 2013
Dwi Wahyudi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN
1
METODE Alat dan Bahan Prosedur Penelitian
2 2 2
HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tanpa Penambahan NaOH Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi dengan Penambahan NaOH dan Urea Karakterisasi Hasil Kadar Amonium Filtrat Hasil Sintesis Hidrotermal
4
7 9 11
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
12 12 12
DAFTAR PUSTAKA
12
LAMPIRAN
14
RIWAYAT HIDUP
24
4 4 6
vii
DAFTAR TABEL 1 Variasi penambahan TiCl4 2 Massa magnetit yang terbentuk pada berbagai variasi perbandingan mol Ti/Fe 3 Massa magnetit larutan A dan F 4 Nilai pH larutan A dan F sebelum dan setelah sintesis hidrotermal 5 Nilai pH larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal 6 Massa endapan dari larutan G dan H setelah hidrotermal 7 Puncak 2θ magnetit standar, endapan G2 dan endapan H2 8 Massa amonium larutan G2 dan H2
3 5 6 7 8 8 10 11
DAFTAR GAMBAR 1 Reaksi pembentukan kompleks antara TiCl4 dengan sitrat 2 Larutan sebelum sintesis (A1) dan (F1) dan setelah sintesis (A2) dan (F2) 3 Larutan sebelum sintesis (G1) dan (H1), dan setelah sintesis (G2) dan (H2) 4 Endapan G2 dan H2 tanpa ada magnet dan endapan G2 dan H2 dengan adanya magnet 5 Spektrum FTIR endapan G2 dan H2 6 Difraktogram magnetit standar, endapan G2, dan endapan H2
5 6 8 9 9 10
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Hasil analisis pasir timah Pulau Bangka oleh Pusat Survey Geologi Diagram alir penelitian Pembuatan larutan standar dan pereaksi pada penentuan amonium Pengukuran kadar Fe dalam filtrat hasil destruksi Sertifikat analisis pengukuran kadar Ti dalam filtrat hasil destruksi Perhitungan jumlah mmol urea yang harus ditambahkan ke dalam Larutan H Perhitungan bobot magnetit teoritis Pengukuran kadar Fe setelah sintesis hidrotermal Basis data puncak 2θ nomor arsip 19-0629 pada JCPDS Penentuan ukuran kristal Penentuan bobot amonium dalam filtrat
14 15 16 16 17 17 18 18 20 20 21
PENDAHULUAN
Tailing adalah salah satu jenis limbah yang dihasilkan oleh kegiatan pertambangan. Limbah tailing merupakan sisa pengolahan bijih batuan yang mengandung mineral, setelah diambil mineralnya. Tailing dapat berupa padatan semacam pasir yang sangat halus atau slurry, yaitu tailing padat yang bercampur dengan air membentuk lapisan tipis. Tailing umumnya masih mengandung mineral-mineral berharga karena proses pengolahan bijih tidak pernah mencapai perolehan (recovery) 100% (Purwantari 2007). Oleh karena itu, tailing harus dimanfaatkan dengan baik agar limbah tailing dapat dikurangi. Berdasarkan analisis oleh Pusat Survey Geologi 2011, tailing pasir timah mengandung logam Fe dan Ti sebagai komponen mayor, sedangkan komponen minornya adalah unsur tanah jarang (Lampiran 1). Pengolahan tailing perlu diawali dengan proses destruksi, yaitu suatu perlakuan untuk melarutkan atau mengubah sampel menjadi bentuk materi yang dapat diukur sehingga kandungan yang terdapat di dalamnya dapat dianalisis. Pratiwi (2012) telah melakukan destruksi tailing dengan menggunakan basa dan dilanjutkan dengan ekstraksi hidrometalurgi menggunakan HCl yang dapat melarutkan tailing dengan cukup baik karena hampir semua tailing dapat terlarutkan sehingga kandungan unsur di dalamnya tidak terlalu banyak berkurang. Kandungan Fe dalam filtrat hasil destruksi berpotensi untuk dijadikan bahan dasar sintesis magnetit. Magnetit (Fe3O4) adalah suatu mineral magnetik yang memiliki respon kuat terhadap medan magnet luar. Magnetit sangat berguna untuk kepentingan riset dan dalam dunia industri yang berbasis kemagnetan, misalnya dalam hal rekayasa elektronika, pembuatan magnet permanen, industri baja, sampai untuk pembuatan film tipis (Sunaryo dan Sugihartono 2010). Selain itu, nanomagnetit telah banyak digunakan dalam dunia kedokteran dan media penyimpanan magnetik. Magnetit juga memiliki aplikasi pada bidang industri seperti keramik, katalis, dan diagnosis medis (Wang et al. 2000). Sintesis magnetit telah dilakukan oleh Cheng et. al. (2010) dengan bahan dasar FeCl3·6H2O, urea, natrium sitrat, dan poliakrilamida secara hidrotermal. Magnetit yang dihasilkan berbentuk bulat dan terdispersi dalam air. Fauziah (2012) telah melakukan sintesis magnetit dengan modifikasi metode Cheng et. al. (2010), yaitu melakukan sintesis magnetit dengan bahan dasar FeCl3·6H2O, urea, dan natrium sitrat tanpa menggunakan poliakrilamida secara hidrotermal. Sintesis tersebut menghasilkan magnetit berbentuk bulat dengan ukuran nanometer dan tidak terdispersi dalam air karena terjadi aglomerasi. Metode hidrotermal memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode lainnya, yaitu kemurnian dan homogenitas kristal yang dihasilkan tinggi, derajat kristalinitas tinggi, energi yang dibutuhkan rendah, serta ramah lingkungan (Kristiyanti 2011). Filtrat hasil destruksi tailing pasir timah akan digunakan sebagai sumber FeCl3 untuk sintesis magnetit dengan metode Fauziah (2012). Adanya Ti dalam filtrat kemungkinan dapat mengganggu proses pembentukan magnetit, oleh karena itu perlu diketahui pengaruh Ti dalam sintesis magnetit. Selain itu, keasaman filtrat yang sangat tinggi dapat mengganggu proses pembentukan magnetit, oleh karena itu diperlukan pengaturan pH untuk sintesis magnetit. Dari
hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah dari tailing pasir timah Pulau Bangka karena dapat diperoleh magnetit berukuran nanometer yang memiliki banyak kegunaan.
METODE Metode penelitian mengikuti diagram alir pada Lampiran 2 yang meliputi pengukuran kadar Fe dan Ti dalam filtrat hasil destruksi tailing, pengaruh perbandingan mol Fe dan Ti pada sintesis magnetit, sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi tailing, karakterisasi padatan yang diperoleh menggunakan XRD dan FTIR, serta pengukuran kadar amonium filtrat hasil sintesis.
Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan adalah oven (Memmert), desikator, neraca analitik (BSA224-Sartorius), alat-alat gelas, alat hidrotermal, pH meter (TOA HM-20S), spektrofotometer (Genesys 10W), spektrofotometri serapan atom (Shimadzu AA7000), FTIR (Bruker), difraktometer sinar-X (Shimadzu XRD 7000). Bahanbahan yang digunakan adalah filtrat hasil destruksi tailing, FeCl3·6H2O (Nacalai Tesque), akuades, NaOH (Merck), natrium sitrat (Merck), urea (Merck), TiCl4 (Merck), kalium-natrium tartrat (Merck), NaOCl 12 %, dan fenol (Merck).
Prosedur Penelitian Penentuan Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Destruksi Tailing Analisis kadar Fe dilakukan di Laboratorium Bersama Departemen Kimia IPB. Larutan standar dibuat dengan konsentrasi 0.5, 1.0, 2.0, 4.0, dan 8.0 ppm untuk pembuatan kurva standar. Sampel diencerkan hingga 1250 kali kemudian diukur serapannya menggunakan spektrofotometri serapan atom pada panjang gelombang 248.33 nm dengan gas pembakar udara-asetilena. Sedangkan analisis Ti dilakukan di Laboratorium Pengujian Tekmira menggunakan spektrofotometri serapan atom pada panjang gelombang 364.27 nm dengan gas pembakar dinitrogen oksida-asetilena. Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit FeCl3·6H2O sebanyak 2 mmol, natrium sitrat sebanyak 4 mmol, dan urea sebanyak 6 mmol dilarutkan dalam 30 ml akuades. Kemudian ke dalam larutan tersebut ditambahkan TiCl4 dengan variasi seperti pada Tabel 1. Setelah itu larutan ditambahkan akuades hingga 40 ml, dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal, kemudian dimasukkan ke dalam oven bersuhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, alat hidrotermal didinginkan hingga suhu ruang. Endapan yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan etanol. Endapan dikeringkan pada suhu 70 ˚C selama satu malam.
3
Tabel 1 Variasi penambahan TiCl4 Larutan mmol Ti Perbandingan mol Ti/Fe A 0.00 0.000 B 0.05 0.025 0.125 C 0.25 D 0.50 0.250 E 1.00 0.500
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam Tanpa Penambahan NaOH Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol (larutan F). Larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada suhu ruang, endapan hitam yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan etanol. Endapan dikeringkan dengan oven pada suhu 70˚C selama satu malam. Diagram alir sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi asam tanpa penambahan basa diperlihatkan pada Lampiran 2. Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam dengan Penambahan NaOH Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol, ditambahkan NaOH 30% hingga pH 3 (larutan G). Larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada suhu ruang, endapan hitam yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan etanol. Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 70˚C selama satu malam. Diagram alir sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi asam dengan penambahan basa NaOH diperlihatkan pada Lampiran 2. Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Asam dengan Penambahan Urea Sebanyak 40 ml filtrat hasil destruksi asam dengan kadar Fe yang telah diketahui ditambahkan natrium sitrat dan urea dengan perbandingan Fe: natrium sitrat: urea sebesar 1:2:3 mmol, ditambahkan urea sebanyak jumlah mmol NaOH yang digunakan pada larutan G lalu diaduk hingga urea larut (larutan H). Larutan tersebut dimasukkan ke dalam wadah hidrotermal. Wadah tersebut dimasukkan ke dalam oven pada suhu 200˚C selama 12 jam. Setelah itu, wadah didinginkan pada suhu ruang, endapan hitam yang terbentuk dipisahkan dengan cara sentrifugasi kemudian dicuci dengan air dan etanol. Kemudian dikeringkan dengan oven pada
suhu 70˚C selama satu malam. Diagram alir sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi asam dengan penambahan basa urea diperlihatkan pada Lampiran 2. Penentuan Amonium pada Larutan Hasil Sintesis Magnetit Sebanyak 1 ml larutan hasil sintesis dimasukkan ke dalam tabung reaksi kemudian ditambahkan berturut-turut larutan sangga tartrat dan Na-fenat masingmasing sebanyak 2 ml, dikocok dan dibiarkan 10 menit. Larutan ditambahkan 2 ml NaOCl 5 %, dikocok dan diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 630 nm setelah 10 menit sejak pemberian pereaksi ini. Pembuatan pereaksi diperlihatkan pada Lampiran 3. Karakterisasi Hasil Sintesis Magnetit Kristal magnetit hasil sintesis dari filtrat destruksi dikarakterisasi menggunakan XRD dan FTIR.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kadar Fe dan Ti dalam Filtrat Hasil Destruksi Tailing Pasir Timah Pulau Bangka Pratiwi (2012) melakukan destruksi tailing pasir timah Pulau Bangka menggunakan NaOH dan dilanjutkan dengan ekstraksi hidrometalurgi menggunakan HCl. Ekstraksi menggunakan HCl tersebut menghasilkan filtrat dan padatan. Filtrat hasil destruksi inilah yang akan digunakan untuk sintesis magnetit. Pengukuran kadar Fe dan Ti sebagai komponen mayor dalam filtrat hasil destruksi perlu dilakukan untuk mengetahui konsentratsi Fe awal yang terkandung dalam filtrat destruksi. Hasil pengukuran kadar Fe dan Ti dalam filtrat destruksi berturut-turut 1850 ppm (Lampiran 4) dan 206 ppm (Lampiran 5). Konsentrasi Fe dalam filtrat setara dengan 0.033 M, sedangkan konsentrasi Ti setara dengan 0.004 M. Perbandingan mol Ti/Fe dalam filtrat destruksi sebesar 0.121.
Pengaruh Perbandingan Mol Fe dan Ti pada Sintesis Magnetit Kehadiran Ti dalam sintesis magnetit mempengaruhi hasil sintesis. Pada kandungan Ti yang rendah (≤ 0.25 mmol) sintesis magnetit masih berlangsung dengan baik. Sintesis magnetit dengan kandungan Ti ≥ 0.50 mmol tidak dapat ditentukan massa magnetitnya karena tidak menghasilkan endapan melainkan suatu koloid berwarna hitam (Tabel 2). Perbandingan jumlah mol Ti dan Fe dalam 40 ml filtrat hasil destruksi yang digunakan untuk sintesis adalah 0.121 sehingga magnetit masih dapat terbentuk jika sintesis dilakukan dari filtrat hasil destruksi.
5
Tabel 2 Massa magnetit yang terbentuk pada berbagai variasi perbandingan mol Ti/Fe Kandungan Ti (mmol) Perbandingan mol Ti/Fe Massa magnetit (g) 0.00 0.000 0.1092 0.05 0.025 0.1073 0.25 0.125 0.1018 0.50 0.250 t.da 1.00 0.500 t.d a
t.d: tidak dapat ditentukan.
Campuran Fe3+, natrium sitrat, dan urea tanpa penambahan TiCl4 berwarna kuning, sedangkan campuran yang ditambahkan TiCl4 berwarna jingga. Semakin banyak Ti yang ditambahkan ke dalam campuran warna jingga yang dihasilkan semakin pekat. Penambahan TiCl4 ke dalam campuran yang mengandung Fe3+, natrium sitrat, dan urea menurut Panagiotidis (2005), Ti4+ dapat membentuk senyawa kompleks dengan sitrat (Gambar 1). Kompleks antara Ti4+ dengan sitrat tersebut memberikan warna jingga kemerahan pada larutan (Kakihana 2010).
Gambar 1 Reaksi pembentukan kompleks antara TiCl4 dengan sitrat Pada pembentuk magnetit dengan sumber besi dari Fe3+ diperlukan pereduksi untuk mengubah sebagian biloks Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga diperoleh perbandingan Fe3+ dengan Fe2+ sebesar 2:1. Pereduksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah sitrat. Terbentuknya senyawa kompleks antara Ti4+ dengan sitrat dapat mempengaruhi sintesis magnetit. Potensial reduksi (Eº) Fe3+ | Fe2+ = 0.771 V sedangkan Eº Ti4+ | Ti3+ = -0.055 V. Nilai Eº Fe3+ | Fe2+ lebih besar dari nilai Eº Ti4+ | Ti3+ artinya Fe3+ lebih mudah direduksi dibandingkan dengan Ti4+ sehingga kehadiran Ti4+ dalam campuran tidak dapat mengoksidasi kembali Fe2+. Jika kandungan Ti dalam campuran cukup banyak dapat menyebabkan adanya persaingan pembentukan kompleks Fe-sitrat dan Ti-sitrat. Terbentuknya kompleks antara Ti dengan sitrat tersebut mengakibatkan sitrat yang tersedia untuk mengkelat Fe3+ menjadi berkurang sehingga proses reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ lebih sedikit. Selain itu, Ti4+ yang bersifat oksidator dapat menghambat proses reduksi dari Fe3+ menjadi Fe2+. Hal tersebut mengakibatkan Fe2+ yang dibutuhkan untuk pembentukan Fe3O4 menjadi lebih sedikit sehingga endapan Fe3O4 tidak terbentuk.
6
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi Tanpa Penambahan NaOH Sintesis magnetit dilakukan dengan cara menambahkan 2.6 mmol natrium sitrat dan 3.9 mmol urea ke dalam 40 ml filtrat hasil destruksi asam yang mengandung 1.3 mmol Fe. Di samping itu larutan standar (larutan A) dibuat untuk perbandingan. Larutan standar dibuat dengan metode Fauziah (2012). Gambar 2 memperlihatkan hasil sintesis dari kedua larutan. Gambar 2 menunjukkan bahwa baik larutan standar maupun larutan dari filtrat hasil destruksi sebelum dilakukan sintesis dengan hidrotermal memiliki warna kuning. Warna tersebut dihasilkan dari adanya Fe3+ dalam larutan. Setelah dilakukan sintesis hidrotermal terjadi perbedaan terhadap hasil yang diperoleh. Hasil sintesis dari larutan standar diperoleh larutan yang tidak berwarna dan terdapat endapan berwarna hitam yang tertarik magnet. Endapan tersebut merupakan magnetit Fe3O4. Tabel 3 memperlihatkan massa magnetit yang terbentuk. Reaksi pembentukan magnetit menurut Cheng et al. (2009) diperlihatkan pada persamaan reaksi 1 sampai 6. CO(NH2)2 + H2O→ 2NH3 + CO2 NH3 + H2O → NH4+ + OHFe3+ + 3OH- → Fe(OH)3 Fe(III)-(sitrat2)3- + e- → Fe(II)-sitrat- + sitrat3- (sebagian) Fe2+ + 2OH- → Fe(OH)2 2Fe(OH)3 + Fe(OH)2 → Fe3O4 + 4H2O
F1
A1
F2
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
A2
Gambar 2 Larutan sintesis (A1) dan (F1) dan setelah sintesis (A2) dan (F2) Tabel 3 Massa magnetit larutan A dan F Larutan Massa magnetit (g) Aa 0.1092 F 0.0000 a
A: 2mmol FeCl3·6H2O + 4 mmol Na-sitrat + 6 mmol urea dalam 40 ml akuades, F: 40 ml filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 3.9 mmol urea.
FeCl3 dalam filtrat hasil destruksi dan FeCl3·6H2O menyediakan besi dalam bentuk Fe3+, sedangkan magnetit tersusun atas Fe3+ dan Fe2+. Oleh karena itu ditambahkan sitrat sebagai pereduksi untuk membentuk Fe2+. Sitrat berperan penting dalam pembentukkan kristal Fe3O4. Tanpa adanya sitrat, hanya akan dihasilkan α-Fe2O3 (Cheng et al. 2010). Sitrat mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+ diawali dengan mengionnya natrium sitrat menjadi ion sitrat. Kemudian, ion sitrat dan Fe3+ membentuk kompleks Fe(III)-sitrat. Adanya ion H+ dalam larutan mengakibatkan terjadinya reduksi Fe3+ menjadi Fe2+, sedangkan sitrat teroksidasi (Gutteridge 1991). Pada saat pemanasan, urea terdekomposisi menjadi NH3
7
(reaksi 1) yang membuat suasana basa dalam sistem reaksi. Suasana basa ini memicu pembentukkan Fe(OH)3 dan Fe(OH)2 yang akan berubah menjadi Fe3O4 setelah proses dehidrasi (Cheng et al. 2010) (reaksi 6). Hasil sintesis larutan F diperoleh larutan yang berwarna jingga dan tidak diperoleh endapan. Warna tersebut dihasilkan dari warna hematit (α-Fe2O3) yang masih dalam bentuk koloid. Nilai pH larutan yang asam karena mengandung HCl berpengaruh terhadap sintesis (Tabel 4). Mohapatra dan Anand (2010) melaporkan bahwa pada sintesis oksida besi secara hidrotermal yang berlangsung pada pH 0.8-2.6 hanya menghasilkan α-Fe2O3 yang berwarna jingga kemerahan dalam larutan. Jumlah urea yang ditambahkan ke dalam larutan F terlalu sedikit untuk menetralkan keasaman dari HCl, sehingga kondisi basa yang dibutuhkan untuk proses pembentukan magnetit tidak tercapai. Tabel 4 Nilai pH larutan A dan F sebelum dan setelah sintesis hidrotermal larutan pH sebelum hidrotermal pH setelah hidrotermal A 3.48 10.54 F -2.89 2.07
Sintesis Magnetit dari Filtrat Hasil Destruksi dengan Penambahan NaOH dan Urea Sintesis magnetit dilakukan dari filtrat hasil destruksi asam dengan penambahan basa dilakukan dengan dua variasi. Sintesis pertama dilakukan dengan menambahkan NaOH ke dalam larutan F. Sintesis lainnya dilakukan dengan menambahkan urea ke dalam larutan F. Nilai pH filtrat diatur hingga nilai pH larutan mendekati nilai pH larutan standar (larutan A). Basa NaOH (basa kuat) digunakan untuk menetralkan keasaman HCl yang termasuk asam kuat sebelum sintesis hidrotermal. Basa urea digunakan untuk menciptakan suasana basa saat sintesis. Saat proses sintesis berlangsung urea akan terdekomposisi menjadi amonia dan CO2. Amonia tersebut akan menaikkan nilai pH menjadi lebih tinggi. Jumlah NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH filtrat hingga mendekati pH larutan standar sebelum hidrotermal, yaitu 61.5 mmol (Lampiran 6). Jumlah urea yang ditambahkan ke dalam larutan dari filtrat ditentukan berdasarkan jumlah mol NaOH yang digunakan untuk menaikkan pH hingga mendekati larutan standar. Oleh karena itu, urea yang ditambahkan ke dalam Larutan H adalah 61.5 mmol. Tabel 5 memperlihatkan pH larutan sebelum dan setelah sintesis hidrotermal. Pada larutan G pH larutan dinaikkan terlebih dahulu menggunakan NaOH sehingga pada saat sintesis amonia dalam jumlah sedikit sudah dapat menaikkan pH hingga kondisi basa. Sedangkan pada larutan H pH dinaikkan selama proses hidrotermal. Amonia yang terbentuk lebih banyak sehingga akan menaikkan nlai pH larutan. Setelah proses hidrotermal, nilai pH larutan G dan H hampir mendekati nilai pH larutan standar, yaitu masing-masing 9.79 dan 9.16.
8
Tabel 5 Nilai pH larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal larutan pH sebelum hidrotermal pH setelah hidrotermal Ga 3.44 9.79 H -2.32 9.16 a
G: 40 ml filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 3.9 mmol urea + 61.5 mmol NaOH; H: 40 ml filtrat hasil destruksi + 2.6 mmol Na-sitrat + 65.4 mmol urea.
Larutan G dan H sebelum dan setelah sintesis hidrotermal diperlihatkan pada Gambar 3. Sebelum sintesis hidrotermal, warna G1 dan H1 berbeda. G1 berwarna jingga. Warna jingga ini merupakan warna dari koloid hasil hidrolisis Fe dari reaksi Fe3+ dalam larutan dengan OH- dari NaOH yang ditambahkan.
G2 H2 H1 G1 Gambar 3 Larutan sebelum sintesis (G1) dan (H1), dan setelah sintesis (G2) dan (H2) Larutan G dan H menghasilkan endapan setelah proses hidrotermal. Bobot endapan yang diperoleh diperlihatkan pada Tabel 6. Bobot endapan yang diperoleh dari larutan G sebanyak 0.1297 g sedangkan dari larutan H sebanyak 0.2352 g. Endapan dari Larutan G dan H lebih banyak dibandingkan dengan jumlah magnetit yang seharusnya diperoleh secara teoritis, yaitu 0.1021 g (Lampiran 7) jika semua Fe yang ada dalam filtrat berubah menjadi magnetit. Endapan yang melebihi bobot teori ini dikarenakan di dalam filtrat terdapat berbagai macam logam yang membentuk oksida dan mengendap ataupun teradsorpsi oleh magnetit. Selain itu, pada larutan H penambahan urea yang lebih banyak mengakibatkan penambahan jumlah karbon yang dapat teradsorpsi sehingga hasil endapan yang diperoleh lebih banyak. Amonium yang teradsorpsi juga dapat menambah massa endapan yang diperoleh. Tabel 6 Massa endapan dari larutan G dan H setelah hidrotermal Larutan Massa magnetit (g) G 0.1297 H 0.2352 Persentase jumlah Fe yang mengendap diukur dengan cara mengukur kadar Fe dalam larutan G dan H setelah sintesis hidrotermal (Lampiran 8). Persentase Fe yang mengendap dari larutan G, yaitu 99.98 % sedangkan untuk larutan H sebesar 99.99 %. Hampir seluruh Fe dari larutan G dan H mengendap atau membentuk oksida, namun fase oksida Fe yang terbentuk belum dapat dipastikan membentuk magnetit. Magnetit merupakan suatu mineral ferimagnetik. Sifat ferimagnetik tersebut dihasilkan dari adanya ion Fe2+ dan Fe3+ (Paul 2010). Oleh karena itu, magnetit memberikan respon terhadap magnet sehingga akan tertarik oleh magnet jika ada
9
magnet di dekatnya. Endapan G2 tidak tertarik magnet saat ada magnet didekatnya, sedangkan endapan H2 tertarik magnet saat ada magnet di dekatnya (Gambar 4). Endapan G2 bukan magnetit, kemungkinan oksida besi lainnya. Liang et.al. (2006) telah melakukan sintesis berbagai oksida besi. Adanya NaOH dapat membentuk oksida besi selain magnetit, yaitu Fe2O3. Endapan H2 tertarik oleh magnet di dekatnya sehingga kemungkinan endapan tersebut merupakan magnetit. G2
G2
Magnet
Endapan tidak tertarik magnet
H2
H2
Magnet
Endapan tertarik magnet
Gambar 4 Endapan G2 dan H2 tanpa ada magnet dan endapan G2 dan H2 dengan adanya magnet
Karakterisasi Hasil Analisis dengan FTIR dilakukan untuk mengetahui gugus fungsi yang terdapat pada endapan hasil sintesis hidrotermal. Gambar 5 menunjukkan spektrum FTIR dari endapan G2 dan H2 tidak terlalu berbeda. Pita lebar pada bilangan gelombang 400-800 cm-1 merupakan vibrasi dari ikatan Fe-O. Pada bilangan gelombang 1400 cm-1 dan 1630 cm-1 merupakan vibrasi dari C-O. Pada bilangan 3100 cm-1 sampai 3600 cm-1 terjadi tumpang tindih dari vibrasi O-H dan N-H.
Gambar 5 Spektrum FTIR endapan G2 dan H2 Adanya serapan dari ikatan Fe-O menunjukkan terbentuknya oksida besi, namun fase dari oksida besi tersebut belum dapat diketahui. Vibrasi ikatan C-O
10
yang terdeteksi dapat berasal dari karbonat yang teradsorpsi. Menurut Roonasi (2007), karbonat dapat teradsorpsi pada magnetit. Vibrasi O-H dapat berasal dari Fe(OH)3.Vibrasi N-H dapat berasal dari amonium yang teradsorpsi pada magnetit. Analisis dengan XRD dilakukan untuk mengetahui fase yang terbentuk. Identifikasi dilakukan dengan membandingkan puncak-puncak 2θ yang khas dari endapan yang dihasilkan dengan puncak 2θ standar. Hasil difraktogram (Gambar 6) menunjukkan bahwa nilai 2θ endapan dari filtrat dengan penambahan urea setelah hidrotermal (H2) memiliki kemiripan dengan data standar dari Joint Committee on Powder Diffraction Standards (JCPDS) dengan nomor arsip 190629 (Lampiran 9) yang merupakan magnetit. Sedangkan pada endapan filtrat dengan penambahan NaOH setelah hidrotermal (G2) tidak terlihat adanya puncak dari magnetit. Perbandingan beberapa nilai 2θ tertinggi sampel dan standar diperlihatkan pada Tabel 7.
Gambar 6 Difraktogram magnetit standar, endapan G2, dan endapan H2 Tabel 7 Puncak 2θ magnetit (JCPDS 19-0629), endapan G2, dan endapan H2 Magnetit Endapan Endapan JCPDS 19-0629 filtrat + NaOH (G2) filtrat + urea (H2) 30.0950 30.0339 35.4220 35.4104 37.0520 36.9277 43.0520 43.0438 53.3910 53.4593 56.9420 56.9281 62.5150 62.5114 Berdasarkan data XRD sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi tailing dengan penambahan basa urea menghasilkan magnetit. Walau demikian, kemurnian dari magnetit tersebut belum dapat dipastikan karena adanya kemungkinan logam-logam dalam filtrat asam hasil destruksi tailing dapat tersisipkan atau teradsorpsi dalam magnetit tersebut. Sebaliknya sintesis magnetit
11
dari filtrat hasil destruksi tailing dengan penambahan basa NaOH tidak menghasilkan magnetit. NaOH yang ditambahkan ke dalam filtrat sebelum sintesis menyebabkan Fe3+ dalam filtrat berubah menjadi Fe(OH)3 sehingga menghambat proses reduksi Fe3+ menjadi Fe2+ sehingga magnetit sukar terbentuk. Ukuran kristal dapat diukur dari hasil data XRD dengan menggunakan persamaan Scherrer (Zakaria et.al. 2009). Ukuran kristal magnetit endapan H, yaitu 64.4624 nm (Lampiran 10). Sintesis magnetit dalam larutan berair dapat menghasilkan kristal dengan ukuran kurang dari 1 µm (Cornell & Schwertmann 2003). Ukuran kristal yang kecil ini sangat baik sehingga magnetit yang terbentuk dapat dimanfaatkan dalam berbagai bidang. Nanomagnetit ini banyak dimanfaatkan karena karakterisitk magnetiknya, stabilitas kimianya, biokompatibilitas, dan tidak terlalu beracun (Cheng et al. 2010).
Kadar Amonium Filtrat Hasil Sintesis Hidrotermal Pengukuran kadar amonium dalam filtrat hasil sintesis hidrotermal dilakukan untuk mengetahui jumlah urea yang terdekomposisi menjadi amonia. Amonia dalam air akan berbentuk amonium. Penentuan kadar amonium pada larutan dilakukan dengan metode kolorimetri melalui penambahan larutan natrium fenat, K-Na tartrat, dan NaClO (Pradana 2013). Pengukuran dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 630 nm (Lampiran 11). Massa amonium yang dihasilkan dari dekomposisi urea pada filtrat G2 dan H2 diperlihatkan pada Tabel 8. Filtrat G2 menghasilkan amonium sebesar 0.1074 g sedangkan filtrat H2 menghasilkan amonium sebesar 0.9139 g. Massa amonium pada filtrat H2 lebih besar karena jumlah urea yang ditambahkan sebelum sintesis lebih banyak dari filtrat G2. Sedangkan persentase amonium yang terbentuk dari hasil dekomposisi urea dari filtrat G2 dan H2, yaitu 75.32 % untuk filtrat G2 dan 38.78 % untuk filtrat H2 (Lampiran 11). Persentase yang tidak terlalu tinggi ini disebabkan karena ada kemungkinan amonium dalam larutan menguap sehingga saat pengukuran tidak semua amonium terukur. Selain itu, struktur magnetit yang berpori dapat mengadsorpsi amonium yang terbentuk sehingga mengurangi persentase amonium yang terukur pada filtrat H2. Tabel 8 Massa amonium larutan G2 dan H2 Filtrat Massa amonium (g) G2 0.1074 H2 0.9139
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Magnetit berhasil disintesis dari filtrat destruksi tailing pasir timah Pulau Bangka dengan metode hidrotermal dengan penambahan urea dan natrium sitrat. Sintesis magnetit dengan adanya Ti4+ dalam larutan masih dapat dilakukan jika perbandingan mol Ti/Fe kurang dari 0.125. Keasaman yang tinggi berpengaruh terhadap sintesis magnetit sehingga perlu dilakukan penurunan keasaman. Penambahan NaOH untuk mengurangi keasaman filtrat tidak dapat digunakan karena mengganggu sintesis magnetit. Penambahan urea dapat menggantikan peran NaOH dalam upaya mengurangi keasaman filtrat tanpa mengganggu proses sintesis magnetit.
Saran Analisis morfologi dan kandungan unsur dalam kristal magnetit menggunakan SEM-EDX perlu dilakukan. Selain itu, kandungan unsur dalam larutan setelah sintesis hidrotermal perlu dianalisis untuk mengetahui apakah unsur lain terendapkan bersama dengan magnetit atau masih dalam larutan. Karakteristik magnetik dari magnetit yang terbentuk perlu dianalisis untuk mengetahui sifat magnetik dari magnetit yang terbentuk. Sintesis dengan variasi penambahan natrium sitrat perlu dilakukan lebih lanjut untuk menetralisir pengaruh oksidasi Ti4+ dalam filtrat hasil destruksi.
DAFTAR PUSTAKA Cheng C, Wen Y, Xu X, Gu H. 2009. Tunable synthesis of carboxylfunctionalized magnetite nanocrystal clusters with uniform size. J Mater Chem. 19: 8782-8788.doi:10.1039/b910832g. Cheng W, Tang K, Qi Y, Sheng J, Liu Z. 2010. One-step synthesis of superparamagnetic monodisperse porous Fe3O4 hollow and core-shell spheres. J Mater Chem. 20:1799-1805.doi:10.1039/b919164j. Cornell RM, Schwertmann U. 2003. The Iron Oxides. Weinheim (DE): WileyVch. Fauziah H. 2012. Nanomagnetit sebagai peningkat sensitivitas elektrode pasta karbon untuk analisis iodida secara voltammetri siklik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Gutteridge JMC. 1991. Hydroxyl radical formation from the auto-reduction of a ferric citrate complex. Free Radical Biology and Medicine. 11 (4):401-406. Kakihana M, Kobayashi M, Tomita K, Petrykin V. 2010. Application of watersoluble titanium complexes as precursors for synthesis of titanium-
13
containing oxides via aqueous solution processes. Bull. Chem. Soc. Jpn. 83(11):1285–1308.doi:10.1246/bcsj.20100103. Kristiyanti PLP. 2011. Pengaruh pH pada sintesis titanium dioksida (TiO2) dengan metode hidrotermal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Liang X, Wang X, Zhuang J, Chen Y, Wang D, Li Y. 2006. Synthesis of nearly monodisperse iron oxide and oxyhydroxide nanocrystals. Adv. Funct. Mater.16:1805-1813.doi:10.1002/adfm.200500884. Mohaptara M, Anand S. 2010. Synthesis and applications of nano-structured iron oxides/hydroxides a review. International Journal of Engineering, Science and Technology. 2(8): 127-146. Panagiotidis P, Kefalas E, Salifoglou A. 2005. Structural speciation attempts in the binary Ti(IV)-citrate system in aqueous media. Agroalimentary Processes and Technologies. 11(1):65-68. Paul MC. 2010. Molecular beam epitaxy and properties of magnetite thin films on semiconducting substrates [disertasi]. Wurzburg (DE): Universitas Julius Maximilians. Pradana VM. 2013. Keragaan nitrogen-amonium dalam magnetit sintetik (Fe3O4) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Pratiwi F. 2012. Pengembangan metode destruksi unsur tanah jarang dari tailing pasir timah Pulau Bangka [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Purwantari ND. 2007. Reklamasi area tailing di pertambangan dengan tanaman pakan ternak; mungkinkah? Wartazoa. 17(3):101-108. Roonasi P. 2007. Adsorption and surface reaction properties of synthesized magnetite nano-particles [tesis]. Luleå (SE): Luleå University of Technology. Sunaryo, Sugihartono I. 2010. Pemisahan senyawa titanomagnetite Fe3xTixO4(o<x<1) dari pasir alam Indramayu, Jawa Barat. Makara, Teknologi. 14 (2):106-110. Wang CY et al. 2000. Synthesis of Fe3O4 powder by a novel arc discharge method. Material Research Bulletin. 35:755-759. Zakaria FZ, Wajir J, Aziz FA. 2009. Crystallite sizes of porites species. Journal of Nuclear and Related Technologies. 6(1): 11-18.
14
Lampiran 1 Hasil analisis pasir timah Pulau Bangka oleh Pusat Survey Geologi GEOLOGICAL RESEARCH & DEVELOPMENT CENTER DIPONEGORO 57 ID---BANDUNG Fax: C:\UQ5\USER\ARL\JOB\JOB.915 Sample ident = SPL PRESS Compound --------------TiO2 Fe2O3 SiO2 MnO ZrO2
Wt% ------55.58 26.30 6.17 2.77 1.75
TAILLING.B StdErr | -------- | 0.25 | 0.22 | 0.12 | 0.08 | 0.07 |
El -Ti Fe Si Mn Zr
Weight% -----------33.32 18.39 2.88 2.14 1.30
StdErr -------0.15 0.15 0.06 0.06 0.05
SnO2 Al2O3 P2O5 CeO2 Nb2O5
1.65 1.51 0.568 0.413 0.295
0.06 0.06 0.028 0.021 0.015
| | | | |
Sn Al Px Ce Nb
1.30 0.797 0.248 0.336 0.206
0.05 0.032 0.012 0.017 0.010
Y2O3 V2O5 La2O3 Nd2O3 ThO2
0.254 0.202 0.193 0.145 0.109
0.013 0.012 0.010 0.007 0.005
| | | | |
Y V La Nd Th
0.200 0.113 0.165 0.124 0.0955
0.010 0.007 0.008 0.006 0.0048
PbO Na2O WO3 HfO2 Er2O3
0.0820 0.076 0.0484 0.0474 0.0310
0.0041 0.029 0.0036 0.0028 0.0069
| | | | |
Pb Na W Hf Er
0.0761 0.057 0.0384 0.0402 0.0271
0.0038 0.022 0.0029 0.0024 0.0060
ZnO Ta2O5 Co3O4 S U 3O 8
0.0199 0.0176 0.0170 0.0168 0.0150
0.0012 0.0027 0.0016 0.0008 0.0012
| | | | |
Zn Ta Co S U
0.0160 0.0144 0.0134 0.0168 0.0127
0.0010 0.0022 0.0013 0.0008 0.0010
CaO Cr2O3 BaO As2O3 K 2O
0.0119 0.0115 0.0110 0.0105 0.0098
0.0014 0.0019 0.0049 0.0023 0.0009
| | | | |
Ca Cr Ba As K
0.0085 0.0079 0.0099 0.0080 0.0081
0.0010 0.0013 0.0044 0.0018 0.0007
Ga2O3 MoO3 Sc2O3 Cl Bi2O3
0.0090 0.0086 0.0072 0.0042 0.0024
0.0008 0.0014 0.0012 0.0007 0.0010
| | | | |
Ga Mo Sc Cl Bi
0 0067 0.0057 0.0047 0.0042 0.0022
0.0006 0.0010 0.0008 0.0007 0.0009
KnownConc= 0 REST= 1.64 LOI Sum Conc's before normalisation to 100% : 99.0 %
D/S= 0.200Phenol
15
Lampiran 2 Diagram alir penelitian Filtrat hasil destruksi
(1) Penentuan kadar Fe dan Ti (2) Pengaruh perbandingan konsentrasi Fe dan Ti pada sintesis magnetit 2 mmol FeCl3·6H2O + 4 mmol natrium sitrat + 6 mmol urea dalam 40 ml akuades + TiCl4 + TiCl4 + TiCl4 + TiCl4 + TiCl4 0.00 mmol 0.05 mmol 0.25 mmol 0.50 mmol 1.00 mmol Larutan A
Larutan B
Larutan C
Larutan D
Larutan E
Sintesis hidrotermal 200 ºC selama 12 jam (3) Sintesis magnetit dari filtrat hasil destruksi
Filtrat: 40 ml natrium sitrat: 2.6 mmol urea: 3.9 mmol
Larutan F
Filtrat: 40 ml natrium sitrat: 2.6 mmol urea: 3.9 mmol
Filtrat: 40 ml natrium sitrat: 2.6 mmol urea: 3.9 mmol
Penambahan NaOH hingga pH 3
Penambahan urea sebanyak 61.5 mmol
Larutan G
Larutan H
Sintesis hidrotermal 200 ºC selama 12 jam
Pemisahan
Kristal (4) Karakterisasi dengan XRD dan FTIR
Fase kristal dan gugus fungsi
Filtrat (5) Penentuan kadar amonium
Kadar amonium filtrat
16
Lampiran 3 Pembuatan larutan standar dan pereaksi pada penentuan amonium ♦Standar pokok 1.000 ppm N Serbuk(NH4)2SO4 p.a ditimbang 4,7143 g ke dalam labu takar 1 l. Kemudian ditambahkan air bebas ion hingga tepat 1 l dan dikocok hingga larutan homogen. ♦ Standar 20 ppm N Sebanyak 2 ml standar pokok 1000 ppm N dipipet ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan dengan akuades hingga tepat 100 ml. ♦ Deret standar 0-20 ppm N Standar N 20 ppm, dipipet 0; 1; 2; 4; 6; 8; dan 10 ml, masing-masing dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian ditambahkan akuades hingga semuanya menjadi 10 ml. Deretstandar ini memiliki kepekatan 0; 2; 4; 8; 12; 16; dan 20 ppm N, tiap-tiap tabung reaksi kemudian dikocok. ♦ Larutan Na-fenat Sebanyak 100 g serbuk NaOH p.a ditimbang dan dilarutkan secara perlahan sambildiaduk dengan sekitar 500 ml air bebas ion di dalam labu ukur 1 l. Setelah dingin, ditambahkan 125 gram serbuk fenol dan aduk hingga larut. Kemudian diencerkandengan air bebas ion sampai 1 l. ♦ Larutan sangga Tartrat Sebanyak 50 gram serbuk NaOH p.a. ditimbang dan dilarutkan secara perlahan sambildiaduk dengan sekitar 500 ml air bebas ion di dalam labu ukur 1 l. Setelah dingin ditambahkan 50 g serbuk K, Na-tartrat dan diaduk hingga larut. Kemudian diencerkandengan air bebas ion sampai 1 l. Lampiran 4 Pengukuran kadar Fe dalam filtrat hasil destruksi Konsentrasi standar (ppm)
Absorbansi
0.0000 0.5000 1.0000 2.0000 4.0000 8.0000
0.0008 0.0363 0.0707 0.1396 0.2639 0.4944
17
Absorbansi sampel filtrat = 0.1024 Konsentrasi Fe dalam sampel filtrat : y = 0.0609x + 0.0123 0.1024= 0.0609x + 0.0123 x = 1.4795 ppm Faktor pengenceran = 1250 Konsentrasi Fe dalam filtrat sebenarnya : 1250 × 1.4795 ppm = 1849.9742 ppm ≈ 1850 ppm Lampiran 5 Sertifikat analisis pengukuran kadar Ti dalam filtrat hasil destruksi
Lampiran 6 Perhitungan jumlah mmol urea yang harus ditambahkan ke dalam Larutan H Konsentrasi NaOH yang digunakan adalah 30% (b/v) pH awal larutan F: -3.36 pH akhir setelah penambahan NaOH: 3.22 Volume NaOH yang ditambahkan: 8.2 ml
18
Bobot NaOH yang ditambahkan: 30 g
8.2 ml
2.46 g
100 ml
Jumlah mmol NaOH yang ditambahkan: 2.46 g 40 g mol
-1
0.0615 mol
61.5 mmol
Oleh karena itu urea yang ditambahkan sebanyak 61.5 mmol Lampiran 7 Perhitungan bobot magnetit teoritis Reaksi pembentukan magnetit 3 Fe → Fe3O4 Jumlah mmol Fe = 1.32 mmol Jumlah mmol Fe3O4 teoritis = 1/3 × 1.32 mmol = 0.44 mmol Bobot Fe3O4 teoritis = mmol Fe3O4 × Mr Fe3O4 = 0.44 mmol × 232 = 102.08 mg = 0.10208 g ≈ 0.1021 g Lampiran 8 Pengukuran kadar Fe setelah sintesis hidrotermal Konsentrasi standar (ppm)
Absorbansi
0.0000
0.0026
0.2000
0.0236
0.5000
0.0566
1.0000
0.1081
2.0000
0.2144
Absorbansi sampel Larutan G = 0.0335 Konsentrasi Fe dalam sampel Larutan G : y = 0.1058x + 0.0028 0.0335 = 0.1058x + 0.0028 x = 0.2896 ppm Faktor pengenceran = 1 Konsentrasi Fe dalam Larutan G sebenarnya : 1 × 0.2896 = 0.2896 ppm Absorbansi sampel Larutan H = 0.0295
19
Konsentrasi Fe dalam sampel Larutan H : y = 0.1058x + 0.0028 0.0295 = 0.1058x + 0.0028 x = 0.2517 ppm Faktor pengenceran = 1 Konsentrasi Fe dalam Larutan H sebenarnya : 1 × 0.2517 = 0.2517 ppm Penentuan Fe yang berubah menjadi magnetit Konsentrasi Fe awal Berdasarkan pengukuran dengan AAS, dalam filtrat hasil leburan asam mengandung Fe sebanyak 1850 ppm mmol Fe dalam 40 ml larutan
=
1850 mg l
-1
56 g mol
0.04 l -1
= 1.32 mmol Konsentrasi Fe tersisa pada larutan Larutan G = 0.2896 ppm Larutan H = 0.2517 ppm volume Larutan G tersisa = 36 ml mmol Fe yang tersisa pada Larutan G =
0.2896 mg l
-1
56 g mol
0.036 l -1
= 0.0002 mmol volume Larutan H tersisa = 27 ml mmol Fe yang tersisa pada Larutan H =
0.2517 mg l
-1
56 g mol
0.027 l -1
= 0.0001 mmol Rendemen Larutan G (%)
= = =
mmol akhir
100 % mmol awal mmol awal - mmol sisa
100 %
mmol awal 1.32 - 0.0002 100 % 1.32
= 99.98 % Rendemen Larutan H (%)
= = =
mmol akhir
100 % mmol awal mmol awal - mmol sisa
mmol awal 1.32 - 0.0001 100 % 1.32
= 99.99 %
100 %
20 Lampiran 9 Basis data puncak 2θ nomor arsip 19-0629 pada JCPDS
Lampiran 10 Penentuan ukuran kristal Ukuran kristal magnetit larutan H 2θ
θ
Cosθ
FWHM
W
Ukuran (nm)
30.0339
15.0170
0.7706
0.1300
0.0023
79.3017
35.4104
17.7052
0.4136
0.2467
0.0043
77.8522
36.9277
18.4639
0.9265
0.1100
0.0019
77.9474
43.0438
21.5219
0.8919
0.1500
0.0026
59.3805
56.9281
28.4641
0.9821
0.1700
0.0030
47.5849
62.5114
31.2557
0.9872
0.1800
0.0031
44.7076
Rerata
64.4624
Contoh perhitungan Ukuran kristal pada ulangan 1 berdasarkan persamaan Scherrer: D= D K λ W D=
K λ W cos θ
: ukuran kristal (nm) : konstanta (0.9) : panjang gelombang sinar-X (0.15406 nm) : Lebar puncak pada setengah intensitas puncak maksimum (rad) 0.9 0.0023
0.15406 0.7706
= 79.3017 nm
21
Lampiran 11 Penentuan bobot amonium dalam filtrat Penentuan panjang gelombang maksimum λ (nm) 550 552 554 556 558 560 562 564 566 568 570 572 574 576 578 580 582 584 586 588 590 592 594 596 598 600
Absorbansi 0.211 0.217 0.223 0.227 0.233 0.238 0.244 0.250 0.257 0.264 0.271 0.278 0.283 0.289 0.294 0.298 0.303 0.308 0.314 0.319 0.326 0.333 0.339 0.345 0.350 0.354
λ (nm) 602 604 606 608 610 612 614 616 618 620 622 624 626 628 630 632 634 636 638 640 642 644 646 648 650
λ maksimum
Absorbansi 0.359 0.362 0.364 0.367 0.371 0.374 0.377 0.381 0.385 0.386 0.388 0.389 0.390 0.389 0.390 0.389 0.389 0.388 0.386 0.374 0.374 0.373 0.364 0.364 0.358
22
Penentuan kurva standar amonium [amonium] (ppm) 0 1 2 4 6 8 10
Filtrat
Larutan G
Larutan H
Absorbansi terkoreksi 0.000 0.002 0.007 0.014 0.023 0.030 0.037
absorbansi terkoreksi
[amonium] (ppm)
fp
[amonium] × fp
0.016
4.4211
625
2763.1579
0.018
4.9474
625
3092.1053
0.018
4.9474
625
3092.1053
0.201
53.1053
625
33190.7895
0.204
53.8947
625
33684.2105
0.210
55.4737
625
34671.0526
rerata (ppm)
rerata % (b/v)
volume filtrat (ml)
amonium (g)
2982.4561
0.2982
36
0.1074
33848.6842
3.3849
27
0.9139
Contoh perhitungan [amonium] (ppm) Kurva regresi linier dari larutan standar menghasilkan persamaan y = 0.0038 x – 0.0008, di mana y = absorbansi dan x = [amonium] [amonium] = [amonium] =
absorbansi
sampel
0.0008
0.016
0.0008
625 = 2763.1579 ppm
0.0038
Rerata [amonium] (ppm) Rerata =
fp
slope
ulangan 1
ulangan 3
2
ulangan 3
23
Rerata =
2763.1579
3092.1053
3092.1053
3
= 2982.4561 ppm
Rerata % (b/v) 2982.4561 mg l-1 ×
1g
0.1 l
1000 mg
100 ml
= 0.2982 g
100 ml
Amonium (g) 0.2982 g 100 ml
36 ml = 0.1074 g
Reaksi dekomposisi urea menjadi amonium CO(NH2)2 + H2O → CO2 + 2 NH3 Konversi urea menjadi amonium secara teoritis pada Larutan G: Jumlah mmol urea = 3.96 mmol Jumlah mmol amonium = 2 × 3.96 mmol = 7.92 mmol Bobot amonium yang terbentuk secara teoritis = 7.92 mmol × Mr amonium = 7.92 mmol × 18 g mol-1 = 0.1426 g Bobot amonium yang terbentuk dalam Larutan G = 0.1074 g
Persentase urea yang terdekomposisi menjadi amonium: Bobot amonium
dalam Larutan
Bobot amonium
100 %
teoritis
=
0.1074 g
100 %
0.1426 g
= 75.32 % Konversi urea menjadi amonium secara teoritis pada Larutan H: Jumlah mmol urea = 65.46 mmol Jumlah mmol amonium = 2 × 65.46 mmol = 130.92 mmol Bobot amonium yang terbentuk secara teoritis = 130.92 mmol × Mr amonium = 130.92 mmol × 18 g mol-1 = 2.3566 g Bobot amonium yang terbentuk dalam Larutan H = 0.9139 g Persentase urea yang terdekomposisi menjadi amonium: Bobot amonium
dalam Larutan
Bobot amonium
teoritis
100 %
=
0.9139 g 2.3566 g
= 38.78 %
100 %
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 30 Juni 1990 dari pasangan Sunarmo dan Rasinem. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Penulis lulus dari SMP Negeri 8 Bandung pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMA Negeri 24 Bandung dan lulus tahun 2008. Setelah itu, penulis lulus seleksi masuk Jurusan Kimia di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi (SNMPTN). Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Kimia TPB pada tahun 2009−2012, praktikum Kimia Organik Berbasis Kompetensi pada tahun 2011, dan mata kuliah Kimia Analitik Layanan pada tahun 2012. Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktik Lapangan di PT Kimia Farma Unit Riset dan Pengembangan Bandung.